Hasil kajian CID diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bersama untuk terus memperkuat upaya mengembangkan keberdayaan masyarakat dan menjadikan ZISWAF menjadi alternatif yang cukup menarik dalam menangani masalah-masalah sosial dan lingkungan yang semakin berat dan kompleks. VISI Bertekad menjadi institusi kajian yang tangguh pada masalah ZISWAF dan pemberdayaan masyarakat dalam arti luas, yang mendorong terwujudnya masyarakat berdaya dengan bertumpu pada sumberdaya lokal melalui sistem yang berkeadilan. MISI 1. Melakukan kajian mengenai permasalahan sosial dan kemiskinan guna mengembangkan model-model pemberdayaan yang terencana, terukur, berefek luas dan jangka panjang, serta tepat pada akar permasalahan. 2. Melakukan riset dan studi kebijakan pada permasalahan ZISWAF untuk mengembangkan edukasi publik, penyempurnaan kebijakan dan implementasinya. 3. Mengembangkan wacana-wacana baru dalam pengelolaan ZISWAF, ikhtiar mencapai kemandirian masyarakat, serta pemikiran alternatif untuk mewujudkan sistem yang berkeadilan. FOKUS KAJIAN Riset dan kajian CID terfokus pada tema-tema pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan dalam arti luas, serta ZISWAF dan keseluruhan aspek yang melingkupinya. PROGRAM Diskusi Strategis, Kajian kebijakan dan regulasi ZISWAF, Riset/ Penelitian, Seminar dan Workshop, Edukasi Publik dan Advokasi, Penerbitan Jurnal, Pusat Informasi Zakat, dan Portal. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 1 isi.pmd 1 8/20/2008, 11:03 AM SEKILAS CID CID (Circle of Information and Development) adalah lembaga kajian nirlaba yang didirikan oleh Dompet Dhuafa Republika pada tanggal 22 Oktober 2007. Pembentukannya dilatarbelakangi gagasan tentang perlunya mengembangkan pemikiran mengenai potensi dan peran ZISWAF (Zakat, Infak-Sedekah, Wakaf) di Indonesia dalam konteks yang lebih luas, yaitu lebih berorientasi strategis dan pembangunan daripada sekedar karitatif. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pembelajaran yang terus menerus mengenai keterkaitan antara ZISWAF dan persoalan pembangunan berkelanjutan, serta keadilan sosial dan ekonomi. SEKILAS CID Jurnal Zakat & Empowering – diterbitkan oleh Circle of Information and Development (CID), setahun dua kali. Merupakan wahana pemikiran dan gagasan tentang zakat, pemberdayaan dan eliminasi kemiskinan terutama bagi praktisi dan pemikir zakat dan lembaga kemanusiaan pada umumnya. Redaksi menerima gagasan dan kontribusi yang selaras dengan kebutuhan/visi dan misi CID. Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulisnya. : Pemimpin Redaksi/ Penanggungjawab Nana Mintarti Dewan Redaksi Ismail A. Said, Ahmad Juwaini, Yuli Pujihardi, M. Arifin Purwakananta, Rini Suprihartanti, Kusnandar Tim Redaksi Kuntarno Nur Aflah, Bot Pranadi Dokumentasi Djoko Sunggoro Alamat Redaksi Jl. Ir H Juanda No. 50 Komplek Perkantoran Ciputat Indah Permai C 28-29 Ciputat Telp. 021-7416050 Faks. 021-7416070 Portal www.cid.or.id email [email protected] ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 2 isi.pmd 2 8/20/2008, 11:03 AM S ejak berlakunya UU No.38 Tahun 1999 pengelolaan zakat di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Terutama dalam hal mendorong lahirnya organisasi pengelola zakat baru, baik swasta maupun pemerintah. Forum Zakat (FOZ) mencatat saat ini ada 421 organisasi pengelola zakat di Indonesia. Jumlah itu terdiri, 1 BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) Nasional, 32 Badan Amil Zakat (BAZ) Provinsi, lebih dari 300 BAZ kabupaten / kota dan lebih dari 70 LAZ baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten / kota. Tetapi sangat disayangkan, banyaknya organisasi pengelola zakat ternyata belum diantisipasi oleh Undang-Undang No.38 tahun 1999. Akibatnya, meskipun banyak lembaga zakat namun penghimpunan dan penyaluran zakat masih belum efektif. Begitu juga dalam hal kordinasi dan pembagian tugas serta fungsi, antara satu dengan lainnya tidak ada garis koordinasi yang jelas. Antara Pemerintah, Baznas, Laznas, Bazda, masingmasing berjalan sendiri-sendiri. Semua lembaga zakat ingin menjadi pengelola, sementara yang berperan sebagai pengawas dan pembuat aturan kebijakan, tidak ada. Pemerintah sendiri tidak mampu memerankan dirinya sebagai pengawas dan pembuat kebijakan. Alasan inilah yang kemudian mendorong pemerintah untuk memperbaiki undangundang ini dengan mengamandemen beberapa pasal yang ada. Di dalam rancangan amandemennya disebutkan bahwa pemerintah akan mengelola zakat dengan sistem sentralisasi melalui Badan Amil Zakat yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan pemerintahan. Sementara Lembaga Amil Zakat milik masyarakat yang telah ada nantinya akan berfungsi sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan Badan Amil Zakat milik pemerintah. Sebenarnya keinginan untuk mengelola zakat secara sentralisasi oleh pemerintah sudah sejak lama diusulkan. Bahkan keinginan itu bukan hanya datang dari pemerintah namun juga datang dari praktisi lembaga zakat (LAZ) yang dikelola masyarakat. Antara pemerintah dan swasta sama-sama berpendapat bahwa dengan dikelola secara sentral oleh negara maka pengelolaan zakat di Indonesia bisa terpadu dan berjalan dengan baik. Pemerintah akan dengan mudah mengusulkan dan mengeluarkan kebijakan yang pro perkembangan zakat. Baik dari segi penghimpunan maupun segi penyalurannya. Termasuk membuat kebijakan yang mengikat bagi muzaki agar mengeluarkan zakatnya secara teratur, penyediaan data penghimpunan dan penyaluran secara komprehenship serta penyediaan data mustahik (warga tidak mampu) secara lengkap dan akurat. Seperti itulah konsep yang ideal, sebagaimana yang dipraktekkan pada masa Rasulullah. Akan tetapi kenyatannya sejak dahulu di Indonesia organisasi pengelola zakat yang dikelola pemerintah kurang dipercaya masyarakat. Apalagi sejak reformasi bergulir, kepercayaan terhadap pemerintah semakin menurun. Oleh karenanya sentralisasi pengelolaan zakat harus dilakukan secara bertahap. Melalui proses persiapan yang cukup matang. Bukan dilakukan dengan serta ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 3 isi.pmd 3 EDITORIAL Perluas Partisipasi Publik Dalam Pengelolaan Zakat 8/20/2008, 11:03 AM merta pada saat ini. Sebab dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap lembaga zakat nonpemerintah (yang dibentuk masyarakat sipil) yang sudah berjalan cukup baik justru akan menurun. Bagi organisasi pengelola zakat, sebagai institusi publik yang mengelola dana publik, kepercayaan publik menjadi faktor yang sangat penting bagi keberlangsungan lembaga. Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai institusi negara maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai organisasi masyarakat berlomba-lomba merebut kepercayaan publik. Dalam konteks tersebut eksistensi masing-masing ditentukan oleh kenyataan hubungan antara negaramasyarakat. Saat birokrasi kuat, organisasi pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah cenderung menguat. Sebaliknya saat birokrasi mengalami delegitimasi, ia pun melemah karena lazimnya kepercayaan rakyat terhadapnya juga menurun. Sementara kenyataan saat ini, tren global menempatkan masyarakat sipil sebagai sebuah kekuatan yang cukup signifikan dalam berbagai gerakan memerangi kemiskinan. Hal ini terbukti semakin tingginya kepercayaan donatur dan muzakki yang menitipkan zakatnya kepada lembaga zakat milik swasta dibandingkan kepada badan amil zakat milik pemerintah. Penghimpunan dana-dana sosial (zakat, infak, sedekah, wakaf, dan lain-lain) oleh lembaga zakat milik swasta terbukti jumlahnya lebih besar dibandingkan jumlah yang dihimpun oleh lembaga zakat milik pemerintah. Nah, jika akhirnya zakat dikelola secara sentral oleh badan amil zakat milik pemerintah, tanpa persiapan yang matang, apakah nantinya bisa menjamin para donatur dan muzakki yang selama ini sudah menitipkan dananya kepada lembaga bentukan masyarakat sipil akan tetap mau menitipkan zakatnya kepada badan amil zakat ? Tidak ada yang bisa menjamin bahwa hal itu akan terjadi. Oleh karenanya yang paling tepat dilakukan saat ini adalah membagi peran antara pemerintah dan swasta dalam pengelolaan zakat. Pemerintah berperan membuat sistem perundang-undangan zakat yang dapat menjamin agar seluruh fungsi administratif negara dapat meningkatkan kesejahteraan umum maupun perseorangan melalui peran zakat. Pemerintah juga harus berperan sebagai pengawas bagi operasionalisasi lembaga amil zakat. Kedua fungsi ini dapat diperankan oleh sebuah lembaga independen semacam komisi negara yang bertanggungjawab langsung kepada presiden. Sementara lembaga pengelola zakat yang sudah mendapat kepercayaan publik diperkuat posisioningnya dengan diberi ruang gerak lebih luas lagi bagi kemajuan lembaganya. Semangat seperti inilah yang cocok dengan tren global yang terjadi di tengah melebarnya partisipasi publik saat ini. Apalagi Indonesia sebagai negara yang beragama dan melindungi warganya untuk mengamalkan ajaran dan kewajiban agamanya, tentu akan semakin mendorong semangat civil society tumbuh dan kuat di negara ini. Dengan cara seperti ini maka zakat dapat dijadikan sebagai salah satu sarana potensial untuk membantu pemerintah dalam mendistribusikan kekayaan dan pemerataan pendapatan. Potensi zakat yang masih ‘tersembunyi’ di Indonesia akan dapat tergali secara optimal. Dan pada akhirnya dapat berimplikasi pada peningkatan taraf hidup masyarakat miskin di Indonesia secara menyeluruh. [z] : ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 4 isi.pmd 4 8/20/2008, 11:03 AM EDITORIAL 06 Zakat, Keadilan dan Keseimbangan Sosial Ahmad Erani Yustika dan Jati Andrianto 16 Zakat Antar Bangsa Muslim: Menimbang Posisi Realistis Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil Asep Saefuddin Jahar 25 Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek NegaraNegara Tetangga Heru Susetyo 37 LINTAS ELEMEN Mengapresiasi Bangkitnya Civil Society Dalam Pengelolaan Zakat di Indonesia 42 Fenomena Unik Di Balik Menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) Di Indonesia, Adiwarman A. Karim dan A. Azhar Syarief 50 Membangun Koherensi Antar Sektor: Filantropi Islam, Agenda Organisasi Sektor Ketiga dan Masyarakat Sipil Di Indonesia Hilman Latief 65 DOKUMEN Ringkasan Naskah Akademik Revisi UU Zakat 79 Pentingnya Penataan Kelembagaan Zakat Demi Perbaikan di Masa Mendatang Sahri Muhammad 90 TENTANG PENULIS ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 5 isi.pmd 5 8/20/2008, 11:03 AM DAFTAR ISI 03 Zakat, Keadilan dan Keseimbangan Sosial Ahmad Erani Yustika dan Jati Andrianto Abstrak Zakat pada era emasnya merupakan instrumen fiskal negara yang berfungsi bukan hanya untuk mendistribusikan kesejahteraan umat secara lebih adil dan merata, tetapi juga merupakan bagian integral akuntabilitas manusia kepada Allah SWT atas rezeki yang telah diberikan-Nya. Namun, dalam era modern saat ini, yang dikarenakan sistem pajak telah menjadi instrumen fiskal bagi suatu negara menyebabkan zakat hanya menjadi representasi tanggung jawab umat manusia atas limpahan rezeki dari Allah SWT sekaligus tidak jarang hanya menjadi ritual budaya periodik umat Islam. Risalah ini bertujuan menganalisis secara mendalam bagaimana pemosisian yang tepat atas zakat dan pajak dalam perekonomian Indonesia. Lebih spesifik, bagaimana posisinya dalam konsep kebijakan fiskal di Indonesia, sehingga pada satu sisi nilai-nilai mulia dalam zakat dapat diimplementasikan dan di sisi lain instrumen fiskal tetap dapat berjalan seperti biasanya. Hasilnya, pajak dan zakat dapat diimplementasikan secara bersamaan tanpa harus ada saling penegasian antara kedua instrumen tersebut. Kata-kata kunci: Zakat, ekonomi Islam, kesejahteraan, instrumen fiskal S Pendahuluan eperti dipahami, kajian tentang pembangunan (ekonomi) selama ini didominasi oleh pandangan yang sangat materialistik sehingga proses dan tujuan pembangunan menjadi amat reduksionis. Sejak usai Perang Dunia II, pembangunan lebih banyak dilihat sebagai masalah ekonomi, yakni persoalan mengidentifikasi dan mengkuantifikasi komposisi paket pertumbuhan ekonomi (Goulet, 1997:1160). Implikasinya, metodologi kajian pembangunan ekonomi juga didominasi oleh aliran “ekonomi positif” yang tidak saja bersifat normatif, tetapi juga mengabaikan kompleksitas aspek etis yang justru berperan penting dalam mempengaruhi perilaku manusia. Hasilnya, persoalanpersoalan ekonomi yang hendak dipecahkan lewat serangkaian program pembangunan bukannya selesai, melainkan malah menciptakan masalah baru yang tidak kalah serius, seperti kemelaratan, ketimpangan, pengangguran, kriminalitas, degradasi lingkungan, dan masih banyak lainnya. Secara lebih spesifik, dalam konteks Indonesia, hal itu salah satunya disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan alokasi belanja pembangunan, di mana selain sebagian besar digunakan untuk biaya rutin, juga kurang tepatnya alokasi pembiayaan yang pro-poor growth. Pada aras yang berseberangan, hal itu juga dikarenakan sistem pajak belum menjadi instrumen yang efektif dalam memasok pendapatan negara, sehingga pajak –walaupun sudah menyumbangkan mayoritas dalam struktur pendapatan negara– tetapi tetap saja kurang maksimal dalam membiayai upaya memastikan pencapaian kesejahteraan umat manusia. Lebih lanjut, sistem pajak yang ada saat ini juga turut mendonasikan ketimpangan kesejahteraan. Logikanya, pada satu sisi yang ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 6 isi.pmd 6 8/20/2008, 11:03 AM disebabkan struktur usaha besar di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir pihak dan di sisi lain kewajiban pajak yang harus dibayarkan tidak mencapai lima puluh persen dari segala pendapatan menyebabkan distribusi pendapatan atas aktivitas ekonomi di Indonesia mengalir –melalui instrumen akuntansi– hanya kepada pihak tertentu terbatas saja. Di luar itu, sebenarnya juga terdapat skema yang dulunya menjadi instrumen fiskal yang begitu berperan dalam mendistribusikan kesejahteraan umat Islam sekaligus sebagai bentuk akuntabilitas seorang muslim kepada Allah SW T atas limpahan rezeki-Nya. Namun, disebabkan berbagai transfomasi ekonomi-politik di berbagai belahan dunia menyebabkan terjadinya pergeseran atas konsep zakat, terutama dalam implementasinya. Bahkan dalam konteks Indonesia kontemporer, zakat bagi sebagian besar penduduk yang mayoritasnya umat muslim hanya dimaknai sebagai zakat fitrah, sehingga berbagai keriuhan pembayaran zakat begitu kentara hanya menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pada titik inilah, zakat lebih nampak sebagai ritual budaya periodik umat Islam dari pada anjuran Tuhan dalam rangka menyeimbangkan kesejahteraan umat manusia. Lebih dari itu, dalam perspektif eksekusi zakat, nilai nomimal zakat fitrah yang ada saat ini apabila dilihat secara parsial sangat rendah, sehingga tidak memberikan kontribusi besar dalam upaya membagi kesejahteraan, di mana setiap penduduk miskin hanya mendapatkan hak sebesar 2,5 kg makanan pokok (dalam hal ini adalah beras). Tetapi, jika dilihat secara keseluruhan, maka nilai agregat zakat fitrah saja relatif besar. Sebagai gambaran, diprognosiskan jumlah umat Islam di Indonesia sebanyak 80% dari total penduduk. Dengan perkiraan ini, umat muslim yang wajib membayar zakat fitrah sekitar 170 juta penduduk.1 Sementara itu, dengan harga beras sebesar Rp 6 ribu/kg menyebabkan kewajiban yang harus dibayarkan –bukan dalam bentuk beras– sebesar Rp 15 ribu per-umat Islam (setelah dikalikan dengan 2,5 kg). Dengan demikian, secara keseluruhan zakat fitrah yang seharusnya dapat diunduh sebesar Rp 2,55 triliun setiap tahunnya. Namun, disebabkan pengelolaan yang tidak bagus menyebabkan potensi zakat fitrah yang besar ini habis dalam hitungan hari pada saat Hari Raya Idul Fitri. Potensi ini belum digenapi dengan zakat lainnya. Bila semuanya dihitung sekaligus umat muslim yang mampu (secara ekonomi) sadar akan keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kewajiban kepada sesama, maka terdapat sumber pembiayaan yang besar di luar APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat kelas ekonomi bawah. Berpijak pada latar belakang di atas, di mana intinya pada satu sisi pajak sebagai instrumen fiskal yang kurang maksmimal dalam membiayai APBN dan di sisi lain potensi besar zakat yang ada namun belum dapat dimaksimalkan, maka risalah ini mencoba memposisikan bagaimana dua instrumen, terutama zakat, dalam memastikan diperolehnya hak kebebasan dasar yang adil dan sejahtera setiap umat manusia (termasuk non muslim). Teologi, Keadilan, dan Pasar Setiap berbicara mengenai konsep yang bersumber dari agama, apapun agamanya, tidaklah mungkin lepas dari keberadaan “teologi”. Konsep teologi sendiri sangat abstrak sehingga definisi apapun yang disodorkan dipastikan akan menuai perdebatan. Namun, Milbank (Oslington, 2000:33) percaya bahwa teologi merupakan 1 Diasumsikan bahwa total penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa, sehingga kuantitas umat Islam sebanyak 200 juta jiwa. Pada 2007 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 37,17 juta jiwa (BPS, 2008), sehingga yang wajib membayar zakat fitrah hanya sekitar 170 juta jiwa (200 juta jiwa dikurangi 0,8 x 37,17 juta jiwa). ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 7 isi.pmd 7 8/20/2008, 11:03 AM pengetahuan sosial dan –bahkan– ratu dari ilmu pengetahuan yang bisa mengelaborasi pemahaman mengenai dirinya sendiri. Jika makna itu direlasikan dengan ekonomi (theological economics), maka tidak berarti ekonomi harus diturunkan dari teologi, melainkan ekonomi menjadi subyek dari kajian teologi (artinya, bisa diposisikan, direlatifkan, dan dikritisi oleh teologi). Salah satu perhatian penting dari teologi adalah aspek keadilan. Keadilan menempati pilar terdepan setiap kali teologi berbicara mengenai setiap hal, termasuk pembangunan. Oleh karena itu, keadilan menjadi alas terpenting untuk menguji apakah sebuah konsep pembangunan alternatif memberikan jalan keluar atas aspek yang ditinggalkan oleh konsep pembangunan yang lama ini. Sampai saat ini konsep keadilan yang mapan dan sering dirujuk selalu mengacu kepada teori keadilan John Rawls yang bertolak dari dua prinsip: (i) setiap orang harus mempunyai hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar yang sejajar (equal basic liberties), yang sekaligus kompatibel dengan skema kebebasan yang dimiliki oleh orang lain; dan (ii) ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditangani sehingga keduanya: (a) diekspektasikan secara logis (reasonably expected) menguntungkan bagi setiap orang; dan (b) diharapkan posisi dan jabatan yang terbuka bagi seluruh pihak (Rawls, 1999:53). Prinsip-prinsip inilah yang kemudian membawa Rawls pada sikap untuk meyakini bahwa sebetulnya keadilan (justice) itu tidak lain sebagai kepatutan / kepantasan (fairness). Pada titik ini, sebuah kebijakan yang mengandaikan adanya relasi antara aktor dan struktur dengan sendirinya akan memunculkan ketidakadilan apabila isi dari kebijakan tersebut mengandung unsur ketidakpatutan (unfairness). Dalam konteks kebijakan ekonomi, bisa saja secara rasional kebijakan tersebut logis (khususnya jika dilihat dari konfigurasi pemain dan struktur yang memproduksinya), namun dari sisi keadilan mengandung hal-hal yang tidak patut. Atas nama nilai-nilai ini, yakni kepatutan, kebijakan tersebut menurut Rawls dinyatakan cacat karena bersifat tidak adil. Berdasarkan pemikiran itulah, Rawls (dalam Keraf 1996:263-264) percaya bahwa pasar bebas menimbulkan ketidakadilan. Bagi Rawls, ‘ketidakadilan paling jelas dari sistem kebebasan kodrati adalah bahwa sistem ini mengizinkan pembagian kekayaan dipengaruhi secara tidak tepat oleh kondisi-kondisi (alamiah dan sosial yang kebetulan) ini, yang dari sudut pandang moral sedemikian sewenang-wenang.’ Menurut Rawls, karena setiap orang masuk ke dalam pasar dengan bakat dan kemampuan alamiah yang berlainan, peluang sama yang diberikan pasar tidak akan menguntungkan semua peserta. Bahkan, kalaupun kondisi sosial yang kebetulan telah diperbaiki itu mengandaikan kesempatan yang tidak berbeda bagi semua orang, tidak lalu berarti bahwa pasar bebas dengan sendirinya akan mendistribusikan kekayaan ekonomi secara sama. Sebaliknya, terlepas dari perbaikan kondisi sosial yang ada, pasar bebas akan melahirkan kepincangan karena perbedaan bakat dan kemampuan alamiah antara satu orang dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pasar justru merupakan pranata yang tidak adil. Di luar itu, pasar bukan hanya mengontrol, tapi juga dikontrol. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Mubyarto mengenai globalisasi (pasar bebas) tersebut. Menurutnya, kita harus bersikap ‘antiglobalisasi’ karena dalam sifatnya yang sekarang, yang serakah dan imperialistik, globalisasi sangat merugikan perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia (Mubyarto, 2005:26). Faktanya, bukti-bukti di lapangan mendukung hal itu. Misalnya, sebagian besar penduduk di Afrika masih hidup terbelakang dan terjerat kemiskinan, sehingga terpaut jauh jaraknya dalam hal kesiapan negara itu untuk melakukan ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 8 isi.pmd 8 8/20/2008, 11:03 AM persaingan ekonomi dengan negara-negara maju lainnya. Data-data yang tersedia menampilkan bahwa di wilayah sub sahara Afrika hampir separuh penduduknya hidup dengan pendapatan di bawah US$ 1 per hari, tingkat buta huruf penduduk dewasa mencapai 39%, angka usia hidup saat lahir cuma 47 tahun, dan tingkat kematian bayi mencapai 92 jiwa tiap 1000 kelahiran (IMF,2001:11). Sebaliknya, negara-negara maju terus mengakumulasi kekayaan dan kesejahteraan ekonomi karena tingkat kompetisi barang dan jasanya yang sangat tinggi bila berhadapan dengan negara berkembang. Tentu saja bukan hanya soal ketidakadilan dalam level internasional yang perlu dikritik dengan keras, tetapi juga ketimpangan dalam level domestik. Strategi pembangunan yang hanya memihak sektor industri/jasa dan pelaku ekonomi skala besar, misalnya, merupakan realitas yang patut dijadikan sasaran kritik. Salah satu publikasi yang ditulis oleh Mubyarto (1995:122-123) dengan lantang berbicara ...”Bangsa Indonesia yang merdeka mewarisi kondisi ekonomi dualistik dan kapitalistik. Di satu pihak perekonomian rakyat lemah dan terbelakang, dan di pihak lain sektor modern yang kuat didominasi oleh perusahaanperusahaan besar asing terutama perusahaanperusahaan milik Belanda”. Dengan kondisi itu, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan kecuali memperkuat ekonomi rakyat. Menurutnya (Mubyarto, 1997:3), yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat; sedangkan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat yang dengan secara swadaya mengelola sumber daya apa saja yang dapat dikuasainya, dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keluarganya. ekonomi dan agama (religion) tidak mungkin akan bertemu, karena di antara keduanya terdapat dikotomi yang sangat tajam. Paling tidak dikotomi itu dapat dijabarkan dalam tiga pertentangan: antara fakta (facts) dan nilai (values), antara publik (public) dan privat (private), dan antara kepastian (certainty) dan pengabaian (ignorance). Dalam setiap dikotomi tersebut antara agama dan ekonomi terpisah. Seperti dimaklumi, ekonomi bekerja berdasarkan fakta-fakta, sedangkan agama berjalan perdasarkan opini, keyakinan, atau selera (taste). Ekonomi merupakan kajian yang menghendaki perdebatan publik (public debate), sementara agama adalah urusan masing-masing individu. Demikian juga, ekonomi berjalan berbasiskan pengetahuan yang pasti, sebaliknya agama bergerak berdasarkan epistomologi “keragu-raguan” (Oslington, 1997:36). Dengan melihat deskripsi tersebut, pertanyaan yang layak diajukan: apakah mungkin antara ekonomi dan agama dikawinkan? Lebih menukik lagi, apakah mungkin mengkonseptualisasikan ekonomi Islam di tengah eksistensi dikotomi tersebut? Di sini terdapat dua argumentasi untuk meyakinkan bahwa antara agama dan ekonomi dapat menyatu. Pertama, agamaagama yang ada (khususnya Islam) meyakini bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Bukan itu saja, Tuhan juga merawat dan menjaga kehidupan sehingga secara etis otonomi individu (manusia) menjadi batal. Di sini tidak dibenarkan pandangan yang menyatakan bahwa setiap upaya dari manusia merupakan satu-satunya penentu setiap hasil yang diperoleh. Pandangan ini di samping sangat ambisius, juga mengabaikan fakta bahwa interaksi antar manusia sering kali tidak dibangun berdasarkan kesengajaaan, tetapi berlangsung secara spontan dan serba kebetulan. Di sinilah peran sang “lain” itu muncul. Kedua, tanpa disadari telah ada struktur teologi (theological structure) dalam Mempertemukan Ekonomi dan Islam Dari perspektif materialistik, antara ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 9 isi.pmd 9 8/20/2008, 11:03 AM teori ekonomi. Pemikir-pemikir ekonomi terdahulu, seperti Adam Smith, Robert Malthus, Karl Marx, Alfred Marshal, Leon Walras, dan lain-lain secara impisit telah memasukkan aspek teologi dalam teori ekonomi yang mereka kembangkan. Kedua argumentasi inilah yang menyebabkan antara agama dan ekonomi bisa dipertemukan, sehingga di antara keduanya tidak lagi terdapat hubungan yang dikotomis. Dalam literatur ekonomi Islam jamak ditemukan kajian yang membahas tentang keunggulan-keunggulan ekonomi Islam dibandingkan dengan ekonomi konvensional (klasik/ neoklasik). Kebanyakan ilmuwan ekonomi Islam selalu mengomparasikan kebangkitan ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvesional yang terjadi di negaranegara maju. Padahal, seperti disadari bersama, negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam menempati negara berkembang, bahkan negara miskin. Oleh karena itu, literatur-literatur yang disediakan oleh ilmuwan ekonomi Islam kurang memotret secara lebih jauh realitas sesungguhnya, sekaligus belum memberikan pijakan yang cukup memadai bagi implementasi ekonomi Islam sendiri.2 Memang tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut bukan sesuatu yang kalis dari perhatian ilmuwan ekonomi Islam, tetapi lebih dikarenakan terdapatnya argumentasi bahwa ekonomi Islam merupakan ilmu ekonomi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga tidak diperlukan spesialisasi kajian untuk negara tertentu. Padahal banyak hal yang berbeda antara negara maju dengan negara berkembang (negara miskin). Sungguh pun demikian, literatur-literatur ekonomi Islam telah memberikan pijakan untuk melakukan pembangunan teori ekonomi Islam secara lebih jauh. Sebenarnya secara definitif tidak ada perbedaan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam dilihat dari aspek alokasi dan distribusi sumber daya. Dalam ranah ekonomi konvensional, alokasi dan distribusi yang dilakukan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dari sumber daya yang terbatas. Hal ini juga sama untuk ekonomi Islam (Chapra, 2001:2). Namun, yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional adalah apabila ekonomi konvensional dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya hanya diindikasikan dengan sesuatu yang terlihat (baca: materi), namun dalam ekonomi Islam bukan hanya terbatas pada satu indikator tersebut, tetapi pada materi dan non materi (spiritual). Selain itu, material dan spiritual ini harus selalu berada pada posisi yang seimbang, sehingga nantinya alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas tersebut bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat (Chapra, 2001:61). Pada titik inilah, materi bertujuan mewujudkan kesejahteraan di dunia, sedangkan spiritual merupakan panduan untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Lebih lanjut, keseimbangan antara material dan spiritual inilah yang oleh ilmuwan ekonomi Islam disebut sebagai prinsip ekonomi Islam dan digunakan sebagai pijakan pembahasan dari teori ekonomi Islam. Di luar itu, patokan yang utama selain keadilan, ekonomi Islam yang dikembangkan haruslah memuat prinsip-prinsip moral, kemaslahatan bersama, kepercayaan, tidak ada eksploitasi, dan pemihakan yang lebih besar bagi kaum yang tersisih (miskin). Poin-poin ini sebetulnya bukan hal yang baru, karena pemimpim semacam Mahatma Gandhi juga memformulasikan konsep pembangunan (ekonomi) yang sejenis. Gandhi, yang bukan 2 Sebagai contoh dari hal ini adalah praktek perbankan Islam atau yang lebih jamak disebut sebagai perbankan syariah serta wacana (dan sebagian praktek) akuntansi syariah. Untuk perbankan syariah, yang saat ini bisa dikatakan sebuah hasil nyata dari ekonomi Islam, dikarenakan tidak mendapatkan basis teori yang kokoh mengakibatkan implementasi perbankan syariah tidak sesuai dengan teori yang mendasarinya. Bahkan realitas yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan kaburnya perbedaan mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional, yakni dalam hal implementasi bagi hasil. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 10 isi.pmd 10 8/20/2008, 11:03 AM seorang ahli ekonomi maupun ahli etika, memformulasikan visi dan praktek pembangunan yang berfokus kepada kerjasama tanpa kekerasan antar masyarakat, bertanggung jawab dalam kepemilikan dan administrasi kesejahteraan, kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pembangunan perdesaan, dan penyediaan kebutuhan dasar (bukan keinginan) [Goulet, 1997:1161-1162]. Oleh karena itu, secara moral tidak dibenarkan kegiatan produksi dan konsumsi yang sangat berlebihan (misalnya barangbarang mewah), sementara pada saat yang bersamaan sebagian besar masyarakat masih terbenam dalam kemiskinan. Demikian pula, bila praktek perbankan Islam masih menempatkan agunan sebagai pertimbangan utama, maka secara prinsip hal itu belum mengamalkan nilai-nilai Islam itu sendiri (tetapi Islam juga menolak praktek belas kasihan). Peran Negara dalam Islam Terdapat beberapa pendapat dari ilmuwan ekonomi Islam mengenai peran yang harus dimainkan oleh negara (Chapra, 2001:74-77). Sebagian mengatakan bahwa negara harus memainkan peran yang maksimal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengertian ini bukan berarti segala sesuatu yang menyangkut aktivitas ekonomi, misalnya distribusi atas kebutuhan sekunder dan tersier, harus dimainkan oleh negara. Negara hanya berperan secara maksimal atas aktivitas ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Satu landasan yang harus menyertai peran yang demikian ini adalah prinsip keadilan, seperti telah dibahas pada uraian sebelumnya. Dengan adanya prinsip keadilan diharapkan perilaku-perilaku menyimpang yang berujung pada inefisiensi aktivitas ekonomi dapat diminimalisir, bahkan dihilangkan. Lebih lanjut, sisi positif dari peran negara yang demikian adalah distribusi pendapatan atas aktivitas ekonomi bisa diperoleh negara dan kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Pendapat berikutnya, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dan alDimasyqi, menyatakan negara tidak boleh berperan secara langsung terhadap aktivitas ekonomi. Argumentasi normatifnya, dalam sejarah ekonomi Islam, negara (pemerintah) tidak pernah melakukan aktivitas ekonomi yang sangat jauh (Chapra, 2001:76). Sedangkan argumentasi ilmiahnya, dalam posisi yang seperti itu negara mempunyai peran ganda, yakni sebagai regulator sekaligus eksekutor. Kondisi semacam ini walaupun telah dipandu oleh prinsip keadilan dan moral, akan rawan terhadap kemungkinan terjadinya konflik kepentingan yang berujung inefisiensi dan inefektivitas aktivitas ekonomi. Akhirnya, akan muncul pihak-pihak yang terlemparkan kepentingannya akibat konflik kepentingan tersebut. Hal ini jelas merupakan sumber konflik yang lebih dalam, karena para pecundang tersebut akan mencari cara agar kepentingannya bisa terwujud. Dengan pertimbangan tersebut, negara diharapkan tidak ikut campur dalam kegiatan ekonomi secara massif. Oleh karena itu, peran yang dikehendaki oleh negara sebatas sebagai regulator, sedangkan aktivitas ekonomi secara keseluruhan diserahkan ke pasar. Tentu saja, aktivitas ekonomi tersebut dipandu oleh regulasi yang diproduksi oleh negara (pemerintah). Tetapi, anjuran ini masih menyisakan satu soal, yakni masalah distribusi kesejahteraan. Dengan menyerahkan ke mekanisme pasar, negara tidak akan memperoleh secara langsung distribusi pendapatan atas aktivitas ekonomi, yang selanjutnya hasil distribusi yang diperoleh tersebut tidak dapat disalurkan kepada masyarakat. Tapi, hal ini akan sirna tatkala mekanisme pasar memberikan hasil maksimal ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 11 isi.pmd 11 8/20/2008, 11:03 AM kepada masyarakat, sehingga distribusi kesejahteraan dapat langsung terealisasi lewat instrumen pasar tersebut. Skema distribusi kesejahtaraan seperti ini dianggap lebih efektif karena dengan kondisi birokrasi yang masih jauh dari strandar menyebabkan porsi distribusi kesejahteraan yang seharusnya disalurkan secara sengaja diambil oleh birokrasi sehingga tidak pernah sampai kepada masyarakat. Selain itu, masih terkait dengan peran negara, ekonomi Islam menghendaki penghilangan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan jasa-jasa subsidi kepada semua orang, baik itu kaya maupun miskin. Namun, ekonomi Islam menghendaki pemberian jasa-jasa subsidi kepada mereka yang belum mampu membantu diri mereka sendiri dengan batasan bahwa jasa-jasa subdisi tersebut benar-benar yang dibutuhkan dan di sisi lain jasa-jasa subsidi itu dalam kapasitas yang bisa disediakan oleh negara (Chapra, 2001:77). Pengertian ini sekali lagi memperkuat uraian yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa ekonomi Islam tidak menghendaki belas kasihan secara berlebihan dan terus-menerus kepada masyarakat miskin. Pada sisi yang lain, masyarakat miskin juga tidak diperbolehkan meminta bantuan secara terus-menerus dengan berbagai dalih. Secara teoritis, hal ini dikarenakan bantuan yang terus-menerus, yang tidak disertai upaya menaikkan tingkat kemandirian masyarakat miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari, sama halnya membiarkan masyarakat miskin terus berada dalam kondisi ketidakberdayaannya. Sedangkan pengertian yang kedua, ekonomi Islam menganggap peran minimal yang harus dimainkan oleh negara merupakan sebuah mekanisme yang meyakini dampak tetesan ke bawah (trickle down effect). Hal ini dikarenakan dengan peniadaan subsidi kepada masyarakat maka mekanisme pasar yang dikehendaki dalam ekonomi Islam diyakini bisa memberikan nilai tambah secara langsung kepada masyarakat, baik kaya dan terutama miskin. Secara sepintas peran negara yang dikehendaki oleh ilmu ekonomi Islam tersebut mirip dengan peran yang dikehendaki oleh ilmu ekonomi konvensional (klasik dan neoklasik), di mana negara hanya memiliki peran minimal dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Selanjutnya, individu-individu dalam asumsi ilmu ekonomi konvensional tersebut diberikan kebebasan mutlak dalam melakukan aktivitas ekonomi tanpa ada sebuah batasan dan tanggung jawab yang menyertainya. Pada titik inilah perbedaan peran minimal negara yang dikehendaki oleh ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi konvensional mengemuka. Menurut Mehmet (1997:1205) dalam ilmu ekonomi Islam individu-individu diberikan kebebasan dalam menjalankan aktivitas ekonomi, baik untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun dalam rangka mengakumulasi kekayaannya. Namun, akumulasi kekayaan ini bukan upaya untuk melanggengkan kekayaan individu tetapi lebih sebagai tanggung jawab sosial yang melekat atas pendapatan (di atas rata-rata) yang telah diperolehnya. Maksudnya, dengan adanya akumulasi kekayaan tersebut akan dapat digunakan sebagai instrumen untuk menawarkan tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat relasi antara kebebasan individu dengan tanggung jawab di masyarakat (individual-in-community). Zakat dan Kesejahteraan Seperti telah disinggung dalam uraian di depan bahwa zakat dan pajak merupakan dua instrumen yang memiliki karakteristik yang bisa digunakan untuk meningkatkan dan membagi kesejahteraan umat manusia secara lebih merata dan adil. Sungguh pun demikian, dalam konteks saat ini (terutama di Indonesia) kedua instrumen tersebut tidak dapat saling menegasikan. Artinya, sistem pajak sebagai alat fiskal negara tidak dapat digantikan secara ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 12 isi.pmd 12 8/20/2008, 11:03 AM mutlak oleh zakat. Di sisi yang berseberangan, zakat dengan nilai-nilai mulia agama tetapi masih abstrak tidak dapat menggantikan sistem pajak. Oleh karena itu, kedua instrumen ini diposisikan secara legal dan legal terbatas. Maksudnya, pajak tetap diposisikan seperti saat ini, yakni secara legal yang harus dipenuhi oleh warga negara yang menurut ketentuan yang berlaku dan bagi wajib pajak yang lalai atas kewajibannya dikenakan sanksi sesuai aturan yang ada pula. Sementara itu, dalam konteks zakat yang intinya bertujuan supaya potensi maksimal yang ada dapat digunakan secara berkesinambungan dalam rangka meningkatan kesejahteraan, maka negara wajib masuk untuk meregulasi pengelolaan zakat. Pada titik inilah terlihat bahwa kewajiban untuk membayar zakat tetap menjadi tanggung jawab pribadi umat Islam dan negara tidak boleh memaksa umat muslim untuk membayar zakat. Pasalnya, urusan membayar zakat merupakan hubungan vertikal antara umat manusia dengan Tuhannya, sehingga negara tidak berhak turut memaksanya. Sedangkan dalam konteks pengelolaan zakat maksudnya adalah negara dengan peran regulator yang dapat dimainkannya harus membuat serangkaian aturan main supaya terdapat otoritas legal yang berhak menarik zakat, menyalurkan zakat, membuat skema maksimalisasi pengunaan zakat, dan pemantauan maksimalisasi dana hasil zakat. Pengertian tersebut membawa kepada pemahaman bahwa zakat (baik fitrah, mal, maupun yang lainnya) tidak boleh disalurkan secara langsung dalam bentuk uang tunai ataupun barang kebutuhan pokok lainnya (misalnya beras). Hal ini dikarenakan jika zakat disalurkan dengan skema seperti itu, maka zakat tak ubahnya hanya menjadi alat yang terus menenggelamkan manusia dalam kubangan kemiskinan. Dengan nilai nomimal yang tidak tidak terlalu besar pasti menyebabkan penggunaan atas zakat yang diberikan kepada masyarakat miskin hanya dapat digunakan dalam jangka waktu yang pendek. Realitas ini pada akhirnya hanya memastikan keamanan masyarakat miskin hanya dalam hitungan hari (bahkan bisa hanya sampai satu hari), sehingga pasca penggunaan hasil zakat itu masyarakat miskin tetap berada dalam keadaan subsisten. Kondisi ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh agama (dalam hal ini adalah Islam), karena nilai-nilai mulia agama pasti menghendaki ketidaksejahteraan umat manusia (walaupun masalah kaya dan miskin telah menjadi takdir seseorang) dapat diminimalisir, sehingga kebebasan kesejahteraan yang setara dapat diakses sekaligus dinikmati oleh setiap manusia. Oleh karena itu, pengkonkretan atas nilai-nilai mulia agama yang abstrak mesti dilakukan oleh negara. Lebih lanjut, dengan masuknya negara dalam pengelolaan zakat, terdapat empat regulasi formal umum yang bisa diintrodusir oleh negara. Regulasi tersebut lebih tepat dalam bentuk Undang-Undang (UU), karena selain lebih mengikat juga disebabkan sampai saat ini tidak ada payung hukum yang mengakomodasi pengeloaan zakat. Pertama, pihak-pihak yang mengelola zakat. Tidak jarang urusan pengelolaan zakat memunculkan konflik horizontal sesama umat Islam, karena wilayah penarikan zakat yang selama ini menjadi domainnya diambil oleh sesama pengelola zakat. Oleh karena itu, diperlukan otoritas legal yang mengkoordinir secara nasional pengelolaan zakat. Tentunya akan lebih tepat jika otoritas legal tersebut merupakan lembaga independen di luar struktur pemerintah. Hal ini terkait dengan profesionalisme pengeloaan zakat, karena jika berada di dalam lingkaran struktur birokrasi pemerintah pasti terkendala dengan berbagai aturan yang sifatnya administratif, sehingga esensi zakat mau tidak mau pasti lebih inferior dari urusan administrasinya. Pada aras ini pulalah nampak bahwa ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 13 isi.pmd 13 8/20/2008, 11:03 AM pengelolaan zakat lebih fleksibel dari pada penarikan sekaligus alokasi dari sistem pajak. Sungguh pun demikian, pengelolaan zakat tersebut harus mengakomodasi lembaga pengelolaan zakat yang selama ini telah ada, sehingga pengelolaan zakat secara nasional ini lebih memastikan terpolanya koordinasi dan justru tidak menimbulkan gesekan sosial. Selain itu, bagi wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak ada pengelolaan zakat sekarang harus dibikin ada. Dengan demikian, maksimalisasi atas penggunaan potensi besar zakat juga lebih besar pula. Di luar itu, biaya yang dikeluarkan untuk membayar amil juga harus ditentukan secara jelas dan tegas, sehingga para amil (yang akhirnya bisa pula menjadi profesi independen) dalam menjalankan tugasnya tidak hanya dipandu oleh pahala saja. Kedua, tata niaga zakat. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa mekanisme penarikan, distribusi, dan penyampaian zakat dapat dilakukan tepat sasaran. Ketiga, skema penggunaan. Regulasi ini intinya mengatur bahwa zakat tidak boleh disalurkan secara langsung kepada masyarakat miskin. Oleh karena itu, zakat tersebut harus dikekola secara efektif, sehingga bisa menjadi modal kerja produktif yang dapat difungsikan untuk menghasilkan pendapatan rutin masyarakat miskin. Dengan demikian, regulasi ini mencoba mengkonkretkan nilai-nilai mulia agama yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan umat. Keempat, pendampingan. Masyarakat miskin dengan karakteristik keterampilan yang rendah dan tingkat pengetahuan yang tidak tinggi pula menyebabkan pengelolaan atas zakat yang diberikan tersebut jelas tidak maksimal. Oleh karena itu, menjadi aktifitas sia-sia ketika seperangkat aturan main zakat yang telah diformulasikan tetapi maksimalisasi atas penggunaan zakat itu tidak ada. Dengan adanya pendampingan ini diharapkan masyarakat miskin yang sebelumnya menganggur menjadi mendapatkan pekerjaan, sehingga akhirnya punya penghasilan rutin yang berguna untuk meninggalkan pola hidup yang subsisten. Catatan Penutup Terlepas dari takdir yang telah digariskan oleh Tuhan kepada umat manusia, kesenjangan distribusi kesejahteraan masyarakat (dalam tataran global, termasuk di Indonesia) merupakan hasil dari sistem yang dibangun oleh peradaban manusia. Oleh karena itu, mau tidak mau peradaban yang ada selama ini harus turut menanggung dosa atas timbulnya ketidakseimbangan sosial tersebut. Pada sisi yang lain, nilai-nilai mulia agama dalam zakat, yang sejatinya memiliki tujuan untuk meningkatkan martabat sosial manusia, justru masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat suci sehingga dibiarkan begitu saja tanpa ada tindak lanjut untuk memodifikasi skema tersebut. Dengan kenyataan ini, zakat tidak dapat difungsikan sebagai instrumen agama dalam memeratakan ketimpangan kesejahteraan, sedangkan di sisi lain tidak jarang justru menenggelamkan masyarakat dalam kubangan kemiskinan. Ini semua menunjukkan bahwa zakat dan agama masih dimaknai sebagai sesuatu yang terpisah dengan dunia, sehingga ketika menjalankan kewajiban zakat yang terpikir hanya urusan kehidupan setelah ketiadaan (mati). Akhirnya, uraianuraian di atas yang mencoba memberikan pijakan atas pemosisian zakat dan pajak sebagai instrumen fiskal negara diharapkan benar-benar memberikan kontribusi dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan manusia. Dengan demikian, zakat bukan lagi sekadar akuntabilitas manusia kepada Allah SWT atas limpahan rezeki yang diterimanya, tetapi juga sebagai instrumen keadilan yang bisa mewujudkan keseimbangan sosial. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 14 isi.pmd 14 8/20/2008, 11:03 AM DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2008 Chapra, M. Umer. 2001. The Future of Economics: An Islamics Perspevtive. Landscape Baru Perekonomoian Masa Depan. Terjemahan. Shari’ah Economics and Banking Institute. Jakarta IMF. 2001. Finance and Development. June Goulet, Denis. 1997. Development Ethics: A New Discipline. International Journal of Social Economics. Vol. 24, No. 11: 1160-1171 IMF. 2001. Finance and Development. Vol. 38, No. 4 Kerah, A. Sonny. 1996. Pasar Bebas, Keadilan, dan Peran Pemerintah: Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith. Penerbit Kanisius.Yogyakarta Mehmet, Ozay. 1997. Al-Ghazali on Social Justice: Guidelines for a New World Order From An Early Medieval Scholar. International Journal of Social Economics. Vol. 24. No. 11: 1203-1218 Mubyarto. 1995. Ekonomi dan Keadilan Sosial. Aditya Media. Yogyakarta —————— 1997. Ekonomi Rakyat, Program IDT, dan Demokrasi Ekonomi Indonesia. Aditya Media. Yogyakarta ——————. 2005. Ekonomi Terjajah. Pustep UGM. Yogyakarta Oslington, Paul. 2000. A Theological Economics. International Journal of Social Economics. Vol. 27, No. 1: 32-44 Rawls, John. 1999. A Theory of Justice. Revised Edition. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge – Massachusetts. USA ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 15 isi.pmd 15 8/20/2008, 11:03 AM Zakat Antar Bangsa Muslim: Menimbang Posisi Realistis Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil Asep Saefuddin Jahar Abstrak Peran masyarakat sipil dan pemerintah dalam pengelolaan zakat dapat dilakukan secara aktif dan koordinatif. Peran pemerintah berada pada pemberi legitimasi politik dan penyedia data dalam pengembangan zakat, sedang lembaga pengelola zakat masyarakat sipil bertindak sebagai eksekutif dalam pengumpulan dan pengelolaan zakat. Hubungan keduanya dilakukan secara sinergi dan memiliki akses langsung satu sama lain baik secara koordinatif maupun kontrol. Pada tataran praksis pada lembaga masyarakat sipil dibentuk koordinasi vertikal dan horizontal. Kordinasi vertikal dilakukan oleh lembaga holding company dalam mengontrol penghimpunan dan penyaluran zakat di lembaga-lembaga zakat, sedang koordinasi horizontal dimaksudkan untuk melakukan kerjasama antar lembagalembaga. Hubungan model ini mensintesakan keterlibatan negara dan masyarakat sipil secara aktif. Model seperti ini dapat memperkuat fungsi organisasi masyarakat dan fungsi pemerintah. Kata kunci: Holding Company, vertical, horizontal, organisasi masyarakat sipil, pemerintah, civil society A Pengantar da dua model pengelolaan zakat. Pertama, zakat dikelola oleh negara dalam sebuah departemen. Kedua, zakat dikelola lembaga non-pemerintah (masyarakat sipil) atau semipemerintah dengan mengacu pada aturan yang ditetapkan oleh negara.1 Model pertama, pengumpulan dan pendistribusian zakat ditetapkan oleh kebijakan pemerintah dengan melihat pada kebutuhan masyarakat sehingga zakat mirip seperti pajak yang dilakukan pada negara-negara sekuler. Sistem pengelolaan zakat seperti ini bersifat langsung, artinya warga masyarakat muslim berkewajiban membayar zakat dengan cara dipotong langsung dari harta yang dimilikinya. Sementara pada model kedua, pengelolaan zakat dilakukan oleh masyarakat sipil dengan cara suka rela sedang negara hanya bersifat sebagai fasilitator atau regulator. Kedua model ini memiliki keunggulan dan kelemahan. Kelemahan model pertama, negara sangat dominan sedang rakyat tidak banyak dilibatkan. Sedang model kedua, masyarakat sangat dominan dan pengumpulan zakat pun bersifat suka rela sehingga pendapatan zakat cenderung kecil. Kedua model ini sebaiknya dipadukan untuk dipakai di Indonesia dengan cara melibatkan masyarakat sipil dan negara. Cara ini dipakai karena ada anggapan bahwa negara Indonesia bukanlah negara Islam sehingga negara tidak boleh ikut campur jauh pada urusan ibadah termasuk zakat, sedangkan negara cukup sebagai fasilitator saja. Terlepas dari perdebatan ideologis dan politis masalah zakat dan negara, perlu dijelaskan di sini bagaimana memerankan negara dan masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat. 1 Pengelolaan zakat seperti ini dilakukan di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Pakistan, Kuwait, Bahrain dsb. Lihat Sigrid Faath (ed.), Islamische Stiftungen und Wohltaetige Einrichtungen mit entwicklungspolitischen Zielsetzungen in arabische Staaten (Hamburg: Deutches Orient-Institut, 2003). ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 16 isi.pmd 16 8/20/2008, 11:03 AM Tulisan ini akan menguraikan bagaimana pengelolaan zakat dilakukan dengan baik oleh negara dan masyarakat sipil dalam konteks Indonesia. Masa Awal Islam Agama dan negara dalam sejarah Islam klasik menyatu dalam sistem negara, karena nabi, imam atau khalifah adalah pimpinan negara sekaligus urusan keagamaan. Keterlibatan negara secara langsung pada segala urusan juga dipengaruhi oleh populasi masyarakat yang masih sedikit dan kohesi masyarakat masih kuat dalam suku dan agama. Dalam pengelolaan zakat, imam / khalifah dapat mudah mengontrol langsung.2 Mekanisme ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sahabat hingga Dinasti Otsmani. Pada masa Rasulullah SAW, Muadz bin Jabal misalnya, bertugas mengelola zakat di daerah Yaman dan ia langsung memungut zakat dari masyarakat muslim secara langsung. 3 Peran Muadz sebagai representasi negara memiliki otoritas mengumpulkan zakat untuk didistribusikan kepada kelompok miskin sebagai perwujudan keadilan sosial. Kewenangan negara di sini menjadi penentu keberlangsungan pengelolaan zakat. Ada alasan teologis mendasari model perintah langsung pada masa itu : pertama, sebagai perintah agama dan kedua sebagai distribusi harta untuk keadilan. Ajaran zakat mempertegas adanya kepentingan ekonomi, yaitu memberikan manfaat bagi si miskin di samping sebagai pelaksanaan ibadah. Peran strategis ini mendorong negara untuk terlibat, karena negara punya kewenangan untuk melindungi rakyatnya dari monopoli dan bertanggungjawab mewujudkan hidup sejahtera. Fungsi kedua zakat adalah ibadah kepada Allah dan perwujuan keadilan sosial dimaknai sebagai ajaran ibadah yang memiliki dua dimensi, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghayr mahdhah. Ibadah mahdhah berarti zakat memiliki sistem tertentu yang baku seperti komoditas, waktu dan jumlah tertentu yang harus dibayarkan. Karena itu, terutama bagi kalangan literalis, aspek-aspek zakat lebih dititikberatkan pada unsur-unsur ini. Sedang ghayr mahdhah, zakat memiliki fungsi sosial, yaitu perlindungan bagi fakir dan miskin. Artinya zakat berperan sebagai devisa negara yang dipungut dari para orang mampu (muzakki) untuk kepentingan orang-orang miskin. Di sinilah zakat akan bersinggungan dengan aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik. Karena itu ruang-ruang ini akan melibatkan berbagai unsur masyarakat. Bagaimana peran ini dilakukan di masyarakat, ketika penyebaran Islam sudah meliputi berbagai negara yang tidak berdasarkan pada Islam. Pada contoh kasus zaman Nabi Muhammad SAW atau sahabat, pengelolaan zakat dilakukan oleh pemerintahpemerintah daerah. Hubungan pusat dan daerah hanya bersifat koordinatif, terutama dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat. Muadz bin Jabal, misalnya, bertindak sebagai Gubernur Yaman, ia melakukan pemungutan dan pendistribusian zakat di daerahnya. Zakat saat itu berperan ganda, sebagai dakwah dan kewajiban setiap muslim. 2 3 AlFitri, The Law of Zakat Management and NonGovernmental Zakat Collectors in Iindonesia, “ in The International Journal of Not-for-Profit Law, Vol. 8. (January, 2006): 58. M Shiddiq al-Jawi, Kejayaan Ekonomi pada Masa Khilafah Islamiyah dalam www.khilafah1924.org. Dalam hadits diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: “ Ketika Nabi SAW hendak mengutus Muaz ke Yaman beliau bersabda, “ sesungguhnya engkau Muadz akan mengunjungi suatu kaum dari Ahl al-Kitab di Yaman. Begitu kamu telah menjumpai mereka, hendakhlah kamu seru mereka untuk bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka mentaati seruanmu itu, sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kamu supaya melakukan shalat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka mentaati seruanmu, maka kabari mereka bahwa Allah SWT juga mewajibkan zakat kepada mereka untuk kemudian diserahkan kepada fakir miskin yang ada disekeliling mereka…” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Nasa’i). Kuntarno Noor Aflah dan Mohd Nasir Tajang (Ed.), Zakat dan Peran Negara (Jakarta: Forum Zakat, 2006), hal. 6. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 17 isi.pmd 17 8/20/2008, 11:03 AM Dalam hal dakwah, zakat memberikan perlindungan kepada fakir miskin dari monopoli harta oleh orang kaya. Karena itu negara punya kepentingan untuk terlibat langsung. Model pengelolaan zakat secara langsung oleh negara seperti ini ideal, karena sosok Nabi Muhammad SAW dan Muadz memiliki komitmen kuat, sehingga akuntabilitas dan proses pendistribusian akan terkontrol. Pada sisi lain, populasi penduduk masih memungkinkan peran langsung negara dalam pengelolaan zakat. Namun ada pelajaran penting di sini yaitu hubungan pusat (Madinah) dan daerah (Yaman) berjalan dengan baik, yaitu pemenuhan zakat bagi fakir miskin dilakukan oleh daerah di mana zakat terkumpul, sebelum disebarkan pada wilayah lain dan pemerintah pusat tetap mengontrol proses pengelolaannya.4 Di Indonesia peran tunggal pemerintah dalam pengelolaan zakat akan berbeda dengan kasus di atas, sebab sistem birokrasi dan good governance masih lemah. Karena itu keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan. Namun melepaskan pengelolaan zakat pada organisasi masyarakat sipil pun akan berdampak negatif, karena setiap lembaga memiliki kecenderungan ideologis, budaya dan kepentingan yang beragam. Karena itu, peran pemerintah dan masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat adalah dua sisi dari satu mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Negara memberikan legitimasi politik dan penyedia sarana publik sedang masyarakat sipil berperan sebagai pelaksana dan kontrol terhadap pelaksanaan zakat di masyarakat. Namun pertanyaannya bagaimana peran keduanya bisa bersinergi secara baik, terutama dalam pengelolaan dan pendayagunaan zakat sehingga mencapai tujuan zakat yaitu mencapai masyarakat sejahtera? Pencarian peran seimbang dalam pengelolaan zakat antara pemerintah dan masyarakat sipil belum ada tempat yang ideal. Dilihat dari perspektif politik, pemerintah terbentuk karena kekuatan politik yang terdiri dari berbagai unsur kepentingan-kepentingan politik kekuasaan sedang masyarakat sipil pada sisi lain sangat heterogen dengan berbagai aliran ideologi. Bila dalam masyarakat sipil ruang publik menjadi faktor penting untuk melibatkan individu-individu bersamaan dengan hak-haknya, bisakah zakat ditempatkan pada ruang yang bebas seperti ini. Hal ini tentu menimbulkan sisi keunggulan dan kelemahannya. Keunggulan dan kelemahan itu akan dijelaskan dalam tulisan ini. Zakat dan Negara Peran penting negara bagi sebagian para ahli5 dihubungkan dengan perintah agama seperti dijelaskan dalam Al Qur’an 9:103, di mana Nabi Muhammad SAW berperan penting dalam pengelolaan zakat karena jabatannya sebagai pemimpin negara di samping sebagai Rasul. Perintah ayat ini menjelaskan peran aktif negara dalam zakat seperti bunyi ayat : “ambillah sedekah dari harta-harta mereka.” Di samping itu ayat lain mengelaborasi kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat seperti dalam ayat 9: 60, yaitu pembagian zakat disalurkan pada kelompok penerima tertentu yang mana pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga atau institusi. Ayat ini memberikan pesan bahwa pendistribusian zakat tidak bisa ditentukan oleh asumsi individu atau kelompok tertentu saja, tetapi memerlukan standar baku sesuai dengan tingkat kehidupan masyarakat setempat. Dan negara dalam konteks ini punya otoritas dan sumber data yang penting, sebab didukung oleh departemen-departemen. Bahkan Kahf menyimpulkan bahwa ayat di atas mengindikasikan negara perlu terlibat langsung dalam pengelolaan zakat dengan melibatkan masyarakat bukan dilaksanakan 4 5 Kuntarno Noor Aflah, Ibid. hal. 7 http://monzer.kahf. com/papers/English/zakah.pdf ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 18 isi.pmd 18 8/20/2008, 11:03 AM secara individual. Melepaskan negara dari pengelolaan zakat, menurut Kahf, akan beresiko atas pentingnya zakat bagi masyarakat. Dengan pengelolaan zakat oleh lembaga, orang kaya tidak merasa zakat yang dikeluarkannya sebagai kebaikan hati, tetapi sebagai kewajiban dan fakir miskin tidak merasa berhutang budi pada orang kaya karena menerima pembagian zakat. Karena itu zakat ditafsirkan juga sebagai distribusi kekayaan di kalangan umat Islam untuk mempersempit jurang pemisah antara orang kaya dengan orang miskin dan menghindari penumpukan kekayaan di kalangan orang tertentu saja.6 Masalah yang muncul adalah bagaimana jika sistem pemerintahan negara itu tidak berasaskan Islam. Apakah negara perlu terlibat dalam pengelolaan zakat? Jika tujuan zakat adalah distribusi harta untuk keadilan di kalangan dhu’afa yang ujungnya untuk mengentaskan kemiskinan, maka lembaga khusus adalah penting dalam pengelolaan zakat. Apabila negara tidak mempunyai lembaga pengumpulan zakat sendiri, badanbadan hukum swasta di bawah pengawasan pemerintah dapat berperan sebagai pengelola zakat.7 Hubungan antara lembaga zakat yang dikelola sipil dan negara terletak pada peran dan pelaksanaan kewajiban. Secara hukum, zakat perlu dikelola oleh sebuah lembaga sehingga pelaksanaan zakat dapat terlaksana dengan baik. Jika negara tidak terlibat untuk mengelola zakat, karena negara berdasar pada sistem sekuler, maka lembaga volunteer atau masyarakat sipil dapat melakukan perannya.8 Alasan ini disebabkan karena adanya kewajiban pelaksanaan zakat, dan bisa dilakukan oleh lembaga apa pun. Pengelolaan zakat di Indonesia berkaitan erat dengan peran masyarakat sipil dan negara (pemerintah). Peran seperti ini dapat dilakukan keduanya terkait dengan bagaimana kita menempatkan masyarakat sipil dalam konteks negara demokrasi. Bila masyarakat sipil atau civil society dipersempit pada organisasi pengelola zakat seperti LSM, ormas atau lembaga zakat tertentu, maka lembaga ini berperan dalam ruang publik di mana berbagai anggota masyarakat terlibat. Sebab, civil society itu sendiri mensintesakan kepentingan individu dan negara dalam ruang publik yang dapat menjadi terpeliharanya kepentingan individu dan tertibnya kehidupan umum. Jadi hubungan civil society dan negara bukan dipersempit antara hubungan lembagalembaga tertentu berhadapan dengan negara. Jean L Cohen dan Arato mengingatkan bahwa civil society perlu dibedakan dengan masyarakat politik dan masyarakat ekonomi. Kedua kelompok ini menurutnya akan terlibat langsung dengan penguasa, terutama dalam kekuasaan dan produksi sumber-sumber ekonomi.9 Jika organisasi masyarakat sipil dalam pengeoloaan zakat ditempatkan dalam konteks ini, berarti sinergi yang diperankan adalah publik secara aktif. Artinya, asosiasi atau organisasi itu muncul secara sukarela, mandiri, rasional dan partisipatif baik di dalam wacana maupun praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Jika itu bisa dikembangkan maka organisasi masyarakat sipil akan berperan sebagai kekuatan kritis reflektif (reflective forces) di dalam masyarakat.10 Kembali pada tujuan zakat, yaitu mengurangi penguasaan modal di kelompok tertentu pengelolaan zakat dalam Islam sangat 6 7 8 9 10 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), 52. Ibid 54-55. AlFitri, op cit. Hal 55-64. Juga lihat Mohammed Arif, “Introduction” dalam Mohammed Ariff (Ed.) IsIam and The Economic Development Development of Southeast Asai: The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991), 4. Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 6-7. Lihat, Robert D. Putnam, Robert Leonardi, Raffaella Y Nanetti, Making Demokrasi Work: Civic Traditions in Modern Italy (Princeton: Princeton University Press, 1993). ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 19 isi.pmd 19 8/20/2008, 11:03 AM beragam, mulai dari peran aktif Imam, negara, tokoh atau lembaga tertentu hingga pengelolaan secara sukarela dan musiman. Hal ini menjadi potret buram tentang zakat. Adakah contoh administrasi zakat yang berperan seperti pajak yang memiliki kekuatan untuk memaksa dan memberikan kontribusi langsung pada masyarakat lemah dengan dibarengi sistem good governance? Bila hal ini dirunut, informasi yang penting adalah pada masa Islam klasik, di mana negara dipimpin langsung oleh imam atau khalifah. Jika itu dijadikan contoh, bagaimana diterapkan di suatu masyarakat yang plural? Sejarah Zakat Indonesia Pengelolaan zakat di Indonesia mengalami beberapa fase sejalan dengan perkembangan sosial politik negara. Pengalaman itu dialami pada masa penjajahan, kemerdekaan dan masa reformasi. Kecuali masa reformasi, pengelolaan zakat pada masa penjajahan dan kemerdekaan (orde baru dan orde lama) memberikan gambaran buram fungsi zakat di Indonesia. Antara komunitas muslim dengan hasil zakat tidak memberikan gambaran seimbang. Artinya, pembayaran zakat mungkin masih bersifat individual sehingga tidak ada data jumlah muzakki. Atau zakat belum dibayarkan secara baik oleh umat Islam. Dan jika pembayaran zakat pun dilaksanakan, zakat hanya digunakan sebagai karitas, berperan sebagai derma untuk kepentingan sesaat. Dalam kasus ini, zakat biasanya dibayar langsung pada orang tertentu yang ia sukai atau atas seruan tokoh masyarakat yang ada di wilayahnya. Tidak ada data akurat berapa zakat dapat dikumpulkan, karena zakat dianggap sebagai rutinitas dan ubudiyah saja. Dari satu tempat ke tempat lain, jumlah pengumpulan zakat sangat beragam karena mengikuti kesadaran dan keaktifan tokoh atau kyai.11 Pengumpulan zakat digunakan untuk kepentingan konsumtif atau bahkan disalurkan keluar dari ketentuan zakat. Bahkan pada masa penjajahan zakat diselewengkan oleh para penghulu.12 Pada masa penjajahan daerah Priangan dikenal dengan pengelolaan zakatnya yang cukup baik. Keberhasilan pengumpulan zakat di daerah ini karena keterlibatan kyai atau tokoh agama. Namun dalam prakteknya, pengumpulan zakat yang dilakukan kyai hanya sebagai representasi penghulu,13 sebab semua hasil pengumpulan ini diserahkan pada penghulu dan sering tidak disalurkan pada masyarakat miskin. Seperti yang dicatat oleh Snouck Hurgronje, zakat didistribusikan kepada wong putihan (di Jawa) atau santri, atau lebai yang masuk kategori fakir dan miskin. Di sini tidak ada penjelasan siapa yang menentukan miskin atau standar kemiskininan sehingga ia atau mereka mendapatkan hak dari pengumpulan zakat. Dijelaskan bahwa pengulu, naib, petugas masjid, guru agama, murid pesantren, penjaga makam, fakir miskin dan para amil mendapat bagian zakat. Negara pada masa itu melepaskan diri dari pengelolaan zakat, karena negara khawatir dituduh terlalu ikut campur dalam urusan agama. Sebab itu penyelewengan atau pelanggaran dalam zakat diselesaikan secara konvensional atau adat, tanpa melibatkan negara. Namun peran penghulu masih dominan karena ia memiliki kewenangan dalam pengumpulan zakat yang lebih bersifat “memaksa”, tetapi bukan untuk mustahik tetapi untuk gajinya.14 Pada masa Orde Baru, kekhawatiran terhadap Islam ideologis memaksa pemerintah untuk tidak terlibat dalam urusan zakat. Bahkan secara struktural pun, pemerintah tidak secara tegas memberikan dukungan legal 11 12 13 14 Kuntarno Noor Aflah, op cit., hal 22. Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires: The Japanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration 18821942 (Jakarta: INIS, 2001). Kuntarno Noor Aflah, op cit hal 23. Ibid, hal 25; juga lihat Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Abad ke-19 (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984), 228. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 20 isi.pmd 20 8/20/2008, 11:03 AM formal. Zakat sering dikumpulkan masih dengan cara konvensional dan musiman. Sehingga dana zakat tidak memberikan dampak yang berarti. Di sinilah hubungan zakat (agama) dan negara masih saling curiga. Perlakuan pemerintah Orde Baru disebabkan oleh tekanan psikologis politik yang kuat, karena pengalaman politik persaingan antara nasionalis, sekuler dan Islam.15 Dan sejak tahun 1968, Presiden Soeharto hanya memberikan ruang pengelolaan zakat melalui Keputusan Presiden No.7/PRIN/10/1968.16 Aturan ini memberikan dorongan pada pemda-pemda di daerah, seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Aceh, untuk mendirikan lembaga zakat yang langsung dikontrol oleh pemerintah daerah. Dengan dimulainya sistem demokrasi, tepatnya setelah turunnya Presiden Soeharto pada tahun 1998, UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, adalah awal dari terbukanya keterlibatan publik secara aktif. Peran lembaga zakat, bersama dengan struktur negara telah menfasilitasi pengaturan zakat dengan lembaga-lembaga khusus yang dilindungi oleh UU. Sejak saat itulah pengelolaan zakat dapat dilakukan secara masif dan terbuka baik oleh lembaga swasta (masyarakat sipil) maupun oleh pemerintah. Namun dengan berdirinya lembaga-lembaga zakat, permasalahan kemudian ditemukan dalam konteks sinergi dan mekansime kerja sama baik antar lembaga swasta ataupun pemerintah dan swasta.17 Lembaga zakat yang dibentuk oleh organisasi masyarakat sipil cenderung dominan dan independen. Pengelolaan zakat seperti ini masih lemah. Kelemahan itu ada pada sistem pengumpulan zakat dan pendistribusiannya. Pengumpulan zakat antar lembaga-lembaga zakat menampilkan model persaingan, karena pembayaran zakat bersifat suka rela. Setiap lembaga zakat berlomba menarik muzakki. Dalam pendistribusiannya, lembaga zakat bersandar kepada program mandiri, dan lemah dalam koordinasi dengan lembaga zakat lain. Karena itu, peran negara dan masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat bisa dilakukan secara bersama-sama tanpa mengabaikan peran satu sama lain seperti telah dilakukan oleh negara-negara yang telah lama mengelola zakat secara masif. Pengelolaan Zakat di Negara Islam Pengelolaan zakat di negara Islam atau mayoritas penduduk muslim bisa dijadikan gambaran bagaimana lembaga negara atau masyarakat sipil bekerja, terutama berkaitan dengan optimalisasi peran zakat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di Saudi Arabia, misalnya karena negara secara tegas berdasar atas Islam pengelolaan zakat sejak tahun 1951 diatur dengan UU. 18. Walaupun demikian, peran individu masih diberi peluang besar untuk menyalurkan zakatnya sendiri secara langsung dengan batas maksimal setengah dari total wajib zakat, sedang separuhnya diserahkan ke Departemen Keuangan. Namun, bagi perusahaan zakatnya disetorkan ke Departemen Keuangan.19 Peran Departemen Keuangan sebagai lembaga negara, bekerja sama dengan Departemen Sosial yang bertugas menyalurkan zakat kepada mustahik bersinergi dengan baik. Sistem zakat, bagi warga Saudi, adalah sama seperti pajak, karena zakat adalah identik dengan pajak. Sedang warga non-Saudi, mereka terkena kewajiban pajak yang perlu dibayarkan. Untuk penentuan mustahik, negara memiliki standar baku yang dihasilkan dari kajian mendalam oleh Departemen Sosial dan tenaga kerja. Di sinilah peran negara 15 16 17 18 19 Bahtiar Effendy, Islam and The State in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003). AlFitri, op cit., hal 61. Kuntarno Noor Aflah, op cit., hal 64-65. Royal Court No. 17/2/28/8634 tertanggal 29/6/1370H/ 7/4/1951, berbunyi: “Zakat syar’i yang sesuai dengan ketentuan syari’at Islamiyyah diwajibkan kepada individu dan perusahaan yang memiliki kewarganegaraan Saudi.” Kuntarno Noor Aflah, op cit., hal 33-34. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 21 isi.pmd 21 8/20/2008, 11:03 AM menjadi penting, terutama dalam melihat prioritas kepentingan muzakki. 20 Kelemahannya adalah peran negara terlalu dominan sehingga keterlibatan masyaraka sipil baik sebagai pengelola atau pengontrol administrasi zakat sangat lemah. Berbeda dengan Saudi Arabia, Sudan memilik pengalaman menarik, yaitu zakat dibayarkan secara sukarela sebelum diundangkan pada tahun 1984. Kebutuhan untuk membuat zakat ini ternyata tidak semata-mata pada aspek perintah agama, tetapi karena hasil perolehan zakat dari tahun ke tahun tidak signifikan. Kewajiban zakat di Sudan hanya bagi mereka yang muslim baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Yang menarik dari contoh Sudan, penghimpunan zakat dilakukan satu atap dengan penghimpun pajak. Pada saat pendistribusian, Departemen Keuangan dan perencanaan ekonomi nasional berperan dalam pembagian zakat sesuai dengan fatwa Majelis Fatwa Nasional. Di sini peran negara cukup dominan dengan melibatkan masyarakat dalam hal pengawasan. Sistem pengelolaan zakat seperti ini nampaknya ideal di mana terjadi sinergi antara masyarakat dan negara. Dari sisi negara, ia memiliki prioritas program yang harus diselesaikan terutama dalam hal kepentingam fakir miskin berdampingan dengan masyarakat sipil yang berperan untuk mengontrol. Di Pakistan, zakat dikelola secara sentralistik yaitu oleh lembaga Central Zakat Fund (CZF) dipimpin secara kolektif oleh enam belas anggota, salah satunya adalah Hakim Agung Pakistan. Namun unsur masyarakat sipil terlibat yaitu kelompok ulama. Lembaga zakat ini berperan penting dalam menentukan kebijakan dan pengawasan tentang zakat. Secara struktural hirarki pengolala zakat ini tersebar ke negara-negara provinsi hingga tingkat unit yang ada di daerah. Pemerintah mempunyai wewenang untuk menentukan pemotongan zakat bersamaan dengan dimulainya awal Ramadhan. Pengumpulan zakat yang dilakukan dengan debit langsung21 dilakukan oleh lembaga keuangan seperti bank dan selajutnya disalurkan ke CZF. Dana zakat yang terhimpun dipisahkan dari account perbendaharaan pemerintah dan pengelolaannya dikelola secara langsung oleh CZF. Jika dilihat dari struktur dan sistem pengelolaan zakat, peran negara, karena Pakistan sebagai negara Islam, sangat dominan. Beranjak dari peran penting keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat, hubungan negara dan lembaga-lembaga non-pemerintah sangat penting. Hubungan keduanya didasarkan pada aturan legal formal dan operasional dalam mewujudkan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan zakat sebagai keadilan sosial sistem hubungan negara dan masyarakat sipil perlu diterapkan secara jelas dalam kerangka good governance. Masyarakat Sipil Versus Negara Zakat dalam sistem ekonomi, negara berperan sebagai distribusi kapital bagi masyarakat, karena mekanisme dari zakat mengandung aspek distribusi, alokasi dan stabilisator perekonomian.22 Pendistribusian zakat dari si muzakki ke mustahik, zakat berperan sebagai alat distribusi untuk meratakan pemilikan sumber daya ekonomi. Dengan distribusi kapital kemampuan daya beli masyarakat akan memperkuat pergerakan produksi dan konsumsi. Fungsi alokatif, sumber daya dari si kaya kepada si miskin membantu kehidupan si miskin sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan cara ini pertumbuhan ekonomi melalui pendapatan penduduk meningkat. Karena itu, penghasilan zakat dalam sistem ekonomi modern berperan bukan saja sebagai perintah 20 21 22 Ibid, hal 36. Pemotongan langsung dari tabungan, deposito, sertifikat deposito, sertifikat investasi, obligasi pemerintah, saham perusahaan dan polis asuransi. Lihat ibid, hal 42-43. Djarot Setiawan, Optimalisasi Lembaga Zakat, Titik Temu Zakat dan Pajak (Jakarta: Peduli Umat, 2001), 96-99. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 22 isi.pmd 22 8/20/2008, 11:03 AM agama, tetapi memiliki arti lebih luas yaitu sebagai modal peningkatan pertumbuhan dan laju penggerak pembangunan. Jika demikian, maka zakat memerlukan sistem dan instrumen yang dapat mengatur pengelolaanya. Karena itu, peran negara dan masyarakat menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Dalam aspek mana keterlibatan pemerintah dan seperti apa bisa diperankan adalah sebuah mekanisme yang perlu dirumuskan secara konstruktif. Seperti contoh di atas, dua model sudah dipraktekkan. Pertama, pengelolaan zakat dilakukan langsung oleh negara dalam pengelolaannya sedang masyarakat sipil kurang berperan aktif dalam pengelolaan zakat. Model ini memiliki keunggulan dan kelemahannya. Keunggulannya, negara punya kekuatan enforcement dan mengontrol pembayaran zakat oleh masyarakat sehingga penghasilan zakat bisa ditargetkan sesuai dengan working plan. Dalam pembayaran atau distribusi zakat, pemerintah bisa mengambil peran dalam menentukan kriteria kemiskinan atau secara geografis memiliki data komprehensif tentang itu sesuai dengan standar kehidupan saat itu. Karenanya, pembayaran yang diberikan kepada para mustahik memenuhi standar kebutuhan yang nyata. 23 Kelemahannya adalah peran negara terlalu besar sehingga bisa menimbulkan penyimpangan-penyimpangan karena lemahnya kontrol dari masyarakat. Kedua, pengelolaan zakat diperankan oleh organisasi masyarakat sipil. Di sini lembaga masyarakat memiliki otoritas mengumpulkan zakat dari warga, mengelolanya sesuai dengan program-program yang dirancang. Karena ciri khas lembaga-lembaga masyarakat tumbuh dari latar belakang budaya dan ideologi yang beragam, program yang dirancang dalam pengelolaan zaka akan mengikuti mekanisme ini. Sebab itu, pengelolaan zakat oleh lembaga non-pemerintah cenderung bersifat parsial dan lokal, karena lembaga-lembaga itu berada di daerah tertentu dan memiliki jaringan terbatas. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga semacam ini mengelola zakat sesuai dengan program lembaganya, sehingga program antara satu lembaga dengan lembaga lainnya sering terjadi pengulangan atau bahkan benturan. Dalam pengumpulan dana zakat, antar lembaga zakat cenderung lebih memakai pola bersaing dari pada kerjasama, karena setiap lembaga zakat punya target dan program yang berbeda-beda. Di sinilah kelemahan menonjol dari pengelolaan zakat dengan sistem ini. Dari perspektif ruang publik keterlibatan masyarakat sipil (civil society) model ini memang ideal, karena terjadi sintesa kebebasan antara negara dan individu-individu. Namun kebebasan untuk ruang publik tidak cukup untuk menjawab sebuah tujuan pengelolaan zakat, karena lembaga zakat bukan lembaga sosial yang mengabdi pada kepentingan publik dengan ideologi kebebasan absolut. Sebab dalam pengelolaan zakat ada tujuan keadilan sosial yang melayani publik, khususnya orangorang miskin. Akumulasi dana zakat dapat membantu si miskin bila skala prioritas, kerjasama dan data komprehensif dimiliki untuk membuat program-program pendayagunaan dana zakat. Salah satu model sinergi antara lembaga zakat dan koordinasi dengan pemerintah, lembaga zakat memerlukan sebuah lembaga utama (semacam holding company) yang bisa melakukan koordinasi dengan cabang atau rantingnya. Holding company dalam pengelolaan zakat bukan berarti penyeragaman, tetapi untuk menghilangkan persaingan dan memperkuat pendayagunaan zakat secara prioritas dan sinergi. Model ini bisa memberikan kepastian penghasilan zakat bagi lembaga-lembaga cabang, karena sistem pendapatan dan biaya sosialisasi menjadi tanggungan lembaga23 F.R. Faridi, A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, in An Anthology of Islamic Studies, vol. II (Montreal: McGill Institute of Islamic Studies, 1996), 318. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 23 isi.pmd 23 8/20/2008, 11:03 AM Kesimpulan Pengelolaan zakat memerlukan dua sinergi yang bersimbiosis baik antar lembaga zakat masyarakat sipil maupun antara lembaga zakat masyarakat sipil dan pemerintah. Model yang pertama dapat dilakukan dengan memakai model holding company atau lembaga koordinator yang berwibawa dan punya otoritas mengontrol pada lembaga-lembaga zakat masyarakat sipil. Peran otoritas ini dapat dilakukan dengan melibatkan pengelola zakat masyarakat sipil dan pemerintah. Kerjasama antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil bisa digambarkan sebagai berikut: 1. Negara memberikan fasilitas legal formal dan penyedia data tentang kebutuhan dan potensi pengumpulan zakat. Pada saat yang sama, pemerintah juga memiliki kewenangan untuk mengontrol pengelolaan zakat yang dilakukan organisasi masyarakat sipil. 2. Organisasi masyarakat sipil bekerja sama dengan departemen-departemen negara seperti departemen keuangan (pajak), departemen koperasi dan usaha kecil dan lain sebagainya dengan memiliki legal formal yang diberikan oleh negara. 3. Dibentuk holding company untuk lembaga pengelola zakat masyarakat sipil untuk mensinergikan proyeksi dana zakat dan pendistribusiannya. SUMBER RUJUKAN lembaga zakat. Sistem ini juga akan mengurangi ketimpangan pendapatan (aset) zakat antar satu lembaga dengan lembaga lainnya. Jika pengelolaan zakat dilakukan seperti ini, maka negara berperan sebagai fasilitator dan regulator yang aktif. Artinya, lembaga zakat bisa bekerjasama dengan departemendepartemen untuk akses data muzakki dan mustahik di daerah-daerah. Departemendepartemen yang bisa memfasilitasi pengelolaan zakat adalah Departemen Perdagangan, Departamen Keuangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Departemen Pengembangan Daerah Tertinggal. Data-data dari departemen itu bisa menjadi peta kebutuhan untuk distribusi zakat dan potensi pendapatan zakat. Data muzakki digunakan untuk mensosialisasikan program lembaga zakat sehingga pengumpulan zakat bisa dilakukan secara persuasif. Sedang data mustahik berkaitan dengan kebutuhankebutuhan strategis para mustahik di daerahdaerah penting dikumpulkan sehingga pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan skala prioritas baik dari sisi geografis dan waktu. AlFitri, The Law of Zakat Management and NonGovernmental Zakat Collectors in Iindonesia, “ in The International Journal of Not-for-Profit Law, Vol. 8. (January, 2006) : 58. Bahtiar Effendy, Islam and The State in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003). Djarot Setiawan, Optimalisasi Lembaga Zakat, TItik Temu Zakat dan Pajak (Jakarta: Peduli Umat, 2001). F.R. Faridi, A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, in An Anthology of Islamic Studies, vol. II (Montreal: McGill Institute of Islamic Studies, 1996). Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). http://monzer.kahf. Com/papers/English/zakah.pdf Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Abad ke-19 (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984). Kuntarno Noor Aflah & Mohd Nasir Tajang ( Eds.), Zakat dan Peran Negara (Jakarta: Forum Zakat, 2006). M Shiddiq al-Jawi, Kejayaan Ekonomi pada Masa Khilafah Islamiyah dalam www.khilafah1924.org. Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires: The Japanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942 (Jakarta: INIS, 2001). Mohammed Ariff, “Introduction,” dalam Mohammed Ariff (Ed.) IsIam and The Economic Development Development of Southeast Asai: The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991). Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988). Robert D. Putnam, Robert Leonardi, Raffaella Y Nanetti, Making Demokrasi Work: Civic Traditions in Modern Italy (Princeton: Princeton University Press, 1993). Sigrid Faath (ed.), Islamische Stiftungen und Wohltaetige Einrichtungen mit entwicklungspolitischen Zielsetzungen in arabische Staaten (Hamburg: Deutches Orient-Institut, 2003). ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 24 isi.pmd 24 8/20/2008, 11:03 AM Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga Heru Susetyo Abstract The role of the state in managing zakat in Indonesia has always been questioned. Judging from colonial centuries to date, there has been no apparent roles nor provisions evidenced that state entitled to such primary and dominant roles in managing zakat of its own people. The proposed amendment of Law No. 38 year 1999 on Zakat (alms) which clearly surrender zakat management solely to state has raised public criticism largely on which legal, philosophical, and sociological basis underlying such claims. Therefore, this paper intends to scrutinize the role of the state in managing zakat through islamic history and tradition, social welfare and welfare state, and neighboring countries’ practices. I Key Words : peran negara, zakat, kesejahteraan Pendahuluan nstitusionalisasi zakat oleh Negara Republik Indonesia antara lain mengemuka dari pidato Presiden Soeharto pada peringatan Isra’ Mi’raj 26 Oktober 1968. Pada kesempatan tersebut ia mengemukakan bahwa dirinya sebagai warga negara akan mengambil bagian dalam proses nasional pengumpulan zakat dan menyerahkan laporan tahunan terhadap pengumpul dan pendistribusinya. Pasca pidato, lalu Presiden menginstruksikan kepada tiga pejabat tinggi negara untuk menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pengumpulan zakat secara nasional. Arskal Salim menyebutkan bahwa langkah tersebut sebetulnya aneh karena sejatinya telah ada Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 4 tahun 1968 tentang zakat. Sebelum lahirnya PMA No. 4 tahun 1968 tentang zakat dan UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pada abad ke-19 di Banten zakat fitrah sebagian besar dibayarkan masyarakat kepada guru agama, atau pengajar Al Qur‘an di desa. Di Jawa Timur, zakat maal dibayarkan dan dikelola kyai dan ulama lainnya. Sementara itu zakat fitrah dibayarkan kepada pejabat urusan keagamaan di tingkat desa seperti khatib dan petugas masjid lainnya.1 Pada tahun 1893 Pemerintah Hindia Belanda (Nederland Indies) mengeluarkan regulasi untuk menghindari penyalahgunaan zakat dengan menunjuk petugas keagamaan seperti naib dan penghulu sebagai pengelola zakat. Lalu pada tahun 1905 pemerintah tersebut mengeluarkan regulasi lain (Bijblaad 6200) yang secara khusus melarang petugas pribumi (priyayi dan setingkatnya) untuk mengintervensi pengelolaan zakat. Kebijakan pemerintah Belanda itu adalah suatu upaya untuk membuat perbedaan yang nyata antara urusan negara dan urusan masyarakat muslim dalam masalah keagamaan.2 1 2 Arskal Salim, Zakat Administration in Politics of Indonesian New Order, dalam Arskal Salim and Azyumardi Azra, ed. Sharia and Politics in Modern Indonesia (Singapore, ISEAS : 2003), hal. 182. Ibid., hal. 183. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 25 isi.pmd 25 8/20/2008, 11:03 AM Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah penjajahan menghidupkan kembali institusi Majelis Islam A‘la Indonesia (MIAI), suatu federasi partai politik dan organisasi massa Islam yang telah hidup sebelum Perang Dunia II. Lembaga MIAI kemudian mengambil inisiatif untuk membangun baitul maal di Jawa pada tahun 1943. Namun upaya ini akhirnya gagal karena MIAI dibubarkan pemerintah Jepang pada akhir tahun 1943. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan dibentuklah Kementerian Agama. Pada 8 Desember 1951, kementerian ini mengeluarkan edaran bahwa kementerian ini tidak berkehendak untuk mencampuri urusan pengumpulan dan pendistribusian zakatÿMisinya hanyalah mendorong orang untuk membayar zakat dan mengawasi supaya distribusi zakat terselenggara sebagaimana mestinya.3 Sementara di Indonesia masalah pengelolaan zakat sampai sekarang belum tuntas. Padahal Indonesia telah memiliki UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat. Sebagian pihak menduga, justru UU inilah yang menghambat perkembangan zakat. Alihalih terkoordinasi, setiap lembaga baik Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Badan Amil Zakat (Baz) provinsi, kabupaten dan kota serta Lembaga Amil Zakat (LAZ), seluruhnya memainkan peran dan fungsi serupa. Usulan bertahun-tahun tentang pembagian peran fungsi dan tugas tak tergubris sama sekali.4 Belum tuntas permasalahan yang ditimbulkan oleh UU No. 38 tahun 1999, kini telah lahir rancangan amandemen UU No. 38 tahun 1999, di mana dalam draft rancangan pemerintah disebutkan bahwa pengelolaan zakat, infak dan sedekah sepenuhnya dikelola oleh negara (sentralisasi) melalui Badan Amil Zakat yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan pemerintahan. Lembaga Amil Zakat milik masyarakat yang telah ada nantinya akan berfungsi hanya sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan Badan Amil Zakat milik pemerintah. Adanya rencana sentralisasi pengelolaan zakat ini akhirnya memunculkan pertanyaan, sejauh manakah Negara Indonesia berhak melakukan intervensi dalam urusan keagamaan masyarakat seperti zakat ini? Guna menjawab pertanyaan ini akan ditelusuri jati diri Negara Indonesia dalam perspektif negara kesejahteraan dan perbandingan dengan praktek-praktek pengelolaan zakat di negara tetangga. Pengelolaan Zakat Dalam Tradisi Islam Zakat adalah instrumen ilahiah yang diwajibkan kepada kaum muslim. Allah SWT berfirman dalam Surat At-taubah ayat 103 “Ambillah zakat dari harta mereka dengan guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 ada delapan golongan yang berhak menerima zakat yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang-orang dalam perjalanan, dan para pejuang di jalan Allah (Ibnu Sabil). Para fuqaha berbeda pendapat dalam pembagian zakat terhadap delapan golongan tersebut. Imam Al-Syafi’i dan sahabatsahabatnya mengatakan bahwa jika yang membagikan zakat itu kepala negara atau wakilnya, gugurlah bagian amilin dan bagian itu hendaklah diserahkan kepada tujuh golongan lainnya jika mereka itu ada semua. Jika golongan tersebut tidak lengkap, zakat diberikan kepada golongan-golongan yang ada saja. Tidak boleh meninggalkan salah satu 3 4 Ibid., hal. 184. Erie Sudewo, Kebijakan Perzakatan : Kita dan Negeri Tetangga, dalam Politik ZISWAF Kumpulan Esai (Jakarta, CID dan UI Press : 2008), hal. 187. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 26 isi.pmd 26 8/20/2008, 11:03 AM golongan yang ada. Jika ada golongan yang tertinggal, bagiannya wajib diganti.5 Memang, apabila kepala pemerintahan menghimpun semua zakat dari penduduk suatu negeri dan golongan yang delapan lengkap ada, setiap golongan berhak menuntut hak masing-masing sebagaimana telah ditetapkan Allah, tetapi tidaklah wajib bagi kepala negara membagi sama rata di antara mereka, sebagaimana tidak wajib zakat itu sampai kepada mereka semua. Ia bahkan dapat memberikan kepada sebagian golongan lebih banyak dari yang lain. Boleh juga memberi kepada yang satu, tetapi tidak kepada yang lainnya jika menurut pertimbangannya hal itu sesuai dengan kepentingan Islam dan kaum muslimin.6 Siapa yang bertugas membagikan zakat? Biasanya Rasulullah SAW mengirimkan petugas-petugasnya untuk mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya kepada para mustahik. Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab juga melakukan hal yang sama, tidak ada bedanya antara harta-harta yang jelas maupun yang tersembunyi. Tatkala datang masa pemerintahan Utsman ibn Affan, awalnya ia masih menempuh cara tersebut. Akan tetapi, waktu dilihatnya banyak harta yang tersembunyi, sedangkan untuk mengumpulkannya itu sulit dan untuk menyelidikinya, menyusahkan pemilik-pemilik harta, maka pembayaran zakat itu diserahkan kepada para pemilik harta itu sendiri.7 Para fuqaha telah sepakat bahwa yang bertindak membagikan zakat itu adalah pemilik-pemilik itu sendiri, yakni jika zakat adalah dari hasil harta yang tersembunyi. Seandainya para pemilik sendiri yang membagi-bagikan zakat itu (zakat harta mereka yang tersembunyi) apakah itu lebih utama? Ataukah lebih baik mereka serahkan kepada kepala negara atau imam (petugas) yang akan membagi-bagikannya? Menurut Imam AlSyafi’i, lebih baik diserahkan kepada imam jika imam itu ternyata adil. Menurut Imam Hanbali, lebih utama jika dibagi-bagikan sendiri, tetapi jika diserahkan kepada negara, tidak ada halangannya. Adapun mengenai harta yang jelas, menurut Malik dan Imam Hanafi, imam dari kaum muslimin dan para pembesarlah (pemerintah) yang berhak menagih dan memungut zakat. Pendapat golongan Syafi’i serta pengikut-pengikut Hanbali tentang harta-harta yang jelas ini sama dengan pendapat mereka terhadap hartaharta yang tersembunyi.8 Maka, jelaslah bahwa zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah satu hal yang mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum muslimin yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia dimaafkan disebabkan karena kejahilannya akan hukum.9 Adapun mereka yang tidak mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan kewajibannya, maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tetapi hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat tersebut dengan paksa beserta setengah hartanya sebagai hukuman atas perbuatannya. Jika suatu kaum menolak untuk mengeluarkannya padahal mereka tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki kekuatan untuk melarang orang memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi hingga mereka mengeluarkannya.10 Ismail Luthfi Japakiya menyebutkan 5 6 7 8 9 10 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1 (Jakarta, Pena Pundi Aksara : 2007), hal. 575. Ibid., hal. 577. Ibid., hal. 582. Ibid. Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi. Panduan Fiqih Lengkap. Jilid 2. (Bogor, Pustaka Ibnu Katsir : 2005), hal. 92. Ibid., hal. 93. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 27 isi.pmd 27 8/20/2008, 11:03 AM bahwa zakat adalah salah satu landasan utama dalam terciptanya kedamaian dan keamanan, utamanya keamanan dari kemiskinan dan penyakit. Selanjutnya ia berpendapat bahwa “..Islam considers the entire community responsible for the food security of all its individuals…one of the categories to whom the revenue of zakah has to be distributed consists of the mu`allafah qulubuhum who include non-Muslims 11 Pemikiran mutakhir terkait peran zakat dalam negara modern dikemukakan oleh Aidit Ghazali. Ia mengemukakan bahwa dalam negara Islam modern ada empat sumber pendapatan negara antara lain adalah : (1) dana dari baitul maal; (2) pendapatan dari sumber daya alam masyarakat; (3) pajak; dan (4) pinjaman.12 Dana dari baitul maal berasal dari sumber kekayaan khusus (special wealth) yaitu zakat, dan sumber kekayaan umum yaitu fa’i, ushr, pajak, ghanimah, dan lain-lain sumber yang tidak dimiliki oleh individu dan diserahkan kepada baitul maal.13 Peran Negara Dalam Perspektif Negara Kesejahteraan Negara kesejahteraan adalah suatu masyarakat di mana pemerintahnya bertanggungjawab menjamin bahwa setiap warga negaranya menerima pendapatan minimum dan mempunyai akses sebesar mungkin yang ia mampu raih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada bidang perawatan kesehatan, perumahan, pendidikan dan layanan sosial personal.14 Menurut Isbandi Rukminto Adi, ada tiga kunci utama dalam memahami negara kesejahteraan yaitu :15 1. Intervensi yang dilakukan oleh negara (dalam hal ini pihak pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan warganya; 2. Kesejahteraan harus dikembangkan berdasarkan kebutuhan dasar masyarakat; 3. Kesejahteraan adalah hak dari setiap warga negara. Ada tiga paradigma kesejahteraan sosial, antara lain : (1) paradigma residual; (2) paradigma institusional; dan (3) paradigma developmental. Paradigma residual adalah pandangan tentang sistem kesejahteraan sosial yang dikembangkan hanyalah sistem terakhir (last resort) untuk membantu anggota masyarakat. Ini adalah sistem kesejahteraan sosial minimalis, di mana sistem ini baru difungsikan ketika sistem pasar (market system) ataupun sistem keluarga (family system) gagal memenuhi kebutuhan individu. Aliran ini sangat menekankan nilai-nilai individualisme dan kemerdekaan individu, sehingga kesenjangan yang terjadi di masyarakat lebih dianggap sebagai konsekuensi logis dari adanya kebebasan individu untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam kehidupannya. Karena bantuan baru diberikan bila sistem pasar dan keluarga tidak bisa membantu anggota masyarakat tersebut, maka dalam sistem kesejahteraan sosial dengan paradigma residual diberlakukan sistem seleksi (means test) untuk menentukan apakah orang tersebut berhak mendapatkan bantuan.16 Paradigma institusional atau model kesejahteraan institusional dikembangkan berdasarkan teori tentang masyarakat dan negara yang didasarkan pada nilai-nilai konsensus (consensual value), tetapi konformitas dicapai melalui proses integrasi sosial, bukan sekedar menonjolkan pada aspek pilihan individual saja. Dalam kaitan dengan peran negara dalam penyediaan layanan kesejahteraan pada masyarakatnya, Ismail Lutfi Japakiya, Islam the Religion of Peace (Malaysia, Fajar Ulung : 2008), hal. 25. 12 Aidit Ghazali, Development An Islamic Pespective. (Kuala Lumpur, Pelanduk Publications : 1990), hal. 95 – 96. 13 Ghazali, ibid., hal. 47 – 48. 14 Deacon (2002) sebagaimana dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi, Konsep dan Pokok Bahasan dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial (Jakarta, UI Press : 2005), hal. 102. 15 Isbandi Rukminto Adi, Konsep dan Pokok Bahasan dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial (Jakarta, UI Press : 2005), hal. 108. 16 Ibid. 11 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 28 isi.pmd 28 8/20/2008, 11:03 AM paradigma ini melihat pemerintah harus bekerjasama dengan pihak swasta dan organisasi nirlaba dalam meningkatkan kualitas layanan.17 Paradigma developmental, atau model kesejahteraan developmental merupakan konsepsi tentang sistem kesejahteraan sosial yang mendasarkan pada nilai-nilai keadilan sosial. Paradigma ini berdasarkan pada perspektif sosial demokrat (democratic socialist perspective). Disini peran pemerintah menjadi lebih proaktif, dan merupakan antitesis dari perspektif residual yang lebih bersifat reaktif.18 Pendapat lain dikemukakan oleh Marsland yang mengusulkan agar membebaskan kesejahteraan masyarakat dari negara dan mempertimbangkan privatisasi di bidang kesejahteraan secara lebih serius, seperti apa yang dilakukan di bidang industri. Marsland juga menentang pandangan bahwa negara harus menyediakan layanan pada warganya sejak mereka lahir hingga mereka meninggal dunia (state provision of cradle to grave).19 Holil Sulaiman menyebutkan bahwa di Amerika Serikat sejak tahun 1960-an sampai sekarang ada dua pandangan kuat yang bertentangan tentang kesejahteraan sosial, yaitu : pertama yang memandang bahwa kegiatan kesejahteraan sosial hanya disediakan bila struktur sosial normal masyarakat tidak berfungsi. Penyedia utama kesejahteraan sosial adalah keluarga dan pasar ekonomi. Bila kedua sumber tersebut tidak berfungsi baru kesejahteraan sosial tampil. Faham ini disebut faham kesejahteraan sosial residual. Kedua, faham kesejahteraan institusional yang melihat kesejahteraan sosial sebagai fungsi legal dan yang diterima serta dibutuhkan oleh masyarakat industri modern untuk melayani individu dan kelompok untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf kehidupannya dan taraf kesejahteraannya yang sebaik-baiknya.20 Negara kesejahteraan, pada dasarnya, mengacu pada peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Secara umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utama, yaitu : (1) social citizenship; (2) full democracy; (3) modern industrial relation system; (4) rights to education and the expansion of modern mass education systems.21 Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara.22 Seperti yang awalnya diamati oleh Titmuss (1958) dan kemudian diperkuat oleh EspingAndersen (1990), negara tidak selamanya menjadi aktor utama dalam penyediaan kesejahteraan. Esping-Andersen mentipologikan varian-varian rezim kesejahteraan atas rezim kesejahteraan liberal, sosial demokrat, dan konservatif. Terlihat bahwa peran negara dalam negara kesejahteraan paling kuat dijumpai pada rezim kesejahteraan sosial demokrat yang memiliki tingkat demodifikasi tinggi serta ikatan hak sosial yang universal.23 Berdasarkan tipologi rezim kesejahteraan tersebut, Esping-Andersen (1999) membagi negara kesejahteraan ke dalam tiga bentuk yaitu :24 „ Residual welfare state; yang meliputi negara seperti Australia, Kanada, Ibid. Ibid. Isbandi Rukminto Adi, ibid., hal. 122. 20 Holil Sulaiman, Dinamika dan Cita-Cita Kesejahteraan Sosial di Negara Industri Maju (NIM), 1982, hal. 4. 21 Esping-Andersen (1990, 1999) sebagaimana dikutip oleh Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta, Perkumpulan Prakarsa : 2007), hal. 9. 22 Ibid. 23 Ibid., hal. 14. 24 Ibid., hal. 15. 17 18 19 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 29 isi.pmd 29 8/20/2008, 11:03 AM Selandia Baru, dan Amerika Serikat, dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan dicirikan dengan jaminan sosial yang terbatas pada kelompok target yang selektif serta dorongan yang kuat bagi pasar untuk mengurus pelayanan publik. „ Universalist welfare state; yang meliputi negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda, dengan basis rezim kesejahteraan sosial demokrat dan dicirikan dengan cakupan jaminan sosial yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif. „ Social insurance welfare state, yang meliputi negara seperti Austria, Belgia, Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan dicirikan dengan sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting keluarga sebagai penyedia pasok kesejahteraan. Ajaran-ajaran agama telah memberikan basis etis yang kuat bagi perkembangan konsep negara kesejahteraan. Esping-Andersen menengarai kuatnya pengaruh doktrin sosial Katolik dalam rezim kesejahteraan konservatif. Pengaruh ini bisa dilacak dari teks-teks ajaran sosial gereja yang dikeluarkan sejak abad kesembilan belas. Rerum Novarum (Hal-hal Baru) tentang Keadaan Kaum Buruh, yang merupakan teks ensiklik Paus Leo XII pada tahun 1891, merupakan teks yang dinilai mempunyai pengaruh besar bagi berkembangnya sistem jaminan sosial di Eropa pada abad kedua puluh. Ia merupakan respons gereja terhadap perkembangan sosial terkini yang terjadi setelah revolusi industri di Eropa, khususnya terhadap menguatnya sosialisme dan kecenderungan pertentangan antar kelas sosial. Teks tersebut secara eksplisit juga menunjukkan bagaimana negara harus berperan. Di antara butir-butir kebijakan tersebut adalah :25 “...tugas utama para penguasa ialah mengerahkan seluruh sistem perundangan dan lembaga-lembaga untuk memberikan bantuan pada umumnya maupun kepada golongan-golongan khas. Termasuk kepemimpinan negara mengusahakan agar struktur maupun fungsi administratif negara meningkatkan kesejahteraan umum maupun perseorangan...karena itu pemerintah harus bercampur tangan bila kepentingan umum atau kepentingan kelompok khusus dirugikan atau terancam bahaya, asal memang itulah satu-satunya jalan untuk mencegah atau menyingkirkan kejahatan...”. Dalam hubungannya dengan social security zakat adalah bagian dari instrumen keterjaminan sosial yang berasal dari institusi agama. Keterjaminan sosial (social security) adalah tindakan publik, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima (The World Bank Research Observer, 1991).26 Danny Pieters menyebutkan bahwa keterjaminan sosial adalah : the compilation of benefits in cash and in kind, including services, granted to some persons. The arrangement as granting protection against the insecurity resulting from the risks related to the ascent of the industrial society and its development or, in short, against social risk.”27 Instrumen yang terkait dengan keterjaminan sosial adalah jaminan pekerjaan dan pendapatan, serta beberapa instrumen kebijakan formal, seperti asistensi, asuransi sosial dan tunjangan keluarga. Keterjaminan sosial bukan untuk melindungi kaum kaya tetapi untuk memberikan efek insentif. Dalam studi ILO (International Labour 25 26 27 Ibid., hal. 16 – 17. Tim CRESCENT, Menuju Masyarakat Mandiri, hal. 18. Danny Pieters, Social Security : An Introduction to the Basic Principles (Netherland, Kluwer Law International : 2006), hal. 2. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 30 isi.pmd 30 8/20/2008, 11:03 AM Organization) 1984, digambarkan ada tiga tahap evolusi keterjaminan sosial, yaitu :28 1. Sumbangan/derma dari kaum kaya yang disediakan untuk para fakir miskin, tetapi kondisi dan stigma keras yang ditetapkan sering tidak dapat diterima. 2. Skema asuransi sosial dikembangkan berdasarkan suatu kewajiban premi yang diberikan pada peserta berupa pensiun dan pembayaran masa sakit. 3. Konsep pencegahan dengan tujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Pengelolaan Zakat Di NegaraNegara Tetangga Pengelolaan zakat, infak, sedekah dan wakaf di Singapura tak satupun dikelola perorangan. Semua dikelola secara korporat. Jumlah muslim di Singapura sekitar 500 ribu jiwa, alias 15% dari total penduduk. Pembayar zakat rutin berjumlah 170 ribu orang. Di luar zakat, dihimpun juga sedekah untuk pendidikan madrasah dan pembangunan masjid. Di samping melalui rekening bank, pembayaran dapat dilakukan di 28 masjid di seluruh Singapura. Tahun 2003, total penghimpunan zakat, infak dan sedekah (ZIS) berjumlah S$ 13 juta. Dari jumlah tersebut disalurkan untuk semua mustahik sekitar S$ 12.3 juta. Tahun 2004 meningkat jadi S$ 14.5. juta. Dari laporan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS), hak amil tahun 2004 tercatat S$ 1.5. juta, alias Rp 8.9 miliar. Dari awal hingga pengelolaan itu sukses, pemerintah Singapura tak tergoda ikut campur. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan pemerintah daripada ikut-ikutan mengurusi ZIS dan wakaf yang terbukti telah mampu dikelola warganya. Dana ZIS merupakan sumbangan warga muslim yang langsung membantu menangani kemiskinan dan kebodohan. Pemerintah Singapura pun sadar bahwa sesuatu yang telah berjalan baik tak perlu diutak atik. Jika memang manfaatnya besar dan tidak mengganggu stabilitas negara, mengapa harus diatur lagi dengan peraturan dan undang-undang. Cara pandang pemerintah seperti ini memperlihatkan kualitasnya. Bahwa birokrasi di Singapura berjalan profesional dilandasi karakter entrepreneur yang kuat. Birokrasi demikian tak gegabah menghakimi dan menempatkan pihak yang berhasil mengelola ZIS dan wakaf sebagai pesaing.29 Selain minimnya campur tangan negara, komunitas muslim di Singapura telah menjelmakan dirinya sebagai civil society yang aktif. Ismail Ibrahim dan Elinah Abdullah mengungkapkan sebagai berikut :30 The Malay / muslim community in Singapore has kept faith with the Singapore state, with its promise of good education, equal opportunities based on merit and better living conditions. Although faced with the prospect of economic, political and social difficulties in the early 1960s, Malay/ Muslims who were generally located in the rural areas has demonstrated high level of community activism. This was evidenced by the proliferation of mutual help organization in the area of communal life, education, religious learning, and social and welfare programmes. These traditional organizations such as the khairat or mutual-help organizations, and the madrasah or religious schools were founded on community ties and religious obligations that mobilized especially the better educated and more successful members of the community to improve its general wellbeing…in the areas of social and welfare Tim CRESCENT, Ibid., hal. 19. Erie Sudewo, Kebijakan Perzakatan : Kita dan Negeri Tetangga, dalam Politik ZISWAF Kumpulan Esai (Jakarta, CID dan UI Press : 2008), hal. 169. 30 Ismail Ibrahim and Elinah Abdullah, The Singapore Malay/ Muslim Community : Civic Traditions in a Multiracial and Multicultural Society in Gillian Koh and Ooi Giok Ling, et.al.,State Society Relations in Singapore (Singapore, Oxford University Press : 2000), hal. 54 – 55. 28 29 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 31 isi.pmd 31 8/20/2008, 11:03 AM programmes, badan khairat were formed to assist the poor, orphans and the disadvantaged. Sementara itu di Malaysia, dalam hal zakat, pemerintah Malaysia ternyata mendukung penghimpunan zakat yang dilakukan oleh murni swasta. Posisi pemerintah sendiri hanya fasilitator dan penanggung jawab. Menariknya lagi, pemerintah (saat itu di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohammad) tak menempatkan zakat sebagai komponen penting dalam membasmi kemiskinan. Dalam wilayah penyelenggaraan, pengelolaan zakat di Malaysia ditempatkan dalam Majelis Agama Islam (MAI). Koordinasi MAI ada dalam kementerian non departemen. Peran dan fungsi menteri non departemen membuat lembaga strategis yang bertanggung jawab langsung pada Perdana Menteri. Dari kementerian MAI ini, lahir terobosan yang amat inovatif yaitu Pusat Pungutan Zakat (PPZ) dan Tabung Haji (TH). Karena hanya ada di Malaysia, dua lembaga itu kini jadi rujukan beberapa negara di luar Malaysia.31 Tabung Haji di Malaysia bahkan telah menjadi bagian dari social security scheme di negara tersebut “..in addition to the above schemes, there is also a Pilgramage Fund (Tabung Haji) which has been set up to enable accummulation of savings to enable Muslim Malaysians to go on Haj (pilgrimage), and a unit trust (ASD) for the Bumiputera community, which provides social security services for the members.”32 Pusat Pungutan Zakat (PPZ) resmi beroperasi pada 1 Januari 1991 di Kuala Lumpur. Namun ide dan gagasan PPZ telah dimulai sejak Mei 1989. Gagasan tersebut lahir dipantik oleh keresahan tak berkembangnya pengelolaan zakat di Malaysia. Penghimpunan zakat dan infak lemah. Sesuatu yang amat lumrah akibat kurangnya pegawai, sistem yang lemah dan kampanye sosialisasi zakat yang tak pernah dilakukan. Dari sejumlah tujuan PPZ, ada dua hal yang menarik. Pertama, model ini menyenangkan pembayaran zakat. Kedua, mengenalkan cara korporat dalam urusan marketing dan teknologi berbasis komputer. Ternyata kiat-kiat marketing dan posisi PPZ yang murni swasta, merangsang negeri-negeri bagian lain di Malaysia mencontohnya. Kini, selain Wilayah Persekutuan di Kuala Lumpur, PPZ yang independen berdiri sendiri juga tumbuh di lima negeri yaitu Melaka, Pahang, Selangor, Pulau Pinang, dan Negeri Sembilan. Selebihnya, yakni delapan negeri yang lain, masih menggabungkan fungsi penghimpunan dalam tubuh Baitul Maal (BM). Di Malaysia zakat tidak dikelola secara nasional (federal). Ke empat belas negara bagian (state) di Malaysia, masing-masing diberi hak mengelola zakatnya.33 Dalam hal pengelolaan zakat ini, ada empat kebijakan pemerintah Malaysia yang dapat dicatat. Pertama, pemerintah merestui status hukum dan posisi PPZ sebagai perusahaan murni yang khusus menghimpun dana zakat. Kedua, mengizinkan PPZ mengambil 12.5% dari total kutipan zakat setiap tahun, untuk membayar gaji pegawai dan biaya operasional. Ketiga, pemerintah menetapkan zakat menjadi pengurang pajak. Dan keempat, pemerintahpun menganggarkan dana guna membantu kegiatan BM dalam membasmi kemiskinan.34 Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat Di Indonesia Bagaimana dengan Indonesia? Erie Sudewo memandang bahwa masih ada sebagian penduduk Indonesia yang tidak meyakini zakat itu wajib. Bagi mereka zakat harus didasarkan pada keikhlasan. Tidak ikhlas, sia-sia ibadahnya. Inilah paradoksal di Indonesia. Fakir miskinnya banyak. Sementara sebagian muzakki tak yakin bahwa zakat itu Ibid., hal. 171. Mukul G. Asher, Social Security in Malaysia and Singapore, Practices, Issues and Reform Directions (Kualalumpur, ISIS Malaysia : 1994) hal. 12. 33 Erie Sudewo, op.cit,. hal. 172. 34 Ibid., hal. 178. 31 32 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 32 isi.pmd 32 8/20/2008, 11:03 AM wajib. Padahal zakat bukan hanya wajib, namun telah ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam. Zakat tak bisa dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Fikih zakat tak boleh dibiarkan mengambang. Tak bisa zakat tergantung pada kebaikan hati dan moral muzakki. Sudah saatnya fiqih zakat, statusnya dari fikih individu diangkat menjadi fikih kemasyarakatan (ekonomi politik dan sosial). Dengan fikih kemasyarakatan, dana zakat akan terhimpun besar. Cara lain agar zakat terhimpun besar adalah dengan menerapkan zakat mengurangi pajak. Ini kebijakan yang hanya negara yang dapat melakukan. Sementara masyarakat melalui berbagai ormas dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya sekedar mengadvokasi. Ada manfaat lain dengan kebijakan zakat mengurangi pajak. Yakni status fikih individu zakat, dengan segera terdongkrak jadi fiqih kemasyarakatan.35 Dalam penghimpunan zakat, ada perbedaan metode yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Di negeri-negeri jiran ini, penghimpunan cenderung terkoordinasi dan terarah. Tampak sekali pertumbuhannya dari masa ke masa. Singapura dan Brunei Darussalam tampaknya punya model serupa, sama-sama terkoordinasi di bawah majelis agama Islam. Sedang Malaysia punya dua corak berbeda. Ada yang menggunakan PPZ khusus untuk menghimpun zakat saja dan ada juga yang menggunakan BM (Baitul Maal) guna menghimpun sekaligus mendayagunakan.36 Sebaliknya, di Indonesia peran negara dalam pengelolaan zakat cenderung bersifat tarik ulur. Tidak hanya dalam pengelolaan zakat. Kebijakan kesejahteraan sosial secara umum juga bersifat demikian. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tahun 1999 ia membubarkan dua departemen yaitu Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen). Guru Besar FISIP UI, Alwi Dahlan37, menyebutkan bahwa untuk pertama kali sepanjang sejarah Republik Indonesia, dua dari 12 departemen yang sejak awal tercantum dalam Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945, tidak lagi terdapat dalam struktur pemerintahan. Pembubaran departemen itu menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra. Yang setuju menilai kedua lembaga itu sudah tidak sesuai dengan semangat perkembangan zaman, kurang bermanfaat, terlalu besar, tidak efisien, dan hanya memperberat beban anggaran negara. Pengendalian dan pembinaan oleh Deppen (Departemen Penerangan) seperti selama ini, misalnya, bukan saja tidak lagi diperlukan, tetapi sudah bertentangan dengan kemerdekaan pers. Suatu masyarakat yang demokratis, seperti terlihat di negara maju, tidak memerlukan departemen semacam itu. Masyarakat harus diberdayakan agar mampu mengembangkan pendapat dan mencari informasinya sendiri, tanpa propaganda pemerintah. (Dalam nada yang sama Depsos dikatakan tidak efektif, tidak mendidik masyarakat agar mandiri, dan dianggap hanya membagi santunan atau mengurus izin undian).38 Terkait dengan pembubaran Departemen Sosial (Depsos), Holil Sulaiman berpendapat bahwa masalah sosial tidak bisa diserahkan begitu saja pada masyarakat. Harus ada lembaga negara yang ikut menanganinya, seperti yang diamanatkan pasal 34 UUD 1945. Sementara itu Suminto berpendapat pembubaran Depsos itu sama saja dengan pelecehan profesi pekerja sosial. Sudah selayaknya pemerintah memikirkan suatu lembaga yang bersifat operasional untuk menggantikan Depsos.39 Berdasarkan paradigma kesejahteraan 35 36 37 38 39 Ibid., hal. 185. Ibid., hal. 187. Alwi Dahlan, Implikasi Pembubaran Departemen Penerangan, Senin, 1 November 1999. Ibid. "Gagal, Serah Terima Jabatan di Depsos”, artikel pada Harian KOMPAS, 3 November 1999. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 33 isi.pmd 33 8/20/2008, 11:04 AM sosial, langkah pembubaran Departemen Sosial oleh pemerintahan Gus Dur menyiratkan bahwa ia memilih paradigma kesejahteraan sosial residual. Negara berperan secara minimalis. Negara berperan dalam kesejahteraan sosial masyarakat hanya ketika institusi-institusi lain seperti keluarga dan pasar (market system) mengalami kegagalan. Namun apakah negara Indonesia memang pantas menganut paradigma kesejahteraan sosial residual ? Sejatinya, sejak awal pendirian Negara RI, tak jelas memilih pendekatan kesejahteraan sosial yang mana. Maka, sulit juga untuk menyebut Negara RI sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Akan halnya pada Undang-Undang Dasar 1945 amandemen 4 menyebutkan bahwa : Pasal 23 (A): Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang. Pasal.34 (1) Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Berdasarkan pasal 23 A amandemen 4 UUD 45, zakat dapat diatur dengan UndangUndang sejauh bersifat memaksa untuk keperluan negara. Masalahnya adalah apakah zakat termasuk kategori ‘pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara?`, hal ini tentu akan menimbulkan debat berkepanjangan. Karena sesuai dengan surat At-Taubah ayat 60, zakat dibagikan kepada delapan golongan (asnaf). Apakah negara termasuk delapan golongan, atau memiliki peran sebagai amil yang berwenang mengumpulkan dan membagikan zakat kepada delapan golongan? Kemudian, terkait dengan Pasal 34 amandemen 4 UUD 45 disebutkan pada ayat (2) bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pasalnya, terkait dengan zakat, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 tak menyebutkan zakat sebagai salah satu komponen jaminan sosial. Undang-Undang ini hanya mengatur seputar jaminan sosial yang terkait dengan asuransi sosial seperti jaminan kesehatan, jaminan terhadap kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan terhadap kematian. Sebaliknya, apabila zakat dianggap sebagai instrumen agama yang merupakan bagian dari ibadah dari umat Islam, berlaku pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 28 E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Pasal.29 (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu Maka, berdasarkan kedua pasal tersebut, pengumpulan dan penyaluran zakat harus ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 34 isi.pmd 34 8/20/2008, 11:04 AM dikembalikan kepada setiap orang dan setiap orang memiliki kebebasan untuk melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat atas dasar keyakinan ibadahnya. Hal ini yang antara lain mendasari UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di mana pemerintah mengelola zakat melalui Badan Amil Zakat (Pasal 6), namun juga membuka ruang bagi masyarakat untuk turut mengelola zakat melalui Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Francis Fukuyama (2005) dalam bukunya State-Building : Governance and World Order in the 21 st Century, menunjukkan bahwa pengurangan peran negara dalam hal-hal yang memang merupakan fungsinya hanya akan menimbulkan problematika baru. Bukan hanya memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan pula menyulut konflik sosial dan perang sipil yang meminta korban jutaan jiwa. Artinya Fukuyama mengatakan bahwa negara harus diperkuat. Kesejahteraan menurut Fukuyama tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat, yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya.40 Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi yang paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Benar negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, sebagai salah satu bentuk kebijakan sosial dan public goods, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta. Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Bahkan di Indonesia komitmen dan peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas41. Terkait dengan peran negara dalam pengelolaan zakat, Muhammad Hashim Kamali menyebutkan bahwa :42 Islam proposes a welfare state as is evident from the overall emphasis in the Qur‘an and Sunna on helping the helpless, the needy and the poor. As a pilla or the faith, zakat is prescribed in the Qur‘an with the specific purposes of ensuring necessary social assistance. Satisfaction of the basic requirements of those who are in need. Muslims, or other, is one of the main purposes for which state revenues, whether from zakat or other taxes and charities, are to be expanded. The Prophet himself as head of state clearly indicated that the state is committed to this purpose. Pendapat Francis Fukuyuma (sebagaimana dikutip oleh Edi Suharto) dan juga Muhammad Hashim Kamali, menyiratkan bahwa peran negara dalam kesejahteraan sosial, termasuk dalam pengelolaan zakat memang harus dominan. Hal ini ditunjang pula oleh kenyataan sejarah dari Sirah Nabawiyah dan kepemimpinan para khalifah yang memang mengelola langsung zakat dari masyarakat. Permasalahan kemudian adalah, Indonesia bukanlah negara Islam kendati penduduknya mayoritas muslim yang bahkan berjumlah terbesar di dunia. Dasar negara 40 41 42 Edi Suharto, Islam dan Negara Kesejahteraan, makalah disampaikan pada pengkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Jakarta 18 Januari 2008. Ibid. Mohammad Hashim Kamali, The Islamic State and Its Constitution in Sharia Law and the Modern Nation-State, a book based on the papers and discussion at Sisters in Islam First Symposium on the Modern Nation State and Islam, 1994. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 35 isi.pmd 35 8/20/2008, 11:04 AM Indonesia juga bukanlah Islam kendati pemerintahannya mayoritas dipimpin oleh umat Islam. Dalam kondisi seperti ini apakah hukumnya wajib menyerahkan pengelolaan zakat sepenuhnya kepada penguasa / negara? Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan bahwa ketika pemerintahannya adalah pemerintahan Islam dan pemimpinpemimpinnya adalah pemimpin muslim yang amanah maka pengelolaan zakat sepenuhnya berada di tangan negara. Namun ketika pemerintahannya bukan pemerintahan Islam kendati pemimpin-pemimpinnya muslim maka ketentuan tersebut tidak berlaku secara otomatis.43 Penutup Berdasarkan uraian di atas, secara legal dan konstitusional negara Indonesia tidak memiliki kewenangan secara mutlak untuk mengelola zakat. Konstitusi UUD 1945 dan berbagai macam perundang-undangan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa negara adalah satu-satunya penyelenggara zakat. Secara praktek kesejahteraan sosial yang dilakukan Negara RI selama ini, tidak juga menunjukkan bahwa Negara RI adalah negara kesejahteraan (welfare state) yang telah melaksanakannya kewajibannya secara penuh untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya apakah dengan pendekatan institusional ataupun developmental. Yang terjadi selama ini adalah ketidakjelasan dan tarik ulur kebijakan dan implementasi kesejahteraan sosial. Maka, ketika ada upaya amandemen UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang meletakkan negara sebagai satu-satunya institusi yang berwenang mengelola zakat, maka sungguh tidak jelas apa pijakan filosofis, yuridis, maupun sosiologisnya. Satu-satunya pijakan sentralisasi pengelolaan zakat pada negara adalah praktek yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para khalifah yang mengumpulkan dan mengelola zakat dalam kapasitas sebagai penguasa. Namun hal inipun tak dapat dijadikan pijakan utama, karena ada khalifah seperti Utsman bin Affan yang mengelola zakat secara partisipatif. Antara lain dengan memberikan peluang pendistribusian zakat oleh para muzakki langsung kepada para mustahik-nya. Tambahan lagi, Indonesia bukanlah negara Islam dan tidak berkonstitusi Islam kendati pemimpinnya mayoritas Islam, maka sentralisasi zakat oleh negara tidak otomatis dapat dilakukan. Jalan tengah yang baik, menurut penulis, adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Edi Suharto, bahwa dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi yang paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Benar, bahwa peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas dan bahwasanya negara adalah pengemban kewajiban utama dalam pelayanan sosial, namun rakyat juga harus diberi ruang untuk turut berpartisipasi dalam pelayanan sosial, apalagi ketika terbukti negara tak mampu mengemban peran dan kewajiban tersebut. Terkait dengan pengelolaan zakat, model pelayanan zakat ala Singapura dan Malaysia yang menyuguhkan kolaborasi yang cukup baik antara negara dan masyarakat dapat menjadi salah satu rujukan. : 43 Sayyid Sabiq, op.cit. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 36 isi.pmd 36 8/20/2008, 11:04 AM LINTAS ELEMEN Mengapresiasi Bangkitnya Civil Society Dalam Pengelolaan Zakat di Indonesia Ketika partisipasi masyarakat mulai meningkat, maka peran negara dalam mengatur kehidupan masyarakat harus dikurangi. Begitu juga dalam hal pengelolaan zakat. Pada saat kepercayaan masyarakat sudah tumbuh dengan baik kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ), semestinya LAZ diberi ruang gerak yang lebih luas lagi. Jangan malah dibelenggu. D i era reformasi dan demokratisasi seperti sekarang ini peran masyarakat sipil (civil society) dalam pembangunan nasional semakin terlihat. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya organisasi masyarakat sipil yang tumbuh, besar dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk di dalamnya Lembaga Amil Zakat (LAZ). Semangat mengumpulkan zakat, infak dan sedekah masyarakat Indonesia bukan hanya terlihat setelah terbitnya UU No.38 tahun 1999, namun jauh sebelum UU itu lahir sudah ada beberapa lembaga zakat masyarakat yang bergerak mengumpulkan zakat, seperti Baitul Maal Ummat Islam (Bamuis) BNI (berdiri tahun 1968), Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) berdiri tahun 1987, Dompet Dhuafa berdiri tahun 1993. Menurut Ketua Umum Forum Zakat (FOZ) Hamy Wahjunianto, sebagai organisasi yang berbasis masyarakat, lembaga zakat dengan kesadarannya sendiri telah mengumpulkan zakat, infak dan sedekah dari warga kemudian mengelolanya sesuai program-program yang dirancang. “Bukankah upaya yang dilakukan lembaga zakat ini merupakan partisipasi positif yang perlu didukung?,” tandas Hamy menanggapi rencana pemerintah yang ingin menggabungkan keberadaan lembaga zakat swasta ke dalam lembaga zakat pemerintah. “Mereka (Bamuis BNI, YDSF, DD red) sudah lahir jauh sebelum UU PZ ini ada,” imbuh mantan Direktur Utama YDSF itu. Ia menambahkan kepercayaan publik terhadap lembaga zakat yang dibentuk masyarakat atau sering disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ) jauh lebih kuat dibandingkan lembaga zakat yang dibentuk pemerintah atau yang sering disebut Badan Amil Zakat (BAZ). Hal tersebut dibuktikan dengan penghimpunan zakat, infak dan sedekah oleh LAZ jauh lebih besar dibanding penghimpunan oleh BAZ. Jumlah donatur dan muzakki di LAZ juga semakin juga semakin banyak. “Nah, jika kemudian LAZ digabung dengan BAZ, apakah bisa menjamin para donatur dan muzakki yang selama ini menyalurkan zakatnya ke LAZ tetap mau menyalurkan zakatnya,” tandas Hamy. Dalam sistem ekonomi Islam, Hamy mengakui zakat dapat berperan sebagai distribusi kapital bagi masyarakat. Dengan pendistribusian zakat dari muzakki ke mustahik, berarti terjadi proses distribusi untuk pemerataan sumber daya ekonomi. “Sumber daya dari muzaki kepada mustahik akan membantu kehidupan si miskin sehingga ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 37 isi.pmd 37 8/20/2008, 11:04 AM mendorong pertumbuhan ekonomi,” tambahnya. Dengan demikian, zakat memerlukan sistem dan instrumen yang dapat mengatur pengelolaanya. Karena itu, Hamy tidak menafikan peran negara dan masyarakat dalam pengelolaan zakat, infak dan sedekah, dimana keduanya menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. “Agar fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik, caranya bukan lalu menggabungkan LAZ kepada BAZ pada waktu sekarang ini. Tapi memberi ruang gerak yang leluasa kepada LAZ dulu. Sementara itu perlu dibentuk satu badan lagi yang berfungsi sebagai lembaga regulator zakat, sama seperti fungsi BI (Bank Indonesia) dalam perbankan nasional,” katanya sembari menambahkan untuk penyatuan lembaga zakat memang penting dilakukan, namun hal itu harus melalui tahapan-tahapan terlebih dahulu dan perlu menyiapkan infrastrukturnya. Setelah tahapan dilalui, baru penyatuan lembaga zakat itu dilakukan. “Dalam arsitektur zakat Indonesia yang disusun FOZ, kira-kira tahun 2018 hal itu baru bisa diwujudkan,” tambahnya. Oleh karenanya, lanjut Hamy, ada hal yang lebih mendasar bagi pengelolaan zakat ke depan yang perlu disiapkan dibandingkan terburu-buru menggabungkan LAZ kepada BAZ. Pertama, mendorong terbentuknya lembaga regulator dan pengawas, kedua, pentingnya membuat standarisasi mutu lembaga zakat. Ketiga, membuat standarisasi keuangan zakat. Senada dengan pendapat Hamy disampaikan oleh tim penyusun RUU Zakat Komisi VIII DPR RI, Rohani Budi Prihatin. Budi menegaskan kondisi yang paling ideal bagi pengelolaan zakat di masa yang akan datang adalah mendorong pemerintah atau negara menjadi regulator. “Peran regulator dan pengawas tidak dimainkan oleh Depag, tapi oleh Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Dan pemerintah sendiri jangan sampai menjadi operator,” tandasnya. Sementara operator (penghimpun dan pengelola zakat) dipegang oleh masyarakat atau civil society. Dengan pengaturan seperti ini berarti ada keleluasaan bagi lembaga zakat yang dibentuk masyarakat sipil, tapi harus diingat bahwa dia harus bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan. “Lembaga zakat diatur sedemikian rupa, diawasi seketat mungkin, dihukum seberat mungkin jika salah atau melanggar, bahkan harus dibubarkan jika menyeleweng,” tegas Budi sembari menyampaikan bahwa tim penyusun RUU Zakat di Komisi VIII telah membuat beberapa model simulasi. Tim menilai contoh simulai yang paling ideal adalah seperti yang disampaikan tadi. Keberadaan lembaga zakat yang dibentuk masyarakat sipil diakui Budi sudah ada sebelum UU No.38/99 lahir. Oleh karenanya tim menganggap tidak boleh meninggalkan sejarah. “Kita tidak mungkin a historis,” ujarnya. Tapi nyatanya keberadaan BAZ (pemerintah) masih belum maksimal. Oleh karenanya Budi menegaskan kebangkitan civil society dalam pengelolaan zakat harus dihargai setinggi-tingginya. “LAZ harus kita pertimbangkan betul keberadaannya, karena keberadaan LAZ merupakan kebangkitan civil society di masyarakat kita,” imbuh Budi mengingatkan bahwa sejak tahun 1980 mulai muncul tren yang berkembang di masyarakat kita bahwa peran negara harus dikurangi seminimal mungkin bagi kehidupan bermasyarakat, ketika masyarakat sudah bisa mengatur dirinya sendiri. “Kalau masyarakat sudah bisa mengatur dirinya sendiri kenapa negara masih ikut campur tangan mengaturnya,” tegas Budi Hanya Menguatkan Keuangan Negara Ada kelemahan yang ditemukan tim penyusun RUU Zakat Komisi VIII DPR RI ketika LAZ dimerger ke BAZ. Salah satu ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 38 isi.pmd 38 8/20/2008, 11:04 AM kelemahan yang paling mendasar adalah masalah dana zakat, infak dan sedekah yang dihimpun BAZ. “Jika zakat, infak dan sedekah (ZIS) dikumpulkan di BAZ, maka dana tersebut akan menjadi bagian daripada APBN, berarti kita akan menguatkan keuangan negara,” urainya. Sementara kita tidak dapat menyalurkan dana zakat yang terkumpul itu secara leluasa apabila BAZ itu menjadi bagian dari pemerintah. Hal ini sesuai isi UU No.17 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa seluruh dana yang terkait dengan penerimaan uang maka harus masuk ke dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dengan demikian apabila mengikuti pendapat ini maka tidak bisa leluasa memanfaatkan dana zakat untuk program-program yang dirancang lembaga zakat. Karena tergantung pembagian dari pusat. Di samping itu, kata Budi, jika LAZ dimerger ke BAZ (artinya BAZ adalah bagian dari pemerintah) maka muncul kekhawatiran di lingkungan komisi VIII sendiri. Pertama, adanya kekhawatiran dari golongan nasionalis. Masih ada beberapa fraksi yang khawatir sekaligus menolak jika UU ini hanya dikhususkan bagi umat Islam saja. Kedua, adanya penolakan dari golongan yang phobia terhadap masuknya institusi keagamaan ke dalam sistem kenegaraan. Ketiga, penolakan dari golongan yang mengatakan bahwa institusi Islam tidak boleh masuk ke dalam sistem kenegaraan. Memperhatikan kekhawatiran itu, tim mengambil jalan tengah yakni mendorong optimalisasi fungsi Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) dan Bazda (Badan Amil Zakat Daerah) menjadi pengawas dan regulator, atau semacam BI (Bank Indonesia)-nya. “Tim mengusulkan ada lembaga pemerintah non departemen, namanya Badan Koordinasi Pengelolaan Zakat (BKPZ),” kata Budi. Sementara Depag adalah bagian dari BKPZ itu. Ke depan, ketika kelembagaan zakat sudah mapan dan tertata dengan baik, Budi mengakui penyatuan lembaga zakat adalah yang paling ideal. “Karena seperti itulah tujuan akhir kita bersama.” Namun ia mengingatkan bahwa jika tujuan akhir itu mau dicapai sekarang ini, maka keinginan itu terlalu dini. “Sama seperti usia kehamilan yang belum sampai sembilan bulan sudah disuruh melahirkan. Jadi sebaiknya nanti sajalah kalau sudah usianya mencapai sembilan bulan,” ujar Budi. Pendapat berbeda disampaikan oleh Mukhtar Zarkasyi. Ketua tim amandemen UUPZ yang dibentuk Departemen Agama ini mengatakan sejak awal pengelolaan zakat di Indonesia diarahkan hanya dikelola oleh Badan Amil Zakat (BAZ / lembaga yang dibentuk pemerintah). Karena hal itu sejalan dengan perintah Allah di dalam Surat At Taubah ayat 103. “Tujuan agar zakat dikelola oleh negara adalah agar pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaannya dapat berjalan dengan efektif, efisien dan dapat mewujudkan kesejahteraan sosail sebagaimana amanat UUD 1945,” kata Mukhtar. Jadi sebenarnya LAZ yang dikehendaki oleh UU No.38 Tahun 1999 hanyalah LAZ yang berasal dari ormas-ormasi Islam. “Sebenarnya lahirnya LAZ yang begitu banyak seperti sekarang ini tidak dikehendaki oleh undang-undang. Kesalahan Menteri Agama juga (waktu itu Said Agil Munawar, red) yang malah mengukuhkan Laznas-Laznas,” imbuh Mukhtar yang juga ketua tim penyusunan UU No.38 tahun 1999. Oleh karenanya sampai sekarang Mukhtar tetap konsisten mempertahankan pendapatnya bahwa lahirnya puluhan lembaga amil zakat sebenarnya tidak sesuai semangat awal disusunnya UU No.38 tahun 1999. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 39 isi.pmd 39 8/20/2008, 11:04 AM Akomodir Unsur Masyarakat Mukhtar juga membantah jika rencana penyatuan LAZ ke dalam BAZ, sebagaimana yang disebutkan di dalam rancangan amandemen, berarti tidak mengakomodir keterlibatan masyarakat. “Tidak benar itu (tidak melibatkan unsur masyarakat, red). Justru kita akan mengajak komponen masyarakat masuk ke dalam struktur BAZ,” bantah Mukhtar. Apa yang diusulkan tim amandemen menurut Mukhtar adalah sesuai dengan perintah Allah agar mengangkat petugas zakat di daerah-daerah yang dikuasainya. Sebagaimana perintah yang diberikan kepada Nabi. “Perintah Allah kepada Nabi bunyinya seperti itu,” tandasnya. Kalau tidak ada penguasa atau pemerintah yang mengurusi kepentingan umat, lanjut Mukhtar, barulah masyarakat Islam setempat yang mengurusi kepentingan mereka sendiri dengan mengangkat petugas zakat di antara mereka sendiri. Rancangan amandemen UUPZ yang disusun Depag bertujuan untuk menata pengelolaan zakat ke depan agar lebih baik dibandingkan sekarang. Masih lemahnya struktur keorganisasian akan dapat diatasi dengan penyatuan LAZ ke dalam BAZ. “Walaupun nantinya badan amil zakat diangkat oleh pemerintah sesuai tingkatannya akan tetapi dalam operasionalnya, semua Badan Amil Zakat mempunyai hubungan hirarki,” terang Mukhtar. Begitu juga dalam hal menentukan komposisi pengurus BAZ. Bahwa Badan Amil Zakat terdiri unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu. Mukhtar mengajak umat Islam agar pasca penolakan pembentukan Bazis Nasional oleh Presiden Soeharto pada tahun 1992 dan kuatnya paham sekuler pada saat itu menjadi pelajaran penting bagi umat Islam Indonesia saat ini. Oleh karenanya ia mohon keikhlasan hati supaya bergabung bersama dalam wadah tunggal pengelolaan zakat. “Saya mohon keikhlasan umat Islam, mari bergabung dalam wadah tunggal Badan Amil Zakat yang dibentuk pemerintah, karena hal itulah yang sesuai perintah Allah,” pinta Mukhtar. Dilandasi Niat Baik Apa yang dikatakan Mukhtar didukung oleh Direktur Pengembangan Zakat Depag, Nasrun Haroen. Ia berpendapat bahwa pengelolaan zakat ke depan harus ditangani oleh pemerintah. Banyaknya lembaga zakat saat ini membuat pemerintah sulit untuk melakukan pengawasan. Oleh karena itu harus disatukan. Sebenarnya di dalam penyatuan lembaga zakat itu tidak ada niat lain kecuali niat baik melakukan penataan zakat secara baik dan benar. “Ide ini (penyatuan, red) bertujuan agar penghimpunan dan pengelolaan zakat di Indonesia bisa berjalan terpadu,” ujarnya sambil menyebutkan pengelolaan zakat saat ini terpencar-pencar akibatnya potensi zakat tidak kelihatan. Lebih lanjut Nasrun menambahkan praktek pengelolan zakat di negara yang penduduknya mayoritas muslim zakatnya dikelola negara. “Di negara-negara Islam dan mayoritas muslim seperti negara di Timur Tengah, semua dikelola oleh negara,” kata dia. Sebab penanganan zakat oleh negara akan dapat membantu masyarakat kurang mampu secara lebih baik. Apabila zakat dikelola secara baik dan terpadu, maka pemerintah juga mudah membuat kebijakan dan peraturan terkait zakat yang bertujuan untuk pengembangan zakat ke depan. Misalnya zakat pengurang pajak. Punya Kelemahan dan Kelebihan Sementara Ketua Umum Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) Didin Hafidhuddin mendukung penataan zakat ke depan seperti yang disampaikan Nasrun. Bahwa apa yang dilakukan pemerintah bertujuan baik. “Saya ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 40 isi.pmd 40 8/20/2008, 11:04 AM yakin penyatuan itu tujuannya baik,” ujar Didin. Namun idealnya ke depan pengelolaan zakat di Indonesia tetap harus mengakomodir keberadaan BAZ dan LAZ. Sebab keduanya sama-sama mempunyai kelemahan dan kelebihan. “Dua-duanya mempunyai kelemahan dan kelebihan. Keberadaan LAZ memunculkan kesadaran masyarakat membayar zakat semakin kuat. Sedangkan BAZ (pemerintah, red) juga mempunyai kekuatan yang mengikat,” terang Didin. Kalau seandainya zakat hanya dikelola oleh negara maka juga tidak baik karena masyarakat cenderung masa bodoh. Oleh karenanya Didin mengusulkan baik LAZ maupun BAZ keduanya bisa dipadukan. “Unsur negara penting, unsur masyarakat juga penting,” tandasnya. Artinya di sini harus ada pembagian peran antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai pengatur dan pengawas sekaligus juga memberi izin atas terbentuknya LAZ. Unsur pemerintah direpresentasikan oleh Baznas. “Baznas bisa didorong memerankan peran seperti itu. Sekaligus dibiayai oleh negara,” imbuh Didin. Didin menyampaikan bahwa niat untuk menyatukan lembaga zakat di Indonesia yang digagas oleh tim amandemen tidak lain kecuali agar pengelolaan zakat bisa berhasil lebih transparan dan lebih memudahkan. Begitu juga konsep yang diusulkan oleh masyarakat atau oleh DPR juga sama-sama baik. “Keduanya saya kira sama baiknya,”. Sebab konsep seperti itu sama-sama ingin supaya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat agar semakin kuat. Oleh karena itu menurut Didin perlu ditarik benang hijau. “Bukan benang merah. Artinya harus dua-duanya dapat berperan. Keduanya harus saling memahami. Kalau masing-masing berjalan sendiri-sendiri maka tidak akan pernah ketemu,”. Dengan cara seperti itu Didin yakin tidak ada masalah yang mendasar lagi di kemudian hari. Didin juga sepakat bahwa keberadaan LAZ harus dibatasi. Jangan seperti sekarang ini. LAZ banyak dan berjalan sendiri-sendiri. “Semuanya berjalan sendiri-sendiri, makanya harus disinergikan,” tegasnya. Wilayah garapan LAZ juga harus ditentukan jangan sampai rebutan. Keberadaan Bazda juga harus disatukan ke dalam satu komando dan satu hirarki. Bahkan akan lebih baik jika unsur masyarakat juga dilibatkan di dalam kepengurusan Bazda. Dengan cara demikian maka pengelolaan zakat ke depan akan lebih baik. Sehingga potensi zakat yang besar akan tergali secara optimal. Sementara akan semakin banyak masyarakat miskin yang kesejahteraannya semakin meningkat. [z] : ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 41 isi.pmd 41 8/20/2008, 11:04 AM Fenomena Unik Di Balik Menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) Di Indonesia Adiwarman A. Karim dan A. Azhar Syarief Abstrak Tulisan ini merupakan bentuk apresiasi atas menjamurnya institusi zakat di tanah air. Fenomena unik itu kami coba analisa melalui kajian dan analisis yang bersifat argumentatif yang ditunjang dengan studi literatur yang bisa dipertanggungjawabkan. Tulisan ini diawali dengan memberikan sedikit kilas balik sejarah amil zakat pada masa Rasulullah SAW serta tradisi pengelolaan zakat yang dilakukan masyarakat Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga Orde Baru. Inti dari tulisan ini adalah kajian mengenai fenomena unik yang mengakibatkan menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini. Fenomena itu dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor pendorong (push-factor) dan faktor penarik (pull-factor). “ 1. Pendahuluan Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (dari kekikiran dan cinta berlebihan kepada harta) dan menyucikan (menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati) mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103) Arti ayat di atas menjelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Dalam khazanah hukum Islam, yang bertugas mengambil dan yang menjemput zakat adalah para petugas zakat (amil). Menurut Imam Qurthubi, amil adalah orangorang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat atas harta zakat yang diambil dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Amil zakat adalah profesi yang mulia, sebagaimana posisi nabi, ulama atau ulil amri (pemerintah). Karena profesi mulianya itu, Allah SWT mencantumkan namanya di dalam Al Qur’an. Kemuliaan amil bukan sekedar ia menjadi perpanjangan tangan dari Allah SWT untuk mengelola amanah orang beriman, namun amil juga menjadi media tercapainya keharmonisan antara si kaya (muzakki) dengan si miskin (mustahik) dengan menjadi mediator bagi sirkulasi zakat dari muzakki kepada mustahik. Harta yang dimiliki, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Di sinilah sikap amanah dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya. Sikap amanah, tidak hanya tumbuh dalam diri orang yang berzakat, tetapi juga pada para ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 42 isi.pmd 42 8/20/2008, 11:04 AM petugas atau amil zakat. Yakni dalam membagi dan menyalurkan seluruh harta zakat kepada yang berhak. Dahulu, dalam hal operasional zakat, Rasulullah SAW dan para sahabatnya menerapkan seleksi ketat dalam memilih para amil zakat. Kriteria sifat standar yang dipegang Rasulullah SAW dan para sahabatnya, pertama adalah orang yang benar-benar memiliki sifat amanah, mengerti permasalahan dan kehidupannya mencukupi. Rasulullah SAW bahkan memberi motivasi kepada para amil zakat dalam sabdanya, “Amil sedekah (zakat) yang melakukan tugasnya dengan ikhlas dan semata karena Allah, ia laksana orang yang berperang di jalan Allah, sampai ia kembali lagi ke rumahnya.” (HR. Ahmad). Pada masa Rasulullah SAW yang diangkat menjadi amil zakat adalah Baginda Umar bin Khattab ra. Rasulullah SAW juga pernah mempekerjakan seorang pemuda dari Suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang di samping bertugas sebagai da’i (mendakwahkan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat. Ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengangkat Ibnus Sa’dy Al-Maliki sebagai pengumpul zakat. Hal ini diriwayatkan oleh Busr bin Sa’ied dari Ibnus Sa’dy Al-Maliki, yang berkata, ‘’Umar pernah mengangkat aku untuk mengurus zakat (amil). Ketika usai pekerjaanku dan aku laporkan kepadanya, maka dia kemudian mengirimi aku upah. Maka aku katakan, ‘Sungguh, aku melakukan tugas ini karena Allah.’ Maka Umar berkata, ‘Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu. Aku dulu juga pernah menjadi amil Rasulullah SAW, dan beliau memberi upah untuk tugas itu. Ketika aku katakan kepada beliau seperti yang kau katakan tadi, maka Rasulullah SAW berkata, bila engkau diberi sesuatu yang tak kau pinta, maka makanlah dan sedekahkanlah.’” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Sejarah perjalanan profesi amil zakat telah ditorehkan berabad-abad silam. Dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran amil zakat telah digagas sejak 13 abad yang silam. Saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya Islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh hingga Papua. Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan akhirnya mempraktekkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa berabad-abad tersebut, praktek pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual, sebagai kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat, infak dan sedekah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus menguat. Keinginan yang kuat ini mengkristal dengan disampaikannya saran oleh sebelas ulama tingkat nasional kepada Presiden Soeharto pada tanggal 24 September 1968.1 Pada saat itu, musyawarah sebelas ulama nasional di antaranya Prof. Dr. Hamka dan KH Moh. Syukri Ghazali, mengeluarkan rekomendasi yang isinya antara lain ; perlunya pengelola zakat dengan sistem administrasi dan tata usaha yang baik, sehingga bisa dipertanggungjawabkan pengumpulan dan pendayagunaanya kepada masyarakat. Awal tahun 1968, pada “Seminar Zakat” yang diselenggarakan lembaga Research dan Work Shop Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah di Jakarta, untuk kali pertama Presiden Soeharto mengimbau masyarakat untuk melaksanakan zakat secara konkret. 1 Sumber : www.dsniamanah.or.id ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 43 isi.pmd 43 8/20/2008, 11:04 AM Dalam pidatonya Presiden Soeharto berpesan, “Saya ingin memulai lagi bahwa pengumpulan zakat secara besar-besaran yang saya serukan itu, saya maksudkan sebagai ajakan seorang muslim untuk mengamalkan secara konkret ajaran-ajaran Islam bagi kemajuan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya (Pemda DKI, Pedoman 1992 :109). Pada acara Isra’ Mi’raj di Istana Negara, 26 Oktober 1968, Presiden menegaskan kesediaannya menjadi amil tingkat nasional. Seruan tersebut disusul dengan dikeluarkannya surat perintah Presiden No. 07/POIN/10/1968 tanggal 31 Oktober 1968. Isinya, mengamanatkan kepada Mayjen Alamsyah Ratu Prawiranegara, Kol. Inf. Drs. Azwar Hamid dan Kol. Inf. Ali Afandi untuk membantu Presiden dalam proses administrasi dan tata usaha penerimaan zakat secara nasional. Seruan Presiden ini ditindaklanjuti oleh Gubernur DKI Jakarta dengan mendirikan Bazis DKI. Juga Bazis-Bazis daerah oleh kepala daerah masing-masing.2 Selanjutnya, untuk lebih menguatkan dan mengembangkan keberadaan lembaga pengelola zakat, akhirnya dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16 tahun 1989 tentang Pembinaan Zakat dan Infak/ Sedekah. Selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 1991. Dan saat ini, payung tertinggi tersebut tercantum dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. 2. Fenomena Menjamurnya LAZ Di Indonesia Pengelolaan zakat di tanah air akhir-akhir ini sebenarnya menyimpan benih penguatan sistem sosial masyarakat menuju civil society.3 Ini diindikasikan dengan lahirnya Lembaga Amil zakat (LAZ) dengan program-program kemanusiaan. Mereka hadir bukan sekedar trend ikut-ikutan atas sebuah euphoria, namun ada cita-cita luhur atas fenomena itu. Semangat untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat melalui program usaha produktif, yang terbukti mampu melapangkan beban masyarakat akibat himpitan ekonomi. Hal itu takkan mungkin terjadi tanpa adanya kebaikan dan kesadaran hati para muzakki yang ditopang oleh amil yang profesional, amanah, dan akuntabel. Dalam pengelolaan zakat modern, amil memiliki posisi yang sangat penting dalam mengemas program-program atau produk yang berdayaguna bagi mustahik. 2.1 Faktor Penarik (Pull Factor) A. Semangat Menyadarkan Umat (Spirit of Consciousness) Salah satu keunikan LAZ di Indonesia saat ini adalah para amil mau tidak mau harus menjadi motor dalam penyadaran umat atas penting dan perlunya berzakat. Hal ini tidaklah berlebihan, karena sebenarnya idealnya penyadaran umat ini menjadi tugas negara melalui ketetapan hukum negara (jika sistem pemerintahannya mengadopsi sistem pemerintahan Islam yang mewajibkan bagi masyarakatnya untuk berzakat), namun hal itu tidak dilakukan di Indonesia karena Indonesia bukanlah negara Islam yang bisa memaksa bahkan memerangi bagi mereka yang membangkang karena tidak mau membayar zakat. Oleh karena itu jika otoritas negara tidak dalam posisi untuk melakukannya, maka para amil dan da’i yang memahami pentingnya berzakat bagi pemberdayaan umat, harus menjadi motor penggerak dalam penyadaran ini. Hal ini bisa kita lihat pada beberapa LAZ yang ada di Indonesia dalam mempromosikan zakat, infak dan sedekah. Dalam sosialisasinya, para amil bukan sekedar mengingatkan akan kewajiban berzakat sebagai suatu ketetapan 2 3 Aya Hasna, Tabloid Suara Islam, Edisi 08. sumber : www.suara islam.com Muchtar Sadili, Relevansi Zakat Terhadap Civil Society. Sumber: www.republika.co.id ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 44 isi.pmd 44 8/20/2008, 11:04 AM syariat yang harus dipatuhi, namun juga banyak kebaikan–kebaikan bagi lain bagi mereka yang mengeluarkan zakat, infak dan sedekah dan orang yang menerimanya. Berdasarkan survei PIRAC, bahwa tingkat kesadaran muzakki di Indonesia masih tergolong rendah, hanya 55%. Hal ini masih sangat kecil karena kesadaran itu belum termasuk kemauan muzakki untuk membayar zakat. Dari 55% itu, yang mau membayar zakat tidak sampai 100%, tapi hanya 95,5%.4 Fenomena ini memang perlu menjadi catatan bagi para amil dan semua pihak yang peduli akan zakat dalam menyadarkan masyarakat. Umumnya di beberapa LAZ, biaya promosi zakat, infak dan sedekah diambil dari dana infak dan sedekah atau sponsor. Kalaupun terpaksa harus mengambil porsi dana zakat itupun tidak boleh melebihi 12,5% dari total zakat yang diterima (karena biaya promosi zakat dalam konteks ini masuk dalam tanggung jawab amil). Fenomena ‘unik’ inilah yang terjadi dalam pengembangan zakat di negeri kita. Meskipun pengembangannya terkadang harus bottom-up, namun dengan keikhlasan dan semangat menyadarkan umat, membuat LAZ seakan pantang menyerah demi hadirnya civil society di negeri ini. B. Semangat Melayani Secara Profesional (Spirit of Professional Services) Bayangkan bila seorang amil dapat bekerja secara sangat profesional. Yang akan muncul setelah itu adalah timbulnya kepercayaan terhadap LAZ. Kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga yang dikelola secara profesional pada gilirannya akan membuat gairah tersendiri dalam menyalurkan zakat bagi para muzakki. Efek jangka panjangnya adalah kemampuan menghimpun potensi zakat umat Islam yang luar biasa besar itu. Selanjutnya, bila zakat berhasil dikumpulkan dengan baik, dan berhasil dikelola dengan penuh amanah, maka persoalan klasik umat yang selama ini tak kunjung selesai, yakni hubungan harmonis si kaya dan si miskin akan dapat dijawab dengan baik. Saat ini, bayangan itu semakin mendekati kenyataan. Namun, sekali lagi, harapan luhur itu tak akan terjadi bila amil tidak memiliki profesionalisme. Ada beberapa persyaratan LAZ dapat dikatakan profesional, yaitu : 5 1. 2. 3. 4. 5. 6. Memiliki kompetensi formal Komitmen tinggi menekuni pekerjaan Meningkatkan diri melalui asosiasi Bersedia meningkatkan kompetensi Patuh pada etika profesi Memperoleh imbalan yang layak Syarat profesionalisme di atas bukanlah satu hal yang mutlak, namun itu bisa menjadi parameter akan profesionalisme LAZ itu sendiri. Forum Zakat (FOZ) sendiri dalam keputusan Munas-nya telah membuat kode etik profesi amil zakat. Hal ini tentunya memperketat penyaringan bagi pelaku pengelola zakat. Belum lagi sarana pelatihan formal maupun non-formal yang menjamur di beberapa daerah. Membuktikan bahwa zakat merupakan potensi umat yang harus digarap secara profesional. Semangat melayani secara profesional ini tergambar dari kepuasan muzakki atas pelayanan yang diberikan beberapa amil zakat. Dengan transparansi pelaporan dan penyaluran yang tepat sasaran, serta programprogram unik dalam pemberdayaan masyarakat membuat muzakki merasa puas dan semakin gemar untuk berzakat. Meskipun semangat profesionalisme crew zakat itu masih didominasi oleh LAZ – LAZ besar, seperti 4 5 Survei “Potensi dan Perilaku Masyarakat dalam Berzakat”, akhir 2007. sumber : PIRAC, survei dilakukan melibatkan 2000 responden di 11 kota besar, diantaranya Medan, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Pontianak, dan Makasar. M. Akhyar Adnan, Menuju Amil Zakat Profesional. Sumber: www.republika.co.id ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 45 isi.pmd 45 8/20/2008, 11:04 AM Dompet Dhuafa, Rumah Zakat Indonesia, DPU-DT, YDSF, Al Azhar, dan LAZ besar lainnya. Menjamurnya LAZ pada beberapa kurun waktu terakhir ini, menunjukkan setiap pihak ingin memberikan yang terbaik bagi pengembangan masyarakat dengan cara meningkatkan profesionalismenya dengan berkaca pada LAZ – LAZ yang telah lebih dulu sukses mengelola dana umat. Jika kinerja LAZ - LAZ besar itu bisa dipertahankan dan dikembangkan, serta LAZ – LAZ yang lain bisa mengikuti tingkat profesionalisme mereka, bukan tidak mungkin potensi zakat sebesar Rp 20 triliun bisa tergarap secara maksimal. C. Semangat Berinovasi Membantu Mustahik (Spirit of Inovation) Kemajuan sebuah lembaga akan bergantung pada inovasi. Ini juga berlaku pada LAZ. Tanpa inovasi, lembaga ini hanya akan berkutat pada pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, idealnya LAZ memiliki orang-orang yang inovatif dalam menemukan peluang sekecil apapun dalam memberdayakan masyarakat yang membutuhkan. Setiap LAZ-LAZ besar, saat ini banyak memiliki program-program unik dalam memikat hati muzakki. Program unik inilah yang membuat muzakki luluh hatinya menyerahkan dananya kepada LAZ itu. Ambillah contoh Dompet Dhuafa dengan Warung Ukhuwah-nya, DPU-DT dengan Misykat-nya, Rumah Zakat Indonesia dengan SuperQurban-nya, dan program unik lain dari LAZ-LAZ yang tidak kalah inovatifnya. Hal itu semuanya berujung pada semangat LAZ dalam memberdayakan umat. Inovasi inilah yang perlu dicatat sebagai keunikan tersendiri, karena tidak semua LAZ di negara-negara lain bisa berkreasi sedemikian rupa seperti halnya terjadi di Indonesia. Mungkin seandainya pemerintah turut campur tangan terhadap seluruh pengelolaan zakat, infak dan sedekah (ZIS), mungkin inovasi dan kreasi produk ZIS dari LAZ kita tidak seinovatif dan sekreatif saat ini. D. Semangat Memberdayakan Masyarakat (Spirit of Empowering) Yang patut disyukuri oleh kita saat ini adalah masih banyaknya orang-orang yang peduli terhadap derita yang dialami oleh lingkungan sekitar kita. Saking besarnya kepedulian itu, maka munculnya LAZ di beberapa daerah, di masjid-masjid, bahkan di lembaga pemerintah / swasta bagaikan cendawan yang tumbuh di musim hujan. Di satu sisi, hal ini patut diapresiasi. Berarti negeri ini telah membantah kalau nilai sosial masyarakatnya telah luntur dan hilang kepedulian. Namun di sisi lain, menjamurnya LAZ bisa menimbulkan inefisiensi pengelolaan dan penyaluran dana zakat, infak dan sedekah. Oleh karena itu, pentingnya fungsi koordinatif, konsultatif, dan informatif dalam penghimpunan dan penyaluran dana harus dilakukan oleh badan yang diakui oleh seluruh LAZ dan otoritas negara. Alhamdulillah UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat mengatur fungsi ini melalui BAZ (Badan Amil zakat) yang ada di tiap-tiap tingkatan wilayah. 2.2. Faktor Pendorong (Push Factor) A. Potensi Penghimpunan Dana Zakat Yang Besar (Huge Market Potential) PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dalam rilis hasil surveinya mengatakan potensi dana zakat di Indonesia, yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada 2007. Potensi ini meningkat 4,64 triliun dibanding tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 20 triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp 500 miliar per tahun (berdasarkan ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 46 isi.pmd 46 8/20/2008, 11:04 AM asumsi tahun 2006). Berapapun nilainya, yang pasti itu bukanlah angka yang kecil. Jika semua dana itu bisa terkumpul dan dikelola oleh lembaga yang profesional dalam skim penyaluran yang produktif, maka bisa dibayangkan besarnya manfaat yang diperoleh masyarakat kurang mampu agar bisa bangkit dari keterpurukannya. Yang mulanya sebagai mustahik dalam beberapa tahun mungkin sudah bisa menjadi muzakki. Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki keunikan sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Keunikan lainnya, budaya Indonesia dikenal sebagai budaya yang memiliki tenggang rasa, berjiwa sosial tinggi, dan peduli terhadap sesama. B. Regulasi Yang Mulai Mendukung (Friendly Regulation) Ketika kran reformasi bergulir, regulasi mengenai pengelolaan zakat menemukan momentumnya. Jika sebelumnya ketentuan tentang pengelolaan zakat hanya diatur dengan keputusan dan instruksi menteri, akhirnya berkat perjuangan para ulama dan praktisi zakat, Indonesia memiliki payung hukum lebih tinggi dalam pengelolaan zakat yaitu UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tepat pada tanggal 23 September 1999 di era kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Beberapa poin penting UU ini di antaranya adalah terimplementasinya regulasi zakat sebagai pengurang pajak, adanya standarisasi profesi amil, serta kejelasan fungsi koordinasi antar pengelola zakat. Dengan adanya payung hukum ini, niscaya akan menjadi angin segar dalam pengembangan pengelolaan zakat ke depan. C. Infrastruktur IT Yang Menunjang (IT Infrastructure) Dalam penjabaran Rencana Strategis 2005–2009, Direktorat Pemberdayaan Zakat Departemen Agama telah berupaya melakukan program-program yang bersifat mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan zakat. Salah satunya adalah dengan membangun sistem informasi zakat nasional yang berbasis teknologi informasi sehingga dapat diketahui data base mustahik dan muzakki secara menyeluruh serta hasil penghimpunan dan penyaluran zakat, infak dan sedekah dapat dimonitor setiap saat.6 LAZ – LAZ besar di Indonesia saat ini menjadi besar karena menggunakan infrastruktur IT yang memadai. Semakin canggih mereka menggunakan infrastruktur teknologi informasi (IT), maka semakin efisien LAZ mengumpulkan dana dari para muzakki dan semakin mudah menyimpan data penerima zakat, data wilayah penerima zakat, data wilayah binaan lembaga zakat (kalau ada), data lembaga yang mendapat dukungan dari dana zakat, data wajib zakat, dan lain-lain. Untuk funding zakat, saat ini beberapa LAZ menerapkan IT dalam operasionalnya antara lain muzakki dapat membayar zakat via SMS (short message service) melalui registrasi, muzakki bisa menghitung zakatnya via internet, muzakki dapat memperoleh informasi mengenai laporan penggunaan dana zakatnya via internet, dan lain-lain. Semua mudah dan dapat diakses dalam genggaman tangan dan realtime-online. Namun penerapan teknologi informasi untuk zakat ini juga bukan tanpa kendala. Kendala yang biasa dihadapi dalam penerapan IT adalah pemborosan biaya dalam membangunnya, sulitnya edukasi sumber daya manusianya, dan pada saat implementasinya. Ditambah lagi, belum semua instansi paham akan IT apalagi sampai menerapkannya. Untuk menghindari itu semua, maka perlu disusun Rencana Strategis IT atau Sistem Informasi untuk keseluruhan lembaga zakat. 6 Sumber : www.bimasislam.depag.go.id ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 47 isi.pmd 47 8/20/2008, 11:04 AM Yang terpenting adalah LAZ bisa bekerjasama dalam hal berbagi data (dalam konteks penyaluran) dengan yang dimiliki oleh LAZ–LAZ lain. Share data ini tujuannya adalah agar “kerjasama zakat” dapat lebih mudah memetakan bagaimana pola penyebaran zakat yang adil untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan “kerjasama” ini, maka sudah saatnya LAZ bisa saling “virtually integrated” dalam pemberdayaan zakat di era teknologi informasi7. D. Tingkat Kesadaran Masyarakat Yang Makin Meningkat ( Awareness Increasing) Menarik jika kita melihat kesadaran masyarakat yang semakin meningkat terhadap pentingnya berzakat. Sur vei PIRAC melaporkan tingkat kesadaran muzakki meningkat dari 49,8% di tahun 2004 menjadi 55% di tahun 2007. Hal ini berarti dalam kurun waktu 3 tahun terjadi peningkatan sebesar 5,2% kesadaran berzakat dalam masyarakat, jika 5,2% itu dikalikan dengan populasi muzakki di Indonesia, maka terdapat lebih dari 29 juta keluarga sejahtera yang akan menjadi warga sadar zakat. Sedangkan saat ini, diperkirakan hanya ada sekitar 12 – 13 juta muzakki yang membayar zakat via LAZ, berarti masih ada lebih dari separuh potensi zakat yang belum tergarap oleh LAZ. Fenomena meningkatnya kesadaran masyarakat ini idealnya bisa memacu semangat para amil zakat untuk bisa melakukan tindakan konkret yang bisa memaksimalkan penerimaan dan pengelolaan zakat, tentunya dengan melalui koordinasi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) & Direktorat Pemberdayaan Zakat DEPAG. Baznas sendiri idealnya bisa merespon langsung potensi ini dengan mengkoordinasikan dan memetakan potensi muzakki yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah yang memiliki data base yang lebih valid tentang keluarga-keluarga muslim yang layak dalam kategori muzakki. Tentunya pendekatan dakwah fardhiyah (personal) antara petugas amil dengan muzakki harus lebih digalakkan dalam mengajak calon muzakki untuk sadar berzakat. 4. Kesimpulan Indonesia adalah negeri yang unik. Keunikan inilah yang harus disadari oleh bangsa ini. Salah satu ‘keunikan’ itu adalah populasi muslimnya terbesar di dunia, namun sayangnya potensi zakat sebagai solusi bagi pengentasan kemiskinan rakyat belum terberdayakan. Keunikan itu bukan sekedar keunikan yang bernada satire, tapi ini adalah peluang besar yang harus dimanfaatkan komponen bangsa ini terhadap sebuah sistem yang digdaya secara konseptual. Keberadaan LAZ yang pondasinya telah dipikirkan oleh para ulama negarawan terdahulu, merupakan mutiara yang perlu diasah agar kembali menjadi cemerlang. Kecemerlangan itu takkan pernah hadir jika semua komponen bekerja setengah hati untuk menjadikan LAZ sebagai motor penggerak pengentasan kemiskinan yang saat ini menjangkiti masyarakat kita. Alhamdulillah, rasa syukur ini pantas terucap bukan berarti kita sudah berada pada puncak pengembangan zakat, namun patutlah kita bersyukur karena dalam kurun waktu beberapa terakhir ini LAZ telah menjadi fenomena tersendiri terhadap kehidupan masyarakat kita. Euphoria reformasi, fenomena booming-nya industri keuangan syariah, hingga terbitnya UU Pengelolaan Zakat telah berhasil mendorong pengembangan LAZ ke arah lebih profesional, transparan, akuntabel, dan terkoordinasi. Meskipun masih ada kekurangan di sana-sini yang perlu dievaluasi lagi, tapi sejauh ini sudah berjalan dengan lebih baik bila dibandingkan 7 Hendratno, Urgensi Renstra TI/SI untuk Jaringan Lembaga Zakat. Sumber : www.hudzaifah.or.id ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 48 isi.pmd 48 8/20/2008, 11:04 AM : DAFTAR PUSTAKA di era sebelum reformasi. Tinggal bagaimana Baznas sebagai badan tertinggi pengelolaan zakat tingkat nasional mampu memaksimalkan perannya sebagai bagian dari amanat UU untuk menjalankan fungsi koordinatif, konsultatif, dan informatif bagi stakeholders zakat tanah air. Aya Hasna, Tabloid Suara Islam, Edisi 08. Hendratno, Urgensi Renstra TI/SI untuk Jaringan Lembaga Zakat M. Akhyar Adnan, Menuju Amil Zakat Profesional. Muchtar Sadili, Relevansi Zakat Terhadap Civil Society. www.bimasislam.depag.go.id www.dsniamanah.or.id www.hudzaifah.or.id www.suara-islam.com www.republika.co.id ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 49 isi.pmd 49 8/20/2008, 11:04 AM Membangun Koherensi Antar Sektor : Filantropi Islam, Agenda Organisasi Sektor Ketiga dan Masyarakat Sipil Di Indonesia Hilman Latief Abstrak Artikel ini mendiskusikan institusi filantropi Islam di Indonesia dalam perspektif organisasi sektor ketiga serta isu-isu yang terkait dengan sektor tersebut. Di tengah tarik menarik kewenangan antara negara dan organisasi masyarakat sipil dalam pengelolaan filantropi Islam di Indonesia, artikel ini menyoroti pentingnya mempertahankan dan memelihara modal sosial yang sudah dimiliki masyarakat sebagai fondasi penguatan koherensi masyarakat sipil. Penulis menyimpulkan, otoritas negara dalam praktik filantropi Islam, sebagaimana pengalaman beberapa negara lain, tidak selalu berbanding lurus dengan keberhasilan negara tersebut dalam menyediakan sistem kesejahteraan sosial yang memadai, apalagi bila potensi masyarakat sipil tercerabut dari akarnya. Di tengah ‘persaingan’ antara institusi filantropi pemerintah dan swasta yang tetap harus dibangun secara sehat, artikel ini juga merekomendasikan perlunya model kerjasama dan disseminasi program guna memperkuat kapasitas institusi filantropi di beberapa daerah lain di Indonesia. Kata Kunci: Filantropi, Islam, Sektor Ketiga, Masyarakat Sipil, Indonesia. C Pendahuluan ukup sering kita dihadapkan pertanyaan lembaga manakah yang paling otoritatif dan kredibel menjadi penggerak filantropi Islam di Indonesia, dan pada tingkatan manakah gerakan filantropi ini dapat berperan lebih efektif, negara atau masyarakat? Terhadap pertanyaan tersebut penulis ingin mendiskusikan dua hal, yaitu: otoritas dan kredibilitas. Konsep ‘otoritas’ banyak terkait dengan persoalan kebijakan, legalitas dan rekognisi dari sebuah lembaga formal seperti negara terhadap organisasiorganisasi filantropi yang ada di masyarakat. Sementara konsep ‘kredibilitas’ mencakup kapasitas organisasi, akuntabilitas, kompetensi dan rekognisi dari stakeholders. Di Indonesia, seperti juga di beberapa negara yang lain yang berpenduduk mayoritas Muslim, konsep otoritas dan kredibilitas dalam pengelolaan filantropi berbasis agama adalah persoalan yang paling sering muncul. Di Indonesia sendiri yang penduduknya mayoritas muslim namun secara konstitusi tidak mengadopsi Islam secara eksklusif sebagai dasar negara, gerakan filantropi juga tengah menjadi perhatian banyak pihak, antara lain pemerintah dan organisasi filantropi Islam –non pemerintah maupun ‘quasi-pemerintah’– yang kini tengah bergelut meredefinisi wewenang institusi masing-masing. Penulis akan menelaah masalah otoritas dan kredibilitas dalam pengorganisasian filantropi Islam di Indonesia dalam kerangka ‘isu-isu sektor ketiga’ yang di dalamnya dielaborasi peran organisasi-organisasi masyarakat sipil / OMS (Civil Society Resource Organizations) dan negara. Ada tiga aspek yang akan dibahas dalam tulisan ini, pertama mendiskusikan karakter organisasi sektor ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 50 isi.pmd 50 8/20/2008, 11:04 AM ketiga dalam kaitannya dengan sektor yang lain; kedua penulis akan menarik ke dalam diskusi tentang modal sosial dan potensi masyarakat sipil dalam pengelolaan filantropi Islam; dan pada bagian berikutnya penulis ingin melihat kemungkinan relasi yang dibangun antara institusi filantropi Islam non pemerintah, ‘semi-pemerintah’ dan negara. Nomenklatur organisasi umumnya dibagi ke dalam tiga sektor berbeda namun saling berkelindan. Sektor pertama diwakili organisasi bernama negara atau pemerintah (state agencies) yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat melalui berbagai perangkat hukum dan kebijakan. Perangkat tersebut dibentuk sebagai mekanisme untuk melindungi masyarakat dari segala jenis kesulitan politik, sosial maupun ekonomi. Adalah hak setiap individu warga negara untuk mendapatkan manfaat di wilayah publik (public sector), dan adalah kewajiban sebuah negara untuk menyediakan dan menyelenggarakan perangkat tersebut. Sektor kedua adalah institusi-institusi swasta yang tujuannya tidak lain dari mengakumulasikan modal dan melakukan pengembangan unit-unit yang bersifat profit. Sesuai dengan wataknya, organisasi di sektor ini beroperasi murni mencari laba dan meningkatkan pendapatan profit organisasi. Organisasi yang masuk dalam kategori ini antara lain firma atau perusahaan yang dikelola swasta baik dalam skala kecil, menengah maupun besar. Sektor ini disebut juga private atau corporate sector. Sektor ketiga direpresentasikan oleh organisasi-organisasi sosial atau organisasi non-profit. Organisasi pada sektor ini bertujuan antara lain untuk memberikan pelayanan (service) atas kebutuhan dasar masyarakat dan menyediakan model pendampingan (advocacy) bagi masyarakat dengan didasarkan pada sistem kemandirian (self-reliance). Organisasi tipe ini juga berpartisipasi menyertai masyarakat dalam menciptakan demokrasi politik, sosial dan ekonomi, dan mendorong sektor pertama –atau bekerjasama dengan sektor kedua– untuk melahirkan kebijakan yang pro rakyat. Basis sektor ini bersifat kerelawanan atau semi-kerelawanan dan dimotivasi oleh sebuah tata nilai tertentu dalam masyarakat (value driven) karena itu disebut juga ‘voluntary sector.’ Organisasi yang masuk dalam kategori ini biasa disebut organisasi sosial/masyarakat dan NonGovermental Organizations (NGOs). Sejatinya, ketiga jenis organisasi tersebut memiliki tugas, wewenang dan wilayah garap yang berbeda. Namun faktanya, seiring dengan kompleksitas kehidupan masyarakat, ketiganya sering dikontestasikan dalam suatu arena di mana mereka memiliki interest yang sama, misalnya dalam program pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, dan pemberantasan kebodohan. Pemerintah, swasta, maupun organisasi masyarakat memiliki hak dan kewenangan untuk berpartisipasi dalam memberikan solusi terhadap problem tersebut dengan cara, kewenangan, dan kapasitasnya masing-masing. Setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda antara satu sama lain dalam memberikan ‘porsi’ kewenangan kepada masing-masing sektor, bergantung kepada karakter ‘ideologi’ negara tersebut. Indonesia sendiri memiliki karakter dan pengalaman sosial politik yang berbeda dengan negara-negara lain. Organisasi dan Agenda Sektor Ketiga Sektor ketiga atau voluntary sector memiliki ciri dan peran yang bervariasi. Beberapa cirinya antara lain: (i) umumnya berawal dari inisiatif masyarakat baik berasal dari tradisi lokal maupun inspirasi keagamaan; (ii) memiliki tujuan untuk melakukan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berorientasi pada pengembangan program pembangunan; (iii) mempunyai mekanisme penggalangan dana sendiri, bukan sepenuhnya ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 51 isi.pmd 51 8/20/2008, 11:04 AM berasal dari subsidi negara; (iv) dapat berbasis kerelawanan atau semi kerelawanan. Sementara itu, O’Regan, sebagaimana dikutip Gemma Donnelly-Cox mendefinisikan peran organisasi sektor ketiga sebagai berikut: (i) memberikan pelayanan, yang acap dilakukan melalui bentuk kerjasama dengan negara; (ii) mengidentifikasi dan memformulasi kebutuhan-kebutuhan baru di masyarakat; (iii) memelihara dan mengubah sistem nilai dalam masyarakat; (iv) memediasi antara individu dan negara; (v) menyediakan ruang dan forum bagi individu-individu untuk membangun pranata sosial.1 Organisasi-organisasi yang memiliki sebagian ciri dan peran di atas sering pula disebut organisasi nirlaba. Beberapa istilah lain yang sering digunakan dengan cukup baku di beberapa negara adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/ LSPM) atau organisasi sosial kemasyarakatan yang sering disepadankan dengan Non-Governmental Organizations (NGOs), Non Profit Organizations (NPOs), People’s Organizations (POs), Private Voluntary Organizations (PVOs), Civil Society Resource Organizations (CSROs), Community Development Associations (CDAs), CommunityBased Organizations (CBOs), Endowed Private Foundations (EPFs), Religious Social Institutions (RSIs), dan sebagainya. Nomenklatur tersebut muncul karena adanya perbedaan penekanan pada masing-masing bentuk program organisasi, namun secara umum memiliki tujuan yang sama. Persoalan di atas begitu luas cakupannya, sehingga tidak menutup adanya suatu kerangka kerjasama antarsektor (cross-sector programs) sebagai upaya untuk mengeliminasi ‘persaingan’ antarsektor. Organisasi sektor ketiga juga memiliki peran perantara, yaitu menjadi jembatan antar sektor dalam merumuskan kepentingan bersama, serta menjembatani kepentingan masyarakat umum dengan organisasi-organisasi di tiga sektor tersebut. Karena peran intermediary yang dimilikinya,2 keberhasilan organisasi sektor ketiga dalam menyelesaikan agenda-agenda sosial di atas di antaranya ditentukan oleh ‘rekognisi sosial’ dan ‘legitimasi politik’ dari atas dan bawah, pemerintah dan masyarakat. Studi yang dilakukan Marilyn Taylor and Diane tentang organisasi sektor ketiga di Inggris setidaknya memperkuat asumsi tersebut, “the third sector organizations carrying social missions that somehow get revenues from the government, charity-based financial source, and international donor, need rampant political and social legitimacy from government and society respectively.” 3 Pernyataan tersebut tidak berarti mengeliminasi ‘independensi’ organisasiorganisasi masyarakat sipil. Sebaliknya, itu menegaskan bahwa pemerintah / negara adalah aktor pendukung dan partner gerakan sosial yang dipelopori organisasi masyarakat sipil (OMS). Di tingkat praktis, umpamanya, kerjasama organisasi masyarakat sipil dengan pemerintah dapat dilakukan melalui ‘the principle of subsidiarity’,4 sementara kerjasama dengan sektor swasta dapat dilakukan dengan berpegang pada model ‘symbiosis mutualism’.5 Pertanyaan yang muncul di benak kita adalah: Mengapa saat ini bermunculan 1 2 3 4 5 Gemma Donnelly-Cox, Freda Donoghue, and Treasa Hayes, “Conceptualizing the Third Sector in Ireland, North and South,”Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations Vol. 12, No. 3, September 2001, hlm. 197. Dalam perspektif NGOs di Indoensia, lihat umpamanya Elisabeth E. Sheper, Preventing Deadly Conflict in Divided Societies in Asia: The Role of NGOs (Ph.D. Dissertation, the Netherlands: Amsterdam Univ., 2003), hlm. 79-80; Muhammad AS Hikam, “Non-Governmental Organization and the Empowerment of Civil Society,” in Richard W. Baker et all (eds.), Indonesia: The Challenge of Change (Singapore: ISEAS, 1999) hlm. 219-32. Marilyn Taylor and Diane “Legitimacy and UK Third Sector Organizations in the Policy Process,” Voluntas: International Journal of Voluntary and Non-Profit Organizations, vol. 14, no. 3 (September 2004), hlm. 321-38. Gemma Donnelly-Cox, Freda Donoghue, and Treasa Hayes, “Conceptualizing the Third Sector, hlm. 198. Pengalaman institusi filantropi sebagai ‘perantara’ antara perusahaan dan agenda sektor ketiga di Indonesia lihat, Hamid Abidin (ed.), Sumbangan Sosial Perusahaan:Profil dan Pola Distribusinya di Indonesia, Survey 226 Perusahaan di 10 Kota (Jakarta: Piramedia, PIRAC & Ford Foundation, 2003). ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 52 isi.pmd 52 8/20/2008, 11:04 AM beragam jenis organisasi masyarakat sipil? Mengapa harus ada organisasi sektor ketiga? Sudah dimafhumi, sebuah gerakan sosial lahir tidak dari vacuum. Begitu pula dengan organisasi-organisasi yang dikategorikan voluntary sector baik dalam bentuk LSM ataupun ormas. Beberapa studi tentang gerakan sosial dan pembangunan (social movement and development) menunjukkan bahwa kemunculan OMS di antaranya didorong oleh kondisi sosial, ekonomi dan politik di mana negara / pemerintah tidak mampu, kurang berhasrat, lalai, tidak serius atau banyak keterbatasan dalam menyiapkan dan menerapkan program-program pembangunan. Kondisi semacam itu akhirnya memicu tumbuhnya organisasi-organisasi independen sebagai respons kolektif masyarakat. Setidaknya terdapat tiga macam bentuk organisasi-organisasi tersebut; (i) ia dapat berorientasi pelayanan (service) dengan menyediakan bantuan dan asistensi jangka pendek. Contoh paling konkret dari ini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan masyarakat (community service) seperti yang dikelola masjid, gereja, dan organisasi masyarakat lainnya; (ii) ia dapat berorientasi pembangunan (‘development NGOs’) yang tidak langsung bersentuhan dengan kebijakan pemerinta namun berusaha menjalankan program pengembangan masyarakat. Dalam organisasi ini sustainabilitas program betul-betul diperhatikan. Program-program organisasi dirancang untuk memiliki dampak panjang. Contoh organisasi semacam ini adalah LSMLSM yang menyediakan kredit mikro dan pendampingan ekonomi, pendidikan atau kesehatan. Lembaga filantropi Islam modern, bisanya sudah memiliki ciri ini; (iii) dan yang terakhir adalah organisasi yang berorientasi gerakan (‘movement NGOs’) yang lebih bersifat politis dan berusaha menggalang kesadaran masyarakat untuk –misalnya– mendorong terciptanya demokrasi ekonomi, sosial dan politik. Mereka bukan sekedar ingin memberikan ‘perangkat keras’ kepada masyarakat bagaimana membangun hidup lebih baik, tetapi juga ‘perangkat lunak’ bagaimana masyarakat bisa ‘memaksa’ penguasa untuk mengeluarkan kebijakan populis. Ini misalnya dilakukan oleh lembagalembaga advokasi baik menyangkut lingkungan, hak asasi manusia, atau kemiskinan.6 Fenomena proliferasi organisasi seperti di atas tidak hanya terjadi di Indonesia sebagai negara ‘berkembang’ (‘developing countries’) atau ‘agak maju’ (‘less developed country’) yang kebetulan mayoritas penduduknya muslim, tetapi juga di negara-negara yang lain, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, India, Sri Lanka dan beberapa negara lain di Timur Tengah (Libanon, Jordania, Iran Turki). Di Eropa Barat dan Amerika Utara yang sering disebutsebut ‘negara maju’ (developed countries), organisasi-organisasi sektor ketiga masih memainkan peran cukup besar dalam penguatan masyarakat meskipun dengan kapasitas dan corak yang berbeda dengan yang dialami di negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri, inisiatif masyarakat untuk melakukan pengorganisasian diri dalam rangka mengembangkan dan memberdayakan diri telah dilakukan melalui berbagai cara, di antaranya dengan mendirikan institusiinstitusi sosial, baik yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial. Beberapa ormas keagamaan sejak awal abad kedua puluh telah memulai rintisan itu. Di kalangan masyarakat muslim, misalnya, telah mulai muncul organisasi-organisasi keagamaan yang menggarap sektor ketiga ini seperti 6 Untuk studi ini, lihat misalnya Bob Haniwinata, The Politics of NGOs in Indonesia (London & New York: Rutledge Curzon, 2003), hlm. 102-4; juga Phillip J. Eldridge, Non-Government Organizations and Democratic Participation in Indonesia (Oxford: Oxford Univ. Press, 1995), hlm. 36-8; dan Kastorius Sinaga, NGOs in Indonesia: A Study of the Role of Non Governmental Organizations in the Development Process (Verlag fur Entisklungspolitik: Saarbucken, 1995). ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 53 isi.pmd 53 8/20/2008, 11:04 AM Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad AlIslamiyyah (1914), Persatuan Islam (1923) dan Nahdlatul Ulama (1926). Hal yang sama terjadi di kalangan komunitas agama lainnya. Organisasi sosial yang kini sering disebut-sebut sebagai OMS tersebut, bukan saja memberi nafas dan darah baru bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan di luar struktur pemerintahan, tetapi juga menjadi ‘alternatif’ ketika kebutuhan masyarakat lebih besar daripada kapasitas yang dimiliki pemerintah. Penulis melihat bahwa beberapa organisasi sektor ketiga telah mengembangkan wilayah garapnya menjadi lebih luas, meski belum secara ‘utuh’ memasuki sektor kedua yang lebih bersifat profit. Kini, melalui inisiatif masyarakat, umpamanya, ribuan sekolah, pesantren, klinik, rumah sakit, dan berbagai sentra ekonomi lainnya telah dioperasikan sebagai bentuk evolusi sektor ketiga. Sebagian dari institusi itu ada yang masih menyajikan ‘pelayanan’ (cost-centered), sementara sebagian lain mencoba mewujudkannya sebagai profitcentered di mana keuntungan atau laba yang mereka peroleh diinvestasikan kembali untuk tujuan sosial, kesenian, dan kebudayaan. Secara umum, bisa kita lihat bahwa misi pelayanan dan pendampingan masih menjadi elan vital gerakan OMS. Memang, tidak sedikit kritik yang dilontarkan para pengamat bahwa institusi sosial dan unit profit dari OMS telah menjadi media penguatan kelompok masyarakat tertentu saja. Institusi-institusi profit tersebut, dalam beberapa kasus, menjadi ‘mainan’ dan perekat jaringan kelas menengah semata di mana kelompok fakir dan miskin yang menjadi segmen awal mereka, hanya menjadi slogan.7 Namun yang juga harus kita catat adalah bahwa dari kelompok kelas menengah (khususnya kaum profesional dan terdidik) ini pula, gagasan dan kreasi program penguatan di sektor ketiga tetap bisa lestari, salah satu contohnya adalah penguatan institusi filantropi dan LSM.8 Modal Sosial dan Filantropi Islam: Potensi Masyarakat Sipil Di Indonesia, seperti juga di negara-negara lain, agama menjadi modal sosial yang kuat dalam masyarakat sipil. Ia menjadi perekat individu-individu dalam sebuah tata nilai yang diartikulasikan secara kolektif. Agama dalam konteks sosial dan politik tertentu juga memberikan kontribusi dalam pembentukan modal sosial. Sebagaimana keberhasilan proses penguatan masyarakat sipil yang dipengaruhi oleh ‘sikap’ negara, modal sosial berbasis agama pun cukup erat kaitannya dengan negara. Dalam situasi politik tertentu, modal sosial berbasis agama menjadi kuat, tetapi situasi politik yang lain, ia bisa ‘melemah’. Hal ini bisa dilihat dari hasil observasi Christopher Candland di empat negara, yaitu Pakistan, Thailand, Sri Lanka, dan Indonesia yang memiliki konfigurasi keagamaan penduduk ‘serupa’, tetapi tidak sama dalam memposisikan agama dan negara.9 Di Pakistan dan Indonesia mayoritas penduduknya Lihat misalnya kritik Janine A. Clark tehadap peran dominatif kelas menengah dalam instiusi sosial keagamaan (Islam) dan bagaimana sesungguhnya posisi masyarakat kecil (grassroots) diperlakukan. Calrk berkesimpulan bahwa institusi sosial yang ada lebih banyak berperan sebagai perekat jaringan kelas menengah ketimbang memberikan pelayan untuk kaum miskin. Islam, Charity, and Activism: Middle Class Network and Social Welfare in Egypt, Jordan and Yemen (Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 2004), hlm. 1-33. 8 Peningkatan jumlah organisasi keagamaan dan LSM secara dramatis mulai terlihat pada masa Orde Baru ketika peningkatan ekonomi yang bermula pada awal tahun 1970an mengalami stagnasi dan ketidakpastian pada tahun 1980an seiring dengan tidak stabilnya harga minyak bumi. Ketidaksatbilan ini juga, dalam konteks Indonesia, telah memberi inspirasi bagi sebagian kelompok kelas menengah untuk tampil ke panggung sosial dna politik, mengkonsolidasikan potensi sosial dan politik mereka yang ditandai dengan proliferasi organisasi sosial dan LSM. Lihat misalnya Robert W. Hefner, “Markets and Justice for Muslims Indonesians,” in Robert W. Hefner (ed.) Market Culture: Society and Values in the New Asian Capitalism (Singapore: ISEAS, 1998), hlm. 233; Mikaela Nyman, Democratizing Indonesia: The Challenges of Civil Society in the Era of Reformasi (Denmark: NIAS Press, 2006), hlm. 93-98. 9 Lebih jauh lihat Christopher Candland, “Faith as Social Capital: Religion and Community Development in Southeast Asia,”Policy Science 33 (2000), 356-8. 7 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 54 isi.pmd 54 8/20/2008, 11:04 AM muslim, namun Islam menjadi ‘agama negara’ di Pakistan, tetapi di Indonesia tidak demikian. Sementara itu, di Thailand dan Sri Lanka mayoritas penduduknya menganut buddhisme, tetapi buddhisme dijadikan ‘agama negara’ di Thailand, dan tidak seperti itu di Sri Lanka. Yang menarik dari analisis Candland selanjutnya adalah bahwa adanya ‘civic religion’ dalam pengertian agama ‘formal negara’,10 tidak selalu beiringan dengan keberhasilan program pembangunan berbasis agama (faith-based development) yang dipelopori OMS. Dalam studi komparatifnya, ia menyimpulkan bahwa di Thailand dan Pakistan di mana kedua negara tersebut menitikberatkan pada sebuah agama tertentu (a civic religion), hanya sedikit saja para aktivis, pimpinan LSM, atau kaum professional yang meyakini bahwa organisasi keagamaan akan secara potensial efektif dalam pengembangan masyarakat dan perubahan sosial. Hal itu disebabkan bahwa negara dipandang memiliki justifikasi, otoritas dan legitimasi keagamaan sendiri untuk mengurusi program-program sosial mereka. Sementara di Indonesia dan Sri Lanka, ketika suatu agama tidak menjadi ‘agama negara’, para aktivis dan penggerak program pengembangan komunitas melaporkan bahwa organisasi-organisasi keagamaan cukup efektif dalam pengembangan komunitas dan perubahan sosial dan bahwa suatu keyakinan keagamaan memberikan motivasi yang signifkan dalam aktivitas masyarakat.11 Sekarang, mari kita lihat situasi tersebut dalam konteks pengelolan filantropi berbasis agama di Indonesia. Sejak masa Orde Baru sampai pasca reformasi, umat Islam Indonesia mengalami pasang surut dalam mendefinisikan hubungan agama dan negara, termasuk dalam wacana dan praktik filantropi Islam. Sejak tahun 1970-an sampai pertengahan 1990-an, pemerintah belum menetapkan satu bentuk rekognisi konstitusional yang jelas. Presiden Soeharto, secara implisit menginginkan bahwa pengelolaan filantropi Islam berada di tangan masyarakat dan zakat tidak menjadi bagian dari sistem kesejahteraan negara.12 Proses ‘negosiasi’ politik itu berujung pada sebuah hasil. Di akhir rezim ini dan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, rekognisi yang lebih jelas mulai nampak, yaitu dengan munculnya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, yang di antaranya menetapkan eksistensi Badan Amil Zakat (BAZ) yang ‘semi pemerintah’. Meski demikian, sebagian besar gerakan Islamic voluntary sector di Indonesia masih berada di tangan masyarakat, dikelola OMS, bukan oleh negara. Sampai batas ini, negara mencoba memperluas perannya dari lembaga yang membuat aturan regulasi zakat, infak dan sedekah (ZIS) menjadi lembaga yang —meskipun belum secara eksklusif— dapat 10 11 12 Istilah ‘civic religion’ yang digunakan Candland ini memiliki makna lain dari istilah ‘civil religion’ yang digunakan Robert N. Bellah. Yang pertama merujuk kepada agama tertentu yang dijadikan sebagai agama resmi pemerintah, misalnya Islam di Pakistan dan Malaysia atau Budha di Thailand; sementara yang kedua merujuk kepada dasar-dasar ajaran agama yang diadopsi oleh sebuah negara dan menjadi anutan bersama masyarakat tanpa merujuk kepada agama tertentu. Di Indonesia, umpamanya, ‘Pancasila’ dapat dikategorikan ‘civil religion’ dan seluruh komunitas agama yang ada di negeri ini dapat merujuk kepada Pancasila dalam menjalankan kehidupan sosial dan politiknya. Lebih jauh is menyimpulkan, “Evidence drawn from the case studies of the religious associations in four countries, likewise, suggest that relation between religion and the state have a strong influence on the ability of faith-based NGOs to generate social capital for community development. Seemingy, states that institute a civic religion negatively influence the degree to which faith-based NGOs development organization and people with religious convictions are involved in social change. Empat organisasi yang dijadikan studi oleh Candland adalah 1) Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama), sebuah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang juga pernah menjadi partai politik; 2) Jammat-i-Islami yang merupakan gerakan keagamaan dan politik Islam terbesar di Pakistan, The Lanka Jathika Sarvodaya Shramadana Sangamaya (gerakan masyarakat Sri Lanka untuk Kebangkitan Bersama melalui Sumbangan Buruh) adalah salah satu organisasi pengembangan komunitas terbesar di dunia; dan 4) The Santi Asok (Damai tanpa Penderitaan) adalah gerakan komunitas penganut Budha yang sedang berkembang di Thailand. Christopher Candland, “Faith as Social Capital, hlm. 358. Lihat detail studi Sirojudin Abbas, “The Stuggle for Recognition: Embracing the Islamic Welfare Effort in the Indonesian Welfare System,”Studia Islamika, Vol. 12, No. 1 (2005), hlm. 33- 72. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 55 isi.pmd 55 8/20/2008, 11:04 AM memainkan peran praktis.13 Dari fenomena di atas, dapat kita perbandingkan antara Indonesia dan Pakistan. Di Pakistan, Islam adalah agama negara. Zakat yang merupakan kewajiban keagamaan dan bentuk solidaritas kaum muslim untuk kaum dhu’afa, juga dikelola oleh negara. Peraturan tentang zakat dan ushr (pajak penghasilan penggarapan tanah) tahun 1980 telah memberikan wewenang kepada aparat pemerintah Pakistan untuk menarik uang 2.5% dari dari deposit bank dan hasil usaha masyarakat. Di luar keberhasilannya mendapatkan uang zakat umat dengan mudah, fenomena lain justru menunjukkan sebaliknya. Dengan masih adanya pola distribusi zakat yang dianggap tidak tepat sasaran, masyarakat juga menunjukkan resistensinya terhadap peraturan negara tersebut, lebih-lebih ketika dana umat itu seringkali ‘dipolitisasi’ oleh komite lokal. Oleh karena itu, adalah fenomena yang lumrah, bila sesaat sebelum Ramadhan terjadi penarikan tabungan secara besar-besaran oleh masyarakat (mass wihdrawals from private saving account) ketika deduksi zakat dilakukan pemerintah.14 Sementara di Indonesia yang juga mayoritas muslim, kewajiban zakat masih dibayarkan dengan cara sukarela (voluntary) baik melalui Institusi filantropi Islam non pemerintah (seperti LAZ) maupun semipemerintah (seperti BAZ). Resistensi serupa juga sempat terjadi di Indonesia. Pada tahun 2005, terjadi demonstrasi yang dilakukan sekitar 4000 orang guru dan dilanjutkan dengan aksi mogok mengajar oleh sekitar 1000 orang di antara mereka. Aksi tersebut merupakan satu bentuk perlawanan terhadap kebijakan Bupati Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat yang akan memotong 2,5 persen gaji para guru sebagai zakat profesi. Beberapa media melaporkan bahwa para guru tersebut tidaklah menolak zakat, tetapi mereka tidak bisa menerima mekanisme yang diterapkan pemerintah dalam menarik zakat dan ragu dengan kemampuan pengelolaannya (Tempo Interaktif , 01 Desember 2005). Kebijakan tersebut juga dianggap lemah karena tidak mempertimbangkan secara lebih spesifik dan jelas mengenai tingkatan, jabatan dan profesi orang yang wajib bayar zakat profesi di luar pajak. Dalam konteks inilah kita bisa mengungkap kembali apa yang sempat disampaikan pada bagian awal artikel ini tentang ‘otoritas’ dan ‘kredibilitas’. Negara di satu sisi, seperti kasus Pakistan punya otoritas atau wewenang konsitusional untuk mengelola ZIS, mulai dari memungut sampai meredistribusi ; tetapi di sisi yang lain, beberapa kalangan masyarakat meragukan kapasitas yang dimiliki pemerintah dalam mengelola dana umat seiring dengan kondisi sosial dan politik di sekitar mereka. Memang, dalam diskursus keagamaan sering muncul pula asumsi bahwa sebuah kewajiban keagamaan tidak terkait dengan masalah senang atau tidak senang. Tetapi juga kita musti melihat bahwa kekuatan dari masyarakat sipil justru terletak pada partisipasi mereka, yang umumnya, bersifat kerelaan, bukan paksaan. Dalam situasi politik yang memberikan peran negara terlalu jauh dalam menyentuh program-program di sektor ketiga, modal sosial dalam masyarakat, termasuk faith-based social capital sangat rentan tercerabut dari akarnya dan dapat berakibat pada rentannya kohesi sosial dalam masyarakat sipil. Meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa di negara yang mayoritas muslim, peran negara porsinya harus lebih besar dalam pengelolaan filantropi Islam, namun pendapat tersebut juga harus didasarkan pada argumen Lihat lebih jauh tentang perubahan kebijakan pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama dalam pengelolaan Zakat dalam Moch Nur Ichwan, Official Reform of Islam: State Islam and the Ministry of Religious Affairs in Contemporary Indonesia, 1966-2004 (Dissertation, Leiden University, 2005), khususnya Bab 9 dan bab 12. 14 Christopher Candland, “Faith as Social Capital,” hlm. 359. 13 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 56 isi.pmd 56 8/20/2008, 11:04 AM sejauh mana kemampuan negara itu membangun sistem kesejahteraan sosial. Secara alami, ketidakmampuan negara menyediakan sistem keamanan sosial yang memadai dapat menjadi alasan mengapa muncul organisasi-organisasi bervisi kesejahteraan dan filantropi, meskipun negara tersebut adalah negara Islam. Keterlibatan beberapa ordo sufisme di Sudan dalam gerakan filantropi juga menarik untuk dijadikan kasus. Peran sosial Sufi Tijaniyah pimpinan Syekh Ibrahim Sidi yang menyelenggarakan lembaga rehabilitasi sosial untuk anak-anak jalanan di kota Darfur (yang dilanda konflik saudara), dan peran Sufi Qadiriyah pimpinan Syekh al-Haj Hamad Muhammad al-Ja’ali yang menyediakan klinik pengobatan alternatif berbasis Islam, semakin menguat karena dimotivasi oleh aspirasi keagamaan di satu sisi, dan disisi lain merupakan buah dari kegagalan rezim Islam yang berkuasa dalam merespons dilema sosial di negeri tersebut. Penerapan Syariah Islam (dalam konsitusi) di Sudan ternyata juga tidak serta merta membawa pada keadilan sosial yang merata.15 Studi yang lain tentang peran sosial sufisme, menunjukkan bahwa ikatan sosial dalam tradisi sufisme, juga menjadi semacam modal sosial yang mendorong komunitas itu untuk melakukan perubahan sosial. Konsep ‘persaudaraan’ (brotherhood) dalam tradisi Sufi Sanusiyah di Sahara, misalnya, telah menjadi semacam ‘symbolic capital’ yang itu kemudian diintegrasikan dengan konsep kesalehan mereka di ranah sosial melalui kegiatan berbasis kesejahteraan.16 Meski demikian, mungkin masih timbul juga pertanyaan lain, apakah masyarakat sipil memiliki otoritas penuh untuk mengelola organisasi filantropi berbasis agama? Seberapa besarkah otoritas itu dan apa kapasitas yang dimilikinya? Pengalaman negara-negara Islam dari beberapa periode sejarah memang tidak menunjukkan fakta yang monolitik. Adam Sabra, dalam Poverty and Charity in Medieval Islam menjelaskan telah terjadi pergeseran di dunia Islam dalam memposisiskan institusi filantropi Islam dan negara. Dari negara kepada institusi sosial, terutama semakin kentara pada periode Mamluk. 17 Zakat menjadi bagian dari kehidupan individu seseorang dan organisasi sosial terkait. Zakat menjadi sistem kesejahteraan masyarakat di luar negara. Saudi Arabia, Mesir, Jordan, Sudan dan Pakistan adalah beberapa negara yang memasukkan zakat dalam sistem kesejahteraan sosial pemerintah. Malaysia adalah negara yang memberikan porsi kepada negara bagian untuk memobilisasi pelaksaan zakat. Namun, lagi-lagi persoalannya sangat kasuistik, ditentukan oleh kapasitas negara dalam menyediakan program kesejahteraan. Di Jordania yang mengadopsi sistem hukum Islam dan Perancis dalam konstitusinya, ZIS telah diletakkan sebagai bagian dari kewenangan negara, namun kondisi sosial yang ada juga memberikan ruang bagi organisasiorganisasi keagamaan berbasis filantropi untuk tumbuh dan memberikan pelayan kepada masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan, seperti yang dipelopori oleh kelompok Ikhwan al-Muslimin dan lain-lain. Untuk negara-negara yang tidak menjadikan Islam sebagai agama negara, seperti Indonesia, persoalannya memang menjadi tidak sederhana. Penulis ingin menekankan dua hal saja tentang potensi masyarakat sipil di Rudiger Seesman, “Sufi Leaders and Social Welfare: Two Example from Contemporary Sudan,” dalam Holger Weiss(ed), Social Welfare in Muslim Societies in Africa (Stockholm: Nordiska African Institute, 2002), hlm. 98-103. 16 Knut S. Vikor, “Sufism and Social Welfare in the Sahara,” dalam Holger Weiss, Social Welfare, hlm. 95-6. 17 Adam A. Sabra, Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt 1250-1517 (Cambridge: Cambridge, 2000), hlm. 40; baca juga Murad Cizakca yang lebih banyak mengulas konsep dan praktik wakaf dalam, A History of Philanthropic Foundations: The Islamic World From the Seventh Century to the Present (Istanbul: Bogazici University Press, 2000); juga Richard Van Leeuwen, Waqf and Urban Structure: The Case of Ottoman Damascus (Leiden: Brill, 1999); dan Yaacov Lev, Charity, Endowments, and Charitable Institutions in Medieval Islam (Gainesville: University of Florida Press, 2005). 15 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 57 isi.pmd 57 8/20/2008, 11:04 AM Indonesia dalam konteks filantropi Islam, yaitu pada aspek kreativitas penggalangan dana sosial, dan aspek inovasi program pelayanannya yang semua itu merupakan artikulasi dari modal sosial yang telah dipupuk dalam waktu yang tidak pendek. Mengenai hal yang pertama, OMS lebih atraktif dalam penggalangan dana umat, tidak hanya melalui pola normatif dan konvensional. Bila kita cermati dalam perspektif sektor ketiga, tentunya program-program penggalangan dana umat tidak semata-mata dilakukan dari deduksi deposit seseorang, tetapi juga memanfaatkan rasa solidaritas, kepeduliaan, kebersamaan dan berbagai bentuk kohesi sosial lainnya. Dalam buku Pola dan Strategi Penggalangan Dana Sosial di Indonesia, tercermin bahwa organisasi-organisasi sektor ketiga, mulai dari yang berbentuk institusi filantropi sampai LSM, memiliki aktivitas fundraising dan program sosial yang bervariasi dan spesifik. Dompet Dhu’afa Republika, Yayasan Dana Sosial Al-Falah, Dompet Sosial Ummul Qura, dan Yayasan Darut Tauhid adalah beberapa lembaga filantropi Islam yang menggunakan cara-cara yang lebih inovatif dalam melakukan penggalangan dana sosial. Selain memiliki strategi marketing yang memadai, kampanye yang cukup masif, dan sosialisasi yang meluas, OMS tersebut juga dapat menggunakan jaringan sosial di kalangan profesional dengan optimum. Sementara Yayasan Imdad Mutadh’afin memanfaatkan aspek lain, yaitu menjual barang-barang bekas untuk kegiatan sosial, seperti juga yang dilakukan Salvation Army di Amerika. Beberapa institusi lain mencoba memadukan dunia entrepreneurship dengan filantropi, misalnya dalam lembaga filantropi berbasis Kristen seperti YAKKUM dan Yayasan Bina Swadaya.18 Variasi fundarising yang diinisiasi OMS juga telah memberikan peluang lebih besar dalam pemanfaatan potensi dana umat untuk kepentingan sosial. Selain dapat memobilisasi ZIS, organisasi masyarakat sipil tersebut mampu menggandeng berbagai perusahaan (sektor kedua) untuk terlibat dalam meningkatkan potensi sektor ketiga. ‘Keunggulan’ OMS di atas tidak hanya terletak pada kemampuan memobilisasi dana umat secara mandiri dan berbasis kerelaan, tetapi juga kemampuan mengartikulasikan dana tersebut untuk program-program yang spesifik, mulai yang bersifat ‘service’, seperti pelayan ad hoc untuk membantu kaum miskin dan terpinggirakan dan menyediakan pelayanan kesehatan murah atau gratis, sampai yang bersifat memberdayakan dan produktif — stimulan usaha kecil, beasiswa, dan advokasi lingkungan. Dari organisasi semacam ini pula muncul institusi-institusi emergency relief seperti PKPU atau Mer-C yang relatif punya karakter tersendiri. Gerakan filantropi yang berbasis kerelawanan dan agama maupun non-agama masih menjadi alternatif dalam proses penguatan komunitas (mutual self-help). Masyarakat tidak hanya bersandar pada pundak negara, tetapi mencoba melakukan mobilisasi sumberdaya dan potensi yang mereka miliki untuk memperkuat ‘civic tradition’ melalui organisasi formal dan informal.19 Dalam buku yang berjudul The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia yang diedit oleh Mohamed Ariff, para penulis memasukan organisasi dan aktivitas filantropi Islam sebagai salah satu bentuk sektor ketiga. Pelaksanaan zakat, infak, sedekah dan wakaf adalah manifestasinya. Dana tersebut berasal dari sumbangan wajib dan sukarela dengan motif agama. Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam pengatar buku tersebut menegaskan bahwa di beberapa negara Islam, dana umat tersebut di kelola oleh negara, tetapi sebagian Lebih jauh lihat Zaim Saidi, Hamid Abidin, Nurul Faizah (eds.), Pola Penggalangan Dana Sosial di Indonesia: Pengalaman Delapan Belas Lembaga Sosial (Jakarta: Piramedia, Pirac dan Ford Foundation, 2003). 19 Nakamura Mitsuo, Sharon Sidique & Omar Farouk Najunid (eds.), Islam and Civil Society in Southest Asia (Singapore: ISEAS, 2001). 18 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 58 isi.pmd 58 8/20/2008, 11:04 AM lain seperti Indonesia dikelola pada mulanya oleh masyarakat dan institusi ‘semipemerintah’. Dalam kaitan ini, keterlibatan negara terlalu jauh —dengan menepikan peran voluntary organizations— tidak selalu berdampak positif.20 Organisasi Filantropi Islam dan Negara: Kompetisi atau Kooperasi? Studi tentang filantropi Islam di Indonesia sudah banyak dilakukan kalangan akademisi, pengamat, maupun para aktivis LSM. Beberapa di antaranya memfokuskan pada perilaku berderma masyarakat Indonesia yang mencakup analisis tentang motif berderma, cara atau mekanisme berderma, model pengelolaan derma, dan profil institusi pengelola derma berikut program-program fundraising dan program distribusinya. Studistudi yang ada, misalnya yang dilakukan oleh PIRAC dan CSRC Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, setidaknya menyimpulkan beberapa hal: Pertama, institusi pengelola derma yang dikelola oleh institusi non-pemerintah banyak yang masih belum beranjak dari programprogram yang sifatnya ‘karitatif’ dan masih terbelenggu oleh mekanisme dan paradigma konvensional. Sebagian dari institusi yang ada masih dianggap kurang lincah, jauh dari progresif dan kurang memenuhi karakter filantropi modern. Institusi ini biasanya terdapat pada tingkatan grassroots yang belum mendapat sentuhan filantropi modern. Ambil contoh misalnya unit-unit pemungut zakat ‘resmi’ maupun ‘tidak resmi’ yang dikelola masjid-masjid perkampungan. Kedua, institusi filantropi non-pemerintah yang beruapa LAZ (Lembaga Amil Zakat) sudah mulai menanamkan tradisi baru, menerapkan agenda dan program yang sudah mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan, mengadopsi menajemen yang lebih terbuka dan accountable, merumuskan pola distribusi yang lebih tertata, serta telah membangun sistem fundraising dan program pemberdayaan yang lebih memikat, seperti halnya Dompet Dhua’afa Republika, Rumah Zakat Indonesia, PKPU, Yayasan Dana Sosial Al-Falah, dan sebagainya. Ketiga, saat ini lembaga-lembaga filantropi yang berbentuk ‘quasi-state’ sudah dimanifestasikan dalam bentuk Badan Amil Zakat (BAZ). Ia merupakan bentukan negara dan posisinya “semi-independen” dari struktur negara. Beberapa BAZ menunjukkan prestasi penggalangan dana zakat yang luar bisa seperti DKI Jakarta, tetapi di beberapa tempat lain artikulasinya dianggap belum sebesar potensinya. Keempat, gerakan filantropi di atas ‘diikuti’ oleh berkembangnya tradisi baru dalam OMS yang lebih ‘senior’ dari segi usia (Ormas Islam), seperti berdirinya Lazis Muhammadiyah, Lazis Nahdlatul Ulama, Pusat Zakat Umat Persatuan Islam dan sebagainya yang mengadopsi kebijakan dan program institusi filantropi Islam modern (seperti lembaga jenis kedua di atas). Meskipun organisasi-organisasi tersebut merupakan ‘cikal bakal’ organisasi masyarakat sipil modern di Indonesia, ekspansi mereka untuk membangun sistem filantropi yang lebih memadai, belum lama dilakukan. Kelima, sektor swasta juga menunjukkan geliat yang sama di mana mulai banyak dibentuk institusi filantropi baik sebagai bagian dari komitmen sosial perusahaan untuk menyisihkan hasil pendapatan kelembagaan mereka untuk kegiatan sosial (Corporate Social Responsibility/ CSR), maupun inisiatif para pengelola unit usaha mereka untuk memobilisasi gerakan zakat, infak dan sedekah (ZIS) di lingkungan 20 Siddiqi ketika mendiskusikan redistributive and allocative role dari organisasi di sektor ini menyatakan, the voluntary sector can play a major redistributive role by effecting a transfer of resource from the rich to the poor more efficiently than the state, as the cost of the transfer may be less and the identification of the needy…maybe more accurate.“Muhammad Nejatullah Siddiqy, “The Role of the Voluntary Sector in Islam: A Conceptual Framework,” dalam Mohamd Ariff, The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia (Singapore: ISEAS, 1991), hlm. 13. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 59 isi.pmd 59 8/20/2008, 11:04 AM perusahaan. Saat ini, masih cukup banyak jenis-jenis institusi filantropi seperti di atas beroperasi di masyarakat. Mereka mengundang umat untuk ‘menitipkan’ harta mereka guna didistribusikan kepada yang dianggap berhak sesuai dengan tuntunan agama dan kebutuhan sosial. Fenomena tersebut tentunya merupakan satu hal yang positif, meskipun di sisi yang lain juga masih mengundang banyak pertanyaan seperti yang dikemukakan pada awal tulisan ini. Bila memang masyarakat ternyata sangat antusias untuk menyumbangkan sebagian harta mereka sebagaimana hasil survey terakhir dari PIRAC (The Jakarta Post, 04/03/2008)21 lembaga manakah yang paling punya daya tarik bagi masyarakat untuk menitipkan sumbangan mereka. Pertanyaan lainnya dapat kita tujukan kepada organisasi filantropi ‘semi-pemerintah’, seberapa efektif pula institusi tersebut dapat mengelola program filantropi Islam di Indonesia. Pertanyaan yang terakhir ini penulis sampaikan karena beberapa peristiwa yang darinya kita dapat mengambil pelajaran bahwa selain otoritas, kredibilitas juga menjadi penting. Dulu kita mengenal apa yang disebut Dana Abadi Umat (DAU), yang dikelola langsung oleh —atau berada dalam birokrasi— institusi pemerintah, yaitu Departemen Agama (Depag). Visi yang dicanangkan untuk mengelola dana umat tersebut cukup meyakinkan, yaitu untuk meningkatkan pendidikan umat dan dakwah Islam. Dalam konteks ini negara nampaknya mencoba mengelola harta umat non pajak, dari ‘sisasisa’ operasional ibadah haji. Posisi dana tersebut setali tiga uang dengan dana ‘nonbudgeter’. Karena itu, sebagaimana dana ‘nonbudgeter’ dalam departemen pemerintahan yang lain, DAU dan yang sejenisnya menjadi rawan apabila dalam penggunaannya tidak disertai dengan pengendalian dan pengawasan yang ketat. DAU, memang bukan langsung bentuk ‘dana filantropi’ yang bersumber dari mekanisme fundraising, tetapi berasal dari ‘sisa hasil usaha’ pengelolaan jamaah haji. Namun demikian, ia tetap merupakan dana umat, dan bukan dana negara yang bersumber dari pajak. Baik karena adanya pelbagai kepentingan politik, atau kesalahan prosedur yang menyebabkan dana DAU disalurkan bukan pada peruntukannya, sempat menjadi kasus hukum di pengadilan. Kasus ini menjadi pelajaran bagaimana dana umat ketika berada di tangan negara. Dalam kasus yang lain, barangkali menarik pula resistensi yang ditujukan oleh masyarakat Lombok Timur terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam peraturan tentang zakat. Hemat penulis, seiring dengan gelombang Otonomi Daerah (Otda) dan termasuk di dalamnya Perda-Perda (Peraturan Daerah) yang terkait dengan pelaksanaan keagamaan Islam, maka dua kasus di atas, dalam konteks filantropi Islam, patut menjadi pertimbangan. Satu hal yang dapat kita lontarkan lagi adalah apakah dalam penyelenggaraan filantropi Islam di Indonesia wewenang negara berada pada tingkatan kebijakan dan regulator saja, ataukah berperan sebagai pelaksana praktis di lapangan. Keputusan Menteri Agama Rebublik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tiga jenis pengelola Zakat, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah, Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat, dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang merupakan kepanjangan dari BAZ di tingkatan pedesaan/kelurahan. Sementara pada Bab IV Lingkup Kewenangan Pengumpulan Zakat, pasal 25, tidak terlihat pembedaan kewenangan antara BAZ dengan LAZ. Pasal tersebut hanya menjelaskan 21 Lihat juga hasil survei PIRAC sebelumnya dalam Andy Agung Prithatna dkk (ed.), Muslim Philanthropy: Potential and Reality of Zakat in Indonesia (Jakarta: Piramedia, PIRAC and Ford Foundation, 2005) ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 60 isi.pmd 60 8/20/2008, 11:04 AM kewenangan BAZ dari segi lingkup yang bersifat geografis di tingkatan masing-masing (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan). Sehingga, seolah-olah yang membedakan antara BAZ dan LAZ hanyalah ‘siapa dibentuk oleh siapa’ tanpa penjelasan kewenangan lebih jauh pada tingkat operasional. Mengenai dapat tidaknya BAZ yang merupakan bentukan negara/ pemerintah dikategorikan sebagai bagian dari OMS/ organisasi sektor ketiga dapat dilihat dari dua sisi, struktural dan fungsional. Secara struktural BAZ ‘ditarik’ ke dalam birokrasi. Terbukti pengurus teras atau ketua-ketua BAZ di berbagai tingkatan adalah aparat pemerintah. Di tingkat provinsi dipimpin gubernur, di tingkat daerah Tk. II oleh walikota/bupati, dan seterusnya. Secara fungsional, ia menjalankan administrasi pengelolaan ZIS yang diperoleh dari masyarakat melalui berbagai mekanisme penggalangan. Dilihat dari perspektif ini, BAZ, meskipun didirikan oleh negara, memang boleh jadi termasuk dalam kategori OMS bila memenuhi beberapa syarat. Untuk bisa dikategorikan OMS, BAZ harus otonom dari intervensi negara baik dari segi proses pengambilan keputusan, proses rekruitmen kepemimpinan, dan kemampuan mengontrol sumberdaya manajemennya. Selain itu, BAZ juga harus demokratis secara internal, tidak menjadi alat kepentingan politik tertentu; memiliki akuntabilitas, mekanisme dan prosedur yang jelas bagi para anggota dalam mengontrol segala jenis keputusan dan tindakan, dan BAZ juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu ‘open reqruitment’ sehingga lagi-lagi tidak menjadi bagian dari kelompok tertentu. 22 Cukup realistiskah ‘kompetisi’ antara pengelola zakat pemerintah dan OMS sementara keduanya mewakili dua sektor berbeda, yaitu sektor pertama dan sektor ketiga? Dalam konteks ini, bukan lagi otoritas yang bisa diperdebatkan, tetapi masalah kapasitas organisasi. Barangkali dapat kita cermati studi yang dilakukan CSRC-UIN Syarif Hidayatullah, dalam Islam Philanthropy & Social Development in Contemporary Indonesia. Dari beberapa penelitian dalam buku tersebut, penulis ingin menyimpulkan dua hal: pertama, potensi yang dimiliki oleh BAZ dan LAZ dalam melakukan penggalangan dana memang sama-sama besar. Artinya, masyarakat memiliki pilihan kemana sumbangan mereka akan disalurkan. Hanya saja, yang juga harus menjadi catatan kita adalah bahwa BAZIS DKI Jakarta dan BAZIS Jawa Barat, yang ditelaah dalam buku tersebut, adalah dua institusi pengelola ZIS semi-pemerintah yang relatif lebih baik dibandingkan dengan ZIS di beberapa daerah lain.23 Kita belum mengetahui betul, dan penulis kira ini membutuhkan penelitian lanjutan, seberapa efektif BAZ serupa di provinsi lain dan apakah struktur BAZ di daerah tingkat dua sampai PUZ di tingkat kecamatan sudah cukup efektif untuk melakukan program-programnya. Hasil penelitian Amelia Fauzia & Karlina H. barangkali dapat melengkapi proposisi di atas, yaitu bahwa telah terjadi pergeseran orientasi dalam masyarakat dalam menyalurkan harta mereka. Bisa kita ambil contoh dua institusi yang cukup mengedepan dari masing-masing institusi, yaitu Bazis DKI Jakarta (semi-pemerintah) dan Dompet Dhua’fa Republika/DD (non-pemerintah). Pada tahun 1997 sampai tahun 1999, Bazis DKI Jakarta mengumpulkan dana lebih banyak dari DD, tetapi pada tahun 2000, DD Lihat Goran Hyden, “Civil Society, Social Capital, and Development“, hlm. 16-17. 23 Mengenai BAZ Jawa Barat, lihat Ridwan al-Makassary, “BAZ Jabar: Is Its Existence Under Threat?“, Islam Philanthropy & Social Development in Contemporary Indonesia (Jakarta: CRCS UIN yarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2006), hlm. 61-81. 22 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 61 isi.pmd 61 8/20/2008, 11:04 AM mampu menggalang dana jauh lebih banyak dari Bazis DKI Jakarta. 24 Kedua, model pengelolaan dana zakat antara kedua institusi tersebut relatif berbeda, dan DD sebagai LAZIS dipandang lebih inovatif dan populis dalam program-programnya karena didukung oleh kekuatan publikasi, sementara Bazis DKI, dalam konteks ini, masih harus banyak melakukan improvisasi, terutama dalam berkomunikasi dengan publik maupun sosialisasi program-programnya. Perbandingan serupa bisa juga dilakukan antara Bazis Kotamadya Bandung dan Yayasan Darut Tauhid. Kompetisi sehat antara institusi tersebut, dengan kapasitasnya masing-masing, menurut pandangan penulis, bukanlah suatu soal yang mendasar. Yang lebih penting adalah bagaimana prestasi dari dua institusi semacam itu mampu diadopsi oleh institusi lain yang berada di daerah-daerah strategis yang lain, sehingga kedua jenis institusi pengelola dana umat tersebut dapat berperan lebih besar. Menggalang dana umat sama beratnya dengan menjajakan sebuah produk. Untuk menjajakan produk yang baik, sebuah institusi kadang harus berhadapan dengan kompetitornya. Begitu pula dengan gerakan filantropi Islam di Indonesia. Di tengah ‘persaingan’ ketat antara BAZ dan LAZ, dan ‘persaingan’ antara satu LAZ dengan LAZ lainnya yang hingga kini masih berlangung, maka perlu dipikirkan, bagaimanakah membangun sinergi antara BAZ dan LAZ, dan bagaimana pula membuat pola kerjasama antar-LAZ dalam mengembangkan sistem pengelolaan harta ZIS yang berorientasi penguatan masyarakat sipil di Indonesia. Karena itu, revitalisasi FOZ (Forum Zakat) tidak bisa terabaikan lagi.25 Penutup Penulis ingin menekankan beberapa hal dari gambaran di atas: Pertama, tumbuhnya organisasi sektor ketiga yang berorientasi pada peningkatan taraf hidup masyarakat yang lebih baik dapat dijadikan sebagai salah satu indikator dari sebuah sistem sosial yang sehat. Artinya, telah tumbuh kesadaran dalam masayarakat untuk melakukan mobilisasi potensi sosial, kultural, politik dan finansial guna diinvestasikan dalam proses peningkatan iklim sosial, ekonomi dan politik yang lebih di lingkungan mereka. Problem-problem sosial dan ekonomi di sebuah negara seperti Indonesia relatif lebih berat, apalagi dengan jumlah penduduk besar dan kondisi geografis yang luas. Karena itu, peran organisasi sektor ketiga menjadi salah satu pilar program pembangunan selain yang dipelopori negara. Konsekuensi dari itu adalah bahwa pemerintah atau negara, sebagai pemegang otoritas konstitusional dapat menjadi partner organisasi sektor ketiga dengan menciptakan iklim politik yang lebih kondusif, misalnya dengan mengeluarkan regulasi yang mendukung peningkatan kualitas organisasi yang ada. Kedua, keterlibatan kaum muslim dalam gerakan filantropi di Indonesia lebih banyak didasarkan pada kerelaan atau voluntary dengan memanfaatkan modal sosial yang tersedia. Kemunculan organisasi filantropi sesungguhnya merupakan respons positif masyarakat terhadap keterbatasan sistem kesejahteraan sosial (social welfare security system) yang dicanangkan pemerintah. Masalah tingginya angka kemiskinan, belum menurunnya jumlah pengangguran, maraknya Untuk lebih detailnya lihat Amelia Fauziya, “BAZIS DKI Jakarta: Opportunities and Challenges for the Religious Alms Collection Agency in Local Government,” dan Karlina Hermalita, “Managing Islamic Philanthropy with Modern Management: The Experiences of Dompet Dhuafa“ dalam Chaider S. Bamualim dkk, Islam Philanthropy & Social Development in Contemporary Indonesia (Jakarta: CSRS UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2006), hlm. 37-8 dan 104; juga catatan beberapa penulis dalam Iqbal Setyarso & Sunaryo Adhiatmoko, Pemberdayaan Tak Pernah Berhenti: Catatan dan Refleksi Dompet Dhuafa (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2005), terutama bagian II dan III. 25 Lihat Hasil Musyawarah Kerja Nasional I Lembaga Pengelola ZIS, Jakarta 07-90 Januari 1999. 24 ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 62 isi.pmd 62 8/20/2008, 11:04 AM siswa putus sekolah dan tidak stabilnya kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia adalah isuisu kongkret yang memperkuat kehadiran organisasi-organisasi di sektor ketiga ini. Memang tidak seluruh organisasi filantropi Islam yang ada di Indonesia mampu membangun jaringan yang baik atau membuat sistem yang akuntabel, tetapi modal sosial dan potensi mereka patut dipertahankan, diperbaiki dan diperkuat oleh negara. Ketiga, dengan keterbatasan yang dimiliki negara, maka sejatinya negara memerankan fungsi regulator dan peran kontrol guna mengefektifkan pola sektor ketiga, dan bukan ‘mengambilalih’ otoritas atau melemahkan kapasitas OMS yang ada. Terlalu besar biaya sosial yang harus dibayar oleh masyarakat ketika peran filantrofis OMS diambil alih negara, dan terlalu besar pula biaya operasional untuk kerja distributif dan alokatif yang dilakukan negara. Dalam konteks kebijakan, dapat dilihat beberapa alternatif dalam merumuskan peraturan perundangan tentang zakat di masa yang akan datang. Selain kebijakan tersebut harus tetap mendukung eksistensi OMS yang ada, baik dalam bentuk ormas, LSM, ataupun institusi khusus filantropi, yang juga harus menjadi pertimbangan adalah bagaimanakah rumusan mekanisme kontrol terhadap institusi filantropi tersebut, bagaimana membangun sistem yang efektif dalam menggairahkan zakat tanpa harus mencerabut konsep voluntary dalam masyarakat, dan bagaimana pula pemerintah dapat mendorong gerakan filantropi dalam segmen masyarakat yang lebih luas baik yang berbasis agama maupun nonagama. Sehingga, upaya membangun sistem kesejahteraan sosial yang lebih memadai dapat dipupuk dari atas (birokrasi) dan bawah (masyarakat). : ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 63 isi.pmd 63 8/20/2008, 11:04 AM DAFTAR PUSTAKA Abbas, Sirojudin. “The Stuggle for Recognition: Embracing the Islamic Welfare Effort in the Indonesian Welfare System,” Studia Islamika, Vol. 12, No. 1 (2005) Abidin, Hamid (ed.), Sumbangan Sosial Perusahaan:Profil dan Pola Distribusinya di Indonesia, Survey 226 Perusahaan di 10 Kota. Jakarta: Piramedia, PIRAC & Ford Foundation, 2003. Candland, Christopher. “Faith as Social Capital: Religion and Community Development in Southeast Asia,” Policy Science 33 (2000) Cizakca, Murad. A History of Philanthropic Foundations: The Islamic World From the Seventh Century to the Present. Istanbul: Bogazici University Press, 2000. Clark, Janine A. Islam, Charity, and Activism: Middle Class Network and Social Welfare in Egypt, Jordan and Yemen. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 2004. Donnelly-Cox, Gemma et all, “Conceptualizing the Third Sector in Ireland, North and South,” Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations Vol. 12, No. 3, (September 2001) Eldridge, Phillip J. Non-Government Organizations and Democratic Participation in Indonesia. Oxford: Oxford Univ. Press, 1995. Fauziya, Amelia. “BAZIS DKI Jakarta: Opportunities and Challenges for the Religious Als Collection Agency in Local Government,” dalam Chaider S. Bamualim dkk, Islam Philanthropy & Social Development in Contemporary Indonesia. Jakarta: CRCS UIN yarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2006. Franklin, Jane. “Social Capital: Policy and Politics,” Social Policy and Society 2: 4 (2003) Haniwinata, Bob. The Politics of NGOs in Indonesia. London & New York: Rutledge Curzon, 2003. Hasil Musyawarah Kerja Nasional I Lembaga Pengelola ZIS, Jakarta 07-90 Januari 1999 Hefner, Robert W. (ed.) Market Culture: Society and Values in the New Asian Capitalism. Singapore: ISEAS, 1998. Hikam, Muhammad AS. “Non-Governmental Organization and the Empowerment of Civil Society,” dalam Richard W. Baker et all (eds.), Indonesia: The Challenge of Change. Singapore: ISEAS, 1999. Hyden, Goran. “Civil Society, Social Capital and Development: Dissection of a Complex Discourse,” Studies in Comparative International Development, Vol. 32. No. 1 (Spring 1997) Ichwan, Moch Nur. Official Reform of Islam: State Islam and the Ministry of Religious Affairs in Contemporary Indonesia, 1966-2004. Dissertation, Leiden University, 2005. Leeuwen, Richard Van. Waqf and Urban Structure: The Case of Ottoman Damascus. Leiden: Brill, 1999. Lev, Yaacov. Charity, Endowments, and Charitable Institutions in Medieval Islam. Gainesville: University of Florida Press, 2005. Makassary, Ridwan al-. “BAZ Jabar: Is Its Existence Under Threat?”, Islam Philanthropy & Social Development in Contemporary Indonesia. Jakarta: CRCS UIN yarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2006. Hermalita, Karlina. “Managing Islamic Philanthropy with Modern Management: The Experiences of Dompet Dhuafa” dalam Chaider S. Bamualim dkk, Islam Philanthropy & Social Development in Contemporary Indonesia. Jakarta: CRCS UIN yarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2006. Malloch, Theodore Roosevelt. Social, Human and Spiritual Capital in Economic Development, Templeten Foundation, Working Group of the Spiritual Capital Project, Harvard Univesity, October, 2003. Nakamura Mitsuo dkk (eds), Islam and Civil Society in Southest Asia. Singapore: ISEAS, 2001. Nyman, Mikaela. Democratizing Indonesia: The Challenges of Civil Society in the Era of Reformasi. Denmark: NIAS Press, 2006. Prithatna, Andy Agung dkk (ed.), Muslim Philanthropy: Potential and Reality of Zakat in Indonesia. Jakarta: Piramedia, PIRAC and Ford Foundation, 2005. Sabra, Adam A. Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt 1250-1517. Cambridge: Cambridge, 2000. Saidi, Zaim dkk (eds.), Pola Penggalangan Dana Sosial di Indonesia: Pengalaman Delapan Belas Lembaga Sosial. Jakarta: Piramedia, Pirac dan Ford Foundation, 2003. Sheper, Elisabeth E. Preventing Deadly Conflict in Divided Societies in Asia: The Role of NGOs. Ph.D. Dissertation, the Netherlands: Amsterdam University, 2003. Seesman, Rudiger. “Sufi Leaders and Social Welfare: Two Example from Contemporary Sudan,” dalam Holger Weiss(ed), Social Welfare in Muslim Societies in Africa. Stockholm: Nordiska African Institute, 2002. Setyarso, Iqbal & Adhiatmoko, Sunaryo. Pemberdayaan Tak Pernah Berhenti: Catatan dan Refleksi Dompet Dhuafa. Jakarta: Khairul Bayan Press, 2005. Siddiqy, Muhammad Nejatullah. “The Role of the Voluntary Sector in Islam: A Conceptual Framework,” dalam Mohamd Ariff, The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia. Singapore: ISEAS, 1991. Sinaga, Kastorius. NGOs in Indonesia: A Study of the Role of Non Governmental Organizations in the Development Process. Verlag fur Entisklungspolitik: Saarbucken, 1995. Taylor, Marilyn and Diane “Legitimacy and UK Third Sector Organizations in the Policy Process,” Voluntas: International Journal of Voluntary and Non-Profit Organizations, vol. 14, no. 3 (September 2004) Vikor, Knut S. “Sufism and Social Welfare in the Sahara,” dalam Holger Weiss (ed), Social Welfare in Muslim Societies in Africa. Stockholm: Nordiska African Institute, 2002. : ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 64 isi.pmd 64 8/20/2008, 11:04 AM Diusulkan oleh Circle of Information and Development (CID) Dompet Dhuafa Bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam – Fakultas Hukum Universitas Indonesia P A. Pendahuluan Latar Belakang embukaan UUD 1945 alinea keempat menyebutkan tujuan berdirinya Negara Repubik Indonesia, yaitu untuk “Memajukan Kesejahteraan Umum”. Bunyi pembukaan ini juga dikuatkan lagi oleh pasal 34 UUD 1945 yang isinya “Rakyat Miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Namun kenyataannya, setelah 63 tahun Indonesia merdeka, kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey statistik BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2006 sebesar 39,30 juta jiwa atau sekitar 17, 75 % yang kemudian turun sebesar 2,13 juta jiwa pada Maret 2007 menjadi 37,17 juta jiwa atau setara dengan 16,58 %. (BPS : 2007). Angka ini, menurut LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), diperkirakan akan melonjak untuk tahun 2008 menjadi 41,7 juta jiwa atau sebesar 21,92 %. Hal ini terjadi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Juni 2008. Sebetulnya pemerintah telah melakukan langkah-langkah penting untuk menekan laju kemiskinan. Beberapa program subsidi yang disalurkan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin), Jaring Pengaman Sosial (JPS) merupakan beberapa contoh usaha pemerintah mengurangi kemiskinan di negara ini. Namun usaha-usaha tersebut ternyata belum menunjukkan hasil yang optimal. Islam telah menyediakan solusi untuk menghadapi masalah kemiskinan dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, yakni melalui ibadah zakat. Zakat dapat berfungsi sebagai sumber pendanaan alternatif dan solusi utama bagi kemiskinan di Indonesia. Dengan sifat wajibnya, ditambah jumlah muzakki yang diperkirakan lebih dari 60 juta jiwa, maka zakat merupakan potensi besar bagi sumber pendanaan pengentasan kemiskinan di negara ini. Menurut perkiraan, potensi zakat sebagaimana hasil survey PBB UIN Jakarta, sebesar 19.3 triliun pertahun. Perhatian pemerintah terhadap pengelolaan zakat sudah terlihat sejak era Soeharto sampai kepemimpinan B.J. Habibie. Bahkan di era B.J.Habibie, DPR melahirkan UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Diikuti dengan Keputusan Menteri Agama RI No. 373 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaanya. Namun keberadaan peraturan ini ternyata belum mampu menjawab permasalahan zakat secara menyeluruh. Terbukti masih terjadi tumpang tindih pengelolaan di masing-masing tingkatan, baik pusat, wilayah maupun kabupaten. Begitu juga belum adanya pemisahan antara fungsi operator, regulator dan pengawas, sehingga antara potensi yang besar dengan realisasi penghimpunan masih jauh panggang dari api. Dengan beberapa pertimbangan di atas, maka perlu peraturan perundang-undang yang lebih baik dan mampu menyentuh permasalahan pengelolaan zakat yang ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 65 isi.pmd 65 8/20/2008, 11:04 AM DOKUMEN Ringkasan Naskah Akademik Revisi UU Zakat menyeluruh. Dalam rangka itulah, Circle of Information and Development (CID) Dompet Dhuafa bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyusun Naskah Akademik (NA) Revisi UU Zakat sebagai upaya melengkapi RUU Zakat yang saat ini diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Permasalahan Di dalam tulisan ini akan diklasifikasi permasalahan-permasalahan zakat yang perlu diperbaiki dan perlu dimasukkan di dalam RUU Zakat yang baru. Pertama, soal kelembagaan. Saat ini belum ada kejelasan fungsi siapa sebagai regulator, siapa sebagai pengawas dan siapa sebagai operator. Keberadan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), Laznas (Lembaga Amil Zakat Nasional), LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan Bazda (Badan Amil Zakat Daerah) semuanya ingin mengelola zakat. Sementara siapa yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas belum ada. Kedua, belum adanya strategic planning secara nasional, baik penghimpunan maupun pendayagunaan. Akibatnya masih terjadi irisan wilayah penghimpunan. Satu wilayah bisa menjadi sasaran penghimpunan bagi beberapa lembaga zakat. Hal ini juga menyebabkan pendistribusian zakat tidak merata. Ketiga, soal mekanisme pelaporan. Sampai sekarang belum ada mekanisme pelaporan yang jelas bagi lembaga/ badan amil zakat. Keempat, soal hubungan zakat dengan pajak. UU No.38 disebutkan zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak (PPKP). Namun dalam prakteknya belum berjalan dengan baik. Padahal jika zakat dapat dijadikan pengurang pajak, atau minimal sebagai pengurang pajak penghasilan maka akan dapat memberikan dampak yang sangat baik dalam pemungutan zakat. Kelima, mengenai sanksi. UU Pengelolaan Zakat yang ada baru mengatur sanksi bagi pengelola zakat. Padahal harusnya sanksi diberikan juga kepada muzakki. Tujuannya untuk mengingatkan terhadap kewajiban muzakki yang tertunda. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik disusun dalam rangka memetakan konsep-konsep pemikiran Undang-Undang Zakat ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis-politis, yuridis, dan ekonomi. Isi pokoknya adalah gagasan-gagasan konkrit dan aplikatif tentang ruang lingkup dan materi muatan yang akan dituangkan di dalam RUU Zakat. Naskah Akademik ini diharapkan dapat digunakan sebagai: 1. Bahan dasar / acuan bagi penyusunan RUU Zakat yang baru ; 2. Bahan pembahasan dalam forum konsultasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep RUU Zakat yang baru ; 3. Bahan dasar keterangan dan pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai RUU Zakat yang baru . Metode Pendekatan Penyusunan Naskah Akademik RUU Zakat ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Artinya, susunannya mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan. Perumusan norma-norma hukum yang digunakan sebagai acuan penyusunan RUU Zakat berdasarkan pada konstatering fakta-fakta filosofis, sosiologis, yuridis, dan ekonomi yang erat kaitannya pengelolaan zakat, serta menggunakan metode evaluasi (Prasetya Irawan : 2007). Penyusunan ini bersifat deskriptif yang didukung dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan berbagai informan dan penelusuran data sekunder. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 66 isi.pmd 66 8/20/2008, 11:04 AM B. Landasan Pemikiran Naskah Akademik ini disusun berdasarkan beberapa landasan, yaitu landasan filosofis, yuridis, sosiologis, ekonomi dan landasan spiritual. • Landasan Filosofis Wacana mengenai kesejahteraan adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam seluruh fase kehidupan manusia. Bahkan soal kesejahteraan juga telah digariskan di dalam konstitusi setiap negara di dunia. Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan adalah “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.” (Edi Suharto : 2006) Pada awalnya, konsep negara kesejahteraan merupakan strategi pembangunan kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada negara dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security) secara terencana, melembaga dan berkesinambungan. Namun pada perkembangan berikutnya terjadi perpaduan antara peran negara dan swasta (dunia usaha dan LSM) baik dalam pembiayaan maupun pelaksanaan bentuk jaminan sosial dan pelayanan sosial. Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem negara kesejahteraan tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Di sisi lain, pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial. Orang miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing), maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya sehingga terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil. Padahal negara yang dikehendaki dalam Pembukaan UUD 1945 adalah negara yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Sementara pembukaan UUD 1945 juga menyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dasar negara Indonesia (sila kelima Pancasila) pun menekankan prinsip keadilan sosial dan secara eksplisit konstitusinya (Pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktekan secara konsekuen. Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan tidak dapat dihapuskan hanya dengan perlindungan sosial melalui bagi-bagi uang kepada masyarakat. Karenanya, perlindungan sosial harus terintegrasi dengan strategi penanggulangan kemiskinan lainnya. Penerapan negara kesejahteraan juga tidak bisa hanya dilakukan oleh satu departemen saja, ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 67 isi.pmd 67 8/20/2008, 11:04 AM misalnya Departemen Sosial, melainkan harus dilakukan secara sinergis sedikitnya oleh Departemen Sosial, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, termasuk Kementerian Perumahan Rakyat, bahkan termasuk juga Departemen Agama di mana di dalamnya terdapat direktorat zakat. Pengelolaan zakat secara komprehensif dan well-managed merupakan solusi aternatif sebagai sumber pendanaan program-program kesejahteraan rakyat. Sebagaimana disampaikan pada awal bagian ini, zakat merupakan konsep filantropi wajib bagi umat Islam. Peruntukannya pun dikhususkan pada pendayagunaan masyarakat miskin dan kelompok yang membutuhkan, dengan tujuan akhir mengangkat derajat mereka dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi menuju kemapanan hidup. Di dalam konsep zakat, setiap muslim dibebankan kewajiban agar menyisihkan sebagian kecil hartanya untuk disalurkan kepada orang lain yang membutuhkan. Negara memegang amanah pengaturan dan pelaksanaan penyaluran dana zakat tersebut. Selain sebagai pemegang otoritas kekuasaan, negara sejatinya memang memiliki kewajiban untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Namun, amanah negara sebagai pengatur dan pelaksana penyaluran dana zakat tersebut bukan hanya boleh dilakukan pada negara Islam, namun juga bisa dilakukan oleh negara dengan sistem hukum bukan Islam. Pengaturan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh negara melalui regulasi dan kebijakan yang ada tidaklah bertentangan dengan Pancasila. Namun pengelolaan zakat justru merupakan implementasi dari isi Pancasila dan UUD 1945. • Landasan Yuridis Indonesia adalah negara yang beragama. Indonesia tidak pernah anti terhadap suatu ajaran dan kewajiban yang harus dijalankan oleh umat beragama selama agama tersebut mendapat pengakuan dari negara. Kedudukan agama, hukum dan negara ini dapat kita temukan dengan jelas dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Dasar inilah yang kemudian dipertegas dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Menurut Profesor Hazairin, kaidah fundamental dalam pasal 29 ayat (1) dapat ditafsirkan dengan tiga hal: (Sulaikin : 2006) 1) Semua hukum yang berlaku di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah agama bagi pemeluk agama di tanah air ini. 2) Negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia, jika untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. 3) Syariat atau kewajiban agama yang tidak memerlukan peran serta negara merupakan kewajiban individu, misalnya puasa, shalat dan lain sebagainya. Penafsiran ini memberikan ruang kepada seluruh pemeluk agama yang diakui di Indonesia untuk dengan bebas melaksanakan kewajiban sesuai dengan keyakinannya, namun tetap diselaraskan dengan hukum nasional. Artinya ketika kewajiban agama tersebut memerlukan peran negara dalam penyelenggaraannya, maka hal tersebut harus diatur dalam suatu peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Hal inilah yang terjadi pada pengelolaan zakat di Indonesia. Zakat adalah kewajiban bagi umat Islam yang telah memenuhi syarat sebagai muzakki sebagai sarana distribusi harta kepada orang lain. Dikarenakan dalam pengelolaannya zakat melibatkan banyak pihak, maka negara memiliki otoritas untuk mengatur pengelolaan zakat. Berpijak dari pemahaman ini maka sudah selayaknya jika zakat diatur secara legal oleh negara. Strategisnya peranan zakat, menjadikan pengelolaan zakat di Indonesia ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 68 isi.pmd 68 8/20/2008, 11:04 AM tidak hanya sekedar perlindungan bagi umat Islam untuk menjalankan kewajiban agamanya, namun zakat juga diberdayakan sebagai salah satu instrumen negara dalam menyejahterakan rakyatnya sesuai dengan tujuan negara. Bergulirnya era reformasi tahun 1998, ternyata ikut memberi warna bagi perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia. Di era kepemimpinan B.J.Habibie UndangUndang Pengelolaan Zakat No.38 Tahun 1999 disahkan. Isi UU ini jauh lebih baik dibanding peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Undang-undang ini mendorong tumbuhnya lembaga zakat baru selain lembaga zakat yang sudah ada di pemerintah (Badan Amil Zakat / BAZ), baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Meskipun demikian, UU. No. 38 Tahun 1999 ini bukanlah tanpa kelemahan. Ada begitu banyak catatan yang harus diperbaiki untuk meningkatkan peran zakat. Beberapa permasalahan yang terjadi saat ini dinilai belum mampu dijawab oleh UU ini. Seperti belum adanya pemisahan fungsi operator, regulator dan pengawas. Begitu juga belum adanya kejelasan hubungan antara lembaga zakat satu dengan lembaga zakat lainnya. Lembaga zakat yang ada saat ini semuanya berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, potensi zakat yang besar masih belum bisa tergali secara optimal. Kelemahan lainnya UU No. 38 Tahun 1999 ini juga tidak memiliki peraturan pelaksana. Undang-undang ini hanya memberikan wewenang atribusi kepada Keputusan Menteri mengenai susunan organisasi dan tata kerja Badan Amil Zakat. Maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat. Kemudian aturan yang bersifat lebih teknis dikeluarkan keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor : D/291 Tahun 2000 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Peraturan ini lalu dicabut dan diganti Kepmen Agama No. 373 Tahun 2003. Munculnya Kepmen ini pun ternyata belum bisa menjadi solusi bagi pengelolaan zakat. Dari beberapa penjabaran di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa secara yuridis kita membutuhkan peraturan zakat yang baru yang lebih relevan, aplikatif dan menyeluruh serta dapat menjawab permasalahan zakat yang terjadi di lapangan. • Landasan Sosiologis Masyarakat Indonesia mengenal zakat sejak Islam memasuki wilayah Indonesia. Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, terdapat beberapa kesultanan yang mencapai kejayaan berkat dukungan dana intern dari umat Islam. Misalnya, Kesultanan di Aceh, Sumatra Barat, Banten, Mataram, Demak, Gowa, dan Ternate. Kesultanan-kesultanan tersebut telah tercatat keberhasilannya mendayagunakan potensi umat dengan memperbaiki kualitas ekonomi rakyat, antara lain dengan mengatur sumber-sumber keuangan Islam seperti pendayagunaan zakat, pemeliharaan harta wakaf, wasiat, infak, dan shadaqah. Kegiatan pendidikan umat, gedung-gedung sekolah, serta nafkah guru pada umumnya ditunjang dari dana tersebut. Bahkan beberapa kesultanan melakukan hubungan dengan luar negeri dengan memanfaatkan dana tersebut. Jadi dana yang bersumber dari umat cukup memadai untuk membiayai kepentingan umat Islam (Abudin Nata : 1999). Bahkan pada saat pemerintahan kolonial Belanda mulai datang dan mengadakan upayaupaya penguasaan, zakat terutama dijadikan sebagai sumber dana perjuangan. Kemudian pada saat Jepang berkuasa di Indonesia, pada awalnya mereka juga tidak memperhatikan sumber-sumber keuangan Islam, tapi pada saat mereka menyadari betapa besar dana yang dapat terkumpul melalui sumber-sumber ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 69 isi.pmd 69 8/20/2008, 11:04 AM keuangan Islam, maka Opsir Kaigun (pimpinan Angkatan Laut Jepang) mendekati Islam dengan cara merangkul pada ulama serta menjanjikan tiga program dalam bidang sosial keagamaan, salah satunya menyadarkan pengelolaan zakat pada negara ditingkatkan melalui MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia). Pada tahun 1943 MIAI tersebut membangun kantor perbendaharaan Islam atau Baitul Maal di beberapa kota Jawa sebagai lembaga yang akan mengumpulkan semua sumbersumber keuangan Islam termasuk zakat, akan tetapi pada saat dana telah terkumpul banyak ternyata hasilnya tersebut sebagian digunakan oleh tentara Dai Nippon. Kemudian pada tahun 1943 MIAI dibubarkan (Herry J : 1980). Setelah masa kemerdekaan, dengan adanya Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945, serta dihubungkan lebih lanjut dengan potensi zakat yang sangat besar dalam meningkatkan perekonomian, maka perlu pengelolaan zakat ini diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Maka pada tahun 1968 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 1968 yang mengatur mengenai pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Maal pada tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kotamadya. Kemudian pengelolaan zakat di Indonesia mengalami perkembangan lebih lanjut dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat (UUPZ). Pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan masyarakat membentuk Baitul Maal atau lembaga zakat yang bertugas mengelola dana ZIS (zakat, infaq dan sedekah) dari karyawan perusahaan yang bersangkutan, dari masyarakat seperti misalnya Dompet Dhu’afa Republika (DDR). Pada tahun 1997, DDR menggelar seminar zakat perusahaan di Jakarta yang pesertanya lebih dari seratus orang, dan 70 % mewakili Baitul Maal lembaga zakat dari berbagai perusahaan. Setelah berakhirnya seminar tersebut, atas keinginan peserta, maka lahirlah suatu asosiasi yang mewadahi dan menjadi pusat informasi dan perkembangan zakat bernama Forum Zakat (FOZ). • Landasan Ekonomi Di Negara Republik Indonesia keadilan sosial bagi warga negaranya merupakan sesuatu yang dicita-citakan. Keadilan di Indonesia tidak hanya menyangkut keadilan ekonomi, melainkan keadilan dalam segala bidang seperti keadilan hukum, politik dan sosial, karena memang semuanya menyangkut kesejahteraan sosial. Sebagai aspek yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, keadilan ekonomi dan keadilan sosial keduanya erat berkaitan. Ekonomi yang kuat akan menunjang kesejahteraan sosial dan masyarakat juga akan merasakan manfaat dari kekuatan ekonomi itu secara merata. Namun, keadilan dalam berbagai bidang masih jauh dari jangkauan, apalagi keadilan ekonomi. Berbagai ketimpangan telah terjadi di Indonesia termasuk di bidang ekonomi.(Uswatun Hasanah : 2000). Sekitar 80% penerimaan negara dihimpun dari sektor pajak, dari penerimaan negara keseluruhan dibagi dalam belanja pemerintah pusat, belanja daerah, keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran, pembiayaan dalam negeri dan pinjaman luar negeri. Secara eksplisit anggaran untuk rakyat miskin belum menjadi prioritas bagi pemerintah. Walaupun Departemen Sosial menyediakan anggaran tersendiri, penyerapan anggaran tidak cukup menjangkau banyaknya rakyat miskin yang ada. Menyikapi permasalahan ini, zakat dapat dijadikan salah satu sarana potensial untuk membantu pemerintah dalam mendistribusikan kekayaan dan memeratakan pendapatan, yang dapat berimplikasi pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Setidaknya ada beberapa potensi ekonomi dalam zakat yang dapat dimanfaatkan dan dilaksanakan di Indonesia. Potensi tersebut meliputi : ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 70 isi.pmd 70 8/20/2008, 11:04 AM • Potensi Material Berdasarkan penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), potensi zakat pada tahun 2007 meningkat dari potensi zakat ada tahun 2004 yakni dari Rp. 4,45 triliun menjadi sebesar Rp. 9,09 triliun. Dalam jumpa pers, Hamid Abidin, Koordinator Program PIRAC, menjelaskan bahwa survei yang dilakukan PIRAC mengungkapan jumlah rata-rata zakat yang dibayarkan para muzakki meningkat dari Rp. 416.000,- per orang per tahun pada tahun 2004 menjadi Rp. 684.550,- per orang per tahun pada tahun 2007. Hamid Abidin juga menyatakan bahwa tingkat kesadaran muzakki terhadap kewajiban membayar zakat pun meningkat, dari 49, 8 persen pada 2004 menjadi 55 persen pada 2007 dan sebesar 95, 5 persen muzakki yang sadar akan kewajibannya terhadap zakat mengaku menunaikan ibadahnya itu. Namun dana zakat tersebut sebagian besar belum terkordinir dengan baik, dan mayoritas penyalurannya lewat masjid atau musholla dengan cara-cara konvensional. Pada tahun 2005 PBB UIN Jakarta juga memperkirakan potensi zakat masyarakat Indonesia sebesar 19.3 triliun. Bahkan Jamal Doa pernah menghitung potensi zakat masyarakat Indonesia mencapai 85 triliun. • Potensi Spiritual Menurut Al Ghazali dan Al Syatibi tujuan syari’at Islam adalah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia, yang terletak pada perlindungan agama (din), jiwa (nafs), akal (aqal), keturunan (nasab), dan kekayaan (mal) (Al Ghazali : 1937). Begitu juga M.Umer Chapra. Ia mengatakan keimanan dan kekayaan keduanya penting bagi kesejahteraan manusia, karena keimanan membantu menimbulkan disiplin untuk mencari dan membelanjakan harta, sehingga dimungkinkan akan berfungsi lebih efektif dan otomatis dalam melindungi kepentingan sosial (Umer Chapra : 2004). Sebagai salah satu instrumen dalam pranata Islam, potensi zakat yang besar tidak semata-mata hanya lahir dari besaran dana yang dibayarkan yang kemudian disalurkan kepada kaum mustahik tapi juga karena jenis-jenis harta yang dikenai zakat. Yusuf Qardawi juga mengklasifikasikan jenis-jenis kekayaan yang dapat dikenai kewajiban zakat, meliputi binatang ternak, emas dan perak, kekayaan dagang, hasil pertanian, barang tambang dan hasil laut, pencarian dan profesi, investasi pabrik, gedung, saham dan obligasi serta atas harta lainnya. C. RUANG LINGKUP Kelembagaan Zakat Pada dasarnya tidak ada struktur organisasi pengelolaan zakat yang baku di dunia ini. Masing-masing negara yang memiliki kelembagaan zakat memiliki model yang berbeda-beda. Meskipun demikian, secara umum pola pengelolaan itu bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok. Pertama adalah kelompok negara-negara yang mengelola zakat berdasarkan prinsip kesukarelaan, voluntary basis. Negara-negara yang masuk dalam kategori ini umumnya adalah, negara-negara yang meski mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam tetapi hukum Islam tidak menjadi landasan dasar negara dan pemerintahannya, seperti di Malaysia, Mesir. Dan berdasarkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, negara Indonesia termasuk dalam gugus ini. Kedua, adalah kelompok negara-negara yang mengelola zakat berdasarkan prinsip kewajiban, compulsory basis. (Abidin Salam : 1990). Pada model ini, negara atau lembaga resmi yang ditunjuk untuk mengelola zakat dapat memaksakan pembayaran zakat kepada muzakki berdasarkan ketentuan undangundang. Umumnya negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah negara yang ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 71 isi.pmd 71 8/20/2008, 11:04 AM memang menjadikan syariah Islam sebagai hukum dasar di negaranya seperti Saudi Arabia dan Sudan. Dalam model yang kedua ini, meski menerapkan sistem pembayaran wajib, namun bukan berarti pembayaran seluruh harta yang wajib dizakati berdasarkan syariah harus dibayarkan kepada pemerintah sebagaimana terjadi di masa kekhalifahan. Sistem pembayaran wajib hanya berlaku pada harta dzahir, sedangkan terhadap harta bathiniyah masih dilakukan secara sukarela, artinya para muzakki yang hendak membayarkan zakat harta bathinnya boleh memilih untuk membayarkan zakatnya kepada lembaga pemerintah atau membayarkannya secara langsung secara pribadi maupun melalui lembaga-lembaga swasta. Indonesia dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menggunakan sistem sukarela. Model kelembagaan yang dianut adalah multi lembaga yang tidak memisahkan fungsi pengumpulan dan pendistribusian. Terdapat dua subyek pengelola zakat, yaitu pengelola zakat formal (pemerintah) dan non-formal (masyarakat). Lembaga formal pengelola zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. UU No 38 tahun 1999 juga memberikan kewenangan kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk melakukan pengelolaan zakat. Untuk mewujudkan Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ) yang memenuhi kriteria yang ideal kita dapat mengambil presedennya dari badan yang disebut dengan “KOMISI NEGARA”. Keberadaan Komisi Negara Sesuai dengan definisi komisi negara independen di atas, saat ini di Indonesia telah ada 13 komisi negara independen (independent regulatory agencies) yang pembentukannya didasarkan pada peraturan perundangundangan. Komisi negara tersebut terdiri atas: Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Perlindungan Anak, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Dewan Pers, Dewan Pendidikan, Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan. Sebelumnya juga ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Namun, setelah berdirinya KPK, keberadaan KPKPN ini kemudian dihapuskan. Meski keputusan untuk membubarkan KPKPN tersebut cenderung kental dengan nuansa balas dendam anggota DPR yang merasa terganggu dengan ’galaknya’ kerja KPKPN; namun, harus diakui, penyatuan KPKPN ke dalam KPK adalah langkah efisiensi yang cukup tepat. Selain komisi negara independen, ada beberapa lembaga lain, namun bertanggung jawab kepada presiden –atau merupakan bagian dari eksekutif– sehingga merupakan komisi negara eksekutif (executive branch agencies). Komisi atau lembaga negara itu, beserta dasar hukumnya, berada di bawah atau bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri. Lembaga ini meliputi; Komisi Hukum Nasional Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Dewan Pembina Industri Strategis, Dewan Riset Nasional, Dewan Buku Nasional, Dewan Maritim Indonesia, Dewan Ekonomi Nasional, Dewan Pengembangan Usaha Nasional, Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan Komite Akreditasi Nasional, Komite Penilaian Independen, Komite Olahraga Nasional Indonesia, Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran, Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Tim ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 72 isi.pmd 72 8/20/2008, 11:04 AM Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Dewan Gula Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Narkotika Nasional, Bakornas Penanggulangan Bencana & Pengungsi, Badan Pengembangan Kapet, Bakor Pengembangan TKI, Badan Pengelola Gelora Bung Karno, Badan Pengelola Kawasan Kemayoran, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Propinsi NAD dan Kep. Nias Sumatera Utara, Badan Nasional Sertifikasi Profesi, Badan Pengatur Jalan Tol, Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Lembaga Sensor Film, Korsil Kedokteran Indonesia, Badan Pengelola Puspiptek, Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara, Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Untuk pengaturan zakat, kami mengusulkan bentuk yang paling ideal saat ini adalah Komisi Negara. Melalui UndangUndang Zakat yang baru nanti pembentukan lembaga negara non departemen sangat dibutuhkan. Bentuknya berupa Badan Koordinasi Pengelolaan Zakat / BKPZ). Badan Koordinasi Pengelolaan Zakat Badan Koordinasi Pengelolaan Zakat (BKPZ) ini nantinya berfungsi sebagai badan yang melakukan pengaturan dan pengawasan secara keseluruhan. Ia memiliki kewenangan delegatif untuk mengeluarkan regulasi-regulasi tentang zakat. Baik berkaitan dengan nisab dan kadar zakat, penentuan kriteria mustahik, pengaturan pendistribusian dan lain sebagainya. Keberadaan BKPZ juga berperan membuat pengaturan berkaitan dengan aspek pengumpulan, pencatatan, pelaporan dan pendayagunaan zakat. Dengan demikian secara rutin BKPZ akan dapat mengeluarkan peraturan-peraturan baru yang mengikat terhadap operasionalisasi lembaga pengelola zakat. Seperti halnya peran Bank Indonesia (BI). Secara periodik Bank Indonesia dapat mengeluarkan peraturan baik berupa Surat Edaran (SE), Surat Ketetapan (SK) dan bentuk peraturan lainnya. Peraturan BI harus ditaati oleh bank, baik swasta maupun bank pemerintah. Salah satu contoh negara yang memiliki pengaturan zakat tersendiri adalah Pakistan. Melalui Ordonansi Zakat dan Ushr tahun 1980 Pakistan mendirikan lembaga Dewan Sentral Zakat (Central Zakat Council/CZC) dan lembaga Administrasi Sentral Zakat (Central Zakat Administration). CZC merupakan lembaga yang memiliki kewenangan membentuk peraturan tertinggi dan kebijakan tertinggi dalam hal zakat. Sedangkan CZA memiliki kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan yang lebih mendetail mengenai pelaksanaan, pengumpulan, pendistribusian, pengelolaan zakat termasuk aturan audit, keuangan dan sistem operasi zakat. Nah, nantinya BKPZ diharapkan memiliki kewenangan tersebut ditambah kewenangan merumuskan kebijakan tertinggi pengelolaan zakat. Fungsi lainnya yang diharapkan ada pada BKPZ adalah pengawasan. BKPZ memastikan bahwa peraturan-peraturan yang dikeluarkannya berjalan dengan baik. BKPZ melakukan pengawasan atas pengelolaan zakat apakah pengelolaan sesuai dengan syariah dan peraturan, apakah ia berjalan sesuai prinsipprinsip keuangan, pencatatan, akuntabilitas, dan apakah berjalan dan dikelola secara ekonomis. Dalam kaitannya dengan fungsi pengaturan dan pengawasan, maka BKPZ-lah yang memiliki kewenangan memberikan izin atas Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang menjalankan fungsi pengelolaan zakat. BKPZ yang menentukan syarat-syarat pendirian LAZ, standar operasional LAZ, sistem ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 73 isi.pmd 73 8/20/2008, 11:04 AM pertanggungjawaban publik LAZ. BKPZ tidak hanya menjadi regulator bagi operasi LAZ tetapi juga pengawas LAZ. Dengan demikian kepercayaan publik, akuntabilitas, integritas dan profesionalitas pengelolaan zakat oleh LAZ akan tetap terjaga. Dengan demikian, di dalam paper ini kami mengusulkan keberadaan operator (penghimpun dan pengelola zakat) hanya dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sementara keberadaan Badan Amil Zakat (BAZ) yang sekarang ada, akan didorong sepenuhnya menjadi fungsi regulator dan pengawas. Atau perwujudan dari BKPZ. Nah, jika keberadaan BAZ, baik Baznas maupun Bazda ingin tetap mengelola zakat, maka mereka harus merubah lembaganya menjadi LAZ. Struktur BKPZ Struktur BKPZ menyesuaikan diri dengan pembagian wilayah berdasarkan prinsipprinsip otonomi daerah untuk mengoptimalisasikan peranannya, dengan beberapa penyesuaian dilihat berdasarkan prinsip administrasi zakat yang efisien, efektif dan ekonomis. BKPZ terdiri dari BKPZ Nasional , BKPZ Propinsi dan BKPZ Kabupaten/Kota. BKPZ Nasional merupakan Komisi Negara yang pembentukannya berdasarkan UU. Kemudian BKPZ Propinsi dibentuk oleh BKPZ Nasional, di mana BKPZ Nasional juga memiliki kewenangan untuk menentukan wilayah operasional BKPZ Propinsi. Dengan demikian sangat mungkin suatu BKPZ Propinsi demi efisiensi sepanjang tugasnya dapat dilaksanakan secara efektif dapat mencakup lebih dari satu propinsi. Adapun BKPZ Kabupaten/Kota didirikan oleh BKPZ Propinsi dengan kewenangan menentukan wilayah BKPZ Kabupaten/Kota. BKPZ Nasional adalah lembaga satusatunya yang berwenang mengeluarkan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang mengatur mengenai pengelolaan zakat. Adapun BKPZ Propinsi dan BKPZ Kabupaten/Kota hanya memiliki kewenangan pengaturan yang sifatnya kebijakan dan berlaku hanya pada wilayah kewenangannya saja. Pola pertanggungjawaban pada komisi ini adalah pola bertingkat. BKPZ Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada BKPZ Propinsi. BKPZ Propinsi bertanggungjawab kepada BKPZ Nasional. BKPZ Nasional bertanggungjawab kepada DPR RI. BKPZ Kabupaten/Kota memiliki kewenangan memberikan serta mencabut izin operasional kepada BKPZ Kabupaten/Kota, dan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan zakat. BKPZ Kabupaten/Kota juga memiliki kewenangan mengkoordinasikan LAZ-LAZ Kabupaten/Kota dalam pengumpulan dan terutama pendistribusian zakat. Selain itu BKPZ Kabupaten/Kota juga memiliki tugas edukasi masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat atas kewajiban membayar zakat. BKPZ Propinsi memiliki kewenangan untuk memberikan serta mencabut izin operasional kepada LAZ Propinsi, dan melakukan pengawasan terhadap pengelolaan zakat di tingkat propinsi. BKPZ Propinsi juga memiliki kewenangan mengkoordinasikan LAZ-LAZ Propinsi. Selain itu pembinaan BKPZ Kabupaten/Kota dan edukasi masyarakat juga menjadi tugas dari BKPZ Propinsi. BKPZ Nasional selain mempunyai kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan juga memiliki kewenangan menentukan kebijakan nasional zakat, melakukan pengawasan kepada LAZLAZ Nasional, dan melakukan pembinaan dan mengkoordinasikan BKPZ-BKPZ Propinsi. Untuk optimalisasi potensi zakat yang ada di Indonesia perlu ekspansi wilayah potensi. Salah satunya adalah pemberian insentif pajak ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 74 isi.pmd 74 8/20/2008, 11:04 AM di mana zakat dapat mengurangi pajak sebagaimana yang dilaksanakan di Malaysia. Oleh karenya diperlukan koordinasi yang baik antara Departemen Agama, Departemen Sosial dan Departemen Keuangan. Upaya koordinasi ini dapat diwujudkan dengan mengisi komposisi SDM di BKPZ Nasional. Di BKPZ, masing-masing mewakilkan satu utusan departemen terkait sebagai anggota dalam komisi negara tersebut. Di samping juga tentunya ulama, cendikiawan, tokoh masyarakat, praktisi keuangan, akademisi dan komposisi lain yang bisa mendukung BKPZ. Peran serta masyarakat terutama praktisi yang berkecimpung di bidang perzakatan juga harus diakomodir sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam per wujudan good governance. Dengan demikian BKPZ Nasional terdiri dari unsur pemerintah, ulama, dan masyarakat, dengan komposisi 3:6:4. BKPZ Nasional dibantu oleh sekretariat jenderal untuk urusan administrasi perkantorannya. Sedangkan BKPZ Propinsi, unsur pemerintah diwakili oleh Gubernur atau utusan Pemerintah Propinsi. Unsur ulama dan masyarakat dengan perbandingan 4:2. Adapun BKPZ Kabupaten/Kota terdiri dari Bupati/Walikota atau utusannya ditambah 2 wakil ulama dan 2 wakil masyarakat. Keseluruhan tingkatan dibantu oleh Sekretariat Jenderal masing-masing. Hubungan Antara BKPZ dengan LAZ Administrasi pengelolaan zakat yang baik membutuhkan pembagian peran dan fungsi pengelolaan, pengawasan, koordinasi, dan pengaturan serta pola hubungan antar subyeksubyek pengelola. Inilah salah satu kelemahan UU No. 38 tahun 1999. Termasuk juga tidak adanya pengawasan yang ketat baik kepada lembaga zakat pemerintah maupun swasta. Keberadaan Badan Pengawas yang ada di BAZ selama ini hanya bersifat internal saja. Ia hanya melakukan pengawasan yang sifatnya prefentif. Padahal pengelolaan zakat membutuhkan sifat pengawasan yang tidak sekedar prefentif tetapi juga korektif. Dengan tidak optimalnya fungsi pengawas yang ada di dalam struktur BAZ, maka keberadaan BKPZ sangat penting dimunculkan. Dengan struktur BKPZ dan LAZ maka fungsi Pengaturan dan Pengawasan akan dilakukan oleh BKPZ, sementara pengelola zakat diperankan oleh LAZ sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh BKPZ. Hubungan antara keduanya dilakukan berdasarkan wilayah kewenangannya. LAZLAZ Kabupaten/Kota diawasi dan dikoordinasikan oleh BKPZ Kabupaten/Kota. LAZ-LAZ Propinsi di bawah BKPZ Propinsi dan LAZ-LAZ Nasional diawasi dan dikoordinasikan oleh BKPZ Nasional. Struktur pengelolaan zakat yang diusulkan ini akan membentuk piramida organisasi pengelola zakat. Struktur ini memungkinkan tumbuhnya LAZ-LAZ di tingkat Kabupaten/ Kota. Kemudian LAZ-LAZ Propinsi dalam proporsi yang lebih ramping, dan pada puncaknya adalah LAZ-LAZ Nasional. Kunci agar memastikan piramida ini dapat berjalan maka perlu pengaturan persyaratan pembentukan pada masing-masing tingkatan oleh BKPZ Nasional. Salah satu tujaun dari pengaturan semacam ini adalah untuk memastikan transformasi perilaku masyarakat yang masih menjalankan kewajiban zakatnya secara tradisional dapat tetap berjalan dengan baik. Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan, dan Sanksi • Pengumpulan Dalam pengumpulan zakat, peran LAZ sangat penting. LAZ merupakan pelaksana utama pengumpulan zakat di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, bahkan luar negeri. Selain itu, LAZ dimungkinkan membentuk unit-unit pengumpul zakat sebagai unit pembantu pelaksana pengumpulan zakat. Dengan demikian, nantinya akan ada lebih ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 75 isi.pmd 75 8/20/2008, 11:04 AM dari satu LAZ di Indonesia. Dengan demikian muzakki memiliki keleluasaan dalam memilih lembaga amil mana yang akan dipercaya untuk mengumpulkan dan menyalurkan dana zakatnya. Sementara LAZ akan terpacu dan berlomba berinovasi untuk menggaet muzakki. Dari sisi muzakki juga akan sangat terbantu. Karena dengan banyaknya LAZ akan memudahkan mereka menghitung harta yang hendak dizakati. Muzakki juga akan menerima bukti pembayaran zakat dengan mudah. Seperti mereka membayar pajak. Begitu selesai membayar pajak lalu mereka menerima bukti pembayarannya. Bukti pembayaran tersebut nantinya akan dipakai sebagai bukti bahwa muzakki telah melaksanakan kewajibannya melaksanakan zakat sehingga zakat tersebut bisa menjadi unsur pengurang pajak penghasilan. • Pendistribusian dan Pendayagunaan Agar dana zakat yang disalurkan dapat berdayaguna dan berhasil guna maka pemanfaatannya harus selektif. Sedapat mungkin digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat produktif tanpa meninggalkan pemenuhan kebutuhan konsumtif. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah kebutuhan mustahik. Di beberapa ayat di Alquran disebutkan bahwa pembayaran zakat di utamakan untuk mustahik yang ada di lingkungan muzakki. Namun, pemerataan kebutuhan mustahik di seluruh pelosok juga perlu diperhatikan. Untuk itu, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, termasuk harta selain zakat, dilakukan oleh LAZ dengan memperhatikan ; berdasarkan pada database yang ada di BKPZ, berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahik sesuai pedoman pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang ditetapkan oleh BKPZ Nasional. Dalam mengelola zakat, LAZ wajib mencatat data pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dan harta selain zakat. • Pengawasan Dalam struktur kelembagaan pengelolaan zakat, fungsi pengawasan lembaga mutlak diperlukan. Hal ini dilakukan guna menjaga kewenangan yang diberikan kepada lembaga pengelola zakat agar tidak merugikan kepentingan publik. Dengan adanya pengawasan dan mekanisme kontrol yang jelas, penyimpangan hukum dan penyalahgunaan kewenangan dapat dicegah atau setidaknya direduksi. Ada tiga aspek yang terkait dengan masalah pengawasan dan mekanisme kontrol secara umum. Pertama adalah metode pendekatan dalam pengawasan, kedua adalah pelaksana pengawasan, dan ketiga, obyek yang diawasi. Metode pendekatan dalam pengawasan dapat dilakukan secara preventif, detektif dan represif. Sementara pelaksanaan pengawasan dapat dibuat mekanisme kontrol yang proporsional dan obyektif, baik secara internal lembaga maupun ekternal lembaga. Sedangkan obyek yang diawasi meliputi aspek syariah, aspek keuangan dan aspek ekonomi. Di samping aspek-aspek di atas, pengawasan juga penting dilakukan oleh masyarakat secara umum. Sebab peran serta masyarakat dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan demokrasi akan memperkuat posisi tawar rakyat. Peran serta masyarakat dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, demokrasi juga menempatkan pola hubungan yang bersifat permanen antara pihak pemerintah yang mendapat mandat rakyat untuk menjalankan pengelolaan pemerintahan negara dan daerah dan rakyat selaku pemilik kedaulatan sejati. Tuntutan untuk mewujudkan good governance merupakan keniscayaan seiring dengan perkembangan demokrasi dan reformasi. • Sanksi Dalam melaksanakan kewajiban, umat Islam membutuhkan peran serta pemerintah. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 76 isi.pmd 76 8/20/2008, 11:04 AM Zakat tidak akan pernah dapat terlaksana dengan baik, kecuali dengan adanya dukungan dan peran pemerintah. Jika zakat telah secara legal diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, maka implikasinya adalah adanya kewajiban seluruh warga negara yang beragama Islam dan telah memenuhi syarat sebagai muzakki untuk mengeluarkan zakat. Dalam konteks ini, suatu hal yang memaksa, apabila ditinggalkan akan mendapatkan konsekuensi secara hukum. Hal inilah yang sering kita sebut dengan sanksi. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa adanya sifat memaksa dalam hukum menyebabkan sanksi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penegakan hukum itu sendiri. Sebenarnya sanksi bukanlah suatu keharusan, itu sebabnya tidak seluruh peraturan mencantumkan adanya sanksi. Namun pada kenyataannya peraturan yang tidak memuat sanksi amat mudah dilanggar dan justru menjadi peraturan yang mandul. Islam telah menggariskan konsepnya sendiri. Islam memandang bahwa pemberian sanksi merupakan bagian dari penegakan syariah, terutama ibadah zakat. Rasulullah SAW pernah memberikan pelajaran penting mengenai sanksi bagi muzakki yang tidak membayar zakat. Suatu hari ada orang Badui yang datang menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikan perilaku petugas pemungut zakat yang berlaku kasar. Namun Rasulullah SAW justru meminta orang tersebut untuk melayani petugas pemungut zakat tersebut dengan baik. Sejak saat itu petugas pemungut zakat yang ditugaskan selalu pulang dengan mudah. Namun demikian tidak satu pun dari mereka yang menarik denda dari para muzakki yang lalai. Apabila muzakki tersebut ingkar zakat mereka hanya akan memaksa muzakki untuk mengeluarkan hartanya. Ketentuan di atas menjadi landasan berpikir kita dalam menentukan sanksi yang tepat bagi muzakki yang tidak membayar zakat. Dalam konsep hukum Islam, hukuman bagi muzakki yang tidak membayar zakat memang tidak ditentukan di dalam Al Qur’an dan Hadis. Al Qur’an dan Hadis hanya memerintahkan penguasa untuk mengambil harta zakat, apabila muzakki tidak mau diambil zakatnya, maka ia akan dihukum langsung oleh azab Allah. Muzakki tidak diqisas melainkan hanya di-ta’zir. Hukuman ta’zir diserahkan kewenangannya kepada pemerintah untuk memutuskan bentuk dan jenisnya. Berdasarkan hal tersebut, maka sanksi yang akan diberikan harus dibedakan antara sanksi bagi muzakki maupun amil, bahkan sanksi bagi mustahik. Sanksi bagi mustahik diberikan apabila mustahik memberikan keterangan palsu mengenai keadaan dirinya. Sedangkan pelanggaran bagi muzakki ada beberapa macam bentuknya, di antaranya, muzakki memberikan keterangan yang salah kepada petugas zakat, muzakki curang dalam melakukan penghitungan zakat, muzakki lalai dalam pembayaran zakat dan muzakki tidak mau bayar zakat. Sedangkan bagi Lembaga Amil Zakat, ada beberapa pelanggaran yang mungkin terjadi. Pelanggaran ini di antaranya: Lembaga Amil Zakat melakukan kesalahan dalam pencatatan, Lembaga Amil Zakat melanggar prosedur atau peraturan perundangundangan yang berlaku, Lembaga Amil Zakat melakukan penyelewengan dana zakat. Terkait dengan hal ini maka sanksi yang diberikan kepada Lembaga Amil Zakat yang mungkin antara lain : Bagi Lembaga Amil Zakat yang melanggar prosedur ; diberikan surat peringatan, penurunan status LAZ, pembekuan LAZ, pencabutan izin dan pembubaran LAZ Sementara bagi Lembaga Amil Zakat yang lalai dalam pencatatan akan dikenakan denda, bagi Lembaga Amil Zakat yang melakukan penyelewengan dana zakat dikategorikan sebagai penggelapan dan akan diancam pidana berupa denda/kurungan penjara. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 77 isi.pmd 77 8/20/2008, 11:04 AM Setelah membahas mengenai sanksi para amil, muzakki dan mustahik, maka pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah siapakah yang berhak untuk memberikan sanksi. Apabila pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran administratif dan sanksi yang diberikan adalah sanksi administratif, maka sanksi diberikan oleh BKPZ. Sedangkan untuk sanksi pidana hanya dapat diberikan setelah adanya proses di pengadilan. Penutup Memberi ruang gerak yang lebih luas bagi partisipasi publik merupakan ciri negara yang menjunjung tinggi civil society. Di dalam konsep civil society terpancar semangat partisipatif dari masyarakat. Sementara peran negara harus dikurangi karena masyarakat telah mampu mengatur dirinya sendiri. Melalui Naskah Akademik (academic paper) yang kami usulkan ini, kami ingin berpartisipasi dalam penyusunan RUU Zakat yang baru. Maksud dan tujuan kami tidak lain kecuali turut serta berpartisipasi dalam penataan kelembagaan zakat di tanah air ini. Karena kami yakin, ketika kelembagaan zakat dapat tertata dengan baik maka potensi zakat yang besar akan dapat tergali secara optimal. Naskah Akademik merupakan sesuatu yang mutlak bagi penyusunan RUU (Rancanangan Undang-Undang). Oleh karenanya, dalam rangka mendukung lahirnya UU Zakat yang isinya pro terhadap aspirasi masyarakat, maka perlu kami dukung dengan membuat Naskah Akademik ini. Semoga bermanfaat. : ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 78 isi.pmd 78 8/20/2008, 11:04 AM Pentingnya Penataan Kelembagaan Zakat Demi Perbaikan di Masa Mendatang Sahri Muhammad Abstrak Ibadah zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF) bukan hanya membawa pesan ritual namun juga memiliki pesan sosial dan pesan bagi pembangunan ekonomi. Sementara pembangunan ekonomi yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW adalah pembangunan dengan sistem pemerataan. Sehingga hasilnya dapat dinikmati baik oleh golongan kaya maupun masyarakat miskin. Pesan ini sama seperti pesan yang terkandung di dalam konsep demokrasi. Di mana “menafkahkan sebagian harta” untuk menunjang pembangunan dapat dilakukan oleh swasta maupun pemerintah. Kelembagaan dan tujuan pengelolaan ZISWAF adalah untuk mengupayakan masyarakat miskin agar mencapai tingkat hadd al kifayah secara berkelanjutan. Paradigma penyaluran zakat, infak dan sedekah (ZIS) yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan Khalifah Umar ra adalah menggunakan paradigma “people centered”, yaitu pengumpulan dilakukan secara nasional atau regional, namun penyaluran dilaksanakan secara lokal. Kata kunci : hadd al kifayah, sistemik, kelembagaan, paradigma dan “people centered”. Z Pendahuluan akat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF) sebagai salah satu bentuk peribadatan, memiliki pesan mulia yakni mengedepankan nilai-nilai sosial dan pembangunan ekonomi di samping pesanpesan ritual. Pembangunan ekonomi yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, tampak jelas berorientasi kerakyatan dan mengedepankan tindakan agar peredaran harta dan kesejahteraan (hadd al kifayah) bisa dinikmati oleh kaum aghniya (the have) maupun kaum miskin. “Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orangorang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah itu. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya.” (Al Hasyr : 7) Ayat ini memiliki pesan yang sangat penting terutama bagaimana harta benda yang dimiliki seseorang dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya. Pesan tersebut meliputi : (1) Harta cenderung berputar di antara orang kaya saja. Dalam ilmu ekonomi dikenal adanya “arus lingkar (circulation flow)” harta (Muhamad : 2006, hal. 89, Arsyad : 1999, hal. 3) sebagai berikut : (a) Gerak pertama merupakan gerak lingkar harta dalam rumah tangga produsen ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 79 isi.pmd 79 8/20/2008, 11:04 AM / pengusaha sebagai penyedia pekerjaan. Akumulasi keuntungan menjadikan “harta berputar” di antara para pemilik modal. (b) Gerak kedua merupakan gerak lingkar harta dalam rumah tangga lembaga keuangan / bank sebagai penyedia modal. Akumulasi keuntungan dari bunga bank atau keuntungan (bank syari’ah) menjadikan “harta berputar” di antara pemilik modal bank. (c) Gerak ketiga merupakan gerak lingkar dalam rumah tangga negara sebagai penyedia pelayanan publik. Akumulasi “kolam pajak” menjadikan harta berputar di antara “para elite politik dan birokrasi negara”. (2) Supaya harta tidak hanya berputar di antara orang kaya saja, maka menurut Al Qur’an diperlukan langkah penerapan “fa’i”, atau bentuk lain, yaitu : (a) Menafkahkan sebagian harta (perusahaan, bank dan negara) sebagai tanggung jawab sosial dalam bentuk corporate social responsibility (CSR) atau anggaran (RAPBN/RAPBD) untuk menanggulangi kemiskinan. (b) Menunaikan zakat sebagai tanggung jawab agama dan sosial-ekonomi untuk menyelesaikan permasalahan delapan asnaf (At Taubah : 60). Dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi ini Imam Al Layts ibn Sa’ad (39 H – 175 H) berdarah Mesir alQibthi teman sejawat Imam Malik, tergolong imam fikih yang kaya, yang memberikan makan fakir miskin 300 orang perhari, memberikan fatwa tentang pembangunan dan kesejahteraan sebagai berikut : Siapapun tidak berhak menimbun harta kekayaan kecuali penghidupan masyarakat telah mencapai hadd al kifayah (batas kecukupan). Pertumbuhan ekonomi masyarakat perlu menjadi perhatian utama dari para penguasa. Para penguasa dan para pejabat pemerintah memikul pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT atas kewajiban mengupayakan terwujudnya pertumbuhan ekonomi mencapai taraf penghidupan masyarakat yang dapat mencapai hadd al kifayah, yaitu terjaminnya beberapa kebutuhan penting, seperti makanan, minuman, tempat tinggal yang layak, sarana angkutan seperti keledai, onta dan kuda (sekarang mobil), pengetahuan yang menyelamatkan, kemampuan membayar hutang dan semua sarana untuk mewujudkan kehidupan yang tenang, tenteram dan terhormat. (Syarqawi, 2000) Mekanisme zakat merupakan salah satu proses redistribusi untuk meraih tujuan hadd al kifayah tersebut. Dalam surat At Taubah (9) : 60, dan 103 memberikan petunjuk tentang arah pengumpulan dan penyaluran zakat, yaitu : (1) Arah penyaluran zakat, At Taubah 60 : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang bepergian, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah”. (2) Arah pengumpulan zakat, At Taubah 103 : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu mensucikan dan menyuburkan mereka, dam mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka”. Surat At Taubah 103 menjelaskan bahwa fungsi zakat yang utama adalah mensucikan dan menyuburkan harta, yang mengandung makna ibadah spiritual dan ibadah sosialekonomi (menyuburkan = pertumbuhan ekonomi). Atas dasar prinsip tersebut, maka Imam Ibn. Hazm, seorang imam fikih (384 H – 456 H) dari Andalus (Eropa) memfatwakan tentang penanggulangan kemiskinan dengan pendapatnya : Tak ada suatu apapun yang membuat seorang muslim terpaksa dalam makan makanan yang diharamkan Allah seperti bangkai, darah dan daging babi. Seorang muslim tidak akan terpaksa ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 80 isi.pmd 80 8/20/2008, 11:04 AM makan makanan seperti itu, kecuali dia telah dicekik kelaparan. Jika ada seorang muslim dicekik kelaparan di kampung halamannya sendiri, maka penguasalah yang bertanggungjawab mengadakan makanan baginya. Jika harta baitul maal tidak cukup untuk memberikan makan orang-orang yang kelaparan, maka penguasa harus mewajibkan harta kaum kaya untuk mencukupi kebutuhan kaum yang kelaparan. Apabila penguasa tidak mengambil tindakan semacam itu, maka ia berdosa. (Syarkawi : 2000). Dengan demikian pengelolaan ZISWAF menekankan dua hal, yaitu : (1) Adanya lembaga zakat untuk mengelola “redistribusi ekonomi”. (2) Adanya paradigma pengelolaan untuk meraih kesejahteraan hadd al kifayah. Masalah kelembagaan amil di awal pertumbuhan peradaban Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan khulafa’ al- rasyidin, terutama zaman Abu Bakar alShidiq, dapat ditelusuri dari beberapa keterangan hadits termasuk hadits yang isinya memerintahkan Muadz ibn Jabal dan dialog Muadz dengan Nabi : Nabi: Mu’adz, apa tindakanmu jika kepadamu diajukan sebuah kasus (perkara)? Mu’adz: Akan aku putuskan berdasarkan Kitab Allah (Alqur’an)! Nabi: Jika kamu tidak dapatkan dalam Alqur’an? Mu’adz: Akan aku putuskan menurut Sunnah Rasulullah! Nabi: Jika tidak ada (juga)? Mu’adz: Aku akan berijtihad dengan seksama! Sejarah ijtihad sepanjang peradaban Islam abad pertengahan dapat diperhatikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Review landasan metode ijtihad sembilan imam fikih dalam penetapan hukum syariat (Syarkawi, 2000) Landasan Berijtihad Ilmu Pengetahuan Nama Umur (H) Qiyas Alqur’an Sunnah Ijma’ Akal V v Istihsan, kemaslahatan umat v (ra’yi) V Istiqra’ dan istinbath — Imam Zayd ibn Z’abidin 80 H-122 H V v — Imam Ja’far ash-Shadiq 180 H-148 H v v — Imam Abu Hanifah Persia 80 H-150 H v Hadits shahih - V v (Imam ar-ra’y) v Imam Malik Madinah 93 H-180 H v v Utamanya ijma’ Madinah V v — Imam Al Layts Mesir 39 H-175 H v v Ijma’ dan ra’yi V ar ra’y v Imam M. Ash Syafi’i 149 H-204 H v v Jalan tengah Ijma’ V dan ra’y v v -1 Imam Ahmad ibn Hambal v v Jalan tengah Ijma’; dan ra’y V v v Imam ibn Hazm 384 H-456 H (Andalus, Eropa) v v Ijma’ tidak mesti Madinah V v Akal untuk memahami Alqur’an dan Asunnah v -3 Imam Al ‘Izz ‘Izzudin v v v V v 755 H-660 H ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 81 isi.pmd Fakta 81 8/20/2008, 11:04 AM -1 v ekperimen (2) (3) Keterangan : (1)Menurut Imam Ja’far Ash Shadiq dan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa hakikat ilmu adalah bersumber dari Alqur’an, As Sunnah dan ilmu Pengetahuan alam dan sosial termasuk aljabar, ilmu fisika, kedokteran dan ilmu pengetahuan lainnya, termasuk ilmu ekonomi. Oleh karena itu untuk memperkuat kemampuan merumuskan fikihnya, maka kedua imam tersebut belajar ilmu-ilmu umum. (2)Menurut Imam Izzudin pada dasarnya perbedaan pendapat antara mazhab tidak ada, kecuali masalah furu’ (cabang) saja. (3)Dari kesembilan imam fikih, Imam Hazm dan Imam Izzudin terlibat langsung pada kegiatan pemerintahan. Imam Izzudin bahkan ikut mempengaruhi kebijakan pajak, agar “pajak untuk usaha kecil dihapus, dan pajak bagi orang kaya dinaikkan” (hal. 694) (Syarkawi, 2000) Khususnya di negara kita, kegiatan mengelola zakat untuk menanggulangi kemiskinan, harus kita perhatikan kelembagaan lain dengan tugas, misi dan tanggung jawab serupa, yaitu : (1) Lembaga perusahaan dengan dana transfer berupa CSR (corporate social responsibility); (2) Lembaga keuangan juga dengan dana transfer berupa CSR. (3) Lembaga negara dengan kebijakan anggaran RAPBN/RAPBD. Dengan demikian setiap kita membicarakan “sistem pengelolaan zakat”, maka kita akan dihadapkan pada dua persoalan pokok, yaitu : (1) Kelembagaan dan atau kolaborasi antar kelembagaan dengan misi serupa; (2) Paradigma pengelolaan sebagai cara pandang dan prinsip kerja yang akan mengarahkan lembaga amil zakat untuk mencapai hadd al kifayah yang telah digariskan dalam Sunnah Nabi dan Alqur’an At Taubah : 60. Pendekatan Sistem Dalam Pengelolaan ZISWAF Pengelolaan ZISWAF terkait dengan kebijakan pemerintah berarti kegiatan pengumpulan dan penyaluran untuk mencapai tujuan sangat kompleks dan harus didekati secara sistemik. Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan sistem, yaitu : (1) Pendekatan sistem yang menekankan pada prosedur mendefinisikan sistem adalah suatu jaringan kerja dan prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran tertentu. (2) Pendekatan sistem yang lebih menekankan pada komponen mendefinisikan sistem adalah sekumpulan dari elemen yang berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Suatu sistem mempunyai maksud tertentu yang sering disebut dengan tujuan (goal) atau sasaran (objective). Gambar 1.1 adalah karakter atau sifatsifat tertentu yang dimiliki oleh sistem pengelolaan ZISWAF. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 82 isi.pmd 82 8/20/2008, 11:04 AM Gambar 1.1 Gambaran sistem pengelolaan ZISWAF dan lingkungannya Keterangan : (1) Batas sistem (2) Lingkungan luar sistem yang berpengaruh : sistem politik, APBN/APBD, sistem upah, lembaga keuangan / bank, sumberdaya alam dan pemilik modal (CSR) Dari Gambar 1.1 dapat dijelaskan sistem pengelolaan ZISWAF sebagai berikut : (1) Komponen sistem ; Suatu sistem memiliki sejumlah komponen yang saling berinteraksi dan bekerja sama untuk membentuk satu kesatuan. Setiap komponen mempunyai sifat-sifat dari sistem untuk menjalankan suatu fungsi tertentu dan mempengaruhi suatu proses sistem secara keseluruhan. (2) Batas sistem ; Batas sistem merupakan daerah yang membatasi antara satu sistem dengan sistem lainnya. Batas sistem ini memungkinkan bagi suatu sistem dipandang sebagai satu kesatuan. (3) Lingkungan luar sistem ; Lingkungan luar sistem merupakan segala sesuatu di luar batas suatu sistem (CSR dan kebijakan pemerintah) yang mempengaruhi operasi lain. Lingkungan luar sistem bisa bersifat menguntungkan dan juga merugikan sistem itu sendiri. (4) Penghubung sistem ; Penghubung sistem merupakan media penghubung antara satu sub-sistem dengan sub-sistem lainnya. Melalui penghubung ini memungkinkan sumber-sumber daya mengalir dari satu sub sistem mengalir ke sub sistem lainnya dan juga sub sistem-sub sistem lainnya, dan juga sub sistem-sub sistem tersebut dapat berintegrasi membentuk satu kesatuan. (5) Masukan (Input) sistem ; Masukan sistem adalah energi yang diberikan pada sistem. Masukan bisa berupa perawatan dan ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 83 isi.pmd 83 8/20/2008, 11:04 AM masukan sinyal. Masukan perawatan adalah energi yang dimasukkan supaya sistem tersebut dapat beroperasi. Masukan sinyal adalah energi yang diproses untuk mendapatkan keluaran. Dalam sistem pengelolaan zakat sebagai input adalah ZISWAF dari Muzakki sesuai kondisi sumberdaya yang tersedia. (6) Keluaran (Output) sistem ; Keluaran merupakan hasil dari energi yang dioleh dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang berguna. Keluaran dapat merupakan masukan subsistem yang lain. Dalam sistem pengelolaan ZISWAF sebagai keluaran adalah hasil pemecahan permasalahan kesejahteraan yang dihadapi delapan asnaf Mustahik. (7) Pengelolaan sistem ; Suatu sistem mempunyai suatu proses pengelolaan yang akan mengubah masukan menjadi keluaran, mencakup : sistem dan prosedur, program, biaya dan penerimaan, juga termasuk kebijakan pengelolaan untuk mencapai keluaran yang paling optimum untuk mencapai standar akreditasi. (8) Sasaran sistem ; Setiap sistem punya tujuan atau objektif masing-masing. Jika sistem tidak punya sasaran, operasi pada sistem tidak ada gunanya. Sasaran sistem sangat menentukan masukan yang dibutuhkan sistem dan keluaran yang dihasilkan sistem. Suatu sistem dikatakan berhasil jika mencapai sasaran atau tujuannya, yaitu memecahkan permasalahan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mustahik. Kelembagaan Pengelolaan ZISWAF Bahasan tentang sistem pengelolaan zakat berkelanjutan, menggambarkan dua istilah terkait satu sama lain, yaitu : (1) “Kelembagaan pengelolaan zakat” dan (2) “Paradigma pengelolaan berkelanjutan”. Untuk maksud tersebut, berikut disajikan secara singkat tentang variasi sistem dan kelembagaan pengelolaan zakat dunia Islam saat ini. (a) Pertama Dalam upaya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi mustahik, khususnya sejak UU No. 38 Tahun 1999, sampai saat ini masih ada permasalahan mendasar berkenaan dengan kondisi dan variasi kelembagaan pengelolaan ZISWAF di dunia Islam, seperti yang dinyatakan oleh Mufti dan Ridlo (2006) berkenaan dengan bentuk pengelolaan zakat di negara-negara Islam abad modern, keduanya ditunjukkan pada Tabel 1.2 (Aflah dan Tajang 2006, hal. 54-55 dan 86-88). (b) Kedua Persoalan keberlanjutan kelembagaan pengelolaan ZISWAF memerlukan perhatian bukan hanya persoalan teknik pengumpulan dan proses pengelolaan termasuk juga lima dimensi keberlanjutan output kesejahteraan mustahik, yaitu: (1) Keberlanjutan akidah (spiritual sustainability). (2) Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ecology sustainability). (3) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability). (4) Keberlanjutan kemunitas/ masyarakat (community sustainability). (5) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability). Pendekatan pengelolaan bersifat sistemik memandang kerja pengelolaan lebih luas, yaitu melihat : “(1) begitu banyak ragam pandangan pengelolaan ZISWAF, (2) begitu banyak pilihan sasaran mustahik yang diprioritaskan, dan (3) begitu banyak kesamaan kepentingan antar lembaga pengelolaan ZISWAF, APBN/ APBD, peran swasta dan harapan muzakki secara individu”. Dengan memahami peran lembaga terkait, maka langkah pemecahan penanggulangan kemiskinan menjadi lebih kompleks. Atas dasar uraian begitu banyak ragam pandangan pengelolaan zakat di dunia Islam ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 84 isi.pmd 84 8/20/2008, 11:04 AM saat ini, maka kelembagaan pengelolaan ZISWAF secara berkelanjutan ke depan adalah dengan mensinergikan tiga kemungkinan pengelola ZISWAF, yaitu : (1) Sistem muzakki, di mana para muzakki melakukan sendiri untuk menyalurkan zakatnya kepada mustahik. (2) Sistem pemerintah dengan kewenangannya melakukan pengumpulan dan penyaluran ZISWAF. Tabel 1.2 Perkembangan pengelolaan zakat di dunia Islam (Aflah dan Tajang, 2006) ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 85 isi.pmd 85 8/20/2008, 11:04 AM (3) Sistem Lembaga Amil Zakat (LAZ) secara lokal melakukan pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, sedekah dan wakaf untuk kemaslahatan masyakarat lokal. Paradigma Pengelolaan ZISWAF Ketika pengelolaan zakat telah berkembang, bukan saja dilakukan oleh pemerintah tapi juga oleh swasta, maka pemahaman bersama tentang “paradigma pengelolaan” menjadi sangat penting. Untuk itu, mari kita perhatikan kisah yang diceriterakan Abu Ubaid dalam sanadnya. Ia berkata : “Tatkala Umar tertidur siang hari di bawah sebuah pohon, tiba-tiba seorang perempuan kampung datang kepada Umar, kebetulan orang-orang dapat melihatnya. Perempuan itu berkata kepadanya : “Saya ini seorang perempuan miskin dan anak saya banyak. Saya dengar Amirul Mukminin mengutus Muhammad bin Maslamah menjadi pengumpul dan pembagi zakat (sedekah), tetapi ia tidak memberi kepada kami. Saya mohon kepada Tuan agar menolong kami. Umar pun berteriak memanggil khadamnya, Yarfa’ dan disuruhnya memanggil Muhammad bin Maslamah. Berkata perempuan ini : “Biarlah saya pergi kepadanya, karena saya yang membutuhkannya”. Umar berkata : “Insya Allah ia akan melaksanakannya”. Kemudian Yarfa’ datang kepada Umar l a l u berkata “Telah saya sampaikan panggilanmu, kemudian Muhammad bin Maslamah datang kepada Umar dan berkata : “Assalamualaikum wahai Amirul Mukminin”. Perempuan itu nampak kemalu-maluan. Kemudian Umar berkata : “Demi Allah saya tidak akan melalaikan orang-orang yang saya pilih di antara kalian. Apa yang hendak engkau katakan apabila Allah menanyakan soal ini kepadamu”. Selanjutnya Umar berkata : “Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi SAW kepada kita. Lalu kita benarkan dan kita ikuti. Nabi SAW telah melaksanakan segala yang diperintahkan Allah. Ia telah memberikan zakat kepada mereka yang berhak daripada orang-orang miskin. Setelah beliau wafat, lalu digantikan oleh Abu Bakar sebagai Khalifah. Setelah itu Abu Bakar melakukan sunnah Nabi SAW sampai dipanggil oleh Allah. Kemudian Allah jadikan aku sebagai Khalifah. Aku tidak akan membiarkan orang-orang yang aku pilih berbuat sekehendaknya. Bila aku utus engkau, berikanlah kepada perempuan itu zakat untuk setahun dan untuk tahun-tahun berikutnya jika aku mengutusmu. Tapi saya tidak tahu apakah saya akan mengutusmu lagi atau tidak”. Lalu beliau memanggil perempuan itu dan memberinya seekor unta berikut tepung dan minyak kemudian berkata : “Ambillah ini semua sampai engkau bertemu dengan kami di Khaibar, tentu engkau dapat menemui kami di sana, karena kami akan kesana”. Kemudian perempuan itu menemui Umar di Khaibar dan memberinya lagi dua ekor unta, lalu ia berkata : “Ambillah ini sebagai bekalmu sampai datang kepadamu Muhammad bin Maslamah. Telah aku perintahkan kepadanya agar ia memberikan atas hakmu untuk tahuntahun berikutnya”. (Qardawi, Hukum Zakat, terjemahan, hal. 543, 1987) Dari cerita diatas kita perhatikan prinsip pengelolaan zakat sebagai berikut: (1) Menggambarkan betapa seharusnya perasaan dan tanggung jawab penguasa dan pejabat negara terhadap warganya yang miskin. (2) Menggambarkan kesadaran warga terhadap haknya untuk memperoleh kehidupan yang layak (hadd al kifayah). Dalam hal ini, mustahik proaktif dan partisipatif serta memiliki hak menuntut pada pengelola zakat yang harus dilindungi oleh pemerintah. (3) Bagi pengelola zakat menyandang “paradigma pengelolaan”, yaitu harus bertindak seperti apa yang dipikirkan dan dibutuhkan oleh mustahik. Inilah sebuah paradigma “human / people centered”. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 86 isi.pmd 86 8/20/2008, 11:04 AM (4) Bahwa pelayanan penyaluran zakat harus teratur dan berkelanjutan (sustainable). Paradigma “human centered” sangat penting untuk kita perhatikan dengan cara membandingkannya dengan paradigma lain, yaitu : (1) paradigma pertumbuhan dan (2) paradigma kesejahteraan. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.3. miskin” sehingga terbangun sebuah bentuk “ketergantungan” dengan birokrasi BAZ/ LAZ. Kelemahan paradigma kesejahteraan adalah : (i) program kesejahteraan di desain, dibiayai dan dikelola secara sentralistik, (ii) mengandalkan pada organisasi BAZ/LAZ yang tegar dan tidak lentur, canderung tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan Tabel 1.3 Perbandingan karakteristik tiga paradigma pembangunan ekonomi (Korten, 1984 dari Tjokrowinoto, 2002) Mengingat pengelolaan zakat merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan sosial-ekonomi, maka paradigma pengelolaan zakat yang dapat dipilih bisa berbentuk sebagai berikut : (1) Paradigma Pertumbuhan Paradigma pertumbuhan sering dipahami sebagai production-oriented dengan karakteristik : (i) berorientasi pada peningkatan taraf hidup yang diukur dengan kenaikan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat, (ii) konsentrasi pada pemilikan modal, (iii) dominasi pendekatan mekanisme pasar, (iv) optimalisasi pemanfaatan modal, dan (v) sistem perencaan dan operasional kegiatan bersifat sentralistik, misalnya di BAZNAS atau LAZ. (2) Paradigma Kesejahteraan Paradigma ini sering dikenal menggunakan strategi karitas. Dalam hubungan ini lembaga amil zakat menggunakan pendekatan patronizing, orang tua asuh atau bahkan berperan sebagai “pelindung masyarakat pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat miskin. (3) Paradigma “People Centered” Paradigma ini memberikan peran maksimal bagi individu masyarakat miskin. Sumber kekuatan paradigma “people centered” ini adalah daya kreatif masyarakat dan aktualisasi yang optimal (Korten, Tjokrowinoto, 2002). Paradigma ini memberi tempat yang penting bagi prakarsa dan keanekaragaman pemecahan masalah secara lokal. Paradigma ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW ketika menugaskan Mu’adz ke Yaman, dengan prinsip mengumpulkan zakat dari muzakki, kemudian disalurkan untuk mustahik yang ada di tengah-tengah mereka, yaitu di lokasi pengumpulan. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 87 isi.pmd 87 8/20/2008, 11:04 AM Tabel 1.4 Program pengelolaan ZISWAF yang memberdayakan dan menciptakan ketergantungan (diadaptasi dari Tjokrowinoto, 2002, hal. 222) Mengacu pada contoh yang dilakukan oleh Khalifah Umar dan Hadits Nabi Muhammad SAW ketika menugaskan Mu’adz ke Yaman, maka paradigma pengelolaan zakat yang benar adalah menggunakan paradigma pengelolaan dengan pendekatan “human centered”. Salah satu pendekatan “human centered” dalam pemberdayaan masyarakat miskin yang kita kenal saat ini adalah dengan pendekatan “Sustainable Livelihood Approach (SLA)”. Sesuai dengan prinsip Islam, SLA perlu diadaptasikan dengan Rukun Islam dengan menambah aset ke enam, sehingga pentagon aset SLA secara Islami menjadi enam aset/modal (hexagon aset), yaitu : (1) aset spiritual dan taqwa. (2) aset sumberdaya alam. (3) aset SDM. (4) aset finansial. (5) aset sosial dan (6) aset infrastruktur. Adapun karakteristik pengelolaan program ZISWAF dengan paradigma “people/human centered” ditunjukkan pada Tabel 1.4. SLA yang telah diadaptasikan dengan Rukun Islam tersebut menjadi hexagon aset, merupakan salah satu pendekatan pemberdayaan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin dengan paradigma “people centered” dengan prinsip kerja sebagai berikut, yaitu : (1) berpusat pada manusia; (2) fokus ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 88 isi.pmd 88 8/20/2008, 11:04 AM pada kemiskinan; (3) partisipatif; (4) sistemik dan menyeluruh; (5) sinergi dan kemitraan; (6) berkelanjutan; (7) dinamis; (8) keadilan, dan (9) berbasis HAM atas dasar takwa kepada Allah SWT. Kesimpulan Pengelolaan ZISWAF Ke Depan Berdasarkan uraian di atas, maka arah penataan kelembagaan dan paradigma pengelolaan zakat secara berkelanjutan dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Pengelolaan zakat meliputi kegiatan pengumpulan, proses administrasi dan penyaluran. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk kewajiban agama yang pelaksanaannya dikelola organisasi amil yang profesional, yang berdosa jika ditinggalkan. Gerak lembaga terkait dengan gerak pembangunan ekonomi. (2) Lembaga Amil Zakat (LAZ) dapat dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Dalam keadaan tertentu, penyalurannya dapat dilakukan oleh individu muzakki secara langsung menyalurkannya untuk Mustahik. (3) Mengacu sunnah Nabi Muhammad SAW dan ijma’ sahabat, organisasi pengumpulan dan proses pengadministrasiannya dapat dilakukan secara nasional maupun regional, namun penyalurannya harus dilaksanakan oleh amil tingkat daerah/lokal/desa. Paradigma pengelolaan, khususnya penyaluran zakat dilaksanakan dengan pendekatan “people centered” dan memperhatikan paradigma pembangunan ekonomi, Mustahik berpartisipasi aktif dan tidak menciptakan bentuk “ketergantungan pada amil zakat”. Untuk keberlanjutan pengelolaan maka penguatan pemberdayaan mustahik (“people centered”) perlu didukung dengan penguatan LAZ/BAZ dan data base muzakki-mustahik secara profesional, baik tingkat nasional maupun desa/RT. (4) Upaya penanggulangan kemiskinan oleh LAZ/BAZ perlu dikelola secara sinergis dan sistemik dengan memperhatikan dan atau berkolaborasi dengan kelembagaan lain dengan program serupa, seperti adanya penerapan corporate social responsibility (CSR) oleh swasta/LSM dan kebijakan anggaran APBN/APBD untuk program penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah. : DAFTAR PUSTAKA 1. Al-Qur’an. 2. Aflah, Kuntarno Noor dan M. Nasir Tajang (2006) : Zakat dan Peran Negara. Penerbit FOZ, Jakarta. 3. Arsyad, Lincoln (1999) : Ekonomi Mikro. BPFE, Yogyakarta. 4. Charter, Denny dan Irma Astrisari (2003) : Desain dan Aplikasi GIS PT Elex Media Komputindo, Jakarta. 5. Qardawi, M. Yusuf (1987) : Hukum Zakat, Litera Antar Nusa, Jakarta (Terjemahan). 6. Muhammad, Sahri (2006) : Mekanisme Zakat dan Permodalan Masyarakat Miskin. Bahtera Press, Malang. 7. Sudewo, Erie (2008) : Politik ZISWAF, Kumpulan Esei. Penerbit CID, Dompet Dhuafa. 8. Syarqawi, Abdurrahman (1999) : Riwayat Sembilan Imam Fiqih. Terjemahan oleh Al Hamid Al Husaini, Penerbit Pustaka Hidayah, Bandung. 9. The Departement For International Development (DFID) (2002) : Sustainable Livelihood Sustainable Development Departement. FAO. 10.Tjokrowinoto, Moelyarto (2002) : Pembangunan, Dilema dan Tantangan Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 11.Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQur’an (1993) : AlQur’an dan Terjemahnya. CV. Gema Risalah Press, Bandung. ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 89 isi.pmd 89 8/20/2008, 11:04 AM TENTANG PENULIS Adiwarman Azwar Karim, adalah President Director Karim Business Consulting. Ikon ilmu ekonomi dan keuangan Islam ini, alumnus Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, European University (Belgia) dan Boston University (Amerika Serikat). Ia juga Visiting Research Associate pada Oxford Center for Islamic Studies di Inggris. Di sela aktivitasnya dalam manajemen Bank Muamalat Indonesia, ia menulis buku dan karyanya masuk dalam Lima Buku Terlaris dalam bidang perbankan Islam, Ekonomi Islam dan Sejarah Ekonomi Islam. Telah menulis lebih dari 50 artikel/makalah, termasuk yang dipresentasikannya dalam berbagai forum nasional dan internasional antara lain International Conference on Islamic Economics (ketiga, keempat dan kelima) yang diselenggarakan IDB, The 76th Annual Conference of the International Western Economics Association. Saat ini ia salah seorang anggota Dewan Syariah Nasional, Dewan Syariah pada Bank Syariah Harta Insan Karimah, Dewan Pengawas Syariah pada Great Eastern Syariah Insurance, Prudential Life Assurance, Bank Danamon Syariah, HSBC Syariah (Indonesia), Fortis Investments dan perusahaan multilevel marketing UFO. Ahmad Azhar Syarief, Securities Analysis pada Karim Business Consulting, alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Ahmad Erani Yustika, lahir di Ponorogo, 22 Maret 1973. Menyelesaikan gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 1996. Setelah lulus aktif mempublikasikan tulisan diberbagai media massa, jurnal ilmiah, dan buku. Pada 2001 menuntaskan studi post-graduate (MSc) dan tahun 2005 menyelesaikan studi doktoral (Ph.D), semuanya di University of Göttingen (Georg-August-Universität Göttingen), Jerman, dengan spesialisasi Ekonomi Kelembagaan. Sejak 1997 bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi - Universitas Brawijaya dan saat ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi – Universitas Brawijaya. Di luar itu, mulai 2008 menjabat sebagai Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Jakarta. Pada 2006 terpilih sebagai Dosen Teladan I Universitas Brawijaya dan 2007 terpilih sebagai penulis buku paling produktif di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. E-mail: [email protected] Asep Saepudin Jahar, lahir di Pandeglang, 16 Desember 1969. Santri Pesantren Modern Gontor (1985-1989) ini menyelesaikan Bachelor of Art (BA) di IAIN Syarif Hidayatullah (1994), dan Master of Art (MA) dari McGill University, Montreal, Kanada (1997-1999). Doktor Arabistik und Orientalische Wissenschaft dari Universitas Leipzig (2002-2005) ini, sejak 1996 adalah pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (sejak 1996). Di kampus yang sama, beberapa posisi pernah diembannya, antara lain: Sekretaris Pusat Pengembangan SDM (1999-2001), Asisten pada Secretary for Local Project Implementing Unit (20002002) dan memimpin badan kerjasama dan hubungan internasional pada Program Pascasarjana (2006-2008) serta peneliti pada CENSIS/Center for the Study of Islam and Society (sejak 2006). Ia aktif menulis artikel keislaman untuk berbagai forum maupun jurnal ilmiah dalam dalan luar negeri, selain melakukan berbagai riset yang diselenggarakan perguruan tinggi (dalam dan luar negeri) maupun pemerintah. E-mail: [email protected]. Heru Susetyo, Staf Pengajar tetap bidang studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Peneliti dan anggota Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam FHUI, Pemimpin Redaksi Jurnal Syariah FHUI. Mendapatkan magister kesejahteraan sosial dari FISIP UI (2003) dan Master of Law dari Northwestern ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 90 isi.pmd 90 8/20/2008, 11:04 AM penerbitan buku tentang ekonomi politik privatisasi sektor perbankan di Indonesia. Kontak bisa dikirim via email ke: [email protected] Sahri Muhammad, lahir di Probolinggo, Jawa Timur, 23 Oktober 1943. Sarjana Muda dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Jurusan Perikanan Laut Universitas Brawijaya (1968), dan S1 Ilmu Perikanan di Bogor (Afiliasi IPB Bogor, 1971), Magister Ekonomi Pertanian - Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1987), serta Doktor bidang Ekonomi Pertanian - Institut Pertanian Bogor (2002). Pernah mendalami Ilmu Statistik (Institut Pertanian Bogor, 1975-1976). Aktivis Gerakan Koperasi sejak mahasiswa, dan Gerakan KUD (sejak 1973) ini, pada 1974 secara otodidak menjadi pemerhati dan penulis kajian “sistem zakat” dan karyanya tersebar di berbagai media massa, selain aktif dalam forum diskusi publik tentang mekanisme zakat. Puluhan tulisannya tentang sistem zakat, disajikan dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Salah seorang pendiri Lembaga Zakat dan Infak (LAGZIS) Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya Malang (1998) ini, mengembangkan LAGZIS sebagai dasar pengembangan konsep pendekatan manajemen Era Otonomi Daerah. Tahun 1995, bersama sejumlah rekannya membentuk Indonesian Fisheries of Social-Economics Research Network (IFSERN), memimpinnya sampai 1999. Mantan Dekan Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (1992-1998) ini, pengajar dan memimpin Badan Pertimbangan dan Pengembangan Penelitian Program Pascasarjana Universitas Brawijaya (sejak 2004). : ZAKAT & EMPOWERING - Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4, Agustus 2008 91 isi.pmd 91 8/20/2008, 11:04 AM TENTANG PENULIS Law School, Chicago (2003). Saat ini tengah menuntaskan studi PhD di Mahidol University Thailand dengan fokus penelitian pada kebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand. E-mail: [email protected] Hilman Latief, Dosen di Jurusan Muamalah-Ekonomi dan Perbankan Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya di IAIN Sunan Kalijaga (1999), mendapat gelar Magister Agama dari Universitas Gadjah Mada (2002) dan Master of Arts dari Western Michigan University (2005) melalui beasiswa Fulbright. Saat ini penulis sedang mengikuti program Doktoral di Universitas Leiden melalui beasiswa program Training Indonesian Young Leaders dari Kementerian Luar Negeri Belanda, dan juga menjadi research fellow di the International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM, Leiden). Beberapa tulisannya tentang filantropi antara lain: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteran Muhammadiyah (Jakarta: PSAP, 2008); “Kemandirian, Solidaritas Sosial dan Kerelawanan: Pemaknaan Filantropi dalam Masyarakat Minoritas Muslim, Kasus Australia dan Singapura” Al-Wasathiyyah, ICIP Volume 2 Number 9 (2007); “Kemiskinan dan Kedermawanan: Memaknai Ideologi Kesejahteraan”, Maarif, Vol. 2 No 1 (Januari 2007); (2006) ‘Poverty and Social Responsibility: The Prospect and Limits of the Muhammadiyah’s Charitable Institutions,’ dalam Muslim Countries and Development: Achievement, Constraints and Alternative Solution (Yogyakarta & KL: UMY and IIUM). Jati Andrianto, lahir di Blitar, 5 September 1984. Menamatkan pendidikan sarjana pada 2008 di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi - Universitas Brawijaya. Mulai tahun 2006 aktif sebagai peneliti ekonomi di ECORIST (The Economic Reform Institute). Selain itu juga aktif mempublikasikan tulisan di media massa dan jurnal ilmiah. Saat ini tengah menyiapkan