Perjuangan Gadis Yatim dari Boltim Meraih Mimpi Menjadi

advertisement
Perjuangan Gadis Yatim dari Boltim Meraih Mimpi Menjadi
Dokter Gigi
Rabu, 14 Juni 2017 WIB, Oleh: Gusti
Lisa Paputungan memeluk ayahnya, Isnan Paputungan (76 tahun), ketika sang Ayah menceritakan
kisah hidupnya dengan mata berkaca-kaca. Beberapa bulan ini, Isnan sudah dipasang kateter akibat
sakit prostat yang dideritanya selama puluhan tahun. Sekilas keduanya nampak seperti antara kakek
dan cucu, usia mereka terpaut jauh. Lisa merupakan anak tunggal dari pasangan Isnan dan Tenti
Paputungan. Isnan mengaku bersama istrinya termasuk lama dikaruniai anak. Namun, sejak Lisa
berumur 8 tahun, sang ibu meninggal. Lalu, Isnan sudah mulai sakit-sakitan. Lisa akhirnya diasuh
oleh adik perempuan dari keluarga ibunya. “Sejak kelas empat SD, ia diasuh bibinya,” kata Isnan
saat ditemui di rumahnya yang berada di Desa Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur
(Boltim), Sulawesi Utara.
Di rumah yang nampak tidak terawat tersebut, Isnan berkisah, sepeninggal istrinya, ia sudah mulai
jatuh sakit karena faktor usia. Namun, karena hidup dalam keterbatasan dengan hanya
mengandalkan hasil dari kebun kopra, tidaklah cukup untuk mengganti biaya berobat. Ia pun
menjual kebun kopra satu satunya itu. Alasan itulah yang membuatnya kemudian menitipkan Lisa
kepada adik iparnya, Masita Paputungan, 48 tahun, bekerja sebagai guru SMP yang tinggal di desa
sebelah.
Masa kecil Lisa dihabiskan dengan hidup menumpang di rumah bibinya, namun karena keadaan Lisa
pun tidak bisa berbuat banyak. Sebagai anak yatim, ia mengikuti kehendak keluarganya meski Lisa
sendiri mengaku merindukan sosok ibunya yang pernah lekat dan pernah mengisi masa kecilnya
walau cuma sebentar.
Berprestasi di Sekolah
Pendidikan SD dan SMP diselesaikan Lisa di Boltim. Sebagai seorang guru, Masita selalu
mengajarkan pada Lisa tentang pentingnya memanfaatkan waktu belajar. Apalagi, Lisa sudah
dianggap layaknya anak sendiri karena ketika itu Masita belum dikaruniai anak. Beruntung, Lisa
merupakan anak yang penurut. Bahkan, Lisa termasuk siswa yang menonjol di kelas. Ia selalu
mendapat ranking di sekolah. Hasil nilai ujian akhir cukup bagus hingga bisa diterima melanjutkan
sekolah di SMAN 1 Manado.
Jarak antara Boltim dengan Manado sekitar 144 kilometer. Dirasakan cukup jauh, Lisa akhirnya
tinggal di rumah salah seorang guru SMA yang mengajar di sekolahnya. Sementara untuk biaya
hidup dan biaya sekolah, Lisa mendapat beasiswa dari pemerintah lewat program Afirmasi
Pendidikan Tinggi bagi putra-putri daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (ADik 3T).
Lisa mengaku, saat mengenyam bangku SMA di Manado dirinya tetap belajar dengan tekun karena
ia selalu ingat pesan dari bibinya bahwa suatu saat kelak ia akan mampu membahagiakan orang
tuanya apabila ia mampu menggapai cita-cita. “Kalau kamu nanti berhasil, kamu yang jaga semua
(orang tua),” kenang Lisa mengingat pesan bibinya.
Tidak jarang di saat malam, Lisa mengaku rindu dengan Ayahnya yang tinggal sendiri di rumah. Ia
khawatir jika Ayahnya jatuh sakit yang lebih parah. Bahkan, ia membayangkan lebih dari itu.
Terkadang ada perasaan menyesal karena tidak selalu ada di samping Ayahnya. Namun,
kekhawatiran itu ia buang jauh-jauh apalagi di sekitar rumah di Boltim masih ada sanak famili yang
selalu menengok ayahnya. “Kadang kalau ingat Ayah, saya sedih,” katanya sembab.
Perjalanan hidupnya yang tidak mampu secara ekonomi dan sudah menjadi yatim sejak kecil tidak
pernah menyurutkan langkahnya menggapai cita-cita. Ia selalu berprinsip, bertemanlah dengan
orang-orang pintar maka kita akan ketularan pintar. Beruntung di kelas Lisa selalu masuk peringkat
sepuluh besar. Ketika ada program masuk perguruan tinggi lewat jalur SNMPTN, Lisa ikut
mendaftar. Perjuangan dan doanya terkabul, ia diterima di Prodi Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada.
Mengetahui anak semata wayangnya diterima kuliah di UGM, Isnan senang sekaligus sedih,
terbayang baginya nantinya ia akan jarang bertemu dengan anaknya yang berada jauh di negeri
seberang. “Saya senang, saya ingatkan agar Lisa selalu tetap bersyukur,” kata Isnan seraya
menggenggam ujung tongkatnya dengan sedikit gemetar. Lisa makin erat memeluknya. Sang bibi,
Masita, nampak sumringah, sesekali menyeka air mata yang meleleh, terharu melihat ayah dan anak
berpelukan di ujung kursi sofa yang sudah lusuh. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Berita Terkait
●
●
●
●
●
Mahasiswa KKN UGM Gelar Pemeriksaan Gigi Gratis
RSGM Gelar Periksa Gigi Gratis Untuk Abdi Dalem Kraton Yogyakarta
FKG Lantik 56 Dokter Gigi Baru
Tugas Dokter Gigi Tidak Hanya Periksa Gigi dan Mulut
“Kartini-Kartini” Kuasai FKG UGM
Download