BAB I PENDAHULUAN IA Latar Belakang Masalah Ada

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.A Latar Belakang Masalah
Ada empat asset yang mendukung proses pembangunan yaitu modal
fisik, modal manusia, teknologi dan modal sosial. Namun, diantara keempat
asset tersebut modal manusia atau sumber daya manusia merupakan unsur
yang paling utama dalam mendukung proses pembangunan terutama di negara
berkembang seperti Indonesia. Hal ini bisa dilihat, meskipun negara Indonesia
memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, namun karena kualitas sumber
daya manusianya masih rendah menyebabkan potensi alam yang ada tidak
dapat dikelola secara tepat justru banyak sumber daya alam di Indonesia yang
kemudian dijual kepada pihak asing karena kurangnya sumber daya manusia
berkualitas yang dapat mengelola potensi besar yang dimiliki bangsa
Indonesia. Seperti kasus yang terjadi pada pasir besi di Kulon Progo, tambang
emas di Papua, hutan yang ada di Kalimantan, sumber mata air di Klaten,
migas dan lain-lain banyak yang kemudian dijual dengan murah tanpa
memikirkan dampak keberlanjutannya. Namun berbeda dengan Korea,
meskipun secara kuantitas jumlah penduduk Korea tidak sebanyak di
Indonesia dan kekayaan alam yang dimiliki tidak sebanyak di Indonesia,
namun karena banyaknya jumlah sumber daya manusia yang berkualitas
negara ini mampu menjadi salah satu negara maju di dunia. Hal ini bisa dilihat
pada tahun 2010 Korea mampu menempati ranking ke-12 sementara Indonesia
ada pada ranking ke-108, dalam Human Development Index (Bhirawa,
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/03/14/kualitas-sdm-indonesia-didunia/, akses 12 Oktober 2012).
Secara kuantitas sumber daya manusia merupakan jumlah penduduk
yang ada pada suatu wilayah yang meliputi penyebaran, komposisi menurut
jenis kelamin dan status ketenagakerjaan (Effendi, 1995: 3). Jumlah penduduk
DIY pada tahun 2011 sebanyak 3.457.491 jiwa yang terdiri dari 1.709.038
jiwa laki-laki dan 1.748.453 jiwa perempuan dengan kepadatan penduduk
sebesar 1.085 jiwa/Km² (BPS, www.yogyakarta.bps.go.id, akses 7 Februari
2013).
Provinsi yang kecil dengan jumlah penduduk yang besar tersebut
seharusnya bisa menguntungkan bagi pembangunan di DIY. Karena dengan
jumlah penduduk yang besar akan menyebabkan banyaknya penduduk usia
kerja, semakin banyaknya penduduk usia kerja maka semakin besar pula
jumlah angkatan kerja yang ada (Mulyadi, 2003: 62). Banyaknya jumlah
angkatan kerja di DIY bisa menjadi potensi pembangunan apabila banyak
penduduk yang bekerja secara penuh. Dengan mereka bekerja secara penuh
secara otomatis akan meningkatkan tingkat produktivitas sehingga akan
meningkat pula tingkat perekonomian penduduk DIY sehingga mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi di DIY. Namun, jumlah sumber daya
manusia yang begitu besar tersebut bisa menjadi beban bagi pembangunan di
DIY apabila kualitas sumber daya manusia rendah. Menurut pendekatan mutu
modal manusia, sumber daya yang tidak berkualitas selain tidak menghasilkan
output juga dapat memakan hasil dari produksi orang lain (Effendi, 1995: 6),
sehingga tentu hal ini menjadi penghambat bagi pembangunan. Hanyalah
1
sumber daya manusia yang berkualitas saja-lah yang mampu meningkatkan
pembangunan di DIY.
Secara kualitas pengertian sumber daya manusia merupakan mutu
kehidupan manusia, baik secara fisik maupun secara mental, intelektual,
pendidikan dan moral. Kualitas sendiri menyangkut kesehatan, lingkungan
hidup, gizi/nutrisi, pendidikan/latihan, etika dan moral (Effendi, catatan
PPSDM, 2011). Kualitas sumber daya manusia bisa dicapai dengan cara
pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia
sendiri, tidak hanya sekedar meningkatkan kemampuan manusia melalui
pemberian pengetahuan maupun ketrampilan, namun juga menyangkut
pemanfaatan kemampuan manusia tersebut, manusia harus ikut dilibatkan
secara aktif dalam pembangunan melalui partisipasi manusia dalam bekerja.
Artinya pengembangan sumber daya manusia belum bisa dikatakan sukses
apabila hanya sekedar meningkatkan kemampuan manusia baik melalui
pendidikan formal maupun informal namun setelah itu mereka tidak
dimanfaatkan secara penuh atau menganggur, baik pengangguran terbuka
maupun setengah pengangguran.
Sumber daya manusia yang berkualitas, mampu bekerja secara lebih
produktif, efektif dan efisien. Tenaga kerja yang produktif akan memiliki
tingkat pendapatan yang tinggi dan memiliki kemampuan berproduksi yang
lebih tinggi. Tingkat pendapatan yang tinggi selanjutnya akan meningkatkan
daya beli serta kemampuan untuk menabung. Dengan menabung maka
akumulasi modal yang digunakan untuk investasi akan meningkat pula,
dengan investasi fisik yang meningkat selanjutnya akan meningkatkan
2
kesempatan kerja. Dengan tingginya investasi fisik makan penggunaan
teknologi dalam proses produksi akan meningkat pula sehingga mampu
meningkatkan produktivitas dalam proses produksi. Hal ini selanjutnya akan
mendorong peningkatan penghasilan masyarakat.
Menurut Alex Inkeles dan David H. Smith pendidikan merupakan
faktor yang paling efektif dalam membentuk manusia modern (Budiman,
1996: 34). Manusia modern dibutuhkan dalam meningkatkan pembangunan
ekonomi karena dengan adanya manusia modern ini berbagai komponen yang
dibutuhkan dalam proses pembangunan dapat diubah menjadi sesuatu yang
bernilai lebih sehingga mampu meningkatkan pendapatan. Banyak negara
berkembang selama ini lebih banyak menggunakan strategi peningkatan
pendidikan dalam pembangunan. Dengan pendidikan, selain menambah
pengetahuan manusia akan lebih terbuka dengan teknologi maupun ide-ide
baru, memiliki kemampuan merencanakan, serta tidak lagi tergantung dengan
alam namun dapat menguasai alam dengan pengetahuannya tersebut.
Kreativitas yang dimiliki manusia terdidik atau yang disebut Inkeles dan
Smith sebagai manusia modern pada akhirnya akan meningkatkan
produktivitas. Dengan produktivitas yang meningkat maka akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain akan meningkatkan penghasilan dan
kesejahteraan penduduk. Banyak studi yang telah membuktikan hal ini salah
satunya adalah studi John Kendrick, bahwa pada tahun 1919-1957 pendapatan
nasional AS bertambah 3,2 persen setahun padahal modal dan tenaga kerja
hanya bertambah 1,1 persen setahun. Pertumbuhan pendapatan nasional
tersebut dikarenakan meningkatnya produktivitas kerja masyarakat di Amerika
3
sendiri akibat adanya perbaikan dalam bidang pendidikan, gizi, kesehatan,
teknologi dan peningkatan kualitas buruh (Priyono, Hasan, dan Hadisumarto,
1982: 11). Hampir sama seperti apa yang dikemukakan oleh Gary S. Becker,
bahwa ada hubungan positif antara pendidikan dengan penghasilan. Semakin
orang
berpendidikan
produktivitasnya,
tinggi
dengan
maka
akan
produktivitas
semakin
yang
meningkat
meningkat
maka
pula
akan
meningkatkan penghasilan seumur hidup yang diperoleh (Tirtosudarmo, 1996:
6). Meningkatnya kualitas hidup manusia dikarenakan meningkatnya
pendidikan tersebut membuat banyak angkatan kerja kemudian meningkatkan
tingkat pendidikannya.
Pentingnya
melakukan
investasi
sumber
daya
manusia
bagi
perkembangan ekonomi membuat Pemerintah DIY menyadari pentingnya
meningkatkan pendidikan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menjadi visi
pembangunan jangka menengah DIY yaitu “Pemerintah Daerah yang
katalistik dan masyarakat mandiri yang berbasis keunggulan daerah dan
sumberdaya manusia yang berkualitas unggul dan beretika” Pemerintah DIY
menggunakan cara “Mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang
sehat, cerdas, profesional, humanis dan beretika dalam mendukung
terwujudnya budaya yang adiluhung” dalam salah satu misinya. Dalam
meningkatkan
kualitas
sumberdaya
manusia
pemerintah
mengadakan
beberapa program antara lain program pendidikan anak usia dini, program
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, program pendidikan
menengah, pendidikan non formal, pendidikan luar biasa, peningkatan mutu
4
pendidikan dan program pendidikan tinggi (ILLD Pemprov DIY 2010,
Kedaulatan Rakyat, 9 Mei 2011).
Banyaknya program pendidikan yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia tersebut tampaknya mampu menurunkan
tingkat partisipasi angkatan kerja bagi kelompok berpendidikan SMP ke
bawah (tidak/belum sekolah, tidak/belum tamat SD, SD, dan SMP), serta
meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja lulusan SMA ke atas (SMA,
Akademi/DI-DIII dan DIV/Universitas). Adanya peningkatan angkatan kerja
terdidik (SMA ke atas) tersebut menunjukkan bahwa kualitas angkatan kerja
telah mengalami peningkatan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja tersebut
dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 1
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di DIY Menurut Pendidikan
Tertinggi, Tahun 2007-2011
Pendidikan Tertinggi
Tahun
SMP ke Bawah
SMA ke Atas
2007
69.2
67.5
2008
69.3
72.4
2009
68.4
72.7
2010
67.9
72.5
2011
62.9
76.3
5
Grafik Tabel 1
Sumber : Raw Data Sakernas 2007-2011
Meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja berpendidikan SMA
ke atas (terdidik) seharusnya mampu menciptakan angkatan kerja yang lebih
kreatif dan inovatif untuk dapat menciptakan lapangan kerja baru maupun
seharusnya bisa lebih profesional dalam bekerja sehingga produktivitas kerja
meningkat, dimana produktivitas kerja yang meningkat dapat meningkatkan
penghasilan masyarakat, dengan penghasilan yang meningkat maka akan
tercukupinya kebutuhan gizi serta meningkatkan tabungan maupun investasi
fisik. Sehingga mendorong terciptanya lapangan kerja baru di DIY.
Namun pada kenyataannya angkatan kerja dari golongan terdidik di
DIY memiliki kecenderungan hanya sekedar menjadi pencari kerja bukan
pencipta lapangan kerja. Menjadi pencari kerja identik dengan menjadi
pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka sendiri merupakan mereka yang
sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, mereka yang tidak mencari
pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan maupun yang
6
sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (BPS, SAKERNAS, 2011).
Pendidikan yang mereka dapatkan cenderung mencetak sumber daya manusia
yang “siap tahu” untuk selanjutnya di latih kerja, bukan untuk “siap kerja”.
Bagi para pencari kerja dari keluarga dengan tingkat perekonomian menengah
ke bawah, biasanya mereka cenderung tidak mau lama-lama menjadi pencari
kerja karena tuntutan ekonomi keluarga. Namun bagi para pencari kerja dari
keluarga yang tercukupi mereka masih bisa menunggu untuk mencari
pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka, biasanya di sektor
formal. Hal ini menyebabkan jumlah pengangguran terbuka semakin
bertambah. Jumlah pengangguran terbuka lulusan SMA ke atas cenderung
selalu tinggi, jauh berbeda jika dibandingkan dengan angkatan kerja yang
berpendidikan SMP ke bawah.
Jika dilihat dari tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat
pendidikan, terdapat trend bahwa selama tahun 2007 hingga 2011,
pengangguran terbuka berpendidikan SMA ke atas justru lebih tinggi di
banding dengan pengangguran terbuka dari kelompok SMP ke bawah. Padahal
jika dilihat dari tingkat pendidikannya, seharusnya lulusan SMA ke atas
seharusnya lebih memiliki ketrampilan dalam bekerja dan lebih siap kerja.
7
Tabel 2
Tingkat Pengangguran Terbuka di DIY Menurut Pendidikan Tertinggi,
Tahun 2007-2011
Pendidikan Tertinggi
Tahun
SMP ke Bawah
SMA ke Atas
2007
2.5
12.2
2008
2.1
10.3
2009
2.8
10.1
2010
2.1
10.6
2011
1.8
6.2
Grafik Tabel 2
Sumber : Raw Data Sakernas 2007-2011
Dampak dari adanya pengangguran, maka penganggur akan memakan
hasil dari produktivitas orang lain, sehingga tingkat pendapatan menjadi
rendah. Pengangguran dapat menjadi penghambat pengembangan sumber
8
daya manusia lainnya, karena pemenuhan kebutuhan primer menjadi
berkurang seperti dalam hal pemenuhan kebutuhan untuk makan, pakaian,
kesehatan, dan perumahan. Rendahnya pemenuhan gizi dan kesehatan
selanjutnya dapat membuat rendahnya tingkat produktivitas kerja seseorang.
Produktivitas kerja yang rendah selanjutnya akan menjadikan tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu negara menjadi terhambat. Dampak lain
pengangguran terhadap perekonomian yaitu pengangguran menyebabkan
masyarakat tidak dapat memaksimalkan pendapatan nasional yang dapat
dicapai pada pendapatan nasional potensial serta menyebabkan pendapatan
pemerintah
melalui
pajak
menjadi
berkurang.
Sementara
dampak
pengangguran terhadap individu dan masyarakat yaitu pengangguran dapat
menyebabkan
masyarakat
kehilangan
pendapatan,
mata
pencaharian,
ketrampilan, menimbulkan ketidakstabilan politik, serta dapat menimbulkan
penyakit sosial di masyarakat (Sumarsono, 2009: 260).
Mereka
yang lama tidak tersalurkan dalam lapangan kerja,
memungkinkan lebih beresiko mengalami frustasi dari pada mereka yang
bekerja karena mereka meski telah menjalani pendidikan tinggi yang tidak
murah tetapi mereka masih saja sulit untuk mendapatkan pekerjaan, selain itu
mereka yang menganggur akan merasa lebih tidak bermanfaat bagi
masyarakat. Sehingga tidak jarang munculnya kejahatan dari mereka yang
menganggur ketika mereka berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan
uang. Mereka yang menganggur juga lebih rawan untuk masuk ke dalam
sektor informal tidak sah seperti kegiatan perdagangan gelap, rentenir,
pelacuran, pencopet dan sebagainya. Banyaknya pencari kerja sementara
9
jumlah lapangan kerja yang ada terbatas seringkali menjadikan majikan
menaikkan prasyarat yang tinggi terhadap para pelamar kerja. Banyaknya
pencari kerja berpendidikan tinggi yang tidak tertampung, seringkali
menjadikan mereka terpaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak sesuai
dengan tingkat pendidikan mereka atau yang biasanya dikerjakan oleh mereka
yang berpendidikan rendah.
Melihat tren tingkat pengangguran terbuka selama beberapa tahun
terakhir yang cenderung lebih tinggi pada pengangguran terdidik di
bandingkan pengangguran lulusan SMP ke bawah. Peneliti menjadi tertarik
untuk menganalisis pengangguran
terbuka
terdidik tersebut, dimana
seharusnya angkatan kerja terdidik ini memiliki kualitas yang lebih dari pada
mereka yang memiliki tingkat pendidikan di bawahnya. Sehingga dengan
kualitas yang lebih tersebut seharusnya mereka dapat lebih kreatif untuk
menciptakan lapangan kerja bagi angkatan kerja yang lainnya serta seharusnya
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mereka seharusnya lebih diterima
dalam lapangan pekerjaan karena semakin berpendidikan maka seharusnya
tingkat produktivitasnya juga semakin tinggi sehingga mampu meningkatkan
tingkat perekonomian.
I.B Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan di atas, maka
peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana trend pengangguran terbuka terdidik?
2. Faktor apa yang mempengaruhi trend pengangguran terbuka terdidik?
10
I.C Tujuan Penelitian
1. Mengetahui trend pengangguran terbuka terdidik di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi adanya trend pengangguran
terbuka terdidik di Daerah Istimewa Yogyakarta
I.D Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis:
a. Penelitian mengenai tren pengangguran terbuka terdidik diharapkan
dapat mengembangkan pengetahuan mengenai pengembangan SDM
khususnya yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan.
b. Mampu menjadi pedoman bagi peneliti selanjutnya yang ingin
mengembangkan penelitian tentang masalah ketenagakerjaan.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi peneliti, penelitian tentang tren pengangguran terbuka terdidik
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosiologi
serta merupakan salah satu cara dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
b. Bagi masyarakat khususnya angkatan kerja, penelitian ini dapat
memberikan pengetahuan mengenai masalah ketenagakerjaan di DIY
sehingga menjadi pedoman dalam mencari kerja.
11
c. Bagi lembaga pendidikan, penelitian ini memberikan pengetahuan
akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan yang mampu
mencetak tenaga kerja kerja yang siap menciptakan lapangan kerja
bukan sekedar menjadi pencari kerja.
d. Bagi para pengambil kebijakan khususnya Pemerintah Provinsi DIY,
penelitian ini diharapkan bisa menjadi pedoman untuk merumuskan
kebijakan dalam menangani masalah ketenagakerjaan
I.E Teoritisasi dan Konseptualisasi
I.E.1 Teoritisasi
I.E.1.a Teori Segmentasi Pasar Kerja (Segmented Labour Market)
Sebagian perilaku pasar merupakan wujud deduksi logis beberapa
asumsi tertentu, empat diantaranya ialah (Evers, dkk., 1993: ii-iii) :
a. Secara konstan, individu memaksimalkan kepuasan mereka sebagai
konsumen dan memaksimalkan keuntungan mereka sebagai produsen.
b. Pasar berfungsi tanpa membeda-bedakan siapa yang masuk di dalamnya,
siapapun bisa masuk dalam pasar baik untuk membeli maupun menjual
barang maupun jasa. Sehingga, adanya daya saing manyebabkan harga
yang sama diberlakukan di seluruh pasar untuk jenis barang maupun jasa.
c. Permintaan dan suplai barang maupun jasa mementingkan fleksibilitas
harga.
d. Harga sangat luwes dan responsive terhadap perbedaan antara permintaan
dan suplai sehingga dengan cepat dan tepat akan menyesuaikan pada
tingkat keseimbangan.
12
Berdasarkan hal tersebut, faktor yang mempengaruhi upah serta
berbagai jenis pekerjaan akan terpisah menjadi dua kelompok yang berbeda.
Titik sentralnya adalah adanya mobilitas tenaga kerja pada pasar tenaga kerja
yaitu perubahan SDM baik masuk maupun keluar dari angkatan kerja,
pergeseran diantara perusahaan-perusahaan lapangan kerja maupun tempat
geografis lainnya.
Ketidak samarataan yang berkepanjangan dalam persaingan pasar kerja
menyebabkan berkembangnya segmentasi pasar kerja. Dalam teori segmentasi
pasar kerja dijelaskan bahwa pasar kerja memiliki struktur rangkap yang
terbagi menjadi dua sektor (Evers, dkk., 1993: ii-iii) yaitu jenis pekerjaan yang
mendapatkan nilai lebih serta upah lebih (primary labour market) dan sektor
yang memberikan upah rendah, kondisi kerja yang memprihatinkan,
kurangnya keamanan kerja serta rendahnya status (secondary labour market).
Perbedaan karekteristik antara pasar kerja primer dan sekunder adalah sebagai
berikut:
Primary Labour Market
Secondary Labor Market
•
Skala perusahaan besar
•
Skala perusahaan kecil
•
Manajemen perusahaan baik
•
Manajemen perusahaan kecil
•
Pegawai/karyawan
•
Tingkat
umumnya
memiliki tingkat pendidikan dan
•
pendidikan
dan
ketrampilan yang rendah
ketrampilan yang tinggi
•
Produktivitas kerja rendah
Produktivitas kerja karyawannya
•
Upah rendah
13
tinggi
•
Jaminan sosial kurang baik
•
Upah tinggi
•
Lingkungan
•
Jaminan sosial yang baik
•
Lingkungan pekerjaan karyawan
•
Disiplin karyawan rendah
menyenangkan
•
Tingkat absensi tinggi
•
Disiplin kerja pegawai tinggi
•
Karyawan
•
Tingkat absensi rendah
•
Jumlah
perpindahan
pekerjaan
yang
kurang menyenangkan
sering
berpindah-
pindah pekerjaan
pegawai
biasanya kecil
Sumber : Sumarsono, 2009: 15
Jika dilihat dari tenaga kerjanya, pasar kerja tidak homogen namun
heterogen, sehingga terdapat pasar kerja yang terpisah (segmented labour
market) yaitu pasar tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik (Sumarsono, 2009:
15), perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Pasar Tenaga Kerja Terdidik
Pasar Tenaga Kerja Tidak Terdidik
•
Produktivitas kerja tinggi
•
Produktivitas kerjanya rendah
•
Penghasilan karyawan tinggi
•
Penghasilan karyawan rendah
•
Tiap lowongan pekerjaan selalu •
Lowongan pekerjaan tidak perlu
dikaitkan
dikaitkan
•
dengan
persyaratan
dengan
persyaratan
pendidikan bagi calon yang akan
pendidikan bagi calon yang akan
mengisinya
mengisinya
Penyediaan
tenaga
kerja
harus •
Penyediaan tenaga kerja tidak harus
14
•
melalui sistem sekolah yang lama
melalui
Tingkat partisipasi tenaga kerja
elastisitas tenaga kerja besar
•
terdidik lebih tinggi
•
•
•
sistem
sekolah
dan
Tingkat partisipasi kerjanya rendah
Tenaga kerjanya biasanya berasal •
Tenaga kerjanya biasanya berasal
dari keluarga yang relatif mampu
dari keluarga tidak mampu
Proses pengisian lowongan kerja •
Proses pengisian lowongan kerja
untuk tenaga terdidik dibutuhkan
dapat dilakukan dengan cepat
waktu yang relatif lama dalam •
Lamanya
seleksi
kalangan tenaga kerja tidak terdidik
Lamanya pengangguran di kalangan
relatif pendek.
pengangguran
dari
tenaga terdidik biasanya relatif lama
Sumber: Sumarsono, 2009: 15-16
Menurut teori ini, kelompok dan institusi sosial merupakan inti
segmentasi pasar tenaga kerja. Proses penetapan harga maupun alokasinya
merupakan proses sosial. Struktur yang membedakan baik mereka yang
mendapatkan upah tinggi maupun rendah ataupun menjadi pimpinan bagi
angkatan kerja yang lainnya dengan melengkapinya dengan pendidikan serta
latihan merupakan proses sosial. Menurut Edwards, Reich dan Gordon (seperti
dikutip Evers, dkk., 1993: 3) segmentasi akan timbul apabila pasar tenaga
kerja terbagi dalam sub pasar atau sub proses atau bagian-bagian yang
dibedakan oleh karakteristik atau perilaku serta kondisi kerja yang saling
terpisah satu sama lainnya. Segmentasi akan timbul apabila individu tidak bisa
secara bebas memilih lapangan kerja yang menjadi keinginan mereka.
15
Akibat dari adanya segmentasi jabatan yaitu 1.) orang cenderung
terkotak-kotak atau terpencil pada jenis pekerjaan tertentu, yang menjadikan
timbulnya hambatan penempatan tenaga kerja dan ketidak bebasan dalam
menentukan pilihan, 2.) tidak mungkin adanya “jarak ruang pasar” atau jarak
tersebut menjadi semakin sulit.
I.E.1.b Teori Pilihan Rasional
Aktor merupakan fokus dari teori pilihan rasional, aktor selalu
memiliki tujuan atau maksud tertentu. Aktor juga memiliki preferensi (nilai,
kepuasan). Tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan secara konsisten
dengan preferensi aktor. Namun terdapat dua hambatan dalam melakukan
tindakan yaitu kelangkaan sumber daya dan istitusi sosial. Aktor memiliki
sumber daya yang berbeda-beda, bagi aktor yang memiliki banyak sumber
daya tujuannya akan mudah tercapai. Sebaliknya, bagi aktor yang memiliki
sedikit sumber daya tujuannya akan sulit tercapai atau bahkan tidak mungkin
tercapai. Menurut Friedman dan Hechter (seperti dikutip Ritzer dan Goodman,
2010: 449) kelangkaan sumber daya berkaitan dengan biaya kesempatan.
Aktor harus memperhatikan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
tindakan dalam mencapai tujuannya. Apabila sumber daya yang dimiliki tidak
dapat digunakan untuk mencapai tujuannya, aktor dapat memilih untuk tidak
mengejar
tujuannya
yang
paling
bernilai.
Aktor
selalu
berusaha
memaksimalkan keuntungan mereka. Hambatan lainnya dalam mencapai
tujuan adalah institusi sosial, menurut Friedman dan Hechter, umumnya
individu akan
16
menganggap tindakan-tindakan sejak lahir sampai mati dikendalikan
oleh aturan keluarga dan sekolah, hukum, dan ordinasi, kebijakan
perusahaan, gereja, sinagog dan mesjid, dan rumah sakit serta
pemakaman. Dengan membatasi kelayakan tindakan yang dapat
dilakukan individu, aturan-aturan permainan yang dapat diterapkantermasuk norma, hukum, agenda, dan aturan memilih-secara
sistematis memengaruhi produk sosial. Friedman dan Hechter
(seperti dikutip dalam Ritzer dan Goodman, 2010: 449)
Hambatan-hambatan institusional ini mampu mendorong tindakan dan
mencegah tindakan lain. Menurut Friedman dan Hechter (seperti dikutip
Ritzer dan Goodman, 2010: 449) ada dua gagasan yang menjadi dasar teori
pilihan rasional yaitu mekanisme agresi atau proses ketika tindakan
dikombinasikan untuk menghasilkan dampak sosial, dan arti penting informasi
dalam menetapkan pilihan rasional. Menurut Heckathorn (seperti dikutip
Ritzer dan Goodman, 2010: 449) kuantitas dan kualitas informasi memberikan
dampak besar bagi pilihan actor.
I.E.1.c Teori Nurture
Menurut teori nurture perbedaan psikologis antara wanita dengan lakilaki tercipta melalui proses belajar dari lingkungan (Budiman, 1985: 2).
Patriarkhi menganggap laki-laki lebih rasional, maskulin dan public,
sementara wanita dianggap lebih pasif, submisif, feminine, domestik dan
emosional. Menurut John Stuard Mill (seperti dikutip Budiman, 1985: 4) sifat
kewanitaan merupakan
hasil pemupukan masyarakat melalui sistem
pendidikan. Menurutnya usaha pembagian golongan wanita dan laki-laki serta
perbedaan dua golongan ini dalam peranan sosial mereka merupakan tindakan
politik yang terencana.Wanita dalam pembagian kerja secara seksual dianggap
lebih buruk dari budak, karena mereka harus mau menjadi budak sukarela.
17
Wanita
tidak
boleh
memiliki
keinginannya
sendiri,
harus
mampu
mengendalikan diri, penurut, sudi dikendalikan orang lain, wanita jugaselalu
diajarkan bahwa kewajiban dan hakekat mereka adalah menyerahkan
kehidupan mereka untuk orang lain (Budiman, 1985: 5) Kodrat merupakan
sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat dirubah. Menurut John Stuart Mill
(seperti dikutip Budiman, 1985: 5) kodrat wanita merupakan hasil buatan,
hasil dari kombinasi tekanan dan paksaan di satu pihak dan rangsangan yang
tidak wajar dan menyesatkan di pihak lain. Identitas, dikotomi dan kodrat
sebenarnya hanyalah konstruksi buatan manusia, ini merupakan hasil proses
hegemodi budaya patriarkhi yang dilanggengkan oleh piranti sosial politik
(Sumbulah, 2008: xxxiii). Konstruksi ini selama ini mampu bertahan
menyelubungi cara berfikir masyarakat. Pembagian kerja secara seksual
seringkali dilihat berdasarkan gender, kegiatan ekonomis terklarifikasi
berdasarkan jenis kelamin, ada peran maskulin dan ada peran feminism.
Memasak dianggap pekerjaan wanita, sementara berburu merupakan tugas
laki-laki. Gender tidak hanya berbeda antar budaya namun juga dari waktu ke
waktu. Seiring dengan berjalannya waktu peranan laki-laki dan wanita tidak
hanya ditentukan oleh kebudayaan tapi juga ideology yang dominan pada
suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi (Sumbulah,
2008: xxxvi).
18
I.E.2 Konseptualisasi
I.E.2.a Angkatan Kerja
Angkatan kerja merupakan bagian dari tenaga kerja yang mau bekerja
memproduksi barang maupun jasa (Sumarsono, 2009: 248), menurut BPS
angkatan kerja merupakan penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) yang
bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan
pengangguran (BPS, SAKERNAS, 2011). Jadi, penduduk usia kerja baik yang
bekerja maupun tidak bekerja namun mau dan mampu untuk bekerja dapat
digolongkan sebagai angkatan kerja. Seseorang dapat keluar dari angkatan
kerja atau bukan termasuk angkatan kerja jika pensiun, cacat, tidak bekerja
lagi karena suatu alasan, sekolah, serta mengurus rumah tangga. Sebaliknya,
jika seseorang sudah tamat sekolah dan berniat memasuki dunia kerja, seorang
ibu rumah tangga karena alasan ekonomi kemudian mencari pekerjaan atau
seseorang yang sembuh dari cacat kemudian bersedia bekerja, mereka dapat di
sebut sebagai angkatan kerja. Namun, seorang anak di bawah 15 tahun yang
sudah bekerja membantu orang tua mencari nafkah tidak di golongkan sebagai
angkatan kerja meski ia telah bekerja, karena bukan termasuk penduduk usia
kerja.
Dalam bagan angkatan kerja. Angkatan kerja ini terdiri dalam
kelompok bekerja dan mencari kerja/menganggur. Kelompok bekerja di bagi
menjadi dua yang terdiri dari bekerja penuh dan setengah menganggur. Untuk
lebih memperjelas konsep ketenagakerjaan, berikut ini akan disajikan diagram
mengenai angkatan kerja
19
Gambar 1
Konsep Angkatan Kerja
Sumber : BPS, SAKERNAS 2011
I.E.2.a.1) Bekerja
Bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang bertujuan memperoleh
pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam
seminggu yang lalu, termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang
membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi (BPS, SAKERNAS, 2011).
Dengan demikian, seorang anak dalam usia lebih dari 15 tahun yang bekerja
membantu orang tua di sawah atau berternak di rumah seminggu yang lalu
meski 1 jam dan tidak di bayar, termasuk bekerja. Hal ini dikarenakan
seseorang tersebut mampu memberikan jasa atau melakukan kegiatan yang
memiliki nilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kegiatan
bekerja terbagi menjadi dua, yaitu bekerja penuh dan setengah pengangguran.
Bekerja penuh merupakan orang yang memanfaatkan jam kerja secara
penuh dalam pekerjaanya, antara 8-10 jam per hari (Sumarsono, 2009: 249).
20
Pekerja penuh biasanya adalah pekerja dalam perusahaan swasta atau instansi
pemerintah seperti PNS, manager, dokter dan sebagainya. Sementara menurut
BPS setengah pengangguran merupakan mereka yang bekerja di bawah jam
kerja normal yaitu kurang dari 35 jam seminggu (BPS, SAKERNAS, 2011),
seperti pekerja part time dalam sector informal, petani yang bekerja jika
musim panen tiba, buruh bangunan yang bekerja apabila ada yang
membutuhkan jasanya, nelayan yang bekerja pada saat-saat musim tertentu
saja dan kembali berhenti jika musim paceklik dan sebagainya. Setengah
pengangguran terdiri dari:
1) Setengah pengangguran terpaksa, yaitu mereka yang bekerja di bawah jam
kerja normal dan masih mencari atau bersedia menerima pekerjaan lain.
Hal ini biasanya dikarenakan upah yang rendah karena jam kerjanya
kurang seperti petani yang bersedia menjadi buruh jika bukan masa panen.
2) Setengah pengangguran sukarela, yaitu mereka yang bekerja di bawah jam
kerja normal, tapi tidak mencari atau bersedia menerima pekerjaan lain.
Hal ini bisa dikarenakan seseorang memiliki peran ganda yaitu sebagai ibu
dan sebagai pekerja, sehingga tidak bersedia mencari pekerjaan lain, bisa
pula dikarenakan seseorang sudah merasa cukup dengan pendapatan yang
diterima.
Menurut Phillip Hansen, setengah pengangguran terjadi karena
(Sumarsono, 2009: 254-256):
1) Kurangnya jam kerja, mereka yang bekerja tidak penuh waktu
mencerminkan pengangguran tidak penuh.
21
2) Kekurangan pendapatan, seseorang yang memiliki kualitas yang di
dapatkan dari pendidikan dan ketrampilan seharusnya bisa mendapatkan
pendapatan yang normal sesuai kualitasnya, jika menerima pendapatan
kurang
dari
yang
seharusnya,
berarti
potensi
kerjanya
kurang
termanfaatkan.
3) Ketidakcocokan antara pekerjaan dengan kualifikasi individual pekerja,
sehingga sukar baginya untuk memberikan prestasinya secara penuh.
I.E.2.a.2) Pengangguran/Pengangguran Terbuka
Pengangguran menurut pendekatan labor utilization approach
(penggunaan tenaga kerja) merupakan orang yang sama sekali tidak bekerja
dan berusaha mencari pekerjaan (Sumarsono, 2009: 249). Penduduk yang
sedang mencari pekerjaan ini biasanya juga disebut sebagai pengangguran
terbuka. Menurut BPS, pengangguran terbuka meliputi (BPS, SAKERNAS
2011) :
1. Mereka yang mencari pekerjaan.
2. Mereka yang mempersiapkan usaha.
3. Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan.
4. Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
Mereka yang mencari kerja merupakan angkatan kerja yang tidak
bekerja ketika di survai dan dalam kondisi sedang mencari kerja baik kegiatan
mencari pekerjaan tersebut dilakukan lebih dari seminggu yang lalu, namun
pada saat seminggu sebelum pencacahan ia masih berniat mencari kerja.
Namun bagi mereka yang sedang dibebas tugaskan tidak dapat digolongkan
22
sebagai pengangguran terbuka. Mempersiapkan usaha maksudnya kegiatan
yang dilakukan untuk mempersiapkan usaha baru yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan, dimana kegiatan mempersiapkan usaha tersebut
dilakukan melalui tindakan nyata seperti pengumpulan modal, pengurusan ijin
usaha dan sebagainya, tidak termasuk dalam hal ini merencanakan, berniat dan
sebagainya. Mereka yang tidak mencari pekerjaan karena putus asa dalam
mencari kerja, namun jika diberikan pekerjaan dan tetap bersedia untuk
bekerja tetap digolongkan sebagai pengangguran meski tidak secara aktif
mencari kerja. Begitu pula dengan seseorang yang sudah diterima kerja namun
belum bekerja tetap digolongkan sebagai pengangguran karena seminggu yang
lalu belum melakukan kegiatan yang memiliki nilai ekonomis.
I.E.2.a.2).a) Bentuk-bentuk Pengangguran
Ada enam bentuk pengangguran yang disebabkan karena ketidak
sesuaian antara permintaan dan penyediaan dalam pasar kerja (Sumarsono,
2009: 251-253), bentuk-bentuk pengangguran tersebut yaitu:
a) Pengangguran Friksional
Pengangguran friksional terjadi karena kesulitan bertemunya
pencari kerja dengan lowongan kerja yang tersedia. Hal ini dapat
dikarenakan jarak yang jauh antara pencari kerja dengan lowongan yang
tersedia, kurangnya informasi adanya lowongan kerja, lowongan kerja
yang tersedia justru berada bukan disekitar pencari kerja, serta pengusaha
tidak mengetahui dimana tersedianya tenaga kerja yang sesuai dengan apa
yang dibutuhkan. Pengangguran friksional ini banyak terjadi pada
angkatan kerja lulusan PT khususnya di Jawa. Banyak angkatan kerja
23
lulusan PT yang terpaksa menganggur dengan menunggu hingga ada
lowongan pekerjaan yang dirasa sesuai dengan tingkat pendidikan mereka.
Hal ini karena banyaknya lowongan kerja yang sesuai dengan tingkat
pendidikan mereka bukan berada di Jawa, melainkan di luar Jawa.
b) Pengangguran Musiman
Pengangguran ini disebabkan perubahan musim. Seringkali para
petani menjadi pengangguran ketika bukan masa panen para nelayan
seringkali menjadi pengangguran ketika musim paceklik tiba begitu pula
pada saat tahun ajaran baru seringkali banyak lulusan berpendidikan yang
menjadi pengangguran. Penganggur yang terjadi pada saat pergantian
musim ini akan dapat kembali aktif bekerja lagi pada saat datangnya
musim baru atau musim giat, dimana pada musim ini penganggur mulai
giat bekerja kembali.
c) Pengangguran Siklikal
Seperti halnya gejala alam, seringkali ada siklus dimana banjir
maupun gunung meletus akan kembali lagi baik dalam waktu lima tahunan
maupun sepuluh tahunan. Gejala ekonomi pun mengalami hal yang
serupa. Ada kalanya ekspansi kegiatan meningkat, kadang timbul
kejenuhan dan penurunan kegiatan, kadang pula adanya kenaikan intensif
kegiatan lagi. Siklus seperti ini sering kali terjadi baik dua tahunan, lima
tahunan, sepuluh tahunan dan sebagainya. Ketika masa ekspansi,
permintaan tenaga kerja akan meningkat, hal ini menyebabkan
berkurangnya pengangguran. Sebaliknya jika orang sudah kehilangan
24
optimisme terhadap peluang kerja di masa mendatang sikap pesimisnya
membawa pengaruh negative terhadap kesempatan kerja.
d) Pengangguran Struktural
Pengangguran struktural ialah pengangguran yang terjadi karena
perubahan
struktur
perekonomian.
Adanya
perubahan
struktur
perekonomian menuntut perubahan ketrampilan tenaga kerja yang
dibutuhkan. Banyaknya pihak pencari kerja yang tidak memiliki
ketrampilan sesuai dengan yang dibutuhkan pihak pemberi lapangan kerja
pada akhirnya akan menjadi pengangguran. Hal ini dikarenakan adanya
dominasi sektor pemberi kesempatan kerja. Contohnya adalah perubahan
dominasi sektor pemberi lapangan kerja dari sektor pertanian ke sektor
industri yang banyak menuntut keahlian dan pendidikan tinggi bagi
pencari kerja, sementara hal tersebut seringkali tidak dapat dipenuhi oleh
tenaga kerja dari sektor pertanian sehingga timbullah pengangguran
struktural.
e) Pengangguran Teknologis
Dalam bidang industri perubahan teknologi berkembang secara
cepat, perubahan teknologi tersebut dapat membawa dapak negative bagi
kesempatan kerja yaitu bertambahnya pengangguran. Misalnya perubahan
alat transportasi dari becak atau andong menjadi mobil atau kereta, hal ini
akan menyebabkan pengangguran apabila supir andong ataupun becak
tidak dapat menguasai ketrampilan yang beru tersebut.
25
f) Pengangguran karena Kurangnya Permintaan Agregat.
Merupakan pengangguran yang terjadi karena berkurangnya
permintaan barang dan jasa, sehingga berkurang pula permintaan tenaga
kerja. Kurangnya permintaan agregat ini bisa terjadi dalam jangka waktu
yang panjang. Dalam kondisi ini perlu diketahui berasal dari sektor mana
apakah sektor pertanian, industri atau jasa. Selain itu perlu diketahui pula
dari golongan berpandidikan rendah ataupun tinggi, kelompok umur, jenis
kelamin maupun lokasinya di desa ataupun di kota.
I.E.2.b Pengangguran Terbuka Terdidik
I.E.2.b.1) Pengertian Pengangguran Terbuka Terdidik
Menurut Sonny Sumarsono pengangguran (unemployment) adalah
suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan
kerja tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif sedang mencari pekerjaan
(Sumarsono, 2009: 259), sering pula istilah pengangguran ini disebut sebagai
pengangguran penuh atau pengangguran terbuka hal tersebut karena orang
tersebut sama sekali tidak bekerja. Sementara menurut BPS, seperti yang telah
dijelaskan
dalam
konsep
ketenagakerjaan
sebelumnya,
pengertian
pengangguran terbuka terdiri dari mereka yang sedang mencari pekerjaan,
mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan dan yang sudah memiliki
pekerjaan namun belum mulai bekerja.
Konsep pengangguran terdidik menurut BPS mengacu pada kelompok
pengangguran terbuka yang berpendidikan menengah/SMA-Sederajat dan
berpendidikan tinggi/di atas SMA (Winarsih dan Nursahrizal, 2006: ix).
Sementara menurut Elwin Tobing pengangguran terdidik merupakan angkatan
26
kerja berpendidikan menengah ke atas (SMA, Akademi, dan Universitas) dan
tidak bekerja (Supratikno, Skripsi, 2011: 26). Dalam pengertian yang lebih
khusus, pengangguran terdidik merupakan lulusan pendidikan yang belum
memperoleh pekerjaan sebagaimana dijanjikan oleh status kredensial dari
pendidikan yang dimiliki oleh pencari kerja (PP Kependudukan UGM, 1992).
Penambahan
istilah
terbuka
pada
pengangguran
terdidik
menjadi
pengangguran terbuka terdidik digunakan untuk memperjelas arti dari
pengangguran terdidik.
I.E.2.b.2) Penyebab Meningkatnya Pengangguran Terdidik
Menurut analisis dari BPS penyebab meningkatnya pengangguran
terdidik meliputi hal-hal sebagai berikut (Winarsih dan Nursahrizal, 2006: 6162) :
1)
Ketidakcocokan antara karakteristik permintaan tenaga kerja dan
penawaran tenaga kerja. Ketidakcocokan ini dapat bersifat geografis,
jenis pekerjaan, orientasi status atau keahlian khusus. Ketidakcocokan
yang bersifat geografis dapat dilihat bahwa penganggur terbuka
terdidik selama ini banyak terdapat di Pulau Jawa mengingat Jawa
merupakan daerah yang lebih maju di bidang pendidikannya dan lebih
padat penduduknya di bandingkan dengan daerah-daerah lainnya di
luar Pulau Jawa, namun kesempatan kerja yang membutuhkan
angkatan kerja berpendidikan tinggi banyak terdapat di luar Pulau
Jawa seperti pada perusahaan swasta, kantor pemerintahan maupun
dalam dunia pendidikan. Selama ini banyak pula lowongan kerja yang
mensyaratkan pengalaman kerja dan memiliki keahlian tinggi,
27
sementara para pengangguran terbuka terdidik ini biasanya merupakan
angkatan kerja yang baru saja menyelesaikan pendidikannya sehingga
belum memiliki pengalaman kerja maupun keahlian tinggi.
2)
Harapan angkatan kerja terdidik untuk memasuki jenis pekerjaan yang
aman. Angkatan kerja terdidik lebih memilih untuk memasuki
lapangan kerja yang stabil dari pada memasuki pekerjaan yang
beresiko, sehingga mereka biasanya lebih memilih untuk bekerja pada
perusahaan besar yang mampu memberikan upah tinggi serta
memberikan jaminan keamanan bagi para pekerjanya dari pada
membuka usaha sendiri. Hal ini seperti terlihat pada November 2005,
data pengangguran terbuka menurut kegiatan yang dilakukan di
Indonesia (BPS, SAKERNAS, 2005) menunjukkan bahwa terdapat
3.635.430 jiwa pengangguran terbuka berpendidikan SMU/Sederajat
dan terdapat 647.050 jiwa yang berpendidikan >SMU/Sederajat yang
mencari pekerjaan. Sementara pengangguran terbuka berpendidikan
SMU/Sederajat yang mempersiapkan usaha adalah 13.480 jiwa, dan
yang berpendidikan >SMU/Sederajat adalah 4.890 jiwa.
3)
Keterbatasan daya serap pada sektor formal yang cenderung menjadi
pilihan angkatan kerja terdidik. Karakteristik dari lapangan kerja di
sektor formal antara lain adalah upah yang tinggi, terorganisir,
mensyaratkan pendidikan tinggi dan di lindungi oleh hukum, oleh
karena itu sektor formal cenderung menjadi pilihan yang tepat bagi
angkatan kerja terdidik. Namun, lapangan kerja di sektor formal
sampai saat ini jumlahnya tidak sebanding dengan angkatan kerja
28
terdidik, selama ini lebih banyak sektor informal yang berkembang.
sehingga banyak yang memilih untuk menunggu hingga mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan aspirasinya.
4)
Belum efisiennya fungsi pasar tenaga kerja. Tidak hanya kesulitan
dalam memperoleh lapangan kerja, namun seringkali arus informasi
tenaga kerja yang tidak sempurna menyebabkan angkatan kerja bekerja
di luar bidang mereka. Tidak sedikit perusahaan atau instansi
pemerintah yang melakukan recruitment secara internal yaitu dengan
mengisi lowongan kerja melalui “promosi” dan tidak melakukan
recruitment dengan pihak luar hal tersebut dilakukan karena selain
tidak ingin beresiko juga karena biaya yang lebih murah, sehingga
informasi adanya lowongan kerja lebih banyak di dapatkan pihak
dalam dari pada masyarakat luar perusahaan atau instansi pemerintah
tersebut. Padahal banyak angkatan kerja terdidik terutama yang baru
saja lulus membutuhkan pekerjaan.
Adanya pengangguran terdidik biasanya juga disebabkan karena
mereka yang berpendidikan bersedia menunggu beberapa saat untuk
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Namun
seringkali jenis pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka, biasanya di
sektor jasa formal, karena pada sektor ini biasanya upah lebih tinggi dari pada
sektor informal, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja
berpendidikan yang jumlahnya semakin meningkat. Sementara jumlah
lapangan kerja di sektor formal jumlahnya tidak mengalami peningkatan yang
cukup untuk menampung kelebihan angkatan kerja terdidik tersebut.
29
Selain itu pada sektor yang mampu memberikan upah tinggi dan
bersifat tetap tersebut selain membutuhkan angkatan kerja yang terdidik juga
menuntut ketrampilan yang tinggi yang biasanya tercermin dari banyaknya
pengalaman kerja yang dimiliki pencari kerja.
Kurang efisiensinya fungsi pasar tenaga kerja, di samping kesulitan
memperoleh lapangan kerja arus informasi tenaga kerja tidak sempurna dan
tidak lancer, hal ini menyebabkan banyak angkatan kerja kemudian bekerja di
luar bidangnya.
I.E.2.b.3) Tiga Alasan Penting Terjadinya Pengangguran Terdidik
Menurut kelompok kerja pengembangan sumber daya manusia PP
Kependudukan UGM, terjadinya pengangguran terdidik diakibatkan oleh tiga
alasan penting (PP Kependudukan UGM, 1992), yaitu:
1) Adanya ketimpangan structural antara persediaan dan kesempatan
kerja. Selama ini system pendidikan sudah mampu menghasilkan
angkatan kerja terdidik, namun struktur ekonomi masih di dominasi
oleh kegiatan tradisional/subsistem yang membutuhkan tenaga kerja
berpendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikan. Lapangan
kerja masih di dominasi sektor informal, sehingga menyebabkan
angkatan kerja terdidik terpaksa memasuki sektor informal.
2) Program pendidikan professional/kejuruan yang terlalu bersifat
“regulated”.
Masih
dominasinya
peranan
pemerintah
dalam
penyelenggaraan pendidikan kejuruan maupun profesi, sementara
peranan swasta relatif kecil. Hal ini menjadi penyebab adanya jurang
30
pemisah antara system pendidikan yang memproduksi keahlian dan
ketrampilan dengan dunia usaha yang memiliki informasi mengenai
keahlian dan ketrampilan yang mereka butuhkan.
3) Penguatan persepsi kredensialisme pendidikan. Banyak masyarakat
beranggapan bahwa sekolah merupakan lembaga yang mampu
mencetak tenaga kerja yang siap dipekerjakan. Cara berfikir seperti ini
muncul dari aliran “credentialistist” yang menganggap berbahaya
apabila sekolah diberikan status kredensialisme untuk bekerja. Adanya
bahaya dari kredensialisme tersebut akan menjadi besar pada saat
terjadinya gejala pengumuman program pendidikan.
Banyaknya lulusan berpendidikan tinggi yang memasuki pasar kerja
seringkali membuat para majikan memberikan persyaratan yang lebih tinggi
dan seleksi secara ketat. Padahal pengangguran terdidik kebanyakan adalah
mereka yang merupakan lulusan sekolah maupun perguruan tinggi dimana
mereka belum memiliki banyak pengalaman kerja serta sedikit ketrampilan
yang mereka peroleh dari bangku pendidikan.
Selama ini perluasan pendidikan cenderung menghasilkan lulusan
yang mencari kerja, fungsi pendidikan belum cukup mampu meningkatkan
kualitas angkatan kerja terdidik untuk mandiri dan berwawasan luas, sehingga
mampu menciptakan kesempatan kerja untuk orang lain.
Para
pencari
kerja
dari
kalangan
keluarga
dengan
tingkat
perekonomian menengah ke atas biasanya bersedia menunggu adanya
pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka dalam waktu yang
cukup lama, hal ini dikarenakan keluarga mereka dapat menanggung beban
31
hidup para penganggur terbuka dari golongan berpendidikan tersebut. Namun,
bagi para pencari kerja dari keluarga dengan tingkat perekonomian menengah
ke bawah, biasanya mereka tidak bersedia menganggur dalam waktu yang
cukup lama, karena tuntutan ekonomi dari keluarga.
Menurut teori human capital, ada hubungan positif antara pendidikan
dengan pendapatan, dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan meninggikan
pula penghasilan seumur hidup yang diperoleh. Anggapan tersebut membuat
banyak angkatan kerja kemudian berbondong-bondong untuk meningkatkan
tingkat pendidikan mereka dengan harapan mendapatkan pendapatan yang
lebih besar. Namun, yang terjadi di Indonesia, meningkatnya jumlah angkatan
kerja berpendidikan ternyata menyebabkan lapangan kerja yang tersedia tidak
mampu menampung kelebihan pencari kerja berpendidikan tersebut. Hal ini
pada akhirnya menyebabkan pengangguran terdidik.
I.E.2.c Pasar Kerja
I.E.2.c.1) Pengertian Pasar Kerja
Pasar kerja merupakan seluruh aktivitas dari para pelaku yang
tujuannya adalah mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja (Afrida,
2003: 202), dalam pasar kerja selalu membutuhkan pembeli dan penjual,
pembelinya meliputi para pengusaha, produsen maupun majikan, semantara
penjualnya adalah para tenaga kerja yang mencari pekerjaan. Sifat dari pasar
kerja ditentukan oleh pelakunya sendiri, misalnya suatu perusahaan yang
membutuhkan tenaga kerja, maka akan dibuka lowongan kerja.
32
I.E.2.c.2) Bentuk-Bentuk Pasar Kerja
Ada beberapa bentuk pasar kerja, hal ini dikarenakan kegiatan yang
dilakukan dalam pasar kerja berbeda-beda sesuai dengan karakteristik pencari
kerja maupun penerima kerja. Bentuk pasar kerja tersebut meliputi pasar kerja
intern, pasar kerja primer dan pasar kerja sekunder.
1. Pasar Kerja Intern
Adanya konsep pasar kerja intern terjadi karena pengusaha/instansi
pemerintah menganggap bahwa proses perekrutan baik proses pembukuan
lamaran, pemanggilan pelamar, seleksi dan penerimaan pegawai baru
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga pengusaha/instansi
pemerintah mengisi lowongan kerja yang ada dengan “promosi”.
Untuk melakukan penghematan biaya penerimaan pegawai serta
untuk meningkatkan produktivitas pegawai untuk menempati suatu jabatan
baru, maka digunakan promosi untuk melakukan pengangkatan pegawai
dari dalam perusahaan itu sendiri. Pengangkatan pegawai yang bersumber
dari dalam inilah yang disebut internal labour market (Afrida, 2003: 211)
2. Pasar Kerja Primer
Biasanya pasar kerja primer merupakan pasar kerja di sektor
formal yang memiliki aturan maupun prosedur secara jelas pada
mekanisme pasar kerja dalam mempertemukan pencari kerja dan
lowongan kerja. Karakteristik dari pasar kerja primer meliputi (Afrida,
2003: 212) a.) Membutuhkan tingkat kemampuan dan ketrampilan yang
tinggi, b.) menawarkan tingkat upah yang relatif tinggi, c.) kondisi kerja
yang baik, d.) tingkat mobilitas tenaga kerja kecil, e.) pekerja mempunyai
33
hak dan kewajiban yang jelas, f.) mengikuti peraturan-peraturan
kepegawaian yang jelas, g.) ada pedoman kerja tertentu atau manual, h.)
mempunyai kesempatan untuk maju atau naik jabatan lebih tinggi.
3. Pasar kerja Sekunder
Pada pasar kerja sekunder biasanya tingkat upah yang ditawarkan
cenderung rendah, tidak memiliki jenjang jabatan. Karakteristik dari pasar
kerja sekunder meliputi (Afrida, 2003: 211): a.) tidak membutuhkan
tingkat kemampuan atau ketrampilan yang tinggi tetapi diutamakan
memiliki kemampuan fisik yang baik b.) menawarkan tingkat upah yang
rendah c.) kondisi kerja yang tidak begitu baik d.) tingkat mobilitas tenaga
kerja tinggi sekali e.) tidak mempunyai hak dan kewajiban yang jelas f.)
tidak ada peraturan kepegawaian g.) tidak mempunyai pedoman kerja h.)
tidak mempunyai kesempatan untuk maju.
Biasanya pasar kerja primer merupakan pasar kerja dalam sektor
formal, sementara pasar kerja sekunder kebanyakan berada pasda sektor
informal.
I.E.2.c.3) Sektor Formal dan Informal
1. Sektor Formal
Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerja yang bergaji,
dalam lapangan kerja yang permanen, yang meliputi struktur pekerjaan
yang terjalin secara terorganisir, terdaftar dalam statistic perekonomian
serta syarat kerjanya dilindungi oleh hukum (Manning dan Effendi, 1985:
39). Sektor formal biasanya juga menuntut persyaratan yang lebih tinggi
(PP Kependudukan UGM, 1992), seperti dalam bidang industry, kantor
34
pemerintahan maupun dalam perusahaan besar. Ada kecenderungan bahwa
lulusan pendidikan formal (modern) menghasilkan lulusan yang mencari
pekerjaan di sektor formal yang jumlahnya terbatas (PP Kependudukan
UGM, 1992).
Dalam teori human capital dijelaskan bahwa, setiap bertambahnya
satu tahun sekolah di satu pihak dapat meningkatkan kemampuan kerja
dan penghasilan seseorang, namun di satu pihak menunda penerimaan
penghasilan tersebut selama satu tahun (Sumarsono, 2009: 93). Salah satu
motivasi angkatan kerja meningkatkan tingkat pendidikan mereka hingga
tingkat perguruan tinggi selain untuk menambah pengetahuan dan
ketrampilan adalah supaya mendapatkan upah yang lebih besar ketika
mereka bekerja nanti. Maka menjadi hal yang wajar jika angkatan kerja
lulusan perguruan tinggi lebih selektif dalam memilih pekerjaan yang
mampu memberikan upah yang tinggi, yang biasanya terdapat pada sektor
formal. Menurut Tjiptoherijanto salah satu factor pendorong pengangguran
terdidik adalah struktur upah bergerak sangat lambat (Winarsih dan
Nursahrizal, 2006: 8)
Adanya ketidak konsistenan antara output pendidikan dengan
kesempatan kerja yang rata-rata memberikan upah rendah membuat
lulusan yang baru saja menyelesaikan pendidikannya cenderung untuk
menunggu hingga mendapatkan informasi adanya lowongan kerja yang
mampu memberikan upah tinggi, dari pada langsung menerima pekerjaan
yang memberikan upah yang rendah.
35
Keterbatasan pasar kerja di sektor formal adalah terbatasnya
aktifitas yang memiliki tujuan untuk mempertemukan antara pencari kerja
dan lowongan kerja dalam sektor formal. DIY sendiri merupakan provinsi
dengan struktur ekonomi yang di dominasi oleh sektor yang bersifat
informal seperti pondokan, jasa fotokopian, persewaan computer dan
warung makan.
2. Sektor Informal
Sektor informal merupakan kegiatan perekonomian yang tidak
memenuhi criteria seperti sektor formal (Manning dan Effendi, 1985: 139),
yaitu antara lain pekerjaan yang tidak permanen, seringkali pekerjanya
tidak bergaji karena merupakan pekerja keluarga seperti membantu
pertanian maupun peternakan milik keluarga, tidak ada struktur yang jelas,
tidak terdaftar dalam statistic perekonomian dan tidak memiliki
perlindungan hukum. Sektor informal ini biasanya merupakan usaha
sendiri, kurang terorganisir, sulit di cacah karena sering dilupakan dalam
sensus resmi, serta persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan
hukum (Manning dan Effendi, 1985: 139).
Pada sektor informal, lebih fleksibel, dapat dimasuki oleh siapa
saja. Oleh karena itu, sektor informal menjadi alternative pilihan bagi
angkatan kerja yang memiliki ketrampilan serta pendidikan yang rendah
untuk bekerja. Karena kemudahan dalam memasuki sektor informal
tersebut, lapangan kerja dalam sektor informal lebih mudah berkembang
dari pada sektor formal. Pekerjaan dalam sektor informal antara lain
36
seperti pedagang kaki lima, pelacuran, penjual koran, penyemir sepatu,
pengemis, penjaja barang, supir becak dan sebagainya.
I.F Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Baik variabel baris maupun variabel kolom dalam proses analisis
dalam membaca tabel, disini keduanya bersifat independent.
1.
Variabel: Kelompok umur
Definisi Operasional:
Pengertian umur yang digunakan sesuai dengan pengertian dari BPS, yaitu
sama dengan umur pada waktu ulang tahun yang terakhir (Sensus
Penduduk, 2010). Umur dihitung dalam tahun. Umur yang dianalisis
merupakan umur penduduk yang berusia 15 tahun ke atas karena pada usia
tersebut seseorang dapat digolongkan sebagai penduduk usia kerja.
Kelompok umur merupakan pengelompokan umur dari penduduk yang
berusia lebih dari 15 tahun yaitu 15-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-39, 40-44,
45-49, 50-54, 55-59, dan 65+
2.
Variabel: Jenis kelamin
Definisi Operasional:
Jenis kelamin di sini merupakan jenis kelamin responden berdasarkan
KTP, jenis kelamin terbagi menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan.
3.
Variabel: Daerah tempat tinggal
Definisi Operasional:
Daerah tempat tinggal disini merujuk pada lokasi tempat tinggal
responden yaitu di desa perkotaan (urban) atau desa pedesaan (rural).
37
Sesuai dengan pengertian yang digunakan oleh BPS, daerah perkotaan
merupakan
wilayah
administrative
setingkat
desa/kelurahan
yang
memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase
rumah tangga pertanian, dan aksesibilitas sejumlah fasilitas perkotaan,
seperti jalan raya, sarana pendidikan formal, sarana pendidikan umum, dan
sebagainya yang mudah ditinjau dari segi jarak (Sensus Penduduk, 2010).
Sementara daerah pedesaan merupakan suatu wilayah administrative
setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi persyaratan tertentu
dalam hal kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian, dan
aksesibilitas sejumlah fasilitas perkotaan seperti jalan raya, sarana
pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya yang relatif
sulit dijangkau dari segi jarak (Sensus Penduduk, 2010).
4. Variabel: Pendidikan tertinggi pengangguran terbuka
Definisi Operasional:
Pendidikan tertinggi merupakan tingkat pendidikan yang ditamatkan
berdasarkan ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki responden (Sensus
Penduduk, 2010). Pendidikan tertinggi dalam penelitian ini di bagi
menjadi dua yaitu SMP ke bawah dan SMA ke atas. Hal ini dilakukan
untuk mempermudah dalam melihat karakteristik pengangguran terdidik
(SMA ke atas). pendidikan tertinggi pengangguran terbuka merupakan
pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh pengangguran terbuka,
pengangguran terbuka disini merujuk pada pengertian pengangguran
terbuka sesuai dengan definisi dari BPS.
38
I.G Metode Penelitian
1 Metode dan Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian kuantitatif.
Penelitian kuantitatif menggunakan data berupa angka atau jumlah dengan
berbagai klasifikasi antara lain frekuensi, nilai rata-rata, penyimpangan dari
nilai baku, presentase, nilai maksimum dan lain-lain (Nawawi, 1998: 32).
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan data berupa angkaangka antara lain meliputi frekuensi pengangguran terbuka berdasarkan jenis
kelamin, daerah tempat tinggal, kelompok umur dan pendidikan terakhir yang
ditamatkan, persentase penduduk usia kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja, Tingkat Kesempatan Kerja, Tingkat Pengangguran Terbuka dan
presentase pengangguran terbuka.
Jenis penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian adalah
analisa data sekunder. Analisa data sekunder ini menggunakan data yang
sudah tersedia dari hasil survai yang dilakukan oleh BPS yaitu SAKERNAS.
Hasil survai oleh BPS ini merupakan data mentah yang belum dianalisis lebih
mendalam, oleh karena itu dilakukan pengolahan serta analisis secara lebih
mendalam supaya dapat menghasilkan sesuatu yang lebih berguna. Menurut
Masri Singarimbun (Singarimbun dan Effendi, 2008: 12) keuntungan dalam
menggunakan data yang telah tersedia adalah peneliti tidak perlu terlibat lagi
dalam mengusahakan dana dalam penelitian lapangan, merekrut dan melatih
pewawancara, menentukan sampel, dan mengumpulkan data di lapangan yang
banyak memakan energy dan waktu.
39
2. Sampel Penelitian
Pengambilan sampel oleh BPS dalam SAKERNAS tahun 2007-2011
dilakukan di DIY dengan jumlah sampel pengangguran terbuka pada tahun
2007 sebanyak 115.200 orang, tahun 2008 sebanyak 107.529 orang, tahun
2009 sebanyak 121.046 orang, tahun 2010 sebanyak 107.148 orang dan tahun
2011 sebanyak 74.317 orang. Data yang digunakan merupakan data semester
II yaitu bulan Agustus karena memiliki jumlah sampel yang lebih banyak dari
pada semester I atau bulan Februari (BPS, SAKERNAS, 2007-2011)
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder
dari data yang kita butuhkan (Singarimbun dan Effendi, 2008: 122). Pada
penelitian ini data sekunder diperoleh dari sumber kedua yaitu Biro Pusat
Statistika dengan menggunakan raw data SAKERNAS.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai
dengan metode yang digunakan oleh BPS yaitu melalui Survai Angkatan
Kerja Nasional (SAKERNAS) yang merupakan survai yang khusus untuk
mengumpulkan data mengenai ketenagakerjaan. Pengumpulan data oleh BPS
dilakukan di seluruh wilayah kabupaten dan kota di Daerah Istimewa
Yogyakarta yaitu Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul dan Kota
Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan oleh Sub Direktorat Statistik
Ketenagakerjaan BPS melalui wawancara secara langsung antara pencacah
dengan responden. Keterangan pokok yang dikumpulkan oleh BPS meliputi
40
identitas anggota rumah tangga seperti nama, hubungan dengan kepala rumah
tangga, jenis kelamin, umur, status perkawinan dan pendidikan tertinggi yang
ditamatkan, kegiatan seminggu yang lalu, punya pekerjaan tapi sedang tidak
bekerja, mencari pekerjaan/ mempersiapkan usaha, sekolah, mengurus rumah
tangga dan lainnya. Sementara keterangan bagi mereka yang mencari
pekerjaan/ mempersiapkan usaha meliputi alasan mencari pekerjaan/
mempersiapkan usaha, upaya yang dilakukan, lama mencari kerja dan jenis
pekerjaan yang dicari seperti pekerjaan purna waktu atau paruh waktu (BPS,
SAKERNAS, 2007-2011).
5. Analisis Data
Analisis data merupakan proses manipulasi data hasil penelitian
sehingga data tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian (Purwanto dan
Sulistyastuti, 2011: 93). Proses manipulasi data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah dengan cara menyederhanakan data ke dalam bentuk
yang mudah di baca dan diinterpretasikan.
Tahap pengolahan dan analisis data yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Mengedit data. Pada tahap editing ini data yang telah diperoleh di periksa
kembali dengan tujuan untuk meminimalisir kesalahan yang mungkin
terjadi. Kegiatan pada tahap editing meliputi kelengkapan data, kejelasan
tulisan, dan kejelasan makna.
b. Melakukan pengecekan data untuk memperoleh akurasi yang meliputi
pengecekan data missing, relevansi data dengan tujuan penelitian serta
seberapa mampu data tersebut menjawab pertanyaan penelitian.
41
c. Melakukan transformasi data
d. Mengolah data dengan program statistic seperti EXCEL dan SPSS
Tingkat
partisipasi
angkatan
kerja
(TPAK)
diperoleh
dari
perbandingan antara banyaknya angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia
kerja. Tingkat Kesempatan Kerja diperoleh dari perbandingan antara
banyaknya penduduk yang bekerja dengan jumlah angkatan kerja, sementara
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) diperoleh dari perbandingan antara
banyaknya pengangguran terbuka dengan jumlah angkatan kerja.
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis crosstab atau
tabulasi silang, crosstab berfungsi untuk menampilkan tabulasi silang antara
kolom dengan baris. Data disajikan dalam bentuk grafik maupun tabel yang
menggunakan crosstab supaya mampu mempermudah proses analisis data.
42
Download