BAB I PENDAHULUAN I.A Latar Belakang Masalah Ada empat asset yang mendukung proses pembangunan yaitu modal fisik, modal manusia, teknologi dan modal sosial. Namun, diantara keempat asset tersebut modal manusia atau sumber daya manusia merupakan unsur yang paling utama dalam mendukung proses pembangunan terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini bisa dilihat, meskipun negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, namun karena kualitas sumber daya manusianya masih rendah menyebabkan potensi alam yang ada tidak dapat dikelola secara tepat justru banyak sumber daya alam di Indonesia yang kemudian dijual kepada pihak asing karena kurangnya sumber daya manusia berkualitas yang dapat mengelola potensi besar yang dimiliki bangsa Indonesia. Seperti kasus yang terjadi pada pasir besi di Kulon Progo, tambang emas di Papua, hutan yang ada di Kalimantan, sumber mata air di Klaten, migas dan lain-lain banyak yang kemudian dijual dengan murah tanpa memikirkan dampak keberlanjutannya. Namun berbeda dengan Korea, meskipun secara kuantitas jumlah penduduk Korea tidak sebanyak di Indonesia dan kekayaan alam yang dimiliki tidak sebanyak di Indonesia, namun karena banyaknya jumlah sumber daya manusia yang berkualitas negara ini mampu menjadi salah satu negara maju di dunia. Hal ini bisa dilihat pada tahun 2010 Korea mampu menempati ranking ke-12 sementara Indonesia ada pada ranking ke-108, dalam Human Development Index (Bhirawa, http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/03/14/kualitas-sdm-indonesia-didunia/, akses 12 Oktober 2012). Secara kuantitas sumber daya manusia merupakan jumlah penduduk yang ada pada suatu wilayah yang meliputi penyebaran, komposisi menurut jenis kelamin dan status ketenagakerjaan (Effendi, 1995: 3). Jumlah penduduk DIY pada tahun 2011 sebanyak 3.457.491 jiwa yang terdiri dari 1.709.038 jiwa laki-laki dan 1.748.453 jiwa perempuan dengan kepadatan penduduk sebesar 1.085 jiwa/Km² (BPS, www.yogyakarta.bps.go.id, akses 7 Februari 2013). Provinsi yang kecil dengan jumlah penduduk yang besar tersebut seharusnya bisa menguntungkan bagi pembangunan di DIY. Karena dengan jumlah penduduk yang besar akan menyebabkan banyaknya penduduk usia kerja, semakin banyaknya penduduk usia kerja maka semakin besar pula jumlah angkatan kerja yang ada (Mulyadi, 2003: 62). Banyaknya jumlah angkatan kerja di DIY bisa menjadi potensi pembangunan apabila banyak penduduk yang bekerja secara penuh. Dengan mereka bekerja secara penuh secara otomatis akan meningkatkan tingkat produktivitas sehingga akan meningkat pula tingkat perekonomian penduduk DIY sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di DIY. Namun, jumlah sumber daya manusia yang begitu besar tersebut bisa menjadi beban bagi pembangunan di DIY apabila kualitas sumber daya manusia rendah. Menurut pendekatan mutu modal manusia, sumber daya yang tidak berkualitas selain tidak menghasilkan output juga dapat memakan hasil dari produksi orang lain (Effendi, 1995: 6), sehingga tentu hal ini menjadi penghambat bagi pembangunan. Hanyalah 1 sumber daya manusia yang berkualitas saja-lah yang mampu meningkatkan pembangunan di DIY. Secara kualitas pengertian sumber daya manusia merupakan mutu kehidupan manusia, baik secara fisik maupun secara mental, intelektual, pendidikan dan moral. Kualitas sendiri menyangkut kesehatan, lingkungan hidup, gizi/nutrisi, pendidikan/latihan, etika dan moral (Effendi, catatan PPSDM, 2011). Kualitas sumber daya manusia bisa dicapai dengan cara pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia sendiri, tidak hanya sekedar meningkatkan kemampuan manusia melalui pemberian pengetahuan maupun ketrampilan, namun juga menyangkut pemanfaatan kemampuan manusia tersebut, manusia harus ikut dilibatkan secara aktif dalam pembangunan melalui partisipasi manusia dalam bekerja. Artinya pengembangan sumber daya manusia belum bisa dikatakan sukses apabila hanya sekedar meningkatkan kemampuan manusia baik melalui pendidikan formal maupun informal namun setelah itu mereka tidak dimanfaatkan secara penuh atau menganggur, baik pengangguran terbuka maupun setengah pengangguran. Sumber daya manusia yang berkualitas, mampu bekerja secara lebih produktif, efektif dan efisien. Tenaga kerja yang produktif akan memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dan memiliki kemampuan berproduksi yang lebih tinggi. Tingkat pendapatan yang tinggi selanjutnya akan meningkatkan daya beli serta kemampuan untuk menabung. Dengan menabung maka akumulasi modal yang digunakan untuk investasi akan meningkat pula, dengan investasi fisik yang meningkat selanjutnya akan meningkatkan 2 kesempatan kerja. Dengan tingginya investasi fisik makan penggunaan teknologi dalam proses produksi akan meningkat pula sehingga mampu meningkatkan produktivitas dalam proses produksi. Hal ini selanjutnya akan mendorong peningkatan penghasilan masyarakat. Menurut Alex Inkeles dan David H. Smith pendidikan merupakan faktor yang paling efektif dalam membentuk manusia modern (Budiman, 1996: 34). Manusia modern dibutuhkan dalam meningkatkan pembangunan ekonomi karena dengan adanya manusia modern ini berbagai komponen yang dibutuhkan dalam proses pembangunan dapat diubah menjadi sesuatu yang bernilai lebih sehingga mampu meningkatkan pendapatan. Banyak negara berkembang selama ini lebih banyak menggunakan strategi peningkatan pendidikan dalam pembangunan. Dengan pendidikan, selain menambah pengetahuan manusia akan lebih terbuka dengan teknologi maupun ide-ide baru, memiliki kemampuan merencanakan, serta tidak lagi tergantung dengan alam namun dapat menguasai alam dengan pengetahuannya tersebut. Kreativitas yang dimiliki manusia terdidik atau yang disebut Inkeles dan Smith sebagai manusia modern pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Dengan produktivitas yang meningkat maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain akan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan penduduk. Banyak studi yang telah membuktikan hal ini salah satunya adalah studi John Kendrick, bahwa pada tahun 1919-1957 pendapatan nasional AS bertambah 3,2 persen setahun padahal modal dan tenaga kerja hanya bertambah 1,1 persen setahun. Pertumbuhan pendapatan nasional tersebut dikarenakan meningkatnya produktivitas kerja masyarakat di Amerika 3 sendiri akibat adanya perbaikan dalam bidang pendidikan, gizi, kesehatan, teknologi dan peningkatan kualitas buruh (Priyono, Hasan, dan Hadisumarto, 1982: 11). Hampir sama seperti apa yang dikemukakan oleh Gary S. Becker, bahwa ada hubungan positif antara pendidikan dengan penghasilan. Semakin orang berpendidikan produktivitasnya, tinggi dengan maka akan produktivitas semakin yang meningkat meningkat maka pula akan meningkatkan penghasilan seumur hidup yang diperoleh (Tirtosudarmo, 1996: 6). Meningkatnya kualitas hidup manusia dikarenakan meningkatnya pendidikan tersebut membuat banyak angkatan kerja kemudian meningkatkan tingkat pendidikannya. Pentingnya melakukan investasi sumber daya manusia bagi perkembangan ekonomi membuat Pemerintah DIY menyadari pentingnya meningkatkan pendidikan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menjadi visi pembangunan jangka menengah DIY yaitu “Pemerintah Daerah yang katalistik dan masyarakat mandiri yang berbasis keunggulan daerah dan sumberdaya manusia yang berkualitas unggul dan beretika” Pemerintah DIY menggunakan cara “Mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas, profesional, humanis dan beretika dalam mendukung terwujudnya budaya yang adiluhung” dalam salah satu misinya. Dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pemerintah mengadakan beberapa program antara lain program pendidikan anak usia dini, program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, program pendidikan menengah, pendidikan non formal, pendidikan luar biasa, peningkatan mutu 4 pendidikan dan program pendidikan tinggi (ILLD Pemprov DIY 2010, Kedaulatan Rakyat, 9 Mei 2011). Banyaknya program pendidikan yang digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut tampaknya mampu menurunkan tingkat partisipasi angkatan kerja bagi kelompok berpendidikan SMP ke bawah (tidak/belum sekolah, tidak/belum tamat SD, SD, dan SMP), serta meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja lulusan SMA ke atas (SMA, Akademi/DI-DIII dan DIV/Universitas). Adanya peningkatan angkatan kerja terdidik (SMA ke atas) tersebut menunjukkan bahwa kualitas angkatan kerja telah mengalami peningkatan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini. Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di DIY Menurut Pendidikan Tertinggi, Tahun 2007-2011 Pendidikan Tertinggi Tahun SMP ke Bawah SMA ke Atas 2007 69.2 67.5 2008 69.3 72.4 2009 68.4 72.7 2010 67.9 72.5 2011 62.9 76.3 5 Grafik Tabel 1 Sumber : Raw Data Sakernas 2007-2011 Meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja berpendidikan SMA ke atas (terdidik) seharusnya mampu menciptakan angkatan kerja yang lebih kreatif dan inovatif untuk dapat menciptakan lapangan kerja baru maupun seharusnya bisa lebih profesional dalam bekerja sehingga produktivitas kerja meningkat, dimana produktivitas kerja yang meningkat dapat meningkatkan penghasilan masyarakat, dengan penghasilan yang meningkat maka akan tercukupinya kebutuhan gizi serta meningkatkan tabungan maupun investasi fisik. Sehingga mendorong terciptanya lapangan kerja baru di DIY. Namun pada kenyataannya angkatan kerja dari golongan terdidik di DIY memiliki kecenderungan hanya sekedar menjadi pencari kerja bukan pencipta lapangan kerja. Menjadi pencari kerja identik dengan menjadi pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka sendiri merupakan mereka yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan maupun yang 6 sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (BPS, SAKERNAS, 2011). Pendidikan yang mereka dapatkan cenderung mencetak sumber daya manusia yang “siap tahu” untuk selanjutnya di latih kerja, bukan untuk “siap kerja”. Bagi para pencari kerja dari keluarga dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, biasanya mereka cenderung tidak mau lama-lama menjadi pencari kerja karena tuntutan ekonomi keluarga. Namun bagi para pencari kerja dari keluarga yang tercukupi mereka masih bisa menunggu untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka, biasanya di sektor formal. Hal ini menyebabkan jumlah pengangguran terbuka semakin bertambah. Jumlah pengangguran terbuka lulusan SMA ke atas cenderung selalu tinggi, jauh berbeda jika dibandingkan dengan angkatan kerja yang berpendidikan SMP ke bawah. Jika dilihat dari tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan, terdapat trend bahwa selama tahun 2007 hingga 2011, pengangguran terbuka berpendidikan SMA ke atas justru lebih tinggi di banding dengan pengangguran terbuka dari kelompok SMP ke bawah. Padahal jika dilihat dari tingkat pendidikannya, seharusnya lulusan SMA ke atas seharusnya lebih memiliki ketrampilan dalam bekerja dan lebih siap kerja. 7 Tabel 2 Tingkat Pengangguran Terbuka di DIY Menurut Pendidikan Tertinggi, Tahun 2007-2011 Pendidikan Tertinggi Tahun SMP ke Bawah SMA ke Atas 2007 2.5 12.2 2008 2.1 10.3 2009 2.8 10.1 2010 2.1 10.6 2011 1.8 6.2 Grafik Tabel 2 Sumber : Raw Data Sakernas 2007-2011 Dampak dari adanya pengangguran, maka penganggur akan memakan hasil dari produktivitas orang lain, sehingga tingkat pendapatan menjadi rendah. Pengangguran dapat menjadi penghambat pengembangan sumber 8 daya manusia lainnya, karena pemenuhan kebutuhan primer menjadi berkurang seperti dalam hal pemenuhan kebutuhan untuk makan, pakaian, kesehatan, dan perumahan. Rendahnya pemenuhan gizi dan kesehatan selanjutnya dapat membuat rendahnya tingkat produktivitas kerja seseorang. Produktivitas kerja yang rendah selanjutnya akan menjadikan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara menjadi terhambat. Dampak lain pengangguran terhadap perekonomian yaitu pengangguran menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan pendapatan nasional yang dapat dicapai pada pendapatan nasional potensial serta menyebabkan pendapatan pemerintah melalui pajak menjadi berkurang. Sementara dampak pengangguran terhadap individu dan masyarakat yaitu pengangguran dapat menyebabkan masyarakat kehilangan pendapatan, mata pencaharian, ketrampilan, menimbulkan ketidakstabilan politik, serta dapat menimbulkan penyakit sosial di masyarakat (Sumarsono, 2009: 260). Mereka yang lama tidak tersalurkan dalam lapangan kerja, memungkinkan lebih beresiko mengalami frustasi dari pada mereka yang bekerja karena mereka meski telah menjalani pendidikan tinggi yang tidak murah tetapi mereka masih saja sulit untuk mendapatkan pekerjaan, selain itu mereka yang menganggur akan merasa lebih tidak bermanfaat bagi masyarakat. Sehingga tidak jarang munculnya kejahatan dari mereka yang menganggur ketika mereka berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan uang. Mereka yang menganggur juga lebih rawan untuk masuk ke dalam sektor informal tidak sah seperti kegiatan perdagangan gelap, rentenir, pelacuran, pencopet dan sebagainya. Banyaknya pencari kerja sementara 9 jumlah lapangan kerja yang ada terbatas seringkali menjadikan majikan menaikkan prasyarat yang tinggi terhadap para pelamar kerja. Banyaknya pencari kerja berpendidikan tinggi yang tidak tertampung, seringkali menjadikan mereka terpaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan mereka atau yang biasanya dikerjakan oleh mereka yang berpendidikan rendah. Melihat tren tingkat pengangguran terbuka selama beberapa tahun terakhir yang cenderung lebih tinggi pada pengangguran terdidik di bandingkan pengangguran lulusan SMP ke bawah. Peneliti menjadi tertarik untuk menganalisis pengangguran terbuka terdidik tersebut, dimana seharusnya angkatan kerja terdidik ini memiliki kualitas yang lebih dari pada mereka yang memiliki tingkat pendidikan di bawahnya. Sehingga dengan kualitas yang lebih tersebut seharusnya mereka dapat lebih kreatif untuk menciptakan lapangan kerja bagi angkatan kerja yang lainnya serta seharusnya dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mereka seharusnya lebih diterima dalam lapangan pekerjaan karena semakin berpendidikan maka seharusnya tingkat produktivitasnya juga semakin tinggi sehingga mampu meningkatkan tingkat perekonomian. I.B Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan di atas, maka peneliti mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana trend pengangguran terbuka terdidik? 2. Faktor apa yang mempengaruhi trend pengangguran terbuka terdidik? 10 I.C Tujuan Penelitian 1. Mengetahui trend pengangguran terbuka terdidik di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi adanya trend pengangguran terbuka terdidik di Daerah Istimewa Yogyakarta I.D Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis: a. Penelitian mengenai tren pengangguran terbuka terdidik diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan mengenai pengembangan SDM khususnya yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. b. Mampu menjadi pedoman bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian tentang masalah ketenagakerjaan. 2. Manfaat Praktis: a. Bagi peneliti, penelitian tentang tren pengangguran terbuka terdidik merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosiologi serta merupakan salah satu cara dalam pengembangan ilmu pengetahuan. b. Bagi masyarakat khususnya angkatan kerja, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai masalah ketenagakerjaan di DIY sehingga menjadi pedoman dalam mencari kerja. 11 c. Bagi lembaga pendidikan, penelitian ini memberikan pengetahuan akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan yang mampu mencetak tenaga kerja kerja yang siap menciptakan lapangan kerja bukan sekedar menjadi pencari kerja. d. Bagi para pengambil kebijakan khususnya Pemerintah Provinsi DIY, penelitian ini diharapkan bisa menjadi pedoman untuk merumuskan kebijakan dalam menangani masalah ketenagakerjaan I.E Teoritisasi dan Konseptualisasi I.E.1 Teoritisasi I.E.1.a Teori Segmentasi Pasar Kerja (Segmented Labour Market) Sebagian perilaku pasar merupakan wujud deduksi logis beberapa asumsi tertentu, empat diantaranya ialah (Evers, dkk., 1993: ii-iii) : a. Secara konstan, individu memaksimalkan kepuasan mereka sebagai konsumen dan memaksimalkan keuntungan mereka sebagai produsen. b. Pasar berfungsi tanpa membeda-bedakan siapa yang masuk di dalamnya, siapapun bisa masuk dalam pasar baik untuk membeli maupun menjual barang maupun jasa. Sehingga, adanya daya saing manyebabkan harga yang sama diberlakukan di seluruh pasar untuk jenis barang maupun jasa. c. Permintaan dan suplai barang maupun jasa mementingkan fleksibilitas harga. d. Harga sangat luwes dan responsive terhadap perbedaan antara permintaan dan suplai sehingga dengan cepat dan tepat akan menyesuaikan pada tingkat keseimbangan. 12 Berdasarkan hal tersebut, faktor yang mempengaruhi upah serta berbagai jenis pekerjaan akan terpisah menjadi dua kelompok yang berbeda. Titik sentralnya adalah adanya mobilitas tenaga kerja pada pasar tenaga kerja yaitu perubahan SDM baik masuk maupun keluar dari angkatan kerja, pergeseran diantara perusahaan-perusahaan lapangan kerja maupun tempat geografis lainnya. Ketidak samarataan yang berkepanjangan dalam persaingan pasar kerja menyebabkan berkembangnya segmentasi pasar kerja. Dalam teori segmentasi pasar kerja dijelaskan bahwa pasar kerja memiliki struktur rangkap yang terbagi menjadi dua sektor (Evers, dkk., 1993: ii-iii) yaitu jenis pekerjaan yang mendapatkan nilai lebih serta upah lebih (primary labour market) dan sektor yang memberikan upah rendah, kondisi kerja yang memprihatinkan, kurangnya keamanan kerja serta rendahnya status (secondary labour market). Perbedaan karekteristik antara pasar kerja primer dan sekunder adalah sebagai berikut: Primary Labour Market Secondary Labor Market • Skala perusahaan besar • Skala perusahaan kecil • Manajemen perusahaan baik • Manajemen perusahaan kecil • Pegawai/karyawan • Tingkat umumnya memiliki tingkat pendidikan dan • pendidikan dan ketrampilan yang rendah ketrampilan yang tinggi • Produktivitas kerja rendah Produktivitas kerja karyawannya • Upah rendah 13 tinggi • Jaminan sosial kurang baik • Upah tinggi • Lingkungan • Jaminan sosial yang baik • Lingkungan pekerjaan karyawan • Disiplin karyawan rendah menyenangkan • Tingkat absensi tinggi • Disiplin kerja pegawai tinggi • Karyawan • Tingkat absensi rendah • Jumlah perpindahan pekerjaan yang kurang menyenangkan sering berpindah- pindah pekerjaan pegawai biasanya kecil Sumber : Sumarsono, 2009: 15 Jika dilihat dari tenaga kerjanya, pasar kerja tidak homogen namun heterogen, sehingga terdapat pasar kerja yang terpisah (segmented labour market) yaitu pasar tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik (Sumarsono, 2009: 15), perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: Pasar Tenaga Kerja Terdidik Pasar Tenaga Kerja Tidak Terdidik • Produktivitas kerja tinggi • Produktivitas kerjanya rendah • Penghasilan karyawan tinggi • Penghasilan karyawan rendah • Tiap lowongan pekerjaan selalu • Lowongan pekerjaan tidak perlu dikaitkan dikaitkan • dengan persyaratan dengan persyaratan pendidikan bagi calon yang akan pendidikan bagi calon yang akan mengisinya mengisinya Penyediaan tenaga kerja harus • Penyediaan tenaga kerja tidak harus 14 • melalui sistem sekolah yang lama melalui Tingkat partisipasi tenaga kerja elastisitas tenaga kerja besar • terdidik lebih tinggi • • • sistem sekolah dan Tingkat partisipasi kerjanya rendah Tenaga kerjanya biasanya berasal • Tenaga kerjanya biasanya berasal dari keluarga yang relatif mampu dari keluarga tidak mampu Proses pengisian lowongan kerja • Proses pengisian lowongan kerja untuk tenaga terdidik dibutuhkan dapat dilakukan dengan cepat waktu yang relatif lama dalam • Lamanya seleksi kalangan tenaga kerja tidak terdidik Lamanya pengangguran di kalangan relatif pendek. pengangguran dari tenaga terdidik biasanya relatif lama Sumber: Sumarsono, 2009: 15-16 Menurut teori ini, kelompok dan institusi sosial merupakan inti segmentasi pasar tenaga kerja. Proses penetapan harga maupun alokasinya merupakan proses sosial. Struktur yang membedakan baik mereka yang mendapatkan upah tinggi maupun rendah ataupun menjadi pimpinan bagi angkatan kerja yang lainnya dengan melengkapinya dengan pendidikan serta latihan merupakan proses sosial. Menurut Edwards, Reich dan Gordon (seperti dikutip Evers, dkk., 1993: 3) segmentasi akan timbul apabila pasar tenaga kerja terbagi dalam sub pasar atau sub proses atau bagian-bagian yang dibedakan oleh karakteristik atau perilaku serta kondisi kerja yang saling terpisah satu sama lainnya. Segmentasi akan timbul apabila individu tidak bisa secara bebas memilih lapangan kerja yang menjadi keinginan mereka. 15 Akibat dari adanya segmentasi jabatan yaitu 1.) orang cenderung terkotak-kotak atau terpencil pada jenis pekerjaan tertentu, yang menjadikan timbulnya hambatan penempatan tenaga kerja dan ketidak bebasan dalam menentukan pilihan, 2.) tidak mungkin adanya “jarak ruang pasar” atau jarak tersebut menjadi semakin sulit. I.E.1.b Teori Pilihan Rasional Aktor merupakan fokus dari teori pilihan rasional, aktor selalu memiliki tujuan atau maksud tertentu. Aktor juga memiliki preferensi (nilai, kepuasan). Tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan secara konsisten dengan preferensi aktor. Namun terdapat dua hambatan dalam melakukan tindakan yaitu kelangkaan sumber daya dan istitusi sosial. Aktor memiliki sumber daya yang berbeda-beda, bagi aktor yang memiliki banyak sumber daya tujuannya akan mudah tercapai. Sebaliknya, bagi aktor yang memiliki sedikit sumber daya tujuannya akan sulit tercapai atau bahkan tidak mungkin tercapai. Menurut Friedman dan Hechter (seperti dikutip Ritzer dan Goodman, 2010: 449) kelangkaan sumber daya berkaitan dengan biaya kesempatan. Aktor harus memperhatikan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan tindakan dalam mencapai tujuannya. Apabila sumber daya yang dimiliki tidak dapat digunakan untuk mencapai tujuannya, aktor dapat memilih untuk tidak mengejar tujuannya yang paling bernilai. Aktor selalu berusaha memaksimalkan keuntungan mereka. Hambatan lainnya dalam mencapai tujuan adalah institusi sosial, menurut Friedman dan Hechter, umumnya individu akan 16 menganggap tindakan-tindakan sejak lahir sampai mati dikendalikan oleh aturan keluarga dan sekolah, hukum, dan ordinasi, kebijakan perusahaan, gereja, sinagog dan mesjid, dan rumah sakit serta pemakaman. Dengan membatasi kelayakan tindakan yang dapat dilakukan individu, aturan-aturan permainan yang dapat diterapkantermasuk norma, hukum, agenda, dan aturan memilih-secara sistematis memengaruhi produk sosial. Friedman dan Hechter (seperti dikutip dalam Ritzer dan Goodman, 2010: 449) Hambatan-hambatan institusional ini mampu mendorong tindakan dan mencegah tindakan lain. Menurut Friedman dan Hechter (seperti dikutip Ritzer dan Goodman, 2010: 449) ada dua gagasan yang menjadi dasar teori pilihan rasional yaitu mekanisme agresi atau proses ketika tindakan dikombinasikan untuk menghasilkan dampak sosial, dan arti penting informasi dalam menetapkan pilihan rasional. Menurut Heckathorn (seperti dikutip Ritzer dan Goodman, 2010: 449) kuantitas dan kualitas informasi memberikan dampak besar bagi pilihan actor. I.E.1.c Teori Nurture Menurut teori nurture perbedaan psikologis antara wanita dengan lakilaki tercipta melalui proses belajar dari lingkungan (Budiman, 1985: 2). Patriarkhi menganggap laki-laki lebih rasional, maskulin dan public, sementara wanita dianggap lebih pasif, submisif, feminine, domestik dan emosional. Menurut John Stuard Mill (seperti dikutip Budiman, 1985: 4) sifat kewanitaan merupakan hasil pemupukan masyarakat melalui sistem pendidikan. Menurutnya usaha pembagian golongan wanita dan laki-laki serta perbedaan dua golongan ini dalam peranan sosial mereka merupakan tindakan politik yang terencana.Wanita dalam pembagian kerja secara seksual dianggap lebih buruk dari budak, karena mereka harus mau menjadi budak sukarela. 17 Wanita tidak boleh memiliki keinginannya sendiri, harus mampu mengendalikan diri, penurut, sudi dikendalikan orang lain, wanita jugaselalu diajarkan bahwa kewajiban dan hakekat mereka adalah menyerahkan kehidupan mereka untuk orang lain (Budiman, 1985: 5) Kodrat merupakan sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat dirubah. Menurut John Stuart Mill (seperti dikutip Budiman, 1985: 5) kodrat wanita merupakan hasil buatan, hasil dari kombinasi tekanan dan paksaan di satu pihak dan rangsangan yang tidak wajar dan menyesatkan di pihak lain. Identitas, dikotomi dan kodrat sebenarnya hanyalah konstruksi buatan manusia, ini merupakan hasil proses hegemodi budaya patriarkhi yang dilanggengkan oleh piranti sosial politik (Sumbulah, 2008: xxxiii). Konstruksi ini selama ini mampu bertahan menyelubungi cara berfikir masyarakat. Pembagian kerja secara seksual seringkali dilihat berdasarkan gender, kegiatan ekonomis terklarifikasi berdasarkan jenis kelamin, ada peran maskulin dan ada peran feminism. Memasak dianggap pekerjaan wanita, sementara berburu merupakan tugas laki-laki. Gender tidak hanya berbeda antar budaya namun juga dari waktu ke waktu. Seiring dengan berjalannya waktu peranan laki-laki dan wanita tidak hanya ditentukan oleh kebudayaan tapi juga ideology yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi (Sumbulah, 2008: xxxvi). 18 I.E.2 Konseptualisasi I.E.2.a Angkatan Kerja Angkatan kerja merupakan bagian dari tenaga kerja yang mau bekerja memproduksi barang maupun jasa (Sumarsono, 2009: 248), menurut BPS angkatan kerja merupakan penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran (BPS, SAKERNAS, 2011). Jadi, penduduk usia kerja baik yang bekerja maupun tidak bekerja namun mau dan mampu untuk bekerja dapat digolongkan sebagai angkatan kerja. Seseorang dapat keluar dari angkatan kerja atau bukan termasuk angkatan kerja jika pensiun, cacat, tidak bekerja lagi karena suatu alasan, sekolah, serta mengurus rumah tangga. Sebaliknya, jika seseorang sudah tamat sekolah dan berniat memasuki dunia kerja, seorang ibu rumah tangga karena alasan ekonomi kemudian mencari pekerjaan atau seseorang yang sembuh dari cacat kemudian bersedia bekerja, mereka dapat di sebut sebagai angkatan kerja. Namun, seorang anak di bawah 15 tahun yang sudah bekerja membantu orang tua mencari nafkah tidak di golongkan sebagai angkatan kerja meski ia telah bekerja, karena bukan termasuk penduduk usia kerja. Dalam bagan angkatan kerja. Angkatan kerja ini terdiri dalam kelompok bekerja dan mencari kerja/menganggur. Kelompok bekerja di bagi menjadi dua yang terdiri dari bekerja penuh dan setengah menganggur. Untuk lebih memperjelas konsep ketenagakerjaan, berikut ini akan disajikan diagram mengenai angkatan kerja 19 Gambar 1 Konsep Angkatan Kerja Sumber : BPS, SAKERNAS 2011 I.E.2.a.1) Bekerja Bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang bertujuan memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu, termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi (BPS, SAKERNAS, 2011). Dengan demikian, seorang anak dalam usia lebih dari 15 tahun yang bekerja membantu orang tua di sawah atau berternak di rumah seminggu yang lalu meski 1 jam dan tidak di bayar, termasuk bekerja. Hal ini dikarenakan seseorang tersebut mampu memberikan jasa atau melakukan kegiatan yang memiliki nilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kegiatan bekerja terbagi menjadi dua, yaitu bekerja penuh dan setengah pengangguran. Bekerja penuh merupakan orang yang memanfaatkan jam kerja secara penuh dalam pekerjaanya, antara 8-10 jam per hari (Sumarsono, 2009: 249). 20 Pekerja penuh biasanya adalah pekerja dalam perusahaan swasta atau instansi pemerintah seperti PNS, manager, dokter dan sebagainya. Sementara menurut BPS setengah pengangguran merupakan mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal yaitu kurang dari 35 jam seminggu (BPS, SAKERNAS, 2011), seperti pekerja part time dalam sector informal, petani yang bekerja jika musim panen tiba, buruh bangunan yang bekerja apabila ada yang membutuhkan jasanya, nelayan yang bekerja pada saat-saat musim tertentu saja dan kembali berhenti jika musim paceklik dan sebagainya. Setengah pengangguran terdiri dari: 1) Setengah pengangguran terpaksa, yaitu mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal dan masih mencari atau bersedia menerima pekerjaan lain. Hal ini biasanya dikarenakan upah yang rendah karena jam kerjanya kurang seperti petani yang bersedia menjadi buruh jika bukan masa panen. 2) Setengah pengangguran sukarela, yaitu mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal, tapi tidak mencari atau bersedia menerima pekerjaan lain. Hal ini bisa dikarenakan seseorang memiliki peran ganda yaitu sebagai ibu dan sebagai pekerja, sehingga tidak bersedia mencari pekerjaan lain, bisa pula dikarenakan seseorang sudah merasa cukup dengan pendapatan yang diterima. Menurut Phillip Hansen, setengah pengangguran terjadi karena (Sumarsono, 2009: 254-256): 1) Kurangnya jam kerja, mereka yang bekerja tidak penuh waktu mencerminkan pengangguran tidak penuh. 21 2) Kekurangan pendapatan, seseorang yang memiliki kualitas yang di dapatkan dari pendidikan dan ketrampilan seharusnya bisa mendapatkan pendapatan yang normal sesuai kualitasnya, jika menerima pendapatan kurang dari yang seharusnya, berarti potensi kerjanya kurang termanfaatkan. 3) Ketidakcocokan antara pekerjaan dengan kualifikasi individual pekerja, sehingga sukar baginya untuk memberikan prestasinya secara penuh. I.E.2.a.2) Pengangguran/Pengangguran Terbuka Pengangguran menurut pendekatan labor utilization approach (penggunaan tenaga kerja) merupakan orang yang sama sekali tidak bekerja dan berusaha mencari pekerjaan (Sumarsono, 2009: 249). Penduduk yang sedang mencari pekerjaan ini biasanya juga disebut sebagai pengangguran terbuka. Menurut BPS, pengangguran terbuka meliputi (BPS, SAKERNAS 2011) : 1. Mereka yang mencari pekerjaan. 2. Mereka yang mempersiapkan usaha. 3. Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. 4. Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. Mereka yang mencari kerja merupakan angkatan kerja yang tidak bekerja ketika di survai dan dalam kondisi sedang mencari kerja baik kegiatan mencari pekerjaan tersebut dilakukan lebih dari seminggu yang lalu, namun pada saat seminggu sebelum pencacahan ia masih berniat mencari kerja. Namun bagi mereka yang sedang dibebas tugaskan tidak dapat digolongkan 22 sebagai pengangguran terbuka. Mempersiapkan usaha maksudnya kegiatan yang dilakukan untuk mempersiapkan usaha baru yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, dimana kegiatan mempersiapkan usaha tersebut dilakukan melalui tindakan nyata seperti pengumpulan modal, pengurusan ijin usaha dan sebagainya, tidak termasuk dalam hal ini merencanakan, berniat dan sebagainya. Mereka yang tidak mencari pekerjaan karena putus asa dalam mencari kerja, namun jika diberikan pekerjaan dan tetap bersedia untuk bekerja tetap digolongkan sebagai pengangguran meski tidak secara aktif mencari kerja. Begitu pula dengan seseorang yang sudah diterima kerja namun belum bekerja tetap digolongkan sebagai pengangguran karena seminggu yang lalu belum melakukan kegiatan yang memiliki nilai ekonomis. I.E.2.a.2).a) Bentuk-bentuk Pengangguran Ada enam bentuk pengangguran yang disebabkan karena ketidak sesuaian antara permintaan dan penyediaan dalam pasar kerja (Sumarsono, 2009: 251-253), bentuk-bentuk pengangguran tersebut yaitu: a) Pengangguran Friksional Pengangguran friksional terjadi karena kesulitan bertemunya pencari kerja dengan lowongan kerja yang tersedia. Hal ini dapat dikarenakan jarak yang jauh antara pencari kerja dengan lowongan yang tersedia, kurangnya informasi adanya lowongan kerja, lowongan kerja yang tersedia justru berada bukan disekitar pencari kerja, serta pengusaha tidak mengetahui dimana tersedianya tenaga kerja yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Pengangguran friksional ini banyak terjadi pada angkatan kerja lulusan PT khususnya di Jawa. Banyak angkatan kerja 23 lulusan PT yang terpaksa menganggur dengan menunggu hingga ada lowongan pekerjaan yang dirasa sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Hal ini karena banyaknya lowongan kerja yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka bukan berada di Jawa, melainkan di luar Jawa. b) Pengangguran Musiman Pengangguran ini disebabkan perubahan musim. Seringkali para petani menjadi pengangguran ketika bukan masa panen para nelayan seringkali menjadi pengangguran ketika musim paceklik tiba begitu pula pada saat tahun ajaran baru seringkali banyak lulusan berpendidikan yang menjadi pengangguran. Penganggur yang terjadi pada saat pergantian musim ini akan dapat kembali aktif bekerja lagi pada saat datangnya musim baru atau musim giat, dimana pada musim ini penganggur mulai giat bekerja kembali. c) Pengangguran Siklikal Seperti halnya gejala alam, seringkali ada siklus dimana banjir maupun gunung meletus akan kembali lagi baik dalam waktu lima tahunan maupun sepuluh tahunan. Gejala ekonomi pun mengalami hal yang serupa. Ada kalanya ekspansi kegiatan meningkat, kadang timbul kejenuhan dan penurunan kegiatan, kadang pula adanya kenaikan intensif kegiatan lagi. Siklus seperti ini sering kali terjadi baik dua tahunan, lima tahunan, sepuluh tahunan dan sebagainya. Ketika masa ekspansi, permintaan tenaga kerja akan meningkat, hal ini menyebabkan berkurangnya pengangguran. Sebaliknya jika orang sudah kehilangan 24 optimisme terhadap peluang kerja di masa mendatang sikap pesimisnya membawa pengaruh negative terhadap kesempatan kerja. d) Pengangguran Struktural Pengangguran struktural ialah pengangguran yang terjadi karena perubahan struktur perekonomian. Adanya perubahan struktur perekonomian menuntut perubahan ketrampilan tenaga kerja yang dibutuhkan. Banyaknya pihak pencari kerja yang tidak memiliki ketrampilan sesuai dengan yang dibutuhkan pihak pemberi lapangan kerja pada akhirnya akan menjadi pengangguran. Hal ini dikarenakan adanya dominasi sektor pemberi kesempatan kerja. Contohnya adalah perubahan dominasi sektor pemberi lapangan kerja dari sektor pertanian ke sektor industri yang banyak menuntut keahlian dan pendidikan tinggi bagi pencari kerja, sementara hal tersebut seringkali tidak dapat dipenuhi oleh tenaga kerja dari sektor pertanian sehingga timbullah pengangguran struktural. e) Pengangguran Teknologis Dalam bidang industri perubahan teknologi berkembang secara cepat, perubahan teknologi tersebut dapat membawa dapak negative bagi kesempatan kerja yaitu bertambahnya pengangguran. Misalnya perubahan alat transportasi dari becak atau andong menjadi mobil atau kereta, hal ini akan menyebabkan pengangguran apabila supir andong ataupun becak tidak dapat menguasai ketrampilan yang beru tersebut. 25 f) Pengangguran karena Kurangnya Permintaan Agregat. Merupakan pengangguran yang terjadi karena berkurangnya permintaan barang dan jasa, sehingga berkurang pula permintaan tenaga kerja. Kurangnya permintaan agregat ini bisa terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Dalam kondisi ini perlu diketahui berasal dari sektor mana apakah sektor pertanian, industri atau jasa. Selain itu perlu diketahui pula dari golongan berpandidikan rendah ataupun tinggi, kelompok umur, jenis kelamin maupun lokasinya di desa ataupun di kota. I.E.2.b Pengangguran Terbuka Terdidik I.E.2.b.1) Pengertian Pengangguran Terbuka Terdidik Menurut Sonny Sumarsono pengangguran (unemployment) adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif sedang mencari pekerjaan (Sumarsono, 2009: 259), sering pula istilah pengangguran ini disebut sebagai pengangguran penuh atau pengangguran terbuka hal tersebut karena orang tersebut sama sekali tidak bekerja. Sementara menurut BPS, seperti yang telah dijelaskan dalam konsep ketenagakerjaan sebelumnya, pengertian pengangguran terbuka terdiri dari mereka yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan dan yang sudah memiliki pekerjaan namun belum mulai bekerja. Konsep pengangguran terdidik menurut BPS mengacu pada kelompok pengangguran terbuka yang berpendidikan menengah/SMA-Sederajat dan berpendidikan tinggi/di atas SMA (Winarsih dan Nursahrizal, 2006: ix). Sementara menurut Elwin Tobing pengangguran terdidik merupakan angkatan 26 kerja berpendidikan menengah ke atas (SMA, Akademi, dan Universitas) dan tidak bekerja (Supratikno, Skripsi, 2011: 26). Dalam pengertian yang lebih khusus, pengangguran terdidik merupakan lulusan pendidikan yang belum memperoleh pekerjaan sebagaimana dijanjikan oleh status kredensial dari pendidikan yang dimiliki oleh pencari kerja (PP Kependudukan UGM, 1992). Penambahan istilah terbuka pada pengangguran terdidik menjadi pengangguran terbuka terdidik digunakan untuk memperjelas arti dari pengangguran terdidik. I.E.2.b.2) Penyebab Meningkatnya Pengangguran Terdidik Menurut analisis dari BPS penyebab meningkatnya pengangguran terdidik meliputi hal-hal sebagai berikut (Winarsih dan Nursahrizal, 2006: 6162) : 1) Ketidakcocokan antara karakteristik permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja. Ketidakcocokan ini dapat bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status atau keahlian khusus. Ketidakcocokan yang bersifat geografis dapat dilihat bahwa penganggur terbuka terdidik selama ini banyak terdapat di Pulau Jawa mengingat Jawa merupakan daerah yang lebih maju di bidang pendidikannya dan lebih padat penduduknya di bandingkan dengan daerah-daerah lainnya di luar Pulau Jawa, namun kesempatan kerja yang membutuhkan angkatan kerja berpendidikan tinggi banyak terdapat di luar Pulau Jawa seperti pada perusahaan swasta, kantor pemerintahan maupun dalam dunia pendidikan. Selama ini banyak pula lowongan kerja yang mensyaratkan pengalaman kerja dan memiliki keahlian tinggi, 27 sementara para pengangguran terbuka terdidik ini biasanya merupakan angkatan kerja yang baru saja menyelesaikan pendidikannya sehingga belum memiliki pengalaman kerja maupun keahlian tinggi. 2) Harapan angkatan kerja terdidik untuk memasuki jenis pekerjaan yang aman. Angkatan kerja terdidik lebih memilih untuk memasuki lapangan kerja yang stabil dari pada memasuki pekerjaan yang beresiko, sehingga mereka biasanya lebih memilih untuk bekerja pada perusahaan besar yang mampu memberikan upah tinggi serta memberikan jaminan keamanan bagi para pekerjanya dari pada membuka usaha sendiri. Hal ini seperti terlihat pada November 2005, data pengangguran terbuka menurut kegiatan yang dilakukan di Indonesia (BPS, SAKERNAS, 2005) menunjukkan bahwa terdapat 3.635.430 jiwa pengangguran terbuka berpendidikan SMU/Sederajat dan terdapat 647.050 jiwa yang berpendidikan >SMU/Sederajat yang mencari pekerjaan. Sementara pengangguran terbuka berpendidikan SMU/Sederajat yang mempersiapkan usaha adalah 13.480 jiwa, dan yang berpendidikan >SMU/Sederajat adalah 4.890 jiwa. 3) Keterbatasan daya serap pada sektor formal yang cenderung menjadi pilihan angkatan kerja terdidik. Karakteristik dari lapangan kerja di sektor formal antara lain adalah upah yang tinggi, terorganisir, mensyaratkan pendidikan tinggi dan di lindungi oleh hukum, oleh karena itu sektor formal cenderung menjadi pilihan yang tepat bagi angkatan kerja terdidik. Namun, lapangan kerja di sektor formal sampai saat ini jumlahnya tidak sebanding dengan angkatan kerja 28 terdidik, selama ini lebih banyak sektor informal yang berkembang. sehingga banyak yang memilih untuk menunggu hingga mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan aspirasinya. 4) Belum efisiennya fungsi pasar tenaga kerja. Tidak hanya kesulitan dalam memperoleh lapangan kerja, namun seringkali arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna menyebabkan angkatan kerja bekerja di luar bidang mereka. Tidak sedikit perusahaan atau instansi pemerintah yang melakukan recruitment secara internal yaitu dengan mengisi lowongan kerja melalui “promosi” dan tidak melakukan recruitment dengan pihak luar hal tersebut dilakukan karena selain tidak ingin beresiko juga karena biaya yang lebih murah, sehingga informasi adanya lowongan kerja lebih banyak di dapatkan pihak dalam dari pada masyarakat luar perusahaan atau instansi pemerintah tersebut. Padahal banyak angkatan kerja terdidik terutama yang baru saja lulus membutuhkan pekerjaan. Adanya pengangguran terdidik biasanya juga disebabkan karena mereka yang berpendidikan bersedia menunggu beberapa saat untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Namun seringkali jenis pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka, biasanya di sektor jasa formal, karena pada sektor ini biasanya upah lebih tinggi dari pada sektor informal, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja berpendidikan yang jumlahnya semakin meningkat. Sementara jumlah lapangan kerja di sektor formal jumlahnya tidak mengalami peningkatan yang cukup untuk menampung kelebihan angkatan kerja terdidik tersebut. 29 Selain itu pada sektor yang mampu memberikan upah tinggi dan bersifat tetap tersebut selain membutuhkan angkatan kerja yang terdidik juga menuntut ketrampilan yang tinggi yang biasanya tercermin dari banyaknya pengalaman kerja yang dimiliki pencari kerja. Kurang efisiensinya fungsi pasar tenaga kerja, di samping kesulitan memperoleh lapangan kerja arus informasi tenaga kerja tidak sempurna dan tidak lancer, hal ini menyebabkan banyak angkatan kerja kemudian bekerja di luar bidangnya. I.E.2.b.3) Tiga Alasan Penting Terjadinya Pengangguran Terdidik Menurut kelompok kerja pengembangan sumber daya manusia PP Kependudukan UGM, terjadinya pengangguran terdidik diakibatkan oleh tiga alasan penting (PP Kependudukan UGM, 1992), yaitu: 1) Adanya ketimpangan structural antara persediaan dan kesempatan kerja. Selama ini system pendidikan sudah mampu menghasilkan angkatan kerja terdidik, namun struktur ekonomi masih di dominasi oleh kegiatan tradisional/subsistem yang membutuhkan tenaga kerja berpendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikan. Lapangan kerja masih di dominasi sektor informal, sehingga menyebabkan angkatan kerja terdidik terpaksa memasuki sektor informal. 2) Program pendidikan professional/kejuruan yang terlalu bersifat “regulated”. Masih dominasinya peranan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan maupun profesi, sementara peranan swasta relatif kecil. Hal ini menjadi penyebab adanya jurang 30 pemisah antara system pendidikan yang memproduksi keahlian dan ketrampilan dengan dunia usaha yang memiliki informasi mengenai keahlian dan ketrampilan yang mereka butuhkan. 3) Penguatan persepsi kredensialisme pendidikan. Banyak masyarakat beranggapan bahwa sekolah merupakan lembaga yang mampu mencetak tenaga kerja yang siap dipekerjakan. Cara berfikir seperti ini muncul dari aliran “credentialistist” yang menganggap berbahaya apabila sekolah diberikan status kredensialisme untuk bekerja. Adanya bahaya dari kredensialisme tersebut akan menjadi besar pada saat terjadinya gejala pengumuman program pendidikan. Banyaknya lulusan berpendidikan tinggi yang memasuki pasar kerja seringkali membuat para majikan memberikan persyaratan yang lebih tinggi dan seleksi secara ketat. Padahal pengangguran terdidik kebanyakan adalah mereka yang merupakan lulusan sekolah maupun perguruan tinggi dimana mereka belum memiliki banyak pengalaman kerja serta sedikit ketrampilan yang mereka peroleh dari bangku pendidikan. Selama ini perluasan pendidikan cenderung menghasilkan lulusan yang mencari kerja, fungsi pendidikan belum cukup mampu meningkatkan kualitas angkatan kerja terdidik untuk mandiri dan berwawasan luas, sehingga mampu menciptakan kesempatan kerja untuk orang lain. Para pencari kerja dari kalangan keluarga dengan tingkat perekonomian menengah ke atas biasanya bersedia menunggu adanya pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka dalam waktu yang cukup lama, hal ini dikarenakan keluarga mereka dapat menanggung beban 31 hidup para penganggur terbuka dari golongan berpendidikan tersebut. Namun, bagi para pencari kerja dari keluarga dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, biasanya mereka tidak bersedia menganggur dalam waktu yang cukup lama, karena tuntutan ekonomi dari keluarga. Menurut teori human capital, ada hubungan positif antara pendidikan dengan pendapatan, dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan meninggikan pula penghasilan seumur hidup yang diperoleh. Anggapan tersebut membuat banyak angkatan kerja kemudian berbondong-bondong untuk meningkatkan tingkat pendidikan mereka dengan harapan mendapatkan pendapatan yang lebih besar. Namun, yang terjadi di Indonesia, meningkatnya jumlah angkatan kerja berpendidikan ternyata menyebabkan lapangan kerja yang tersedia tidak mampu menampung kelebihan pencari kerja berpendidikan tersebut. Hal ini pada akhirnya menyebabkan pengangguran terdidik. I.E.2.c Pasar Kerja I.E.2.c.1) Pengertian Pasar Kerja Pasar kerja merupakan seluruh aktivitas dari para pelaku yang tujuannya adalah mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja (Afrida, 2003: 202), dalam pasar kerja selalu membutuhkan pembeli dan penjual, pembelinya meliputi para pengusaha, produsen maupun majikan, semantara penjualnya adalah para tenaga kerja yang mencari pekerjaan. Sifat dari pasar kerja ditentukan oleh pelakunya sendiri, misalnya suatu perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, maka akan dibuka lowongan kerja. 32 I.E.2.c.2) Bentuk-Bentuk Pasar Kerja Ada beberapa bentuk pasar kerja, hal ini dikarenakan kegiatan yang dilakukan dalam pasar kerja berbeda-beda sesuai dengan karakteristik pencari kerja maupun penerima kerja. Bentuk pasar kerja tersebut meliputi pasar kerja intern, pasar kerja primer dan pasar kerja sekunder. 1. Pasar Kerja Intern Adanya konsep pasar kerja intern terjadi karena pengusaha/instansi pemerintah menganggap bahwa proses perekrutan baik proses pembukuan lamaran, pemanggilan pelamar, seleksi dan penerimaan pegawai baru membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga pengusaha/instansi pemerintah mengisi lowongan kerja yang ada dengan “promosi”. Untuk melakukan penghematan biaya penerimaan pegawai serta untuk meningkatkan produktivitas pegawai untuk menempati suatu jabatan baru, maka digunakan promosi untuk melakukan pengangkatan pegawai dari dalam perusahaan itu sendiri. Pengangkatan pegawai yang bersumber dari dalam inilah yang disebut internal labour market (Afrida, 2003: 211) 2. Pasar Kerja Primer Biasanya pasar kerja primer merupakan pasar kerja di sektor formal yang memiliki aturan maupun prosedur secara jelas pada mekanisme pasar kerja dalam mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja. Karakteristik dari pasar kerja primer meliputi (Afrida, 2003: 212) a.) Membutuhkan tingkat kemampuan dan ketrampilan yang tinggi, b.) menawarkan tingkat upah yang relatif tinggi, c.) kondisi kerja yang baik, d.) tingkat mobilitas tenaga kerja kecil, e.) pekerja mempunyai 33 hak dan kewajiban yang jelas, f.) mengikuti peraturan-peraturan kepegawaian yang jelas, g.) ada pedoman kerja tertentu atau manual, h.) mempunyai kesempatan untuk maju atau naik jabatan lebih tinggi. 3. Pasar kerja Sekunder Pada pasar kerja sekunder biasanya tingkat upah yang ditawarkan cenderung rendah, tidak memiliki jenjang jabatan. Karakteristik dari pasar kerja sekunder meliputi (Afrida, 2003: 211): a.) tidak membutuhkan tingkat kemampuan atau ketrampilan yang tinggi tetapi diutamakan memiliki kemampuan fisik yang baik b.) menawarkan tingkat upah yang rendah c.) kondisi kerja yang tidak begitu baik d.) tingkat mobilitas tenaga kerja tinggi sekali e.) tidak mempunyai hak dan kewajiban yang jelas f.) tidak ada peraturan kepegawaian g.) tidak mempunyai pedoman kerja h.) tidak mempunyai kesempatan untuk maju. Biasanya pasar kerja primer merupakan pasar kerja dalam sektor formal, sementara pasar kerja sekunder kebanyakan berada pasda sektor informal. I.E.2.c.3) Sektor Formal dan Informal 1. Sektor Formal Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerja yang bergaji, dalam lapangan kerja yang permanen, yang meliputi struktur pekerjaan yang terjalin secara terorganisir, terdaftar dalam statistic perekonomian serta syarat kerjanya dilindungi oleh hukum (Manning dan Effendi, 1985: 39). Sektor formal biasanya juga menuntut persyaratan yang lebih tinggi (PP Kependudukan UGM, 1992), seperti dalam bidang industry, kantor 34 pemerintahan maupun dalam perusahaan besar. Ada kecenderungan bahwa lulusan pendidikan formal (modern) menghasilkan lulusan yang mencari pekerjaan di sektor formal yang jumlahnya terbatas (PP Kependudukan UGM, 1992). Dalam teori human capital dijelaskan bahwa, setiap bertambahnya satu tahun sekolah di satu pihak dapat meningkatkan kemampuan kerja dan penghasilan seseorang, namun di satu pihak menunda penerimaan penghasilan tersebut selama satu tahun (Sumarsono, 2009: 93). Salah satu motivasi angkatan kerja meningkatkan tingkat pendidikan mereka hingga tingkat perguruan tinggi selain untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan adalah supaya mendapatkan upah yang lebih besar ketika mereka bekerja nanti. Maka menjadi hal yang wajar jika angkatan kerja lulusan perguruan tinggi lebih selektif dalam memilih pekerjaan yang mampu memberikan upah yang tinggi, yang biasanya terdapat pada sektor formal. Menurut Tjiptoherijanto salah satu factor pendorong pengangguran terdidik adalah struktur upah bergerak sangat lambat (Winarsih dan Nursahrizal, 2006: 8) Adanya ketidak konsistenan antara output pendidikan dengan kesempatan kerja yang rata-rata memberikan upah rendah membuat lulusan yang baru saja menyelesaikan pendidikannya cenderung untuk menunggu hingga mendapatkan informasi adanya lowongan kerja yang mampu memberikan upah tinggi, dari pada langsung menerima pekerjaan yang memberikan upah yang rendah. 35 Keterbatasan pasar kerja di sektor formal adalah terbatasnya aktifitas yang memiliki tujuan untuk mempertemukan antara pencari kerja dan lowongan kerja dalam sektor formal. DIY sendiri merupakan provinsi dengan struktur ekonomi yang di dominasi oleh sektor yang bersifat informal seperti pondokan, jasa fotokopian, persewaan computer dan warung makan. 2. Sektor Informal Sektor informal merupakan kegiatan perekonomian yang tidak memenuhi criteria seperti sektor formal (Manning dan Effendi, 1985: 139), yaitu antara lain pekerjaan yang tidak permanen, seringkali pekerjanya tidak bergaji karena merupakan pekerja keluarga seperti membantu pertanian maupun peternakan milik keluarga, tidak ada struktur yang jelas, tidak terdaftar dalam statistic perekonomian dan tidak memiliki perlindungan hukum. Sektor informal ini biasanya merupakan usaha sendiri, kurang terorganisir, sulit di cacah karena sering dilupakan dalam sensus resmi, serta persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan hukum (Manning dan Effendi, 1985: 139). Pada sektor informal, lebih fleksibel, dapat dimasuki oleh siapa saja. Oleh karena itu, sektor informal menjadi alternative pilihan bagi angkatan kerja yang memiliki ketrampilan serta pendidikan yang rendah untuk bekerja. Karena kemudahan dalam memasuki sektor informal tersebut, lapangan kerja dalam sektor informal lebih mudah berkembang dari pada sektor formal. Pekerjaan dalam sektor informal antara lain 36 seperti pedagang kaki lima, pelacuran, penjual koran, penyemir sepatu, pengemis, penjaja barang, supir becak dan sebagainya. I.F Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Baik variabel baris maupun variabel kolom dalam proses analisis dalam membaca tabel, disini keduanya bersifat independent. 1. Variabel: Kelompok umur Definisi Operasional: Pengertian umur yang digunakan sesuai dengan pengertian dari BPS, yaitu sama dengan umur pada waktu ulang tahun yang terakhir (Sensus Penduduk, 2010). Umur dihitung dalam tahun. Umur yang dianalisis merupakan umur penduduk yang berusia 15 tahun ke atas karena pada usia tersebut seseorang dapat digolongkan sebagai penduduk usia kerja. Kelompok umur merupakan pengelompokan umur dari penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun yaitu 15-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-39, 40-44, 45-49, 50-54, 55-59, dan 65+ 2. Variabel: Jenis kelamin Definisi Operasional: Jenis kelamin di sini merupakan jenis kelamin responden berdasarkan KTP, jenis kelamin terbagi menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. 3. Variabel: Daerah tempat tinggal Definisi Operasional: Daerah tempat tinggal disini merujuk pada lokasi tempat tinggal responden yaitu di desa perkotaan (urban) atau desa pedesaan (rural). 37 Sesuai dengan pengertian yang digunakan oleh BPS, daerah perkotaan merupakan wilayah administrative setingkat desa/kelurahan yang memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan aksesibilitas sejumlah fasilitas perkotaan, seperti jalan raya, sarana pendidikan formal, sarana pendidikan umum, dan sebagainya yang mudah ditinjau dari segi jarak (Sensus Penduduk, 2010). Sementara daerah pedesaan merupakan suatu wilayah administrative setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian, dan aksesibilitas sejumlah fasilitas perkotaan seperti jalan raya, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya yang relatif sulit dijangkau dari segi jarak (Sensus Penduduk, 2010). 4. Variabel: Pendidikan tertinggi pengangguran terbuka Definisi Operasional: Pendidikan tertinggi merupakan tingkat pendidikan yang ditamatkan berdasarkan ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki responden (Sensus Penduduk, 2010). Pendidikan tertinggi dalam penelitian ini di bagi menjadi dua yaitu SMP ke bawah dan SMA ke atas. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam melihat karakteristik pengangguran terdidik (SMA ke atas). pendidikan tertinggi pengangguran terbuka merupakan pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh pengangguran terbuka, pengangguran terbuka disini merujuk pada pengertian pengangguran terbuka sesuai dengan definisi dari BPS. 38 I.G Metode Penelitian 1 Metode dan Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif menggunakan data berupa angka atau jumlah dengan berbagai klasifikasi antara lain frekuensi, nilai rata-rata, penyimpangan dari nilai baku, presentase, nilai maksimum dan lain-lain (Nawawi, 1998: 32). Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan data berupa angkaangka antara lain meliputi frekuensi pengangguran terbuka berdasarkan jenis kelamin, daerah tempat tinggal, kelompok umur dan pendidikan terakhir yang ditamatkan, persentase penduduk usia kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Tingkat Kesempatan Kerja, Tingkat Pengangguran Terbuka dan presentase pengangguran terbuka. Jenis penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian adalah analisa data sekunder. Analisa data sekunder ini menggunakan data yang sudah tersedia dari hasil survai yang dilakukan oleh BPS yaitu SAKERNAS. Hasil survai oleh BPS ini merupakan data mentah yang belum dianalisis lebih mendalam, oleh karena itu dilakukan pengolahan serta analisis secara lebih mendalam supaya dapat menghasilkan sesuatu yang lebih berguna. Menurut Masri Singarimbun (Singarimbun dan Effendi, 2008: 12) keuntungan dalam menggunakan data yang telah tersedia adalah peneliti tidak perlu terlibat lagi dalam mengusahakan dana dalam penelitian lapangan, merekrut dan melatih pewawancara, menentukan sampel, dan mengumpulkan data di lapangan yang banyak memakan energy dan waktu. 39 2. Sampel Penelitian Pengambilan sampel oleh BPS dalam SAKERNAS tahun 2007-2011 dilakukan di DIY dengan jumlah sampel pengangguran terbuka pada tahun 2007 sebanyak 115.200 orang, tahun 2008 sebanyak 107.529 orang, tahun 2009 sebanyak 121.046 orang, tahun 2010 sebanyak 107.148 orang dan tahun 2011 sebanyak 74.317 orang. Data yang digunakan merupakan data semester II yaitu bulan Agustus karena memiliki jumlah sampel yang lebih banyak dari pada semester I atau bulan Februari (BPS, SAKERNAS, 2007-2011) 3. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang kita butuhkan (Singarimbun dan Effendi, 2008: 122). Pada penelitian ini data sekunder diperoleh dari sumber kedua yaitu Biro Pusat Statistika dengan menggunakan raw data SAKERNAS. 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan metode yang digunakan oleh BPS yaitu melalui Survai Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) yang merupakan survai yang khusus untuk mengumpulkan data mengenai ketenagakerjaan. Pengumpulan data oleh BPS dilakukan di seluruh wilayah kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan oleh Sub Direktorat Statistik Ketenagakerjaan BPS melalui wawancara secara langsung antara pencacah dengan responden. Keterangan pokok yang dikumpulkan oleh BPS meliputi 40 identitas anggota rumah tangga seperti nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, status perkawinan dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, kegiatan seminggu yang lalu, punya pekerjaan tapi sedang tidak bekerja, mencari pekerjaan/ mempersiapkan usaha, sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Sementara keterangan bagi mereka yang mencari pekerjaan/ mempersiapkan usaha meliputi alasan mencari pekerjaan/ mempersiapkan usaha, upaya yang dilakukan, lama mencari kerja dan jenis pekerjaan yang dicari seperti pekerjaan purna waktu atau paruh waktu (BPS, SAKERNAS, 2007-2011). 5. Analisis Data Analisis data merupakan proses manipulasi data hasil penelitian sehingga data tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian (Purwanto dan Sulistyastuti, 2011: 93). Proses manipulasi data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah di baca dan diinterpretasikan. Tahap pengolahan dan analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Mengedit data. Pada tahap editing ini data yang telah diperoleh di periksa kembali dengan tujuan untuk meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi. Kegiatan pada tahap editing meliputi kelengkapan data, kejelasan tulisan, dan kejelasan makna. b. Melakukan pengecekan data untuk memperoleh akurasi yang meliputi pengecekan data missing, relevansi data dengan tujuan penelitian serta seberapa mampu data tersebut menjawab pertanyaan penelitian. 41 c. Melakukan transformasi data d. Mengolah data dengan program statistic seperti EXCEL dan SPSS Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) diperoleh dari perbandingan antara banyaknya angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja. Tingkat Kesempatan Kerja diperoleh dari perbandingan antara banyaknya penduduk yang bekerja dengan jumlah angkatan kerja, sementara Tingkat pengangguran terbuka (TPT) diperoleh dari perbandingan antara banyaknya pengangguran terbuka dengan jumlah angkatan kerja. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis crosstab atau tabulasi silang, crosstab berfungsi untuk menampilkan tabulasi silang antara kolom dengan baris. Data disajikan dalam bentuk grafik maupun tabel yang menggunakan crosstab supaya mampu mempermudah proses analisis data. 42