1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam serangkaian
masa yang berurutan, mulai dari periode pranatal hingga lanjut usia. Salah satu
tahap perkembangan yang akan dilalui oleh individu dalam hidupnya adalah masa
remaja. Masa ini ditandai dengan adanya perubahan yang besar, yaitu perubahan
fisik dan seksual, membutuhkan kemampuan beradaptasi, pencarian identitas, dan
membentuk hubungan baru, termasuk dalam mengekspresikan perasaan seksual
(Santrock, 1998). Monks, Knoers, dan Haditono (1999) menyebutkan bahwa
terdapat dua macam gerak dalam perkembangan sosial remaja, yaitu gerak
memisahkan diri dari orangtua dan gerak menuju ke arah teman-teman sebaya.
Intensitas hubungan sosial remaja dengan teman sebaya akan semakin
meningkat. Remaja sudah mulai merasa ingin mendapat dukungan dari teman
sebaya dan berusaha untuk dapat diterima dengan baik oleh teman-temannya dan
tidak disisihkan dalam pergaulan. Keinginan remaja untuk terpisah secara
individu dari keluarga menguatkan pengaruh teman sebaya dalam remaja itu
sendiri (Dacey & Kenny, 1997) dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
melakukan konformitas terhadap teman-teman sebaya, dengan tujuan agar
diterima oleh teman-teman sebayanya (Conger, 1991).
Pergerakan remaja ke kelompok teman sebaya tidak dapat dihindari. Hal ini
membuat remaja menyesuaikan diri dengan kelompok dan menyebabkan mereka
1
Universitas Sumatera Utara
mengikuti sikap, pendapat, dan perilaku yang berlaku dalam kelompok. Keinginan
seorang remaja adalah untuk diterima masuk sebagai anggota kelompok dan rasa
takut mereka dari ketidaksamaan atau terkucil (Mappiare, 1990). Menurut
Psikolog dan Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Ninuk Widyantoro
(GloriaNet, 2007), tekanan teman sebaya dapat memberikan pengaruh positif atau
negatif. Remaja akan menerima pengaruh yang positif, jika teman sebaya
memiliki sifat-sifat positif, sebaliknya remaja akan menerima pengaruh yang
negatif, jika teman sebaya memiliki sifat-sifat yang negatif.
Menurut Psikolog Winarini (Mulamawitri, 2007), ada sebagian remaja yang
rela menuruti bujukan kelompoknya. Alasan-alasan remaja menuruti kelompok
teman sebaya adalah karena tertarik mencoba sesuatu yang baru, karena ingin
diterima dan khawatir akan diejek jika tidak mengikut kelompok, takut ditolak
dan dikucilkan dari kelompok, padahal remaja tersebut sadar akan dampak yang
mungkin ditimbulkan dari perbuatannya. Hal inilah yang kemudian dapat menjadi
persengketaan dalam diri individu itu sendiri mengenai keputusan yang akan
diambil. Apabila remaja tersebut mengambil tindakan yang tidak mendapat
dukungan dari teman-teman sebaya, maka remaja tersebut akan dijauhi oleh
teman-temannya. Akibatnya, remaja tersebut tidak berani mengekspresikan
emosinya yang tepat, tidak mampu mengungkapkan keinginan dan pendapatnya
secara terbuka dan jujur, dengan kata lain remaja tersebut tidak asertif.
Banyak studi yang telah dilakukan oleh universitas dan lembaga penelitian di
negara maju sehubungan dengan tekanan teman sebaya, seperti kebiasaan
merokok, penggunaan alkohol, napza, serta hubungan seksual yang dilakukan
2
Universitas Sumatera Utara
oleh remaja. Menurut hasil riset Family and Consumer Sciene di Ohio, Amerika
Serikat, menunjukkan kebanyakan remaja merokok, kasus penggunaan alkohol,
narkoba, bahkan seks bebas dipengaruhi oleh temannya, terutama sahabat atau
gang-nya (Utamadi, 2002). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hal itu
berkaitan dengan kemampuan remaja yang bersangkutan dengan perilaku asertif.
Ketidakmampuan dalam asertif sering berdampak pada terjadinya perilakuperilaku negatif oleh remaja, yang pada umumnya berumur antara 15-18 tahun.
Fakta yang ditemui oleh dr. Agustin Kusumayanti, MSc (Ketua Pokdi Mutu
Yankes dan pengajar program studi kesehatan reproduksi FKM UI), dalam
seminar kesehatan, mengatakan sekitar 5-20% remaja pernah melakukan
hubungan seksual pranikah (Endriana, 2007). Menurut Psikolog Rima Olivia,
terjadinya hubungan seksual pra nikah karena remaja putri tidak merasa memiliki
kekuatan, cemas memikirkan pendapat orang lain, berupaya menyenangkan orang
lain dengan mengorbankan diri sendiri, penghargaan diri rendah, dan mengkritik
diri sendiri (Olivia, 2005).
Menurut Psikiater Diwanto (1998), perilaku negatif juga ditemui dalam
pergaulan anak laki-laki. Sering ditemui remaja, yang awalnya bukan seorang
perokok, mendapat tekanan takut dicap “banci”, takut dikira melawan kelompok,
takut dianggap aneh oleh teman- temannya bila menolak untuk merokok, sehingga
tidak dapat mengatakan “tidak” terhadap perilaku yang sebenarnya tidak ingin
dilakukan. Perilaku penggunaan napza yang lebih mengancam, juga sering kita
temui karena alasan yang sama.
3
Universitas Sumatera Utara
Kasus-kasus yang berhubungan dengan asertifitas juga sering dijumpai dalam
dunia pendidikan Indonesia. Faktor penghambat proses pembelajaran di kelas
adalah ketidakpercayaan diri siswa dalam menyampaikan pendapat atau bahkan
mengajukan pertanyaan, yang pada akhirnya siswa lebih memilih diam daripada
membuka dialog dengan guru atau teman-temannya. Kasus lainnya adalah remaja
yang tidak tegas atau takut menolak teman yang ingin mencontek. Biasanya siswa
yang mengalami situasi tersebut merasa takut, malu atau sungkan mengemukakan
keinginan atau pendapatnya secara terbuka, tidak percaya diri, takut dijauhi, dan
disepelekan oleh teman-teman (Kusmayadi, 2007).
Nunally dan Hawari (Ekowarni, 2002) mengatakan bahwa penyebab para
remaja tersebut terjerumus ke hal-hal negatif, salah satunya adalah karena
kepribadian yang lemah, seperti kurang bisa mengekspresikan diri, menerima
umpan balik, menyampaikan kritik, menghargai hak dan kewajiban, kurang bisa
mengendalikan emosi dan agresifitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan
konflik dengan baik, yang erat kaitannya dengan asertifitas. Rini (2001)
menambahkan bahwa kebanyakan orang tidak asertif karena dalam dirinya ada
rasa takut mengecewakan orang lain, takut jika akhirnya dirinya tidak lagi disukai
ataupun diterima, oleh sebab itu asertifitas sangat penting untuk perkembangan
remaja.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dengan berperilaku asertif, individu
dapat mengurangi atau menghilangkan kecemasan, juga dibutuhkan untuk
menjaga dan menghindari perilaku yang merusak (Workshops, Inc., 1998).
Alberti dan Emmons (Widjaja & Wulan, 1998) mengatakan bahwa asertifitas
4
Universitas Sumatera Utara
merupakan aspek yang penting untuk mewujudkan pribadi yang sehat. Remaja
perlu memiliki asertifitas agar dapat mengurangi stress ataupun konflik, sehingga
tidak melarikan diri ke hal-hal yang negatif. Rathus (Kusmayadi, 2007)
menambahkan bahwa siswa yang asertif adalah siswa yang memiliki keberanian
mengekspresikan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya, mempertahankan hakhak pribadinya, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak beralasan.
Williams (2001) mengatakan asertifitas adalah kemampuan mempertahankan
diri sendiri, meyakinkan pendapat dan perasaan diri, dan tidak membiarkan orang
lain selalu mendapatkan yang diinginkannya. Individu dapat asertif tanpa harus
memaksa, namun dapat menyatakan dengan jelas apa yang diharapkan dan
meminta haknya untuk dipertimbangkan. Meskipun perilaku asertif tidak muncul
dalam semua situasi yang dihadapi individu, namun menurut Willis & Daisley
(1995) individu dapat memilih bentuk perilaku yang tepat dan konstruktif dalam
situasi tertentu. Oleh karena itu, remaja juga diharapkan dapat memiliki asertifitas
dari proses belajar dilingkungannya. Seperti yang diungkapkan oleh Elliot dan
Gramling (1990) bahwa seorang remaja harus mampu bersikap asertif pada diri
sendiri maupun pada orang lain.
Berdasarkan fenomena perilaku-perilaku yang dilakukan remaja di atas,
beberapa ciri-ciri remaja yang tidak dapat asertif adalah tidak adanya keyakinan,
tidak percaya diri, atau merasa dirinya tidak berharga. Remaja tersebut merasa
tidak mampu untuk mengutarakan apa yang ingin disampaikan, ia takut akan
kritikan, merasa malu, tidak menghargai haknya, dan mereka menganggap
kelompok teman sebaya lebih penting dibandingkan diri sendiri sebagai individu,
5
Universitas Sumatera Utara
sehingga ia harus ikut dengan perilaku yang sama dengan teman sebaya. Merasa
mampu adalah perasaan bahwa individu mampu mencapai tujuan yang
diinginkannya serta dapat membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang
tepat. Remaja tersebut juga menganggap bahwa kelompok merupakan faktor
tunggal yang harus diikuti, sehingga individu merasa tidak penting, tidak
mengakui keberadaan dirinya, dan tidak menghargai hak dan kewajibannya
sebagai individu. Merasa mampu dan merasa berguna merupakan komponen dari
harga diri (self esteem) (Frey & Carlock, 1987).
Kemampuan remaja dalam mengontrol diri sangat terkait erat dengan
kepribadian remaja itu sendiri dan harga diri merupakan aspek penting dalam
perkembangan remaja (Myles dalam Mayasari & Hadjam, 2000). Baron dan
Bryne (2000) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian terhadap diri sendiri
yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain
yang menjadi pembanding. Branden (1981) berpendapat bahwa harga diri
berperan dalam proses berpikir, dan emosi, keputusan-keputusan yang akan
diambil, bahkan berpengaruh pula terhadap nilai-nilai, cita-cita, serta tujuan yang
akan dicapai. Hal serupa juga diungkapkan oleh Frey dan Carlock (1987) bahwa
harga diri mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain.
Townend (Prabowo, 2001) menambahkan, orang yang asertif adalah orang yang
mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang cukup, ia menghargai dirinya
dan juga orang lain. Penelitian Cohen (dalam Mayasari & Hadjam, 2000)
menemukan bahwa seseorang yang memiliki harga diri tinggi cenderung lebih
percaya diri dalam hidupnya dibandingkan orang yang mempunyai harga diri
rendah. Dengan kepercayaan dirinya, remaja diharapkan dapat menentukan sikap
6
Universitas Sumatera Utara
dan perilakunya. Master dan Johnson (Utamadi, 1999) mengatakan harga diri
berpengaruh terhadap sikap seseorang terhadap statusnya sebagai remaja. Seorang
remaja yang memiliki harga diri yang positif, maka ia tidak akan terbawa godaan
yang banyak ditawarkan oleh lingkungan dan dapat mengutarakan serta
mengambil sikap apa yang sebenarnya ingin dilakukan, yang pada akhirnya akan
menghindari perilaku-perilaku negatif.
Berdasarkan kajian permasalahan di atas, dapat dilihat bahwa harga diri
berhubungan dengan asertifitas yang memiliki peran bagi remaja agar dapat
berkembang sesuai dengan harapannya dan sosial serta terhindar dari perilakuperilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma di masyarakat. Melalui uraian
tersebut, peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara harga diri dengan
asertifitas pada remaja.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan harga diri dengan asertifitas
pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
Psikologi khususnya Psikologi Perkembangan yaitu memperkaya teori tentang
harga diri dan asertifitas pada remaja.
7
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Praktis
a. Bagi remaja diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan
remaja tentang hubungan harga diri dengan asertifitas, sehingga dengan
demikian dapat dilakukan tindak lanjut sebagai prevensi terhadap masalahmasalah yang akan muncul.
b. Bagi orangtua, guru, dan masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi informasi dan masukan yang berarti terhadap pentingnya bimbingan
asertifitas dan penghargaan terhadap remaja sebagai individu, agar remaja
juga dapat menerima dan menghargai dirinya sendiri.
c. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi,
khususnya penelitian yang berhubungan dengan harga diri dan asertifitas.
D. Sistematika Penulisan
Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
BAB I
: Pendahuluan
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah.
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang
harga diri, asertifitas, dan remaja. Dalam bab ini juga akan
8
Universitas Sumatera Utara
dikemukakan hubungan harga diri dengan asertifitas pada remaja dan
hipotesa penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
Berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi variabel
penelitian, definisi operasional dari masing-masing variabel, populasi,
sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data,
uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa
data.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data
Pada bab ini akan diuraikan mengenai gambaran umum subjek
penelitian dan hasil penelitian.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian, diskusi tentang hasil penelitian, dan saran-saran
9
Universitas Sumatera Utara
Download