PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI SISTOLIK TERISOLASI DI PANTI SOSIAL BUDI AGUNG KUPANG Petrus Kanisius Siga Tage Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya 60115 Telp(031)5913752 ,5913754 ,Fax. (031)5913257 Email: [email protected] ABSTRACT Laughter therapy which is given for about 30 to 40 minutes can reduce the high blood pressure and every 5 mmHg reduction in blood pressure for elderly hypertension patients is expected to decrease mortality from about 14 % due to stroke and coronary heart disease due to 7%. This study is aimed to understand the changes of blood pressure in patients with Isolated Systolic Hypertension before and after being given the laugh therapy. This research is classified as Quasy research experiments which uses a one-group pretest and post- test design without a control group. The samples are 19 persons in the working area of Panti Sosial Budi Agung Kupang. The effectiveness of giving the therapy which is to lower the blood pressure in hypertensive patients are analyzed by using t-test static test. The results showed that there were the changes in blood pressure values in each elderly respondent in the range of changes of systolic blood pressure values between 3-24 mm Hg and diastolic blood pressure changes between 2-24 mmHg. The results of Paired Sample t Test showed that 0,000 worth less than the standard error ( α ) with a significance of 0,05 or 95%, so the hypothesis of the influence of giving laughter therapy in lowering blood pressure can be accepted. The conclusion of this study is the provision of laughter therapy can lower the blood pressure for patients with isolated systolic hypertension. Researcher then suggest to apply this therapy in Panti Sosial Budi Agung Kupang Keywords : laugh therapy, elderly, isolated systolic hypertension PENDAHULUAN Hipertensi adalah tekanan darah atau denyut jantung yang lebih tinggi dari normal yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah atau karena gangguan lain (Dorland, 2005). Hipertensi sistolik terisolasi adalah bila tekanan sistolik ≥160 mmHg dan tekanan diastolik <90 mm Hg (PERGEMI, 2004). Hipertensi merupakan faktor penyebab kematian dini terbesar ketiga di Indonesia. Hipertensi juga mengakibatkan terjadinya gagal jantung kongestif dan penyakit cerebrovascular (Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI, 2006). Laporan dari ACCF/AHA Expert Consensus Document on Hypertension in the Elderly mengungkapkan bahwa jumlah pasien hipertensi dengan hipertensi sistolik terisolasi yang berusia 60-69 tahun sebanyak 65% dan yang berusia di atas 70 tahun lebih dari 90% (Arifin et al, 2012). Angka penderita hipertensi kian hari semakin mengkhawatirkan dengan angka yang terus meningkat tajam. WHO memprediksikan pada tahun 2025 nanti, sekitar 29% orang dewasa di seluruh dunia menderita Hipertensi (DEPKES, 2006). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) Balitbangkes tahun 2007 menunjukkan adanya prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,17%. Hipertensi sistolik terisolasi di derita oleh 10-20% pasien usia tua yang menjadi tipe hipertensi predominan (mendekati 60%) pada pasien usia lanjut yang diterapi maupun yang tidak mendapat terapi (Handajani, 2005). Penelitian di Indonesia yang meliputi 5 Pulau Besar dan Pulau Maluku tentang jumlah penderita hipertensi sistolik terisolasi telah dilakukan, dan ditemukan bahwa dari 4.436 orang penderita hipertensi, 7,12% dari mereka ternyata menderita hipertensi sistolik terisolasi (Soeyono, 2001). Di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2008, jumlah penderita hipertensi sebesar 28,1% (Litbangkes, 2008). Pada survei awal yang dilakukan oleh peneliti di tempat penelitian, terdapat 86 orang lansia yang tercatat sebagai penghuni Panti Sosial Budi Agung Kupang. Dari 86 orang lansia tersebut, ditemukan jumlah penderita hipertensi sebanyak 46 orang (53,48%) dengan jumlah lansia yang menderita hipertensi sistolik terisolasi sebanyak 18 orang (39,13%). Para lansia yang berada dalam Panti Sosial Budi Agung Kupang masih menggunakan terapi farmakologis yang dapat menimbulkan ketergantungan yang membuat biaya pengobatan menjadi mahal. Selain penggunaan terapi farmakologis diperlukan juga terapi komplementer untuk membantu menurunkan tekanan darah pada lansia. Hal tersebut dapat mempengaruhi penurunan dosis obat yang dikonsumsi sehingga biaya pengobatannya menjadi lebih murah. Penggunaan terapi farmakologis anti hipertensi telah terbukti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta menurunkan risiko untuk terjadinya komplikasi pada pasien lansia hipertensi sitolik (Aronow, 2011). Dalam laporan Duthie dan Katz, (dalam Arifin et al, 2012) menjelaskan bahwa penggunaan tersebut, dapat menimbulkan beberapa kerugian, antara lain efek samping, efek ketergantungan, tingginya biaya dan masalah lainnya yang semakin memperberat pasien lansia. Chobanian et al (2003) menjelaskan bahwa kontrol terhadap hipertensi sistolik bisa menurunkan mortalitas global akibat kardiovaskuler, stroke, dan kejadian gagal jantung yang dicetuskan oleh hipertensi sistolik terisolasi karena penurunan tekanan darah sistolik paling sedikit 20 mmHg pada satu tingkat dibawah 160 mmHg akan mengurangi peningkatan terhadap risiko-risiko tersebut. Darmojo dan Martono (2004) menjelaskan penatalaksanaan hipertensi yang dianjurkan bagi lansia adalah terapi nonfarmakologis, salah satunya yaitu dengan latihan fisik aerobik. Tertawa 20 menit setara dengan berolahraga ringan selama 2 jam karena dengan tertawa peredaran darah dalam tubuh lancar, kadar oksigen dalam darah meningkat, dan tekanan darah akan normal. Tertawa sama dengan efek latihan fisik yang membantu meningkatkan suasana hati, menurunkan hormon stres, meningkatkan aktivitas kekebalan tubuh, menurunkan kolesterol jahat dan tekanan darah sistolik serta meningkatkan kolesterol baik (Berk et al, 1996). Lansia tidak mampu melakukan banyak latihan fisik karena masalah otot lemah dan radang persendian, oleh karena itu tawa merupakan latihan ideal bagi mereka yang mempunyai keterbatasan fisik (Kataria, 2004). Mengingat terapi tertawa bisa dilakukan oleh siapa saja dan orang yang akan menjadi tutor hanya perlu sedikit latihan maka terapi tertawa ini layak diterapkan. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik utuk meneliti tentang “Pengaruh terapi tertawa terhadap perubahan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi di Panti Sosial Budi Agung Kupang” BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain Quasy-Experiment. dengan rancangan one group design pre-test and post-test design yang mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan melibatkan satu kelompok subjek. Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia yang menderita hipertensi sistolik tersisolasi sebanyak 20 orang ada di Panti Sosial Budi Agung Kupang Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan kehendak peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Pengambilan sampel dengan memenuhi kriteria sebagai berikut Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah 1) Lansia hipertensi dengan tekanan darah ≥ 160/ <90 mmHg 1. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: 1) Lansia dengan penyakit wasir 2) Lansia dengan penyakit hernia 3) Lansia dengan penyakit jantung yang tidak toleran 4) Lansia dengan sesak nafas 5) Lansia dengan penyakit TBC 6) Lansia dengan penyakit influenza 7) Lansia dengan glaukoma 8) Lansia yang pikun 9) Lansia yang mengalami penurunan pendengaran Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus (Nursalam, 2003) sebagai sebagai berikut n= N 1 N (d 2 ) Keterangan: n : Besar sampel N : Besar populasi d : Tingkat kepercayaan atau ketepatan (0,05) 20 1 20(0.052 ) 20 n = 1 0,05 20 n = 1,05 n =19,04 Jadi sampel yang dibutuhkan sebanyak 19 responden. Variabel independen dalam penelitian ini adalah terapi tertawa sedangkan terapi dependen adalah tekanan darah sistolik dan diastolik. Alat ukur untuk terapi tertawa berupa SOP terapi tertawa dan tensimeter digital terapi tertawa diberikan selam 3 minggu dengan jumlahnya 2 kali seminggu yaitu di hari Selasa dan Jumat Total waktu terapi tertawa adalah 3040menit. Pengukuran tekanan darah diukur sebelum dan sesudah perlakuan sampai hari keenam, tetapi yang dianalisa menjadi data pre adalah pengukuran di awal sebelum terapi hari pertama dan yang menjadi data post adalah hasil pengukuran terakhir di hari keenam paska pemberian terapi tertawa. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan uji statistik Paired t-test dengan tingkat kemaknaan α<0,05. Artinya, bila uji t berpasangan menghasilakan P≤0,05, maka Ho ditolak dan hipotesis diterima hal ini berarti ada perubahan tekanan darah sebelum dan sesudah intervensi terapi tertawa selama 3 minggu. HASIL Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tekanan darah sistolik sebelum diberikan terapi tertawa dari 19 responden yang tertinggi adalah 192 mmHg dan tekanan darah sistolik terendah adalah 163 mmHg. Sedangkan tekanan darah sistolik sesudah diberikan terapi tertawa dari 19 responden yang tertinggi adalah 184 mmHg dan tekanan darah sistolik terendah adalah 149 mmHg. Berdasarkan tekanan darah diastolik 19 responden sebelum diberikan terapi diketahui bahwa tekanan yang tertinggi adalah 88 mmHg dan tekanan darah terendah adalah 74 mmHg sedangkan sesudah diberikan terapi tekanan yang tertinggi adalah 83 mmHg dan yang terendah adalah 58 mmHg. Beradasarkan hasil uji statistik dengan Paired T-test yang tertera dalam tabel menunjukan bahwa tingkat signifikansi p= 0.000 artinya terdapat pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata tekanan darah lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi sebelum dilakukan terapi tertawa sebagai berikut: tekanan darah sistoliknya 175 dan tekanan darah diastoliknya adalah 80. Sistol dan diastol merupakan dua periode yang menyusun satu siklus jantung. Diastole adalah kondisi relaksasi, yakni saat jantung terisi oleh darah yang kemudian diikuti oleh periode kontraksi atau sistole. Satu siklus jantung tersusun atas empat fase (Saladin, 2003) Peningkatan curah jantung dan tahanan perifer dapat terjadi akibat dari berbagai faktor seperti genetik, aktivitas saraf simpatis, asupan garam, dan metabolisme natrium dalam ginjal dan faktor endotel mempunyai peran dalam peningkatan tekanan darah pada hipertensi (Sidabutar & Prodjosujadi, 1990). Berdasarkan hasil penelitian dari semua responden mengalami hipertensi sisitolik terisolasi dimana tekanan darah sistolik responden ≥160 mmHg tekanan diastolik responden <90 mmHg. Pada data hasil pengukuran awal terlihat bahwa tekanan darah hipertensi sistolik terisolasi berada pada tekanan 192/74 mmHg dan ini dialami oleh reponden nomor 5 dan tekanan darah terendah pada responden nomor 1 dengan tekanan 163/86 mmHg. Tekanan darah yang tinggi pada responden nomor 5 dipengaruhi oleh usia responden yang sudah mencapai 64 tahun dimana pada usia ini terjadi penurunan fungsi organ tubuh terutama elastisitas pembuluh darah sehingga ketika terapi tertawa diberikan dan menghasilkan endorphin, endorphin tersebut tidak bisa secara cepat membuat pembuluh darah responden mengalami vasodiltasi. Selain karena faktor usia terlihat juga faktor kebiasaan hidup responden dimana berdasarkan data demografi terlihat bahwa responden sudah lama mengkonsumsi kopi yang mengandung cafein yakni >20 tahun. Kafein yang ada di dalam kopi dapat meningkatkan denyut jantung. Selain kopi responden juga mengkonsumsi lemak hewani yang banyak mengandung lemak jenuh yang beresiko meningkatkan kolesterol dalam pembuluh darah. Responden juga jarang berolahraga dimana dalam seminggu responden hanya berolahraga sekali. Olahrga disini bermanfaat untuk membakar kolesterol dalam pembuluh darah. Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata tekanan darah lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi sesudah dilakukan terapi tertawa adalah adalah 163,79 untuk tekanan sisitolik dan 69,21 untuk tekanan diastolik Aliran darah dalam jaringan terutama diatur oleh mekanisme auotoregulasi lokal. Autoregulasi berarti penyesuaian otomatik dari aliran darah dalam setiap jaringan terhadap kebutuhan dari jaringan bersangkutan. Pada umumnya kebutuhan kebutuhan jaringan adalah berupa nutrisi. Namun dalam beberapa keadaan autoregulasi diperlukan seperti untuk regulasi pembuangan zat sisa metabolisme dan elektrolit, dimana zat-zat tersebut dalam darah memainkan peranan penting dalam mengatur aliran darah ginjal. Di dalam otak autoregulasi untuk regulasi kadar karbondioksida, dimana zat tersebut mempengaruhi kecepatan aliran darah ke jaringan tersebut. Pada jaringan lain umumnya kebutuhan akan oksigen merupakan rangsangan yang paling kuat memunculkan autoregulasi (Guyton, 2008). Tekanan darah dari suatu tempat peredaran darah ditentukan oleh tiga macam faktor yaitu (1) jumlah darah yang ada di dalam peredaran yang dapat membesarkan pembuluh darah; (2) aktivitas memompa jantung, yaitu mendorong darah sepanjang pembuluh darah; (3) tahanan perifer terhadap aliran darah. Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan perifer yaitu viskositas darah, tahanan pembuluh darah (jenis pembuluh darah, panjang, dan diameter), serta turbulence (kecepatan aliran darah, penyempitan pembuluh darah, dan keutuhan jaringan) (Suprayog, 2004). Terapi tertawa yang dapat merelaksasi tubuh yang bertujuan melepaskan endorphin ke dalam pembuluh darah sehingga apabila terjadi relaksasi maka pembuluh darah dapat mengalami vasodilatasi sehingga tekanan darah dapat turun (Kataria, 2004) Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa tekanan darah tertinggi adalah 184/72 mmHg yang dialami oleh responden nomor 16 dan tekanan darah terendah adalah 148/72 mmHg yang dialami oleh responden nomor 12. Tekanan darah yang tinggi pada responden no 16. Jika merujuk pada data demografi terlihat bahwa responden nomor 16 telah berusia 48 tahun dan mengkonsumsi lemak hewani dimana lemak hewani mengandung lemak jenuh yang berpotensi meningkatkan kolesterol dalam pembuluh darah. Pada responden nomor 12 berusia 46 tahun, tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak minum kopi, rajin berolahraga, dan mengkonsumsi garam sesuai diet. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pemberian terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi di Panti Sosial Budi Agung Kupang. Tekanan darah dalam tubuh dikontrol oleh otak sebagai pusat, sistem saraf otonom, ginjal, beberapa kelenjar endokrin, arteri dan jantung. Serabut saraf adalah bagian sistem saraf otonom yang membawa isyarat dari semua bagian tubuh untuk menginformasikan kepada otak perihal tekanan darah, volume darah dan kebutuhan khusus semua organ. Semua informasi ini diproses oleh otak dan keputusan dikirim melalui saraf menuju organ-organ tubuh termasuk pembuluh darah, isyaratnya ditandai dengan mengempis atau mengembangnya pembuluh darah. Saraf-saraf ini dapat berfungsi secara otomatis (Hayens, 2003). Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersikulasi di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses ini dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah, dan pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan yang kuat. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori pengembangan Haruyama Shigeo dimana bahwa dengan berelaksasi yang bisa didapatkan melalui meditasi dan tertawa tubuh akan melepaskan hormone endorphin yang dapat membantu menurunkan tekanan darah (Haruyama, 2011). Sambriong (2012) dalam penelitian tentang pengaruh terapi tertawa yang hanya melihat penurunan tekanan darah sitolik pada pasien dengan hipertensi sistolik terisolasi memaparkan bahwa terdapat pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah sistolik. Terapi tertawa merupakan terapi komplementer yang dapat membantu menurunkan tekanan darah pada pasien yang mengalami hipertensi sistolik terisolasi. Pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Panti Sosial Budi Agung Kupang. Peneliti menemukan bahwa ada 100% perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik pada lansia penderita hipertensi sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa dimana perubahan tekanan darah sistolik berada dalam rentangan 3 mmHg-24 mmHg dan perubahan tekanan darah diastolik berada dalam rentangan 2 mmHg-24 mmHg. Perubahan tekanan darah sistolik tertinggi berada pada responden nomor 12 yaitu 24 mmHg dan perubahan tekanan darah sistolik terendah berada pada responden nomor 10 dan 11 yakni 3 mmHg. Perubahan tekanan darah sistolik pada angka 24 mmHg pada responden nomor 12 bukan hanya dipengaruhi oleh terapi tertawa yang diberikan oleh peneliti tetapi ada faktor lain yang turut mempengaruhi perubahan tekanan darah dengan angka yang tinggi pada responden ini. Jika merujuk pada data demografi terlihat bahwa ada faktor usia dimana usia responden termasuk dalam usia lanjut pertengahan yakni usia 46 tahun, dimana pengaruh usia terhadap tekanan darah dapat dilihat dari aspek pembuluh darah yaitu semakin bertambah usia akan menurunkan elastisitas pembuluh darah arteri perifer sehingga meningkatkan resistensi atau tahanan pembuluh darah perifer. Peningkatan tahanan perifer akan meningkatkan tekanan darah (Guyton, 2001). Pada usia 46 ada kemungkinan besar belum terjadi penurunan fungsi organ secara ekstrim oleh karena itu pada pasien dengan usia 46 tahun elastisitas pembuluh darahnya masih bagus memungkinkan pembuluh darah akan lebih cepat mengalami vasodilatasi bila merasa rileks akibat pemberian terapi tertawa sehingga tekanan darah responden akan cepat turun. Setelah faktor usia di dalam data demografi terlihat bahwa kebiasaan hidup responden juga baik dimana responden tidak merokok. Selain tidak merokok responden juga tidak meminum kopi, meminum alkohol, serta berolahraga rajin seperti jalan santai 3 kali seminggu. Disini olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi (Potter & Perry, 1997). Meski pada responden ini mengkonsumsi garam dan lemak tetapi tidak dalam jumlah harian yang berlebih. Jenis lemak yang dikonsumsi responden adalah lemak nabati dimana lemak nabati banyak tersusun oleh asam lemak tak jenuh sehingga tidak berbahaya dibandingkan dengan lemak jenuh dari lemak hewani. Lemak jenuh mempunyai rantai panjang cenderung meningkatkan kadar kolesterol darah dan penebalan dinding pembuluh arteri karena timbunan kolesterol sehingga memicu terjadinya peningkatan tekanan darah (Yundini, 2006). Selain faktor yang terdapat dalam data demografi responden, peneliti meyakini ada faktor lain yang turut mempengaruhi penurunan tekanan darah responden secara ekstrim. Pertama keadaan psikis responden selama terapi dimana responden mengungkapkan bahwa responden pasien merasa senang dengan terapi yang diberikan oleh peneliti dan menganggap ini hal yang baru sehingga responden menjadi antusias ketika responden menjadi senang dan antusias maka terapi dapat berjalan maksimal dan keadaan rileks bisa tercapai. Kedua adalah keadaan responden dalam lingkungan wisma tempat tinggalnya dimana responden menikmati keadaannya di wisma mengenai hubungannya dengan teman-teman lansianya, maupun hubungannya dengan pengasuh, aktivitas hariannya ini berpengaruh ketika selesai waktu terapi responden pulang ke wismanya responden akan tetap merasa senang dan bahagia. Selain melihat penurunan tekanan darah sistolik pada angka tertinggi 24 mmHg yang cukup tinggi terlihat juga ada penurunan tekanan darah sistolik pada angka yang rendah yakni hanya 3 mmHg pada responden 10 dan responden 11. Pada 2 responden ini jika merujuk pada data demografi respondennya mereka mengalami penurunan tekanan darah yang rendah memiliki masalah dengan usia dimana usia responden sudah mencapai usia 69 (Responden 10) dan 72 (Responden 11) tahun dimana pada usia ini besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi organ sehingga pembuluh darah tidak mudah untuk bervasodilatasi secara cepat paska diberikan terapi tertawa. Selain faktor usia ada faktor demografi lainnya seperti kebiasaan hidup meski tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol dan cukup sering berolahraga tetapi pada responden 10 mengkonsumsi kopi, dimana meski hanya satu kali sehari tetapi ini telah berlangsung bertahuntahun sehingga kafein yang ada di dalam kopi dapat meningkatkan denyut jantung dan berisiko terhadap penumpukan kolesterol yang berpotensi mendorong peningkatan tekanan darah (Yundini, 2006). Selain mengkonsumsi kopi responden juga mengkonsumsi garam serta makanan berlemak lemak hewani. Ketika mengkonsumsi garam bisa terjadi peningkatan tekanan pada pembuluh darah sehingga tekanan darah menjadi tinggi ini karena ginjal yang bertugas untuk mengolah garam akan menahan cairan lebih banyak daripada yang seharusnya di dalam tubuh. Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan peningkatan pada volume darah seseorang atau dengan kata lain pembuluh darah membawa lebih banyak cairan. Beban ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah inilah yang menyebabkan pembuluh darah bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan darah (Yundini, 2006). Adapun garam yang dikonsumsi responden telah melebihi diet harian hipertensi DASH (The Dietary Approaches to Stop Hypertension) dimana untuk penderita hipertensi derajat berat dengan tekanan darah sistolik >160 dan tekanan darah diastolik >90 jumlah konsumsi garamnya harus kurang dari 1,25 gr garam dapur per hari atau kuarang dari ½ sendok teh per hari. Dari kebiasaan mengkonsumsi lemak hewani oleh responden juga sangat berpengaruh dimana lemak hewani mengandung lemak jenuh yang merangsang peningkatan kolesterol dalam pembuluh darah. Pada responden 11 memiliki masalah yang sama dimana responden 11 tidak merokok, tidak meminum minuman beralkohol, tidak meminum kopi namun masih mengkonsumsi garam dan lemak hewani serta jarang berolahraga dimana responden hanya berolahraga seminggu sekali. Setelah melihat perubahan tekanan darah sistolik pada responden sekarang masuk pada tekanan darah diastolik dimana pada tekanan darah diastolik terjadi penurunan dalam rentang 2 mmHg (Responden 6 dan Responden 19) - 24 mmHg (Responden 14). Pada responden dengan penurunan 2 mmHg tekanan darah diastolik berdasarkan data demografi responden 6 meski tidak merokok, dan minum alkohol namun responden mengkonsumsi kopi, garam, makanan berlemak hewani, jarang berolahraga dan usia responden adalah 55 sehingga penurunan tekanan darah diastolik hanya 2 mmHg setelah diberi terapi 6 kali. Pada responden 19 meski tidak merokok, minum kopi, minum minuman beralkohol serta cukup rajin berolahraga namun responden mengkonsumsi lemak hewani, mengkonsumsi garam dan usia responden sudah mencapai 75 tahun. Berbanding terbalik dengan responden 6 dan 19 responden 14 mengalami penurunan tekanan darah yang signifikan setelah diberikan terapi tertawa sebanyak 6 kali yakni mencapai 24 mmHg jika merujuk pada data responden terlihat bahwa responden no 14 berusia 63 tahun lebih tua dari responden 6 yang usianya 55 tahun namun mempunya kebiasaan hidup yang baik dengan tidak mengkonsumsi garam, koko, kopi, alkohol, rajin berolahraga dan responden hanya mengkonsumsi lemak nabati. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan tekanan darah responden bukan hanya dipengaruhi oleh terapi tertawa yang diberikan oleh peneliti tetapi juga dipengaruhi oleh usia dan kebiasaan hidup responden seperti mengkonsumsi, alkohol,kopi, makanan berlemak, rokok, garam serta olahraga diamana meski terapi tertawa mampu menurunkan tekanan darah tetapi untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan juga kebiasaan hidup yang baik dari responden. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Rata-rata tekanan darah lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi sebelum dilakukan terapi tertawa sebagai berikut: tekanan darah sistoliknya 175 dan tekanan darah diastoliknya 80 2. Rata-rata tekanan darah lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi sesudah dilakukan terapi tertawa sebagai berikut: tekanan darah sistoliknya 163,79 dan tekanan darah diastoliknya 69,21 3. Ada pengaruh antara pemberian terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas maka saran yang dapat berikan oleh peneliti sebagai berikut 1. Bagi Pantai Sosial Budi Agung Kupang di rekomendasikan dapat menggunakan terapi tertawa sebagai terapi komplementer dalam menurunkan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi sistolik terisolasi dan terapi ini bisa diberikan tiap hari 2. Bagi panti sosial disarankan untuk mengontrol asupan makanan dan diet bagi lansiayang mengidap hipertensi 3. Bagi penelitian selanjutnya disarankan mempertimbangkan variable: diet, usia, aktivitas, dan obesitas KEPUSTAKAAN Amaki et al. 2007. A case of Neurally Mediated Syncope Induced by Laughter Successfully Treated With Combination of Propanolol and Midodrine. (Int Heart J 2007; 48: 123-127). Jepang. Diakses: (13 Maret 2012) Andol. 2009. Terapi Tertawa. Diakses pada tanggal 13 Maret 2012 dari http://m.epochtimes.co.id. Anggun, R. P. dan Nurtjahjanti. H. 2001. Pengaruh Penerapan Terapi Tawa Terhadap Penurunan Tingkat Stres Kerja Pada Pegawai Kereta Api, Jurnal Psikologi Undip Vol. 10, No.2, Oktober 2011. Fakultas Psikologi UNDIP. Semarang Arif, M. 2001, Kapita Selekta Kedokteran. EGC. Jakarta Arifin et al. 2012. Jurnal Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga: Perbedaan Communication Back Massage dan Back Massage dalam Menurunkan Tekanan Darah Pada Klien dengan Lansia dengan Hipertensi. Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya. Surabaya Ariana, D. 2006. Terapi Humor untuk Menurunkan Tingkat Stres pada Mahasiswa Baru. Skripsi. Fakultas Psikologi UNAIR. Surabaya. Tidak dipublikasikan. Aronow, W.S. 2011. A report of the American college of cardiology foundation task force on clinical expert on consensus documents, ACCF/AHA 2011 Expert Consensus Document on Hypertension in the Elderly April 2011. Elsevier. USA Astawan, B. 2002. Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga terhadap praktek perawatan penderita hipertensi di RS Wira Bakti Tamtama. Skripsi. Stikes Karya Husada. Semarang Ayu, A . 2005. Terapi Tertawa Untuk Hidup lebih Sehat, Bahagia dan Ceria. Pustaka Larasati. Yogyakarta Chobanian. A. V et al. 2003. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation: an Treatment of High Blood Pressure. The JNC 7 Report Corwin, E. J. 2000. Buku Patofisiologi. EGC. Jakarta Saku Darmodjo dan Martono. 2000. Buku Ajar Geriatri, Edisi 2. Balai Penerbit FK UI. Jakarta Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan Dan Tatalaksana 64 Penyakit Hipertensi. Jakarta Domanski et al. 1999. Isolated Systolic Hypertension (Prognostic Information Provided by Pulse Pressure). American Heart Association, Inc. (Hypertension. 1999;34:375-380.). (Diakses: 12 Maret 2012) Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC. Jakarta Fahruliana, R. 2008. Pengaruh Pemberian Terapi Humor Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pada Narapidana Menjelang Masa Pembebasan. Thesis Universitas Islam Negeri Malang. Retrieved from http://lib.uinmalang.ac.id/thesis/07410083rani-fahruliana.pdf. Fitri. E. L 2008. Skripsi: Pengaruh Pelatihan Terapi Tertawa Terhadap Penurunan Tingkat Stress Pada Lansia Yang Tinggal Di Panti Werdha Hargo Dedali. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Surabaya. Tidak Di Publikasikan Ganong, W. F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta Guyton Dan Hall. 2008. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC. Jakarta Hardywinoto. D. dan Setiabudi. T. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai Aspek. Gramedia. Jakarta Haruyama. S. 2011. The Miracle Of Endorphine. Qanita (Mizan Grup). Jakarta Hasanat.1996. Pelatihan Ekspresi Wajah Positif untuk Mengurangi Depresi. Tesis. Fakultas Pascasarjana UGM. Yogyakarta Haynes. B. 2008. Buku Pintar Menaklukan Hipertensi. Ladang Pustaka & Intimedia. Jakarta Kaplan, N. M. 2002. Kaplan’s Clinical Hypertension. 8th Edition. Lippicncott. Philadelpia Kataria, M. 2004. Laugh For No Reason (Terapi Tawa). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Madan, K. 1999. Laugh For No Reason (terapi tertawa). Mumbai: Madhuri Internasional. Mc. G. dan Golstein. 1972. Handbook of Humor Research. Springer-Verlag. New York Nugroho. 2000. Keperawatan Gerontik. EGC. Jakarta Nursalam. 2008. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta Olivia. F dan Noverina A. 2010. Menyeimbaingi Otak Kiri Dan Otak Kanan Dengan Tertawa. Alex Media Komputindo. Jakarta Plutchik, R. 2002. Emotions and Life Perspective from Psychology, Biology, and Evolution. American Psychological Association. Washington DC Potter T dan Perry S. 1997. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4 Vol 2. EGC: Jakarta Prasetyo dan Nurtjahjanti. 2011. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Pengaruh Penerapan Terapi Tawa Terhadap Penurunan Tingkat Stres Kerja Pada Pegawai Kereta Api. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Semarang Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI). 2004. Naskah Lengkap Konggres Nasional III Dan Temu Ilmiah Nasional II.Yogyakarta: Medika FK UGM Pusat Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2010. Data/informasi Kesehatan provinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta Sheps. 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. PT Intisari Mediatama . Jakarta Sidabutar & Prodjosujadi. 1990 Ilmu Penyakit Dalam II. Balai penerbitFKUI. Jakarta Simanungkalit dan Pasaribu, 2007. Terapi Tawa Efektif Menagkal Stres dan Membantu Mengobati Kanker, Darah Tinggi, Sakit Kepala, Gangguan Syaraf, Maag dan lain-lain. Papas Sinar Sinanti. Jakarta: Soleh. M (2006). Terapi Sholat Tahajud Menyembukan Berbagai Penyakit. Penerbi Hikmah. Jakarta Suprayogi A. (2004). Sistem Sirkulasi (Kardiovaskuler). Buku Panduan Dan Kumpulan Modul : Pelatihan Singkat Teknik Laboratorium Hewan Percobaan Bidang Biologi Dasar, Bogor PSIH IPB dan Depdiknas 18-24 Agustus 2004. Bogor Susalit, E. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta: Suyono, S 2001. Ilmu Penyakit dalam, jilid II. Balai Penerbit FK UI. Jakarta Stanley, M. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. EGC. Jakarta Syukur, A. 2011. Beragam Cara Terapi Gangguan Emosi Sehari-Hari. Diva Press. Yogyakarta Temu Ilmiah Geriatri Semarang 2008. Badan Penerbit UNDIP: Semarang Thomas L. S, MD reviewing Chobanian AV et al. 2003. New Hypertension Guidelines: JNC 7. Tersedia dalam http://www.jwatch.org/jw200305 300000001/2003/05/30/newhypertension-guidelines-jnc-7 Diakses tanggal 13 Oktober 2013 Timiras, P.S. 2007. Physiological Basis of Aging and Geriatrics, Edisi 4. Informa Health Care. New York Yundini. 2006. Faktor Risiko Hipertensi, Warta Pengendalian Penyakit Tidak Menular: Jakarta