Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta ISBN: 978-602-96848-2-7 ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN MANAJEMEN BENCANA DI KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN Riny Handayani Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten E Mail: [email protected] Abstrak Peristiwa bencana yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar baik di Indonesia, telah membuka mata kita bersama bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Selama ini, manajemen bencana dianggap bukan prioritas dan hanya datang sewaktuwaktu saja, padahal kita hidup di wilayah yang rawan terhadap ancaman bencana. Oleh karena itu pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Pemerintah cenderung menerapkan pendekatan ”atas ke bawah(top down)” dalam perencanaan manajemen bencana dimana kelompok sasaran diberi solusi-solusi yang dirancang untuk mereka oleh para perencana dan bukannya dipilih oleh masyarakat sendiri. Pendekatan seperti jarang mencapai tujuan masyarakat karena pemerintah bertindak atas gejala-gejala dan bukan atas penyebabnya, dan gagal merespon kebutuhan riil dan tuntutan dari masyarakat. Kabupaten Serang, selain di wilayah ini terletak ibukota Propinsi Banten, berdasarkan data yang didapat dari POKJA AMPL Kabupaten Serang, seiring pertambahan tahun kawasan budidaya yang didominasi areal persawahan telah banyak berubah fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri yang tentunya akan menjadi daerah potensial banjir. Selain hal tersebut, saat ini terbentuk pola banyak perbukitan dan hutan yang ditebang secara liar sehingga menyebabkan tanah tak bisa terlalu banyak menyerap air sehingga menimbulkan banjir dan longsor. Telaah kepustakaan ini bertujuan menganalisis partisipasi masyarakat dan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan manajemen bencana di Kabupaten Serang. Kata Kunci : Partisipasi Masyarakat, Peran Pemerintah Daerah, Manajemen Bencana pandai menyiasati cara-cara hidup berdampingan dengan kondisi alam yang rawan bencana tersebut. Pada telaah kepustakaan ini, secara khusus manajemen bencana yang akan dianalisis adalah tentang banjir dan tsunami dengan wilayah penelitian adalah Kabupaten Serang. Karena selain di wilayah ini terletak ibukota Propinsi Banten, berdasarkan data yang didapat dari POKJA AMPL Kabupaten Serang, pola penggunaan lahan pada kawasan budidaya, yang penggunaan lahannya terdiri atas persawahan yaitu sawah tadah hujan dan irigasi, tegalan, kebun campuran, dan perkampungan, seiring pertambahan tahun telah banyak berubah fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri yang tentunya akan menjadi daerah potensial banjir. Selain hal tersebut, saat ini terbentuk pola banyak perbukitan dan hutan yang ditebang secara liar sehingga menyebabkan tanah tak bisa terlalu banyak menyerap air sehingga menimbulkan banjir dan longsor Di Banten ada 87 titik daerah rawan banjir yang tersebar hampir merata. Cakupan bencana banjir di wilayah Provinsi Banten meliputi 4 kabupaten dan 1 kota yang terdiri dari 43 Kecamatan, 133 Desa/Kelurahan dengan jumlah korban 30.851 KK, 80.804 Jiwa. Dari enam Daerah PENDAHULUAN Wilayah Indonesia, termasuk daerah rawan terjadinya bencana, terutama bencana alam geologi, yang disebabkan karena posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik di dunia yaitu: Lempeng Australia di Selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian Barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian Timur, yang dapat menunjang terjadinya sejumlah bencana. Berdasarkan posisinya tersebut, maka hampir di seluruh Indonesia kecuali daerah Kalimantan yang relatif stabil, kejadian bencana akan sangat mungkin terjadi setiap saat dan sangat sukar diperkirakan kapan dan dimana persisnya bencana tersebut akan terjadi. Jawa Barat termasuk termasuk daerah rawan terjadinya bencana seperti hal nya daerah lain di Indonesia, karena di wilayah ini selain kondisi geologinya menunjang terjadinya sejumlah bencana, juga banyak terdapat gunung berapi yang masih aktif Perlu disadari penuh oleh masyarakat serta pemerintah daerah di Kabupaten Serang bahwa kita hidup di daerah yang rawan bencana, sehingga bencana dapat datang secara tiba-tiba. Dengan demikian masyarakat Kabupaten Serang harus [207] Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta ISBN: 978-602-97365-X-X Tingkat II, hanya Kota Cilegon yang terbebas dari bencana yang sangat parah. .(Kesbanglinmas Provinsi Banten, 2008) Bencana banjir yang terjadi akibat derasnya curah hujan baru-baru ini telah menimbulkan kerusakan paling parah di Kabupaten Tangerang yang menggenangi 21 Kecamatan, 63 Kelurahan/Desa, dengan korban berjumlah 14.578 KK/ 45.380 Jiwa, dan korban meninggal mencapai 7 orang. Di Kota Tangerang, banjir menggenangi 13 Kecamatan yang terdiri dari 69 Kelurahan/Desa dengan jumlah korban mencapai 15.530 KK/32.333 Jiwa, dan korban meninggal mencapai 5 orang. Di Kabupaten Serang banjir menggenangi 5 Kecamatan terdiri dari 16 Kelurahan/Desa dengan jumlah korban mencapai 621 KK/2.481 Jiwa, dan tidak ada korban meninggal.(Kesbanglinmas Provinsi Banten, 2008) Untuk Kabupaten dan Kota Serang, daerah rawan banjir terletak di Kecamatan Pontang, Tanara, Tirtayasa, dan Kasemen. (Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Banten Winardjono.) Dua sungai, Ciujung dan Cidurian, di Kabupaten Serang, setiap kali musim penghujan selalu menjadi penyebab banjir bagi wilayah di sekitarnya. sungai itu, yaitu Ciujung yang membawa air dari daerah Lebak, dan Cidurian yang membawa kiriman air dari daerah Bogor. Selain itu, terdapat beberapa daerah lain di Kabupaten Serang yang menjadi langganan banjir, seperti Kec. Tunjungteja, Kasemen, Kragilan, dan Kec. Cikande yang menimbulkan kerugian cukup besar. Manajemen bencana dan tindakan-tindakan antisipasinya adalah syarat mutlak untuk dapat hidup berdampingan dengan bencana alam. Perlu political will pemerintah untuk segera memprioritaskan program manajemen bencana dengan melaksanakan penilaian bahaya, peringatan dan persiapan menghadapi bencana serta kegiatan sosialisasinya kepada masyarakat. Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana (seperti terlihat dalam Gambar Siklus Manajemen Bencana), yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.(Dr, Ir, Agus Rahmat, 2007) Siklus Manajemen Bencana Selain gempa bumi, sejak tahun 1987 sampai sekarang telah terjadi lebih dari 800 kejadian bencana tanah longsor yang menimbulkan korban lebih dari 700 jiwa, dimana setengah dari kejadian tanah longsor tersebut terjadi di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi daerah Jawa Barat dan Banten merupakan daerah perbukitan yang padat penghuninya dan memiliki curah hujan yang tinggi. Dari beberapa fakta dan data yang ada, Indonesia telah mengalami berbagai bencana yang menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang besar. Bencana banjir Jakarta di awal tahun 2002 menunjukkan betapa besarnya kerugaian yang ditimbulkan. Untuk pemulihan kondisi perkotaan setelah kejadian banjir di Jakarta, diperkirakan akan menghabiskan dana lebih dari 15 trilyun rupiah. Kerugian ini belum termasuk kerugian yang diderita oleh masyarakat secara langsung. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi percepatan program pembangunan kota serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dibandingkan provinsi lain, Jawa BaratBanten merupakan wilayah paling rawan gempa bumi. Penyebab dari gempa bumi ini adalah terjadinya pergeseran patahan (sesar) di dalam tanah. Patahan ini mengalami pergeseran sebagai akibat akumulasi tekanan yang merupakan fenomena alam. Semakin tinggi tekanan maka patahan ini akan bergeser lebih keras sehingga terjadilah bencana gempa bumi yang besar dengan radius kerusakan bisa mencapai belasan kilometer dari pusat gempa bumi. (Direktorat Vulkanologi dan Manajemen bencana Geologi, 2007) Potensi bencana alam di Indonesia, diperparah oleh beberapa permasalahan lain yang memicu peningkatan kerentanan. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, sebagai salahsatu contoh akan banyak membutuhkan kawasan hunian baru yang pada akhirnya kawasan tersebut akan terus berkembang dan menyebar hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak aman (Pusat Manajemen bencana, ITB, 2008). Tidak tertib dan tidak tepatnya penggunaan lahan, merupakan salahsatu faktor yang menyebabkan adanya [208] Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta ISBN: 978-602-97365-X-X peningkatan kerentanan akan bencana alam tersebut. Peningkatan kerentanan ini akan diperparah bila aparat pemerintahan maupun masyarakatnya tidak menyadari dan tanggap adanya potensi bencana alam di daerahnya. 4. 5. 6. PEMBAHASAN Pengertian Partisipasi Partisipasi adalah keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan tanggungjawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama (Sastropoetro, 1986). Sedangkan Terry berpandangan bahwa partisipasi secara formal dapat didefinisikan baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangsihsumbangsih kepada proses pembuatan keputusan terutama mengenai darpersoalan-persoalan bagi keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan melaksanakan tanggungjawabnya untuk melakukan hal tersebut. (Winardi, 1985). Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh perorangan maupun secara berkelompok dalam masyarakat, untuk menyatakan kepentingan atau keterikatan mereka terhadap organisasi atau masyarakat dimana mereka bergabung dalam rangka mencapai tujuan masyarakat tersebut. Bentuk partisipasi masyarakat dapat dibedakan atas beberapa cara dan bentuk. In (Young Wang, 1981) membedakan tiga cara dalam berpartisipasi yaitu (1) voluntary participation, (2) introduced participatio, (3) forced participation. Samuel Huntington dan Joan Nelson (Budiarjo, 1982) membedakan bentuk partisipasi dalam dua bentuk yaitu (1) partisipasi otonom, (20 partisipasi mobilisasi. Di samping itu (Cohen dan Uphoff , 1977) membedakan partisipasi atas 3 jenis : (1) voluntary participation, (2) coersion participation, (3) combination voluntary-coercion. Partisipasi meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan termasuk pengawasan dan pemanfaatan hasil kegiatan yang terdapat aspek pemeliharaan hasil kegiatan. Dalam kaitan dengan tahap partisipasi, (Ndraha, 1990 : 102-104) mengemukakan bentuk yang dapat juga disebut tahap partisipasi, meliputi : 1. Partisipasi dalam/melalui kontraknya dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial. 2. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), menginginkan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya. 3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana),…. Termasuk keputusan politik yang menyangkut nasib mereka, dan partisipasi dalam hal yang bersifat teknis (desain proyek). Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan Cohen dan Uphoff menamakan ini participation in benefits. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauhmana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauhmana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk mendapatkan tingkat partisipasi yang diharapkan dalam pelaksanaan keputusan, maka tujuan dan pelaksanaan keputusan itu diarahkan pada perbaikan kondisi dan taraf hidup masyarakat (peningkatan kesejahteraan). Dalam hal ini, (Ndraha, 1990 : 104) mengemukakan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat itu, adalah : 1. Sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt need) 2. Dijadikan stimulasi terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (respon yang dikehendaki). 3. Dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi membangkitkan tingkah laku (behavior) yang dikehendaki secara berlanjut. Keadaan dan unsur penting penting timbulnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan atau kebijaksanaan daerah, maka paling tidak terdapat beberapa faktor dasar yang mempengaruhi tingkat partisipasi itu, antara lain : a. Proses penentuan rencana (pembuatan keputusan) yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat. Unsur akomodatif ini juga diwujudkan pada kemanfaatan yang akan diterima masyarakat dari pelaksanaan kegiatan itu. b. Adanya kesadaran, yaitu sejumlah sikap, perilaku dan pola sikap yang didasarkan pada pengetahuan akan manfaat atau juga oleh sejumlah nilai yang menuntut seseorang melaksanakan kegiatan yang ditetapkan. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan ataupun kebudayaan politik, yaitu kebudayaan yang berhubungan dengan perumusan rencana (keputusan) dan pelaksanaan keputusankeputusan yang mengikat bersama (masyarakat). c. Adanya upaya motivasi pengarahan dan penggerakan dari pemimpin dalam masyarakat untuk menimbulkan partisipasi itu. Dalam hal ini, kepemimpinan daerah yang dapat menimbulkan kesadaran anggota masyarakat dalam berpartisipasi, sangat dibutuhkan. Gaya kepemimpinan yang mampu mengakomodasikan terhadap aspirasi masyarakat, merupakan sesuatu yang penting. [209] Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta d. ISBN: 978-602-97365-X-X Untuk mewujudkan komponen-komponen di atas juga perlu didukung oleh pola komunikasi yang efektif dari para elit dalam organisasi pemerintahan daerah, guna dapat mewujudkan penerimaan kebijaksanaan yang dibuat. Adanya kesamaan pengertian dan pandangan pelaksanaan kegiatan melalui pola komunikasi yang efektif, maka partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijaksanaan itu akan dapat diwujudkan. Manajemen Bencana Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama, yaitu: 1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini; 2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian; 3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pendekatan proaktif dalam mengurangi resiko bencana, merupakan salah satu bagian terpenting dalam kegiatan mitigasi yang pada akhirnya sebenarnya lebih ditujukan untuk mengurangi tingkat resiko bencana. Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi. Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi. Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen Bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi. Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik berupa korban jiwa dan atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Untuk mendefinisikan rencana atau strategi mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian resiko (risk assesment). [210] Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta ISBN: 978-602-97365-X-X Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya. Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersamasama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain: 1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana; 2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan; 3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik; 4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan; 5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana. Mitigasi Bencana Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakantindakan pengurangan resiko jangka panjang. Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah. Mitigasi Bencana yang Efektif Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan. 1. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya; 2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya. 3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat Pemerintah cenderung menerapkan pendekatan ”atas ke bawah(top down)” dalam perencanaan manajemen bencana dimana kelompok sasaran diberi solusi-solusi yang dirancang untuk mereka oleh para perencana dan bukannya dipilih oleh masyarakat sendiri. Pendekatan seperti itu cenderung mendekatkan tindakan-tindakan manajemen bencana fisik dibandingkan perubahanperubahan sosial untuk membangun sumberdaya dari kelompok yang rentan. Jarang tercapai tujuan [211] Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta ISBN: 978-602-97365-X-X masyarakat karena pemerintah bertindak atas gejalagejala dan bukan atas penyebabnya, dan gagal merespon kebutuhan riil dan tuntutan dari masyarakat. Satu pendekatan alternatif adalah mengembangkan kebijakan manajemen bencana lewat konsultasi dengan kelompok-kelompok setempat dan menggunakan tehnik serta tindakan dimana masyarakat dapat mengorganisir sendiri dan mandiri dengan bantuan tehnis terbatas dari luar. Program-program manajemen bencana berbasis masyarakat tersebut dianggap lebih mungkin menghasilkan tindakan-tindakan yang merespon kebutuhan riil penduduk, dan untuk mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan ini juga cenderung memaksimalkan penggunaan sumber-sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja, material dan organisasi. Menerapkan kebijakan berbasis masyarakat tersebut tergantung pada beberapa faktor diantaranya, adanya lembaga-lembaga dan kelompok masyarakat setempat yang aktif dan berkepentingan yang dapat menyediakan bantuan dan dukungan tehnis pada tingkat yang memadai. Praktek-praktek manajemen bencana yang berhasil harus melibatkan kerjasama antara komunitas lokal dengan instansi yang terkait. Komunitas lokal harus sadar akan resiko dan peduli untuk melakukan tindakan untuk menghadapi resikonya. Masyarakat mungkin memerlukan bantuan tehnis, bantuan materi dan bantuan dalam membangun kapabilitas-kapabilitas mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat yang diciptakan untuk mencapai tujuannya dan memperoleh bantuan dari instansi pemerintah akan memberikan manfaat pembangunan yang berlangsung terus menerus dan berkelanjutan. yang mungkin terjadi dan meningkatkan manfaat pada keberlangsungan pembangunan di wilayah Banten. Sebanyak 14 wilayah pesisir Banten rawan terhadap gempa dan tsunami. Ke-14 wilayah tersebut berada di Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Lebak. Untuk wilayah pesisir Kabupaten Serang yang rawan gempa dan tsunami terletak di Kecamatan Cinangka dan Kecamatan Anyer. Sementara Kota Cilegon terletak di Kecamatan Pulo Merak, Kecamatan Ciwandan, dan Kecamatan Grogol. Kabupaten Pandeglang terletak di Kecamatan Sumur, Kecamatan Cikeusik, Kecamatan Pagelaran, dan Kecamatan Panimbang. Kabupaten Lebak terletak di Kecamatan Bayah, Kecamatan Panggarangan, dan Kecamatan Malingping. (Sumber : Deputi Analisis Kebutuhan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi Kementerian Riset dan Tekhnologi 17 Des 2007). Kampung Siaga Bencana di provinsi ini adalah representasi dari program penanggulangan bencana berbasis masyarakat ( Community base disarter manageman ) yaitu sebagai bentuk upaya pelembagaan penanggulangan bencana pada daerah rawan bencana yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat dalam rangka menanamkan sikap kesiapsiagaan penanggulangan bencana yang juga perlu dukungan dari Pemerintah Daerah Provinsi Banten. Program KSB ini, merupakan salahsatu dari beberapa program yang dibuat untuk mengantisipasi bahaya bencana alam yang terjadi di wilayah ini. Program lainnya adalah pembentukan Tim Reaksi Cepat (TRC), Sekolah Siaga Bencana (SSB), Seminar dan Diskusi Kebencanaan, Gladi/Drill Penanggulangan Bencana dengan Jurnalis, Penguatan konseptual, Managerial, tehnikal dan Social Skill serta Fasilitasi Operasional Kepengurusan. Kampung Siaga Bencana di Provinsi Banten Provinsi Banten terletak di antara 5º7'50"7º1'11" Lintang Selatan dan 105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur dengan luas wilayah 9.160,70 Km2. Kondisi topografi dengan wilayah datar (kemiringan 0 - 2 %) seluas 574.090 hektare, wilayah bergelombang (kemiringan 2 - 15%) seluas 186.320 hektare, dan wilayah curam (kemiringan 15 - 40%) seluas 118.470,50 hektare. Secara umum, Provinsi Banten memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, klimatologis dan demografis yang rawan terhadap ancaman bencana. Beberapa potensi bencana yang terindikasi, pernah terjadi dan mungkin akan terjadi di Propinsi Banten antara lain adalah : gempa bumi, gunung meletus, rawan longsor, banjir, tsunami, gelombang badai, tumpahan minyak/zat kimia di laut, dan ledakan/kebocoran industri zat kimia. Adaptasi potensi rawan bencana ke dalam desain struktur dan perencanaan pengembangan wilayah Banten diharapkan akan dapat mengurangi dampak buruk Tujuan dari KSB khususnya di wilayah ini, adalah : - [212] Melembagakan proses kegiatan penanggulangan bencana berbasis masyarakat Mengurangi dampak bencana Mengorganisir potensi masyarakat terlatih siaga bencana Membentuk unit khusus siaga bencana berbasis masyarakat disetiap kecamatan sebagai front liner Menjamin kesinambungan proses kesiapsiagaan penanggulangan bencana berbasis masyarakat Memperkuat integrasi sosial melalui peningkatan intensitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta - ISBN: 978-602-97365-X-X dan khususnya Kabupaten Serang tentang pemahaman pada tahapan ini sangat penting untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur). Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya. Sebagai upaya dan inisiasi aktif, mengenali pentingnya penguatan kapasitas komunitas dalam pengelolaan bencana maka Pemerintah Daerah Provinsi Banten dalam hal ini Dinas Sosial dan Tim Penganggulangan Bencana Alam (TAGANA) Banten merancang dan coba menerapkan program penanggulangan bencana dengan menggunakan pendekatan Community Based Disaster Management (CBDM), TAGANA mengimplementasikan program tersebut melalui serangkaian kegiatan sebagai berikut: 1. Pembentukan Tim Reaksi Cepat (TRC) 2. Kampung Siaga Bencana (KSB) 3. Sekolah Siaga Bencana (SSB) 4. Seminar dan Diskusi Kebencanaan 5. Gladi/Drill Penanggulangan Bencana dengan Jurnalis 6. Penguatan Konseptual, Managerial, Tehnikal dan Keterampilan Sosial 7. Fasilitasi Operasional Kepengurusan Pendekatan dari bawah ke atas ini akan melengkapi pendekatan atas ke bawah yang dimiliki pemerintah, ini memungkinkan khususnya komunitas-komunitas yang mempunyai kerentanan tinggi untuk mengaktifkan partisipasi dalam merespon resiko atas ancaman yang datang. Masyarakat agar mampu mengelola sumberdaya manusia, wilayah, potensi dalam penanggulangan bencana KSB berkedudukan di kecamatan atau komunitas adat sederajat dalam wilayah Republik Indonesia. Pemerintah Provinsi Banten pada tahun 2011 ini akan menbentuk sebanyak 154 kecamatan yang berlabel Kampung Siaga Bencana Se-Provinsi Banten, Dinas Sosial dan Tagana Banten bertanggungjawab untuk penyelenggaraan pembinaan dan pemantapan program KSB ini. Kriteria Lokasi Kampung Siaga Bencana (KSB) adalah, pernah mengalami kejadian bencana dan merupakan daerah yang sangat rawan bencana, Dukungan dari Pemda setempat (Pos/Gardu Sosial KSB, lapangan untuk lokasi simulasi KSB, dunia usaha, LSM/NGO). Masyarakat mempunyai kompetensi melakukan penanggulangan bencana yang terjadi di wilayahnya secara mandiri, Partisipasi masyarakat setempat dalam pembentukan KSB, Belum pernah ada program sejenis dan Tidak bertentangan dengan budaya lokal (Kearifan Lokal). PENUTUP Provinsi Banten termasuk wilayah yang rawan akan bencana seperti gempa bumi, pergerakan tanah/longsor dan juga banjir. Penyebabnya adalah terjadinya pergeseran patahan (sesar) di dalam tanah. Patahan ini mengalami pergeseran sebagai akibat akumulasi tekanan yang merupakan fenomena alam. Semakin tinggi tekanan maka patahan ini akan bergeser lebih keras sehingga terjadilah bencana gempa bumi yang besar dengan radius kerusakan bisa mencapai belasan kilometer dari pusat gempa bumi. Mitigasi merupakan usaha untuk melunakkan akibat bencana. Usaha ini memang paling murah untuk dilakukan. Mitigasi dan perlindungan dapat dilakukan secara serempak. Jika konsep mitigasi ternyata dapat dikerjakan dengan teknologi, dapat ditingkatkan menjadi perlindungan. Sebagai contoh ialah identifikasi daerah banjir dan langsung tindakan teknologi. Mitigasi dapat dibagi dua yaitu aktif dan pasif. Pasif artinya tindakan untuk menghindari bencana. Sebagai contoh ialah pembuatan zonasi daerah rawan bencana, aturan bangunan, tataguna lahan, perencanaan tata ruang, dst. Tujuannya jelas yaitu mengurangi / menghindari akibat bencana. Mitigasi aktif adalah usaha agar mitigasi pasif dapat terlaksana yaitu melibatkan masyarakat. Dengan demikian kegiatannya meliputi diantaranya pendidikan masyarakat dan birokrasi akan bencana, penyesuaian infrastruktur sesuai aturan, relokasi penduduk, diversifikasi kegiatan ekonomi, penyesuaian tatguna lahan. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah, dalam hal ini Provinsi Banten [213] Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta ISBN: 978-602-97365-X-X DAFTAR PUSTAKA Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri , dkk 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta; PT. Pradnya Paramita Faisal, Sanafiah. 2004. Format-format Penelitian Sosial. Grafindo Persada, Jakarta Drs. Kusnadi, M.A. Nelayan; Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial (2002). Bandung. Humaniora Utama Press Arah Kebijakan Mitigasi Bencana di Indonesia, Sekretariat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Jakarta 2002 Soetrisno, L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta Budiarjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Bunga Rampai. Gramedia, Jakarta www.geo.ugm.ac.id : Manajemen Bencana, April 2009 www.banten.go.id : Profil Kabupaten Serang. 3 Maret 2009 www.belajarbencana.wordpress.com : Belajar Mengenali Bencana Alam, 22 April 2009 www.bapeda-jabar.go.id: Manajemen dan Mitigasi Bencana, 2 Juni 2008 www. Tempointeraktif.com : Propinsi Banten Rawan Banjir. 17 Juli 2008 www.radarbanten.co.id : Banjir Melanda Kota Serang. 28 November 2008 Biodata Penulis Riny Handayani adalah dosen Program Studi Administrasi Negara FISIP Untirta. Aktif di Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta. Fokus bidang penelitian pada Manajemen Bencana dan Sistem Informasi Geografi [214]