hak istri untuk menolak talak - Institutional Repository UIN Syarif

advertisement
HAK ISTRI UNTUK MENOLAK TALAK
PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM POSITIF
Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh:
ELI ERMAWATI MS
NIM: 1060 4410 13 67
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ranah hukum ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi,
societas”, dimana ada masyarakat, maka disana ada hukum. Hal ini berarti pada
setiap perkembangan, corak dan dinamika kehidupan masyarakat, akan ada tatanan,
norma dan kaedah hukum yang mengaturnya. Berdasarkan kaedah ini masyarakat
diatur, dibimbing dan diarahkan supaya pola hidup yang dijalani tetap teratur dan
tertib (rule and order) serta dapat terjaga hak-hak masing-masing individu.1
Setiap perkembangan dan dinamika masyarakat, terutama pergulatan sosial,
ekonomi, politik dan budaya adalah butuh jawaban/solusi dan pembenaran. Hal ini
dapat membawa kalangan ahli hukum untuk melakukan telaah dan kajian ulang
terhadap berbagai dasar hukum yang selama ini digunakan sebagai pijakannya. Hal
itu perlu dilakukan sebagai bagian dari proses untuk mewujudkan idealitas pencarian
dan penemuan hukum yang dikenal sebagai proses “recht vinding”. Hal ini berarti
ada upaya penggalian dan penemuan kembali berbagai solusi hukum sehubungan
dengan kemunculan berbagai persoalan sosial, hukum, politik dan lainnya yang tidak
ditemukan dalam dasar hukum utamanya. 2
1
Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, (Jakarta: Lintafariska Putra,
2001), Cet. 2, h. 1. 2
Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, h. 2. 2
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam masalah perkawinan juga terdapat
beberapa permasalahan yang butuh solusi pemecahan. Masalah akad perkawinan
dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci
(mitsâqan ghalîzhan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah.
Hal ini menunjukkan ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu
perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi
tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa
rahmah) dapat terwujud.
Namun, seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan.
Apabila pergaulan suami istri tidak dapat mencapai tujuan perkawinan seperti yang
didambakan, maka hal itu akan mengakibatkan perkawinan harus putus di tengah
jalan. Karena tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka di dalam Islam terdapat
suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu perceraian/talak.
Talak merupakan salah satu formula dari perceraian. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Khairuddin Nasution dalam bukunya yang berjudul Status Wanita di Asia
Tenggara menyebutkan bahwa dalam kitab-kitab fiqih klasik, menurut Imam Mâlik
sebab-sebab putusnya perkawinan adalah thalâq, khiyâr/fasakh, khulu', syiqâq,
nusyûz, ilâ' dan zhihâr. Imam Syafi'î, sebagaimana ia nukil menuliskan sebab-sebab
3
putusnya perkawinan adalah thalâq, khulu' fasakh, khiyâr, syiqâq, nusyûz, ila', dzihâr
dan li'ân. 3
Dalam kitab-kitab fiqih klasik putusnya perkawinan yang disebabkan talak
ada di tangan laki-laki. 4 Bahkan jika diamati, seolah-olah fiqih memberikan aturan
yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang
terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah talak menjadi hak prerogatif 5
laki-laki
sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya menceraikan istri
secara sepihak. 6
Berkenaan dengan hal ini, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa Islam
memberikan hak talaknya kepada kaum laki-laki karena kaum laki-lakilah yang
memiliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai dengan mahal
sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan membutuhkan biaya
yang banyak. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa laki-laki mempunyai akal tabiat
yang
lebih
sabar
menghadapi
perangai
istrinya.
Dia
tidak
cepat-cepat
menceraikannya. Sebaliknya, perempuan lebih cepat marah, terburu-buru dan tidak
menanggung beban perceraian. 7
3
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 208. 4
Ahmad al-Ghandur, al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun, (Mesir: Dar alMa’arif, 1967), Cet. Ke-1, h. 32. 5
Yaitu hak Istimewa. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Cet.
Ke-5, hal. 370. 6
Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam
Islam (Bandung: Mizan, 2001), h. 170. 7
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, T. Th), V. 2, h. 178. 4
Pelaksanaan talak adalah tindakan sepihak dari suami; oleh karena itu tidak
dikenal istilah qabul. Namun apakah keabsahan talak itu diperlukan persetujuan istri,
kelihatannya tidak dibahas oleh ulama fiqih, baik secara umum atau dalam bahasan
khusus. Hal ini disebabkan karena pendapat ulama secara umum talak itu adalah
otoritas 8 mutlak seorang suami. Otoritas itu dapat digunakannya meskipun tidak
mendapat persetujuan dari istri yang ditalaknya. 9
Di sisi lain, ternyata beberapa ulama kontemporer menyatakan bahwa
walaupun hak talak ada di tangan laki-laki, tapi ia tidak boleh menggunakannya
dengan sewenang-wenang. Abu Zahrah bahkan mengatakan bahwa antara laki-laki
dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam permasalahan aqad termasuk di
dalamnya tentang aqad pernikahan dan perceraian. Oleh karena itu dalam suatu
perceraian butuh adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. 10
Dari berbagai pendapat yang ada, Hukum Perkawinan di Indonesia lebih
mengadopsi pendapat yang membatasi hak talak suami. Hal tersebut dapat dilihat
dalam Hukum Acara Peradilan Agama yakni dalam rangkaian proses pengajuan
permohonan cerai/talak seorang istri diberikan kesempatan untuk menjawab
permohonan talak dari suaminya. Pada Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa
tergugat/termohon, dalam hal ini adalah istri sebagai termohon, dapat mengajukan
8
Yaitu hak untuk bertindak, kekuasaan: wewenang. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, h.
332 9
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. ke-2, h. 214. 10
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h.
279-281. 5
jawaban secara tertulis atau lisan. Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan jawaban
dari termohon yakni ia bisa mengiyakan permohonan talak suaminya atau sebaliknya
ia akan menjawab untuk tetap mempertahankan rumah tangganya dan menolak
permohonan talak dari suaminya. 11 Kesempatan untuk menjawab ini bahkan tidak
hanya sekali tapi dua kali yakni dilanjutkan lagi dengan duplik (jawaban dari replik
pemohon).
Dalam praktek perkara perdata pada Pengadilan Agama juga dikenal istilah
upaya hukum, yakni suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya
atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian
hukum, menurut cara yang telah ditetapkan undang-undang. 12 Upaya hukum dibagi
menjadi beberapa jenis yakni adakalanya untuk melawan gugatan, melawan putusan
upaya hukum luar biasa (istimewa). Adapun upaya hukum untuk melawan putusan di
antaranya adalah verzet, banding (pasal 61 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989)
dan kasasi (pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 jo pasal 63
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman jo KHI pasal 130). Dengan adanya upaya hukum ini,
seandainya hakim mengeluarkan putusan yang mengabulkan permohonan perceraian
dari suami pada tahap pengadilan tingkat pertama, sedangkan ia (istri) masih
bersikeras untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan tidak ingin
11
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), Cet-1, h. 97. 12
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 271. 6
dicerai, maka ia dapat mengajukan upaya hukum untuk mempertahankan haknya.
Bahkan, jika ia tidak bisa mendapatkan haknya pada Pengadilan tingkat pertama
dengan cara banding, maka ia masih bisa mengajukan upaya hukum pada tingkat
Mahkamah Agung yang biasa disebut dengan kasasi.
Dari semua realita tersebut, dapat ditemukan indikasi adanya perbedaan
antara hukum fiqih dengan hukum positif di Indonesia. Yakni, jika fiqih terkesan
tidak memberikan hak bagi seorang istri untuk terlibat dalam talak lebih-lebih dapat
mengajukan penolakan terhadap talak yang diajukan suaminya, maka hukum positif
Indonesia justru sebaliknya memberikan hak kepada seorang istri untuk dapat turut
andil dalam proses talak dan pada beberapa pasalnya menyatakan secara implisit
bahwa istri dapat mengajukan hak-nya untuk menolak talak yang diajukan suaminya.
Berdasarkan sebuah kesimpulan awal bahwa terdapat perbedaan antara fiqih
dengan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan ada atau tidaknya hak istri
dalam menolak talak yang diajukan suaminya, maka penulis terinspirasi mengambil
judul untuk skripsi ini adalah: “Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih
dan Hukum Positif”.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis akan
merinci rumusan permasalahannya dalam bentuk pertanyaan. Adapun rumusan
permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana otoritas istri dalam menerima dan menolak talak?
7
2. Bagaimana batas hak wanita dapat menolak talak berdasarkan Fiqih klasik dan
kontemporer?
3. Bagaimana batas hak wanita dapat menolak talak berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI)?.
4. Bagaimana perbandingan antara Fiqih dan Hukum Positif dalam memandang
permasalahan hak istri untuk menolak talak?.
Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas
dan tetap pada pembahasan utamanya sehingga dapat lebih terfokus, oleh karena itu
penulis akan mengemukakan batasan-batasan persoalan dalam skripsi ini hanya pada
beberapa permasalahan. Secara lebih spesifik penulis hanya membatasi pada masalah
perbedaan hak seorang istri untuk menolak talak perspektif fiqih lintas lima madzhab
(Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari) dan hukum positif.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari
kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengungkapkan tentang ada tidaknya hak seorang istri dalam menerima
dan menolak talak.
2. Untuk mengungkapkan bagaimana batasan peran seorang istri dalam menolak
talak berdasarkan kajian lintas perspektif Fiqih lintas lima madzhab; Syafi’i,
Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari.
8
3. Untuk mengungkapkan bagaimana batasan peran seorang istri dalam menolak
talak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
4. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Fiqih dan Hukum Positif dalam
memandang permasalahan hak istri dalam menolak talak.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pengertian secara akademis mengenai hak istri dalam permasalahan
talak.
2. Memberikan wacana tentang peran seorang istri dalam menolak talak ditinjau
dari kajian lintas perspektif Fiqih lintas lima madzhab; Syafi’I, Hambali, Maliki,
Hanafi dan Ja’fari dan Hukum Positif serta perbandingan dari kedua perspektif
tersebut.
3. Memberikan kesadaran bagi wanita agar dapat mengerti tentang hak-hak dan
peran sertanya dalam permasalahan talak.
D. Studi Kajian Terdahulu
Sebenarnya telah banyak para peneliti yang menulis tentang permasalahan
talak. Namun tulisan-tulisan tersebut masih banyak yang berupa pemaparan tentang
talak dan seluk beluk lainnya. Kadang ada beberapa pembahasan yang terfokus pada
suatu kasus tertentu, namun pemaparan-pemaparan tersebut hanya terfokus pada
teori inti bahwa istri bersifat pasif dengan talak yang dijatuhkan suaminya.
9
Pemaparan seperti ini biasanya terdapat dalam bab talak yang tersebar pada kitabkitab fiqih klasik.
Adapun pencarian dari beberapa skripsi yang sudah penulis lakukan
berkenaan dengan tema tersebut hanya berkisar pada gender dan kedudukan wanita
dalam perkawinan. Adapun beberapa skripsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Huzaemah. Kesetaraan Gender Dalam Buku I KHI (Studi Analisis Bab III, IV,
VIII, IX dan XII). (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah.
2004).
Skripsi
ini
mengfokuskan
pembahasannya
pada
permasalahan kesetaraan gender yang terkandung dalam buku I KHI. Sumber
data yang dipakai olehnya berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan
skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa
dalam KHI sudah terdapat beberapa point penting yang mengakomodir posisi
wanita dalam hukum. Wanita mempunyai kesetaraan dalam hukum. Walaupun
Huzaemah membahas kesetaraan gender dalam KHI, tapi ia meluputkan satu
pembasan khusus tentang hak istri dalam menolak talak suami seperti yang
tercantum dalam pasal 130 KHI. Disinilah point yang akan penulis ambil untuk
dijadikan kajian dalam skripsi ini.
2. Saraswati. Status Wanita Dalam Perkawinan Dipandang Dari Konsep Fiqih Dan
UUP Nomor 1 Tahun 1974 . (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah
2004).
Skripsi
ini
mengfokuskan
pembahasannya
pada
permasalahan status wanita dalam sebuah perkawinan dan perbandingan tentang
eksistensi wanita dalam sebuah perkawinan jika ditinjau dari Fiqih dan UU
10
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam skripsi ini penulis
menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer
dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa
status wanita dalam fiqih masih sangat terbatas sedangkan dalam UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan peluang kepada wanita untuk
mempunyai status yang sama di hadapan hukum. Dalam skripsi ini juga tidak
temukan pembahasan tentang hak banding seorang istri yang ditalak.
3. Zaenudi, Cecep Miftah. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gender Maistreaming
KHI. (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2006).
Skripsi
ini
mengfokuskan
pembahasannya
pada
permasalahan
gender
mainsteaming yang terdapat dalam KHI ditinjau dari Hukum Islam. Dalam
skripsi ini penulis menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku
sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil
penelitiannya adalah bahwa tinjauan Islam tentang gender mainsteaming yang
diadopsi oleh KHI dapat dibenarkan. Namun, ia tidak membahas lebih spesifik
tentang hak istri dalam menolak talak.
Dari hasil tinjauan review kajian terdahulu yang sudah dilakukan oleh penulis
ternyata tulisan-tulisan yang sudah ada belum membahas tentang posisi wanita dalam
suatu perceraian secara khusus dalam hal ini adalah tentang kuasa istri menolak talak
suaminya. Kalaupun ada beberapa pembahasan pada suatu kasus talak yang berkaitan
dengan gender dan feminisme, namun hal tersebut belum menyentuh pada pemaparan
sebuah perbandingan hukum lintas perspektif, dalam hal ini adalah perspektif Fiqih
11
klasik (madzhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari), Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari
sini, penulis dapat berkesimpulan bahwa pembahasan tentang hak istri untuk
menolak (banding) terhadap putusan talak suaminya perspektif Fiqih dan Hukum
Positif belumlah dibahas secara spesifik bahkan di fiqih-pun juga masih belum ada
pembahasan secara khusus, hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Prof. Dr.
Amir Syarifudin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. 13
E. Objek Penelitian
Objek penelitian skripsi ini adalah berawal dari sebuah perbedaan yang
terjadi antara teori-teori dalam fiqih dengan Hukum Positif dalam hal ini adalah KHI
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni berkenaan
dengan permasalahan ada atau tidaknya hak istri dalam menolak talak.
Dalam fiqih, secara umum para ulama menyatakan bahwa hak menjatuhkan
talak merupakan hak prerogatif
bagi suami secara mutlak. Kapanpun dan
dimanapun ia ingin menjatuhkannya kepada istrinya, maka talak itupun akan
dianggap jatuh dan dihukumi absah. Sedangkan sebagian ulama lainnya menyatakan
bahwa walaupun talak ada di tangan suami tapi suami tidak dapat melakukan hal
tersebut sekehendak hatinya. Hal ini terkait dengan bagaimana suami itu memandang
13
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 214. 12
maslahat dari sebuah talak yang akan dijatuhkannya. Suami haruslah amanah dengan
kekuasaan (untuk mentalak) yang telah diberikan Allah SWT kepadanya.
Adapun dalam Hukum Positif Indonesia menyatakan bahwa perceraian hanya
dapat terjadi jika diucapkan di hadapan Pengadilan Agama. Tentu saja dengan segala
prosedur yang harus dipenuhi, misalnya suami harus mempunyai alasan ketika akan
mentalak istrinya.
Hal yang paling berbeda adalah ketika fiqih tidak membahas tentang ada atau
tidaknya persetujuan dari istri yang ditalak, maka pada hukum keluarga Islam
kontemporer telah membahas masalah ini. KHI menyatakan jika Pengadilan Agama
di tingkat pertama memutuskan antara suami-istri tersebut telah bercerai (talak),
sedangkan istri tetap masih berkeinginan untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangganya, maka istri tersebut dapat mengajukan hak banding (Pasal 130).
Dari uraian di atas, penulis akan meringkas bahwa objek penelitian ini adalah
berkenaan dengan masalah kontradiktif tentang adanya hak menolak talak bagi
seorang istri perspektif fiqih dan hukum positif.
F. Metode Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dipaparkan penulis
sebelumnya, maka kajian ini dilakukan dengan metode kepustakaan (library
research) atau kualitatif. 14 Yaitu dengan cara membaca, mempelajari buku-buku
14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet-13, h. 11. 13
yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pembahasan. Pendekatan yang
digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan normatif, yaitu analisis
data didekati dari norma-norma hukum, maksudnya menganalisis dalil dan metode
penetapan hukum yang digunakan Fiqih dan Hukum Positif. Selanjutnya dalam
penjabaran skripsi ini penulis menggunakan studi analisis komparatif yaitu dengan
cara membandingkan hukumnya antara perspektif Fiqih (klasik dan Kontemporer)
dan hukum positif (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP)
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)) agar dapat mengetahui perbedaan dan
persamaan pendapat pada kedua perspektif. Selanjutnya kedua perspektif tersebut
dikomparasikan, sehingga dapat diketahui diantara dua perspentif tersebut manakah
yang lebih relevan dengan kondisi sekarang ini.
Kemudian penelitian yang digunakan dengan pendekatan penelitian kualitatif
yaitu sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
dengan mengggunakan metode sebagai berikut:
1) Sumber Data
Dalam penyusunan ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:
a.
Data primer, yakni kebanyakan menggunakan literatur berbahasa Arab
seperti kitab-kitab fiqih klasik lima madzhab, al-Fiqh ‘Ala Madzahib alKhamsah karya Muhammad Jawad al-Mughniyyah, al-Fiqh ‘Ala Madzahib
al-Arba’ah karya al-Jaziri, Kifayah al-Akhyar dari madzhab Syafi’i,
Bidayah al-Mujtahid dari Madzhab Maliki, al-Mabsuth dari Madzhab
Hanafi. Tidak hanya kitab-kitab fiqih klasik tapi juga kitab fiqih
14
kontemporer seperti al-Ahwal al-Syakhsiyah karya Abu Zahroh, Fiqh alIslam Wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhaili dan lain sebagainya. Selain
itu juga ditunjang kitab-kitab ushul al-fiqh, kitab-kitab qawaid al-fiqhiyyah,
kitab-kitab tafsir kenamaan dan kitab-kitab hadis utama seperti al-kutub alsittah sebagai bahan acuan takhrij hadis. Adapun kitab hukum yang
digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Data buku-buku
primer ini sebagian sudah dimiliki oleh penulis dan untuk sebagian besar
lainnya penulis mendapatkannya dari Perpustakaan Utama Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Syariah
Dan Hukum dan beberapa perpustakaan yang berada di di sekitar kampus
UIN seperti perpustakaan Darus Sunnah.
b. Data sekunder, yakni memanfaatkan berbagai literatur yang terkait dengan
pembahasan ini, bisa dari literatur buku-buku fikih munakahat berbahasa
Indonesia dan literatur-literatur lainnya. Tidak lupa juga penulis akan
mengambil beberapa data dari koran, artikel dan internet jika diperlukan.
2)
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan
metode study library; yaitu dengan membaca kitab-kitab fiqih dan buku yang
dijadikan objek penelitian yang ada di perpustakaan maupun koleksi penulis.
Kemudian mengambil pendapat-pendapat dari beberapa tokoh yang sesuai
dengan topik pembahasan dan kemudian menganalisanya.
15
3)
Analisa Data
Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisa dan disusun secara
sistematis dengan mengunakan metode deskriptif analitis yakni dengan
memberikan gambaran terhadap objek permasalahan, sekaligus memberikan
analisanya dengan berpedoman pada sumber-sumber tertulis.
Adapun untuk teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku panduan
penulisan karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Adapun untuk menjaga sistematika penulisan sehingga terfokus pada kajian
yang dimaksudkan, maka penulisan ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini.
Pada bab pertama, dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengemukakan kronologis
permasalahan yang muncul berkenaan dengan perbedaan yang terjadi dalam masalah
otoritas talak perspektif fiqih dan hukum positif di Indonesia. Selain itu juga
permasalahan sejauh mana eksistensi seorang istri dalam sebuah proses perceraian.
Setelah itu, dikemukakan batasan dan rumusan permasalahan yang akan
dikemukakan pada skripsi ini. Penulis menjelaskan bahwa kajian ini merupakan
kajian
analisa hukum tentang kuasa seorang istri dalam menolak talak dari
suaminya. Kemudian dijelaskan mengenai tinjauan review kajian terdahulu, objek
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
16
Pada bab kedua, akan dikemukakan tentang tinjauan teoritis tentang akad
nikah sebagai sebuah perikatan. Penulis memulai tinjauan teoritisnya dari
permasalahan perikatan yang kemudian dikaitkan dengan perikatan/akad nikah
sampai pada berakhirnya sebuah perikatan/akad nikah. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui tentang subtansi perikatan/akad nikah. Dari sini, penulis akan dapat
mengetahui apakah talak itu merupakan sebuah “aqad” yang di dalamnya terkandung
unsur ijab dan qabul atau ia tidak mengandung unsur ijab dan qabul. Hal ini sangat
berpengaruh dalam menganalisa tentang ada tidaknya hak istri untuk menolak talak.
Jika talak itu merupakan sebuah akad maka dibutuhkan adanya orang yang akan
menjadi pengucap ijab dan qabul dan hal ini memerlukan kesepakatan keduanya agar
akad tersebut menjadi absah. Sebaliknya, jika shigat talak ini tidak mempunyai
unsur-unsur ijab dan qabul maka dalam keabsahannya tidak dibutuhkan adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang
perikatan dan aqad, yang kemudian mengarah pada masalah akad nikah hingga
berakhirnya pernikahan tersebut.
Pada bab ketiga, akan diungkapkan pembahasan tentang hak istri untuk
menolak talak. Pada bab ini pembahasan sudah mulai mengarah pada pembahasan
inti tentang hak istri menolak talak suami perspektif fiqih dan hukum positif. Pada
sub bab-nya akan membahas hak istri untuk menolak talak perspektif fiqih klasik dan
kontemporer juga menurut perspektif hukum positif, dalam hal ini adalah KHI dan
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
17
Pada bab keempat, akan dikemukakan tentang analisa penulis tentang
perbandingan otoritas istri untuk menolak talak setelah melihat dari berbagai
perspektif yang sudah dikemukakan sebelumnya. Adapun yang menjadi pembahasan
adalah persamaan dan perbedaan serta analisa dari penulis sendiri berkenaan dengan
masalah yang dikaji. Pembahasan itu meliputi apakah kontradiktif permasalahan ini
bagian dari perbedaan dinamis atau bahkan perbedaan kontradiktif antara hukum
fiqih dan hukum positif,
memahami subtansi perbedaan dan bagaimana solusi
menghadapi perbedaan.
Pada bab kelima, disajikan penutup yang berupa kesimpulan dari kajian
dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penulis akan menyimpulkan tentang ada atau
tidaknya otoritas istri untuk menolak talak suaminya yang secara lansung akan
menjadi jawaban dari permasalahan yang dirumuskan sebelumnya. Selain itu,
kesimpulan ini juga disertai dengan saran yang berhubungan dengan kajian ini.
18
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG AKAD NIKAH
SEBAGAI SEBUAH PERIKATAN
A. Perikatan
1. Arti Perikatan, Akad dan Perjanjian
Dua pihak subyek hukum terdiri dari dua unsur, apabila mempunyai
kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan
dengan kata-kata atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu
terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. Perikatan menurut
para ulama ahli fiqih biasa disebut dengan ‘aqdun (‫)ﻋﻘﺪ‬. 1
Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan dan mengikat. Dikatakan
ikatan (‫ )اﻟﺮﺑﻂ‬maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali
yang mengikatkan salah satunya pada yang lainnya sehingga keduanya
bersambung dan menjadi seperti seuntas tali yang satu. 2 Para ahli hukum Islam
(jumhur ulama) memberikan definisi akad adalah:
‫إرﺗﺒﺎط إﻳﺠﺎب ﺑﻘﺒﻮل ﻋﻠﻰ وﺟﻪ ﺷﺮﻋﻲ ﻳﺜﺒﺖ أﺛﺮﻩ ﻓﻲ ﻣﺤﻠﻪ‬
Pertalian antara ijâb dan qabûl yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. 3
1
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Cet-1, h. 1. Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet-1, h. 75. 3
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 76. Lihat juga Faturrahman Djamil,
“Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman
et al., (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), Cet-1, h. 247: Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum
2
19
Pengertian lebih lengkap tentang akad atau perikatan adalah:
‫اﻟﻌﻘﺪ هﻮ ﻣﺎ ﻳﺘﻢ ﺑﻪ اﻹرﺗﺒﺎط ﺑﻴﻦ إرادﺗﻴﻦ ﻣﻦ آﻼم وﻏﻴﺮﻩ وﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ اﻹﻟﺘﺰام ﺑﻴﻦ ﻃﺮﻓﻴﻦ‬
Akad adalah suatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua
macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain dan kemudian karenanya
timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya. 4
Dalam KUH Perdata, Subekti memberi pengertian perikatan adalah suatu
hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan dimana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 5 Sedangkan pengertian perjanjian
menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal. 6
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, diantaranya seperti yang telah
dipaparkan oleh Subekti, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa
perjanjian itu menimbulkan suatu hubungan di antara para pihak tertentu yang
disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan perikatan dengan
perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum
dalam Pasal 1233 KUH Perdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), ed. Revisi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 65: dan Teuku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),
h. 14. 4
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 1. 5
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1992), Cet. 14, h. 1. 6
Subekti, Hukum Perjanjian, h. 1. 20
persetujuan baik karena Undang-Undang”. Dari pasal ini, maka dapat dikatakan
bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. 7
Abdoerrauf mengemukakan bahwa terjadinya suatu perikatan (‫ )اﻟﻌﻘﺪ‬adalah
melalui tiga tahap sebagai berikut:
1. ‫( اﻟﻌﻬﺪ‬perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan
orang lain. Janji ini mengikat orang orang yang menyatakanya untuk
melaksanakan janjinya tersebut. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT
dalam surat Ali Imran ayat 76 yang mempunyai arti:
“Bagi siapa yang menepati janji dan bertaqwa, maka sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran: 76)
2. ‫( اﻟﺮﺿﻰ‬persetujuan) yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang
dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji
pihak pertama.
3. Apabila dua janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah
apa yang dinamakan ‫ اﻟﻌﻘﺪ‬oleh al-Qur’an yang terdapat dalam surat al-Maidah
ayat 1 yang mempunyai arti sebagaimana berikut:
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji yang sudah
diakadkan. (QS. al-Maidah ayat 1) 8
7
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), Cet-2, h. 47.
8
Janji-janji disini adalah janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sesamanya. 21
Setelah itu, maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan
perjanjian itu bukan lagi perjanjian (‫ )اﻟﻌﻬﺪ‬tapi sudah menjadi ‫ اﻟﻌﻘﺪ‬. 9
Proses di atas senada dengan esensi akad yang dipaparkan oleh Ibnu
Taymiyyah dari madzhab Hambali sebagai berikut:
‫اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻌﻘﻮد رﺿﺎ اﻟﻤﺘﻌﺎﻗﺪﻳﻦ وﻧﺘﻴﺠﺘﻬﺎ هﻲ ﻣﺎ أوﺟﺒﻬﺎ‬
Asal akad itu adalah kerelaaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya
adalah kewajiban yang mereka tentukan. 10
Proses akad ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang
dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Karena
merupakan hubungan, maka perikatan atau akad ini timbul bisa karena perjanjian.
Misalnya seorang mengemukakan janji menyerahkan barang untuk mendapatkan
uang dan pembeli mengemukakan janji membayarkan uang untuk bisa menikmati
barang. Dalam contoh ini perikatan yang terjadi kelihatan kongkret, ada pihak
pertama yaitu penjual, pihak kedua yaitu pembeli, ada prestasi yaitu barang dan
uang, kemudian ada ijâb dan qabûl dari masing-masing pihak. Sifat kongkret ini
timbul karena perikatan tersebut timbul dari sebuah perjanjian. 11
Namun, dalam penuturan lainnya Subekti mengatakan perikatan
merupakan suatu pengertian abstrak, yakni suatu pengertian yang tidak dapat
dilihat tapi dapat dibayangkan dalam pikiran. Hal tersebut dikarenakan bahwa
9
Abdoerraoef, al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Jakarta: Bulan Bintang,
1970), h. 122-123. 10
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.
84. 11
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 2. 22
perikatan tersebut timbul tidaklah terbatas karena sebuah perjanjian atau
persetujuan dua pihak namun dapat juga timbul karena ketentuan undang-undang,
syara’, atau dari Undang-Undang karena perbuatan manusia. 12
2. Unsur Perikatan
Menurut jumhur ulama selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa unsur
atau rukun dari akad itu ada lima, yaitu:
1. al-Aqidun, pelaku perikatan, baik yang terdiri dari seseorang atau sejumlah
beberapa orang tertentu, sepihak atau beberapa pihak.
2. Mahall al-aqd, bisa juga disebut ma’qud ‘alaihi yaitu benda yang menjadi
objek. Kalau dalam akad jual beli, maka contohnya adalah barang yang
diperjualbelikan.
3. Maudû’ al-aqd yaitu tujuan atau maksud pokok dari adanya akad. Misalnya
dalam jual beli adalah seperti pemindahan hak milik melalui pembayaran.
4. Ijâb yaitu salah satu shigat al-aqd adalah suatu perkataan yang menunjukkan
kehendak mengenai suatu akad dan diucapkan oleh pihak pertama.
5. Qabûl, yaitu salah satu shigat al-aqd adalah perkataan yang menunjukkan
persetujuan terhadap kehendak akad diungkapkan sebagai jawaban terhadap
ijâb. 13
12
13
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasioanal, (Bandung: Alumni, 1984), h. 10. Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 7. 23
Untuk setiap rukun akad tersebut oleh para ulama dtentukan syarat
masing-masing dan secara keseluruhan di dalam KUH Perdata pasal 1320
disebutkan sebagai berikut:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Mas’adi dan Fathurrahman Djamil menuturkan lebih komplek tentang
unsur akad dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Pertalian ijâb dan qabûl
2. Dibenarkan oleh syara’, akad yang bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal
yang diatur oleh Allah SWT dan Rasulnya mengakibatkan tidak sahnya suatu
akad.
3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya. 14
Menurut pandangan madzhab Hanafi, bahwa yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari perikatan atau akad adalah hanya dua unsur saja yaitu ijâb dan
qabûl. Artinya, jika hanya ada ijâb saja tanpa qabûl atau hanya ada qabûl tanpa
ijâb, maka perikatan tidak akan pernah terwujud sama sekali. Oleh karena itu,
menurut mereka ialah dua hal tersebut. Sementara hal yang lain misalnya orang
yang berakad hanyalah merupakan konsekwensi logis dari terwujudnya suatu ijâb
14
Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan
Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., h. 248. lihat juga Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah
Kontekstua, h. 76-77. 24
dan qabûl, bukan rukun yang berdiri sendiri yang menjadi sebab terwujudnya
akad tersebut. 15 Alasan lainnya adalah bahwa selain shighat, semuanya itu
bukanlah bagian dari tasharruf al-aqd (perbuatan hukum akad). Semua itu adalah
berada di luar perbuatan akad (syarat). 16 Perbedaan mengenai rukun dan syarat
menurut ulama fiqih adalah bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri.
Sedangkan syarat adalah merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan
hukum, tetapi berad di luar hukum itu sendiri. 17
Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan
istilah perikatan (vebintenis) dalam KUH Perdata. 18 Namun, perikatan dalam
KUH Perdata hanya dibatasi pada permasalahan harta. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Jaenal Aripin dan Kama Rusdiana dalam bukunya yang
berjudul Perbandingan Hukum Perdata, bahwa yang dimaksud perikatan dalam
KUH Perdata adalah hubungan hukum yang terletak dalam lapangan harta
kekayaan yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak berhak
atas prestasi (kreditur) dan pihak lainnya berkewajiban menyerahkan prestasi
15
Muhammad Salam Madzkur, al-Fiqh al-Islami al-Madkhal Wa al-Amwal Wa al-Huquq Wa
al-Maliyah Wa al-‘Uqud, (t.tp: 1955), h. 356. 16
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 79. 17
Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996). H. 1510. 18
Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan
Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., h. 248. 25
(debitur). 19 Sedangkan dalam perikatan Islam secara tradisional dapat dikatakan
bahwa materi pembahasannya merupakan bagian dari hukum mu’amalah dalam
kitab-kitab fiqih yang biasanya bahkan meliputi cakupan yang lebih luas,
termasuk di dalamnya bidang perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak kerja dan
sebagainya. 20 Hal ini senada dengan perkataan Prof. Amin Suma dalam bukunya
Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia yang
menukil dari perkataan Zaid bin Aslam bahwa al-‘uqud dibagi kedalam enam
macam yakni: (1) janji Allah (‘ahd Allah), (2) janji dalam bentuk sumpah (‘aqd
al-halaf), (3) janji bersyarikat (‘aqd al-syarikah), (4) perikatan jual-beli (‘aqd albay’), (5) perikatan perkawinan (‘aqd al-nikah) dan (6) janji sumpah (‘aqd alyamin). 21
Dapat disimpulkan, bahwa subtansi dari perikatan hukum Islam lebih luas
dari materi yang terdapat dalam hukum perikatan perdata Barat. Hal ini dapat
dilihat bahwa jika dalam hukum perikatan perdata Barat hanya dibatasi pada
permasalahan harta benda maka dalam perikatan Islam lebih dari itu, yakni
termasuk juga di dalamnya adalah masalah perkawinan dan lain sebagainya. Dan
memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masalah perkawinan juga tidak
dapat lepas dari permasalahan harta antara suami-istri nantinya.
19
Kama Rusdiana dan Jaenal aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Press,
2007), Cet-1, h. 99.s 20
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 2. 21
Amin Suma, Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia,
(Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 11. 26
Bukti keluasan hukum perikatan Islam lainnya adalah bahwa jika dalam
hukum perikatan perdata barat hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia saja maka dalam perikatan hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan
antar manusia (hablum minannas) tapi juga mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan (hablum minallah) sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan
vertikal dan horizontal. Seperti halnya dalam akad perkawinan yang merupakan
tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar manusia tapi terdapat unsur ibadah
di dalamnya. Bahkan di dalam al-Qur’an sebuah pernikahan merupakan sebuah
janji yang kuat ( ‫) ﻣﻴﺜﺎق ﻏﻠﻴﻆ‬.
B. Akad Nikah dan Prosesnya
1. Akad Nikah
Al-Qur’an mengambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yang dijalin oleh
dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan dengan gambaran
yang dikemukakan oleh beberapa ayat sebagai berikut:
(21 :‫ﻏﻠِﻴﻈًﺎ )اﻟﻨﺴﺎء‬
َ ‫ن ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ ﻣِﻴﺜَﺎﻗًﺎ‬
َ ْ‫ﺧﺬ‬
َ ‫ﺾ َوَأ‬
ٍ ْ‫ﻀ ُﻜﻢْ ِإﻟَﻰ َﺑﻌ‬
ُ ْ‫ﺧﺬُو َﻧ ُﻪ َو َﻗﺪْ َأﻓْﻀَﻰ َﺑﻌ‬
ُ ْ‫ﻒ َﺗﺄ‬
َ ْ‫َو َآﻴ‬
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri.
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.
Al-Nisa’: 21)
Dalam Surat al-Nisa’ ayat 21 tersebut ikatan perkawinan dinamakan
dengan ungkapan (‫ )ﻣﻴﺜﺎق ﻏﻠﻴﻆ‬suatu ikatan janji yang kokoh. Berkenaan dengan hal
tersebut, Quraish Shihab menyatakan bahwa akad nikah adalah kewajiban
27
Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 187 dinyatakan bahwa jalinan
suami istri bagaikan hubungan pakaian, berikut aneka fungsinya dengan orang
yang mengenakannya. 22 Firman Allah SWT:
(187 :‫ُهﻦﱠ ﻟِﺒَﺎسٌ َﻟ ُﻜﻢْ َوَأﻧْ ُﺘﻢْ ﻟِﺒَﺎسٌ َﻟ ُﻬﻦﱠ )اﻟﺒﻘﺮة‬
Artinya: Mereka adalah pakaian bagimu dan kalian adalah pakaian bagi
mereka. (QS. al-Baqarah: 187)
Demikian juga menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, dalam pasal 1 disebutkan definisi perkawinan dengan istilah ikatan
lahir bathin. Arti dari kata ini adalah bahwa perkawinan di samping mempunyai
nilai ikatan yang formil, secara lahir dapat tampak, tapi juga mempunyai ikatan
bathin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan bathin
ini tentunya merupakan inti dari perkawinan maupun hubungan yang erat sekali
dengan kerohanian sehingga bukan saja unsur jasmani tapi juga peran penting
unsur bathin.
22
Tim Ditperta Depag, Ilmu Fiqih, Jilid III, (Jakarta: Departemen Agama, t.th), h. 20-46. 28
Dengan keterangan tersebut di atas, maka akad perkawinan setidaknya
mempunyai dua segi pandang yaitu dari segi formil dan sosial keagamaan. Para
ulama yang memandang hanya dari segi formil ketika mengemukaan definisi
nikah misalnya seperti apa yang disampaikan Malibari dalam bukunya Qurratu
al-‘Ain bi Muhimmat al-Din yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in:
23
‫ﻋﻘﺪ ﻳﺘﻀﻤﻦ إﺑﺎﺣﺔ وطء ﺑﻠﻔﻂ ﻧﻜﺎح أو ﺗﺰوﻳﺞ‬
Akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata nikah atau
tazwij.
Sedangkan dari sisi sosial keagamaan pengertian nikah lebih lengkap
disampaikan oleh Abu Zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syaksiyah sebagai
berikut:
‫ﻋﻘﺪ ﻳﻔﻴﺪ ﺣﺎل اﻟﻌﺸﺮة ﺑﻴﻦ اﻟﺮﺟﻞ واﻟﻤﺮءة وﺗﻌﺎوﻧﻬﺎ وﻳﺤﺪ ﻣﺎﻟﻜﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺣﻘﻮق وﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ‬
24
‫واﺟﺒﺎت‬
Akad yang mengakibatkan hukum halal pergaulan antara laki-laki dengan
perempuan dengan pertolongan serta milk hak dan kewajiban.
Definisi al-Malibari hanya melihat kebolehan hukum dalam hal hubungan
laki-laki dengan perempuan yang semula hukumnya adalah haram. Adapun
definisi dari Abu Zahrah disamping melihat hukum halalnya hubungan suami-istri
juga melihat kepada aspek akibat hukumnya. 25 Bandingkan hal tersebut di atas
dengan segi-segi yang dimuat dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
23
Al-Malibari, Qurrat al-‘Ain, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islami, 2010), h. 199. Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 19. 25
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 45. 24
29
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa.
Jelas kiranya bahwa yang termuat tidak hanya segi hukum formal, tapi
sampai kepada maksud sosial keagamaan yakni dengan disebutkannya
“membentuk keluarga” dan “yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Menururt Hanafiyyah, Akad nikah mempunyai dua unsur yaitu ijâb dan
qabûl. Sesuai dengan pandangan bahwa orang yang berakad (‘aqidun) merupakan
konsekwensi logis dari adanya ijâb dan qabûl. Pendapat tersebut senada dengan
apa yang dipaparkan oleh Abu zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah
bahwa adanya akad nikah adalah dikarenakan dua hal yaitu ijâb dan qabûl.
Adapun yang berkaitan dengannya hanya terjadi yakni sebuah syarat. Syaratsyarat tersebut menurutnya ada lima yaitu: (1) dua orang yang berakad cakap
bertindak, (2) Ijâb dan qabûl terjadi dalam satu majlis, (3) sebelum ada ijâb-kabul
tidak boleh diulang (4) antara ijâb dan qabul tidak boleh dipisahkan dengan halhal yang menyimpang seperti disela dengan ungkapan kata yang lain, dan (5) ada
persesuain antara ijâb dan qabûl. 26
26
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 45. 30
Menurut Imam Malik rukun akad nikah ada lima yaitu; (1) wali dari
memepelai perempuan, (2) maskawin, (3) Mempelai Pria, (4) mempelai wanita
dan (5) shighat, yakni unkapan kata yang menyatakan maksud akad. 27
Adapun menurut Imam Syafi’i juga ada lima rukun tetapi perinciannya
berbeda yaitu (1) calon memepelai laki-laki, (2) calon mempelai perempuan, (3)
wali, (4) dua orang saksi dan (5) shighat atau ijâb qabûl. 28 Rumusan terakhir inilah
yang kemudian dipakai dalam Kompilasi Hukum Islam Inpres Presiden Nomor 1
Tahun 1991 Pasal 14:
Untuk melakukan perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi, dan
e. Ijan dan kabul.
2. Proses Nikah
A. Gani Abdullah menuturkan bahwa dalam perikatan hukum Islam titik
tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijâb dan
qabûl) dalam tiap perbuatan hukum. Berdasarkan uraian tentang proses terjadinya
akad seperti yang sudah dipaparkan oleh Abdoerrauf sebelumnya, maka dalam
konteks akad pernikahan apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati
dan dilanjutkan dengan ikrar (ijâb dan qabûl) akan terjadilah akad pernikahan
27
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, (Kairo: Dar al-Hadits,
2004), V. IV, h.12. 28
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, h. 12. 31
tersebut (perikatan). Dari uraian yang dipaparkan oleh Abdoerrauf tersebut, jika
dikaitkan dengan sebuah akad pernikahan, maka dalam akad pernikahan akan
dianggap sah jika melalui tiga tahap di atas.
Tahap yang pertama adalah ‫( اﻟﻌﻬﺪ‬perjanjian). Tahap ini terjadi pada pra
akad. Pada tahap ini yang menjadi pihak pertama bisa jadi dari pihak laki-laki
atau sebaliknya yakni dari pihak wanita. Pihak pertama adalah pihak yang
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya
dengan kemauan orang lain. Jika dalam tahap ini dari pihak laki-laki yang
menawarkan diri maka ialah yang dianggap sebagai pihak pertama begitu juga
sebaliknya. Misalnya ketika seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita atau
kepada wali wanita tersebut “saya ingin menikahimu/putrimu” atau sebaliknya
ketika seorang wanita atau walinya mengatakan kepada laki-laki “nikahilah aku”
atau dengan kalimat “saya ingin menikahkanmu dengan putriku”. kalimat
penawaran-penawaran seperti inilah yang menjadi point dalam perjanjian (‫) اﻟﻌﻬﺪ‬
sebelum pernikahan. Penawaran-penawaran seperti ini biasanya terjadi pada tahap
khitbah.
Adapun proses yang kedua adalah ‫( اﻟﺮﺿﻰ‬persetujuan). Dalam proses akad
nikah, Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa sahnya suatu akad perkawinan salah satunya adalah adanya keridhoan dari para pihak
yang akan menikah yakni wanita dan laki-laki calon pengantin juga wali.29 Semua
29
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr. T. Th), V. II, h. 3. 32
‫ﺳ ِﻤ َﻊ ﻧَﺎ ِﻓ َﻊ‬
َ ‫ﻞ‬
ِ ْ‫ﻦ اﻟْ َﻔﻀ‬
ِ ْ‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﺳﻌْ ٍﺪ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻋﻦْ ِزﻳَﺎ ِد ﺑ‬
َ ‫ن‬
ُ ‫ﺳﻔْﻴَﺎ‬
ُ ‫ﺳ ِﻌﻴ ٍﺪ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫و ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ُﻗ َﺘﻴْ َﺒ ُﺔ ﺑ‬
‫ﻖ‬
‫ﺣﱡ‬
َ ‫ﺐ َأ‬
ُ ‫ اﻟﺜﱠﻴﱢ‬:‫ل‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
‫ َأ ﱠ‬ ‫س‬
ٍ ‫ﻋﺒﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻋﻦْ اﺑ‬
َ ‫ﺟ َﺒﻴْ ٍﺮ ُﻳﺨْ ِﺒ ُﺮ‬
ُ ‫ﻦ‬
َ ْ‫ﺑ‬
(‫)أﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢ‬...‫ﺑِﻨَﻔْﺴِﻬَﺎ‬
Artinya: Seorang janda lebih berhak atas dirinya. (HR. Muslim, nomor
hadis 2546).
Sedangkan bagi gadis, para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut,
termasuk juga perbedaan pendapat terhadap janda yang belum baligh. Dalam hal
ini Malik, Syafi’i dan Ibn Abi Laila berpendapat bahwa seorang ayah dapat
menjadi wali mujbir bagi gadis dan janda yang belum baligh. Sedangkan Abu
Hanifah, al-Tsaury, al-Auza’i dan Abu al-Tsaur mengatakan bahwa dalam
pernikahan harus memuat keridhoan mereka. 30
Dari keseluruhan perbedaan pendapat yang ada, maka penulis lebih
cenderung kepada pendapat madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa keridhoan
pihak wanita dalam pernikahan juga dibutuhkan sebagai penentu absahnya suatu
akad pernikahan. Disyariatkannya
wali mujbir adalah untuk menjaga
kemashlahatan wanita yang belum baligh dan masih kecil bukan untuk memaksa
30
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 4. 33
wanita yang sudah baligh dan berakal. Sedangkan bagi wanita yang sudah baligh
dan berakal tentunya sudah dapat memilih calon suami yang pantas baginya.
Posisi wali dalam hal ini adalah sebagai orang tua untuk tempat bermusyawarah
dan memberikan pengarahan serta pendapat sebagai bekal untuk menempuh
kehidupan yang baru bagi putri-putrinya, karena boleh jadi ada beberapa hal yang
belum diketahuinya sedangkan ia belum mencoba kehidupan rumah tangga.
Maka, para wali dalam hal ini bertindak sebagai penasehat dalam hal yang
dianggap perlu demi kemaslahatan.
Jadi, kuasa yang diberikan kepada laki-laki bukan untuk merampas hakhak wanita. Apapun statusnya, seorang wanita berhak dalam mengutarakan
pendapat untuk perkawinannya. Hal ini dapat dilihat dari dua hadis yang masingmasing menunjukkan betapa pentingnya mendapat keridhoan dari wanita sebagai
syarat kesempurnaan akad nikah.
Hadis yang pertama adalah hadis yang diriwayatkan dari kisah Khansa’
binti Khalid al-Anshary:
ْ‫ﺠ ﱢﻤ ٍﻊ اﺑْ َﻨﻲ‬
َ ‫ﻦ َو ُﻣ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻋﻦْ َأﺑِﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺳ ِﻢ‬
ِ ‫ﻦ اﻟْﻘَﺎ‬
ِ ْ‫ﻦ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻚ‬
ٍ ‫ﻋﻦْ ﻣَﺎِﻟ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ اﻟْ َﻘﻌْ َﻨ ِﺒ ﱡ‬
‫ﻚ‬
َ ‫ﻲ ﺛَ ﱢﻴﺐٌ َﻓ َﻜ ِﺮ َهﺖْ َذِﻟ‬
َ ‫ﺟﻬَﺎ َو ِه‬
َ ‫ن َأﺑَﺎهَﺎ َز ﱠو‬
‫ َأ ﱠ‬ :‫ﺧﺬَا ٍم اﻟَْﺄﻧْﺼَﺎ ِر ﱠﻳ ِﺔ‬
ِ ‫ﺖ‬
ِ ْ‫ﺧﻨْﺴَﺎ َء ِﺑﻨ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫اﻟَْﺄﻧْﺼَﺎ ِر ﱠﻳﻴ‬ ‫َﻳﺰِﻳ َﺪ‬
‫ )رواﻩ أﺑﻮ داود‬.‫ﺣﻬَﺎ‬
َ ‫ﻚ َﻟ ُﻪ َﻓ َﺮ ﱠد ِﻧﻜَﺎ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﺬ َآ َﺮتْ َذِﻟ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬
َ ‫َﻓﺠَﺎ َءتْ َرﺳُﻮ‬
(‫واﻟﻨﺴﺎئ‬
Artinya: Bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya padahal ia janda dan
tidak menyukai hal tersebut. Karena itu ia datang dan mengadu kepada
Rasulullah. Setelah itu beliau membatalkan perkawinan tersebut. (HR. Abu
Dawud, hadis nomor 1797 dan al-Nasa’i, hadis nomor 3216).
Hadis kedua diriwyatkan oleh Abu Daud dan Ahmad dari Ibn Abbas:
34
ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ب‬
َ ‫ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ‬
َ ‫ﻦ ﺣَﺎ ِز ٍم‬
ُ ْ‫ﺟﺮِﻳ ُﺮ ﺑ‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ‬
َ ‫ﻦ ُﻣ‬
ُ ْ‫ﻦ ﺑ‬
ُ ْ‫ﺴﻴ‬
َ‫ﺣ‬
ُ ‫ﺷﻴْ َﺒ َﺔ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ‬
َ ‫ﻦ أَﺑِﻲ‬
ُ ْ‫ن ﺑ‬
ُ ‫ﻋﺜْﻤَﺎ‬
ُ ‫ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ‬
‫ن َأﺑَﺎهَﺎ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﺬ َآ َﺮتْ َأ ﱠ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ن ﺟَﺎ ِر َﻳ ًﺔ ﺑِﻜْﺮًا َأ َﺗﺖْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
‫س َأ ﱠ‬
ٍ ‫ﻋﺒﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻋﻦْ اﺑ‬
َ ‫ﻋﻜْ ِﺮ َﻣ َﺔ‬
ِ
(‫ )رواﻩ أﺑﻮ داود‬.‫ﻲ‬
‫ﺨ ﱠﻴ َﺮهَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ﻲ آَﺎ ِر َه ٌﺔ َﻓ‬
َ ‫ﺟﻬَﺎ َو ِه‬
َ ‫َز ﱠو‬
Artinya: Bahwa seorang gadis datang dan mengadu kepada Rasulullah
SAW, bahwa ia telah dinikahkan oleh ayahnya padahal ia tidak menyukai. Lalu
beliau memberinya kesempatan untuk memilih. (HR. Sunan Abi Dawud, hadis
nomor 1794).
Dalam kelanjutan hadis tersebut, kemudian wanita itu berkata:
Ya Rasulullah, saya sekarang telah memperkenankan apa yang dilakukan
ayah saya itu, sebenarnya saya hanya menginginkan agar kaum wanita tahu
bahwa para orang tua tidak memiliki hak memaksa dalam persoalan ini.
Menurut keterangan kitab Subulu al-Salam bahwa boleh jadi wanita
tersebut (‫ )اﻟﺠﺎرﻳ ﺔ‬adalah gadis yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, yang
telah dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan sepupunya yang sekufu’.
Sekalipun sandainya wanita tersebut seorang janda, maka ia hanya ingin
menegaskan bahwa kaum wanita hendaknya tahu bahwa para orang tua tidak
berhak memaksa dalam urusan ini dan Nabi-pun menyetujuinya dengan tidak
adanya sanggahan dari beliau.
Islam memberi dua kesempatan kepada wanita untuk mengemukakan
pendapat dan tanggapan sebagaimana yang diberikan pada laki-laki, yakni pada
saat khitbah dan pada saat berlangsungnya akad nikah. Pada saat khitbah, Islam
membolehkan wanita melihat calon suaminya dan mendengarkan perkataannya
35
untuk memperoleh kesan di dalam hatinya tentang calon suaminya tersebut.
begitu juga sebaliknya bagi laki-laki terhadap calon istrinya. 31
Jika pada saat khitbah saja wanita diminta pendapatnya tentang calon
suaminya dengan diadakannya tatap muka, maka lebih-lebih jika di saat
terjadinya pelaksanaan akad. Hanya saja, jika wanita tersebut berstatus gadis
memang tidak diminta untuk menyatakan pendapat dan tanggapannya secara
terbuka dan berterus terang, hal ini barangkali terbentur dengan rasa malu. Lagi
pula, Islam tidak menginginkan seorang gadis menyatakan hasrat serta minatnya
secara terbuka dan berterus terang dalam pertemuannya dengan laki-laki,
sedangkan ia masih jauh dari ambang kehidupan suami-istri. Artinya, si calon
suami tidak akan menolak sikapnya sekalipun tidak menyatakan isi hatinya secara
terbuka. 32
Memang akad nikah seorang gadis diwakili oleh walinya, berbeda dengan
janda yang dapat melakukannya sendiri, bahkan lebih utama apabila dilakukannya
sendiri. Misalnya saja dalam akad nikah terdapat shighat yang terdiri dari adanya
sebuah ijâb dari pihak perempuan dan qabûl dari pihak laki-laki. Artinya, dalam
akad perkawinan pihak wanita menyatakan perkawinannya kepada pihak lakilaki, dan dalam waktu yang bersamaan pula pihak pria menerima pernyataan
tersebut. Tentunya bagi seorang gadis yang belum pernah berhubungan badan
31
Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala
Jawaban, alih bahasa oleh Fathurrahman, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1990), cet-6, h. 48. 32
Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala
Jawaban, h. 49. 36
dengan laki-laki akan merasa malu untuk menyatakan kesediannya. Dari sinilah
timbul adanya perwalian tersebut. 33 Oleh karena itu dalam sebuah hadis
disebutkan:
‫ﻋﻦْ َأﺑِﻲ‬
َ ‫ﻞ‬
َ ‫ﺲ َوِإﺳْﺮَاﺋِﻴ‬
َ ‫ﻋﻦْ ﻳُﻮ ُﻧ‬
َ ‫ﺤﺪﱠا ُد‬
َ ْ‫ﻋ َﺒﻴْ َﺪ َة اﻟ‬
ُ ‫ﻦ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ أَﺑُﻮ‬
َ ‫ﻦ َأﻋْ َﻴ‬
ِ ْ‫ﻦ ُﻗﺪَا َﻣ َﺔ ﺑ‬
ُ ْ‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ُﻣ‬
َ
‫ح ِإﻟﱠﺎ‬
َ ‫ ﻟَﺎ ِﻧﻜَﺎ‬:َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎل‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ‬
‫ﻋﻦْ أَﺑِﻲ ﻣُﻮﺳَﻰ َأ ﱠ‬
َ ‫ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ُﺑﺮْ َد َة‬
َ ‫ﻖ‬
َ‫ﺤ‬
َ ْ‫ِإﺳ‬
(‫ رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬي واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬ .‫ﻲ‬
‫ِﺑ َﻮِﻟ ﱟ‬
Artinya: Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan (adanya) wali”. (HR.
Sunan Abi Dawud, hadis nomor 1785. Tirmidzi, hadis nomor 1020. Ibnu Majah,
hadis nomor 1869)
Dalam masalah adanya pendapat fiqih bahwa seorang ayah berhak
mengawinkan putrinya yang telah baligh tanpa meminta persetujuannya terlebih
dahulu sebagaimana populer dalam mazhab Syafi’i, maka kita sebelumnya harus
mendudukkan persoalan dalam koridor prinsip dan kaidah syariah. Setiap
mujtahid boleh jadi benar atau bisa pula keliru dan bahwa setiap orang boleh
diambil dan ditinggalkan pendapatnya kecuali Rasulullah, termasuk dalam hal ini
adalah Imam Syafi’i. Meskipun beliau adalah seorang Imam besar, tetapi beliau
adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, dan beliau pernah berkata:
“Pendapatku ini benar tetapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat
orang selainku adalah salah tetapi mengandung kemungkinan benar”.
34
Beliau
33
Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala
Jawaban, h. 49. 34
Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal Ila Dirasat al-Madzahib al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar alSalam, 2007), Cet.2, h. 27. 37
juga pernah mengatakan: “Bila suatu hadits adalah ternyata shahih, maka itulah
mazhabku”. 35
Dalam masalah perjodohan Nabi saw mewajibkan adanya musyawarah
untuk berunding dan meminta izin kepada objek perjodohan (calon pengantin
laki-laki maupun perempuan). Hal itu karena perjodohan tidak sah tanpa didasari
prinsip sukarela (‘an taradhin wa tasyawurin) sekalipun yang menikahkannya
ayahnya sendiri. Nabi saw bersabda yang artinya:
Tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya
terlebih dahulu.” Para sahabat bertanya, “bagaimanakah izin (persetujuannya)
itu?” beliau menjawab, “jika ia diam (tidak menolak)”. “seorang gadis harus
diminta persetujuannya dalam pernikahan dirinya dan persetujuannya cukup
dengan diamnya. (HR. Abu Dawud)
Sudah diketahui bahwa Islam mengatur bahwa permasalahan harta yang
dimiliki
seorang
anak
perempuan
saja
seorang
ayah
tidak
berhak
membelanjakannya tanpa seizin anaknya bila ia telah dewasa dan normal
pikirannya apalagi dalam hal penentuan nasib dirinya dalam perjodohannya. Oleh
karena itu kawin paksa dengan orang yang tidak ia sukai bertentangan dengan
prinsip Islam dan logika karena dalam hal jual beli atau sewa-menyewa bagi
kepentingan anak Allah tidak memperkenankan seorang wali memaksakan
kehendaknya melainkan dengan persetujuan anak tersebut, termasuk dalam
masalah makan, minum, pakaian yang tidak disukainya. Maka, bagaimana
35
‘Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal Ila Dirasat al-Madzahib al-Fiqhiyyah, h. 27. 38
mungkin wali anak diperbolehkan memaksa anaknya untuk melakukan hubungan
suami istri dengan orang yang tidak disukainya atau dibencinya?
Allah menjalinkan cinta dan kasih sayang antara suami-istri. Oleh karena
itu, jika pernikahan itu sendiri dilandasi oleh perasaan tidak suka dan ingin
melarikan diri dari calon suami, maka akankah tumbuh cinta dan kasih sayang
dalam perkawinan tersebut?.
Namun dalam beberapa kasus tertentu seorang anak dapat dijodohkan dan
dipaksa dalam pernikahan ataupun sebaliknya. Pelarangan menikah sebagaimana
dijelaskan oleh madzhab Syafi’i tersebut di atas, disamping itu yang paling utama
adalah
apabila
dikarenakan
alasan
penjagaan
agama
(hifdzuddin)
dan
pertimbangan moral ataupun unsur kufu’ lainnya selama tidak merugikan
kepentingan anak dan sesuai kaedah syariah. 36
Adapun posisi wali dalam pernikahan merupakan syarat yang harus
dipenuhi. Hikmahnya adalah agar pernikahan tersebut sempurna dengan adanya
kerelaan dari berbagai pihak yang terkait secara keseluruhan. Selain itu, agar
wanita yang menikah tidak hanya berada di bawah kasih sayang atau kekuasaan
suami saja, karena wanita yang menikah tanpa seizin keluarganya, pada umumnya
tidak lagi mendapatkan perhatian.
36
Lihat QS.An-Nur:32, Al-Qashash: 27, Al-Baqarah:231-232. 39
Adapun beberapa pertimbangan mengapa dalam suatu akad pernikahan itu
perlu mendapatkan persetujuan baik dari pihak laki-laki dan wanita calon
pengantin adalah:
1. Sebagai pengakuan terhadap nilai martabat wanita bahwa ia bukanlah
komoditi yang bisa diperjual-belikan dengan mahar oleh walinya melalui jalan
pernikahan.
2. Tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak (wanita dan laki-laki calon
pengantin) merupakan salah satu dasar dari kebahagiaan bagi keduanya
setelah menjadi suami-istri. Hal tersebut tentu saja dapat didapatkan jika
perkawinan tersebut berlangsung melalui pilihan masing-masing dan suka
sama suka. Bagaimanapun juga, yang akan menjalani biduk rumah tangga
bukanlah wali dengan calon pengantin laki-laki tersebut tapi antara wanita dan
laki-laki calon pengantin yang nantinya akan menjadi sepasang suami-istri.
3. Memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan seorang pasti
mengakibatkan banyak kesulitan. Perkawinan yang dipaksakan hanya
membuat perkawinan tersebut sulit dibangun dengan kasih sayang. 37
Selanjutnya, setelah keridhoan diperoleh, maka proses akad (perikatan) ini
sampai pada tahap pengucapan ikrar ijâb dan qabûl. Ijâb diawali dari pihak
wanita melalui walinya yang kemudian dilanjutkan dengan qabûl dari pihak lakilaki. Setelah aqad dianggap sah, maka ia akan mengikat para pihak-pihaknya
37
Sa’id Abdul Aziz al-Jandul, Wanita dalam Naungan Islam, alih bahasa oleh Syafril Halim,
(Jakarta: Firdaus, 1992), h. 55. 40
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuai terhadap tugas dan kewajiban
masing-masing yang disebut dengan iltizam. Iltizam sendiri selalu berjalan
beriringan dengan sebuah hak. Jadi, antara hak dan iltizam keduanya terkait dalam
satu konsep. 38
C. Putusnya Ikatan Perkawinan
Konsep hak dan iltizam dalam akad perkawinan akan terus berjalan selama
akad tersebut masih dipegang oleh kedua belah pihak. Yang menjadi masalah adalah
apabila dari salah satu pihak menyalahi perjajian (wanprestasi) dan dapat
menimbulkan perselisihan dan sengketa sampai pada hal yang merusak dan
membatalakan akad yang ada. Dalam perikatan Islam, pembatalan atau berakhirnya
suatu akad ini dapat terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah:
a. Fasakh yakni pembatalan yang dikarenakan adanya hal-hal yang tidak dibenarkan
oleh syara’. Dalam masalah akad pernikahan, misalnya batalnya (fasakh)
pernikahan sedarah.
b. Dengan sebab adanya khiyar (khiyar cacat, rukyat, syarat atau majlis). Dalam
masalah akad pernikahan misalnya berakhirnya akad nikah karena suami/istri
mempunyai cacat yang ditutup-tutupi dan baru diketahui setelah akad
berlangsung.
38
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 34. Lihat juga Gemala Dewi, dkk.,
Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 76. 41
c. Iqalah, yakni pembatalan dari salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain
untuk membatalkan karena menyesal. Misalnya berakhirnya akad nikah karena
khulu’, yakni gugatan dari pihak istri yang disetujui oleh pihak suami.
d. Karena habis waktunya, misalnya berakhirnya akad nikah mut’ah sesuai dengan
waktu yang disepakati.
e. Karena kematian, yakni berakhirnya hubungan suami-istri ketika salah satu
dianataranya telah meninggal.
f. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihakpihak yang bersangkutan. 39
Pada alasan yang terakhir ini, penulis mengalami kesulitan dalam memahami
keambiguan tentang apa yang dimaksud dengan pihak suami-istri yang bersangkutan.
Apakah yang dimaksud pihak disini hanya mengenai suami saja, istri saja atau suamiistri bersama-sama. Jika yang dimaksud disini adalah pihak suami yang tidak
melakukan kewajibannya, maka disinilah para ulama mengatakan bahwa berakhirnya
sebuah pernikahan karena khulu’ adalah hak wanita untuk dapat mengajukan gugatan
pengakhiran akad nikah karena suami yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Sebaliknya, jika yang dimaksud disini adalah pihak istri yang tidak melakukan
kewajibannya, maka disinilah para ulama mengatakan bahwa berakhirnya sebuah
pernikahan karena talak yang dilakukan oleh suami adalah hak baginya atas
pelanggaran yang dilakukan oleh istri.
39
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 114-117. Lihat juga Gemala Dewi,
dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 92. 42
Perkataan "‫ "اﻟﻄﻼق‬dan "‫ "اﻟﻔﺮﻗﺔ‬dalam istilah fiqih mempunyai arti yang
umum dan arti yang khusus. Arti yang umum ialah segala macam bentuk
perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim dan
perceraian yang jatuh dengan sendirinya, seperti perceraian yang disebabkan
meninggalnya salah seorang suami atau istri. Sedangkan dalam arti khusus adalah
perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja. 40
Perkataan talak oleh ahli fiqih klasik 41 lebih banyak diartikan dengan arti
yang umum daripada arti yang khusus. Hal ini dapat dilihat pada kitab-kitab fiqih
klasik yang yang menyebut bab perceraian dengan kitab al-thalaq. Sedangkan
para ahli fiqih kontemporer lebih banyak mengartikan talak lebih khusus dari arti
yang umum. Perkataan furqah sendiri lebih diartikan dengan arti yang umum dari
yang khusus. 42
Untuk selanjutnya adalah arti talak. Secara harfiyah (etimologi) kata talak
adalah bentukan kata (musytaq) dari kata ‫ اﻹﻃﻼق‬yang berarti ‫ اﻹرﺳﺎل واﻟﺘﺮك‬yakni
melepaskan dan meninggalkan. Ketika seorang berkata “‫ ”ﻧﺎﻗﺔ ﻃﺎﻟﻖ‬maka ini berarti
“unta itu lepas dari pemeliharaan dan bebas semaunya”. 43 Jika dihubungkan
dengan masalah perkawinan, maka talak dalam arti ini adalah putusnya
40
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang.
1974), h. 143. 41
Yang dimaksud ulama fiqih klasik adalah ulama fiqih sebelum abad ke-19 M. 42
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 144. 43
Taqiyyudin al-Hushni, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2001), hal
517. 43
Dalam mengartikan talak secara terminologis kelihatannya ulama
mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama. al-Mahalli dalam
kitab Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan:
‫ﺣﻞ ﻗﻴﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﺑﻠﻔﻆ ﻃﻼق وﻧﺤﻮﻩ‬
Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz thalaq dan
sejenisnya. 45
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah mendefinisikan talak dengan
sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri
hubungan perkawinan itu sendiri. 46 Definisi yang agak panjang dapat dilihat di
dalam kitab Kifayah al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama
untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafadz jahiliyyah yang setelah
Islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalildalil tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadis, ijma’ ahli agama dan ahli
sunnah. 47
Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyah memberikan definisi
yang lebih lengkap, beliau merumuskan talak adalah:
44
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 198. 45
Al-Mahalli, Kanzu al-Raghibin, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, T.Th), V. 3, h. 496. 46
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), V. II, h. 206. 47
Taqiyyudin al-Hushni, Kifayah al-Akhyar, hal 518. 44
‫ أو ﻓﻰ اﻟﻤﺎل ﺑﻠﻔﻆ ﻣﺸﺘﻖ ﻣﻦ ﻣﺎدة اﻟﻄﻼق أو ﻓﻰ ﻣﻌﻨﺎهﺎ‬،‫رﻓﻊ ﻗﻴﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﻓﻰ اﻟﺤﺎل‬
Melepaskan ikatan nikah dari sisi kehalalan hubungan dan atau dari sisi
hubungan harta dengan menggunakan lafadz thalaq atau dengan lafadz lain yang
semakna dengan lafadz thalaq tersebut. 48
Ahmad al-Ghandur dalam bukunya al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati
Wa al-Qanun mengatakan bahwa perceraian yang diinginkan salah satu dari
suami atau istri dalam istilah hukum yang berlaku di Mesir dan Sudan adalah
disebut “thalaq”. Sedangkan jika masalah perceraian itu diselesaikan oleh
Pengadilan, maka hal tersebut disebut “al-tathliq”. 49
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh ulama yang mewakili
definisi yang diberikan kitab-kitab fiqih terdapat tiga kata kunci yang
menunjukkan hakikat dari perceraian yang bernama talak, yaitu;
Pertama, kata “melepaskan” atau membuka atau menggagalkan berarti
bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yakni ikatan
perkawinan.
Kedua, kata “ikatan perkawinan” yang mengandung arti bahwa talak itu
mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan
itu membolehkan hubungan antara suami-istri, maka dengan telah dibukakannya
ikatan tersebut status suami dan istri kembali pada keadaan semula yaitu haram.
Ketiga, kata “dengan lafadz thalaqah dan kalimat lain yang mengandung
makna sejenis” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu
48
49
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 279. Ahmad al-Ghandur, al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun, h. 34. 45
ucapan (shighat) dan ucapan yang digunakan itu adalah dengan kata thalaq.
Tidaklah disebut putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan tersebut,
seperti putus karena kematian.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
masalah talak tidak tercantum di dalamnya. Namun, dalam pasal 38 disebutkan
bahwa:
Perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b) perceraian dan (c)
atas putusan pengadilan.
KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun pasalpasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih
rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113
menyatakan bahwa:
Perkawinan dapat putus karena; (a) kematian, (b) perceraian dan
(c) atas putusan pengadilan.
Dalam perkawinan dapat putus karena perceraian dijelaskan dalam pasal 114
yang membagi perceraian kepada dua bagian yaitu perceraian karena talak dan
perceraian karena gugatan. 50
Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI Pasal 117
menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah:
Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 129, 130 dan 131.
50
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 220. 46
Dari semua uraian tersebut di atas tentang arti dari kata talak, baik secara
bahasa maupun istilah, maka dapat disimpulkan bahwa talak adalah bentuk
ucapan yang mengandung arti untuk mengakhiri hubungan perkawinan dengan
melafazkan “thalaq” atau kalimat lain yang sejenis.
Demikianlah sengketa yang kadang terjadi dalam akad pernikahan
sehingga sampai pada keputusan berakhirnya suatu akad pernikahan. Namun,
dalam keputusan berakhirnya hubungan akad pernikahan tersebut tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai ilustrasi, berikut dapat dilihat
skema mengenai bagaimana sengketa dalam akad dapat timbul dan jalan
penyelesaiannya apabila perdamaian tidak dapat diperoleh, dan ke lembaga mana
sengketa tersebut dapat diselesaikan sebagaimana berikut:
Gambar Bagaimana Bisa Timbul Sengketa 51
Dengan sempurna
Terlaksana
Perjanjian
Tidak sempurna
Beda Pendapat dalam memahami isi
Tidak terlaksana
Akan timbul sengketa
Bagaiman menyelesaikannya?
51
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 91. 47
Melalui
Pengadilan
Harus dilihat apa yang disepakati oleh
kedua belah pihak menegenai cara
penyelesaian sengketa
Melalui
Arbitrase
47
BAB III
HAK ISTRI UNTUK MENOLAK TALAK
A. Pengertian Hak
Sudah maklum bahwa dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh suami dan istri
setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan
istri. Masing-masing dari pasangan tersebut tidak ada yang lebih dan yang kurang
dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajibannya. Keseimbangan ini
adalah sebagai langkah awal dalam menyelaraskan motif ideal perkawinan dengan
realitas perkawinan yang dijalani oleh suami-istri tersebut.
Dalam hal ini, jika terdapat indikator dalam sebuah perkawinan bahwa suami
lebih mendominasi istri, atau suami memiliki hak yang lebih dibandingkan dengan
istri, dan sebaliknya istri dalam posisi yang didominasi dan memiliki kewajiban yang
lebih jika dibandingkan dengan suami, maka hal yang demikian akan menjadi
pemikiran dan kajian kritis untuk dapat dicari akar persoalannya dan diselesaikan
secara konsepsional. Bisa jadi diskriminasi yang terjadi adalah akibat perlakuan
hukum yang tidak adil terhadap perempuan.
Hak-hak perkawinan (marital right) marupakan salah satu indikator penting
bagi status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dalam perkawinan
menunjukkan kesetaraan dan kesejajaran antara pihak suami dan istri. Akan tetapi,
jika dalam sebuah keluarga terjadi ketidakadilan dalam soal hak, dan kebanyakan
48
perempuan yang menjadi korbannya, maka perlu dipikirkan dan dicari jalan keluar
dalam mengatasi hal tersebut.
Pada prinsipnya, perkawinan dalam Islam membawa norma-norma yang
mendukung terciptanya suasana damai, sejahtera, adil dan setara dalam keluarga.
Akan tetapi, karena pengaruh interpretasi ajaran yang kurang benar, maka terjadi
beberapa rumusan ajaran Islam yang tidak membela kepentingan—bahkan
menyudutkan—perempuan.
Berikut
ini,
penulis
akan
menguraikan
tentang
permasalahan hak perempuan dalam perkawinan lebih khususnya dalam masalah
perceraian (thalaq) berdasarkan dari hasil bacaan penulis terhadap nash-nash alQur’an dan al-Hadis yang penulis dekati dengan pendekataan kesetaraan hak laki-laki
dan perempuan serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia
(hukum positif).
Sebelum menuju pada pembahasan lebih mendetail alangkah baiknya jika
penulis mengemukakan apa yang dimaksud dengan “hak” dalam pembahasan
permasalahan ini. Dalam kamus hukum, kata “hak” mempunyai beberapa arti
diantaranya adalah: (1) sesuatu yang benar, (2) kepunyaan, milik, (3) kewenangan,
(4) kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang
atau peraturan lain, (5) kekuasaan yang benar untuk menuntut sesuatu atau kekuasaan
yang benar atas sesuatu. 1 Arti lain adalah wewenang menurut hukum. 2
1
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta. 2007), h. 154. 49
Para ahli fiqih ternyata mempunyai banyak opini dalam memberikan
pengertian “hak”, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut sebagian ulama mutaakhirin; hak adalah sesuatu hukum yang telah
ditetapkan secara syara’.
2. Menurut Syekh Ali al-Khafifi (dari Mesir); hak adalah kemaslahatan yang
diperoleh secara syara’
3. Menurut Musthafa al-Zarqa (Ahli fiqih Yordania asal Suriah); hak adalah suatu
kekhususan yang padanya di tetapkan syara’ suatu kekuasaan atau taklif.
4. Menurut Ibn Nujaim (Ahli fiqih dari madzhab Hanafi); hak adalah suatu
kekhususan yang terlindungi. 3
Dari beberapa pengertian tersebut, jika dihubungkan dengan permasalahan
pada bab ini, maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hak istri
adalah kewenangan atau kekuasaan bagi seorang istri untuk dapat melakukan sesuatu
dan atau menuntut sesuatu karena adanya ketentuan dari syara’, Undang-Undang dan
peraturan lain yang menjaminnya. Artinya, bahwa hukum memberikan jaminan bagi
seorang istri untuk dapat bertindak dan menuntut dalam permasalahan perceraian
sesuai dengan aturan yang ada.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 382. 3
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Mu’amalat), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 3. 50
B. Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih
Dalam sudut pandang fiqih, perceraian karena talak adalah hak laki-laki.
Begitu seorang laki-laki mengucapkan lafadz talak terhadap istrinya, misalnya “kamu
saya cerai (thallaqtuki, anti thâliqun, dan seterusnya)”, maka jatuhlah talak tersebut.
Lalu bagaimanakah peran seorang istri ketika suaminya menjatuhkan talak?
Pertanyaan lain, Apakah ia pasif dan mau tidak mau ia harus menerima talak yang
dijatuhkan suaminya atau apakah ia mempunyai suatu kuasa untuk melakukan
penolakan terhadap talak yang dijatuhkan suaminya tersebut.
Menurut Prof. Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan menyatakan bahwa dalam talak tidak terdapat ijab dan qabul karena
perbuatan talak itu merupakan tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada
tindakan istri untuk itu. Oleh Karena itu, sebagai imbalan akad dalam perkawinan,
maka dalam talak berlaku shighat atau ucapan talak. 4 Jika mengamati pendapat Prof
Amir Syarifuddin ini, maka seakan-akan ia mengatakan bahwa dalam shighat talak
hanya terdapat unsur ijab dari suami dan tidak ada unsur qabul dari istri di dalamnya.
Dari sini, jika seorang suami ingin mengakhiri hubungan perkawinan dengan istrinya
maka ia tinggal mengucapkan shighat talak tanpa harus menunggu qabul dari istrinya
agar talak tersebut dianggap absah.
4
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 208. 51
Dalam hal ini, fiqih memandang bahwa istri tidaklah mempunyai hak untuk
dapat menolak talak dari suaminya. Setelah shighat talak diucapkan, walaupun tanpa
ada kesepakatan sebelumnya dari pihak istri, maka jatuhlah talak bagi istri tersebut.
Seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya atau seorang dari istri-istrinya tanpa
adanya kewajiban untuk memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya
terhadap istri sebagai sebuah otoritas yang ia miliki. Sebaliknya perempuan, dapat
bercerai dalam hal ini adalah dapat menggugat cerai (khulu’) hanya dengan kerelaan
suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasardasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya mengurus istri.5
Sesuai dengan uraian di atas, bahwa suami dapat mentalak istrinya tanpa
persetujuannya adalah sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Imam al-Ghazali.
Ia dalam bukunya yang berjudul al-Wajiz menyatakan bahwa istri dalam talak adalah
sebagai objek. Pernyataannya diuraikan ketika menyebutkan bahwa dalam talak
terdapat 5 rukun di antaranya adalah ‫( اﻟﻤﻄﻠﱢﻖ‬orang yang mentalak/laki-laki/suami),
‫( اﻟﻠﻔﻆ‬shigat talak), ‫( اﻟﻘﺼﺪ‬kesengajaan atau niat), ‫( اﻟﻤﺤﻞ‬obyek talak yakni istri) dan
‫( اﻟﻮﻻﻳﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺤﻞ‬kekuasaan untu menjatuhkan talak, yakni yang menjatuhkan talak
adalah suami dari wanita yang akan ditalak). Dari rukun-rukun talak yang disebutkan
Imam al-Ghazali tersebut, terkesan bahwa ia mengambarkan kedudukan seorang istri
5
Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa oleh Ahmad Suaedi dan
Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LkiS dan Pustaka Pelajar, 1994), h. 337 – 338. 52
Hal tersebut tentu berbeda dengan pernyataan Imam al-Ghazali ketika
membahas permasalahan khulu’.
Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali
menyebutkan bahwa dalam khulu’ juga terdapat 5 rukun, di antaranya: pertama dan
kedua ‫( اﻟﻌﺎﻗﺪان‬dua pihak yang melakukan akad yakni suami-istri). Ketiga dan keempat,
‫( اﻟﻌﻮﺿﺎن‬dua barang pengganti/tebusan, yakni harta dari pihak suami yang sudah
diberikan kepada istrinya sebagai mahar dan harta dari pihak istri sebagai
pengembalian kepada suami karena meminta talak). Adapun rukun kelima adalah
‫( اﻟﺼﻴﻐﺔ‬redaksi ucapan/shigat).
7
Dari sini, jika dalam masalah talak Imam al-Ghazali menggunakan istilah ‫اﻟﻤﺤﻞ‬
(objek) bagi wanita, namun dalam masalah khulu’ ia justru menganggap wanita
sebagai salah satu bagian dari unsur para pihak yang melakukan akad (‫ )اﻟﻌﺎﻗﺪان‬yakni
sebagai ‫( اﻟﻘﺎﺑﻞ‬pihak yang menerima/qabul). Dari uraian tersebut, maka dapat
disinyalir bahwa perceraian bukanlah suatu akad yang membutuhkan kesepakatan
dari kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam masalah khulu’ yang dianggap merupakan
sebuah akad, maka dalam keabsahannya membutuhkan kesepakatan dari kedua belah
pihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri.
6
7
Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, (Kairo: Dar al-Risalah. 2004), h. 382-387. Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, h. 372-374. 53
Pendapat seperti ini tentu saja tidak lepas dari dasar nash-nash al-Qur’an yang
menerangkan tentang talak. Hampir keseluruhan ayat-ayat yang menerangkan
permasalahan tentang talak mempunyai khithab (objek pembicaraan) bagi laki-laki.
Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi ‫َوِإنْ َﻃﱠﻠﻘْ ُﺘﻤُﻮ ُهﻦﱠ‬
(Jika kamu menceraikan istri-istrimu) 8 atau ‫( َﻓ َﻄﱢﻠﻘُﻮ ُهﻦﱠ‬maka hendaklah kamu ceraikan
mereka) 9 . Dalam redaksi kedua ayat tersebut, dlomir (kata ganti) ّ‫ ُهﻦ‬yang berarti
“mereka perempuan banyak” adalah sebagai kata ganti yang mempunyai kedudukan
sebagai objek (‫)اﻟﻤﻔﻌﻮل‬. Hal ini juga tercermin dari penggunaan kalimat ‫ِإذَا َﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء‬
(apabila kamu menceraikan istri-istrimu) 10 dan kemudian menyebut wanita-wanita
11
ُ ‫( اﻟْ ُﻤﻄَﱠﻠﻘَﺎ‬wanita-wanita yang ditalak).
tersebut dengan istilah ‫ت‬
Dari keseluruhan nash-nash al-Qur’an tersebut di atas-lah yang kemudian
menghasilkan buah ijtihad
dari
para
ulama
bahwa
hanya laki-laki yang
mempunyai hak talak dan istri adalah sebagai obyek dari talak. Maka, tidak heran
jika dalam kosa kata kitab-kitab fiqih klasik sering ditemukan kalimat ‫ أﻧﺖ ﻃﺎﻟﻖ‬dan
bukan kalimat ‫ أﻧﺖ ﻃﺎﻟﻘﺔ‬untuk menyebut istri yang ditalak. Kalimat ‫ أﻧﺖ ﻃﺎﻟﻖ‬yang
merupakan bentuk isim mudzakar namun diperuntukkan bagi wanita (mu’annats)
adalah merupakan sebuah pernyataan bahwa tidak ada manusia berjenis kelamin lain
yang dapat dijatuhi talak kecuali wanita. Penggunaan kalimat seperti ini sudah sangat
8
QS. al-Baqarah: 237. QS. al-Thalaq:1. 10
QS. al-Thalaq:1. 11
QS. al-Baqarah: 228. 9
54
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa dalam fiqih wanita didudukkan sebagai
obyek dari talak. Namun, timbulah sebuah pertanyaan besar bahwa benarkah talak
yang dijatuhkan seorang suami pada istrinya berhukum sah, sesuai dengan spirit
hukum talak itu sendiri, tanpa lebih dahulu diadakan dialog, minimal antar
pasangan?. Padahal jika berdasarkan pada prinsip dasar yang ada dalam permasalahan
talak itu sendiri, dimana kebolehan menjatuhkannya hanyalah ketika terpaksa, yakni
ketika antara suami-istri sudah tidak bisa didamaikan lagi dengan cara apapun. Jika
teori dipahami bahwa suami dapat menjatuhkan talak kapanpun sesuka dia, baik
dengan alasan ataupun tidak, maka bisa saja seorang istri dapat ditalak tanpa
mengetahui alasan penalakannya. Apakah tindakan semacam ini sesuai dengan spirit
talak itu sendiri?.
Dapat dikatakan bahwa setelah akad nikah, memang posisi suami akan
menjadi pemilik dan istri adalah yang dimiliki. Dari sini, maka Jaenal Aripin
berpendapat bahwa orang yang berhak menghilangkan kepemilikan adalah yang
55
memilikinya, bukan yang dimiliki. 12 Namun, walaupun seorang suami mempunyai
hak kepemilikan terhadap istrinya, pengertian seperti ini perlu diperjelas lagi.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ibrahim Hosen dalam bukunya Fiqih
Perbandingan
Dalam
Masalah
Nikah-Talak-Rujuk
dan
Hukum
Kewarisan
memaparkan bahwa menurut ulama fiqih hak milik itu terbagi atas tiga macam, yaitu:
1. Milku al-raqabah yakni memiliki sesuatu benda secara keseluruhannya. Misalnya
dengan jalan membeli atau warisan. Benda yang dimiliki ini dapat dijual atau
digadai oleh si pemilik. Contoh lainnya adalah seperti kepemilikan seseorang
terhadap budak.
2. Milku al-manfa’ah yakni hak memiliki kemanfaatan suatu benda misalnya dengan
jalan menyewa. Si pemilik manfaat dapat pula menyewakan kepada orang lain
atau meminjamkannya.
3. Milku al-intifa’ yakni hak memiliki penggunaan (pemakaian suatu benda). Si
pemilik penggunaan tidak berhak selain ia mempergunakannya untuk diri
sendiri. 13
Akad nikah bukanlah suatu akad untuk memiliki raqabah bukan pula untuk
memiliki manfa’ah. Tetapi akad nikah adalah akad untuk memiliki intifa’ terhadap
12
Jaenal Aripin, Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam Tasyri’ dan Syar’i, (Jakarta: UIN
Press, 2006), h. 125. 13
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum
Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia, 1971), Cet. 1, h. 66. 56
wanita yang telah menjadi istri. Dari definisi ini maka dapatlah diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Suami mempunyai hak monopoli dalam memiliki kenikmatan terhadap istrinya.
Selain suaminya, haram ikut serta merasakan kenikmatan tersebut.
2. Istri tidak terikat dengan suami, karena itu ia mempunyai hak untuk melepaskan
diri dari suaminya.
3. Kemaluan istri adalah hak miliknya selaku pemilik raqabah dan manfa’ah.
Karena jika terjadi kekeliruan, misalnya dijima’ oleh laki-laki lain yang bukan
suaminya tapi menyangka bahwa ia adalah istrinya, maka wajib atas laki-laki
tersebut membayar mahar mitsil kepada istri tersebut bukan kepada suami dari
istri tersebut.
4. Suami
tidak
berkewajiban
menjima’
istrinya
tetapi
istri
berkewajiban
menyerahkan kemaluannya sewaktu diminta oleh suaminya. Kewajiban suami
bukanlah dikehendaki oleh akad tetapi oleh kewajiban memelihara moral istri.
Jadi, ketika suami sudah membuktikan kepada istrinya dalam jima’ yang pertama
kali dan membuktikan bahwa ia tidak impotent, maka hal ini sudah dianggap
cukup untuk memenuhi kebutuhan istrinya. 14
14
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum
Kewarisan, h. 66-67. 57
Sebagian ulama Syafi’iyyah memandang bahwa akad nikah adalah aqad alibahah yaitu membolehkan suami menyetubuhi istrinya jadi bukan akad tamlik yaitu
untuk memiliki penggunaan (milku intifa’). 15
Implikasi dari perbedaan masalah di atas adalah bahwa akad nikah itu
bukanlah untuk memberikan kepada laki-laki saja hak memiliki penggunaan
kenikmatan tetapi hak tersebut adalah diberikan pula kepada kedua belah pihak. Jadi,
dengan adanya konsep milku intifa’, maka istri juga berhak menuntut persetubuhan
dari suaminya dan suami berkewajiban memenuhinya sebagaimana suami berhak
menuntut persetubuhan dari istrinya. 16
Dari pemaparan Ibrahim Hosen tersebut di atas, penulis melihat adanya
kesetaraan hak dan kewajiban antara suami-istri atas pernikahan mereka (tasharruf).
Bentuk tasharruf dari perikatan/akad nikah antara mereka adalah bahwa istri dimiliki
oleh suami tapi kepemilikan ini adalah “milku intifa’” (hak memiliki penggunaan),
tidak hanya dari pihak istri untuk suami tapi juga suami untuk istri. Terlihat sekali
hubungan timbal balik antar keduanya. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan
permasalahan pemutusan akad maka akad atas dasar milku intifa’ sudah selayaknya
jika pemutusan tersebut membutuhkan musyawarah atau keesepakatan antar
keduanya.
15
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum
Kewarisan, h.67. 16
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum
Kewarisan, h.67. 58
Namun, alasan yang paling mendasar yang selalu digunakan bahwa hak talak
hanya ada di tangan laki-laki adalah bahwa berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang
menerangkan tentang talak, hampir semuanya mempunyai khitab (objek pembicaraan
ayat) bagi para suami. Dari sinilah akhirnya para ulama sepakat mengatakan bahwa
hak talak ada di tangan laki-laki. Pertanyaan yang selalu timbul adalah mengapa hak
cerai dipegang suami sehingga ia kapanpun bisa saja mengakhiri kehidupan rumah
tangganya?. Mengapa istri tidak diberi hak berpendapat dalam masalah ini, padahal ia
adalah pasangan hidup suaminya?.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Penulis mencoba untuk membedakan
antara al-Qur’an yang lebih menekankan aspek kesadaran moral dengan fiqih yang
berada dalam wilayah legal-formal. Fiqih, tidak mau mengambil resiko dengan
bermain di dunia “hati/rasa” yang bersifat
subyektif. Dalam konteks perceraian,
fiqih hampir tidak pernah untuk mensiasati bagaimana perceraian bisa dihindari
sebisa mungkin. Hal ini dikarenakan sifat fiqih yang selalu mengenakan ukuran
formal-obyektif,
sementara
kondisi
“keterpaksaan
bagi
suatu
perceraian”
bagaimanapun bersifat subyektif. Umumnya literatur fiqih, ketika membicarakan
masalah cerai langsung yang dibicarakan adalah dimensi-dimensi teknis dan
prosedural,
atau
lebih
jauh
tentang
implikasi-implikasi
(hukum)
yang
ditimbulkannya.
Berkenaan dengan hal tersebut, ‘Abd al-Rahman al-Jaziri dalam bukunya alFiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah menyatakan bahwa tidaklah diperbolehkan bagi
seorang suami untuk mentalak istrinya tanpa ada sebab khusus walaupun itu thalaq
59
sunni. Menurutnya, seperti yang sudah disepakati para ulama empat madzhab bahwa
pada dasarnya hukum thalaq itu adalah menurut ulama Malikiyyah tidak
diperbolehkan (al-man’u), atau paling tidak (‘ala al-aqal) menurut ulama Syafi’iyah
thalaq dihukumi makruh sedangkan ulama Hanafiyyah menghukuminya dengan
karahah al-tahrim (makruh haram). Hal ini didasarkan karena adanya talak tersebut
sudah memutus akad antara suami-istri yang sudah disyari’atkan oleh Allah SWT.
Thalaq yang dijatuhkan tanpa sebab yang membenarkannya adalah merupakan bentuk
kufr al-ni’mah lebih-lebih jika istri sudah mempunyai anak maka dengan adanya
thalaq tersebut akan menjerumuskan suami pada perbuatan dholim terhadap
keluarganya. 17
Menanggapi pendapat dari al-Jaziri, penulis berpendapat bahwa talak yang
dijatuhkan secara tiba-tiba oleh suami, menurut fiqih sebagai “aturan formal
keagamaan” adalah sah. Tetapi, keabsahan yang dimaksudkan adalah keabsahan
formal. Kasusnya sama seperti ibadah haji dengan uang korupsi, dalam kacamata
fiqih hajinya sah, tapi apakah secara spiritual yang demikian itu bisa diterima oleh
Allah?. Segala yang sah menurut fiqih tidak dapat digeneralisasi sah dari sudut moral
keagamaan. Sehingga walaupun seorang laki-laki yang menjatuhkan talak seenaknya
kepada seorang istri sah secara fiqih tetapi dari sudut moral keagamaan adalah sangat
tercela dan dimurkai Allah. Firman Allah SWT:
17
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, (Kairo: Dar al-Hadits,
2004), V. IV, h.242.
60
(34 :‫ﺳﺒِﻴﻼ )اﻟﻨﺴﺎء‬
َ ‫ﻦ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻬ ﱠ‬
َ ‫ﻃﻌْ َﻨ ُﻜﻢْ ﻓَﻼ ﺗَﺒْﻐُﻮا‬
َ ‫َﻓِﺈنْ َأ‬
Artinya: Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. (QS. Al-Nisa’: 34)
Ali al-Sayis menafsirkan kata “la tabghuna” dengan arti bahwa hendaklah
jangan mencari cara atau jalan yang melewati batas yang membawa akibat aniaya.
Ayat ini mengatur tentang nusyuz, yang ketika sifat nusyuznya hilang, maka hukum
dikembalikan kepada jalan yang tidak menganiaya. Hal ini mengandung pengertian
bahwa hilangnya sebab hilang pulalah hukum kebolehan. 18
Menceraikan istri memang tidak ada sangsi formal duniawi yang dijatuhkan
oleh agama, seperti mencuri, berzina, atau membunuh. Akan tetapi bukan berarti
perceraian bisa dilakukan tanpa resiko. Seorang suami yang menjatuhkan talak
kepada istrinya tanpa alasan yang kuat dan tanpa persetujuan istrinya, layak dimurkai
Allah karena secara terang-terangan ia mengkhianati amanat yang dipikulkan
kepadanya. Bukankah wewenang talak diserahkan kepada suami dengan asumsi
bahwa sebagai laki-laki suami lebih bisa berlaku amanah?. Namun, amanah yang
diberikan Allah tersebut telah disalahgunakan dalam pemakaiannya sehingga
terjadilah perceraian (thalaq) sewenang-wenang yang dijatuhkan oleh suami terhadap
istrinya.
18
Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Qahirah: Ali Sabih, T.th), V. III, h. 100.
61
C. Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Hukum Positif
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya oleh penulis, bahwasannya dalam
konteks fiqih peran wanita untuk kasus talak sangatlah terbatas. Namun, hal tersebut
berbeda dengan apa yang diberikan oleh Hukum Positif Indonesia. Dalam proses
permohonan perceraian yang diajukan suami, istri diberi peran aktif di dalamnya. Hal
ini terbukti dari rangkaian proses beracara dalam persidangan talak. Hukum acara
yang berlaku dalam peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam
peradilan umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam UUPA. Hal ini tercantum
dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama:
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam undangundang ini. 19
Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah diajukannya
permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut
ketentuan yang berlaku. Hal ini tercantum dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama:
Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu
permohonan atau gugatan dari pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil
menurut ketentuan yang berlaku. 20
19
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah
Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006), h. 63. 20
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 63 62
Adapun tahapan-tahapan acara persidangan cerai talak di pengadilan agama
menurut Undang-Undang Peradilan Agama adalah sebagai berikut:
1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya (disebut
Pemohon) mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk mengadakan
sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam KHI pasal 129 disebutkan:
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu. 21
2. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman termohon (istri), kecuali apabila termohon dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin
pemohon. Jika termohon tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
Jika pemohon dan termohon tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Permohonan soal
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat
diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar
talak diucapkan. Permohonan cerai talak harus memuat nama, umur, tempat
kediaman pemohon dan termohon, serta alasan-alasan yang menjadi dasar cerai
21
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 114. 63
talak. Uraiannya terdapat dalam pasal Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama. 22
3. Permohonan tersebut diperiksa dalam sidang tertutup oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan
cerai talak didaftarkan di kepaniteraan. Hal ini berdasarkan Pasal 68 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 23
4. Setelah itu memasuki pada tahapan persidangan, pada pemeriksaan sidang
pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus
datang secara pribadi. Uraiannya terdapat dalam Pasal 82 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 24
5. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar
lebih dahulu menempuh mediasi. Uraiannya terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan
PERMA Nomor 2 Tahun 2003.
6. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan
membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan
kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon
dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik). Hal ini tercantum dalam
Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg.
22
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 66. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 67. 24
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 71. 23
64
7. Pengadilan menetapkan mengabulkan permohonan cerai jika Majelis Hakim
berkesimpulan bahwa kedua belah pihak (suami istri) tidak dapat didamaikan lagi
dan alasan perceraian telah cukup. Hal ini tercantum dalam Pasal 70 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama:
Pengadilan berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi
didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan
menetapakan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. 25
8. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh termohon (istri) terhadap penetapan
tersebut adalah mengajukan banding. Hal ini tercantum dalam Pasal 70 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama:
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri
dapat mengajukan banding. 26
Atau dalam KHI Pasal 130:
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut
dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan
kasasi. 27
9. Jika tidak ada banding dari pihak termohon (istri) atau penetapan tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama akan menentukan
hari sidang penyaksian ikrar talak. Hal ini tercantum dalam Pasal 70 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama:
25
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 67. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. 27
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 114. 26
65
Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan
menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami
dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. 28
10. Ikrar talak dilakukan oleh pemohon (suami) atau wakilnya yang telah diberi
kuasa khusus berdasarkan akta otentik, dan dihadiri/disaksikan oleh pihak
termohon (istri) atau kuasanya. Hal ini tercantum dalam Pasal 70 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 29
11. Jika termohon (istri) tidak hadir pada ikrar talak tersebut, padahal ia telah
dipanggil secara sah dan patut, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan
ikrar talak tanpa hadirnya pihak termohon (istri) atau kuasanya (Pasal 70 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
30
12. Jika dalam waktu 6 (enam) bulan suami tidak datang untuk mengucapkan ikrar
talak, tidak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya meskipun telah
mendapat panggilan secara sah dan patut, maka penetapan atas diqabulkannya
permohonan cerai menjadi gugur, dan permohonan perceraian tidak dapat
diajukan lagi dengan alasan yang sama (Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
31
13. Sebelum Perkawinan menjadi putus melalui penetapan terhitung sejak
diucapkannya ikrar talak dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding
28
Undang-Undang
Undang-Undang
30
Undang-Undang
31
Undang-Undang
29
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. 66
atau kasasi (Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama).
32
14. Selanjutnya setelah ikrar talak diucapkan, panitera berkewajiban memberikan
surat keterangan tentang terjadinya talak (SKT3) atau Akta Cerai sebagai surat
bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama).
33
Sebelum terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun
1985 yang mengharuskan adanya penetapan Pengadilan Agama yang sudah in kracht
(mempunyai kekuatan hukum yang tetap) terlebih dahulu sebelum dilakukan ikrar
talak oleh suami, kebanyakan Peradilan Agama belum memberlakukan sistem yang
didahului dengan penetapan seperti itu.
Adapun prosesnya adalah, misalnya dalam permohonan perceraian tersebut
alasan yang diajukan suami untuk menceraikan istri telah terpenuhi sesuai dengan
Undang-Undang yang mengaturnya maka Pengadilan Agama akan menetapkan
member izin kepada suami lalu diikuti sidang penyaksian ikrar talak, setelah itu
dibuatkan SKT3. Jadi, penetapan di sini adalah semacam interlocutoir (penetapan
32
33
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 72. 67
sela), bahkan di beberapa Peradilan Agama lainnya menetapkan bahwa ketetapan ini
merupakan penetapan akhir dan tidak berlaku banding. 34
Alasan kebanyakan Peradilan Agama mengapa tidak didahului dengan sistem
penetapan akhir yang bisa dibanding dan atau bisa dikasasi (dalam hal member izin)
sebelum sidang penyaksian ikrar talak adalah karena talak itu sepenuhnya di tangan
dan hak suami, tidak ada campur tangan siapapun di dalamnya.
Dalam hal penolakan pemberian izin, penetapan pengadilan agama juga tidak
bisa dibanding, walaupun penetapan itu adalah penetapan akhir. Campur tangan
Pengadilan disini adalah hanya sebatas untuk mencegah agar suami tidak jatuh ke
dalam dosa karena menjatuhkan talak kepada istrinya yang belum tentu alasannya
dibenarkan oleh syara’, bukan sama sekali karena hak talak itu boleh dicampuri istri.
Penolakan yang demikian itu secara tidak langsung juga demi kesejahteraan pasangan
suami-istri tersebut dan khususnya bagu suami agar tidak tersesat dalam dosa akibat
menggunakan hak talaknya dengan sembarangan.
Namun, setelah keluarnya SEMA Nomor 13 Tahun 1983, sekarang proses
penerbitan SKT3 sudah seragam, yaitu didahului dengan penetapan akhir yang dapat
dibanding dan atau dikasasi. Baik atas penetapan yang member izin ataupun atas
penetapan yang menolak member izin. Dengan demikian, sekarang istri berhak turut
campur dalam proses perceraian di Pengadilan Agama, dari awal proses bahkan
34
Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1989), h. 38. 68
sampai pada putusan, jika istri masih merasa tidak puas dengan dengan putusan
Pengadilan, maka dia boleh banding dan atau kasasi sebelum ia menerima ikrar talak
dari suaminya. Ikrar talak baru akan dilaksanakan di hadapan sidang Pengadilan
Agama setelah penetapan itu in kracht. 35
Dari uraian yang sudah penulis paparkan sebelumnya, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwasannya dalam hal permohonan talak oleh suami di
Pengadilan Agama, istri diberikan peran aktif dalam prosesnya. Hal ini terbukti dari
beberapa kesempatan yang diberikan Pengadilan kepada istri saat proses berjalannya
persidangan, diantaranya adalah:
1. Hak untuk menjawab gugatan (permohonan) talak dari suaminya.
2. Hak duplik, dan
3. Hak mengajukan upaya hukum, mulai dari banding di pengadilan tingkat pertama
sampai pada kasasi pada tingkat Mahkamah Agung bahkan untuk peninjauan
kembali. Pada hak untuk dapat mengajukan upaya hukum ini, penulis melihat
bahwa hukum positif di Indonesia seolah-olah memberikan ruang bagi seorang
istri untuk dapat menolak talak dari suaminya. Yakni dengan mengajukan banding
terhadap putusan Majlis Hakim yang mengabulkan permohonan talak dari
suaminya.
35
Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, h. 39. 69
BAB IV
Antara Fiqih dan Hukum Positif Tentang
Hak Istri Untuk Menolak Talak
A. Memahami Subtansi Perbedaan
Setelah melewati beberapa pembahasan yang dimulai dari pembahasan
tentang talak dan hak-hak wanita dalam talak pada dua bab sebelumnya, maka
sampailah pada bab analisa penulis tentang perbandingan kontradiktif permasalahan
hak istri dalam menolak talak suami. Namun, sebelum penulis melangkah lebih jauh
alangkah baiknya jika penulis mengulas sedikit tentang subtansi perbedaan antara
fiqih dan hukum positif Indonesia berkenaan dengan peran serta seorang istri dalam
perkara talak.
Dari sisi fiqih, penulis menggolongkan menjadi dua bagian yakni pada sisi
fiqih klasik 1 dan sisi fiqih kontemporer 2 . Dalam fiqih klasik, para ulama secara
umum menyatakan bahwa dalam talak adalah murni hak suami. Hanya suami yang
bisa menjatuhkan talak dan ia bisa menjatuhkan hak tersebut kepada istrinya
dimanapun dan kapanpun baik dengan persetujuan istrinya maupun tidak asalkan
1
Sekitar abad VII-XII. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, pengertian kontemporer adalah: (1) sewaktu,
semasa, pada masa atau waktu yang sama. (2) pada masa kini, dewasa ini. Dari kedua makna tersebut,
penulis memakai makna yang kedua yakni kontemporer adalah masa kini atau dewasa ini. Jadi, “fiqih
kontemporer” adalah tentang perkembangan pemikiran fiqih Islam dewasa ini yakni dimulai pada
abad XIX. 2
70
talak tersebut bukanlah talak bid’i. 3 Namun, mereka berbeda pendapat tentang
hukum menjatuhkan talak itu sendiri. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa talak adalah makruh tapi
sah-sah saja jika suami ingin menggunakan hak tersebut. Baik dengan
persetujuan istri maupun tidak.
2. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa walaupun hak talak ada ditangan suami,
tapi suami tidak dapat mentalak istrinya begitu saja tanpa sebab. Hal ini
dikatakan oleh ulama Hanafiyyah sebagai sebuah bentuk kufur ni’mat. Oleh
karena itu, mereka mengatakan bahwa hukum asal talak adalah makruh littahrim.
Dari sini, suami tidak diperbolehkan mentalak istrinya tanpa adanya sebab yang
membolehkannya untuk menggunakan haknya. Penulis dapat mengatakan bahwa
ulama Hanafiyyah mengakui hak talak pada suami tapi kemudian mereka
membatasi dengan sebuah persyaratan dan mereka bermain pada tataran dosa dan
tidaknya seorang suami yang ingin menggunakan hak talaknya.
3. Sedangkan ulama Maliki mengatakan bahwa hukum asal talak adalah lebih dari
sekedar “al-man’u”, dengan khilaf aula maka boleh jadi talak tersebut dihukumi
haram yakni tatkala seorang suami menceraikan istrinya tanpa adanya sebabsebab yang dapat dibenarkan. 4
3
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, ( Kairo: Dar al-Hadits,
2004), V. IV, h. 242. 4
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, h. 243. 71
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada sisi fiqih klasik,
permasalahan peran seorang istri dalam talak belumlah diakui. Seorang istri hanya
dianggap sebagai mahal (obyek) dari talak itu sendiri. 5 oleh karena itu seorang suami
dapat
saja
menjatuhkan
talak
kepada
istrinya
walaupun
si
istri
tidak
menginginkannya. Namun, di sisi lain dapat ditemukan beberapa pendapat yang
berusaha menjamin hak-hak istri agar tidak terdzalimi dengan talak yang dijatuhkan
suaminya sehingga para ulama seperti dalam kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah
membicarakannya dalam tataran dosa dan tidaknya tapi tetap mengabsahkan talak
yang dijatuhkan oleh suami tersebut.
Berbeda dengan uraian pada tataran fiqih klasik, jika melihat dari sisi fiqih
kontemporer, maka akan didapatkan beberapa pendapat yang sedikit menyebut peran
serta istri dalm talak. Hal ini seperti yang diungkap oleh Abu Zahrah dalam bukunya
al-Ahwal al-Syakhsiyyah bahwa talak tidak ubahnya seperti sebuah akad yang dalam
keabsahannya membutuhkan kerelaan dari pihak pertama dan pihak kedua yakni
antara suami dan istri. Ketidakrelaan dari salah satu pihak menjadikan akad atau
talak tersebut tidak sah. Oleh karena itu, talak hanya akan terjadi jika kedunya
menginginkannya dan rela terhadap terjadinya perceraian tersebut. 6
Namun, menurut Abu Zahrah bahwa ketika antara suami dan istri sepakat
untuk mengakhiri hubungan perkawinannya dengan sebuah perceraian, maka dalam
hal ini mereka harus bercerai demi kemaslahatan keduanya. Permasalahan utama
5
6
Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, (Kairo: Dar al-Risalah. 2004), h. 382-387. Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 281. 72
adalah ketika di antara keduanya tidak terjadi kesepakatan untuk bercerai. Dalam hal
seperti ini, maka keduanya harus menyerahkan permasalahannya kepada Hakim
untuk diselesaikan bagaimana baiknya. Dengan memasukkan masalah tersebut
kepada Pengadilan maka mereka berdua akan mendapatkan keputusan yang lebih
adil dan maslahat bagi keduanya. 7
Beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa talak adalah salah satu formulasi
dari sebuah perceraian yakni sebuah tindakan untuk mengakhiri akad nikah dan akad
nikah itu sendiri adalah sebuah perikatan. Oleh karena itu, jika dalam akad nikah
dibutuhkan oleh sebuah persetujuan oleh kedua belah pihak, maka tentu saja ketika
akan mengakhirinya juga dibutuhkan persetujuan antar keduanya.
Hampir sama dengan pendapat para ulama fiqih kontemporer, dalam hukum
positif di Indonesia peran seorang wanita dalam perkara perceraian (talak) diakui
adanya. Yang membedakan adalah, jika fiqih baik klasik maupun kontemporer, tidak
memandang keharusan seorang suami untuk mentalak istrinya di hadapan majlis
hakim Pengadilan Agama, maka dalam hukum positif di Indonesia menyatakan
bahwa perceraian (talak) hanya akan diakui jika diucapkan di hadapan majlis hakim. 8
Sebaliknya dari konteks fiqih, hukum di Indonesia yang terkait dengan
permasalahan ini, seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
7
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 281-282. Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, pasal 149, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1994), h. 121. Lihat juga pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1991. Lihat
juga Pasal 66 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 8
73
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terkesan mempersulit perceraian tersebut. Untuk
dapat mewujudkan sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang
dibenarkan oleh Undang-Undang dan ajaran agama, Jadi tidak semata-mata
diserahkan pada aturan-aturan agama. 9 Hal ini mengandung pengertian bahwa suami
tidak dapat mentalak istrinya tanpa alasan tertentu. Dalam rangka menjaga prinsip
maslahat terutama terhadap istri, maka perlu dibatasi hak suami itu sehingga ia tidak
mentalak istrinya kecuali sudah cukup alasan untuk itu. Talak tanpa alasan apapun
tidak dinyatakan sah. 10
Pengajuan permohonan talak oleh suami pada Pengadilan Agama adalah
merupakam jenis perkara kontentius tetapi menggunakan istilah permohonan. Dalam
perkara tersebut, kedudukan suami adalah sebagai pemohon dan istri sebagai
termohon. Antara pemohon dan termohon mempunyai hak dan kedudukan yang
sama di muka hakim. 11
Permohonan cerai talak meskipun berbentuk permohonan tetapi pada
hakikatnya adalah kontentius karena di dalamnya mengandung unsur sengketa. Oleh
karena itu, harus diproses sebagai perkara kontentius untuk melindugi hak-hak istri
dalam mencari upaya hukum dan keadilan. Selain itu, perkara ini harus diproses
sebagai perkara kontentius karena persetujuan istri sangat diperlukan di dalamnya. 12
9
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 59. Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 216. 11
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), Cet-1, h. 202. 12
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 203. 10
74
Dalam jalannya persidangan, peran serta istri sebagai “termohon” tidaklah
pasif. Beberapa hal yang membuktikan bahwa peran serta istri dalam perkara
permohonan talak tidaklah pasif adalah adanya hak seorang istri untuk menjawab isi
permohonan (gugatan) cerai yang diajukan suaminya, hak mengajukan duplik dan
hak mengajukan upaya hukum mulai dari banding, kasasi di Mahkamah Agung
sampai pada upaya hukum peninjauan kembali.
Untuk lebih memudahkan dalam memetakan perbedaan yang terjadi antara
fiqih dan hukum positif maka penulis akan membuat daftar diagram perbedaan
berkenaan dengan permasalahan peran istri dalam perkara talak yang diajukan
suaminya sebagai berikut:
No
1.
Segi perbedaan
Hak talak
Fiqih
Mutlak pada suami
Hukum Positif
Pada suami tapi bersyarat
Diikrarkan suami dihadapan
Diikrarkan oleh suami
2.
Saat pengikraran
Majlis Hakim Pengadilan
dimanapun
Agama.
3.
Alasan talak
Tidak harus ada
Harus ada
4.
Peran istri
Tidak ada (pasif)
Ada (aktif)
Upaya Hukum
5.
Ada (banding, kasasi,
Tidak ada
dari pihak istri
peninjauan kembali)
Hak istri untuk
6.
Tidak ada
menolak
Ada (secara implisit)
75
Demikianlah kurang-lebih perbedaan yang terjadi antara fiqih dan hukum
positif di Indonesia dalam permasalahan peran serta seorang istri dalam perkara talak
bahkan peran istri untuk dapat menolak permohonan talak dari suaminya. Kasus
seperti ini dapat dilihat misalnya pada kasus permohonan talak yang diajukan oleh
Bambang Triatmojo kepada Istrinya Halimah. Halimah yang tidak menginginkan
rumah tangganya hancur, mengajukan Banding atas permohonan Bambang yang
dimenangkan pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan nomor putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat tanggal 16 Januari 2008. Sampai akhirnya, Halimah
dapat memenangkan kasusnya sampai pada Kasasi di Mahkamah Agung sehingga
statusnya sampai saat ini adalah masih resmi menjadi istri dari Bambang Triatmojo.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah perbedaan antara fiqih dan
hukum positif tersebut dapat dibenarkan dari sisi penetapan syari’ah itu sendiri?.
Inilah yang akan dianalisis lebih mendalam pada sub bab berikutnya. 13
B. Perbedaan Dinamis dan Kontradiktif Antara Hukum Fiqih Dan Hukum
Indonesia
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal
dari bahasa Arab yang asal katanya (mashdar) berasal dari khalafa-yakhlifu-khilafan.
13
www.octavita.com/kasasi-bambang-tri-ditolak. di akses pada tanggal 6 Juni 2010. 76
Maknanya lebih umum daripada al-dhiddu, sebab setiap hal yang berlawanan; aldhiddain, pasti akan saling bertentangan (mukhtalifain). 14
Sedangkan ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau
beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam
bentuk “tidak sama” ataupun “betentangan secara diametral”. Jadi, yang dimaksud
ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum
terhadap satu obyek hukum. 15
Perbedaan pendapat merupakan sebuah sunnatullah yang sering terjadi pada
diri manusia, hal tersebut ditegaskakn Allah dalam beberapa ayat berikut:
(8 :‫ )اﻟﺬارﻳﺎت‬.‫ﻒ‬
ٍ ‫ل ُﻣﺨْ َﺘِﻠ‬
ٍ ْ‫ِإ ﱠﻧ ُﻜﻢْ َﻟﻔِﻲ َﻗﻮ‬
Artinya: Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda
pendapat. (QS. Al-Zariyat: 8)
(118 :‫ )اﻟﻬﻮد‬. ‫ﻦ‬
َ ‫ﺣ َﺪ ًة وَﻻ ﻳَﺰَاﻟُﻮنَ ُﻣﺨْ َﺘِﻠﻔِﻴ‬
ِ ‫س ُأ ﱠﻣ ًﺔ وَا‬
َ ‫ﻞ اﻟﻨﱠﺎ‬
َ ‫ﺠ َﻌ‬
َ ‫ﻚ َﻟ‬
َ ‫َوَﻟﻮْ ﺷَﺎ َء َر ﱡﺑ‬
Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Hud ayat 118)
Perbedaan pendapat dalam hukum Islam bagaikan buah yang banyak yang
berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah, bukan sebagai buah yang
banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah
al-Qur’an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil aqli dan naqli, sedangkan
buahnya adalah hukum Islam (fiqih) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, disamping
disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya
14
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2003), h. 47. 15
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 48. 77
segi-segi khusus yang berlainan dengan agama. Syekh Muhammad al-Madani dalam
bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’ membagi sebab-sebab ikhtilaf kepada empat hal
yakni (1) Pemahaman al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, (2) sebab-sebab
khusus tentang Sunnah Rasulullah SAW, (3) sebab-sebab yang berkenaan dengan
kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah, dan (4) sebab-sebab yang khusus mengenai
penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. 16
Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan
hukum pada generasi berikutnya. Semakin lama semakin berkembang sepanjang
sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras,
utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu
dipersoalkan lagi. Apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi
karena perbedaan dalam berijtihad.
Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkn tenaga dan pikirannya untuk
menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang
memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan
mereka yang pokok adalah sama yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi terkadang hasil
temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai dengan
ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.
16
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 51. 78
Jawad Mughniyyah dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Fiqih Lima
Madzhab mengatakan bahwa fiqih itu adalah sebuah lautan yang tidak diketahui
tepinya. Oleh karena itu, satu masalah saja dapat berkembang dan bercabang-cabang
menjadi sangat banyak. Biasanya, dalam fiqih satu masalah saja dapat mempunyai
beberapa pendapat di antara berbagai madzhab, bahkan bisa jadi perbedaan tersebut
terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama dalam satu madzhab tersebut, atau
bisa jadi juga terjadi perbedaan yang dikeluarkan oleh satu orang alim saja. 17 Variasi
hasil ijtihad-ijtihad tersebut adakalanya merupakan sebuah keragaman (tanawwu’)
namun bisa jadi merupakan sebuah pertentangan (tanaqud) dari pokok sumber
hukum yakni al-Qur’an dan al-Sunnah.
Yusuf al-Qardhawy mengatakan bahwa Allah SWT telah menitipkan sifat
kelenturan, fleksibilitas, dan keluasan yang menakjubkan sehingga membuat syari’at
Islam dapat dirasakan sebagai rahmat bagi pemeluknya; orang mempelajari syari’at
dan fiqih akan merasakan luasnya ruang kemaafan (manthiqah al’afwa) atau ruang
kosong yang sengaja oleh nash-nash agama dibiarkan demikian, sebagai ruang gerak
bagi para mujtahid untuk diisi dengan hal-hal yang paling baik bagi umat sesuai
dengan zaman dan kondisinya. 18 Nyatanya, perbedaan yang terjadi dalam
pengalaman antara hukum Islam (fiqih) dengan hukum positif seperti yang sudah
17
Muhammad Jawwad Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B, dkk.,
(Jakarta: Lentera 2001), Cet. 7, h. XX. 18
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 66. 79
penulis paparkan sebelumnya apakah termasuk dalam ruang kemaafan (manthiqah
al-‘afwa) seperti yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawy?.
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu penulis paparkan terlebih dahulu
perbedaan antara syari’ah dan fiqih. Mengenai istilah fiqih, penulis akan mengutip
pandangan DR. Wahbah al-Zuhaili, dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Fiqh alIslami mengatakan:
Fiqih ialah suatu ilmu yang mengkaji hukum syara’ yaitu titah Allah
yang berkaitan dengan aktivitas mu’allaf berupa tuntutan, seperti wajib,
haram, sunnat dan makruh. Atau pilihan yaitu mubah. Ataupun ketetapan
seperti sebab, syarat dan mani’, yang kesemuanya digali dari dalil-dalilnya
yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah melalui dalil-dalil terperinci seperti ijma’,
qiyas dan lain sebagainya. 19
Dalam memahami perbedaan antara fiqih dan syari’ah, ulama berbeda
pendapat dalam tiga kelompok. Pertama, bahwa fiqih itu sama pengertiannya dengan
syari’at. Hal tersebut seperti yang diucapakan oleh Prof TM Hasbi ash Shiddieqy
dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hukum Islam sebagai berikut:
Hukum Islam yang sebenarnya tidak lain dari pada Fiqih Islam, atau syari’at
Islam, yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 20
Kelompok kedua menyatakan bahwa pengertian fiqih dengan syari’at itu
sesuatu yang berbeda. Fiqih merupakan produk pemikiran manusia yang bersifat
relatif terhadap syari’at Allah, sedangkan syari’at adalah nilai-nilai Islam yang
19
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Kairo : Dar al-Fikr, 2001), h. 19. Muhammad Azhar, Fiqih Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam,
(Yogyakarta: Lesiska, 1996), h. 4. 20
80
bersifat absolut, universal dan abadi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Prof. Ibrahim Hosen:
Sengaja saya bedakan antara hukum fiqih dan hukum syari’ah sesuai
dengan pendapat ulama muta’akhirrin. Dulu syari’ah lebih luas. Akidah
termasuk syari’ah. Semua masuk syari’ah. Sekarang syari’ah
dikhususkanpada hukum dengan tingkah laku manusia. Syari’ah tidak
menerima penafsiran seperti wajibnya shalat dan haramnya judi. Dalam
masalah fiqih, biasa terdapat perbedaan. Itu sudah sifat fiqih. Sedangkan
syari’ah hanya satu. 21
Sedangkan kelompok ketiga mengatakan bahwa fiqih itu secara historis
bukan hanya diorientasikan kepada hukum Islam, tetapi juga mencakup disiplin ilmu
lainnya. Jadi, fiqih pada dasarnya berarti faham. Dengan demikian setiap upaya
memahami ajaran Islam baik menyangkut hukum, aqidah, akhlak dan lain-lain itu
berrti fiqih. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh DR. Nurcholis
Madjid:
Fiqih ialah pemahaman keseluruhan ajaran agama, seperti
dimaksudkan dalam kitab suci. Sistem hukum dalam al-Qur’am lebih
merupakan ketentuan etis dan moral daripada ketentuan legal-formal seperti
yang ada dalam pengertian fiqih sekarang. Tapi justru karena kenyataan ini,
maka fiqih yang ada sekarang pun tetap mengandung bagian-bagian yang
sesungguhnya merupakan perkara etis dan moral. Bukan masalah legal.
Contohnya yang paling mudah adalah selalu dimulainya pembahasan dalam
kitab-kitan fiqih dengan bab thaharah atau kebersihan badani. 22
Melihat uraian di atas, secara implisit dinyatakan bahwa al-Qur’an lebih
menekankan aspek moralitas daripada legalitas dalam pemahaman ajaran Islam
21
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum
Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia, 1971), Cet. 1, h. 3. 22
Nurkhalish Madjid, Keislaman dan Keindonesiaan Menatap Masa Depan, Makalah KAA
Paramadina, (Jakarta: 1989). 81
khususnya yang berkenaan dengan hukum Islam. Dengan kata lain aspek moralitas
Islam lebih permanen sedangkan aspek legalitasnya cenderung bersifat relatif
kondisional.
Dari ketiga pandangan kelompok ahli Islam di atas, penulis berkesimpulan
bahwa pendapat kelompok kedua dan ketiga lebih relevan untuk dijadikan rujukan
dalam pembahasan skripsi ini. Dengan catatan sebagai berkut:
Pertama, pembedaan pengertian antara fiqih dan syari’at lebih menjamin dari
kekeliruan dalam upaya memahami ajaran Islam. Jelas mana yang syari’at (ajaran
Islam yang tetap, tidak diperlukan lagi penafsiran), dan dimana yang disebut fiqih
(hasil pemikiran ulama Islam) yang terus menerus mengalami penafsiran sesuai
perkembangan zaman.
Kedua, menyamaratakan pengertian syari’at dengan fiqih akan menyulitkan
umat Islam sendiri dalam upaya penyesuaian Islam dengan zaman yang berkembang.
Karena bila diadakan upaya pembaharuan akan menimbulkan image bahwa ajaran
Islam dirubah-rubah secara keseluruhan. Dengan demikian akan menjadikan Islam
sebagai lahan yang empuk bagi orang-orang yang anti Islam karena dengan mudah
mereka menolak keutuhan ajaran Islam.
Ketiga, harus dapat dibedakan antara aspek moralitas Islam dan aspek
legalitasnya. Kerancuan dalam memahami perbedaan tersebut akan mengakibatkan
pemahaman umat tentang (hukum) Islam lebih bersifat skriptualistis dan tekstualis,
hal tersebut akan menghambat adanya proses pembaruan hukum Islam, yang pada
akhirnya menjadikan Islam sebagai agama irrelevan dengan zaman.
82
Senada dengan hal tersebut, Abdul Ghani Abdullah mengatakan bahwa
hukum Islam memang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Kata “hukum” di sini
berarti wahyu atau produk Allah (syari’). Namun, hukum dari Allah tersebut
adakalanya muncul dengan bentuk rumusan norma yang sangat kecil sekali
mempunyai peluang interpretasi, sedangkan pada sisi lain rumusan
norma
menyediakan peluang yang luas bagi interpretasi. Dalam kaitannya dengan bentuk
kedua, timbul pertanyaan sejauh mana peran manusia memunculkan hukum sehingga
tetap terjaga kemurniannya dan terhindar dari campur tangan manusia itu sendiri?. 23
Berkenaan dengan apa yang telah dikatakan oleh Abdul Ghani tersebut,
menurut penulis sendiri memang benar bahwa dalam nash-nash al-Qur’an dan alHadits sebagian ada yang mempunyai peluang sangat kecil untuk diinterpretasikan
atau bisa juga disebut dengan nash-nash yang qath’i dan sebagian lain sangat
mungkin terbuka lebar untuk diinterpretasikan yakni pada nash-nash yang bersifat
dzanni. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah nash-nash tentang talak
tersebut adalah termasuk bagian nash-nash yang qath’i atau dzanni?.
Memang, pensyari’atan sebuah talak tersebut diserahkan di tangan suami
berdasarkan beberapa nash yang menyebutkan permasalahan tentang talak dengan
mempunyai khithab (objek pembicaraan) bagi laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada
ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi ‫( َوِإنْ َﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻤﻮ ُهﻦﱠ‬Jika kamu menceraikan
23
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 15. 83
Para ulama fiqih memang tidak pernah menyebutkan tentang keterlibatan istri
dalam perkara talak, namun jika melihat ruh dari konsep hukum menjatuhkan talak
yang tidak dapat dijatuhkan sembarangan, maka akan dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam menjatuhkan talak haruslah dihindari adanya kedzaliman dari pihak
suami kepada pihak istri.
Dalam beberapa ayat tentang talak, misalnya pada surat al-Thalaq ayat 1 yang
mempunyai khitab untuk Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
(1 :‫ﻦ َوَأﺣْﺼُﻮا اﻟْ ِﻌ ﱠﺪ َة )اﻟﻄﻼق‬
‫ﻄﱢﻠﻘُﻮ ُهﻦﱠ ِﻟ ِﻌ ﱠﺪ ِﺗ ِﻬ ﱠ‬
َ ‫ﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء َﻓ‬
َ ‫ﻲ إِذَا‬
‫ﻳَﺎ أَ ﱡﻳﻬَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar). (QS. al-Thalaq:1)
24
QS. al-Baqarah: 237. QS. al-Thalaq:1. 26
QS. al-Thalaq:1. 27
QS. al-Baqarah: 228. 25
84
Ayat tersebut memang ditujukan kepada Nabi, yang kemudian pensyari’atannya
berlaku juga bagi umatnya. Namun, pada faktanya Nabi Muhammad SAW tidak
pernah mentalak salah satu dari sekian banyak istrinya. Pada kisah lainnya, memang
benar jika walaupun nabi tidak pernah menjatuhkan talak pada istri-istrinya, namun
para sahabat nabi pernah melakukannya dan nabi Muhammad SAW tidak
melarangnya, sebut saja perkara Ibnu Umar yang mentalak istrinya. Nabi tidak
melarang Ibnu Umar mentalak istrinya, hanya saja melarangnya agar tidak
menjatuhkan talak di saat istrinya dalam keadan haid (thalaq bid’i). 28
Dari kisah tersebut, penulis mempunyai dugaan bahwa seorang Nabi
Muhammad SAW tidak pernah mentalak istrinya karena beliau tahu bahwa talak
hanyalah jalan terakhir jika istri benar-benar tidak dapat diajak kepada jalan kebaikan
dalam berumah tangga. Begitupun juga dengan Ibnu Umar dan para sahabat lainnya.
Intinya, motif penjatuhan talak Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidaklah
sama dengan motif para suami di zaman sekarang ini. Nabi Muhammad adalah
manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) sedangkan para sahabat adalah
manusia-manusia yang dekat dengan nabi, dalam artian, memang para sahabat bukan
manusia ma’shum tapi karena mereka dekat dengan manusia ma ‘shum maka segala
tindak-tanduk mereka terjaga dan pasti akan diingatkan oleh nabi seandainya mereka
melenceng dari kebenaran. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar
diperingatkan oleh nabi karena ia sudah menyalahi prosedur kebenaran.
28
Ibn Ruysd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, T.th), V.II, h. 48. 85
Penulis menduga kuat bahwa Ibnu Umar tidaklah mungkin mentalak istrinya
tanpa ada alasan kuat yang membuat dia lebih memilih jalan talak. Adapun
pelarangan nabi terhadapnya hanyalah pada permasalahan prosedural masa
penjatuhan talak yakni di saat haid. Yang ingin penulis katakan lebih jauh adalah
bahwa ikut campurnya nabi dalam permasalahan talak yang telah dijatuhkan oleh
Ibnu Umar ternyata tidak terbatas pada permasalahan karena talak tersebut
dijatuhkan pada saat haid. Namun, esensi yang lebih kuat dari pelarangan nabi
tersebut adalah pelarangan adanya kedzaliman ketika seorang suami menjatuhkan
talak istrinya pada saat haid. Kedzaliman tersebut adalah, jika talak tersebut
dijatuhkan pada saat haid, maka akan membuat masa iddah istri menjadi semakin
lama.
Ibnu Umar tidak sama seperi nabi, dan para suami pada saat ini tentu sangat
berbeda dengan keduanya. Jika orang seperti Ibnu umar saja dalam kasus
perceraiannya melibatkan Nabi harus turun tangan menetapkan maka lebih-lebih bagi
para suami saat ini. Jika kedzaliman kecil yang dilakukan Ibnu Umar telah ditegur
oleh Nabi, lalu bagaimana dengan kedzaliman besar yang akan dilakukan oleh para
suami zaman sekarang ini ketika mentalak istrinya. Bedanya, karena nabi sekarang
sudah wafat dan tidak mungkin dapat memberikan pertimbangan atau menyalahkan
talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, maka sekarang ada para hakim yang
akan memberikan pertimbangan atau menjadi penengah antara suami-istri yang
sedang bertikai tersebut sehingga paling tidak di antara keduanya akan diputuskan
seadil-adilnya tanpa membuat kedzaliman bagi keduanya.
86
Dari sinilah, kemudian pada hukum positif di Indonesia dirumuskan beberapa
hal yang diluar konteks fiqih ditetapkan untuk menjamin kemaslahatan istri dari
kedzaliman suami dan demi tercapainya keadilan bersama, yakni misalnya dengan
melibatkan istri dalam proses pemeriksaan perkara talak bahkan istri mempunyai hak
untuk mengajukan upaya hukum (banding, kasasi, dan peninjauan kembali) selama ia
merasa hak-haknya belum terpenuhi.
Lebih lanjut, dengan mengutip dari apa yang diungkapkan oleh Abdul Ghani
Abdullah bahwa kondisi kemajuan sekarang ini memang membutuhkan tafsiran
ajaran agama secara konstektual, dan sangat tidak relevan apabila selalu dilihat
dengan kacamata tekstual. 29 Dengan adanya Undang-Undang atau peraturan yang
memberi kewenangan kepada istri untuk melakukan hal yang sama seperti suaminya,
yakni dalam peran yang sama adalah merupakan gambaran betapa besarnya
perhatian pembuat Undang-Undang terhadap keaktualan upaya lanjut dari
peningkatan derajat kaum wanita seperti juga yang dikehendaki oleh UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 30 Kedudukan baik yang
diberikan oleh ajaran Islam kepada wanita muslim ini kadang tidak jelas tampak
dalam masyarakat Islam di zaman modern. Ini disebabkan karena beberapa faktor
yang harus dicari tidak dalam ajaran Islam tetapi pada kebudayaan manusia yang
beragama Islam tersebut yang misunderstood (salah paham) tentang ajaran agama
yang dipeluknya dalam hal penghargaan yang diberikan kepada wanita. Annie
29
30
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 16. Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 32. 87
Besant, salah seorang pimpinan gerakan wanita, dalam bukunya The Life and
Teachings Of Muhammad (Madras: 1932, h. 26) mengatakan bahwa hukum Islam
jauh melebihi hukum-hukum Barat. Ketentuan al-Qur’an tentang wanita jauh lebih
adil dan liberal (dari hukum Barat). 31
Sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abdul Ghani Abdullah, Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Amin Suma
juga mengatakan bahwa pada dasarnya dan dalam kenyataanya, praktek ijtihad di
Indonesia tidak pernah berhenti, apalagi diberhentikan oleh siapapun dan kapanpun.
Dengan kalimat lain, ijtihad hukum Islam (fiqhiyyah) di Negara hukum Indonesia,
tentu dengan lika-liku pasang-surutnya terus berjalan dan terus dijalankan oleh ahli
fiqih Indonesia (fuqaha’ al-indonesia), apapun kategori tingkatan kefaqihan atau
kemuftian serta kemujtahidannya. Yang jelas, praktik ijtihad fiqhiyyah di Negara
hukum Indonesia terus berlaku dan diberlakukan, terutama yang bersifat kolektif
kelembagaan. 32
Dari beberapa uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa Undang-Undang
dan aturan yang sudah ditetapkan dan diberlakukan di Indonesia walaupun berbeda
dengan hasil pemikiran para ulama fuqaha’ klasik adalah merupakan buah pemikiran
fuqaha’ pada zaman ini. Perbedaan yang muncul dari buah pemikiran fuqaha’
31
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, h. 37. Amin Suma, Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengalaman Indonesia,
(Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 28. 32
88
terdahulu merupakan sebuah perbedaan yang dinamis (tanawwu’), yakni sebuah
perbedaan yang tidak menyalahi dari hukum asalnya.
C. Solusi Menghadapi Perbedaan
kondisi kemajuan sekarang ini membutuhkan tafsiran ajaran agama secara
konstektual, dan sangat tidak relevan apabila selalu dilihat dengan kacamata tekstual.
Konstatansi yang disebut terakhir tersebut akan mengantarkan suatu pandangan
bahwa hukum dan fiqih secara kontekstual tidak dapat dibedakan apalagi dipisahkan
satu dengan lainnya. Bukan saatnya lagi mempertajam perbedaan tekstual yang
memang berlainan, dan melanjutkan kondisi tersebut hanya akan memperkuat
anggapan bahwa agama menghambat kemajuan. 33
Dalam masalah adanya perbedaan antara fiqih dan hukum positif di Indonesia
berkenaan
dengan
permasalahan
hukum
keluarga
yakni
Undang-Undang
perkawinan, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang
perkawinan tersebut tidak selaras dengan hukum Islam dan karena itu beberapa umat
muslim di negara Indonesia enggan memahami dan melaksanakannya secara baik
dan benar. Hal seperti ini menurut penulis perlu dikomentari.
Dalam pembentukan hukum perkawinan nasional, unsur hukum Islam
menjadi unsur hukum penentu dalam pembicaraannya di DPR dahulu. Menurut
Prof.H.M. Rasjidi, mantan Gurubesar Hukum Islam Dan lembaga-lembaga Islam
33
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 16. 89
Universitas Indonesia dalam salah satu percakapan dengan para asistennya di FH-UI
tahun 1974 (sesudah Undang-Undang Perkawinan disahkan) ketentuan-ketentuan
yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan yang berlaku juga bagi umat
Islam Indonesia adalah hasil ijtihad umat Islam Indonesia, melalui para wakilnya di
DPR bersama pemerintah, yang bersifat pengembangan pemahaman tentang hukum
syari’at atau hukum agama Islam (fiqih) mengenai perkawinan yang terdapat dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah untuk kemashlahatan umat Islam Indonesia. Bertitik tolak
dari pandangan ini, dapatlah dimengerti mengapa ketentuan-ketentuan atau kaidahkaidah yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan itu kemudian dimasukkan
ke dalam KHI dan kemudian dianggap sebagai hukum Islam. 34
Mengenai sifat Undang-Undang perkawinan dalam mengangkat harkat dan
derajat (kedudukan) kaum wanita yakni para istri dapat dijelaskan dalam uraian
singkat bahwa dalam Undang-Undang perkawinan tersebut dinyatakan dengan jelas
bahwa hak dan kedudukan suami-istri adalah seimbang dalam kehidupan keluarga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989), kata seimbang artinya sama berat (kalau ditimbang), sama kuat
(kalau diukur). Akibatnya adalah bahwa antara suami-istri sama-sama berhak
melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri,
keluarga dan masyarakat. Dalam hal perceraian akibat talak, maka wajar jika istri
diberi hak untuk berperan-serta dalam prosesnya.
34
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 43. 90
Sebagai solusi dari perbedaan yang ada, maka perlu dipahami bahwa
keputusan pemerintah yang kemudian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang
atau peraturan lainnya tentunya tidak lepas daripada kaidah:
35
‫ﺤ ِﺔ‬
َ ‫ﻋ ﱠﻴ ِﺔ ﻣَﻨُﻮطٌ ﺑِﺎﻟْ َﻤﺼَْﻠ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱠﺮ‬
َ ‫ف ا ْﻟِﺈﻣَﺎ ِم‬
ُ ‫ﺼ ﱡﺮ‬
َ ‫َﺗ‬
Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan.
Dengan demikian, pemimpin dan seluruh perangkatnya dalam mengambil
kebijakan sudah seharusnya mendasarkan pertimbangannya pada kebaikan
(mashlahah) maupun yang lebih mashlahah yakni al-ashlah
di antara hal-hal
mashlahah lainnya. Pemerintah tidak diperbolehkan mengambil sebuah kebijakan
berdasarkan satu pertimbangan saja, walaupun hal tersebut bermanfaat jika masih
diyakini ada manfaat yang lebih besar lagi. Kecuali apabila dalam pengambilan
kebijakan itu akan berdampak pada hal-hal yang merugikan dan fatal. Kewajiban ini
dapat diaplikasikan dengan menggunakan prinsip dasar fiqih, yaitu:
36
‫ﺢ‬
ِ ‫ﺐ اﻟْ َﻤﺼَﺎِﻟ‬
ِ ْ‫ﺟﻠ‬
َ ْ‫ﺳ ِﺪ أَوْﻟَﻰ ِﻣﻦ‬
ِ ‫َدرْ ُء اﻟْ َﻤﻔَﺎ‬
Mendahulukan upaya pencegahan hal-hal yang merusak daripada menarik
kemashlahatan.
Disamping itu, pijakan pemerintah dalam mengambil keputusan adalah
memberi perhatian lebih besar pada kemaslahatan yang bersifat umum (kemaslahatan
universal/mashlahah al-‘ammah) di atas kemashlahatan individual. Dalam penetapan
peraturan yang memberikan ruang peran serta bagi istri dalam permasalahan talak
adalah dalam rangka pencapaian mashlahah bahkan ashlah demi keadilan tidak
35
36
al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, (Mesir: Dar al-Salam, 2006), V.1, h. 278. al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, V. 1, h. 161. 91
hanya bagi istri tapi juga bagi suami. Inilah yang penulis maksud dengan
kemaslahatan yang bersifat umum (kemaslahatan universal/mashlahah al-‘ammah).
Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi rakyat untuk mengikuti arahan dari peraturan
yang sudah ditetapkan pemerintah.
Berkenaan dengan permasalahan menaati peraturan pemerintah, Ibnu Hajar
dalam Tuhfah al-Muhtaj menyatakan bahwa mentaati perintah imam (pemerintah)
yang berupa pekerjaan haram hanya wajib secara dzahir (tidak berdosa bila bila tidak
dilaksanakan). Sedangkan untuk pekerjaan makruh dan mubah akan dibagi
hukumnya sebagai berikut: 37
Pertama, jika terdapat mashlahah universal (mashlahah al-‘ammah) maka
wajib taat secara dzahir dan bathin (taat bathin yakni berdosa jika tidak
dilaksanakan). Kedua, sedangkan jika tidak terdapat mashlahah al-‘ammah, maka
hanya wajib secara dzahir saja sehingga jika tidak dilakukan tidak akan mendapat
dosa. 38
Mengenai status hukum sunnah dan mubah, disesuikan sepenuhnya pada
keyakinan orang yang diperintah (baca: rakyat). 39 Sebab, mungkin saja antara
persepsi seorang imam dan rakyatnya berbeda, misalnya antara kedua belah pihak
berbeda madzhab. Sehingga kedua belah pihak dalam memandang status hukum
sebuah pekerjaan kadang kala berbeda sesuai keyakinan madzhab masing-masing.
37
Abdul Haq,. dkk, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, (Surabaya:
Khalista, 2006), Cet-2, V. II, h. 83. 38
Abdul Haq,. dkk, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, h. 83. 39
Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin,
(Libanon: Dar al-Fikr, 1995), h. 57-58. 92
Namun satu hal yang tidak bisa ditinggalkan juga adalah bahwa keputusan
pemerintah (hakim) adalah sebagai jembatan dari perbedaan yang terjadi. Hal ini
sesuai dengan kaidah:
40
‫ف‬
َ ‫ﺨﻠَﺎ‬
ِ ْ‫ﻒ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻳﺮْﻓَﻊ اﻟ‬
ِ ‫ﻞ اﻟْ ُﻤﺨْ َﺘَﻠ‬
ِ ‫ﺣﻜْ ُﻢ اﻟْﺤَﺎ ِآ ِﻢ ﻓِﻲ اﻟْ َﻤﺴَﺎ ِﺋ‬
ُ
Keputusan hakim dalam perbedaan pendapat produk ijtihad dapat
menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.
Berdasarkan kaidah tersebut, maka dengan adanya keputusan pemerintah dalam
bentuk Undang-Undang atau Peraturan lainnya itu sudah cukup untuk menjembatani
perbedaan yang ada sekaligus menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.
40
al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, V. 1, h. 479. 93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari kajian-kajian sebelumnya
dan kesimpulan ini sekaligus sebagai jawaban daripada rumusan masalah yang sudah
penulis sebutkan di awal pembahasan skripsi ini. Adapun point-point kesimpulan
tersebut adalah sebagai berkut:
1. Otoritas istri dalam menerima dan menolak talak, pada dasarnya terdapat
perbedaan (ikhtilaf) antara fiqih dan hukum positif Indonesia. Perbedaan tersebut
bukanlah sesuatu yang menyalahi dikarenakan saling bertentangan (tanaqud) dari
pensyari’atan ketentuan talak itu sendiri, tapi merupakan sebuah perbedaan yang
mencerminkan keragaman perbedaan yang saling mewarnai (tanawwu’) demi
menghidupkan esensi dari pensyariatan ketentuan talak itu sendiri.
2. Dalam fiqih klasik tidak mengakui adanya peran serta istri dalam permasalahan
talak lebih-lebih hak untuk dapat menolak talak tersebut, maka sedikit berbeda
dari fiqih klasik, dalam fiqih kontemporer ditetapkan adanya peran serta istri
dalam talak. Yakni, bahwa sebelum talak terjadi, pendapat istri juga harus
dipertimbangkan. Talak tidak ubahnya seperti sebuah akad yang dalam
keabsahanya membutuhkan kerelaan dari pihak pertama dan pihak kedua yakni
antara suami dan istri. Ketidakrelaan dari salah satu pihak menjadikan akad atau
94
talak tersebut tidak sah. Oleh karena itu, talak hanya akan terjadi jika kedunya
menginginkannya dan rela terhadap terjadinya perceraian tersebut. Namun, jika
tidak dapat ditemukan jalan tengah karena keduanya tetap pada pendirian
masing-masing, maka hakimlah yang akan memutuskan.
3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) secara implisit menjamin wanita untuk dapat berperan serta dalam
proses perceraian dan melakukan penolakan terhadap permohonan talak yang
diajukan suaminya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pasal yang menjamin
hak istri untuk berperan serta dalam penyelesaian perkara talak, yakni adanya hak
untuk menjawab gugatan (permohonan) talak dari suaminya, hak duplik dan hak
mengajukan upaya hukum mulai dari banding di pengadilan tingkat pertama
sampai pada kasasi pada tinkat Mahkamah Agung. Bahkan, kalau masih dirasa
perlu maka istri yang masih ingin mempertahankan rumahnya dapat mengajukan
peninjauan kembali terhadap putusan-putusan yang didapatkannya.
4. Apa yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang atau peraturan lainnya yang
terdapat di Indonesia berkenaan dengan permasalahan ini sudah memenuhi
ketentuan prinsip dasar fiqih, yaitu:
‫ﺢ‬
ِ ‫ﺐ اﻟْ َﻤﺼَﺎِﻟ‬
ِ ْ‫ﺟﻠ‬
َ ْ‫ﺳ ِﺪ أَوْﻟَﻰ ِﻣﻦ‬
ِ ‫َدرْ ُء اﻟْ َﻤﻔَﺎ‬
Mendahulukan upaya pencegahan hal-hal yang merusak daripada
menarik kemashlahatan.
95
Dimana pada dasarnya keputusan pemerintah berupa Undang-Undang atau
peraturan lainnya tersebut tidak dapat lepas dari dua kaidah berikut:
‫ﺤ ِﺔ‬
َ ‫ﻋ ﱠﻴ ِﺔ ﻣَﻨُﻮطٌ ﺑِﺎﻟْ َﻤﺼَْﻠ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱠﺮ‬
َ ‫ف ا ْﻟِﺈﻣَﺎ ِم‬
ُ ‫ﺼ ﱡﺮ‬
َ ‫َﺗ‬
Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan
kemaslahatan.
‫ف‬
َ ‫ﺨﻠَﺎ‬
ِ ْ‫ﻒ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻳﺮْﻓَﻊ اﻟ‬
ِ ‫ﻞ اﻟْ ُﻤﺨْ َﺘَﻠ‬
ِ ‫ﺣﻜْ ُﻢ اﻟْﺤَﺎ ِآ ِﻢ ﻓِﻲ اﻟْ َﻤﺴَﺎ ِﺋ‬
ُ
Keputusan hakim dalam perbedaan pendapat produk ijtihad dapat
menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.
Berdasarkan kaidah tersebut, maka dengan adanya keputusan pemerintah
dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan lainnya itu sudah cukup untuk
menjembatani perbedaan yang ada sekaligus menghilangkan pluralisme perbedaan
pandangan.
B. Saran
Dari pembahasan di atas, besar harapan penulis bahwa tulisan ini akan
memberikan sedikit masukan kepada pemerintah, ulama dan masyarakat untuk
bersama-sama membangun suatu tatanan hukum yang baik demi kemaslahatan
bersama.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di negara ini, diharapkan untuk
peka dengan gejala hukum yang ada di masyarakat. Kemudian mengatur hal-hal
yang dirasa dapat meresakan warganya, sehingga masyarakat akan merasa terjamin
hak-haknya. Selain itu, ketegasan pemerintah dalam pelaksanaan hukum yang ada
96
juga sangat diperlukan, sehingga hukum yang ada tidak hanya ditakuti tapi juga
mempunyai wibawa untuk ditaati dan dipegang teguh oleh warganya.
Begitu juga bagi para ulama yang merupakan komponen penting dalam
penentuan hukum, untuk lebih bisa mengayomi dan menjadi maraji’ bagi masyarakat
secara umum, khususnya bagi masyarakat awam. Peran ulama dalam memberikan
pengertian atas pentingnya pelaksanaan suatu hukum perlu melihat konteks kekinian
sehingga tidak terasa saklek atau tekstual dengan nash-nash yang ada. Karena
bagaimanapun juga, hukum selalu berkembang seiring dengan berkembangnya
waktu dan tempat.
Adanya pemerintah maupun ulama dalam penentuan hukum, tentu tidak akan
seimbang jika masyarakat tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Sudah seharusnya
masyarakat mendukung aturan-aturan baik yang ada. Bukan hanya untuk
kepentingan pribadi saja tapi untuk kepentingan bersama.
Terakhir, penulis merasa bahwa pembahasa pada skripsi ini tentunya masih
sangat sederhana dan tentu saja memiliki ketidaksempurnaan. Oleh karena itu
diharapkan saran dan kritik yang sehat agar lebih bermanfaat. Semoga tulisan ini
menjadi penyambung lidah positif bagi para pengkaji hukum.
97
Daftar Pustaka
A. Rasyid, Raihan. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pers. 2003.
Abu Ishaq, al-Syirazy. Al-Muhadzdzab. Surabaya: Hidayah. T. Th.
Abu Suja’, al-Ashfani. Fiqih Sunnah Imam Syafi’I Pedoman Amaliah Muslim
Sehari-hari. Bandung: PADI. 2009.
Abdoerraoef. al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study. Jakarta: Bulan
Bintang. 1970.
Abdullah, Abdul Ghani. Pengantar Kompilasi hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. 2002. Cet-2.
Ahmed An-Na’im, Abdullah. Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa oleh Ahmad Suaedi
dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LkiS dan Pustaka Pelajar. 1994.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 2006. Cet-13.
Aripin, Jaenal. Latif, Azharudin. Filsafat Hukum Islam Tasyri’ dan Syar’i. Jakarta:
UIN Press. 2006. Cet-1.
Arto, A. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1996. Cet-1.
Azhar, Muhammad. Fiqih Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam.
Yogyakarta: Lesiska. 1996.
Aziz al-Jandul, Sa’id Abdul. Wanita dalam Naungan Islam, alih bahasa oleh Syafril
Halim. Jakarta: Firdaus, 1992.
al-Bandari, Abdul Wahab. al-Nikah Wa al-Thalaq. Kairo: al-Mathba’ah al‘Amaliyah. 1969.
al-Bahi, Muhammad. Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala
Jawaban, alih bahasa oleh Fathurrahman. Jakarta: Gema Insani Pers.1990.
cet-6.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2002.
98
Dewi, Gemala dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2006.
Djamil, Faturrahman. “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum
Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 2001.
al-Fadani, Muhammad Yasin. Fawaid Janiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Al-Ghandur, Ahmad. Al-Thalaq Fi al-Syari’ah Wa al-Qanun. Mesir: Dar al-Ma’arif
1967. Cet-1.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Wajiz. Kairo: Dar al-Risalah. 2004.
al-Ghazzi, Muhammad Bin Qasim. Fath al-Qarib al-Mujib. Surabaya: Maktabah
Sa’d Bin Nashir Bin Nabhan. T. Th.
al-Hadad, al-Thahir. Wanita Dalam Syari’at Dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 1993. Cet-4.s
al-Hakim, Abd al-Hamid. Mabadi' Awwaliyah. Jakarta: Sa'adiyah Putra. T. Th.
____________________. al-Sullam. Jakarta: Sa'adiyah Putra. T. Th.
al-Hishni, Taqiyyuddin. Kifayah al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2001.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Cet-4.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Mu’amalat). Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2003.
Hasyim, Syafiq. Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuanan
Dalam Islam. Bandung: Mizan. 2001.
Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talaq-Rujuk dan
Kewarisan. Jakarta: Yayasan Ihya ‘Ulumuddin Indonesia. 1971. Cet.-1.
I Doi, A. Rahman. Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 1996.
Ibn Rusyd. Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Dar al-fikr. T. Th.
al-Jaziri, ‘Abd al-Rahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah. Kairo: Dar alHadits. 2004.
99
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Rajawali Press. 1995.
Ma’ani, Abdu al-‘Adzim. al-Ghundur, Ahmad. Hukum-Hukum dari al-Qur;an dan
Hadis Secara Etimologi Sosial dan Syari’at. Terj-Usman Sya’roni. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2003.
Mahmood, Tahir. Family Law Reform In The Muslim World. New Delhi: NM
Tripathi PVT LTD. 1972.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama. Jakarta: MA RI. 2006.
Makki al-Amili, Ali Husain Muhammad. Perceraian Salah Siapa?. Jakarta: Lentera.
2001.
Al-Malibari. Fath al-Mu’in. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islami. 2010.
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang. 1974.
Mughniyyah, Muhammad Jawad. Fiqih lima Madzhab. Jakarta: Lentera. 2001.
Muhammad, Daud Ali. Hukum Islam Dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002). Cet-2.
Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta :CEQDA UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2007.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 1995.
Rusdiana, Kama. Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN
Jakarta Press. 2007. Cet-1.
al-Shan'ani. Subulu al-Salam. Kairo: Dar al-Hadits. 2004.
al-Shiba’I, Musthofa. Wanita Dalam Pergumulan Syari’at Dan Hukum Konvensinal.
Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara. T. Th.
al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadhair. Mesir: Dar al-Salam. 2006.
Sabbiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Mauqi' Ya'sub, T. Th.
100
Subekti, R. Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk
Wetboek Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria Dan UndangUndang Perkawinan. Jakarta: PT. Prandya Paramita. 2007. Cet-8.
Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2007.
Suma, Amin. Teori dan Praktek Ijtihad Di Negara Modern Pengalaman Indonesia.
Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2010.
Syarifin, Pipin. Pengantar ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 1999.
Syarifuddin, Amir. Hukum perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada media. 2006. Cet-1.
Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu. 2003.
Tarigan, Azhari Akmal. Nuruddin, Amiur. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2004.
Team KAKI LIMA. Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Buku
Satu. Surabaya: Khalista. 2005.
Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Buku
Dua. Surabaya: Khalista. 2006.
Tholchah Hasan, Muhammad. Diskursus Islam Kontemporer. Jakarta: Lintafariska
Putra. 2001. Cet-2.
Turmudzi, Imam. Dialog Wanita Dan Islam. Surabaya: Cipta Media. T. Th.
Ulin Nuha, Muhammad. 55 Cinta Allah Terhadap Wanita. Jombang: Lintas Media.
2007.
Umar Ba’lawy, Abdurrahman bin Muhammad bin Husain. Bughyah al-Mustarsyidin.
Libanon: Dar al-Fikr.1995.
Wahiduddin Khan, Maulana. Woman In Islamic Shari’ah. New Delhi: al-Risalah
Books. 1995.
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar al-Fikr. 2001.
Zahrah, Muhammad Abu. al-Ahwal al-Syakhsiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Download