HAK ISTRI UNTUK MENOLAK TALAK PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM POSITIF Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Oleh: ELI ERMAWATI MS NIM: 1060 4410 13 67 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ranah hukum ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi, societas”, dimana ada masyarakat, maka disana ada hukum. Hal ini berarti pada setiap perkembangan, corak dan dinamika kehidupan masyarakat, akan ada tatanan, norma dan kaedah hukum yang mengaturnya. Berdasarkan kaedah ini masyarakat diatur, dibimbing dan diarahkan supaya pola hidup yang dijalani tetap teratur dan tertib (rule and order) serta dapat terjaga hak-hak masing-masing individu.1 Setiap perkembangan dan dinamika masyarakat, terutama pergulatan sosial, ekonomi, politik dan budaya adalah butuh jawaban/solusi dan pembenaran. Hal ini dapat membawa kalangan ahli hukum untuk melakukan telaah dan kajian ulang terhadap berbagai dasar hukum yang selama ini digunakan sebagai pijakannya. Hal itu perlu dilakukan sebagai bagian dari proses untuk mewujudkan idealitas pencarian dan penemuan hukum yang dikenal sebagai proses “recht vinding”. Hal ini berarti ada upaya penggalian dan penemuan kembali berbagai solusi hukum sehubungan dengan kemunculan berbagai persoalan sosial, hukum, politik dan lainnya yang tidak ditemukan dalam dasar hukum utamanya. 2 1 Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, (Jakarta: Lintafariska Putra, 2001), Cet. 2, h. 1. 2 Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, h. 2. 2 Berkaitan dengan hal tersebut, dalam masalah perkawinan juga terdapat beberapa permasalahan yang butuh solusi pemecahan. Masalah akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsâqan ghalîzhan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Hal ini menunjukkan ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud. Namun, seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan. Apabila pergaulan suami istri tidak dapat mencapai tujuan perkawinan seperti yang didambakan, maka hal itu akan mengakibatkan perkawinan harus putus di tengah jalan. Karena tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka di dalam Islam terdapat suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu perceraian/talak. Talak merupakan salah satu formula dari perceraian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Khairuddin Nasution dalam bukunya yang berjudul Status Wanita di Asia Tenggara menyebutkan bahwa dalam kitab-kitab fiqih klasik, menurut Imam Mâlik sebab-sebab putusnya perkawinan adalah thalâq, khiyâr/fasakh, khulu', syiqâq, nusyûz, ilâ' dan zhihâr. Imam Syafi'î, sebagaimana ia nukil menuliskan sebab-sebab 3 putusnya perkawinan adalah thalâq, khulu' fasakh, khiyâr, syiqâq, nusyûz, ila', dzihâr dan li'ân. 3 Dalam kitab-kitab fiqih klasik putusnya perkawinan yang disebabkan talak ada di tangan laki-laki. 4 Bahkan jika diamati, seolah-olah fiqih memberikan aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah talak menjadi hak prerogatif 5 laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya menceraikan istri secara sepihak. 6 Berkenaan dengan hal ini, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa Islam memberikan hak talaknya kepada kaum laki-laki karena kaum laki-lakilah yang memiliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai dengan mahal sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan membutuhkan biaya yang banyak. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa laki-laki mempunyai akal tabiat yang lebih sabar menghadapi perangai istrinya. Dia tidak cepat-cepat menceraikannya. Sebaliknya, perempuan lebih cepat marah, terburu-buru dan tidak menanggung beban perceraian. 7 3 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 208. 4 Ahmad al-Ghandur, al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun, (Mesir: Dar alMa’arif, 1967), Cet. Ke-1, h. 32. 5 Yaitu hak Istimewa. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Cet. Ke-5, hal. 370. 6 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 2001), h. 170. 7 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, T. Th), V. 2, h. 178. 4 Pelaksanaan talak adalah tindakan sepihak dari suami; oleh karena itu tidak dikenal istilah qabul. Namun apakah keabsahan talak itu diperlukan persetujuan istri, kelihatannya tidak dibahas oleh ulama fiqih, baik secara umum atau dalam bahasan khusus. Hal ini disebabkan karena pendapat ulama secara umum talak itu adalah otoritas 8 mutlak seorang suami. Otoritas itu dapat digunakannya meskipun tidak mendapat persetujuan dari istri yang ditalaknya. 9 Di sisi lain, ternyata beberapa ulama kontemporer menyatakan bahwa walaupun hak talak ada di tangan laki-laki, tapi ia tidak boleh menggunakannya dengan sewenang-wenang. Abu Zahrah bahkan mengatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam permasalahan aqad termasuk di dalamnya tentang aqad pernikahan dan perceraian. Oleh karena itu dalam suatu perceraian butuh adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. 10 Dari berbagai pendapat yang ada, Hukum Perkawinan di Indonesia lebih mengadopsi pendapat yang membatasi hak talak suami. Hal tersebut dapat dilihat dalam Hukum Acara Peradilan Agama yakni dalam rangkaian proses pengajuan permohonan cerai/talak seorang istri diberikan kesempatan untuk menjawab permohonan talak dari suaminya. Pada Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa tergugat/termohon, dalam hal ini adalah istri sebagai termohon, dapat mengajukan 8 Yaitu hak untuk bertindak, kekuasaan: wewenang. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, h. 332 9 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. ke-2, h. 214. 10 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 279-281. 5 jawaban secara tertulis atau lisan. Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan jawaban dari termohon yakni ia bisa mengiyakan permohonan talak suaminya atau sebaliknya ia akan menjawab untuk tetap mempertahankan rumah tangganya dan menolak permohonan talak dari suaminya. 11 Kesempatan untuk menjawab ini bahkan tidak hanya sekali tapi dua kali yakni dilanjutkan lagi dengan duplik (jawaban dari replik pemohon). Dalam praktek perkara perdata pada Pengadilan Agama juga dikenal istilah upaya hukum, yakni suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara yang telah ditetapkan undang-undang. 12 Upaya hukum dibagi menjadi beberapa jenis yakni adakalanya untuk melawan gugatan, melawan putusan upaya hukum luar biasa (istimewa). Adapun upaya hukum untuk melawan putusan di antaranya adalah verzet, banding (pasal 61 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989) dan kasasi (pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 jo pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo KHI pasal 130). Dengan adanya upaya hukum ini, seandainya hakim mengeluarkan putusan yang mengabulkan permohonan perceraian dari suami pada tahap pengadilan tingkat pertama, sedangkan ia (istri) masih bersikeras untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan tidak ingin 11 Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet-1, h. 97. 12 Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 271. 6 dicerai, maka ia dapat mengajukan upaya hukum untuk mempertahankan haknya. Bahkan, jika ia tidak bisa mendapatkan haknya pada Pengadilan tingkat pertama dengan cara banding, maka ia masih bisa mengajukan upaya hukum pada tingkat Mahkamah Agung yang biasa disebut dengan kasasi. Dari semua realita tersebut, dapat ditemukan indikasi adanya perbedaan antara hukum fiqih dengan hukum positif di Indonesia. Yakni, jika fiqih terkesan tidak memberikan hak bagi seorang istri untuk terlibat dalam talak lebih-lebih dapat mengajukan penolakan terhadap talak yang diajukan suaminya, maka hukum positif Indonesia justru sebaliknya memberikan hak kepada seorang istri untuk dapat turut andil dalam proses talak dan pada beberapa pasalnya menyatakan secara implisit bahwa istri dapat mengajukan hak-nya untuk menolak talak yang diajukan suaminya. Berdasarkan sebuah kesimpulan awal bahwa terdapat perbedaan antara fiqih dengan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan ada atau tidaknya hak istri dalam menolak talak yang diajukan suaminya, maka penulis terinspirasi mengambil judul untuk skripsi ini adalah: “Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih dan Hukum Positif”. B. Rumusan dan Batasan Masalah Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis akan merinci rumusan permasalahannya dalam bentuk pertanyaan. Adapun rumusan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana otoritas istri dalam menerima dan menolak talak? 7 2. Bagaimana batas hak wanita dapat menolak talak berdasarkan Fiqih klasik dan kontemporer? 3. Bagaimana batas hak wanita dapat menolak talak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)?. 4. Bagaimana perbandingan antara Fiqih dan Hukum Positif dalam memandang permasalahan hak istri untuk menolak talak?. Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada pembahasan utamanya sehingga dapat lebih terfokus, oleh karena itu penulis akan mengemukakan batasan-batasan persoalan dalam skripsi ini hanya pada beberapa permasalahan. Secara lebih spesifik penulis hanya membatasi pada masalah perbedaan hak seorang istri untuk menolak talak perspektif fiqih lintas lima madzhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari) dan hukum positif. C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengungkapkan tentang ada tidaknya hak seorang istri dalam menerima dan menolak talak. 2. Untuk mengungkapkan bagaimana batasan peran seorang istri dalam menolak talak berdasarkan kajian lintas perspektif Fiqih lintas lima madzhab; Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari. 8 3. Untuk mengungkapkan bagaimana batasan peran seorang istri dalam menolak talak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 4. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Fiqih dan Hukum Positif dalam memandang permasalahan hak istri dalam menolak talak. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan pengertian secara akademis mengenai hak istri dalam permasalahan talak. 2. Memberikan wacana tentang peran seorang istri dalam menolak talak ditinjau dari kajian lintas perspektif Fiqih lintas lima madzhab; Syafi’I, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari dan Hukum Positif serta perbandingan dari kedua perspektif tersebut. 3. Memberikan kesadaran bagi wanita agar dapat mengerti tentang hak-hak dan peran sertanya dalam permasalahan talak. D. Studi Kajian Terdahulu Sebenarnya telah banyak para peneliti yang menulis tentang permasalahan talak. Namun tulisan-tulisan tersebut masih banyak yang berupa pemaparan tentang talak dan seluk beluk lainnya. Kadang ada beberapa pembahasan yang terfokus pada suatu kasus tertentu, namun pemaparan-pemaparan tersebut hanya terfokus pada teori inti bahwa istri bersifat pasif dengan talak yang dijatuhkan suaminya. 9 Pemaparan seperti ini biasanya terdapat dalam bab talak yang tersebar pada kitabkitab fiqih klasik. Adapun pencarian dari beberapa skripsi yang sudah penulis lakukan berkenaan dengan tema tersebut hanya berkisar pada gender dan kedudukan wanita dalam perkawinan. Adapun beberapa skripsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Huzaemah. Kesetaraan Gender Dalam Buku I KHI (Studi Analisis Bab III, IV, VIII, IX dan XII). (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2004). Skripsi ini mengfokuskan pembahasannya pada permasalahan kesetaraan gender yang terkandung dalam buku I KHI. Sumber data yang dipakai olehnya berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa dalam KHI sudah terdapat beberapa point penting yang mengakomodir posisi wanita dalam hukum. Wanita mempunyai kesetaraan dalam hukum. Walaupun Huzaemah membahas kesetaraan gender dalam KHI, tapi ia meluputkan satu pembasan khusus tentang hak istri dalam menolak talak suami seperti yang tercantum dalam pasal 130 KHI. Disinilah point yang akan penulis ambil untuk dijadikan kajian dalam skripsi ini. 2. Saraswati. Status Wanita Dalam Perkawinan Dipandang Dari Konsep Fiqih Dan UUP Nomor 1 Tahun 1974 . (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2004). Skripsi ini mengfokuskan pembahasannya pada permasalahan status wanita dalam sebuah perkawinan dan perbandingan tentang eksistensi wanita dalam sebuah perkawinan jika ditinjau dari Fiqih dan UU 10 Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam skripsi ini penulis menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa status wanita dalam fiqih masih sangat terbatas sedangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan peluang kepada wanita untuk mempunyai status yang sama di hadapan hukum. Dalam skripsi ini juga tidak temukan pembahasan tentang hak banding seorang istri yang ditalak. 3. Zaenudi, Cecep Miftah. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gender Maistreaming KHI. (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2006). Skripsi ini mengfokuskan pembahasannya pada permasalahan gender mainsteaming yang terdapat dalam KHI ditinjau dari Hukum Islam. Dalam skripsi ini penulis menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa tinjauan Islam tentang gender mainsteaming yang diadopsi oleh KHI dapat dibenarkan. Namun, ia tidak membahas lebih spesifik tentang hak istri dalam menolak talak. Dari hasil tinjauan review kajian terdahulu yang sudah dilakukan oleh penulis ternyata tulisan-tulisan yang sudah ada belum membahas tentang posisi wanita dalam suatu perceraian secara khusus dalam hal ini adalah tentang kuasa istri menolak talak suaminya. Kalaupun ada beberapa pembahasan pada suatu kasus talak yang berkaitan dengan gender dan feminisme, namun hal tersebut belum menyentuh pada pemaparan sebuah perbandingan hukum lintas perspektif, dalam hal ini adalah perspektif Fiqih 11 klasik (madzhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari), Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari sini, penulis dapat berkesimpulan bahwa pembahasan tentang hak istri untuk menolak (banding) terhadap putusan talak suaminya perspektif Fiqih dan Hukum Positif belumlah dibahas secara spesifik bahkan di fiqih-pun juga masih belum ada pembahasan secara khusus, hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Prof. Dr. Amir Syarifudin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. 13 E. Objek Penelitian Objek penelitian skripsi ini adalah berawal dari sebuah perbedaan yang terjadi antara teori-teori dalam fiqih dengan Hukum Positif dalam hal ini adalah KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni berkenaan dengan permasalahan ada atau tidaknya hak istri dalam menolak talak. Dalam fiqih, secara umum para ulama menyatakan bahwa hak menjatuhkan talak merupakan hak prerogatif bagi suami secara mutlak. Kapanpun dan dimanapun ia ingin menjatuhkannya kepada istrinya, maka talak itupun akan dianggap jatuh dan dihukumi absah. Sedangkan sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa walaupun talak ada di tangan suami tapi suami tidak dapat melakukan hal tersebut sekehendak hatinya. Hal ini terkait dengan bagaimana suami itu memandang 13 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 214. 12 maslahat dari sebuah talak yang akan dijatuhkannya. Suami haruslah amanah dengan kekuasaan (untuk mentalak) yang telah diberikan Allah SWT kepadanya. Adapun dalam Hukum Positif Indonesia menyatakan bahwa perceraian hanya dapat terjadi jika diucapkan di hadapan Pengadilan Agama. Tentu saja dengan segala prosedur yang harus dipenuhi, misalnya suami harus mempunyai alasan ketika akan mentalak istrinya. Hal yang paling berbeda adalah ketika fiqih tidak membahas tentang ada atau tidaknya persetujuan dari istri yang ditalak, maka pada hukum keluarga Islam kontemporer telah membahas masalah ini. KHI menyatakan jika Pengadilan Agama di tingkat pertama memutuskan antara suami-istri tersebut telah bercerai (talak), sedangkan istri tetap masih berkeinginan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya, maka istri tersebut dapat mengajukan hak banding (Pasal 130). Dari uraian di atas, penulis akan meringkas bahwa objek penelitian ini adalah berkenaan dengan masalah kontradiktif tentang adanya hak menolak talak bagi seorang istri perspektif fiqih dan hukum positif. F. Metode Penelitian Untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dipaparkan penulis sebelumnya, maka kajian ini dilakukan dengan metode kepustakaan (library research) atau kualitatif. 14 Yaitu dengan cara membaca, mempelajari buku-buku 14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet-13, h. 11. 13 yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pembahasan. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan normatif, yaitu analisis data didekati dari norma-norma hukum, maksudnya menganalisis dalil dan metode penetapan hukum yang digunakan Fiqih dan Hukum Positif. Selanjutnya dalam penjabaran skripsi ini penulis menggunakan studi analisis komparatif yaitu dengan cara membandingkan hukumnya antara perspektif Fiqih (klasik dan Kontemporer) dan hukum positif (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)) agar dapat mengetahui perbedaan dan persamaan pendapat pada kedua perspektif. Selanjutnya kedua perspektif tersebut dikomparasikan, sehingga dapat diketahui diantara dua perspentif tersebut manakah yang lebih relevan dengan kondisi sekarang ini. Kemudian penelitian yang digunakan dengan pendekatan penelitian kualitatif yaitu sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dengan mengggunakan metode sebagai berikut: 1) Sumber Data Dalam penyusunan ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu: a. Data primer, yakni kebanyakan menggunakan literatur berbahasa Arab seperti kitab-kitab fiqih klasik lima madzhab, al-Fiqh ‘Ala Madzahib alKhamsah karya Muhammad Jawad al-Mughniyyah, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah karya al-Jaziri, Kifayah al-Akhyar dari madzhab Syafi’i, Bidayah al-Mujtahid dari Madzhab Maliki, al-Mabsuth dari Madzhab Hanafi. Tidak hanya kitab-kitab fiqih klasik tapi juga kitab fiqih 14 kontemporer seperti al-Ahwal al-Syakhsiyah karya Abu Zahroh, Fiqh alIslam Wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhaili dan lain sebagainya. Selain itu juga ditunjang kitab-kitab ushul al-fiqh, kitab-kitab qawaid al-fiqhiyyah, kitab-kitab tafsir kenamaan dan kitab-kitab hadis utama seperti al-kutub alsittah sebagai bahan acuan takhrij hadis. Adapun kitab hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Data buku-buku primer ini sebagian sudah dimiliki oleh penulis dan untuk sebagian besar lainnya penulis mendapatkannya dari Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum dan beberapa perpustakaan yang berada di di sekitar kampus UIN seperti perpustakaan Darus Sunnah. b. Data sekunder, yakni memanfaatkan berbagai literatur yang terkait dengan pembahasan ini, bisa dari literatur buku-buku fikih munakahat berbahasa Indonesia dan literatur-literatur lainnya. Tidak lupa juga penulis akan mengambil beberapa data dari koran, artikel dan internet jika diperlukan. 2) Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan metode study library; yaitu dengan membaca kitab-kitab fiqih dan buku yang dijadikan objek penelitian yang ada di perpustakaan maupun koleksi penulis. Kemudian mengambil pendapat-pendapat dari beberapa tokoh yang sesuai dengan topik pembahasan dan kemudian menganalisanya. 15 3) Analisa Data Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisa dan disusun secara sistematis dengan mengunakan metode deskriptif analitis yakni dengan memberikan gambaran terhadap objek permasalahan, sekaligus memberikan analisanya dengan berpedoman pada sumber-sumber tertulis. Adapun untuk teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. G. Sistematika Penulisan Adapun untuk menjaga sistematika penulisan sehingga terfokus pada kajian yang dimaksudkan, maka penulisan ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini. Pada bab pertama, dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengemukakan kronologis permasalahan yang muncul berkenaan dengan perbedaan yang terjadi dalam masalah otoritas talak perspektif fiqih dan hukum positif di Indonesia. Selain itu juga permasalahan sejauh mana eksistensi seorang istri dalam sebuah proses perceraian. Setelah itu, dikemukakan batasan dan rumusan permasalahan yang akan dikemukakan pada skripsi ini. Penulis menjelaskan bahwa kajian ini merupakan kajian analisa hukum tentang kuasa seorang istri dalam menolak talak dari suaminya. Kemudian dijelaskan mengenai tinjauan review kajian terdahulu, objek penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 16 Pada bab kedua, akan dikemukakan tentang tinjauan teoritis tentang akad nikah sebagai sebuah perikatan. Penulis memulai tinjauan teoritisnya dari permasalahan perikatan yang kemudian dikaitkan dengan perikatan/akad nikah sampai pada berakhirnya sebuah perikatan/akad nikah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tentang subtansi perikatan/akad nikah. Dari sini, penulis akan dapat mengetahui apakah talak itu merupakan sebuah “aqad” yang di dalamnya terkandung unsur ijab dan qabul atau ia tidak mengandung unsur ijab dan qabul. Hal ini sangat berpengaruh dalam menganalisa tentang ada tidaknya hak istri untuk menolak talak. Jika talak itu merupakan sebuah akad maka dibutuhkan adanya orang yang akan menjadi pengucap ijab dan qabul dan hal ini memerlukan kesepakatan keduanya agar akad tersebut menjadi absah. Sebaliknya, jika shigat talak ini tidak mempunyai unsur-unsur ijab dan qabul maka dalam keabsahannya tidak dibutuhkan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang perikatan dan aqad, yang kemudian mengarah pada masalah akad nikah hingga berakhirnya pernikahan tersebut. Pada bab ketiga, akan diungkapkan pembahasan tentang hak istri untuk menolak talak. Pada bab ini pembahasan sudah mulai mengarah pada pembahasan inti tentang hak istri menolak talak suami perspektif fiqih dan hukum positif. Pada sub bab-nya akan membahas hak istri untuk menolak talak perspektif fiqih klasik dan kontemporer juga menurut perspektif hukum positif, dalam hal ini adalah KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 17 Pada bab keempat, akan dikemukakan tentang analisa penulis tentang perbandingan otoritas istri untuk menolak talak setelah melihat dari berbagai perspektif yang sudah dikemukakan sebelumnya. Adapun yang menjadi pembahasan adalah persamaan dan perbedaan serta analisa dari penulis sendiri berkenaan dengan masalah yang dikaji. Pembahasan itu meliputi apakah kontradiktif permasalahan ini bagian dari perbedaan dinamis atau bahkan perbedaan kontradiktif antara hukum fiqih dan hukum positif, memahami subtansi perbedaan dan bagaimana solusi menghadapi perbedaan. Pada bab kelima, disajikan penutup yang berupa kesimpulan dari kajian dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penulis akan menyimpulkan tentang ada atau tidaknya otoritas istri untuk menolak talak suaminya yang secara lansung akan menjadi jawaban dari permasalahan yang dirumuskan sebelumnya. Selain itu, kesimpulan ini juga disertai dengan saran yang berhubungan dengan kajian ini. 18 BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG AKAD NIKAH SEBAGAI SEBUAH PERIKATAN A. Perikatan 1. Arti Perikatan, Akad dan Perjanjian Dua pihak subyek hukum terdiri dari dua unsur, apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dengan kata-kata atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. Perikatan menurut para ulama ahli fiqih biasa disebut dengan ‘aqdun ()ﻋﻘﺪ. 1 Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan dan mengikat. Dikatakan ikatan ( )اﻟﺮﺑﻂmaksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali yang mengikatkan salah satunya pada yang lainnya sehingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seuntas tali yang satu. 2 Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad adalah: إرﺗﺒﺎط إﻳﺠﺎب ﺑﻘﺒﻮل ﻋﻠﻰ وﺟﻪ ﺷﺮﻋﻲ ﻳﺜﺒﺖ أﺛﺮﻩ ﻓﻲ ﻣﺤﻠﻪ Pertalian antara ijâb dan qabûl yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. 3 1 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Cet-1, h. 1. Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet-1, h. 75. 3 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 76. Lihat juga Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), Cet-1, h. 247: Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum 2 19 Pengertian lebih lengkap tentang akad atau perikatan adalah: اﻟﻌﻘﺪ هﻮ ﻣﺎ ﻳﺘﻢ ﺑﻪ اﻹرﺗﺒﺎط ﺑﻴﻦ إرادﺗﻴﻦ ﻣﻦ آﻼم وﻏﻴﺮﻩ وﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ اﻹﻟﺘﺰام ﺑﻴﻦ ﻃﺮﻓﻴﻦ Akad adalah suatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain dan kemudian karenanya timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya. 4 Dalam KUH Perdata, Subekti memberi pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 5 Sedangkan pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 6 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, diantaranya seperti yang telah dipaparkan oleh Subekti, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa perjanjian itu menimbulkan suatu hubungan di antara para pihak tertentu yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), ed. Revisi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 65: dan Teuku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 14. 4 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 1. 5 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1992), Cet. 14, h. 1. 6 Subekti, Hukum Perjanjian, h. 1. 20 persetujuan baik karena Undang-Undang”. Dari pasal ini, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. 7 Abdoerrauf mengemukakan bahwa terjadinya suatu perikatan ( )اﻟﻌﻘﺪadalah melalui tiga tahap sebagai berikut: 1. ( اﻟﻌﻬﺪperjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang orang yang menyatakanya untuk melaksanakan janjinya tersebut. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 76 yang mempunyai arti: “Bagi siapa yang menepati janji dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran: 76) 2. ( اﻟﺮﺿﻰpersetujuan) yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama. 3. Apabila dua janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan اﻟﻌﻘﺪoleh al-Qur’an yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 1 yang mempunyai arti sebagaimana berikut: Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji yang sudah diakadkan. (QS. al-Maidah ayat 1) 8 7 Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet-2, h. 47. 8 Janji-janji disini adalah janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. 21 Setelah itu, maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian ( )اﻟﻌﻬﺪtapi sudah menjadi اﻟﻌﻘﺪ. 9 Proses di atas senada dengan esensi akad yang dipaparkan oleh Ibnu Taymiyyah dari madzhab Hambali sebagai berikut: اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻌﻘﻮد رﺿﺎ اﻟﻤﺘﻌﺎﻗﺪﻳﻦ وﻧﺘﻴﺠﺘﻬﺎ هﻲ ﻣﺎ أوﺟﺒﻬﺎ Asal akad itu adalah kerelaaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban yang mereka tentukan. 10 Proses akad ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Karena merupakan hubungan, maka perikatan atau akad ini timbul bisa karena perjanjian. Misalnya seorang mengemukakan janji menyerahkan barang untuk mendapatkan uang dan pembeli mengemukakan janji membayarkan uang untuk bisa menikmati barang. Dalam contoh ini perikatan yang terjadi kelihatan kongkret, ada pihak pertama yaitu penjual, pihak kedua yaitu pembeli, ada prestasi yaitu barang dan uang, kemudian ada ijâb dan qabûl dari masing-masing pihak. Sifat kongkret ini timbul karena perikatan tersebut timbul dari sebuah perjanjian. 11 Namun, dalam penuturan lainnya Subekti mengatakan perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, yakni suatu pengertian yang tidak dapat dilihat tapi dapat dibayangkan dalam pikiran. Hal tersebut dikarenakan bahwa 9 Abdoerraoef, al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 122-123. 10 T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 84. 11 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 2. 22 perikatan tersebut timbul tidaklah terbatas karena sebuah perjanjian atau persetujuan dua pihak namun dapat juga timbul karena ketentuan undang-undang, syara’, atau dari Undang-Undang karena perbuatan manusia. 12 2. Unsur Perikatan Menurut jumhur ulama selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa unsur atau rukun dari akad itu ada lima, yaitu: 1. al-Aqidun, pelaku perikatan, baik yang terdiri dari seseorang atau sejumlah beberapa orang tertentu, sepihak atau beberapa pihak. 2. Mahall al-aqd, bisa juga disebut ma’qud ‘alaihi yaitu benda yang menjadi objek. Kalau dalam akad jual beli, maka contohnya adalah barang yang diperjualbelikan. 3. Maudû’ al-aqd yaitu tujuan atau maksud pokok dari adanya akad. Misalnya dalam jual beli adalah seperti pemindahan hak milik melalui pembayaran. 4. Ijâb yaitu salah satu shigat al-aqd adalah suatu perkataan yang menunjukkan kehendak mengenai suatu akad dan diucapkan oleh pihak pertama. 5. Qabûl, yaitu salah satu shigat al-aqd adalah perkataan yang menunjukkan persetujuan terhadap kehendak akad diungkapkan sebagai jawaban terhadap ijâb. 13 12 13 Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasioanal, (Bandung: Alumni, 1984), h. 10. Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 7. 23 Untuk setiap rukun akad tersebut oleh para ulama dtentukan syarat masing-masing dan secara keseluruhan di dalam KUH Perdata pasal 1320 disebutkan sebagai berikut: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Mas’adi dan Fathurrahman Djamil menuturkan lebih komplek tentang unsur akad dalam Islam adalah sebagai berikut: 1. Pertalian ijâb dan qabûl 2. Dibenarkan oleh syara’, akad yang bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dan Rasulnya mengakibatkan tidak sahnya suatu akad. 3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya. 14 Menurut pandangan madzhab Hanafi, bahwa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perikatan atau akad adalah hanya dua unsur saja yaitu ijâb dan qabûl. Artinya, jika hanya ada ijâb saja tanpa qabûl atau hanya ada qabûl tanpa ijâb, maka perikatan tidak akan pernah terwujud sama sekali. Oleh karena itu, menurut mereka ialah dua hal tersebut. Sementara hal yang lain misalnya orang yang berakad hanyalah merupakan konsekwensi logis dari terwujudnya suatu ijâb 14 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., h. 248. lihat juga Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstua, h. 76-77. 24 dan qabûl, bukan rukun yang berdiri sendiri yang menjadi sebab terwujudnya akad tersebut. 15 Alasan lainnya adalah bahwa selain shighat, semuanya itu bukanlah bagian dari tasharruf al-aqd (perbuatan hukum akad). Semua itu adalah berada di luar perbuatan akad (syarat). 16 Perbedaan mengenai rukun dan syarat menurut ulama fiqih adalah bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri. Sedangkan syarat adalah merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi berad di luar hukum itu sendiri. 17 Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah perikatan (vebintenis) dalam KUH Perdata. 18 Namun, perikatan dalam KUH Perdata hanya dibatasi pada permasalahan harta. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jaenal Aripin dan Kama Rusdiana dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Hukum Perdata, bahwa yang dimaksud perikatan dalam KUH Perdata adalah hubungan hukum yang terletak dalam lapangan harta kekayaan yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak berhak atas prestasi (kreditur) dan pihak lainnya berkewajiban menyerahkan prestasi 15 Muhammad Salam Madzkur, al-Fiqh al-Islami al-Madkhal Wa al-Amwal Wa al-Huquq Wa al-Maliyah Wa al-‘Uqud, (t.tp: 1955), h. 356. 16 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 79. 17 Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). H. 1510. 18 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., h. 248. 25 (debitur). 19 Sedangkan dalam perikatan Islam secara tradisional dapat dikatakan bahwa materi pembahasannya merupakan bagian dari hukum mu’amalah dalam kitab-kitab fiqih yang biasanya bahkan meliputi cakupan yang lebih luas, termasuk di dalamnya bidang perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak kerja dan sebagainya. 20 Hal ini senada dengan perkataan Prof. Amin Suma dalam bukunya Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia yang menukil dari perkataan Zaid bin Aslam bahwa al-‘uqud dibagi kedalam enam macam yakni: (1) janji Allah (‘ahd Allah), (2) janji dalam bentuk sumpah (‘aqd al-halaf), (3) janji bersyarikat (‘aqd al-syarikah), (4) perikatan jual-beli (‘aqd albay’), (5) perikatan perkawinan (‘aqd al-nikah) dan (6) janji sumpah (‘aqd alyamin). 21 Dapat disimpulkan, bahwa subtansi dari perikatan hukum Islam lebih luas dari materi yang terdapat dalam hukum perikatan perdata Barat. Hal ini dapat dilihat bahwa jika dalam hukum perikatan perdata Barat hanya dibatasi pada permasalahan harta benda maka dalam perikatan Islam lebih dari itu, yakni termasuk juga di dalamnya adalah masalah perkawinan dan lain sebagainya. Dan memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masalah perkawinan juga tidak dapat lepas dari permasalahan harta antara suami-istri nantinya. 19 Kama Rusdiana dan Jaenal aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Press, 2007), Cet-1, h. 99.s 20 Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 2. 21 Amin Suma, Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 11. 26 Bukti keluasan hukum perikatan Islam lainnya adalah bahwa jika dalam hukum perikatan perdata barat hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja maka dalam perikatan hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antar manusia (hablum minannas) tapi juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan vertikal dan horizontal. Seperti halnya dalam akad perkawinan yang merupakan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar manusia tapi terdapat unsur ibadah di dalamnya. Bahkan di dalam al-Qur’an sebuah pernikahan merupakan sebuah janji yang kuat ( ) ﻣﻴﺜﺎق ﻏﻠﻴﻆ. B. Akad Nikah dan Prosesnya 1. Akad Nikah Al-Qur’an mengambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yang dijalin oleh dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan dengan gambaran yang dikemukakan oleh beberapa ayat sebagai berikut: (21 :ﻏﻠِﻴﻈًﺎ )اﻟﻨﺴﺎء َ ن ِﻣﻨْ ُﻜﻢْ ﻣِﻴﺜَﺎﻗًﺎ َ ْﺧﺬ َ ﺾ َوَأ ٍ ْﻀ ُﻜﻢْ ِإﻟَﻰ َﺑﻌ ُ ْﺧﺬُو َﻧ ُﻪ َو َﻗﺪْ َأﻓْﻀَﻰ َﺑﻌ ُ ْﻒ َﺗﺄ َ َْو َآﻴ Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. Al-Nisa’: 21) Dalam Surat al-Nisa’ ayat 21 tersebut ikatan perkawinan dinamakan dengan ungkapan ( )ﻣﻴﺜﺎق ﻏﻠﻴﻆsuatu ikatan janji yang kokoh. Berkenaan dengan hal tersebut, Quraish Shihab menyatakan bahwa akad nikah adalah kewajiban 27 Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 187 dinyatakan bahwa jalinan suami istri bagaikan hubungan pakaian, berikut aneka fungsinya dengan orang yang mengenakannya. 22 Firman Allah SWT: (187 :ُهﻦﱠ ﻟِﺒَﺎسٌ َﻟ ُﻜﻢْ َوَأﻧْ ُﺘﻢْ ﻟِﺒَﺎسٌ َﻟ ُﻬﻦﱠ )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: Mereka adalah pakaian bagimu dan kalian adalah pakaian bagi mereka. (QS. al-Baqarah: 187) Demikian juga menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1 disebutkan definisi perkawinan dengan istilah ikatan lahir bathin. Arti dari kata ini adalah bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan yang formil, secara lahir dapat tampak, tapi juga mempunyai ikatan bathin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan bathin ini tentunya merupakan inti dari perkawinan maupun hubungan yang erat sekali dengan kerohanian sehingga bukan saja unsur jasmani tapi juga peran penting unsur bathin. 22 Tim Ditperta Depag, Ilmu Fiqih, Jilid III, (Jakarta: Departemen Agama, t.th), h. 20-46. 28 Dengan keterangan tersebut di atas, maka akad perkawinan setidaknya mempunyai dua segi pandang yaitu dari segi formil dan sosial keagamaan. Para ulama yang memandang hanya dari segi formil ketika mengemukaan definisi nikah misalnya seperti apa yang disampaikan Malibari dalam bukunya Qurratu al-‘Ain bi Muhimmat al-Din yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in: 23 ﻋﻘﺪ ﻳﺘﻀﻤﻦ إﺑﺎﺣﺔ وطء ﺑﻠﻔﻂ ﻧﻜﺎح أو ﺗﺰوﻳﺞ Akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata nikah atau tazwij. Sedangkan dari sisi sosial keagamaan pengertian nikah lebih lengkap disampaikan oleh Abu Zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syaksiyah sebagai berikut: ﻋﻘﺪ ﻳﻔﻴﺪ ﺣﺎل اﻟﻌﺸﺮة ﺑﻴﻦ اﻟﺮﺟﻞ واﻟﻤﺮءة وﺗﻌﺎوﻧﻬﺎ وﻳﺤﺪ ﻣﺎﻟﻜﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺣﻘﻮق وﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ 24 واﺟﺒﺎت Akad yang mengakibatkan hukum halal pergaulan antara laki-laki dengan perempuan dengan pertolongan serta milk hak dan kewajiban. Definisi al-Malibari hanya melihat kebolehan hukum dalam hal hubungan laki-laki dengan perempuan yang semula hukumnya adalah haram. Adapun definisi dari Abu Zahrah disamping melihat hukum halalnya hubungan suami-istri juga melihat kepada aspek akibat hukumnya. 25 Bandingkan hal tersebut di atas dengan segi-segi yang dimuat dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: 23 Al-Malibari, Qurrat al-‘Ain, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islami, 2010), h. 199. Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 19. 25 Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 45. 24 29 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Jelas kiranya bahwa yang termuat tidak hanya segi hukum formal, tapi sampai kepada maksud sosial keagamaan yakni dengan disebutkannya “membentuk keluarga” dan “yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Menururt Hanafiyyah, Akad nikah mempunyai dua unsur yaitu ijâb dan qabûl. Sesuai dengan pandangan bahwa orang yang berakad (‘aqidun) merupakan konsekwensi logis dari adanya ijâb dan qabûl. Pendapat tersebut senada dengan apa yang dipaparkan oleh Abu zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah bahwa adanya akad nikah adalah dikarenakan dua hal yaitu ijâb dan qabûl. Adapun yang berkaitan dengannya hanya terjadi yakni sebuah syarat. Syaratsyarat tersebut menurutnya ada lima yaitu: (1) dua orang yang berakad cakap bertindak, (2) Ijâb dan qabûl terjadi dalam satu majlis, (3) sebelum ada ijâb-kabul tidak boleh diulang (4) antara ijâb dan qabul tidak boleh dipisahkan dengan halhal yang menyimpang seperti disela dengan ungkapan kata yang lain, dan (5) ada persesuain antara ijâb dan qabûl. 26 26 Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 45. 30 Menurut Imam Malik rukun akad nikah ada lima yaitu; (1) wali dari memepelai perempuan, (2) maskawin, (3) Mempelai Pria, (4) mempelai wanita dan (5) shighat, yakni unkapan kata yang menyatakan maksud akad. 27 Adapun menurut Imam Syafi’i juga ada lima rukun tetapi perinciannya berbeda yaitu (1) calon memepelai laki-laki, (2) calon mempelai perempuan, (3) wali, (4) dua orang saksi dan (5) shighat atau ijâb qabûl. 28 Rumusan terakhir inilah yang kemudian dipakai dalam Kompilasi Hukum Islam Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Pasal 14: Untuk melakukan perkawinan harus ada: a. Calon suami b. Calon istri c. Wali nikah d. Dua orang saksi, dan e. Ijan dan kabul. 2. Proses Nikah A. Gani Abdullah menuturkan bahwa dalam perikatan hukum Islam titik tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijâb dan qabûl) dalam tiap perbuatan hukum. Berdasarkan uraian tentang proses terjadinya akad seperti yang sudah dipaparkan oleh Abdoerrauf sebelumnya, maka dalam konteks akad pernikahan apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar (ijâb dan qabûl) akan terjadilah akad pernikahan 27 ‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), V. IV, h.12. 28 Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, h. 12. 31 tersebut (perikatan). Dari uraian yang dipaparkan oleh Abdoerrauf tersebut, jika dikaitkan dengan sebuah akad pernikahan, maka dalam akad pernikahan akan dianggap sah jika melalui tiga tahap di atas. Tahap yang pertama adalah ( اﻟﻌﻬﺪperjanjian). Tahap ini terjadi pada pra akad. Pada tahap ini yang menjadi pihak pertama bisa jadi dari pihak laki-laki atau sebaliknya yakni dari pihak wanita. Pihak pertama adalah pihak yang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Jika dalam tahap ini dari pihak laki-laki yang menawarkan diri maka ialah yang dianggap sebagai pihak pertama begitu juga sebaliknya. Misalnya ketika seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita atau kepada wali wanita tersebut “saya ingin menikahimu/putrimu” atau sebaliknya ketika seorang wanita atau walinya mengatakan kepada laki-laki “nikahilah aku” atau dengan kalimat “saya ingin menikahkanmu dengan putriku”. kalimat penawaran-penawaran seperti inilah yang menjadi point dalam perjanjian () اﻟﻌﻬﺪ sebelum pernikahan. Penawaran-penawaran seperti ini biasanya terjadi pada tahap khitbah. Adapun proses yang kedua adalah ( اﻟﺮﺿﻰpersetujuan). Dalam proses akad nikah, Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa sahnya suatu akad perkawinan salah satunya adalah adanya keridhoan dari para pihak yang akan menikah yakni wanita dan laki-laki calon pengantin juga wali.29 Semua 29 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr. T. Th), V. II, h. 3. 32 ﺳ ِﻤ َﻊ ﻧَﺎ ِﻓ َﻊ َ ﻞ ِ ْﻦ اﻟْ َﻔﻀ ِ ْﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠﻪِ ﺑ َ ْﻋﻦ َ ﺳﻌْ ٍﺪ َ ﻦ ِ ْﻋﻦْ ِزﻳَﺎ ِد ﺑ َ ن ُ ﺳﻔْﻴَﺎ ُ ﺳ ِﻌﻴ ٍﺪ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َ ﻦ ُ ْو ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ُﻗ َﺘﻴْ َﺒ ُﺔ ﺑ ﻖ ﺣﱡ َ ﺐ َأ ُ اﻟﺜﱠﻴﱢ:ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ َأ ﱠ س ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﺟ َﺒﻴْ ٍﺮ ُﻳﺨْ ِﺒ ُﺮ ُ ﻦ َ ْﺑ ()أﺧﺮﺟﻪ ﻣﺴﻠﻢ...ﺑِﻨَﻔْﺴِﻬَﺎ Artinya: Seorang janda lebih berhak atas dirinya. (HR. Muslim, nomor hadis 2546). Sedangkan bagi gadis, para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut, termasuk juga perbedaan pendapat terhadap janda yang belum baligh. Dalam hal ini Malik, Syafi’i dan Ibn Abi Laila berpendapat bahwa seorang ayah dapat menjadi wali mujbir bagi gadis dan janda yang belum baligh. Sedangkan Abu Hanifah, al-Tsaury, al-Auza’i dan Abu al-Tsaur mengatakan bahwa dalam pernikahan harus memuat keridhoan mereka. 30 Dari keseluruhan perbedaan pendapat yang ada, maka penulis lebih cenderung kepada pendapat madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa keridhoan pihak wanita dalam pernikahan juga dibutuhkan sebagai penentu absahnya suatu akad pernikahan. Disyariatkannya wali mujbir adalah untuk menjaga kemashlahatan wanita yang belum baligh dan masih kecil bukan untuk memaksa 30 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 4. 33 wanita yang sudah baligh dan berakal. Sedangkan bagi wanita yang sudah baligh dan berakal tentunya sudah dapat memilih calon suami yang pantas baginya. Posisi wali dalam hal ini adalah sebagai orang tua untuk tempat bermusyawarah dan memberikan pengarahan serta pendapat sebagai bekal untuk menempuh kehidupan yang baru bagi putri-putrinya, karena boleh jadi ada beberapa hal yang belum diketahuinya sedangkan ia belum mencoba kehidupan rumah tangga. Maka, para wali dalam hal ini bertindak sebagai penasehat dalam hal yang dianggap perlu demi kemaslahatan. Jadi, kuasa yang diberikan kepada laki-laki bukan untuk merampas hakhak wanita. Apapun statusnya, seorang wanita berhak dalam mengutarakan pendapat untuk perkawinannya. Hal ini dapat dilihat dari dua hadis yang masingmasing menunjukkan betapa pentingnya mendapat keridhoan dari wanita sebagai syarat kesempurnaan akad nikah. Hadis yang pertama adalah hadis yang diriwayatkan dari kisah Khansa’ binti Khalid al-Anshary: ْﺠ ﱢﻤ ٍﻊ اﺑْ َﻨﻲ َ ﻦ َو ُﻣ ِ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ َ ْﻋﻦ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻴ ِﻪ َ ﺳ ِﻢ ِ ﻦ اﻟْﻘَﺎ ِ ْﻦ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤ َ ْﻋﻦ َ ﻚ ٍ ﻋﻦْ ﻣَﺎِﻟ َ ﻲ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ اﻟْ َﻘﻌْ َﻨ ِﺒ ﱡ ﻚ َ ﻲ ﺛَ ﱢﻴﺐٌ َﻓ َﻜ ِﺮ َهﺖْ َذِﻟ َ ﺟﻬَﺎ َو ِه َ ن َأﺑَﺎهَﺎ َز ﱠو َأ ﱠ :ﺧﺬَا ٍم اﻟَْﺄﻧْﺼَﺎ ِر ﱠﻳ ِﺔ ِ ﺖ ِ ْﺧﻨْﺴَﺎ َء ِﺑﻨ َ ْﻋﻦ َ ﻦ ِ ْاﻟَْﺄﻧْﺼَﺎ ِر ﱠﻳﻴ َﻳﺰِﻳ َﺪ )رواﻩ أﺑﻮ داود.ﺣﻬَﺎ َ ﻚ َﻟ ُﻪ َﻓ َﺮ ﱠد ِﻧﻜَﺎ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﺬ َآ َﺮتْ َذِﻟ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ َﻓﺠَﺎ َءتْ َرﺳُﻮ (واﻟﻨﺴﺎئ Artinya: Bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya padahal ia janda dan tidak menyukai hal tersebut. Karena itu ia datang dan mengadu kepada Rasulullah. Setelah itu beliau membatalkan perkawinan tersebut. (HR. Abu Dawud, hadis nomor 1797 dan al-Nasa’i, hadis nomor 3216). Hadis kedua diriwyatkan oleh Abu Daud dan Ahmad dari Ibn Abbas: 34 ْﻋﻦ َ ب َ ﻋﻦْ َأﻳﱡﻮ َ ﻦ ﺣَﺎ ِز ٍم ُ ْﺟﺮِﻳ ُﺮ ﺑ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َ ﻦ ُﻣ ُ ْﻦ ﺑ ُ ْﺴﻴ َﺣ ُ ﺷﻴْ َﺒ َﺔ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ َ ﻦ أَﺑِﻲ ُ ْن ﺑ ُ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ن َأﺑَﺎهَﺎ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﺬ َآ َﺮتْ َأ ﱠ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ن ﺟَﺎ ِر َﻳ ًﺔ ﺑِﻜْﺮًا َأ َﺗﺖْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ س َأ ﱠ ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ﻋﻜْ ِﺮ َﻣ َﺔ ِ ( )رواﻩ أﺑﻮ داود.ﻲ ﺨ ﱠﻴ َﺮهَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﻲ آَﺎ ِر َه ٌﺔ َﻓ َ ﺟﻬَﺎ َو ِه َ َز ﱠو Artinya: Bahwa seorang gadis datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW, bahwa ia telah dinikahkan oleh ayahnya padahal ia tidak menyukai. Lalu beliau memberinya kesempatan untuk memilih. (HR. Sunan Abi Dawud, hadis nomor 1794). Dalam kelanjutan hadis tersebut, kemudian wanita itu berkata: Ya Rasulullah, saya sekarang telah memperkenankan apa yang dilakukan ayah saya itu, sebenarnya saya hanya menginginkan agar kaum wanita tahu bahwa para orang tua tidak memiliki hak memaksa dalam persoalan ini. Menurut keterangan kitab Subulu al-Salam bahwa boleh jadi wanita tersebut ( )اﻟﺠﺎرﻳ ﺔadalah gadis yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, yang telah dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan sepupunya yang sekufu’. Sekalipun sandainya wanita tersebut seorang janda, maka ia hanya ingin menegaskan bahwa kaum wanita hendaknya tahu bahwa para orang tua tidak berhak memaksa dalam urusan ini dan Nabi-pun menyetujuinya dengan tidak adanya sanggahan dari beliau. Islam memberi dua kesempatan kepada wanita untuk mengemukakan pendapat dan tanggapan sebagaimana yang diberikan pada laki-laki, yakni pada saat khitbah dan pada saat berlangsungnya akad nikah. Pada saat khitbah, Islam membolehkan wanita melihat calon suaminya dan mendengarkan perkataannya 35 untuk memperoleh kesan di dalam hatinya tentang calon suaminya tersebut. begitu juga sebaliknya bagi laki-laki terhadap calon istrinya. 31 Jika pada saat khitbah saja wanita diminta pendapatnya tentang calon suaminya dengan diadakannya tatap muka, maka lebih-lebih jika di saat terjadinya pelaksanaan akad. Hanya saja, jika wanita tersebut berstatus gadis memang tidak diminta untuk menyatakan pendapat dan tanggapannya secara terbuka dan berterus terang, hal ini barangkali terbentur dengan rasa malu. Lagi pula, Islam tidak menginginkan seorang gadis menyatakan hasrat serta minatnya secara terbuka dan berterus terang dalam pertemuannya dengan laki-laki, sedangkan ia masih jauh dari ambang kehidupan suami-istri. Artinya, si calon suami tidak akan menolak sikapnya sekalipun tidak menyatakan isi hatinya secara terbuka. 32 Memang akad nikah seorang gadis diwakili oleh walinya, berbeda dengan janda yang dapat melakukannya sendiri, bahkan lebih utama apabila dilakukannya sendiri. Misalnya saja dalam akad nikah terdapat shighat yang terdiri dari adanya sebuah ijâb dari pihak perempuan dan qabûl dari pihak laki-laki. Artinya, dalam akad perkawinan pihak wanita menyatakan perkawinannya kepada pihak lakilaki, dan dalam waktu yang bersamaan pula pihak pria menerima pernyataan tersebut. Tentunya bagi seorang gadis yang belum pernah berhubungan badan 31 Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, alih bahasa oleh Fathurrahman, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1990), cet-6, h. 48. 32 Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, h. 49. 36 dengan laki-laki akan merasa malu untuk menyatakan kesediannya. Dari sinilah timbul adanya perwalian tersebut. 33 Oleh karena itu dalam sebuah hadis disebutkan: ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َ ﻞ َ ﺲ َوِإﺳْﺮَاﺋِﻴ َ ﻋﻦْ ﻳُﻮ ُﻧ َ ﺤﺪﱠا ُد َ ْﻋ َﺒﻴْ َﺪ َة اﻟ ُ ﻦ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ أَﺑُﻮ َ ﻦ َأﻋْ َﻴ ِ ْﻦ ُﻗﺪَا َﻣ َﺔ ﺑ ُ ْﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ُﻣ َ ح ِإﻟﱠﺎ َ ﻟَﺎ ِﻧﻜَﺎ:َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎل َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻋﻦْ أَﺑِﻲ ﻣُﻮﺳَﻰ َأ ﱠ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ُﺑﺮْ َد َة َ ﻖ َﺤ َ ِْإﺳ ( رواﻩ أﺑﻮ داود واﻟﺘﺮﻣﺬي واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ .ﻲ ِﺑ َﻮِﻟ ﱟ Artinya: Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan (adanya) wali”. (HR. Sunan Abi Dawud, hadis nomor 1785. Tirmidzi, hadis nomor 1020. Ibnu Majah, hadis nomor 1869) Dalam masalah adanya pendapat fiqih bahwa seorang ayah berhak mengawinkan putrinya yang telah baligh tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu sebagaimana populer dalam mazhab Syafi’i, maka kita sebelumnya harus mendudukkan persoalan dalam koridor prinsip dan kaidah syariah. Setiap mujtahid boleh jadi benar atau bisa pula keliru dan bahwa setiap orang boleh diambil dan ditinggalkan pendapatnya kecuali Rasulullah, termasuk dalam hal ini adalah Imam Syafi’i. Meskipun beliau adalah seorang Imam besar, tetapi beliau adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, dan beliau pernah berkata: “Pendapatku ini benar tetapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang selainku adalah salah tetapi mengandung kemungkinan benar”. 34 Beliau 33 Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, h. 49. 34 Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal Ila Dirasat al-Madzahib al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dar alSalam, 2007), Cet.2, h. 27. 37 juga pernah mengatakan: “Bila suatu hadits adalah ternyata shahih, maka itulah mazhabku”. 35 Dalam masalah perjodohan Nabi saw mewajibkan adanya musyawarah untuk berunding dan meminta izin kepada objek perjodohan (calon pengantin laki-laki maupun perempuan). Hal itu karena perjodohan tidak sah tanpa didasari prinsip sukarela (‘an taradhin wa tasyawurin) sekalipun yang menikahkannya ayahnya sendiri. Nabi saw bersabda yang artinya: Tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu.” Para sahabat bertanya, “bagaimanakah izin (persetujuannya) itu?” beliau menjawab, “jika ia diam (tidak menolak)”. “seorang gadis harus diminta persetujuannya dalam pernikahan dirinya dan persetujuannya cukup dengan diamnya. (HR. Abu Dawud) Sudah diketahui bahwa Islam mengatur bahwa permasalahan harta yang dimiliki seorang anak perempuan saja seorang ayah tidak berhak membelanjakannya tanpa seizin anaknya bila ia telah dewasa dan normal pikirannya apalagi dalam hal penentuan nasib dirinya dalam perjodohannya. Oleh karena itu kawin paksa dengan orang yang tidak ia sukai bertentangan dengan prinsip Islam dan logika karena dalam hal jual beli atau sewa-menyewa bagi kepentingan anak Allah tidak memperkenankan seorang wali memaksakan kehendaknya melainkan dengan persetujuan anak tersebut, termasuk dalam masalah makan, minum, pakaian yang tidak disukainya. Maka, bagaimana 35 ‘Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal Ila Dirasat al-Madzahib al-Fiqhiyyah, h. 27. 38 mungkin wali anak diperbolehkan memaksa anaknya untuk melakukan hubungan suami istri dengan orang yang tidak disukainya atau dibencinya? Allah menjalinkan cinta dan kasih sayang antara suami-istri. Oleh karena itu, jika pernikahan itu sendiri dilandasi oleh perasaan tidak suka dan ingin melarikan diri dari calon suami, maka akankah tumbuh cinta dan kasih sayang dalam perkawinan tersebut?. Namun dalam beberapa kasus tertentu seorang anak dapat dijodohkan dan dipaksa dalam pernikahan ataupun sebaliknya. Pelarangan menikah sebagaimana dijelaskan oleh madzhab Syafi’i tersebut di atas, disamping itu yang paling utama adalah apabila dikarenakan alasan penjagaan agama (hifdzuddin) dan pertimbangan moral ataupun unsur kufu’ lainnya selama tidak merugikan kepentingan anak dan sesuai kaedah syariah. 36 Adapun posisi wali dalam pernikahan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Hikmahnya adalah agar pernikahan tersebut sempurna dengan adanya kerelaan dari berbagai pihak yang terkait secara keseluruhan. Selain itu, agar wanita yang menikah tidak hanya berada di bawah kasih sayang atau kekuasaan suami saja, karena wanita yang menikah tanpa seizin keluarganya, pada umumnya tidak lagi mendapatkan perhatian. 36 Lihat QS.An-Nur:32, Al-Qashash: 27, Al-Baqarah:231-232. 39 Adapun beberapa pertimbangan mengapa dalam suatu akad pernikahan itu perlu mendapatkan persetujuan baik dari pihak laki-laki dan wanita calon pengantin adalah: 1. Sebagai pengakuan terhadap nilai martabat wanita bahwa ia bukanlah komoditi yang bisa diperjual-belikan dengan mahar oleh walinya melalui jalan pernikahan. 2. Tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak (wanita dan laki-laki calon pengantin) merupakan salah satu dasar dari kebahagiaan bagi keduanya setelah menjadi suami-istri. Hal tersebut tentu saja dapat didapatkan jika perkawinan tersebut berlangsung melalui pilihan masing-masing dan suka sama suka. Bagaimanapun juga, yang akan menjalani biduk rumah tangga bukanlah wali dengan calon pengantin laki-laki tersebut tapi antara wanita dan laki-laki calon pengantin yang nantinya akan menjadi sepasang suami-istri. 3. Memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan seorang pasti mengakibatkan banyak kesulitan. Perkawinan yang dipaksakan hanya membuat perkawinan tersebut sulit dibangun dengan kasih sayang. 37 Selanjutnya, setelah keridhoan diperoleh, maka proses akad (perikatan) ini sampai pada tahap pengucapan ikrar ijâb dan qabûl. Ijâb diawali dari pihak wanita melalui walinya yang kemudian dilanjutkan dengan qabûl dari pihak lakilaki. Setelah aqad dianggap sah, maka ia akan mengikat para pihak-pihaknya 37 Sa’id Abdul Aziz al-Jandul, Wanita dalam Naungan Islam, alih bahasa oleh Syafril Halim, (Jakarta: Firdaus, 1992), h. 55. 40 untuk melakukan atau tidak melakukan sesuai terhadap tugas dan kewajiban masing-masing yang disebut dengan iltizam. Iltizam sendiri selalu berjalan beriringan dengan sebuah hak. Jadi, antara hak dan iltizam keduanya terkait dalam satu konsep. 38 C. Putusnya Ikatan Perkawinan Konsep hak dan iltizam dalam akad perkawinan akan terus berjalan selama akad tersebut masih dipegang oleh kedua belah pihak. Yang menjadi masalah adalah apabila dari salah satu pihak menyalahi perjajian (wanprestasi) dan dapat menimbulkan perselisihan dan sengketa sampai pada hal yang merusak dan membatalakan akad yang ada. Dalam perikatan Islam, pembatalan atau berakhirnya suatu akad ini dapat terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah: a. Fasakh yakni pembatalan yang dikarenakan adanya hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syara’. Dalam masalah akad pernikahan, misalnya batalnya (fasakh) pernikahan sedarah. b. Dengan sebab adanya khiyar (khiyar cacat, rukyat, syarat atau majlis). Dalam masalah akad pernikahan misalnya berakhirnya akad nikah karena suami/istri mempunyai cacat yang ditutup-tutupi dan baru diketahui setelah akad berlangsung. 38 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 34. Lihat juga Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 76. 41 c. Iqalah, yakni pembatalan dari salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain untuk membatalkan karena menyesal. Misalnya berakhirnya akad nikah karena khulu’, yakni gugatan dari pihak istri yang disetujui oleh pihak suami. d. Karena habis waktunya, misalnya berakhirnya akad nikah mut’ah sesuai dengan waktu yang disepakati. e. Karena kematian, yakni berakhirnya hubungan suami-istri ketika salah satu dianataranya telah meninggal. f. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihakpihak yang bersangkutan. 39 Pada alasan yang terakhir ini, penulis mengalami kesulitan dalam memahami keambiguan tentang apa yang dimaksud dengan pihak suami-istri yang bersangkutan. Apakah yang dimaksud pihak disini hanya mengenai suami saja, istri saja atau suamiistri bersama-sama. Jika yang dimaksud disini adalah pihak suami yang tidak melakukan kewajibannya, maka disinilah para ulama mengatakan bahwa berakhirnya sebuah pernikahan karena khulu’ adalah hak wanita untuk dapat mengajukan gugatan pengakhiran akad nikah karena suami yang tidak melaksanakan kewajibannya. Sebaliknya, jika yang dimaksud disini adalah pihak istri yang tidak melakukan kewajibannya, maka disinilah para ulama mengatakan bahwa berakhirnya sebuah pernikahan karena talak yang dilakukan oleh suami adalah hak baginya atas pelanggaran yang dilakukan oleh istri. 39 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 114-117. Lihat juga Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 92. 42 Perkataan " "اﻟﻄﻼقdan " "اﻟﻔﺮﻗﺔdalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya, seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang suami atau istri. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja. 40 Perkataan talak oleh ahli fiqih klasik 41 lebih banyak diartikan dengan arti yang umum daripada arti yang khusus. Hal ini dapat dilihat pada kitab-kitab fiqih klasik yang yang menyebut bab perceraian dengan kitab al-thalaq. Sedangkan para ahli fiqih kontemporer lebih banyak mengartikan talak lebih khusus dari arti yang umum. Perkataan furqah sendiri lebih diartikan dengan arti yang umum dari yang khusus. 42 Untuk selanjutnya adalah arti talak. Secara harfiyah (etimologi) kata talak adalah bentukan kata (musytaq) dari kata اﻹﻃﻼقyang berarti اﻹرﺳﺎل واﻟﺘﺮكyakni melepaskan dan meninggalkan. Ketika seorang berkata “ ”ﻧﺎﻗﺔ ﻃﺎﻟﻖmaka ini berarti “unta itu lepas dari pemeliharaan dan bebas semaunya”. 43 Jika dihubungkan dengan masalah perkawinan, maka talak dalam arti ini adalah putusnya 40 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang. 1974), h. 143. 41 Yang dimaksud ulama fiqih klasik adalah ulama fiqih sebelum abad ke-19 M. 42 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 144. 43 Taqiyyudin al-Hushni, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2001), hal 517. 43 Dalam mengartikan talak secara terminologis kelihatannya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama. al-Mahalli dalam kitab Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan: ﺣﻞ ﻗﻴﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﺑﻠﻔﻆ ﻃﻼق وﻧﺤﻮﻩ Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz thalaq dan sejenisnya. 45 Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. 46 Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab Kifayah al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafadz jahiliyyah yang setelah Islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalildalil tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadis, ijma’ ahli agama dan ahli sunnah. 47 Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyah memberikan definisi yang lebih lengkap, beliau merumuskan talak adalah: 44 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 198. 45 Al-Mahalli, Kanzu al-Raghibin, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, T.Th), V. 3, h. 496. 46 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), V. II, h. 206. 47 Taqiyyudin al-Hushni, Kifayah al-Akhyar, hal 518. 44 أو ﻓﻰ اﻟﻤﺎل ﺑﻠﻔﻆ ﻣﺸﺘﻖ ﻣﻦ ﻣﺎدة اﻟﻄﻼق أو ﻓﻰ ﻣﻌﻨﺎهﺎ،رﻓﻊ ﻗﻴﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﻓﻰ اﻟﺤﺎل Melepaskan ikatan nikah dari sisi kehalalan hubungan dan atau dari sisi hubungan harta dengan menggunakan lafadz thalaq atau dengan lafadz lain yang semakna dengan lafadz thalaq tersebut. 48 Ahmad al-Ghandur dalam bukunya al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun mengatakan bahwa perceraian yang diinginkan salah satu dari suami atau istri dalam istilah hukum yang berlaku di Mesir dan Sudan adalah disebut “thalaq”. Sedangkan jika masalah perceraian itu diselesaikan oleh Pengadilan, maka hal tersebut disebut “al-tathliq”. 49 Dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh ulama yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqih terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian yang bernama talak, yaitu; Pertama, kata “melepaskan” atau membuka atau menggagalkan berarti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yakni ikatan perkawinan. Kedua, kata “ikatan perkawinan” yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu membolehkan hubungan antara suami-istri, maka dengan telah dibukakannya ikatan tersebut status suami dan istri kembali pada keadaan semula yaitu haram. Ketiga, kata “dengan lafadz thalaqah dan kalimat lain yang mengandung makna sejenis” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu 48 49 Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 279. Ahmad al-Ghandur, al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun, h. 34. 45 ucapan (shighat) dan ucapan yang digunakan itu adalah dengan kata thalaq. Tidaklah disebut putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan tersebut, seperti putus karena kematian. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, masalah talak tidak tercantum di dalamnya. Namun, dalam pasal 38 disebutkan bahwa: Perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b) perceraian dan (c) atas putusan pengadilan. KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun pasalpasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 menyatakan bahwa: Perkawinan dapat putus karena; (a) kematian, (b) perceraian dan (c) atas putusan pengadilan. Dalam perkawinan dapat putus karena perceraian dijelaskan dalam pasal 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian yaitu perceraian karena talak dan perceraian karena gugatan. 50 Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI Pasal 117 menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah: Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131. 50 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 220. 46 Dari semua uraian tersebut di atas tentang arti dari kata talak, baik secara bahasa maupun istilah, maka dapat disimpulkan bahwa talak adalah bentuk ucapan yang mengandung arti untuk mengakhiri hubungan perkawinan dengan melafazkan “thalaq” atau kalimat lain yang sejenis. Demikianlah sengketa yang kadang terjadi dalam akad pernikahan sehingga sampai pada keputusan berakhirnya suatu akad pernikahan. Namun, dalam keputusan berakhirnya hubungan akad pernikahan tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai ilustrasi, berikut dapat dilihat skema mengenai bagaimana sengketa dalam akad dapat timbul dan jalan penyelesaiannya apabila perdamaian tidak dapat diperoleh, dan ke lembaga mana sengketa tersebut dapat diselesaikan sebagaimana berikut: Gambar Bagaimana Bisa Timbul Sengketa 51 Dengan sempurna Terlaksana Perjanjian Tidak sempurna Beda Pendapat dalam memahami isi Tidak terlaksana Akan timbul sengketa Bagaiman menyelesaikannya? 51 Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 91. 47 Melalui Pengadilan Harus dilihat apa yang disepakati oleh kedua belah pihak menegenai cara penyelesaian sengketa Melalui Arbitrase 47 BAB III HAK ISTRI UNTUK MENOLAK TALAK A. Pengertian Hak Sudah maklum bahwa dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh suami dan istri setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri. Masing-masing dari pasangan tersebut tidak ada yang lebih dan yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajibannya. Keseimbangan ini adalah sebagai langkah awal dalam menyelaraskan motif ideal perkawinan dengan realitas perkawinan yang dijalani oleh suami-istri tersebut. Dalam hal ini, jika terdapat indikator dalam sebuah perkawinan bahwa suami lebih mendominasi istri, atau suami memiliki hak yang lebih dibandingkan dengan istri, dan sebaliknya istri dalam posisi yang didominasi dan memiliki kewajiban yang lebih jika dibandingkan dengan suami, maka hal yang demikian akan menjadi pemikiran dan kajian kritis untuk dapat dicari akar persoalannya dan diselesaikan secara konsepsional. Bisa jadi diskriminasi yang terjadi adalah akibat perlakuan hukum yang tidak adil terhadap perempuan. Hak-hak perkawinan (marital right) marupakan salah satu indikator penting bagi status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan dan kesejajaran antara pihak suami dan istri. Akan tetapi, jika dalam sebuah keluarga terjadi ketidakadilan dalam soal hak, dan kebanyakan 48 perempuan yang menjadi korbannya, maka perlu dipikirkan dan dicari jalan keluar dalam mengatasi hal tersebut. Pada prinsipnya, perkawinan dalam Islam membawa norma-norma yang mendukung terciptanya suasana damai, sejahtera, adil dan setara dalam keluarga. Akan tetapi, karena pengaruh interpretasi ajaran yang kurang benar, maka terjadi beberapa rumusan ajaran Islam yang tidak membela kepentingan—bahkan menyudutkan—perempuan. Berikut ini, penulis akan menguraikan tentang permasalahan hak perempuan dalam perkawinan lebih khususnya dalam masalah perceraian (thalaq) berdasarkan dari hasil bacaan penulis terhadap nash-nash alQur’an dan al-Hadis yang penulis dekati dengan pendekataan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia (hukum positif). Sebelum menuju pada pembahasan lebih mendetail alangkah baiknya jika penulis mengemukakan apa yang dimaksud dengan “hak” dalam pembahasan permasalahan ini. Dalam kamus hukum, kata “hak” mempunyai beberapa arti diantaranya adalah: (1) sesuatu yang benar, (2) kepunyaan, milik, (3) kewenangan, (4) kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang atau peraturan lain, (5) kekuasaan yang benar untuk menuntut sesuatu atau kekuasaan yang benar atas sesuatu. 1 Arti lain adalah wewenang menurut hukum. 2 1 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta. 2007), h. 154. 49 Para ahli fiqih ternyata mempunyai banyak opini dalam memberikan pengertian “hak”, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Menurut sebagian ulama mutaakhirin; hak adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan secara syara’. 2. Menurut Syekh Ali al-Khafifi (dari Mesir); hak adalah kemaslahatan yang diperoleh secara syara’ 3. Menurut Musthafa al-Zarqa (Ahli fiqih Yordania asal Suriah); hak adalah suatu kekhususan yang padanya di tetapkan syara’ suatu kekuasaan atau taklif. 4. Menurut Ibn Nujaim (Ahli fiqih dari madzhab Hanafi); hak adalah suatu kekhususan yang terlindungi. 3 Dari beberapa pengertian tersebut, jika dihubungkan dengan permasalahan pada bab ini, maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hak istri adalah kewenangan atau kekuasaan bagi seorang istri untuk dapat melakukan sesuatu dan atau menuntut sesuatu karena adanya ketentuan dari syara’, Undang-Undang dan peraturan lain yang menjaminnya. Artinya, bahwa hukum memberikan jaminan bagi seorang istri untuk dapat bertindak dan menuntut dalam permasalahan perceraian sesuai dengan aturan yang ada. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 382. 3 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Mu’amalat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3. 50 B. Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih Dalam sudut pandang fiqih, perceraian karena talak adalah hak laki-laki. Begitu seorang laki-laki mengucapkan lafadz talak terhadap istrinya, misalnya “kamu saya cerai (thallaqtuki, anti thâliqun, dan seterusnya)”, maka jatuhlah talak tersebut. Lalu bagaimanakah peran seorang istri ketika suaminya menjatuhkan talak? Pertanyaan lain, Apakah ia pasif dan mau tidak mau ia harus menerima talak yang dijatuhkan suaminya atau apakah ia mempunyai suatu kuasa untuk melakukan penolakan terhadap talak yang dijatuhkan suaminya tersebut. Menurut Prof. Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa dalam talak tidak terdapat ijab dan qabul karena perbuatan talak itu merupakan tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada tindakan istri untuk itu. Oleh Karena itu, sebagai imbalan akad dalam perkawinan, maka dalam talak berlaku shighat atau ucapan talak. 4 Jika mengamati pendapat Prof Amir Syarifuddin ini, maka seakan-akan ia mengatakan bahwa dalam shighat talak hanya terdapat unsur ijab dari suami dan tidak ada unsur qabul dari istri di dalamnya. Dari sini, jika seorang suami ingin mengakhiri hubungan perkawinan dengan istrinya maka ia tinggal mengucapkan shighat talak tanpa harus menunggu qabul dari istrinya agar talak tersebut dianggap absah. 4 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 208. 51 Dalam hal ini, fiqih memandang bahwa istri tidaklah mempunyai hak untuk dapat menolak talak dari suaminya. Setelah shighat talak diucapkan, walaupun tanpa ada kesepakatan sebelumnya dari pihak istri, maka jatuhlah talak bagi istri tersebut. Seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya atau seorang dari istri-istrinya tanpa adanya kewajiban untuk memberikan berbagai alasan atau pembenaran tindakannya terhadap istri sebagai sebuah otoritas yang ia miliki. Sebaliknya perempuan, dapat bercerai dalam hal ini adalah dapat menggugat cerai (khulu’) hanya dengan kerelaan suami atau dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasardasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya mengurus istri.5 Sesuai dengan uraian di atas, bahwa suami dapat mentalak istrinya tanpa persetujuannya adalah sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Imam al-Ghazali. Ia dalam bukunya yang berjudul al-Wajiz menyatakan bahwa istri dalam talak adalah sebagai objek. Pernyataannya diuraikan ketika menyebutkan bahwa dalam talak terdapat 5 rukun di antaranya adalah ( اﻟﻤﻄﻠﱢﻖorang yang mentalak/laki-laki/suami), ( اﻟﻠﻔﻆshigat talak), ( اﻟﻘﺼﺪkesengajaan atau niat), ( اﻟﻤﺤﻞobyek talak yakni istri) dan ( اﻟﻮﻻﻳﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺤﻞkekuasaan untu menjatuhkan talak, yakni yang menjatuhkan talak adalah suami dari wanita yang akan ditalak). Dari rukun-rukun talak yang disebutkan Imam al-Ghazali tersebut, terkesan bahwa ia mengambarkan kedudukan seorang istri 5 Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa oleh Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LkiS dan Pustaka Pelajar, 1994), h. 337 – 338. 52 Hal tersebut tentu berbeda dengan pernyataan Imam al-Ghazali ketika membahas permasalahan khulu’. Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa dalam khulu’ juga terdapat 5 rukun, di antaranya: pertama dan kedua ( اﻟﻌﺎﻗﺪانdua pihak yang melakukan akad yakni suami-istri). Ketiga dan keempat, ( اﻟﻌﻮﺿﺎنdua barang pengganti/tebusan, yakni harta dari pihak suami yang sudah diberikan kepada istrinya sebagai mahar dan harta dari pihak istri sebagai pengembalian kepada suami karena meminta talak). Adapun rukun kelima adalah ( اﻟﺼﻴﻐﺔredaksi ucapan/shigat). 7 Dari sini, jika dalam masalah talak Imam al-Ghazali menggunakan istilah اﻟﻤﺤﻞ (objek) bagi wanita, namun dalam masalah khulu’ ia justru menganggap wanita sebagai salah satu bagian dari unsur para pihak yang melakukan akad ( )اﻟﻌﺎﻗﺪانyakni sebagai ( اﻟﻘﺎﺑﻞpihak yang menerima/qabul). Dari uraian tersebut, maka dapat disinyalir bahwa perceraian bukanlah suatu akad yang membutuhkan kesepakatan dari kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam masalah khulu’ yang dianggap merupakan sebuah akad, maka dalam keabsahannya membutuhkan kesepakatan dari kedua belah pihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. 6 7 Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, (Kairo: Dar al-Risalah. 2004), h. 382-387. Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, h. 372-374. 53 Pendapat seperti ini tentu saja tidak lepas dari dasar nash-nash al-Qur’an yang menerangkan tentang talak. Hampir keseluruhan ayat-ayat yang menerangkan permasalahan tentang talak mempunyai khithab (objek pembicaraan) bagi laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi َوِإنْ َﻃﱠﻠﻘْ ُﺘﻤُﻮ ُهﻦﱠ (Jika kamu menceraikan istri-istrimu) 8 atau ( َﻓ َﻄﱢﻠﻘُﻮ ُهﻦﱠmaka hendaklah kamu ceraikan mereka) 9 . Dalam redaksi kedua ayat tersebut, dlomir (kata ganti) ّ ُهﻦyang berarti “mereka perempuan banyak” adalah sebagai kata ganti yang mempunyai kedudukan sebagai objek ()اﻟﻤﻔﻌﻮل. Hal ini juga tercermin dari penggunaan kalimat ِإذَا َﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء (apabila kamu menceraikan istri-istrimu) 10 dan kemudian menyebut wanita-wanita 11 ُ ( اﻟْ ُﻤﻄَﱠﻠﻘَﺎwanita-wanita yang ditalak). tersebut dengan istilah ت Dari keseluruhan nash-nash al-Qur’an tersebut di atas-lah yang kemudian menghasilkan buah ijtihad dari para ulama bahwa hanya laki-laki yang mempunyai hak talak dan istri adalah sebagai obyek dari talak. Maka, tidak heran jika dalam kosa kata kitab-kitab fiqih klasik sering ditemukan kalimat أﻧﺖ ﻃﺎﻟﻖdan bukan kalimat أﻧﺖ ﻃﺎﻟﻘﺔuntuk menyebut istri yang ditalak. Kalimat أﻧﺖ ﻃﺎﻟﻖyang merupakan bentuk isim mudzakar namun diperuntukkan bagi wanita (mu’annats) adalah merupakan sebuah pernyataan bahwa tidak ada manusia berjenis kelamin lain yang dapat dijatuhi talak kecuali wanita. Penggunaan kalimat seperti ini sudah sangat 8 QS. al-Baqarah: 237. QS. al-Thalaq:1. 10 QS. al-Thalaq:1. 11 QS. al-Baqarah: 228. 9 54 Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa dalam fiqih wanita didudukkan sebagai obyek dari talak. Namun, timbulah sebuah pertanyaan besar bahwa benarkah talak yang dijatuhkan seorang suami pada istrinya berhukum sah, sesuai dengan spirit hukum talak itu sendiri, tanpa lebih dahulu diadakan dialog, minimal antar pasangan?. Padahal jika berdasarkan pada prinsip dasar yang ada dalam permasalahan talak itu sendiri, dimana kebolehan menjatuhkannya hanyalah ketika terpaksa, yakni ketika antara suami-istri sudah tidak bisa didamaikan lagi dengan cara apapun. Jika teori dipahami bahwa suami dapat menjatuhkan talak kapanpun sesuka dia, baik dengan alasan ataupun tidak, maka bisa saja seorang istri dapat ditalak tanpa mengetahui alasan penalakannya. Apakah tindakan semacam ini sesuai dengan spirit talak itu sendiri?. Dapat dikatakan bahwa setelah akad nikah, memang posisi suami akan menjadi pemilik dan istri adalah yang dimiliki. Dari sini, maka Jaenal Aripin berpendapat bahwa orang yang berhak menghilangkan kepemilikan adalah yang 55 memilikinya, bukan yang dimiliki. 12 Namun, walaupun seorang suami mempunyai hak kepemilikan terhadap istrinya, pengertian seperti ini perlu diperjelas lagi. Berkenaan dengan hal tersebut, Ibrahim Hosen dalam bukunya Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan memaparkan bahwa menurut ulama fiqih hak milik itu terbagi atas tiga macam, yaitu: 1. Milku al-raqabah yakni memiliki sesuatu benda secara keseluruhannya. Misalnya dengan jalan membeli atau warisan. Benda yang dimiliki ini dapat dijual atau digadai oleh si pemilik. Contoh lainnya adalah seperti kepemilikan seseorang terhadap budak. 2. Milku al-manfa’ah yakni hak memiliki kemanfaatan suatu benda misalnya dengan jalan menyewa. Si pemilik manfaat dapat pula menyewakan kepada orang lain atau meminjamkannya. 3. Milku al-intifa’ yakni hak memiliki penggunaan (pemakaian suatu benda). Si pemilik penggunaan tidak berhak selain ia mempergunakannya untuk diri sendiri. 13 Akad nikah bukanlah suatu akad untuk memiliki raqabah bukan pula untuk memiliki manfa’ah. Tetapi akad nikah adalah akad untuk memiliki intifa’ terhadap 12 Jaenal Aripin, Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam Tasyri’ dan Syar’i, (Jakarta: UIN Press, 2006), h. 125. 13 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia, 1971), Cet. 1, h. 66. 56 wanita yang telah menjadi istri. Dari definisi ini maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Suami mempunyai hak monopoli dalam memiliki kenikmatan terhadap istrinya. Selain suaminya, haram ikut serta merasakan kenikmatan tersebut. 2. Istri tidak terikat dengan suami, karena itu ia mempunyai hak untuk melepaskan diri dari suaminya. 3. Kemaluan istri adalah hak miliknya selaku pemilik raqabah dan manfa’ah. Karena jika terjadi kekeliruan, misalnya dijima’ oleh laki-laki lain yang bukan suaminya tapi menyangka bahwa ia adalah istrinya, maka wajib atas laki-laki tersebut membayar mahar mitsil kepada istri tersebut bukan kepada suami dari istri tersebut. 4. Suami tidak berkewajiban menjima’ istrinya tetapi istri berkewajiban menyerahkan kemaluannya sewaktu diminta oleh suaminya. Kewajiban suami bukanlah dikehendaki oleh akad tetapi oleh kewajiban memelihara moral istri. Jadi, ketika suami sudah membuktikan kepada istrinya dalam jima’ yang pertama kali dan membuktikan bahwa ia tidak impotent, maka hal ini sudah dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan istrinya. 14 14 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, h. 66-67. 57 Sebagian ulama Syafi’iyyah memandang bahwa akad nikah adalah aqad alibahah yaitu membolehkan suami menyetubuhi istrinya jadi bukan akad tamlik yaitu untuk memiliki penggunaan (milku intifa’). 15 Implikasi dari perbedaan masalah di atas adalah bahwa akad nikah itu bukanlah untuk memberikan kepada laki-laki saja hak memiliki penggunaan kenikmatan tetapi hak tersebut adalah diberikan pula kepada kedua belah pihak. Jadi, dengan adanya konsep milku intifa’, maka istri juga berhak menuntut persetubuhan dari suaminya dan suami berkewajiban memenuhinya sebagaimana suami berhak menuntut persetubuhan dari istrinya. 16 Dari pemaparan Ibrahim Hosen tersebut di atas, penulis melihat adanya kesetaraan hak dan kewajiban antara suami-istri atas pernikahan mereka (tasharruf). Bentuk tasharruf dari perikatan/akad nikah antara mereka adalah bahwa istri dimiliki oleh suami tapi kepemilikan ini adalah “milku intifa’” (hak memiliki penggunaan), tidak hanya dari pihak istri untuk suami tapi juga suami untuk istri. Terlihat sekali hubungan timbal balik antar keduanya. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan permasalahan pemutusan akad maka akad atas dasar milku intifa’ sudah selayaknya jika pemutusan tersebut membutuhkan musyawarah atau keesepakatan antar keduanya. 15 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, h.67. 16 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, h.67. 58 Namun, alasan yang paling mendasar yang selalu digunakan bahwa hak talak hanya ada di tangan laki-laki adalah bahwa berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang talak, hampir semuanya mempunyai khitab (objek pembicaraan ayat) bagi para suami. Dari sinilah akhirnya para ulama sepakat mengatakan bahwa hak talak ada di tangan laki-laki. Pertanyaan yang selalu timbul adalah mengapa hak cerai dipegang suami sehingga ia kapanpun bisa saja mengakhiri kehidupan rumah tangganya?. Mengapa istri tidak diberi hak berpendapat dalam masalah ini, padahal ia adalah pasangan hidup suaminya?. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Penulis mencoba untuk membedakan antara al-Qur’an yang lebih menekankan aspek kesadaran moral dengan fiqih yang berada dalam wilayah legal-formal. Fiqih, tidak mau mengambil resiko dengan bermain di dunia “hati/rasa” yang bersifat subyektif. Dalam konteks perceraian, fiqih hampir tidak pernah untuk mensiasati bagaimana perceraian bisa dihindari sebisa mungkin. Hal ini dikarenakan sifat fiqih yang selalu mengenakan ukuran formal-obyektif, sementara kondisi “keterpaksaan bagi suatu perceraian” bagaimanapun bersifat subyektif. Umumnya literatur fiqih, ketika membicarakan masalah cerai langsung yang dibicarakan adalah dimensi-dimensi teknis dan prosedural, atau lebih jauh tentang implikasi-implikasi (hukum) yang ditimbulkannya. Berkenaan dengan hal tersebut, ‘Abd al-Rahman al-Jaziri dalam bukunya alFiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah menyatakan bahwa tidaklah diperbolehkan bagi seorang suami untuk mentalak istrinya tanpa ada sebab khusus walaupun itu thalaq 59 sunni. Menurutnya, seperti yang sudah disepakati para ulama empat madzhab bahwa pada dasarnya hukum thalaq itu adalah menurut ulama Malikiyyah tidak diperbolehkan (al-man’u), atau paling tidak (‘ala al-aqal) menurut ulama Syafi’iyah thalaq dihukumi makruh sedangkan ulama Hanafiyyah menghukuminya dengan karahah al-tahrim (makruh haram). Hal ini didasarkan karena adanya talak tersebut sudah memutus akad antara suami-istri yang sudah disyari’atkan oleh Allah SWT. Thalaq yang dijatuhkan tanpa sebab yang membenarkannya adalah merupakan bentuk kufr al-ni’mah lebih-lebih jika istri sudah mempunyai anak maka dengan adanya thalaq tersebut akan menjerumuskan suami pada perbuatan dholim terhadap keluarganya. 17 Menanggapi pendapat dari al-Jaziri, penulis berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan secara tiba-tiba oleh suami, menurut fiqih sebagai “aturan formal keagamaan” adalah sah. Tetapi, keabsahan yang dimaksudkan adalah keabsahan formal. Kasusnya sama seperti ibadah haji dengan uang korupsi, dalam kacamata fiqih hajinya sah, tapi apakah secara spiritual yang demikian itu bisa diterima oleh Allah?. Segala yang sah menurut fiqih tidak dapat digeneralisasi sah dari sudut moral keagamaan. Sehingga walaupun seorang laki-laki yang menjatuhkan talak seenaknya kepada seorang istri sah secara fiqih tetapi dari sudut moral keagamaan adalah sangat tercela dan dimurkai Allah. Firman Allah SWT: 17 ‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), V. IV, h.242. 60 (34 :ﺳﺒِﻴﻼ )اﻟﻨﺴﺎء َ ﻦ ﻋَﻠﻴْ ِﻬ ﱠ َ ﻃﻌْ َﻨ ُﻜﻢْ ﻓَﻼ ﺗَﺒْﻐُﻮا َ َﻓِﺈنْ َأ Artinya: Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. (QS. Al-Nisa’: 34) Ali al-Sayis menafsirkan kata “la tabghuna” dengan arti bahwa hendaklah jangan mencari cara atau jalan yang melewati batas yang membawa akibat aniaya. Ayat ini mengatur tentang nusyuz, yang ketika sifat nusyuznya hilang, maka hukum dikembalikan kepada jalan yang tidak menganiaya. Hal ini mengandung pengertian bahwa hilangnya sebab hilang pulalah hukum kebolehan. 18 Menceraikan istri memang tidak ada sangsi formal duniawi yang dijatuhkan oleh agama, seperti mencuri, berzina, atau membunuh. Akan tetapi bukan berarti perceraian bisa dilakukan tanpa resiko. Seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya tanpa alasan yang kuat dan tanpa persetujuan istrinya, layak dimurkai Allah karena secara terang-terangan ia mengkhianati amanat yang dipikulkan kepadanya. Bukankah wewenang talak diserahkan kepada suami dengan asumsi bahwa sebagai laki-laki suami lebih bisa berlaku amanah?. Namun, amanah yang diberikan Allah tersebut telah disalahgunakan dalam pemakaiannya sehingga terjadilah perceraian (thalaq) sewenang-wenang yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya. 18 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Qahirah: Ali Sabih, T.th), V. III, h. 100. 61 C. Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Hukum Positif Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya oleh penulis, bahwasannya dalam konteks fiqih peran wanita untuk kasus talak sangatlah terbatas. Namun, hal tersebut berbeda dengan apa yang diberikan oleh Hukum Positif Indonesia. Dalam proses permohonan perceraian yang diajukan suami, istri diberi peran aktif di dalamnya. Hal ini terbukti dari rangkaian proses beracara dalam persidangan talak. Hukum acara yang berlaku dalam peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam UUPA. Hal ini tercantum dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama: Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam undangundang ini. 19 Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah diajukannya permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku. Hal ini tercantum dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama: Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu permohonan atau gugatan dari pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku. 20 19 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006), h. 63. 20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 63 62 Adapun tahapan-tahapan acara persidangan cerai talak di pengadilan agama menurut Undang-Undang Peradilan Agama adalah sebagai berikut: 1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya (disebut Pemohon) mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam KHI pasal 129 disebutkan: Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. 21 2. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (istri), kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. Jika termohon tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. Jika pemohon dan termohon tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Permohonan cerai talak harus memuat nama, umur, tempat kediaman pemohon dan termohon, serta alasan-alasan yang menjadi dasar cerai 21 Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 114. 63 talak. Uraiannya terdapat dalam pasal Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 22 3. Permohonan tersebut diperiksa dalam sidang tertutup oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan. Hal ini berdasarkan Pasal 68 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 23 4. Setelah itu memasuki pada tahapan persidangan, pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi. Uraiannya terdapat dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 24 5. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi. Uraiannya terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan PERMA Nomor 2 Tahun 2003. 6. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik). Hal ini tercantum dalam Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg. 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 66. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 67. 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 71. 23 64 7. Pengadilan menetapkan mengabulkan permohonan cerai jika Majelis Hakim berkesimpulan bahwa kedua belah pihak (suami istri) tidak dapat didamaikan lagi dan alasan perceraian telah cukup. Hal ini tercantum dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama: Pengadilan berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapakan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. 25 8. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh termohon (istri) terhadap penetapan tersebut adalah mengajukan banding. Hal ini tercantum dalam Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama: Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan banding. 26 Atau dalam KHI Pasal 130: Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi. 27 9. Jika tidak ada banding dari pihak termohon (istri) atau penetapan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama akan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak. Hal ini tercantum dalam Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama: 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 67. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. 27 Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 114. 26 65 Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. 28 10. Ikrar talak dilakukan oleh pemohon (suami) atau wakilnya yang telah diberi kuasa khusus berdasarkan akta otentik, dan dihadiri/disaksikan oleh pihak termohon (istri) atau kuasanya. Hal ini tercantum dalam Pasal 70 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 29 11. Jika termohon (istri) tidak hadir pada ikrar talak tersebut, padahal ia telah dipanggil secara sah dan patut, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya pihak termohon (istri) atau kuasanya (Pasal 70 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). 30 12. Jika dalam waktu 6 (enam) bulan suami tidak datang untuk mengucapkan ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut, maka penetapan atas diqabulkannya permohonan cerai menjadi gugur, dan permohonan perceraian tidak dapat diajukan lagi dengan alasan yang sama (Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). 31 13. Sebelum Perkawinan menjadi putus melalui penetapan terhitung sejak diucapkannya ikrar talak dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding 28 Undang-Undang Undang-Undang 30 Undang-Undang 31 Undang-Undang 29 Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. 66 atau kasasi (Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). 32 14. Selanjutnya setelah ikrar talak diucapkan, panitera berkewajiban memberikan surat keterangan tentang terjadinya talak (SKT3) atau Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). 33 Sebelum terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 1985 yang mengharuskan adanya penetapan Pengadilan Agama yang sudah in kracht (mempunyai kekuatan hukum yang tetap) terlebih dahulu sebelum dilakukan ikrar talak oleh suami, kebanyakan Peradilan Agama belum memberlakukan sistem yang didahului dengan penetapan seperti itu. Adapun prosesnya adalah, misalnya dalam permohonan perceraian tersebut alasan yang diajukan suami untuk menceraikan istri telah terpenuhi sesuai dengan Undang-Undang yang mengaturnya maka Pengadilan Agama akan menetapkan member izin kepada suami lalu diikuti sidang penyaksian ikrar talak, setelah itu dibuatkan SKT3. Jadi, penetapan di sini adalah semacam interlocutoir (penetapan 32 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 68. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 72. 67 sela), bahkan di beberapa Peradilan Agama lainnya menetapkan bahwa ketetapan ini merupakan penetapan akhir dan tidak berlaku banding. 34 Alasan kebanyakan Peradilan Agama mengapa tidak didahului dengan sistem penetapan akhir yang bisa dibanding dan atau bisa dikasasi (dalam hal member izin) sebelum sidang penyaksian ikrar talak adalah karena talak itu sepenuhnya di tangan dan hak suami, tidak ada campur tangan siapapun di dalamnya. Dalam hal penolakan pemberian izin, penetapan pengadilan agama juga tidak bisa dibanding, walaupun penetapan itu adalah penetapan akhir. Campur tangan Pengadilan disini adalah hanya sebatas untuk mencegah agar suami tidak jatuh ke dalam dosa karena menjatuhkan talak kepada istrinya yang belum tentu alasannya dibenarkan oleh syara’, bukan sama sekali karena hak talak itu boleh dicampuri istri. Penolakan yang demikian itu secara tidak langsung juga demi kesejahteraan pasangan suami-istri tersebut dan khususnya bagu suami agar tidak tersesat dalam dosa akibat menggunakan hak talaknya dengan sembarangan. Namun, setelah keluarnya SEMA Nomor 13 Tahun 1983, sekarang proses penerbitan SKT3 sudah seragam, yaitu didahului dengan penetapan akhir yang dapat dibanding dan atau dikasasi. Baik atas penetapan yang member izin ataupun atas penetapan yang menolak member izin. Dengan demikian, sekarang istri berhak turut campur dalam proses perceraian di Pengadilan Agama, dari awal proses bahkan 34 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h. 38. 68 sampai pada putusan, jika istri masih merasa tidak puas dengan dengan putusan Pengadilan, maka dia boleh banding dan atau kasasi sebelum ia menerima ikrar talak dari suaminya. Ikrar talak baru akan dilaksanakan di hadapan sidang Pengadilan Agama setelah penetapan itu in kracht. 35 Dari uraian yang sudah penulis paparkan sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasannya dalam hal permohonan talak oleh suami di Pengadilan Agama, istri diberikan peran aktif dalam prosesnya. Hal ini terbukti dari beberapa kesempatan yang diberikan Pengadilan kepada istri saat proses berjalannya persidangan, diantaranya adalah: 1. Hak untuk menjawab gugatan (permohonan) talak dari suaminya. 2. Hak duplik, dan 3. Hak mengajukan upaya hukum, mulai dari banding di pengadilan tingkat pertama sampai pada kasasi pada tingkat Mahkamah Agung bahkan untuk peninjauan kembali. Pada hak untuk dapat mengajukan upaya hukum ini, penulis melihat bahwa hukum positif di Indonesia seolah-olah memberikan ruang bagi seorang istri untuk dapat menolak talak dari suaminya. Yakni dengan mengajukan banding terhadap putusan Majlis Hakim yang mengabulkan permohonan talak dari suaminya. 35 Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, h. 39. 69 BAB IV Antara Fiqih dan Hukum Positif Tentang Hak Istri Untuk Menolak Talak A. Memahami Subtansi Perbedaan Setelah melewati beberapa pembahasan yang dimulai dari pembahasan tentang talak dan hak-hak wanita dalam talak pada dua bab sebelumnya, maka sampailah pada bab analisa penulis tentang perbandingan kontradiktif permasalahan hak istri dalam menolak talak suami. Namun, sebelum penulis melangkah lebih jauh alangkah baiknya jika penulis mengulas sedikit tentang subtansi perbedaan antara fiqih dan hukum positif Indonesia berkenaan dengan peran serta seorang istri dalam perkara talak. Dari sisi fiqih, penulis menggolongkan menjadi dua bagian yakni pada sisi fiqih klasik 1 dan sisi fiqih kontemporer 2 . Dalam fiqih klasik, para ulama secara umum menyatakan bahwa dalam talak adalah murni hak suami. Hanya suami yang bisa menjatuhkan talak dan ia bisa menjatuhkan hak tersebut kepada istrinya dimanapun dan kapanpun baik dengan persetujuan istrinya maupun tidak asalkan 1 Sekitar abad VII-XII. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, pengertian kontemporer adalah: (1) sewaktu, semasa, pada masa atau waktu yang sama. (2) pada masa kini, dewasa ini. Dari kedua makna tersebut, penulis memakai makna yang kedua yakni kontemporer adalah masa kini atau dewasa ini. Jadi, “fiqih kontemporer” adalah tentang perkembangan pemikiran fiqih Islam dewasa ini yakni dimulai pada abad XIX. 2 70 talak tersebut bukanlah talak bid’i. 3 Namun, mereka berbeda pendapat tentang hukum menjatuhkan talak itu sendiri. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa talak adalah makruh tapi sah-sah saja jika suami ingin menggunakan hak tersebut. Baik dengan persetujuan istri maupun tidak. 2. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa walaupun hak talak ada ditangan suami, tapi suami tidak dapat mentalak istrinya begitu saja tanpa sebab. Hal ini dikatakan oleh ulama Hanafiyyah sebagai sebuah bentuk kufur ni’mat. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa hukum asal talak adalah makruh littahrim. Dari sini, suami tidak diperbolehkan mentalak istrinya tanpa adanya sebab yang membolehkannya untuk menggunakan haknya. Penulis dapat mengatakan bahwa ulama Hanafiyyah mengakui hak talak pada suami tapi kemudian mereka membatasi dengan sebuah persyaratan dan mereka bermain pada tataran dosa dan tidaknya seorang suami yang ingin menggunakan hak talaknya. 3. Sedangkan ulama Maliki mengatakan bahwa hukum asal talak adalah lebih dari sekedar “al-man’u”, dengan khilaf aula maka boleh jadi talak tersebut dihukumi haram yakni tatkala seorang suami menceraikan istrinya tanpa adanya sebabsebab yang dapat dibenarkan. 4 3 ‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, ( Kairo: Dar al-Hadits, 2004), V. IV, h. 242. 4 ‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, h. 243. 71 Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada sisi fiqih klasik, permasalahan peran seorang istri dalam talak belumlah diakui. Seorang istri hanya dianggap sebagai mahal (obyek) dari talak itu sendiri. 5 oleh karena itu seorang suami dapat saja menjatuhkan talak kepada istrinya walaupun si istri tidak menginginkannya. Namun, di sisi lain dapat ditemukan beberapa pendapat yang berusaha menjamin hak-hak istri agar tidak terdzalimi dengan talak yang dijatuhkan suaminya sehingga para ulama seperti dalam kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah membicarakannya dalam tataran dosa dan tidaknya tapi tetap mengabsahkan talak yang dijatuhkan oleh suami tersebut. Berbeda dengan uraian pada tataran fiqih klasik, jika melihat dari sisi fiqih kontemporer, maka akan didapatkan beberapa pendapat yang sedikit menyebut peran serta istri dalm talak. Hal ini seperti yang diungkap oleh Abu Zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyyah bahwa talak tidak ubahnya seperti sebuah akad yang dalam keabsahannya membutuhkan kerelaan dari pihak pertama dan pihak kedua yakni antara suami dan istri. Ketidakrelaan dari salah satu pihak menjadikan akad atau talak tersebut tidak sah. Oleh karena itu, talak hanya akan terjadi jika kedunya menginginkannya dan rela terhadap terjadinya perceraian tersebut. 6 Namun, menurut Abu Zahrah bahwa ketika antara suami dan istri sepakat untuk mengakhiri hubungan perkawinannya dengan sebuah perceraian, maka dalam hal ini mereka harus bercerai demi kemaslahatan keduanya. Permasalahan utama 5 6 Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, (Kairo: Dar al-Risalah. 2004), h. 382-387. Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 281. 72 adalah ketika di antara keduanya tidak terjadi kesepakatan untuk bercerai. Dalam hal seperti ini, maka keduanya harus menyerahkan permasalahannya kepada Hakim untuk diselesaikan bagaimana baiknya. Dengan memasukkan masalah tersebut kepada Pengadilan maka mereka berdua akan mendapatkan keputusan yang lebih adil dan maslahat bagi keduanya. 7 Beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa talak adalah salah satu formulasi dari sebuah perceraian yakni sebuah tindakan untuk mengakhiri akad nikah dan akad nikah itu sendiri adalah sebuah perikatan. Oleh karena itu, jika dalam akad nikah dibutuhkan oleh sebuah persetujuan oleh kedua belah pihak, maka tentu saja ketika akan mengakhirinya juga dibutuhkan persetujuan antar keduanya. Hampir sama dengan pendapat para ulama fiqih kontemporer, dalam hukum positif di Indonesia peran seorang wanita dalam perkara perceraian (talak) diakui adanya. Yang membedakan adalah, jika fiqih baik klasik maupun kontemporer, tidak memandang keharusan seorang suami untuk mentalak istrinya di hadapan majlis hakim Pengadilan Agama, maka dalam hukum positif di Indonesia menyatakan bahwa perceraian (talak) hanya akan diakui jika diucapkan di hadapan majlis hakim. 8 Sebaliknya dari konteks fiqih, hukum di Indonesia yang terkait dengan permasalahan ini, seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama 7 Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 281-282. Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, pasal 149, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 121. Lihat juga pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1991. Lihat juga Pasal 66 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 8 73 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terkesan mempersulit perceraian tersebut. Untuk dapat mewujudkan sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan ajaran agama, Jadi tidak semata-mata diserahkan pada aturan-aturan agama. 9 Hal ini mengandung pengertian bahwa suami tidak dapat mentalak istrinya tanpa alasan tertentu. Dalam rangka menjaga prinsip maslahat terutama terhadap istri, maka perlu dibatasi hak suami itu sehingga ia tidak mentalak istrinya kecuali sudah cukup alasan untuk itu. Talak tanpa alasan apapun tidak dinyatakan sah. 10 Pengajuan permohonan talak oleh suami pada Pengadilan Agama adalah merupakam jenis perkara kontentius tetapi menggunakan istilah permohonan. Dalam perkara tersebut, kedudukan suami adalah sebagai pemohon dan istri sebagai termohon. Antara pemohon dan termohon mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka hakim. 11 Permohonan cerai talak meskipun berbentuk permohonan tetapi pada hakikatnya adalah kontentius karena di dalamnya mengandung unsur sengketa. Oleh karena itu, harus diproses sebagai perkara kontentius untuk melindugi hak-hak istri dalam mencari upaya hukum dan keadilan. Selain itu, perkara ini harus diproses sebagai perkara kontentius karena persetujuan istri sangat diperlukan di dalamnya. 12 9 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 59. Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 216. 11 Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet-1, h. 202. 12 Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 203. 10 74 Dalam jalannya persidangan, peran serta istri sebagai “termohon” tidaklah pasif. Beberapa hal yang membuktikan bahwa peran serta istri dalam perkara permohonan talak tidaklah pasif adalah adanya hak seorang istri untuk menjawab isi permohonan (gugatan) cerai yang diajukan suaminya, hak mengajukan duplik dan hak mengajukan upaya hukum mulai dari banding, kasasi di Mahkamah Agung sampai pada upaya hukum peninjauan kembali. Untuk lebih memudahkan dalam memetakan perbedaan yang terjadi antara fiqih dan hukum positif maka penulis akan membuat daftar diagram perbedaan berkenaan dengan permasalahan peran istri dalam perkara talak yang diajukan suaminya sebagai berikut: No 1. Segi perbedaan Hak talak Fiqih Mutlak pada suami Hukum Positif Pada suami tapi bersyarat Diikrarkan suami dihadapan Diikrarkan oleh suami 2. Saat pengikraran Majlis Hakim Pengadilan dimanapun Agama. 3. Alasan talak Tidak harus ada Harus ada 4. Peran istri Tidak ada (pasif) Ada (aktif) Upaya Hukum 5. Ada (banding, kasasi, Tidak ada dari pihak istri peninjauan kembali) Hak istri untuk 6. Tidak ada menolak Ada (secara implisit) 75 Demikianlah kurang-lebih perbedaan yang terjadi antara fiqih dan hukum positif di Indonesia dalam permasalahan peran serta seorang istri dalam perkara talak bahkan peran istri untuk dapat menolak permohonan talak dari suaminya. Kasus seperti ini dapat dilihat misalnya pada kasus permohonan talak yang diajukan oleh Bambang Triatmojo kepada Istrinya Halimah. Halimah yang tidak menginginkan rumah tangganya hancur, mengajukan Banding atas permohonan Bambang yang dimenangkan pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan nomor putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tanggal 16 Januari 2008. Sampai akhirnya, Halimah dapat memenangkan kasusnya sampai pada Kasasi di Mahkamah Agung sehingga statusnya sampai saat ini adalah masih resmi menjadi istri dari Bambang Triatmojo. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah perbedaan antara fiqih dan hukum positif tersebut dapat dibenarkan dari sisi penetapan syari’ah itu sendiri?. Inilah yang akan dianalisis lebih mendalam pada sub bab berikutnya. 13 B. Perbedaan Dinamis dan Kontradiktif Antara Hukum Fiqih Dan Hukum Indonesia Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya (mashdar) berasal dari khalafa-yakhlifu-khilafan. 13 www.octavita.com/kasasi-bambang-tri-ditolak. di akses pada tanggal 6 Juni 2010. 76 Maknanya lebih umum daripada al-dhiddu, sebab setiap hal yang berlawanan; aldhiddain, pasti akan saling bertentangan (mukhtalifain). 14 Sedangkan ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “betentangan secara diametral”. Jadi, yang dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum. 15 Perbedaan pendapat merupakan sebuah sunnatullah yang sering terjadi pada diri manusia, hal tersebut ditegaskakn Allah dalam beberapa ayat berikut: (8 : )اﻟﺬارﻳﺎت.ﻒ ٍ ل ُﻣﺨْ َﺘِﻠ ٍ ِْإ ﱠﻧ ُﻜﻢْ َﻟﻔِﻲ َﻗﻮ Artinya: Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat. (QS. Al-Zariyat: 8) (118 : )اﻟﻬﻮد. ﻦ َ ﺣ َﺪ ًة وَﻻ ﻳَﺰَاﻟُﻮنَ ُﻣﺨْ َﺘِﻠﻔِﻴ ِ س ُأ ﱠﻣ ًﺔ وَا َ ﻞ اﻟﻨﱠﺎ َ ﺠ َﻌ َ ﻚ َﻟ َ َوَﻟﻮْ ﺷَﺎ َء َر ﱡﺑ Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Hud ayat 118) Perbedaan pendapat dalam hukum Islam bagaikan buah yang banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah, bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah al-Qur’an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil aqli dan naqli, sedangkan buahnya adalah hukum Islam (fiqih) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya. Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, disamping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya 14 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 47. 15 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 48. 77 segi-segi khusus yang berlainan dengan agama. Syekh Muhammad al-Madani dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’ membagi sebab-sebab ikhtilaf kepada empat hal yakni (1) Pemahaman al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, (2) sebab-sebab khusus tentang Sunnah Rasulullah SAW, (3) sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah, dan (4) sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. 16 Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Semakin lama semakin berkembang sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi. Apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karena perbedaan dalam berijtihad. Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkn tenaga dan pikirannya untuk menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalah sama yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai dengan ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat. 16 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 51. 78 Jawad Mughniyyah dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Fiqih Lima Madzhab mengatakan bahwa fiqih itu adalah sebuah lautan yang tidak diketahui tepinya. Oleh karena itu, satu masalah saja dapat berkembang dan bercabang-cabang menjadi sangat banyak. Biasanya, dalam fiqih satu masalah saja dapat mempunyai beberapa pendapat di antara berbagai madzhab, bahkan bisa jadi perbedaan tersebut terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama dalam satu madzhab tersebut, atau bisa jadi juga terjadi perbedaan yang dikeluarkan oleh satu orang alim saja. 17 Variasi hasil ijtihad-ijtihad tersebut adakalanya merupakan sebuah keragaman (tanawwu’) namun bisa jadi merupakan sebuah pertentangan (tanaqud) dari pokok sumber hukum yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Yusuf al-Qardhawy mengatakan bahwa Allah SWT telah menitipkan sifat kelenturan, fleksibilitas, dan keluasan yang menakjubkan sehingga membuat syari’at Islam dapat dirasakan sebagai rahmat bagi pemeluknya; orang mempelajari syari’at dan fiqih akan merasakan luasnya ruang kemaafan (manthiqah al’afwa) atau ruang kosong yang sengaja oleh nash-nash agama dibiarkan demikian, sebagai ruang gerak bagi para mujtahid untuk diisi dengan hal-hal yang paling baik bagi umat sesuai dengan zaman dan kondisinya. 18 Nyatanya, perbedaan yang terjadi dalam pengalaman antara hukum Islam (fiqih) dengan hukum positif seperti yang sudah 17 Muhammad Jawwad Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B, dkk., (Jakarta: Lentera 2001), Cet. 7, h. XX. 18 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 66. 79 penulis paparkan sebelumnya apakah termasuk dalam ruang kemaafan (manthiqah al-‘afwa) seperti yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawy?. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu penulis paparkan terlebih dahulu perbedaan antara syari’ah dan fiqih. Mengenai istilah fiqih, penulis akan mengutip pandangan DR. Wahbah al-Zuhaili, dalam bukunya yang berjudul Ushul al-Fiqh alIslami mengatakan: Fiqih ialah suatu ilmu yang mengkaji hukum syara’ yaitu titah Allah yang berkaitan dengan aktivitas mu’allaf berupa tuntutan, seperti wajib, haram, sunnat dan makruh. Atau pilihan yaitu mubah. Ataupun ketetapan seperti sebab, syarat dan mani’, yang kesemuanya digali dari dalil-dalilnya yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah melalui dalil-dalil terperinci seperti ijma’, qiyas dan lain sebagainya. 19 Dalam memahami perbedaan antara fiqih dan syari’ah, ulama berbeda pendapat dalam tiga kelompok. Pertama, bahwa fiqih itu sama pengertiannya dengan syari’at. Hal tersebut seperti yang diucapakan oleh Prof TM Hasbi ash Shiddieqy dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hukum Islam sebagai berikut: Hukum Islam yang sebenarnya tidak lain dari pada Fiqih Islam, atau syari’at Islam, yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 20 Kelompok kedua menyatakan bahwa pengertian fiqih dengan syari’at itu sesuatu yang berbeda. Fiqih merupakan produk pemikiran manusia yang bersifat relatif terhadap syari’at Allah, sedangkan syari’at adalah nilai-nilai Islam yang 19 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Kairo : Dar al-Fikr, 2001), h. 19. Muhammad Azhar, Fiqih Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam, (Yogyakarta: Lesiska, 1996), h. 4. 20 80 bersifat absolut, universal dan abadi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Ibrahim Hosen: Sengaja saya bedakan antara hukum fiqih dan hukum syari’ah sesuai dengan pendapat ulama muta’akhirrin. Dulu syari’ah lebih luas. Akidah termasuk syari’ah. Semua masuk syari’ah. Sekarang syari’ah dikhususkanpada hukum dengan tingkah laku manusia. Syari’ah tidak menerima penafsiran seperti wajibnya shalat dan haramnya judi. Dalam masalah fiqih, biasa terdapat perbedaan. Itu sudah sifat fiqih. Sedangkan syari’ah hanya satu. 21 Sedangkan kelompok ketiga mengatakan bahwa fiqih itu secara historis bukan hanya diorientasikan kepada hukum Islam, tetapi juga mencakup disiplin ilmu lainnya. Jadi, fiqih pada dasarnya berarti faham. Dengan demikian setiap upaya memahami ajaran Islam baik menyangkut hukum, aqidah, akhlak dan lain-lain itu berrti fiqih. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh DR. Nurcholis Madjid: Fiqih ialah pemahaman keseluruhan ajaran agama, seperti dimaksudkan dalam kitab suci. Sistem hukum dalam al-Qur’am lebih merupakan ketentuan etis dan moral daripada ketentuan legal-formal seperti yang ada dalam pengertian fiqih sekarang. Tapi justru karena kenyataan ini, maka fiqih yang ada sekarang pun tetap mengandung bagian-bagian yang sesungguhnya merupakan perkara etis dan moral. Bukan masalah legal. Contohnya yang paling mudah adalah selalu dimulainya pembahasan dalam kitab-kitan fiqih dengan bab thaharah atau kebersihan badani. 22 Melihat uraian di atas, secara implisit dinyatakan bahwa al-Qur’an lebih menekankan aspek moralitas daripada legalitas dalam pemahaman ajaran Islam 21 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia, 1971), Cet. 1, h. 3. 22 Nurkhalish Madjid, Keislaman dan Keindonesiaan Menatap Masa Depan, Makalah KAA Paramadina, (Jakarta: 1989). 81 khususnya yang berkenaan dengan hukum Islam. Dengan kata lain aspek moralitas Islam lebih permanen sedangkan aspek legalitasnya cenderung bersifat relatif kondisional. Dari ketiga pandangan kelompok ahli Islam di atas, penulis berkesimpulan bahwa pendapat kelompok kedua dan ketiga lebih relevan untuk dijadikan rujukan dalam pembahasan skripsi ini. Dengan catatan sebagai berkut: Pertama, pembedaan pengertian antara fiqih dan syari’at lebih menjamin dari kekeliruan dalam upaya memahami ajaran Islam. Jelas mana yang syari’at (ajaran Islam yang tetap, tidak diperlukan lagi penafsiran), dan dimana yang disebut fiqih (hasil pemikiran ulama Islam) yang terus menerus mengalami penafsiran sesuai perkembangan zaman. Kedua, menyamaratakan pengertian syari’at dengan fiqih akan menyulitkan umat Islam sendiri dalam upaya penyesuaian Islam dengan zaman yang berkembang. Karena bila diadakan upaya pembaharuan akan menimbulkan image bahwa ajaran Islam dirubah-rubah secara keseluruhan. Dengan demikian akan menjadikan Islam sebagai lahan yang empuk bagi orang-orang yang anti Islam karena dengan mudah mereka menolak keutuhan ajaran Islam. Ketiga, harus dapat dibedakan antara aspek moralitas Islam dan aspek legalitasnya. Kerancuan dalam memahami perbedaan tersebut akan mengakibatkan pemahaman umat tentang (hukum) Islam lebih bersifat skriptualistis dan tekstualis, hal tersebut akan menghambat adanya proses pembaruan hukum Islam, yang pada akhirnya menjadikan Islam sebagai agama irrelevan dengan zaman. 82 Senada dengan hal tersebut, Abdul Ghani Abdullah mengatakan bahwa hukum Islam memang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Kata “hukum” di sini berarti wahyu atau produk Allah (syari’). Namun, hukum dari Allah tersebut adakalanya muncul dengan bentuk rumusan norma yang sangat kecil sekali mempunyai peluang interpretasi, sedangkan pada sisi lain rumusan norma menyediakan peluang yang luas bagi interpretasi. Dalam kaitannya dengan bentuk kedua, timbul pertanyaan sejauh mana peran manusia memunculkan hukum sehingga tetap terjaga kemurniannya dan terhindar dari campur tangan manusia itu sendiri?. 23 Berkenaan dengan apa yang telah dikatakan oleh Abdul Ghani tersebut, menurut penulis sendiri memang benar bahwa dalam nash-nash al-Qur’an dan alHadits sebagian ada yang mempunyai peluang sangat kecil untuk diinterpretasikan atau bisa juga disebut dengan nash-nash yang qath’i dan sebagian lain sangat mungkin terbuka lebar untuk diinterpretasikan yakni pada nash-nash yang bersifat dzanni. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah nash-nash tentang talak tersebut adalah termasuk bagian nash-nash yang qath’i atau dzanni?. Memang, pensyari’atan sebuah talak tersebut diserahkan di tangan suami berdasarkan beberapa nash yang menyebutkan permasalahan tentang talak dengan mempunyai khithab (objek pembicaraan) bagi laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi ( َوِإنْ َﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻤﻮ ُهﻦﱠJika kamu menceraikan 23 Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 15. 83 Para ulama fiqih memang tidak pernah menyebutkan tentang keterlibatan istri dalam perkara talak, namun jika melihat ruh dari konsep hukum menjatuhkan talak yang tidak dapat dijatuhkan sembarangan, maka akan dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menjatuhkan talak haruslah dihindari adanya kedzaliman dari pihak suami kepada pihak istri. Dalam beberapa ayat tentang talak, misalnya pada surat al-Thalaq ayat 1 yang mempunyai khitab untuk Nabi Muhammad SAW sebagai berikut: (1 :ﻦ َوَأﺣْﺼُﻮا اﻟْ ِﻌ ﱠﺪ َة )اﻟﻄﻼق ﻄﱢﻠﻘُﻮ ُهﻦﱠ ِﻟ ِﻌ ﱠﺪ ِﺗ ِﻬ ﱠ َ ﻃﻠﱠ ْﻘ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء َﻓ َ ﻲ إِذَا ﻳَﺎ أَ ﱡﻳﻬَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (QS. al-Thalaq:1) 24 QS. al-Baqarah: 237. QS. al-Thalaq:1. 26 QS. al-Thalaq:1. 27 QS. al-Baqarah: 228. 25 84 Ayat tersebut memang ditujukan kepada Nabi, yang kemudian pensyari’atannya berlaku juga bagi umatnya. Namun, pada faktanya Nabi Muhammad SAW tidak pernah mentalak salah satu dari sekian banyak istrinya. Pada kisah lainnya, memang benar jika walaupun nabi tidak pernah menjatuhkan talak pada istri-istrinya, namun para sahabat nabi pernah melakukannya dan nabi Muhammad SAW tidak melarangnya, sebut saja perkara Ibnu Umar yang mentalak istrinya. Nabi tidak melarang Ibnu Umar mentalak istrinya, hanya saja melarangnya agar tidak menjatuhkan talak di saat istrinya dalam keadan haid (thalaq bid’i). 28 Dari kisah tersebut, penulis mempunyai dugaan bahwa seorang Nabi Muhammad SAW tidak pernah mentalak istrinya karena beliau tahu bahwa talak hanyalah jalan terakhir jika istri benar-benar tidak dapat diajak kepada jalan kebaikan dalam berumah tangga. Begitupun juga dengan Ibnu Umar dan para sahabat lainnya. Intinya, motif penjatuhan talak Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tidaklah sama dengan motif para suami di zaman sekarang ini. Nabi Muhammad adalah manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) sedangkan para sahabat adalah manusia-manusia yang dekat dengan nabi, dalam artian, memang para sahabat bukan manusia ma’shum tapi karena mereka dekat dengan manusia ma ‘shum maka segala tindak-tanduk mereka terjaga dan pasti akan diingatkan oleh nabi seandainya mereka melenceng dari kebenaran. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar diperingatkan oleh nabi karena ia sudah menyalahi prosedur kebenaran. 28 Ibn Ruysd, Bidayah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, T.th), V.II, h. 48. 85 Penulis menduga kuat bahwa Ibnu Umar tidaklah mungkin mentalak istrinya tanpa ada alasan kuat yang membuat dia lebih memilih jalan talak. Adapun pelarangan nabi terhadapnya hanyalah pada permasalahan prosedural masa penjatuhan talak yakni di saat haid. Yang ingin penulis katakan lebih jauh adalah bahwa ikut campurnya nabi dalam permasalahan talak yang telah dijatuhkan oleh Ibnu Umar ternyata tidak terbatas pada permasalahan karena talak tersebut dijatuhkan pada saat haid. Namun, esensi yang lebih kuat dari pelarangan nabi tersebut adalah pelarangan adanya kedzaliman ketika seorang suami menjatuhkan talak istrinya pada saat haid. Kedzaliman tersebut adalah, jika talak tersebut dijatuhkan pada saat haid, maka akan membuat masa iddah istri menjadi semakin lama. Ibnu Umar tidak sama seperi nabi, dan para suami pada saat ini tentu sangat berbeda dengan keduanya. Jika orang seperti Ibnu umar saja dalam kasus perceraiannya melibatkan Nabi harus turun tangan menetapkan maka lebih-lebih bagi para suami saat ini. Jika kedzaliman kecil yang dilakukan Ibnu Umar telah ditegur oleh Nabi, lalu bagaimana dengan kedzaliman besar yang akan dilakukan oleh para suami zaman sekarang ini ketika mentalak istrinya. Bedanya, karena nabi sekarang sudah wafat dan tidak mungkin dapat memberikan pertimbangan atau menyalahkan talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, maka sekarang ada para hakim yang akan memberikan pertimbangan atau menjadi penengah antara suami-istri yang sedang bertikai tersebut sehingga paling tidak di antara keduanya akan diputuskan seadil-adilnya tanpa membuat kedzaliman bagi keduanya. 86 Dari sinilah, kemudian pada hukum positif di Indonesia dirumuskan beberapa hal yang diluar konteks fiqih ditetapkan untuk menjamin kemaslahatan istri dari kedzaliman suami dan demi tercapainya keadilan bersama, yakni misalnya dengan melibatkan istri dalam proses pemeriksaan perkara talak bahkan istri mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum (banding, kasasi, dan peninjauan kembali) selama ia merasa hak-haknya belum terpenuhi. Lebih lanjut, dengan mengutip dari apa yang diungkapkan oleh Abdul Ghani Abdullah bahwa kondisi kemajuan sekarang ini memang membutuhkan tafsiran ajaran agama secara konstektual, dan sangat tidak relevan apabila selalu dilihat dengan kacamata tekstual. 29 Dengan adanya Undang-Undang atau peraturan yang memberi kewenangan kepada istri untuk melakukan hal yang sama seperti suaminya, yakni dalam peran yang sama adalah merupakan gambaran betapa besarnya perhatian pembuat Undang-Undang terhadap keaktualan upaya lanjut dari peningkatan derajat kaum wanita seperti juga yang dikehendaki oleh UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 30 Kedudukan baik yang diberikan oleh ajaran Islam kepada wanita muslim ini kadang tidak jelas tampak dalam masyarakat Islam di zaman modern. Ini disebabkan karena beberapa faktor yang harus dicari tidak dalam ajaran Islam tetapi pada kebudayaan manusia yang beragama Islam tersebut yang misunderstood (salah paham) tentang ajaran agama yang dipeluknya dalam hal penghargaan yang diberikan kepada wanita. Annie 29 30 Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 16. Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 32. 87 Besant, salah seorang pimpinan gerakan wanita, dalam bukunya The Life and Teachings Of Muhammad (Madras: 1932, h. 26) mengatakan bahwa hukum Islam jauh melebihi hukum-hukum Barat. Ketentuan al-Qur’an tentang wanita jauh lebih adil dan liberal (dari hukum Barat). 31 Sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Abdul Ghani Abdullah, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Amin Suma juga mengatakan bahwa pada dasarnya dan dalam kenyataanya, praktek ijtihad di Indonesia tidak pernah berhenti, apalagi diberhentikan oleh siapapun dan kapanpun. Dengan kalimat lain, ijtihad hukum Islam (fiqhiyyah) di Negara hukum Indonesia, tentu dengan lika-liku pasang-surutnya terus berjalan dan terus dijalankan oleh ahli fiqih Indonesia (fuqaha’ al-indonesia), apapun kategori tingkatan kefaqihan atau kemuftian serta kemujtahidannya. Yang jelas, praktik ijtihad fiqhiyyah di Negara hukum Indonesia terus berlaku dan diberlakukan, terutama yang bersifat kolektif kelembagaan. 32 Dari beberapa uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa Undang-Undang dan aturan yang sudah ditetapkan dan diberlakukan di Indonesia walaupun berbeda dengan hasil pemikiran para ulama fuqaha’ klasik adalah merupakan buah pemikiran fuqaha’ pada zaman ini. Perbedaan yang muncul dari buah pemikiran fuqaha’ 31 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, h. 37. Amin Suma, Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengalaman Indonesia, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 28. 32 88 terdahulu merupakan sebuah perbedaan yang dinamis (tanawwu’), yakni sebuah perbedaan yang tidak menyalahi dari hukum asalnya. C. Solusi Menghadapi Perbedaan kondisi kemajuan sekarang ini membutuhkan tafsiran ajaran agama secara konstektual, dan sangat tidak relevan apabila selalu dilihat dengan kacamata tekstual. Konstatansi yang disebut terakhir tersebut akan mengantarkan suatu pandangan bahwa hukum dan fiqih secara kontekstual tidak dapat dibedakan apalagi dipisahkan satu dengan lainnya. Bukan saatnya lagi mempertajam perbedaan tekstual yang memang berlainan, dan melanjutkan kondisi tersebut hanya akan memperkuat anggapan bahwa agama menghambat kemajuan. 33 Dalam masalah adanya perbedaan antara fiqih dan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan permasalahan hukum keluarga yakni Undang-Undang perkawinan, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang perkawinan tersebut tidak selaras dengan hukum Islam dan karena itu beberapa umat muslim di negara Indonesia enggan memahami dan melaksanakannya secara baik dan benar. Hal seperti ini menurut penulis perlu dikomentari. Dalam pembentukan hukum perkawinan nasional, unsur hukum Islam menjadi unsur hukum penentu dalam pembicaraannya di DPR dahulu. Menurut Prof.H.M. Rasjidi, mantan Gurubesar Hukum Islam Dan lembaga-lembaga Islam 33 Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 16. 89 Universitas Indonesia dalam salah satu percakapan dengan para asistennya di FH-UI tahun 1974 (sesudah Undang-Undang Perkawinan disahkan) ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan yang berlaku juga bagi umat Islam Indonesia adalah hasil ijtihad umat Islam Indonesia, melalui para wakilnya di DPR bersama pemerintah, yang bersifat pengembangan pemahaman tentang hukum syari’at atau hukum agama Islam (fiqih) mengenai perkawinan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah untuk kemashlahatan umat Islam Indonesia. Bertitik tolak dari pandangan ini, dapatlah dimengerti mengapa ketentuan-ketentuan atau kaidahkaidah yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan itu kemudian dimasukkan ke dalam KHI dan kemudian dianggap sebagai hukum Islam. 34 Mengenai sifat Undang-Undang perkawinan dalam mengangkat harkat dan derajat (kedudukan) kaum wanita yakni para istri dapat dijelaskan dalam uraian singkat bahwa dalam Undang-Undang perkawinan tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa hak dan kedudukan suami-istri adalah seimbang dalam kehidupan keluarga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kata seimbang artinya sama berat (kalau ditimbang), sama kuat (kalau diukur). Akibatnya adalah bahwa antara suami-istri sama-sama berhak melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Dalam hal perceraian akibat talak, maka wajar jika istri diberi hak untuk berperan-serta dalam prosesnya. 34 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 43. 90 Sebagai solusi dari perbedaan yang ada, maka perlu dipahami bahwa keputusan pemerintah yang kemudian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang atau peraturan lainnya tentunya tidak lepas daripada kaidah: 35 ﺤ ِﺔ َ ﻋ ﱠﻴ ِﺔ ﻣَﻨُﻮطٌ ﺑِﺎﻟْ َﻤﺼَْﻠ ِ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱠﺮ َ ف ا ْﻟِﺈﻣَﺎ ِم ُ ﺼ ﱡﺮ َ َﺗ Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan. Dengan demikian, pemimpin dan seluruh perangkatnya dalam mengambil kebijakan sudah seharusnya mendasarkan pertimbangannya pada kebaikan (mashlahah) maupun yang lebih mashlahah yakni al-ashlah di antara hal-hal mashlahah lainnya. Pemerintah tidak diperbolehkan mengambil sebuah kebijakan berdasarkan satu pertimbangan saja, walaupun hal tersebut bermanfaat jika masih diyakini ada manfaat yang lebih besar lagi. Kecuali apabila dalam pengambilan kebijakan itu akan berdampak pada hal-hal yang merugikan dan fatal. Kewajiban ini dapat diaplikasikan dengan menggunakan prinsip dasar fiqih, yaitu: 36 ﺢ ِ ﺐ اﻟْ َﻤﺼَﺎِﻟ ِ ْﺟﻠ َ ْﺳ ِﺪ أَوْﻟَﻰ ِﻣﻦ ِ َدرْ ُء اﻟْ َﻤﻔَﺎ Mendahulukan upaya pencegahan hal-hal yang merusak daripada menarik kemashlahatan. Disamping itu, pijakan pemerintah dalam mengambil keputusan adalah memberi perhatian lebih besar pada kemaslahatan yang bersifat umum (kemaslahatan universal/mashlahah al-‘ammah) di atas kemashlahatan individual. Dalam penetapan peraturan yang memberikan ruang peran serta bagi istri dalam permasalahan talak adalah dalam rangka pencapaian mashlahah bahkan ashlah demi keadilan tidak 35 36 al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, (Mesir: Dar al-Salam, 2006), V.1, h. 278. al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, V. 1, h. 161. 91 hanya bagi istri tapi juga bagi suami. Inilah yang penulis maksud dengan kemaslahatan yang bersifat umum (kemaslahatan universal/mashlahah al-‘ammah). Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi rakyat untuk mengikuti arahan dari peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Berkenaan dengan permasalahan menaati peraturan pemerintah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj menyatakan bahwa mentaati perintah imam (pemerintah) yang berupa pekerjaan haram hanya wajib secara dzahir (tidak berdosa bila bila tidak dilaksanakan). Sedangkan untuk pekerjaan makruh dan mubah akan dibagi hukumnya sebagai berikut: 37 Pertama, jika terdapat mashlahah universal (mashlahah al-‘ammah) maka wajib taat secara dzahir dan bathin (taat bathin yakni berdosa jika tidak dilaksanakan). Kedua, sedangkan jika tidak terdapat mashlahah al-‘ammah, maka hanya wajib secara dzahir saja sehingga jika tidak dilakukan tidak akan mendapat dosa. 38 Mengenai status hukum sunnah dan mubah, disesuikan sepenuhnya pada keyakinan orang yang diperintah (baca: rakyat). 39 Sebab, mungkin saja antara persepsi seorang imam dan rakyatnya berbeda, misalnya antara kedua belah pihak berbeda madzhab. Sehingga kedua belah pihak dalam memandang status hukum sebuah pekerjaan kadang kala berbeda sesuai keyakinan madzhab masing-masing. 37 Abdul Haq,. dkk, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, (Surabaya: Khalista, 2006), Cet-2, V. II, h. 83. 38 Abdul Haq,. dkk, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, h. 83. 39 Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, (Libanon: Dar al-Fikr, 1995), h. 57-58. 92 Namun satu hal yang tidak bisa ditinggalkan juga adalah bahwa keputusan pemerintah (hakim) adalah sebagai jembatan dari perbedaan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan kaidah: 40 ف َ ﺨﻠَﺎ ِ ْﻒ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻳﺮْﻓَﻊ اﻟ ِ ﻞ اﻟْ ُﻤﺨْ َﺘَﻠ ِ ﺣﻜْ ُﻢ اﻟْﺤَﺎ ِآ ِﻢ ﻓِﻲ اﻟْ َﻤﺴَﺎ ِﺋ ُ Keputusan hakim dalam perbedaan pendapat produk ijtihad dapat menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan. Berdasarkan kaidah tersebut, maka dengan adanya keputusan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan lainnya itu sudah cukup untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan. 40 al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, V. 1, h. 479. 93 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari kajian-kajian sebelumnya dan kesimpulan ini sekaligus sebagai jawaban daripada rumusan masalah yang sudah penulis sebutkan di awal pembahasan skripsi ini. Adapun point-point kesimpulan tersebut adalah sebagai berkut: 1. Otoritas istri dalam menerima dan menolak talak, pada dasarnya terdapat perbedaan (ikhtilaf) antara fiqih dan hukum positif Indonesia. Perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang menyalahi dikarenakan saling bertentangan (tanaqud) dari pensyari’atan ketentuan talak itu sendiri, tapi merupakan sebuah perbedaan yang mencerminkan keragaman perbedaan yang saling mewarnai (tanawwu’) demi menghidupkan esensi dari pensyariatan ketentuan talak itu sendiri. 2. Dalam fiqih klasik tidak mengakui adanya peran serta istri dalam permasalahan talak lebih-lebih hak untuk dapat menolak talak tersebut, maka sedikit berbeda dari fiqih klasik, dalam fiqih kontemporer ditetapkan adanya peran serta istri dalam talak. Yakni, bahwa sebelum talak terjadi, pendapat istri juga harus dipertimbangkan. Talak tidak ubahnya seperti sebuah akad yang dalam keabsahanya membutuhkan kerelaan dari pihak pertama dan pihak kedua yakni antara suami dan istri. Ketidakrelaan dari salah satu pihak menjadikan akad atau 94 talak tersebut tidak sah. Oleh karena itu, talak hanya akan terjadi jika kedunya menginginkannya dan rela terhadap terjadinya perceraian tersebut. Namun, jika tidak dapat ditemukan jalan tengah karena keduanya tetap pada pendirian masing-masing, maka hakimlah yang akan memutuskan. 3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara implisit menjamin wanita untuk dapat berperan serta dalam proses perceraian dan melakukan penolakan terhadap permohonan talak yang diajukan suaminya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pasal yang menjamin hak istri untuk berperan serta dalam penyelesaian perkara talak, yakni adanya hak untuk menjawab gugatan (permohonan) talak dari suaminya, hak duplik dan hak mengajukan upaya hukum mulai dari banding di pengadilan tingkat pertama sampai pada kasasi pada tinkat Mahkamah Agung. Bahkan, kalau masih dirasa perlu maka istri yang masih ingin mempertahankan rumahnya dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan yang didapatkannya. 4. Apa yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang atau peraturan lainnya yang terdapat di Indonesia berkenaan dengan permasalahan ini sudah memenuhi ketentuan prinsip dasar fiqih, yaitu: ﺢ ِ ﺐ اﻟْ َﻤﺼَﺎِﻟ ِ ْﺟﻠ َ ْﺳ ِﺪ أَوْﻟَﻰ ِﻣﻦ ِ َدرْ ُء اﻟْ َﻤﻔَﺎ Mendahulukan upaya pencegahan hal-hal yang merusak daripada menarik kemashlahatan. 95 Dimana pada dasarnya keputusan pemerintah berupa Undang-Undang atau peraturan lainnya tersebut tidak dapat lepas dari dua kaidah berikut: ﺤ ِﺔ َ ﻋ ﱠﻴ ِﺔ ﻣَﻨُﻮطٌ ﺑِﺎﻟْ َﻤﺼَْﻠ ِ ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱠﺮ َ ف ا ْﻟِﺈﻣَﺎ ِم ُ ﺼ ﱡﺮ َ َﺗ Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan. ف َ ﺨﻠَﺎ ِ ْﻒ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻳﺮْﻓَﻊ اﻟ ِ ﻞ اﻟْ ُﻤﺨْ َﺘَﻠ ِ ﺣﻜْ ُﻢ اﻟْﺤَﺎ ِآ ِﻢ ﻓِﻲ اﻟْ َﻤﺴَﺎ ِﺋ ُ Keputusan hakim dalam perbedaan pendapat produk ijtihad dapat menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan. Berdasarkan kaidah tersebut, maka dengan adanya keputusan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan lainnya itu sudah cukup untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan. B. Saran Dari pembahasan di atas, besar harapan penulis bahwa tulisan ini akan memberikan sedikit masukan kepada pemerintah, ulama dan masyarakat untuk bersama-sama membangun suatu tatanan hukum yang baik demi kemaslahatan bersama. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di negara ini, diharapkan untuk peka dengan gejala hukum yang ada di masyarakat. Kemudian mengatur hal-hal yang dirasa dapat meresakan warganya, sehingga masyarakat akan merasa terjamin hak-haknya. Selain itu, ketegasan pemerintah dalam pelaksanaan hukum yang ada 96 juga sangat diperlukan, sehingga hukum yang ada tidak hanya ditakuti tapi juga mempunyai wibawa untuk ditaati dan dipegang teguh oleh warganya. Begitu juga bagi para ulama yang merupakan komponen penting dalam penentuan hukum, untuk lebih bisa mengayomi dan menjadi maraji’ bagi masyarakat secara umum, khususnya bagi masyarakat awam. Peran ulama dalam memberikan pengertian atas pentingnya pelaksanaan suatu hukum perlu melihat konteks kekinian sehingga tidak terasa saklek atau tekstual dengan nash-nash yang ada. Karena bagaimanapun juga, hukum selalu berkembang seiring dengan berkembangnya waktu dan tempat. Adanya pemerintah maupun ulama dalam penentuan hukum, tentu tidak akan seimbang jika masyarakat tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Sudah seharusnya masyarakat mendukung aturan-aturan baik yang ada. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi saja tapi untuk kepentingan bersama. Terakhir, penulis merasa bahwa pembahasa pada skripsi ini tentunya masih sangat sederhana dan tentu saja memiliki ketidaksempurnaan. Oleh karena itu diharapkan saran dan kritik yang sehat agar lebih bermanfaat. Semoga tulisan ini menjadi penyambung lidah positif bagi para pengkaji hukum. 97 Daftar Pustaka A. Rasyid, Raihan. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pers. 2003. Abu Ishaq, al-Syirazy. Al-Muhadzdzab. Surabaya: Hidayah. T. Th. Abu Suja’, al-Ashfani. Fiqih Sunnah Imam Syafi’I Pedoman Amaliah Muslim Sehari-hari. Bandung: PADI. 2009. Abdoerraoef. al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study. Jakarta: Bulan Bintang. 1970. Abdullah, Abdul Ghani. Pengantar Kompilasi hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. 2002. Cet-2. Ahmed An-Na’im, Abdullah. Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa oleh Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LkiS dan Pustaka Pelajar. 1994. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 2006. Cet-13. Aripin, Jaenal. Latif, Azharudin. Filsafat Hukum Islam Tasyri’ dan Syar’i. Jakarta: UIN Press. 2006. Cet-1. Arto, A. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Cet-1. Azhar, Muhammad. Fiqih Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta: Lesiska. 1996. Aziz al-Jandul, Sa’id Abdul. Wanita dalam Naungan Islam, alih bahasa oleh Syafril Halim. Jakarta: Firdaus, 1992. al-Bandari, Abdul Wahab. al-Nikah Wa al-Thalaq. Kairo: al-Mathba’ah al‘Amaliyah. 1969. al-Bahi, Muhammad. Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, alih bahasa oleh Fathurrahman. Jakarta: Gema Insani Pers.1990. cet-6. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002. 98 Dewi, Gemala dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. Djamil, Faturrahman. “Hukum Perjanjian Syari’ah”, dalam Kompilasi Hukum Perikatan Oleh Mariam Darus Badrulzaman et al. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2001. al-Fadani, Muhammad Yasin. Fawaid Janiyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1997. Al-Ghandur, Ahmad. Al-Thalaq Fi al-Syari’ah Wa al-Qanun. Mesir: Dar al-Ma’arif 1967. Cet-1. Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Wajiz. Kairo: Dar al-Risalah. 2004. al-Ghazzi, Muhammad Bin Qasim. Fath al-Qarib al-Mujib. Surabaya: Maktabah Sa’d Bin Nashir Bin Nabhan. T. Th. al-Hadad, al-Thahir. Wanita Dalam Syari’at Dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993. Cet-4.s al-Hakim, Abd al-Hamid. Mabadi' Awwaliyah. Jakarta: Sa'adiyah Putra. T. Th. ____________________. al-Sullam. Jakarta: Sa'adiyah Putra. T. Th. al-Hishni, Taqiyyuddin. Kifayah al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2001. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2006. Cet-4. Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Mu’amalat). Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003. Hasyim, Syafiq. Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam. Bandung: Mizan. 2001. Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talaq-Rujuk dan Kewarisan. Jakarta: Yayasan Ihya ‘Ulumuddin Indonesia. 1971. Cet.-1. I Doi, A. Rahman. Karakteristik Hukum Islam Dan Perkawinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. Ibn Rusyd. Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Dar al-fikr. T. Th. al-Jaziri, ‘Abd al-Rahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah. Kairo: Dar alHadits. 2004. 99 Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Rajawali Press. 1995. Ma’ani, Abdu al-‘Adzim. al-Ghundur, Ahmad. Hukum-Hukum dari al-Qur;an dan Hadis Secara Etimologi Sosial dan Syari’at. Terj-Usman Sya’roni. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2003. Mahmood, Tahir. Family Law Reform In The Muslim World. New Delhi: NM Tripathi PVT LTD. 1972. Mahkamah Agung Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Jakarta: MA RI. 2006. Makki al-Amili, Ali Husain Muhammad. Perceraian Salah Siapa?. Jakarta: Lentera. 2001. Al-Malibari. Fath al-Mu’in. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islami. 2010. Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1974. Mughniyyah, Muhammad Jawad. Fiqih lima Madzhab. Jakarta: Lentera. 2001. Muhammad, Daud Ali. Hukum Islam Dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002). Cet-2. Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta :CEQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007. Rafiq, Ahmad. Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 1995. Rusdiana, Kama. Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2007. Cet-1. al-Shan'ani. Subulu al-Salam. Kairo: Dar al-Hadits. 2004. al-Shiba’I, Musthofa. Wanita Dalam Pergumulan Syari’at Dan Hukum Konvensinal. Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara. T. Th. al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nadhair. Mesir: Dar al-Salam. 2006. Sabbiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Mauqi' Ya'sub, T. Th. 100 Subekti, R. Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria Dan UndangUndang Perkawinan. Jakarta: PT. Prandya Paramita. 2007. Cet-8. Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2007. Suma, Amin. Teori dan Praktek Ijtihad Di Negara Modern Pengalaman Indonesia. Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010. Syarifin, Pipin. Pengantar ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia. 1999. Syarifuddin, Amir. Hukum perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada media. 2006. Cet-1. Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2003. Tarigan, Azhari Akmal. Nuruddin, Amiur. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2004. Team KAKI LIMA. Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Buku Satu. Surabaya: Khalista. 2005. Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Buku Dua. Surabaya: Khalista. 2006. Tholchah Hasan, Muhammad. Diskursus Islam Kontemporer. Jakarta: Lintafariska Putra. 2001. Cet-2. Turmudzi, Imam. Dialog Wanita Dan Islam. Surabaya: Cipta Media. T. Th. Ulin Nuha, Muhammad. 55 Cinta Allah Terhadap Wanita. Jombang: Lintas Media. 2007. Umar Ba’lawy, Abdurrahman bin Muhammad bin Husain. Bughyah al-Mustarsyidin. Libanon: Dar al-Fikr.1995. Wahiduddin Khan, Maulana. Woman In Islamic Shari’ah. New Delhi: al-Risalah Books. 1995. al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar al-Fikr. 2001. Zahrah, Muhammad Abu. al-Ahwal al-Syakhsiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.