BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Harga Diri 1.1 Defenisi Harga Diri Harga diri merupakan hasil penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini menyatakan suatu sikap yang berupa penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu itu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, dan berharga menurut keahliannya dan nilai pribadinya (Coopersmith, 1967 dalam Lubis, 2009). Menurut Maslow, harga diri merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia dimana kebutuhan harga diri meliputi respek dari keluarga dan masyarakat, serta perasaan menghargai diri dan orang lain. Maslow juga mengidentifikasikan harga diri menjadi dua bagian. Pertama, kebutuhan akan harga diri meliputi kekuatan, penerimaan, kekaguman, kompetensi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Kedua, kebutuhan akan rasa hormat atau dihargai oleh orang lain seperti status, kekuasaan, pengakuan, perhatian, kepentingan, dan penghargaan (Potter & Perry, 2005). Pada intinya, harga diri berasal dari dua sumber yaitu diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang menghargai dirinya sendiri dan merasa dihargai oleh orang lain biasanya memiliki harga diri yang tinggi. Sebaliknya, seseorang yang merasa tidak berharga dan menerima sedikit penghormatan dari orang lain biasanya memiliki harga diri yang rendah. 1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Dalam Lubis (2009) perkembangan harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin dimana adanya keterkaitan yang erat antara jenis kelamin dengan harga diri misalnya seorang wanita selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada pria. (2) faktor sosial ekonomi juga berpengaruh dimana status sosial ekonomi seseorang dapat mempengaruhi tahap harga diri. (3) faktor usia dimana harga diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan usianya. (4) lingkungan keluarga dimana harga diri ialah orangtua yang sering merendahkan atau memberikan hukuman dan larangan tanpa alasan yang boleh diterima dan wajar akan menyebabkan anak merasa tidak dihargai. (5) kondisi fisik dimana individu yang memiliki ukuran bentuk dan kekuatan tubuh yang kurang dibandingkan dengan orang lain akan cenderung mempunyai harga diri yang rendah. (6) faktor psikologi individu dimana psikologis individu yang turut menentukan pembentukan harga diri seseorang. Keadaan psikologi yang dimaksud adalah konsep kesuksesan dan kegagalan. Kesuksesan dapat memberikan arti yang berbeda bagi setiap individu, namun tetap memberikan pengaruh pada peningkatan harga diri. (7) lingkungan sosial dimana terbentuknya harga diri diperoleh dari interaksi individu dengan lingkungannya, penerimaan, penghargaan serta perlakuan orang lain terhadap individu yang bersangkutan. Pengalaman bergaul dan berinteraksi akan memberikan gambaran baik dari segi fisik maupun mental melalui sikap dan respon orang lain terhadap dirinya (Klass & Hodge, 1978 dalam Lubis, 2009). Buss (1978) dalam Lubis (2009) menegaskan bahwa pengalaman keberhasilan, persahabatan, dan kematangan akan meningkatkan harga diri. Sebaliknya kehilangan kasih sayang, dijauhi oleh temanteman dan penginaan akan menurunkan harga diri. 1.3 Gangguan Harga Diri Gangguan harga diri adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya pecaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998). Gangguan harga diri ada dua macam yaitu harga diri rendah situasional dan harga diri rendah kronik (Carpenito, 2001 dalam Purba dkk, 2010). Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah dapat terjadi secara: 1.3.1 Situasional Harga diri rendah yang terjadi karena trauma secara tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tibatiba). Gangguan pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena privacy yang kurang diperhatikan, misalnya: pemeriksaan fisik yang sembarangan. Selain itu, harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/ sakit/ penyakit serta perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya berbagai pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa persetujuan. Kondisi ini banyak ditemukan pada pasien gangguan fisik. 1.3.2 Kronik Harga diri rendah yang terjadi karena perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama ketika sebelum sakit/ dirawat. Pasien ini mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negate terhadap dirinya. Kondisi ini yang mengakibatkan respons yang maladaptif. Kondisi ini dapat ditemukan pada pasien gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa. Faktor predisposisi gangguan harga diri menurut Suliswati,dkk (2005) dalam Purba, dkk (2010) yaitu: Penolakan dari orang lain, kurang penghargaan, pola asuh yang salah: terlalu dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten, persaingan antar saudara, kesalahan dan kegagalan yang berulang dan tidak mampu mencapai standar yang ditentukan. Menurut Purba, dkk (2010) tanda dan gejala harga diri rendah yang dapat dikaji: (1) perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap penyakit misalnya: malu dan sedih karena rambut jadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker. (2) rasa bersalah terhadap diri sendiri, misalnya: “ ini tidak akan terjadi jika saya segera ke rumah sakit,” menyalahkan/ mengejek dan mengkritik diri sendiri. (3) merendahkan martabat, contohnya: “ saya tidak bisa”, “saya tidak mampu”, “saya merasa tidak berguna”, “saya sangat jelek”, saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa”, serta “saya tidak pernah melakukan sesuatu dengan benar”. (4) gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri dimana pasien tidak ingin bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri. (5) percaya diri kurang dimana pasien sukar mengambil keputusan, misalnya tentang memilih alternatif tindakan. (6) mencederai diri dimana harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin pasien ingin mengakhiri kehidupan. 1.4 Harga Diri Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi Penderita yang mengetahui dirinya mengidap kanker dapat menjadi cemas dan merasa akan cepat mati dalam keadaan yang menyedihkan,serta hanya beban bagi orang lain. Mereka akan cenderung akan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang dialaminya dan berpandangan negatif terhadap dirinya (Sukardja, 2003 dalam Hartati, 2008). Hal ini sesuai dengan pandapat Taylor (1995) dalam Hartati (2008) reaksi yang umumnya ditampilkan oleh mereka yang didiagnosa menderita kanker payudara adalah menyangkal, cemas, takut dan depresi karena merasa segala sesuatu tiba-tiba menjadi berubah dan masa depan menjadi tidak jelas. Pada pasien yang menderita kanker payudara terjadi banyak perubahan fisik yang mempengaruhi aktivitas pasien sehari-hari dan mempengaruhi keadaan psikologis pasien. Menghadapi perubahan mental akibat penyakit kanker payudara, umumnya pasien yang memiliki penerimaan diri yang rendah, harga diri yang rendah, merasa putus asa, bosan, cemas, frustasi, tertekan dan takut kehilangan seseorang (Radleay, 1994 dalam Lubis, 2009). Adapun perilaku pasien kanker payudara yang berhubungan dengan harga diri rendah adalah mengkritik diri sendiri, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, mudah tersinggung, pesimis, dan merusak diri (Keliat, 1998). Bagi banyak wanita yang mengalami kanker payudara cenderung akan menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang dialaminya dan berpandangan negatif terhadap dirinya (Puckett, 2007 dalam Hartati 2008). Penerimaan terhadap penyakit dapat mengarah pada persiapan aktif atau persiapan pasif menghadapi kematian, maupun perlawanan terhadap penyakitnya (Glasser dalam Lubis, 2009). Ketika pasien mampu menerima keadaan dirinya, baru ia akan mempunyai harga diri yang tinggi (Rosenberg, 1965 dalam Lubis 2009). Pasien yang memiliki harga diri yang tinggi dapat melawan pengaruh negatif dari kanker (Hobfoll & Walfisch, 1984 dalam Lubis 2009). Hal tersebut didukung oleh data dari American Cancer Society yang menunjukkan 79% perempuan yang didiagnosa menderita kanker payudara, pada tahun 1994 dan masih hidup di tahun 1999 adalah pasien yang mempunyai harga diri yang tinggi (American Cancer Society, 1994 dalam Lubis 2009). Oleh karena itu, sangat penting bagi pasien kanker payudara untuk mengubah konsep diri agar mempunyai harga diri yang tinggi untuk mampu beradaptasi (Heidrich & Ward, 1992 dalam Lubis, 2009). Pasien kanker payudara yang mempunyai harga diri yang tinggi (Rosenberg, 1965; Waltz, 1986 dalam Lubis, 2009) akan mempunyai mental yang sehat dan lebih puas terhadap hidupnya sehingga akan lebih mempercepat kesembuhannya atau lebih memperpanjang harapan bagi pasien kanker yang sudah pada tahap lanjut. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pasien kanker payudara yang dapat menerima keadaan dirinya akan memilki harga diri tinggi sedangkan pasien kanker payudara yang tidak dapat menerima keadaan dirinya akan memilki harga diri yang rendah. 2. Dukungan Keluarga 2.1 Defenisi Keluarga Keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal dalam satu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan memiliki hubungan yang erat (Helvie, 1981 dalam Mubarak, 2009). 2.2 Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah suatu dukungan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari keluarganya dimana keluarga memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Cohen & Syme, 1996 dalam Setiadi, 2008). Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga membantu keluarga dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang lebih umum seperti tugas-tugas perkembangan dan krisis-krisis situasional (misalnya hilangnya anggota keluarga) (Hogue, 1977 dalam Friedman, 1998). Begitu juga dengan anggota keluarga yang berada pada tahap adaptasi terhadap penyakit dan pemulihan sangat membutuhkan dukungan dari keluarga. Apabila dukungan tersebut tidak ada maka keberhasilan penyembuhan atau pemulihan sangat berkurang (Friedman, 1998). Dalam hal ini keluarga berpengaruh dalam menyelesaikan masalah kehidupan, nilai kesehatan individu dan menentukan program pengobatan yang mereka terima. 2.3 Bentuk Dukungan Keluarga Menurut Gotay & Wilson (1998) dalam Katapodi (2002) dukungan keluarga dibagi ke dalam beberapa bentuk, yaitu : 2.3.1 Dukungan informasional Bentuk dukungan ini melibatkan pemberiaan informasi, nasihat, saran dan pemecahan masalah. Dukungan informasi seperti ini dapat menolong pasien untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan mudah. 2.3.2 Dukungan motivasi Dukungan motivasi yang diberikan keluarga yaitu keluarga memberikan kesempatan kepada pasien untuk bertemu dengan orang yang mengalami kondisi yang sama untuk mendapatkan nasihat, keluarga memberikan dukungan yang dibutuhkan pasien, keluarga memberikan semangat melalui pujian atas sikap pasien yang positif, dan keluarga memberikan kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh pasien. 2.3.3 Dukungan instrumental Bentuk dukungan instrumental yang dimaksud yaitu dukungan berupa waktu dimana keluarga siap mendampingi ketika perawatan, keluarga bersedia membiayai perawatan,keluarga memberikan bantuan atas pengobatan yang pasien terima, dan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan fisik dimana keluarga memenuhi kebutuhan pengobatan yang belum terpenuhi. 2.3.4 Dukungan emosional Bentuk dari dukungan emosional ini yaitu keluarga memberikan kepercayaan dalam mengambil suatu keputusan, keluarga bersedia sebagai tempat mencurahkan perasaan, keluarga memberikan semangat, dan keluarga selalu memberikan solusi untuk menghadapi masalah yang terjadi. 2.4 Sumber Dukungan Keluarga Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri, dukungan dari saudara kandung, dukungan dari anak dan dukungan keluarga eksternal, seperti dukungan dari sahabat, tetangga, sekolah, keluarga besar, tempat ibadah, praktisi kesehatan (Friedman,1998). 2.5 Dukungan Keluarga Pasien Kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi Keluarga tahu bahwa salah satu anggotanya menderita kanker, maka lazimnya pihak keluarga tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan dalam menghadapi penderitaan ini. Sebahagian keluarga menunjukkan rasa simpatik dan kasihan, namun sebahagian lain sikap menolak akan kenyataan ini. Peranan keluarga amat penting, pihak keluarga yang penuh pengertian dan kooperatif dengan pihak perawatan dan memberikan dorongan moril penuh kepada penderita, akan banyak membantu dalam penatalaksanaan penderita kanker. Dalam banyak hal ternyata respon penderita terhadap terhadap pengobatan banyak sedikitnya ditentukan oleh faktor keluarga dan lainnya dalam memberikan reaksi terhadap penyakit yang dideritanya (Hawari, 2004). Menurut Stommel & Given (1991) dalam Brunner & Suddarth (2002) bahwa hampir 35 % keluarga dengan kanker payudara mengalami perubahan signifikan dalam fungsi keluarga. Lebih dari 25% anak-anak juga mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan kanker payudara ibu mereka. Selain itu keluarga juga harus menanggung beban biaya dalam merawat anggota keluarga yang menderita kanker payudara tahap lanjut. Menurut Shaheen, dkk (2011) bahwa keluarga yang kurang mampu, khawatir akan ketidakmampuan mereka dalam menanggung biaya yang tinggi dari pengobatan kanker payudara tersebut. Ketika menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, perhatian-perhatian spiritual dan eksistensi biasanya mengemuka. Pasien kanker payudara sering mengekpresikan kebutuhan untuk berbicara mengenai ketidakpastian masa depan mereka, dan harapan mereka bahwa mereka akan mampu untuk mengatasi apapun krisis atau tantangan yang ada dihadapan mereka (Brunner & Suddarth, 2002). Dukungan keluarga sebagai bagian dari dukungan sosial dalam memberikan dukungan ataupun pertolongan dan bantuan pada anggota keluarganya. Orang bisa memiliki hubungan yang mendalam dan sering berinteraksi ketika dukungan yang diperlukan benar-benar bisa dirasakan dalam keterlibatan dan perhatian yang mendalam (Brunner & Suddarth, 2001). Menurut Dalami (2010) peran serta keluarga sangat penting untuk penyembuhan pasien, karena keluarga merupakan sistem pendukung yang terdekat bagi pasien. Oleh karena itu keluarga selalu dilibatkan dalam perencanaan, perawatan dan pengobatan, persiapan pemulangan pasien, dan rencana perawatan tindak lanjut di rumah. Hal ini akan memotivasi keluarga agar berpartisipasi aktif dalam upaya membantu memecahkan masalah pasien. Keliat (1998) mengatakan bahwa dukungan sosial sangat diperlukan terutama yang menghadapi masalah yang sulit termasuk penyakit yang serius. Penderita kanker payudara mengalami stress hidup yang sangat besar sehingga mereka membutuhkan dukungan sosial (Koopman et al, 1998 dalam Anggraini, 2006). Hal ini didukung oleh Abraham & Shanley (1997) dalam Anggraini (2006) yang mengatakan bahwa wanita yang terdiagnosa kanker payudara memiliki tingkat kebutuhan dukungan sosial yang tinggi. Begitu juga seorang wanita yang menjalani kemoterapi bahwa mereka sangat membutuhkan dukungan keluarga dimana dukungan keluarga tersebut ditempatkan pada urutan pertama dalam pemulihan kesehatan pasca kemoterapi (Family Support After Cancer treatment, 2008 dalam Halim & Wirawan, 2010). Menurut Francis & Setiadarma (2004); kuijen (2000) dalam Halim & Wirawan (2010) menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat mempengaruhi pemulihan fisik dan mental seorang wanita dan dapat membuat reaksi yang menstimulus sel tubuh untuk pulih. Menurut hasil penelitian Anggraini (2006), mayoritas 60 % responden melapor bahwa pasien kanker payudara membutuhkan dukungan keluarga yang selalu mendampingi mereka dalam perawatan ataupun pemeriksaan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Bobak et al. (1995) dalam Anggraini (2006) bahwa perawatan wanita yang menderita kanker payudara dikatakan efektif bila wanita merasa puas dengan keputusan yang ditetapkan sehubungan dengan pilihan terapi dan bila dia mendapat bantuan yang dibutuhkan dari orang-orang terdekat selama ia menjalani semua tahap pengobatan dan pemulihan. Ranger (1998) dalam Anggraini (2006) menemukan bahwa wanita kanker payudara mendapat dukungan dari sumber dukungan sosial seperti suami/ Partner, orang tua, saudara ipar, anak-anak, teman-teman, para tetangga, teman kerja, para dokter, perawat, dan staf kesehatan lainnya. Dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga tersebut merupakan kenyamanan fisik dan psikologis pada pasien kanker payudara (Sarason & Pierce, 1991; Baron & Byrne, 2000 dalam Anggraini, 2006). 3. Kanker Payudara 3.1 Defenisi Kanker Payudara Tubuh kita terdiri dari sel-sel yang selalu tumbuh. Kadang-kadang pertumbuhan tersebut tidak terkontrol dan membentuk suatu gumpalan. Kebanyakan tidak menimbulkan bahaya. Bila pada suatu tempat di badan kita ini terdapat pertumbuhan sel-sel yang berlebihan, maka akan terjadi suatu benjolan atau tumor. Tumor ini dapat bersifat jinak maupun ganas. Tumor yang ganas inilah yang disebut dengan kanker. Tumor ganas mempunyai sifat yang khas, yaitu dapat menyebar luas ke bagian lain di seluruh tubuh untuk berkembang menjadi tumor yang baru. Penyebaran ini disebut metastase. Kanker mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Ada yang tumbuh secara cepat, ada yang tumbuh tidak terlalu cepat, seperti kanker payudara (Diananda, 2009). Kanker payudara adalah neoplasma ganas, suatu pertumbuhan jaringan payudara abnormal yang tidak memandang jaringan sekitarnya, tumbuh infiltratif dan destruktif, serta dapat bermetastase. Tumor ini tumbuh progresif, dan relatif cepat membesar. Pada stadium awal tidak terdapat keluhan sama sekali, hanya berupa fibroadenoma atau fibrokistik yang kecil saja, bentuk tidak teratur, batas tidak tegas, permukaan tidak rata, dan konsistensi padat dan keras (Ramli,1994 dalam Homepedin, 2008). 4. Kemoterapi Kanker merupakan pertumbuhan ganas yang disebabkan oleh kelainan gen- gen yang mengatur pembelahan sel. Kemoterapi berusaha mengadakan intervensi di dalam berbagai fase pembelahan sel. Kelainan ini dimulai dengan penyimpangan pada tingkat gen, melewati penyimpangan di pembelahannya dan meluas sampai mempengaruhi pertumbuhan pembelahan darah di tumor. Pada setiap fase pembelahan sel, kelainan dapat ditangani dengan berbagai kemoterapi (Jong, 2005). Penanganan kanker payudara membutuhkan komitmen jangka panjang pasien untuk secara rutin kembali ke rumah sakit dalam beberapa bulan. Selain itu, pengobatan masih perlu dilakukan 5 sampai 10 tahun kemudian untuk menurunkan risiko kanker muncul kembali. Dalam hal ini pasien kanker payudara harus patuh terhadap pengobatan kanker yaitu dengan mengikuti jadwal terapi yang sudah ditetapkan dan disesuai dengan protokol pengobatan yang dipilih dalam bentuk beberapa siklus yang harus diikuti. Siklus pengobatan ini hendaknya diikuti sampai tuntas tanpa terputus karena sel-sel kanker adalah sel yang sangat cepat mengalami perkembangan jauh melebihi sel-sel tubuh yang normal. Jika proses pengobatannya tidak tuntas, sel-sel tersebut dapat berkembang lagi menjadi lebih banyak (Deherba, 2011). Pengobatan kanker payudara memberikan dampak negatif pada fisik maupun mental dan mempunyai pengaruh besar terhadap harga dirinya (Heidrich & Wards, 1992; Watson, 1983; Cella & Tross, 1986 dalam Lubis, 2009). Hal ini dapat dilihat bahwa pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi merasa kesepian dan terisolasi, merasa tidak berguna lagi, penuh dengan perasaan takut apakah ia dapat sembuh atau tidak, merasa bahwa orang-orang terdekat makin terasa jauh dan tidak mudah berbagi perasaan dengan orang lain. Telah diketahui bahwa seorang wanita mempunyai peranan sebagai pengasuh dan sebagai perawat orang lain. Oleh karena itu, ketika menderita penyakit ini, ia harus melepaskan naluri tersebut dan kemudian ia berubah menjadi orang yang perlu dilayani atau diperhatikan. Perubahan diri menjadi orang yang perlu dirawat dan diasuh orang lain, merupakan hal yang sangat berat karena ia menganggap dirinya lemah dan ia menganggap kurang mampu mengurus diri sendiri (Haryono, 2009 dalam Rachmawati, 2009). Keadaan ini dapat menyebabkan penilaian negatif terhadap diri sendiri dan menjadi tidak percaya diri karena jadi bergantung kepada orang lain, merasa menjadi beban bagi keluarga dan merasa tidak berguna. Akibat keadaan tersebut membuat pasien kanker payudara mempunyai harga diri rendah (Tobias, 1995 dalam Lubis 2009).