ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGELUARAN PEMERINTAH INDONESIA OLEH NENTI SIMBOLON H14080073 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 ABSTRACT Indonesia is one of the ASEAN countries are experiencing economic growth every year. In 2008 when the current world financial crisis GDP growth in Indonesia has decreased at least compared to other ASEAN countries. This is because the amount of consumption of Indonesia has a major influence on the economy of Indonesia. Economic growth in Indonesia is directly proportional to the Indonesian government spending. Indonesia government spending has increased every year. Increased government spending each year Indonesia Indonesia's economy even cause the budget deficit. Where government spending is greater than government revenues. Government revenue derived from the tax could not afford the amount of government spending. The purpose of this study was to analyze the relationship between economic growth in Indonesia by the Indonesian government expenditure and also analyzes the factors that influence the increase in government spending in Indonesia. The method of analysis used in this study is a method of VAR and VECM. The variables used in this study is variable spending (G), economic growth (GW), exchange rate (ER), inflation (INF), investment (INV), net exports (NE), and tax revenue (TR). The time period used in this study was the period/year 1984 to 2011. Based on this research, in the short term tax revenue, exchange rate, inflation has a positive, but not significant. While variable net exports and GDP growth has a positive and significant. In the long term variable rate (ER), net exports (NE) and GDP growth (GW) and a significant negative effect on government spending. While the inflation variable has a positive and significant impact on government spending. IRF outcome variables that describe the response of macroeconomic variables such as inflation, exchange rates, investment, GDP growth, net exports or the balance of trade, tax revenue to government spending shocks. The results show that a variant FEVD government spending predominantly explained by the variable itself from the beginning of the period until the end of the period. FEVD results also showed that the variables that contributed greatly to shocks in government spending is the exchange rate, inflation and GDP growth in the country of Indonesia. Keywords: Government Expenditures of Indonesia, VAR Methods , VECM, IRF, FEVD RINGKASAN NENTI SIMBOLON. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah Indonesia (dibimbing oleh Dr. Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec). Indonesia adalah salah satu negara kawasan ASEAN yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi setiap tahun. Pada tahun 2008 dimana saat terjadinya krisis keuangan dunia pertumbuhan PDB Indonesia mengalami penurunan paling sedikit dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini dikarenakan jumlah konsumsi Indonesia memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini berbanding lurus dengan pengeluaran pemerintah Indonesia. Pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya bahkan menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami defisit anggaran. Dimana pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan pendapatan pemerintah. Penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak mampu membiayai besarnya pengeluaran pemerintah. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan pengeluaran pemerintah Indonesia dan juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran pemerintah Indonesia. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VAR dan VECM. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel pengeluaran pemerintah (G), pertumbuhan ekonomi (GW), nilai tukar (ER), inflasi (INF), investasi (INV), ekspor bersih (NE), dan penerimaan pajak (TR). Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah periode/tahun 1984 sampai dengan 2011. Berdasarkan hasil penelitian, dalam jangka pendek penerimaan pajak, nilai tukar, inflasi memiliki pengaruh positif, namun tidak signifikan. Sedangkan variabel ekspor bersih dan pertumbuhan PDB memiliki pengaruh positif dan signifikan. Dalam jangka panjang variabel nilai tukar (ER), ekspor bersih (NE) dan pertumbuhan PDB (GW) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengeluaran pemerintah. Sementara variabel inflasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran pemerintah. Hasil IRF yang menggambarkan respon variabel variabel makroekonomi seperti inflasi, nilai tukar, investasi, pertumbuhan PDB, ekspor bersih ataupun neraca perdagangan, penerimaan pajak terhadap guncangan pengeluaran pemerintah. Hasil FEVD yang menunjukkan bahwa varian pengeluaran pemerintah dominan dijelaskan oleh variabel itu sendiri dari awal periode hingga akhir periode. Hasil FEVD juga menunjukkan bahwa variabel yang memberikan kontribusi besar terhadap guncangan pada pengeluaran pemerintah adalah nilai tukar, inflasi dan pertumbuhan PDB negara Indonesia. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGELUARAN PEMERINTAH INDONESIA Oleh NENTI SIMBOLON H14080073 Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Judul Skripsi: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGELUARAN PEMERINTAH INDONESIA Nama : Nenti Simbolon NIM : H14080073 Menyetujui Dosen Pembimbing Dr. Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003 Mengetahui Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003 Tanggal Kelulusan : PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU TULISAN ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Desember 2012 Nenti Simbolon H14080073 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Nenti Simbolon lahir pada tanggal 10 Januari 1991 di Desa Sianting-Anting, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Penulis adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Penulis adalah buah hati dari pasangan Boniara Simbolon dan Rimpuna Sinurat. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 di SD Negeri 2 Buhit Pangururan. Selanjutnya penulis meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2002 sampai tahun 2005 di SMP Negeri 1 Pangururan. Setelah itu, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 1 Pangururan dan lulus pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonom dan Studi Pembangunan. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Ibu Dr. Sahara selaku dosen penguji utama dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran yang sangat berarti bagi perbaikan skripsi ini. 3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi. 4. Kedua Orangtua tercinta penulis yaitu ayahanda Boniara Simbolon dan Ibunda Rimpuna Sinurat yang telah memberikan doa, semangat, kasih sayang serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Kakak dari penulis yaitu Roma Uli, Lasmia, Bintar Saroloan, Anita, Yanto, Risbon dan adik penulis yaitu Lanna Uli Simbolon yang telah memberi semangat, doa dan motivasi. 6. Sahabat-sahabat terbaik dan terhebat penulis yaitu: Dian Marhama, Meita P. Tinambunan, Rosinta Dewi Kacaribu, Suci Maryanti Utami, Melinda Carolina dan juga kak Chichi atas motivasi serta semangat yang sangat berarti. 7. Teman-teman satu bimbingan skripsi Agung Praditya, Aprilina, Andini Novrianti, Nisaul Haq yang telah banyak membantu selama proses pembuatan skripsi ini. 8. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 45 yang telah membantu selama bersama-sama menuntut ilmu di Departemen Ilmu Ekonomi. Masih banyak pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah berjasa baik selama penulisan skripsi maupun selama menempuh pendidikan di IPB. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Pada akhirnya penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Desember 2012 Nenti Simbolon H14080073 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ i DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ iii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah......................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 8 1.4 Manfaat Penelitian........................................................................... 8 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................ 10 2.1.1 Pengeluaran Pemerintah ........................................................... 10 2.1.2 Konsep Rezim Nilai Tukar ....................................................... 16 2.1.3 Krisis Keuangan ...................................................................... 18 2.1.4 Ekspor Neto ............................................................................. 20 2.1.5 Konsep Investasi ...................................................................... 21 2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi ............................................................. 24 2.1.7 Inflasi ...................................................................................... 27 2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu ...................................................... 28 2.3 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 30 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 31 3.2 Defenisi Operasional Variabel ........................................................ 31 3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ............................................. 32 3.3.1 Model Umum VAR .............................................................. 34 3.3.2 Uji Stasionaritas .................................................................... 35 3.3.3 Metode Kausalitas Granger ................................................... 35 3.3.4 Uji Optimum Lag ................................................................. 36 3.3.5 Uji Stabilitas VAR ................................................................ 36 3.3.6 Uji Kointegrasi ..................................................................... 36 3.3.7 Model Vector Autoregression (VAR) .................................... 37 3.3.8 Model Vector Error Correction Model ................................ 37 3.4 Innovation Accounting .................................................................... 38 3.4.1 Impulse Response Function (IRF) ........................................ 38 3.4.2 Forecast Error Decomposition (FEVD) ............................... 38 3.5 Alat Analisis Data .......................................................................... 39 3.6 Tahapan Pengolahan Data .............................................................. 39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Pra Estimasi ............................................................................. 40 4.1.1 Uji Akar Unit ............................................................................. 40 4.1.2 Uji Lag Optimal ........................................................................ 42 4.1.3 Uji Stabilitas VAR ..................................................................... 43 4.1.4 Uji Kausalitas Granger .............................................................. 43 4.1.5 Uji Kointegrasi .......................................................................... 44 4.2 Hasil Estimasi VECM .................................................................... 46 4.3 Analisis Impulse Response Function (IRF) ..................................... 50 4.4 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) .............. 55 4.5 Implikasi Kebijakan ....................................................................... 57 V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 61 LAMPIRAN ................................................................................................ 65 i DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1.1 Ringkasan APBN Indonesia 2007-2011 .................................................... 2 1.2 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi ............................................... 4 3.1 Data, Simbol dan Sumber Data ................................................................ 33 4.1 Uji Akar Unit Pada Tingkat Level ........................................................... 43 4.2 Uji Akar Unit Pada Tingkat Diferensiasi Pertama .................................... 44 4.3 Hasil Uji Lag Optimal ............................................................................. 44 4.4 Hasil Uji Stabilitas VAR ......................................................................... 45 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger ................................................................... 46 4.6 Hasil Uji Kointegrasi ............................................................................... 47 4.7 Hasil Estimasi VECM ............................................................................. 48 ii DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1.1 Pertumbuhan PDB Indonesia ..................................................................... 5 1.2 Pengeluaran Pemerintah Indonesia ............................................................. 6 1.3 Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak Indonesia .......................... 7 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia .............................................................. 14 4.1 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Shock Pengeluaran Pemerintah 52 4.2 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Pertumbuhan PDB 53 4.3 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Investasi ............... 54 4.4 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Nilai Tukar .......... 55 4.5 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Inflasi ................... 55 4.6 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Penerimaan Pajak 56 4.7 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Ekspor Bersih ...... 57 4.8 Variance Decomposition of G .................................................................. 58 iii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Data-data yang digunakan ......................................................................... 64 2. Pengujian akar unit .................................................................................... 65 3. Pengujian Lag Optimal .............................................................................. 70 4. Pengujian Stabilitas VAR .......................................................................... 70 5. Uji Kausalitas Granger .............................................................................. 71 6. Impulse Response Function ....................................................................... 73 7. Variance Decomposition of G .................................................................... 75 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika. Krisis yang terjadi di Amerika serikat pada tahun 2007-2009 merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis keuangan global. Krisis keuangan global ini membawa dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian negara-negara yang ada di dunia ini. Indonesia secara tidak langsung terkena dampak krisis keuangan global ini. Namun dampaknya tidak begitu besar bagi perekonomian Indonesia. Walaupun krisis keuangan global tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah tetap melakukan berbagai kebijakan bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan negara Amerika Serikat merupakan salah satu negara mitra dagang Indonesia. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan makro yang dijalankan oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter adalah kebijakan yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Kebijakan fiskal yang dijalankan oleh pemerintah dapat terlihat melalui kebijakan anggaran. Kebijakan anggaran di Indonesia mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam ditujukan untuk memacu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Kebijakan anggaran memiliki instrumen berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan penjabaran rencana kerja para penyelenggara negara untuk kurun waktu satu tahun yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. Indikator makroekonomi yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan anggaran (APBN) adalah 2 sebagai berikut : Pertumbuhan ekonomi, Inflasi, Nilai tukar, Suku bunga SBI, Harga minyak internasional, Produksi minyak Indonesia. Menurut data Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Anggaran, pada tahun 2007 jumlah belanja negara Indonesia sebesar 757,6 triliun rupiah meningkat menjadi 1320,8 triliun rupiah pada tahun 2011. Pendapatan negara dan hibah juga mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebesar 707,8 triliun rupiah menjadi 1169,9 triliun rupiah. Dari data yang diperoleh jumlah pendapatan dan hibah negara selalu lebih kecil dibandingkan dengan belanja negara setiap tahunnya. Belanja negara/pengeluaran pemerintah yang lebih besar dibandingkan penerimaan negara menyebabkan defisit anggaran. Tabel 1.1 Ringkasan APBN Indonesia 2007 - 2011 Tahun Pendapatan dan Hibah (triliun Rupiah) 2007 707,8 2008 981,6 Belanja Negara Surplus /Defisit Utang Luar (triliun Rupiah) anggaran (triliun Negeri Rupiah) (Miliar US$) 757,6 -49,8 62,25 985,7 -4,1 66,69 2009 2010 848,8 995,3 937,4 1.042,1 -88,6 -46,8 65,02 68,10 2011 1.169,9 1.320,8 -150,8 68,41 Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Anggaran, 2012 Dari Tabel 1.1 dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah pendapatan dan hibah negara Indonesia selalu lebih kecil dibandingkan dengan belanja negara/pengeluaran negara. Hal ini membuktikan bahwa dari tahun 2007 hingga 2011 anggaran negara Indonesia mengalami defisit anggaran. Kebijakan anggaran di suatu negara dalam prakteknya memiliki tiga kondisi, antara lain berimbang, surplus, dan defisit. Anggaran negara berimbang adalah anggaran negara dimana penerimaan negara jumlahnya sama dengan pengeluaran pemerintah, sementara anggaran surplus adalah penerimaan negara lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan pengeluaran negara. Banyak hal yang menjadi penyebab peningkatan belanja pemerintah, salah satunya kenaikan harga minyak mentah dunia. Belanja pemerintah meningkat akibat kenaikan harga minyak mentah dunia. Hal ini terjadi pada tahun 2010. Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada APBN 2010 mengalami perubahan 3 yakni mengalami kenaikan hingga lebih dari 20 triliun rupiah. Akibatnya, anggaran belanja negara dalam APBN 2010 naik dari target awal yakni menjadi 1042,1 triliun. Tahun 2012 dalam nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) jumlah belanja pemerintah menjadi 1058,31 triliun rupiah dari asumsi sebelumnya 964,997 triliun rupiah sehingga mengalami kenaikan sebesar 93,313 triliun rupiah. Salah satu penyebab kenaikan belanja pemerintah karena anggaran belanja subsidi energi membengkak. Anggaran belanja subsidi energi naik dari 168,55 triliun rupiah menjadi 230,43 triliun rupiah. Sedangkan, belanja subsidi non energi naik sekitar 2 triliun rupiah, menjadi 42,72 triliun rupiah. Alhasil, pos belanja subsidi menjadi pos pengeluaran yang terbesar yakni 273,155 triliun rupiah. Kenaikan belanja pemerintah Indonesia setiap tahunnya juga disebabkan oleh perkembangan ekonomi Indonesia. Menurut Teori pengeluaran negara Musgrave dan Rostow lebih menekankan pada proporsi belanja suatu negara dalam memandang perkembangan ekonomi. Tahap perkembangan ekonomi lebih dinilai dari pertanyaan apa saja sektor yang dijadikan prioritas oleh pemerintah dalam menetapkan kebijakan belanja pemerintah. Dari hal tersebut akan terlihat jelas perbedaan arah pembangunan suatu negara. Negara pada tahap awal perkembangan, karena masih minim infrastruktur, tentu akan lebih menekankan anggaran negara untuk investasi modal yang lebih bersifat starting development, seperti pembangunan gedung perkantoran daerah, gedung pendidikan, pasar, jalan umum, maupun gedung pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, masyarakat masih bergantung pada peran sentral pemerintah dalam segala kegiatan pemenuhan kebutuhan, peran swasta masih belum begitu dirasakan. Hal ini dapa menunjukkan sektor swasta masih memulai investasi atau sudah relatif lama berdiri namun belum berkembang sehingga belum dominan dalam sistem perekonomian. Menurut teori ekonomi dijelaskan oleh Musgrave dan Rostow pada tahap lanjut ekonomi, pengeluaran negara lebih bersifat meningkatkan mutu layanan dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pemanfaatan teknologi mutakhir dalam pelayanan kesehatan. Bisa juga dengan meningkatkan standar pendidikan menuju ruang lingkup yang lebih luas, seperti Sekolah Bertaraf Internasional. Muncul 4 juga kebutuhan baru akan adanya program perawatan lingkungan maupun penyediaan sarana rekreasi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi memfokuskan anggaran untuk pembangunan gedung dan pengadaan prasarana melainkan bersifat memperbaharui dan memelihara fasilitas pemerintah tersebut. Indonesia memiliki wilayah negara yang amat luas. Tidak mudah mengklasifikasikan Indonesia termasuk negara dalam tahap awal perkembangan ekonomi, tahap menengah, atau tahap lanjut pembangunan ekonomi. Ini disebabkan adanya perbedaan kemajuan pembangunan yang cukup signifikan di masing-masing wilayah. Ini juga menyangkut tingkat kemajuan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Tabel 1.2 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, 2005-2009 ( Miliar Rupiah) 2006 LKPP 283.343 2007 LKPP 316.078,7 2008 APBN 518.241,5 2009 APBN 494.766,2 21.562,2 dan 15.617,3 24.426,1 23.743,1 30.685,9 28.315,9 10.489,7 12.306,8 12.278,6 14.451,3 23.504,0 38.295,6 42.221,9 57.239,0 56.852,6 1.333,9 2.664,5 4.952,6 6.353,1 7.035,1 Perumahan dan 4.216,5 Fasilitas Umum Kesehatan 5.836,9 5.457,2 9.134,6 12.993,4 18.135,0 12.189,7 16.004,5 15.985,6 17.301,9 Pariwisata Budaya Agama 905,4 1.851,2 1.393,2 1.489,7 1.312,3 1.411,2 1.884,2 791,1 830,3 29.307,9 2.272,5 45.303,9 2.292,2 50.843,3 2.650,4 57.960,2 3.317,3 89.918,1 3.317,5 361.155,2 440.032,1 504.623,3 697.071,0 716.376,3 FUNGSI Pelayanan Umum Pertahanan Ketertiban keamanan Ekonomi Lingkungan Hidup Pendidikan Perlindungan Sosial Jumlah 2005 LKPP 255.603,2 dan 588,6 Sumber data: BI, Laporan Tahunan Indonesia Tabel 1.2 menunjukkan bahwa total belanja pemerintah pusat setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tabel Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi memberikan gambaran yang cukup jelas dalam menilai preferensi pemerintah dalam mengalokasikan anggaran negara. Pada tahun 2009, fungsi pemerintah dengan alokasi dana terbesar antara lain pelayanan umum, pendidikan, 5 ekonomi, perumahan dan fasilitas umum, dan kesehatan. Terjadi pergeseran prioritas alokasi dana yang cukup signifikan pada peralihan tahun 2007-2008. Alokasi dana terhadap fungsi pertahanan dan ketertiban berkurang secara signifikan pada tahun 2008 bila dibandingkan dengan tahun 2007. 1.2 Perumusan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia adalah salah satu negara kawasan ASEAN yang pertumbuhan ekonomi setiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari Gambar dibawah ini. PERTUMBUHAN PDB ASIA TENGGARA TAHUN 2000 - 2010 Sumber : Direktorat Perencanaan Makro (Bappenas) Gambar 1.1 Pertumbuhan PDB Indonesia Tahun 2000 - 2010 Dari Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa dari beberapa negara di kawasan ASEAN, yang paling konstan pertumbuhan PDB nya adalah negara Indonesia. Sementara negara lainnya memiliki pertumbuhan PDB yang cukup fluktuatif. Pada tahun 2008, dimana saat terjadinya krisis keuangan dunia, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami penurunan paling sedikit dibandingkan negara-negara lainnya. Hal ini dikarenakan pengaruh konsumsi Indonesia yamg memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. 6 Pertumbuhan ekonomi Indonesia ini sangat dipengaruhi oleh tingginya konsumsi yang berasal dari penduduk Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia adalah tergolong cukup besar, dimana pada kawasan ASEAN Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk yang paling banyak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga memiliki hubungan dengan kebijakan fiskal. Hal ini terlihat dari instrumen instrumen kebijakan fiskal antara lain : pengeluaran pemerintah, penerimaan pajak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini berbanding lurus dengan pengeluaran pemerintah indonesia. Pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan pengeluaran pemerintah Indonesia terjadi setiap tahunnya terutama dari tahun 2000 – 2008. Hal ini terlihat seperti dalam gambar dibawah ini. 250 200 150 100 50 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Sumber data: Statistik Keuangan Ekonomi Indonesia (data diolah) Gambar 1.2 Pengeluaran Pemerintah Indonesia tahun 2000-2011 Peningkatan pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya bahkan menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami defisit anggaran. Dimana pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan pendapatan pemerintah. Besarnya penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak mampu membiayai besarnya pengeluaran pemerintah. Pemerintah melakukan pinjaman luar negeri guna membiayai defisit anggaran tersebut. 7 Pinjaman luar negeri tersebut berpengaruh besar terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, pinjaman luar negeri ini dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah. Hal ini dikarenakan adanya tambahan pengeluaran pemerintah untuk membiayai cicilan pokok pinjaman tersebut beserta bunganya. Peningkatan pengeluaran pemerintah berbanding lurus/searah dengan pertumbuhan pinjaman luar negeri (Andini, 2012). 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 2005 2006 2007 Tahun Pengeluaran Pemerintah 2008 2009 Penerimaan Pajak Sumber : World Development Indicators 2011 (data diolah) Gambar 1.3 Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak Indonesia 2005-2009 Gambar 1.3 menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah dibarengi dengan peningkatan penerimaan pajak. Peningkatan penerimaan pajak disebabkan penetapan pajak yang terus meningkat seiring dengan peningkatan pengeluaran pemerintah. Penerimaan pajak Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah. Hal ini menandakan bahwa negara Indonesia mengalami defisit anggaran. Untuk membiayai defisit anggaran ini pemerintah melakukan pinjaman luar negeri. Perlu diketahui bahwa pinjaman luar negeri menyebabkan penetapan pajak yang lebih besar dimasa yang akan datang. Penetapan pajak yang lebih besar dimasa yang akan datang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah, baik untuk pembangunan maupun 8 pengeluaran yang kurang produktif seperti cicilan pokok dan bunga pinjaman dari luar negeri (Andini, 2012). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah hubungan antara penerimaan pajak dengan pengeluaran/belanja pemerintah? 2. Bagaimana hubungan antara investasi dengan pendapatan pemerintah ataupun belanja pemerintah? 3. Faktor–faktor apa sajakah yang menyebabkan pengeluaran pemerintah Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya? dan bagaimana faktor–faktor tersebut mempengaruhinya? 4. Bagaimanakah saran dari kebijakan pengelolaan anggaran belanja pemerintah untuk menjadikan perekonomian yang lebih ke depannya? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan pengeluaran pemerintah Indonesia 2. Menganalis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran pemerintah Indonesia 3. Menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, maupun bagi para pembaca atau bagi pihak pihak lain yang berkepentingan. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis yaitu menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah Indonesia dengan menetapkan beberapa variabel ekonomi sebagai bahan penelitian. 1. Manfaat Akademis Penelitian ini berhubungan erat dengan mata kuliah Makroekonomi, kedijakan ekonomi Internasional, Ekonomi Keuangan Internasional, sehingga 9 dengan dengan penelitian ini diharapkan penulis dan semua pihak yang berkepentingan lebih memahaminya. 2. Manfaat dalam implementasi atau praktek Penelitian ini memfokuskan kepada kondisi perekonomian negara Indonesia sebagai objek penelitian, sehingga diharapkan para pengambil keputusan atau kebijakan ataupun pihak yang berkepentingan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. 3. Bagi penulis, penelitian ini dapat memberi wawasan baru mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah Indonesia. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah analisis faktor–faktor yang mempengaruhi pengeluaran/belanja pemerintah, dimana studi kasusnya adalah negara Indonesia. Variabel ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel penerimaan pajak (TR), ekspor bersih (NE), inflasi (INF), investasi (INV), pertumbuhan ekonomi melalui persentasi pertumbuhan PDB Indonesia setiap tahunnya (GW), nilai tukar rupiah (ER) terhadap dolar Amerika Serikat (ER) dan varibel pengeluaran/belanja pemerintah Indonesia itu sendiri (G). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data periode dari tahun 1984 hingga tahun 2011. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrumen dari kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen dari kebijakan makroekonomi. Kebijakan makroekonomi tersebut adalah kebijakan yang bertujuan untuk mencapai output yang tinggi dengan laju pertumbuhan yang cepat, kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas harga, serta keseimbangan dalam neraca pembayaran. Apabila dibandingkan dengan kebijakan moneter, Keynes lebih mengandalkan kebijakan fiskal untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan. Alasannya adalah kebijakan fiskal mampu meningkatkan permintaan agregat secara langsung. Samuelson (1997), mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai salah suatu proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran publik. Proses tersebut merupakan upaya menekan fluktuasi siklus ekonomi, dan ikut berperan menjaga ekonomi yang tumbuh dengan penggunaan tenaga kerja penuh dimana tidak terjadi laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua instrumen pokok di dalamnya, yaitu belanja negara dan perpajakan. Dengan kedua instrumen tersebut, pemerintah dapat menetapkan program pengeluaran publik serta penerimaannya yang sebagian besar adalah dari pajak yang secara keseluruhan terangkum dalam suatu anggaran. Negara Indonesia adalah salah satu dari negara berkembang yang memiliki pengeluaran pemerintah yang tergolong cukup besar. Pengeluaran pemerintah ini terlihat dengan jelas dalam anggaran belanja negara Indonesia. Anggaran pemerintah ini mempunyai dampak substansial terhadap perekonomian. Sebagai perangkat utama kebijakan fiskal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), digunakan secara eksplisit untuk mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat kegiatan ekonomi, alokasi sumberdaya diantara berbagai alternatif penggunaan yang berbeda dan distribusi pendapatan masyarakat. 11 Pemerintah memerlukan dana untuk menyelenggarakan pembangunan dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dana atau uang tersebut diperoleh dari penerimaan dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan dalam negeri adalah semua penerimaan yang diterima dalam bentuk migas dan non-migas. Penerimaan minyak dan gas alam (migas) adalah penerimaan yang berasal dari pajak, bea cukai, non pajak, dan penerimaan lainnya. Sedangkan penerimaan luar negeri adalah penerimaan yang berasal dari nilai mata uang asing yang dikurskan kedalam rupiah yang berasal dari pinjaman luar negeri, yang berbentuk pinjaman program dan pinjaman proyek. Dana atau uang yang berasal dari penerimaan tersebut digunakan pemerintah untuk membiayai kegiatan ekonomi negara yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Adapun pengeluaran rutin pemerintah terdiri atas : 1. Belanja pegawai yaitu pengeluaran negara untuk keperluan pembayaran gaji, tujangan, uang makan, serta biaya lain-lain pegawai negeri 2. Belanja barang yaitu pengeluaran negara untuk membeli barang-barang yang dipergunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintah 3. Belanja rutin daerah yaitu pengeluaran negara untuk belanja pegawai dan non-pegawai pemerintah 4. Bunga dan cicilan utang adalah pengeluaran pemerintah untuk membayar bunga dan cicilan pokok pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri 5. Subsidi yaitu pegeluaran untuk berbagai macam subsidi pemerintah untuk masyarakat misalnya subsidi bahan bakar pemerintah 6. Berbagai pengeluaran yang bersifat non-departemental seperti giro pos, bebas porto, biaya pemakaian listrik, air minum,telepon, telegrap, serta pembayaran dan jasa lainnya. Sedangkan pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyek pembangunan fisik dan non-fisik. Selain pembiayaan proyek pada pengeluaran pembangunan juga terdapat komponen pembiayaan rupiah terdiri atas pembiayaan departemen/kelembagaan. a. Teori Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, 12 pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. (Mangkoesoebroto, 1994) Pengeluaran pemerintah mempunyai dasar teori yang dapat dilihat dari identitas keseimbangan pendapatan nasional yaitu Y = C + I + G + (X-M) yang merupakan sumber legitimasi pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Dari persamaan diatas dapat ditelaah bahwa kenaikan atau penurunan pengeluaran pemerintah akan menaikan atau menurunkan pendapatan nasional. Banyak pertimbangan yang mendasari pengambilan keputusan pemerintah dalam mengatur pengeluarannya. Pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya. Tetapi juga harus memperhitungkan sasaran antara yang akan menikmati kebijaksanaan tersebut. Memperbesar pengeluaran dengan tujuan semata-mata untuk meningkatkan pendapatan nasional atau memperluas kesempatan kerja adalah tidak memadai. Melainkan harus diperhitungkan siapa yang akan terpekerjakan atau meningkat pendapatannya. Pemerintah pun perlu menghindari agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak melemahkan kegiatan pihak swasta (Dumairy, 1997). Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah adalah sebagai berikut : 1. Model Rostow dan Musgrave Model ekonomi ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave berpendapat bahwa perkembangan pengeluaran pemerintah sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi suatu negara. Tahapan-tahapan perkembangan ekonomi tersebut yaitu tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Ada perbedaan fokus alokasi sumberdaya antara negara pada tahap awal perkembangan, tahap menengah pembangunan, dan tahap lanjut yang yang kemudian tercermin dalam pengeluaran pemerintah. Masing-masing tentunya berawal dari kebutuhan yang berbeda, sehingga arah kebijakannyajuga berbeda. Ini tentunya berkaitan dengan seberapa lama negara itu telah merdeka dan kualitas sumber daya manusianya. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui negara pada awal perkembangan ekonomi sebelum menuju tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Begitu juga, ada beberapa hal yang sudah terpenuhi oleh negara pada tahap lanjut pembangunan, sehingga tidak 13 perlu lagi terfokus pada penyediaan prasarana layaknya negara pada tahap awal perkembangan. Teori Rostow dan Musgrave menguraikan tiga tahapan yang pasti dilalui setiap negara. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, diperlukan pengeluaran pemerintah yang besar untuk investasi pemerintah, utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan, prasarana transportasi dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi tetap diperlukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, namun pada tahap ini diharapkan investasi sektor swasta sudah mulai berkembang dan memiliki peran besar terhadap perekonomian. Oleh karena peranan swasta yang semakin besar ini dapat menimbulkan kegagalan pasar dan juga akan menyebabkan peran pemerintah yang besar yakni harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang semakin rumit. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri, menimbulkan semakin tingginya tingkat pencemaran udara dan air sehingga pemerintah harus turun tangan untuk mengatur dan mengurangi akibat negatif dari polusi itu terhadap masyarakat. Pemerintah juga harus melindungi buruh yang berada dalam posisi yang lemah agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka (Basri, 2005). Kemudian pada tahap lanjut pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan, utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya peningkatan pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial. Dalam satu proses pembangunan menurut Musgrave, rasio investasi swasta terhadap GNP akan semakin besar, tetapi rasio investasi pemerintah terhadap GNP akan semakin kecil. Sementara itu, Rostow berpendapat bahwa pada tahap lanjut pembangunan terjadi peralihan aktivitas pemerintah dari penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran untuk layanan sosial seperti program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya (Dumairy,1997). 2. Hukum Wagner Teori ini dikemukakan oleh Adolph Wagner. Pengamatan empiris yang dilakukannya terhadap negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang pada 14 abad ke-19 menunjukkan bahwa dalam perekonomian suatu negara, pengeluaran pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan nasional negara tersebut. Menurut Wagner, terdapat lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat, yaitu : - Tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan - Kenaikan tingkat pendapatan masyarakat - Urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi - Perkembangan demokrasi - Ketidakefesienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan. Berdasarkan pengamatan terhadap negara-negara maju Wagner menyimpulkan bahwa dalam perekonomian suatu negara, pengeluaran pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita negara tersebut. Di negara-negara maju, kegagalan pasar bisa saja terjadi menimpa industriindustri tertentu dari negara tersebut. Kegagalan dari suatu industri dapat saja merembet ke industri lain yang saling terkait. Di sini diperlukan peran pemerintah untuk mengatur hubungan antara masyarakat, industri, hukum, pendidikan dan lain lain. 3. Teori Peacock Wiseman Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Peacock dan Wiseman mengemukakan pendapat lain dalam menerangkan perilaku perkembangan pemerintah. Mereka mendasarkannya pada suatu analisis penerimaan dan pengeluaran pemerintah. pemerintah selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan memperbesar penerimaan pajak yang besar. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pugutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membiayai pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan 15 pemungutan pajak secara semena-mena. Menurut Peacock dan Wiseman adalah pertumbuhan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Dalam keadaan normal, kenaikan PDB memiliki pengaruh terhadap penerimaan maupun pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan nomal jadi terganggu, katakanlah karena perang atau eksternalitas lain, maka pemerintah terpaksa harus memperbesar pengeluarannya untuk mengatasi gangguan tersebut. Pungutan pajak yang lebih besar menyebabkan dana swasta untuk berinvestasi dan modal kerja menjadi berkurang. Efek ini disebut efek penggantian (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah (Basri, 2005). Pengentasan gangguan tidak hanya cukup dibiayai semata-mata dengan pajak sehingga pemerintah harus meminjam dana dari luar negeri. Setelah ganguan teratasi muncul kewajiban melunasi utang dan membayar bunga. Pengeluaran pemerintah yang semakin bertambah bukan hanya karena GNP bertambah tetapi karena adanya kewajiban baru tersebut. Akibat lebih lanjut adalah pajak tidak menurun kembali ke tingkat semula meskipun gangguan telah berakhir. Selain itu, masih banyak aktivitas pemerintah yang baru kelihatan setelah terjadi perangdan ini disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ketangan pemerintah yang sebelumnya dilaksanakan oleh swasta. Efek inilah yang disebut efek konsentrasi (Mangkoesoebroto, 1994). Dengan adanya ketiga efek tersebut menyebabkan bertambahnya aktivitas pemerintah sehingga setelah perang selesai tingkat pajak tidak menurun kembali pada tingkat sebelum terjadi perang. Jadi berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Wagner adalah bebertuk suatu garis lurus sementara versi Peacock dan Wiseman tidaklah berbentuk suatu garis, tetapi seperti tangga. 16 2.1.2 Konsep Rezim Nilai Tukar Permintaan dan penawaran akan valuta asing akan membentuk tingkat nilai tukar suatu mata uang domestik dengan mata uang negara lain. Sebagai negara perekonomian terbuka, perkembangan rezim nilai tukar merupakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar terhadap perekonomian berjalan melalui dua sisi, permintaan dan penawaran. Nilai tukar juga merupakan salah satu alat ukur kekuatan perekonomian suatu negara. Biasanya nilai mata uang suatu negara tergantung pada kinerja ekonominya. Stabilitas terhadap nilai tukar mata uang suatu negara merupakan suatu hal yang sangat penting karena berdampak kepada tingkat perekonomian negara tersebut. Sejak periode 1970 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku di Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali, yaitu Sistem Nilai Tukar Tetap, Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali, dan terakhir Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas. 1. Sistem Nilai Tukar Tetap Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana lembaga otoritas moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan penawaran ataupun permintaan terhadap valuta asing yang terjadi. Bila terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran atau permintaan lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, maka dalam hal ini akan mengambil tindakan untuk membawa tingkat nilai tukar ke arah yang telah ditetapkan. Tindakan yang diambil oleh otoritas moneter bisa berupa pembelian ataupun penjualan valuta asing, bila tindakan ini tidak mampu mengatasinya, maka akan dilakukan penjatahan valuta asing (Halwani, 2005). Sistem nilai tukar tetap yang berlaku di Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor 32 tahun 1964 dengan nilai tukar resmi 250 rupiah per dollar US, sementara nilai tukar Rupiah terhadap mata uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar Rupiah per US Dollar di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar internasional. Selama periode tersebut di atas, Indonesia menganut sistem kontrol devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya 17 kepada Bank Indonesia. Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal pemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekuensi kewajiban penjualan devisa tersebut, maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi semua kebutuhan valuta asing bank komersial dalam rangka memenuhi permintaan valuta asing oleh importir maupun masyarakat. Berdasarkan sistem nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. Pemerintah Indonesia telah melakukan devaluasi sebanyak tiga kali yaitu yang pertama kali dilakukan pada tanggal 17 April 1970 dimana nilai tukar Rupiah ditetapkan menjadi 378 rupiah per dolar Amerika. Devaluasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1971 menjadi 415 rupiah per dolar Amerika dan yang ketiga pada tanggal 15 November 1978 dengan nilai tukar sebesar 625 rupiah per dolar Amerika. Kebijakan devaluasi tersebut dilakukan karena nilai tukar Rupiah mengalami overvaluated sehingga dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional. 2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali Nilai tukar mengambang terkendali, dimana pemerintah mempengaruhi tingkat nilai tukar melalui permintaan dan penawaran valuta asing, biasanya sistem ini diterapkan untuk menjaga stabilitas moneter dan neraca pembayaran. Sistem nilai tukar mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 persen. Pada sistem ini nilai tukar Rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Dengan sistem tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan penyebaran tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah, maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah spread/penyebaran. Pada saat sistem nilai tukar mengambang terkendali diterapkan di Indonesia, nilai tukar Rupiah dari tahun ke tahunnya terus mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika. Nilai tukar Rupiah berubah-ubah antara 644 sampai 18 2.383 rupiah per dolar Amerika. Dengan perkataan lain, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika cenderung tidak pasti. 3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas Nilai tukar mengambang bebas, dimana pemerintah tidak mencampuri tingkat nilai tukar sama sekali sehingga nilai tukar diserahkan pada permintaan dan penawaran valuta asing. Penerapan sistem ini dimaksudkan untuk mencapai penyesuaian yang lebih berkesinambungan pada posisi keseimbangan eksternal (external equilibrium position). Tetapi kemudian timbul indikasi bahwa beberapa persoalan akibat dari kurs yang fluktuatif akan timbul, terutama karena karakteristik ekonomi dan struktur kelembagaan pada negara berkembang masih sederhana. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas ini diperlukan sistem perekonomian yang sudah mapan. Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap US Dollar. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turn oil yang melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik melalui spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat. Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang, pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk menghapus rentang intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Nilai tukar rupiah yang mengikuti mekanisme pasar inilah yang disebut sistem nilai tukar mengambang bebas. 2.1.3 Krisis Keuangan Istilah krisis finansial digunakan untuk berbagai situasi dengan berbagai institusi atau aset keuangan kehilangan sebagian besar nilai mereka. Krisis keuangan juga ditandai dengan akses kredit yang sangat terbatas. Pada abad ke-19 dan ke-20, terjadinya krisis finansial berhubungan dengan kepanikan perbankan 19 dan resesi. Situasi lain yang sering disebut sebagai dampak krisis finansial adalah runtuhnya bursa efek dan krisis mata uang. Pertumbuhan Ekonomi 1969-2006 15.00 8.00 7.00 10.00 6.00 (%) 5.00 5.00 0.00 4.00 3.00 -5.00 2.00 -10.00 1.00 0.00 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 -15.00 Growth ln GDP riil Gambar 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1969-2006 Gambar 2.1 menunjukkan bahwa krisis ekonomi 1997-1998 berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian Indonesia pada tahun berikutnya. Dampak-dampak struktural akibat kelemahan ekonomi sebelum krisis tetap membayangi sistem perekonomian meski, tingkat PDB riil di tahun 2004 dan setelahnya sudah melampaui tingkat sebelum krisis. Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata periode 2004-2006 adalah 5.40 persen masih di bawah rata-rata sebelum krisis yakni 6.86 persen. Secara khusus krisis keuangan mungkin memiliki dampak pada resesi ekonomi. Dampak dari resesi ekonomi ini akan membawa dampak terhadap sektor sektor perekonomian lainnya. Banyak ekonom menulis teori mengenai bagaimana krisis keuangan terjadi dan dapat dicegah, namun hanya terdapat sedikit konsensus. Negara Indonesia terus mewaspadai potensi krisis yang terjadi sebagai imbas dari gejolak ekonomi global. Pemerintah terus mewaspadai semua jalur pintu masuk krisis mulai dari sektor perdagangan maupun sektor keuangan. Kondisi keuangan global yang terus bergejolak masih membuka peluang krisis 20 merembet ke Indonesia setiap saat. Dampak krisis dapat terjadi melalui jalur perdagangan maupun jalur keuangan. Menteri Keuangan Republik Indonesia yaitu Bapak Agus Martowardojo dalam salah satu seminar ekonomi mengatakan bahwa tingkat ketergantungan ekspor Indonesia tidak terlalu besar, sehingga ancaman krisis masuk melalui jalur perdagangan dapat diminimalisasi. Tapi, Kalau dari sektor keuangan perlu kita waspadai, sebab saat krisis berbagai lembaga keuangan di Eropa perlu melakukan konsolidasi sehingga dampak krisis keuangan global di dunia termasuk Asia akan berkurang. 2.1.4 Ekspor Neto Sebagai penganut sistem ekonomi terbuka, lalu lintas perdagangan internasional berperan penting dalam perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Adanya perdagangan internasional merupakan salah satu ciri dari perekonomian terbuka. Perdagangan internasional ditunjukkan dengan adanya kegiatan ekspor dan impor suatu negara. Kegiatan ekspor impor ini menjadi salah satu komponen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto dari sisi pengeluaran suatu negara. Peningkatan ekspor bersih suatu negara menjadi menjadi faktor utama untuk meningkatkan produk domestik bruto suatu negara. Ekspor neto adalah selisih antara ekspor dan impor barang dan jasa suatu negara. Pada proses awalnya perdagangan internasional merupakan pertukaran dalam arti perdagangan tenaga kerja dengan barang dan jasa lainnya, yang selanjutnya diikuti dengan perdagangan barang dan jasa sekarang dengan kompensasi barang dan jasa dikemudian hari. Akhirnya berkembang hingga pertukaran antarnegara dengan aset-aset yang mengandung risiko seperti saham, valuta asing, dan obligasi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, bahkan semua negara yang terkait didalamnya. Sehingga, memungkinkan setiap negara melakukan diversifikasi atau penganekaragaman kegiatan perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa setiap negara mempunyai perbedaan tingkat kapasitas produksi secara kuantitas, kualitas, dan jenis produksinya. 21 Dalam perekonomian terbuka, sebagian output dijual untuk domestik dan sebagian diekspor lagi keluar negeri. Pengeluaran pemerintah atas output pada perekonomian terbuka (Y) dibagi menjadi empat komponen : - C, konsumsi barang jasa dan domestik - I, investasi dalam barang dan jasa domestik - G, pembelian pemerintah atas barang dan jasa domestik - EX, ekspor barang dan jasa domestik Dalam perekonomian tertutup, seluruh output dijual dipasar domestik, dan pengeluaran dibagi hanya menjadi tiga komponen : konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah. Nama lain dari ekspor neto suatu negara adalah neraca perdagangan (trade balance), karena menunjukkan keadaan arus perdagangan barang dan jasa suatu negara. Jumlah ekspor neto akan menjadi sumber cadangan devisa suatu negara. 2.1.5 Konsep Investasi Investasi yang lazim disebut juga dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat. Kegiatan investasi dalam suatu perekonomian dapat mendorong naik turunnya tingkat perekonomian negara yang bersangkutan karena mampu meningkatkan produksi dan kesempatan kerja. Investasi merupakan pengeluaran perusahaan dan pemerintah secara keseluruhan untuk membeli barang-barang modal riil, baik untuk mendirikan perusahaan baru maupun untuk memperluas usaha yang telah ada dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada biaya modal yang dikeluarkan untuk melakukan investasi. Investasi juga disebut sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanampenanam modal (investor) dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Dengan demikian istilah investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 2006). 22 Salah satu kegiatan investasi yang dapat diketahui adalah penanaman modal, penanaman modal dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Untuk investasi swasta di Indonesia yang dilakukan dengan kemudahan fasilitas berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah investasi (Deliarnov, 1995) yaitu antara lain sebagai berikut. a) Inovasi dan Teknologi Adanya temuan-temuan baru menyebabkan cara-cara berproduksi lama menjadi tidak efisien. Untuk itu perusahaan-perusahaan perlu menemukan investasi untuk membeli peralatan mesin-mesin yang canggih. b) Tingkat Perekonomian Makin banyak aktivitas perekonomian makin besar pendapatan nasional dan makin banyak bagian pendapatan yang dapat ditabung, yang pada gilirannya akan diinvestasikan pada suatu usaha yang menguntungkan. c) Tingkat Keuntungan Perusahaan Makin besar tingkat keuntungan perusahaan, maka makin banyak bagian laba yang dapat ditahan dan dapat digunakan untuk tujuan investasi. d) Situasi Politik Jika situasi politik aman dan pemerintah banyak memberikan kemudahankemudahan bagi perusahaan, maka tingkat investasi akan tinggi. Investasi pemerintah Menurut Suparmoko (2002), peranan pemerintah dalam suatu negara dapat dilihat dari semakin besarnya pengeluaran pemerintah dalam proporsinya terhadap pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah, maka semakin besar pula pengeluaran pembangunan. 1) Pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya. Melalui pengeluaran rutin, pemerintah dapat 23 menjalankan misinya dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintah, kegiatan operasional dan pemeliharaan aset negara, pemenuhan kewajiban masyarakat pemerintah miskin kepada dan pihak kurang ketiga, mampu perlindungan serta menjaga kepada stabilitas perekonomian (Mangkoesoebroto, 1994). 2) Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan umum dan yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Anggaran pembangunan secara fisik maupun nonfisik selalu disesuaikan dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan. Peranan anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi yang stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Investasi swasta Selain investasi pemerintah terdapat juga investasi swasta. Investasi Swasta adalah investasi yang terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah disetujui oleh Pemerintah. Dalam penelitian ini investasi yang digunakan adalah investasi swasta, dimana data yang digunakan adalah jumlah Total PMDN dan PMA yang telah disetujui oleh negara setiap tahunnya. Menurut Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang dimaksud dengan “Modal Dalam Negeri” adalah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki negara, swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disediakan guna menjalankan suatu usaha, sepanjang modal tersebut tidak diatur oleh ketentuan-ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pada Pasal 1 menyebutkan bahwa: “Pengertian penanaman modal dalam Undang-undang ini hanya penanaman modal asing secara langsung yang 24 dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini, yang digunakan untuk menjalankan perusahaan Indonesia, dalam arti pemilik modal tersebut”. Investasi asing di Indonesia dapat dilakukan dalam dua bentuk investasi, yaitu investasi portofolio dan investasi langsung. Investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan instrument surat berharga seperti saham dan obligasi. Investasi langsung yang dikenal dengan penanaman modal asing (PMA) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau mengakuisisi perusahaan. Dibanding dengan investasi portofolio, penanam modal asing lebih banyak mempunyai kelebihan. Selain sifatnya yang permanen/jangka panjang, penanam modal asing memberi andil dalam alih teknologi, alih keterampilan manajemen dan membuka lapangan kerja baru. Penanaman modal pada hakekatnya merupakan kegiatan investasi yang dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Untuk investasi swasta di Indonesia yang dilakukan dengan kemudahan fasilitas berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Menurut UU No. 1 Tahun 1967, PMA adalah hanya meliputi modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini yang digunakan untuk menjalankan perusahaan Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut, perluasan dan alih status, yang terdiri dari saham peserta Indonesia, saham asing dan modal pinjaman. Pengertian PMDN menurut UU No. 6 Tahun 1968 ialah bagian dari pada kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda baik yang dimiliki oleh negara, swasta nasional maupun swasta asing yang berdomisili di Indonesia yang disisihkan dan disediakan guna menjalankan suatu usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur dalam ketentuan-ketentuan pasal 2 UU No. 1 Tahun 1967, tentang penanaman modal asing. 2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu waktu yang dinamis dari suatu perekonomian yaitu melihat bagaimana perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data produk 25 domestik bruto (GDP), yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output perkapita. Yang perlu diperhatikan adalah dari sisi output totalnya (GDP) dan sisi jumlah penduduknya. Output perkapita adalah kenaikan output total dibagi jumlah penduduk (Boediono, 1999). Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat, dari satu periode ke periode lainnya. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor produksi akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah jumlah barang modal, teknologi yang digunakan berkembang. Selain itu, tenaga kerja betambah sebagai akibat perkembangan penduduk dan pengalaman kerja dan pendidikan ketrampilan. Teori pertumbuhan ekonomi pada awalnya diprakarsai oleh Ricardo dan Malthus yang mencoba melakukan analisis terhadap perekonomian Inggris, meskipun banyak memperoleh kritikan namun pada pertengahan abad ke 20 pertumbuhan ekonomi berkembang dalam tiga gelombang. Periode pertama digagasi oleh Harrod (1993 dan 1948) dan Domar (1946 dan 1947), kemudian periode kedua diprakarsai oleh Solow dengan teori Neoclasical model of economic growth (1956) dan Swan pada pertengahan tahun 1950. Selanjutnya periode ketiga dikemukakan oleh Romer dan Lucas (1988). Tiga komponen utama dari pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa yaitu: 1. Akumulasi modal Meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal (SDM). Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan perkapita. 2. Pertumbuhan penduduk Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja (yang terjadi beberapa tahun kemudian setelah pertumbuhan penduduk) secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan 26 menambah jumlah tenaga produktif sedangkan pertumbuhan penduduk bagi upaya pembangunan ekonomi sepenuhnya tergantung pada kemampuan sistem perekonomian yang bersangkutan. Adapun kemampuan itu sendiri lebih lanjut dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input atau faktor penunjang seperti kecakapan manajerial atau administrasi. 3. Kemajuan teknologi Kemajuan teknologi dapat terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: 1) Kemajuan teknologi yang netral Terjadi apabila teknologi tersebut memungkinkan kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama, inovasi yang sama seperti pengelompokan tenaga kerja yang dapat mendorong peningkatan output atau kenaikan output masyarakat. 2) Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja Sebagian besar kemajuan teknologi pada abad ke 20 adalah teknologi yang hemat tenaga kerja. Jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam berbagai kegiatan produksi sudah mulai berkurang. Sehingga dapat memungkinkan memperoleh output yang lebih tinggi dari jumlah input tenaga kerja atau modal yang sama. 3) Kemajuan teknologi yang hemat modal Kemajuan teknologi yang hemat modal merupakan fenomena yang relatif langka. Hal ini dikarenakan hampir semua penelitian dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan di negara-negara maju dengan tujuan utama menghemat pekerja dan bukan untuk menghemat modal. Dalam proses pembangunan ekonomi juga dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung pada sumber alamnya, sumber daya manusia, modal dan teknologi yang disebut faktor ekonomi. Tetapi pertumbuhan ekonomi tidak mungkin terjadi selama lembaga sosial, keadaan politik dan nilai moral dalam suatu bangsa tidak menunjang, inilah yang disebut faktor non ekonomi. 27 2.1.7 Inflasi Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara terus-menerus. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggirendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang adalah antara 10% -30% setahun; inflasi berat antara 30% - 100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun. Berdasarkan asal terjadinya, inflasi dibagi menjadi dua yaitu : 1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), inflasi ini timbul karena defisit anggaran belanja negara dan gagalnya pasar yang berakibat harga kebutuhan pokok menjadi mahal. 2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), terjadi karena kenaikan harga barang di negara lain, biaya produksi barang luar negeri tinggi, kenaikan impor tarif barang. 28 2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu Terdapat begitu banyak penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan indikator-indikator ekonomi yang memiliki kaitan erat dengan penelitian ini. Beberapa penelitian tersebut adalah yang disebutkan dibawah ini : Dalam penelitian Ramayadi tahun 2003 berjudul “Economic Growth and Government Size In Indonesia: Some Lessons For The Local Authorities Departement of Economics” menyatakan bahwa dengan menggunakan metode ECM antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dan mempunyai hubungan dalam jangka panjang selama periode 19691999. Dalam penelitian Alfirman dan Sutriono tahun 2005 berjudul “Analisis Hubungan Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan menggunakan pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregression’ menyatakan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan produk domestik bruto. Pengeluaran rutin tidak signifikan memengaruhi produk domestik bruto karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontradiktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Sementara pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap produk domesti bruto. Penelitian yang dilakukan Wijayanti tahun 2008 berjudul “Analisis Kausalitas antara Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia tahun 1970-2005” menyatakan bahwa dengan menggunakan uji kointegrasi Engle-Granger dan uji kausalitas Granger, secara empiris kita tidak bisa menemukan kedua arah hubungan kausalitas, baik Hukum Wagner maupun hipotesis Keynes tidak valid untuk Indonesia. Menurut hasil penelitian Manalu yang dilakukan tahun 2004 berjudul “Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” menyatakan bahwa pengeluaran rutin berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, sementara pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan metode OLS dalam periode 1984-2003. 29 Risandewi (2005) menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, cadangan devisa dan pengganda uang memiliki hubungan jangka panjang. Pada uji kausalitas, jumlah uang beredar mempunyai hubungan timbal balik dengan cadangan devisa, namun mempunyai hubungan searah dengan pengganda uang. Sedangkan pengeluaran pemerintah tidak memiliki hubungan kausalitas dengan jumlah uang beredar. Menurut hasil penelitian Jiranyakul tahun 2007 berjudul The Relation Between Government Expenditure and Economic Growth In Thailand menunjukkan bahwa dengan menggunakan Granger hanya terdapat hubungan satu arah antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Thailand yaitu kenaikan pengeluaran pemerintah yang menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi. Dalam hasil penelitian ini juga disebutkan tidak terdapat hubungan jangka panjang antara kedua variabel. Sedangkan dengan menggunakan metode OLS, menunjukkan bahwa antara kedua varibel berhubungan positif selama periode penelitian. Wahyuningtyas (2010), menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap investasi. Defisit anggaran berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap investasi (1986 – 2008). Pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan defisit anggaran yang berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan secara statistik menunjukan bahwa kebijakan fiskal ekspansif justru menimbulkan fenomena crowding out (pembatasan) pada investasi. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu perbedaan variabel yang digunakan, jenis data yang digunakan, periode analisis dan metode yang digunakan. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan yaitu pengeluaran pemerintah, nilai tukar, inflasi, investasi, penerimaan pajak, pertumbuhan PDB dan ekspor bersih. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa data tahunan. Periode yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu tahun 1984 hingga tahun 2011. Selain itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VECM (Vector Eror Correction Model). 30 2.3 Kerangka Pemikiran Pemerintah Penerimaan Pemerintah Pengeluaran pemerintah Kebijakan Fiskal p Non Pajak Pajak Pembangun an Rutin Faktor – faktor yang mempengaruhi Pengeluaran pemerintah 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan permasalahan penelitian seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Perpajakan Indonesia, Bappenas. Selain dari instansi tersebut data yang digunakan juga diperoleh dari World Development Indicators 2011, Statistik Ekonomi Indonesia (SEKI), jurnal, artikel dan makalah. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah periode 1984 hingga 2011. Data-data yang digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 3.1. Data, Simbol, dan Sumber Data Variabel Government spending Inflasi Investasi Gross Domestic Product Growth Exchange Rate Tax Revenue Net Export 3.2 Satuan Milyar Rupiah Persen (%) Milyar Rupiah Persen (%) Simbol G INF INV GW Sumber SEKI WDI BPS WDI Rp/US$ Milyar Rupiah US Dollar ER TR NE WDI WDI WDI Defenisi Operasional Variabel Adapun variabel dan defenisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Government Spending (pengeluaran pemerintah) adalah Pengeluaran barang dan jasa oleh pemerintah daerah dan pusat, tidak termasuk pembayaran transfer karena tidak terjadi pertukaran barang dan jasa karena pembayaran transfer. 2. Inflasi adalah adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak lancaran distribusi barang. Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. 32 3. Investasi adalah barang–barang yang dibeli oleh individu dan perusahaan untuk menambah persediaan modal mereka. 4. Gross Domestic Product (GDP) adalah pendapatan total yang diperoleh secara domestik, termasuk pendapatan yang diperoleh faktor-faktor produksi yang dimiliki asing. Dalam penelitian ini digunakan variabel pertumbuhan ekonomi yakni persentase pertumbuhan PDB indonesia setiap tahunnya. 5. Tax (Pajak). Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 defenisi pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi versi UU KUP (Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan) ini nyaris hampir sama dengan definisi Rochmat Soemitro. Kata-kata “iuran” diganti dengan kata “kontribusi” yang nadanya lebih bersifat positif karena mengandung makna partisipasi masyarakat. Kemudian ada tambahan “bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang membuat kata pajak lebih bernilai positif, karena untuk tujuan kemakmuran rakyat melalui penyediaan barang dan jasa publik seperti pertahanan, keamanan, pendidikan, kesehatan, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. 6. Net Export (ekspor bersih). Ekspor bersih merupakan selisih dari ekspor (X) dan impor (M). Defenisi luas dari ekspor bersih adalah nilai ekspor barang dari suatu negara dalam suatu tahun tertentu dikurangi dengan nilai impor barang dari negara-negara lain ke negara tersebut dalam suatu tahun tertentu (Sukirno, 2004). 3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Vektor Autoregression (VAR). Apabila data yang digunakan tidak stasioner dan terkointegrasi maka dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM). Data data dalam penelitian diolah dengan bantuan perangkat lunak (software) Eviews 6.0 dan Microsoft Excel. Keunggulan metode konvensional adalah : VAR dibandingkan dengan metode ekonometri 33 1. Mengembangkan model secara bersamaan didalam suatu sistem yang kompleks (multivariat), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel didalam persamaan itu 2. Uji VAR yang multivariat dapat menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel relevan 3. VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel didalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous 4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu (Spurious variable endogen dan exogen) di dalam model ekonometri konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah. Sebagai metode ekonometrika, VAR juga tidak luput dari kelemahan. Berikut beberapa dari kelemahan dari metode VAR : 1. Model VAR lebih bersifat teoritik karena tidak memanfaatkan informasi teori-teori terdahulu, oleh karena itu sering disebut model yang tidak terstruktural 2. Karena tujuan utamanya untuk forecasting, maka model VAR meyebabkan implikasi kebijakan kurang tepat 3. Pemilihan banyaknya lag yang diikutsertakan pada model juga menimbulkan masalah baru dalam proses estimasi. Sebagai ilustrasi, bila mempunyai tiga variabel dalam model VAR dan masing-masing menggunakan 8 lag maka paling sedikit 24 parameter yang harus diestimasi. Ini berarti membutuhkan pengamatan yang relatif banyak 4. Semua variabel yang digunakan dalam VAR harus sudah bersifat stasioner, jika belum stasioner maka harus ditransformasikan terlebih dahulu agar stasioner. Secara keseluruhan metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah terbagi dalam beberapa tahap. Berikut tahapannya : 1. Uji kausalitas VAR yang akan menunjukkan hubungan yang sebenarnya antar variabel dalam dunia nyata, setelah terlebih dahulu menentukan panjang lag optimal. 34 2. Melakukan uji kointegrasi untuk menentukan model yang akan digunakan dalam penelitian apakah menggunakan model VAR atau VECM. 3. Menyusun Variance Decompositions (VD). Dekomposisi varian (VD) menunjukkan persentasi dari varians eror yang terjadi dalam meramal suatu variabel pada suatu jangka waktu tertentu yang berkaitan dengan guncangan tertentu. 4. Menganalisis Impulse Response Function (IRF). IRF menyusuri jejak dari respon yang diharapkan dari nilai saat ini dan masa depan dari tiap variabel terhadap suatu guncangan pada satu dari persamaan VAR. 3.3.1 Model Umum VAR Pendekatan VAR merupakan rangkaian model time series multivariat yang dikembangkan oleh Sims. VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag dari peubah-peubah yang ada dalam sistem (Enders, 2004). Dalam model VAR, semua variabel yang digunakan dalam analisis dianggap berpotensi menjadi variabel endogen, dengan mengabaikan pemisahan antara variabel eksogen dan variabel endogen atau dalam arti lain yaitu semua variabel berhak menjadi variabel dependent dan variabel independent. Model VAR dan VECM yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Model Umum : Gt = f ( GWt, INVt, ERt, INFt, TRt, NEt ) ........................................................ (3.1) Model dalam bentuk matriks, 𝑎0 𝐿𝑛_𝐺 𝑏0 𝐿𝑛_𝐺𝑊 𝑐0 𝐿𝑛_𝐼𝑁𝑉 𝐿𝑛_𝐸𝑅 = 𝑑0 + 𝑒0 𝐼𝑁𝐹 𝑓0 𝐿𝑛_𝑇𝑅 𝑔0 𝐿𝑛_𝑁𝐸 𝑎11 𝑎12 𝑎13 𝑎14 𝑎15 𝑎16 𝑎17 𝑎21 𝑎22 𝑎23 𝑎24 𝑎25 𝑎26 𝑎27 𝑎31 𝑎32 𝑎33 𝑎34 𝑎35 𝑎36 𝑎37 𝑎41 𝑎42 𝑎43 𝑎44 𝑎45 𝑎46 𝑎47 𝑎51 𝑎52 𝑎53 𝑎54 𝑎55 𝑎56 𝑎57 𝑎61 𝑎62 𝑎63 𝑎64 𝑎65 𝑎66 𝑎66 𝑎71 𝑎72 𝑎73 𝑎74 𝑎75 𝑎76 𝑎77 𝑒1𝑡 𝐿𝑛_𝐺𝑡−𝑖 𝑒2𝑡 𝐿𝑛_𝐺𝑊𝑡−𝑖 𝑒3𝑡 𝐿𝑛_𝐼𝑁𝑉𝑡−𝑖 𝐿𝑛_𝐸𝑅𝑡−𝑖 + 𝑒4𝑡 ....... (3.2) 𝑒5𝑡 𝐼𝑁𝐹𝑡−𝑖 𝑒6𝑡 𝐿𝑛_𝑇𝑅𝑡−𝑖 𝑒7𝑡 𝐿𝑛_𝑁𝐸𝑡−𝑖 Keterangan : G = Pengeluaran pemerintah Indonesia ( Miliar Rupiah ) GW = Pertumbuhan PDB Indonesia (Persen ) INV = Investasi (Miliar Rupiah ) ER = Nilai Tukar (RP/US$) INF = Inflasi (Persen) TR = Penerimaan pajak Indonesia (Miliar Rupiah) NE = Ekspor bersih (US Dolar) 35 Semua data estimasi yang dipergunakan dalam VAR adalah dalam bentuk logaritma natural sesuai dengan pendapat Sims dan Enders (2004), kecuali data yang sudah dalam bentuk persen atau data tersebut memiliki koefisien yang negatif (sangat kecil) yang tidak mungkin untuk diubah kedalam bentuk logaritma natural. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan analisis, karena baik dalam impulse respons maupun variance decomposition, pengaruh guncangan dilihat dalam standar deviasi yang dapat dikonversi dalam bentuk persentase. Semua variabel adalah variabel endogen dalam metode VAR, sehingga dalam model penelitian ini dapat dilihat hubungan saling ketergantungan antara semua variabel (Agung, 2012). Selain VAR, terdapat pula VAR FD (Vector Autoregression First Difference). Perbedaan keduanya terletak pada kestasioneran data yang digunakan. Model VAR stasioner pada data level, sementara VAR FD stasioner pada data turunan pertama (first difference). 3.3.2 Uji Stasionaritas Data Data stasioner adalah data dengan rataan dan ragam konstan sepanjang waktu pengamatan. Dalam uji stasioneritas ini digunakan Uji Akar Unit (unit Root Test). Uji ini dimaksudkan untuk menentukan apakah suatu variabel stasioner atau tidak. Suatu variabel dapat diketahui apakah stasioner atau tidak, dengan menggunakan uji ADF (Augmented Dickey-Fuller). Jika hasil yang di dapat dalam pengujian ini belum stasioner maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap Uji derajat integrasi (Integration Test). 3.3.3 Metode Kausalitas Granger Studi kausalitas ditujukan untuk mengukur kekuatan hubungan antar variabel dan menunjukkan arah hubungan sebab akibat, dimana X menyebabkan Y, Y menyebabkan X atau X meyebabkan Y dan Y menyebabkan X. Uji kausalitas Granger dipercaya jauh lebih bermakna dari uji korelasi biasa (Ascarya, 2009). Beberapa hal dapat diketahui dengan melakukan uji kausalitas Granger antara lain : Apakah X mendahului Y, apakah Y mendahului X atau X dan Y memiliki hubungan timbal balik 36 Suatu variabel X dikatakan meyebabkan variabel lain Y, apabila Y saat ini diprediksi lebih baik dengan menggunakan nilai-nilai masa lalu X Asumsi dalam uji ini adalah bahwa X dan Y dianggap sepasang data runtut waktu yang memiliki kovarian linier yang stasioner. 3.3.4 Uji Optimum Lag Uji optimum lag sangat penting dalam pendekatan VAR. Pengujian panjang lag yang optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarc Criterion (SC) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Dalam uji optimum lag, akan menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Maka dari itu, dengan menggunakan lag yang optimal diharapkan masalah autokorelasi tidak akan muncul lagi. Besarnya lag yang dipilih berasal dari lag terpendek. 3.3.5 Uji Stabilitas VAR Setelah dilakukan uji optimum lag, maka tahap selanjutnya dalam estimasi VAR adalah dengan uji stabilitas VAR. Uji ini nantinya dimaksudkan untuk mengetahui valid atau tidaknya analisis Impulse Response Function. Apabila hasil estimasi VAR tidak stabil, maka Impulse Response Fuction tidak valid, begitu juga sebaliknya jika hasil estimasi valid, maka Impulse Response Funcion valid. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada didalam unit circle atau jika nilai absolutnya kurang dari 1 (<1) maka model VAR tersebut dianggap stabil sehingga Impuls Responsive Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) yang dihasilkan dianggap valid. 3.3.6 Uji Kointegrasi (Cointegration Test) Uji ini merupakan lanjutan dari uji akar unit dan uji derajat integrasi. Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel–variabel yang tidak stasioner tersebut terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi ini dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987), sebagai kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat 37 diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Uji kointegrasi bertujuan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka panjang antara variabel endogen dan variabel eksogennya. Dalam penelitian ini menggunakan Johansen Cointegrating Test. Hipotesis nol dalam uji ini adalah tidak ada kointegrasi. Jika trace statistic lebih besar dari critical value, maka tolak H0 sehingga persamaan tersebut terkointegrasi. 3.3.7 Model Vector Autoregression (VAR) VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai lag dari peubah-peubah yang ada dalam sistem (Enders, 2004). Dalam model VAR semua variabel yang digunakan dalam analisis dapat dianggap berpotensi menjadi variabel endogen dengan mengabaikan pemisahan antara variabel eksogen dan endogen atau dengan arti lain, semua variabel berhak menjadi variabel-variabel dependen dan independen. Selain VAR terdapat pula VAR first diference. Model VAR First Difference merupakan bentuk VAR yang terestriksi, namun menjelaskan bahwa data yang diuji tidak stasioner pada level dan tidak memiliki hubungan kointegrasi. Pada uji sebelumnya didapat bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini stasioner pada first difference sehingga penelitian ini adalah VAR Difference . 3.3.8 Metode Vector Error Corection Model (VECM) VECM merupakan model VAR yang terestriksi. Restriksi diberikan karena data tidak stasioner pada level, namun stasioner pada tungkat tingkat turunan. Model VECM dan model VAR hampir sama, bedanya adalah model VECM menjelaskan bahwa data yang di uji, tidak stasioner pada level namun terkointegrasi. VECM memanfaatkan retriksi kointegrasi tersebut kedalam spesifikasi modelnya. Karenanya, VECM sering disebut sistem VAR bagi deret nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Pada uji sebelumnya didapat bahwa data-data yang digunakan dalam penelitian ini stasioner pada first difference namun terkointegrasi pada tahap uji kointegrasi. Oleh karena itu, berdasarkan hasil tersebut, model yang digunakan pada penelitian ini adalah model VAR First Difference, dan dilanjutkan dengan model VECM. 38 Berikut adalah model VECM dari penelitian ini: 1 𝑖=1 𝛼GWt-1 + Gt-1 = + 1 𝑖=1 𝜃 1 𝑖=1 𝛽 TRt-1 + INVt-1 + 1 𝑖=1 𝜔 1 𝑖=1 𝛾 NEt-1 + εt ERt-1 + 1 𝑖=1 𝛿 INFt-1 .................................................................................. (3.3) Dimana: G = Pengeluaran pemerintah Indonesia (Miliar Rupiah) GW = Pertumbuhan PDB Indonesia (Persen ) INV = Investasi (Miliar Rupiah ) ER = Nilai Tukar (RP/US$) INF = Inflasi (Persen) TR = Penerimaan pajak Indonesia (Miliar Rupiah) NE = Ekspor bersih (US Dolar) 3.4 Innovation Accounting 3.4.1 Impulse Respons Function (IRF) Model VAR juga dapat digunakan untuk melihat dampak perubahan dari satu variabel dalam sistem terhadap variabel lainnya dalam sistem secara dinamis. Caranya adalah dengan memberikan guncangan/shock pada salah satu peubah endogen. Guncangan yang diberikan biasanya sebesar satu standar deviasi dari peubah tersebut. Penelusuran pengaruh guncangan sebesar satu standar deviasi yang dialami oleh satu variabel dalam sistem terhadap nilai-nilai semua variabel saat ini dan beberapa periode yang akan datang disebut sebagai teknik Impulse Response Function (IRF). Impulse Response Function (IRF) adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu guncangan tertentu. Hal ini dikarenakan guncangan suatu variabel tidak hanya berpengaruh terhadap variabel itu saja tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui stuktur dinamis atau strukur lag dalam VECM. Dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu guncangan/shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan saat dimasa yang akan datang. 3.4.2 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya adalah FEVD. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel memengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu panjang. 39 Analisis FEVD dalam model VAR bertujuan untuk memprediksi kontribusi persentase setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu dalam sistem VAR. Analisis IRF yang dijelaskan sebelumnya digunakan untuk melihat dampak guncangan dari satu variabel terhadap variabel lainnya, sementara analisis FEVD digunakan untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap peubah dalam sistem VAR karena adanya guncangan. Jadi melalui FEVD dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu. 3.5 Alat Analisis Data Dalam penelitian ini, digunakan program E-Views sebagai alat analisis data. Data yang telah diperoleh kemudian di input kedalam workfile E-Views, selanjutnya akan diolah sedemikian rupa melalui beberapa tahap sehingga mendapatkan hasil-hasil yang dibutuhkan dalam penelitian ini, seperti uji akar unit, uji lag optimal, uji kausalitas Granger, uji kointegrasi, dan estimasi VAR. Jika pada pengolahan data pada uji kointegrasi terdapat persamaan yang terkointegrasi, maka tahap estimasi yang dilakukan adalah model VECM. 3.6 Tahapan Pengolahan Data Berikut adalah tahapan analisis pengolahan data dalam penelitian ini Uji stasionaritas Uji lag optimal Uji stabilitas VAR Uji kointegrasi Analisis VECM 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi 4.1.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang telah ditentukan harus dipenuhi. Salah satu asumsi dasar regresi linier klasik yang sering diabaikan adalah asumsi stasioneritas yang merupakan dasar berpijaknya ekonometrika (Insukindro,1991). Pengabaian terhadap adanya asumsi stasioneritas menyebabkan regresi lancung (spurious regression). Data variabel ekonomi banyak menggunakan data time series, oleh karena itu data ini sering menimbulkan permasalahan terkait dengan kestasioneritasan data. Dalam statistik dan ekonometrik, uji akar unit digunakan untuk menguji adanya anggapan bahwa sebuah data time series tidak stasioner. Uji yang biasa digunakan adalah Uji Augmented Dickey–Fuller. Uji lain yang serupa yaitu Uji Phillips–Perron. Keduanya mengindikasikan keberadaan akar unit sebagai hipotesis null. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah data yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Data stasioner adalah data yang menyebar pada rataan dan simpangan baku tertentu. Hampir 95 persen data-data ekonomi tidak stasioner. Olehkarena itu harus dilakukan pengujian terlebih dahulu terhadap kestasioneran data tersebut. Dalam penelitian ini uji yang digunakan adalah Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) melalui uji akar unit. Model yang mengandung akar unit akan menimbulkan ketidakvalidan serta menghasilkan spurious regression atau regresi palsu (Firdaus, 2011). Regresi palsu/lancung (spurious regression) merupakan data yang memiliki R2 tinggi, t-statistik dan f-statistik yang signifikan tetapi memiliki dw yang relative kecil yaitu kurang dari 0,5 (< 0,5). Regresi tersebut terlihat bagus namun pada kenyataannya tidak, dan hasilnya tidak dapat diinterpretasikan secara ekonomi. Regresi lancung terjadi ketika hasil regresi menunjukkan hubungan yang signifikan antarvariabel padahal hal tersebut tidak lain adalah hubungan contemporaneous dan tidak memiliki makna kausal (Harris, 1995: 14). Dalam Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF), jika nilai ADF lebih kecil dari Mc Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut 41 stasioner, sementara jika nilai ADF lebih besar dari Mc kinnon Critical Value berarti data tersebut tidak stasioner. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini nilai kritis Mc Kinnon yang digunakan adalah pada taraf nyata 5 persen. Jika data berdasarkan uji ADF tidak stasioner maka solusinya adalah dengan proses diferensiasi. Berikut hasil uji akar unit setiap variabel pada tingkat level dalam penelitian ini. Tabel 4.1 Uji Akar Unit Pada Tingkat Level Variabel Nilai ADF G GW INV -5.692273 -3.484692 -2.463660 Nilai Kritis Mc Kinnon 1% 5% 10% -4.33933 -3.587527 -3.229230 -3.699871 -2.976263 -2.627420 -3.699871 -2.976263 -2.627420 ER -1.390764 -3.699871 -2.976263 -2.627420 INF TR -5.446965 -1.655848 -3.699871 -3.699871 -2.976263 -2.976263 -2.627420 -2.627420 NE -0.823032 -3.699871 -2.976263 -2.627420 Keterangan Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Stasioner Tidak stasioner Tidak Stasioner Sumber: data diolah Berdasarkan hasil pengujian akar unit pada tingkat level dapat diketahui bahwa dengan menggunakan taraf nyata lima persen terdapa empat variable yang tidak stasioner, antara lain investasi (INV),nilai tukar (ER), penerimaan pajak (TR), ekspor bersih (NE) sementara variable lainnya (belanja pemerintah (G), pertumbuhan ekonomi/PDB (GW), inflasi (INF)) stasioner pada tingkat level. Data yang tidak stasioner dapat mengakibatkan regresi lancung (spurious regression) apabila diregresi. Untuk menjadikan data yang tidak stasioner menjadi data stasioner maka melakukan diferensiasi data. Pada tingkat diferensiasi pertama (first diffrerence) umumnya data sudah stasioner. Berikut hasil uji akar unit setiap variabel pada tingkat diferensiasi pertama. 42 Tabel 4.2 Uji Akar Unit Pada Tingkat Diferensiasi Pertama Variabel G GW INV ER INF TR NE Nilai ADF -6.616552 -6.494443 -4.703183 -5.314595 -6.284779 -6.284779 -5.922290 Nilai Kritis Mc Kinnon 1% 5% 10% -4.374307 -3.603202 -3.238054 -3.711457 -2.981038 -2.629906 -3.711457 -2.981038 -2.629906 -3.711457 -2.981038 -2.629906 -3.724070 -2.986225 -2.632604 -3.711457 -2.981038 -2.629906 -3.724070 -2.986225 -2.632604 Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Sumber: data diolah Berdasarkan hasil uji akar-akar unit pada tabel 4.2, diketahui bahwa seluruh data telah stasioner. Dengan kata lain bahwa seluruh variabel stasioner pada tingkat diferensiasi pertama (first diffrence). Hal itu dapat diketahui karena nilai ADF lebih kecil dari nilai Mc Kinnon. 4.1.2. Uji Lag Optimal Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR adalah penentuan jumlah lag optimal yang digunakan dalam model. Penentuan lag optimal merupakan tahap penting karena variabel independen yang digunakan adalah lag dari variabel dependen dan juga variabel independennya. Selain hal tersebut penentuan lag optimal penting karena berkaitan dengan keakuratan informasi yang dihasilkan oleh estimasi model VAR. Pengujian panjang lag yang optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC) dan Hanan-Quinn Criterion (HQ). Tabel 4.3 Hasil Uji Lag Optimal Lag 0 1 2 LR NA 246.3622* 61.93655 FPE 0.074544 4.24e-06 1.77e-06* AIC 17.26850 7.350941 5.489577* SC 17.60722 10.06069* 10.57035 HQ 17.36604 8.131250 6.952656* Sumber: data diolah Tabel 4.3 memperlihatkan hasil tingkat lag optimal berdasarkan berbagai kriteria. Dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai SC pada lag 1 merupakan yang terkecil atau minimum, sehingga lag optimal untuk variabel-variabel yang ingin diestimasi adalah satu. 43 4.1.3. Uji Stabilitas VAR Sebelum analisis berupa proses innovation accounting dilaksanakan, dilakukan terlebih dahulu pengujian stabilitas terhadap data. Sistem VAR pada lag optimal harus stabil. Hal ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh model dinamik seperti VAR. Sistem VAR yang tidak stabil akan membuat hasil Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) tidak valid. Uji stabilitas berdasarkan modulus atau unit lingkaran akan diterapkan untuk menentukan apakah sistem VAR tersebut stabil pada lag optimal. Stabilitas sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh akar unitnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak didalam unit lingkaran. Tabel 4.4 Hasil Uji Stabilitas VAR Root 0.949791 0.674162 – 0.294734i 0.674162 + 0.294734i 0.679999 -0.251726 – 0.260855i -0.251726 + 0.260855i 0.143282 Modulus 0.949791 0.735774 0.735774 0.679999 0.362507 0.362507 0.143282 Sumber: data diolah Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa model VAR yang digunakan dalam penelitian ini stabil pada lag optimalnya, yaitu pada lag satu karena nilai modulus dari seluruh roots memiliki nilai kurang dari satu. Dengan demikian peramalan menggunakan Impulse Response Function (IRF) dan Forever Error Variance Decomposition (FEVD) yang akan dihasilkan dianggap valid. 4.1.4. Uji Kausalitas Granger Analisis hubungan kausalitas dari setiap variabel dapat dilihat dari uji kausalitas granger. Dalam penelitian ini, uji kausalitas dilakukan dengan menggunakan Granger Causality Test dengan hipotesis awal (H0) tidak ada hubungan kausalitas dan hipotesis alternatifnya (H1) terdapat hubungan kausalitas. Kriteria penolakan H0 adalah dengan melihat nilai probabilitas yang lebih kecil dari nilai kritis yang ditantukan. Hasil uji kausalitas granger dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.5 44 Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger Variabel Probabilytas does Not Granger Cause G GW INV INF G 0.8518 0.7565 0.8459 GW 0.4144 0.7826 0.0126* INV 0.2098 0.4285 0.3270 INF 0.00001* 0.7325 0.3092 NE 0.0710 0.8714 0.8795 0.8889 ER 0.2831 1.0000 0.07738 0.8064 TR 0.0062* 0.6903 0.2183 0.8412 NE 0.0597 0.7936 0.0516 0.5594 ER 0.8034 0.7283 0.0716 0.4215 0.6334 0.0013* 0.0019* 0.1997 TR 0.0023* 0.3744 0.1625 0.7795 0.5623 0.9997 Sumber: data diolah Hasil Uji kausalitas pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa terdapat hubungan dua arah antara variabel TR dengan variabel G. Hipotesis nol yang menyatakan bahwa TR tidak mempengaruhi G, ditolak pada tingkat signifikansi lima persen ( tolak H0, pada α = 5%), demikian juga dengan sebaliknya. Hipotesis nol yang menyatakan bahwa G tidak mempengaruhi TR ditolak pada tingkat signifikasi lima persen. Artinya penerimaan pajak mempengaruhi pengeluaran/belanja pemerintah, sebaliknya pengeluaran pemerintah mempengaruhi penerimaan pajak. Berdasarkan Tabel 4.5 juga diperoleh beberapa variabel yang memiliki hubungan satu arah dengan variabel lainnya pada tingkat signifikansi lima persen. Varibel yang memiliki hubungan satu arah tersebut antara lain variabel GW dengan variabel G, variabel INF dengan variabel G, variabel ER dengan variabel NE, dan variabel TR dengan Variabel NE. 4.1.5. Uji Kointegrasi Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR atau VECM adalah semua variabel endogen dan variabel eksogen bersifat stasioner. Apabila variabel tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Jika variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan yang stabil (Enders, 1995). Pengujian kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan selama proses integrasi yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat satu I (1). Salah satu cara untuk menguji kointegrasi yaitu dengan menggunakan uji kointegrasi Johansen. 45 Dalam penelitian ini uji kointegrasinya menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang digunakan, yaitu lima persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value lima persen maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil uji kointegrasi berdasarkan trace test dapat dilihat pada Tabel 4.6 Tabel 4.6 Hasil Uji Kointegrasi Hyputhesized No.of CE (s) None* At most 1* At most 2* At most 3 At most 4 At most 5 Eigenvalue Trace statistic 0.05 Critical Value Prob.** 0.935471 0.914792 0.717396 0.513988 0.470493 0.248177 213.9335 142.6769 78.64778 45.79138 27.03182 10.50081 0.0000 0.0000 0.0083 0.0772 0.1008 0.2442 125.6154 95.75336 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 Sumber: data diolah Jika trace statistic lebih besar dari critical value lima persen,maka persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian H0 = non kointegrasi dengan hipotesis alternatifnya H1 = kointegrasi. Jika trace statistic lebih besar dari critical value lima persen, maka tolak H0 atau terima H1 yang artinya terjadi kointegrasi. Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa terdapat tiga persamaan yang terkointegrasi dalam penelitian ini. Karena terdapat persamaan yang terkointegrasi maka model yang akan digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM), 46 4.2 Hasil Estimasi VECM Dalam penelitian ini diketahui bahwa data tidak stasioner pada tingkat level dan memiliki hubungan kointegrasi, maka metode yang digunakan adalah VECM. Estimasi VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) atas ketidakstabilan jangka panjang. Berikut adalah hasil estimasi VECM: Tabel 4.7. Hasil Estimasi VECM Variabel D(G(-1)) D(TR(-1)) D(INV(-1)) D(ER(-1)) D(NE(-1)) D(INF(-1)) D(GW(-1)) CointEq1 CointEq2 CointEq3 ER(-1) NE(-1) INF(-1) GW(-1) Koefisien Jangka Pendek -0.024003 0.615376 -0.134906 0.232028 0.499099 0.016210 0.131465 0.021919 0.106968 0.196814 Jangka Panjang -1.763985 -0.951694 0.103044 -0.350687 T-Statistik -0.11960 1.78643 -1.15844 0.36084 2.45276* 1.56646 3.79761* 0.30064 1.60282 3.10773* -4.42568* -2.05715* 5.24666* -5.89491* Catatan: tanda asterik (*) menunjukkan signifikan berdasarkan tabel T-statistik pada taraf nyata 5 persen. Sumber: data diolah Tabel diatas merupakan rangkuman hasil VECM untuk melihat pengaruh dan signifikansi variabel dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka pendek, penerimaan pajak, nilai tukar, ekspor bersih, inflasi dan pertumbuhan PDB berpengaruh positif namun tidak semuanya variabel tersebut sigifikan. Penerimaan pajak, nilai tukar, inflasi memiliki pengaruh positif, namun tidak signifikan. Sedangkan variabel ekspor bersih dan pertumbuhan PDB memiliki pengaruh positif dan signifikan. Hasil estimasi VECM jangka pendek menunjukkan bahwa variabel ekspor bersih berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dan signifikan pada taraf nyata 5 persen sebesar 0,499099. Artinya apabila terjadi kenaikan pada ekspor bersih sebesar satu persen maka akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,499099 persen. Beberapa teori ekonomi 47 menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi tingkat output nasional. Pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi akan meningkatkan output agregat. Peningkatan output agregat ini mengakibatkan penurunan impor dan mendorong peningkatan ekspor, sehingga pendapatan negara meningkat karena penerimaan negara dari ekspor mengalami peningkatan. Variabel pertumbuhan PDB pada lag pertama signifikan dan berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek sebesar 0,131465. Artinya apabila terjadi kenaikan pertumbuhan PDB sebesar satu persen maka akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,131465 persen. Hal ini sesuai dengan teori Wagner yang menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama apabila terjadi kegagalan pasar. Kegagalan bisa saja terjadi menimpa industri-industri tertentu dari negara tersebut. Kegagalan dari suatu industri dapat saja berpengaruh ke industri lain yang saling terkait. Disini diperlukan peran pemerintah untuk mengatur hubungan antara masyarakat, industri, hukum, pendidikan, dll. Hasil dari penelitian ini juga sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman. Dimana, inti dari teori ini adalah pertumbuhan PDB menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Tabel 4.7 juga menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat empat variabel yang signifikan secara statistik pada taraf nyata lima persen terhadap variabel pengeluaran pemerintah. Variabel nilai tukar (ER), ekspor bersih (NE) dan pertumbuhan PDB (GW) berpengaruh negatif terhadap pengeluaran pemerintah. Sementara variabel inflasi memiliki pengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah. Variabel nilai tukar (ER) berpengaruh negatif dan signifikan dalam jangka panjang. Variabel nilai tukar pada jangka panjang signifikan secara statistik pada taraf nyata 5 persen sebesar 1,763985. Artinya apabila terjadi kenaikan nilai tukar 48 sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan pengeluaran pemerintah sebesar 1,763985 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa apabila terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS akan berdampak pada penurunan jumlah Rupiah, karena terjadi penurunan pembiayaan barang dan jasa yang menggunakan valuta asing. Kondisi tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah mengalami penurunan. Variabel inflasi (INF) berpengaruh positif dan signifikan dalam jangka panjang dengan koefisien 0,103044. Artinya apabila terjadi kenaikan inflasi sebesar 1 persen maka akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,103044 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi. Kenaikan tingkat inflasi akan meyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah. Tingkat inflasi yang meningkat ditandai dengan kenaikan harga barang dan jasa serta faktor produksi. Oleh karena itu peningkatan tingkat inflasi akan mengakibatkan kenaikan pada pengeluaran total. Pengeluaran total dapat berasal dari pengeluaran konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah dan pengeluaran investasi sektor swasta. Variabel pertumbuhan PDB (GW) berpengaruh negatif dan signifikan dalam jangka panjang dengan nilai koefisien sebesar 0,350687. Artinya dalam jangka panjang apabila terjadi kenaikan pertumbuhan PDB sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan pengeluaran pemerintah sebesar 0,350687 persen. Hasil ini adalah sesuai dengan penelitian Ramayadi (2003) yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dan mempunyai hubungan dalam jangka panjang. Hipotesis ini juga sesuai dengan teori Keynesian yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang pendapatan nasional memberikan pengaruh positif terhadap investasi. Peningkatan pendapatan nasional ataupun PDB menyebabkan kenaikan permintaan masyarakat. Untuk memenuhi peningkatan permintaan masyarakat tersebut maka jumlah produksi akan ditingkatkan, sehingga diperlukan investasi-investasi baru dan terjadi perluasan kesempatan kerja. Berdasarkan teori Musgrave dan Rostow, perkembangan pengeluaran pemerintah sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu negara. Pada tahap awal perkembangan ekonomi diperlukan pengeluaran yang besar untuk 49 investasi pemerintah utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan, dll. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi namun diharapkan investasi swasta sudah mulai berkembang, sehingga pengeluaran pemerintah terhadap investasi pemerintah berkurang. Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat misalnya peningkatan pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial dsb. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang peran investasi swasta akan semakin meningkat namun sebaliknya untuk investasi pemerintah akan semakin menurun sehingga mengakibatkan pengeluaran pemerintah mengalami penurunan, sementara PDB mengalami kenaikan atau dengan kata lain terjadi pertumbuhan ekonomi. 50 4.3 Analisis Impulse Response Function (IRF) 4.3.1 Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Pengeluaran Pemerintah Sebelumnya Guncangan pengeluaran pemerintah periode sebelumnya adalah sangat berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran pemerintah periode selanjutnya. Banyak hal yang meyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut diantaranya adalah adanya peningkatan tingkat inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar rupiah yang melemah terhadap valuta asing, meningkatnya pengeluaran pemerintah terhadap pengeluaran investasi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan hasil dari penelitian ini. Dalam grafik respon pengeluaran pemerintah terhadap guncangan yang diberikan terhadap variabel itu sendiri dapat dilihat bahwa guncangan yang diberikan terhadap pengeluaran pemerintah direspon positif oleh variabel itu sendiri pada periode selanjutnya. Dimana guncangan pengeluaran pemerintah sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,13 persen pada periode tahun pertama. Response of G to Cholesky One S.D. G Innovation .14 .12 .10 .08 .06 .04 .02 .00 1 Gambar 4.1 2 3 4 5 Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Pengeluaran Pemerintah 4.3.2. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Pertumbuhan PDB Guncangan pertumbuhan PDB pada tahun pertama belum direspon oleh pengeluaran pemerintah. Namun pada periode selanjutnya guncangan pertumbuhan PDB telah mendapat respon dari variabel pengeluaran pemerintah. Guncangan pada pertumbuhan PDB direspon positif oleh pengeluaran pemerintah. 51 Berdasarkan gambar 4.2 dapat dilihat bahwa peran pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan PDB adalah sangat kecil, sehingga belum cukup menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini adalah dipengaruhi oleh tingginya konsumsi dari penduduk Indonesia. Mengingat bahwa jumlah penduduk Indonesia tergolong cukup besar. Response of G to Cholesky One S.D. GW Innovation .07 .06 .05 .04 .03 .02 .01 .00 1 2 3 4 5 Gambar 4.2 Respon Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Pertumbuhan PDB 4.3.3. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Investasi Guncangan satu standar deviasi pada investasi belum direspon oleh pengeluaran pemerintah pada periode awal. Namun pada periode selanjutnya guncangan pada investasi telah direspon oleh pengeluaran pemerintah. Hal ini menunjukkan guncangan yang terjadi pada investasi tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran pemerintah. Dapat dilihat pada gambar 4.3, dimana pada periode kedua guncangan investasi sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,025 persen. 52 Response of G to Cholesky One S.D. INV Innovation .04 .02 .00 -.02 -.04 -.06 1 Gambar 4.3 2 3 4 5 Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Investasi 4.3.4. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Nilai Tukar Guncangan yang terjadi pada nilai tukar pada periode pertama direspon positif oleh pengeluaran pemerintah. Guncangan nilai tukar sebesar satu standar deviasi pada periode pertama menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,18 persen. Pada periode kedua guncangan nilai tukar direspon negatif oleh pengeluaran pemerintah sebesar 0,18 persen. Periode ketiga hingga periode selanjutnya guncangan nilai tukar direspon positif oleh pengeluaran pemerintah, artinya depresiasi nilai tukar Rupiah mengakibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa apabila terjadi depresiasi rupiah akan berdampak pada peningkatan jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk pembiayaan ekonomi internasional. Pembiayaan ekonomi internasional antara lain transaksi perdagangan internasional yang pembayarannya menggunakan valuta asing. Depresiasi mata uang rupiah menyebabkan peningkatan pembayaran valuta asing sehingga berdampak pada peningkatan pengeluaran pemerintah. Depresiasi mata uang Rupiah juga akan menyebabkan jumlah utang luar negeri Indonesia semakin meningkat. Hasil IRF ini menunjukkan bahwa nilai tukar memiliki pengaruh besar terhadap perubahan pengeluaran pemerintah. 53 Response of G to Cholesky One S.D. ER Innovation .20 .15 .10 .05 .00 -.05 -.10 -.15 -.20 1 2 Gambar 4.4 3 4 5 Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Nilai Tukar 4.3.5. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Inflasi Guncangan pada inflasi tidak direspon cepat oleh pengeluaran pemerintah. dibuktikan dengan guncangan inflasi pada periode pertama belum direspon oleh pengeluaran pemerintah. Response of G to Cholesky One S.D. INF Innovation .04 .02 .00 -.02 -.04 -.06 -.08 -.10 -.12 1 Gambar 4.5 2 3 4 5 Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Inflasi Guncangan inflasi sangat berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran pemerintah, terutama pada jangka yang pendek, namun semakin lama pengaruh 54 guncangan inflasi terhadap pengeluaran pemerintah akan semakin kecil. Guncangan inflasi secara umum direspon negatif oleh pengeluaran pemerintah. Pada periode kedua guncangan inflasi sebesar satu standar deviasi mengakibatkan perubahan pengeluaran pemerintah sebesar 0,12 persen. Pada keadaan Inflasi, daya saing untuk barang ekspor berkurang. Berkurangnya daya saing terjadi karena harga barang ekspor makin mahal. Masih dapat menyulitkan para eksportir dan negara. Negara mengalami kerugian karena daya saing barang ekspor berkurang, yang mengakibatkan jumlah penjualan berkurang. Devisa yang diperoleh juga semakin kecil. 4.3.6. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Penerimaan Pajak Guncangan penerimaan pajak pada tahun pertama belum mendapat respon dari pengeluaran pemerintah. Variabel pengeluaran pemerintah mulai merespon guncangan penerimaan pajak pada tahun selanjutnya. Secara umum respon pengeluaran pemerintah terhadap guncangan penerimaan pajak adalah positif. Response of G to Cholesky One S.D. TR Innovation .05 .04 .03 .02 .01 .00 1 2 3 4 5 Gambar 4.6 Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Penerimaan Pajak Dari gambar 4.6 pada periode ketiga (periode dengan respon tertinggi) dapat dilihat guncangan penerimaan pajak sebesar satu standar deviasi menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah hanya sebesar 0,04 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guncangan yang terjadi pada penerimaan pajak tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran pemerintah. 55 4.3.7. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Ekspor Bersih Guncangan ekspor bersih pada tahun pertama belum mendapat respon dari pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah baru merespon guncangan ekspor bersih pada tahun selanjutnya. Dari hasil IRF variabel ekspor bersih terhadap variabel pengeluaran pemerintah dapat dilihat bahwa variabel ekspor bersih sangat memengaruhi variabel pengeluaran pemerintah terutama dalam jangka pendek. Guncangan ekspor bersih pada lima periode awal direspon positif oleh pengeluaran pemerintah. Response of G to Cholesky One S.D. NE Innovation .035 .030 .025 .020 .015 .010 .005 .000 1 Gambar 4.7 4.4 2 3 4 5 Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Ekspor Bersih Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi dari masing masing variabel terhadap guncangan yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. Dengan kata lain, FEVD menjelaskan proporsi variabel lain dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam kaitannya dengan FEVD maka penelitian ini akan membahas bagaimana kontribusi berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian terhadap pengeluaran pemerintah. Berdasarkan hasil dekomposisi varian (gambar 4.8), dapat disimpulkan bahwa variabel pengeluaran pemerintah dominan dijelaskan oleh guncangan pada variabel itu sendiri dari awal periode hingga akhir periode. Pada periode pertama 56 variabel pengeluaran pemerintah memiliki kontribusi yang besar terhadap variabel itu sendiri yaitu sekitar 33 persen. Pada periode pertama yang paling banyak memberi kontribusi terhadap pengeluaran pemerintah adalah variabel nilai tukar yaitu sebesar 77 persen. Pada periode kedua tampak variabel-variabel lain mulai mempengaruhi variabilitas dari variabel pengeluaran pemerintah. Gambar 4.8 Variance Decomposition of G 110 100 90 80 70 60 50 40 5 10 15 20 ER INF TR 25 G INV 30 35 40 45 50 GW NE Hasil FEVD diatas juga menunjukkan bahwa variabel yang memberikan kontribusi besar terhadap guncangan pada pengeluaran pemerintah adalah nilai tukar, inflasi dan pertumbuhan PDB negara Indonesia. Selain dari variabel tersebut hanya memberikan kontribusi yang sedikit terhadap guncangan pengeluaran pemerintah. 57 4.5 Implikasi Kebijakan Pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya mengalami perubahan. Masing-masing negara memiliki target pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai setiap periode, demikian juga dengan negara Indonesia. Hal inilah yang menjadi tujuan dari peningkatan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, yakni mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditentukan pada awalnya. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut pemerintah dapat melakukan kebijakan manajemen pengelolaan pengeluaran pemerintah, sehingga pengeluaran pemerintah tersebut terstruktur dan jelas. Seperti halnya dalam Penyusunan RAPBN haruslah optimal, dan pelaksanaan APBN harus sesuai dengan RAPBN tersebut. Pengelolaan pengeluaran pemerintah yang baik juga akan berdampak pada kondisi lingkungan ekonomi yang kodusif. Lingkungan yang kondusif ini secara langsung akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi Indonesia. Menurut sumber terjadinya inflasi, inflasi dipengaruhi dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dimana inflasi dari sisi permintaan dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter dan kebijakan fiskal contohnya kebijakan defisit atau surplus anggaran. Sedangkan, inflasi dari sisi penawaran terjadi diluar otoritas moneter seperti Tarif Dasar Listrik, harga BBM, dan harga pangan. Implikasi kebijakan untuk meminimalisir dampak dari guncangan inflasi ini yaitu perlu adanya koordinasi yang baik antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan harga dalam mengendalikan inflasi. Hal ini, dikarenakan bank indonesia hanya dapat mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar dari sektor moneter saja. Oleh karena itu perlu ada kerja sama yang baik dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi dari sektor lainnya. Kebijakan menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat mempengaruhi permintaan total dan dengan demikian akan mempengaruhi harga. Inflasi dapat dicegah melalui penurunan permintaan total. Kebijakan yang berupa pengurangan pengeluaran pemerintah serta kenaikan pajak akan dapat mengurangi permintaan total. Sehingga, inflasi dapat ditekan. Ketika terjadi depresiasi nilai tukar maka harga barang impor meningkat. Peningkatan harga barang impor ini dapat menyebabkan peningkatan struktur 58 biaya ataupun peningkatan pengeluaran pemerintah sehingga mendorong terjadinya kenaikan harga barang domestik. Implikasi kebijakan yang dapat dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yaitu melalui kebijakan suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Ketika suku bunga SBI dinaikkan maka masyarakat akan cenderung menukarkan uangnya dengan surat berharga atau obligasi, karena suku bunga adalah harga uang dimasa depan. Sehingga jumlah uang beredar di masyarakat berkurang. Apabila uang rupiah relatif berkurang dibandingkan mata uang asing, maka nilai rupiah akan cenderung menguat terhadap mata uang asing. Ekpor bersih yang semakin meningkat akan membawa pengaruh positif terhadap pembangunan ekonomi Indonesia melalui pertumbuhan produk domestik bruto. Untuk itu pemerintah harus menggalakkan kebijakan ekspor berjumlah lebih besar daripada impor, dan kebijakan mencintai produk Indonesia. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah perolehan surplus perdagangan luar negeri yang berpengaruh terhadap cadangan devisa Indonesia yang melimpah. Devisa yang dihasilkan dari ekspor merupakan penebus dari impor. Peningkatan cadangan devisa akan meningkatkan pendapatan pemerintah dan memperkecil perluang terjadinya defisit anggaran. Peningkatan cadangan devisa ini juga dapat membantu Indonesia mengatasi masalah utang luar negeri. Akan lebih baik lagi apabila Industri nasional memiliki orientasi ekspor sehingga terjadi perluasan kesempatan kerja atau tingkat penyerapan angkatan kerja mengalami peningkatan. Kondisi tersebut akan menyebabkan neraca pembayaran yang favorable/sehat. Artinya total ekspor lebih besar dibandingkan dengan total impor dan peningkatan cadangan devisa yang diperoleh dari surplus ekspor bukan dari bertambahnya utang luar negeri. Pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian pembangunan ekonomi yang bersifat konkret dan nyata. Dalam pandangan permintaan agregat Keynesian, pendapatan nasional dihasilkan lewat konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ditambah keseimbangan ekspor impor (ekspor bersih). Jadi produk domestik bruto meningkat, jika pelaku ekonomi dalam arus kegiatan ekonomi melakukan aktivitas belanja yang meningkat. Dengan kata lain, terjadi peningkatan belanja 59 konsumsi oleh konsumen, produsen memperbesar investasinya, belanja negara meningkat dan terjadi peningkatan ekspor bersih. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi pemerintah yang diberlakukan adalah kebijakan berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh perluasan kesempatan kerja, perkembangan harga dan nilai tukar yang stabil, serta utang luar negeri yang terkendali sehingga tidak terjadi “gali lubang, tutup lubang” dalam APBN. 60 BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Negara Indonesia setiap tahunnya mengalami pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ini dibarengi dengan peningkatan pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya. Bahkan dalam beberapa tahun Indonesia mengalami tahun-tahun defisit anggaran yakni pengeluaran pemerintah lebih besar daripada penerimaan pemerintah. Berdasarkan hasil penelitian, dalam jangka pendek variabel yang signifikan adalah variabel ekspor bersih dan pertumbuhan ekonomi. Sementara variabel yang signifikan dalam jangka panjang adalah variabel nilai tukar, ekspor bersih, inflasi, pertumbuhan ekonomi. Variabel yang signifikan dalam jangka pendek signifikan juga dalam jangka panjang namun memiliki pengaruh yang berbeda. Hal ini ditandai dengan perbedaan tanda koefisien variabel tersebut. Dalam jangka pendek penerimaan pemerintah Indonesia yang berasal dari penerimaan pajak memiliki hubungan positif, namun tidak signifikan terhadap pengeluaran pemerintah Indonesia. 2. Hasil Impulse Response Function (IRF) menunjukkan bahwa jika suatu guncangan diberikan terhadap variabel ekonomi seperti pertumbuhan PDB (GW), investasi (INV), inflasi (INF), ekspor bersih (NE), penerimaan pajak (TR) dan nilai tukar (ER) akan menyebabkan respon yang fluktuatif terhadap variabel pengeluaran pemerintah (G). 3. Hasil Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan variabilitas pengeluaran pemerintah adalah nilai tukar, inflasi dan pertumbuhan PDB negara Indonesia. Selain dari variabel nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi tersebut hanya memberikan kontribusi yang kecil terhadap variabilitas pengeluaran pemerintah. 61 DAFTAR PUSTAKA Alfirman, Luky dan Edy Sutriono. 2006. “Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregression”. Jurnal Keuangan Publik,Vol 4, No 1. Aprilina. 2012. Analisis Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Terhadap Beban Utang Luar Negeri Indonesia (periode 1986-2010) [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor (IPB). Basri, Faisal. 2005. Perekonomian Indonesia. Erlangga : Jakarta Boediono, 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Biro Riset Ekonomi. Januari 2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012. Integrasi Ekonomi Asean dan Prospek Perekonomian Nasional. Bank Indonesia : Jakarta. Direktorat Penelitian Dan Pengaturan Perbankan, Biro Stabilitas Sistem Keuangan. 2011. Kajian Stabilitas Keuangan. Bank Indonesia : Jakarta. Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Raja Grafindo Persada: Jakarta Dumairy, J. 1997. Perekonomian Indonesia. Erlangga : Jakarta. Enders, Walter. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. United States Of America : John Wiley & Sons. Firdaus, Muhammad. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor : IPB Press. Gujarati, D. 2000. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [Penerjemah]. Erlangga : Jakarta. Gulo, Angandrowa. 2008. Analisis Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara. Hadi, H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Ghalia Indonesia : Jakarta. Hartono, Djoni. 2005. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Cadangan Devisa dan Pengganda Uang Terhadap Jumlah Uang Beredar di Indonesia [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 62 Hendra, Halwani . 2005. Ekonomi Internasional dan globalisasi Ekonomi edisi 2. Bogor: Ghalia Indonesia Inggrid. 2006. “Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ; Pendekatan Kausaliatas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM)”. Jurnal Ekonomi, 3 : 40-50. Jiranyakul. 2007. The Relation Between Government Expenditure and Economic Growth In Thailand. Journal Of Economics and Economic education Research, 8 : 93-102. Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Juanda, Bambang. Dkk. 2012. Ekonometrika Deret Waktu Teori dan Aplikasi. IPB Press : Bogor. Kuncoro, Haryo. 2002. Analisis Kebijakan Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara. Manalu. 2004. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara. Mankiw, Gregory. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi ke-5. Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Mangkoesoebroto, G. 1994. Kebijakan Publik Indonesia dan Urgensi. Gramedia Pustaka Umum : Jakarta. Novianti, Andini. 2012. Analisis Hubungan Pinjaman Luar Negeri dan Kebijakan Fiskal di Indonesia [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor (IPB). Praditya, A. 2012. Analisis Pengaruh Capital Inflow Terhadap Nilai Tukar Rupiah [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor (IPB). Pratidina,O.S. 2012. Analisis Pengaruh Guncangan Eksternal dan Internal Terhadap Inflasi Indonesia [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor (IPB). Ramayadi. 2003. Economic Growth and Government Size In Indonesia: Some Lessons For The Local Authorities Departement of Economic. Bandung : Universitas Padjadjaran. Risandewi, Tri. 2005. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Cadangan Devisa, dan Penggandaan Uang Terhadap Jumlah Uang Beredar di Indonesia [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 63 Sagir, H. Suharno, dkk. 2009. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Prenada Media Group : Jakarta. Samuelson, Paul A. 1997. Ekonomi Jilid I. Erlangga: Jakarta Sukirno, Sadono. 2006. Teori Pengantar Makroekonomi. Edisi ketiga. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah. Andi Yogyakarta: Yogyakarta Surjaningsih, N. Budi Tristnanto dan G. A. Diah Utari. April 2012. “ Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan : 389-420 Swaramarinda, D.R dan Susi Indriani. “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Konsumsi dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”. Jurnal Ekonosains, 8:94-10. Winarno, W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Manajemen YKPN (UPP STIM YKPN) : Yogyakarta. Wahyuningtyas, A.E. 2010. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Defisit Anggaran Terhadap Investasi di Indonesia (1986-2008) [Skripsi]. Semarang : Universitas Diponegoro. Manalu. 2004. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara. 64 LAMPIRAN Lampiran 1 Data-data yang digunakan Tahun Pengeluaran Pemerintah (Miliar Rupiah) 1984 15852,41 1985 20878,3 1986 19843,77 1987 21681,78 1988 26029,17 1989 32752,69 1990 36143 1991 43091 1992 50288 1993 52018 1994 59228 1995 67303 1996 78500 1997 89391 1998 230627 1999 43091 2000 223907,1 2001 340705 2002 345605 2003 377248 2004 430041 2005 565070 2006 699099 2007 752370 2008 989494 2009 1000844 2010 1126146 2011* 1229558 Pertumbuhan Ekonomi (Persen) 7,17 3,48 5,96 5,30 6,35 9,08 9,00 8,93 7,22 7,25 7,54 8,39 7,64 4,70 -13 0,79 4,92 3,64 4,50 4,78 5,03 5,69 5,50 6,34 6,01 4,63 6,19 6,46 Investasi (Miliar Rupiah) Inflasi (Persen) Ekspor Bersih (Juta US$) Nilai Tukar (RP/US$) 3235,04 4683,35 5503,92 12949,40 21643,80 27944,47 37036,20 58204,83 50311,73 56433,91 104571,07 159634,33 170833,1 216848,01 193726,54 139041,21 219270,66 216735,34 116369,63 161974,27 132223,71 176541,51 305945,54 555808,91 164482,13 150365,54 207970,19 378471,48 10,44 4,74 5,82 9,28 8,05 6,42 7,80 9,41 7,54 9,69 9,24 8,64 6,47 11,05 77,63 2,01 9,35 12,55 10,03 5,06 6,4 17,11 6,6 7,36 11,06 2,78 6,96 5,65 5707 5822 2458 4674 5678 6664 5352 4801 7022 8231 7901 6533 5948 10075 18428,83 20643,44 25042,02 22696,10 23513,23 24563,07 20152,29 17533,56 29659,96 32754,14 22915,44 30931,65 30627,44 35347,27 1,027 1,110 1,289 1,644 1,687 1,772 1,848 1,951 2,031 2,085 2,162 2,249 2,343 2,866 9,804 7,850 8,438 10,255 9,350 8,593 9,290 9,705 9,164 9,140 9,691 10,408 9,087 8,700 Penerimaan Pajak (Miliar Rupiah) 4793,7 6329,5 8482,3 9930,5 12344,6 16084,4 22010,9 39098 44499,9 47344 59481 63720 74811 100409,1 143039,7 170185,3 111064 190614,2 215467,5 249404,3 283093 346851,1 409203,02 490988,6 645121,4 640829,7 699593,87 839540 65 66 Lampiran 2. Pengujian Akar Unit Pengujian akar unit Nilai Tukar (ER) Null Hypothesis: ER has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -1.390764 -3.699871 -2.976263 -2.627420 0.5717 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(ER) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.314595 -3.711457 -2.981038 -2.629906 0.0002 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Pengujian akar unit Pengeluaran Pemerintah (G) Null Hypothesis: G has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -5.692273 -4.339330 -3.587527 -3.229230 0.0004 67 Null Hypothesis: D(G) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -6.616552 -4.374307 -3.603202 -3.238054 0.0001 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Pengujian akar unit Pertumbuhan Ekonomi (GW) Null Hypothesis: GW has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -3.484692 -3.699871 -2.976263 -2.627420 0.0165 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(GW) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -6.494443 -3.711457 -2.981038 -2.629906 0.0000 68 Pengujian akar unit Inflasi (INF) Null Hypothesis: INF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.446965 -3.699871 -2.976263 -2.627420 0.0001 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(INF) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -6.284779 -3.724070 -2.986225 -2.632604 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Pengujian akar unit Investasi (INV) Null Hypothesis: INV has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -2.463660 -3.699871 -2.976263 -2.627420 0.1351 69 Null Hypothesis: D(INV) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -4.703183 -3.711457 -2.981038 -2.629906 0.0009 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Pengujian akar unit Ekspor Bersih (NE) Null Hypothesis: NE has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -0.823032 -3.699871 -2.976263 -2.627420 0.7963 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(NE) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -5.922290 -3.724070 -2.986225 -2.632604 0.0001 70 Pengujian akar unit Penerimaan Pajak (TR) Null Hypothesis: TR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -1.655848 -3.699871 -2.976263 -2.627420 0.4414 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(TR) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -6.031328 -3.711457 -2.981038 -2.629906 0.0000 71 Lampiran 3 Pengujian Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: ER G GW INF INV NE TR Exogenous variables: C Date: 12/16/12 Time: 23:42 Sample: 1984 2011 Included observations: 26 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 -217.4905 -39.56223 33.63550 NA 246.3622* 61.93655 0.074544 4.24e-06 1.77e-06* 17.26850 7.350941 5.489577* 17.60722 10.06069* 10.57035 17.36604 8.131250 6.952656* * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion Lampiran 4 Pengujian Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: ER G GW INF INV NE TR Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 10/09/12 Time: 21:38 Root 0.949791 0.674162 - 0.294734i 0.674162 + 0.294734i 0.679999 -0.251726 - 0.260855i -0.251726 + 0.260855i 0.143282 Modulus 0.949791 0.735774 0.735774 0.679999 0.362507 0.362507 0.143282 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. 72 Lampiran 5 Uji Kausalitas Granger Pairwise Granger Causality Tests Date: 10/09/12 Time: 22:10 Sample: 1984 2011 Lags: 1 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob. G does not Granger Cause ER ER does not Granger Cause G 27 0.06339 1.20580 0.8034 0.2831 GW does not Granger Cause ER ER does not Granger Cause GW 27 0.12353 3.6E-11 0.7283 1.0000 INF does not Granger Cause ER ER does not Granger Cause INF 27 0.66890 0.06141 0.4215 0.8064 INV does not Granger Cause ER ER does not Granger Cause INV 27 3.55336 0.08450 0.0716 0.7738 NE does not Granger Cause ER ER does not Granger Cause NE 27 0.23345 13.3655 0.6334 0.0013 TR does not Granger Cause ER ER does not Granger Cause TR 27 1.73875 1.1E-07 0.1997 0.9997 GW does not Granger Cause G G does not Granger Cause GW 27 7.28110 0.03566 0.0126 0.8518 INF does not Granger Cause G G does not Granger Cause INF 27 30.1098 0.03858 1.E-05 0.8459 INV does not Granger Cause G G does not Granger Cause INV 27 1.66054 0.09838 0.2098 0.7565 NE does not Granger Cause G G does not Granger Cause NE 27 3.56894 3.90651 0.0710 0.0597 TR does not Granger Cause G G does not Granger Cause TR 27 8.98484 11.6103 0.0062 0.0023 INF does not Granger Cause GW GW does not Granger Cause INF 27 0.11960 0.07785 0.7325 0.7826 INV does not Granger Cause GW GW does not Granger Cause INV 27 0.64867 0.68978 0.4285 0.4144 NE does not Granger Cause GW 27 0.02678 0.8714 73 GW does not Granger Cause NE 0.07000 0.7936 TR does not Granger Cause GW GW does not Granger Cause TR 27 0.16260 0.81929 0.6903 0.3744 INV does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause INV 27 1.00124 1.07918 0.3270 0.3092 NE does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause NE 27 0.01993 0.35052 0.8889 0.5594 TR does not Granger Cause INF INF does not Granger Cause TR 27 0.04104 0.08016 0.8412 0.7795 NE does not Granger Cause INV INV does not Granger Cause NE 27 0.02349 4.19607 0.8795 0.0516 TR does not Granger Cause INV INV does not Granger Cause TR 27 1.59793 2.07690 0.2183 0.1625 TR does not Granger Cause NE NE does not Granger Cause TR 27 12.1706 0.34525 0.0019 0.5623 Lampiran 6 Uji Kointegrasi Date: 12/16/12 Time: 23:56 Sample (adjusted): 1986 2011 Included observations: 26 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: ER G GW INF INV NE TR Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 0.935471 0.914792 0.717396 0.513988 0.470493 0.248177 0.111858 213.9335 142.6769 78.64778 45.79138 27.03182 10.50081 3.084205 125.6154 95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466 0.0000 0.0000 0.0083 0.0772 0.1008 0.2442 0.0791 Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 At most 3 0.935471 0.914792 0.717396 0.513988 71.25662 64.02912 32.85640 18.75957 46.23142 40.07757 33.87687 27.58434 0.0000 0.0000 0.0658 0.4333 74 At most 4 At most 5 At most 6 0.470493 0.248177 0.111858 16.53101 7.416605 3.084205 21.13162 14.26460 3.841466 0.1953 0.4411 0.0791 Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): ER 0.554569 -0.634430 5.584729 -1.677831 0.473223 2.681046 -5.613431 G 1.447126 0.457386 -1.107379 5.947459 -1.152921 3.548785 4.615966 GW -0.504007 0.349412 1.163910 0.076642 0.103611 -0.542800 -0.032422 INF 0.091824 0.288563 0.189246 0.130231 0.041536 -0.092232 0.091480 INV -0.250070 -0.760293 -1.422229 2.935371 0.748257 1.675638 -0.185382 NE -6.902289 2.347990 -0.725415 -1.935773 1.421142 -3.586818 0.612241 TR 1.447355 -0.908102 0.195142 -6.293644 0.202399 -4.461925 -1.050485 -0.137935 -0.069881 1.422092 -5.516441 0.064899 -0.005969 -0.007194 0.019331 -0.018595 -0.417338 -0.102897 -0.038698 0.021546 0.041146 -0.025130 0.012823 0.273269 -2.380590 -0.213433 -0.027291 -0.025851 -0.031897 -0.024433 0.684338 -1.591051 -0.031814 0.013439 0.004293 Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(ER) D(G) D(GW) D(INF) D(INV) D(NE) D(TR) 0.012466 0.002426 -0.253707 -1.992512 0.161316 0.213307 -0.040157 -0.131998 -0.128943 2.851961 -11.23467 0.079528 -0.143231 -0.010047 -0.029627 -0.041891 0.413746 -1.744577 -0.015452 -0.008660 -0.024234 75 Lampiran 7 Hasil Estimasi VECM Vector Error Correction Estimates Date: 11/07/12 Time: 00:51 Sample (adjusted): 1986 2011 Included observations: 26 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq: CointEq1 CointEq2 CointEq3 G(-1) 1.000000 0.000000 0.000000 TR(-1) 0.000000 1.000000 0.000000 INV(-1) 0.000000 0.000000 1.000000 ER(-1) -1.763985 (0.39858) [-4.42568] 1.747139 (0.36978) [ 4.72483] -2.313543 (0.50232) [-4.60569] NE(-1) -0.951694 (0.46263) [-2.05715] -3.688644 (0.42920) [-8.59427] 0.744952 (0.58304) [ 1.27770] INF(-1) 0.103044 (0.01964) [ 5.24666] -0.078293 (0.01822) [-4.29695] -0.224037 (0.02475) [-9.05135] GW(-1) -0.350687 (0.05949) [-5.89491] -0.094042 (0.05519) [-1.70394] -0.558221 (0.07497) [-7.44551] C 12.57825 9.989321 6.221790 76 Error Correction: D(G) D(TR) D(INV) D(ER) D(NE) D(INF) D(GW) CointEq1 0.021919 (0.07291) [ 0.30064] -0.054741 (0.04894) [-1.11847] 0.197952 (0.16088) [ 1.23044] 0.110413 (0.07380) [ 1.49615] 0.249781 (0.04589) [ 5.44348] -1.913198 (4.15858) [-0.46006] -0.637495 (1.13491) [-0.56171] CointEq2 0.106968 (0.06674) [ 1.60282] -0.050401 (0.04480) [-1.12500] 0.173927 (0.14727) [ 1.18105] 0.110993 (0.06755) [ 1.64305] 0.437635 (0.04200) [ 10.4191] 6.241856 (3.80667) [ 1.63971] -2.679564 (1.03887) [-2.57930] CointEq3 0.196814 (0.06333) [ 3.10773] 0.027912 (0.04251) [ 0.65654] -0.193107 (0.13975) [-1.38183] 0.293415 (0.06410) [ 4.57712] 0.064045 (0.03986) [ 1.60679] 16.88555 (3.61235) [ 4.67440] -4.127424 (0.98584) [-4.18670] D(G(-1)) -0.024003 (0.20069) [-0.11960] 0.062149 (0.13473) [ 0.46130] -0.000511 (0.44286) [-0.00115] 0.105112 (0.20315) [ 0.51742] 0.313899 (0.12631) [ 2.48509] -2.781924 (11.4475) [-0.24302] -1.715222 (3.12413) [-0.54902] D(TR(-1)) 0.615376 (0.34447) [ 1.78643] -0.061165 (0.23125) [-0.26450] -1.050309 (0.76013) [-1.38175] 0.911317 (0.34868) [ 2.61358] 0.919471 (0.21681) [ 4.24100] 45.96076 (19.6487) [ 2.33913] -15.74779 (5.36229) [-2.93677] D(INV(-1)) -0.134906 (0.11645) [-1.15844] 0.105501 (0.07818) [ 1.34952] 0.292846 (0.25697) [ 1.13959] -0.193120 (0.11788) [-1.63829] -0.191747 (0.07329) [-2.61612] -8.712741 (6.64256) [-1.31165] 3.464089 (1.81281) [ 1.91089] D(ER(-1)) 0.232028 (0.64302) [ 0.36084] 0.179308 (0.43166) [ 0.41539] -1.919291 (1.41891) [-1.35265] -0.281560 (0.65088) [-0.43258] -1.047904 (0.40470) [-2.58930] 7.473523 (36.6776) [ 0.20376] 7.314371 (10.0096) [ 0.73073] D(NE(-1)) 0.499099 (0.20349) [ 2.45276] -0.118910 (0.13660) [-0.87049] -0.012607 (0.44902) [-0.02808] 0.407302 (0.20597) [ 1.97745] 0.931583 (0.12807) [ 7.27400] 22.74922 (11.6068) [ 1.96000] -8.441872 (3.16758) [-2.66508] D(INF(-1)) 0.016210 (0.01035) 0.006741 (0.00695) -0.019877 (0.02283) 0.031726 (0.01047) 0.020637 (0.00651) 1.790344 (0.59026) -0.555912 (0.16109) 77 [ 1.56646] [ 0.97035] [-0.87045] [ 3.02886] [ 3.16867] [ 3.03316] [-3.45102] D(GW(-1)) 0.131465 (0.03462) [ 3.79761] -0.003095 (0.02324) [-0.13316] -0.032816 (0.07639) [-0.42958] 0.103650 (0.03504) [ 2.95796] 0.128974 (0.02179) [ 5.91954] 4.555295 (1.97459) [ 2.30695] -1.493601 (0.53888) [-2.77165] C 0.019372 (0.09132) [ 0.21212] 0.166188 (0.06131) [ 2.71074] 0.481496 (0.20152) [ 2.38930] -0.076552 (0.09244) [-0.82811] -0.092697 (0.05748) [-1.61273] -8.621330 (5.20915) [-1.65504] 2.665247 (1.42162) [ 1.87479] 0.909204 0.848673 0.587307 0.197873 15.02046 12.38155 -0.106273 0.425998 0.156538 0.508661 0.679109 0.465182 0.264672 0.132834 3.174490 22.74329 -0.903330 -0.371059 0.188077 0.181637 0.413246 0.022077 2.859759 0.436636 1.056438 -8.196734 1.476672 2.008943 0.168846 0.441537 0.630910 0.384851 0.601758 0.200293 2.564053 12.06555 -0.081965 0.450306 0.079231 0.255373 0.912460 0.854099 0.232646 0.124538 15.63494 24.41993 -1.032303 -0.500031 0.069231 0.326042 0.820269 0.700448 1910.826 11.28665 6.845784 -92.75593 7.981225 8.513497 0.035000 20.62189 0.744253 0.573756 142.3168 3.080225 4.365180 -58.99187 5.383990 5.916262 0.114615 4.717948 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 4.85E-08 1.03E-09 10.73981 6.712322 11.45438 78 Lampiran 7 Impulse Response Function Period ER G GDP GW INF INV NE TR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 0.000000 -0.020558 -0.007005 -0.001963 0.006062 0.012014 0.016505 0.018672 0.018958 0.017748 0.015652 0.013249 0.011031 0.009329 0.008304 0.007960 0.008184 0.008796 0.009592 0.010390 0.011053 0.011499 0.011705 0.011692 0.011515 0.011241 0.010937 0.010659 0.097659 0.000466 0.043824 0.017505 0.021040 0.019908 0.022324 0.024218 0.026410 0.027779 0.028309 0.027981 0.027004 0.025637 0.024164 0.022821 0.021773 0.021099 0.020799 0.020813 0.021045 0.021390 0.021749 0.022047 0.022241 0.022314 0.022276 0.022153 0.032875 0.025755 0.024932 0.023664 0.024079 0.024503 0.024959 0.025172 0.025107 0.024756 0.024201 0.023543 0.022885 0.022311 0.021874 0.021595 0.021466 0.021457 0.021528 0.021636 0.021743 0.021823 0.021860 0.021850 0.021798 0.021717 0.021619 0.021517 -0.201844 0.051154 -0.126815 -0.139420 -0.156834 -0.143280 -0.117737 -0.080545 -0.043578 -0.012200 0.009671 0.020882 0.022215 0.015982 0.005163 -0.007238 -0.018708 -0.027526 -0.032849 -0.034642 -0.033474 -0.030272 -0.026078 -0.021839 -0.018273 -0.015807 -0.014574 -0.014466 1.844633 -1.340152 0.330167 -0.049319 0.155251 0.102268 0.083481 0.013456 -0.043556 -0.090884 -0.117080 -0.122698 -0.110144 -0.085408 -0.054960 -0.024877 0.000250 0.017706 0.026683 0.027954 0.023356 0.015229 0.005898 -0.002707 -0.009276 -0.013179 -0.014402 -0.013393 -0.085778 -0.075526 -0.041011 -0.028635 -0.011074 -0.001881 0.003545 0.005771 0.006243 0.005711 0.005012 0.004618 0.004763 0.005465 0.006601 0.007971 0.009359 0.010580 0.011510 0.012095 0.012342 0.012309 0.012083 0.011756 0.011413 0.011118 0.010909 0.010800 0.014695 0.010438 0.002324 0.004446 0.009733 0.013327 0.015441 0.016392 0.016187 0.015136 0.013658 0.012118 0.010792 0.009852 0.009363 0.009292 0.009547 0.010000 0.010524 0.011009 0.011381 0.011601 0.011668 0.011605 0.011452 0.011254 0.011052 0.010878 -0.019825 0.007513 -0.005324 0.006239 0.005789 0.009267 0.011832 0.014468 0.016588 0.018366 0.019650 0.020472 0.020879 0.020967 0.020840 0.020601 0.020340 0.020119 0.019973 0.019913 0.019929 0.019999 0.020096 0.020193 0.020270 0.020314 0.020320 0.020293 79 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 0.010443 0.010308 0.010252 0.010261 0.010314 0.010388 0.010462 0.010519 0.010550 0.010554 0.010533 0.010493 0.010443 0.010390 0.010340 0.010297 0.010264 0.010240 0.010224 0.010212 0.010203 0.010194 0.021979 0.021789 0.021610 0.021464 0.021358 0.021294 0.021264 0.021259 0.021264 0.021270 0.021269 0.021255 0.021226 0.021185 0.021134 0.021078 0.021019 0.020962 0.020909 0.020861 0.020818 0.020779 0.021423 0.021343 0.021279 0.021232 0.021198 0.021171 0.021149 0.021126 0.021099 0.021067 0.021029 0.020987 0.020941 0.020894 0.020846 0.020799 0.020754 0.020711 0.020670 0.020630 0.020591 0.020553 -0.015213 -0.016468 -0.017885 -0.019177 -0.020151 -0.020716 -0.020873 -0.020690 -0.020277 -0.019755 -0.019234 -0.018794 -0.018483 -0.018316 -0.018277 -0.018336 -0.018451 -0.018583 -0.018699 -0.018777 -0.018808 -0.018791 -0.010867 -0.007620 -0.004374 -0.001670 0.000176 0.001071 0.001105 0.000491 -0.000504 -0.001614 -0.002622 -0.003381 -0.003824 -0.003955 -0.003828 -0.003529 -0.003150 -0.002774 -0.002462 -0.002252 -0.002151 -0.002148 0.010783 0.010835 0.010929 0.011035 0.011130 0.011197 0.011228 0.011224 0.011192 0.011139 0.011077 0.011014 0.010959 0.010914 0.010882 0.010860 0.010847 0.010838 0.010831 0.010823 0.010812 0.010796 0.010750 0.010675 0.010649 0.010660 0.010694 0.010736 0.010772 0.010795 0.010801 0.010789 0.010762 0.010725 0.010684 0.010642 0.010603 0.010570 0.010544 0.010522 0.010506 0.010491 0.010478 0.010464 0.020238 0.020166 0.020087 0.020010 0.019941 0.019883 0.019837 0.019801 0.019772 0.019747 0.019722 0.019695 0.019665 0.019631 0.019593 0.019552 0.019509 0.019466 0.019423 0.019382 0.019341 0.019302 Cholesky Ordering: ER G GDP GW INF INV NE TR 80 Lampiran 8 Variance Decomposition of G Period S.E. ER G GW INF INV NE TR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 0.218746 0.280630 0.362608 0.429341 0.462001 0.474568 0.482458 0.488479 0.494750 0.501882 0.507680 0.511237 0.512932 0.513805 0.514491 0.515362 0.516593 0.517959 0.519166 0.520095 0.520757 0.521206 0.521530 0.521797 0.522030 0.522232 0.522407 71.49519 63.63957 53.56970 52.46790 49.40188 46.59729 47.29851 47.49283 47.43438 47.40361 47.28383 46.95238 46.71843 46.45878 46.30126 46.20607 46.21348 46.24969 46.32406 46.40988 46.49625 46.56067 46.61002 46.64060 46.65665 46.66145 46.66152 28.50481 15.41594 16.90239 13.74302 14.38521 14.49566 13.24680 12.60332 12.38410 11.99519 11.69011 11.50780 11.33607 11.17541 11.05744 10.96039 10.86764 10.77794 10.70183 10.62739 10.55424 10.48317 10.41661 10.35454 10.29883 10.24898 10.20435 0.000000 0.946381 0.588995 2.500014 2.743763 4.168928 5.339076 5.768646 6.095202 6.109342 6.096476 6.010714 5.941858 5.943895 5.937299 5.923762 5.895852 5.856205 5.806124 5.758707 5.718728 5.683985 5.652298 5.622415 5.594179 5.567087 5.541877 0.000000 7.194485 5.166439 4.273723 4.988922 6.583783 5.767039 5.471939 5.281994 5.122816 5.092906 5.254780 5.605227 5.853948 5.990784 6.074173 6.142392 6.165911 6.154094 6.125662 6.097300 6.074744 6.059187 6.050406 6.050549 6.059546 6.074602 0.000000 1.474333 0.896930 0.734060 0.658899 1.735533 3.115753 4.294122 4.871425 5.655289 6.408676 7.012542 7.314640 7.514024 7.680062 7.846074 7.976435 8.092089 8.207747 8.342416 8.483716 8.624329 8.756845 8.884417 9.003042 9.109344 9.200637 0.000000 3.018321 10.95628 12.87636 13.10019 12.20224 13.01065 12.37199 11.89864 11.56454 11.42695 11.26074 11.09149 10.95934 10.85669 10.76346 10.66623 10.57696 10.48678 10.39763 10.31376 10.23541 10.16363 10.09957 10.04337 9.993280 9.948136 0.000000 8.310967 11.91927 13.40493 14.72113 14.21656 12.22218 11.99716 12.03426 12.14921 12.00106 12.00104 11.99228 12.09459 12.17647 12.22606 12.23797 12.28121 12.31938 12.33831 12.33601 12.33770 12.34140 12.34805 12.35337 12.36031 12.36888 81 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 0.522564 0.522713 0.522863 0.523017 0.523173 0.523325 0.523467 0.523594 0.523706 0.523804 0.523890 0.523967 0.524035 0.524098 0.524155 0.524209 0.524259 0.524307 0.524352 0.524394 0.524434 0.524470 0.524504 46.65863 46.65646 46.65665 46.66033 46.66689 46.67587 46.68609 46.69656 46.70636 46.71503 46.72228 46.72817 46.73284 46.73659 46.73968 46.74237 46.74487 46.74731 46.74975 46.75219 46.75460 46.75695 46.75918 10.16436 10.12866 10.09644 10.06712 10.04027 10.01557 9.992710 9.971465 9.951684 9.933295 9.916251 9.900516 9.886030 9.872725 9.860521 9.849334 9.839072 9.829647 9.820977 9.812988 9.805617 9.798808 9.792512 5.519312 5.499268 5.481194 5.464539 5.448980 5.434372 5.420735 5.408104 5.396461 5.385750 5.375899 5.366832 5.358477 5.350783 5.343710 5.337211 5.331238 5.325739 5.320668 5.315986 5.311660 5.307663 5.303971 6.090917 6.105917 6.118566 6.128522 6.135421 6.139566 6.141715 6.142776 6.143398 6.144006 6.144861 6.146130 6.147835 6.149874 6.152073 6.154271 6.156343 6.158207 6.159818 6.161171 6.162296 6.163237 6.164045 9.279385 9.348053 9.408899 9.463081 9.512187 9.557565 9.600257 9.640571 9.678594 9.714306 9.747727 9.778787 9.807426 9.833643 9.857557 9.879344 9.899210 9.917358 9.933989 9.949291 9.963420 9.976500 9.988625 9.907619 9.871235 9.838178 9.807765 9.779586 9.753345 9.728885 9.706115 9.684977 9.665429 9.647435 9.630924 9.615793 9.601932 9.589232 9.577585 9.566886 9.557037 9.547954 9.539563 9.531806 9.524632 9.517997 12.37977 12.39041 12.40007 12.40864 12.41667 12.42371 12.42960 12.43440 12.43853 12.44219 12.44554 12.44864 12.45160 12.45445 12.45723 12.45988 12.46238 12.46470 12.46685 12.46881 12.47060 12.47221 12.47367 Cholesky Ordering: ER G GW INF INV NE TR 82