analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah

advertisement
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENGELUARAN PEMERINTAH INDONESIA
OLEH
NENTI SIMBOLON
H14080073
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ABSTRACT
Indonesia is one of the ASEAN countries are experiencing economic growth
every year. In 2008 when the current world financial crisis GDP growth in Indonesia
has decreased at least compared to other ASEAN countries. This is because the
amount of consumption of Indonesia has a major influence on the economy of
Indonesia. Economic growth in Indonesia is directly proportional to the Indonesian
government spending. Indonesia government spending has increased every year.
Increased government spending each year Indonesia Indonesia's economy even cause
the budget deficit. Where government spending is greater than government revenues.
Government revenue derived from the tax could not afford the amount of government
spending.
The purpose of this study was to analyze the relationship between
economic growth in Indonesia by the Indonesian government expenditure and also
analyzes the factors that influence the increase in government spending in Indonesia.
The method of analysis used in this study is a method of VAR and VECM. The
variables used in this study is variable spending (G), economic growth (GW),
exchange rate (ER), inflation (INF), investment (INV), net exports (NE), and tax
revenue (TR). The time period used in this study was the period/year 1984 to 2011.
Based on this research, in the short term tax revenue, exchange rate, inflation
has a positive, but not significant. While variable net exports and GDP growth has a
positive and significant. In the long term variable rate (ER), net exports (NE) and
GDP growth (GW) and a significant negative effect on government spending. While
the inflation variable has a positive and significant impact on government spending.
IRF outcome variables that describe the response of macroeconomic
variables such as inflation, exchange rates, investment, GDP growth, net exports or
the balance of trade, tax revenue to government spending shocks. The results show
that a variant FEVD government spending predominantly explained by the variable
itself from the beginning of the period until the end of the period. FEVD results also
showed that the variables that contributed greatly to shocks in government spending
is the exchange rate, inflation and GDP growth in the country of Indonesia.
Keywords: Government Expenditures of Indonesia, VAR Methods , VECM,
IRF, FEVD
RINGKASAN
NENTI SIMBOLON. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran
Pemerintah Indonesia (dibimbing oleh Dr. Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec).
Indonesia adalah salah satu negara kawasan ASEAN yang mengalami
peningkatan pertumbuhan ekonomi setiap tahun. Pada tahun 2008 dimana saat
terjadinya krisis keuangan dunia pertumbuhan PDB Indonesia mengalami
penurunan paling sedikit dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Hal ini dikarenakan jumlah konsumsi Indonesia memiliki pengaruh besar
terhadap perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini
berbanding lurus dengan pengeluaran pemerintah Indonesia. Pengeluaran
pemerintah Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan
pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya bahkan menyebabkan
perekonomian Indonesia mengalami defisit anggaran. Dimana pengeluaran
pemerintah lebih besar dibandingkan pendapatan pemerintah. Penerimaan
pemerintah yang berasal dari pajak tidak mampu membiayai
besarnya
pengeluaran pemerintah.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keterkaitan antara
pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan pengeluaran pemerintah Indonesia dan
juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran
pemerintah Indonesia. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode VAR dan VECM. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah variabel pengeluaran pemerintah (G), pertumbuhan ekonomi (GW), nilai
tukar (ER), inflasi (INF), investasi (INV), ekspor bersih (NE), dan penerimaan
pajak (TR). Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah
periode/tahun 1984 sampai dengan 2011.
Berdasarkan hasil penelitian, dalam jangka pendek penerimaan pajak, nilai
tukar, inflasi memiliki pengaruh positif, namun tidak signifikan. Sedangkan
variabel ekspor bersih dan pertumbuhan PDB memiliki pengaruh positif dan
signifikan. Dalam jangka panjang variabel nilai tukar (ER), ekspor bersih (NE)
dan pertumbuhan PDB (GW) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
pengeluaran pemerintah. Sementara variabel inflasi memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap pengeluaran pemerintah.
Hasil IRF yang menggambarkan respon variabel variabel makroekonomi
seperti inflasi, nilai tukar, investasi, pertumbuhan PDB, ekspor bersih ataupun
neraca perdagangan, penerimaan pajak terhadap
guncangan pengeluaran
pemerintah. Hasil FEVD yang menunjukkan bahwa varian pengeluaran
pemerintah dominan dijelaskan oleh variabel itu sendiri dari awal periode hingga
akhir periode. Hasil FEVD juga menunjukkan bahwa variabel yang memberikan
kontribusi besar terhadap guncangan pada pengeluaran pemerintah adalah nilai
tukar, inflasi dan pertumbuhan PDB negara Indonesia.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENGELUARAN PEMERINTAH INDONESIA
Oleh
NENTI SIMBOLON
H14080073
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PENGELUARAN PEMERINTAH INDONESIA
Nama
: Nenti Simbolon
NIM
: H14080073
Menyetujui
Dosen Pembimbing
Dr. Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec
NIP. 19641022 198903 1 003
Mengetahui
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU TULISAN ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Desember 2012
Nenti Simbolon
H14080073
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nenti Simbolon lahir pada tanggal 10 Januari 1991 di
Desa Sianting-Anting, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Penulis adalah anak
ketujuh dari delapan bersaudara. Penulis adalah buah hati dari pasangan Boniara
Simbolon dan Rimpuna Sinurat. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun
1996 sampai dengan tahun 2002 di SD Negeri 2 Buhit Pangururan. Selanjutnya
penulis meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2002
sampai tahun 2005 di SMP Negeri 1 Pangururan. Setelah itu, pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 1
Pangururan dan lulus pada tahun 2008.
Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu
perguruan tinggi. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar
sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi
Ilmu Ekonom dan Studi Pembangunan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena
atas berkat rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengeluaran Pemerintah Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai
pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis
maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik.
2. Ibu Dr. Sahara selaku dosen penguji utama dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si
selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan saran
yang sangat berarti bagi perbaikan skripsi ini.
3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4. Kedua Orangtua tercinta penulis yaitu ayahanda Boniara Simbolon dan
Ibunda Rimpuna Sinurat yang telah memberikan doa, semangat, kasih
sayang serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Kakak dari penulis yaitu Roma Uli, Lasmia, Bintar Saroloan, Anita,
Yanto, Risbon dan adik penulis yaitu Lanna Uli Simbolon yang telah
memberi semangat, doa dan motivasi.
6. Sahabat-sahabat terbaik dan terhebat penulis yaitu: Dian Marhama, Meita
P. Tinambunan, Rosinta Dewi Kacaribu, Suci Maryanti Utami, Melinda
Carolina dan juga kak Chichi atas motivasi serta semangat yang sangat
berarti.
7. Teman-teman satu bimbingan skripsi Agung Praditya, Aprilina, Andini
Novrianti, Nisaul Haq yang telah banyak membantu selama proses
pembuatan skripsi ini.
8. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 45 yang telah membantu selama
bersama-sama menuntut ilmu di Departemen Ilmu Ekonomi.
Masih banyak pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu,
yang telah berjasa baik selama penulisan skripsi maupun selama menempuh
pendidikan di IPB. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
terdapat kekurangan. Pada akhirnya penulis berharap hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Desember 2012
Nenti Simbolon
H14080073
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ iii
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah......................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................... 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................ 10
2.1.1 Pengeluaran Pemerintah ........................................................... 10
2.1.2 Konsep Rezim Nilai Tukar ....................................................... 16
2.1.3 Krisis Keuangan ...................................................................... 18
2.1.4 Ekspor Neto ............................................................................. 20
2.1.5 Konsep Investasi ...................................................................... 21
2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi ............................................................. 24
2.1.7 Inflasi ...................................................................................... 27
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu ...................................................... 28
2.3 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 30
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 31
3.2 Defenisi Operasional Variabel ........................................................ 31
3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ............................................. 32
3.3.1 Model Umum VAR .............................................................. 34
3.3.2 Uji Stasionaritas .................................................................... 35
3.3.3 Metode Kausalitas Granger ................................................... 35
3.3.4 Uji Optimum Lag ................................................................. 36
3.3.5 Uji Stabilitas VAR ................................................................ 36
3.3.6 Uji Kointegrasi ..................................................................... 36
3.3.7 Model Vector Autoregression (VAR) .................................... 37
3.3.8 Model Vector Error Correction Model ................................ 37
3.4 Innovation Accounting .................................................................... 38
3.4.1 Impulse Response Function (IRF) ........................................ 38
3.4.2 Forecast Error Decomposition (FEVD) ............................... 38
3.5 Alat Analisis Data .......................................................................... 39
3.6 Tahapan Pengolahan Data .............................................................. 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji Pra Estimasi ............................................................................. 40
4.1.1 Uji Akar Unit ............................................................................. 40
4.1.2 Uji Lag Optimal ........................................................................ 42
4.1.3 Uji Stabilitas VAR ..................................................................... 43
4.1.4 Uji Kausalitas Granger .............................................................. 43
4.1.5 Uji Kointegrasi .......................................................................... 44
4.2 Hasil Estimasi VECM .................................................................... 46
4.3 Analisis Impulse Response Function (IRF) ..................................... 50
4.4 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) .............. 55
4.5 Implikasi Kebijakan ....................................................................... 57
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 61
LAMPIRAN ................................................................................................ 65
i
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.1 Ringkasan APBN Indonesia 2007-2011 .................................................... 2
1.2 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi ............................................... 4
3.1 Data, Simbol dan Sumber Data ................................................................ 33
4.1 Uji Akar Unit Pada Tingkat Level ........................................................... 43
4.2 Uji Akar Unit Pada Tingkat Diferensiasi Pertama .................................... 44
4.3 Hasil Uji Lag Optimal ............................................................................. 44
4.4 Hasil Uji Stabilitas VAR ......................................................................... 45
4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger ................................................................... 46
4.6 Hasil Uji Kointegrasi ............................................................................... 47
4.7 Hasil Estimasi VECM ............................................................................. 48
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1.1 Pertumbuhan PDB Indonesia ..................................................................... 5
1.2 Pengeluaran Pemerintah Indonesia ............................................................. 6
1.3 Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak Indonesia .......................... 7
2.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia .............................................................. 14
4.1 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Shock Pengeluaran Pemerintah 52
4.2 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Pertumbuhan PDB 53
4.3 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Investasi ............... 54
4.4 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Nilai Tukar .......... 55
4.5 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Inflasi ................... 55
4.6 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Penerimaan Pajak 56
4.7 Respon Pengeluaran Pemerintah Terhadap Guncangan Ekspor Bersih ...... 57
4.8 Variance Decomposition of G .................................................................. 58
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Data-data yang digunakan ......................................................................... 64
2. Pengujian akar unit .................................................................................... 65
3. Pengujian Lag Optimal .............................................................................. 70
4. Pengujian Stabilitas VAR .......................................................................... 70
5. Uji Kausalitas Granger .............................................................................. 71
6. Impulse Response Function ....................................................................... 73
7. Variance Decomposition of G .................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor
yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di
Amerika. Krisis yang terjadi di Amerika serikat pada tahun 2007-2009 merupakan
salah satu penyebab terjadinya krisis keuangan global. Krisis keuangan global ini
membawa
dampak
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
terhadap
perekonomian negara-negara yang ada di dunia ini. Indonesia secara tidak
langsung terkena dampak krisis keuangan global ini. Namun dampaknya tidak
begitu besar bagi perekonomian Indonesia. Walaupun krisis keuangan global
tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah tetap
melakukan berbagai kebijakan bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian
Indonesia. Hal ini dikarenakan negara Amerika Serikat merupakan salah satu
negara mitra dagang Indonesia. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan
makro yang dijalankan oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan
sektoral. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter
adalah kebijakan yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara
mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar.
Kebijakan fiskal yang dijalankan oleh pemerintah dapat terlihat melalui
kebijakan anggaran. Kebijakan anggaran di Indonesia
mendukung
kegiatan
ekonomi
nasional
dalam
ditujukan untuk
memacu
pertumbuhan,
menciptakan dan memperluas lapangan kerja meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Kebijakan anggaran memiliki
instrumen berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN
merupakan penjabaran rencana kerja para penyelenggara negara untuk kurun
waktu satu tahun yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi
daftar
sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan
pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. Indikator makroekonomi yang
digunakan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan anggaran (APBN) adalah
2
sebagai berikut : Pertumbuhan ekonomi, Inflasi, Nilai tukar, Suku bunga SBI,
Harga minyak internasional, Produksi minyak Indonesia.
Menurut data Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Direktorat
Jenderal Anggaran, pada tahun 2007 jumlah belanja negara Indonesia sebesar
757,6 triliun rupiah meningkat menjadi 1320,8 triliun rupiah pada tahun 2011.
Pendapatan negara dan hibah juga mengalami peningkatan dari tahun 2007
sebesar 707,8 triliun rupiah menjadi
1169,9 triliun rupiah. Dari data yang
diperoleh jumlah pendapatan dan hibah negara selalu lebih kecil dibandingkan
dengan belanja negara setiap tahunnya. Belanja negara/pengeluaran pemerintah
yang lebih besar dibandingkan penerimaan negara menyebabkan defisit anggaran.
Tabel 1.1 Ringkasan APBN Indonesia 2007 - 2011
Tahun Pendapatan dan
Hibah (triliun
Rupiah)
2007 707,8
2008 981,6
Belanja Negara Surplus /Defisit Utang Luar
(triliun Rupiah) anggaran (triliun Negeri
Rupiah)
(Miliar US$)
757,6
-49,8
62,25
985,7
-4,1
66,69
2009
2010
848,8
995,3
937,4
1.042,1
-88,6
-46,8
65,02
68,10
2011
1.169,9
1.320,8
-150,8
68,41
Sumber : Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Anggaran,
2012
Dari Tabel 1.1 dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah pendapatan dan
hibah negara Indonesia selalu lebih kecil dibandingkan dengan belanja
negara/pengeluaran negara. Hal ini membuktikan bahwa dari tahun 2007 hingga
2011 anggaran negara Indonesia mengalami defisit anggaran. Kebijakan anggaran
di suatu negara dalam prakteknya memiliki tiga kondisi, antara lain berimbang,
surplus, dan defisit. Anggaran negara berimbang adalah anggaran negara dimana
penerimaan negara jumlahnya sama dengan pengeluaran pemerintah, sementara
anggaran surplus adalah penerimaan negara lebih besar jumlahnya dibandingkan
dengan pengeluaran negara.
Banyak hal yang menjadi penyebab peningkatan belanja pemerintah, salah
satunya kenaikan harga minyak mentah dunia. Belanja pemerintah meningkat
akibat kenaikan harga minyak mentah dunia. Hal ini terjadi pada tahun 2010.
Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada APBN 2010 mengalami perubahan
3
yakni mengalami kenaikan hingga lebih dari 20 triliun rupiah. Akibatnya,
anggaran belanja negara dalam APBN 2010 naik dari target awal yakni menjadi
1042,1 triliun. Tahun 2012 dalam nota keuangan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) jumlah belanja
pemerintah menjadi 1058,31 triliun rupiah dari asumsi sebelumnya
964,997
triliun rupiah sehingga mengalami kenaikan sebesar 93,313 triliun rupiah. Salah
satu penyebab kenaikan belanja pemerintah karena anggaran belanja subsidi
energi membengkak. Anggaran belanja subsidi energi naik dari 168,55 triliun
rupiah menjadi 230,43 triliun rupiah. Sedangkan, belanja subsidi non energi naik
sekitar 2 triliun rupiah, menjadi 42,72 triliun rupiah. Alhasil, pos belanja subsidi
menjadi pos pengeluaran yang terbesar yakni 273,155 triliun rupiah.
Kenaikan belanja pemerintah Indonesia setiap tahunnya juga disebabkan
oleh perkembangan ekonomi Indonesia. Menurut Teori pengeluaran negara
Musgrave dan Rostow lebih menekankan pada proporsi belanja suatu negara
dalam memandang perkembangan ekonomi. Tahap perkembangan ekonomi lebih
dinilai dari pertanyaan apa saja sektor yang dijadikan prioritas oleh pemerintah
dalam menetapkan kebijakan belanja pemerintah. Dari hal tersebut akan terlihat
jelas perbedaan arah pembangunan suatu negara. Negara pada tahap awal
perkembangan, karena masih minim infrastruktur, tentu akan lebih menekankan
anggaran negara untuk investasi modal yang lebih bersifat starting development,
seperti pembangunan gedung perkantoran daerah, gedung pendidikan, pasar, jalan
umum, maupun gedung pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, masyarakat masih
bergantung pada peran sentral pemerintah dalam segala kegiatan pemenuhan
kebutuhan, peran swasta masih belum begitu dirasakan. Hal ini dapa
menunjukkan sektor swasta masih memulai investasi atau sudah relatif lama
berdiri namun belum berkembang sehingga belum dominan dalam sistem
perekonomian.
Menurut teori ekonomi dijelaskan oleh Musgrave dan Rostow pada tahap
lanjut ekonomi, pengeluaran negara lebih bersifat meningkatkan mutu layanan
dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pemanfaatan teknologi mutakhir dalam
pelayanan kesehatan. Bisa juga dengan meningkatkan standar pendidikan menuju
ruang lingkup yang lebih luas, seperti Sekolah Bertaraf Internasional. Muncul
4
juga kebutuhan baru akan adanya program perawatan lingkungan maupun
penyediaan sarana rekreasi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
tidak lagi memfokuskan anggaran untuk pembangunan gedung dan pengadaan
prasarana melainkan bersifat memperbaharui dan memelihara fasilitas pemerintah
tersebut.
Indonesia memiliki wilayah negara yang amat luas. Tidak mudah
mengklasifikasikan Indonesia termasuk negara dalam tahap awal perkembangan
ekonomi, tahap menengah, atau tahap lanjut pembangunan ekonomi. Ini
disebabkan adanya perbedaan kemajuan pembangunan yang cukup signifikan di
masing-masing wilayah. Ini juga menyangkut tingkat kemajuan pendidikan dan
kesejahteraan masyarakat.
Tabel 1.2 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, 2005-2009 ( Miliar Rupiah)
2006
LKPP
283.343
2007
LKPP
316.078,7
2008
APBN
518.241,5
2009
APBN
494.766,2
21.562,2
dan 15.617,3
24.426,1
23.743,1
30.685,9
28.315,9
10.489,7
12.306,8
12.278,6
14.451,3
23.504,0
38.295,6
42.221,9
57.239,0
56.852,6
1.333,9
2.664,5
4.952,6
6.353,1
7.035,1
Perumahan
dan 4.216,5
Fasilitas Umum
Kesehatan
5.836,9
5.457,2
9.134,6
12.993,4
18.135,0
12.189,7
16.004,5
15.985,6
17.301,9
Pariwisata
Budaya
Agama
905,4
1.851,2
1.393,2
1.489,7
1.312,3
1.411,2
1.884,2
791,1
830,3
29.307,9
2.272,5
45.303,9
2.292,2
50.843,3
2.650,4
57.960,2
3.317,3
89.918,1
3.317,5
361.155,2
440.032,1
504.623,3
697.071,0
716.376,3
FUNGSI
Pelayanan Umum
Pertahanan
Ketertiban
keamanan
Ekonomi
Lingkungan Hidup
Pendidikan
Perlindungan
Sosial
Jumlah
2005
LKPP
255.603,2
dan 588,6
Sumber data: BI, Laporan Tahunan Indonesia
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa total belanja pemerintah pusat setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Tabel Belanja Pemerintah Pusat Menurut
Fungsi memberikan gambaran yang cukup jelas dalam menilai preferensi
pemerintah dalam mengalokasikan anggaran negara. Pada tahun 2009, fungsi
pemerintah dengan alokasi dana terbesar antara lain pelayanan umum, pendidikan,
5
ekonomi, perumahan dan fasilitas umum, dan kesehatan. Terjadi pergeseran
prioritas alokasi dana yang cukup signifikan pada peralihan tahun 2007-2008.
Alokasi dana terhadap fungsi pertahanan dan ketertiban berkurang secara
signifikan pada tahun 2008 bila dibandingkan dengan tahun 2007.
1.2
Perumusan Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah
penduduk yang besar. Indonesia adalah salah satu negara kawasan ASEAN yang
pertumbuhan ekonomi setiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari
Gambar dibawah ini.
PERTUMBUHAN PDB ASIA TENGGARA
TAHUN 2000 - 2010
Sumber : Direktorat Perencanaan Makro (Bappenas)
Gambar 1.1 Pertumbuhan PDB Indonesia Tahun 2000 - 2010
Dari Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa dari beberapa negara di kawasan
ASEAN, yang paling konstan pertumbuhan PDB nya adalah negara Indonesia.
Sementara negara lainnya memiliki pertumbuhan PDB yang cukup fluktuatif.
Pada tahun 2008, dimana saat terjadinya krisis keuangan dunia, pertumbuhan
PDB Indonesia mengalami penurunan paling sedikit dibandingkan negara-negara
lainnya. Hal ini dikarenakan
pengaruh konsumsi Indonesia yamg memiliki
pengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia.
6
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ini sangat dipengaruhi oleh tingginya
konsumsi yang berasal dari penduduk Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia
adalah tergolong cukup besar, dimana pada kawasan ASEAN Indonesia adalah
negara yang memiliki penduduk yang paling banyak. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia juga memiliki hubungan dengan kebijakan fiskal. Hal ini terlihat dari
instrumen instrumen kebijakan
fiskal antara lain :
pengeluaran pemerintah,
penerimaan pajak.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini berbanding lurus dengan
pengeluaran pemerintah indonesia. Pengeluaran pemerintah Indonesia setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan pengeluaran pemerintah Indonesia
terjadi setiap tahunnya terutama dari tahun 2000 – 2008. Hal ini terlihat seperti
dalam gambar dibawah ini.
250
200
150
100
50
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Sumber data: Statistik Keuangan Ekonomi Indonesia (data diolah)
Gambar 1.2 Pengeluaran Pemerintah Indonesia tahun 2000-2011
Peningkatan pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya bahkan
menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami defisit anggaran. Dimana
pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan pendapatan pemerintah.
Besarnya penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak mampu membiayai
besarnya pengeluaran pemerintah. Pemerintah melakukan pinjaman luar negeri
guna membiayai defisit anggaran tersebut.
7
Pinjaman luar negeri tersebut berpengaruh besar terhadap percepatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama dalam jangka pendek. Namun dalam
jangka panjang, pinjaman luar negeri ini dapat mengakibatkan peningkatan
pengeluaran pemerintah. Hal ini dikarenakan adanya tambahan pengeluaran
pemerintah untuk membiayai cicilan pokok pinjaman tersebut beserta bunganya.
Peningkatan
pengeluaran
pemerintah
berbanding
lurus/searah
dengan
pertumbuhan pinjaman luar negeri (Andini, 2012).
800000
700000
600000
500000
400000
300000
200000
100000
0
2005
2006
2007
Tahun
Pengeluaran Pemerintah
2008
2009
Penerimaan Pajak
Sumber : World Development Indicators 2011 (data diolah)
Gambar 1.3 Pengeluaran Pemerintah dan Penerimaan Pajak Indonesia 2005-2009
Gambar 1.3 menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah
dibarengi dengan peningkatan penerimaan pajak. Peningkatan penerimaan pajak
disebabkan penetapan pajak yang terus meningkat seiring dengan peningkatan
pengeluaran pemerintah. Penerimaan pajak Indonesia jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah. Hal ini menandakan bahwa negara
Indonesia mengalami defisit anggaran. Untuk membiayai defisit anggaran ini
pemerintah melakukan pinjaman luar negeri. Perlu diketahui bahwa pinjaman luar
negeri menyebabkan penetapan pajak yang lebih besar dimasa yang akan datang.
Penetapan pajak yang lebih besar dimasa yang akan datang digunakan untuk
membiayai
pengeluaran pemerintah,
baik
untuk
pembangunan
maupun
8
pengeluaran yang kurang produktif seperti cicilan pokok dan bunga pinjaman dari
luar negeri (Andini, 2012).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1.
Bagaimanakah
hubungan
antara
penerimaan
pajak
dengan
pengeluaran/belanja pemerintah?
2.
Bagaimana hubungan antara investasi dengan pendapatan pemerintah
ataupun belanja pemerintah?
3.
Faktor–faktor apa sajakah yang menyebabkan pengeluaran pemerintah
Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya apabila dibandingkan
dengan
tahun
sebelumnya? dan
bagaimana
faktor–faktor
tersebut
mempengaruhinya?
4.
Bagaimanakah saran dari kebijakan pengelolaan anggaran belanja
pemerintah untuk menjadikan perekonomian yang lebih ke depannya?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
1.
Menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan
pengeluaran pemerintah Indonesia
2.
Menganalis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran
pemerintah Indonesia
3.
Menganalisis dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, maupun
bagi para pembaca atau bagi pihak pihak lain yang berkepentingan. Penelitian ini
bermanfaat bagi penulis yaitu menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi
pengeluaran pemerintah Indonesia dengan menetapkan beberapa variabel ekonomi
sebagai bahan penelitian.
1.
Manfaat Akademis
Penelitian ini berhubungan erat dengan mata kuliah Makroekonomi,
kedijakan ekonomi Internasional, Ekonomi Keuangan Internasional, sehingga
9
dengan dengan penelitian ini diharapkan penulis dan semua pihak yang
berkepentingan lebih memahaminya.
2.
Manfaat dalam implementasi atau praktek
Penelitian ini memfokuskan kepada kondisi perekonomian negara
Indonesia sebagai objek penelitian, sehingga diharapkan para pengambil
keputusan atau kebijakan ataupun pihak yang berkepentingan dapat menggunakan
hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
3.
Bagi penulis, penelitian ini dapat memberi wawasan baru mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah Indonesia.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah analisis faktor–faktor yang
mempengaruhi pengeluaran/belanja pemerintah, dimana studi kasusnya adalah
negara Indonesia. Variabel ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
variabel penerimaan pajak (TR), ekspor bersih (NE), inflasi (INF), investasi
(INV), pertumbuhan ekonomi melalui persentasi pertumbuhan PDB Indonesia
setiap tahunnya (GW), nilai tukar rupiah (ER) terhadap dolar Amerika Serikat
(ER) dan varibel pengeluaran/belanja pemerintah Indonesia itu sendiri (G). Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data periode dari tahun 1984 hingga
tahun 2011.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrumen dari kebijakan
fiskal. Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen dari kebijakan
makroekonomi. Kebijakan makroekonomi tersebut adalah kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai output yang tinggi dengan laju pertumbuhan yang
cepat, kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas harga, serta keseimbangan dalam
neraca pembayaran. Apabila dibandingkan dengan kebijakan moneter, Keynes
lebih
mengandalkan
kebijakan
fiskal
untuk
mencapai
sasaran-sasaran
pembangunan. Alasannya adalah kebijakan fiskal mampu meningkatkan
permintaan agregat secara langsung. Samuelson (1997), mendefinisikan kebijakan
fiskal sebagai salah suatu proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran
publik. Proses tersebut merupakan upaya menekan fluktuasi siklus ekonomi, dan
ikut berperan menjaga ekonomi yang tumbuh dengan penggunaan tenaga kerja
penuh dimana tidak terjadi laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah.
Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua instrumen pokok di dalamnya,
yaitu belanja negara dan perpajakan. Dengan kedua instrumen tersebut,
pemerintah dapat menetapkan program pengeluaran publik serta penerimaannya
yang sebagian besar adalah dari pajak yang secara keseluruhan terangkum dalam
suatu anggaran.
Negara Indonesia adalah salah satu dari negara berkembang yang
memiliki pengeluaran pemerintah yang tergolong cukup besar.
Pengeluaran
pemerintah ini terlihat dengan jelas dalam anggaran belanja negara Indonesia.
Anggaran
pemerintah
ini
mempunyai
dampak
substansial
terhadap
perekonomian. Sebagai perangkat utama kebijakan fiskal, Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), digunakan secara eksplisit untuk mempengaruhi
pertumbuhan dan tingkat kegiatan ekonomi, alokasi sumberdaya diantara berbagai
alternatif penggunaan yang berbeda dan distribusi pendapatan masyarakat.
11
Pemerintah memerlukan dana untuk menyelenggarakan pembangunan dan
menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dana atau uang tersebut
diperoleh dari
penerimaan dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan dalam negeri adalah semua
penerimaan yang diterima dalam bentuk migas dan non-migas. Penerimaan
minyak dan gas alam (migas) adalah penerimaan yang berasal dari pajak, bea
cukai, non pajak, dan penerimaan lainnya. Sedangkan penerimaan luar negeri
adalah penerimaan yang berasal dari
nilai mata uang asing yang dikurskan
kedalam rupiah yang berasal dari pinjaman luar negeri, yang berbentuk pinjaman
program dan pinjaman proyek. Dana atau uang yang berasal dari penerimaan
tersebut digunakan pemerintah untuk membiayai kegiatan ekonomi negara yang
terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan.
Adapun pengeluaran rutin pemerintah terdiri atas :
1.
Belanja pegawai yaitu pengeluaran negara untuk keperluan pembayaran
gaji, tujangan, uang makan, serta biaya lain-lain pegawai negeri
2.
Belanja barang yaitu pengeluaran negara untuk membeli barang-barang
yang dipergunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintah
3.
Belanja rutin daerah yaitu pengeluaran negara untuk belanja pegawai dan
non-pegawai pemerintah
4.
Bunga dan cicilan utang adalah pengeluaran pemerintah untuk membayar
bunga dan cicilan pokok pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri
5.
Subsidi yaitu pegeluaran untuk berbagai macam subsidi pemerintah untuk
masyarakat misalnya subsidi bahan bakar pemerintah
6.
Berbagai pengeluaran yang bersifat non-departemental seperti giro pos,
bebas porto, biaya pemakaian listrik, air minum,telepon, telegrap, serta
pembayaran dan jasa lainnya.
Sedangkan pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara
untuk membiayai proyek pembangunan fisik dan non-fisik. Selain pembiayaan
proyek pada pengeluaran pembangunan juga terdapat komponen pembiayaan
rupiah terdiri atas pembiayaan departemen/kelembagaan.
a.
Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa,
12
pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. (Mangkoesoebroto, 1994)
Pengeluaran pemerintah mempunyai dasar teori yang dapat dilihat dari
identitas keseimbangan pendapatan nasional yaitu Y = C + I + G + (X-M) yang
merupakan sumber legitimasi pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur
tangan pemerintah dalam perekonomian. Dari persamaan diatas dapat ditelaah
bahwa kenaikan atau penurunan pengeluaran pemerintah akan menaikan atau
menurunkan pendapatan nasional. Banyak pertimbangan yang mendasari
pengambilan keputusan pemerintah dalam mengatur pengeluarannya. Pemerintah
tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijaksanaan pengeluarannya.
Tetapi juga harus memperhitungkan sasaran antara yang akan menikmati
kebijaksanaan tersebut. Memperbesar pengeluaran dengan tujuan semata-mata
untuk meningkatkan pendapatan nasional atau memperluas kesempatan kerja
adalah tidak memadai. Melainkan harus diperhitungkan siapa yang akan
terpekerjakan atau meningkat pendapatannya. Pemerintah pun perlu menghindari
agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak melemahkan kegiatan
pihak swasta (Dumairy, 1997).
Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah adalah sebagai berikut :
1.
Model Rostow dan Musgrave
Model ekonomi ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave
berpendapat bahwa perkembangan pengeluaran pemerintah sejalan dengan tahap
perkembangan ekonomi suatu negara. Tahapan-tahapan perkembangan ekonomi
tersebut yaitu tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Ada perbedaan fokus
alokasi sumberdaya antara negara pada tahap awal perkembangan, tahap
menengah pembangunan, dan tahap lanjut yang yang kemudian tercermin dalam
pengeluaran pemerintah. Masing-masing tentunya berawal dari kebutuhan yang
berbeda, sehingga arah kebijakannyajuga berbeda. Ini tentunya berkaitan dengan
seberapa lama negara itu telah merdeka dan kualitas sumber daya manusianya.
Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui negara pada awal perkembangan ekonomi
sebelum menuju tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Begitu juga, ada beberapa hal
yang sudah terpenuhi oleh negara pada tahap lanjut pembangunan, sehingga tidak
13
perlu lagi terfokus pada penyediaan prasarana layaknya negara pada tahap awal
perkembangan.
Teori Rostow dan Musgrave menguraikan tiga tahapan yang pasti dilalui
setiap negara. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, diperlukan pengeluaran
pemerintah yang besar untuk investasi pemerintah, utamanya untuk menyediakan
infrastruktur seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan, prasarana transportasi
dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi tetap
diperlukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, namun pada tahap ini
diharapkan investasi sektor swasta sudah mulai berkembang dan memiliki peran
besar terhadap perekonomian. Oleh karena peranan swasta yang semakin besar ini
dapat menimbulkan kegagalan pasar dan juga akan menyebabkan peran
pemerintah yang besar yakni harus menyediakan barang dan jasa publik dalam
jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini
perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang
semakin rumit. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh
perkembangan sektor
industri,
menimbulkan semakin tingginya
tingkat
pencemaran udara dan air sehingga pemerintah harus turun tangan untuk
mengatur dan mengurangi akibat negatif dari polusi itu terhadap masyarakat.
Pemerintah juga harus melindungi buruh yang berada dalam posisi yang lemah
agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka (Basri, 2005). Kemudian pada
tahap lanjut pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan,
utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya peningkatan
pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial. Dalam satu proses pembangunan
menurut Musgrave, rasio investasi swasta terhadap GNP akan semakin besar,
tetapi rasio investasi pemerintah terhadap GNP akan semakin kecil. Sementara itu,
Rostow berpendapat bahwa pada tahap lanjut pembangunan terjadi peralihan
aktivitas pemerintah dari penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran untuk
layanan sosial seperti program kesejahteraan hari tua, program pelayanan
kesehatan masyarakat dan sebagainya (Dumairy,1997).
2.
Hukum Wagner
Teori ini dikemukakan oleh Adolph Wagner. Pengamatan empiris yang
dilakukannya terhadap negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang pada
14
abad ke-19 menunjukkan bahwa dalam perekonomian suatu negara, pengeluaran
pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan nasional
negara tersebut. Menurut Wagner, terdapat lima hal yang menyebabkan
pengeluaran pemerintah selalu meningkat, yaitu :
-
Tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan
-
Kenaikan tingkat pendapatan masyarakat
-
Urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi
-
Perkembangan demokrasi
-
Ketidakefesienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan.
Berdasarkan
pengamatan
terhadap
negara-negara
maju
Wagner
menyimpulkan bahwa dalam perekonomian suatu negara, pengeluaran pemerintah
akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita negara tersebut.
Di negara-negara maju, kegagalan pasar bisa saja terjadi menimpa industriindustri tertentu dari negara tersebut. Kegagalan dari suatu industri dapat saja
merembet ke industri lain yang saling terkait. Di sini diperlukan peran pemerintah
untuk mengatur hubungan antara masyarakat, industri, hukum, pendidikan dan
lain lain.
3.
Teori Peacock Wiseman
Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori
mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Peacock dan
Wiseman
mengemukakan
pendapat
lain
dalam
menerangkan
perilaku
perkembangan pemerintah. Mereka mendasarkannya pada suatu analisis
penerimaan
dan
pengeluaran
pemerintah.
pemerintah
selalu
berusaha
memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan memperbesar penerimaan
pajak yang besar.
Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa
masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana
masyarakat dapat memahami
besarnya pugutan pajak yang dibutuhkan oleh
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari
bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah
sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membiayai
pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan
15
pemungutan pajak secara semena-mena. Menurut Peacock dan Wiseman adalah
pertumbuhan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat
walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat.
Dalam keadaan normal, kenaikan PDB memiliki pengaruh terhadap
penerimaan maupun pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan nomal jadi
terganggu, katakanlah karena perang atau eksternalitas lain, maka pemerintah
terpaksa harus memperbesar pengeluarannya untuk mengatasi gangguan tersebut.
Pungutan pajak yang lebih besar menyebabkan dana swasta untuk berinvestasi
dan modal kerja menjadi berkurang. Efek ini disebut efek penggantian
(displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta
dialihkan pada aktivitas pemerintah (Basri, 2005).
Pengentasan gangguan tidak hanya cukup dibiayai semata-mata dengan
pajak sehingga pemerintah harus meminjam dana dari luar negeri. Setelah
ganguan teratasi muncul kewajiban melunasi utang dan membayar bunga.
Pengeluaran pemerintah yang semakin bertambah bukan hanya karena GNP
bertambah tetapi karena adanya kewajiban baru tersebut. Akibat lebih lanjut
adalah pajak tidak menurun kembali ke tingkat semula meskipun gangguan telah
berakhir. Selain itu, masih banyak aktivitas pemerintah yang baru kelihatan
setelah terjadi perangdan ini disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya
gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ketangan
pemerintah yang sebelumnya dilaksanakan oleh swasta. Efek inilah yang disebut
efek konsentrasi (Mangkoesoebroto, 1994).
Dengan adanya ketiga efek tersebut menyebabkan bertambahnya aktivitas
pemerintah sehingga setelah perang selesai tingkat pajak tidak menurun kembali
pada tingkat sebelum terjadi perang. Jadi berbeda dengan pandangan Wagner,
perkembangan pengeluaran pemerintah versi Wagner adalah bebertuk suatu garis
lurus sementara versi Peacock dan Wiseman tidaklah berbentuk suatu garis, tetapi
seperti tangga.
16
2.1.2 Konsep Rezim Nilai Tukar
Permintaan dan penawaran akan valuta asing akan membentuk tingkat
nilai tukar suatu mata uang domestik dengan mata uang negara lain. Sebagai
negara perekonomian terbuka, perkembangan
rezim nilai tukar merupakan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian secara
umum. Pengaruh nilai tukar terhadap perekonomian berjalan melalui dua sisi,
permintaan dan penawaran. Nilai tukar juga merupakan salah satu alat ukur
kekuatan perekonomian suatu negara. Biasanya nilai mata uang suatu negara
tergantung pada kinerja ekonominya.
Stabilitas terhadap nilai tukar mata uang suatu negara merupakan suatu hal
yang sangat penting karena berdampak kepada tingkat perekonomian negara
tersebut. Sejak periode 1970 hingga sekarang, sistem nilai tukar yang berlaku di
Indonesia telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali, yaitu Sistem Nilai
Tukar Tetap, Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali, dan terakhir Sistem
Nilai Tukar Mengambang Bebas.
1.
Sistem Nilai Tukar Tetap
Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dimana lembaga otoritas
moneter menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang
negara lain pada tingkat tertentu, tanpa memperhatikan penawaran ataupun
permintaan terhadap valuta asing yang terjadi. Bila terjadi kekurangan atau
kelebihan penawaran atau permintaan lebih tinggi dari yang ditetapkan
pemerintah, maka dalam hal ini akan mengambil tindakan untuk membawa
tingkat nilai tukar ke arah yang telah ditetapkan. Tindakan yang diambil oleh
otoritas moneter bisa berupa pembelian ataupun penjualan valuta asing, bila
tindakan ini tidak mampu mengatasinya, maka akan dilakukan penjatahan valuta
asing (Halwani, 2005).
Sistem nilai tukar tetap yang berlaku di Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor 32 tahun 1964 dengan nilai tukar resmi 250 rupiah per dollar US,
sementara nilai tukar Rupiah terhadap mata uang lainnya dihitung berdasarkan
nilai tukar Rupiah per US Dollar di bursa valuta asing Jakarta dan di pasar
internasional. Selama periode tersebut di atas, Indonesia menganut sistem kontrol
devisa yang relatif ketat. Para eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya
17
kepada Bank Indonesia. Dalam rezim ini tidak ada pembatasan dalam hal
pemilikan, penjualan maupun pembelian valuta asing. Sebagai konsekuensi
kewajiban penjualan devisa tersebut, maka Bank Indonesia harus dapat memenuhi
semua kebutuhan valuta asing bank komersial dalam rangka memenuhi
permintaan valuta asing oleh importir maupun masyarakat. Berdasarkan sistem
nilai tukar tetap ini, Bank Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam
mengawasi transaksi devisa. Sementara untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada
tingkat yang telah ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar
valuta asing.
Pemerintah Indonesia telah melakukan devaluasi sebanyak tiga kali yaitu
yang pertama kali dilakukan pada tanggal 17 April 1970 dimana nilai tukar
Rupiah ditetapkan menjadi 378 rupiah per dolar Amerika. Devaluasi yang kedua
dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1971 menjadi 415 rupiah per dolar
Amerika dan yang ketiga pada tanggal 15 November 1978 dengan nilai tukar
sebesar 625 rupiah per dolar Amerika. Kebijakan devaluasi tersebut dilakukan
karena nilai tukar Rupiah mengalami overvaluated sehingga dapat mengurangi
daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional.
2.
Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Nilai tukar mengambang terkendali, dimana pemerintah mempengaruhi
tingkat nilai tukar melalui permintaan dan penawaran valuta asing, biasanya
sistem ini diterapkan untuk menjaga stabilitas moneter dan neraca pembayaran.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan
dengan kebijakan devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33 persen. Pada
sistem ini nilai tukar Rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang
(basket currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Dengan sistem
tersebut, Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak
di pasar dengan penyebaran tertentu. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar
Rupiah, maka Bank Indonesia melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi
batas atas atau batas bawah spread/penyebaran.
Pada saat sistem nilai tukar mengambang terkendali diterapkan di
Indonesia, nilai tukar Rupiah dari tahun ke tahunnya terus mengalami depresiasi
terhadap dolar Amerika. Nilai tukar Rupiah berubah-ubah antara 644 sampai
18
2.383 rupiah per dolar Amerika. Dengan perkataan lain, nilai tukar Rupiah
terhadap dolar Amerika cenderung tidak pasti.
3.
Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas
Nilai tukar mengambang bebas, dimana pemerintah tidak mencampuri
tingkat nilai tukar sama sekali sehingga nilai tukar diserahkan pada permintaan
dan penawaran valuta asing. Penerapan sistem ini dimaksudkan untuk mencapai
penyesuaian yang lebih berkesinambungan pada posisi keseimbangan eksternal
(external equilibrium position). Tetapi kemudian timbul indikasi bahwa beberapa
persoalan akibat dari kurs yang fluktuatif akan timbul, terutama karena
karakteristik ekonomi dan struktur kelembagaan pada negara berkembang masih
sederhana. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas ini diperlukan sistem
perekonomian yang sudah mapan.
Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada
periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997, Rupiah mengalami
tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah terhadap US
Dollar. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turn oil yang melanda
Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Untuk
mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi baik melalui
spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs
berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun
untuk selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah semakin meningkat.
Oleh karena itu dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus
berkurang, pada tanggal 14 Agustus 1997, Bank Indonesia memutuskan untuk
menghapus rentang intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti
mekanisme pasar. Nilai tukar rupiah yang mengikuti mekanisme pasar inilah yang
disebut sistem nilai tukar mengambang bebas.
2.1.3 Krisis Keuangan
Istilah krisis finansial digunakan untuk berbagai situasi dengan berbagai
institusi atau aset keuangan kehilangan sebagian besar nilai mereka. Krisis
keuangan juga ditandai dengan akses kredit yang sangat terbatas. Pada abad ke-19
dan ke-20, terjadinya krisis finansial berhubungan dengan kepanikan perbankan
19
dan resesi. Situasi lain yang sering disebut sebagai dampak krisis finansial adalah
runtuhnya bursa efek dan krisis mata uang.
Pertumbuhan Ekonomi 1969-2006
15.00
8.00
7.00
10.00
6.00
(%)
5.00
5.00
0.00
4.00
3.00
-5.00
2.00
-10.00
1.00
0.00
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
-15.00
Growth
ln GDP riil
Gambar 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 1969-2006
Gambar 2.1 menunjukkan bahwa krisis ekonomi 1997-1998 berdampak
sangat signifikan terhadap perekonomian Indonesia pada tahun berikutnya.
Dampak-dampak struktural akibat kelemahan ekonomi sebelum krisis tetap
membayangi sistem perekonomian meski, tingkat PDB riil di tahun 2004 dan
setelahnya sudah melampaui tingkat sebelum krisis. Laju pertumbuhan ekonomi
rata-rata periode 2004-2006 adalah 5.40 persen masih di bawah rata-rata sebelum
krisis yakni 6.86 persen.
Secara khusus krisis keuangan mungkin memiliki dampak pada resesi
ekonomi. Dampak dari resesi ekonomi ini akan membawa dampak terhadap
sektor sektor perekonomian lainnya. Banyak ekonom menulis teori mengenai
bagaimana krisis keuangan terjadi dan dapat dicegah, namun hanya terdapat
sedikit konsensus.
Negara Indonesia terus mewaspadai potensi krisis yang terjadi sebagai
imbas dari gejolak ekonomi global. Pemerintah terus mewaspadai semua jalur
pintu masuk krisis mulai dari sektor perdagangan maupun sektor keuangan.
Kondisi keuangan global yang terus bergejolak masih membuka peluang krisis
20
merembet ke Indonesia setiap saat. Dampak krisis dapat terjadi melalui jalur
perdagangan maupun jalur keuangan.
Menteri Keuangan Republik Indonesia yaitu Bapak Agus Martowardojo
dalam salah satu seminar ekonomi mengatakan bahwa tingkat ketergantungan
ekspor Indonesia tidak terlalu besar, sehingga ancaman krisis masuk melalui jalur
perdagangan dapat diminimalisasi. Tapi, Kalau dari sektor keuangan perlu kita
waspadai, sebab saat krisis berbagai lembaga keuangan di Eropa perlu melakukan
konsolidasi sehingga dampak krisis keuangan global di dunia termasuk Asia akan
berkurang.
2.1.4
Ekspor Neto
Sebagai penganut sistem ekonomi terbuka, lalu lintas perdagangan
internasional berperan penting dalam perekonomian dan pembangunan di
Indonesia. Adanya perdagangan internasional merupakan salah satu ciri dari
perekonomian terbuka. Perdagangan internasional ditunjukkan dengan adanya
kegiatan ekspor dan impor suatu negara. Kegiatan ekspor impor ini menjadi salah
satu komponen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto dari sisi pengeluaran
suatu negara. Peningkatan ekspor bersih suatu negara menjadi menjadi faktor
utama untuk meningkatkan produk domestik bruto suatu negara. Ekspor neto
adalah selisih antara ekspor dan impor barang dan jasa suatu negara.
Pada proses awalnya perdagangan internasional merupakan pertukaran
dalam arti perdagangan tenaga kerja dengan barang dan jasa lainnya, yang
selanjutnya diikuti dengan perdagangan barang dan jasa sekarang dengan
kompensasi barang dan jasa dikemudian hari. Akhirnya berkembang hingga
pertukaran antarnegara dengan aset-aset yang mengandung risiko seperti saham,
valuta asing, dan obligasi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, bahkan
semua negara yang terkait didalamnya. Sehingga, memungkinkan setiap negara
melakukan diversifikasi atau penganekaragaman kegiatan perdagangan yang dapat
meningkatkan pendapatan mereka. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa setiap
negara mempunyai perbedaan tingkat kapasitas produksi secara kuantitas,
kualitas, dan jenis produksinya.
21
Dalam perekonomian terbuka, sebagian output dijual untuk domestik dan
sebagian diekspor lagi keluar negeri. Pengeluaran pemerintah atas output pada
perekonomian terbuka (Y) dibagi menjadi empat komponen :
-
C, konsumsi barang jasa dan domestik
-
I, investasi dalam barang dan jasa domestik
-
G, pembelian pemerintah atas barang dan jasa domestik
-
EX, ekspor barang dan jasa domestik
Dalam perekonomian tertutup, seluruh output dijual dipasar domestik, dan
pengeluaran dibagi hanya menjadi tiga komponen : konsumsi, investasi, dan
belanja pemerintah.
Nama lain dari ekspor neto suatu negara
adalah neraca perdagangan
(trade balance), karena menunjukkan keadaan arus perdagangan barang dan jasa
suatu negara. Jumlah ekspor neto akan menjadi sumber cadangan devisa suatu
negara.
2.1.5 Konsep Investasi
Investasi yang lazim disebut juga dengan istilah penanaman modal atau
pembentukan modal merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat
pengeluaran agregat. Kegiatan investasi dalam suatu perekonomian dapat
mendorong naik turunnya tingkat perekonomian negara yang bersangkutan karena
mampu meningkatkan produksi dan kesempatan kerja. Investasi merupakan
pengeluaran perusahaan dan pemerintah secara keseluruhan untuk membeli
barang-barang modal riil, baik untuk mendirikan perusahaan baru maupun untuk
memperluas usaha yang telah ada dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
yang lebih besar daripada biaya modal yang dikeluarkan untuk melakukan
investasi. Investasi juga disebut sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanampenanam modal (investor) dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk
menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia
dalam perekonomian. Dengan demikian istilah investasi dapat diartikan sebagai
pengeluaran atau pembelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk
membeli barang-barang modal dan perlengkapan produksi untuk menambah
kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam
perekonomian (Sukirno, 2006).
22
Salah satu kegiatan investasi yang dapat diketahui adalah penanaman
modal, penanaman modal dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Untuk investasi swasta di Indonesia yang dilakukan dengan kemudahan fasilitas
berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah investasi (Deliarnov,
1995) yaitu antara lain sebagai berikut.
a)
Inovasi dan Teknologi
Adanya temuan-temuan baru menyebabkan cara-cara berproduksi lama
menjadi tidak efisien. Untuk itu perusahaan-perusahaan perlu menemukan
investasi untuk membeli peralatan mesin-mesin yang canggih.
b)
Tingkat Perekonomian
Makin banyak aktivitas perekonomian makin besar pendapatan nasional dan
makin banyak bagian pendapatan yang dapat ditabung, yang pada gilirannya
akan diinvestasikan pada suatu usaha yang menguntungkan.
c)
Tingkat Keuntungan Perusahaan
Makin besar tingkat keuntungan perusahaan, maka makin banyak bagian
laba yang dapat ditahan dan dapat digunakan untuk tujuan investasi.
d)
Situasi Politik
Jika
situasi
politik
aman
dan
pemerintah
banyak
memberikan
kemudahankemudahan bagi perusahaan, maka tingkat investasi akan tinggi.
Investasi pemerintah
Menurut Suparmoko (2002), peranan pemerintah dalam suatu negara dapat
dilihat dari
semakin besarnya pengeluaran pemerintah dalam proporsinya
terhadap pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat
dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh
pengeluaran pemerintah. Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah, maka
semakin besar pula pengeluaran pembangunan.
1)
Pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran yang
digunakan untuk pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang
meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi
dan pengeluaran rutin lainnya. Melalui pengeluaran rutin, pemerintah dapat
23
menjalankan misinya dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan
pemerintah, kegiatan operasional dan pemeliharaan aset negara, pemenuhan
kewajiban
masyarakat
pemerintah
miskin
kepada
dan
pihak
kurang
ketiga,
mampu
perlindungan
serta
menjaga
kepada
stabilitas
perekonomian (Mangkoesoebroto, 1994).
2)
Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk
membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan umum dan yang
bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik
prasarana fisik maupun non fisik yang dilaksanakan dalam periode tertentu.
Anggaran pembangunan secara fisik maupun nonfisik selalu disesuaikan
dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada
berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan. Peranan
anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi
yang stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi
dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Investasi swasta
Selain investasi pemerintah terdapat juga investasi swasta. Investasi
Swasta adalah investasi yang terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah disetujui oleh
Pemerintah. Dalam penelitian ini investasi yang digunakan adalah investasi
swasta, dimana data yang digunakan adalah jumlah Total PMDN dan PMA yang
telah disetujui oleh negara setiap tahunnya.
Menurut Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri, yang dimaksud dengan “Modal Dalam Negeri” adalah bagian dari
kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang
dimiliki negara, swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia,
yang disediakan guna menjalankan suatu usaha, sepanjang modal tersebut tidak
diatur oleh ketentuan-ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing, pada Pasal 1 menyebutkan bahwa: “Pengertian penanaman modal dalam
Undang-undang ini hanya penanaman modal asing secara langsung yang
24
dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini, yang digunakan
untuk menjalankan perusahaan Indonesia, dalam arti pemilik modal tersebut”.
Investasi asing di Indonesia dapat dilakukan dalam dua bentuk investasi, yaitu
investasi portofolio dan investasi langsung. Investasi portofolio dilakukan melalui
pasar modal dengan instrument surat berharga seperti saham dan obligasi.
Investasi langsung yang dikenal dengan penanaman modal asing (PMA)
merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun, membeli total atau
mengakuisisi perusahaan. Dibanding dengan investasi portofolio, penanam modal
asing lebih banyak mempunyai kelebihan. Selain sifatnya yang permanen/jangka
panjang, penanam modal asing memberi andil dalam alih teknologi, alih
keterampilan manajemen dan membuka lapangan kerja baru.
Penanaman modal pada hakekatnya merupakan kegiatan investasi yang
dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Untuk investasi swasta di
Indonesia yang dilakukan dengan kemudahan fasilitas berupa Penanaman Modal
Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Menurut UU No. 1 Tahun 1967, PMA adalah hanya meliputi modal asing
secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang ini yang digunakan untuk menjalankan perusahaan Indonesia,
dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari
penanaman modal tersebut, perluasan dan alih status, yang terdiri dari saham
peserta Indonesia, saham asing dan modal pinjaman.
Pengertian PMDN menurut UU No. 6 Tahun 1968 ialah bagian dari pada
kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda baik yang
dimiliki oleh negara, swasta nasional maupun swasta asing yang berdomisili di
Indonesia yang disisihkan dan disediakan guna menjalankan suatu usaha
sepanjang modal tersebut tidak diatur dalam ketentuan-ketentuan pasal 2 UU No.
1 Tahun 1967, tentang penanaman modal asing.
2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bukan suatu gambaran
ekonomi pada suatu waktu yang dinamis dari suatu perekonomian yaitu melihat
bagaimana perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Untuk
mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data produk
25
domestik bruto (GDP), yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam
perekonomian. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output
perkapita. Yang perlu diperhatikan adalah dari sisi output totalnya (GDP) dan sisi
jumlah penduduknya. Output perkapita adalah kenaikan output total dibagi jumlah
penduduk (Boediono, 1999).
Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro
ekonomi dalam jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan
barang dan jasa akan meningkat, dari satu periode ke periode lainnya.
Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor produksi akan selalu
mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah
jumlah barang modal, teknologi yang digunakan berkembang. Selain itu, tenaga
kerja betambah sebagai akibat perkembangan penduduk dan pengalaman kerja
dan pendidikan ketrampilan.
Teori pertumbuhan ekonomi pada awalnya diprakarsai oleh Ricardo dan
Malthus yang
mencoba melakukan analisis terhadap perekonomian Inggris,
meskipun banyak memperoleh kritikan namun pada pertengahan abad ke 20
pertumbuhan ekonomi berkembang dalam tiga gelombang. Periode pertama
digagasi oleh Harrod (1993 dan 1948) dan Domar (1946 dan 1947), kemudian
periode kedua diprakarsai oleh Solow dengan teori
Neoclasical model of
economic growth (1956) dan Swan pada pertengahan tahun 1950. Selanjutnya
periode ketiga dikemukakan oleh Romer dan Lucas (1988).
Tiga komponen utama dari pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa yaitu:
1.
Akumulasi modal
Meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada
tanah, peralatan fisik dan modal (SDM). Akumulasi modal terjadi apabila
sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan
tujuan memperbesar output dan pendapatan perkapita.
2.
Pertumbuhan penduduk
Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja (yang terjadi
beberapa tahun kemudian setelah pertumbuhan penduduk) secara
tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu
pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan
26
menambah jumlah tenaga produktif sedangkan pertumbuhan penduduk
bagi upaya pembangunan ekonomi sepenuhnya tergantung pada
kemampuan
sistem
perekonomian
yang
bersangkutan.
Adapun
kemampuan itu sendiri lebih lanjut dipengaruhi oleh tingkat dan jenis
akumulasi modal dan tersedianya input atau faktor penunjang seperti
kecakapan manajerial atau administrasi.
3.
Kemajuan teknologi
Kemajuan teknologi dapat terbagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1) Kemajuan teknologi yang netral
Terjadi apabila teknologi tersebut memungkinkan kita mencapai
tingkat produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan
kombinasi faktor input yang sama, inovasi yang sama seperti
pengelompokan tenaga kerja yang dapat mendorong peningkatan
output atau kenaikan output masyarakat.
2) Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja
Sebagian besar kemajuan teknologi pada abad ke 20 adalah teknologi
yang hemat tenaga kerja. Jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam
berbagai kegiatan produksi sudah mulai berkurang. Sehingga dapat
memungkinkan memperoleh output yang lebih tinggi dari jumlah
input tenaga kerja atau modal yang sama.
3) Kemajuan teknologi yang hemat modal
Kemajuan teknologi yang hemat modal merupakan fenomena yang
relatif langka. Hal ini dikarenakan hampir semua penelitian dalam
dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan di negara-negara
maju dengan tujuan utama menghemat pekerja dan bukan untuk
menghemat modal.
Dalam proses pembangunan ekonomi juga dipengaruhi oleh dua macam
faktor yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu
negara tergantung pada sumber alamnya, sumber daya manusia, modal dan
teknologi yang disebut faktor ekonomi. Tetapi pertumbuhan ekonomi tidak
mungkin terjadi selama lembaga sosial, keadaan politik dan nilai moral dalam
suatu bangsa tidak menunjang, inilah yang disebut faktor non ekonomi.
27
2.1.7 Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya hargaharga secara umum dan terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang
meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan
spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang.
Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang
secara terus-menerus. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggirendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu
menunjukan inflasi.
Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap
terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling
memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan
persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang,
berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di
bawah angka 10% setahun; inflasi sedang adalah antara 10% -30% setahun;
inflasi berat antara 30% - 100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak
terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Berdasarkan asal terjadinya, inflasi dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), inflasi ini timbul
karena defisit anggaran belanja negara dan gagalnya pasar yang berakibat
harga kebutuhan pokok menjadi mahal.
2.
Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), terjadi karena
kenaikan harga barang di negara lain, biaya produksi barang luar negeri
tinggi, kenaikan impor tarif barang.
28
2.2
Penelitian-Penelitian Terdahulu
Terdapat begitu banyak penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan
indikator-indikator ekonomi yang memiliki kaitan erat dengan penelitian ini.
Beberapa penelitian tersebut adalah yang disebutkan dibawah ini :
Dalam penelitian Ramayadi tahun 2003 berjudul “Economic Growth and
Government Size In Indonesia: Some Lessons For The Local Authorities
Departement of Economics” menyatakan bahwa dengan menggunakan metode
ECM antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi berhubungan
negatif dan mempunyai hubungan dalam jangka panjang selama periode 19691999.
Dalam penelitian Alfirman dan Sutriono tahun 2005 berjudul “Analisis
Hubungan Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan
menggunakan pendekatan Granger Causality dan Vector Autoregression’
menyatakan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran
pemerintah dengan produk domestik bruto. Pengeluaran rutin tidak signifikan
memengaruhi produk domestik bruto karena lebih bersifat konsumtif dan tidak
produktif serta sebagian besar bersifat kontradiktif seperti belanja untuk
pembayaran bunga utang. Sementara pengeluaran pembangunan memiliki
hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap produk domesti bruto.
Penelitian yang dilakukan Wijayanti tahun 2008 berjudul “Analisis
Kausalitas antara Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia tahun 1970-2005” menyatakan bahwa dengan menggunakan uji
kointegrasi Engle-Granger dan uji kausalitas Granger, secara empiris kita tidak
bisa menemukan kedua arah hubungan kausalitas, baik Hukum Wagner maupun
hipotesis Keynes tidak valid untuk Indonesia.
Menurut hasil penelitian Manalu yang dilakukan tahun 2004 berjudul
“Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia” menyatakan bahwa pengeluaran rutin berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia,
sementara
pengeluaran
pembangunan
berpengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan
metode OLS dalam periode 1984-2003.
29
Risandewi
(2005) menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar,
pengeluaran pemerintah, cadangan devisa dan pengganda uang memiliki
hubungan jangka panjang. Pada uji kausalitas, jumlah uang beredar mempunyai
hubungan timbal balik dengan cadangan devisa, namun mempunyai hubungan
searah dengan pengganda uang. Sedangkan pengeluaran pemerintah tidak
memiliki hubungan kausalitas dengan jumlah uang beredar.
Menurut hasil penelitian Jiranyakul tahun 2007 berjudul The Relation
Between Government Expenditure and Economic Growth In Thailand
menunjukkan bahwa dengan menggunakan Granger hanya terdapat hubungan satu
arah antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Thailand yaitu
kenaikan pengeluaran pemerintah yang menyebabkan kenaikan pertumbuhan
ekonomi. Dalam hasil penelitian ini juga disebutkan tidak terdapat hubungan
jangka panjang antara kedua variabel. Sedangkan dengan menggunakan metode
OLS, menunjukkan bahwa antara kedua varibel berhubungan positif selama
periode penelitian.
Wahyuningtyas (2010), menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap investasi. Defisit anggaran
berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap investasi (1986 – 2008).
Pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan defisit anggaran yang
berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan secara statistik menunjukan bahwa
kebijakan fiskal ekspansif
justru menimbulkan fenomena crowding out
(pembatasan) pada investasi.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu
perbedaan variabel yang digunakan, jenis data yang digunakan, periode analisis
dan metode yang digunakan. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan yaitu
pengeluaran pemerintah, nilai tukar, inflasi, investasi, penerimaan pajak,
pertumbuhan PDB dan ekspor bersih. Jenis data yang digunakan adalah data
sekunder berupa data tahunan. Periode yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu
tahun 1984 hingga tahun 2011. Selain itu metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode VECM (Vector Eror Correction Model).
30
2.3
Kerangka Pemikiran
Pemerintah
Penerimaan
Pemerintah
Pengeluaran
pemerintah
Kebijakan
Fiskal
p
Non
Pajak
Pajak
Pembangun
an
Rutin
Faktor – faktor yang
mempengaruhi
Pengeluaran pemerintah
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan permasalahan penelitian
seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Perpajakan Indonesia, Bappenas.
Selain dari instansi tersebut data yang digunakan juga diperoleh dari
World
Development Indicators 2011, Statistik Ekonomi Indonesia (SEKI), jurnal, artikel
dan makalah. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah periode
1984 hingga 2011. Data-data yang digunakan sebagai variabel dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1. Data, Simbol, dan Sumber Data
Variabel
Government spending
Inflasi
Investasi
Gross Domestic
Product Growth
Exchange Rate
Tax Revenue
Net Export
3.2
Satuan
Milyar Rupiah
Persen (%)
Milyar Rupiah
Persen (%)
Simbol
G
INF
INV
GW
Sumber
SEKI
WDI
BPS
WDI
Rp/US$
Milyar Rupiah
US Dollar
ER
TR
NE
WDI
WDI
WDI
Defenisi Operasional Variabel
Adapun variabel dan defenisi operasional variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Government Spending (pengeluaran pemerintah) adalah Pengeluaran barang
dan jasa oleh pemerintah daerah dan pusat, tidak termasuk pembayaran
transfer karena tidak terjadi pertukaran barang dan jasa karena pembayaran
transfer.
2.
Inflasi adalah adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum
dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat
yang meningkat atau adanya ketidak lancaran distribusi barang. Inflasi juga
merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
32
3.
Investasi adalah barang–barang yang dibeli oleh individu dan perusahaan
untuk menambah persediaan modal mereka.
4.
Gross Domestic Product (GDP) adalah pendapatan total yang diperoleh
secara domestik, termasuk pendapatan yang diperoleh faktor-faktor produksi
yang dimiliki asing. Dalam penelitian ini digunakan variabel pertumbuhan
ekonomi yakni persentase pertumbuhan PDB indonesia setiap tahunnya.
5.
Tax (Pajak). Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 defenisi pajak
merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi versi UU KUP
(Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan)
ini nyaris hampir sama
dengan definisi Rochmat Soemitro. Kata-kata “iuran” diganti dengan kata
“kontribusi” yang nadanya lebih bersifat positif karena mengandung makna
partisipasi masyarakat. Kemudian ada tambahan “bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat” yang membuat kata pajak lebih bernilai positif, karena
untuk tujuan kemakmuran rakyat melalui penyediaan barang dan jasa publik
seperti pertahanan, keamanan, pendidikan, kesehatan, jalan raya, dan fasilitas
umum lainnya.
6.
Net Export (ekspor bersih). Ekspor bersih merupakan selisih dari ekspor (X)
dan impor (M). Defenisi luas dari ekspor bersih adalah nilai ekspor barang
dari suatu negara dalam suatu tahun tertentu dikurangi dengan nilai impor
barang dari negara-negara lain ke negara tersebut dalam suatu tahun tertentu
(Sukirno, 2004).
3.3
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Vektor Autoregression (VAR). Apabila data yang digunakan tidak stasioner dan
terkointegrasi maka dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model
(VECM). Data data dalam penelitian diolah dengan bantuan perangkat lunak
(software) Eviews 6.0 dan Microsoft Excel.
Keunggulan metode
konvensional adalah :
VAR dibandingkan dengan metode ekonometri
33
1.
Mengembangkan
model secara bersamaan didalam suatu sistem yang
kompleks (multivariat), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan
variabel didalam persamaan itu
2.
Uji VAR yang multivariat dapat menghindari parameter yang bias akibat
tidak dimasukkannya variabel relevan
3.
VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel didalam sistem persamaan,
dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous
4.
Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai
batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu
(Spurious variable endogen dan exogen) di dalam model ekonometri
konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari
penafsiran yang salah.
Sebagai metode ekonometrika, VAR juga tidak luput dari kelemahan. Berikut
beberapa dari kelemahan dari metode VAR :
1.
Model VAR lebih bersifat teoritik karena tidak memanfaatkan informasi
teori-teori terdahulu, oleh karena itu sering disebut model yang tidak
terstruktural
2.
Karena tujuan utamanya untuk forecasting, maka model VAR meyebabkan
implikasi kebijakan kurang tepat
3.
Pemilihan
banyaknya
lag
yang
diikutsertakan
pada
model
juga
menimbulkan masalah baru dalam proses estimasi. Sebagai ilustrasi, bila
mempunyai tiga variabel dalam model VAR dan masing-masing
menggunakan 8 lag maka paling sedikit 24 parameter yang harus diestimasi.
Ini berarti membutuhkan pengamatan yang relatif banyak
4.
Semua variabel yang digunakan dalam VAR harus sudah bersifat stasioner,
jika belum stasioner maka harus ditransformasikan terlebih dahulu agar
stasioner.
Secara keseluruhan metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
terbagi dalam beberapa tahap. Berikut tahapannya :
1.
Uji kausalitas VAR yang akan menunjukkan hubungan yang sebenarnya antar
variabel dalam dunia nyata, setelah terlebih dahulu menentukan panjang lag
optimal.
34
2.
Melakukan uji kointegrasi untuk menentukan model yang akan digunakan
dalam penelitian apakah menggunakan model VAR atau VECM.
3.
Menyusun Variance Decompositions (VD). Dekomposisi varian (VD)
menunjukkan persentasi dari varians eror yang terjadi dalam meramal suatu
variabel pada suatu jangka waktu tertentu yang berkaitan dengan guncangan
tertentu.
4.
Menganalisis Impulse Response Function (IRF). IRF menyusuri jejak dari
respon yang diharapkan dari nilai saat ini dan masa depan dari tiap variabel
terhadap suatu guncangan pada satu dari persamaan VAR.
3.3.1 Model Umum VAR
Pendekatan VAR merupakan rangkaian model time series multivariat yang
dikembangkan oleh Sims. VAR adalah suatu sistem persamaan yang
memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag
dari peubah-peubah yang ada dalam sistem (Enders, 2004). Dalam model VAR,
semua variabel yang digunakan dalam analisis dianggap berpotensi menjadi
variabel endogen, dengan mengabaikan pemisahan antara variabel eksogen dan
variabel endogen atau dalam arti lain yaitu semua variabel berhak menjadi
variabel dependent dan variabel independent. Model VAR dan VECM yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
sebagai
berikut:
Model Umum :
Gt = f ( GWt, INVt, ERt, INFt, TRt, NEt ) ........................................................ (3.1)
Model dalam bentuk matriks,
𝑎0
𝐿𝑛_𝐺
𝑏0
𝐿𝑛_𝐺𝑊
𝑐0
𝐿𝑛_𝐼𝑁𝑉
𝐿𝑛_𝐸𝑅 = 𝑑0 +
𝑒0
𝐼𝑁𝐹
𝑓0
𝐿𝑛_𝑇𝑅
𝑔0
𝐿𝑛_𝑁𝐸
𝑎11 𝑎12 𝑎13 𝑎14 𝑎15 𝑎16 𝑎17
𝑎21 𝑎22 𝑎23 𝑎24 𝑎25 𝑎26 𝑎27
𝑎31 𝑎32 𝑎33 𝑎34 𝑎35 𝑎36 𝑎37
𝑎41 𝑎42 𝑎43 𝑎44 𝑎45 𝑎46 𝑎47
𝑎51 𝑎52 𝑎53 𝑎54 𝑎55 𝑎56 𝑎57
𝑎61 𝑎62 𝑎63 𝑎64 𝑎65 𝑎66 𝑎66
𝑎71 𝑎72 𝑎73 𝑎74 𝑎75 𝑎76 𝑎77
𝑒1𝑡
𝐿𝑛_𝐺𝑡−𝑖
𝑒2𝑡
𝐿𝑛_𝐺𝑊𝑡−𝑖
𝑒3𝑡
𝐿𝑛_𝐼𝑁𝑉𝑡−𝑖
𝐿𝑛_𝐸𝑅𝑡−𝑖 + 𝑒4𝑡 ....... (3.2)
𝑒5𝑡
𝐼𝑁𝐹𝑡−𝑖
𝑒6𝑡
𝐿𝑛_𝑇𝑅𝑡−𝑖
𝑒7𝑡
𝐿𝑛_𝑁𝐸𝑡−𝑖
Keterangan :
G
= Pengeluaran pemerintah Indonesia ( Miliar Rupiah )
GW = Pertumbuhan PDB Indonesia (Persen )
INV = Investasi (Miliar Rupiah )
ER
= Nilai Tukar (RP/US$)
INF = Inflasi (Persen)
TR
= Penerimaan pajak Indonesia (Miliar Rupiah)
NE
= Ekspor bersih (US Dolar)
35
Semua data estimasi yang dipergunakan dalam VAR adalah dalam bentuk
logaritma natural sesuai dengan pendapat Sims dan Enders (2004), kecuali data
yang sudah dalam bentuk persen atau data tersebut memiliki koefisien yang
negatif (sangat kecil) yang tidak mungkin untuk diubah kedalam bentuk logaritma
natural. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan analisis, karena baik
dalam impulse respons maupun variance decomposition, pengaruh guncangan
dilihat dalam standar deviasi yang dapat dikonversi dalam bentuk persentase.
Semua variabel adalah variabel endogen dalam metode VAR, sehingga dalam
model penelitian ini dapat dilihat hubungan saling ketergantungan antara semua
variabel (Agung, 2012).
Selain VAR, terdapat pula VAR FD (Vector Autoregression First
Difference). Perbedaan keduanya terletak pada kestasioneran data yang
digunakan. Model VAR stasioner pada data level, sementara VAR FD stasioner
pada data turunan pertama (first difference).
3.3.2 Uji Stasionaritas Data
Data stasioner adalah data dengan rataan dan ragam konstan sepanjang
waktu pengamatan. Dalam uji stasioneritas ini digunakan Uji Akar Unit (unit Root
Test). Uji ini dimaksudkan untuk menentukan apakah suatu variabel stasioner atau
tidak. Suatu variabel dapat diketahui apakah stasioner atau tidak, dengan
menggunakan uji ADF (Augmented Dickey-Fuller). Jika hasil yang di dapat
dalam pengujian ini belum stasioner maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya
yaitu tahap Uji derajat integrasi (Integration Test).
3.3.3 Metode Kausalitas Granger
Studi kausalitas ditujukan untuk mengukur kekuatan hubungan
antar
variabel dan menunjukkan arah hubungan sebab akibat, dimana X menyebabkan
Y, Y menyebabkan X atau X meyebabkan Y dan Y menyebabkan X. Uji
kausalitas Granger dipercaya jauh lebih bermakna dari uji korelasi biasa (Ascarya,
2009). Beberapa hal dapat diketahui dengan melakukan uji kausalitas Granger
antara lain :
 Apakah X mendahului Y, apakah Y mendahului X atau X dan Y memiliki
hubungan timbal balik
36
 Suatu variabel X dikatakan meyebabkan variabel lain Y, apabila Y saat ini
diprediksi lebih baik dengan menggunakan nilai-nilai masa lalu X
 Asumsi dalam uji ini adalah bahwa X dan Y dianggap sepasang data runtut
waktu yang memiliki kovarian linier yang stasioner.
3.3.4 Uji Optimum Lag
Uji optimum lag sangat penting dalam pendekatan VAR. Pengujian
panjang lag yang optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan
menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarc Criterion (SC) dan
Hannan-Quinn Criterion (HQ). Dalam uji optimum lag, akan menghilangkan
masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Maka dari itu, dengan menggunakan lag
yang optimal diharapkan masalah autokorelasi tidak akan muncul lagi. Besarnya
lag yang dipilih berasal dari lag terpendek.
3.3.5 Uji Stabilitas VAR
Setelah dilakukan uji optimum lag, maka tahap selanjutnya dalam estimasi
VAR adalah dengan uji stabilitas VAR. Uji ini nantinya dimaksudkan untuk
mengetahui valid atau tidaknya analisis Impulse Response Function. Apabila hasil
estimasi VAR tidak stabil, maka Impulse Response Fuction tidak valid, begitu
juga sebaliknya jika hasil estimasi valid, maka Impulse Response Funcion valid.
Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi
polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua
akar dari fungsi polinomial tersebut berada didalam unit circle atau jika nilai
absolutnya kurang dari 1 (<1)
maka model VAR tersebut dianggap stabil
sehingga Impuls Responsive Function (IRF) dan Forecast Error Variance
Decomposition (FEVD) yang dihasilkan dianggap valid.
3.3.6 Uji Kointegrasi (Cointegration Test)
Uji ini merupakan lanjutan dari uji akar unit dan uji derajat integrasi. Uji
kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel–variabel yang tidak
stasioner tersebut terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi ini dikemukakan
oleh Engle dan Granger (1987), sebagai kombinasi linier dari dua atau lebih
variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner.
Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat
37
diinterpretasikan sebagai hubungan
keseimbangan jangka panjang diantara
variabel.
Uji kointegrasi bertujuan untuk mendeteksi stabilitas hubungan jangka
panjang antara variabel endogen dan variabel eksogennya. Dalam penelitian ini
menggunakan Johansen Cointegrating Test. Hipotesis nol dalam uji ini adalah
tidak ada kointegrasi. Jika trace statistic lebih besar dari critical value, maka tolak
H0 sehingga persamaan tersebut terkointegrasi.
3.3.7 Model Vector Autoregression (VAR)
VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah
sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai lag dari peubah-peubah yang ada
dalam sistem (Enders, 2004). Dalam model VAR semua variabel yang digunakan
dalam analisis dapat dianggap berpotensi menjadi variabel endogen dengan
mengabaikan pemisahan antara variabel eksogen dan endogen atau dengan arti
lain, semua variabel berhak menjadi variabel-variabel dependen dan independen.
Selain VAR terdapat pula VAR first diference. Model VAR First Difference
merupakan bentuk VAR yang terestriksi, namun menjelaskan bahwa data yang
diuji tidak stasioner pada level dan tidak memiliki hubungan kointegrasi. Pada uji
sebelumnya didapat bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini stasioner
pada first difference sehingga penelitian ini adalah VAR Difference .
3.3.8 Metode Vector Error Corection Model (VECM)
VECM merupakan model VAR yang terestriksi. Restriksi diberikan karena
data tidak stasioner pada level, namun stasioner pada tungkat tingkat turunan.
Model VECM dan model VAR hampir sama, bedanya adalah model VECM
menjelaskan bahwa data yang di uji, tidak stasioner pada level namun
terkointegrasi. VECM memanfaatkan retriksi kointegrasi tersebut kedalam
spesifikasi modelnya. Karenanya, VECM sering disebut sistem VAR bagi deret
nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi.
Pada uji sebelumnya didapat bahwa data-data yang digunakan dalam
penelitian ini stasioner pada first difference namun terkointegrasi pada tahap uji
kointegrasi. Oleh karena itu, berdasarkan hasil tersebut, model yang digunakan
pada penelitian ini adalah model VAR First Difference, dan dilanjutkan dengan
model VECM.
38
Berikut adalah model VECM dari penelitian ini:
1
𝑖=1 𝛼GWt-1 +
Gt-1 =
+
1
𝑖=1 𝜃
1
𝑖=1 𝛽
TRt-1 +
INVt-1 +
1
𝑖=1 𝜔
1
𝑖=1 𝛾
NEt-1 + εt
ERt-1 +
1
𝑖=1 𝛿
INFt-1
..................................................................................
(3.3)
Dimana:
G
= Pengeluaran pemerintah Indonesia (Miliar Rupiah)
GW = Pertumbuhan PDB Indonesia (Persen )
INV = Investasi (Miliar Rupiah )
ER
= Nilai Tukar (RP/US$)
INF = Inflasi (Persen)
TR
= Penerimaan pajak Indonesia (Miliar Rupiah)
NE
= Ekspor bersih (US Dolar)
3.4
Innovation Accounting
3.4.1 Impulse Respons Function (IRF)
Model VAR juga dapat digunakan untuk melihat dampak perubahan dari
satu variabel dalam sistem terhadap variabel lainnya dalam sistem secara dinamis.
Caranya adalah dengan memberikan guncangan/shock pada salah satu peubah
endogen. Guncangan yang diberikan biasanya sebesar satu standar deviasi dari
peubah tersebut. Penelusuran pengaruh guncangan sebesar satu standar deviasi
yang dialami oleh satu variabel dalam sistem terhadap nilai-nilai semua variabel
saat ini dan beberapa periode yang akan datang disebut sebagai teknik Impulse
Response Function (IRF).
Impulse Response Function (IRF) adalah suatu metode yang digunakan
untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu guncangan
tertentu. Hal ini dikarenakan guncangan suatu variabel tidak hanya berpengaruh
terhadap variabel itu saja tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen
lainnya melalui stuktur dinamis atau strukur lag dalam VECM. Dengan kata lain
IRF mengukur pengaruh suatu guncangan/shock pada suatu waktu kepada inovasi
variabel endogen pada saat tersebut dan saat dimasa yang akan datang.
3.4.2 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam
suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh
variabel-variabel lainnya adalah FEVD. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan
dan kelemahan masing-masing variabel memengaruhi variabel lainnya dalam
kurun waktu panjang.
39
Analisis FEVD dalam model VAR bertujuan untuk memprediksi
kontribusi persentase setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu
dalam sistem VAR. Analisis IRF yang dijelaskan sebelumnya digunakan untuk
melihat dampak guncangan dari satu variabel terhadap variabel lainnya, sementara
analisis FEVD digunakan untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap peubah
dalam sistem VAR karena adanya guncangan. Jadi melalui FEVD dapat diketahui
faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu.
3.5
Alat Analisis Data
Dalam penelitian ini, digunakan program E-Views sebagai alat analisis
data. Data yang telah diperoleh kemudian di input kedalam workfile E-Views,
selanjutnya akan diolah sedemikian rupa melalui beberapa tahap sehingga
mendapatkan hasil-hasil yang dibutuhkan dalam penelitian ini, seperti uji akar
unit, uji lag optimal, uji kausalitas Granger, uji kointegrasi, dan estimasi VAR.
Jika pada pengolahan data pada uji kointegrasi terdapat persamaan yang
terkointegrasi, maka tahap estimasi yang dilakukan adalah model VECM.
3.6
Tahapan Pengolahan Data
Berikut adalah tahapan analisis pengolahan data dalam penelitian ini
Uji stasionaritas
Uji lag optimal
Uji stabilitas VAR
Uji kointegrasi
Analisis VECM
40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Uji Pra Estimasi
4.1.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test)
Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang telah
ditentukan harus dipenuhi. Salah satu asumsi dasar regresi linier klasik yang
sering diabaikan adalah asumsi stasioneritas yang merupakan dasar berpijaknya
ekonometrika
(Insukindro,1991).
Pengabaian
terhadap
adanya
asumsi
stasioneritas menyebabkan regresi lancung (spurious regression).
Data variabel ekonomi banyak menggunakan data time series, oleh karena
itu data ini sering menimbulkan permasalahan terkait dengan kestasioneritasan
data. Dalam statistik dan ekonometrik, uji akar unit digunakan untuk menguji
adanya anggapan bahwa sebuah data time series tidak stasioner. Uji yang biasa
digunakan adalah Uji Augmented Dickey–Fuller. Uji lain yang serupa yaitu Uji
Phillips–Perron. Keduanya mengindikasikan keberadaan akar unit sebagai
hipotesis null. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah data
yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang
konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Data stasioner adalah data yang
menyebar pada rataan dan simpangan baku tertentu. Hampir 95 persen data-data
ekonomi tidak stasioner. Olehkarena itu harus dilakukan pengujian terlebih dahulu
terhadap kestasioneran data tersebut. Dalam penelitian ini uji yang digunakan
adalah Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) melalui uji akar unit. Model yang
mengandung akar unit akan menimbulkan ketidakvalidan serta menghasilkan
spurious regression atau regresi palsu (Firdaus, 2011).
Regresi palsu/lancung (spurious regression) merupakan data yang
memiliki R2 tinggi, t-statistik dan f-statistik yang signifikan tetapi memiliki dw
yang relative kecil yaitu kurang dari 0,5 (< 0,5). Regresi tersebut terlihat bagus
namun pada kenyataannya tidak, dan hasilnya tidak dapat diinterpretasikan secara
ekonomi. Regresi lancung terjadi ketika hasil regresi menunjukkan hubungan
yang signifikan antarvariabel padahal hal tersebut tidak lain adalah hubungan
contemporaneous dan tidak memiliki makna kausal (Harris, 1995: 14).
Dalam Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF), jika nilai ADF lebih kecil
dari Mc Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut
41
stasioner, sementara jika nilai ADF lebih besar dari Mc kinnon Critical Value
berarti data tersebut tidak stasioner. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini
nilai kritis Mc Kinnon yang digunakan adalah pada taraf nyata 5 persen. Jika data
berdasarkan uji ADF tidak stasioner maka solusinya adalah dengan proses
diferensiasi.
Berikut hasil uji akar unit setiap variabel pada tingkat level dalam penelitian
ini.
Tabel 4.1 Uji Akar Unit Pada Tingkat Level
Variabel Nilai ADF
G
GW
INV
-5.692273
-3.484692
-2.463660
Nilai Kritis Mc Kinnon
1%
5%
10%
-4.33933
-3.587527 -3.229230
-3.699871 -2.976263 -2.627420
-3.699871 -2.976263 -2.627420
ER
-1.390764
-3.699871
-2.976263
-2.627420
INF
TR
-5.446965
-1.655848
-3.699871
-3.699871
-2.976263
-2.976263
-2.627420
-2.627420
NE
-0.823032
-3.699871
-2.976263
-2.627420
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Tidak
Stasioner
Tidak
Stasioner
Stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
Stasioner
Sumber: data diolah
Berdasarkan hasil pengujian akar unit pada tingkat level dapat diketahui
bahwa dengan menggunakan taraf nyata lima persen terdapa empat variable yang
tidak stasioner, antara lain investasi (INV),nilai tukar (ER), penerimaan pajak
(TR), ekspor bersih (NE) sementara variable lainnya (belanja pemerintah (G),
pertumbuhan ekonomi/PDB (GW), inflasi (INF)) stasioner pada tingkat level.
Data yang tidak stasioner dapat mengakibatkan regresi lancung (spurious
regression) apabila diregresi.
Untuk menjadikan data yang tidak stasioner
menjadi data stasioner maka melakukan diferensiasi data. Pada tingkat
diferensiasi pertama (first diffrerence) umumnya data sudah stasioner. Berikut
hasil uji akar unit setiap variabel pada tingkat diferensiasi pertama.
42
Tabel 4.2 Uji Akar Unit Pada Tingkat Diferensiasi Pertama
Variabel
G
GW
INV
ER
INF
TR
NE
Nilai ADF
-6.616552
-6.494443
-4.703183
-5.314595
-6.284779
-6.284779
-5.922290
Nilai Kritis Mc Kinnon
1%
5%
10%
-4.374307
-3.603202
-3.238054
-3.711457
-2.981038
-2.629906
-3.711457
-2.981038
-2.629906
-3.711457
-2.981038
-2.629906
-3.724070
-2.986225
-2.632604
-3.711457
-2.981038
-2.629906
-3.724070
-2.986225
-2.632604
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Sumber: data diolah
Berdasarkan hasil uji akar-akar unit pada tabel 4.2, diketahui bahwa
seluruh data telah stasioner. Dengan kata lain bahwa seluruh variabel stasioner
pada tingkat diferensiasi pertama (first diffrence). Hal itu dapat diketahui karena
nilai ADF lebih kecil dari nilai Mc Kinnon.
4.1.2. Uji Lag Optimal
Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR
adalah penentuan jumlah lag optimal yang digunakan dalam model. Penentuan
lag optimal merupakan tahap penting karena variabel independen yang digunakan
adalah lag dari variabel dependen dan juga variabel independennya. Selain hal
tersebut penentuan lag optimal penting karena berkaitan dengan keakuratan
informasi yang dihasilkan oleh estimasi model VAR. Pengujian panjang lag yang
optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan
Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC) dan Hanan-Quinn
Criterion (HQ).
Tabel 4.3 Hasil Uji Lag Optimal
Lag
0
1
2
LR
NA
246.3622*
61.93655
FPE
0.074544
4.24e-06
1.77e-06*
AIC
17.26850
7.350941
5.489577*
SC
17.60722
10.06069*
10.57035
HQ
17.36604
8.131250
6.952656*
Sumber: data diolah
Tabel 4.3 memperlihatkan hasil tingkat lag optimal berdasarkan berbagai
kriteria. Dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai SC pada lag 1 merupakan
yang terkecil atau minimum, sehingga lag optimal untuk variabel-variabel yang
ingin diestimasi adalah satu.
43
4.1.3. Uji Stabilitas VAR
Sebelum analisis berupa proses innovation accounting dilaksanakan,
dilakukan terlebih dahulu pengujian stabilitas terhadap data. Sistem VAR pada
lag optimal harus stabil. Hal ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh
model dinamik seperti VAR. Sistem VAR yang tidak stabil akan membuat hasil
Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition
(FEVD) tidak valid. Uji stabilitas berdasarkan modulus atau unit lingkaran akan
diterapkan untuk menentukan apakah sistem VAR tersebut stabil pada lag
optimal. Stabilitas sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh akar unitnya memiliki
modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak didalam unit lingkaran.
Tabel 4.4 Hasil Uji Stabilitas VAR
Root
0.949791
0.674162 – 0.294734i
0.674162 + 0.294734i
0.679999
-0.251726 – 0.260855i
-0.251726 + 0.260855i
0.143282
Modulus
0.949791
0.735774
0.735774
0.679999
0.362507
0.362507
0.143282
Sumber: data diolah
Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa model VAR yang digunakan dalam
penelitian ini stabil pada lag optimalnya, yaitu pada lag satu karena nilai modulus
dari seluruh roots memiliki nilai kurang dari satu. Dengan demikian peramalan
menggunakan Impulse Response Function (IRF) dan Forever Error Variance
Decomposition (FEVD) yang akan dihasilkan dianggap valid.
4.1.4.
Uji Kausalitas Granger
Analisis hubungan kausalitas dari setiap variabel dapat dilihat dari uji
kausalitas granger. Dalam penelitian ini, uji kausalitas
dilakukan dengan
menggunakan Granger Causality Test dengan hipotesis awal (H0) tidak ada
hubungan kausalitas dan
hipotesis alternatifnya (H1) terdapat hubungan
kausalitas. Kriteria penolakan H0 adalah dengan melihat nilai probabilitas yang
lebih kecil dari nilai kritis yang ditantukan. Hasil uji kausalitas granger dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.5
44
Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger
Variabel Probabilytas does Not Granger Cause
G
GW
INV
INF
G
0.8518 0.7565 0.8459
GW
0.4144 0.7826
0.0126*
INV
0.2098
0.4285
0.3270
INF
0.00001* 0.7325 0.3092
NE
0.0710
0.8714 0.8795 0.8889
ER
0.2831
1.0000 0.07738 0.8064
TR
0.0062* 0.6903 0.2183 0.8412
NE
0.0597
0.7936
0.0516
0.5594
ER
0.8034
0.7283
0.0716
0.4215
0.6334
0.0013*
0.0019* 0.1997
TR
0.0023*
0.3744
0.1625
0.7795
0.5623
0.9997
Sumber: data diolah
Hasil Uji kausalitas pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa terdapat hubungan
dua arah antara variabel TR dengan variabel G. Hipotesis nol yang menyatakan
bahwa TR tidak mempengaruhi G, ditolak pada tingkat signifikansi lima persen
( tolak H0, pada α = 5%), demikian juga dengan sebaliknya. Hipotesis nol yang
menyatakan bahwa G tidak mempengaruhi TR ditolak pada tingkat signifikasi
lima persen. Artinya penerimaan pajak mempengaruhi pengeluaran/belanja
pemerintah, sebaliknya pengeluaran pemerintah mempengaruhi penerimaan pajak.
Berdasarkan Tabel 4.5 juga diperoleh beberapa variabel yang memiliki
hubungan satu arah dengan variabel lainnya pada tingkat signifikansi lima persen.
Varibel yang memiliki hubungan satu arah tersebut antara lain variabel GW
dengan variabel G, variabel INF dengan variabel G, variabel ER dengan variabel
NE, dan variabel TR dengan Variabel NE.
4.1.5. Uji Kointegrasi
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR atau VECM adalah
semua variabel endogen dan variabel eksogen bersifat stasioner. Apabila variabel
tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Jika variabel yang tidak
stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel dalam sistem akan
bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan yang stabil (Enders, 1995).
Pengujian kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka
panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan selama proses integrasi
yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat
satu I (1). Salah satu cara untuk menguji kointegrasi yaitu dengan menggunakan
uji kointegrasi Johansen.
45
Dalam penelitian ini uji kointegrasinya menggunakan pendekatan
Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang
digunakan, yaitu lima persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value
lima persen maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil uji
kointegrasi berdasarkan trace test dapat dilihat pada Tabel 4.6
Tabel 4.6 Hasil Uji Kointegrasi
Hyputhesized
No.of CE (s)
None*
At most 1*
At most 2*
At most 3
At most 4
At most 5
Eigenvalue
Trace statistic 0.05 Critical Value
Prob.**
0.935471
0.914792
0.717396
0.513988
0.470493
0.248177
213.9335
142.6769
78.64778
45.79138
27.03182
10.50081
0.0000
0.0000
0.0083
0.0772
0.1008
0.2442
125.6154
95.75336
69.81889
47.85613
29.79707
15.49471
Sumber: data diolah
Jika trace statistic lebih besar dari critical value
lima persen,maka
persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian H0 = non kointegrasi dengan
hipotesis alternatifnya H1 = kointegrasi. Jika trace statistic lebih besar dari critical
value lima persen, maka tolak H0 atau terima H1 yang artinya terjadi kointegrasi.
Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa terdapat tiga persamaan yang terkointegrasi
dalam penelitian ini. Karena terdapat persamaan yang terkointegrasi maka model
yang akan digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM),
46
4.2
Hasil Estimasi VECM
Dalam penelitian ini diketahui bahwa data tidak stasioner pada tingkat
level dan memiliki hubungan kointegrasi, maka metode yang digunakan adalah
VECM. Estimasi VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian (speed
of adjustment) atas ketidakstabilan jangka panjang.
Berikut adalah hasil estimasi VECM:
Tabel 4.7. Hasil Estimasi VECM
Variabel
D(G(-1))
D(TR(-1))
D(INV(-1))
D(ER(-1))
D(NE(-1))
D(INF(-1))
D(GW(-1))
CointEq1
CointEq2
CointEq3
ER(-1)
NE(-1)
INF(-1)
GW(-1)
Koefisien
Jangka Pendek
-0.024003
0.615376
-0.134906
0.232028
0.499099
0.016210
0.131465
0.021919
0.106968
0.196814
Jangka Panjang
-1.763985
-0.951694
0.103044
-0.350687
T-Statistik
-0.11960
1.78643
-1.15844
0.36084
2.45276*
1.56646
3.79761*
0.30064
1.60282
3.10773*
-4.42568*
-2.05715*
5.24666*
-5.89491*
Catatan: tanda asterik (*) menunjukkan signifikan berdasarkan tabel T-statistik
pada taraf nyata 5 persen. Sumber: data diolah
Tabel diatas merupakan rangkuman hasil VECM untuk melihat pengaruh
dan signifikansi variabel dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka
pendek, penerimaan pajak, nilai tukar, ekspor bersih, inflasi dan pertumbuhan
PDB berpengaruh positif namun tidak semuanya variabel tersebut sigifikan.
Penerimaan pajak, nilai tukar, inflasi memiliki pengaruh positif, namun tidak
signifikan. Sedangkan variabel ekspor bersih dan pertumbuhan PDB memiliki
pengaruh positif dan signifikan.
Hasil estimasi VECM
jangka pendek
menunjukkan bahwa variabel
ekspor bersih berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dan signifikan
pada taraf nyata 5 persen sebesar 0,499099. Artinya apabila terjadi kenaikan pada
ekspor bersih sebesar satu persen maka akan menyebabkan peningkatan
pengeluaran pemerintah sebesar 0,499099 persen. Beberapa teori ekonomi
47
menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi tingkat output
nasional. Pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi akan meningkatkan output
agregat. Peningkatan output agregat ini mengakibatkan penurunan impor dan
mendorong peningkatan ekspor, sehingga pendapatan negara meningkat karena
penerimaan negara dari ekspor mengalami peningkatan.
Variabel pertumbuhan PDB pada lag pertama signifikan dan berpengaruh
positif terhadap pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek sebesar 0,131465.
Artinya apabila terjadi kenaikan pertumbuhan PDB sebesar satu persen maka akan
menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,131465 persen. Hal
ini sesuai dengan teori Wagner yang menyatakan bahwa dalam suatu
perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif
pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama apabila terjadi kegagalan
pasar. Kegagalan bisa saja terjadi menimpa industri-industri tertentu dari negara
tersebut. Kegagalan dari suatu industri dapat saja berpengaruh ke industri lain
yang saling terkait. Disini diperlukan peran pemerintah untuk mengatur hubungan
antara masyarakat, industri, hukum, pendidikan, dll.
Hasil dari penelitian ini juga sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman.
Dimana, inti dari teori ini adalah pertumbuhan PDB menyebabkan pemungutan
pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya
penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga meningkat. Oleh
karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan
pemerintah semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi
semakin besar.
Tabel 4.7 juga menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat empat
variabel yang signifikan secara statistik pada taraf nyata lima persen terhadap
variabel pengeluaran pemerintah. Variabel nilai tukar (ER), ekspor bersih (NE)
dan pertumbuhan PDB (GW) berpengaruh negatif terhadap pengeluaran
pemerintah. Sementara variabel inflasi memiliki pengaruh positif terhadap
pengeluaran pemerintah.
Variabel nilai tukar (ER) berpengaruh negatif dan signifikan dalam jangka
panjang. Variabel nilai tukar pada jangka panjang signifikan secara statistik pada
taraf nyata 5 persen sebesar 1,763985. Artinya apabila terjadi kenaikan nilai tukar
48
sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan pengeluaran pemerintah sebesar
1,763985 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa
apabila terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS akan berdampak
pada penurunan jumlah Rupiah, karena terjadi penurunan pembiayaan barang dan
jasa yang menggunakan valuta asing. Kondisi tersebut menyebabkan pengeluaran
pemerintah mengalami penurunan.
Variabel inflasi (INF) berpengaruh positif dan signifikan dalam jangka
panjang dengan koefisien 0,103044. Artinya apabila terjadi kenaikan inflasi
sebesar 1 persen maka akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah
sebesar 0,103044 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pengeluaran
pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi. Kenaikan tingkat inflasi akan
meyebabkan peningkatan
pengeluaran pemerintah. Tingkat inflasi yang
meningkat ditandai dengan kenaikan harga barang dan jasa serta faktor produksi.
Oleh karena itu peningkatan tingkat inflasi akan mengakibatkan kenaikan pada
pengeluaran total. Pengeluaran total dapat berasal dari pengeluaran konsumsi
masyarakat, konsumsi pemerintah dan pengeluaran investasi sektor swasta.
Variabel pertumbuhan PDB (GW) berpengaruh negatif dan signifikan
dalam jangka panjang dengan nilai koefisien sebesar 0,350687. Artinya dalam
jangka panjang apabila terjadi kenaikan pertumbuhan PDB sebesar 1 persen akan
menyebabkan penurunan pengeluaran pemerintah sebesar 0,350687 persen. Hasil
ini adalah sesuai dengan penelitian Ramayadi (2003) yang menyatakan bahwa
pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dan
mempunyai hubungan dalam jangka panjang. Hipotesis ini juga sesuai dengan
teori Keynesian yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang pendapatan
nasional memberikan pengaruh positif terhadap investasi. Peningkatan pendapatan
nasional ataupun PDB menyebabkan kenaikan permintaan masyarakat. Untuk
memenuhi peningkatan permintaan masyarakat tersebut maka jumlah produksi
akan ditingkatkan, sehingga diperlukan investasi-investasi baru dan terjadi
perluasan kesempatan kerja.
Berdasarkan teori Musgrave dan Rostow, perkembangan pengeluaran
pemerintah sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu negara. Pada
tahap awal perkembangan ekonomi diperlukan pengeluaran yang besar untuk
49
investasi pemerintah utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana
jalan, kesehatan, pendidikan, dll. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi
investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi namun diharapkan
investasi swasta sudah mulai berkembang, sehingga pengeluaran pemerintah
terhadap investasi pemerintah berkurang. Pada tahap lanjut pembangunan
ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan utamanya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat misalnya peningkatan pendidikan, kesehatan dan
jaminan sosial dsb. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang peran
investasi swasta akan semakin meningkat namun sebaliknya untuk
investasi
pemerintah akan semakin menurun sehingga mengakibatkan pengeluaran
pemerintah mengalami penurunan, sementara PDB mengalami kenaikan atau
dengan kata lain terjadi pertumbuhan ekonomi.
50
4.3
Analisis Impulse Response Function (IRF)
4.3.1 Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Pengeluaran Pemerintah Sebelumnya
Guncangan pengeluaran pemerintah periode sebelumnya adalah sangat
berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran pemerintah periode selanjutnya.
Banyak hal yang meyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut
diantaranya adalah adanya peningkatan tingkat inflasi, tingkat suku bunga, nilai
tukar rupiah yang melemah terhadap valuta asing, meningkatnya pengeluaran
pemerintah terhadap pengeluaran investasi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan
hasil dari penelitian ini. Dalam grafik respon pengeluaran pemerintah terhadap
guncangan yang diberikan terhadap variabel itu sendiri dapat dilihat bahwa
guncangan yang diberikan terhadap pengeluaran pemerintah direspon positif oleh
variabel itu sendiri pada periode selanjutnya. Dimana guncangan pengeluaran
pemerintah sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan
pengeluaran pemerintah sebesar 0,13 persen pada periode tahun pertama.
Response of G to Cholesky
One S.D. G Innovation
.14
.12
.10
.08
.06
.04
.02
.00
1
Gambar 4.1
2
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Pengeluaran Pemerintah
4.3.2. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Pertumbuhan PDB
Guncangan pertumbuhan PDB pada tahun pertama belum direspon oleh
pengeluaran
pemerintah.
Namun
pada
periode
selanjutnya
guncangan
pertumbuhan PDB telah mendapat respon dari variabel pengeluaran pemerintah.
Guncangan pada pertumbuhan PDB direspon positif oleh pengeluaran pemerintah.
51
Berdasarkan gambar 4.2 dapat dilihat bahwa peran pengeluaran pemerintah
terhadap pertumbuhan PDB adalah sangat kecil, sehingga belum cukup
menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini adalah dipengaruhi oleh
tingginya konsumsi dari penduduk Indonesia. Mengingat bahwa jumlah
penduduk Indonesia tergolong cukup besar.
Response of G to Cholesky
One S.D. GW Innovation
.07
.06
.05
.04
.03
.02
.01
.00
1
2
3
4
5
Gambar 4.2 Respon Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Pertumbuhan PDB
4.3.3. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Investasi
Guncangan satu standar deviasi pada investasi belum direspon oleh
pengeluaran pemerintah pada periode awal. Namun pada periode selanjutnya
guncangan pada investasi telah direspon oleh pengeluaran pemerintah. Hal ini
menunjukkan guncangan yang terjadi pada investasi tidak terlalu berpengaruh
terhadap perubahan pengeluaran pemerintah. Dapat dilihat pada gambar 4.3,
dimana pada periode kedua guncangan investasi sebesar satu standar deviasi akan
menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,025 persen.
52
Response of G to Cholesky
One S.D. INV Innovation
.04
.02
.00
-.02
-.04
-.06
1
Gambar 4.3
2
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Investasi
4.3.4. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Nilai
Tukar
Guncangan yang terjadi pada nilai tukar pada periode pertama direspon
positif oleh pengeluaran pemerintah. Guncangan nilai tukar sebesar satu standar
deviasi pada periode pertama menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah
sebesar 0,18 persen. Pada periode kedua guncangan nilai tukar direspon negatif
oleh pengeluaran pemerintah sebesar 0,18 persen. Periode ketiga hingga periode
selanjutnya guncangan nilai tukar direspon positif oleh pengeluaran pemerintah,
artinya depresiasi nilai tukar Rupiah mengakibatkan peningkatan pengeluaran
pemerintah. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa apabila
terjadi depresiasi rupiah akan berdampak pada peningkatan jumlah rupiah yang
dikeluarkan untuk pembiayaan ekonomi internasional. Pembiayaan ekonomi
internasional antara lain transaksi perdagangan internasional yang pembayarannya
menggunakan valuta asing. Depresiasi mata uang rupiah menyebabkan
peningkatan pembayaran valuta asing sehingga berdampak pada peningkatan
pengeluaran pemerintah. Depresiasi mata uang Rupiah juga akan menyebabkan
jumlah utang luar negeri Indonesia semakin meningkat. Hasil IRF ini
menunjukkan bahwa nilai tukar memiliki pengaruh besar terhadap perubahan
pengeluaran pemerintah.
53
Response of G to Cholesky
One S.D. ER Innovation
.20
.15
.10
.05
.00
-.05
-.10
-.15
-.20
1
2
Gambar 4.4
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Nilai Tukar
4.3.5. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Inflasi
Guncangan pada inflasi tidak direspon cepat oleh pengeluaran pemerintah.
dibuktikan dengan guncangan inflasi pada periode pertama belum direspon oleh
pengeluaran pemerintah.
Response of G to Cholesky
One S.D. INF Innovation
.04
.02
.00
-.02
-.04
-.06
-.08
-.10
-.12
1
Gambar 4.5
2
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Inflasi
Guncangan inflasi sangat berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran
pemerintah, terutama pada jangka yang pendek, namun semakin lama pengaruh
54
guncangan inflasi terhadap pengeluaran pemerintah akan semakin kecil.
Guncangan inflasi secara umum direspon negatif oleh pengeluaran pemerintah.
Pada periode kedua guncangan inflasi sebesar satu standar deviasi mengakibatkan
perubahan pengeluaran pemerintah sebesar 0,12 persen.
Pada keadaan Inflasi, daya saing untuk barang ekspor berkurang.
Berkurangnya daya saing terjadi karena harga barang ekspor makin mahal. Masih
dapat menyulitkan para eksportir dan negara. Negara mengalami kerugian karena
daya saing barang ekspor berkurang, yang mengakibatkan jumlah penjualan
berkurang. Devisa yang diperoleh juga semakin kecil.
4.3.6. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Penerimaan Pajak
Guncangan penerimaan pajak pada tahun pertama belum mendapat respon
dari pengeluaran pemerintah. Variabel pengeluaran pemerintah mulai merespon
guncangan penerimaan pajak pada tahun selanjutnya. Secara umum respon
pengeluaran pemerintah terhadap guncangan penerimaan pajak adalah positif.
Response of G to Cholesky
One S.D. TR Innovation
.05
.04
.03
.02
.01
.00
1
2
3
4
5
Gambar 4.6 Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Penerimaan Pajak
Dari gambar 4.6 pada periode ketiga (periode dengan respon tertinggi)
dapat dilihat guncangan penerimaan pajak sebesar satu standar deviasi
menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah hanya sebesar 0,04 persen.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa guncangan yang terjadi pada penerimaan
pajak tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran pemerintah.
55
4.3.7. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Ekspor Bersih
Guncangan ekspor bersih pada tahun pertama belum mendapat respon dari
pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah baru merespon guncangan
ekspor bersih pada tahun selanjutnya. Dari hasil IRF variabel ekspor bersih
terhadap variabel pengeluaran pemerintah dapat dilihat bahwa variabel ekspor
bersih sangat memengaruhi variabel pengeluaran pemerintah terutama dalam
jangka pendek. Guncangan ekspor bersih pada lima periode awal direspon positif
oleh pengeluaran pemerintah.
Response of G to Cholesky
One S.D. NE Innovation
.035
.030
.025
.020
.015
.010
.005
.000
1
Gambar 4.7
4.4
2
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Ekspor Bersih
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi dari masing masing
variabel terhadap guncangan yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen
utama yang diamati. Dengan kata lain, FEVD menjelaskan proporsi variabel lain
dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam
kaitannya dengan FEVD maka penelitian ini akan membahas bagaimana
kontribusi berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian
terhadap pengeluaran pemerintah.
Berdasarkan hasil dekomposisi varian (gambar 4.8), dapat disimpulkan
bahwa variabel pengeluaran pemerintah dominan dijelaskan oleh guncangan pada
variabel itu sendiri dari awal periode hingga akhir periode. Pada periode pertama
56
variabel pengeluaran pemerintah
memiliki kontribusi yang besar
terhadap
variabel itu sendiri yaitu sekitar 33 persen. Pada periode pertama yang paling
banyak memberi kontribusi terhadap pengeluaran pemerintah adalah variabel nilai
tukar yaitu sebesar 77 persen. Pada periode kedua tampak variabel-variabel lain
mulai mempengaruhi
variabilitas
dari variabel pengeluaran pemerintah.
Gambar 4.8 Variance Decomposition of G
110
100
90
80
70
60
50
40
5
10
15
20
ER
INF
TR
25
G
INV
30
35
40
45
50
GW
NE
Hasil FEVD diatas juga menunjukkan bahwa variabel yang memberikan
kontribusi besar terhadap guncangan pada pengeluaran pemerintah adalah nilai
tukar, inflasi dan pertumbuhan PDB negara Indonesia. Selain dari variabel
tersebut
hanya memberikan kontribusi yang sedikit terhadap guncangan
pengeluaran pemerintah.
57
4.5
Implikasi Kebijakan
Pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya mengalami perubahan.
Masing-masing negara memiliki target pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai
setiap periode, demikian juga dengan negara Indonesia. Hal inilah yang menjadi
tujuan dari peningkatan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, yakni mencapai
target pertumbuhan ekonomi yang telah ditentukan pada awalnya. Untuk
mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut
pemerintah dapat melakukan
kebijakan manajemen pengelolaan pengeluaran pemerintah, sehingga pengeluaran
pemerintah tersebut terstruktur dan jelas. Seperti halnya dalam Penyusunan
RAPBN haruslah optimal, dan pelaksanaan APBN harus sesuai dengan RAPBN
tersebut. Pengelolaan pengeluaran pemerintah yang baik juga akan berdampak
pada kondisi lingkungan ekonomi yang kodusif. Lingkungan yang kondusif ini
secara langsung akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
ekonomi Indonesia.
Menurut sumber terjadinya inflasi, inflasi dipengaruhi dari sisi permintaan
dan sisi penawaran. Dimana inflasi dari sisi permintaan dapat dipengaruhi oleh
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal contohnya kebijakan defisit atau surplus
anggaran. Sedangkan, inflasi dari sisi penawaran terjadi diluar otoritas moneter
seperti Tarif Dasar Listrik, harga BBM, dan harga pangan. Implikasi kebijakan
untuk meminimalisir dampak dari guncangan
inflasi ini yaitu perlu adanya
koordinasi yang baik antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan
harga dalam mengendalikan inflasi. Hal ini, dikarenakan bank indonesia hanya
dapat mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar dari sektor moneter
saja. Oleh karena itu perlu ada kerja sama yang baik dengan pemerintah dalam
pengendalian inflasi dari sektor lainnya. Kebijakan
menyangkut pengaturan
tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat
mempengaruhi permintaan total dan dengan demikian akan mempengaruhi harga.
Inflasi dapat dicegah melalui penurunan permintaan total. Kebijakan yang berupa
pengurangan pengeluaran pemerintah serta kenaikan pajak akan dapat mengurangi
permintaan total. Sehingga, inflasi dapat ditekan.
Ketika terjadi depresiasi nilai tukar maka harga barang impor meningkat.
Peningkatan harga barang impor ini dapat menyebabkan peningkatan struktur
58
biaya ataupun peningkatan pengeluaran pemerintah sehingga mendorong
terjadinya kenaikan harga barang domestik. Implikasi kebijakan yang dapat
dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yaitu melalui kebijakan suku
bunga dalam operasi pasar terbuka. Ketika suku bunga SBI dinaikkan maka
masyarakat akan cenderung menukarkan uangnya dengan surat berharga atau
obligasi, karena suku bunga adalah harga uang dimasa depan. Sehingga jumlah
uang beredar di masyarakat berkurang. Apabila uang rupiah relatif berkurang
dibandingkan mata uang asing, maka nilai rupiah akan cenderung menguat
terhadap mata uang asing.
Ekpor bersih yang semakin meningkat akan membawa pengaruh positif
terhadap pembangunan ekonomi Indonesia melalui pertumbuhan produk domestik
bruto. Untuk itu pemerintah harus menggalakkan kebijakan ekspor berjumlah
lebih besar daripada impor, dan kebijakan mencintai produk Indonesia. Tujuan
dari kebijakan tersebut adalah perolehan surplus perdagangan luar negeri yang
berpengaruh terhadap cadangan devisa Indonesia yang melimpah. Devisa yang
dihasilkan dari ekspor merupakan penebus dari impor. Peningkatan cadangan
devisa akan meningkatkan pendapatan pemerintah dan memperkecil perluang
terjadinya defisit anggaran. Peningkatan cadangan devisa ini juga dapat
membantu Indonesia mengatasi masalah utang luar negeri. Akan lebih baik lagi
apabila Industri nasional memiliki orientasi ekspor sehingga terjadi perluasan
kesempatan kerja atau tingkat penyerapan angkatan kerja mengalami peningkatan.
Kondisi tersebut akan menyebabkan neraca pembayaran yang favorable/sehat.
Artinya total ekspor lebih besar dibandingkan dengan total impor dan peningkatan
cadangan devisa yang diperoleh dari surplus ekspor bukan dari bertambahnya
utang luar negeri.
Pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan pendapatan nasional.
Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian pembangunan ekonomi yang bersifat
konkret dan nyata. Dalam pandangan permintaan agregat Keynesian, pendapatan
nasional dihasilkan lewat konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ditambah
keseimbangan ekspor impor (ekspor bersih). Jadi produk domestik bruto
meningkat, jika pelaku ekonomi dalam arus kegiatan ekonomi melakukan
aktivitas belanja yang meningkat. Dengan kata lain, terjadi peningkatan belanja
59
konsumsi oleh konsumen, produsen memperbesar investasinya, belanja negara
meningkat dan terjadi peningkatan ekspor bersih. Oleh karena itu, kebijakan
ekonomi pemerintah yang diberlakukan adalah kebijakan berfokus pada
pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh perluasan kesempatan kerja,
perkembangan harga dan nilai tukar yang stabil, serta utang luar negeri yang
terkendali sehingga tidak terjadi “gali lubang, tutup lubang” dalam APBN.
60
BAB V. PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Negara Indonesia setiap tahunnya mengalami pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi ini dibarengi dengan
peningkatan pengeluaran
pemerintah Indonesia setiap tahunnya. Bahkan dalam beberapa tahun
Indonesia mengalami tahun-tahun defisit anggaran yakni pengeluaran
pemerintah
lebih besar daripada penerimaan pemerintah. Berdasarkan
hasil penelitian, dalam jangka pendek variabel yang signifikan adalah
variabel ekspor bersih dan pertumbuhan ekonomi. Sementara variabel
yang signifikan dalam jangka panjang adalah variabel nilai tukar, ekspor
bersih, inflasi, pertumbuhan ekonomi. Variabel yang signifikan dalam
jangka pendek signifikan juga dalam jangka panjang namun memiliki
pengaruh yang berbeda. Hal ini ditandai dengan perbedaan tanda koefisien
variabel tersebut. Dalam jangka pendek penerimaan pemerintah Indonesia
yang berasal dari penerimaan pajak memiliki hubungan positif, namun
tidak signifikan terhadap pengeluaran pemerintah Indonesia.
2. Hasil Impulse Response Function (IRF) menunjukkan bahwa jika suatu
guncangan diberikan terhadap variabel ekonomi seperti pertumbuhan PDB
(GW), investasi (INV), inflasi (INF), ekspor bersih (NE), penerimaan
pajak (TR) dan nilai tukar (ER) akan menyebabkan respon yang fluktuatif
terhadap variabel pengeluaran pemerintah (G).
3. Hasil Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) dalam penelitian
ini
menunjukkan bahwa variabel yang memberikan kontribusi besar
dalam menjelaskan variabilitas pengeluaran pemerintah adalah nilai tukar,
inflasi dan pertumbuhan PDB negara Indonesia. Selain dari variabel nilai
tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi tersebut hanya memberikan
kontribusi yang kecil terhadap variabilitas pengeluaran pemerintah.
61
DAFTAR PUSTAKA
Alfirman, Luky dan Edy Sutriono. 2006. “Analisis Hubungan Pengeluaran
Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan
Granger Causality dan Vector Autoregression”. Jurnal Keuangan
Publik,Vol 4, No 1.
Aprilina. 2012. Analisis Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Terhadap Beban
Utang Luar Negeri Indonesia (periode 1986-2010) [Skripsi]. Bogor :
Institut Pertanian Bogor (IPB).
Basri, Faisal. 2005. Perekonomian Indonesia. Erlangga : Jakarta
Boediono, 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Biro Riset Ekonomi. Januari
2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012. Integrasi Ekonomi Asean dan
Prospek Perekonomian Nasional. Bank Indonesia : Jakarta.
Direktorat Penelitian Dan Pengaturan Perbankan, Biro Stabilitas Sistem
Keuangan. 2011. Kajian Stabilitas Keuangan. Bank Indonesia : Jakarta.
Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Dumairy, J. 1997. Perekonomian Indonesia. Erlangga : Jakarta.
Enders, Walter. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. United
States Of America : John Wiley & Sons.
Firdaus, Muhammad. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time
Series. Bogor : IPB Press.
Gujarati, D. 2000. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [Penerjemah].
Erlangga : Jakarta.
Gulo, Angandrowa. 2008. Analisis Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera
Utara.
Hadi, H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan
Internasional. Ghalia Indonesia : Jakarta.
Hartono, Djoni. 2005. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Cadangan
Devisa dan Pengganda Uang Terhadap Jumlah Uang Beredar di
Indonesia [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
62
Hendra, Halwani . 2005. Ekonomi Internasional dan globalisasi Ekonomi edisi 2.
Bogor: Ghalia Indonesia
Inggrid. 2006. “Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ;
Pendekatan Kausaliatas dalam Multivariate Vector Error Correction
Model (VECM)”. Jurnal Ekonomi, 3 : 40-50.
Jiranyakul. 2007. The Relation Between Government Expenditure and Economic
Growth In Thailand. Journal Of Economics and Economic education
Research, 8 : 93-102.
Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press,
Bogor.
Juanda, Bambang. Dkk. 2012. Ekonometrika Deret Waktu Teori dan Aplikasi.
IPB Press : Bogor.
Kuncoro, Haryo. 2002. Analisis Kebijakan Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi di Indonesia [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Manalu. 2004. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [Skripsi]. Medan : Universitas
Sumatera Utara.
Mankiw, Gregory. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi ke-5. Imam Nurmawan
[penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Mangkoesoebroto, G. 1994. Kebijakan Publik Indonesia dan Urgensi. Gramedia
Pustaka Umum : Jakarta.
Novianti, Andini. 2012. Analisis Hubungan Pinjaman Luar Negeri dan Kebijakan
Fiskal di Indonesia [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor (IPB).
Praditya, A. 2012. Analisis Pengaruh Capital Inflow Terhadap Nilai Tukar
Rupiah [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pratidina,O.S. 2012. Analisis Pengaruh Guncangan Eksternal dan Internal
Terhadap Inflasi Indonesia [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Ramayadi. 2003. Economic Growth and Government Size In Indonesia: Some
Lessons For The Local Authorities Departement of Economic. Bandung :
Universitas Padjadjaran.
Risandewi, Tri. 2005. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Cadangan
Devisa, dan Penggandaan Uang Terhadap Jumlah Uang Beredar di
Indonesia [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
63
Sagir, H. Suharno, dkk. 2009. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Prenada Media
Group : Jakarta.
Samuelson, Paul A. 1997. Ekonomi Jilid I. Erlangga: Jakarta
Sukirno, Sadono. 2006. Teori Pengantar Makroekonomi. Edisi ketiga. PT. Raja
Grafindo Persada : Jakarta
Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah.
Andi Yogyakarta: Yogyakarta
Surjaningsih, N. Budi Tristnanto dan G. A. Diah Utari. April 2012. “ Dampak
Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi”. Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan : 389-420
Swaramarinda, D.R dan Susi Indriani. “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah
Konsumsi dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia”. Jurnal Ekonosains, 8:94-10.
Winarno, W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Unit
Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Manajemen YKPN (UPP STIM
YKPN) : Yogyakarta.
Wahyuningtyas, A.E. 2010. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan
Defisit Anggaran Terhadap Investasi di Indonesia (1986-2008) [Skripsi].
Semarang : Universitas Diponegoro.
Manalu. 2004. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [Skripsi]. Medan : Universitas
Sumatera Utara.
64
LAMPIRAN
Lampiran 1
Data-data yang digunakan
Tahun
Pengeluaran
Pemerintah
(Miliar Rupiah)
1984
15852,41
1985
20878,3
1986
19843,77
1987
21681,78
1988
26029,17
1989
32752,69
1990
36143
1991
43091
1992
50288
1993
52018
1994
59228
1995
67303
1996
78500
1997
89391
1998
230627
1999
43091
2000
223907,1
2001
340705
2002
345605
2003
377248
2004
430041
2005
565070
2006
699099
2007
752370
2008
989494
2009
1000844
2010
1126146
2011*
1229558
Pertumbuhan
Ekonomi
(Persen)
7,17
3,48
5,96
5,30
6,35
9,08
9,00
8,93
7,22
7,25
7,54
8,39
7,64
4,70
-13
0,79
4,92
3,64
4,50
4,78
5,03
5,69
5,50
6,34
6,01
4,63
6,19
6,46
Investasi
(Miliar Rupiah)
Inflasi
(Persen)
Ekspor Bersih
(Juta US$)
Nilai Tukar
(RP/US$)
3235,04
4683,35
5503,92
12949,40
21643,80
27944,47
37036,20
58204,83
50311,73
56433,91
104571,07
159634,33
170833,1
216848,01
193726,54
139041,21
219270,66
216735,34
116369,63
161974,27
132223,71
176541,51
305945,54
555808,91
164482,13
150365,54
207970,19
378471,48
10,44
4,74
5,82
9,28
8,05
6,42
7,80
9,41
7,54
9,69
9,24
8,64
6,47
11,05
77,63
2,01
9,35
12,55
10,03
5,06
6,4
17,11
6,6
7,36
11,06
2,78
6,96
5,65
5707
5822
2458
4674
5678
6664
5352
4801
7022
8231
7901
6533
5948
10075
18428,83
20643,44
25042,02
22696,10
23513,23
24563,07
20152,29
17533,56
29659,96
32754,14
22915,44
30931,65
30627,44
35347,27
1,027
1,110
1,289
1,644
1,687
1,772
1,848
1,951
2,031
2,085
2,162
2,249
2,343
2,866
9,804
7,850
8,438
10,255
9,350
8,593
9,290
9,705
9,164
9,140
9,691
10,408
9,087
8,700
Penerimaan
Pajak
(Miliar Rupiah)
4793,7
6329,5
8482,3
9930,5
12344,6
16084,4
22010,9
39098
44499,9
47344
59481
63720
74811
100409,1
143039,7
170185,3
111064
190614,2
215467,5
249404,3
283093
346851,1
409203,02
490988,6
645121,4
640829,7
699593,87
839540
65
66
Lampiran 2. Pengujian Akar Unit
Pengujian akar unit Nilai Tukar (ER)
Null Hypothesis: ER has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.390764
-3.699871
-2.976263
-2.627420
0.5717
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(ER) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.314595
-3.711457
-2.981038
-2.629906
0.0002
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Pengujian akar unit Pengeluaran Pemerintah (G)
Null Hypothesis: G has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-5.692273
-4.339330
-3.587527
-3.229230
0.0004
67
Null Hypothesis: D(G) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.616552
-4.374307
-3.603202
-3.238054
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Pengujian akar unit Pertumbuhan Ekonomi (GW)
Null Hypothesis: GW has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.484692
-3.699871
-2.976263
-2.627420
0.0165
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(GW) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-6.494443
-3.711457
-2.981038
-2.629906
0.0000
68
Pengujian akar unit Inflasi (INF)
Null Hypothesis: INF has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.446965
-3.699871
-2.976263
-2.627420
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(INF) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.284779
-3.724070
-2.986225
-2.632604
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Pengujian akar unit Investasi (INV)
Null Hypothesis: INV has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-2.463660
-3.699871
-2.976263
-2.627420
0.1351
69
Null Hypothesis: D(INV) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.703183
-3.711457
-2.981038
-2.629906
0.0009
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Pengujian akar unit Ekspor Bersih (NE)
Null Hypothesis: NE has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.823032
-3.699871
-2.976263
-2.627420
0.7963
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(NE) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-5.922290
-3.724070
-2.986225
-2.632604
0.0001
70
Pengujian akar unit Penerimaan Pajak (TR)
Null Hypothesis: TR has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.655848
-3.699871
-2.976263
-2.627420
0.4414
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(TR) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values: 1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-6.031328
-3.711457
-2.981038
-2.629906
0.0000
71
Lampiran 3
Pengujian Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: ER G GW INF INV NE
TR
Exogenous variables: C
Date: 12/16/12 Time: 23:42
Sample: 1984 2011
Included observations: 26
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
-217.4905
-39.56223
33.63550
NA
246.3622*
61.93655
0.074544
4.24e-06
1.77e-06*
17.26850
7.350941
5.489577*
17.60722
10.06069*
10.57035
17.36604
8.131250
6.952656*
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5%
level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 4
Pengujian Stabilitas VAR
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: ER G GW INF INV NE
TR
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 1
Date: 10/09/12 Time: 21:38
Root
0.949791
0.674162 - 0.294734i
0.674162 + 0.294734i
0.679999
-0.251726 - 0.260855i
-0.251726 + 0.260855i
0.143282
Modulus
0.949791
0.735774
0.735774
0.679999
0.362507
0.362507
0.143282
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
72
Lampiran 5
Uji Kausalitas Granger
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 10/09/12 Time: 22:10
Sample: 1984 2011
Lags: 1
Null Hypothesis:
Obs F-Statistic
Prob.
G does not Granger Cause ER
ER does not Granger Cause G
27
0.06339
1.20580
0.8034
0.2831
GW does not Granger Cause ER
ER does not Granger Cause GW
27
0.12353
3.6E-11
0.7283
1.0000
INF does not Granger Cause ER
ER does not Granger Cause INF
27
0.66890
0.06141
0.4215
0.8064
INV does not Granger Cause ER
ER does not Granger Cause INV
27
3.55336
0.08450
0.0716
0.7738
NE does not Granger Cause ER
ER does not Granger Cause NE
27
0.23345
13.3655
0.6334
0.0013
TR does not Granger Cause ER
ER does not Granger Cause TR
27
1.73875
1.1E-07
0.1997
0.9997
GW does not Granger Cause G
G does not Granger Cause GW
27
7.28110
0.03566
0.0126
0.8518
INF does not Granger Cause G
G does not Granger Cause INF
27
30.1098
0.03858
1.E-05
0.8459
INV does not Granger Cause G
G does not Granger Cause INV
27
1.66054
0.09838
0.2098
0.7565
NE does not Granger Cause G
G does not Granger Cause NE
27
3.56894
3.90651
0.0710
0.0597
TR does not Granger Cause G
G does not Granger Cause TR
27
8.98484
11.6103
0.0062
0.0023
INF does not Granger Cause GW
GW does not Granger Cause INF
27
0.11960
0.07785
0.7325
0.7826
INV does not Granger Cause GW
GW does not Granger Cause INV
27
0.64867
0.68978
0.4285
0.4144
NE does not Granger Cause GW
27
0.02678
0.8714
73
GW does not Granger Cause NE
0.07000
0.7936
TR does not Granger Cause GW
GW does not Granger Cause TR
27
0.16260
0.81929
0.6903
0.3744
INV does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause INV
27
1.00124
1.07918
0.3270
0.3092
NE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause NE
27
0.01993
0.35052
0.8889
0.5594
TR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause TR
27
0.04104
0.08016
0.8412
0.7795
NE does not Granger Cause INV
INV does not Granger Cause NE
27
0.02349
4.19607
0.8795
0.0516
TR does not Granger Cause INV
INV does not Granger Cause TR
27
1.59793
2.07690
0.2183
0.1625
TR does not Granger Cause NE
NE does not Granger Cause TR
27
12.1706
0.34525
0.0019
0.5623
Lampiran 6
Uji Kointegrasi
Date: 12/16/12 Time: 23:56
Sample (adjusted): 1986 2011
Included observations: 26 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: ER G GW INF INV NE TR
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3
At most 4
At most 5
At most 6
0.935471
0.914792
0.717396
0.513988
0.470493
0.248177
0.111858
213.9335
142.6769
78.64778
45.79138
27.03182
10.50081
3.084205
125.6154
95.75366
69.81889
47.85613
29.79707
15.49471
3.841466
0.0000
0.0000
0.0083
0.0772
0.1008
0.2442
0.0791
Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2
At most 3
0.935471
0.914792
0.717396
0.513988
71.25662
64.02912
32.85640
18.75957
46.23142
40.07757
33.87687
27.58434
0.0000
0.0000
0.0658
0.4333
74
At most 4
At most 5
At most 6
0.470493
0.248177
0.111858
16.53101
7.416605
3.084205
21.13162
14.26460
3.841466
0.1953
0.4411
0.0791
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
ER
0.554569
-0.634430
5.584729
-1.677831
0.473223
2.681046
-5.613431
G
1.447126
0.457386
-1.107379
5.947459
-1.152921
3.548785
4.615966
GW
-0.504007
0.349412
1.163910
0.076642
0.103611
-0.542800
-0.032422
INF
0.091824
0.288563
0.189246
0.130231
0.041536
-0.092232
0.091480
INV
-0.250070
-0.760293
-1.422229
2.935371
0.748257
1.675638
-0.185382
NE
-6.902289
2.347990
-0.725415
-1.935773
1.421142
-3.586818
0.612241
TR
1.447355
-0.908102
0.195142
-6.293644
0.202399
-4.461925
-1.050485
-0.137935
-0.069881
1.422092
-5.516441
0.064899
-0.005969
-0.007194
0.019331
-0.018595
-0.417338
-0.102897
-0.038698
0.021546
0.041146
-0.025130
0.012823
0.273269
-2.380590
-0.213433
-0.027291
-0.025851
-0.031897
-0.024433
0.684338
-1.591051
-0.031814
0.013439
0.004293
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(ER)
D(G)
D(GW)
D(INF)
D(INV)
D(NE)
D(TR)
0.012466
0.002426
-0.253707
-1.992512
0.161316
0.213307
-0.040157
-0.131998
-0.128943
2.851961
-11.23467
0.079528
-0.143231
-0.010047
-0.029627
-0.041891
0.413746
-1.744577
-0.015452
-0.008660
-0.024234
75
Lampiran 7
Hasil Estimasi VECM
Vector Error Correction Estimates
Date: 11/07/12 Time: 00:51
Sample (adjusted): 1986 2011
Included observations: 26 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
CointEq3
G(-1)
1.000000
0.000000
0.000000
TR(-1)
0.000000
1.000000
0.000000
INV(-1)
0.000000
0.000000
1.000000
ER(-1)
-1.763985
(0.39858)
[-4.42568]
1.747139
(0.36978)
[ 4.72483]
-2.313543
(0.50232)
[-4.60569]
NE(-1)
-0.951694
(0.46263)
[-2.05715]
-3.688644
(0.42920)
[-8.59427]
0.744952
(0.58304)
[ 1.27770]
INF(-1)
0.103044
(0.01964)
[ 5.24666]
-0.078293
(0.01822)
[-4.29695]
-0.224037
(0.02475)
[-9.05135]
GW(-1)
-0.350687
(0.05949)
[-5.89491]
-0.094042
(0.05519)
[-1.70394]
-0.558221
(0.07497)
[-7.44551]
C
12.57825
9.989321
6.221790
76
Error Correction:
D(G)
D(TR)
D(INV)
D(ER)
D(NE)
D(INF)
D(GW)
CointEq1
0.021919
(0.07291)
[ 0.30064]
-0.054741
(0.04894)
[-1.11847]
0.197952
(0.16088)
[ 1.23044]
0.110413
(0.07380)
[ 1.49615]
0.249781
(0.04589)
[ 5.44348]
-1.913198
(4.15858)
[-0.46006]
-0.637495
(1.13491)
[-0.56171]
CointEq2
0.106968
(0.06674)
[ 1.60282]
-0.050401
(0.04480)
[-1.12500]
0.173927
(0.14727)
[ 1.18105]
0.110993
(0.06755)
[ 1.64305]
0.437635
(0.04200)
[ 10.4191]
6.241856
(3.80667)
[ 1.63971]
-2.679564
(1.03887)
[-2.57930]
CointEq3
0.196814
(0.06333)
[ 3.10773]
0.027912
(0.04251)
[ 0.65654]
-0.193107
(0.13975)
[-1.38183]
0.293415
(0.06410)
[ 4.57712]
0.064045
(0.03986)
[ 1.60679]
16.88555
(3.61235)
[ 4.67440]
-4.127424
(0.98584)
[-4.18670]
D(G(-1))
-0.024003
(0.20069)
[-0.11960]
0.062149
(0.13473)
[ 0.46130]
-0.000511
(0.44286)
[-0.00115]
0.105112
(0.20315)
[ 0.51742]
0.313899
(0.12631)
[ 2.48509]
-2.781924
(11.4475)
[-0.24302]
-1.715222
(3.12413)
[-0.54902]
D(TR(-1))
0.615376
(0.34447)
[ 1.78643]
-0.061165
(0.23125)
[-0.26450]
-1.050309
(0.76013)
[-1.38175]
0.911317
(0.34868)
[ 2.61358]
0.919471
(0.21681)
[ 4.24100]
45.96076
(19.6487)
[ 2.33913]
-15.74779
(5.36229)
[-2.93677]
D(INV(-1))
-0.134906
(0.11645)
[-1.15844]
0.105501
(0.07818)
[ 1.34952]
0.292846
(0.25697)
[ 1.13959]
-0.193120
(0.11788)
[-1.63829]
-0.191747
(0.07329)
[-2.61612]
-8.712741
(6.64256)
[-1.31165]
3.464089
(1.81281)
[ 1.91089]
D(ER(-1))
0.232028
(0.64302)
[ 0.36084]
0.179308
(0.43166)
[ 0.41539]
-1.919291
(1.41891)
[-1.35265]
-0.281560
(0.65088)
[-0.43258]
-1.047904
(0.40470)
[-2.58930]
7.473523
(36.6776)
[ 0.20376]
7.314371
(10.0096)
[ 0.73073]
D(NE(-1))
0.499099
(0.20349)
[ 2.45276]
-0.118910
(0.13660)
[-0.87049]
-0.012607
(0.44902)
[-0.02808]
0.407302
(0.20597)
[ 1.97745]
0.931583
(0.12807)
[ 7.27400]
22.74922
(11.6068)
[ 1.96000]
-8.441872
(3.16758)
[-2.66508]
D(INF(-1))
0.016210
(0.01035)
0.006741
(0.00695)
-0.019877
(0.02283)
0.031726
(0.01047)
0.020637
(0.00651)
1.790344
(0.59026)
-0.555912
(0.16109)
77
[ 1.56646]
[ 0.97035]
[-0.87045]
[ 3.02886]
[ 3.16867]
[ 3.03316]
[-3.45102]
D(GW(-1))
0.131465
(0.03462)
[ 3.79761]
-0.003095
(0.02324)
[-0.13316]
-0.032816
(0.07639)
[-0.42958]
0.103650
(0.03504)
[ 2.95796]
0.128974
(0.02179)
[ 5.91954]
4.555295
(1.97459)
[ 2.30695]
-1.493601
(0.53888)
[-2.77165]
C
0.019372
(0.09132)
[ 0.21212]
0.166188
(0.06131)
[ 2.71074]
0.481496
(0.20152)
[ 2.38930]
-0.076552
(0.09244)
[-0.82811]
-0.092697
(0.05748)
[-1.61273]
-8.621330
(5.20915)
[-1.65504]
2.665247
(1.42162)
[ 1.87479]
0.909204
0.848673
0.587307
0.197873
15.02046
12.38155
-0.106273
0.425998
0.156538
0.508661
0.679109
0.465182
0.264672
0.132834
3.174490
22.74329
-0.903330
-0.371059
0.188077
0.181637
0.413246
0.022077
2.859759
0.436636
1.056438
-8.196734
1.476672
2.008943
0.168846
0.441537
0.630910
0.384851
0.601758
0.200293
2.564053
12.06555
-0.081965
0.450306
0.079231
0.255373
0.912460
0.854099
0.232646
0.124538
15.63494
24.41993
-1.032303
-0.500031
0.069231
0.326042
0.820269
0.700448
1910.826
11.28665
6.845784
-92.75593
7.981225
8.513497
0.035000
20.62189
0.744253
0.573756
142.3168
3.080225
4.365180
-58.99187
5.383990
5.916262
0.114615
4.717948
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
4.85E-08
1.03E-09
10.73981
6.712322
11.45438
78
Lampiran 7
Impulse Response Function
Period
ER
G
GDP
GW
INF
INV
NE
TR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
0.000000
-0.020558
-0.007005
-0.001963
0.006062
0.012014
0.016505
0.018672
0.018958
0.017748
0.015652
0.013249
0.011031
0.009329
0.008304
0.007960
0.008184
0.008796
0.009592
0.010390
0.011053
0.011499
0.011705
0.011692
0.011515
0.011241
0.010937
0.010659
0.097659
0.000466
0.043824
0.017505
0.021040
0.019908
0.022324
0.024218
0.026410
0.027779
0.028309
0.027981
0.027004
0.025637
0.024164
0.022821
0.021773
0.021099
0.020799
0.020813
0.021045
0.021390
0.021749
0.022047
0.022241
0.022314
0.022276
0.022153
0.032875
0.025755
0.024932
0.023664
0.024079
0.024503
0.024959
0.025172
0.025107
0.024756
0.024201
0.023543
0.022885
0.022311
0.021874
0.021595
0.021466
0.021457
0.021528
0.021636
0.021743
0.021823
0.021860
0.021850
0.021798
0.021717
0.021619
0.021517
-0.201844
0.051154
-0.126815
-0.139420
-0.156834
-0.143280
-0.117737
-0.080545
-0.043578
-0.012200
0.009671
0.020882
0.022215
0.015982
0.005163
-0.007238
-0.018708
-0.027526
-0.032849
-0.034642
-0.033474
-0.030272
-0.026078
-0.021839
-0.018273
-0.015807
-0.014574
-0.014466
1.844633
-1.340152
0.330167
-0.049319
0.155251
0.102268
0.083481
0.013456
-0.043556
-0.090884
-0.117080
-0.122698
-0.110144
-0.085408
-0.054960
-0.024877
0.000250
0.017706
0.026683
0.027954
0.023356
0.015229
0.005898
-0.002707
-0.009276
-0.013179
-0.014402
-0.013393
-0.085778
-0.075526
-0.041011
-0.028635
-0.011074
-0.001881
0.003545
0.005771
0.006243
0.005711
0.005012
0.004618
0.004763
0.005465
0.006601
0.007971
0.009359
0.010580
0.011510
0.012095
0.012342
0.012309
0.012083
0.011756
0.011413
0.011118
0.010909
0.010800
0.014695
0.010438
0.002324
0.004446
0.009733
0.013327
0.015441
0.016392
0.016187
0.015136
0.013658
0.012118
0.010792
0.009852
0.009363
0.009292
0.009547
0.010000
0.010524
0.011009
0.011381
0.011601
0.011668
0.011605
0.011452
0.011254
0.011052
0.010878
-0.019825
0.007513
-0.005324
0.006239
0.005789
0.009267
0.011832
0.014468
0.016588
0.018366
0.019650
0.020472
0.020879
0.020967
0.020840
0.020601
0.020340
0.020119
0.019973
0.019913
0.019929
0.019999
0.020096
0.020193
0.020270
0.020314
0.020320
0.020293
79
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
0.010443
0.010308
0.010252
0.010261
0.010314
0.010388
0.010462
0.010519
0.010550
0.010554
0.010533
0.010493
0.010443
0.010390
0.010340
0.010297
0.010264
0.010240
0.010224
0.010212
0.010203
0.010194
0.021979
0.021789
0.021610
0.021464
0.021358
0.021294
0.021264
0.021259
0.021264
0.021270
0.021269
0.021255
0.021226
0.021185
0.021134
0.021078
0.021019
0.020962
0.020909
0.020861
0.020818
0.020779
0.021423
0.021343
0.021279
0.021232
0.021198
0.021171
0.021149
0.021126
0.021099
0.021067
0.021029
0.020987
0.020941
0.020894
0.020846
0.020799
0.020754
0.020711
0.020670
0.020630
0.020591
0.020553
-0.015213
-0.016468
-0.017885
-0.019177
-0.020151
-0.020716
-0.020873
-0.020690
-0.020277
-0.019755
-0.019234
-0.018794
-0.018483
-0.018316
-0.018277
-0.018336
-0.018451
-0.018583
-0.018699
-0.018777
-0.018808
-0.018791
-0.010867
-0.007620
-0.004374
-0.001670
0.000176
0.001071
0.001105
0.000491
-0.000504
-0.001614
-0.002622
-0.003381
-0.003824
-0.003955
-0.003828
-0.003529
-0.003150
-0.002774
-0.002462
-0.002252
-0.002151
-0.002148
0.010783
0.010835
0.010929
0.011035
0.011130
0.011197
0.011228
0.011224
0.011192
0.011139
0.011077
0.011014
0.010959
0.010914
0.010882
0.010860
0.010847
0.010838
0.010831
0.010823
0.010812
0.010796
0.010750
0.010675
0.010649
0.010660
0.010694
0.010736
0.010772
0.010795
0.010801
0.010789
0.010762
0.010725
0.010684
0.010642
0.010603
0.010570
0.010544
0.010522
0.010506
0.010491
0.010478
0.010464
0.020238
0.020166
0.020087
0.020010
0.019941
0.019883
0.019837
0.019801
0.019772
0.019747
0.019722
0.019695
0.019665
0.019631
0.019593
0.019552
0.019509
0.019466
0.019423
0.019382
0.019341
0.019302
Cholesky Ordering: ER G GDP GW INF INV NE TR
80
Lampiran 8
Variance Decomposition of G
Period
S.E.
ER
G
GW
INF
INV
NE
TR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
0.218746
0.280630
0.362608
0.429341
0.462001
0.474568
0.482458
0.488479
0.494750
0.501882
0.507680
0.511237
0.512932
0.513805
0.514491
0.515362
0.516593
0.517959
0.519166
0.520095
0.520757
0.521206
0.521530
0.521797
0.522030
0.522232
0.522407
71.49519
63.63957
53.56970
52.46790
49.40188
46.59729
47.29851
47.49283
47.43438
47.40361
47.28383
46.95238
46.71843
46.45878
46.30126
46.20607
46.21348
46.24969
46.32406
46.40988
46.49625
46.56067
46.61002
46.64060
46.65665
46.66145
46.66152
28.50481
15.41594
16.90239
13.74302
14.38521
14.49566
13.24680
12.60332
12.38410
11.99519
11.69011
11.50780
11.33607
11.17541
11.05744
10.96039
10.86764
10.77794
10.70183
10.62739
10.55424
10.48317
10.41661
10.35454
10.29883
10.24898
10.20435
0.000000
0.946381
0.588995
2.500014
2.743763
4.168928
5.339076
5.768646
6.095202
6.109342
6.096476
6.010714
5.941858
5.943895
5.937299
5.923762
5.895852
5.856205
5.806124
5.758707
5.718728
5.683985
5.652298
5.622415
5.594179
5.567087
5.541877
0.000000
7.194485
5.166439
4.273723
4.988922
6.583783
5.767039
5.471939
5.281994
5.122816
5.092906
5.254780
5.605227
5.853948
5.990784
6.074173
6.142392
6.165911
6.154094
6.125662
6.097300
6.074744
6.059187
6.050406
6.050549
6.059546
6.074602
0.000000
1.474333
0.896930
0.734060
0.658899
1.735533
3.115753
4.294122
4.871425
5.655289
6.408676
7.012542
7.314640
7.514024
7.680062
7.846074
7.976435
8.092089
8.207747
8.342416
8.483716
8.624329
8.756845
8.884417
9.003042
9.109344
9.200637
0.000000
3.018321
10.95628
12.87636
13.10019
12.20224
13.01065
12.37199
11.89864
11.56454
11.42695
11.26074
11.09149
10.95934
10.85669
10.76346
10.66623
10.57696
10.48678
10.39763
10.31376
10.23541
10.16363
10.09957
10.04337
9.993280
9.948136
0.000000
8.310967
11.91927
13.40493
14.72113
14.21656
12.22218
11.99716
12.03426
12.14921
12.00106
12.00104
11.99228
12.09459
12.17647
12.22606
12.23797
12.28121
12.31938
12.33831
12.33601
12.33770
12.34140
12.34805
12.35337
12.36031
12.36888
81
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
0.522564
0.522713
0.522863
0.523017
0.523173
0.523325
0.523467
0.523594
0.523706
0.523804
0.523890
0.523967
0.524035
0.524098
0.524155
0.524209
0.524259
0.524307
0.524352
0.524394
0.524434
0.524470
0.524504
46.65863
46.65646
46.65665
46.66033
46.66689
46.67587
46.68609
46.69656
46.70636
46.71503
46.72228
46.72817
46.73284
46.73659
46.73968
46.74237
46.74487
46.74731
46.74975
46.75219
46.75460
46.75695
46.75918
10.16436
10.12866
10.09644
10.06712
10.04027
10.01557
9.992710
9.971465
9.951684
9.933295
9.916251
9.900516
9.886030
9.872725
9.860521
9.849334
9.839072
9.829647
9.820977
9.812988
9.805617
9.798808
9.792512
5.519312
5.499268
5.481194
5.464539
5.448980
5.434372
5.420735
5.408104
5.396461
5.385750
5.375899
5.366832
5.358477
5.350783
5.343710
5.337211
5.331238
5.325739
5.320668
5.315986
5.311660
5.307663
5.303971
6.090917
6.105917
6.118566
6.128522
6.135421
6.139566
6.141715
6.142776
6.143398
6.144006
6.144861
6.146130
6.147835
6.149874
6.152073
6.154271
6.156343
6.158207
6.159818
6.161171
6.162296
6.163237
6.164045
9.279385
9.348053
9.408899
9.463081
9.512187
9.557565
9.600257
9.640571
9.678594
9.714306
9.747727
9.778787
9.807426
9.833643
9.857557
9.879344
9.899210
9.917358
9.933989
9.949291
9.963420
9.976500
9.988625
9.907619
9.871235
9.838178
9.807765
9.779586
9.753345
9.728885
9.706115
9.684977
9.665429
9.647435
9.630924
9.615793
9.601932
9.589232
9.577585
9.566886
9.557037
9.547954
9.539563
9.531806
9.524632
9.517997
12.37977
12.39041
12.40007
12.40864
12.41667
12.42371
12.42960
12.43440
12.43853
12.44219
12.44554
12.44864
12.45160
12.45445
12.45723
12.45988
12.46238
12.46470
12.46685
12.46881
12.47060
12.47221
12.47367
Cholesky Ordering: ER G GW INF INV NE TR
82
Download