BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam ranah ilmu politik, kajian mengenai pemikiran politik bukanlah sesuatu hal yang baru. Ini dapat dilihat dari sejarah pemikiran politik yang ada, baik era klasik, pertengahan, maupun kontemporer. Tentu saja para pemikir juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh arus pemikiran pada zamannya. Wacana pembebasan belakangan ini menjadi sangat popular dikalangan generasi muda. Gejala ini merupakan tampilan dari realitas serupa di negara-negara berkembang. Wacana ini terbit setelah modernisme dinilai tak mampu lagi merespon seluruh dimensi kehidupan manusia. Modernisme sebagai narasi besar (grand narrative) dianggap tak cukup tangguh lagi menjawab permasalahan yang muncul. Diskursus mengenai problematika masyarakat dan pembebasan banyak melahirkan pemikir-pemikir Islam dengan latar belakang yang tak jauh berbeda. Mereka prihatin dengan kondisi kaum muslimin yang memiliki konsep ideologi (aqidah) sedemikian maju justru tidak berkembang dalam ideologi tersebut. Hassan Hanafi adalah salah satu diantara sekian pemikir tersebut. Hassan Hanafi merupakan guru besar filsafat di Universitas Kairo. Ketika masih muda, ia seorang demonstran anti-kolonialisme Barat, pengagum visi revolusioner Sayyid Qutb, bahkan menemukan keasyikan berIslam bersama Ikhwanul Muslimin sembari menggeluti filsafat di Universitas Kairo. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sorbone University, Perancis, sambil mengagumi visi Sosialisme Islam Nasserian. Bahkan ia menyatakan bahwa sejatinya Islam lebih berorientasi pada pembebasan nasional. Universitas Sumatera Utara Hassan Hanafi mengklaim dirinya sebagai penerus ide rekonstruksi Muhammad Iqbal, model reformasi Abduh dan konsep revolusi al-Afghani dan Ali Syari'ati, baginya rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan Arab-Islam dengan melihat kepada spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Ilmu yang paling fundamental dalam Islam harus dibangun dengan perspektif dan standar modernitas. Pada fase kematangan berfikirnya, ia dikenal sebagai penerus cita-cita besar Afghani dan Abduh, dengan mengajukan proyek besar peradaban yang dikemas dalam slogan AlYasar al-Islami (Kiri Islam) yang mesti terejawantah dalam tiga proyek besar: kritis terhadap tradisi Islam, kritis terhadap tradisi Barat dan cerdas menyikapi persoalan kontemporer Islam. Proyek yang ia namakan tradisi dan pembaharuan (al-turas wa al-tajdid). Hassan Hanafi sebelumnya dikenal sebagai salah seorang pemikir hukum Islam dan juga menjabat guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Kairo Mesir. Ia mengkonsentrasikan kajiannya pada proyek kebangkitan Islam dan kesatuan umat, sebagai suatu reaksi atas apa yang ia sebut sebagai tiga ancaman bagi dunia Islam. Tiga ancaman tersebut mencakup tiga dari luar (imperialisme / kolonialisme, kapitalisme, zionisme) dan tiga dari dalam (ketertindasan, kemiskinan, keterbelakangan). Ia menawarkan Kiri Islam sebagai metode alternatif bagi pembaharuan pemikiran Islam dengan produk sebuah proyek besar, yakni merekonstruksi dan memperbaharui tradisi (al-turas wa al-tajdid). Hassan Hanafi meluncurkan jurnal Kiri Islam (Al-Yasar al-Islami) pada 1981 di Kairo -hanya berumur satu terbitan- Hassan Hanafi memancangkan tiga pilar Kiri Islam. Tiga pilar yang dimaksud adalah, (1) rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam klasik; (2) Universitas Sumatera Utara oksidentalisme untuk menentang Barat; dan (3) sebagai upaya analisis atas realitas dunia Islam, kritik atas metode tradisional yang terlalu bertumpu pada tekstual. Di masa revolusi Prancis, Kaum Yakobin yang merupakan kelompok radikal mengambil tempat duduk di sebelah kiri Konvensi Nasional. Sejak itulah istilah “kiri” dan “kanan” digunakan dalam politik. Dalam terminologi politik, kata “kiri” seringkali diidentikkan sebagai perlawanan dengan label radikal, sosialis, anarkis, reformis, komunis, bahkan liberalis. Berlawanan dengan “kanan” yang cenderung mapan dalam sebutan yang lebih lembut, “kiri” mendobrak sakralisasi gagasan, sistem dan nilai. Dalam konotasi akademis maka istilah kiri sebenarnya adalah identifikasi sosial, sebagaimana dimunculkan oleh pendukung gagasan-gagasan Karl Marx untuk mengidentifikasi diri sebagai kelompok yang berlawanan dengan kemapanan sistem masyarakat Eropa yang kapitalistik. Istilah Kiri Islam bukanlah ciptaan Hassan Hanafi, istilah ini sudah digunakan oleh Ahmad Gabbas Salih dalam sebuah tulisannya Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Islam tahun 1972 : Dalam Islam, kiri memperjuangkan pemusnahan penindasan bagi orang-orang miskin dan tertindas, ia juga memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban di antara seluruh masyarakat. Singkat kata, kiri adalah kecenderungan sosialistik dalam Islam.1 Hassan Hanafi, seorang cendikiawan Mesir alumni Universitas Sorbonne, Prancis dan Profesor Filsafat di Universitas Kairo, yang mengelola gagasan Kiri Islam (al-Yasar alIslam) dalam konotasi akademis sebagai sebuah konsepsi ‘perlawanan terhadap pemapanan’ Islam. Dalam hal ini Hassan Hanafi tidak membicarakan Islam yang digariskan Tuhan tidak terpisah-pisah dalam “kiri” dan “kanan”, melainkan sebuah wacana tentang kaum muslimin 1 Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993. hal.5 Universitas Sumatera Utara dalam realitas sejarah dan sistem sosial tertentu. Sepanjang kita terlibat dalam sejarah, maka kita akan selalu dalam pertentangan kekuatan dan kepentingan. Maka “kiri” dan “kanan” bagi Hassan Hanafi berada pada tingkat sosial dan historis ini. Dengan mengacu pada gagasan kritisisme, Hassan Hanafi kemudian menyusun peta pemikiran sebagai berikut: Dalam teologi Islam, Mu’tazilah adalah kiri, sedangkan Asy’ariyah adalah kanan. Tafsir dengan aql adalah “kiri”, sedangkan dengan naql adalah “kanan”. Dan dalam politik, Ali dan Husein adalah “kiri”, sedangkan keluarga Mu’awiyah dan Yazid adalah “kanan”. Termasuk juga membagi realitas masyarakat muslim “kiri” sebagai masyarakat yang dikuasai, tertindas, miskin dan tersingkir, di antara masyarakat muslim “kanan” yang berkelebihan, cenderung tidak peduli dengan masyarakat muslim lainnya dan bahkan terseret dalam kehidupan kapitalisme Barat hingga tercerabut dari identitas keIslamannya. Hassan Hanafi berusaha mengembalikan Islam yang dipahami sebagai ideologi, agama dan gerak (revolusi) kaum muslimin. Semua dimulai Hassan Hanafi dengan melakukan kritik internal komunitas muslim. Maka bagi salah satu kelompok, Argumen Kiri Islam Hassan Hanafi terasa mengganggu, bahkan mungkin mengancam, terutama berkaitan dengan kenyamanan terhadap tata cara beragama yang dikritisinya. Masyarakat muslim yang merasakan terusik mulai mengembangkan propaganda yang memandang Kiri sebagai pengingkaran terhadap agama, atheis dan pemecah belah. Menurut Hassan Hanafi, Kiri Islam juga merupakan tahap lain dalam perkembangan reformasi keagamaan dimana ia bertugas bukan sekadar melakukan konfrontasi terhadap bahaya-bahaya abad ini, melainkan juga melakukan rekonstruksi terhadap kenyataan kemusliman yang fatalistik, menunggu bantuan dan inspirasi dari langit dengan mengabaikan Universitas Sumatera Utara kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Akal dianggap perlu untuk memperoleh bantuan dari langit untuk menghasilkan kemampuan praktis. Hassan Hanafi mempunyai pandangan bersahabat dengan pemikiran Barat, kendati menurut sementara kalangan sikap kritisnya terhadap Barat kurang terakomodasi dengan tuntas, Hassan Hanafi memang selalu mengingatkan tentang kekeliruan Barat dalam memahami Islam, terutama dalam kelompok orientalis. Ia menapilkan sosok yang menyerap sepenuhnya nilai dan lmu-ilmu Barat. Namun dari sana pula ia berpijak mengkaji Barat dalam suatu pemahaman dan wawasan yang berbeda dari pemikir sebelumnya terutama kelompok modernis yang mungkin agak emosional baik mereka yang menerima atau menolak Barat. Inilah beberapa sisi pemikiran Hassan Hanafi tentang Islam. Hassan Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman internal. Lebih lanjut, Kiri Islam Hassan Hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi Kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan Kiri Islam Hassan Hanafi juga tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi —kapitalisme dan sosialisme. Hassan Hanafi relatif mampu melakukan modifikasi konsep sosialisme yang materialistik dan determinisme historik. Hassan Hanafi berusaha melakukan pembebasan Universitas Sumatera Utara yang diberi ruh pendasaran-religius-spiritualistik (dalam hal ini adalah Islam) dengan menghilangkan materialistiknya. Ini dilakukan supaya Islam yang awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang populistik —ideologi kaum tertindas— yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan Hassan Hanafi yang menamakan gerakannya dengan Kiri Islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historis. Kiri Islam menurut Hassan Hanafi bersumber pada semangat revolusi tauhid sebagai basis Islam. Untuk membangun kembali peradaban Islam, maka mau tak mau diperlukan upaya membangun kembali semangat revolusi tauhid sebagai misi para nabi dan rasul. Nabi Muhammad saw. sebagai rasul terakhir mengembangkan misinya dari rumusan tauhid —la ilaha illa-Allah— yang kemudian dimanifestasikan dalam syahadat dan merupakan transformasi tauhid ilahiyah pada tataran tauhid al-ummah. Revolusi tauhid ilahiyah merupakan konsekuensi logis yang membebaskan manusia dari penghambaan, pengultusan dan penyakralan terhadap mitos-mitos politik, ekonomi, sosial dalam struktur sosial kemasyarakatan. Sedangkan revolusi tauhid al-ummah menekankan pada aspek transformasi pembebasan kehidupan manusia dalam sistem kemasyarakatan tanpa dibatasi kelas, egalitarianisme dan tidak eksploratif dalam segala dimensi pada kehidupan kemasyarakatan. Oleh karena itu ada dua penyebab utama mengapa peneliti tertarik untuk menelitinya. Pertama, Hassan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Kiri Islam, oksidentalisme, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan Universitas Sumatera Utara pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern. Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam di mana tradisi tersebut terbentuk. Dengan upaya ini, Hassan Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Kedua, teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Sementara itu konteks sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi2. Karena itu, lanjut Hassan Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern. Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hassan Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hassan Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif berupa nilai-nilai 2 Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993. Universitas Sumatera Utara manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu. Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi. Baginya, Islam memiliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai reformasi. 1.2. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.3 Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah : “Bagaimana Pemikiran Politik Hassan Hanafi tentang Pemikiran Kiri Islam?” 3 Husaini Usman dan Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara, 2004, hal.26 Universitas Sumatera Utara 1.3. Pembatasan Masalah Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang dicapai yaitu menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah dalam penelitian ini, adalah : “Pemikiran Hassan Hanafi tentang pemikiran Kiri Islam.” 1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengungkap pemikiran Hassan Hanafi sebagai salah seorang pemikir kontemporer terhadap pemikiran Kiri Islam. 2. Untuk mengetahui landasan Kiri Islam Hassan Hanafi. 1.4.2. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut atas permasalahan yang relevan. 2. Memperkaya khazanah pemikiran tentang tokoh pemikir Islam. Universitas Sumatera Utara 3. Diharapkan berguna bagi para pemikir politik Islam di Indonesia tentang wacana Islam dan pemikiran kiri. 1.5. Kerangka Pemikiran Bagian ini merupakan salah satu unsur yang penting dalam penelitian, karena pada bagian ini peneliti mencoba menjelaskan pemikiran yang sedang diamati dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Kerangka pemikiran berusaha menjelaskan arahan yang akan diteliti dan berkait dengan landasan teori atau penelitian yang sebelumnya. Teori menurut Masri Singarimbun dan Sofian Effendi dalam buku Metode Penelitian Sosial mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.4 Sebelum membahas tentang konsep yang dipergunakan maka peneliti akan mendefinisikan hal-hal terkait dalam penelitian ini. Suatu konsep adalah abstraksi. Konsep adalah sepatah kata yang menyatakan kesamaan-kesamaan diantara peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi lain.5 Oleh karena itu, dalam skripsi ini, untuk menggambarkan masalah penelitian yang menjadi objek penelitian, peneliti menggunakan konsep Kiri Islam. Dalam menjelaskan Kiri Islam, peneliti menggunakan tahapan : pertama, pembentukan teori (turas dan tajdid). Kedua, analitika (hermeneutika, oksidentalisme) dan, ketiga, teori vis a vis realitas dunia Islam. 4 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Sosial. Jakarta : LP3ES, 1998, hal.37. Komaruddin Sastradipoera, Mencari Makna dibalik Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung : Kappa Sigma, 2005, hal 248. 5 Universitas Sumatera Utara 1.5.1. Kiri Islam Istilah “kiri” dalam wacana global seolah terinspirasi dari gerakan kaum sosialis maupun pemikiran Herbert Marcuse yang disebut member ruh bagi New Left yang menginspirasi revolusi mahasiswa 1968. Ini seakan-akan menunjukkan bahwa “kiri” selalu bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat revolusioner. Kiri Islam merupakan sintesa dan tafsir ulang terhadap khazanah keilmuan Islam dan juga analisis konsep Marxian atas kondisi obyektif serta tradisi yang mengakar dalam rakyat, tradisi yang dimaksud adalah tradisi keagamaan yang membentuk medan kebudayaan massa6. Berbicara tentang kiri maka tak terlepas dari kata kanan, maka dalam konteks ini adakah yang disebut dengan kanan Islam? Secara tersirat Hanafi menjelaskan tidak ada kanan Islam dan yang ada hanya kiri Islam. ini dikarenakan Islam tidak patut ataupun boleh bertindak sebagai penindas karena Islam adalah agama pembebasan. Bahkan posisi kaum tertindas dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Qasas (28) : 5, yang berbunyi : Dan kami hendak member karunia kepada orang-orang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Hassan Hanafi, seperti dikatakan Issa J Boulatta dikutip dari Listiyono Santoso7, berkeyakinan bahwa Kiri Islam dapat berhasil setelah realitas masyarakat, politik, ekonomi, khazanah Islam dan tantangan barat dapat dianalisis. Dalam beberapa hal, Kiri Islam bertumpu dalam tiga tatanan metodologi : pertama, tradisi atau sejarah Islam; kedua, fenomenologi; ketiga, analisis sosial Marxian. 6 Muhammad Mustafied, dalam Muhidin M. Dahlan(ed), Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2000, hal.177. 7 Listiyono Santoso. Epistemologi Kiri. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2003, hal.276. Universitas Sumatera Utara Kiri Islam, menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikutip Shimogaki, lahir setelah melihat berbagai kegagalan dalam masyarakat dunia Timur(Islam) dalam beberapa generasi dalam mengentaskan keterbelakangan dan kemiskinan8. Ini disebabkan karena : pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan yang menjadikan agama (Islam) hanya sekedar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrawi. Padahal itu bukanlah pencerminan dari system Islam. Sementara kecenderungan keagamaan yang tidak terkooptasi, terjebak dalam fanatisme primordial, kejumudan dan berorientasi kekuasaan. Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi berakhir, jelas didikte oleh kebudayaan barat, berperilaku seperti penguasa kolonial dan hanya melayani kelas-kelas elite yang menguasai asset negara. Ketiga, Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan menantang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional. Keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama karena banyak mengandung kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Itu sebabnya Kiri Islam dimunculkan dalam rangka merealisasikan tujuantujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip sosialis dengan cara mengembangkan khazanah intelektual klasik yang berdimensikan revolusioner dan berpijak pada kesadaran rakyat. Kiri Islam (al-Yasar al-Islamiy) merupakan bentuk idiologisasi Islam untuk mewujudkan pemihakannya kepada kepentingan rakyat. Tugas Kiri Islam adalah mendefinisikan kuantitas Barat, yakni mengembalikannya ke batas alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang mendunia. Barat berada pada pusat peradaban dunia, dan ingin 8 Kazuo Shimogaki. Kiri Islam : Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta : LKiS, 1993. Hal 84 Universitas Sumatera Utara mengekspor peradabannya kepada bangsa-bangsa lain. Barat menyediakan model pembangunan sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain. Akibatnya bangsa- bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan mereka sendiri. Krisis abad ke-20 di Barat bagi kita adalah awal reformasi. Tugas Kiri Islam adalah mengembalikan peradaban Barat pada tempat kelahiran, lingkungan dan sejarahnya. Ini untuk menghilangkan hambatan bagi berkembangnya peradaban non-Barat. Dan model-model bagi kemajuan, dengan demikian, bisa menjadi banyak dan berviariasi. Tugas Kiri Islam adalah mendorong peradaban Barat kembali ke Barat; menjadikan Barat sebagai tema studi khusus bagi peradaban non-Barat. Lebih jauh ia akan melahirkan suatu disiplin baru, “Orientalisme”, untuk menandingi “Oksidentalisme”. Orientalisme sendiri menghadirkan alam pikiran, pandangan dunia dan motivasi Barat yang terselubung ketimbang studi tentang objeknya. Kiri Islam memberikan suatu gambaran situasi di dunia Islam tanpa mengikuti suatu metode bimbingan atau nasehat. Realitas menampakan dirinya, seperti statistik. Pemikiran keagamaan kita bersandar pada metode yang mentransfer teks ke realitas. Kiri Islam juga berfungsi guna meneliti unsur-unsur revolusioner dalam agama. Agama adalah apa yang kita miliki dalam tradisi yang asli; revolusi adalah hasil zaman kita. Dan dalam agama sendiri ada revolusi. Para nabi adalah para revolusioner dan sekaligus reformis. Revolusi tauhid menentang kemusyrikan dibawa Nabi Ibrahim; revolusi semangat oleh Nabi Isa, revolusi orang miskin, budak, dan orang-orang yang malang dibawa Nabi Muhammad. Kiri Islam sepenuhnya bebas dari Timur atau pun Barat. Ia bukan Marxisme baru, liberalisme revolusioner atau gerakan Syi’ah. Konsepsi ini hadir dari kecenderungan budaya ideologis yang berakar dari warisan klasik kita, al-Qurtan dan Sunnah. Kiri Islam Universitas Sumatera Utara mempertimbangkan politik dalam budaya ummah dan renaissans ummah, dan perjuangannya adalah pada tingkat kesadaran budaya dan peradaban ummah. Ia bertujuan melampaui pemecahan-pemecahan yang parsial untuk mencapai pandangan yang menyeluruh. Hassan Hanafi berpandangan bahwa Kiri Islam bukan hanya semangat yang berapi-api dalam pikiran masyarakat, tapi bertujuan untuk mentransformasikan semangat itu ke dalam akal, dialog dan pencerahan untuk mempertahankan kebaikan Islam. Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi riil problem umat Islam saat ini, seperti keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos kerja, menolak penjarahan tanah, dan praktik kekerasan berdarah. ''Saya ingin memperkenalkan Islam modern, yang memberi penafsiran baru terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi tantangan modernitas, tanpa harus taklid pada Barat dan juga ulama klasik Arab. Islam yang saya maksud mendorong bangkitnya budaya nasional serta melestarikan identitas bangsa Indonesia,'' paparnya. Dalam pandangannya, Islam yang dibutuhkan Indonesia bukan konservatif yang hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler Barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa Indonesia. ''Apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni teritorial dan identitas budaya, serta nasionalisme, dan khasanah warisan di satu sisi dan legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan, kebebasan, keadilan, supremasi hukum di sisi lain. 1.6. Metode Penelitian Universitas Sumatera Utara Metode penelitian secara umum membahas bagaimana penelitian dilakukan. Metode penelitian dalam karya tulis ilmiah ini sebenarnya lebih bersifat refleksi, sekalipun disana-sini menggunakan sumber rujukan. Hal ini peneliti lakukan setelah melihat dan mengamati perjalanan intelektual seorang tokoh yakni Hassan Hanafi. 1.6.1. Jenis Penelitian Metodologi yang dibutuhkan dalam studi tokoh adalah kualitatif. Akan tetapi, metodologinya berbeda dengan penelitian-penelitian bidang sosial lainnya. Dalam penelitian pemikiran tokoh kerangka yang dipakai dalam meneliti adalah kualitatif. Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun dalam bukunya “Studi Tokoh : Metode Penelitian Mengenai Tokoh,” melalui metode kualitatif, peneliti dapat mengenal sang tokoh secara pribadi dan melihat dia mengembangkan definisinya sendiri tentang dunia dengan berbagai pemikiran, karya, dan perilaku yang dijalaninya. Di samping itu, metode kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam mengenai konsep-konsep atau ide-ide. Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam karya-karya tokoh akan dapat dikaji dengan melihat kualitas dari tulisan-tulisannya yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pemikiran selanjutnya. Pengaruh tersebut tidak hanya dalam perkembangan teori, tetapi juga dalam hal praktek sehingga akan dapat dikatakan apakah pemikiran tokoh tersebut dapat dikatakan ilmiah dan memenuhi criteria ilmu pengetahuan. Dari pengaruh terhadap perkembangan pemikiranlah akan terlibat kekuatan dari pemikiran tokoh tersebut. Penelitian ini bersinggungan dengan wacana keagamaan kontemporer dan objek wacana penelitian adalah pemikiran seorang tokoh. Universitas Sumatera Utara Penelitian studi tokoh, seperti yang dikatakan oleh Arief Furchan dan Agus Maimun, dikategorikan kedalam jenis penelitian kualitatif, yang menelusuri pemikiran melalui karyakarya, peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya karya tersebut dan pengaruh dari karya yang dihasilkan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri. 1.6.2. Sumber Data Penelitian jenis ini berisi satu topik yang didalamnya memuat beberapa gagasan dan atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh data yang diperoleh dari sumber pustaka atau dokumentasi. Ada dua sumber data yang dibutuhkan yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer yang berkaitan dengan pemikiran tokoh adalah karya-karya yang pernah ia tulis semasa hidupnya. Dan untuk sumber data sekunder berasal dari teoritisi sosial lainnya yang pernah menginterpretasikan pemikiran Hassan Hanafi dalam pemikiran Kiri Islam. 1.6.3. Teknik Analisa Data Universitas Sumatera Utara Teknik yang digunakan melalui tahapan pengumpulan data, klasifikasi data yang relevan dengan subjek penelitian, analisa, lalu menarik kesimpulan. Data primer dan data sekunder dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang mendalam (in-depth) dan tidak melebar (out-depth). Setelah data yang diperoleh dirasa memadai untuk mendukung proses analisa, maka tahapan selanjutnya adalah analisa data. Analisa data yang dilakukan dalam penelitian pemikiran tokoh disini, mempergunakan pendekatan sejarah (historical approach). Menurut Tolfsen, ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisa sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodesasi atau derivasi lainnya. Kedua, rekonstruksi proses genesis, perubahan dan perkembangan. Dengan cara demikianlah, manusia dapat dipahami secara kesejarahan. Melalui analisa sejarah, baru dapat dilacak asal mula situasi yang melahirkan suatu ide dari seseorang tokoh. Melalui analisa sejarah pula, dapat diketahui bahwa seseorang tokoh dalam berbuat atau berpikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan tekanan-tekanan yang muncul dari dirinya sendiri. Kita dapat melihat tindakan-tindakan secara mendalam dipengaruhi tidak cuma oleh dorongan internal yang berupa ide. Keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, tetapi juga oleh keadaan eksternal (Abdullah dan Karim, 1990:73). BAB II Universitas Sumatera Utara