BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa yang besar seperti Indonesia haruslah memiliki tenaga kerja yang sangat baik dan cukup bisa diandalkan guna meningkatkan perekonomian Indonesia. Dalam mencapai hal tersebut, segala upaya akan dilakukan sebuah perusahaan agar tenaga kerja yang bekerja diperusahaan tersebut mampu mengoptimalkan dan memaksimalkan kinerjanya, dan produktivitas perusahaan pun menjadi meningkat. Mulai dari, penyesuaian gaji, tunjangan kesehatan, keamanan, bonus karyawan, dan berbagai fasilitas yang di berikan oleh perusahaan, semuanya hanya untuk meningkatkan produktivitas kerja dari karyawan tersebut. Ketika seorang individu bekerja pada suatu organisasi, instansi ataupun perusahaan maka hasil kerja yang ia selesaikan akan mempengaruhi terhadap tingkat produktivitas organisasi. oleh karena itu, pandangan dan juga perasaan individu terhadap pekerjaannya harus tetap terjaga pada sisi positif dari pekerjannya dengan kata lain individu tersebut harus memiliki dan menjaga kepuasan kerjanya agar produktivitasnya dapat terus ditingkatkan. Kepuasan kerja adalah sikap dan perasaan yang positif terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja menjadi hal yang sangat penting dalam kemajuan suatu perusahaan atau organisasi. Kepuasan kerja dapat dijadikan menjadi sebuah indikator perusahaan terhadap karyawan, apakah karyawan tersebut merasa puas dengan apa yang didapatkannya dalam perusahaan tersebut. 1 2 Seperti yang dikatakan oleh Robbins (1998), bahwa salah satu aspek yang sering digunakan untuk melihat kondisi suatu organisasi adalah tingkat kepuasan kerja para anggotanya. Kepuasan kerja yang rendah menimbulkan dampak negatif seperti mangkir kerja, pindah kerja, produktivitias yang menurun, kesehatan tubuh yang menurun, kecelakaan kerja, pencurian dan perilaku negatif yang lain. Sementara kepuasan kerja yang tinggi akan sangat membantu dan mempengaruhi kondisi kerja yang lebih positif dan dinamis. Sehingga akan memberikan keuntungan yang baik bagi perusahaan. Individu mempunyai tingkat kepuasan kerja yang tinggi apabila individu memiliki sikap dan perasaan yang positif terhadap pekerjaannya sebaliknya individu yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya memiliki sikap dan perasaan yang negatif terhadap pekerjaannya (Levy, 2003). Kepuasan kerja merupakan bentuk kesesuaian antara kebutuhan individu dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya (Maureen & Norma, 2006). Kepuasan kerja sendiri merupakan suatu perasaan menyenangkan yang timbul sebagai akibat dari persepsi karyawan, bahwa dengan menyelesaikan tugas atau berusaha untuk menyelesaikan tugas memiliki peran yang penting (Cascio, 2003). Sementara Robbins (2003), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum dari individu terhadap pekerjaannya. Sikap tersebut merupakan ungkapan emosional baik yang bersifat positif maupun negatif sebagai hasil penilaian terhadap pekerjaan atau pengalaman kerja. Ketika semua kebutuhan tersebut sesuai atau tidak terjadi kesenjangan maka karyawan akan merasa puas. Sebaliknya, apabila tidak sesuai maka akan terjadi ketidakpuasan kerja. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sang, Ison, dan Dainty (2009) yang menemukan ketidakpuasan dari seorang karyawan itu 3 terletak pada hal gaji, manajemen perusahaan, promosi, jam kerja, dan kesempatan mereka untuk menggunakan kemampuan mereka. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Riyono (1991) menjelaskan bahwa ada 5 aspek dalam kepuasan kerja. Aspek-aspek tersebut adalah, yang pertama adalah gaji, yaitu suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayarnya. Kemudian yang kedua adalah pekerjaan itu sendiri, yaitu sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan menerima tanggung jawab. Lalu yang ketiga adalah promosi, yaitu adanya kesempatan untuk maju. Yang keempat adalah rekan kerja, yaitu sejauh mana rekan kerja bersahabat kompeten dan saling mendukung. Kemudian yang terakhir supervisi, yaitu kemampuan atasan untuk membantu dan mendukung pekerja atau bawahannya. Kepuasan kerja dapat dijelaskan lebih detail melalui Two Factor Theory yang di jabarkan oleh Hezberg (dalam As’ad 1981) yaitu yang menyatakan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan hal yang berbeda. Hezberg (dalam As’ad 1981) mengelompokkan karakteristik pekerjaan menjadi dua kategori, yaitu satisfier atau motivators dan dissastifier atau hygiene factors. Artinya kepuasan dan ketidak puasan terhadap suatu pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang berkelanjutan. Satisfier atau motivators adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari : Achievement, recognation, work it self, responsibility and advancement. Dikatakan bahwa hadirnya hadirnya faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidak puasan. 4 Sedangkan dissastifier atau hygiene factors adalah factor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, yaitu terdiri dari : company policy dan administration, supervision technical, salary, interpersonal relations, workin condition, job security dan status. Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidak puasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan karena ia bukan menjadi sumber kepuasan kerja. Jadi dengan kata lain, Hezberg (dalam As’ad 2004) menjelaskan bahwa perbaikan gaji dan kondisi kerja tidak akan menimbulkan kepuasan tetapi hanya mengurangi ketidak puasan. Hezberg (dalam As’ad 2004) juga menambahkan bahwa yang bisa memacu karyawan untuk bekerja dengan baik dan bergairah hanya faktor-faktor dari satisfiers. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Jadi secara garis besar kepuasan kerja dapat diartikan sebagai hal yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang mana pegawai memandang pekerjannya. Jadi faktor yang paling menentukan dalam kepuasan kerja pada karyawan adalah, faktor-faktor yang ada dalam dirinya. Salah satu permasalahan yang dialami oleh seorang karyawan dalam mendapatkan kepuasan kerja dari karyawan tersebut adalah kehidupan karyawan tersebut dengan keluarganya. Ketika seorang individu yang bekerja mempunyai sebuah keluarga, maka akan sangat sulit bagi individu tersebut 5 dalam menyeimbangkan antara keluarganya. Jika karyawan tersebut tidak mampu untuk menyeimbangkannya, maka akan terjadi work-family conflict. Secara umum konflik keluarga-pekerjaan sendiri dapat dibagi menjadi dua dimensi. Pertama, work interfering with family (work-family conflict), yakni pemenuhan peran seseorang dalam pekerjaan yang menyebabkan sulit untuk memenuhi peran di keluarga. Kedua, family interfering with work (family-work conflict), yakni pemenuhan peran seseorang dalam keluarga yang menyebabkan sulit untuk memenuhi peran dalam pekerjaan (Baltes & Gahir, 2003). Beberapa penelitian melaporkan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kepuasan di berbagai aspek kehidupan. Orang yang mempunyai sikap dan perasaan positif terhadap pekerjaannya akan mempunyai perasaan yang postif terhadap kehidupan pribadi dan keluarga (Schultz & Schultz, 1994). Selain itu, orang yang mengalami kepuasan kerja akan produktif, rendah turnover dan jarang absen. Menurut Levy (2003), hal yang mendahului terjadi kepuasan kerja adalah karakteristik pekerjaan, karakterisitik individu, faktor sosial, dan konflik pekerjaan dan keluarga (work‐family conflict). Pekerja yang mengalami konflik pekerjaan‐keluarga (WFC) tinggi akan mengalami ketidakpuasan terhadap pekerjaan daripada pekerja yang mengalami konflik pekerjaankeluarga rendah. Hasil penelitian Judge dan Colquitt (2004) pada staff akademik menunjukkan ada hubungan yang negatif antara konflik pekerjaan‐keluarga (WFC) dengan kepuasan kerja. Konflik yang terjadi pada karyawan mengenai hubungan keluarga dan pekerjaan, akan menimbulkan konflik yang berakibat pada kinerja karyawan itu sendiri, dan juga berimbas langsung pada kepuasan kerja karyawan tersebut. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Zhang, Lin, dan Wan (2015), bahwa 6 kepuasan kerja dari seorang karyawan itu dapat diprediksi melalui dukungan sosial dari karyawan itu sendiri, dan salah satu dukungan sosial tersebut adalah keluarga. Zhang dkk (2015) juga menambahkan bahwa kepuasan kerja dari seorang karyawan itu adalah akumulasi antara dari dua domain tersebut, yaitu pekerjaan dan keluarga. Hal lain juga diungkapkan oleh Staines, Pleck, Shepard, dan O'Connor (1978), bahwa pekerja lelaki lebih sejahtera atau lebih bahagia jika menikah dengan wanita yang menjadi ibu rumah tangga saja, ketimbang menikah dengan wanita yang bekerja. Karena dukungan sosial dari istri tersebut sangat diperlukan oleh suami yang sedang bekerja, dan dapat mengurus anak dengan lebih baik. White (1999) mengatakan, bahwa budaya juga mempengaruhi persoalan antara keluarga dan pekerjaan tersebut. Salah satu cara yang dilakukan oleh seorang wanita di Canada dalam menyiasati persoalan tersebut, adalah menunda pernikahan atau menunda untuk memiliki anak, karena para wanita yang bekerja tersebut, ingin fokus dalam mengejar karir mereka. White (1999) juga mengatakan bahwa wanita yang bekerja lebih puas dibandingkan dengan lakilaki yang bekerja jika kondisi yang dialami oleh keluarga tersebut, hanya ada satu orang pencari nafkah dalam keluarga tersebut. Artinya, jika suaminya bekerja, dan istrinya juga bekerja, maka akan rawan timbul konflik dalam keluarga tersebut. Selama dekade antara 2000 - 2010, sejumlah studi menunjukkan bahwa lakilaki dan perempuan mengalokasikan waktu yang sama untuk gaji dan pekerjaan dengan kesenjangan gender dalam hal pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, dan perawatan anak (Bianchi & Milkie 2010). Tuntutan tanggung jawab terhadap pekerjaan dan keluarga tentunya harus dapat dipenuhi 7 secara seimbang oleh pasangan yang sudah menikah. Keputusan yang diambil oleh salah satu anggota pasangan selalu berdampak pada jenjang karir anggota yang lain, baik dari pihak istri maupun suami, oleh karena masing-masing dari anggota pasangan ingin berusaha membangun karirnya. Masing-masing pihak baik suami maupun istri harus mampu dan berusaha membuat kesepakatan terkait hal-hal yang berkenaan dengan pembagian tanggung jawab antara pekerjaan dan keluarga seperti: banyaknya waktu untuk pekerjaan, relokasi waktu untuk bekerja, promosi karir pekerjaan, dan pembagian tugas-tugas rumah tangga (Budworth, Enns, & Rowbotham 2007). Ketika seorang individu tidak mampu untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga, maka akan timbul konflik antara keluarga dan pekerjaan. Friedman dan Greenhaus (2000) menyatakan bahwa ada tiga bentuk workfamily conflict yaitu, time based conflict, strain based conflict, behavior based conflict. Penjelasan dari masing-masing aspek work-family conflict tersebut adalah sebagai berikut, Time based conflict mengarah pada terbatasnya waktu yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sedang dikerjakan dari beberapa peran yang sedang diperankan, contohnya: seorang wanita karir yang sudah menikah harus menghabiskan 10 jam untuk bekerja, sehingga pekerjaan domestik tidak dapat terpenuhi karena kurangnya waktu. Strain based conflict terjadi ketika ketegangan yang didapatkan dari salah satu domain peran berdampak pada performansi seseorang ketika memenuhi tanggung jawab diperan yang lain, contohnya: kegagalan suatu pekerjaan ditempat kerja oleh seorang wanita karir yang membuat stress secara emotional, keadaan stress yang dialami mempengaruhi kinerja ketika harus memenuhi tugas pada peran yang lain. 8 Behavior based conflict terjadi ketika pola perilaku pada peran tertentu tidaklah seperti yang diharapkan oleh peran yang lain, misalnya seorang pekerja harus merahasiakan segala-sesuatu yang diketahuinya bahkan karena berkaitan dengan tugas pekerjaan, disisi lain, keluarga meminta keterbukaan dalam interaksi sehari-hari. Hal lain yang masih berkaitan dengan topik konflik antara keluarga dan pekerjaan juga disampaikan oleh Chambers (1998) yang mengatakan bahwa konflik yang terjadi pada wanita lebih besar dibandingkan dengan konflik yang ada pada pria. Setidaknya Greenhaus dan Beutell (1985) juga mengatakan ada tiga hal yang menjadi konflik pada wanita yaitu, yaitu yang pertama adalah konflik dalam tuntutan waktu, kemudian yang kedua adalah konflik emosi dan energi lalu yang terakhir adalah konflik penyesuaian sikap dari tempat kerja dan kedalam keluarga. Tuntutan pekerjaan yang tinggi, waktu kerja yang sangat padat akan membuat seorang ibu akan merasa sulit untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Hill, Hawkins, Feriis, dan Weitzman (2001), bahwa terjadi beberapa hal dalam penyeimbangan antara pekerjaan dan keluarga yaitu, jam lembur berkorelasi positif dengan persepsi fleksibilitas kerja dan work family balance, kemudian jenis kelamin tidak berkorelasi siginifikan terhadap work family balance dan kepada persepsi fleksibilitas kerja, temuan lain yang didapatkan adalah, bahwa lokasi kerja dan beban kerja yang berat yang berkorelasi positif terhadap work family balance, hal yang terakhir adalah ketika mempunyai anak belum bersekolah, atau sebelum bersekolah itu juga akan menyebabkan konflik antara pekerjaan dan keluarga. 9 Hal ini dapat menjadi sebuah konflik bagi seorang individu jika mereka tidak dapat mengatasinya dengan baik. Konflik antara pekerjaan dan keluarga menjadi fokus permasalahan, menjadi topik yang cukup relevan untuk di teliti. Beberapa hal menjadi faktor pendukung terjadinya konflik antara pekerjaan dan keluarga, antara lain, tuntutan pekerjaan, rekan kerja dan waktu kerja yang padat. Bolger, DeLongis, Kessler, dan Wethington (1989) berpendapat bahwa konflik antara keluarga dan pekerjaan muncul pada beberapa hal, antara lain, pada saat memiliki anak, tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang mengurus anak dan rumah tangga, tidak mempunyai waktu yang baik pada keluarga. Permasalahan yang kerap kali muncul ketika proses dari seorang pekerja dalam mencapai work family balance dalam kehidupan individu tersebut adalah ketidakmampuan dari individu tersebut dalam mengendalikan emosi individu tersebut. Individu tersebut tidak mampu memisahkan emosi yang berasal dari keluarga yang tidak boleh dibawa kedalam pekerjaan mereka, dan juga sebaliknya mana emosi dari pekerjaan mereka yang tidak boleh di bawa ke dalam kehidupan keluarga dari individu tersebut. Proses tersebut akan menjadi sulit jika individu tersebut mencampurkan permasalahan yang ada di keluarga ke dalam pekerjaan mereka, dan sebaliknya mencampur adukkan masalah yang ada dalam pekerjaan mereka kedalam kehidupan keluarga mereka. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Cheung dan Tang (2009), yang mengatakan proses penyesuaian antara pekerjaan dan keluarga mempunyai dampak yang cukup bervariatif. Baik itu dari segi pekerjaan, maupun dari segi keluarga. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan gagalnya proses penyeimbangan antara keluarga dan pekerjaan tersebut. Salah satunya adalah, 10 keseimbangan emosi bagi pekerja tersebut. Proses memilah emosi yang dirasakan oleh pekerja adalah salah satu proses menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan oleh seorang individu. Individu tersebut, harus mampu memisahkan emosi yang berasal dari pekerjaan dan harus diselesaikan di pekerjaan, dan begitu juga sebaliknya mana emosi yang berasal dari keluarga, dan harus diselesaikan dikeluarga. Sedangkan Cheung dan Tang (2009), mengatakan emosi pekerja mengacu pada regulasi emosi di tempat kerja sesuai dengan tujuan organisasi. Greenhaus dan Beutell (1985) juga menambahkan bahwa konflik antara keluarga dengan pekerjaan mengacu pada situasi ketika tekanan dari peran pekerjaan dan keluarga yang saling bertentangan di mana partisipasi dalam satu peran membuat sulit untuk berpartisipasi dalam peran lain dan hasilnya, domain pekerjaan mengganggu domain keluarga, dan sebaliknya. Dari penjelasan mengenai konflik dalam hal penyeimbangan pekerjaan dan keluarga berpengaruh besar terhadap kepuasan kerja. Faktor lain yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja pada karyawan adalah Quality of Work Llfe (QWL). QWL sudah mulai berkembang pada tahun 1960. Dimana pada saat itu, penelitian sudah mulai dikembangkan kepada kualitas hubungan antara karyawan dengan kondisi lingkungan kerjanya (Rose, Beh, Uli, & Idris, 2006). Kemudian pada tahun 1969 sampai 1974, penelitian tentang QWL berfokus kepada apa-apa saja variabel lain yang mempengaruhi dan variabel-variabel apa saja yang dipengaruhi oleh QWL (David & Newstrom, 1985). David dan Newstrom (1985) juga menambahkan untuk menjawab bagaimana menjadikan lingkungan yang terbaik dalam bekerja adalah dengan menjadikan tempat bekerja menjadi bagian dari kehidupan. Selain itu, menjadi suatu isu yang penting bagi pengembangan SDM dalam organisasi karena 11 seiring dengan perkembangan jaman saat ini karyawan sudah lebih cenderung memperhatikan isu kualitas hidup (Lian, Lin, & Wu, 2007). Pengertian QWL itu sendiri sebagai cara yang berfokus untuk mempengaruhi karyawan dalam kesehatan kerja dan well being secara umum, dan cara untuk meningkatkan kualitas pengalaman kerja individu. Cascio (2003) mendefinisikan QWL sebagai sekumpulan persepsi karyawan akan kesejahteraan mental dan fisik mereka di tempat kerja. Kualitas kehidupan kerja memberikan kesempatan pada karyawan untuk membuat keputusan tentang pekerjaan mereka, desain tempat kerja, dan kebutuhan untuk menghasilkan atau memberikan pelayanan yang paling efektif. Riyono (2012) dalam penelitiannya mendefinisikan QWL sebagai budaya organisasi yang berorientasi pada keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Sementara Lau dan May (1998) mendefinisikan QWL sebagai kondisi dan lingkungan kerja yang sesuai untuk mendukung dan meningkatkan kepuasan kerja karyawan dengan menyediakan reward, keamanan kerja, dan kesempatan untuk berkembang bagi karyawan. Bowditch dan Buono (dalam Kashani, 2012) melihat tentang kualitas hidup dan kualitas kerja membantu karyawan untuk mendapatkan ide untuk kemajuan organisasi. Memahami tentang persepsi ini membantu pimpinan perusahaan untuk memperkuat QWL. Pengalaman kerja dan outcome bisa mempengaruhi kualitas hidup seseorang secara umum, yang keduanya secara langsung maupun tidak langsung karena akibat dari interaksi keluarga, waktu luang, dan tingkat kesehatan dan energi. QWL mencakup kemajuan budaya organisasi yang didukung pertumbuhan dan keunggulan karyawan. Oleh karena itu dalam sistem nilai QWL, investasi dari orang-orang (termasuk kebutuhan 12 bertemu dengan karyawan) merupakan pertimbangan sebagai faktor penting untuk menjadi organisasi yang efisien dalam jangka panjang. Cascio (2003), menyebutkan bahwa terdapat dua sudut pandang untuk mengetahui makna dari QWL. Sudut pandang pertama melihat melalui sekelompok praktek dan kondisi obyektif dari sebuah organisasi. contohnya adalah kebijaksanaan mengenai promosi, supervisi yang demokratis, keterlibatan karyawan, dan kondisi kerja yang aman. Sudut pandang yang kedua, melihat melalui persepsi karyawan bahwa mereka aman, relatif merasa puas, memiliki keseimbangan kehidupan kerja, dan mereka mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai mahluk hidup yang seutuhnya. Kedua pandangan ini akhirnya digabungkan ketika seseorang menyukai organisasi, cara bagaimana mereka terstruktur, dan kebutuhannya terpenuhi maka ia akan dikatakan memiliki kualitas kehidupan kerja yang baik. Kondisi ini tidak bisa ditemui disetiap organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Sirgy, Efraty, Siegel, dan Lee (2001) terhadap perawat di Kanada menunjukkan bahwa QWL merupakan pemenuhan kebutuhan karyawan yang diperoleh melalui sumber daya, aktivitas, dan hasil yang diperoleh melalui partisipasi di tempat kerja, diantaranya lingkungan kerja, job requirement, perilaku supervisor dan progam tambahan memiliki hubungan yang positif dengan QWL. Konsep QWL tersebut secara garis besar terbagi atas dua pengertian yaitu bagaimana menciptakan kondisi organisasi yang objektif dan kondusif. Contohnya: kebijakan promosi, supervisor yang demokratis, keterlibatan karyawan dan kondisi kerja yang aman. Pengertian kedua adalah mengenai persepsi karyawan terhadap organisasi mengenai keselamatan kerja, kepuasan 13 yang relatif dan mampu menjadi individu yang baik (Cascio, 1998). Pengertian QWL berdasarkan pengertian yang kedua ini juga dijelaskan oleh Bernardin dan Russel (dalam Riyono 2012) yang mengungkapkan bahwa QWL menekankan pada tingkat kepuasan, motivasi, keterlibatan, dan komitmen individu yang dialami dalam kehidupannya di tempat kerja Sama seperti konsep QWL yang masih bervariasi, dimensi dari QWL juga memiliki variasi. Seperti yang terdapat dalam jurnal Farjad (2013), komponen QWL menurut Walton (1975) terdiri dari fair enough payment, safety and healthy work conditions, providing growth opportunity and continuous security, lawfulness in organization, balance between work and other life aspect, significant social aids and cooperation, social cohesion in work, development of human capabilities. Juga konsep QWL yang dikembangkan oleh Riyono (2012), terdiri atas 5 dimensi yaitu trust, care, respect, learn, contribute. Trust yaitu adanya saling percaya antar semua karyawan baik itu antara atas dan bawahan maupun sesama rekan kerja. Care yaitu berupa saling peduli antara semua karyawan. Respect berupa penghargaan antar sesama karyawan baik antara atasan dengan bawahan maupun sesama rekan kerja. Learn yaitu semangat belajar terus menerus untuk berkembang pada semua karyawan. Contribute merupakan semangat ”memberi” dalam mewujudkan tercapainya tujuan dari organisasi. 14 B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah yang ada maka dapat dirumuskan pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan QWL dan work family balance terhadap kepuasan kerja? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji asumsi teoritis tentang peranan QWL dan work family balance terhadap kepuasan kerja. Serta untuk mengetahui besar sumbangan efektif QWL dan work family balance terhadap kepuasan kerja. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. Manfaat teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya teori dalam bidang Psikologi Industri dan Organisasi utamanya mengenai kepuasan kerja, QWL, serta work family balance. Disamping itu, hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan referensi yang dapat menjadi tambahan wawasan bagi para pembaca, khususnya bagi kalangan akademisi psikologi dan bagi penu selanjutnya yang mengadakan kajian dalam topik yang sama. b. Manfaat Praktis: memberikan informasi dan wawasan mengenai work family balance dan QWL di tempat kerja serta manfaat keduanya dalam meningkatkan organisasi/perusahaannya. kepuasan kerja terhadap 15 D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Kepuasan kerja tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri karyawan saja, tapi juga faktor luar diri karyawan tersebut. Kepuasan kerja tidak hanya berkaitan dengan hal materi seperti gaji, bonus, atau pun promosi jabatan, tetapi juga lingkungan sekitar karyawan. Penelitian-penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa banyak variabel yang dikaitkan dalam memprediksi kepuasan kerja karyawan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2014) dengan judul “Peran Resilience dan Quality of Work Life terhadap Job Satisfaction”. Dalam penelitiannya Larasati (2014) mengambil sampel sebanyak 170 partisipan. Larasati (2014) menemukan bahwa Resilience berpengaruh positif secara signifikan terhadap kepuasan kerja, tetapi QWL tidak berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja, melainkan sebagai mediator. Penelitian lain yang telah dilakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Saltzstein, Ting, dan Saltzstein (2001), yang berjudul “Work-Family Balance and Job Satisfaction: The Impact of Family-Friendly Policies on Attitudes of Federal Government Employees” menemukan bahwa Job Satisfaction sangat dipengaruhi oleh work family balance. Penelitian lain adalah, penelitian yang dilakukan oleh Andreassi, Lawter, Brockerhoff, dan Rutigliano (2012) dengan judul “Job Satisfaction Determinants: A Study Across 48 Nations”. Dalam penelitian ini Andreassi dkk (2012) mengkaitkan perbedaan budaya dari sebuah negara dengan negara yang lain dalam menentukan tingkat kepuasan kerja dari seorang karyawan. Hasil yang didapat adalah, bahwa budaya disetiap negara menentukan kepuasan kerja dari karyawan perusahaan atau organisasi di negara tersebut. 16 Penelitian lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Hossain dan Islam (1999), dengan judul “Quality of Working Life and Job Satisfaction of Government Hospital Nurses in Bangladesh”. Penelitian ini menjelaskan bahwa Quality of Work Life berkorelasi positif terhadap kepuasan kerja. Dalam penelitian ini juga diungkapkan kualitas lingkungan kerja juga dapat meningkatkan kepuasan kerja dari karyawan. Penelitian lain dilakukan oleh Putri (2014), dengan judul penelitian “Peran Kepuasan Kerja dan Quality of Work Life (QWL) terhadap komitmen organisasi”. Dalam penelitian ini kepuasan kerja diletakkan sebagai variabel dependent bersama dengan dengan QWL dalam memprediksi komitmen organisasi. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah baik kepuasan kerja dan QWL memiliki hubungan yang signifikan terhadap komitmen. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dilihat bahwa kepuasan kerja dari karyawan dipengaruhi tidak hanya dari faktor internal seperti gaji dan bonus, tetapi juga berasal dari faktor luar diri karyawan tersebut karyawan itu sendiri seperti keluarga, dukungan sosial, budaya dan faktor lingkungan kerja dan keluarga. Pada penelitian ini penulis mencoba melihat variabel lain yang mempengaruhi kepuasan kerja. Variabel tersebut adalah QWL dan work family balance. Penulis mengasumsiakn bahwa kualitas kehidupan pekerjaan yang baik ditunjang dengan dukungan sosial dari keluarga yang harmonis, maka akan membuat karyawan tersebut mendapatkan kepuasan pekerjaannya.