- RP2U Unsyiah

advertisement
PENDIDIKAN NILAI-NILAI KARAKTER
DALAM LINGKUNGAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Oleh
Maimun,S.Pd,MA1
Abstrak
Pendidikan nilai merupakan domain yang sangat penting untuk dikembangkan disetiap jenjang
pendidikan, baik secara formal maupun non formal, dengan tujuan membentuk karakter individu
secara utuh. Oleh karena itu, maka diperlukan suatu upaya pengembangan pendidikan karakter di
lembaga pendidikan sesuai dengan jenjang masing-masing. Peneltian ini mefokuskan pada
implimentasi nilai-nilai karakter di Universitas Syiah Kuala, dengan tujuan untuk
mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang dikembangkan di Universitas Syiah Kuala,
mendeskripsikan strategi pengembangan karakter dalam kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler dan
kokurikuler, selanjutnya penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi kendala dan
peluang pengembangan nilai-nilai karakter tersebut di Universitas Syiah Kuala. Penelitian ini
merupakan penelitian kulitatif dengan menggunakan istrumen wawancara mendalam sebagai alat
pengumpulan data. Sedangkan subyeknya adalah tokoh struktural dan tokoh yang ekspert yang
ada di lingkungan Universitas yang berjumlah 30 orang. Hasil penelitian diketahui bahwa
terdapat tiga sumber nilai yang dijadikan sebagai dasar pengembangan nilai-nilai karakter di
Universitas Syiah Kuala, yaitu: nilai agama, nilai nasionalisme dan nilai local wisdom. Strategi
pelaksanaan pendidikan karakater dapat dilakukan melalui kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler
dan kokurikuler.
A. Latar Belakang
Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad lalu, dengan kata lain Indonesia
telah merdeka selama 68 tahun, dan tergolong waktu yang lama jika dibandingkan
dengan Korea Selatan dan beberapa negara lain seperti Malaysia dan Singapura, yang
merdeka jauh setelah Indonesia. Namun, Korea Selatan dan negara-negara lain itu jauh
lebih maju dibandingkan dengan negara kita. Kita malah terjerumus ke dalam ‘lubang’
krisis yang sangat ‘tajam’. Krisis multidimensi yang dialami bangsa kita telah memberi
dampak yang besar dalam berbagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak
yang mengatakan bahwa masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah
terletak pada aspek moral. Terbukti dengan banyaknya berita tentang korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh sejumlah pejabat “teras”, pergaulan bebas muda1 Dosen Ilmu Politik Pada Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala
1
mudi yang tanpa batas, plagiat, ‘nyontek’ saat ujian, terlibat narkoba. Lebih parah lagi,
ada siswa tidak menghormati guru dan orang tua, pembunuhan, pencurian, dan
perusakan sarana umum, juga bagian cerita yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Keadaan ini kian hari semakin parah dan “mewabah”, yang apabila tidak
diperhatikan serta dicarikan solusinya secara cepat dan tepat, bangsa Indonesia
dimungkinkan tidak dapat bangkit dari keterpurukannya. Kita harus menyadari bahwa
tujuan pendidikan adalah memperbaiki moral, karena moral akan memberikan petunjuk,
pertimbangan, dan tuntunan untuk berbuat dengan penuh tanggung jawab. Pada
dasarnya, moral adalah bagian dari personality manusia. Moral dapat dikatakan menyatu
dengan pikiran, rasa, dan kehendak.
Manusia bermoral adalah manusia yang dapat memfungsikan ketiga potensi
tersebut secara baik. Kenyataanya, kebanyakan manusia lebih suka mengandalkan
kehendaknya tanpa memfungsikan potensi yang lain sehingga tindakan yang muncul
adalah tindakan amoral. Perilaku bermoral seperti jujur, adil, dan kasih sayang
memegang peranan penting dalam kehidupan. Tindakan ini dapat menciptakan
ketentraman, kedamain, dan kesejahteraan bagi lingkungannya. Namun demikian, untuk
bertindak secara moral tidaklah semudah seperti mengucapkannya. Realitasnya,
masyarakat kita masih banyak yang lebih senang bertindak secara amoral, yang penting
mendatangkan keuntungan dibandingkan bermoral tidak menghasilkan secara material.
Hal ini tentunya membuat kita sedih dan malu sebagai bangsa yang beragama
dan memiliki keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME). Untuk membentuk
masyarakat dan bangsa yang bermoral tidaklah mudah. Semua itu memerlukan suatu
keberanian secara berkelanjutan. Keberanian moral dalam menegakkan kejujuran,
keadilan, dan kebenaran haruslah memperhatikan potensi cipta, rasa, dan karsa. Oleh
karena itu, keberanian moral harus sistematis, bukan hanya ide yang menyebar. Jika hal
ini terjadi, gerakan ‘penegakkan’ kejujuran, keadilan, dan kebenaran akan berjalan lebih
sistematis dan terarah kepada target yang hendak dicapai. Keberanian moral sebenarnya
juga telah dimiliki oleh para perintis kemerdekaan Indonesia dan para pemuda yang
dipelopori oleh mahasiswa dalam menggerakan arus reformasi. Tanpa keberanian moral,
tidak mungkin bangsa Indonesia berhasil melawan penjajah yang mencengkram bumi
pertiwi beberapa abad lamanya. Lengsernya Suharto harus diakui karena gerakan
keberanian moral kaum muda, terutama para mahasiswa yang melakukan demonstrasi
besar-besaran berpuncak pada bulan Mei 1998. Gerakan keberanian moral ini bukan
2
sekedar agar Suharto turun dari jabatannya. Lebih jauh dari itu, tujuannya untuk
memperbaiki kehidupan bangsa dan negara agar dapat keluar dari krisis multidemensi.
Terjadinya krisis moral itu karena manusia sudah tidak dapat lagi membedakan
salah-benar; baik-buruk. Manusia bertindak sesuai dengan kehendaknya demi
kepentingan diri dan kelompok, tanpa memperhatikan orang lain. Mereka tidak
menyadari bahwa tindakan yang dilakukan akan merugikan dan mencelakakan orang
lain bahkan akibat lebih jauh adalah kesengsaraan umat manusia. Krisis moral pada
dasarnya sama dengan krisis kemanusiaan. Dalam Kondisi seperti ini, manusia lupa akan
hekikatnya, baik sebagai makluk yang bertuhan, makluk sosial, maupun sebagai makluk
peribadi, sehingga tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai kalifah di muka bumi dengan
baik. Manusia justru melakukan tindakan-tindakan amoral.
Dalam kehidupan masyarakat sekarang, kepada kita sering dipertontonkan
tindakan-tindakan ketidakjujuran, ketidakadilan, dan kecurangan-kecurangan lain, yang
semuanya itu hanya untuk kepentingan sesaat. Tidak jarang pula untuk memenuhi
kebutuhan hidup, para pedagang mengurangi timbangannya, para penegak hukum
mempermainkan keadilan, para birokrat dan pejabat negara asyik meningkatkan KKNnya, sedangkan rakyat kecil lebih banyak menerima akibat. Tindakan tersebut sudah
merasuk dalam sendi kehidupan masyarakat kita yang pada suatu saat dapat
menghancurkan kehidupan bangsa.
Banyak yang beranggapan bahwa krisis multidimensi terjadi di negara kita
sekarang ini sebagai konsekuensi dari kegagalan sistem pendidikan yang dibangun.
Pendidikan ‘dituduh’ sebagai penyebab terjadinya keterpurukan bangsa. Dunia
pendidikan kita disebut-sebut telah gagal membentuk manusia yang beriman dan
beramal. Pendidikan kita juga ‘dianggap’ telah gagal dalam mencapai tujuan utamanya,
yaitu: mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan
seimbang.
Harus kita akui bahwa memang pendidikan kita telah memberikan penekanan
besar pada penguasaan ilmu dan teknologi, sedangkan aspek nilai menjadi terlupakan.
Akibatnya, pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia yang tidak memiliki
sistem nilai. Apabila kita melihat undang-undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 dalam
pasal 3 disebutkan bahwa:
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
3
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab" maka kita dapat memahami bahwa tujuan utama pendidikan adalah
membentuk insan yang beriman dan berakhlak mulia.”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang
diselenggarakan di negara kita belum sesuai dengan harapan yang tertuang dalam
undang-undang. Oleh karena itu, penting adanya pendidikan karakter yang harus
diimplimentasikan dalam
kegiatan
kurikuler, kokurikuler,
dan ekstrakurikuler.
Pendidikan karakter adalah suatu usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak. Anak didik diharapkan mempraktekkannya dalam
kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada
lingkungannya. Adapun nilai-nilai karakter yang ditanamkan kepada anak-anak adalah
nilai-nilai universal. Seluruh agama, tradisi, dan budaya dipastikan menjunjung tinggi
nilai-nilai tersebut yang selanjutnya dituangkan dalam kegiatan di kampus.
Pendidikan karakter tidak bertentangan dengan konsep KBK karena mengukir
akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, feeling the good and acting
the good yaitu sama-sama melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan
demikian, perguruan tinggi memiliki andil besar mewujudkan sarjana yang berkarakter.
Hal ini tentunya dimulai dari desain teknis. Upaya penerapan terhadap proses pendidikan
karakter itu harus dilaksanakan dalam siatuasi yang tepat. Pendidikan karakter di
perguruan tinggi dapat ‘dianggap’ salah satu jalan ‘penyelamat’ lahirnya generasi muda
yang berilmu dan bermoral. Perguruan tinggi adalah jenjang terakhir dari suatu proses
pendidikan. Setelah itu, lulusan dari jenjang tersebut akan beradabtasi dan hidup dalam
lingkungan masyarakat secara umum. Maka, atas dasar inilah peneliti tertarik untuk
mengkaji lebih jauh tentang implimentasi nilai-nilai karakter dalam lingkungan
Universitas Syiah Kuala.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka berikut ini dapat dirumuskan lima
rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Nilai-nilai karakter apa saja yang dikembangkan pada mahasiswa dalam
lingkungan Universitas Syiah Kuala?
2. Bagaimanakah strategi pengembangan nilai-nilai karakter dalam kegiatan
kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler dan kegiatan kokurikuler?
4
3. Apa saja potensi kendala dan peluang pengembangan nilai-nilai karakter di
Universitas Syiah Kuala?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan di atas tadi, maka adapaun tujuan
daripada penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu:
a.i.1.
Mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang dikembangkan pada mahasiswa
dalam lingkungan Universitas Syiah Kuala.
a.i.2.
Mendeskipsikan strategi pengembangan nilai-nilai karakter dalam
kegiatan kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler dan kegiatan kokurikuler.
a.i.3.
Mengidentifikasi kendala dan peluang pengembangan nilai-nilai karakter
di Universitas Syiah Kuala.
D. Manfaat Penelitian
Secara umum, hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pengembangan
literatur ilmiah yang berkaitan dengan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan
formal, terutamanya tingkat perguruan tinggi. Namun secara khusus, manfaat dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Akan menjadi pedoman utama bagi stakeholders
dalam proses pelaksanaan
pendidikan karakter di Universitas Syiah Kuala dan perguruan tinggi negeri
lainnya yang ada di Aceh.
2. Selain perguruan tinggi negeri, hasil penelitian ini juga dapat menjadi pedoman
awal bagi pelaksanaan program pengembangan pendidikan karakter di perguruan
tinggi swasta.
3. Akan menjadi bahan rujukan awal bagi dinas pendidikan tingkat provinsi
maupun kabupaten dalam dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan
upaya meningkatkan karakter peserta didik di tingkat sekolah formal maupun non
formal.
4. Hasil penelitian ini akan dapat bermanfaat terhadap sekolah menengah pertama
dan menengah atas sebagai lembaga formal dan juga bagi pendidikan non formal
lainnya, menyangkut dengan upaya penguatan nilai-nilai karakter pada diri
peserta didik.
5
E. Landasan Teoritis
1. Perspektif dan Konsep Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini dikarena
pendidikan karakter sebagai upaya transfer value dalam suatu proses dan pada setiap
jenjang pendidikan. Menurut David (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai
berikut:
“Character education is the deliberate effort to help people understand, care about,
and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want
for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care
deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face
of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan segala sesuatu
yang dilakukan stakeholders, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Dosen
membantu membentuk watak peserta mahasiswa. Hal ini mencakup keteladanan perilaku
dosen, cara dosen berbicara atau menyampaikan materi, cara dosen bertoleransi, dan
berbagai hal terkait lainnya. Dalam hal ini, Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter
memiliki esensi serta makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik,
warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau
bangsa, secara umum memiliki tatanan nilai tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh
budaya masyarakat dalam lingkugannya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni nilai-nilai
luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut
sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila
berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa
nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Tuhan dan ciptaann-Nya (alam dengan
isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli dan kerja sama,
percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan,
baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain
6
mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan
perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun,
disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di
kampus harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan
menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi sesuai dengan kebutuhan, kondisi,
dan lingkungan kampus itu sendiri.
Para pakar pendidikan umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatannya. Berhubungan dengan
pendekatan,
sebagian
pakar
menyarankan
penggunaan
pendekatan-pendekatan
pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai.
Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui
penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara
psikologis dan sosial kultural, pembentukan karakter dalam diri individu merupakan
fungsi dari seluruh potensi individu manusia dalam konteks interaksi sosial kultural yang
berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: (1) Olah Hati
(Spiritual and emotional development); (2) Olah Pikir (intellectual development); (3)
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan (4) Olah Rasa dan
Karsa (Affective and Creativity development).
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Dalam
hal ini, Menurut Hersh (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori
yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan
pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif,
dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan
kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga
unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi,
dan afeksi.
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktekan di
sejumlah negara. Studi Mark Halstead dan Monica Taylor (2000) menunjukkan
7
bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter
terpuji telah dikembangkan di kampus-kampus di Inggris. Peran kampus yang menonjol
terhadap pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut teraplikasi dalam dua
hal.
“to build on and supplement the values children have already begun to develop
by offering further exposure to a range of values that are current in society (such
as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect
on, make sense of and apply their own developing values” (Halstead dan Taylor,
2000: 169).
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
2. Tahapan Pengembangan Karakter
Pelaksanaan pendidikan karakter merupakan suatu keharusan yang tidak dapat
dipungkiri, karena tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah untuk mendorong
lahirnya generasi yang memiliki watak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan
berkembangnya karakter yang baik pada diri seseorang akan mendorong orang tersebut
memiliki kemampuan menghayati secara benar makna dan tujuan hidup. Dengan
demikian, akan mendorong lahirnya generasi muda Indonesia yang berkarakter sejati.
Perlu diketahui bahwa berbicara pengembangan karakter bukanlah sesuatu yang
mudah, semudah membalik telapak tangan. Akan tetapi, pengembangan karakter
memerlukan suatu keseriusan yang dilandasi sikap konsistensi tinggi dari seluruh
stakeholders. Hal ini karena pengembangan karakter atau watak pada diri seseorang
memiliki
tahapan-tahapan
tertentu.
Dengan
demikian,
sangat
penting
untuk
menyesuaikan pola pendekatan dalam pengembangan karakter peserta didik, berdasarkan
tahap-tahap yang dimaksud.
Berkaitan dengan tahapan perkembangan moral, penting pula merujuk pendapat
dua ahli berikut ini. Pertama, Jean Peaget (Berterns, 1993), yang menyatakan bahwa
perkembangan moral terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama disebut tahap realisme
moral dan tahap kedua disebut moralitas otonomi. Dalam tahap pertama, seorang anak
8
menilai tindakan sebagai benar atau salah atas dasar konsekuensinya, bukan berdasarkan
motifasi dibelakangnya. Moral anak otomatis mengikuti peraturan tanpa berfikir atau
menilai dan cenderung menganggap orang dewasa yang berkuasa. Di sini yang paling
penting menurut Piaget bahwa anak menilai suatu perbuatan benar atau salah
berdasarkan hukuman, bukan pada nilai moralnya. Pada tahap kedua, perkembangan
kognitif anak telah terbentuk sehingga ia dapat mempertimbangkan semua cara yang
mungkin untuk memecahkan masalah tertentu. Di tahap ini, anak sudah dapat melihat
masalah dari berbagai sudut pandang dan dapat mempertimbangkan berbagai faktor
untuk memecahkan masalah.
Kedua, Lawrence kolhberg (Berterns, 1993), yang berpendapat bahwa
perkembangan moral pada diri individu melalui tiga tahapan. Masing masing tahap itu
terdiri atas dua tahapan di dalamnya. Tahapan perkembangan moral yang dimaksud
Kolhberg dibagi dalam beberapa tingkat.
a.
Tahap pra konvensional
Terdiri atas dua tahapan, yaitu tahap orientasi pada kepatuhan dan hukuman anak
melakukan sesuatu agar memperoleh hadiah dan tidak mendapatkan hukuman; tahap
relativistik hedonism, yaitu anak tidak lagi secara mutlak tergantung aturan yang ada,
mereka mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat relatif dan lebih berorientasi
pada prinsip kesenangan.
b.
Tahap konvensional
Berfokus pada kebutuhan sosial. Tahapan yang terdapat dalam masa
konvensional terdiri atas dua tahap, yaitu: orientasi mengenai anak yang baik, anak akan
memperlihatkan perbuatan yang dapat dinilai oleh orang lain; tahap mempertahankan
norma-norma sosial dan otoritas, anak menyadari kewajiban untuk melaksankan norma
yang ada dan mempertahankan pentingnya keberadaan norma, yang artinya, untuk dapat
hidup secara harmonis, kelompok sosial harus menerima peraturan yang lebih disepakati
bersama dan melaksanakannya.
c.
Tingkat post konvensional
Individu mendasarkan penilaian moral pada prinsip yang benar secara intern.
Terdapat dua tahapan di sini, yaitu orientasi pada perjanjian antara individu dengan
lingkungan sosialnya, ada hubungan timbal balik antara individu dengan dengan
linkungan sosial yang apabila seseorang melaksanakan kewajiban sesuai dengan tuntutan
norma sosial, ia berharap akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat; memiliki
9
prinsip universal, ada norma etik dan norma pribadi yang bersifat subjektif, yang artinya
dalam hubungan antara seseorang dengan masyarakat ada unsur unsur subjektif menilai
apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik moral atau tidak.
Selanjutnya, menurut Alfred Alder (1956), terdapat dua dorongan pokok di dalam
diri manusia yang melatarbelakangi segala tingkah lakunya, yaitu dorongan keakuan dan
dorongan kemasyarakatan. Dorongan keakuan berbentuk ego individual yang muncul;
sedangkan dorongan kemasyarakatan itu berbentuk koperasi, hubungan sosial, hubungan
antarpribadi, hubungan dengan kelompok, dll.. Dalam arti yang lebih luas, dorongan
kemasyarakatan ini merupakan upaya untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan
membantu masyarakat yang menjadi lingkungan seseorang guna mencapai tujuan yang
sempurna. Hal yang bersamaan dikemukakan Edwards Lee Thorndike (Berterns, 1993),
seorang penganut paham psikologi behavior. Kalau Adler memakai istilah “dorongan
masyarakat”, Thorndike menonjolkan kata “belajar” di dalam menjelaskan latar
belakang tingkah laku seseorang, yang menurutnya merupakan terbentuknya asosiasiasosiasi antara peristiwa-peristiwa dalam lingkungan seseorang, ia menyebut ini
“stimulus” dengan respons yang diberikan terhadap stimulus tersebut.
Atas dasar beberapa pemikiran para ahli di atas, karakter dikembangkan melalui
tahap pengetahuan, pelaksanaan, dan kebiasaan. Karakter tidak terbatas pada
pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu
bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih untuk melakukan kebaikan
tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian,
diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu
moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan
emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar
mahasiswa yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami,
merasakan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral.
Apabila kita lihat lebih jauh, dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral
knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness),
pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang
(perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap
(decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan
penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini
berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu
10
kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita
orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control),
kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang
merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa
yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally), harus dilihat tiga
aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan
(habit).
F. Metodelogi
Penelitian ini dilaksanakan pada semua fakultas yang terdapat dalam lingkungan
Universitas Syiah Kuala selama tiga minggu tepatnya pada bulan Oktober tahun 2012.
Dengan subyek penelitian sebanyak sebanyak 30 orang, dengan kategori: 10 orang
utama adalah unsur pimpinan Universitas dan Pimpinan Fakultas, dalam hal ini bapak
rektor dan para pembantu rektor serta Para Dekan dalam lingkungan Universitas Syiah,
10 orang lainnya merupakan unsur para pembantu dekan bidang kemahasiswaan (PD III)
dan para pengurus BEM, dan 10 orang berikutnya merupakan unsur ketua jurusan dan
pengurus unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang ekspert dengan pendidikan karakter.
Pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh melalui wawancara mendalam dengan
subyek yang telah ditentukan. Karena data dalam penelitian ini bersifat kulitatif, maka
data yang sudah terkumpul dianalisis secara deskriptif sesuai dengan siklus yang
disarankan oleh Miles dan Huberman (2007:16) dimana analisis data terdiri dari tiga alur
kegiatan yang terjadi secara bersama-sama yaitu pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, serta penarikan kesimpulan. Adapun siklus dari keseluruhan proses
analisis data oleh Miles dan Huberman digambarkan dalam skema berikut.
Gambar. 1: Siklus Proses Analisis Data
11
Gambar 2. Komponen-Komponen Analisis Data: Model Interaktif (Miles dan
Huberman, 2007:20)
G. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil wawancara dengan reponden yang terpilih tentang
implimentasi nilai-nilai karakter dalam lingkungan Universitas Syiah Kuala, maka dapat
dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan fokus penelitian ini, yaitu:
1. Nilai-nilai yang diinternalisasikan dan dikembangkan sebagai nilai karakter
dalam lingkungan Universitas Syiah Kuala.
Pada umumnya tokoh yang ekspert yang terdiri dari unsur personal, pejabat
struktural di lingkungan fakultas dan juga mahasiswa memberikan jawaban yang hampir
sama bahwa nilai-nilai yang cocok untuk dikembangkan dalam lingkungan Universitas
Syiah Kuala terdiri dari tiga sumber nilai, yaitu: pertama, nilai agama, dengan alasan
bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang beragama Islam, maka nilai-nilai Islam
wajib diinternalisasikan menjadi nilai utama dalam proses pendidikan karakter di
Unsyiah. Nilai-nilai Islam yang dimaksud diantaranya adalah: keimanan, jujur, amanah,
fatanah, dan nilai-nilai humanis yang terkandung dalam kontek hak dasar manusia. Jika
perlu, penataran syariat Islam itu dilakukan pada awal-awal penerimaan mahasiswa baru,
dan setiap mahasiswa baru wajib mengikuti penataran Syariat Islam, seperti halnya
pernah dilakukan pada proses internalisasi doktrin kenegaraan pada masa orde lama dan
orde baru melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Kedua, nilai nasionalisme yang berlandasarkan pada Pancasila, Undang-undang
Dasar 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika serta NKRI. Nilai-nilai nasional yang dimaksud
adalah: persatuan, saling menghargai/tenggang rasa, cinta tanah air, loyalitas dan lainlain yang termuat dalam pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Para tokoh ini
berpendapat bahwa kita hidup dalam negara yang sangat flural dan tidak homogen. Kita
hidup dalam suasana yang sangat beragam etnik, bahasa, ras, budaya dan adat istiadat,
maka nilai-nilai nasionalisme sebagai perekat kehidupan bersama dalam masyarakat
yang multikulturalisme seperti Indonesia. Walaupun multikulturalis, tetapi kita dapat
bersatu dalam memajukan Negara Indonesia menjadi Negara yang besar.
Ketiga, nilai karakter ketiga yang diusulkan oleh responden dari unsur tokoh tadi
adalah nilai lokal yang bermuara pada local wisdom. Menurut responden kelompok ini,
bahwa nilai-nilai lokal hampir tidak menjadi perhatian dalam proses pendidikan. Padalah
12
era otonomi daerah, terlebih lagi Aceh sebagai daerah yang diberikan otonomi khusus,
sangat memungkinkan pengembangan karakter mahasiswa yang berlandaskan pada nilainilai keacehan. Beberapa nilai keacehan yang dimaksud yaitu: suka menolong orang
lain, menghormati yang lebih tua, kepedulian yang tinggi, rendah hati, tidak loba,
berprinsip hidup sederhana, setia pada keluarga dan pemberani. Masyarakat Aceh dalam
sejarah dikenal pemberani dan tanggung. Malah oleh orng belanda pernah menganggab
bahwa orng Aceh itu morden. Keberanian saat ini telah mulai memudar pada diri
generasi Aceh dibandingkan dengan dahulu, kalau dahulu orang Aceh siap
mengorbankan harta dan nyawanya untuk mempertahankan prinsip kebenaran. Maka,
nilai-nilai Keaceh harus kembali diinternalisasi di semua jenjang pendidikan sebagai
proses pembentukan karakter anak didik.
2. Strategi Implimentasi Nilai-nilai Karakater dalam Kegiatan Kurikuler,
Ekstrakurikuler dan Kokurikuler.
Berkaitan dengan strategi pengembangannya, reponden mengatakan bahwa
pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan kurikuler adalah sesuatu yang pasti
karena berkaitan dengan aktifitas pembelajaran dipandu oleh kurikulum dalam proses
pembelajarannya. Dalam kontek Aceh sebagai daerah yang diberikan otonomi khusus,
maka sangat berhak kurikulum kita di Aceh memuat pendidikan nilai, jika perlu
tambahkan mata kuliah khusus tentang pendidikan nilai, selain telah ada matakuliah
Agama, ISBD, dan PKN, tetapi perlu ditambahkan lagi matakuliah muatan lokal khusus.
Saat ini mata kuliah muatan lokal di Universitas Syiah Kuala tidak diterapkan.
Dan yang dimaksud dengan matakuliah muatan lokal itu bukan hanya sekedar bahasa.
Tetapi bicara tentang kearifan lokal yang ada di Aceh, yang dimulai dari pengupasan
sejarahnya sampai kepada bagaimana kearifan lokal aceh itu diiplimentasikan dalam
bercocok tanam, menjaga hutan, berdagang, menyelesaikan sengketa dan malah
menyelesaikan konflik dalam skala besar. Ini yang seharusnya dimuat dalam kurikulum
tambahan di Universitas Syiah Kuala. Selama ini muatan lokal hanya ada di tingkat SD
dan SMP, itupun hanya memfokuskan pada persoalan pengajaran bahasa aceh sematamata.
Selain pelaksanaan pembelajaran nilai melalui mata kuliah khusus seperti ISBD,
Agama, PKN dan mata kuliah tambahan yaitu mata kuliah muatan lokal, cara lainnya
adalah disisipkan melalui setiap mata perkuliahaan lainnya. Metodenya saat permulaan
13
kuliah harus dimulai dengan penyegaran rohani dulu sebelum masuk ke pelajaran mata
kuliah inti. Ini harus dilakukan pada setiap perkuliahaan dan setiap saat. Kemudian yang
paling terpenting berkaitan dengan pengembangan nilai karakter melalui kegiatan
kurikuler adalah dimana setiap pelaksanaan perkuliahan wajib merumuskan Satuan
Acara Perkuliahan (SAP) dengan tepat. dalam beberapa kasus dikatakan reponden
bahwa banyak dosen saat mengajar lupa memperhatikan perencanaan pengajaran, belum
lagi bicara standar isi dan standar kompetensi yang sering terlupakan. Oleh karena itu,
jika melalui jalur kurikulum, maka persiapan kurikulum yang didukung oleh tutorial
yang bagus, akan menghasilkan hasil yang bagus pula. Dan yang tidak boleh dilupakan
juga bahwa dalam proses pendidikan karakter kita perlu terapkan Student Center
Learning (SCL), jadi mahasiswa akan lebih aktif daripada dosen, mereka mendalami
suatu materi kemudian mempresentasikan sehingga tercipta suatu ruang untuk berdiskusi
dan di situlah nilai-nilai kita kembangkan, nilai untuk sabar, menghargai pendapat,
kesopanan, ketrampilan untuk berdebat, cara berkominikasi yang baik itu yang kurang
pada mahasiswa kita saat ini.
Selain kurikuler, pewarisan tiga nilai yang disebutkan di atas tadi juga dapat
dilakukan melalui jalur ekstrakurikuler. Strateginya yaitu: Pertama, membentuk
kelompok belajar. Jika perlu, kelompok belajar ini wajib ada pada setiap program studi.
Karena, dalam kelompok belajar ini akan terjadi interaksi intim diantara satu sama lain
dan disitulah mereka mengejar kesadaran-kesadaran satu sama lain, disanalah mereka
belajar untuk saling menghargai satu sama lain, berkompetisi secara terbuka dan lainlain. Kedua, dengan sering-sering mengajak mahasiswa untuk ikut dalam kegiatan
seminar dan kuliah umum. Ketiga, diberikan training secara rutin setiap semester kepada
semua mahasiswa. Training yang dimaksud adalah training kepemimpinan, training
wirausaha dan lain-lain, training-training seperti ini sangat penting untuk ditumbuh
kembangkan
dikampus
sebagai
kegiatan
ektrakurikuler.
sebenarnya
kegiatan
ekstrakurikuler itu juga sangat efektif dijadikan sebagai wahana internalisasi nilai-nilai
agama, nasionalisme dan nilai-nilai local wisdow.Temuan penelitian juga membuktikan
bahwa yang paling penting adalah diperlukan adanya standar operasional prosedur
(SOP) pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler.
Kemudian strategi pewarisan nilai-nilai agama, nasionalisme dan local wisdom
melalui kegiatan kokurikuler juga sangat memungkinkan dilakukan, tsrateginya:
pertama: melalui jalur penilaian, dimana dosen perlu memberikan penilaian khusus bagi
14
mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan kokurikuler, dengan memberikan nilai tambah
misalnya 10 persen dari total penilaian seorng mahasiswa. Sistem ini tidak pernah
diterapkan selama ini. Dengan demikian, mahasiswa akan sering melibatkan diri dalam
kegiatan kokurikuler, dan disana akan banyak hal yang mereka dapat pelajari berkaitan
dengan proses pembentukan karakter mereka, mulai dari disiplin, kerjasama, dan
kejujuran dalam tim. Kedua, memperbanyak kegiatan pengabdian, ini dapat dilakukan
pada masa-masa liburan. Melalui pengabdian ini mahasiswa akan banyak belajar tentan
empati dan simpati serta responsibility dengan melihat berbagai fenomena di lapangan.
Selama ini volume pengabdian mahasiswa menurut, bahkan KKN telah lama tidak
dilaksanakan oleh Unsyiah, baru-baru ini akan coba dibangkitkan lagi.
Jadi, ke tiga-tiga kegiatan ini; kurikuler, ektrakurikuler dan kokurikuler harus
benar-benar menjadi penilaian secara obyektif oleh dosen pada setiap mahasiswa. Jika
perlu membuktikan dengan sertifikat kegiatan ektrakurikuler dan kokurikuler.
3. Potensi Peluang dan Tantangan Pengembangan Nilai-nilai Karakter.
Reponden yang diwawancarai menyampaikan bahwa beberapa peluang
pengembangan pendidikan karakter dalam kalangan Universitas Syiah Kuala,
diantaranya adalah: pertama, adanya sistem kurikulum yang baku, dengan demikian
pelaksanaan pendidikan karakter dapat dilakukan secara formal melalui program
kurikulum, selain itu juga ada program ekstrakurikuler serta program kegiatan
kokurikuler.
ketiga
kegiatan
ini
merupakan
peluang
terhadap
pelaksananaan
pengembangan pendidikan karakter. Hanya saja diperlukan suatu standar operasional
prosedur (SOP) pelaksanaan ketiga kegiatan tersebut. Kedua, adanya dukungan dari
tingkat nasional dan universitas sendiri dalam upaya pengembangan pendidikan karakter.
Dukungan yang dimaksud adalah dukungan dalam bentuk capacity building bagi tutor.
Ketiga, adanya perangkap pembelajaran dan unit pelaksana teknis (UPT) yang dibentuk
seperti MKU, dan lembaga bimbingan dan konseling, yang merupakan sarana
pendukung terhadap peluang pengembangan pendidikan karakter di Unsyiah. Keempat,
adanya tenaga kepakaran yang merupakan alumni daripada program pendidikan karakter
dengan kualifikasi master dan doktor. Kesemuanya itu adalah peluang dalam
menginternalisasi nilai karakter di Universitas Syiah Kuala. Sedangkan tantangannya
menurut hasil wawancara adalah menyangkut dengan tingkat manajeman dan keseriusan
15
pihak Universitas, fakultas dan bahkan program studi yang masih lemah dan kurang
memfokuskan pada program pengembangan pendidikan karakter.
H. Penutup
a.i.1.
Kesimpulan
Dari hasil pengumpulan data dilapangan, dan pembahasan pada bab sebelumnya,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Terdapat tiga sumber nilai yang dijadikan sebagai dasar pengembangan nilai
karakter dalam kalangan Universitas Syiah Kuala, yaitu: nilai agama, nilai
nasionalisme dan nilai local wisdom.
b. Strategi pelaksanaan pendidikan karakater dapat dilakukan melalui kegiatan
kurikuler yaitu: mata kuliah Agama, ISBD, PKN dan perlu ditambahkan mata
kuliah muatan lokal, dan dapat diingkludkan dalam setiap matakuliah dengan
cara menyampaikan materi nilai diawal perkuliahan. Sedangkan melalui kegiatan
ekstrakurikuler dan kokurikuler juga sangat dimungkinkan pelaksanaan
pendidikan karakter yang dilakukan dengan penuh tangug jawab danberdasarkan
pada Standar Operasional Prosedur (SOP).
c. Terdapat beberapa peluang pengembangan pendidikan karakter dalam lingkungan
Universitas Syiah Kuala, diantaranya adalah: pertama, Adanya sistem kurikulum
yang baku, kedua, dukungan dari tingkat nasional dan universitas sendiri dalam
upaya
pengembangan
pendidikan
karakter.
Ketiga,
Adanya
perangkat
pembelajaran dan unit pelaksana teknis yang dibentuk, merupakan sarana
pendukung terhadap peluang pengembangan pendidikan karakter di Universitas
Syiah Kuala. Keempat, Adanya tenaga kepakaran yang merupakan alumni
daripada program pendidikan karakter dengan kualifikasi master dan doktor.
Sedangkan tantangannya adalah tingkat manajeman dan keseriusan pihak
Universitas, fakultas dan bahkan program studi yang tidak memfokuskan pada
program pengembangan pendidikan karakter
a.i.2.
Saran
Atas dasar penelitian ini juga telah dirumuskan beberapa saran sebagai berikut,
yaitu:
16
a. Kepada pemangku jabatan fungsional tingkat Universitas, agar dapat segera
mengeluarkan kebijakan khusus menyangkut dengan usaha pengembangan
pendidikan karakter di Universitas Syiah Kuala.
b. Universitas
perlu membentuk secara permanen lembaga khusus yang
berkewaiban menangani masalah program pendidikan karakter, lembaga khusus
tersebut dibentuk berdasarkan surat keputusan rector dan mengankat struktural
organisasi pengurus tersebut secara formal.
c. Universitas perlu memasukkan program pendidikan karakter dalam anggaran
tahunan. Karena bicara program pendidikan karakter mebutuhkan stimulus
sebagai pendorong terlaksananya program pendidikan karakter secara optimal.
d. Universitas dan Fakultas serta program studi perlu membuat komitment secara
pasti tentang implimentasi program pendidikan karakter.
e. Pihak universitas dan unit pelaksana teknis terkait perlu melakukan monitoring
dan evaluasi secara bersama selama proses pelaksanaan pendidikan karakters
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Humam Hamid, Beberapa Catatan Awal Tentang Otonomi Khusus di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Fakultas Hukum Unsyiah: Jurnal Ilmu
Hukum, no 38 Th XIV/April 2004.
Badruzzaman Ismail. 2008. Sistem Budaya Aceh Dalam Membangun Kesejahteraan.
Banda Aceh: Majelis Adat Aceh.
Dasim Budimansyah. 2010. Penguatan Pendidikan Karakter Kewarganegaraan untuk
Membangun Karakter Bangsa. Bandung Widya Aksara Press.
Dasim Budimansyah dan Winataputra,S,U.(2007).Civic Education Konteks ,Landasan,
Bahan Ajar, dan Kultur Kelas. Bandung : Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan: Strategi Mendidik Anak di Era
global. Jakarta: PT.Grasindo.
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama.
Jakarta.
17
Nurma Ali Ridwan. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal STAIN:
Purwokerto.
Miles dan Huberman (2007). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Cetakan ke 8).
Yogyakarta: Kanisius.
Poerwandari, E. Kristi. 1998. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Universitas Terbuka
Rusli Yusuf. Membangun Pendidikan Keteladanan di Era Global (Makalah yang
disampaikan pada ceramah umum Ikatan Dosen Pendidikan Kewarganegaraan)
FKIP Unsyiah: Banda Aceh pada September tahun 2010.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. CV.Alfabeta: Bandung.
18
Download