pendahuluan tinjauan pustaka

advertisement
1
PENDAHULUAN
Pelepasan senyawa-senyawa organik dan
anorganik ke dalam lingkungan terjadi hampir
setiap tahun akibat dari aktivitas manusia. Jika
ditinjau secara kimia, maka senyawa organik
dan anorganik tersebut adalah limbah. Dalam
beberapa kasus, limbah tersebut dibuang
dengan sengaja, misalnya hasil industri, dan
dalam kasus lainnya adalah suatu kecelakaan,
misalnya tumpahan minyak. Senyawasenyawa tersebut adalah toksik dan
terakumulasi dalam lingkungan tanah dan
perairan. Kontaminasi
pada tanah,
permukaan, dan air bawah tanah merupakan
akibat adanya akumulasi yang terus menerus
dari senyawa toksik tersebut dengan jumlah
yang melewati ambang batas (Abraham
2008).
Kegiatan industri perminyakan, seperti
eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
semakin
meningkat,
sejalan
dengan
peningkatan kebutuhan manusia terhadap
minyak bumi sebagai sumber energi. Proses
eksploitasi dari minyak bumi ini akan
menghasilkan produk berupa minyak dan gas.
Akan tetapi selain menghasilkan produk yang
bermanfaat juga dihasilkan sisa proses sebagai
limbah. Limbah minyak bumi atau produknya
juga dapat berasal dari kegiatan industri yang
umumnya terbuang ke sungai dan akan
mencemari lingkungan akuatik khususnya
laut, sedangkan limbah sisanya dapat
mencemari lingkungan lain, yaitu tanah dan
udara (Udiharto 1996). Bila dilihat dari
jenisnya, limbah minyak bumi ada beberapa
macam bergantung pada sumber minyak yang
dihasilkan. Salah satunya adalah limbah
minyak bumi yang berasal dari minyak fraksi
berat, yang terdiri atas hidrokarbon berantai
panjang yang sulit untuk didegradasi.
Pada awalnya cara penanganan limbah
minyak bumi ini adalah dengan cara dibuang
langsung ke lingkungan, karena berbagai
macam tuntutan pada zaman sekarang ini,
maka aspek lingkungan pun sangat penting
untuk diperhatikan. Salah satu penanganannya
adalah
dengan
cara
biologi,
yaitu
bioremediasi.
Bioremediasi
merupakan
alternatif
pengolahan limbah minyak bumi dengan cara
degradasi
oleh
mikroorganisme
yang
menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan
tidak beracun. Proses degradasi ini relatif
murah, efektif, dan ramah lingkungan, namun
metode ini membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan cara fisika atau
kimia. Bioremediasi mengandalkan reaksi
mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini
mengondisikan mikrob sedemikian rupa
sehingga
mampu
mengurai
senyawa
hidrokarbon yang terperangkap di dalam
tanah.
Pada penelitian ini, sampel yang
digunakan adalah tanah yang tercemar minyak
bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy
oil waste (HOW). Teknik bioremediasi yang
digunakan adalah bioremediasi ex-situ karena
limbah tidak diperlakukan di tempat asalnya,
melainkan dipindahkan ke dalam suatu tempat
untuk mendapat perlakuan. Selama proses
degradasi limbah minyak bumi ini, terjadi
perubahan senyawa kimia dari yang bersifat
toksik menjadi lebih aman untuk dibuang ke
lingkungan. Dari proses biodegradasi ini,
senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai
panjang dan bobot molekul yang tinggi
dipecah menjadi senyawa hidrokarbon dengan
bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini
akan dihasilkan gas, yang merupakan indikasi
dari adanya proses degradasi. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
gas apa saja yang dihasilkan dari adanya
proses biodegradasi ini. Eris (2006) pernah
melakukan penelitian terhadap pembentukan
gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi
minyak diesel dengan menggunakan teknik
bioremediasi slurry bioreaktor, dan gas yang
berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi
produksi gas yang dihasilkan selama proses
biodegradasi limbah HOW berlangsung.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Bumi
Minyak bumi adalah hasil proses alami
dari penguraian bahan-bahan organik berupa
hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
suhu atmosfer berupa fase cair, padat, dan gas,
termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit,
dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan
(Keputusan
Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia 2003).
Berdasarkan Cookson (1995), minyak bumi
maupun produknya merupakan campuran
senyawa organik yang terdiri atas senyawa
hidrokarbon dan nonhidrokarbon. Senyawa
hidrokarbon merupakan komponen terbesar
dalam minyak bumi (lebih dari 90%)
sedangkan
sisanya
berupa
senyawa
nonhidrokarbon.
Senyawa hidrokarbon merupakan senyawa
organik yang terdiri atas karbon dan hidrogen.
2
Senyawa-senyawa non hidrokarbon misalnya
nitrogen, belerang, oksigen, dan logam.
Produk pengolahan minyak bumi berupa gas,
bahan bakar cair bensin, kerosin, solar dan
produk lain seperti minyak bakar, minyak
pelumas, lilin parafin, dan aspal.
Heavy Oil Waste (HOW)
Limbah minyak bumi adalah sisa atau
residu yang terbentuk dari proses pengolahan
minyak mentah yang terdiri atas kontaminan
yang sudah ada di dalam minyak, maupun
kontaminan yang terkumpul dan terbentuk
dalam penanganan suatu proses, dan tidak
dapat digunakan kembali dalam proses
produksi. Pengolahan limbah minyak bumi
adalah proses untuk mengubah karakteristik
dan komposisi limbah minyak bumi untuk
menghilangkan dan atau mengurangi sifat
bahaya dan atau sifat racun (Keputusan
Menteri
Lingkungan
Hidup
Republik
Indonesia 2003).
Limbah minyak yang digunakan berasal
dari minyak fraksi berat atau disebut dengan
HOW. HOW merupakan limbah fraksi berat
minyak bumi yang berbentuk cairan sangat
kental, berwarna hitam pekat, dan tidak
mudah dialirkan. HOW memiliki viskositas
dan densitas yang lebih tinggi dibanding
minyak konvensional. Gambar dari heavy oil
seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (Clark
2007). Menurut Chen (2006), hampir semua
minyak mentah memiliki densitas antara 30°
dan 40° yang telah ditetapkan American
Petroleum Institute (API).
Gambar 1 Heavy oil.
Heavy oil memiliki kekentalan yang tinggi.
HOW berdasarkan kekentalanya termasuk
dalam kelompok kelas B (extra heavy oil).
Heavy oil, extra-heavy oil, dan aspal
kekurangan akan hidrogen dan memiliki
kandungan karbon yang tinggi, belerang, dan
logam berat (Clark 2007).
Biodegradasi
Limbah minyak bumi dapat diolah
menjadi bahan yang bisa dibuang ke
lingkungan dengan proses biodegradasi
menggunakan mikroorganisme. Menurut
Sudrajat (1996), biodegradasi dapat diartikan
sebagai penguraian lengkap dari suatu
senyawa oleh mikroorganisme menjadi
karbondioksida, dan air. Senyawa kimia dapat
mengalami perubahan secara enzimatis dalam
proses degradasi. Enzim yang dapat
berpengaruh dalam peristiwa ini adalah enzim
oksidase
reduktase,
hidroksilase,
dekarboksilase, deaminase, dehalogenase, dan
lain sebagainya. Istilah biodegradasi ini sering
dihubungkan dengan ekologi, manajemen
limbah, dan remediasi lingkungan yang
dikenal dengan bioremediasi. Materi organik
dapat didegradasi secara aerobik dengan
oksigen atau secara anaerobik tanpa oksigen.
Tingkat biodegradasi hidrokarbon di
lingkungan
ditentukan
oleh
populasi
mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon
yang berasal dari tanah itu sendiri,
kemampuan fisiologis dari populasi tersebut,
dan
berbagai
faktor
abiotik
yang
memengaruhi tingkat pertumbuhan dari
populasi mikrob pendegradasi hidrokarbon.
Kemampuan biodegradasi mikroorganisme
terhadap beberapa senyawa berbeda-beda
bergantung pada spesiesnya (Atlas 1991).
Stoner
(1994)
menyatakan
bahwa
hidrokarbon alifatik cenderung mudah
terdegradasi dibandingkan dengan senyawa
aromatik. Hidrokarbon alifatik rantai lurus
pada umumnya lebih mudah terdegradasi
daripada hidrokarbon rantai bercabang.
Hidrokarbon jenuh lebih mudah terdegradasi
daripada hidrokarbon tak jenuh dan
hidrokarbon rantai panjang lebih mudah
terdegradasi
daripada
rantai
pendek.
Hidrokarbon dengan panjang rantai kurang
dari sembilan karbon sukar didegradasi karena
senyawa
ini
bersifat
toksik
bagi
mikroorganisme.
Menurut Cookson (1995), n-alkana dapat
didegradasi melalui oksidasi monoterminal,
diterminal (ω-oksidasi), atau subterminal.
Biodegradasi dari n-alkana pada umumnya
melalui modifikasi alkana menjadi alkohol
primer diikuti dengan oksidasi selanjutnya
menjadi aldehida dan asam monokarboksilat.
Degradasi asam karboksilat terjadi melalui βoksidasi dengan pembentukan asetil koenzim
A. Asetil koenzim A didapatkan dari alkana
melalui central metabolic pathways yang akan
melepaskan CO2. Menurut Atlas dan Bartha
(1987) dalam proses biodegradasi, rantai
alkana dioksidasi membentuk alkohol,
aldehida, dan asam lemak. Setelah terbentuk
asam lemak, proses katabolisme terjadi secara
β oksidasi. Rantai panjang dari asam lemak
dikonversi oleh asil koenzim A yang
merupakan enzim pembentuk asetil koenzim
3
A, dan rantai pendek asam lemak yang telah
berkurang dua unit gugus karbonnya yang
berlangsung secara berulang-ulang. Asetil
koenzim A diubah menjadi CO2 melalui siklus
asam sitrat.
Salah satu dari teknik biodegradasi adalah
bioremediasi. Bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan
mikroorganisme
(jamur,
bakteri, atau enzim). Bioremediasi dapat
dikembangkan
untuk
menghilangkan
kontaminan
tanah,
seperti
degradasi
hidrokarbon oleh bakteri (PKSPL-IPB 2008).
Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu insitu dan ex-situ. Pembersihan in-situ adalah
pembersihan
pada
lokasi
tercemar.
Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah,
terdiri atas pembersihan, venting (injeksi), dan
bioremediasi. Pembersihan ex-situ meliputi
penggalian tanah yang tercemar kemudian
dibawa ke daerah yang aman, lalu tanah
tersebut dibersihkan dari zat pencemar.
Caranya ialah tanah tersebut disimpan di bak
yang kedap, kemudian zat pembersih
dipompakan ke dalam bak tersebut.
Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar
dari bak yang kemudian diolah dengan
instalasi pengolah air limbah. Pembersihan exsitu ini jauh lebih mahal dan rumit. Dalam
penelitian ini jenis bioremediasi yang
digunakan adalah bioremediasi ex-situ dengan
perlakuan
secara
bioaugmentasi
dan
biostimulasi.
Berdasarkan CRA (2003), bioaugmentasi
dapat dilakukan dengan menambahkan kultur
mikrob untuk meningkatkan populasi mikrob
pada tempat perlakuan. Alasan rasional
penambahan
mikroorganisme
eksogen
pendegradasi hidrokarbon ialah populasi
mikroorganisme indigenus tidak mampu
mendegradasi substrat potensial yang terdapat
dalam campuran komplek seperti hidrokarbon.
Sementara biostimulasi adalah suatu teknik
dengan penambahan nutrien dan oksigen pada
tanah yang terkontaminasi untuk mendorong
pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang ada
pada tanah tersebut.
Berdasarkan Evans dan Furlong (2003),
secara sederhana proses bioremediasi bagi
lingkungan dilakukan dengan mengaktifkan
bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada
di dalam tanah. Bakteri ini kemudian akan
menguraikan limbah minyak bumi yang telah
dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut.
Bakteri mampu menggunakan sumber karbon
dan mendegradasi sejumlah kontaminan yang
khas sampai sejumlah besar yang biasanya
ditemukan
dalam
tanah.
Dengan
meningkatkan
dan
mengoptimumkan
kondisinya,
mikrob
dapat
melakukan
degradasi secara alami dengan lebih cepat dan
efisien.
Faktor lingkungan yang utama dalam
pelaksanaan bioremediasi adalah suhu, pH,
dan tipe tanah. Bioremediasi cenderung
mampu berjalan secara alami pada organisme
yang berasal dari tanah, juga perlakuan dapat
terjadi pada suhu 0-50 °C Bagaimanapun juga,
untuk lebih efisien, batas suhu yang ideal 2030 °C, hal ini cenderung dengan
pengoptimuman aktivitas enzim. Batas pH
ideal yang optimum, yaitu 6,5-7,5, meskipun
pada pH 5,0-9,0 juga masih dapat diterima,
bergantung pada spesies yang terlibat.
Teknik Landfarming
Ada beberapa macam metode bioremediasi
dan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
teknik
landfarming.
Konsep
landfarming pertama kali dikembangkan dan
dilaksanakan oleh industri penyulingan
minyak Amerika Serikat sekitar tahun 1954.
Metode perlakuan secara biologi ini meliputi
aplikasi yang diamati dari banyak atau
sedikitnya akan ketersediaan limbah organik
dalam bentuk cair, semipadat, atau padat pada
permukaan tanah dan zona tanah yang
tercemar limbah (Genouw et al. 1994).
Pemilihan metode ini bergantung pada
kegunaan dan segi ekonomi dari teknologi ini
untuk pembersihan pada lahan yang spesifik.
Teknik landfarming ini membutuhkan
penggalian dan penempatan pada tumpukantumpukan. Tumpukan-tumpukan itu secara
berkala dicampur dan diatur kelembabannya.
Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi
dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas
biologi (Poon 1996). Menurut Marin et al.
(2005), teknik landfarming merupakan
metode yang seringkali dipilih untuk tanah
yang terkontaminasi hidrokarbon karena
relatif lebih murah, dan memiliki potensi
untuk berhasil.
Mikroorganisme Pendegradasi
Hidrokarbon Minyak Bumi
Bioremediasi
menggunakan
mikroorganisme
untuk
menguraikan
atau
mendegradasi
limbah
minyak
bumi.
Mikroorganisme yang umum digunakan
dalam bioremediasi adalah bakteri, tetapi
jamur indigenus juga mempunyai peran yang
penting. Bakteri dan jamur pengurai
4
hidrokarbon banyak terdapat di tanah,
perairan laut maupun air tawar. Isolat yang
umum digunakan untuk mendegradasi
hidrokarbon
adalah
Pseudomonas,
Arthrobacter, Corynobacterium, Mycobacterium, dan Flavobacterium (Wong et al. 1997).
Penelitian Bartha dan Bossert (1984)
menjelaskan ada 22 jenis bakteri yang hidup
di lingkungan minyak bumi, isolat yang
mendominasi terdiri atas beberapa jenis, yaitu
Alcaligenes, Artrobacter, Acinetobacter,
Nocordia,
Achromobacter,
Bacillus,
Flavabacterium, dan Pseudomonas.
Penelitian dengan teknik landfarming ini
menggunakan bakteri konsorsium untuk
mendegradasi limbah minyak. Menurut
Prescott (2003), seluruh mikroorganisme
berada di alam membentuk populasi atau
merupakan
kumpulan
dari
sejumlah
organisme yang sejenis hingga membentuk
suatu komunitas dari sejumlah populasi yang
berbeda. Mikroorganisme dapat berasosiasi
dengan organisme lain secara fisik melalui
dua mekanisme, yaitu keberadaan suatu
organisme yang umumnya memiliki ukuran
lebih kecil pada permukaan organisme lainnya
yang umumnya berukuran lebih besar.
Simbiosis pada skala mikrob dikenal pula
dengan istilah konsorsium. Istilah konsorsium
dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu
interaksi fisik di antara mikrob. Pada
mekanisme
konsorsium,
tidak
selalu
menghasilkan pertukaran informasi di antara
mikrob tersebut. Secara umum, konsorsium
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
konsorsium yang sifatnya positif (mutualisme,
sintrofisme,
protokooperasi,
dan
komensalisme)
dan
negatif
(predasi,
parasitisme, amensalisme, dan kompetisi).
Hari dan Putra (2008) menerangkan bahwa
bioremediasi dapat memanfaatkan aktivitas
metabolisme konsorsium bakteri agen
bioremediasi yang terdiri atas bakteri
nitrifikasi, denitrifikasi, dan fotosintetik
anoksigenik. Pada teknologi bioremediasi ini
bakteri nitrifikasi akan mendegradasi amonia
menjadi nitrit dan nitrat, bakteri denitrifikasi
akan mendegradasi nitrat atau nitrit menjadi
gas nitrogen, sedangkan bakteri fotosintetik
anoksigenik akan mendegradasi senyawa
hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur.
Sathiskumar et al. (2008), melaporkan
bahwa konsorsium bakteri yang mengandung
sejumlah mikroorganisme yang mensintesis
enzim pendegradasi telah dipertimbangkan
cocok untuk mendegradasi hidrokarbon
aromatik. Mikroorganisme tersebut tidak
terlibat secara langsung dalam proses
degradasi,
tetapi
berperan
dalam
memproduksi mikronutrien atau surfaktan
untuk melarutkan hidrokarbon aromatik
tersebut. Biodegradasi yang diakibatkan oleh
campuran
mikrob
ini
lebih
efektif
dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh
kultur alami, yang paling utama karena
kompleksitas produk minyaknya. Berbagai
organisme
memiliki
kemampuan
mendegradasi
berbagai
bentuk
dari
hidrokarbon dan ketika konsorsium bakteri ini
diaplikasikan untuk mendegradasi berbagai
bentuk dari hidrokarbon seperti minyak
mentah, hasil total degradasinya lebih efektif.
Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi
Selama
proses
biodegradasi,
akan
dihasilkan gas-gas yang sebagian merupakan
indikasi adanya proses biodegradasi. Menurut
Wahyuni et al. (2003), materi organik yang
mengandung karbon (C), nitrogen (N), dan
sulfur (S) pada proses dekomposisi akan
menghasilkan materi anorganik baik di
lingkungan aerobik maupun anaerobik. C
organik pada lingkungan aerobik akan
terdekomposisi menjadi CO2 dan pada
lingkungan anaerobik akan menjadi CH4. N
organik
pada
lingkungan
aerobik
terdekomposisi menjadi NO3- dan pada
lingkungan anaerobik menjadi NH3. S organik
pada lingkungan aerobik terdekomposisi
menjadi SO4-2 dan pada lingkungan anaerobik
menjadi H2S.
Sumarsih (2003) juga menyatakan bahwa
karbon didaur secara aktif antara CO2
anorganik dan macam-macam bahan organik
penyusun sel hidup. Metabolisme ototrof
jasad
fotosintetik
dan
kemolitotrof
menghasilkan produksi primer dari perubahan
CO2
anorganik
menjadi
C-organik.
Metabolisme respirasi dan fermentasi mikrob
heterotrof mengembalikan CO2 anorganik ke
atmosfer. Proses perubahan dari C-organik
menjadi anorganik pada dasarnya adalah
upaya mikrob dan jasad lain untuk
memperoleh energi.
Selama proses penguraian, mikrob akan
mengasimilasi sebagian C, N, P, S, dan unsur
lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar 1070% bergantung pada sifat-sifat tanah dan
jenis-jenis mikrob yang aktif. Setiap 10 bagian
C diperlukan 1 bagian N (nisbah C/N=10)
untuk membentuk plasma sel. Hasil
perombakan mikrob proses aerobik meliputi
CO2, NH4, NO3, SO4, dan H2PO4. Pada proses
anaerobik dihasilkan asam-asam organik,
CH4, CO2, NH3, H2S, dan zat-zat lain yang
5
berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna,
serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru
maupun humus sebagai hasil dekomposisi
yang relatif stabil. Secara total, reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut:
(CH2O)x + O2 CO2 + H2O + hasil antara +
nutrien+ humus + sel + energi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa
adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari
adanya
tingkat
respirasi
pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama
proses bioremediasi. Peningkatan kelarutan
CO2 pada air dalam tanah menunjukkan
adanya proses biodegradasi. Degradasi pada
total
petroleum
hydrocarbon
(TPH)
berhubungan dengan respirasi mikrob dan
hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas
CO2 ini. Eris (2006) juga pernah melakukan
pengamatan terhadap pembentukan gas yang
dihasilkan pada proses biodegradasi, tetapi
dengan menggunakan teknik bioremediasi
slurry bioreaktor. Gas yang berhasil diamati
adalah CH4, CO, dan CO2. Penelitian Ramos
et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam
proses biodegradasi dari tanah yang
terkontaminasi hidrokarbon juga dihasilkan
gas yang mengandung N anorganik seperti
amonia dan NO2, dan hal ini juga merupakan
suatu indikasi adanya proses biodegradasi.
Adanya penambahan nutrien seperti kompos
dan pupuk akan meningkatkan keluaran gas
yang dihasilkan.
Pengambilan sampel gas dilakukan
menggunakan suatu alat yang disebut
impinger. Teknik pengumpulan gas dengan
menggunakan peralatan impinger ini termasuk
pada
teknik
absorpsi,
yaitu
teknik
pengumpulan gas berdasarkan kemampuan
gas terabsorpsi atau bereaksi dengan larutan
pereaksi spesifik (larutan absorben). Pereaksi
kimia yang digunakan harus spesifik artinya
hanya dapat bereaksi dengan gas pencemar
tertentu yang akan di analisis. Efisiensi
pengumpulannya sangat dipengaruhi oleh
karakteristik dari gas, yaitu kemampuan
absorpsi zat pencemar pada larutan spesifik,
waktu kontak antara gas pereaksi spesifik, dan
luas permukaan bidang kontak atau ukuran
gelembung. Untuk melakukan pengumpulan
gas pencemar tersebut diperlukan alat
absorber, salah satunya ialah alat impinger
(Gambar 2). Dalam melakukan pengumpulan
gas pencemar dengan metode ini perlu
diperhatikan efisiensi pengumpulan gas
pencemar. Hal-hal yang harus diperhatikan
tersebut adalah dengan menggunakan alat
impinger, pereaksi kimia, waktu pencuplikan,
dan laju aliran yang sesuai dengan prosedur
standar yang ditetapkan (Harianti 2008).
→
Gambar 2 Peralatan pencuplikan gas.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
HOW yang diperoleh dari ladang minyak
Duri, kompos, tanah liat yang didapat dari
Duri, konsorsium bakteri yang sudah dibuat
terlebih dahulu yang berasal dari kotoran sapi
dan kuda dari Fakultas Peternakan, larutan
penyerap TCM.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
pencuplikan gas, botol film, flow meter, dan
spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Persiapan sampel meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku,
penggilingan, dan pengeringan. Bahan baku
HOW (diperoleh dari ladang minyak Duri,
Riau), tanah liat, kompos, dan konsorsium
bakteri. Sampel digiling terlebih dahulu dan
tanah liat dikeringkan supaya mudah untuk
dihaluskan.
Sampel diberi perlakuan yang berbeda,
yang terdiri atas sampel (HOW), tanah liat,
dan kompos dengan nisbah yang berbeda-beda
dengan bobot keseluruhan 10 kg. Komposisi
perlakuan sampel seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1. Setiap perlakuan ada 2 buah
wadah
yang
diperlakukan
secara
bioaugmentasi dengan penambahan suspensi
bakteri ± 200 mL dan 1 buah wadah sebagai
kontrol yang diperlakukan secara biostimulasi.
Download