BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis Untuk mendukung studi ini digunakan beberapa teori yang relevan serta berkaitan dengan pokok bahasan dalam studi sebagai berikut : 2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Sejak tahun 1970 pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Sejak tahun tersebut muncul pandangan baru yaitu tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan Gross National Product (GNP) yang setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam kontek perekonomian yang terus berkembang (Todaro, 2004:21). Sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu Negara boleh dikatakan tidak berhasil apabila tidak mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya. Untuk mengukur keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan perumahan. Selanjutnya menurut Todaro, ada 3 (tiga) nilai inti dari pembangunan yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan. 2. Jati diri, menjadi manusia seutuhnya, yaitu diartikan sebagai adanya dorongandorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu. 3. Kebebasan dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan disini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan. Lebih lanjut Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping mengejar akselarasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Menurut Sen dalam Ackerman (2000:154-155) berpendapat bahwa kapabilitas untuk dapat berfungsi (capabilities to function) adalah yang paling menentukan status miskin atau tidaknya sesorang. Selanjutnya menurut Sen pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir. Pembangunan haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan yang dijalani dan kebebasan yang dinikmati. Dengan demikian tingkat kemiskinan tidak dapat diukur dari tingkat pendapatan atau bahkan dari utilitas seperti pemahaman konvensional, yang paling penting bukanlah apa yang dimiliki seseorang ataupun kepuasan yang ditimbulkan Universitas Sumatera Utara dari barang-barang tersebut, melainkan apa yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan barang-barang tersebut, yang berpengaruh terhadap kesejahteraan bukan hanya karakteristik komoditi yang dikonsumsi, seperti dalam pendekatan utilitas, tetapi manfaat apa yang dapat diambil oleh konsumen dari komoditi-komoditi tersebut (Todaro, 2004:22). Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 (tiga) nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), 2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan 3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude). Sementara itu Swasono (2004 :13) dalam bukunya berjudul Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan mengatakan pembangunan ekonomi berdasarkan Demokrasi Ekonomi adalah pembangunan yang partisipatori dan sekaligus emansipatori. Selanjutnya Swasono mengatakan bahwa pembangunan ekonomi bukan saja berarti kenaikan pendapatan, tetapi juga kenaikan pemilikan (entitlement). Pembangunan ekonomi bukan hanya koelie yang naik upah/gajinya, tetapi adalah meningkat/meluasnya pemartabatan, peningkatan nilai tambah ekonomi dan sekaligus nilai tambah sosial-kultural, sang koelie menjadi mitra usaha dalam sistem triple co, yaitu co-ownership (ikut memiliki), co-determination (ikut menggariskan wisdom) dan co-responsbility (ikut bertanggung jawab). Universitas Sumatera Utara Oleh karena itu pembangunan manusia tidak hanya mencakup pemenuhan kebutuhan pokok saja, melainkan merupakan konsep multidimensi : yaitu gabungan antara 4 (empat) dimensi : dimensi ekonomi, sosial-psikoligi, politi dan spiritual. Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional, demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Untuk mencapai kehidupan yang serba lebih baik semua masyarakat minimal harus memiliki 3 (tiga) tujuan inti sebagai berikut (Todaro, 2004:24) : 1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. 2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemua itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materil, melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan. 3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara, bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilainilai kemanusiaan mereka. Universitas Sumatera Utara Dalam relevansinya dengan Pembangunan Nasional Dimensi Pembangunan Nasional menurut Swasono (2005:22), adalah merupakan suatu proses dari demokrasi baik secara politik (political democratization), sosial maupun ekonomi (economic democratization) untuk mencapai kemajuan (progress), kebebasan (freedom) serta mengurangi hambatan (elimination of freedom), dimana proses ini juga merupakan proses dari humanisasi. Disamping itu menumbuhkan (growth) melalui penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi bahkan menghapus pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokoknya/basic needs (ILO dalam Masjkuri, 2007) serta negara mampu menjamin hajat hidup orang banyak (Hatta dalam Masjkuri, 2007). Sementara itu menurut Rostow dalam Arief (1998:21) pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menimbulkan perubahan dalam kehidupan perekonomian, politik dan sosial masyarakat. Adapun proses pembangunan menurut Rostow terdiri dari 5 (lima) tahap yaitu : 1. tahap masyarakat tradisional. 2. syarat prasyarat tinggal landas (pre-condition to take off), 3. tahap tinggal landas (take off), 4. tahap gerakan kearah kedewasaan (maturity), 5. tahap konsumsi tinggi (mass consumption). Selanjutnya Rostow memfokuskan analisisnya pada tahap tinggal landas. Proses tinggal landas terjadi pada 2 (dua) situasi sistem kemasyarakatan yaitu pada sistem masyarakat yang sudah ada dan teratur (settled society) dan pada sistem kemasyarakatan yang baru saja berdiri (newly settled society). Universitas Sumatera Utara Menurut Swasono (2005:23) dasar strategi pembangunan nasional Indonesia meliputi : 1) Transformasi sosial ekonomi, Pasal 33 dan Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945 2) Meraih nilai-tambah ekonomi, dan sekaligus nilai-tambah sosial kultural dan nilai-tambah ketahanan nasional 3) Dignity, proses mencapai kecerdasan hidup bangsa 4) Memperkukuh national intergration 5) Pancasilanisasi, menjadi tuan di negeri sendiri (bukan lagi ein nation von kuli und kuli unter den nationen) 2.1.2. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002:1). Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di Universitas Sumatera Utara sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari Pemerintah Pusat. Selanjutnya World Bank (dalam Masjkuri, 2007 menyatakan keuntungan dari desentralisasi fiskal adanya mobilitas pendapatan, inovasi dalam aktivitas ekonomi, akuntabilitas dari pejabat pemerintah dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Mobilisasi pendapatan secara keseluruhan dapat dipenuhi, karena desentralisasi dapat memperluas jaringan pajak. Sebagian besar pelayanan pemerintah dibiayai oleh pajak Pertambahan Nilai dan pajak pendapatan. Sangat mungkin bahwa dalam jangka pendek dan menengah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah akan menimbulkan gejolak, tetapi dalam jangka panjang otonomi daerah dapat menstabilkan kondisi politik, sosial dan ekonomi. Adanya desakan pada pemerintah pusat agar manajemen pemerintah dikelola dengan pendekatan desentralisasi dan memperluas otonomi daerah sangat cocok untuk negara Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dan mempunyai penduduk yang besar sekitar 230 juta jiwa dengan latar belakang sosial budaya yang beragam,. Desentralisasi sebagai upaya untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya daerah yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Universitas Sumatera Utara antara pusat dan daerah sebagai sumber pembiayaan pemerintah dan pembangunan daerah. Desentralisasi fiskal dapat diketahui dengan menghitung Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah, Rasio Subsidi dan bantuan pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih tinggi terhadap total penerimaan daerah, Rasio Pajak untuk daerah terhadap total penerimaan daerah dan Rasio Penerimaan Daerah terhadap terhadap total penerimaan negara. Pengukuran derajat desentralisasi fiskal daerah dapat terlihat dari rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah (Suparmoko, 1999:320). 2.1.3. Pengukuran Derajat Fiskal dan Perekonomian Daerah Pengukuran derajat otonomi keuangan menjelaskan mengenai kemampuan suatu daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintah dan pembangunan berdasarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tingkat kemampuan keuangan daerah dari sisi penerimaan secara bertingkat dapat dapat diklasifikasikan dari hasil penelitian Fisipol UGM bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (1991) kemampuan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan otonomi dilihat dari 6 (enam) faktor yaitu, kemampuan keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan ekonomi daerah, demografi serta kemampuan administrasi dan organisasi. Adapun tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar derajat otonomi fiskal daerah adalah dengan kriteria sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 1) 0,00% - 10,00% dinilai sangat kurang 2) 10,01% - 20,00% dinilai kurang 3) 20,01% - 30,00% dinilai sedang 4) 30,01% - 40,00% dinilai cukup 5) 40,01% - 50,00% dinilai baik 6) 50,00% - ke atas dinilai sangat baik Tim Fisipol UGM, Sumber : 2004 : 106 Kegiatan perekonomian suatu daerah dapat kita lihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah tersebut. Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator yang penting dalam menggambarkan kemajuan/kegiatan perekonomian suatu daerah. Dalam lingkup suatu negara istilah.Produk Domestik Bruto (PDB) dapat diartikan sebagai nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam periode waktu tertentu, biasanya satu tahun, berarti Produk Domestik Regional Bruto mempunyai pengertian yang sama tapi hanya dalam lingkup suatu daerah (Wijaya, 1999:13). Perhitungan Produk Domestik Regional Bruto dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan yang secara umum kita kenal pendekatan pertama yaitu pendekatan produksi yang menyangkut jumlah nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu daerah selama jangka waktu tertentu. Pendekatan kedua yaitu pendekatan pendapatan, merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi dalam suatu proses produksi. Pendekatan ketiga yaitu pendekatan pengeluaran, menyangkut jumlah pengeluaran yang dilakukan baik oleh rumah tangga, swasta maupun pemerintah. Universitas Sumatera Utara Badan Pusat Statistik (BPS), Lembaga Keuangan serta Bappeda baik tingkat Kabupaten maupun Provinsi selalu mencantumkan Produk Domestik Regional Bruto menurut harga berlaku (current year price) dan harga konstan (basic year price), menurut harga berlaku artinya nilai barang dan jasa dihitung berdasarkan harga pada tahun yang bersangkutan, sedangkan harga konstan dihitung berdasarkan tahun dasar yang telah ditetapkan menurut suatu tahun tertentu. Tahun dasar biasanya digunakan tiap 10 (sepuluh) tahun sekali. Produk Domestik Regional Bruto menunjukkan besarnya nilai uang dari output tahunan yang dihasilkan. Dari pengalaman, diketahui bahwa nilai satuan uang sepanjang waktu mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi secara umum karena penurunan nilai uang, akibat inflasi atau kenaikan harga umum, ataupun sebaliknya terjadi penurunan tingkat harga umum. Jika kegiatan perekonomian meningkat/ PDRB yang dalam hal ini diwakili oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, Sektor Angkutan dan Komunikasi mengalami peningkatan secara dinamis, maka kecenderungan tingkat pendapatan masyarakat naik, tingkat kekayaan bertambah dan penerimaan PAD akan mengalami kenaikan, sehingga sangat dimungkinkan ada hubungan antara PDRB dengan PAD. Meningkatnya kegiatan perekonomian masyarakat, memiliki ketertarikan yang erat dengan Jumlah Penduduk dan Jumlah Kendaraan Bermotor, hal ini dikarenakan bahwa tinggi dan rendahnya penerimaan yang bersumber dari PAD Universitas Sumatera Utara tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang bermukim serta jumlah kendaraan bermotor yang merupakan sarana transportasi dalam menggerakkan perekonomian. Artinya dengan semakin meningkatnya perekonomian/PDRB berarti tingkat kesejahteraan dan tingkat sosial ekonomi semakin baik, meskipun PDRB belum sepenuhnya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat suatu daerah secara keseluruhan. 2.1.4. Belanja Modal Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual (Abdullah, 2008). Belanja modal yaitu pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal, antara lain untuk pembangunan, peningkatan dan pengadaan serta kegiatan non fisik yang mendukung pembentukan modal. Dalam belanja ini termasuk untuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan maupun dalam bentuk fisik lainnya, seperti buku, binatang dan lain sebagainya yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Universitas Sumatera Utara 1. Belanja Modal Tanah yaitu semua biaya yang diperlukan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengerukan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administrasi sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin yaitu jumlah biaya untuk pengadaan alat-alat dan mesin yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan sampai siap untuk digunakan. Dalam jumlah belanja ini termasuk biaya untuk penambahan, penggantian dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin dan diharapkan dapat meningkatkan nilai aktiva, serta seluruh biaya pendukung yang diperlukan.Belanja Modal Gedung dan Bangunan yang termasuk dalam belanja ini adalah jumlah biaya yang digunakan untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan kegiatan pembangunan gedung yang presentasenya mengikuti Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya untuk pembangunan gedung dan bangunan. 3. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan yaitu biaya untuk penambahan, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan prasarana dan sarana yang berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan instalasi/distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi/instalasi. Universitas Sumatera Utara 4. Belanja Modal Fisik Lainnya adalah jumlah biaya yang digunakan untuk perolehan melalui pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan (jalan, irigasi) dan belanja modal non fisik, yang termasuk dalam belanja modal ini antara lain : kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Belanja Modal Pemerintah Kab/Kota di Sumut (MilyarRupiah) No. Kabupaten/Kota 1 Asahan 2 Dairi 3 Deli Serdang 4 Humbahas 5 Karo 6 2006 2007 2008 2009 2010 134.81 219.36 191.70 201.29 210.87 41.06 116.66 137.24 144.10 150.97 159.72 311.68 316.21 332.02 347.83 95.10 161.63 156.33 164.15 171.97 50.96 169.70 103.95 109.14 114.34 Labuhan Batu 84.49 236.91 123.61 129.80 135.98 7 Langkat 99.64 157.25 108.54 113.97 119.39 8 Mandailing Natal 104.00 161.88 147.44 154.81 162.18 9 Nias 38.58 133.46 125.80 132.09 138.38 10 Nias Selatan 17.75 101.57 208.18 218.59 229.00 11 Pakpak Bharat 70.87 120.37 111.18 116.74 122.30 12 Samosir 102.44 72.73 144.18 151.39 158.60 13 Serdang Bedagai 94.02 106.68 87.52 91.90 96.28 14 Simalungun 104.07 176.30 278.18 292.09 305.99 15 Tapanuli Selatan 127.07 166.74 233.33 245.00 256.67 16 Tapanuli Tengah 67.17 129.93 129.42 135.89 142.36 17 Tapanuli Utara 84.68 127.51 129.89 136.38 142.88 18 Toba Samosir 76.25 110.14 99.20 104.16 109.12 19 Binjai 49.14 77.54 76.79 80.63 84.47 20 Medan 215.68 413.09 242.53 254.65 266.78 21 Padangsidempuan 62.27 87.09 70.03 73.53 77.03 22 Pematangsiantar 64.39 82.66 74.84 78.58 82.33 23 Sibolga 40.31 103.87 96.95 101.80 106.65 24 Tanjung Balai 67.64 100.74 139.93 146.93 153.92 25 Tebing Tinggi 62.27 120.87 108.88 114.33 119.77 Sumber : Badan Pusat Statistik Sumut, 2011 Universitas Sumatera Utara 2.2. Review Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian telah dilakukan dalam menganalisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Beberapa penelitian terdahulu yaitu : Brodjonegoro dan Dartanto (2003) bahwa, setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Sasana (2006) menemukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Hasil estimasi ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi desentralisasi fiskal di Kabupaten/Kota akan semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Wibowo (2008) menemukan bahwa (1) desentralisasi fiskal di Indonesia secara umum memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan daerah selama periode 1999-2004. (2) Era baru desentralisasi fiskal yang diluncurkan sejak tahun 2001 ternyata memberikan dampak yang relatif lebih baik terhadap pembangunan daerah dibanding dengan rezim desentralisasi fiskal sebelumnya. (3) Sekurangkurangnya terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan fenomena otonomi fiskal yang Universitas Sumatera Utara kurang favourable sebelum periode reformasi fiskal, yakni (i) kurangnya kompetensi para aparatur dan politisi daerah dalam menetapkan instrumen pendapatan daerah, dan (ii) monitoring pemerintah pusat atas penerapan Perda tentang pajak retribusi daerah yang kurang efektif. Harianto dan Adi (2007) menemukan bahwa Dana Alokasi Umum sangat berpengaruh terhadap Belanja Modal. Belanja Modal mempunyai dampak yang signifikan dan negatif terhadap Pendapatan Per Kapita dalam hubungan langsung, tetapi juga mempunyai hubungan yang positif dalam hubungan tidak langsung melalui Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Per Kapita, tetapi pertumbuhan yang terjadi masih kurang merata sehingga banyak ketimpangan/jarak ekonomi antar daerah. Dana Alokasi Umum mempunyai dampak yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui Belanja Modal (efek tidak langsung). Darwanto dan Yustikasari (2007) yang meneliti diseluruh Kabupaten/Kota se Jawa dan Bali dalam pengujian secara parsial variabel independen yang digunakan dalam model menyimpulkan bahwa secara simultan variabel pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel Belanja Modal. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2. Review Penelitian Terdahulu Nama/Tahun Peneliti Judul Penelitian Variabel yang Digunakan Hasil yang Diperoleh Brodjonegoro Dampak dan Dartanto Desentralisasi (2003) Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Daerah : Analisa Model Makro Ekonometrik Simultan Desentralisasi Fiskal (X), Kesenjangan Fiskal (Y 1 ) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y 2 ) Setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Sasana (2006) Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Desentralisasi Fiskal (X) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y) Desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Wibowo (2008) Mencermati Dampak Desentraliasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Desentralisasi Fiskal (X) dan Pertumbuhan Ekonomi (Y) (1) Desentralisasi fiskal di Indonesia secara umum memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan daerah selama periode 1999-2004. (2) Era baru desentralisasi fiskal yang diluncurkan sejak tahun 2001 ternyata memberikan dampak yang relatif lebih baik terhadap pembangunan daerah dibandingkan dengan rezim desentralisasi fiskal sebelumnya. (3) sekurang-kurangnya terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan fenomena otonomi fiskal yang kurang Universitas Sumatera Utara favourable sebelum periode reformasi fiskal, yakni (i) kurangnya kompetensi para aparatur dan politisi daerah dalam menetapkan instrumen pendapatan daerah, dan (ii) monitoring pemerintah pusat atas penerapan Perda tentang pajak dan retribusi daerah yang kurang efektif. David Haryanto dan Priyo Hari Adi (2007) Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita Dana Alokasi Umum (X 1 ), Belanja Modal (X 2 ), Pendapatan Asli Daerah (X 3 ) dan Pendapatan Per Kapita (Y) (1) Dana Alokasi Umum sangat berpengaruh terhadap Belanja Modal (2) Belanja Modal mempunyai dampak yang signifikan dan negatif terhadap Pendapatan Per Kapita dalam hubungan langsung, tetapi juga mempunyai hubungan yang positif dalam hubungan tidak langsung melalui Pendapatan Asli Daerah (3) Pendapatan Asli Daerah sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Perkapita (4) Dana Alokasi Umum mempunyai dampak yang signifika terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui Belanja Modal (efek tidak langsung) Darwanto dan Pengaruh Yutikasari Pertumbuhan (2007) Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pertumbuhan ekonomi (X 1 ), PAD (X 2 ), Dana Alokasi Umum (X3) dan Pengelolaan Anggaran Belanja Modal (Y) Secara parsial variabel independen yang digunakan dalam model menyimpulkan bahwa secara simultan variabel pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel Belanja Modal. Universitas Sumatera Utara