BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pengertian perkawinan menurut Lili Rasjidi (1991: 2) adalah sebagai berikut: Dari sudut ilmu bahasa atau semantik perkataan perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab nikah. Kata nikah mngandung dua pengertian, yaitu dalam dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan dalam arti kiasan (majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata nikah itu berarti “berkumpul” sedangkan dalam arti kiasan berarti aqad atau “mengadakan perjanjian perkawinan”. Kata “kawin” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti 1) membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah; (Departemen Pendidikan Nasional, 2001: 518). Pengertian perkawinan telah dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memberikan pengertian dan ketentuan tentang perkawinan yang berlaku untuk semua warga negara Indonesia. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut menyebutkan adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. 18 19 Ikatan lahir batin tersebut dimaksudkan agar sebuah perkawinan itu tidak hanya menjalin suatu ikatan batin saja atau hanya ikatan lahir saja akan tetapi harus menjalin kedua ikatan tersebut. Selain itu, dari pengertian perkawinan tersebut menyebutkan adanya tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Kekal yang dimaksudkan adalah sebuah perkawinan akan terjalin selamanya sampai maut yang memisahkan tanpa adanya perceraian. Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, Ungkapan akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan (Amir Syarifuddin, 2009: 40). Sedangkan ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, sama maknanya dengan ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UU Perkawinan. Pengertian perkawinan menurut Soemiyati (2007: 8-9), bahwa nikah itu merupakan perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian dalam nikah adalah perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan. 20 Dari pengertian-pengertian perkawinan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan suci antara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang bertujuan membentuk rumahtangga atau keluarga untuk mentaati perintah Allah. 2. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan diatur dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut Amir Syarifuddin (2009: 46-47) ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam. Di antaranya adalah: a. b. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat ayat 1 surat an-Nisa’ yang artinya: “Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang menjadikan kamu dari diri yang satu daripadanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, lakilaki dan perempuan”. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari Firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21 yang artinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. Menurut Soemiyati (2007: 13-17), ada 5 (lima) tujuan perkawinan antara lain: a. Untuk memperoleh keturunan yang sah. b. Untuk memenuhi tuntutan naluriah/hajat kemanusiaan (menschelijke natuur). 21 c. Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan. d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang merupakan basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang. e. Menumbuhkan aktifitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab. Dari berbagai tujuan di atas, penulis lebih sependapat dengan tujuan perkawinan yang dikemukakan oleh Somiyati. Tujuan perkawinan yang dikemukakan oleh Soemiyati lebih merinci dan menjabarkan arti perkawinan menurut Pasal 2 KHI yaitu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, selain itu juga lebih melengkapi tujuan perkawinan yang dikemukakan oleh Amir Syarifuddin. 3. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum (misal akad perkawinan), baik dari segi para subyek hukum maupun obyek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum (akad nikah) ketika peristiwa hukum tersebut berlangsung (Neng Djubaidah, 2010: 90). Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dibedakan antara rukun dan syarat perkawinan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. 22 Rukun Perkawinan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut Pasal 14 KHI ini, untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami b. Calon isteri c. Wali nikah d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan Kabul. Kelima rukun perkawinan tersebut kemudiakan akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: a. Calon Mempelai Adapun syarat-syarat untuk calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan untuk dapat melangsungkan atau melaksanakan perkawinan yang diatur dalam Pasal 15 sampai 18 KHI adalah sebagai berikut: 1) Calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan calon suami berumur sekurang-kurangnya 19 tahun. 2) Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua arau wali. 3) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. 4) Tidak terdapat halangan perkawinan sesuai bab VI KHI. 23 b. Wali Nikah Dalam Pasal 19 sampai Pasal 23 KHI mengatur mengenai wali nikah. Wali nikah dalam perkawinan harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan. Yang dapat bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri dari: 1) Wali nasab Wali nasab terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. 2) Wali hakim Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau 24 gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agam tentang wali tersebut. c. Saksi Nikah Pasal 24 sampai Pasal 26 KHI mengatur mengenai saksi nikah. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Adapun yang dapat menjadi saksi adalah 1) Laki-laki muslim 2) Adil 3) Aqil baligh 4) Tidak terganggu ingatan 5) Tidak tuna rungu atau tuli Saksi juga harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah. Serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Akta Nikah ini yang selanjutnya menjadi bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah dan telah tercatat oleh negara. d. Akad Nikah Menurut Pasal 27 KHI ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Selain itu, akad nikah dilaksanakan sendiri oleh wali nikah yang 25 bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain. yang berhak mengucapkan Kabul adalah mempelai laki-laki. e. Mahar Dalam Pasal 30 KHI menegaskan bahwa mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Namun sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) KHI bahwa kewajiban menyerahkan mahar bukanlah merupakan rukun dalam perkawinan. Berdasarkan penjelasan di atas maka rukun dan syarat merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan dan melekat satu sama lain. Dalam KHI istilah yang digunakan adalah rukun perkawinan yang diatur dalam Pasal 14, antara lain adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan Kabul. B. Tinjauan tentang Perceraian 1. Pengertian Perceraian “Putusnya Perkawinan” merupakan istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara suami istri. 1) Perkawinan dapat putus karena: a) kematian, b) perceraian, dan c) atas putusan pengadilan (Pasal 38 UUP). 26 2) Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Perceraian hanya dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Moh. Idris Ramulyo, 2004: 152). Putusnya perkawinan telah diatur dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Hal tersebut berarti bahwa putusnya perkawinan itu berbeda maknanya dengan perceraian. “Putusnya perkawinan” memiliki makna yang lebih luas atau umum dibanding “perceraian”. Dalam Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai pengertian perceraian itu sendiri. Namun dalam Pasal 39 UUP menegaskan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di sidang Pengadilan serta harus disertai dengan alsan yang jelas dan kedua pasangan suami istri memang tak bisa disatukan lagi. Menurut Agus Tomi dalam Pemahaman Hak Asuh Anak setelah Perceraian terhadap Perkembangan Mental Anak, perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri (Agus Tomi, Pemahaman Hak Asuh Anak setelah Perceraian terhadap Perkembangan Mental Anak, diakses pada 25 Agustus 2013). Sedangkan menurut Musdalifah, perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan antara suami- isteri berdasarkan 27 kesepakan kedua belah pihak, disaksikan dan diputuskan melalui Pengadilan Agama baik itu cerai yang diajukan oleh pihak suami maupun cerai yang diajukan oleh pihak isteri (gugat). Penyebab perceraian bermacam- macam, mulai dari masalah keuangan, perselingkuhan, kurangnya komunikasi, seks dan lain sebagainya selama menjalani kehidupan berkeluarga (Musdalifah, 2012). Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah berakhirnya hubungan suami istri di mana mereka telah lepas hak dan kewajibannya sebagai suami istri melalui putusan pengadilan. Perceraian dianggap sah jika melalui pengadilan dan hal tersebut merupakan jalan terakhir. 2. Alasan Perceraian Sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. Hal tersebut bahwa perceraian harus dengan alasan yang jelas dan rasional. Menurut Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; 28 c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan perceraian menurut Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri 29 f. Antara suami dan istri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga g. Suami melanggar taklik talak. Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon dicantumkan mempelai dalam Akta pria setelah akad nikah yang Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Menurut Syariat Islam alasan suami menjatuhkan talak adalah sebagai berikut: a. Istri berzina b. Istri nusyuz meskipun telah dinasehati berulang kali, atau c. Istri pemabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang mengganggu ketentraman dan kerukunan rumah tangga (Departemen Agama, 1992: 43). Ketiga pengaturan mengenai alasan perceraian tersebut memiliki makna atau inti yang sama. Alasan-alasan perceraian tersebut harus mampu dibuktikan di persidangan yang untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian. 30 3. Tata cara Perceraian Berdasarkan Pasal 39 ayat (3) bahwa tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan. Serta Pasal 40 ayat (2) yang menyebutkan bahwa tata cara mengajukan gugatan perceraian diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Peraturan perundangan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975. Menurut Lili Rasjidi (1991: 203), dari pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tersebut antara lain dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dapat memberitahukan maksud perceraiannya kepada Pengadilan Agama di tempat mereka tinggal. b. Yang lain-lainnya, yaitu seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam, dapat mengajukan gugat perceraiannya kepada pengadilan Negeri di tempat mereka tinggal. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai tata cara perkawinan tersebut akan lebih difokuskan mengenai tata cara perceraian bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Perceraian bagi agama Islam diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU Peradilan 31 Agama) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Tata cara perceraian dalam UU Peradilan Agama diatur dalam Pasal 66 sampai Pasal 88. Sedangkan tata cara perceraian PP No. 9 Tahun 1975 diatur dalam Pasal 14 sampai Pasal 36. Selain dalam UU Peradilan Agama dan PP No. 9 Tahun 1975 tersebut, tata cara perceraian juga diatur dalam Kompilasi Hukum. Dalam hal ini karena lebih difokuskan dalam perceraian Islam, maka lebih mengacu pada UU Peradilan Agama dan KHI. Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek (Zainuddin Ali, 2006: 80), adalah sebagai berikut: 1) Cerai Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai) Cerai talak adalah apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menyetujuina kemudian sang istri menyetujuinya. Sesuai dengan Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP: Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Adapun tata cara cerai talak tersebut diatur dalam Pasal 66 UU Peradilan Agama. 32 (1) Seorang suami beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menaksikan ikrar talak. (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin pemohon. (3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. (4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. (5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersamasama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Setelah permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan akan memeriksa mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar pengajuan permohonan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 68 UU Peradilan Agama. Pasal 68 UU Peradilan Agama (1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan. (2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. 2) Cerai Gugat (Istri yang Bermohon untuk Bercerai) Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga 33 Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud (Zainuddin Ali, 2006: 81). Dalam hal ini, cerai gugat diatur dalam Pasal 73 UU Peradilan Agama sebagai berikut. Pasal 73 UU Peradilan Agama (1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin tergugat. (2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Selanjutnya, mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 74, 75, dan 76 UU Peradilan Agama dan pasal 133, 134, dan 135 KHI. Pasal 74 UU Peradilan Agama Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mndapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 75 UU Peradilan Agama Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri pada dokter. 34 Pasal 76 UU Peradilan Agama (1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri (2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk manjadi hakam. Pasal 77 UU Peradilan Agama Selama permohonan berlangsungnya gugatan perceraian, penggugat tergugat atau atau atas berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengijinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Pasal 78 UU Peradilan Agama Selama berlangsungnya gugatan permohonan penggugat, Pengadilan dapat: a. b. c. perceraian, atas Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri. Gugatan perceraian tersebut gugr apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan. Kemudian pelaksanaan sidang pemeriksaan sidang gugatan diatur dalam Pasal 80 UU Peradilan Agama: (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah 35 berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan. (2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Sesuai dengan Pasal 80 ayat (2) UU Peradilan Agama bahwa sidang pemeriksaan perceraian dilakukan secara tertutup, lain halnya dengan putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kehadiran para pihak atau kuasanya dalam persidangan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan Pasal 142 KHI Pasal 142 KHI (1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan pada kuasanya. (2) Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Pasal 147 ayat (1) KHI (1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik kutipan Akta Nikah dari masingmasing ang bersangkutan. Mengenai salinan putusan pengadilan juga dijelaskan dalam Pasal 84 UU Peradilan Agama sebagai berikut: (1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat 36 dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu. (2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan. (3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia. (4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebgai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersenut diberitahukan kepada para pihak. 4. Akibat Adanya Perceraian Berdasarkan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 41 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Anak yang melum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dan ibunya, sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya b. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. 37 c. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. d. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. C. Tinjauan tentang Hak Asuh Anak 1. Pengertian Anak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak adalah 1. keturunan yang kedua; 2. manusia yang masih kecil; yang lebih kecil dari yang lain (Departemen Pendidikan Nasional, 2001: 41). Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang usianya belum mancapai 18 tahun dan belum pernah menikah. Anak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan selanjutnya diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. 38 2. Hak dan Kewajiban Anak Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban orang tua dan anak yaitu dalam Pasal 45 sampai Pasal 49, maka dapat diuraiakan hak dan kewajiban anak adalah sebagai berikut: a. Berhak mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Dalam hal ini orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sampai dewasa atau menikah. b. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. c. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Adapun hak dan kewajiban anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ditegaskan dalam Pasal 4 sampai Pasal 19, yaitu sebagai berikut: Hak Anak menurut UU Perlindungan Anak: a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. 39 c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,. d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan f. Anak berhak mendapat pendidikan g. anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya h. anak berhak mendapatkan bantuan hukum Kewajiban Anak menurut UU Perlindungan Anak: 3. a. menghormati orang tua, wali, dan guru; b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Hak Asuh Anak Menurut Agus Tomi dalam Pemahaman Hak Asuh Anak setelah Perceraian terhadap Perkembangan Mental Anak, hak asuh anak adalah kekuasaan seseorang atau lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, untuk untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar (Agus Tomi, 2013). 40 Pengasuhan anak merupakan hal yang sangat penting karena pengasuhan anak akan mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Jika orang tua salah dalam mendidik dan mengasuh anak, tentu akan berakibat fatal terhadap anak. Hak asuh anak adalah merupakan tanggung jawab dari orang tau ataupun wali dari anak tersebut. Hak asuh anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak asuh anak berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak antara lain: (1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. (2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan. Pasal 31 (1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu. (2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu. (3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan. (4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya. 41 D. Tinjauan tentang Pengadilan Agama 1. Pengertian Pengadilan Agama Menurut Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 1 angka 1, Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Dalam Pasal 1 angka 2, Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama. Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di Indonesia (Zainuddin Ali, 2006: 92). Peradilan Agama terdiri atas: a. Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama, merupakan pelaksana kekuasasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam yang berkedudukan di ibukota kabupaten. b. Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding, merupakan pelaksana kekuasasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam yang berkedudukan di ibukota propinsi. Jadi Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama, merupakan pelaksana kekuasasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam yang berkedudukan di ibukota kabupaten. 42 2. Kewenangan Pengadilan Agama Kewenangan peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara, menyangkut dua hal (A. Basiq Djalil, 2010: 146), yaitu: 1. Kewenangan Relatif Merupakan kewenangan pengadilan yang satu jenis atau satu tingkatan. Misalnya Pengadilan Agama Bantul dengan Pengadilan Agama Wates. 2. Kewenangan Absolut Merupakan kewenangan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya (A. Basiq Djamil, 2010: 147). Perkara-perkara yang berkaitan kekuasaan absolut Pengadilan Agama ini telah diatur dalam Pasal 49 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, antara lain perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Jadi, berkaitan dengan kekuasaan Pengadilan Agama di atas maka perkara perceraian bagi orang yang beragama Islam itu dilakukan di Pengadilan Agama karena Pengadilan Agama adalah pengadilan bagi orang-orang yang beragama Islam. 3. Pengertian Hakim Menurut Kamus Hukum, hakim atau rechter (Belanda) adalah petugas pengadilan yang mengadili perkara; dalam ilmu pengetahuan 43 diakui sebagai salah satu sumber hukum (J. C. T. S. Simorangkir, dkk, 2000: 61). Menurut Musthofa (2005: 22), hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada pengadilan tinggi agama. Jadi, hakim pengadilan agama adalah pejabat pengadilan yang bertugas mengadili dan memutuskan suatu perkara di pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. 4. Syarat Menjadi Hakim Menurut Basiq Djalil (2010: 8), terdapat 6 (enam syarat yang diperlukan oleh seorang hakim, yaitu: 1. Laki-laki yang merdeka 2. Berakal (mempunyai Kecerdasan) 3. Beragama Islam 4. Adil 5. Mengetahui segala Pokok Hukum dan Cabang-cabangnya 6. Mendengar, Melihat, dan Tidak Bisu Dari syarat-syarat menjadi hakim tersebut A. Basiq Djalil menyebutkan salah satu bahwa untuk menjadi seorang hakim harus lakilaki yang merdeka. Menurutnya, anak kecil dan wanita tidak sah menjadi 44 hakim. Hal ini sependapat dengan Malik, Syafi’I dan Ahmad. Selain itu mengenai hakim wanita, ia juga sependapat dengan Hanafi bahwa tidak diperbolehkannya wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan kisas. Alasannya karena dalam kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat diterima. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama juga telah mengatur mengenai syarat menjadi hakim yakni pada Pasal 13. Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Warga negara Indonesia b. Beragama Islam c. Bertkawa kepada Tuhan Yang Maha Esa d. Setia pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 e. Sarjana Sariah, sarjana hukum Islam atau sarjana yang menguasai hukum Islam f. Lulus pendidikan hakim g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. i. Berumur serendah-rendahnya 25 9dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun, dan 45 j. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 5. Tugas Hakim dalam Peradilan Agama Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur dalam hukum acara Peradilan Agama (Mukti Arto, 1996: 29). Adapun tugas hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara menurut Mukti Arto (1996: 36-37) sebagai berikut: 1. 2. Konstatiring, yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan Hakim. Konstatiring adalah meliputi: a. Memeriksa identitas para pihak. b. Memeriksa kuasa hukum para pihak (jika ada) c. Mendamaikan pihak-pihak. d. Memeriksa syarat-syaratnya sebagai perkara. e. Memeriksa seluruh fakta/peristiwa yang dikemukakan para pihak. f. Memeriksa syarat-syarat dan unsure-unsur setiap fakta/peristiwa. g. Memeriksa alat-alat bukti sesuai tata cara pembuktian. h. Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan. i. Mendengar pendapat/kesimpulan masing-masing pihak. j. Menerapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku. Kualifisir, yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan, yang meliputi: a. Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara. b. Merumuskan pokok perkara. c. Mempertimbangkan beban pembuktian. d. Mempertimbangkan keabsahan peristiwa/fakta sebagai peristiwa/fakta hukum. e. Mempertimbangkan secara logis, kronologis dan juridis faktafakta hukum menurut hukum pembuktian. f. Mempertimbangkan jawaban, keberatan dan sangkalansangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian. 46 g. h. i. Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa/fakta-fakta yang terbukti dengan petitum Mnemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun yang tak tertulis dengan menyebutkan sumber-sumbernya. Mempertimbangkan biaya perkara. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama juga mengatur tugas hakim dalam pemeriksaan sengketa perkawinan yaitu pada Pasal 65 sampai Pasal 88. Adapun tugas hakim tersebut adalah sebagai berikut: a. Memeriksa permohonan cerai setelah berkas atau surat permohonan didaftarkan di Kepaniteraan (Pasal 68 ayat (1), Pasal 80). b. Mendamaikan para pihak pada sidang pertama pemeriksaan (Pasal 82). Serta mendamaikan para pihak selama perkara belum diputuskan. c. Membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi (Pasal 71 ayat (2)). d. Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri (Pasal 75). e. Memutuskan perkara perceraian. E. Tinjauan tentang Putusan Pengadilan 1. Pertimbangan Hakim Dalam persidangan putusan hakim yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak 47 memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan sebagai putusan yang tidak cukup pertimbangan. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan dalam Pasal 23 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 jo Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasardasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundangundangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum. Pertimbangan atau considerans adalah dasar daripada putusan. Pertimbangan dari putusan merupakan alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa hakim sampai mengambil keputusan tersebut (obyektif) (Soeroso, 2006: 80). Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara dalam persidangan, hakim harus melalui proses menemukan hukum di mana dalam persidangan hakim memeriksa suatu perkara dan kemudian menemukan hukum yang sesuai dengan perkaranya sehingga dapat memutus perkara tersebut. Adapun kegiatan hakim dalam persidangan sebagai berikut. 48 UU gugatan Peristiwa yang diajukan dalam jawaban tergugat Penemuan hukum Peristiwa yang diajukan dalam gugatan penggug at Peristiwa konkrit yang harus dibuktikan Peristiwa konkrit dikonstatir Peristiw a konkrit Penerapan UU pada peristiwa hukum Peristiwa hukum gugatan Putusan Bagan 1. Proses penemuan hukum dalam Persidangan Sumber: Sudikno( 2002: 195) Berdasarkan bagan di atas, dalam proses persidangan pertama penggugat dalam gugatannya mengajukan peristiwa konkrit yang menjadi dasar dalam gugatannya dan peristiwa iyulah yang menjadi dasar hakim dalam memeriksa dan mengadili. Tergugat juga mengemukakan peristiwa konkrit sebagai jawaban terhadap gugatan kemudian diberikan kesempatan antara penggugat dan tergugat untuk jawab-menjawab mengenai gugatan tersebut. Tujuannnya agar hakim dapat memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit. Dari jawab-menjawab tersebut hakim akan dapat menyimpulkan peristiwa yang konkrit dan kemudian mengkonstatir peristiwa tersebut. Mengkonstatir berati menyatakan benar 49 terjadinya suatu peristiwa konkrit yang terlebih dahulu harus dibuktikan. Tanpa pembuktian hakim tidak dapat mengkonstatir peristiwa tersebut. Kemudian setelah peristiwa konkrit tersebut dibuktikan dan dikonstatir maka harus dicarikan hukumnya atau biasa disebut dengan penemuan hukum (rechtsvinding). Menemukan atau mencari hukumnya tidak hanya sekedar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit yang dicarikan hukumnya di mana peristiwa konkrit harus diarahkan pada undang-undang dan begitu juga sebuliknya, di mana undang-undang juga harus disesuaikan dengan peristiwa yang konkrit. Setelah hukumnya ditemukan dan diterapkan pada peristiwa hukumnya maka hakim harus menjatuhkan putusannya yang harus memperhatikan 3 faktor yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. 2. Pengertian Putusan Hakim Putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diucapkan pada sidang pengadilan terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata (Sri Hartini, 2008: 87). Menurut Sarwono (2011: 211), yang dimaksud dengan putusan hakim adalah putusan akhir dari suatu pemeriksaan persidangan di pengadilan dalam suatu perkara. Menurut Sudikno (2010: 5) putusan hakim adalah hukum (judgemade-law), di mana putusan hakim juga mempunyai kekuatan yang mengikat terutama pada para pihak yang berperkara. Hal ini berarti 50 bahwa putusan hakim itu harus dianggap benar sampai dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Jadi, putusan hakim dalam perkara perceraian adalah putusan akhir dari sidang perceraian yang diucapkan terbuka untuk umum. 3. Jenis-jenis Putusan Hakim Berikut adalah jenis-jenis putusan hakim dalam hukum acara perdata: a. Putusan Declaratoir (pernyataan) adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah. b. Putusan Constitutief (pengaturan) adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum. c. Putusan Condemnatoir (menghukum) adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi d. Putusan Preparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir tanpa mempengaruhi pokok perkara atau putusan akhir. e. Putusan Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. f. Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. g. Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan privisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentigan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. 51 h. Putusan Contadictoir i. Putusan Verstek atau in Absensia j. Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Dalam hukum acara perdata, putusan akhir dalam suatu perkara atau sengketa dapat berupa: 1) Gugatan dikabulkan 2) Gugatan ditolak 3) Gugatan tidak dapat diterima 4) Tidak berwenang mengadili. 4. Isi Putusan Hakim Dalam praktik peradilan hukum acara perdata isi putusan hakim berdasarkan beberapa pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan, maka isi putusan hakim umumnya memuat hal-hal yang bersifat formalitas dan substansial yang antara lain sebagai berikut (Sarwono, 2011: 228): a. Formalitas Isi Putusan Hakim 1) Setiap putusan hakim harus selalu dimulai dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” 2) Setiap putusan harus memuat tanggal putusan dijatuhkan dan diucapkan di dalam siding pengadilan 52 3) Setiap putusan pengadilan harus dibacakan dalam sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum 4) Setiap putusan harus ditandatangani oleh hakim ketua, hakim anggota, dan panitera. b. Substansial Isi Putusan Hakim 1) Identitas para pihak yang berperkara 2) Duduk perkaranya atau peristiwa hukumnya 3) Pertimbangan hukumnya atau considerans 4) Amar putusan atau dictum