18 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perkawinan 1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Perkawinan
1.
Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Lili Rasjidi (1991: 2) adalah
sebagai berikut:
Dari sudut ilmu bahasa atau semantik perkataan perkawinan
berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa
Arab nikah. Kata nikah mngandung dua pengertian, yaitu dalam
dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan dalam arti kiasan
(majaaz). Dalam pengertian yang sebenarnya kata nikah itu berarti
“berkumpul” sedangkan dalam arti kiasan berarti aqad atau
“mengadakan perjanjian perkawinan”.
Kata “kawin” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
1) membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri;
menikah; (Departemen Pendidikan Nasional, 2001: 518).
Pengertian perkawinan telah dijelaskan dalam Undang-Undang
Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang-undang ini memberikan pengertian dan ketentuan
tentang perkawinan yang berlaku untuk semua warga negara Indonesia.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dari pengertian tersebut menyebutkan adanya ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
18
19
Ikatan lahir batin tersebut dimaksudkan agar sebuah perkawinan itu tidak
hanya menjalin suatu ikatan batin saja atau hanya ikatan lahir saja akan
tetapi harus menjalin kedua ikatan tersebut. Selain itu, dari pengertian
perkawinan tersebut menyebutkan adanya tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Kekal yang dimaksudkan
adalah sebuah perkawinan akan terjalin selamanya sampai maut yang
memisahkan tanpa adanya perceraian.
Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah,
Ungkapan akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan merupakan
penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam
rumusan UU yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah
semata perjanjian yang bersifat keperdataan (Amir Syarifuddin, 2009:
40). Sedangkan ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah, sama maknanya dengan ungkapan
“berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UU Perkawinan.
Pengertian perkawinan menurut Soemiyati (2007: 8-9), bahwa
nikah itu merupakan perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan
seorang wanita. Perjanjian dalam nikah adalah perjanjian suci untuk
membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci di
sini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan.
20
Dari pengertian-pengertian perkawinan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan suci antara seorang wanita
dengan seorang laki-laki yang bertujuan membentuk rumahtangga atau
keluarga untuk mentaati perintah Allah.
2.
Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan diatur dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Menurut Amir Syarifuddin (2009: 46-47) ada beberapa tujuan dari
disyariatkannya perkawinan atas umat Islam. Di antaranya adalah:
a.
b.
Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan
generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat ayat 1 surat
an-Nisa’ yang artinya: “Wahai sekalian manusia bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang menjadikan kamu dari diri yang satu
daripadanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, lakilaki dan perempuan”.
Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari Firman Allah dalam surat
ar-Rum ayat 21 yang artinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan menjadikan di
antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir”.
Menurut Soemiyati (2007: 13-17), ada 5 (lima) tujuan perkawinan
antara lain:
a.
Untuk memperoleh keturunan yang sah.
b.
Untuk memenuhi tuntutan naluriah/hajat kemanusiaan (menschelijke
natuur).
21
c.
Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan.
d.
Membentuk dan mengatur rumah tangga yang merupakan basis
pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih
sayang.
e.
Menumbuhkan aktifitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal
dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Dari berbagai tujuan di atas, penulis lebih sependapat dengan
tujuan
perkawinan
yang
dikemukakan
oleh
Somiyati.
Tujuan
perkawinan yang dikemukakan oleh Soemiyati lebih merinci dan
menjabarkan arti perkawinan menurut Pasal 2 KHI yaitu mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, selain
itu juga lebih melengkapi tujuan perkawinan yang dikemukakan oleh
Amir Syarifuddin.
3.
Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau
perbuatan hukum (misal akad perkawinan), baik dari segi para subyek
hukum maupun obyek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan
hukum atau peristiwa hukum (akad nikah) ketika peristiwa hukum
tersebut berlangsung (Neng Djubaidah, 2010: 90). Dalam Kompilasi
Hukum Islam tidak dibedakan antara rukun dan syarat perkawinan.
Keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan.
22
Rukun Perkawinan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Menurut Pasal 14 KHI ini, untuk melaksanakan perkawinan harus
ada:
a.
Calon suami
b.
Calon isteri
c.
Wali nikah
d.
Dua orang saksi, dan
e.
Ijab dan Kabul.
Kelima rukun perkawinan tersebut kemudiakan akan dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut:
a.
Calon Mempelai
Adapun syarat-syarat untuk calon mempelai baik laki-laki
maupun perempuan untuk dapat melangsungkan atau melaksanakan
perkawinan yang diatur dalam Pasal 15 sampai 18 KHI adalah
sebagai berikut:
1) Calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan calon
suami berumur sekurang-kurangnya 19 tahun.
2) Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus
mendapat ijin dari orang tua arau wali.
3) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
4) Tidak terdapat halangan perkawinan sesuai bab VI KHI.
23
b.
Wali Nikah
Dalam Pasal 19 sampai Pasal 23 KHI mengatur mengenai wali
nikah. Wali nikah dalam perkawinan harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan. Yang dapat
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah terdiri
dari:
1) Wali nasab
Wali nasab terdiri dari 4 kelompok dalam urutan
kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok
yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis
lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara
laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
2) Wali hakim
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
apabila
wali
nasab
tidak
ada
atau
tidak
mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau
24
gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan
maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan Pengadilan Agam tentang wali tersebut.
c.
Saksi Nikah
Pasal 24 sampai Pasal 26 KHI mengatur mengenai saksi nikah.
Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Adapun
yang dapat menjadi saksi adalah
1) Laki-laki muslim
2) Adil
3) Aqil baligh
4) Tidak terganggu ingatan
5) Tidak tuna rungu atau tuli
Saksi juga harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad
nikah. Serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat
akad nikah dilangsungkan. Akta Nikah ini yang selanjutnya menjadi
bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah dan telah tercatat oleh
negara.
d. Akad Nikah
Menurut Pasal 27 KHI ijab dan Kabul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Selain itu, akad nikah dilaksanakan sendiri oleh wali nikah yang
25
bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain. yang
berhak mengucapkan Kabul adalah mempelai laki-laki.
e. Mahar
Dalam Pasal 30 KHI menegaskan bahwa mahar merupakan
kewajiban yang harus diberikan oleh calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Namun sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) KHI bahwa kewajiban
menyerahkan mahar bukanlah merupakan rukun dalam perkawinan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka rukun dan syarat merupakan
satu kesatuan yang sulit dipisahkan dan melekat satu sama lain. Dalam
KHI istilah yang digunakan adalah rukun perkawinan yang diatur dalam
Pasal 14, antara lain adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua
orang saksi, serta ijab dan Kabul.
B. Tinjauan tentang Perceraian
1.
Pengertian Perceraian
“Putusnya Perkawinan” merupakan istilah hukum yang digunakan
dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara suami istri.
1) Perkawinan dapat putus karena:
a) kematian,
b) perceraian, dan
c) atas putusan pengadilan (Pasal 38 UUP).
26
2) Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Perceraian hanya dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak (Moh. Idris Ramulyo, 2004: 152).
Putusnya perkawinan telah diatur dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun
1974, perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, dan atas
putusan pengadilan. Hal tersebut berarti bahwa putusnya perkawinan itu
berbeda maknanya dengan perceraian. “Putusnya perkawinan” memiliki
makna yang lebih luas atau umum dibanding “perceraian”. Dalam
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai pengertian
perceraian itu sendiri. Namun dalam Pasal 39 UUP menegaskan bahwa
perceraian hanya bisa dilakukan di sidang Pengadilan serta harus disertai
dengan alsan yang jelas dan kedua pasangan suami istri memang tak bisa
disatukan lagi.
Menurut Agus Tomi dalam Pemahaman Hak Asuh Anak setelah
Perceraian terhadap Perkembangan Mental Anak, perceraian adalah
perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya
diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan
kewajiban sebagai suami dan istri (Agus Tomi, Pemahaman Hak Asuh
Anak setelah Perceraian terhadap Perkembangan Mental Anak, diakses
pada 25 Agustus 2013). Sedangkan menurut Musdalifah, perceraian adalah
pemutusan hubungan pernikahan antara suami- isteri berdasarkan
27
kesepakan kedua belah pihak, disaksikan dan diputuskan melalui
Pengadilan Agama baik itu cerai yang diajukan oleh pihak suami maupun
cerai yang diajukan oleh pihak isteri (gugat). Penyebab perceraian
bermacam- macam, mulai dari masalah keuangan, perselingkuhan,
kurangnya komunikasi, seks dan lain sebagainya selama menjalani
kehidupan berkeluarga (Musdalifah, 2012).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan
bahwa perceraian adalah berakhirnya hubungan suami istri di mana
mereka telah lepas hak dan kewajibannya sebagai suami istri melalui
putusan pengadilan. Perceraian dianggap sah jika melalui pengadilan dan
hal tersebut merupakan jalan terakhir.
2.
Alasan Perceraian
Sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) bahwa untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat
rukun sebagai suami isteri. Hal tersebut bahwa perceraian harus dengan
alasan yang jelas dan rasional.
Menurut Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, perceraian dapat terjadi
karena alasan atau alasan-alasan:
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
28
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain;
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.
Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Alasan perceraian menurut Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam
adalah sebagai berikut:
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri
29
f.
Antara suami dan istri terus menerus menjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga
g.
Suami melanggar taklik talak. Taklik talak adalah perjanjian yang
diucapkan
calon
dicantumkan
mempelai
dalam
Akta
pria
setelah
akad
nikah
yang
Nikah
berupa
Janji
talak
yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang.
h.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Menurut Syariat Islam alasan suami menjatuhkan talak adalah
sebagai berikut:
a.
Istri berzina
b.
Istri nusyuz meskipun telah dinasehati berulang kali, atau
c.
Istri pemabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang mengganggu
ketentraman dan kerukunan rumah tangga (Departemen Agama,
1992: 43).
Ketiga pengaturan mengenai alasan perceraian tersebut memiliki
makna atau inti yang sama. Alasan-alasan perceraian tersebut harus
mampu dibuktikan di persidangan yang untuk selanjutnya digunakan
sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian.
30
3.
Tata cara Perceraian
Berdasarkan Pasal 39 ayat (3) bahwa tata cara perceraian di depan
sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan. Serta Pasal 40
ayat (2) yang menyebutkan bahwa tata cara mengajukan gugatan
perceraian diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Peraturan
perundangan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974. Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai Pasal 36
PP No. 9 Tahun 1975. Menurut Lili Rasjidi (1991: 203), dari pasal-pasal
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tersebut antara lain dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a.
Mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
dapat memberitahukan maksud perceraiannya kepada Pengadilan
Agama di tempat mereka tinggal.
b.
Yang lain-lainnya, yaitu seorang suami atau seorang istri yang
melangsungkan
perkawinannya
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya selain agama Islam, dapat mengajukan gugat
perceraiannya kepada pengadilan Negeri di tempat mereka tinggal.
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai tata cara perkawinan
tersebut akan lebih difokuskan mengenai tata cara perceraian bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.
Perceraian bagi agama Islam diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UU Peradilan
31
Agama) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Tata
cara perceraian dalam UU Peradilan Agama diatur dalam Pasal 66
sampai Pasal 88. Sedangkan tata cara perceraian PP No. 9 Tahun 1975
diatur dalam Pasal 14 sampai Pasal 36. Selain dalam UU Peradilan
Agama dan PP No. 9 Tahun 1975 tersebut, tata cara perceraian juga
diatur dalam Kompilasi Hukum. Dalam hal ini karena lebih difokuskan
dalam perceraian Islam, maka lebih mengacu pada UU Peradilan Agama
dan KHI.
Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau
pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua
aspek (Zainuddin Ali, 2006: 80), adalah sebagai berikut:
1) Cerai Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
Cerai talak adalah apabila suami yang mengajukan permohonan ke
pengadilan untuk menyetujuina kemudian sang istri menyetujuinya.
Sesuai dengan Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UUP:
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan
surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Adapun tata cara cerai talak tersebut diatur dalam Pasal 66 UU
Peradilan Agama.
32
(1) Seorang suami beragama Islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila
termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
yang ditentukan bersama tanpa ijin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri,
permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di
luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah
istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersamasama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar
talak diucapkan.
Setelah permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama,
Pengadilan akan memeriksa mengenai alasan-alasan yang menjadi
dasar pengajuan permohonan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 68
UU Peradilan Agama.
Pasal 68 UU Peradilan Agama
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis
Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di
Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam
sidang tertutup.
2) Cerai Gugat (Istri yang Bermohon untuk Bercerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai
akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke pengadilan Agama,
yang
kemudian
termohon
(suami)
menyetujuinya,
sehingga
33
Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud (Zainuddin
Ali, 2006: 81). Dalam hal ini, cerai gugat diatur dalam Pasal 73 UU
Peradilan Agama sebagai berikut.
Pasal 73 UU Peradilan Agama
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin
tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri,
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di
luar negeri maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
Selanjutnya, mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk
mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 74, 75, dan 76 UU Peradilan
Agama dan pasal 133, 134, dan 135 KHI.
Pasal 74 UU Peradilan Agama
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah
satu pihak mndapat pidana penjara, maka untuk memperoleh
putusan perceraian, sebagai bukti
penggugat cukup
menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berwenang
yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan
bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 75 UU Peradilan Agama
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah
bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka
hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri
pada dokter.
34
Pasal 76 UU Peradilan Agama
(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq,
maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus
didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga
atau orang-orang yang dekat dengan suami istri
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang
sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat
seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk manjadi hakam.
Pasal 77 UU Peradilan Agama
Selama
permohonan
berlangsungnya
gugatan
perceraian,
penggugat
tergugat
atau
atau
atas
berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan
dapat mengijinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam
satu rumah.
Pasal 78 UU Peradilan Agama
Selama berlangsungnya gugatan
permohonan penggugat, Pengadilan dapat:
a.
b.
c.
perceraian,
atas
Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami
Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak
Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri.
Gugatan perceraian tersebut gugr apabila suami atau istri
meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan. Kemudian
pelaksanaan sidang pemeriksaan sidang gugatan diatur dalam
Pasal 80 UU Peradilan Agama:
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis
Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
35
berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di
Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup.
Sesuai dengan Pasal 80 ayat (2) UU Peradilan Agama
bahwa sidang pemeriksaan perceraian dilakukan secara tertutup,
lain halnya dengan putusan pengadilan mengenai gugatan
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kehadiran para
pihak atau kuasanya dalam persidangan merupakan hal yang
sangat penting. Hal ini sesuai dengan Pasal 142 KHI
Pasal 142 KHI
(1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami
istri datang sendiri atau mewakilkan pada kuasanya.
(2) Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk
kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan
yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Pasal 147 ayat (1) KHI
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka
panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan
surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya
dengan menarik kutipan Akta Nikah dari masingmasing ang bersangkutan.
Mengenai salinan putusan pengadilan juga dijelaskan
dalam Pasal 84 UU Peradilan Agama sebagai berikut:
(1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang
ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah
yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat
36
dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian
dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda
dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat
perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa
bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat
nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh
Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian
pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri maka
satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud
ayat (1) disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat
Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di
Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebgai
surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap tersenut
diberitahukan kepada para pihak.
4.
Akibat Adanya Perceraian
Berdasarkan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 41 UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah:
a. Anak yang melum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dan
ibunya, sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih
untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya
b. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.
37
c.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam
kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
d. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
C. Tinjauan tentang Hak Asuh Anak
1.
Pengertian Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak adalah 1. keturunan
yang kedua; 2. manusia yang masih kecil; yang lebih kecil dari yang lain
(Departemen Pendidikan Nasional, 2001: 41).
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Jadi dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud anak adalah seseorang yang usianya belum mancapai 18 tahun
dan belum pernah menikah. Anak mempunyai hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi dan selanjutnya diatur dalam Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
38
2.
Hak dan Kewajiban Anak
Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang mengatur
mengenai hak dan kewajiban orang tua dan anak yaitu dalam Pasal 45
sampai Pasal 49, maka dapat diuraiakan hak dan kewajiban anak adalah
sebagai berikut:
a.
Berhak mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Dalam hal ini
orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sampai
dewasa atau menikah.
b.
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik.
c.
Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke
atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Adapun hak dan kewajiban anak menurut Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ditegaskan dalam Pasal
4 sampai Pasal 19, yaitu sebagai berikut:
Hak Anak menurut UU Perlindungan Anak:
a.
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
b.
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan.
39
c.
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,.
d.
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
e.
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan
f.
Anak berhak mendapat pendidikan
g.
anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya
h.
anak berhak mendapatkan bantuan hukum
Kewajiban Anak menurut UU Perlindungan Anak:
3.
a.
menghormati orang tua, wali, dan guru;
b.
mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c.
mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d.
menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e.
melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Hak Asuh Anak
Menurut Agus Tomi dalam Pemahaman Hak Asuh Anak setelah
Perceraian terhadap Perkembangan Mental Anak, hak asuh anak adalah
kekuasaan seseorang atau lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan,
untuk
untuk
memberikan
bimbingan,
pemeliharaan,
perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah
satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara
wajar (Agus Tomi, 2013).
40
Pengasuhan anak merupakan hal yang sangat penting karena
pengasuhan anak akan mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Jika
orang tua salah dalam mendidik dan mengasuh anak, tentu akan berakibat
fatal terhadap anak. Hak asuh anak adalah merupakan tanggung jawab
dari orang tau ataupun wali dari anak tersebut. Hak asuh anak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Hak asuh anak berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak antara lain:
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan
pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa
asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
penetapan pengadilan.
Pasal 31
(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat
ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk
mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh
orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat
alasan yang kuat untuk itu.
(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai
dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka
pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga
lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat
untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan.
(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut
anak yang akan diasuhnya.
41
D. Tinjauan tentang Pengadilan Agama
1.
Pengertian Pengadilan Agama
Menurut Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama dalam Pasal 1 angka 1, Peradilan Agama adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam. Dalam Pasal 1 angka 2, Pengadilan
adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan
peradilan agama.
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan
hukum Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan
Agama dan Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di
Indonesia (Zainuddin Ali, 2006: 92). Peradilan Agama terdiri atas:
a.
Pengadilan
Agama sebagai pengadilan tingkat pertama,
merupakan pelaksana kekuasasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam yang berkedudukan di
ibukota kabupaten.
b.
Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding,
merupakan pelaksana kekuasasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam yang berkedudukan di
ibukota propinsi.
Jadi Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama,
merupakan pelaksana kekuasasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam yang berkedudukan di ibukota kabupaten.
42
2.
Kewenangan Pengadilan Agama
Kewenangan peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara,
menyangkut dua hal (A. Basiq Djalil, 2010: 146), yaitu:
1.
Kewenangan Relatif
Merupakan kewenangan pengadilan yang satu jenis atau satu
tingkatan. Misalnya Pengadilan Agama Bantul dengan Pengadilan
Agama Wates.
2.
Kewenangan Absolut
Merupakan kewenangan peradilan yang berhubungan dengan
jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan lainnya (A. Basiq Djamil, 2010: 147).
Perkara-perkara yang berkaitan kekuasaan absolut Pengadilan
Agama ini telah diatur dalam Pasal 49 UU No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama, antara lain perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Jadi,
berkaitan dengan kekuasaan Pengadilan Agama di atas maka perkara
perceraian bagi orang yang beragama Islam itu dilakukan di
Pengadilan Agama karena Pengadilan Agama adalah pengadilan
bagi orang-orang yang beragama Islam.
3.
Pengertian Hakim
Menurut Kamus Hukum, hakim atau rechter (Belanda) adalah
petugas pengadilan yang mengadili perkara; dalam ilmu pengetahuan
43
diakui sebagai salah satu sumber hukum (J. C. T. S. Simorangkir, dkk,
2000: 61).
Menurut Musthofa (2005: 22), hakim adalah pejabat yang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim Pengadilan diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Peradilan Agama, hakim adalah hakim pada pengadilan
agama dan hakim pada pengadilan tinggi agama. Jadi, hakim pengadilan
agama adalah pejabat pengadilan yang bertugas mengadili dan
memutuskan suatu perkara di pengadilan agama dan pengadilan tinggi
agama.
4.
Syarat Menjadi Hakim
Menurut Basiq Djalil (2010: 8), terdapat 6 (enam syarat yang
diperlukan oleh seorang hakim, yaitu:
1.
Laki-laki yang merdeka
2.
Berakal (mempunyai Kecerdasan)
3.
Beragama Islam
4.
Adil
5.
Mengetahui segala Pokok Hukum dan Cabang-cabangnya
6.
Mendengar, Melihat, dan Tidak Bisu
Dari syarat-syarat menjadi hakim tersebut A. Basiq Djalil
menyebutkan salah satu bahwa untuk menjadi seorang hakim harus lakilaki yang merdeka. Menurutnya, anak kecil dan wanita tidak sah menjadi
44
hakim. Hal ini sependapat dengan Malik, Syafi’I dan Ahmad. Selain itu
mengenai hakim wanita, ia juga sependapat dengan Hanafi bahwa tidak
diperbolehkannya wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan
kisas. Alasannya karena dalam kedua hal tersebut kesaksiannya tidak
dapat diterima.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
juga telah mengatur mengenai syarat menjadi hakim yakni pada Pasal 13.
Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seseorang harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Warga negara Indonesia
b.
Beragama Islam
c.
Bertkawa kepada Tuhan Yang Maha Esa
d.
Setia pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
e.
Sarjana Sariah, sarjana hukum Islam atau sarjana yang menguasai
hukum Islam
f.
Lulus pendidikan hakim
g.
Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban
h.
Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
i.
Berumur serendah-rendahnya 25 9dua puluh lima) tahun dan paling
tinggi 40 (empat puluh) tahun, dan
45
j.
Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
5.
Tugas Hakim dalam Peradilan Agama
Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan
hukum perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang
diatur dalam hukum acara Peradilan Agama (Mukti Arto, 1996: 29).
Adapun tugas hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara
menurut Mukti Arto (1996: 36-37) sebagai berikut:
1.
2.
Konstatiring, yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan
dan dalam duduknya perkara pada putusan Hakim. Konstatiring
adalah meliputi:
a. Memeriksa identitas para pihak.
b. Memeriksa kuasa hukum para pihak (jika ada)
c. Mendamaikan pihak-pihak.
d. Memeriksa syarat-syaratnya sebagai perkara.
e. Memeriksa seluruh fakta/peristiwa yang dikemukakan para
pihak.
f. Memeriksa
syarat-syarat
dan
unsure-unsur
setiap
fakta/peristiwa.
g. Memeriksa alat-alat bukti sesuai tata cara pembuktian.
h. Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak
lawan.
i. Mendengar pendapat/kesimpulan masing-masing pihak.
j. Menerapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku.
Kualifisir, yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam
surat putusan, yang meliputi:
a. Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara.
b. Merumuskan pokok perkara.
c. Mempertimbangkan beban pembuktian.
d. Mempertimbangkan
keabsahan
peristiwa/fakta
sebagai
peristiwa/fakta hukum.
e. Mempertimbangkan secara logis, kronologis dan juridis faktafakta hukum menurut hukum pembuktian.
f. Mempertimbangkan jawaban, keberatan dan sangkalansangkalan serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian.
46
g.
h.
i.
Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa/fakta-fakta
yang terbukti dengan petitum
Mnemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun yang tak
tertulis dengan menyebutkan sumber-sumbernya.
Mempertimbangkan biaya perkara.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
juga mengatur tugas hakim dalam pemeriksaan sengketa perkawinan
yaitu pada Pasal 65 sampai Pasal 88. Adapun tugas hakim tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Memeriksa permohonan cerai setelah berkas atau surat
permohonan didaftarkan di Kepaniteraan (Pasal 68 ayat (1),
Pasal 80).
b.
Mendamaikan para pihak pada sidang pertama pemeriksaan
(Pasal 82). Serta mendamaikan para pihak selama perkara belum
diputuskan.
c.
Membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan
putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak
dapat dimintakan banding atau kasasi (Pasal 71 ayat (2)).
d.
Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri
(Pasal 75).
e.
Memutuskan perkara perceraian.
E. Tinjauan tentang Putusan Pengadilan
1.
Pertimbangan Hakim
Dalam persidangan putusan hakim
yang dijatuhkan harus
berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak
47
memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan sebagai putusan yang tidak
cukup pertimbangan. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar
pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan dalam Pasal 23 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 jo Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan
bahwa segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasardasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundangundangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau
berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin
hukum.
Pertimbangan atau considerans adalah dasar daripada putusan.
Pertimbangan dari putusan merupakan alasan-alasan hakim sebagai
pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa hakim sampai
mengambil keputusan tersebut (obyektif) (Soeroso, 2006: 80).
Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara dalam persidangan,
hakim harus melalui proses menemukan hukum di mana dalam
persidangan hakim memeriksa suatu perkara dan kemudian menemukan
hukum yang sesuai dengan perkaranya sehingga dapat memutus perkara
tersebut. Adapun kegiatan hakim dalam persidangan sebagai berikut.
48
UU
gugatan
Peristiwa
yang
diajukan
dalam
jawaban
tergugat
Penemuan
hukum
Peristiwa
yang
diajukan
dalam
gugatan
penggug
at
Peristiwa
konkrit
yang harus
dibuktikan
Peristiwa
konkrit
dikonstatir
Peristiw
a konkrit
Penerapan
UU pada
peristiwa
hukum
Peristiwa
hukum
gugatan
Putusan
Bagan 1. Proses penemuan hukum dalam Persidangan
Sumber: Sudikno( 2002: 195)
Berdasarkan bagan di atas, dalam proses persidangan pertama
penggugat dalam gugatannya mengajukan peristiwa konkrit yang
menjadi dasar dalam gugatannya dan peristiwa iyulah yang menjadi dasar
hakim dalam memeriksa dan mengadili. Tergugat juga mengemukakan
peristiwa konkrit sebagai jawaban terhadap gugatan kemudian diberikan
kesempatan antara penggugat dan tergugat untuk jawab-menjawab
mengenai gugatan tersebut. Tujuannnya agar hakim dapat memperoleh
kepastian tentang peristiwa konkrit. Dari jawab-menjawab tersebut
hakim akan dapat menyimpulkan peristiwa yang konkrit dan kemudian
mengkonstatir peristiwa tersebut. Mengkonstatir berati menyatakan benar
49
terjadinya suatu peristiwa konkrit yang terlebih dahulu harus dibuktikan.
Tanpa pembuktian hakim tidak dapat mengkonstatir peristiwa tersebut.
Kemudian setelah peristiwa konkrit tersebut dibuktikan dan dikonstatir
maka harus dicarikan hukumnya atau biasa disebut dengan penemuan
hukum (rechtsvinding). Menemukan atau mencari hukumnya tidak hanya
sekedar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada
peristiwa konkrit yang dicarikan hukumnya di mana peristiwa konkrit
harus diarahkan pada undang-undang dan begitu juga sebuliknya, di
mana undang-undang juga harus disesuaikan dengan peristiwa yang
konkrit. Setelah hukumnya ditemukan dan diterapkan pada peristiwa
hukumnya maka hakim harus menjatuhkan putusannya yang harus
memperhatikan 3 faktor yaitu keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
2.
Pengertian Putusan Hakim
Putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang
diucapkan pada sidang pengadilan terbuka untuk umum untuk
menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata (Sri Hartini, 2008: 87).
Menurut Sarwono (2011: 211), yang dimaksud dengan putusan hakim
adalah putusan akhir dari suatu pemeriksaan persidangan di pengadilan
dalam suatu perkara.
Menurut Sudikno (2010: 5) putusan hakim adalah hukum (judgemade-law), di mana putusan hakim juga mempunyai kekuatan yang
mengikat terutama pada para pihak yang berperkara. Hal ini berarti
50
bahwa putusan hakim itu harus dianggap benar sampai dibatalkan oleh
pengadilan yang lebih tinggi. Jadi, putusan hakim dalam perkara
perceraian adalah putusan akhir dari sidang perceraian yang diucapkan
terbuka untuk umum.
3.
Jenis-jenis Putusan Hakim
Berikut adalah jenis-jenis putusan hakim dalam hukum acara perdata:
a. Putusan Declaratoir (pernyataan) adalah putusan yang isinya bersifat
menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
b. Putusan Constitutief (pengaturan) adalah putusan yang meniadakan
atau menciptakan suatu keadaan hukum.
c. Putusan Condemnatoir (menghukum) adalah putusan yang bersifat
menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi
d. Putusan Preparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir
tanpa mempengaruhi pokok perkara atau putusan akhir.
e. Putusan Interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian, misalnya pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat.
f. Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan
insident, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan
biasa.
g. Putusan Provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan
privisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar
sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentigan salah
satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
51
h. Putusan Contadictoir
i. Putusan Verstek atau in Absensia
j. Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau
perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Dalam hukum acara perdata, putusan akhir dalam suatu perkara atau
sengketa dapat berupa:
1) Gugatan dikabulkan
2) Gugatan ditolak
3) Gugatan tidak dapat diterima
4) Tidak berwenang mengadili.
4.
Isi Putusan Hakim
Dalam praktik peradilan hukum acara perdata isi putusan hakim
berdasarkan beberapa pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan,
maka isi putusan hakim umumnya memuat hal-hal yang bersifat
formalitas dan substansial yang antara lain sebagai berikut (Sarwono,
2011: 228):
a.
Formalitas Isi Putusan Hakim
1) Setiap putusan hakim harus selalu dimulai dengan kata-kata
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”
2) Setiap putusan harus memuat tanggal putusan dijatuhkan dan
diucapkan di dalam siding pengadilan
52
3) Setiap putusan pengadilan harus dibacakan dalam sidang
pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum
4) Setiap putusan harus ditandatangani oleh hakim ketua, hakim
anggota, dan panitera.
b.
Substansial Isi Putusan Hakim
1) Identitas para pihak yang berperkara
2) Duduk perkaranya atau peristiwa hukumnya
3) Pertimbangan hukumnya atau considerans
4) Amar putusan atau dictum
Download