BAB II LANDASAN TEORI Perkembangan kompetisi, perubahan jaman, peningkatan biaya, konsumen yang semakin pandai dan terinformasi dengan baik, menjadi setiap tantangan bagi setiap brand yang ada, untuk mempertahankan eksistensinya di dalam industri. Menjadi sebuah tantangan bagi setiap marketer, untuk menciptakan, mengubah,memperbaharui cara-cara baru untuk menarik hati konsumen. Dengan hanya menggunakan penekanan biaya untuk produk yang murah tidaklah cukup untuk memenangkan pasar, pertimbangan konsumen saat ini sangat kritis dikarenakan banyaknya edukasi pasar dari produsen akan produk-produknya, dan banyaknya pilihan yang diberikan dalam persaingan pasar yang semakin berkembang, namun beberapa produsen dapat bertahan walaupun dengan harga yang relatif mahal, ini tidak lepas dari pengaruh Merek yang sudah memiliki brand positioning pada benak konsumen, baik dalam kualitas, nilai guna, gaya hidup dan lainnya. Faktor pemasaran terkadang lebih berpengaruh kepada konsumen untuk membeli suatu produk daripada fungsi dan nilai produk itu sendiri, contoh; banyak sekali motor bebek yang diproduksi dengan kegunaan yang sama dan desain yang nyaris sama, namun para produsen mencoba menarik minat pembeli dengan banyak bermain pada iklan, yang merupakan strategi pemasaran, Menurut Kotler (1994) pemasaran adalah suatu proses sosial dan melalui proses itu individu-individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara menciptakan dan mempertukarkan produk dan nilai dengan individu dan kelompok lain, dan dikatakan pula bahwa Manajemen pemasaran adalah analisis,perencanaan, penerapan dan pengendalian terhadap program yang dirancang untuk menciptakan, membangun, serta mempertahankan pertukaran dan hubungan yang menguntungkan bagi pasar sasaran dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. 2.1 Merek Kata brand (merek) berasal dari kata bahasa Jerman dari abad ke-14, yakni brandr, yang berarti membakar; seperti menandai hewan ternak sebagai bukti kepemilikan. (Keller, K. L., 2003, p3) The American Marketing Association(AMA) mendefinisikan brand sebagai nama, ekspresi, tanda, simbol, atau disain, atau kombinasi dari semuanya, yang digunakan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari satu atau sekelompok penjual dan untuk membedakan mereka dari para pesaingnya. Seperti didalam bukunya Marketing Management Eleventh Edition (Kotler, 2003, p418) Proses pemberian / menambahkan suatu produk barang atau jasa dengan kekuatan dari suatu brand dikenal dengan istilah branding. (Kotler., 2003, p3). 2.1.1 Definisi Merek Merek menurut Tjiptono (2001: p.103-104) merek adalah nama, istilah, tanda, symbol atau lambang, desain, warna yang diharapkan dapat memberikan identitas dan Diferensiasi terhadap produk pesaing. Pada dasarnya merek merupakan suatu janji penjual untuk secara konsisten menyampaikan serangkaian ciri- ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada para pembeli. Merek yang baik juga menyampaikan jaminan tambahan berupa jaminan kualitas. Menurut Durianto, Sugiarto, dan Joko Budiman (2004: p.2) mendefinisikan merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi hal–hal tersebut untuk mengidentifikasi barang atau jasa seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing dan merek merupakan nilai tangible dan intangible yang terwakili dalam sebuah merek dagang (trademark) yang mampu menciptakan nilai dan pengaruh tersendiri di pasar bila dikelola dengan tepat. Berbeda dengan pendapat Susanto dan Wijanarko dalam bukunya yang berjudul Power Branding: Membangun Merek Unggul dan Organisasi Pendukungnya (2004 : p.5) mengatakan merek adalah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan produk atau jasa dan menimbulkan arti psikologis atau asosiasi. Merek bukan hanya apa yang tercetak di dalam produknya atau kemasannya, tetapi termasuk apa yang ada di benak konsumen dan bagaimana konsumen mengasosiasikannya. Menurut Kartajaya (2004:p.11),Marketing Icon of Indonesia,merek merupakan indicator value yang ditawarkan kepada pelanggan, dan atau aset yang menciptakan value bagi pelanggan dengan memperkuat loyalitasnya. American Marketing Association mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa pesaing. (Kotler,2005:p.82) Sedangkan Nicolino, dalam Brand Management: The Complete Ideal’s Guides (2004:p.4) mengatakan bahwa merek adalah entitas yang mudah dikenali dan menjanjikan nilai-nilai tertentu. Menurutnya, sebuah nama, logo, singkatan, desain, atau apa saja, dapat dikatakan sebagai sebuah merek, jika memenuhi empat hal berikut: 1.Dapat dikenali atau diidentifikasi (identifiable): dapat dengan mudah memisahkan satu barang yang serupa dengan yang lainnya melalui beberapa cara, biasanya berupa sepatah kata, warna, atau simbol (logo) yang dapat dilihat secara langsung 2. Memiliki entitas: sesuatu yang mempunyai eksistensi yang khas atau berbeda 3. Janji-janji tertentu (specific promises): sebuah produk atau jasa membuat klaim mengenai apa yang dapat diberikannya 4.Nilai-nilai: apapun yang didapatkan konsumen pasti merupakan sesuatu yang konsumen peduli hingga batas tertentu Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek lebih dari sekedar jaminan kualitas karena didalamnya tercakup enam pengertian berikut ini. (Durianto, Sugiarto, dan Joko Budiman,2004: p.2) 1. Atribut (attributes) produk, seperti halnya kualitas, gengsi, nilai jual kembali, desain, dan lain- lain. Mercedes menyatakan sesuatu yang mahal, produk yang dibuat dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, dan sebagainya 2. Manfaat (benefit) Meskipun suatu merek membawa sejumlah atribut, konsumen sebenarnya membeli manfaat dari produk tersebut. Dalam hal ini atribut merek diperlukan untuk diterjemahkan menjadi manfaat fungsional atau manfaat emosional. Sebagai gambaran, atribut “mahal” cenderung diterjemahkan sebagai manfaat emosional, sehingga orang yang mengendarai Mercedes akan merasa dirinya dianggap penting dan dihargai. 3. Nilai (value). Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Mercedes menyatakan produk yang berkinerja tinggi, aman, bergengsi, dan sebagainya. Dengan demikian produsen Mercedes juga mendapat nilai tinggi di masyarakat. 4. Budaya (culture). Merek juga mencerminkan budaya tertentu. Mercedes mencerminkan budaya Jerman yang terorganisir, konsisten, tingkat keseriusannya tinggi, efisien, dan berkualitas tinggi. 5. Kepribadian.(Personality) Merek juga mencerminkan kepribadian tertentu. Seringkali produk tertentu menggunakan kepribadian orang yang terkenal untuk mendongkrak atau menopang merek produknya. 6. Pemakai.(user) Merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Pemakai Mercedes pada umumnya diasosiasikan dengan orang kaya, kalangan manajer puncak, dan sebagainya Menurut Rangkuti dalam bukunya The Power of Brands (2002:p.2), merek dapat juga dibagi dalam pengertian lainnya, seperti : a. Brand name (nama merek) yang merupakan bagian dari yang dapat diucapkan. Misalnya, Pepsodent, Honda, Nokia dan sebagainya. b.Brand mark (tanda merek) yang merupakan sebagian dari merek yang dapat dikenali namun tidak dapat diucapkan, seperti lambang, desain, huruf atau warna khusus. Misalnya, simbol mobil jaguar dengan gambar jaguar. c.Trade mark (tanda merek dagang) yang merupakan merek atau sebagian dari merek yang dilindungi hukum karena kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu yang istimewa. Tanda dagang ini melindungi penjual dengan hak istimewanya untuk menggunakan nama merek (tanda merek dagang). d.Copyright (hak cipta) yang merupakan hak istimewa yang dilindungi oleh undang – undang untuk memproduksi, menerbitkan, dan menjual karya tulis, karya musik ataukarya seni. 2.1.2 Peranan dan Manfaat Merek Merek memegang peranan sangat penting, salah satunya adalah menjembatani harapan konsumen pada saat perusahaan menjanjikan sesuatu kepada konsumen dengan demikian dapat di ketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tetapi mereka tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama. Adapun beberapa faktor yang menjadikan merek sangat penting, yaitu seperti: (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p2) a. Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi menjadi konsisten dan stabil b. Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya. c. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan makin banyak asosiasi merek ( brand association ) yang terbentuk dalam merek tersebut. Jika asosiasi merek yang terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat, potensi ini akan meningkatkan citra merek. d. Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen. Merek yang kuat akan sangat sanggup merubah perilaku konsumen. e. Merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan ataupun atribut lain yang melekat pada merek tersebut. f. Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan. Keberadaan merek bermanfaat bagi pembeli, perantara, produsen maupun public (Simamora, 2002, p3). 1.Bagi Pembeli. Merek bermanfaat untuk menceritakan mutu dan membantu memberi perhatian terhadap produk-produk baru yang mungkin bermanfaat bagi mereka. 2.Bagi Masyarakat. Merek bermanfaat dalam dua hal. Pertama, pemberian merek memungkinkan mutu produk lebih terjamin dan lebih konsisten. Kedua, meningkatkan efisiensi pembeli karena merek dapat menyediakan infomasi tentang produk dan tempat. 3.Bagi Penjual. Merek bermanfaat dalam empat hal. Pertama, memudahkan penjual mengolah pesanan dan menelusuri masalah-masalah yang timbul. Kedua, memberikan perlindungan hukum atas keistimewaan atau ciri khas produk. Ketiga, memungkinkan untuk menarik sekelompok pembeli yang setia dan menguntungkan. Keempat, membantu penjual melakukan segmentasi pasar. 2.2 Ekuitas Merek (Brand Equity) 2.2.1 Pengertian Ekuitas Merek Ekuitas merek adalah seperangkat asset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa kepada perusahaan maupun kepada pelanggan. Agar aset dan liabilitas mendasari ekuitas merek, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol sehingga jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar ekuitas merek akan berubah pula. (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2001: p.4) Menurut Philip Kotler dalam bukunya Manajemen Pemasaran Edisi Kesebelas Jilid 2 (2005;p.86) mendefinisikan ekuitas merek sebagai efek diferensial positif yang ditimbulkan oleh pengetahuan nama merek terhadap pelanggan atas produk atau jasa tersebut. Ekuitas merek mengakibatkan pelanggan memperlihatkan preferensi terhadap suatu produk dibandingkan dengan yang lain kalau keduanya pada dasarnya identik. Menurut Hana dan Wozniak yang dikutip oleh Simamora (2002, pp.46-47) mengatakan bahwa ekuitas merek adalah nilai tambah yang diberikan merek pada produk. Sepanjang memberikan nilai tambah, maka merek tersebut memiliki ekuitas. Kalau tidak memberikan nilai tambah, apalagi justru mengurangi nilai produk, berarti tidak ada ekuitas merek. Jadi, mereka melihat ekuitas merek sebagai nilai yang positif. Berbeda halnya dengan Srinivasan dan Park yang dikutip oleh Simamora (2002, p.47) membuat konsepsi yang memungkinkan ekuitas merek bernilai negatif, nol, ataupun positif. Menurut mereka, pada produk-produk bermerek terdapat dua jenis nilai. Pertama, nilai objektif, yaitu nilai berdasarkan realitas. Ini merupakan nilai yang tidak terkontaminasi oleh segala hal yang terkait dengan merek. Kedua, nilai total produk dengan merek. Ekuitas merek adalah selisih antara nilai total produk (dengan merek) dikurangi nilai objektifnya. Dengan hubungan demikian, dimungkinkan nilai ekuitas merek yang positif, nol dan negatif. Menurut mereka juga, ekuitas merek dapat dilihat pada ruang lingkup individu, segmen maupun pasar secara total. Pada ruang lingkup individu, di mungkinkan perbedaan ekuitas merek pada individu yang berbeda. Brand Equity is the added value endowed to products and services. This value may be reflected in how consumers think, feel, and act with respect to the brand, as well as the process, market share, and profitability that the brand commands for the firm. Brand Equity is an important intangible asset that has psychological and financial value to the firm. (Kotler,2006:p.258) 2.2.2 Elemen – Elemen ekuitas merek Menurut David A. Aaker (Durianto, Sugiarto, Sitinjak, 2004, p.4) ekuitas merek ( Brand Equity ) dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori, yaitu: 1. Kesadaran Merek ( brand awareness ), menunjukkan kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. 2. Asosiasi Merek (brand association ), mencerminkan pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebritis, dan lain-lain. 3. Persepsi Kualitas ( Perceived Quality ), mencerminkan persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan. Persepsi pelanggan terhadap kualitas memiliki pengaruh yang kuat terhadap keputusan pembelian dan kepuasan (Schiffman dan Kanuk 2000). Olsen (2002) berpendapat bahwa persepsi kualitas dapat digunakan untuk meramalkan perasaan puas atau tidak puas dari pelanggan. 4.Loyalitas Merek ( Brand Loyalty ), mencerminkan tingkat keterikatan konsumen dengan suatu merek produk. 5. Aset-Aset Merek Lainnya ( other proprietary brand assets ) seperti hak paten, rahasia teknologi, rahasia bisnis, akses khusus terhadap pemasok ataupun pasar, dan lain-lain. Empat elemen ekuitas merek (Brand Equity) di luar aset – aset merek lainnya dikenal dengan elemen – elemen utama dari ekuitas merek (Brand Equity) . Elemen Brand Equity yang kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut. Namun pengukuran ekuitas merek dikembangkan lagi oleh David A. Aaker (Durianto, Sugiarto, Budiman, 2004, pp.4-5) menjadi model Brand Equity Ten yang dikelompokkan dalam lima kategori dengan sepuluh elemen sebagai indikator ekuitas merek. Empat kategori yang pertama mewakili persepsi konsumen tentang suatu merek melalui empat dimensi ekuitas merek yaitu, loyalitas merek, persepsi kualitas, asosiasi merek, dan kesadaran merek. Kategori kelima meliputi pengukuran dua jenis perilaku pasar (market behaviour) yang mewakili informasi yang diperoleh berdasarkan pasar, dan bukan langsung dari konsumen. Kategori Awareness Measures 1.Kesadaran Merek (Brand Awareness) KategoriAssociation Measures 2.Persepsi Nilai (Perceived Value) 3.Kepribadian Merek (Brand personality) 4.Asosiasi Organisasi (Organizational Brand) KategoriPerceived Quality / Leadership Measures 5.Persepsi Kualitas (Perceived Quality) 6.Kepemimpinan / Popularitas (Leadership / Popularity) KategoriLoyalty Measures 7.Harga Optimum (Price Premium) 8.Kepuasan / Loyalitas (Satisfaction / Loyalty) KategoriMarket Behaviour Measures 9.Pangsa Pasar (Market Share) 10.Harga Pasar (Market Price) dan Jangkauan Distribusi (Distribution Coverage) 2.2.3 Peranan dan Manfaat Ekuitas Merek Brand Equity merupakan aset yang dapat memberikan nilai tersendiri dimata pelanggannya. Aset yang dikandungnya dapat membantu pelanggan menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut. Brand Equity dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam pengunaan atau kedekatan, asosiasi dengan berbagai karakteristik merek. Dalam kenyataannya, Perceived Quality dan brand association dapat mempertinggi tingkat kepuasan konsumen. Di samping memberi nilai bagi konsumen, Brand Equity juga memberikan nilai bagi perusahaan dalam bentuk: (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001) 1. Brand Equity yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan program dalam memikat konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama. Promosi yang dilakukan akan lebih efektif jika merek dikenal. Brand Equity yang kuat dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek, 2. Empat dimensi Brand Equity, brand awareness, Perceived Quality, asosiasiasosiasi, dan asset merek lainnya dapat mempengaruhi alasan pembelian konsumen. Bahkan seandainya brand awareness, Perceived Quality, asosiasiasosiasi tidak begitu penting dalam proses pemilihan merek, ketiganya tetap dapat mengurangi keinginan atau rangsangan konsumen untuk mencoba merek-merek lain. 3. Brand Loyalty yang telah diperkuat merupakan hal penting dalam merespon inovasi yang dilakukan para pesaing. Brand Loyalty adalah salah satu kategori Brand Equity yang dipengaruhi oleh kategori Brand Equity lainnya. Kategorikategori Brand Equity lainnya juga berhubungan satu sama lain. Perceived Quality dapat dipengaruhi oleh brand awareness. Nama merek dapat memberikan kesan bahwa produk dibuat dengan baik (Perceived Quality), diyakinkan oleh asosiasi dan loyalitas (seorang konsumen yang loyal tidak akan menyukai produk yang kualitasnya rendah). 4. Brand association juga sangat penting sebagai dasar strategi positioning maupun strategi perluasan produk. Suatu analisis terhadap portofolio merek sangat diperlukan untuk mengetahui efektivitas dari perluasan merek yang telah dilakukan. 5. Salah satu cara memperkuat Brand Equity adalah dengan melakukan promosi besar-besaran yang membutuhkan biaya besar. Brand Equity yang kuat memungkinkan perusahaan memperoleh margin yang lebih tinggi dengan merepakan premium price (harga premium), dan mengurangi ketergantungan pada promosi sehingga diperoleh laba yang lebih tinggi. 6. Brand Equity yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan dan perluasan merek kepada produk lainnya atau menciptakan bidang bisnis baru yang terkait yang biayanya akan jauh lebih mahal untuk dimasuki tanpa merek yang memiliki Brand Equity tersebut. 7. Brand Equity yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu menciptakan loyalitas saluran distribusi. Toko, supermarket, dan tempat-tempat penjualan lainnya tidak akan ragu-ragu untuk menerima suatu produk dengan Brand Equity yang kuat dan sudah terkenal untuk dijual kepada konsumen. Produk dengan Brand Equity yang kuat akan dicari oleh pedagang karena mereka yakin bahwa produk dengan merek tersebut akan memberikan keuntungan bagi mereka. Dengan Brand Equity yang kuat, saluran distribusi dapat berkembang sehingga semakin banyak tempat penjualan yang pada akhirnya akan memperbesar volume penjualan produk tersebut. 8. Aset-aset Brand Equity lainnya dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing. Biasanya, bila dimensi utama dari Brand Equity yaitu brand awareness, brand association, Perceived Quality, dan Brand Loyalty sudah sangat kuat, secara otomatis aset Brand Equity lainnya juga akan kuat. Sebagai contoh kesetiaan perantara maupun pemasar (dealer, grosir, dll) sangat tergantung pada kekuatan empat elemen utama dari Brand Equity. Pada umumnya, mereka tidak ragu lagi terhadap perusahaan yang memiliki Brand Equity kuat, sehingga kepercayaan untuk memasarkan produknya semakin meningkat. Oleh karenanya penekanan riset Brand Equity diberikan pada keempat elemen utama dari Brand Equity, sedangkan aset Brand Equity lainnya akan secara otomatis terimbas oleh kekuatan dari keempat elemen utama tersebut. Berdasarkan paparan yang dikemukakan diatas, disadari bahwa Brand Equity menempati posisi yang demikian penting bagi tercapainya tujuan perusahaan. Dengan demikian, perusahaan yang ingin tetap bertahan, dan melangkah lebih maju untuk memenangkan persaingan, sangat perlu mengetahui kondisi Brand Equity produknya melalui riset terhadap elemen-elemen Brand Equity. 2.2.4 CBBE (Customer Based Brand Equity) Menurut Keller, K. L. (Keller,K.L.,2003, p70) Model CBBE dibentuk untuk menjadi komprehensif, kohesif (terpadu), sistematis, up to date dan berorientasi aksi. Landasan dasar dari model ini ialah bahwa kekuatan dari suatu brand terletak pada apa yang telah dipelajari oleh konsumen, rasakan, lihat dan dengar mengenai brand tersebut selama ini. Kekuatan dari suatu brand ialah apa yang tersirat/tertinggal pada pikiran konsumen. Metode CBBE merupakan penyempurnaan dari model sebelumnya yaitu model AAKER. Dalam membangun brand yang kuat, menurut model CBBE, dapat digambarkan sebagai rangkaian dari beberapa langkah. Langkah pertama ialah untuk memastikan identifikasi dari sebuah brand oleh konsumen dan asosiasi terhadap sebuah brand dimata konsumen terhadap suatu produk brand atau terhadap kebutuhan konsumen. Langkah kedua ialah dengan konsisten membuat konsumen sadar(share of mind) akan arti brand tersebut. Langkah ketiga ialah untuk mendapatkan atau menciptakan respon dari konsumen terhadap brand identity dan brand meaning. Langkah terakhir ialah untuk mengubah respon terhadap brand untuk menciptakan intensitas, loyalitas hubungan antara konsumen dan brand. 2.2.4.1. Brand Identity Untuk dapat membangun brand identity yang benar sebelumnya dibutuhkan pembuatan brand salience terhadap konsumen. Brand salience berhubungan dengan aspek brand awareness. Brand salience diartikan menjadi semudah apa konsumen dapat mendefinisikan brand tersebut dalamberbagai kondisi dan keadaan. Membangun brand awareness berartimeyakinkan konsumen akan sebuah brand dari kategorinya dimana terdapatkompetisi dan menciptakan identitas terhadap suatu produk dibawah brand tersebut. 2.2.4.2. Brand Meaning Untuk dapat memberikan arti(meaning) terhadap suatu brand,sangatlah penting untuk menciptakan image terhadap brand (Brand Image)dan menciptakan simbol atau karakteristik brand tersebut dan posisi manfaatbrand tersebut di pikiran konsumen. Meskipun sangatlah mungkin suatu brandmemiliki banyak asosiasi, brand meaning dapat dibedakan oleh sesuatu yangbersifat fungsional, performa produk. Asosiasi brand (Brand association) dapat dibentuk langsung dari pengalaman konsumen ataupun kontak dengansebuah brand melalui iklan atau sumber lain seperti word of mouth, dansebagainya. 2.2.4.3 Performa (performance). Produk merupakan bagian terpenting dari brand equity. Produkmerupakan bagian terpenting yang dapat mempengaruhi pengalamankonsumen, apa yang mereka dengar, dan tentang apa yang diberitahuprodusen terhadap brand dari produk tersebut. Brand performance merupakan metode dimana produk atau jasa dapatmemenuhi kebutukan konsumen secara fungsional. Terdapat 5 keuntungan dalam pemenuhan brand performance, yaitu : 1. Karakteristik pokok dan fitur tambahan Konsumen dapat menyadari akan level dimana karakteristik utamadari produt tersebut beroperasi(rendah, medium, tinggi,sangat tinggi) 2. Reliabilitas, durabilitas dari produk dan layanannya. Reliabilitas dapat diartikan sebagai konsistensi terhadap performancedariwaktu ke waktu selama pembelian-pembelian. 3. Efektifitas, efisiensi dan empati. Konsumen memiliki asosiasi terhadap performance berdasarkanlayanan yang mereka dapatkan dari sebuah brand. Efektifitas dari servisberdasarkan pada sebesar apa sebuah brand memenuhi kebutuhankonsumen akan pelayanan sesuai dengan ekspektasinya. Efisiensi servisialah mengenai bagaimana serivis itu diberikan secara cepat dan tanggungjawab. 4. Ciri khas dan desain. Konsumen dapat memiliki asosiasi terhadap suatu produk diluar darifungsi produk tersebut kearah aspek estetik seperti ukuran, bentuk,material, dan warna. Performance juga dipengaruhi oleh aspek-aspek visualseperti bentuk produk, kemasan, perasaan, bunyi ataupun bau. 5. Harga Peraturan harga terhadap brand dapat menciptakan asosiasi dimatakonsumen dengan harga harga yang relevan di kategori produknya(low,medium,premium)Brand performance tidak hanya sekedar komposisi yang membangunproduk atau jasa yang mencakup aspek dari brand.Beberapa perbedaan darikomposisi juga dapat mendiferensiasikan brand yang satu dengan yang lain. 2.2.4.4. Imagery Brand meaning juga meliputi Brand Imagery. Brand Imageryberhubungan dengan faktor-faktor ekstrinsik dari produk atau jasa,termasuk bagaimana sebuah brand berperilaku menghadapi konsumen, lebibersifat psikologis, dan kebutuhan sosial. Empat kategori dari Brand Imagery ialah : 1. Profil pemakai (User profiles) 2. Pembelian dan situasi pemakaian (Purchase and usage situation) 3. Sifat dan nilai (Personality and values) 4. Sejarah, keturunan, dan pengalaman( History, heritage, and experience) 2. 2.4.5 Respon terhadap brand (Brand Response) Untuk mengimplementasikan model CBBE, perusahaan harusmemikirkan bagaimana konsumen menghormati sebuah brand. Responterhadap brand dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu penilaian terhadapbrand(Brand judgement) dan perasaan terhadap brand(Brand feeling). 2.2.4.6 Penilaian (Judgement) Penilain terhadap brand difokuskan kepada pendapat konsumen terhadapbagaimana mereka memposisikan performance dan imagery.Berikut ialahempat tipe kesimpulan dari penilaian : o Kualitas (Quality) o Kredibilitas (Credibility) o Pertimbangan (Consideration) o Superioritas(Superiority) 2.2.4.7. Perasaan (Feelings) Brand feeling ialah respon emosional dari pelanggan dan reaksi atas penghargaan terhadap suatu brand. Berikut ini ialah enam tipe utama dalam membangun brand feeling : o Hangat (Warmth) o Senang(Fun) o Ketertarikan(Exitement) o Keamanan(Security) o Dihargai(Social approval) o Menghormati diri sendiri (Self respect) 2.3 Brand Perceived Quality Brand Perceived Quality (Persepsi Kualitas Merek) yang dimaksud dalam pembahasan berikut adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas suatu merek produk. Perceived Quality ini akan membentuk persepsi kualitas dari suatu produk di mata pelanggan. Persepsi terhadap kualitas keseluruhan dari suatu produk atau jasa dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan berpengaruh secara langsung kepada keputusan pembelian konsumen dan loyalitas mereka terhadap merek. Perceived Quality yang positif akan mendorong keputusan pembelian dan menciptakan loyalitas terhadap produk tersebut. Karena Perceived Quality merupakan persepsi konsumen maka dapat diramalkan jika Perceived Quality pelanggan negatif, produk tidak akan disukai dan tidak akan bertahan lama di pasar. Sebaliknya, jika Perceived Quality pelanggan positif, produk akan disukai. 2.3.1 Pengertian Perceived Quality Perceived Quality dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001). Karena Perceived Quality merupakan persepsi dari pelanggan, maka pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan (yang diukur secara relatif) yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa. Maka dapat dikatakan bahwa membahas Perceived Quality berarti akan membahas keterlibatan dan kepentingan pelanggan. Sebagai ilustrasi misalkan kita ambil produk telepon genggam (HP). Di pasar terdapat beberapa merek seperti Nokia, Motorola, Siemen dengan berbagai tipe. Setiap merek mempunyai bagian-bagian tambahan atau atribut dan kelebihan masing- masing ( feature ). Pembahasan Perceived Quality pelanggan terhadap produk ini akan melibatkan pembahasan mengenai kepentingan setiap pelanggan terhadap produk dan atau atribut yang dimiliki produk (kepentingan setiap pelanggan berbeda). Perceived quality juga berlaku untuk jasa layanan yang melibatkan dimensi kualitas jasa seperti waktu tunggu, saat check out, keramahan petugas, kenyamanan ruangan, dan lainnya. Mengingat kepentingan dan keterlibatan pelanggan berbedabeda,Perceived Quality perlu dinilai berdasarkan sekumpulan kriteria yang berbeda.Perceived Quality yang tinggi bukan berarti harapan pelanggan rendah (pelanggan merasakan kepuasan yang tinggi jika harapannya jauh lebih rendah dari kinerja atau kenyataan).Perceived Quality mencerminkan perasaan pelanggan secara menyeluruh mengenai suatu merek. Untuk memahami Perceived Quality suatu merek diperlukan pengukuran terhadap dimensi yang terkait dengan karakteristik produk. 2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Perceived Quality Berangkat dari kesadaran bahwa Perceived Quality perlu dikelola dan dipahami untuk kepentingan perusahaan, pihak manajemen perusahaan perlu mempelajari dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Perceived Quality, mengapa pelanggan percaya bahwa beberapa merek mempunyai Perceived Quality yang tinggi atau rendah, bagaimana membangun suatu Perceived Quality yang positif dan kuat, faktor apa saja yang digunakan pelanggan dalam menilai kualitas secara keseluruhan, dan sebagainya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan tergantung kepada dimensi Perceived Quality dan konteksnya. Sebagai contoh, dimensi yang terkait dengan sepeda motor adalah kualitas mesin, daya tahan mesin, kualitas suku cadang, keandalan layanan reparasi atau pelayanan/service, dan harga suku cadang, serta ketersediaan suku cadang. Untuk mempelajari dimensi-dimensi tersebut biasanya dilakukan riset dan pelanggan akan ditanya mengapa dimensi suatu merek mempunyai kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan merek lainnya. 2.3.3 Dimensi Perceived Quality Mengacu kepada pendapat Garvin (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001), dimensi Perceived Quality dibagi menjadi tujuh, yaitu: - Kinerja Melibatkan berbagai karakteristik operasional utama, misalnya karakteristik operasional mobil adalah kecepatan, akselerasi, sistem kemudi, serta kenyamanan. Karena faktor kepentingan pelanggan berbeda satu sama lain, seringkali pelanggan mempunyai sikap yang berbeda dalam menilai atribut-atribut kinerja ini. Kecepatan akan diberi nilai tinggi oleh sebagian pelanggan, namun dianggap tidak relevan atau dinilai rendah oleh sebagian pelanggan lain yang lebih mementingkan atribut kenyamanan. - Pelayanan Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut. Misalnya mobil merek tertentu menyediakan pelayanan kerusakan atau service mobil 24 jam di seluruh dunia. - Ketahanan Mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut. Missal mobil merek tertentu yang memposisikan dirinya sebagai mobil tahan lama walau telah berumur 12 tahun tetapi masuh berfungsi dengan baik. - Keandalan Konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suaru produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya. - Karakteristik produk Bagian-bagian tambahan dari produk (feature), seperti remote control sebuah video, tape deck, sistem WAP untuk telepon genggam. Penambahan ini biasanya digunakan sebagai pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama. Bagian-bagian tambahan ini memberi penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan pelanggannya yang dinamai seusai perkembangan. - Kesesuaian dengan spesifikasi Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufaktur (tidak ada cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji. Misalnya sebuah mobil pada kelas tertentu dengan spesifikasi yang telah ditentukan seperti jenis dan kekuatan mesin, pintu, material unutk pintu mobil, ban, sistem pengapian dan lainnya. - Hasil Mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi sebelumnya, jika perusahaan tidak dapar menghasilkan ‘hasil akhir’ produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan mempunyai atribut kualitas lain yang penting. Berikut adalah beberapa contoh pertanyaan untuk mengukur 7 dimensi Perceived Quality: (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001) 1. Kinerja: Merek motor tersebut memiliki daya tahan yang baik? 2. Pelayanan : Ketika ada gangguan motor yang baru dibeli, adakah respon yang baik dari service center? 4. Keandalan : Merek motor tersebut memiliki teknologi yang canggih? 5. Karakteristik produk : Memiliki kesan irit bahan bakar? 6. Kesesuaian dengan spesifikasi : kualitas motor tersebut sesuai dengan yang iklan janjikan? 7. Hasil : semua produk merek motor tersebut nyaman digunakan? 2.4 Brand Image Menurut Keller, K. L. (Keller,K.L.,2003, p70), sebuah Brand Image yang positif dibuat oleh program pemasaran yang menghubungkan suatu asosiasi brand yang kuat, disukai dan unik di dalam benak konsumen. Definisi dari customer-based brand equity tidak membedakan antara sumber dari brand associaton dan cara / pola mereka terbentuk; semuanya penting dalam menciptakan kekuatan, kebaikan dan keunikan dari brand association tersebut. Aktivis pemasaran harus mengenali pengaruh dari sumbersumber informasi lain dengan mengatur sebaik mungkin dan mempertimbangkannya dalam merancang strategi komunikasi mereka. 2.5 Brand Loyalty Brand Loyalty (loyalitas merek) merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001). Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek atau produk yang lain, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga maupun atribut lainnya. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke kerek lain, apa pun yang terjadi dengan merek tersebut. Bila loyalitas pelanggan terhadap suatu merek meningkat, kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek produk pesaing dapat dikurangi. Dengan demikian, Brand Loyalty merupakan salah satu indikator inti dari Brand Equity yang jelas terkait dengan peluang penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa mendatang. Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut walaupun dihadapkan pada banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dipandang dari berbagai sudut atributnya. Bila banyak pelanggan dari suatu merek masuk dalam kategori ini berarti merek tersebut memiliki Brand Equity yang kuat. Sebaliknya, pelanggan yang tidak loyal kepada suatu merek, pada saat mereka melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak didasarkan karena ketertarikan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada karakteristik produk, harga dan kenyamanan pemakaiannya ataupun berbagai atribut lain yang ditawarkan oleh merek produk altenatif. Bila sebagian besar pelanggan dari suatu merek termasuk dalam kategori ini, berarti kemungkinan ekuitas merek tersebut adalah lemah. 2.5.1 Fungsi Brand Loyalty Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, Brand Loyalty dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat diberikan oleh Brand Loyalty kepada perusahaan: (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001) 1. Reduced marketing cost (mengurangi biaya pemasaran) Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih murah mempertahankan pelanggan dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan pelanggan baru. Jadi, biaya pemasaran akan mengecil jika Brand Loyalty meningkat. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah. 2. Trade leverage (meningkatkan perdagangan) Loyalitas yang kuat terhadap sautu merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini. 3. Attracting new customer (menarik minat pelanggan baru) Dengan banyaknya pelanggan suatu merek yang merasa puas dan suka pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon pelanggan untuk mengkonsumsikan merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka lakukan mengandung risiko tinggi. Di samping itu, pelanggan yang puas umumnya akan merekomendasikan merek tersebut kepada orang yang dekat dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru. 4. Provide time to respond to competitive threats (memberi waktu untuk meresponsancaman persaingan) Brand Loyalty akan memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk merespons gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersebut untuk memperbaharui produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisasikannya. 2.5.2 Tingkatan Brand Loyalty Dalam kaitannya dengan Brand Loyalty suatu produk, didapati adanya beberapa tingkatan Brand Loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan Brand Loyalty tersebut adalah sebagai berikut: (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001) 1. Switcher (berpindah-pindah) Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang berada pada tingkat paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apa pun yang mereka anggap memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah. 2. Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan) Pembeli yang berada dalam tingkatan loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli merek produk yang lain atau berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli sautu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini. 3. Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau risiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal) 4. Like the brand (menyukai merek) Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh Perceived Quality yang tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik. 5. Comitted buyer (pembeli yang komit) Pada tahapan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain. Tiap tingkatan Brand Loyalty mewakili tantangan pemasaran yang berbeda dan juga mewakili tipe asset yang berbeda dalam pengelolaan dan eksploitasinya. Tampilan piramida Brand Loyalty yang umum adalah sebagai berikut: commited buyer liking thebrand satisfied buyer habitual buyer switcher Gambar 2.1 Piramida Brand Loyalty Bagi Merek yang Belum Memiliki Brand Equity yang Kuat Sumber : Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2001) Dari piramida loyalitas tersebut terlihat bahwa bagi merek yang belum memiliki Brand Equity yang kuat, porsi terbesar dari konsumsinya berada pada tingkatan switcher. Selanjutnya, porsi terbesar kedua ditempati oleh konsumen yang berada pada taraf habitual buyer, dan seterusnya hingga porsi terkecil ditempati oleh committed buyer. Meskipun demikian bagi merek yang memiliki Brand Equity yang kuat, tingkatan dalam Brand Loyalty-nya diharapkan membentuk segitiga terbalik. Maksudnya makin ke atas makin melebar sehingga diperoleh jumlah committed buyer yang lebih besar daripada switcher seperti tampak pada gambar berikut: commited buyer liking thebrand satisfied buyer habitual buyer switcher Gambar 2.2 Piramida Brand Loyalty Bagi Merek yang Memiliki Brand Equity yang Kuat Sumber : Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2001) 2.5.3. Pengukuran Brand Loyalty Berikut ini adalah tahap-tahap pengukuran Brand Loyalty: (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001) 1. Behavior measures (pengukuran perilaku) Suatu cara langsung untuk menetapkan loyalitas, terutama untuk habitual buyer (perilaku kebiasaan) adalah dengan memperhitungkan pola pembelian yang actual. Berikut disajikan beberapa ukuran yang dapat digunakan: a. Repurcahes rates (tingkat pembelian ulang), yaitu tingkat persentase pelanggan yang membeli merek yang sama pada kesempatan membeli jenis produk tersebut. b. Percent of purchases (persentase pembelian), yaitu tingkat persentase pelanggan untuk setiap merek yang dibeli dari beberapa pembelian terakhir. c. Number of brands purchase (jumlah merek yang dibeli), yaitu tingkat persentase pelanggan dari suatu produk untuk hanya membeli satu merek, dua merek, tiga merek, dan seterusnya. Loyalitas pelanggan sangat bervariasi di antara beberapa kelas produk, tergantung pada jumlah merek yang bersaing dan karateristik produk tersebut. Data mengenai perilaku walaupun obyektif tetap saja memiliki kertebatasan dalam kaitannya dengan kompleksitas ataupun biaya perolehannya. 2. Pengukuran switching cost Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindikasikan loyalitas pelanggan terhadap suatu merek. Pada umumnya jika biaya untuk berganti merek sangat mahal, pelanggan akan enggan untuk berganti merek sehingga laju penyusutan dari kelompok pelanggan dari waktu ke waktu akan rendah. 3. Measuring satisfaction (pengukuran kepuasan) Pengukuran terhadap kepuasan maupun ketidakpuasan pelanggan suatu merek merupakan indikator penting dari Brand Loyalty. Bila ketidakpuasan pelanggan terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya tidak tidak cukup alasan bagi pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali bila ada faktor-faktor penarik yang sangat kuat. Dengan demikian, sangat perlu bagi perusahaan untuk mengeksplor informasi dari pelanggan yang memindahkan pembeliannya ke merek lain dalam kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan ataupun alasan yang terkait dengan ketergesaan mereka memindahkan pilihannya. 4. Measuring liking the brand (pengukuran kesukaan terhadap merek) Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan-perasaan hormat atau bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan pelanggan. Akan sangat sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan yang sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini. Pelanggan dapat saja sekadar suka pada suatu merek dengan alasan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi dan kepercayaan mereka yang terkait dengan atribut merek. Ukuran dari rasa suka tersebut dapat dicerminkan dengan kemauan untuk membayar harga yang lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut. 5. Pengukuran komitmen Merek dengan Brand Equity yang tinggi akan memiliki sejumlah besar pelanggan yang setia dengan segala bentuk komitmennya. Salah satu indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan produk tersebut. Kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan mendorong mereka untuk membicarakan merek tersebut kepada pihak lain, baik dalam taraf sekadar menceritakan mengenai alasan pembelian mereka terhadap merek tersebut atau bahkan tiba pada taraf merekomendasikannya kepada orang lain untuk mengkonsumsikan merek tersebut. Indikator lain adalah sejauh mana tingkat kepentingan merek tersebut bagi seseorang berkenaan dnegan aktivitas dan kepribadian mereka, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam kaitannya dengan penggunaannya. 2.5.4 Metode Servqual Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan atas jasa yang diterimanya adalah metode SERVQUAL. Metode ini termasuk salah satu cara dimana responden diminta untuk menilai tingkat harapan mereka terhadap atribut tertentu dan juga tingkat yang mereka rasakan. Metode yang dikembangkan oleh Zeithaml (1990) ini, khusus digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan atas jasa yang diberikan. Metode ini menggunakan user based-approach (melakukan pendekatan), yang mengukur kualitas jasa secara kuantitatif dalam bentuk kuesioner dan mengandung dimensi-dimensi kualitas jasa seperti Tangibles, Responsiveness, Realibility, Assurance, dan Empathy. Instrumen ini awalnya dibangun oleh para peneliti di bidang pemasaran untuk mengukur kualitas pelayanan secara umum, karena pada saat itu kualitas pelayanan menjadi salah satu fokus yang sering dibahas dalam pemasaran. Instrumen ini diperkenalkan oleh Zeithaml, Parasuraman & Berry dalam buku mereka yang berjudul Delivering Quality Service; Balancing Customer Perceptions and Expectations, Free Press, 1990. Terdapat lima dimensi yang menjadi acuan pengukuran yang dilakukan costumer terhadap pelayanan yaitu : 1. Tangibles : aspek yang terlihat secara fisik misal peralatan dan personel petugas. 2. Reliability: kemampuan untuk memiliki performa yang bisa diandalan dan akurat. 3. Responsiveness : kemauan untuk merespon keinginan atau kebutuhan akan bantuan dari pelanggan.serta pelayanan yang cepat. 4. Assurance : kemampuan para personel untuk menimbulkan rasa percaya dan aman kepada pelanggan. 5. Empathy : kemauan personel untuk peduli dan memperhatikan para setiap pelanggan . Ke lima variabel ini akan dibahas pada bab 4, untuk pengukuran validitas, reliabilitas, dan hubungan regresinya dengan variabel lain.