BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Evaluasi Implementasi
2.1.1
Pengertian Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu penilaian secara sistematis untuk menentukan atau
menilai kegunaan dan keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu dari
suatu program. Hal yang paling penting dalam melakukan suatu evaluasi adalah harus
memiliki tujuan evaluasi yang jelas. Evaluasi dirancang untuk memberikan nilai pada
suatu intervensi dengan mengumpulkan informasi yang valid dan reliable terhadap
intervensi tersebut yang dilakukan secara sistematis (Ovretveit, 1998). Evaluasi
terhadap suatu intervensi yang diberikan baru dapat dilakukan jika suatu intervensi
tersebut telah berjalan dalam cukup waktu. Untuk melakukan evaluasi terhadap
kebijakan yang baru diambil dapat dilakukan dalam waktu yang cukup lama untuk
mengetahui outcome atau dampak yang ditimbulkan. Semakin strategis dan semakin
terstrukturnya suatu kebijakan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengetahui outcome atau dampak dari kebijakan tersebut. Namun jika ingin
mengetahui bagaimana proses dan pelaksanaan dari suatu kebijakan yang sifatnya
lebih teknis maka dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, misalnya 2 tahun
setelah kebijakan tersebut diimplementasikan (Ervina, 2008).
8
9
2.1.2
Tujuan Evaluasi
Tujuan dari evaluasi menurut Ervina (2008) adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan.
Dengan melakukan evaluasi dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan
sasaran dari kebijakan
2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan
Dengan melakukan evaluasi dapat diketahui keefektifan suatu kebijakan
yang dilihat biaya, sumber daya dan manfaat dari suatu kebijakan
3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan
Evaluasi digunakan untuk mengukur seberapa besar dan kualitas keluaran
dari suatu kebijakan
4. Mengukur dampak suatu kebijakan
Evaluasi dapat digunakan untuk menilai dampak dari implementasi
kebijakan yang dapat berdampak positif maupun negatif
5. Untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi
Evaluasi dapat digunakan untuk mengukur penyimpangan yang mungkin
terjadi dengan membandingkan tujuan dan sasaran dengan target yang
dicapai
6. Untuk bahan masukan dalam kebijakan selanjutnya
Tujuan akhir dari suatu evaluasi adalah untuk memberikan masukan dalam
perumusan kebijakan berikutnya. Namun tujuan akhir yang merupakan tujuan yang
utama dari evaluasi adalah untuk pengambilan keputusan. Keputusan tersebut akan
berguna dalam perumusan kebijakan selanjutnya dan juga dapat digunakan untuk
menentukan keefektifan kebijakan sebelumnya.
10
2.1.3
Metode Evaluasi
Beberapa ahli menyebutkan berbagai macam metode dalam melakukan
evaluasi. Menurut Azwar (2010) dan Notoatmodjo (2011) evaluasi dapat dibedakan
menjadi empat kelompok yaitu :
1. Evaluasi terhadap input, evaluasi yang menyangkut pemanfaatan berbagai
sumber daya yang mencakup sumber daya manusia, sumber dana ataupun
sarana.
2. Evaluasi terhadap proses, evaluasi yang menitikberatkan pada pelaksanaan
program apakah sudah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak
3. Evaluasi terhadap output, evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari suatu
program. Penilaian tersebut bertujuan untuk mengetahui capaian program
apakah sudah sesuai dengan target atau kriteria yang ditetapkan
4. Evaluasi terhadap dampak, evaluasi terhadap dampak dari suatu program
yang mencakup pengaruh yang ditimbulkan atau intervensi yang diberikan
terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat
2.1.4
Implementasi Kebijakan
Implementasi suatu kebijakan sangatlah berhubungan dengan perencanaan
kebijakan. Keberhasilan dari implementasi suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh
bagaimana sebuah desain kebijakan mampu merumuskan secara komperehensif aspek
pelaksanaan sekaligus metode evaluasi yang akan dilaksanakan. Implementasi
kebijakan merupakan intervensi yang diberikan pada suatu kebijakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Mazmanian & Sabatier.1986). Setelah proses
implementasi kebijakan berjalan diharapkan akan muncul suatu keluaran (output)
hingga dampak akhir (impact). Dalam perjalanannya tidak semua kebijakan dapat
diimplementasikan dengan baik untuk mencapai tujuannya karena dalam proses
11
implementasi tidak bisa dilakukan dengan sempurna seperti dalam proses perumusan
kebijakan.
Banyak kebijakan yang tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna, artinya
terdapat beberapa kegiatan yang gagal dalam proses implementasinya. Kegagalan
dalam implementasi kegiatan disebabkan oleh dua hal utama yaitu kebijakan yang
tidak terlaksana atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dan kebijakan yang
mengalami kegagalan saat dilaksanakan. Dalam implementasi suatu kebijakan dikenal
dengan berbagai model implementasi kebijakan. Menurut Buse (2012) dalam bukunya
yang berjudul Making Health Policy menyebutkan ada dua model teori implementasi
kebijakan, yaitu :
1. Teori Implementasi Top-Down
Merupakan suatu teori yang mengedepankan pembagian yang jelas antara
formulasi kebijakan dan implementasi, proses implementasi yang rasional
dan linier dimana tingkat – tingkat di bawahnya melaksanakan praktek
berdasarkan apa yang diarahkan oleh pihak yang tingkatnya lebih tinggi
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Teori Implementasi Bottom-Up
Merupakan teori yang mengakui dimana tingkatan di bawah yang lebih
rendah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam proses
implementasi, termasuk memiliki berbagai keleluasaan untuk merubah
kebijakan dalam sistem, dengan demikian dapat mencapai tujuan
kebijakan sesuai dengan yang dikehendaki atau yang tidak dibayangkan
oleh pihak di atas.
12
2.1.5
Evaluasi Implementasi
Dalam siklus kebijakan terdapat berbagai proses dalam menunjang tercapainya
tujuan dari kebijakan tersebut. Proses dalam siklus tersebut dimulai dari perumusan
kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kegiatan (Buse, 2012). Implementasi
dan evaluasi merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan. Implementasi merupakan
intervensi yang diberikan dalam suatu kebijakan sedangkan evaluasi merupakan
proses untuk melakukan penilaian terhadap intervensi yang diberikan. Dalam
melakukan evaluasi implementasi, proses evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif merupakan evaluasi yang
dirancang untuk memberikan kontribusi langsung bagi pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab program sehingga membentuk wajah program yang baik dalam
perumusan sampai implementasinya. Evaluasi sumatif dirancang untuk memberikan
ruang dalam proses pengambilan keputusan, dimana berfokus kepada dampak yang
ditimbulkan dari capaian program yang telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
2.2
Pengadaan Obat
2.2.1
Pengertian Obat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia obat memiliki pengertian sebagai
bahan
yang
digunakan
untuk
mengurangi,
menghilangkan
penyakit
atau
menyembuhkan seseorang dari penyakit. Secara garis besar pengertian obat tersebut
hanya penjelasan yang spesifik mengenai obat yaitu hanya berfungsi dalam proses
penyembuhan penyakit. Namun sebenarnya obat dapat digunakan untuk mencegah
penyakit, meningkatkan kekebalan tubuh dan juga dapat digunakan untuk
mendiagnosa suatu penyakit (Bahfen, 2006).
13
Pengertian obat jika dilihat dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu
dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) adalah bahan atau campuran bahan yang dibuat,
ditawarkan atau disajikan untuk digunakan dalam proses pengobatan, pencegahan,
pemulihan, atau diagnosa. Obat juga memiliki berbagai istilah dalam penggunaannya,
antara lain :
1. Obat
jadi, adalah obat dalam keadaan murni atau campuran dalam
berbagai bentuk obat yang mempunyai nama teknis sesuai dengan
Farmako Indonesia
2. Obat paten, merupakan obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas
nama si pembuat atau yang dikuasakan dan dijual dalam bentuk bungkus
asli dari pabrik yang memproduksinya
3. Obat baru, adalah obat yang terdiri atau berisi suatu zat baik sebagai
bagian yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat misalnya lapisan,
pengisi, pelarut atau komponen lain yang tidak dikenal sehingga belum
dikenal
4. Obat esensial, adalah obat yang paling dibutuhkan untuk pelaksanaan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang meliputi diagnose, profilaksis
terapi dan rehabilitasi
5. Obat generik, merupakan obat esensial yang tercantum dalam Daftar Obat
Esensial Nasional (DOEN) dan mutunya terjamin karena diproduksi
dengan CPOB dan diuji ulang oleh BPOM.
2.2.2
Pengadaan Obat
Pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah proses untuk
menyediakan kebutuhan obat di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat publik
14
dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/ Kota sesuai dengan ketentuan – ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan
Barang dan Jasa Instansi Pemerintah. Dalam melakukan pengadaan obat perlu
memperhatikan beberapa kriteria diantaranya kriteria obat publik dan perbekalan
kesehatan, persyaratan pemasok, penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat,
penerimaan dan pemeriksaan obat dan pemantauan status pesanan.
Tujuan dari melakukan pengadaan obat adalah :
1. Tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan
2. Menjamin mutu sediaan obat
3. Obat dapat diperoleh pada saat dibutuhkan
2.2.3
Proses Pengadaan Obat
Proses pengadaan obat yang efektif akan menjamin ketersediaan obat yang baik
dalam jumlah yang tepat, harga yang wajar dan kualitas yang sesuai dengan standar
yang diakui (Quick, 2007). Untuk memperoleh obat dapat dilakukan dengan
pembelian, sumbangan atau melalui pabrik. Dalam pengadaan obat terdapat suatu
siklus yang terdiri dari :
1. Perencanaan kebutuhan obat
Proses perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas merupakan proses
kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis
dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan obat di Puskesmas
(Dirjen Binfar, 2010). Proses perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas
bertujuan untuk mendapatkan perkiraan jumlah dan jenis obat yang sesuai
dengan kebutuhan, meningkatkan efisiensi penggunaan obat dan
meningkatkan penggunaan obat secara rasional. Proses perencanaan
15
kebutuhan obat sangat penting karena dapat menunjang ketersediaan obat
dalam pelayanan sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan
(Yuliastini, 2014). Dalam proses perencanaan kebutuhan obat, alternatif
yang perlu diperhatikan adalah mekanisme substitusi jenis obat. Dalam
merencanakan kebutuhan akan obat di Puskesmas atau Rumah Sakit tidak
semua obat yang dibutuhkan tersedia di pasaran sehingga sangat penting
untuk merencakanan mekanisme substitusi jenis obat (Hartono, 2012).
2. Proses pemesanan dan perjanjian kontrak
Proses pengadaan obat melibatkan pihak pemerintah dari pusat hingga
daerah dengan pihak swasta. Pihak swasta yang terlibat kerja sama dan
perjanjian kontrak yang paling mendukung suksesnya proses implementasi
kebijakan tersebut adalah pihak distributor atau penyedia obat (Sauwir,
2013). Kemampuan pihak distributor dalam proses pengadaan merupakan
ujung tombak terlaksananya seluruh proses pengadaan obat. Kerja sama
dengan pihak distributor dimulai dari pengajuan pemesanan terhadap obat
yang disiapkan oleh PBF selaku distributor. Setelah melakukan pemesanan
maka akan ada perjanjian kontrak bersama dengan pihak distributor.
3. Proses distribusi obat
Proses distribusi obat ke Puskesmas merupakan kegiatan pengeluaran dan
penyerahan obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan
obat dari Puskesmas (Dirjen Binfar, 2010). Proses distribusi merupakan
proses yang sangat penting dalam menunjang ketersediaan kebutuhan obat
di Puskesmas selaku FKTP pada era JKN. Pemerintah telah mengeluarkan
aturan mengenai cara distribusi obat yang baik yang diatur dalam
16
Peraturan Kepala BPOM No. H.K. 03.1.34.11.12.2517 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik (CDOB).
Pada
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Antonius
(2012)
tentang
Implementasi Cara Distribusi Obat yang Baik pada Pedagang Besar
Farmasi di Yogyakarta menunjukkan bahwa belum semua aspek CDOB
dilakukan oleh PBF secara baik.
2.3
Kebijakan Pengadaan Obat
2.3.1
Dasar Kebijakan Umum Obat
Dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa subsistem obat dan
perbekalan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya perencanaan,
pemenuhan kebutuhan serta pemanfaatan dan pengawasan obat dan perbekalan
kesehatan secara terpadu dan saling mendukung untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat setinggi – tingginya. Tujuan utama dalam pelaksanaan subsistem obat dan
perbekalan kesehatan yaitu tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang
mencukupi, terdistribusi
secara
adil
dan
merata
dalam
upaya
menjamin
terselenggaranya pembangunan nasional di bidang kesehatan guna meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat
setinggi
–
tingginya
(Kepmenkes
RI
No.131/Menkes/II/2004).
Prinsip dalam penyelenggaraan subsistem obat dan perbekalan kesehatan
yaitu:
1. Obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia oleh
karena itu tidak dilakukan sebagai komoditas ekonomi semata
2. Obat dan perbekalan kesehatan sebagai barang publik sehingga harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkaunnya, karena itu penetapan harga
17
obat dan perbekalan kesehatan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar
melainkan melalui pemerintah
3. Pengadaan obat, yang mengutamakan obat generik bermutu, serta
penyediaan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara adil dan merata
4. Pengadaan dan pemanfaatan obat di sarana pelayanan kesehatan mengacu
pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
5. Pemanfaatan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara
rasional dengan mempelajari aspek mutu, manfaat, harga, kemudahan
diakses serta keamanan bagi masyarakat dan lingkungannya.
Bentuk pokok dari subsistem obat dan perbekalan kesehatan yang diatur oleh
pemerintah yaitu :
1. Perencanaan
obat
dan
perbekalan
kesehatan
secara
nasional
diselenggarakan oleh pemerintah
2. Perencanaan obat merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
yang ditetapkan oleh pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi
3. Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan kesehatan yang dibutuhkan oleh
pembangunan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah
4. Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan melalu
Pedagang Besar Farmasi (PBF)
5. Pemerataan obat dan perbekalan kesehatan diarahkan pada pemakaian obat
– obat esensial generik
6. Peningkatan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan dilaksanakan
melalui kajian dan penetapan harga secara berkala oleh pemerintah
bersama pengusaha dengan menggunakan harga obat produksi industri
farmasi pemerintah sebagai acuan
18
7. Pengawasan mutu produksi obat dan perbekalan kesehatan pada tahap
pertama dilakukan oleh industri yang bersangkutan sesuai CPOB yang
ditetapkan oleh pemerintah
8. Pengawasan distribusi, promosi serta pemanfaatan obat dan perbekalan
kesehatan, termasuk efek samping serta pengendalian harganya dilakukan
oleh pemerintah bekerja sama dengan kalangan pengusaha, organisasi
profesi dan masyarakat.
2.3.2
Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue
Pengadaan secara elektronik atau E-Procurement merupakan pengadaan
barang/ jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan
transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Kemajuan teknologi informasi mempermudah dan mempercepat proses pengadaan
barang/ jasa, karena penyedia barang/jasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok
Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti
proses pelelangan tetapi cukup melakukannya secara online melalui website
pelelangan elektronik.
Penerapan sistem pengadaan secara elektronik bertujuan untuk :
1. Meningkatkan transparansi/ keterbukaan dalam proses pengadaan barang/
jasa
2. Meningkatkan persaingan yang sehat dalam rangka penyediaan pelayanan
publik dan penyelenggaraan pemerintah yang baik
3. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan proses
pengadaan barang/ jasa.
Pengadaan barang/ jasa secara elektronik dapat dilakukan dengan sistem EPurchasing. Sistem E-Purchasing merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/
19
jasa yang dapat dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia
barang/ jasa yang terdaftar pada sistem elektronik. Prinsip pemilihan penyedia barang/
jasa sebagaimana mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yaitu
secara efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan akuntabel. Dengan
sistem tersebut maka proses pengadaan obat yang dilakukan oleh seluruh Satuan
Kerja di bidang kesehatan mulai dari Puskesmas, Dinas Kesehatan hingga Rumah
Sakit Pemerintah dilakukan berdasarkan katalog elektronik (E-Catalogue) dengan
sistem E-Purchasing.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 tentang
Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue terdapat tata cara dalam melakukan
pengadaan obat pemerintah yang akan dijabarkan sebagai berikut :
1. Persiapan
Pengadaan obat dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Unit Layanan
Pengadaan (Pokja ULP) atau Pejabat Pengadaan Satuan Kerja berdasarkan
perintah dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja di Bidang
Kesehatan.
a. Satuan
Kerja
Bidang
Kesehatan
di
daerah
maupun
pusat
menyampaikan rencana kebutuhan obat kepada PPK
b. PPK melihat E-Catalogue obat dalam Portal Pengadaan Nasional yang
memuat nama, provinsi, nama obat, nama penyedia, kemasan, harga
satuan terkecil, distributor dan kontrak payung penyediaan obat.
c. PPK menetapkan Daftar Pengadaan Obat sesuai kebutuhan dan
ketersediaan anggaran yang terdiri atas
1) Daftar Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue
2) Daftar Pengadaan Obat diluar E-Catalogue
20
d. Daftar Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue ditandatangani oleh
PPK selanjutnya diteruskan kepada Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan
untuk diadakan dengan metode E-Purchasing
e. Daftar Pengadaan Obat diluar E-Catalogue ditandatangani oleh PPK
selanjutnya diteruskan kepada Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan untuk
diadakan dengan metode lain sesuai Peraturan Presiden Nomor 70
tahun 2012.
2. Pengadaan obat dengan E-Purchasing
Pengadaan obat dengan E-Purchasing berdasarkan E-Catalogue dilakukan
oleh PPK dan Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan melalui aplikasi EPurchasing pada website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Untuk dapat menggunakan aplikasi tersebut PPK dan Pokja ULP/ Pejabat
Pengadaan harus memiliki kode akses (user id dan password) dengan cara
melakukan pendaftaran sebagai pengguna kepada LPSE setempat. Adapun
tahapan E-Purchasing adalah sebagai berikut :
a. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam
aplikasi
E-Purchasing
berdasarkan
Daftar
Pengadaan
Obat
sebagaimana tercantum dalam formulir yang diberikan oleh PPK
b. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan
pembelian kepada penyedia obat/ industri farmasi yang termasuk
dalam kelompok paket pengadaan
c. Penyedia obat/ industri farmasi yang telah menerima permintaan
pembelian obat melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/ Pejabat
Pengadaan memberikan persetujuan atas permintaan pembelian obat
21
dan menunjuk distributor/ PBF. Apabila menolak harus menyampaikan
alasan penolakan
d. Persetujuan penyedia obat/ industri farmasi kemudian oleh Pokja ULP/
Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti
e. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/ kontrak jual beli terhadap obat
yang telah disetujui dengan distributor/ PBF yang ditunjuk penyedia
obat/ industri farmasi
f. Distributor/ PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai
dengan isi perjanjian/ kontrak jual beli
g. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi
riwayat pembayaran dengan cara mengunggah pada aplikasi EPurchasing.
h. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak
dipenuhi oleh penyedia obat/ industri farmasi kepada Kepala Lembaga
Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP).
Dalam hal aplikasi E-Purchasing mengalami kendala operasional/ offline
(gangguan daya listrik, gangguan jaringan atau kerusakan aplikasi) maka pembelian
dapat dilakukan secara manual dengan tetap melalui koordinasi PPK dan Pokja ULP/
Pejabat Pengadaan beserta pihak penyedia obat/ industri farmasi. Tahapan yang
dilakukan dalam pengadaan obat secara manual yaitu :
1. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam
aplikasi
E-Purchasing
berdasarkan
Daftar
Pengadaan
sebagaimana tercantum dalam formulir yang diberikan oleh PPK
Obat
22
2. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan
pembelian kepada penyedia obat/ industri farmasi yang termasuk
dalam kelompok paket pengadaan
3. Penyedia obat/ industri farmasi yang telah menerima permintaan
pembelian obat melalui dari Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan
memberikan persetujuan atas permintaan pembelian obat dan
menunjuk distributor/ PBF. Apabila menolak harus menyampaikan
alasan penolakan
4. Persetujuan penyedia obat/ industri farmasi kemudian oleh Pokja ULP/
Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti
5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/ kontrak jual beli terhadap obat
yang telah disetujui dengan distributor/ PBF yang ditunjuk penyedia
obat/ industri farmasi
6. Distributor/ PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai
dengan isi perjanjian/ kontrak jual beli
2.4
Kedudukan Dinas Kesehatan
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 tahun 2004 tentang Puskesmas,
Dinas Kesehatan merupakan satuan kerja pemerintah daerah yang bertanggung jawab
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tentang kesehatan. Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota merupakan unsur pelaksana bidang kesehatan yang dipimpin oleh
Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah Walikota dan bertanggung jawab melalui
Sekretaris Daerah. Dalam menjalankan tugasnya Dinas Kesehatan dilakukan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pada era desentralisasi setiap daerah
memiliki peranan yang sangat menentukan dalam perencanaan upaya kesehatan.
23
Dalam upaya mewujudkan pembangunan kesehatan di Kabupaten/ Kota, telah
ditetapkan visi dan misi dalam bidang kesehatan yang disusun oleh Walikota.
Pada era desentralisasi setiap daerah memiliki rencana pembangunan sendiri
atas daerahnya, dalam program kerja di bidang kesehatan terkait dengan pengelolaan
obat di daerah Dinas Kesehatan Kota Denpasar melakukan berbagai kegiatan
pengelolaan obat dan farmasi, antara lain :
1. Perencanaan, kegiatannya meliputi :
a. Perencanaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar
b. Perencanaan Obat Penunjang
c. Perencanaan Obat Klinik Praja Husada
d. Perencanaan Bahan Laboratorium
2. Pengadaan
Dana pengadaan obat untuk unit pelayanan kesehatan di Kota Denpasar
berasal dari berbagai sumber dana dari dana DAK (Dana Alokasi Khusus)
dan dana APBD II.
3. Pendistribusian.
Obat-obat untuk unit pelayanan kesehatan di Kota Denpasar baik yang
diadakan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar maupun yang diterima dari
Dinas Kesehatan Propinsi Bali dan Departemen Kesehatan R.I
pengelolaannya diserahkan kepada UPT Pengawasan Farmasi dan
Makanan Kota Denpasar dengan ,menerapkan sistem pengelolaan obat
satu pintu. Selanjutnya obat-obatan tersebut didistribusikan ke Puskesmas
setiap bulan sesuai dengan permintaan dari masing-masing puskesmasdan
disesuaikan dengan stok obat yang ada di UPT Pengawasan Farmasi dan
Makanan.
24
4. Pencatatan dan Pelaporan
Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Farmasi merekap
semua Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang
dikirim oleh Puskesmas setiap bulan. Rekapan laporan tersebut dilaporkan
pertriwulan ke Dinas Kesehatan Provinsi.
5. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan pengelola obat di puskesmas dilaksanakan
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Pelaksanaannya dengan
mengadakan pembinaan dan pengawasan langsung ke Puskesmas yang ada
di Kota Denpasar yang berjumlah 11 Puskesmas setiap triwulan.
1.5
Implementasi Kebijakan E-Catalogue di Puskesmas
Dalam menjalankan peranan dan fungsinya, Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota memiliki Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan untuk menunjang tercapainya
berbagai program kesehatan yang disusun untuk meningkatkan derajat kesehatan di
daerahnya. Unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan adalah Puskesmas. Mengacu
pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/SK/II/2004 mengenai pengertian
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah
kerjanya. Tujuan Puskesmas secara umum mengacu pada tujuan pembangunan
kesehatan yaitu meningkatkan status derajat kesehatan masyarakat setinggi –
tingginya dengan upaya meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang yang bermukim di wilayah kerja dari Puskesmas tersebut.
(Kemenkes RI, 2004).
25
Puskesmas memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai pusat penggerak
pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan pusat
pelayanan kesehatan strata pertama. (Kemenkes RI, 2004). Dalam menjalankan fungsi
– fungsi tersebut setiap Puskesmas memiliki sumber daya dan beberapa aspek – aspek
yang dapat menunjang keberhasilan dari ketiga fungsi tersebut. Aspek penunjang di
Puskesmas dapat dilihat dari konsep 6 M yang terdiri dari man, money, method,
materials, market dan machine (Muninjaya, 2004).
1. Man
Sumber daya manusia merupakan faktor penentu tercapainya suatu tujuan
organisasi. Oleh karena itu, tercapainya tujuan organisasi disebabkan oleh
kerja sama sumber daya manusia di dalamnya (Iskandar, 2011). Pada era
JKN diperlukan suatu perencanaan akan kebutuhan SDM di bidang
kesehatan. Perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan pada era JKN sangat
penting dilakukan untuk memberikan gambaran dan informasi bagi setiap
pemangku kebijakan di daerah untuk dapat memperkirakan jumlah
kebutuhan SDM Kesehatan, merencanakan distribusi SDM Kesehatan
termasuk meningkatkan kompetensi SDM Kesehatan melalui pendidikan,
pelatihan, pembinaan dan pengawasan untuk menunjang pelayanan
kesehatan (Badan PPSDM Kesehatan RI, 2013). Sumber daya manusia di
Puskesmas pada era JKN masih kurang secara kuantitas, hal tersebut
dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nopiyani (2014) dan
Handayani (2009) menunjukkan bahwa petugas di Puskesmas memiliki
beban kerja ganda.
26
2. Money
Untuk menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan baik upaya kesehatan
perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang menjadi fungsi utama
dari Puskesmas maka perlu ditunjang dengan ketersediaan pendanaan yang
mencukupi. Menurut Kepmenkes RI No. 128 Tahun 2004 tentang
Kebijakan Dasar Puskesmas sumber pembiayaan di Puskesmas yang
utama berasal dari Pemerintah Kabupaten atau Kota yang berupa dana
APBD dan dana jaminan kesehatan. Puskesmas juga dapat menerima
sumber dana dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat (Kemenkes
RI, 2004).
3. Materials
Materials atau bahan baku merupakan suatu unsur yang merupakan objek
yang digunakan sebagai sarana yang digunakan oleh sumber daya untuk
mencapai tujuan (Satrianegara, 2009). Petunjuk teknis pelaksanaan
merupakan salah satu bahan baku yang menunjang pelaksanaan suatu
program. Berdasarkan Petunjuk Penyelenggaraan Sistem Manajemen
Kwartir No. 162A, (2011) petunjuk teknis merupakan aturan yang memuat
hal – hal yang berkaitan dengan teknis kegiatan, tidak menyangkut
wewenang dan prosedur. Petunjuk teknis pelaksanaan suatu kegiatan
biasanya dimuat dalam Surat Keputusan yang dibuat oleh pembuat
kebijakan/ program atau pihak pemangku kebijakan. Petunjuk teknis suatu
kegiatan tidak hanya penting dalam menunjang proses pelaksanaan suatu
kegiatan, tapi juknis juga dapat menunjang tercapainya tujuan dari suatu
27
program sehingga juknis harus disosialisasikan kepada setiap petugas yang
menjalankan program.
4. Market
Setiap kebijakan dibuat pasti memiliki sasaran untuk mencapai tujuan dari
kebijakan tersebut.). Puskesmas sebagai FKTP pada era JKN merupakan
salah satu sasaran dari kebijakan yang diambil oleh Kementerian
Kesehatan RI. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyani (2011)
menyebutkan bahwa keberhasilan implementasi suatu kebijakan di
Puskesmas ditopang dari ketersediaan sumber daya yang mendukung dan
menjalankan kebijakan sesuai dengan petunjuk teknis.
2.6
Penelitian Terkait
Belum ada penelitian terkait yang dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue, namun terdapat beberapa
penelitian
terdahulu yang terkait dengan evaluasi proses pelaksanaan pengadaan obat. Penelitian
tersebut berbeda dengan penelitian ini yang dapat dilihat dalam tabel berikut.
28
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
Indikator
Judul
penelitian
Tujuan
Tempat
Jenis
Penelitian
Unit Analisis
Subyek
Penelitian
Penelitian Istinganah dkk.
Evaluasi sistem pengadaan obat
dari dana APBD tahun 2001-2003
terhadap ketersediaan dan efisiensi
obat
Untuk
melakukan
evaluasi
terhadap sistem pengadaan obat
yang berasal dari dana APBD
Pemerintah DIY tahun 2001-2003
di RS Grhasia
Yogyakarta
Deskriptif kualitatif
Penelitian Sri Purwaningsih dkk.
Evaluasi penerapan Peraturan Daerah
Kabupaten Gunung Kidul No.
14/2000 terhadap ketersediaan obat di
Puskesmas
untuk
melihat
pengaruh
diterapkannya
Perda
Kabupaten
Gunung Kidul no. 14/2000 terhadap
ketersediaan obat di Puskesmas
Penelitian Ini
Evaluasi implementasi proses
pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar tahun
2014
Untuk
melakukan
evaluasi
pelaksanaan
pengadaan
obat
berdasarkan E-Catalogue di Kota
Denpasar tahun 2014
Gunung Kidul
Cross Sectional kuantitatif
Denpasar
Deskriptif kualitatif
Proses perencanaan dan proses Input , proses sampai output yang
pengadaan obat
dilihat dari sumber daya yang
tersedia, proses pelaksanaan hingga
capaian
Informan
penelitian
dibagi
menjadi 2, yaitu : 1.) Kelompok
pengadaan
yang
meliputi
Bappeda
Provinsi,
Subbag
Penyusunan
RS,
Subbag
Keuangan RS, Panitia Pengadaan
; 2.) Kelompok pengguna yang
terdiri dari Kepala IFRS, Ketua
Informan penelitian Kepala Dinas
Kesehatan,
Kepala
Bidang
Pelayanan
Kesehatan
Dinas
Kesehatan,
Kepala
Puskesmas,
Petugas
Pengelola
Obat
di
Puskesmas
Input, proses sampai output
pelaksanaan
pengadaan
obat
berdasarkan E-Catalogue yang
dilihat dari ketersediaan input,
proses perencanaan, pemesanan
dan perjanjian kontrak, distribusi
obat, realisasi obat dan hambatan
dalam pelaksanaan
Informan penelitian Pejabat
Pembuat Komitmen, Kepala
Puskesmas, Petugas Pengelola
Obat di Puskesmas
29
Komite Medik, Petugas Farmasi,
Dokter dan Perawat Kepala
Ruangan
Metode
pengumpulan
data
Analisis Data
Hasil
Wawancara
observasi
mendalam
Content analysis
dan
Wawancara mendalam dan data
sekunder
Data disajikan dalam bentuk tabel
dengan presentase
Sistem pengadaan obat dari dana Stok obat yang tersedia cukup dan
APBD
waktunya
lama, harga obat relatif menjadi lebih mahal
frekuensinya kecil dan prosedurnya
melewati beberapa tahapan baku.
Ketersediaan obat tidak efektif dan
tidak efisien karena terjadi
penumpukan stok obat
Wawancara mendalam dan data
sekunder
Analisis tematik
-
Download