BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ibu 2.2.1. Umur Ibu Umur adalah usia ibu yang menjadi indikator dalam kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu yang mengacu pada setiap pengalamannya. Umur seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi perilaku, karena semakin lanjut umurnya, maka semakin lebih bertanggungjawab, lebih tertib, lebih bermoral, lebih berbakti dari usia muda (Notoatmodjo, 2003). Karakteristik pada ibu balita berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap cara penanganan dalam mencegah terjadinya diare pada balita, dimana semakin tua umur seorang ibu maka kesiapan dalam mencegah kejadian diare akan semakin baik dan dapat berjalan dengan baik. 2.2.2. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang lebih tanggap adanya masalah kesehatan teru tama kejadian diare didalam keluarganya dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Kodyat,1996). Menurut analisa umum profil Kabupaten Asahan Tahun 2013, untuk tingkat pendidikan ibu sebagian besar berpendidikan tamat atau belum tamat SD sekitar 73% serta pengaruh budaya masyarakat terutama kepercayaan dan kebiasaan turun 11 Universitas Sumatera Utara 12 temurun masih sangat dirasakan besar pengaruhnya terhadap daya tahan tubuh individu terhadap penyakit menular seperti diare (Depkes, 2006). Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, prevalensi diare berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan ibu, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin rendah prevalensi diarenya. Lamanya menderita diare pada balita yang ibunya berpendidikan rendah atau tidak sekolah adalah lebih panjang dibandingkan dengan anak dari ibu yang berpendidikan baik. Insiden diare lebih tinggi pada anak yang ibunya yang tidak pernah sekolah menengah (Julianti P, 1999). Tingkat rendahnya pendidikan erat kaitannya dengan tingkat pengertian tentang cara pencegahan kejadian diare, kesadarannya terhadap bahaya dari adanya diare pada balita yang dilakuan bagi keluarga dan masyarakat. Tingkat pendidikan turut pula menentukan rendah tidaknya seseorang menyerap dan memakai pengetahuan tentang pencegahan diare. Tingkat pendidikan ibu balita yang rendah mempengaruhi penerimaan informasi sehingga pengetahuan tentang cara pencegahan terjadinya diare pada balita menjadi terhambat atau terbatas (Suhardjo, 1999). Pendidikan yang rendah, adat istiadat yang ketat serta nilai dan kepercayaan akan takhayul disamping tingkat penghasilan yang masih rendah, merupakan penghambat dalam pembangunan kesehatan. Pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah, khususnya di kalangan ibu balita merupakan salah satu masalah kesehatan yang berpengaruh terhadap cara penangganan diare, sehingga sikap hidupdan perilaku yang mendorong timbulnya kesadaran masyarakat masih rendah. Semakin tinggi pendidikan ibu maka mortalitas (angka kematian) dan morbidilitas (keadaan sakit) semakin menurun, hal ini tidak hanya akibat kesadaran ibu balita Universitas Sumatera Utara 13 yang terbatas, tetapik arena kebutuhan status ekonominya yang belum tercukupi (Suhardjo, 1999). 2.2.3. Status Pekerjaan Ibu Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada anak balita. Pada pekerjaan ibu maupun keaktifan ibu dalam berorganisasi social berpengaruh pada kejadian diare pada balita. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan bagi ibu balita apabila ingin berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan. Dengan pekerjaannya tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang pencegahan diare. Terdapat 9,3% anak balita menderita diare pada ibu yang bekerja, sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak 12% (Irianto, 1996). Pada ibu balita yang terkena diare biasanya kurang cepat tertangani karena kesibukn dari pekerjaan ibu. Dimana penanganan balita yang terkena diare dikarenakan ketiadaan waktu untuk memeriksakan ke tenaga kesehatan, hali ni terjadi karena waktunya kadang bersamaan dengan waktu kerja yang tidak bias ditinggalkan yang akibatnya diare pada balitanya akan semakin kritis. Dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja biasanya akan cepat tertangani dengan penanganan sederhana seperti pemberian cairan oralit serta banyaknyawaktu untuk mengontrol keadaan balitanya, hal ini dapat memperlambat diare pada balita. 2.2.4. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga menentukan ketersediaan fasilitas kesehatan yang baik. Dimana semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin baik fasilitas dan cara hidup mereka yang terjaga akan semakin baik (Berg, 1986). Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan di suatu keluarga. Universitas Sumatera Utara 14 Walaupun demikian ada hubungan yang erat antara pendapatan dan kejadian diare yang didorong adanya pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkatkan, maka perbaikan sarana atau fasilitas kesehatan serta masalah keluarga lainnya, yang berkaitan dengan kejadian diare, hampir berlaku terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan (Berg, 1986). Tingkatan pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup, dimana status ekonomi orang tua yang baik akan berpengaruh pada fasilitasnya yang diberikan (Notoatmodjo, 2003). Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola kebiasaan dalam menjaga kebersihan dan penanganan yang selanjutnya berperan dalam prioritas penyediaan fasilitas kesehatan (misal membuat kamar kecil yang sehat) berdasarkan kemampuan ekonomi atau pendapatan pada suatu keluarga. Bagi mereka yang berpendapatan sangat rendah hanya dapat memenuhi kebutuhan berupa fasilitas kesehatan apa adanya, sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila tingkat pendapatan baik, maka fasilitas kesehatan mereka, khususnya didalam rumahnya akan terjamin misalnya dalam penyediaan air bersih, penyediaan jamban sendiri, atau jika mempunyai ternak akan dibuatkan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu memenuhi fasilitas kesehatannya sesuai kebutuhannya (BPS, 2005). Pada ibu balita yang mempunyai pendapatan kurang akan lambat dalam penanganan diare misalnya karena ketiadaan biaya berobat ke petugas kesehatan yang akibatnya dapat terjadi diare yang lebih parah lagi. Universitas Sumatera Utara 15 2.2. Pengertian Hygiene Yang dimaksud dengan hygiene ialah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Dalam pengertian ini termasuk pula melindungi, memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan manusia ( perorangan dan masyarakat ) sedemikian rupa sehingga faktor lingkungan yang tidak menguntungkan tersebut, tidak sampai menimbulkan gangguan kesehatan. 2.2.1. Pengertian Personal hygiene Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh itu di antaranya kebudayaan, sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan. Personal Hygiene berasal dari bahasa yunani yang berarti Personalm yang artinya perorangan dan Hygiene berarti sehat. Personal Hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Wartonah, 2004). Personal Hygiene adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejah teraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan Universitas Sumatera Utara 16 terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Direja, 2011). Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu , keamanan dan kesehatan ( Potter, 2005). 2.2.2. Jenis-jenis Personal hygiene Kebersihan perorangan meliputi : a. Kebersihan kulit Kebersihan kulit merupakan cerminan kesehatan yang paling pertama memberi kesan, oleh karena itu perlu memelihara kulit sebaik-sebaiknya. Pemeliharaan kesehatan kulit tidak dapat terlepas dari kebersihan lingkungan , makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup sehari – hari. Untuk selalu memelihara kebersihan kulit kebiasaan-kebiasaan yang sehat harus selalu memperhatikan seperti : 1. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri 2. Mandi minimal 2x sehari 3. Mandi memakai sabun 4. Menjaga kebersihan pakaian 5. Makan yang bergizi terutama sayur dan buah 6. Menjaga kebersihan lingkungan. b. Kebersihan rambut Universitas Sumatera Utara 17 Rambut yang terpelihara dengan baik akan membuat membuat terpelihara dengan subur dan indah sehingga akan menimbulkan kesan cantik dan tidak berbau apek. Dengan selalu memelihara kebersihan kebersihan rambut dan kulit kepala, maka perlu ndiperhatikan sebagai berikut : 1. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci rambut sekurangkurangnya 2x seminggu. 2. Mencuci ranbut memakai shampoo atau bahan pencuci rambut lainnya. 3. Sebaiknya menggunakan alat-alat pemeliharaan rambut sendiri. c. Kebersihan gigi Menggosok gigi dengan teratur dan baik akan menguatkan dan membersihkan gigi sehingga terlihat cemerlang.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan gigi adalah : 1. Menggosok gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap sehabis makan 2. Memakai sikat gigi sendiri 3. Menghindari makan-makanan yang merusak gigi 4. Membiasakan makan buah-buahan yang menyehatkan gigi 5. Memeriksa gigi secara teratur d. Kebersihan mata Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kebersihan mata adalah : 1. Membaca di tempat yang terang 2. Memakan makanan yang bergizi 3. Istirahat yang cukup dan teratur 4. Memakai peralatan sendiri dan bersih ( seperti handuk dan sapu tangan) Universitas Sumatera Utara 18 5. Memlihara kebersihan lingkungan. e. Kebersihan telinga Hal yang perlu diperhatikan dalam kebersihan telinga adalah : 1. Membersihkan telinga secara teratur 2. Jangan mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam. 3. Kebersihan tangan, kaki dan kuku Seperti halnya kulit, tangan,kaki dan kuku harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari-hari. Selain indah dipandang mata, tangan, kaki, dan kuku yang bersih juga menghindarkan kita dari berbagai penyakit. Kuku dan tangan yang kotor dapat menyebabkan bahaya kontaminasi dan menimbulkan penyakit-penyakit tertentu. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu diperhatikan sebagai berikut : 1. Membersihkan tangan sebelum makan 2. Memotong kuku secara teratur 3. Membersihkan lingkungan 4. Mencuci kaki sebelum tidur Faktor hygiene yang mempengaruhi gangguan kulit adalah : 1. Kebersihan kulit 2. Kebersihan tangan, kaki dan kuku 3. Kebersihan rambut . Universitas Sumatera Utara 19 2.2.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Personal Hygiene Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah: 1. Citra tubuh ( Body Image) Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya. 2. Praktik Sosial Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene . 3. Status Sosial Ekonomi Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya. 4. Pengetahuan Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya. 5. Budaya Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan. 6. Kebiasaan seseorang Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain. 7. Kondisi fisik atau psikis Universitas Sumatera Utara 20 Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya. 2.3. Kondisi Sanitasi Jamban 2.3.1. Pengertian Jamban Keluarga Pembuangan tinja merupakan salah satu upaya kesehatan lingkungan yang harus memenuhi sanitasi dasar bagi setiap keluarga. Sanitasi adalah usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang lebih baik dibidang kesehatan terutama kesehatan masyarakat (Kamus besar Bahasa Indonesia). Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai efek merusak perkembangan fisik, kesehatan dan kelangsungan hidup (WHO,2007). Sanitasi adalah usaha-usaha pengawasan yang ditujukan terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat merupakan mata rantai penyakit (Ehler’s,1958). Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmojo, 2003). Pembuangan kotoran yang baik harus dibuang kedalam tempat penampungan kotoran yang disebut jamban. Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran sehingga kotoran itu tersimpan dalam satu tempat tertentu dan tidak menjadi sarang penyakit. (Notoatmodjo, 1996). Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab suatu penyakit serta tidak mengotori permukaan (Kusnoputranto, 1997). Universitas Sumatera Utara 21 Sementara itu menurut Josep Soemardi (1999) pengertian jamban adalah pengumpulan kotoran manusia disuatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit penyakit yang ada pada kotoran manusia dan mengganggu estetika. Jamban keluarga sangat berguna bagi manusia dan merupakan bagian dari kehidupan manusia, karena jamban dapat mencegah berkembangnya berbagai penyakit saluran pencernaan yang disebabkan oleh kotoran manusia yang itdak dikelola dengan baik. Ditinjau dari kesehatan lingkungan membuang kotoran ke sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara yang menimbulkan bau. Dalam peningkatan sanitasi jamban, kita harus mengetahui persyaratan pembuangan tinja. Adapun bagian-bagian dari sanitasi pembuangan tinja adalah sebagai berikut (Kumoro, 1998) 1. Rumah Kakus Rumah kakus mempunyai fungsi untuk tempat berlindung pemakainya dari pengaruh sekitarnya aman. Baik ditinjau dari segi kenyamanan maupun estetika. Konstruksinya disesuaikan dengan keadaan tingkat ekonomi rumah tangga. 2. Lantai Kakus Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya juga disesuaikan dengan bentuk rumah kakus. 3. Tempat Duduk Kakus Melihat fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja yang kuat dan mudah dibersihkan juga bisa mengisolir rumah kakus jadi tempat Universitas Sumatera Utara 22 pembuangan tinja, serta berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang mudah diangkat (Simanjuntak P, 1999). 4. Kecukupan Air Bersih Untuk menjaga keindahan jamban dari pandangan estetika, jamban hendaklah disiram minimal 4-5 gayung sampai kotoran tidak mengapung di lubang jamban atau closet .Tujuan menghindari penyebaran bau tinja dan menjaga kondisi jamban tetap bersih selain itu kotoran tidak dihinggapi serangga sehingga mencegah penyakit menular. 5. Tersedia Alat Pembersih Alat pembersih adalah bahan yang ada di rumah kakus didekat jamban. Jenis alat pembersih ini yaitu sikat, bros, sapu, tissu dan lainnya. Tujuan alat pembersih ini agar jamban tetap bersih setelah jamban disiram air. Pembersihan dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai agar tidak berlumut dan licin. 6. Tempat Penampungan Tinja Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang fungsinya sebagai tempat mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksinya dapat berbentuk sederhana berupa lobang tanah saja. 7. Saluran Peresapan Adalah sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang lengkap untuk mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur kotoran/tinja. Universitas Sumatera Utara 23 2.3.2. Jenis Jamban Keluarga Jamban keluarga yang didirikan mempunyai beberapa pilihan. Pilihan yang terbaik ialah jamban yang tidak menimbulkan bau, dan memiliki kebutuhan air yang tercukupi dan berada di dalam rumah. Jamban/kakus dapat dibedakan atas beberapa macam (Azwar,1990) : 1. Jamban cubluk (Pit Privy) adalah jamban yang tempat penampungan tinjanya dibangun dibawah tempat injakan atau dibawah bangunan jamban. Fungsi dari lubang adalah mengisolasi tinja sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan penyebaran dari bakteri secara langsung ke pejamu yang baru. Jenis jamban ini, kotoran langsung masuk ke jamban dan tidak terlalu dalam karena akan menotori air tanah, kedalamannya sekitar 1,5-3 meter (Mashuri, 1994). 2. Jamban Empang (Overhung Latrine), Adalah jamban yang dibangun diatas empang, sungai ataupun rawa. Jamban model ini ada yang kotorannya tersebar begitu saja, yang biasanya dipakai untuk makanan ikan, ayam. 3. Jamban Kimia (Chemical Toilet), Jamban model ini biasanya dibangun pada tempat-tempat rekreasi, pada transportasi seperti kereta api dan pesawat terbang dan lain-lain. Disini tinja disenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda dan pembersihnya dipakai kertas tissue (toilet paper). Jamban kimia sifatnya sementara, karena kotoran yang telah terkumpul perlu di buang lagi.Jamban kimia ada dua macam, yaitu : a. Tipe lemari (commode type) b. Tipe tangki (tank type) Universitas Sumatera Utara 24 4. Jamban Leher Angsa (Angsa Trine), Jamban leher angsa adalah jamban leher lubaang closet berbentuk lengkungan, dengan demikian akan terisi air gunanya sebagai sumbat sehingga dapat mencegah bau busuk serta masuknya binatangbinatang kecil. Jamban model ini adalah model yang terbaik yang dianjurkan dalam kesehatan lingkungan (Warsito, 1996). 2.3.3. Syarat Jamban Sehat Menurut Depkes RI (2004), jamban keluarga sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15 meter dari sumber air minum. 2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus. 3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak mencemari tanah di sekitarnya. 4. Mudah dibersihkan dan aman penggunannya. 5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna. 6. Cukup penerangan 7. Lantai kedap air 8. Ventilasi cukup baik 9. Tersedia air dan alat pembersih. Sedangkan menurut Menurut Depkes RI (2007), jamban yang memenuhi syarat adalah: 1. Kotoran tidak mencemari permukaan tanah, air tanah dan air permukaan 2. Cukup terang Universitas Sumatera Utara 25 3. Tidak menjadi sarang serangga (nyamuk, lalat, lipan, dan kecoa) 4. Selalu dibersihkan agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap 5. Cukup lobang angin. 6. Tidak menimbulkan kecelakaan. 2.3.4. Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu : 1. Melindungi kesehatan masyarkat dari penyakit 2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan saran yang aman 3. Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit 4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan 2.3.5. Pemeliharaan Jamban Jamban hendaknya selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun cara pemeliharaan yang baik menurut Depkes RI (2004) adalah sebagai berikut: 1. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering 2. Di sekeliling jamban tidak ada genangan air 3. Tidak ada sampah berserakanan 4. Rumah jamban dalam keadaan baik 5. Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat 6. Lalat, tikus dan kecoa tidak ada 7. Tersedia alat pembersih 8. Bila ada yang rusak segera diperbaiki Universitas Sumatera Utara 26 Selain itu ditambahkan juga pemeliharaan jamban keluarga dapt dilakukan dengan : 1. air selalu tersedia dalam bak atau dalam ember 2. sehabis digunakan, lantai dan lubang jongkok harus disiram bersiih agar tidak bau dan mengundang lalat. 3. lantai jamban diusahakan selalu bersih dan tidak licin, sehingga tidak membahayakan pemakai. 4. tidak memasukkan bahan kimia dan detergen pada lubang jamban. 5. tidak ada aliran masuk kedalam lubang jamban selain untuk membilas tinja Kemudian menurut Menurut Depkes RI (2007), dalam menjaga jamban tetap sehat dan bersih kegiatan keluarga yang dapat dilakukan adalah: 1. Bersihkan dinding, lantai dan pintu ruang jamban secara teratur 2. Bersihkan jamban secara rutin 3. Cuci dan bersihkan tempat duduk (jika ada) dengan menggunakan sabun dan air bersih 4. Perbaiki setiap celah, retak pada dinding, lantai dan pintu 5. Jangan membuang sampah di lantai 6. Selalu sediakan sabun untuk mencuci tangan 7. Yakinkan bahwa ruangan jamban ada ventilasinya 8. Tutup lubang ventilasi jamban dengan kasa anti lalat 9. Beritahukan pada anak-anak cara menggunakan jamban yang benar 10. Cucilah tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir setelah menggunakan jamban. Universitas Sumatera Utara 27 2.3.6. Transmisi Penyakit dari Tinja Tinja manusia ialah buangan padat yang kotor dan bau juga media media penularan penyakit bagi masyarakat. Kotoran manusia mengandung organisme pathogen yang dibawa air, makanan, lalat menjadi penyakit seperti : salmonella, vibriokolera, amuba, virus, cacing, disentri, poliomyelitis, ascariasis, dll. Kotoran mengandung agen infeksi masuk ke saluran pencernaan. (Warsito, 1996). Terjadinya penularan penyakit dari tinja manusia adalah karena pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan, karena tinja mengandung mikro organisme bibit penyakit seperti : vibrio, cholera, amuba, salmonella, virus dan infeksi cacing. Organisme penyebab penyakit dikelompokkan 4 bagian : virus, bakteri, protozoa, cacing (Hartoyo Kusnoputranto, 1997) Hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk bisa langsung dan tidak langsung. Efek langsung bisa mengurangi insiden penyakit yang ditularkan karena kontaminasi dengan tinja seperti kolera, disentri, typus, dan sebagainya. Efek tidak langsung dari pembuangan tinja berkaitan dengan komponen sanitasi lingkungan seperti menurunnya kondisi higiene lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan sosial masyarakat dan mengurangi pencemaran tinja manusia pada sumber air minum penduduk. (Kusnoputranto, 1997). Hubungan penularan penyakit dari tinja ke manusia dalam hal ini dibagi dua, yaitu : 1. Hubungan langsung Hubungan ini terjadi melalui kontak langsung antara manusia dengan tinja. Hal ini dapat terjadi apabila manusia menginjak tinja/kotoran manusia yang Universitas Sumatera Utara 28 mengandung larva cacing (cacing tambang) maka larva tersebutakan menembus kulit kaki dan masuk ke tubuh manusia kemudian akan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam tubuh manusia. 2. Hubungan tidak langsung Hubungan ini terjadi melalui media perantara seperti : air, tangan, antropoda, dan tanah sehingga mengkontaminasi makanan/minuman lalu masuk ke tubuh manusia yang sehat. Penyakit menular seperti polio, kholera, hepatitis A dan lainnya merupakan penyakit yang disebabkan tidak tersedianya sanitasi dasar seperti penyediaan jamban. Bakteri E.Coli dijadikan sebagai indikator tercemarnya air, dan seperti kita ketahui bahwa bakteri ini hidup dalam saluran pencernaan manusia. Proses pemindahan kuman penyakit dari tinja yang dikeluarkan manusia sebagai pusat infeksi sampai inang baru dapat melalui berbagai perantara, antara lain air , tangan, seranggaa, tanah, makanan, susu serta sayuran. Menurut Anderson dan arnstein (dalam Wagner & Lanoix, 1958) dalam buku M. Soeparman dan Suparmin 2002, terjadinya proses penularan penyakit diperlukan faktor sebagai berikut : 1. kuman penyebab penyakit; 2. sumber infeksi (reservoir) dari kuman penyebab; 3. cara keluar dari sumber; 4. cara berpindah dari sumber ke inang (host) baru yang potensial; 5. cara masuk ke inang yang baru; 6. inang yang peka (susceptible) Universitas Sumatera Utara 29 Menurut Depkes RI (2004), jalur penularan penyakit dari tinja atau kotoran manusia sebagai sumber penyakit melalui mulut sehingga menjadi sakit dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Tinja atau kotoran manusia mengandung agent penyakit sebagai sumber penularan bila pembuangannya tidak aman maka dapat mencemari tangan, air, tanah, atau dapat menempel pada lalat dan serangga lainnya yang menghinggapinya. 2. Air yang tercemar tinja dapat mencemari makanan yang selanjutnya makanan tersebut dimakan oleh manusia atau air yang tercemar diminum oleh manusia. 3. Tinja dapat mencemari tangan atau jari-jari manusia selanjutnya dapat mencemari makanan pada waktu memasak atau menyiapkan makanan, demikian juga yang telah tercemar dapat langsung kontak dengan mulut. 4. Tinja secara langsung dapat mencemari makanan yang kemudian makanan tersebut dimakan oleh manusia, melalui lalat/serangga kuman penyakit dapat mencemari makanan yang kemudian dimakan oleh manusia. 5. Melalui lalat atau serangga lainnya kuman penyakit dapat mencemari makanan sewaktu hinggap dimakanan yang kemudian dimakan oleh manusia. 6. Tinja juga dapat mencemari tanah sebagai akibat tidak baiknya sarana pembuangan tinja atau membuang tinja disembarang tempat di mana tanah tersebut selanjutnya dapat mencemari makanan atau kontak langsung dengan mulut manusia. Universitas Sumatera Utara 30 Jenis-jenis Penyakit yang disebabkan Melalui Tinja yaitu : 1. Virus dalam Ekskreta Banyak sekali jenis virus yang dapat menginfeksi saluran pencernaan dan keluar bersama-sama dengan tinja, yang kemudian dapat menginfeksi penderita lain baik melalui mulut maupun inhalasi. Lima kelompok dari virus patogen adalah adenovirus, enterovirus (termasuk poliovirus), Hepatitis A virus, Reovirus dan Virus penyebab diare (terutama Rotavirus). Infeksi dengan semua virus di atas terutama pada anak-anak seringkali tidak menimbulkan gejala klinis. Infeksi virus dapat menyerypai influenza ringan, meningitis virus, atau paralytic poliomyelitis yang mungkin dapat mengakibatkan cacat atau kematian (Hartoyo Kusnoputranto, 1997) 2. Bakteri dala Ekskreta Pada keadaan-keadaan tertentu beberapa jenis bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit seperti yang disebabkan oleh bakteri-bakteri patogen atau potensial patogen antara lain E-coli patogen, salmonella typhis, shigella spp, vibrio cholerae, dan lain-lain. Pada umumnya bakteri-bakteri tersebut masuk ke penjamu baru melalui mulut (air, makanan, tangan, atau kotoran) atau melalui mata (setelah menggosok mata dengan tangan yang tinja dan hal ini memungkinkan penyebaran infeksi ke penjamu). 3. Protozoa dalam Ekskreta Berbagai macam spesies dari protozoa dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit. Beberapa spesies di antaranya yang terdapat di dalam saluran pencernaan dari manusia maupun hewan lainnya, dapat menyebabkan diare atau Universitas Sumatera Utara 31 disentri. Bentuk infeksi dari protozoa seringkali melewai tinja dalam bentuk kista dan manusia dapat terinfeski bila menelannya. Hanya ada 3 spesies dari protozoa khusus manusia yang sering kali bersifat patogen (Tabel 2.1) Tabel 2.1. Protozoa dalam Tinja No Protozoa Penyakit Reservoir 1 Balantidium Diare, disentri dan tukak Manusia dan binatang colon (babi dan tikus 2 Entamoeba histolityca Tukak colon, disentri amuba Manusia dan abses hati 3 Giardia lamblia Diare dan malabsorbsi Manusia dan binatang Sumber Hartoyo Kusnoputranto, Air Limbah dan Ekskreta Manusi, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Dep. P & K, 1997 4. Cacing dalam Tinja Berbagai macam spesies dari cacing mempunyai penjamu manusia, bebrapa di antaranya dapat menyebabkan penyakit yang berat maupun pada umumnya gejala atau bila hanya ringan. No 1 2 Tabel 2.2. Cacing Patogen dalam Tinja Cacing Penyakit Transmisi Ancylostoma Ancylostonilasis Manusia-tanahduodenale manusia Ascaris lumbricoides Schistosoma japanicum Ascariasis Manusia-tanahmanusia 3 Schistosomiasis Manusia & hewan siput-airmanusia 4 Taenia saginata Taeniasis Manusia-sapimanusia 5 Taenia solium Taeniasis Manusia-babimanusia 6 Trichuris trichuria Trichuriasis Manusia-tanah manusia Sumber Hartoyo Kusnoputranto, Air Limbah dan Ekskreta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Dep. P & K, 1997 Distribusi Terutama di iklim tropis dan basah Di seluruh dunia Asia tenggara Di seluruh dunia Di seluruh dunia Di seluruh dunia Manusi, Jakarta, Universitas Sumatera Utara 32 Kualitas tinja seseorang dipengaruhi oleh keadaan setempat, selain faktor fisiologis, juga budaya dan kepercayaan. Ada perbedaan dari sisi tinja yang dihasilkan oleh sebagian kalangan masyarakat. Isi dan komposisi tinja tergantung tergantung dari beberapa faktor yaitu diet, iklim dan status kesehatan. (Sukarni, 1994) Gambar 2.1 Transmisi penyakit melalui tinja Air Mati Tinja (Sumber Infeksi) Tangan Serangga/Tikus Makanan, Susu, Sayuran Inang baru Sakit Cacat Tanah Sumber : (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002) Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa sumber terjadinya penyakit adalah tinja. Dengan demikian untuk memutus terjadinya penularan penyakit dapat dilaksanakan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan. Tersedianya jamban merupakan usaha untuk memperbaiki sanitasi dasar dan dapat memutus rantai penularan penyakit. Universitas Sumatera Utara 33 Gambar 2.2 Pemutusan Transmisi penyakit melalui tinja R I N T A N G A N Tinja (Sumber Infeksi) S A N I T A S I AIR Pejamu Terlindung TANGAN MAKANAN Sumber : (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002) 1. Akibat mata rantai penyakit oleh tinja perlu dilakukan tindakan pencegahan agar penyakit tidak menular. Pencegahan itu memutuskan mata rantai penyakit menggunakan rintangan sanitasi dan mengisolasi tinja dengan jamban yang saniter. Rintangan sanitasi ini mencegah kontaminasi tinja sebagai sumber infeksi pada air. Tangan dan serangga. (Soemardji, 1999). 2.4. Diare 2.4.1. Pengertian Diare Diare merupakan suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari 3 (tiga) kali atau lebih dari 1 (satu) hari (Pusat Informasi Penyakit Infeksi 2007). Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (>3 kali sehari) disertai dengan perubahan konsistensi tinja Universitas Sumatera Utara 34 menjadi cair atau lembek, dengan / tanpa darah dan / atau lendir (Suraatmaja, 2010). Pada feses dapat dijumpai darah, lender atau pus. Gejala ikutan dapat berupa mual, muntah, mulas, nyeri abdominal, demam dan tanda-tanda dehidrasi (Zein, 2011). Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Faktor-faktor risiko yang menimbulkan diare antara lain sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat, pembuangan tinja (termasuk tinja bayi) yang tidak memenuhi syarat serta penggelolaan sampah yang merupakan tempat hidup mikroorganisme pathogen. Faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula yaitu melalui makanan dan minuman maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (DirjenPPMN-PLP, 2000). 2.4.2. Klasifikasi Diare Menurut Suraatmaja (2010), penyakit diare dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu diare akut dan diare kronik a. Diare Akut Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat. Biasanya diare ini berlangsung selama kurang dari 14 hari . b. Diare Kronik Diare kronik adalah diare yang berlanjut selama 2 minggu atau lebih (>14 hari), dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa diare tersebut. Diare kronik kemudian dibagi lagi menjadi beberapa bagian, antara lain 1. Diare persisten , yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi. Universitas Sumatera Utara 35 2. Protracted diare, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 2 minggu (> 14 hari) dengan tinja cair dan frekuensi 4 kali atau lebih dalam sehari. 3. Diare intraktabel, merupakan diare yang dalam waktu singkat (misalnya 1-3 bulan) dapat timbul berulang kali. 4. Prolonged diare, adalah diare yang berlangsung lebih dari 7 hari. 5. Chronic non Spesific diarrhea, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 3 minggu tetapi tidak disertai gangguan pertumbuhan dan tidak ada tanda-tanda infeksi maupun malabsorpsi. Secara etiologi diare dapat disebabkan oleh infeksi, intoksikasi, alergi, reaksi obat-obatan dan juga faktor psikis. Pendekatan klinis yang sederhana dan mudah adalah pembagian diare berdasarkan proses patofisiologis enteric infection, yaitu membagi diare atas mekanisme inflammatory, non inflammatory dan penetrating (Zein, 2011). 1. Inflamatory diarrhea akibat invasi dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindrom disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah (sering disebut juga Bloody diarrhea). Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah keluhan abdominal seperti mual sampai nyeri, mual, muntah, demam, serta gejala dan tanda dehidrasi. Mikroorganisme penyebab diare ini seperti, E.histolytica, Shigella, Entero Invasive E.coli (EIEC), C.difficile, dan C.jejuni. 2. Non Inlamatory diarrhea adalah kelainan yang ditemukan di usus halus bagian proksimal, proses diare addalah akibat adanya enterotoksin yang mengakibatkan diare dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang disebut watery diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, Universitas Sumatera Utara 36 namun gejala dan tanda dehidrasi ceppat timbul, terutama pada kasus yang tidak segera mendapat cairan pengganti. Mikroorganisme penyebab adalah V.cholerae, Enterotoxigenic.coli, salmonella. 3. Penetrating diarrhea, lokasi pada bagian usus distal usus halus. Penyakit ini desebut juga Enteric fever, Chronic septicemia, dengan gejala klinis diare disertai demam. Mikroorganisme penyebab adalah S.thypi, S.parathypi A,B, S.enteriditis dan C.fetus. Dari sudut pandang klinis praktis, diare dapat dibedakan menjadi 6 gejala klinik, yaitu : 1. Diare ringan diatasi dengan pemberian larutan rehidrasi oral yang terdiri dari air, glukosa dan elektrolit, sedangkan etiologi spesifik tidak terlalu penting dalam penatalaksanaan 2. Diare berdarah (disentri) disebabkan oleh mikroorganisme seperti shigella, E.coli dan beberapa mikroorganisme tertentu. 3. Diare persisten, berlangsung paling sedikit selama 14 hari 4. Diare berat, seperti pada cholera 5. Diare ringan tanpa dehidrasi karena muntah, disebabkan oleh virus gastroenterides, diare karena toksin, seperti yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, atau Cl.perferingens, dan 6. Colitis hemoragika, dengan diare cair mengandung banyak darah tetapi tanpa demam atau fekal lekositosis. Universitas Sumatera Utara 37 2.4.3. Gejala dan Tanda Diare Menurut Zein (2011), penyakit diare dapat disebabkan oleh infeksi atau non infeksi. a. Diare akibat infeksi Diare infeksi dapat disebabkan oleh : 1. Virus Virus merupakan penyebab diare terbanyak pada anak ( 70 – 80% ). Beberapa virus penyebab diare adalah a) Rotavirus serotype 1, 2, 8, dan 9 pada manusia. Serotype 3 dan 4 terdapat pada hewan dan manusia. Dan serotype 5, 6 dan 7 hanya didapati pada hewan. b) Norwalk virus ; dapat terdapat pada semua usia, umumnya akibat foodborne atau waterborne transmisi, dan dapat juga terjadi penularan dari orang ke orang. c) Astrovirus, dapat dijumpai pada anak-anak dan dewasa d) Adenovirus (tipe 40, 41) e) Small bowel structured virus f) Cytomegalovirus 2. Bakteri Beberapa bakteri penyebab diare adalah : a) Enterotoxigenic E.coli (ETEC) Bakteri ini mempunyai dua virulensi yang penting, yaitu faktor kolonisasai yang menyebabkan bakteri ini melekat pada eritrosit pada usus halus, dan enterotoksin heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan Universitas Sumatera Utara 38 dan eletrolit yang menghailkan watery diarrhea. ETEC tidak menyebabkan kerusakan pada brush border atau menginvasi mukosa. b) Enterophatogenic E.coli (EPEC) Mekanisme terjadinya diare yang disebabkan bakteri ini belum jelas. Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan dari membran mikro vili yang akan mengganggu permukaan absorbs dan aktifitas disakaridase. c) Enteroaggregative E.coli (EAggEC) Sifat bakteri ini adalah melekat pada usus halus dan dapat menyebabkan perubahan morfologi yang khas. Begaimana terjadinya diare oleh bakteri ini belum jelas, tetapi sitotoksin mungkin memegang peranan. d) Enteroinvasisve E.coli (EIEC) Bakteri ini secara serologi dan biokimia mirip dengan shigella. Seperti shigella, bakteri EIEC dapat melakukan penetrasi dan multifikasi di dalam sel epitel kolon. e) Enterohemorrhagic E.coli (EHEC) EHEC mampu memroduksi verocytoxin (VT) 1 dan 2 yang disebut juga Shiga-like toxin yang dapat menimbulkan edema dan pendarahan diffuse di kolon. Pada anak sering berlanjut menjadi hemolyticuremic syndrome. f) Shigella spp. Bakteri Shigella dapat menginvasi dan melakukan multifikasi di dalam sel epitel kolon, sehingga menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Kuman Shigella jarang masuk kedalam aliran darah. Faktor virulensi termasuk : Universitas Sumatera Utara 39 smooth lipopolysaccharide sel wall antigen yang mempunyai aktivitas endotoksin serta membantu proses invasi dan toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan watery diarrhea. g) Campylobacter jajuni (helicobacter jejuni) Manusia terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui kontak makanan yang terkontaminasi seperi daging ayam dan air. Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung person to person. C.jejuni mungkin dapat menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar. Ada 2 tipe toksin yang dihasilkannya, yiatu cytotoxin dan heat-labile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis. h) Vibrio cholera 01 dan V.cholerae 0139 Apabila air atau makanan terkontaminasi oleh bakteri ini akan dapat menularkan kolera. Penularan melalui orang ke orang jarang terjadi. V. cholera melekat dan berkembangbiak pada mukosa usus halus dan menghasilkan enteroktoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini sangat mirip dengan heatlabile toxin (LT) dari ETEC. Terkahir ditemukan bahwa adanya enterotoksin yang lain yang memunyai karakterik tersendiri, seperti accessory cholera enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxin (ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan sekresi cairan kedalam lumen usus. i) Salmonella ( non thypoi ) Universitas Sumatera Utara 40 Bakteri salmonella dapat menginvasi sel epitel usus. Enterotksin yang dihasilkan dapat menyebabkan diare bila terjadi kerusakan pada mukosa yang menimbulkan ulkus, akan terjadi bloody diarrhea. 3. Protozoa Ada beberapa jenis protozoa yang dapat menyebabkan diare, yaitu : a) Gradia lamblia Parasit ini dapat menginfeksi usus halus. Mekanisme patogenasisnya belum jelas, tapi dipercayai memengaruhi absorbs dan metabolisme asam empedu. Transmisi melalui fecal-oral route. Interaksi host- parasit dipengaruhi oleh umur, status nutrisi, endemisitas dan status imun. Di daerah dengan endemisitas yang tinggi, gradiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas yang rendah dapat terjadi wabah dalam 5-8 hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mula, nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai malabsorbsi dengan fatty stools, nyeri perut dan gembung. b) Entamoeba histolytica Prevalensi disentri amoeba ini bervariasi, namun penyebarannya dapat terjadi di seluruh dunia. Insidennya meningkat dengan bertambahnya umur ,dan terutama pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90 % infeksi asimtomatik yang disebabkan E.histolytica non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan dan persisten samapai disentri yang fulminant. c) Cryptosporidium Universitas Sumatera Utara 41 Di negara yang berkembang, cryptosporidiosis terjadi 5-15% dari kasus diare pada anak. Infeksi biasanya simtomatik pada bayi dan pada anakyang lebih besar serta dewasa gejalanya bersifat asimtomatik. Gejala klinis berupa diare akut dengantipe watery diarrhea ringan dan biasanya self-llimited. Pada penderita dengan gangguan system kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS, cryptosporidiosis disease merupakan reemerging disease dengan diare yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotic. d) Microsporidium spp e) Isospora belli f) Cyclospora cayatanensis 2.4.4. Pencegahan Diare Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi faktor pendorong terjadinya diare. Faktor pendorong tersebut terdiri dari faktor agent penjamu, faktor lingkungan dan faktor perilaku. Faktor penjamu yang menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap diare tersebut diantaranya adalah tidak mendapatkan ASI selama dua tahun pada balita, kurang gizi, penyakit campak dan imunodefisiensi. Faktor lingkungan dan perilaku yang paling dominan dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap diare diantaranya adalah tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, pembuangan tinja tidak higenis, kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, serta pengolahan dan penyimpanan makanan yang tidak semestinya (Depkes, 2010). Universitas Sumatera Utara 42 Berdasarkan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi faktor pendorong terjadinya diare yang sudah dipaparkan di atas, berikut ini pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006) : 1. Pemberian ASI ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare (Depkes RI, 2006). Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006). 2. Pemberian Makanan Pendamping ASI Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian (Depkes RI, 2006). Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik yaitu : Universitas Sumatera Utara 43 a) Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi masih meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari) setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua makanan yang dimasak dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI bila mungkin. b) Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang–kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta menyuapi anak dengan sendok yang bersih. c) Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa makanan pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak (Depkes RI, 2006) 3. Menggunakan air bersih yang cukup Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecaloral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2006). Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI, 2006). Universitas Sumatera Utara 44 Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2006). Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah: a) Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia. b) Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan, membuat lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas sumber untuk menjauhkan air hujan dari sumber. c) Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air. d) Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan. (Depkes RI, 2006) 4. Mencuci Tangan Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes RI, 2006). 5. Menggunakan Jamban Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit Universitas Sumatera Utara 45 diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban (Depkes RI, 2006). Yang harus diperhatikan oleh keluarga : a) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga. b) Bersihkan jamban secara teratur. c) Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari buang air besar tanpa alas kaki. (Depkes RI, 2006) 6. Membuang Tinja Bayi yang Benar Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orangtuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar, berikut hal-hal yang harus diperhatikan: a) Kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun atau kertas koran dan kuburkan atau buang di kakus. b) Bantu anak untuk membuang air besarnya ke dalam wadah yang bersih dan mudah dibersihkan. Kemudian buang ke dalam kakus dan bilas wadahnya atau anak dapat buang air besar di atas suatu permukaan seperti kertas koran atau daun besar dan buang ke dalam kakus. Universitas Sumatera Utara 46 c) Bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan cuci tangannya (Depkes RI, 2006) 7. Pemberian Imunisasi Campak Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi campak segera setelah berumur 9 bulan (Depkes RI, 2006). Anak harus diimunisasi terhadap campak secepat mungkin setelah usia 9 bulan. Diare dan disentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang sedang menderita campak dalam 4 mingggu terakhir. Hal ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh penderita. Selain imunisasi campak, anak juga harus mendapat imunisasi dasar lainnya seperti imunisasi BCG untuk mencegah penyakit TBC, imunisasi DPT untuk mencegah penyakit diptheri, pertusis dan tetanus, serta imunisasi polio yang berguna dalam pencegahan penyakit polio (Depkes RI, 2006). Pencegahan terhadap diare atau pencarian terhadap pengobatan diare pada balita termasuk dalam perilaku kesehatan. Adapun perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok : 1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance). 2. Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Universitas Sumatera Utara 47 3. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan (health seeking behavior) Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. 4. Perilaku kesehatan lingkungan Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya. Untuk menilai baik atau tidaknya perilaku kesehatan seseorang, dapat dinilai dari domain-domain perilaku. Domain-domain tersebut adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dalam penelitian ini domain sikap tidak dinilai, karena merupakan perilaku tertutup (convert behavior). Perilaku tertutup merupakan persepsi seseorang terhadap suatu stimulus, yang mana persepsi ini tidak dapat diamati secara jelas. Sementara tindakan termasuk perilaku terbuka, yaitu respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Hal ini dapat secara jelas diamati oleh orang lain (Notoadmodjo, 2003). Universitas Sumatera Utara 48 2.5. Kerangka Konsep Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Variabel Dependen Karakteristik : - Pendidikan - Pekerjaan - Penghasilan Personal Hygiene Kasus Diare Pada Balita 12-59 Bulan Kondisi Sanitasi Jamban Universitas Sumatera Utara 49 2.6. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah : 1. Ada hubungan karakteristik ibu (pendidikan, pekerjaan, penghasilan) dengan kasus diare pada anak balita umur 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan Tahun 2014. 2. Ada hubungan personal hygine, dengan kasus diare pada anak balita umur 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan Tahun 2014. 3. Ada hubungan kondisi sanitasi jamban dengan kasus diare pada anak balita umur 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan Tahun 2014. Universitas Sumatera Utara