POTRET HUKUM TALAK DAN CERAI DI INDONESIA DAN MESIR

advertisement
108
STAIN Palangka Raya
POTRET HUKUM TALAK DAN CERAI DI INDONESIA DAN MESIR
(Analisis Deskriptif Komparatif terhadap Perlindungan Hak-Hak Perempuan)
Oleh: Imam Mustofa, MSI1
Abstrack
Ketetapan mengenai hukum keluarga, khusunya yang berkaitan dengan
talak dan cerai yang terdapat dalam kitab-kitab fikih pada umumnya bias gender.
Hal ini dapat dipahami, karena fikih disajikan tidak mengenal perbandingan
dengan kebudayan-kebudayaan lain. Fikih berkembang secara kasuistik tanpa
rencana dan sistem dan tidak mempunyai teori mengenai hukum, politik atau
ekonomi. Selain fikih kurang memberikan kebebasan kepada fuqaha, karena
situasi politik sepanjang sejarah Islam.
Pada umumnya ulama madzhab menyetujui hak talak mutlak suami,
sementara istri hanya mempunyai hak khulu’. Dengan demikian suami secara
mutlak dapat menceraikan istrinya, sementara kalau istri ingin cerai tetap harus
melibatkan suami.
Dalam konteks era modern sekarang ini Perundang-Undangan Perkawinan
tentang talak dan cerai Indonesia lebih relevan dibandingkan dengan Mesir.
Karena dalam ketentuan di Indonesia, Pengadilan mempunyai peran yang cukup
signifikan demi adanya kepastian hukum. Kehadiran pengadilan dalam proses
perceraian sebagai penengah dan pengawas agar tidak melenceng dari ketentuan
dan menghindari kesewang-wenangan terhadap salah satu pihak oleh pihak yang
lain. Selain itu agar hak masing-masing pihak lebih terjamin.
Kata Kunci : hukum talak, cerai, indonesia dan mesir
A. PENDAHULUAN
Hampir semua tulisan yang membahas masalah pembaruan dalam bidang
hukum
keluarga
menjelaskan
bahwa
adanya
tersebut
bertujuan
untuk
memperjuangkan hak-hak wanita dan menjunjung statusnya, khususnya. Namun
demikian, sebenarnya tidak semua pembaruan ini bertujuanuntuk itu, Tunisia
mereformasi perundang-undangan hukum keluarga dengan tujuan untuk unifikasi
1
Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
109
STAIN Palangka Raya
hukum keluarga. Tujuan lain dari pembaruan ini adalah untuk merespon
perkembangan dan tuntutan zaman, karena konsep fikih tradisional dianggap
kurang mampu menjawabnya.
Talak dan cerai yang merupakan bagian dari kajian hukum keluarga tidak
terlepas dari pembaruan yang terjadi di berbagai negara. Dalam tulisan ini dibahas
pembaruan hukum keluarga mengenai talak dan cerai di Indonesia dan Mesir.
Sebelum menjelaskan perkembangan hukum talak dan cerai di dua negara ini,
terlebih dahulu akan dibahas ketentuan-ketentuan talak dan cerai dalam kazanah
fikih, hususnya dalam madzhab Syafi’i dan Hanfi. Hal ini dilakukan karena pada
dasarnya perkembangan perundang-undangan yang terjadi di dua negara tersebut
berangkat dan mengacu pada aturan-aturan yang terdapat dalam kitab fikih.
Pembahasan dalam tulisan ini bersifat deskriptif komparatif, yaitu
perbandingan antara perkembangan ketentuan talak dan cerai dalam perundangundangan hukum keluarga di Indonesia dan di Mesir. Penulis sengaja memilih
Mesir karena pada dasarnya tujuan diadakannya pembaruan di dua negara ini
sama, yaitu untuk mengangkat status wanita (Mudhar, 2003:11). Selain itu, Mesir
merupakan termasuk negara yang paling awal dalam mereformasi perundangundangan hukum keluarga. Alasan lain adalah karena rata-rata kaum muslim di
dua negara ini menganut madzhab yang sama, yaitu Syafi’i dan Hanafi.
B. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Kasanah Fikih
Sebelum adanya pembaruan Perundang-undangan Hukum Perkawinan di
Indonesia, aturan-aturan yang digunakan adalah aturan yang bersumber dari kitabkitab klasik. Dan karena mayoritas muslim Indonesia adalah penganut madzhab
Syafi’i, maka yang banyak menjadi rujukan adalah kitab-kitab karya ulama
Syafi’iyah. Kitab yang biasa dipelajari dan dijadikan rujukan pengikut madzhab
Syafi’i antara lain al-Umm, Minhaju al-Thalibien, Kanzurraghibien dan
syarahnya, Minhaj al-Thullab, Fath al-Wahhab, Tuhfat al-Muhtaj, al-Mughni alMuhtaj, Nihayah al-Muhtaj, al-Muhadzdzab, Kifayah al-Akhyar fath al-Mu’in,
dan I’anah al-thalibien. Dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama, tidak
terkecuali dalam hal yang berkaitan hukum keluarga ada tiga belas kitab utama
yang menjadi rujukan, yaitu, Bughyah al-Mustarsyidien, al-Faraid, Fath al-
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
110
STAIN Palangka Raya
Mu’in, fath al-Wahhab, Hasyiyah Kifayah al-Akhyar, al-Mughni al-Muhtaj,
Qawanin al-Syar’iyyah, Qawanin al-Syar’iyyah al-Mijallil al-Hukmiyyah wa alIftaiyyah, Syarh Kanz al-Raghibien, Syarqawi ‘ala Tahrir, Tuhfat al-Muhtaj,
Targhib al-Musytaq dan Kitab al-Fiqh ‘ala madzahib al-arba’ah. Ketetapan
rujukan ini berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan No. B/1/735 Pebruari 1958
(Nasution, 2002:33).
Kalau kita cermati dan amati dalam berbagai kitab fikih klasik, pada
umumnya ulama-ulama fikih berbeda pendapat dalam penetapan hukum suatu
kasus. Tidak terkecuali dalam hal putusnya perkawinan. Perbedaan pendapat
ulama ini bisa dipahami, karena metode ijtihad dalam penetapan hukum juga
terdapat perbedaan di kalangan ulama, perbedaan penafsiran nash dan perbedaan
sosio-kultural di masa mereka hidup. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
terjadi perbedaan dalam hal putusnya perkawinan.
Putusnya perkawinan, menurut kalangan Malikiyah pada umunya
disebabkan oleh talak, khulu’ fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’ dan zhihar (Nasution,
2002:33). Menurut kalangan Hanafiyah putusnya perceraian disebabkan oleh
talak, khulu’ila’ dan zhihar (Syamsuddin, 1989:2). Sedangkan menurut Syafi’i di
antara sebab-sebab terjadinya perceraian antara lain talak, khulu’ fasakh, syiqaq,
nusyuz, ila’ zhihar dan li’an (Syafi’i, 2002:229). Secara garis besar hal-hal yang
menyebabkan putusnya perkawinan (Rafiq bahwa putusnya perkawinan dalam
perspektif fikih disebabkan oleh empat hal, yaitu: pertama, nusyuz dari pihak istri,
kedua, nusyuz suami terhadap istri, ketiga, syiqaq dan keempat, salah satu pihak
melakukan perbuatan zina. (Rafiq, 1995:269-272) dalam kazanah kitab fikih
yaitu:
Pertama, talak. Talak adalah lepasnya ikatan tali pernikahan dengan kata
talak dan sejenisnya (Al-Zuhaili, 2002:6873). Dasar hukum talak antara lain QS,
Al-Baqarah ayat 229; surat al-Thallaq ayat 1. Dasar hukum lain adalah dari hadis
yang artinya”perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu
Daud, Nasai, dan Ibn Majah dengan isnad shahih). Dalam kazanah fikih, hak
untuk men-talak hanya dimiliki oleh suami. Hal ini menurut al-Zuhaili disebabkan
oleh dua hal, pertama, pada umumnya, secara psikologis wanita lebih
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
111
STAIN Palangka Raya
mengedepankan perasaan, sedangkan perasaan wanita cukup lembut, sehingga
apabila wanita mempunyai hak talak ia akan mudah mengucapkannya meskipun
hanya dengan sebab yang sepele atau alasan yang tidak signifikan. Kedua, kaum
laki-laki, dalam hal ini adalah suami mempunyai tanggung jawab yang besar,
mulai dari mahar, nafkah, nafkah pada waktu iddah dan lain-lain (Zuhaili, tt
:6877).
Dari segi akibat hukumnya, Imam Syafi’i membagi talak menjadi talak
bai’n kubra atau talak tiga, yaitu pertama, talak tiga, kedua, talak ba’in, dan
ketiga talak raj’i (Al-syafi’i, tt:105). Akibat hukum dari talak ba’in kubra adalah
tidak diperbolehkannya ruju’ kecuali bekas istri telah dinikahi oleh laki-laki lain
didukhul kemudian dicerai. Setelah masa iddah dengan laki-laki lain maka baru
boleh ruju’ dengan suami yang telah menalak tiga (Al-syafi’i, tt:108). Selain itu,
apabila terjadi talak ba’in kubra maka isteri tidak berhak mendapatkan nafkah
dan tempat tinggal dari bekas suami. Sedangkan akibat hukum dari talak raj’i
adalah suami masih berhak untuk ruju’ dan suami tidak boleh mengusir istri dan
istri dilarang keluar rumah kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh syara’ (Alsyafi’i, tt:216).
Kedua, khulu’. Khulu’ Imam Syafi’i mendefinisikannya sebagai talak yang
dijatuhkan oleh suami dengan syarat sang istri memberikan tebusan (iwadh) (Alsyafi’i, tt:107). Sedangkan menurut kalangan Malikyyah khulu’ sama halnya
dengan talak ba’in. Begitu juga dalam hal akibat hukumnya, kalangan Syafi’i juga
berpendapat bahwa khulu’ tidak ada ruju’ dan sang istri tidak berhak mendapat
tempat tinggal. Dasar hukum khulu’ antara lain, QS: al-Baqarah ayat 229; al-nisa’
ayat 4 dan ayat 128.
Menurut Maliki, khulu’ ini dapat diwakili oleh wali atau orang lain (alZuhaili, tt:7008). Adapun syarat-syart khulu’ yaitu: 1) suami harus cakap hukum;
2) status wanita yang menuntut cerai adalah istrinya yang sah; 3) ganti rugi
merupakan barang berharga yang juga dapat dijadikan mahar (Al-Zuhaili, tt:70187022).
Ketiga, fasakh. Menurut kalangan Syafi’iyah fasakh adalah perpisahan
atau perceraian suami dengan istri yang diakibatkan oleh alasan-alasan tertentu,
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
112
STAIN Palangka Raya
seperti antara suami dan istri ternyata masih mahram, yang mengakibatkan suami
dan istri haram untuk menjalin ikatan sebagai suami istri. Mengenai hal penyebab
terjadinya fasakh, terdapat perbedaan di antara ulama. Menurut Imam Malik
fasakh terjadi apabila salah satu dari suami atau istri mengidap penyakit gila,
kudis dan penyakit kelamin yang fatal, seperti impoten. Sedangkan menurut
Syafi’i penyebab terjadinya fasakh yaitu: pertama, nikah fasid atau nikah yang
tidak dah karena alasan syar’i. kedua, karena suami tidak dapat memberikan
nafkah dan ketiga, apabila sebelum pernikahan disyaratkan perawan, namun
setelah pernikahan ternyata sang istri sudah janda. Adapun akibat hukum dari
terjadinya fasakh adalah tidak ada ruju’, dan kemungkinan untuk berkumpul
kembali hanya dengan nikah baru; istri tidak berhak mendapat tempatkan nafkah
dan tempat tinggal.
Keempat, syiqaq, yaitu percekcokan yang terjadi antara suami dan istri.
Proses yang seharusnya dilalui dalam syiqaq adalah dengan mengangkat juru
damai dari masing-masing pihak dan tetap mendatangkan pihak-pihak yang
bersangkutan.
Kelima, nusyuz, yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz
dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Nusyuz dari
pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan
tidak mau memberikan haknya. Menurut Syafi’i ada perbedaan antar nusyuz
suami dan istri. Apabila yang nusyuz suami maka jalan keluar yang ditempuh
adalah dengan perdamaian. Sementara apabila yang nusyuz istri maka dapat
ditempuh dengan tiga jalan keluar, menasehati, membiarkan sendirian di tempat
tidur atau memukul. Namun untuk memukul harus ada syarat yang harus
dipenuhi.
Keenam, ila’; menurut Hanafi ila’ adalah sumpah yang disertai nama
Allah atau salah satu dari sifat-Nya bahwa suami tidak akan menggauli istrinya
selama waktu tertentu. Sedangkan menurut Syafi’i ila’ adalah sumpah suami yang
sah talaknya untuk tidak menggauli istri secara mutlak (tidak terbatas waktu) atau
lebih dari empat bulan dengan menggunakan kata Allah maupun salah satu namaNya. Dasar hukum ila’ antara lain dalah surat al-Baqarah ayat 226-227.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
113
STAIN Palangka Raya
Menurutt Hanafi syarat ila’ adalah 1) wanita yang disumpah masih
berstatus istri; 2) suami cakap hukum atau sah talaknya; 3) tidak terikat dengan
tempat; 4) lafzh ila’ tidak terkait dengan bagian tubuh istri; dan 5) suami tidak
menggauli istrinya selama empat bulan (Wahbah al-Zuhaili, tt:7076-7077).
Ketuju, li’an, yaitu tuduhan suami terhadap istri bahwa ia telah berzina.
Dasar hukum li’an adalah surat al-Nur ayat 6-8.. Menurut Hanafi li’an harus 1) di
hadapan hakim; 2) dilakuan stelah diminta oleh hakim; 3) lafazh li’an diucapkan
lima kali dan sumpah; 4) lafazh li’an sesuai dengan tuntuna Al-Quran; 5) proses
pengucapan dimulai empat kali ucapan sumpah kemudian diikuti dengan
melaknat, dan )boleh menunjuk pihak lain.
Kedelapan, zhihzar, yaitu menyerupakan istri dengan wanita yang
menjadi mahram suami, seperti ibu, saudara perempuan kandung dan lain-lain,
baik menyerupakan secara keseluruhan, maupun hanya sebagian anggota tubuh.
Dasar hukum zhiharantara lain surat al-Mijadalah ayat 2 dan surat al-Maidah ayat
89. Akibat hukum dari zhihar yaitu 1) suami tidak boleh menggauli istri dan 2)
istri berhak meminta digauli dan berhak menolak (Al-Zuhaili, tt:7123-7164).
Dari kedelapan hal-hal yang dapat mengakibatkan putusnya perceraian
di atas, hampir semuanya berada pada kendali suami. Bahkan pada talak, di dalam
kitab-kitab fikih tidak terdapat keterangan yang jelas mengenai sebab-sebab yang
membolehkan suami untuk men-talak istrinya. Dan dari sekianbanyak sebab
putusnya perceraian hanya satu yang berada dalam kendali istri, yaitu khulu’.
Meskipun khulu’ menjadi hak istri, itupun masih harus melalui ketentuan yang
melibatkan suami. Ketentuan fikih juga tidak mengatur proses perceraian.
Perceraian tidak harus dilakukan di depan sidang pengadilan atau di depan hakim.
C. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Perundang-Undangan Hukum
Perkawinan di Indonesia
Munculnya ide pembaruan Perundang-Undangan Hukum Perkawinan di
berbagai Negara muslim dewasa ini tidak terlepas dari banyaknya masukan dari
pemikiran kaum intelektual (Nasution, tt:9.), khususnya yang telah banyak belajar
ke dunia Barat. Para intelektual ini menekankan pentingnya pembaruan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
114
STAIN Palangka Raya
Perundang-Undangan Hukum Keluarga yang selama ini berpijak pada kitab-kitab
fikih abad pertengahan atau kitab klasik agar lebih menekankan pada realitas
sosio-kultural masyarakat.
Pada dasarnya pembaruan Hukum Perceraian di Indonesia relatif
terlambat dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, seperti Turki,
Mesir, Tunisia, Maroko, Syiria, Irak dan lainnya. Namun demikian apa yang
pembaruan yang terjadi di Indoensia lebih maju dibandingkan dengan negaranegara Asia Tenggara, seperti Filipina, Singapura, Brunei Darussalam dan
Thailand (Nasution, tt:10).
1. Sebab-sebab perceraian
Pasal 38 UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus
karena, 1) kematian, 2) perceraian, dan 3) atas putusan Pengadilan. Mengenai
putusnya perkawinan yang disebabkan oleh putusan Pengadilan adalah apabila
salah satu pihak suami atau istri bepergian dalam waktu yang cukup lama tanpa
ada kabar yang jelas. Undang-undang ini tidak menjelaskan berapa lama waktu
yang menjadi alasan bagi Pengadilan untuk memutuskan cerai. Undang-undang
ini juga tidak menjelaskan berapa jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau
dianggap meninggalnya seseorang itu (Rasyidi, 1982:291). Namun demikian hal
ini akan jelas apabila merujuk pada pasal 493 Hukum Perdata (pasal 467 dan
468).
Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 disebutkan hal bahwa perceraian
dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
c) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
d) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
115
STAIN Palangka Raya
e) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI (Bisri, 1999:115-116) tampaknya menggunakan alur UU.No. 1/1974,
walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturanaturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab
XVI. Dalam pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: 1)
Kematian, 2) Perceraian dan 3) Atas putusan Pengadilan. Pasal selanjutnya, pasal
114 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Di sini kita bisa mencermati bahwa KHI menambahkan talak dalam hal
yang mengakibatkan perceraian. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang
Perkawinan No. 1/tahun 1974 yang tidak mengenal istilah talak, kemudian
disebutkan dalam pasal 117 bahwa yang dimaksud talak adalah:
Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 129, 130 dan pasal 131.
Di sini KHI mensyaratkan ikrar talak harus disampaikan di depan sidang
Pengadilan Agama. Hal ini senada dengan yang disebutkan dalam pasal 66 ayat
(1) UU No. 7/1974.
Adapun yang menjadi alasan perceraian dijelaskan dalam pasal 116 yang
menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-trut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
116
STAIN Palangka Raya
e) Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g) Suami melanggar taklik talak;
h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya keidak rukunan
dalam rumah tangga.
Berbagai alasan yang disebutkan pada poin-poin di atas merupakan alasan
untuk permohonan cerai talak. Untuk poin terakhir, (k), yaitu permohonan cerai
karena terjadi percekcokan terus menerus (syiqaq) dalam pasal 76 UU No. 7/
1989, ayat 1) apabila gugatan perceraian berdasarkan atas alasan syiqaq, maka
untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi
yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat suami istri.” Ayat (2)
“pengadilan setelah mendengar saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri
dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun
orang lain untuk menjadi hakim.”
Kemudian tentang permohonan cerai yang berdasarkan li’an dijelaskan
dalam pasal 87 ayat 1 UU No. 7/ 1989 yang berbunyi “Apabila permohonan atau
gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan
pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau
tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan
atau gugatan bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat
bukti tidak mungkin diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari
termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon
atau tergugat untuk bersumpah.
Berangkat dari pasal 116 KHI, ada tambahan dua sebab perceraian
dibanding dengan pasal 19 PP No. 9 /tahun 1975 yaitu sumi melanggar taklik
talak dan murtad. Tambahan ini cukup penting, karena pada Undang-undang yang
lain tidak disebutkan. UU No. 1/1974 juga tidak menyinggung masalah murtad
sebagai alasan perceraian. Penyebutan murtad sebagai salah satu sebab perceraian
merupakan suatu kemajuan. Dengan demikian apabila salah satu pihak suami atau
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
117
STAIN Palangka Raya
isteri keluar dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan
permohonan cerai kepada pengadilan (Tarigan, 2004:222-223).
Selanjutnya KHI menyebutkan aturan-aturan tentang talak pasal 118 pasal 123. Dalam KHI disebutkan pembagian talak kepada talak raj’I, talak
bainsughra dan talak bain kubra. Yang dimaksud dengan talak raj’I adalah adalah
talak ke satu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selam istri dalam masa
iddah..., sedangkan talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi
boleh dengan akad nikah baru dengan bekas suamimya meskipun dalam iddah
(KHI pasal 119 ayat (1)). Talak ba’in sughra yang dimaksud di sini adalah talak
yang terjadi qabla dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ dan talak yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Agama (KHI pasal 119 ayat (1)). Sedangkan talak
ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk yang ketiga kalinya. Talak jenis ini
tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis masa iddahnya (KHI pasal
120).
2. Proses perceraian
Menurut
UU.No. 1/1974 perceraian harus dilakukan depan sidang
Pengadilan, UU ini menjelaskannya dalam pasal 39 yang menyatakan:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu
tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Di dalam UU No. 7 tahun 1989 pasal 65 tentang Peradilan Agama
dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. Sedangkan di dalam KHI pasal 115 dinyatakan:
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
118
STAIN Palangka Raya
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak
Mengenai tempat pengajuan permohonan cerai talak harus diajukan ke
pengadilan, hal ini berdasarkan UUPA No. 7/1989 pasal 66:
1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak.
2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya, meliputi tempat kediaman termohon,
kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3) Dalam hal termohon bertempat tinggal di luar negeri, permohonan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Berbeda dengan UUPA No. 7/1989 yang tidak memuat aturan tatacara
pelaksanaan talak, KHI mengaturnya dalam pasal 129:
Seorang suami yang akan menjatuhjan talak kepada istrinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai
dengan alasan meminta agara diadakan sidang untuk keperluan itu.
Keterangan di atas menjelaskan bahwa dalam perundang-undangan yang
berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang hendak menalak istrinya dapat
mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Permohonan tersebut dapat
berupa lisan maupun tulisan dan harus disertai dengan bukti-bukti. Dan hal yang
paling berbeda dengan ketentuan dalam fikih adalah perceraian yang sah adalah
perceraian yang dilakukan di depan sidang, hal ini diatur dalam pasal 39 UUP No.
1/1974, UUPA No. 7/1989 dalam KHI pasal 115.
Menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena talak dijelaskan
dalam PP No. 9/1975 pasal 17 sebagai berikut:
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan
perceraian yang dimaksud dalam pasal 16, Ketua Pengadilan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
119
STAIN Palangka Raya
membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut.
Surat keterangan itu dikirim kan kepada Pegawai Pencatat di
tempat perceraian terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Selanjutnya pasal 18 menyatakan bahwa perceraian itu dihitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini senada dengan yang
dituangkan dalam KHI pasal 123:
perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang pengadilan
Mengenai cerai gugat atau khulu’, gugatan perceraian harus diajukan oleh
istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat tinggal penggugat, kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin suami (Warjiyati, 1997:33). Cerai gugat hanya boleh dilakukan apabila
disertai dengan alasan-alasan yang tepat, seperti suami meninggalkan istri selama
dua tahun berturut-turut tanpa izin istrinya tanpa alasan yang sah atau suami
seorang yang murtad dan tidak memenuhi kewajiban kepada istrinya, sedangkan
istri khawatir akan melanggar hukum Allah. Dalam kondisi seperti ini istri tidak
wajib menggauli suami dengan baik dania berhak untuk khulu’. Penjelasan
mengenai khulu’ ini terdapat dalampasal 148 KHI.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang ditetapkan
dalam undang-undang hukum keluarga telah mengalami kemajuan yang cukup
signifikan apabila dibanding dengan ketetapan yang ada dalam kitab-kitab fikih.
Berkaitan dengan tujuan pembaruan, yaitu untuk mengangkat status sosial wanita
juga sudah tampak, ini dapat kita cermati bahwa dalam kitab-kitab fikih tidak
menjelaskan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan talak. Sedangkan dalam
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khusunya sekarang, untuk
menjatuhkan talak harus ada alasan yang dikuatkan dengan saksi-saksi.
Permohonan talak dengan alasan apapun harus diajukan ke pengadilan serta harus
diucapkan di depan sidang. Terjadinya perceraian baik dengan talak maupun
gugat cerai terhitung sejak putusan Pengadilan Agama, putusan perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan surat cerai.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
120
STAIN Palangka Raya
Namun demikian, pada umumnya perundang-undangan yang ada belum
secara total menjunjung hak-hak dan martabat wanita, karena masih banyak pasal
yang bias gender, seperti dalam masalah iddah. Hal ini dapat dipahami karena
pada umunya pembaruan perundang-undangan di Indonesia masih bertumpu pada
ketentuan fikih.
D. Ketentuan Talak dan Cerai dalam Perundang-Undangan Hukum
Keluarga di Mesir
Pada umumnya muslim Mesir menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi
(Mahmood, 1972:48). Maka tidak mengherankan apabila ketentuan-ketentuan
yang digunakan dalam hukum keluarga di Mesir banyak mengambil dari kedua
madzhab ini, khususnya sebelum terjadi pembaruan.
Dibandingkan Indonesia, Mesir lebih awal melakukan pembaruan
Perundang-Undangan Perkawinan. Mesri juga lebih sering dalam melakukan
pembaruan ini. Namun demikian bukan berarti perundang-undangan Mesir lebih
lengkap dan lebih menjamin keadilan semua pihak.
1. Sebab-sebab perceraian
Undang-Undang Mesir tidak memberikan legitimasi kepada istri untuk
menuntut cerai kecuali ada kekerasan atau suami mengalami kelainan atau
penyakit seksual seperti impoten. Madzhab Hanafi memang agak kaku (rigid),
istri harus menahan diri perceraian, jadi harus menghindari perceraian
semaksimal mungkin. Hal ini berbeda dengan tiga madzhab lainnya, terutama
madzhab Maliki yang lebih mengedepankan rasio dan liberal (Esposito, 1982:53).
Pertama kali terjadi pembaruan pada Undang-undang Hukum Keluarga di
Mesir adalah pada tahun 1915, pada masa daulah Utsmaniyah. Dalam irada,
Sultan menetapkan bahwa istri dapat menuntut cerai apabila suami meninggalkan
istrinya (Esposito, 1982:53). Dalam irada lain ditetapkan bahwa seorang istri
dapat meminta cerai dengan alasan bahwa suami mengidap penyakit yang
menyebabkan tidak mungkin hidup bersama sebagai suami istri (Nasution,
tt:245). Kemudian pada tahun 1917 Sultan mengeluarkan ketetapan kembali
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
121
STAIN Palangka Raya
melalui The Ottaman Law of Family Rights yang menyatakan bahwa
diperbolehkannya taklik talak bagi istri dan suami tidak boleh nikah lagi dengan
wanita lain. Ketetapan ini merupakan ketetapan pertama yang menjadi acuan
pembaruan perundang-undangan hukum keluarga (Esposito, 1982:53).
Perkembangan selanjutnya adalah ketika Mesir menetapkan UndangUndang No. 25 Tahun 1920. dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa
pengadilan berhak untuk memutuskan cerai dengan alasan suami tidak mampu
memberi nafkah, begitu juga apabila suami mengidap penyakit yang
membahayakan. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 1929 alasan untuk
menuntut talak diperluas. Dalam Undang-undang ini ditetapkan dua hal yang
dapat dijadikan Pengadilan untuk menetapkan talak yaitu:
1. Apabilas suami tidak mampu untuk memberikan nafkah;
2. Apabila suami mempunyai penyalkit menular atau membahayakan;
3. Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami;
4. Apabila suami pergi meninggalkan istri dalam waktu yang cukup lama
(Esposito, 1982:53).
Menurut Khoiruddin Nasution, hal ini berarti bahwa Undang-undang tahun
1920
memberdayakan
pengadilan
dan
memperluas
definisi
penyakit
membahayakan, sedangkan Undang-undang tahun 1929 memberdayakan
pengadilan (Nasution, tt:245).
Pasal 2 UU No. 25 tahun 1929 disebutkan bahwa talak yang diucapkan
sebagai sumpah atau ancaman itu selayaknya dianggap mempunyai akibat hukum
apabila suami yang bersangkutan benar-benar menghendakinya. Dan di dalam
pasal 3 disebutkan bahwa istri berhak mengajukan cerai apabila dirasa jika rumah
tangga tetap diteruskan akan membahayakan istri. Dan apabila terjadi
pertengkaran yang tidak mungkin ada perdamaian, maka dalam keadaan seperti
ini pengadilan berhak menetapkan perceraian (Esposito, 1982:56).
Dalam hal suami meninggalkan istri, UU tahun 1929 menyatakan bahwa
apabila suami meningglkan istri selama satu tahun atau lebih tanpa ada alasan
yang jelas dan tanpa keterangan, maka istri berhak menuntut cerai. Apabila
ternyata suami kembali, sebelum terjadi perceraian, maka ia harus meyakinkan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
122
STAIN Palangka Raya
istri untuk meneruskan rumah tangga dan apabila gagal maka pengadilan berhak
menetapkan perceraian (Esposito, 1982:57).
Pada bulan Juli 1979 Mesir menetapkan Undang-undang No. 44 yang di
dalamnya menyatakan bahwa. Amandemen ini berisi lebih jauh mengenai
amandemen hukum keluarga. Di antara isinya adalah istri harus diberi tahu ketika
suami akan melangsungkan poligami, atau poligami harus mendapatkan izin dari
istri, dan apabila istri tidak mengizinkan maka ia berhak menuntut cerai. Apabila
suami menyembunyikan fakta dari istri kedua bahwa dia telah beristri maka istri
kedua berhak menuntut cerai.
2. Proses perceraian
Mesir selalu berusaha memperbarui undang-undang hukum keluarga untuk
mengangkat status wanita. Namun demikian tidak selalu berhasil. Pada tahun
1943 dan 1945 menteri Sosial menyiapkan draf yang di dalamnya menyebutkan
bahwa seorang suami hanya boleh menceraikan istrinya setelah mendapat izin
dari pengadilan dan petugas tidak boleh mencatatkan perceraian yang tidak
diizinkan hakim. Pasal 2 menyebutkan bahwa hakim hanya memberikan izin
perceraian kalau memang usaha perdamaian tidak berhasil. Orang yang
melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman kurungan atau denda,
meskipun perceraian tetap sah. Namun demikian draf ini ditolak, Karena
ditentang oleh sejumlah ulama (Anderson, tt:246).
Perkembangan selanjutnya yaitu pada tahun 1985. Dalam pasal 5 Undangundang No. 100 tahun 1985 dinyatakan bahwa perceraian harus dicatatkan dalam
sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh notaris yang berwenang, 30 hari
setelah terjadi perceraian. Keberadaan istri harus diperhatikan kalau hadir pada
waktu membuat sertifikat. Kalau tidak hadir, istri harus dikirimkan salinan
sertifikat dan pihak-pihak lain yang dianggap penting sesuai dengan prosedur
yang ada, dan harus ditetapkan Menteri Kehakiman. Akibat perceraian terhitung
dari tanggal sertifikat tersebut (Hincheliffe, 1996:56).
Pada Januari 2000, pemerintah Mesir mengamandemen undang-undang,
apabila terrjadi ketidakcocokan maka istri berhak menggugat cerai (khulu’). Jadi
istri dapat menuntut cerai tanpa harus menunggu keputusan pengadilan yang
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
123
STAIN Palangka Raya
dibuat berdasarkan bukti-bukti substantif dan keterangan pendukung berkaitan
perlakuan tidak baik oleh suami. Sebaliknya, permohonan cerai berdasarkan
undang-undang ini menetapkan bahwa istri sebaiknya mengembalikan mahar
(http://kompas.com/kompas-cetak/0608/16/nasional/2887656).
E. Analisis Komparatif
Dalam sub bab ini penulis tidak menganalisis ketentuan talak dan cerai
dalam kitab-kitab fikih konvensional, karena pembahasan ketentuan dalam kitabkitab tersebut hanya sebagai pijakan pembahasan perkembangan hukum talak dan
cerai dalam perundang-undangan di Indonesia dan Mesir. Dalam sub bab ini
hanya aka menganalisa ketentuan yang berlaku di dua negara di atas. Namun
demikian, pad dasarnya di sinilah letak persamaanantara Perundang-undangan
Perkawinan Indonesia dan Mesir, yaitu keduanya berangkat dan berpijak pada
kitab-kitab fikih kovensional. Bahkan madzhab mayoritas masyarakat kedua
negara ini sama, yaitu madzhab Syafi’i.
Mesir lebih awal melakukan reformasi di bidang hukum keluarga,
khususnya mengenai cerai dan talak. Sama dengan Indonesia, tujuan pembaruan
hukum keluarga di Mesir juga untuk meningkatkan status wanita (Esosito, tt:53).
Dengan adanya pembaruan perundang-undangan cerai dan talak ini maka suami
tidak dapat menjatuhkan talak secara semena-mena terhadap istri. Karena suami
harus dapat mengajukan bukti-bukti dan saksi tentang alasan permohonan
talaknya. Selain itu talak harus melalui proses sertifikasi. Berkaitan dengan gugat
cerai, istri juga diberi hak yang lebih luas, yaitu dapat mengajukan gugatan
khulu’. Begitu juga apabila suami pergi meninggalkan istri tanpa alasan yang
jelas, suami mengidap penyakit atau tidak mampu memberikan nafkah maka ia
dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.
1. Sebab-sebab perceraian
Dari aspek sebab-sebab perceraian perundanga-undangan perkawinan di
Indonesia lebih luas, setidaknya ada delapan poin yang menjadi penyebab
perceraian dalam perspektif Perundang-undagan Perkawinan di Indonesia.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
124
STAIN Palangka Raya
Perundang-undangan Mesir hanya menyebutkan enam poin yang sebagaiman
dijelaskan di atas.
Selain itu, ketentuan talak dan cerai dalam Perundang-undangan
Indonesia mencakup hal-hal yang bersangkutan dengan isteri dan juga suami.
Sehingga penyebutan dalam pasal-pasal dengan menggunakan kata “salah satu”
(salah satu suami atau istri). Hal ini berbeda dengan pasal-pasal dalam perundangundangan perkawinan di Mesir yang menggunakan kata “apabila suami”. Jadi
yang menjadi obyek pembahasan penyebab perceraian hanya suami. Hal ini
seolah-olah yang menjadi penyebab perceraian hanya bisa terjadi pada diri susmi.
Padahal, tidak demikian, baik suami maupun istri bisa saja melakukan perbuatan
yang dapat menyebabkan terjaidnya perceraian.
Perbuatan zina, perlakuan yang kejam, dipenjarakan selama lima tahun
atau lebih, kemurtadan salah satu pihak suami atau istri, menurut Perundangundangan Hukum Perkawinan di Indonesia menjadi penyebab terjadinya
perceraian. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Mesir yang tidak
menjelaskan hal-hal tersebut. Namun demikian, dalam ketentuan yang berlaku di
Mesir menyebutkan bahwa apabila suami tidak dapat memberikan nafkah maka
hal ini bisa menjadi penyebab perceraian. Dan tentunya dengan pengajuan
gugatan cerai oleh pihak istri.
Selantnya, Perundang-Undangan Perkawinan Mesir tidak menjelaskan
tentang kematian sebagai penyebab putusnya tali pernikahan. Hal ini berbeda
dengan Perundangang-undangan di Indonesia yang menyebutkan kematian
sebagai penyebab perceraian. Namun menurut penulis kematian tidak cukup urgen
untuk disebutkan dalam pasal-pasal sebagai penyebab perceraian, karena apabila
salah satu pihak meninggal maka secara otomatis perkawian berakhir.
Dalam hal salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain - kalau dalam
Perundang-Undangan Mesir disebutkan apabila suami pergi meninggalkan pihak
lain- dari segi waktu, tenggat waktu yang disebutkan dalam Perundang-Undangan
yang berlaku di Indonesia lebih lama, yaitu selama dua (2) tahun. Hal ini berbeda
dengan yang berlaku di Mesir yanghanya memberikan waktu satu tahun. Menurut
penulis, waktu satu tahun terlalu cepat atau terlalu singkat untuk dijadikan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
125
STAIN Palangka Raya
penyebab putusnya perkawinan. Seharusnya ditinjau dari kemampuan masingmasing pihak untuk tidak mendapatkan pelayanan, kalau pada istri, apakah dia
mampu bertahan ketika selama satu tahun tidak mendapatkan nafkah dari suami.
Kalau memang masih dapat bertahan mengapa ditinggalkan selama satu tahun
menjadi penyebab perceraian. Begitu juga waktu dua tahun sebagaimana yang
disebutkan dalam perundang-undangan atau ketentuan talak dan cerai di
Indonesia. Kalau ditinggalkan selama dua tahun masih bisa bertahan,megapa
harus terjadi perceraian.
Yang menarik dari perundang-undangan perkawianan Mesir adalah dalam
hal istri yang tidak setuju dengan poligami suami, maka istri pertama dapat
menggugat cerai. Begitu juga apabila suami tidak berterus terang tentang
statusnya dengan istri pertama, maka istri kedua juga bisa menggugat cerai. Hal
ini tidak disinggung sama sekali alam Perundang-undangan Perkawinan
di
Indoneisia. Hanya saja apabila suami akan melaksanakan poligami harus
mendapatkan izin dari istri pertama dengan mengajukan bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Proses perceraian
Dalam hal proses perceraian, ada sedikit perbedaan antara ketentuan yang
berlaku diIndonesia dan Mesir. Ketentuan yang berlaku di Indonesia menyatakan
bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tulisan dan harus disertai dengan bukti-bukti.
Sedangkan ketentuan yang berlaku di Mesir tidak mensyaratkan pengajuan
permohonan, namun hanya
mensyaratkan
pencatatan tentang terjadinya
perceraian. Selain itu, pengadilan menuntut adanya bukti-bukti yang menjadi
alasan dilaksanakannya ikrar talak atau cerai. Sedangkan di Mesir pembuktian ini
tidak disinggung.
Di samping hal di atas, Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia hanya
mengakui perceraian itu sah apabila dilakukan di depan sidang di Pengadilan.
Sedangkan ketentuan Mesir tidak secara jelas menssyaratkan itu. Akan tetapu
hanya menyatakan bahwa perceraian harus didaftarkan untuk mendapatkan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
126
STAIN Palangka Raya
sertifikat cerai. Sertifikat tersebut harus ditandatangani oleh notaris yang
berwenang, 30 hari setelah terjadi perceraian.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa dalam Perundang-undangan
perkawinan, Pengadilan gama mempunyai otoritas yang cukup kuat dalam
menentukan putus tidaknya suatu perkawinan. UUP No. 1 /1974, UUPA No.
7/1989, PP No. 9/1975 dan KHI menyatakanbahwa “Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Menurut Alyasa Abu Bakar, aturan-aturan perceraian yang terdapat dalam
Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia seperti UUP dan UUPA berikut
penjelasannya masih mengandung beberapa persoalan mendasar. Setidaknya ada
empat kesimpulan yangia kemukakan setelah mencermati perundang-undangan
perkawinan diIndonesia, Pertama, perceraian dilakukan oleh para pihak sendiri,
dalam hal ini adalah suami. Pengadilan hanya menyaksikan dan memberikan
keterangan tentang terjadinya perceraian. Kedua, perceraian dan sidang
pengadilan harus dilakukan dalam rangka untuk itu, apabila penyaksian
pengadilan di luar sidang maka perceraian tidak sah. Ketiga, secara implisit dapat
dikatakan bahwa perceraian tersebut baru boleh dilakukan apabila telah mendapat
izin dari Pengadilan. Keempat, perceraian dianggap terjadi sejak talak diucapkan
suami di depan sidang pengadilan tersebut (Abu Bakar, 1998:57-62).
Ketentuan Indonesia menyatakan bahwa sesaat setelah dilakukan sidang
pengadilan untuk menyaksikan perceraian, maka Ketua Pengadilan membuat surat
keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirim
kan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk diadakan
pencatatan perceraian. Jadi, pihak yang bersangkutan, baik suami maupun istri
tidak mendapatkan sertifikat atau akte cerai, tapi hanya mendapat salinan Putusan
Pengadilan tentang terjadinya talak perceraian. Hal ini berbeda dengan ketentuan
yang berlaku di Mesir yang memberikan sertifikat Cerai kepada masing-masing
pihak.
Hal lain yang membedakan antara ketentuan indonesia dan Mesir adalah
tentang mulai dihitungnya atau berlakunya ketetapan perceraian. Dalam ketentuan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
127
STAIN Palangka Raya
Indonesia (PP No. 9/1975 pasal 17 dan KHI pasal 123) dinyatakan bahwa
“Perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
pengadilan.” Hal ini berbeda dengan ketentuan Mesir (Undang-undang No. 100
tahun 1985 pasal 5) yang di antara isinya menyebutkan bahwa. Akibat perceraian
terhitung dari tanggal sertifikat tersebut.
F. PENUTUP
Ketetapan mengenai hukum keluarga, khusunya yang berkaitan dengan
talak dan cerai yang terdapat dalam kitab-kitab fikih pada umumnya bias gender.
Hal ini dapat dipahami, karena fikih disajikan tidak mengenal perbandingan
dengan kebudayan-kebudayaan lain. Fikih berkembang secara kasuistik tanpa
rencana dan sistem dan tidak mempunyai teori mengenai hukum, politik atau
ekonomi. Selain fikih kurang memberikan kebebasan kepada fuqaha, karena
situasi politik sepanjang sejarah Islam.
Pada umumnya ulama madzhab menyetujui hak talak mutlak suami,
sementara istri hanya mempunyai hak khulu’. Dengan demikian suami secara
mutlak dapat menceraikan istrinya, sementara kalau istri ingin cerai tetap harus
melibatkan suami.
Pembaruan Perundang-Undangan Hukum keluarga, dalam hal ini yang
berkaitan dengan talak dan cerai, baik di Indonesia maupun di Mesir masih
bertumpu pada ketetapan yang ada dalam kitab-kitab fikih, sehingga masih perlu
terus dikembangkan sampai Undang-undang tersebut benar-benar menjunjung
hak-hak dan statusnya. Namun demikian, sudah banyak kemajuan dalam hal talak
dan cerai, baik di Indonesia maupun di Mesir Harus melibatkan pengadilan. Selain
itu semua proses perceraian harus dengan bukti-bukti pembenar dan perceraian
dihitung sejak dikeluarkannya surat cerai, kalau di mesir sertifikat cerai.
Ada beberapa perbedaan dan persamaan antara Perundang-Undangan
Hukum Perkawinan, khususnya mengenai talak dan cerai yang berlaku Mesir di
Mesir dan di Indoensia, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun demikian dalam
pengamatan penulis sisi perbedaan keduanya lebih banyak dari pada
persamaannya, baik tentang sebab-sebab perceraian maupun tentang prosesnya.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
128
STAIN Palangka Raya
Sebab-sebab yang disebutkan dalam perundang-Undangan Indonesia lebih
lengkap dan melibatkan suami istri sebagai obyek pembahasannya. Hal ini
berbeda dengan Perundang-undangan di Mesir kurang lengkap dan cenderung
lebih banyak membahas hal-hal yang berkaitan dengan suami sebagai penyebab
perceraian. Begitu juga dalam proses perceraian. Dalam perundang-undangan
Indonesia, Pengadilan mempunyai peran yang cukup dominan dalam menentukan
perceraian. Sedangkan di Mesir tidak demikian.
Sebagai penutup, menurut hemat penulis, dalam konteks era modern
sekarang ini Perundang-Undangan Perkawinan tentang talak dan cerai Indonesia
lebih relevan dibandingkan dengan Mesir. Karena dalam ketentuan di Indonesia,
Pengadilan mempunyai peran yang cukup signifikan demi adanya kepastian
hukum. Kehadiran pengadilan dalam proses perceraian sebagai penengah dan
pengawas agar tidak melenceng dari ketentuan dan menghindari kesewangwenangan terhadap salah satu pihak oleh pihak yang lain. Selain itu agar hak
masing-masing pihak lebih terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rafiq, 1995. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
al-Syafi’i, 2002. Al-Umm. Beirut: Dari al-kutub al-‘ilmiyyah.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Uu No.
1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana.
Atho’ Mudhar dan Khoiruddin Nasution (editor), 2003. Hukum Keluarga di
Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press.
Bhader Johan Nasution dan Sri Warjiyati, 1997. Hukum Perdata Islam. Bandung:
Mandar Maju.
Cik Hasan Bisri, [penyunting], 1999. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: logos Wacana Ilmu.
Dawoud El Alami dan Doreen Hincheliffe, 1996. Islamic Marriage and Divorce
Laws of the arab World. London, the Hague, Boston: Kluwer Law
International.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
129
STAIN Palangka Raya
http://kompas.com/kompas-cetak/0608/16/nasional/2887656.htm accesed
16.30:3/12/2006.
J.N.D. Anderson, 1959. Recent Development in Syaria Law V. New York: New
York University Press.
John, L. Esposito, 1982. Women in Muslim Family law. Syracuse University
Press.
Khoiruddin Nasution, 2002. Status Waita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim kontemporer di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta: Indonesian-Netherlands Coorperation in Islamic Studies
[INIS].
Lili Rasyidi, 1982. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan
Indoensia. Bandung; Alumni.
Syamsuddin al-Sarakhsi, 1989. al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Ma’rufah.
Tahir Mahmood, 1972. Family Reform in the Muslim World. Bombay: NM.
TRIPATI PVT. LTD.
Wahbah al-Zuhaili, 2002. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Darul Fikr alMu’ashirah.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 5, Nomor 2, Desember 2011
Download