1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca (green house gas/GHG) terpenting yang dihasilkan dari aktivitas manusia, yaitu 77% dari total emisi GHG antropogenik pada tahun 2004. Laju peningkatan tahunan dari konsentrasi CO2 di atmosfir secara global semakin besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1995 – 2005) yaitu rata-rata 1,9 ppm/tahun (IPCC 2007). Terjadinya peningkatan emisi gas CO2 dan GHG lainnya ke atmosfir secara terusmenerus telah berkontribusi pada terjadinya perubahan iklim (Nellemann et al. 2009). IPCC (2007) mendefinisikan perubahan iklim (climate change) sebagai suatu perubahan kondisi iklim yang dapat teridentifikasi, melalui perubahan ratarata atau perubahan sifatnya dalam jangka waktu yang panjang, misalnya satu dekade atau lebih. Faktor yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim dapat berupa faktor alamiah maupun aktivitas manusia (antropogenik) yang menyebabkan peningkatan emisi GHG ke atmosfir yang berdampak pada terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi. Faktor alamiah diantaranya yaitu kebakaran hutan dan aktivitas gunung berapi, sedangkan aktivitas manusia yang utama berupa kegiatan transportasi dan industri. Sub sektor akuakultur saat ini juga diposisikan sebagai salah satu aktivitas manusia yang ikut menyumbang emisi GHG CO2 antropogenik ke atmosfir, walaupun besarannya belum diketahui secara kuantitatif. Sementara itu, rumput laut sebagai salah satu komoditas akuakultur berpotensi untuk menyerap karbon, yang dimanfaatkan dalam proses fotosintesis untuk pertumbuhan dan produksi biomassanya. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Muraoka (2004) yang menunjukkan bahwa berbagai spesies rumput laut yang hidup secara alami pada perairan pantai di Jepang mampu menyerap karbon sebesar 2.669 ton C/tahun dengan luas area 2.012 km2, dengan rata-rata laju penyerapan sebesar 13,27 ton C/ha/tahun, yang setara dengan 48,66 ton CO2/ha/tahun. Berbagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim telah dilakukan oleh berbagai sektor, termasuk sektor Kelautan dan Perikanan. Salah satu langkah yang telah diambil oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait upaya mitigasi tersebut adalah penanaman vegetasi pantai yang dapat mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer (Aldrian et al. 2011). Sejauh ini upaya mitigasi yang umumnya dilakukan lebih cenderung berbasis ekosistem (ecosystem based). Pelaksanaan program industrialisasi kelautan dan perikanan, dengan 6 komoditas unggulan yang menjadi prioritas produksi untuk tahun 2012 yaitu udang, tuna, rumput laut, bandeng, lele dan patin; dengan target produksi khususnya perikanan budidaya sebesar 9,4 juta ton, yakni 38% lebih tinggi dari total capaian produksi tahun 2011 yaitu 6,8 juta ton (KKP 2012). Pada tahun 2012, rumput laut masih menjadi komoditas andalan untuk memenuhi target produksi perikanan budidaya dimana pada tahun 2011 produksi rumput laut telah menyumbangkan 60% dari total produksi perikanan nasional. Jenis rumput laut yang menjadi komoditas unggulan untuk pencapaian target produksi tersebut 2 terutama adalah Kappaphycus alvarezii yang merupakan jenis utama dari komoditas ekspor rumput laut Indonesia sebagai penghasil karaginan. Pengikatan karbon oleh algae yang merupakan organisme fotoautotrofik berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat membantu mengurangi kecenderungan terjadinya pemanasan global (Kaladharan 2009). Rumput laut atau makroalgae termasuk salah satu vegetasi pantai yang merupakan penyerap karbon (carbon sink) yang sangat baik jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial. Untuk pertumbuhan dan perkembangannya, rumput laut melakukan proses fotosintesis dengan memanfaatkan CO2 dan energi cahaya yang dikonversi menjadi karbohidrat. Meskipun faktor-faktor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut tergolong sederhana (nutrien, trace mineral, air CO2 dan cahaya matahari) dan relatif sama dengan tumbuhan terestrial, namun kelompok algae ini dapat memanfaatkannya dengan sangat efisien sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi (Packer 2009). Menurut Dawes (1981) terdapat empat faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap laju fotosintesis pada rumput laut yaitu intensitas cahaya, temperatur, salinitas dan kondisi kekeringan akibat mekanisme pasang-surut. Selain itu, produktivitas algae juga dipengaruhi oleh kompleksitas morfologi; algae dengan morfologi yang kompleks memiliki produktivitas yang lebih rendah dibandingkan yang berbentuk lembaran. Hasil penelitian Kaladharan (2009) memperlihatkan bahwa Gracilaria corticata (alga merah) dan Sargassum polycystum (alga coklat) mampu memanfaatkan 100% CO2 terlarut untuk fotosintesis dengan peningkatan konsentrasi CO2 5 mg/L lebih tinggi dibandingkan kondisi di lingkungan asalnya. Sedangkan Ulva lactuca (alga hijau) memanfaatkan 100% CO2 terlarut hingga konsentrasi 15 mg/L melebihi kondisi lingkungan asalnya. Selain itu, hasil uji terhadap beberapa spesies mikroalgae memperlihatkan kemampuan memanfaatkan CO2 terlarut hanya pada perlakuan konsentrasi 15 mg/L, yaitu sebesar 27,7%; sedangkan pada konsentrasi lebih tinggi atau lebih rendah tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap fiksasi carbon. Aktivitas marikultur pada skala besar, khususnya untuk spesies rumput laut ekonomis penting, secara global dapat menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfir dan juga menghasilkan biomassa untuk bahan baku industri fikokoloid dari rumput laut (Kaladharan 2009). Oleh karena itu, budidaya rumput laut sangat baik dikembangkan untuk tujuan produksi dan sebagai agen penyerap karbon. Dengan demikian, sektor kelautan dan perikanan juga dapat memberikan kontribusi positif dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui kegiatan budidaya (culture based). Untuk mengetahui potensi rumput laut dalam menyerap karbon dan peranan kegiatan budidaya rumput laut dalam penurunan GHG CO2, maka perlu dilakukan penelitian terhadap tingkat pemanfaatan CO2 melalui proses fotosintesis pada aktivitas budidaya rumput laut. Jenis rumput laut yang digunakan pada penelitian ini adalah Kappaphycus alvarezii yang menjadi komoditas unggulan budidaya di laut sebagai penghasil karaginan (karaginofit) dan Gracilaria gigas yang merupakan salah satu spesies rumput laut yang umumnya dibudidayakan di tambak sebagai penghasil agar (agarofit). 3 Perumusan Masalah Rumput laut merupakan tumbuhan fotoautotrofik yang melakukan aktivitas fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik. Proses fotosintesis memanfaatkan karbondioksida dan air, dengan bantuan energi dari cahaya matahari serta molekul klorofil, untuk menghasilkan senyawa karbohidrat dan oksigen. Besarnya jumlah karbondioksida yang diserap dalam proses fotosintesis mengindikasikan tingginya aktivitas atau laju fotosintesis. Parameter yang dapat mengindikasikan laju fotosintesis antara lain adalah kandungan pigmen fotosintesis, pertambahan biomassa, dan kandungan karbohidrat yang dihasilkan sebagai produk akhir dari proses fotosintesis. Namun demikian, laju fotosintesis juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun faktor internal dari rumput laut sendiri. Kemampuan rumput laut dalam menyerap karbondioksida melalui proses fotosinntesis dapat menjadi manfaat tambahan dari kegiatan budidaya rumput laut yang utamanya berorientasi pada keuntungan (profit oriented). Terjadinya peningkatan konsentrasi karbondioksida pada lingkungan, seyogyanya menyebabkan peningkatan aktivitas fotosintesis, sehingga meningkatnya laju pertumbuhan dan produksi dari budidaya rumput laut. Semakin besar produksi budidaya rumput laut, berarti semakin besar pula jumlah karbon yang diserap dan disimpan (sequestered) dalam biomassa panen rumput laut, sehingga secara tidak langsung budidaya rumput laut berperan dalam penyerapan karbon terkait mitigasi terhadap perubahan iklim. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis tingkat penyerapan karbon oleh rumput melalui aktivitas fotosintesis berdasarkan pigmen dan produk fotosintesis yang dihasilkan 2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor lingkungan yang mempengaruhi tingkat penyerapan karbon pada budidaya rumput laut 3. Menganalisis tingkat penyerapan karbon pada kawasan budidaya rumput laut Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan informasi potensi rumput laut sebagai penyerap karbon serta prospek pengembangan budidaya rumput laut yang berkelanjutan sebagai upaya pengendalian GHG CO2, dan secara tidak langsung berperan dalam proses mitigasi perubahan iklim.