Dian│Tn. S Usia 35 Tahun dengan Skizofrenia Episodik Berulang, Episode Kini Akut Tn. S Usia 35 Tahun Dengan Skizofrenia Episodik Berulang, Episode Kini Akut Dian Laras Suminar Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Skizofrenia merupakan gangguan mental yang terklasifikasi berat dan kronik.Secara umum ditandai oleh distorsi pikiran, persepsi yang khas, dan gangguan afek yang tidak wajar. Sifat perjalanan penyakit skizofrenia yang progresif, kronik, eksaserbasi, memberikan kesan penderita tidak bisa disembuhkan.. Tn. S, 38 tahun, datang dengan keluhan marah-marah tanpa sebab, mengamuk hingga menampar ibunya. Pasien mengatakan mendengar suara yang menyuruhnya serta ada yang menggerakkan tubuhnya, ini adalah ke-enam kalinya pasien dibawa ke RSJ. Status psikiatrikus didapatkan kesadaran jernih, perilaku normoaktif, sikap kooperatif, mood eutimia, afek terbatas, kurang serasi, bentuk pikir derealistik, produktivitas cukup, arus pikir koheren namun terkadang asosiasi longgar, isi pikir delusion of control dan waham rujukan, persepsi halusinasi auditorik, fungsi kognitif cukup baik, daya nilai kurang baik, tilikan satu dan dapat dipercaya. Tatalaksana dengan psikofarmaka risperidon 2x2mg, psikoterapi suportif dan psikoterapi reedukatif terhadap pasien dan keluarga. Diagnosis pasien ini skizofrenia episodik berulang, episode kini akut, pasien memiliki riwayat tidak taat berobat sehingga perlu dipertimbangkan pemberian antipsikotik jangka panjang. Kata kunci: psikoterapi, skizofrenia, waham Mr. S 35 Years Old Man with Multiple Episodes Schizophrenia, Currently in Acute Episode Abstract Schizophrenia is classified asa chronic severe mental disorder. Generally characterized by distortion of thinking, typical perception, and abnormalaffective disorders. The nature of schizophrenia disease, which progressive, chronicand exacerbate, giving the impression that patient can not be cured. Mr. S, 38 years old, came with complaints of angry without cause, raged up to slap his mother. Patient told that he heard commanding voices and felt something moved his body, this is the sixth time the patient was taken to the asylum. Psychiatric status obtained a clear awareness, behavior normoaktive, cooperative attitude, mood eutimia, limited affect, less harmonious, thought form: derealistik, productivity enough, thought continuity:coherent but sometimes loose association, thought contents:delusion of control and delusion of reference, perception: auditory hallucinations, Cognitive function good enough, individual judgment less good, insight level one and trustworthy. Patient treatment with psychofarmacology therapyrisperidone 2x2mg, also supportive and reeducative psychotherapy to patient and his families. Patient’s diagnosis is multiple episodes schizophrenia, currently in acute periode, patient had a bad compliance history of treatment so that necessary to consider long acting antipsychotic administration. Keywords: delusion, psychotherapy, schizophrenia Korespondensi: Dian Laras Suminar, S.Ked, alamat jl. Sultan Haji, no. 99B, Kedaton, Bandarlampung, HP 082176274508, [email protected] Pendahuluan Skizofrenia merupakan gangguan mental yangterklasifikasi berat dan kronik.Secara umum ditandai oleh distorsi pikiran, persepsi yang khas dan gangguan afek yang tidak wajar.Skizofrenia disebabkan oleh hal yang multikompleks, seperti ketidakseimbangan neurotransmiter di otak, faktor edukasi dan perkembangan mental sejak masa anak-anak, serta stressor psikososial berat yang menumpuk. Sifat perjalanan penyakit skizofrenia yang progresif, cenderung menahun (kronik), eksaserbasi (kumat-kumatan), sehingga terkesan penderita tidak bisa disembuhkan.1,2 Faktor risiko terpenting untuk terjadinya skizofrenia adalah memiliki relatif dengan skizofrenia.Tidak ada keraguan bahwa ada komponen herediter merupakan etiologi skizofrenia.Diketahui juga bahwa genetik bukan satu-satunya etiologi skizofrenia.Konkordansi pada kembar monozigot hanya sekitar 50% pasien skizofrenia sisanya bergantung pada lingkungan seseorang, sering dibagi menjadi faktor lingkungan awal dan akhir. Faktor psikososial tampaknya berkontribusi baik pada onset maupun kekambuhan skizofrenia.3 Obat antipsikotik merupakan sarana terbaik yang tersedia untuk mengobati gejala orang yang menderita skizofrenia, namun ada variabilitas yang signifikan dalam respon klinis terhadap obat-obatan psikotropika.4,5 Selain itu, sebanyak 30-40% dari pasien tersebut mungkin menunjukkan respon yang tidak memadai atau J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|35 Dian│Tn. S Usia 35 Tahun dengan Skizofrenia Episodik Berulang, Episode Kini Akut bahkan buruk untuk antipsikotik konvensional dan sampai 50% dari mereka mungkin mengalami efek samping yang serius oleh pengobatan tersebut.5Respon yang buruk terhadap terapi obat antipsikotik dan/atau dalam fase pemeliharaan ditemukan efek samping yang merugikan dapat menyebabkan pasien tidak patuh, gangguan psikososial dan hasil yang buruk.6,7 Efek samping antipsikotik meliputi efek pada susunan saraf pusat (gangguan aktivitas motorik yaitu sindrom ekstrapiramidal, penurunan fungsi kognitif), sistem saraf otonom (hipertensi atau hipotensi, takikardi, diaporesis dan pallor), serta sistem endokrin.7,8 Kebanyakan obat antipsikotik yang tersedia dapat menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin karena produksi prolaktin dihambat oleh pelepasan dopamin di sirkuit hipotalamushipofisis dan dapat ditingkatkan dengan menghalangi tipe 2 (D2) reseptor dopamin. Peningkatan ini terkait dengan berbagai efek samping: menurunnya libido dan disfungsi ereksi pada pria, amenorea dan galaktorea pada wanita, serta percepatan osteoporosis pada wanita. 9-11 Diperlukan terapi suportif dalam memulihkan dan memperkuat pertahanan pasien dan mengintegrasikan kapasitas yang telah terganggu. Disamping itu juga diperlukan psikoedukasi kepada keluarga untuk membantu penyembuhan atau pemulihan pasien.2Dengan output kesembuhan yang tidak begitu baik, penderita skizofrenia memerlukan perawatan yang komprehensif danberkesinambungan untuk membantu diri mereka beradaptasi dengan lingkungan keluarga, lingkungan sosial serta layanan sosial ketika penderita skizofrenia dipulangkan setelah menjalani rawat inap.12 Kasus Tn. S, usia 35 tahun wajah sesuai dengan usianya dengan kesan penampilan tidak rapi, dibawa ke rumah sakit oleh adiknya dengan keluhan mengamuk, marah-marah tanpa sebab yang jelas dan menampar ibu pasien. Pasien dibawa ke Rumah Sakit Jiwa ini untuk ke-enam kalinya, pasien mengatakan bahwa ia melakukan hal itu karena emosinya yang memuncak saat melihat motor keluarganya yang rusak setelah dipakai oleh adiknya namun belum diperbaiki. Menurut pasien, pasien mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk mengamuk dan menampar ibunya, dan J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|36 pasien merasa ada yang menggerakkan tubuhnya untuk melakukan perbuatan tersebut namun pasien tidak bisa menahannya, keluhan ini sudah berlangsung sejak satu tahun yang lalu semenjak pasien berhenti bekerja. Perilaku pasien berubah sejak 12 tahun yang lalu, yaitu menjadi sering melamun, sulit untuk tidur, gelisah, mondar-mandir, dan merusak barang-barang di rumahnya. Pasien sering mencurigai orang lain termasuk keluarganya sendiri, pasien merasa bahwa orangtuanya tidak adil padanya dan lebih menyayangi adik-adiknya. Pasien merasa orang-orang di sekitar lingkungannya membicarakan keburukannya, yang mana hal tersebut tidak secara nyata didengar oleh pasien. Lima belas tahun yang lalu pasien pernah merasa sakit hati karena kekasihnya menikah dengan orang lain, pasien merasa putus asa dan memutuskan untuk pergi ke Jakarta selama 2 tahun, perilaku pasien berubah menjadi murung dan pemarah setelah kembali dari Jakarta. Pasien mengatakan saat di jakarta pasien pernah mengkonsumsi narkoba untuk melampiaskan sakit hatinya namun berhenti setelah 1 bulan. Pasien pernah dirawat kurang lebih selama 1 bulan saat 15 tahun yang lalu, kemudian pasien melakukan rawat jalan, namun pasien malas untuk minum obat, sehingga pasien sering kambuh sehingga berulang kali dirawat di RSJ. Saat jeda waktu perawatan di RSJ pasien melakukan rawat jalan, dan dapat kembali bekerja, namun satu tahun yang lalu pasien dikeluarkan dari pekerjaannya karena perilakunya yang terkadang meresahkan lingkungan kerjanya sehingga sekarang pasien menganggur. Saat ini pasien tinggal serumah dengan kedua orangtuanya serta kedua adiknya yang sudah menikah, hal ini membuat pasien merasa tertekan karena pasien merupakan anak tertua dan belum menikah.Pendidikan terakhir pasien adalah SMA.Riwayat keluarga yang pernah mengalami gangguan jiwa disangkal. Riwayat minum-minuman beralkohol (+) namun sudah berhenti sejak 1 tahun yang lalu, riwayat penggunaan obat-obatan terlarang (+) 14 tahun yang lalu, riwayat panas tinggi disangkal, riwayat kejang disangkal, riwayat trauma kepala disangkal, serta riwayat sakit kepala hebat disangkal. Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan keadaan umum baik, tekanan Dian│Tn. S Usia 35 Tahun dengan Skizofrenia Episodik Berulang, Episode Kini Akut darah 120/80 mmHg, nadi 76x/menit, laju napas 18x/menit, suhu 36,0oC, status generalis, neurologis maupun pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. Status psikiatrikus didapatkan kesadaran jernih, perilaku normoaktif, sikap kooperatif, mood eutimia, afek terbatas, kurang serasi, bentuk pikir derealistik, produktivitas cukup, arus pikir koheren namun terkadang asosiasi longgar, isi pikir delusion of control dan waham rujukan, persepsi halusinasi auditorik, fungsi kognitif cukup baik, daya nilai kurang baik, tilikan satu, dan dapat dipercaya. Diagnosis pasien berupa diagnosis multiaksial yaitu aksis I: Skizofrenia episodik berulang, episode kini akut, aksis II dan III: tidak ada. Terapi psikofarmaka yaitu Risperidone 2x2mg, psikoterapi suportif dan psikoterapi reedukatif terhadap pasien dan keluarga, serta rehabilitasi sesuai bakat dan minat pasien. Pembahasan Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) penyakit Skizofrenia yang termasuk dalam golongan gangguan Psikosis memiliki tingkat kemampuan 3A yang berarti seorang dokter pada pelayanan kesehatan primer harus mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat, dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dan mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.13,14 Diagnosis berdasarkan sistem multiaksial mencakup penilaian pada beberapa aksis, setiap aksis merujuk kepada bidang informasi yang berbeda yang dapat membantu seorang dokter merencanakan penatalaksanaan dan memperkirakan hasilnya.15 Terdapat 3 aksis pada sistem multiaksial menurut DSM 5 yaitu, Aksis I : Gangguan Klinis, Gangguan lain yang menjadi fokus perhatian klinis; Aksis II : Gangguan kepribadian, Retardasi Mental; Aksis III : Kondisi Medik Umum.16,17 Pada kasus ini diagnosis Aksis I adalah Skizofrenia episodik berulang, episode kini akut(multiple episodes Schizophrenia, currently in acute episode),yang mana memenuhi kriteria diagnostik berdasarkanDiagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) Vyaitu Kriteria A, terdapatlebih dari duagejala yang khas:waham,halusinasi, adanya gejala negatif seperti alogia; Kriteria B, terdapat disfungsi sosial atau pekerjaan: penurunan nyata di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset dalam suatu rentang waktu yang bermakna sejak onset gangguan seperti pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri; Kriteria C, durasi gangguan terus berlanjut dan menetap lebih dari 6 bulan, meliputi 1 bulan gejala-gejala fase aktif yang memenuhi kriteria A, Kriteria D, gangguan skizoafektif dan mood dengan gambaran psikotik dikesampingkan karena tidak ada episode depresi, mania atau campuran keduanya yang terjadi bersamaan dengan gejala-gelala fase aktif; Kriteria E, gangguan ini bukan disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (seperti obatobatan medikasi atau yang disalah gunakan) atau oleh suatu kondisi medis umum; Kriteria F, tidak ditemukan suatu gangguan perkembangan pervasif, Multiple episodes, adalah episode berulang setelah minimal terdapat dua episode (setelah episode pertama, masa remisi dan minimal satu kali kekambuhan); currently in acute episode adalah periode waktu dimana terdapatnya 18-20 karakteristik kriteria A. Diagnosis Aksis II, tidak ada gangguan kepribadian berdasarkan autoanamnesis dan alloanamnesis, sejak kecil tidak terdapat pola perilaku yang abnormal, gaya berhubungan dengan orang lain cukup baik sebelum sakit, dan pasien dapat mengikuti pembelajaran di sekolahnya dengan baik tanpa tinggal kelas. Pada pemeriksaan fisik maupun penunjang laboratorium berupa pemeriksaan darah rutin dan kimia darah tidak ditemukan adanya kelainan sehingga tidak ada diagnosis aksis III.21,22 Penatalaksanaan pada pasien Skizofrenia meliputi fase akut, fase stabilisasi, dan fase rumatan.Pada fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah.18-20 Pada kasus ini pasien diberikan terapi antipsikotik golongan atipikal berupa Risperidon 2x2 mg dipertimbangkan peningkatan dosis setiap 2-3 hari sesuai dengan gejala. Hal ini sesuai dengan guideline schizoprenia dari American Psychiatric Association 2010 yang menyatakan bahwa terapi skizofrenia menggunakan antipsikosis golongan atipikal sebagai first line. Untuk dosis Risperidon dianjurkan pemberian 2-8 mg.21-23 J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|37 Dian│Tn. S Usia 35 Tahun dengan Skizofrenia Episodik Berulang, Episode Kini Akut Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan, dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan perlahan secara bertahap dalam waktu 1-3 minggu sampai dicapai sampai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala, lalu dipertahankan sampai 8-12 minggu sebelum masuk ke fase rumatan lalu diturunkan tiap dua minggu perlahan lahan selanjutnya dipertahankan sampai dengan lima tahun.Risperidon memiliki spektrum kerja yang luas bukan hanya pada reseptor D2 melainkan juga untuk 5HT2A.Sehingga dapat mengatasi gejala positif dan negatif.Risperidon juga memiliki efek samping yang lebih aman jika dibandingkan antipsikosis yang lain.5,7,19 Jikapasien dibawa oleh keluarga dalam keadaan gaduh gelisah dapat diberikan intervensi sementara injeksi intra muskular haloperidol kerja cepat (short acting) 5 mg, dapat diulangi dalam 30 menit sampai 1 jam jika belum ada perubahan yang signifikan, dosis maksimal 30 mg/hari.Untuk pemberian haloperidol dapat diberikan tambahan injeksi intra muskular diazepam untuk mengurangi dosis antipsikotiknya dan menambah 24,25 efektivitas terapi. Farmakoterapi pada fase stabilisasi bertujuan mempertahankan remisi gejala serta meminimalisasi risiko kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan. Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8-10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan.Pada fase rumatan dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup.20,22 Untuk pasien yang tidak taat berobat, dapat dipertimbangkan untuk pemberian injeksi depo (jangka panjang) antipsikotik seperti haloperidol decanoate 50 mg atau fluphenazine decanoate 25 mg. Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia akut atau parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika, kemudian dapat diberikan triheksifenidil(2-4)x2 mg. Jika timbul distonia akut berikan injeksi difenhidramin, jika timbul akatisia (gelisah, mondar mandir tidak bisa berhenti bukan J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|38 akibat gejala) berikan propranolol (2-3)x(10-20) mg.19,22 Selain terapi psikofarmaka, psikoterapi juga berperan penting dalam proses pengobatan. Psikoterapi merupakan suatu bentuk intervensi, dengan berbagai macam cara dan metode yang bersifat psikologik untuk tujuan menghilangkan, mengubah, atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit.13,18 Psikoterapi yang dapat diterapkan diantaranya psikoterapi suportifkepada pasien dengan cara pengenalan pasien terhadap penyakitnya, manfaat pengobatan, cara pengobatan dan efek samping pengobatan, memotivasi pasien agar minum obat secara teratur dan rajin kontrol, mendorong pasien untuk melakukan fungsinya dengan seoptimal mungkin di pekerjaan dan aktivitas harian lain, mendorong pasien untuk menghargai norma dan harapan masyarakat (berpakaian, berpenampilan dan berperilaku pantas). Kemudian dapat dilakukan psikoterapi reedukatif seperti terapi kelompok dan terapi keluargayang bertujuan untuk mengobah pola perilaku dengan meniadakan kebiasaan tertentu dan membentuk kebiasaan yang lebih menguntungkan.16,21,23 Simpulan Diagnosis kasus ini adalah Skizofrenia episodik berulang, episode kini akut (multiple episodes Schizophrenia, currently in acute episode) berdasarkan kriteria diagnostikDSM5.Penatalaksanaan Skizofrenia mencakup Farmakoterapi (fase akut, fase stabilisasi, fase rumatan) dan Psikoterapi (suportif, reedukatif) yang membutuhkan dukungan keluarga serta masyarakat di lingkungan pasien.Pada kasus ini pasien memiliki riwayat tidak taat berobat sehingga perlu dipertimbangkan pemberian antipsikotik jangka panjang seperti haloperidol decanoate 50 mg atau fluphenazine decanoate 25 mg. DAFTAR PUSTAKA 1. Jeste DV, Dolder CR. Schizophrenia and paranoid disorders. Dalam: Blazer DG, Steffens DC, Busse EW, eds. Essentials of Geriatric Psychiatry. Arlington: American Psychiatric Publishing; 2000. 2. Pilpala, Triharim KS. Terapi supportif dan psikoedukasi untuk meningkatkan pemahaman diri pada penderita skizofrenia paranoid. Procedia Studi Dian│Tn. S Usia 35 Tahun dengan Skizofrenia Episodik Berulang, Episode Kini Akut 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Kasus dan Intervensi Psikologi.2013;4651. Stefan M, Travis M, Murray RM. Epidemiology and risk factors on atlas of schizophrenia. The Parthenon Publishing Group; 2002. Shaikh S, Collier DA, Sham P, Pilowsky L, Sharma T, Lin LK, et al. Analysis of clozapine response and polymorphisms of the dopamine D4receptor gene (DRD4) in schizophrenic pati ents. Am. J Med. Genet.(Neuropsychiatric Genet).2005;541–5. Shafti SS, Gilanipoor M. A comparative study between olanzapine and risperidon in the management of schizophrenia: clinical study. Hindawi Publishing Corporation Schizophrenia Research and Treatment; 2014. Arijaya DNK. Clozapine pada skizofrenia paranoid dengan obesitas: sebuah laporan kasus. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2010. Kusumawardhani A, Elvira SD. Terapi fisik dan psikofarmaka; psikoterapi. Dalam: Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Baggaley M. Sexual dysfunction in schizophrenia: focus on recent evidence. Dalam: Human Psychopharmacology. 2008; 23(3):201–9. Haddad PM, Wieck A. Antipsychoticinducedhyperprolactinaemia: mechanisms, clinical features and management. 2004; 64(20):2291–314. O’Keane V. Antipsychotic-induced hyperprolactinaemia, hypogonadism and osteoporosis in the treatment of schizophrenia. J of Psychopharmacology. 2008; 22(2):70–5. Rajkumar RP. Prolactin and psychopathology in schizophrenia: Review article. Hindawi Publishing Corporation Schizophrenia Research and Treatment; 2014. Putri PK, Ambarini TK. Makna hidup penderita skizofrenia pasca rawat inap. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental; 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. Panduan 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer;2014. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter indonesia; 2012. American Psychiatric Association. Diagnosis dan statistical manual of mental disorders (DSM IV TR). Washington DC: APA; 2000. Maramis W. Psikoterapi dalam catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Universitas Airlangga;2009. hlm.478-89. Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ III). Jakarta: Fakultas Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya; 2004. hlm. 56. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s: synopsis of psychiatry behavioral sciences/clinical psychiatry,. New York: Lippicontt Williams & Wilkins; 2007. American Psychiatric Association. Treatment of patients with schizophrenia. Edisi ke-2. Amerika Serikat: APA; 2010. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PP PDSKJI). Pedoman nasional pelayanan kedokteran jiwa/psikiatri; 2012. Buckley PF, Miller BJ, Lehre DS, Castle DJ. Psychiatric comorbidities and schizophrenia. Schizophrenia Bulletin. 2009; 35(2): 383-402. Lieberman JA, Stroup TS, McEvoy JP, Swartz MS, Rosenheck RA et al. Effectiveness of antipsychotic drugs in patients with chronic schizophrenia. The New England J of Medicine. Volume ke353. No. 12; 2005. Turola MC, Comelini G, Galuppi A, Nanni MG, Carantoni E, Scapoli C. Schizophrenia in real life: courses, symptoms and functioning in an Italian population. International J of Mental Health Systems. 2012; 6(12). American Psychiatric Association.Diagnosis dan statistical manual of mental disorders (DSM 5).Washington DC: APA; 2013. Tandon R et al. Definition and description of schizophrenia in the DSM-5. Schizophrenia Research Elsevier; 2013. J Medula Unila|Volume 4|Nomor 3|Januari 2016|39