BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Konsep

advertisement
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Konsep Kelembagaan
Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi,
hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan
yang kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi karena kini mulai banyak
ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi umumnya
karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang sosiologi dan antropologi
kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku dan adat istiadat.
Dalam bidang ilmu politik kelembagaan banyak ditekankan pada aturan main (the
rules) dan kegiatan kolektif (collective action) untuk kepentingan bersama atau
umum (public). Ilmu psikologi melihat kelembagaan dari sudut tingkah laku
manusia (behaviour). Ilmu hukum menegaskan pentingnya kelembagaan dari
sudut hukum, aturan dan penegakan hukum serta instrumen dan proses litigasinya
(Djogo, dkk, 2003).
Djogo dkk (2003) juga menyebutkan bahwa pada umumnya definisi
lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan
berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam konteks ini sangat penting
diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang
mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus
berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi
juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian
7
mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan
peraturan yang ada.
Kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu; “aspek kelembagaan” dan
“aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku sosial
dimana inti kajiannya adalah tentang nilai (value), norma (norm), custom, mores,
folkways, usage, kepercayaan, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi
dan lain-lain. Bentuk perubahan sosial dalam aspek kelembagaan bersifat kultural
dan proses perubahannya membutuhkan waktu yang lama. Sementara dalam
aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur sosial dengan inti kajiannya
terletak pada aspek peran (role). Lebih jauh aspek struktural mencakup: peran,
aktivitas, hubungan antar peran, integrasi sosial, struktur umum, perbandingan
struktur tekstual dengan struktur faktual, struktur kewenangan atau kekuasaan,
hubungan antar kegiatan dengan tujuan yang hendak dicapai, aspek solidaritas,
klik, profil dan pola kekuasaan. Bentuk perubahan sosial dalam aspek
keorganisasian bersifat struktural dan berlangsung relatif cepat (Subagio, 2005).
Israel (1992) mengungkapkan bahwa konsep umum mengenai lembaga
meliputi apa yang ada pada tingkat lokal atau masyarakat, unit manajemen
proyek, institusi-institusi, departemen-departemen di pemerintah pusat dan
sebagainya. Sebuah lembaga dapat merupakan milik negara atau sektor swasta
dan juga bisa mengacu pada fungsi-fungsi administrasi pemerintah. Sedangkan
menurut Uphoff dalam Shahyuti (2003), istilah kelembagaan dan organisasi
sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan, ‘social
institution’ dan ‘social organization’ berada dalam level yang sama, untuk
menyebut apa yang kita kenal dengan kelompok sosial, grup, sosial form, dan
8
lain-lain yang relatif sejenis. Namun, perkembangan akhir-akhir ini, istilah
“kelembagaan” lebih sering digunakan untuk makna yang mencakup keduanya
sekaligus. Ada beberapa alasan kenapa orang-orang lebih memilih istilah tersebut.
Kelembagaan lebih dipilih karena kata “organisasi” menunjuk kepada suatu sosial
form yang bersifat formal, dan akhir-akhir ini semakin cenderung mendapat
image negatif.
Sejalan dengan pernyataan Subagio (2005), Koentjaraningrat (1974)
menyatakan tujuan dari kelembagaan sosial adalah memenuhi kebutuhan pokok
manusia, maka ia dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis kebutuhan pokok
tersebut. Kemudian mengkategorikannya ke dalam delapan golongan sebagai
berikut:
a. Kelembagaan
kekerabatan/domestik:
memenuhi
kebutuhan
hidup
kekerabatan. Contoh: pelamaran, poligami, perceraian, dan lain-lain.
b. Kelembagaan Ekonomi: memenuhi pencaharian hidup, memproduksi,
menimbun, mendistribusikan harta benda. Contoh: pertanian, peternakan,
industri, koperasi, perdagangan, sambatan, dan lain-lain.
c. Kelembagaan
pendidikan:
memenuhi
kebutuhan
penerangan
dan
pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Contoh: pendidikan dasar/ menengah/tinggi, pers, dan lain-lain.
d. Kelembagaan ilmiah:
memenuhi kebutuhan ilmiah
manusia dan
menyelami alam semesta. Contoh: pendidikan ilmiah, penelitian, metode
ilmiah, dan lain-lain.
9
e. Kelembagaan estetika dan rekreasi: kebutuhan manusia untuk menyatakan
rasa keindahannya dan rekreasi. Contoh: seni rupa, seni suara, seni gerak,
kesusastraan, dan lain-lain.
f. Kelembagaan
keagamaan:
memenuhi
kebutuhan
manusia
untuk
berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib. Contoh: upacara, selamatan,
pantangan, dan lain-lain.
g. Kelembagaan politik: memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur
kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara.
Contoh: pemerintahan, kepartaian, demokrasi, kepolisian, kehakiman, dan
lain-lain.
h. Kelembagaan somatik: memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia. Contoh:
pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kecantikan, dan lain-lain.
2.2 Konsep Corporate Social Responsiblity
Ada banyak definisi yang diberikan untuk konsep CSR. Dari kata-kata
‘corporate’, ‘social’ dan ‘responsibility’ yang terkandung dalam istilah ini maka
CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab yang dimiliki oleh suatu
perusahaan terhadap masyarakat di mana perusahaan tersebut berdiri atau
menjalankan usahanya1. Kamus online Wikipedia mendefinisikan CSR sebagai
suatu konsep bahwa suatu organisasi (khususnya, tapi tidak terbatas pada,
perusahaan) memiliki kewajiban untuk memperhatikan kepentingan pelanggan,
karyawan,
1
2009
pemegang
saham,
komunitas
dan
pertimbangan-pertimbangan
http://www6.miami.edu/ethics/pdf_files/csr_guide.pdf, , diakses pada tanggal 18 Agt.
10
ekologis dalam segala aspek dari usahanya2. Sementara Schermerhorn (1993)
secara singkat mendefinisikannya sebagai kewajiban dari suatu perusahaan untuk
bertindak dalam cara-cara yang sesuai dengan kepentingan perusahaan tersebut
dan kepentingan masyarakat secara luas3.
The International Organization of Employers (IOE) mendefinisikan CSR
sebagai
"initiatives
by
companies
voluntarily
integrating
social
and
environmental concerns in their business operations and in their interaction with
their stakeholders". Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama, CSR
merupakan tindakan perusahaan yang bersifat sukarela dan melampaui kewajiban
hukum terhadap peraturan perundang-undangan Negara. Kedua, definisi tersebut
memandang CSR sebagai aspek inti dari aktifitas bisnis di suatu perusahaan dan
melihatnya sebagai suatu alat untuk terlibat dengan para pemangku kepentingan4.
Definisi yang diterima luas oleh para praktisi dan aktivis CSR adalah
definisi menurut The World Business Council for Sustainable Development yaitu
bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus-menerus dari pelaku bisnis untuk
berlaku etis dan untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi
sambil meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi
komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya5. Dari definisi ini kita melihat
2
Asongu,
J.J.,
“The
History
of
Corporate
Social
Responsibility”
(http://www.jbpponline.com/article/view/1104/842), diakses pada tanggal 1 Agt. 2009
3
http://www.personal.psu.edu/kez5001/CSR.htm mengutip Schermerhorn, John.
Management. New York: John Wiley & Sons, Inc. 2005, diakses pada tanggal 1 Okt. 2009
4
Burkett W., Brian dan Douglas G. Gilbert, “Voluntary Regulation of International
Labour Standards: An Overview of the Corporate Social Responsibility Phenomenon” diakses dari
http://library.findlaw.com/2005/Jul/11/246322.html pada tanggal 20 Agt. 2009 mengutip
"Corporate Social Responsibility: An IOE Approach," International Organization of Employers
Position Paper, at p. 2, online: http://www.uscib.org/ docs/03_21_03_CR.pdf
5
Asongu, J.J., op.cit. dan http://www.mallenbaker.net/csr/CSRfiles/definition.html ,
diakses pada tanggal .1 Agt. 2009
11
pentingnya ‘sustainability’ (berkesinambungan /berkelanjutan), yaitu dilakukan
secara terus-menerus untuk efek jangka panjang dan bukan hanya dilakukan
sekali-sekali saja. Konsep CSR memang sangat berkaitan erat dengan konsep
sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan).
Pada dasarnya CSR merupakan suatu bentuk tanggung jawab sosial yang
berkembang sebagai wujud dari sebuah good corporate governence. Pada sisi ini,
CSR dilihat sebagai aplikasi dari keberadaan korporat sebagai salah satu elemen
sosial yang merupakan bagian dari etika bisnis. Dalam hal ini, pelaksanaan CSR
mengacu pada konsep yang lebih luas dan global. Corporate social
Responsibility/Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) merupakan suatu
komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik
bersama dengan para pihak yang terkait, utamanya masyarakat disekelilingnya
dan lingkungan sosial dimana perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu
dengan kegiatan usahanya secara berkelanjutan (Budimanta, 2002).
Pandangan konsep manajemen modern, menyebutkan bahwa perusahaan
tidak dapat dipisahkan dari para individu yang terlibat di dalamnya dan
stakeholders di luar perusahaan. Oleh karena itu selain bertanggung jawab secara
internal bagi kelangsungan usahanya, pemilik perusahaan juga memiliki tanggung
jawab sosial kepada publik. Menurut pandangan ini, masyarakat adalah sumber
dari segala sumberdaya yang dimiliki dan direproduksinya. Para profesional
bekerja untuknyapun memiliki tanggung jawab ganda, selain kepada pemilik juga
kepada publik. Kesan dan komitmen perusahaan dalam memenuhi tanggung
jawab sosialnya merupakan keputusan yang secara sepintas tidak sejalan atau
bahkan bertolak belakang dengan tanggung jawab lainnya, terutama, tanggung
12
jawab untuk menghasilkan laba sebesar-besarnya. Memberi sumbangan, sebagai
salah satu bentuk tanggung jawab sosial, bukan saja terkesan sebagai pekerjaan
yang tidak perlu, melainkan juga bisa mengacaukan misi utama perusahaan-yakni
mencari keuntungan (Saidi, dkk. 2003).
Nursahid (2006) menyatakan bahwa penerapan etik dalam dunia bisnis
berkaitan erat dengan apa yang sekarang ini berkembang dan dikenal sebagai
tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility); yakni
tanggung jawab moral suatu organisasi bisnis terhadap kelompok yang menjadi
stakeholder-nya yang terkena pengaruh baik secara langsung maupun tidak
langsung dari operasi perusahaan. Perusahaan dapat mengadopsi konsep CSR ini
dalam pengertian terbatas dan luas, meski pada umumnya pengertian dalam arti
luas lebih dapat diterima. Dalam pengertian terbatas, tanggung jawab sosial suatu
perusahaan dipahami sebagai upaya untuk tunduk dan memenuhi hukum dan
aturan main yang ada. Perusahaan tidak bertanggung jawab untuk memahami
”apa yang ada” (konteks) di sekitar aturan tersebut, karena perusahaan mungkin
saja menginterpretasikan secara ”kreatif” aturan-aturan hukum untuk kepentingan
mereka, terutama ketika aturan tersebut tidak cukup spesifik mengatur apa yang
legal dan tidak legal, atau perilaku apa yang diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan.
CSR dalam pengertian luas dipahami sebagai konsep yang lebih
”manusiawi” di mana suatu organisasi dipandang sebagai agen moral. Oleh
karena itu, dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah organisasi–termasuk di
dalamnya organisasi bisnis, harus menjunjung tinggi moralitas. Dengan demikian,
kendati tidak ada aturan hukum atau etika masyarakat yang mengatur tanggung
13
jawab sosial dapat dilakukan dalam berbagai situasi dengan mempertimbangkan
hasil terbaik atau yang paling sedikit merugikan stakeholder-nya.
Perusahaan juga harus bertanggung jawab secara etis. Ini berarti sebuah
perusahaan berkewajiban mempraktikkan hal-hal yang baik dan benar sesuai
dengan nilai-nilai etis. Oleh karena itu, nilai-nilai dan norma-norma masyarakat
harus menjadi rujukan bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya
sehari-hari. Lebih dari itu, perusahaan juga mempunyai tanggung jawab
filantropis yang mensyaratkan agar perusahaan dapat memberikan kontribusi
kepada masyarakat, agar kualitas hidup masyarakat meningkat sejalan dengan
operasi bisnis sebuah perusahaan (Nursahid, 2006).
Motif Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Steiner dalam Nursahid (2006) menyatakan bahwa terdapat sejumlah
alasan mengapa perusahaan memiliki program-program filantropik atau program
tanggung jawab sosial, yaitu: pertama, untuk mempraktikkan konsep ”good
corporate citizenship”. Kedua, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Dan ketiga adalah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terdidik.
Tanggung jawab sosial perusahaan biasanya didasari dua motif sekaligus,
yakni: motivasi untuk menyenangkan atau membahagiakan orang lain (altruisme)
pada satu sisi dan pada saat yang bersamaan terjadi pula bias kepentingan
perusahaan di sisi lain. Tipologi kedermawanan tanggung jawab sosial terbagi
menjadi lima kategori, yaitu: charity (amal atau derma), image building
(promosi), facility (insentif pajak), security prosperity (ketahanan hidup atau
peningkatan kesejahteraan, dan money laundring (manipulasi). Memahami
beragam motivasi kedermawanan ini penting dari perspektif etis agar tujuan
14
normatif kedermawanan sosial dalam rangka pemberdayaan masyarakat tidak
terdistorsi dan dimanipulasi oleh kepentingan yang tidak sehat.
Tahapan
Charity
Philanthropy
Corporate
Citizenship
Motivasi
Misi
Agama, tradisi, adat
Norma etika, hukum Pencerahan diri dan
universal:
rekonsiliasi dengan
redistribusi kekayan
ketertiban sosial
Mengatasi masalah Mencari
sesaat
dan Memberikan
mengatasi masalah
kontribusi
kepada
masyarakat
Pengelolaan
Pengorganisasian
Penerima Manfaat
Jangka
pendek,
Terencana,
Terinternalisasi
menyelesaikan
terorganisir,
dalam
masalah sesaat
terprogram
perusahaan
Kepanitiaan
Yayasan/Dana
Keterlibatan
Abadi,
dana
profesionalisasi
sumberdaya lain
Masyarakat luas
Masyarakat luas dan
Orang miskin
kebijakan
baik
maupun
perusahaan
Kontribusi
Hibah sosial
Hibah
Hibah
pembangunan
maupun
(sosial
pembangunan) dan
keterlibatan sosial
Inspirasi
Kewajiban
Kepentingan bersama
Sumber: Zaim Saidi ”Pengembangan Kedermawanan Perusahaan”, dalam Zaim Saidi dan Hamid Abidin,
2004. hal. 57.
Gambar 1. Matriks Karakterisasi Tahap-Tahap Kedermawanan Sosial Perusahaan
2.3 Konsep Lembaga Keuangan Mikro
Istilah lembaga keuangan mikro (LKM) atau juga sering disebut dengan
kredit mikro, pertama kali didefinisikan dalam pertemuan The World Summit on
Micro Credit di Washington tanggal 2 sampai 4 Februari 1997, yang menyatakan
15
bahwa kredit mikro adalah program/kegiatan yang memberikan pinjaman dengan
jumlah kecil kepada masyarakat miskin untuk kegiatan usaha dalam
meningkatkan pendapatan, pemberian pinjaman untuk mengurus diri sendiri dan
keluarganya. Sementara Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan
kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan
maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta
rupiah per tahun.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya
disebut LKM. Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan
mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan
(deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services)
serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil
(insurance to poor and low-income households and their microenterprises).
Sedangkan bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa
dan koperasi, (2) lembaga semi formal misalnya organisasi non pemerintah, dan
(3) sumber-sumber informal misalnya pelepas uang.
Lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya di bidang
keuangan, secara langsung atau tidak langsung, menghimpun dana dan
menyalurkan kepada masyarakat (SK Menteri Keuangan No. Kep.-38/MKIV/72).
Basit (1997) mengemukakan lembaga keuangan berfungsi sebagai penerima dan
penyalur dana bagi nasabahnya. Salah satu bentuk penyaluran dana (dan menjadi
kegiatan utama) adalah kredit. Peran kredit merupakan kebutuhan penting bagi
nasabah, dan juga menjadi penggerak utama perekembangan lembaga keuangan.
Di pedesaan lembaga keuangan informal dapat berupa lembaga legal sererti arisan
16
atau kelompok simpan pinjam yang memiliki aturan jelas, dibentuk atas
keputusan dan kesepakatan bersama, juga ada yang dibentuk berdasar program
atau keputusan pemerintah.
Lembaga keuangan dalam bentuk kelompok dapat disebut juga Credit
Union (CU), yaitu sekumpulan orang yang telah bersepakat untuk berama-sama
menabung uang mereka, kemudian uang tersebut dipinjamkan diantara mereka
sendiri dengan bunga yang ringan untuk maksud-maksud produktif dan
kesejahteraan. Selanjutnya dikemukakan CU belum mempunyai badan hukum
namun memilki ikatan pemersatu bagi anggota-anggotanya. Ikatan pemersatu
dapat dianggap sebagai pembatas keanggotaan (Badan PDKK Sumut, 1980).
Krisnamurthi (2005) berpendapat walaupun terdapat banyak definisi
keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari berbagai
definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan.
Keuangan mikro dalam pengalaman masyarakat tradisional Indonesia seperti
lumbung desa, lumbung ‘pitih nagari’ dan sebagainya menyediakan pelayanan
keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito
maupun asuransi. Kedua, melayani masyarakat miskin. Keuangan mikro hidup
dan berkembang pada awalnya memang untuk melayani rakyat yang
terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki
karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan prosedur dan
mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan konsekuensi dari
kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan mekanisme yang
dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.
17
Perkembangan berikutnya, lembaga-lembaga keuangan informal ini lebih
mengena di kalangan pelaku UKM karena sifatnya yang lebih fleksibel, misalnya
dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak seketat persyaratan
perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini merupakan salah
satu indikator bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal sesuai
dengan kebutuhan pelaku UKM, yang umumnya membutuhkan pembiayaan
sesuai skala dan sifat usaha kecil. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan
informal ini kemudian disebut sebagai LKM.
2.4 Konsep Koperasi
Koperasi berasal dari Bahasa Latin “cooperere”. Dalam bahasa Inggris
“cooperation” maknanya adalah “bekerja sama”, dimana co = bersama, operation
= bekerja, dan to operate = berusaha. Pengertian koperasi secara ekonomi adalah
kerjasama para anggota untuk memenuhi kebutuhan bersama. Istilah “koperasi” di
Indonesia secara legal pertama dikenal dalam undang-undang No. 79 tahun 1958,
yang merubah kata “kooperasi” menjadi “koperasi”. Dalam UU No. 12 tahun
1967 tentang pokok-pokok perkoperasian disebutkan “Koperasi Indonesia adalah
organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang
atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi
sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas “kekeluargaan”. Batasan ini
sedikit berbeda dalam UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pada pasal 1
disebutkan: “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang
atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
18
prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas
asas kekeluargaan”.
Koperasi berbeda dengan organisasi usaha pada umumnya. Meskipun,
menurut prinsip-prinsip koperasi (cooperative principle) atau sendi-sendi dasar
koperasi, masalahnya dalam UU No.12 tahun 1967, koperasi dapat berupa
organisasi masyarakat atau perusahaan (enterprise). Perbedaannya adalah: dari
segi organisasi anggotanya merupakan orang-orang dengan kepentingan sama,
anggota bebas keluar masuk, dan kekuasaan dirapat anggota bukan pada pemilik
usaha. Tidak sebagaimana di perusahaan yang pemimpinnya sentralistis, pada
koperasi dikenal “tritunggal kepemimpinan” yang terdiri rapat anggota, pengurus
dan manajer. Pengurus bukan penguasa mutlak. Pengelolaan usaha pada koperasi
dilakukan secara terbuka, tidak tertutup sebagaimana dalam perusahaan swasta.
Standard
Akuntansi
Keuangan
(PSAK)
No.
27
(Revisi
1998)
menyebutkan bahwa karateristik utama koperasi yang membedakan dengan badan
usaha lain, yaitu anggota koperasi memiliki identitas ganda. Identitas ganda
maksudnya anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa
koperasi. Umumnya koperasi dikendalikan secara bersama oleh seluruh
anggotanya, di mana setiap anggota memiliki hak suara yang sama dalam setiap
keputusan yang diambil koperasi. Pembagian keuntungan koperasi biasa disebut
Sisa Hasil Usaha (SHU) biasanya dihitung berdasarkan andil anggota tersebut
dalam koperasi, misalnya dengan melakukan pembagian dividen berdasarkan
besar pembelian atau penjualan yang dilakukan oleh si anggota.
19
2.5 Konsep Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menurut Sumodiningrat
(2007), mempunyai ciri utama: (1) pada umumnya dalam berusaha tidak
memisahkan kedudukan pemilik dengan manajerial; (2) menggunakan tenaga
kerja sendiri; (3) unbankable mengandalkan modal sendiri, (4) sebagian tidak
berbadan hukum dan memiliki tingkat kewirausahaan yang relatif rendah. Kriteria
lain menurut Bank Indonesia adalah: (1) kepemilikan oleh individu atau keluarga;
(2) memanfaatkan teknologi sederhana dan padat karya; (3) rata-rata tingkat
pendidikan dan keterampilan tergolong rendah; (4) sebagian tidak terdaftar secara
resmi dan atau belum berbadan hukum serta; (5) tidak membayar pajak.
Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi
usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil
adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal
Rp 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, paling banyak Rp 200 juta. Kedua, menurut kategori Badan Pusat
Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah
tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu:
(1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan
pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; dan (4)
industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.
Usaha Mikro (Menurut Keputusan Menkeu No. 40/KMK.06/2003, tentang
Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil) antara lain adalah Usaha produktif
milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia serta memiliki hasil
penjualan paling banyak Rp. 100 juta per tahun.
20
Usaha Kecil (Menurut UU No. 9/1995, tentang Usaha Kecil):
a. Usaha produktif milik Warga Negara Indonesia, yang berbentuk badan
usaha orang orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,
atau badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi;
b. Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan
Usaha Menengah atau Besar;
c. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling
banyak Rp. 100 juta per tahun.
Berdasarkan Kepmenkeu 571/KMK 03/2003 maka pengusaha kecil adalah
pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan barang kena pajak
dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran brutto dan atau penerimaan
brutto tak lebih dari 600 juta.
Usaha Menengah menurut Inpres No. 10/1999, tentang Pemberdayaan
Usaha Menengah adalah:
a. Usaha produktif milik Warga Negara Indonesia, yang berbentuk badan
usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau
badan usaha berbadan hukum termasuk koperasi;
b. Berdiri sendiri, dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun
tidak langsung, dengan Usaha Besar;
21
c. Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp. 200 juta, sampai dengan
Rp. 10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta per tahun.
Usaha Produktif (Menurut Keputusan Menkeu No. 40/KMK.06/2003,
tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil): Usaha pada semua sektor
ekonomi yang dimaksudkan untuk dapat memberikan nilai tambah dan
meningkatkan pendapatan usaha. Ada beberapa acuan definisi yang digunakan
oleh berbagai instansi di Indonesia, yaitu:
a. UU No.9 tahun 1995 tentang usaha kecil mengatur kriteria usaha kecil
berdasarkan nilai aset tetap (di luar tanah dan bangunan) paling besar Rp
200 juta dengan omzet per tahun maksimal Rp 1 milyar. Sementara itu
berdasarkan Inpres No.10 tahun 1999 tentang usaha menengah, batasan
aset tetap (di luar tanah dan bangunan) untuk usaha menengah adalah Rp
200 juta hingga Rp 10 milyar.
b. BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM menggolongkan suatu usaha
sebagai usaha kecil jika memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per
tahun. Untuk usaha menengah, batasannya adalah usaha yang memiliki
omset antara Rp 1 sampai dengan Rp 50 milyar per tahun. Berdasarkan
definisi tersebut, data BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM pada tahun
2002 menunjukkan populasi usaha kecil mencapai sekitar 41,3 juta unit
atau sekitar 99,85 persen dari seluruh jumlah usaha di Indonesia;
sedangkan usaha menengah berjumlah sekitar 61,1 ribu unit atau 0,15
persen dari seluruh usaha di Indonesia. Sementara itu persebaran UKM
paling banyak berada di sektor pertanian (60 persen) dan perdagangan (22
22
persen) dengan total penyerapan tenaga kerja di kedua sektor tersebut
sekitar 53 juta orang (68 persen penyerapan tenaga kerja secara total).
c. Departemen Perindustrian dan Perdagangan menetapkan bahwa industri
kecil dan menengah adalah industri yang memiliki nilai investasi sampai
dengan Rp. 5 milyar. Sementara itu, usaha kecil di bidang perdagangan
dan industri juga dikategorikan sebagai usaha yang memiliki aset tetap
kurang dari Rp. 200 juta dan omzet per tahun kurang dari Rp. 1 miliar
(sesuai UU No. 9 tahun 1995).
d. Bank Indonesia menggolongkan UK dengan merujuk pada UU No.
9/1995, sedangkan untuk usaha menengah, BI menentukan sendiri kriteria
aset tetapnya dengan besaran yang dibedakan antara industri manufaktur
(Rp. 200 juta s/d Rp. 5 miliar) dan non manufaktur (Rp. 200 – 600 juta).
e. Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan suatu usaha berdasarkan
jumlah tenaga kerja. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki pekerja 1-19
orang; usaha menengah memiliki pekerja 20-99 orang; dan usaha besar
memiliki pekerja sekurang-kurangnya 100 orang.
Pada umumnya, usaha kecil mempunyai ciri antara lain sebagai berikut:
a. Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum berbadan hukum
perusahaan
b. Aspek legalitas usaha lemah
c. Struktur organisasi bersifat sederhana dengan pembagian kerja yang tidak
baku
d. Kebanyakan tidak mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan
pemisahan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan
e. Kualitas manajemen rendah dan jarang yang memiliki rencana usaha
f. Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi
23
g. Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas
h. Pemilik memiliki ikatan batin yang kuat dengan perusahaan, sehingga
seluruh kewajiban perusahaan juga menjadi kewajiban pemilik.
Kondisi tersebut berakibat kepada; 1) Lemahnya jaringan usaha serta
keterbatasan kemampuan penetrasi pasar dan diversifikasi pasar, 2) Skala
ekonomi terlalu kecil sehingga sukar menekan biaya, dan 3) Margin keuntungan
sangat tipis. Sehubungan dengan permasalahan secara umum yang dialami oleh
UKM, Badan Pusat Statistik (2003) mengidentifikasikan permasalahan yang
dihadapi oleh UKM sebagai berikut:
a. Kurang permodalan
b. Kesulitan dalam pemasaran
c. Persaingan usaha ketat
d. Kesulitan bahan baku
e. Kurang teknis produksi dan keahlian
f. Keterampilan manajerial kurang
g. Kurang pengetahuan manajemen keuangan
h. Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan)
2.6 Kemitraan CSR Suatu Alternatif Penguatan UMKM
Berbagai strategi dan program telah diupayakan dalam pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Namun demikian, semua strategi
dan program tersebut tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Kementerian Koperasi
dan UKM secara khusus dan pemerintah pada umumnya mulai dari pusat sampai
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Peran dan dukungan masyarakat, perguruan tinggi
termasuk para pelaku bisnis dan stakeholders lainnya juga sangatlah penting.
Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah perlu didukung oleh
sumberdaya yang lain termasuk oleh para pelaku bisnis itu sendiri. Tanpa ada
24
kemauan dari para pelaku bisnis untuk melakukan perbaikan, bagaimanapun
besarnya sumberdaya yang dialokasikan akan sia-sia saja. Jadi sinergitas didalam
pemberdayaan UMKM menjadi kunci penentu dalam rangka membangun UMKM
yang tangguh dan berdaya saing tinggi di masa depan (Dipta, 2008).
Dipta (2008) juga menyebutkan salah satu sinergitas yang telah banyak
dilakukan di luar negeri, adalah kerjasama atau kemitraan antara UMKM dengan
usaha besar. Kemitraan yang ideal dilandasi adanya keterkaitan usaha, melalui
prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan kita
kenal dengan “win-win solution”. Melalui pola kemitraan ini, diharapkan
terjadinya alih teknologi dan manajemen dari perusahaan besar kepada yang lebih
kecil. Di samping itu, pola kemitraan akan mendorong adanya peningkatan daya
saing UMKM. Kemitraan akan membangun adanya kepastian pasokan produk,
karena semuanya diatur dalam kesepakatan dalam bentuk kontrak. Selain
kemitraan yang didasarkan pada inter-relasi atau keterkaitan usaha, di banyak
negara juga dikembangkan program kemitraan yang didorong karena kepedulian
perusahaan besar untuk membina perusahaan kecil, khususnya usaha mikro dan
kecil. Pola kepedulian perusahaan besar dalam bentuk sosial seperti ini yang
sering disebut CSR telah banyak dikembangkan.
CSR sebagai salah satu solusi kemitraan dapat memperkuat daya saing
UMKM. Kemitraan antara UMKM dengan perusahaan yang kuat akan
mendorong UMKM menjadi kuat juga. Dalam kaitan ini, kepedulian perusahaan
besar akan memberi manfaat kepada kedua belah pihak, khususnya dalam rangka
pengurangan dampak gejolak sosial sebagai akibat adanya kecemburuan sosial –
si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Pengembangan program
25
kemitraan dengan pola CSR ini dapat dilakukan dalam berbagai pola, seperti
community development, peningkatan kapasitas, promosi produk, bahkan
perkuatan permodalan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Secara spesifik menyebutkan
bahwa CSR bisa diarahkan agar UMKM bisa dibantu dalam inovasi packaging,
inovasi branding, inovasi produk, serta penampilan produk. Selain hal-hal
tersebut, bentuk program CSR lainnya yang juga bisa dilakukan adalah
pengembangan lembaga layanan bisnis dan yayasan lain yang intinya diarahkan
untuk pengembangan UMKM (Ali, 2007).
2.7 Kerangka Pemikiran
Suatu perusahaan dalam menjalankan perusahaannya mempunyai tujuan
ekonomis untuk meningkatkan laba/profit perusahaannya. Namun dalam aktivitas
untuk mencapai tujuan ekonomis tersebut perusahaan juga mempunyai tujuan
sosial yang direalisasikan dalam bentuk program-program CSR. Kedua tujuan ini
tentunya berkaitan dengan tujuan jangka panjang perusahaan yaitu stabilitas usaha
dan pencapaian profit jangka panjang. Di luar lingkungan perusahaan, pemerintah
yang mempunyai tujuan ekonomis, politik dan sosial turut berperan sebagai
regulator yang mengeluarkan peraturan untuk mewajibkan tiap perusahaan baik
swasta maupun pemerintah untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya (CSR).
Sementara masyarakat yang berada di wilayah kerja perusahaan juga mempunyai
tujuan ekonomis dan tujuan sosial budaya untuk menunjang keberlangsungan
hidup mereka. Melalui suatu program CSR yang ditetapkan bersama-sama antara
perusahaan, pemerintah dan masyarakat kepentingan-kepentingan diantara pihak-
26
pihak tersebut disamakan agar dapat menjalankan program CSR yang
berkelanjutan dengan dukungan semua pihak yang terlibat.
Program CSR perusahaan didasarkan atas tiga bidang utama yaitu:
pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Program yang dibuat pada setiap bidang
dibentuk dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, suatu
perusahan melakukan kolaborasi dengan stakeholder lain seperti pemerintah,
LSM, akademisi, dan masyarakat. Dengan adanya kolaborasi dari tiap stakeholder
ini diharapkan program yang terbentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
memberikan dampak yang baik bagi perekonomian masyarakat.
Implementasi program CSR melalui program pengembangan UKM di
Kecamatan Kabandungan merupakan salah satu bentuk program CSR yang
dilakukan oleh PG. UKM ini tidak hanya di jalankan oleh PG sebagai pemrakarsa,
tetapi juga berkolaborasi dengan pihak lain seperti pemerintah, LKM, dan
masyarakat. Kolaborasi dengan pihak-pihak diluar perusahaan ini kemudian
memberikan bantuan modal, pelatihan teknis, pemasaran produk, pengawasan
usaha ataupun pelatihan manajemen kepada UKM yang ada. Dengan bantuan
yang diberikan ini diharapkan memberikan dampak yang baik kepada masyarakat
yang terlibat dalam program pengembangan UKM tersebut. Dampak ini dapat
berupa kenaikan pendapatan dari masyarakat yang terlibat program ataupun
kemajuan usaha dari masyarakat tersebut. Dampak tersebut pada akhirnya akan
membuat usaha masyarakat berkelanjutan.
27
Keterangan:
Pemerintah Lokal
Lembaga Keuangan
mikro
Masyarakat
Implementasi CSR
Hubungan Timbal
Balik:
Mempengaruhi:
Strategi Pengembangan UKM
Kolaborasi
Keberlanjutan
Bantuan Modal
Pelatihan Teknis
Pemasaran Produk
Pengawasan Usaha
Pelatihan Manajemen
Dampak bagi perekonomian
masyarakat lokal
Usaha Kecil dan
Menengah
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
28
2.7.1 Hipotesis Pengarah
1. Implementasi CSR terfokus pada tiga bidang yang tidak terpisahkan, yaitu:
Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi.
2. CSR mengadopsi prinsip pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan dijalankan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
3. Implementasi CSR dalam pengembangan Usaha Kecil dan Menengah
melibatkan berbagai pihak diantaranya: Perusahaan, Pemerintah, Lembaga
Keuangan Mikro, dan Masyarakat.
4. Implementasi CSR dalam pengembangan UKM dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kemandirian masyarakat.
2.7.2 Definisi Konseptual
1. Implementasi CSR: Pelaksanaan CSR yang dilakukan untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat.
2. Pihak yang terlibat: merupakan semua pihak yang berpartisipasi dan
berperan dalam pengembangan koperasi seperti pemerintah setempat,
akademisi, LSM, Lembaga Keuangan Mikro dan Masyarakat.
3. Pemerintah Lokal: adalah aparat Negara yang bertugas di wilayah tempat
masyarakat yang terlibat program pengembangan koperasi oleh PG.
4. Lembaga Keuangan Mikro: merupakan lembaga yang bergerak dalam
bidang perbankan dan memberikan legalisasi atas pinjaman yang
dilakukan Koperasi untuk menambah modalnya.
29
5. Masyarakat: adalah penduduk yang tinggal di sekitar wilayah perusahaan
dan terlibat dalam program pengembangan UKM.
6. Strategi Pengembangan UKM: merupakan hasil dari gabungan pendapat
tiap-tiap stakeholder untuk menentukan apa upaya terbaik yang akan
dilakukan untuk membuat UKM lebih baik lagi di masa yang akan datang.
7. Bantuan: yang diberikan berupa Community Development yang dalam hal
ini dapat berupa bantuan modal, pelatihan teknis, pemasaran produk,
pengawasan usaha dan pelatihan manajemen.
8. UKM: adalah usaha informal yang kapasitasnya berupa home industry
biasa dijalankan oleh masyarakat kecil dan belum mempunyai badan
hukum.
9. Perekonomian masyarakat lokal: digambarkan dengan jumlah pendapatan
masyarakat, apakah ada peningkatan sebelum dan sesudah adanya
pengembangan UKM.
10. Keberlanjutan: merupakan lama bertahannya program yang dijalankan
dalam rentang waktu yang tidak terbatas hanya satu periode saja.
Download