BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1
Memahami Seni
Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam
pemahamannya telah mengalami banyak perubahan.
Pada awalnya seni dipandang cenderung berfokus pada corak bentuk dan
dekorasi, yaitu ketika seni masih merupakan bagian yang dianggap penting dari
kehidupan religius. Saat itu pula seni berfungsi sebagai penunjang perayaan
ritual, cenderung selalu berorientasi atau membicarakan semesta kosmis dan alam
transendental, bukan pada pernyataan diri personal.1
Kemudian sejarah mencatat bahwa ketika rasionalitas muncul, seni berubah fokus
pada pernyataan personal, tendensinya berupa cara pandang baru terhadap alam yang
tidak lagi menjadikan agama sebagai sentral pengetahuan. Manusia modern telah
menetapkan
dirinya
sebagai
otoritas
mandiri
untuk
menginterprestasi
alam,
menerjemahkan imaji alam pada tiruan. Tiruan bentuknya (mimesis) diinterprestasikan
menjadi konsep-konsep dan makna-makna baru.
Kini seni cenderung tampil dalam bentuk yang sangat mengejutkan, meneror.
Keindahan justru dirusak. Sampai tahap ini dirasakan bahwa kepraktisan segala “isme”
yang dahulu biasa digunakan untuk memahami dan membaca karya seni kini sulit untuk
digunakan2. Seni telah mengalami kematian. Berakhirkah seni itu?
Yang jelas, seni membutuhkan rumusan baru. Pengaruh atau kaitannya dengan
hidup sehari-hari perlu ditinjau ulang. Demikian juga keterkaitannya dengan segala
aktivitas seni terapan, terhadap ritual religius tradisional yang keberadaannya sangat
marak di ranah tradisi lokal perlu ditinjau kembali.
1
Bambang Sugiharto, “Membenahi Hidup Lewat Seni”, dalam Imaji Jurnal Seni Murni, U.K. Maranatha.
2005, p.52
2
Ibid, p.53
Seni telah bergerak dari wilayah
yang makin dalam, makin
memperkarakan tentang sensasi batin atas ketubuhan, ambiguitas ruh atau
keniscayaan persepsi itu sendiri. Dalam wilayah praksis, seni sekarang
dapat
3
dipahami seperti di atas.
Kemudian kalau seni dipandang secara filosofis, seni dapat dibaca sebagai sebuah
permainan estetik maksudnya adalah kebebasan membuat tampilan bahasa visual yang
estetis. Darinya dapat diuraikan bahwa hanya manusialah pelaku permainan estetik yang
mempunyai nilai maksimum dan menjadi pelaku utama, karena manusia mempunyai
imajinasi dan perasaan yang rumit. Ini tidak dapat tertandingi oleh komputer canggih
sekalipun, karena komputer tak mempunyai keduanya. Imajinasi dan kerumitan perasaan
manusialah yang memungkinkan hidup tidak hanya berdasarkan fakta dan data seperti
komputer, melainkan berdasarkan nilai dan makna; dimungkinkan juga tidak hanya
memproses teks, melainkan menangkap konteks.
Konsekuensi dari potensi yang dimiliki ini adalah bahwa hidup manusia lebih
ditentukan oleh medan bentuk yang biasa disebut dunia simbol, ketimbang oleh hal-hal
real substansial. Dan dunia simbollah yang membuat manusia mampu menjangkau
keterbatasannya menciptakan dunia dan hidupnya sesuai dengan yang diimpikan, sambil
keluar dari pembatasan-pembatasan alamiahnya.
Imajinasi manusia dan perasaannya kemudian manjadikan manusia sebagai
mahluk yang otonom, berusaha keluar dari pembatasan alam, menciptakan dunianya
sendiri, dunia kultural, dunia bentuk/simbol tadi. Permainan bentuk/simbol inilah yang
memungkinkannya merambah dan mampu menjangkau ketakterbatasan secara bebas dan
memaknainya secara baru dalam arti menciptakan sebagai realitas baru.
Kemudian sampai pada kesadaran bahwa seni adalah unik, karena seni
menciptakan bahasanya sendiri yang spesifik, menerobos lintas kategori konseptual
apapun dalam rangka melihat keterkaitan maknawi baru antar apapun.
1.1.2
Melihat Realitas Sosial tentang Tubuh
Kedudukan tubuh sarat dengan pemaknaan yang sangat kompleks, diperlukan
pemahaman yang kontekstual dalam realitas sosial. Posisinya boleh dikatakan mantap
dan menjadi titik pusat diri. Tubuh dapat dipelajari dengan cara berbeda, sesuai dengan
3
Ibid, p.53
kultur masing-masing. Satu kata ini, “tubuh”, dapat menandai realitas-realitas yang
sangat berbeda, beserta persepsi-persepsinya mengenai realitas yang ada.
Tubuh dapat dijadikan sebagai alat yang paling tepat untuk mempromosikan dan
memvisualkan diri sendiri, penyedia ruang yang tak terbatas untuk memaparkan segala
jenis bentuk identitas diri. Tubuh tidak hanya “telah ada” secara alamiah, melainkan juga
menjadi sebuah kategori sosial dengan maknanya yang berbeda-beda, yang dihasilkan
dan dikembangkan setiap zaman oleh bagian-bagian populasi yang berbeda-beda. Dengan
kata lain, tubuh mirip spon dalam kemampuannya menyerap makna, selain sangat
bernuansa praktis. Pengertian bentuk identitas di sini berpokok pada politik identitas yang
di dalamnya relevan mempersoalkan bias-bias identitas tubuh seperti: pertanyaan siapa
aku, siapa kamu, siapa mereka dan seterusnya yang di dalamnya dipenuhi bias asal
muasal dari kelahiran sampai kematian. Meluas lagi ke suku apa, bangsa apa dan
sebagainya, secara praktis tubuh ini bisa dideteksi. Keadaan ini membawa konsekuensi
yang tertentu pula, menyangkut kultur tertentu pula.
Kemudian tubuh juga dapat menerima atau menyandang status tertentu, misalnya
pertanyaan kamu “Di mana”? Dalam pengertian kamu telah menjadi apa. Realitas “Di
mana” di sini dapat berarti pada level apa sekarang, berada di kelas atas atau bawah,
terhormat atau nista dan sebagainya yang dalam pemaknaannya jelas sangat politis, dan
ini mempengaruhi apresiasi selanjutnya.
Tubuh juga dapat menyatakan persoalan gender. Di sini apakah bias gender itu
dipersoalkan, dipermasalahkan; artinya apakah di masyarakat tertentu ada yang
termarginalkan atau yang terlupakan, atau yang tertindas, yang tidak diakui
keberadaannya, maskulin berkuasa
lebih dari feminin dan sebagainya. Atau juga
mempersoalkan superioritas kelompok mayoritas terhadap minoritas dan sebagainya.
Tubuh merupakan sesuatu entitas yang unik, mampu menampung sebuah
wilayah yang sangat luas dari konteksyang terus berubah. Ia menjadi unsur
pokok identitas personal dan sosial sekalipun prasangka dan diskriminasi
terdalam, yang pro dan kontra, tumbuh bersama di dalam tubuh.4
Di atas sudah disebutkan bahwa tubuh dapat dipresentasikan sebagai penyedia
ruang-ruang yang tidak terbatas untuk memaparkan segala jenis bentuk identitas diri.
4
Anthony Synnott, Tubuh Sosial, Jala Sutra, 2003. p.14
Dalam konteks ketubuhan yang diambil, “tubuh” telah terkonstruksi sedemikian rupa
sehingga untuk memahami setiap konteks menjadi sangat kompleks pemahamannya.
Sehingga, barangkali memunculkan pengertian yang berlainan bagi setiap orang, dan
tubuh yang terkonstruksi sedemikian rupa tersebut memunculkan berbagai ilusi yang
dijadikan kontemplasi ilusi tubuh ini. Merespon peristiwa-peristiwa yang terjadi di
tengah masyarakat yang melibatkan persoalan ketubuhan dalam konteks sosial, politik
dan kultural yang dapat dijadikan sarana media kontemplasi untuk masuk ke persoalan
olah visual bentuk atau simbol sebagai ungkapan dari imajinasi dan perasaan, maka
dalam kaitannya dengan hidup sehari-hari, terhadap ritual religius tradisional nyata sekali
bahwa karya seni merupakan bentuk penggunaan bahasa estetik simbolik dan tentunya
mencakup makna simbolis dari tubuh yang hidup dan tubuh yang mati.
Tubuh yang hidup dimulai ketika janin masih dalam kandungan, ini ‘dirayakan’
sebagai ‘pesta’ simbolik yang dipenuhi penggunaan nilai estetik simbolik itu. Juga ketika
tubuh yang mati diolah sebagai nilai simbolik estetis, maka realitas kematian sebagai
kesedihan ditransformasikan menjadi peristiwa yang tidak lagi muram tapi menjadi
keindahan. Kehadiran mitos-mitos yang semarak dijumpai menjadi tidak menakutkan dan
dapat diterima begitu saja kehadirannya.
Kalau didapati bahwa ada tubuh yang hidup dan ada tubuh yang mati, lalu apa
fungsi tubuh itu sendiri? Jawabannya mungkin pada realitas tubuh itu sendiri sebagai
wadah dari ruh yang sudah ada sejak dalam kandungan, yang dijaga niscaya tetap baik
karena dipercaya ruh akan kembali ke asalnya, yaitu pada alam keabadian ruh.
Kaitannya dengan kematian, tubuh yang mati adalah ketika ruh meninggalkan
tubuh sebagai wadahnya, jasadnya. Kesadaran bahwa tubuh itu fana, dapat rusak dan ruh
itu tetap hidup, di ranah tradisional kelokalan selalu dipenuhi dengan perayaan simbolis
estetis. Seperti merayakan perjalanan ruh pulang ke alam asalnya, alam keabadian, juga
sekaligus menghadirkan kosmologi tradisional yaitu alam bawah, alam tengah dan alam
atas. Hal-hal seperti di atas kemudian dijadikan awal permasalahan dalam konteks
ketubuhan yang digarap.
1.2 Rumusan Masalah
Manusia hidup berada dalam tubuh atau di dalam pikiran, dan cara masyarakat
berpikir dan merasakan tubuh mempengaruhi cara mereka menjalani hidup dan kematian.
Masalah ini berkaitan dengan olah imajinasi dan perasaan yang rumit, yang problemnya
ada pada realitas itu sendiri; realitas bahwa keberadaan manusia terdiri dari tubuh, jiwa
dan ruh. Iman kristiani yang penulis yakini menjelaskan tubuh adalah badan atau
keseluruhan organ yang telah ada, sedang jiwa adalah yang menggerakkan organ-organ
tersebut. Manusia dengan keberadaannya secara umumnya mempunyai cipta, rasa dan
karsa. Cipta adalah adalah hasil kerja dari ruh, rasa adalah hasilkerja dari jiwa dan karsa
hasil kerja badan atau tubuh. Ketiganya saling mempengaruhi.
Keberadaan jiwa ini ditandai dengan orang yang hidup dalam arti seluruh organorgan telah berfungsi, namun dengan hanya berfungsinya organ-organ yang menandai
bahwa orang tersebut hidup, belum tentu rohnya hidup. Pengertian ruh adalah semacam
inner man, yang dapat berkomunikasi dengan penciptanya, yang disertai dengan olah hati
nurani, olah etika, olah perasaan. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang
dimana binatang tidak mengenal hati nurani, etika sedang manusia memilikinya, binatang
hanya mempunyai tubuh dan jiwa saja. Pada seorang Atheis, aspek ruh yang hidup
ditiadakan, aspek penciptaan dibuang, mematikan peran komunikasi dengan pencipta.
Pemahaman semua itu bila dikaitkan dengan tema “Kematian yang Nirbatas”
maka kematian yang dimaksud adalah kematian tubuhnya/jasadnya, termasuk jiwanya.
Sedang yang kemudian dibicarakan adalah kehidupan ruh setelah kematian, karena ruh
tetap hidup tanpa batas. “Kematian yang Nirbatas” membicarakan kehidupan ruh setelah
kematian, mungkin menimbulkan pertanyaan kenapa tidak kehidupan yang nirbatas. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa kehidupan ruh yang dibicarakan setelah kematian itu dialami.
Kematian menjadi gerbang untuk kehidupan ruh tanpa batas. Jadi jelas membicarakan
“Kematian yang Nirbatas” selalu dikaitkan dengan kehidupan yang nirbatas, kehidupan
ruh. Kematian menjadi batasnya untuk mulai membicarakan kehidupan ruh yang nirbatas.
1.3 Lingkup Masalah
•
Menyadari bahwa makna “tubuh” bukanlah sesuatu yang “kodrati”, alamiah, netral,
tetap, seragam dan universal. Makna sesungguhnya dari “tubuh” dan bagaimana
menghayatinya pada dasarnya adalah hasil bentukan berbagai ajaran, keyakinan dan
praktik-praktik kebiasaan, demi kepentingan kekuasaan-kekuasaan tertentu (tradisi,
lembaga agama, politik, ekonomi, keilmuan dan sebagainya). Semua itu membawa
semacam persoalan yang mendasar, problem spiritual. Problem spiritual tersebut
menjadi makna kematian sebagai konteks dan pengungkapannya melalui estetika
simbolik sebagai visualisasi realitas yang baru.
•
Dalam konteks ritual tradisional, yang dipenuhi oleh mitos-mitos tentang kematian,
nilai simbolik estetik tidak saling diperdebatkan , namun disetarakan dan ditampilkan
dalam bahasa visual simbolik. Keberagaman mitos-mitos yang ada menunjukkan
pluralitas yang menjadi potensi yang bisa digali pemaknaannya dan sangatlah kaya
dengan nilai simbolik estetik. Estetika simbolik yang dimaksud adalah nilai-nilai
estetika yang muncul dari penggunaan simbol-simbol tertentu dalam mengungkapkan
tentang kematian, tentang kehidupan ruh, tentang perjalanan ruh ke alam asalnya,
tentang dunia ruh yang absurd namun diyakini keberadaannya. Simbol-simbol yang
dipenuhi nilai-nilai estetika tersebut kemudian menjadi realitas yang baru bagi
penulis.
1.4 Tujuan Berkarya
•
Menjadikan melukis sebagai kegiatan introspektif dan pemahaman terhadap realitas.
•
Menjadikan karya sebagai cara pandang personal, didasari pada pemaknaan yang
mendalam dari olah imanjinasi dan perasaan dan diwujudkan dalam permainan
simbolik estetis.
•
Menghadirkan karya yang membawa persoalan yang hakiki tentang tubuh, tentang
hidup dan mati yang tentunya pasti dialami oleh setiap manusia. Pada gilirannya
kemudian menjadi karya kontemplatif.
1.5 Sistematika Penulisan
Laporan karya ini terdiri dari 5 (lima) Bab, yang masing-masing terdiri dari sub
Bab. Berikut susunan Bab yang digunakan pada laporan karya ini:
•
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab ini dijelaskan tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan berkarya, sistematika dan alur proses penciptaan karya.
•
BAB II KAJIAN TEORI
Pada Bab ini
dibahas dan dipaparkan teori-teori yang dapat mendukung dan
memperkuat tema yang dipilih. Dilengkapi dengan contoh karya (secara visual) dari
seniman lain yang kurang lebih memiliki kesamaan tema, teknik, visualisasi dan
dijadikan referensi dan bahan untuk kaji bandingnya.
•
BAB III PROSES BERKARYA
Pada Bab ini akan dijelaskan proses-proses berkarya dimulai dari gagasan dasar,
tematik, estetik, tahapan proses sampai proses berkarya.
•
BAB IV TINJAUAN KARYA
Bab ini berupa deskripsi atau tinjauan berikut judul, ukuran, media yang digunakan,
termasuk juga konsep karya, dan terakhir analisanya.
•
BAB V KESIMPULAN
Bab ini berisi tentang kesimpulan proses-proses yang dilakukan, yang meliputi
kesimpulan konsep, simbol-simbol visual yang dipilih, serta kesimpulan visualisasi
yang dipilih.
Alur Proses Penciptaan Karya
Latar Belakang :
- Memahami seni
- Melihat realitas sosial tentang tubuh
Rumusan Masalah :
- Korelasi antara tubuh hidup dan tubuh
mati sebagai peristiwa yang dipenuhi
perayaan simbolis estetis
- Manusia hidup berada dalam tubuh atau
didalam pikiran. Masalah pada realitas itu
sendiri. Tubuh dan jiwa dapat mati, tetapi
ruh tetap hidup.
Korelasi berlanjut : Hidup-Mati dan
Hidup Abadi.
Lingkup Masalah :
- Problem spiritualitas
menjadi makna
pencarian di dalam
tubuh, kematian
dilihat sebagai
konteks.
- Penyetaraan nilai
simbolik estetik dari
mitos-mitos
ditampilkan dalam
lukisan
Teori :
• Tubuh
• Kematian
• Realisme
• Seni rupa modern & Kontemporer
• Kaji banding.
-
-
Fenomena seni
dalam konteks sosial
dan kultural
kematian sebagai
ritual religius
tradisional.
Sensasi batin atas
ketubuhan
Ambiguitas ruh
Analisis
Karya
Gambar 1.1
Bagan Alur Proses Penciptaan Karya
(Penulis)
Download