BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Well Being
1.
Pengertian Psychological Well Being
Penelitian
mengenai
Psycological
well-being
pertama
kali
dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological
well-being mulai berkembang sejak para ahli menyadari bahwa selama ini
psikologi lebih banyak memberikan perhatian kepada penderitaan atau
ketidakbahagiaan seseorang daripada bagaimana seseorang dapat berfungsi
secara positif. Psycological well-being merupakan istilah yang digunakan
untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan
kriteria fungsi psikologi positif (Ryff dalam Astuti, 2011).
Ryff (Papalia dkk, 2008) menyebutkan bahwa mental health tidak
hanya sebagai ketiadaan mental illness. Positive mental health, termasuk di
dalamnya psycological well-being, merupakan perasaan sehat tentang diri
sendiri. Sementara Diener (Fransisca, 2009) mengatakan bahwa perasaan
well-being atau happiness merupakan evaluasi personal seseorang terhadap
hidupnya sendiri. Papalia (2008) menyatakan bahwa orang yang sehat secara
psikologis memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Individu dapat membuat keputusan sendiri, dan memilih atau membentuk
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya. Individu memiliki tujuan yang
10
11
membuat hidupanya lebih bermakna, dan berjuang serta mengembangkan diri
semaksimal mungkin.
Tenggara dkk (2008) menyatakan, kesejahteraan psikologis bukan
hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun meliputi keterikatan aktif
dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup dan hubungan dengan
seseorang pada objek ataupun orang lain. Psycological well-being berakar
dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologicallywell). Ryff (1989) menambahkan bahwa psycological well-being merupakan
suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai
aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang mengarah pada pengungkapan
perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil
dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang
karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada
pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh, padangan Maslow
tentang aktualisasi diri, pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport
tentang
kematangan,
juga
sesuai
dengan
konsep
Erikson
dalam
menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa.
Individu dengan psycological well-being adalah individu yang
memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi psycological well-being,
yaitu merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosionalnya positif, mampu
melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi
emosional negatif, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu
menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung orang lain, mengontrol
12
kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu
mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).
Psycological
well-being
bukan
hanya
kepuasan
hidup
dan
keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, namun juga melibatkan
persepsi terhadap keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup
(Keyes, Shomotkin & Ryff, 2002). Pada intinya psycological well-being
merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktifitas hidup sehari-hari.
Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya
ketidakpuasan hidup, kecemasan, merasan tertekan, rasa percayadiri yang
rendah, sering berperilaku agresif, sampai pada kondisi mental positif, seperti
realisasi potensi dan aktualisasi diri (Bradbrun dalam Liwarti, 2013).
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
psycological well-being (kesejahteraan psikologis) merupakan evaluasi
individu terhadap kondisi psikologis yang ditandai dengan adanya perasaan
positif, kepuasan hidup serta tidak menunjukkan adanya gejala-gejala
gangguan mental. Lebih dari itu fungsi psikologis yang positif seperti
penerimaan diri, relasi sosial yang positif, memiliki tujuan hidup,
perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi bayak dialami
oleh individu dari pada fungsi psikologi negatif.
13
2.
Dimensi-dimensi Psychological Well-Being
Ryff dkk. (Papalia dkk, 2008) menggunakan berbagai teori mulai
dari Erikson sampai Maslow untuk mengembangkan model multidimensi
yang mencangkup enam dimensi kenyamanan dari skala self-report untuk
melakukan pengukuran tentang psychological well-being. Ke enam dimensi
tersebut, diantaranya :
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
Penerimaan diri merupakan ciri sentral dari konsep kesehatan
mental dan juga karakteristik dari orang teraktualisasi diri, berfungsi
secara optimal dan matang (Ryff,1998).
Individu yang memiliki penerimaan dirinya secara keseluruhan
baik pada masa kini dan masa lalunya, individu akan memiliki sikap
positif terhadap diri sendiri, memahami dan menerima berbagai aspek diri
termasuk kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri,
berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yanng
dijalaninya. Sementara individu yang memiliki penerimaan diri negatif
akan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri, merasa dikecewakan
dengan apa yang terjadi di masa lalu, merasa bersalah dengan beberapa
kualitas personal, serta ingin sosok berbeda dari dirinya pada saat ini.
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with other)
Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan menjalin
hubungan interpersonal hangat dan saling percaya, saling mengembangkan
pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai, berempati,
14
memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan
yang mendalam (Ryff, 1989).
Individu yang memiliki hubungan positif terhadap sesamanya
diharapkan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling
percaya dengan orang lain, peduli terhadap kesejahteraan orang lain,
mampu berempati, berafeksi dan membina kedekatan dan memahami
perlunya “memberi dan menerima” dalam membina hubungan terhadap
orang lain. Sebaliknya, individu dengan hubungan negatif dengan orang
lain akan merasa terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan
interpersonal, sulit bersikap hangat, tidak perduli orang lain, dan tidak
berkeinginan untuk berkompromi dalam memertahankan hubungan dengan
orang lain.
c. Otonomi (autonomy)
Dimensi-dimensi
otonomi
meliputi
kualitas-kualitas
seperti
penentuan diri (self-determination), kemandirian, pengendalian perilaku
dalam diri, dan peran locus internal dalam mengevaluasi diri (Ryff, 1989).
Dengan kata lain dimensi ini melihat kemandirian setiap individu dalam
memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas dari tekanan
pihak manapun.
Individu yang memiliki otonomi tinggi tercermin dari sejauhmana
individu tersebut mampu mengarahkan diri dan bersikap mandiri, memiliki
patokan (standar personal) bagi perilakunya, mampu bertahan terhadap
tekanan sosial untuk berfikir dan bertindak dengan cara tertentu. Individu
15
dengan otonomi rendah akan sangat memerhatikan dan memertimbangkan
harapan dan evaluasi dari orang lain, menggantungkan diri pada orang lain
untuk membuat keputusan penting, serta tidak mudah terpengaruh oleh
tekanan sosial untuk berfikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu
(Ryff,1995).
d. Penguasaan lingkungan (environment mastery)
Penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu
yang mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan di luar dirinya, mengontrol
dan memanipulasi lingkungannya yang kompleks, serta kemampuan untuk
mengambil keuntungan dan kesempatan di lingkungan individu (Ryff,
1989). Dengan kata lain dimensi ini melihat kemampuan individu dalam
menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengaturnya sesuai
dengan keadaan dirinya sendiri.
Individu memiliki dimensi tinggi dalam penguasaan lingkungan
akan tercermin dari sejauhmana individu tersebut mampu mengelola dan
mengontrol berbagai aktifitas eksternalnya, mampu memanfaatkan secara
efektif setiap kesempatan yang ada, mampu memilih atau menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi serta memiliki
kompetensi dalam mengelola lingkungan dimana dia berada. Sebaliknya,
individu dengan penguasaan rendah terhadap lingkungan akan mengalami
kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk
mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitar serta tidak
16
mampu menyadari peluang yang ada di sekelilingnya, dan kurang
memiliki kontrol terhadap dunia luar (Ryff,1995).
e. Tujuan hidup (purpose in life)
Tujuan hidup memiliki pengertian bahwa individu memiliki
pemahanan yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memiliki keyakinan
bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa
bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki
makna (Ryff, 1995)
Individu yang memiliki dimensi tujuan hidup yang tinggi adalah
individu yang memiliki pemahaman yang jelas tentang tujuan dan arah
hidup, memiliki makna terhadap hidup sekarang dan masa lalu, memiliki
keyakinan yang memberikan tujuan hidup dan sasaran hidup. Sebaliknya,
individu yang tidak memiliki tujuan dalam hidup akan kurang memahami
makna hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan masa lampau,
tidak memiliki keyakinan yang dapt memberikan makna dalam hidup serta
tidak memunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada
kehidupan (Ryff, 1995).
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu
memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi yang baik. Hal ini antara lain
untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus berkembang, kemampuan
untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan
berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki keinginan
17
untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri
dan perilakunya dari waktu ke waktu.
Individu dengan dimensi pertumbuhan pribadi tinggi dapat
tercermin
dari
sejauhmana
seseorang
memiliki
perasaan
akan
perkembangan berkelanjutan, terbuka terhadap pengalaman, serta dapat
merealisasikan potensinya melalui kegiatan kegiatan yang terus-menerus
(Ryff, 1989). Sementara orang dengan tahap pertumbuhan pribadi yang
rendah akan mengalami stagnasi, kurang merasa berkembang dari waktu
ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa
tidak mampu untuk membentuk sikap atau perilaku yang baru.
Berdasarkan dimensi-dimensi yang diuraikan di atas, maka diambil
kesimpulan bahwa psycological well-being memunyai sekumpulan dimensi,
yaitu dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain,
dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, dimensi tujuan hidup, dan
dimensi pertumbuhan pribadi.
3.
Faktor-Faktor Psychological Well-Being
a. Usia
Berdasarkan hasil beberapa penelitian yang dilakukan Ryff (1989)
Ryff & Keyes (1995), Ryff & Singer (1996), penguasaan lingkungan dan
kemandirian menunjukkan peningkatan seiring perbandingan usia (usia
25-39, usia 40-59, usia 60-74), tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi
secara jelas menunjukkan penurunan seiring bertambahnya usia, skor
18
dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain secara
signifikan bervariasi berdasarkan usia. Perbedaan usia ini terbagi menjadi
tiga fase kehidupan dewasa, yakni dewasa muda, dewasa tengah dan
dewasa akhir, dimana dewasa tengah memiliki tingkat psycological wellbeing yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa awal dan dewasa
akhir (Papalia, dkk, 2008).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil beberapa penelitian yang dilakukan Ryff (1989),
Ryff & Keyes (1995), Ryff & Singer (1996), faktor jenis kelamin
menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada dimensi hubungan positif
dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Dari keseluruhan
perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74), wanita
menunjukkan psychological well-being lebih positif jika dibandingkan
dengan pria. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak
laki-laki digambarkan sebagai sosok agresif dan mandiri, sementara itu
perempuan digambarkan sebagai sosok pasif dan tergantung, serta sensitif
terhadap perasaan orang lain (Papalia, dkk, 2008).
c. Tingkat pendidikan dan pekerjaan
Status perkerjaan yang tinggi atau tingginya pendidikan seseorang
menunjukkan bahwa individu memiliki faktor pengamanan (uang, ilmu,
keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan
tantangan (Ryff & Singer, 1996). Hal ini terkait dengan kesulitan
ekonomi, dimana kesulitan ekonomi menyebabkan sulitnya individu untuk
19
memenugi kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya
kesejahteraan psikologis (Maharani, 2015).
d. Status sosial ekonomi
Ryff (Maharani, 2015) menyatakan bahwa faktor status sosial
ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan psycological wellbeing. Ryan & Deci (2001) menegaskan, status sosial ekonomi
berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Status sosial ekonomi
juga memengaruhi kesejahteraan psikologis, seperti besarnya income
keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi
dan status sosial di masyarakat (Piquart & Serenson dalam Maharani,
2015).
e. Budaya
Hasil penelitian Ryff & Singer (Fransisca, 2009) dengan
memerhitungkan latar belakang budaya menunjukkan, bahwa secara
umum orang Amerika yang cenderung individualistic independent lebih
mudah melihat kualitas positif dalam diri mereka dibandingkan dengan
orang Korea yang dianggap lebih bersifat kolektivistik. Responden dari
Korea Selatan menilai tinggi dimensi hubungan positif dengan orang lain
dan menilai diri rendah pada penerimaan dan pertumbuhan diri.
Responden Amerika menilai diri tinggi pada pertumbuhan pribadi
khususnya pada wanita, dan berbeda dari dugaan semula bahwa ternyata
wanita Amerika menilai rendah pada dimensi otonomi.
20
f. Dukungan sosial
Menurut Lemme (1995), dukungan sosial umunya dipercaya
memiliki efek positif baik pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan
psikologis. Robinson (Rubbyk, 2005) juga menemukan bahwa orangorang yang mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psycological wellbeing lebih tinggi. Dukungan sosial dari orang lain sangat berarti dalam
hidup, tidak hanya bermanfaat langsung bagi well-being tapi juga
penghalang bagi seseorang dari efek peristiwa menyakitkan dalam hidup
seperti tidak bekerja, kecelakaan atau sakit (House dkk dalam Maharani,
2015).
g. Kepribadian
Schmutte & Ryff (1997), Stell, Schmidt, & Schultz (2008), Ryff
dkk. (2002) dalam penelitiannya mengenai hubungan lima tipe
kepribadian (the big five traits) dengan dimensi-dimensi Psychological
Well-Being menemukan bahwa sifat low neuroticism, exstravert, dan
conscientiousness, berpengaruh pada psychological well-being khususnya
pada penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Meskipun
demikian aspek-aspek psycological well-being lain juga berkorelasi
dengan kepribadian yang lainnya. Sifat keterbukaan terhadap pengalaman
baru dan exstravert berpengaruh pada pertumbuhan diri, sedangkan
agreeableness berpengaruh pada hubungan positif dengan orang lain, dan
dimensi otonomi berkorelasi dengan beberapa kerpibadian namun yang
paling menonjol adalah neurotik.
21
h. Spiritualitas
Wink & Dillon (Maharani, 2015) menyatakan bahwa spiritualitas
berkaitan
dengan
psycological
well-being
terutama
pada
aspek
pertumbuhan pribadi dan hubungan positif dengaan orang lain.
Spiritualitas merupakan sumberdaya dalam memertahankan psychological
well-being, dimana individu yang merasa mendapatkan dukungan spiritual
cenderung memiliki psychological well-being tinggi dan dapat mengurangi
angka kematian (McClain, Rosenfeld, & Breitbart dalam Maharani, 2015).
Dari beberapa penyataan di atas dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang memengaruhi Psychological Well-Being adalah usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dukungan sosial, status sosial ekonomi, budaya,
kepribadian dan spiritualitas.
4.
Narapidana Wanita
Menurut KUHP pasal 10 (dalam KUHP dan KUHP, 2002) narapidana
adalah predikat lazim diberikan kepada orang yang terhadapnya dikenakan
pidana hilang kemerdekaan, yakni hukuman penjara (kurungan). Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, narapidana adalah orang
yang hukuman atau terhukum, atau seseorang yang sedang menjalani
hukuman karena tindak pidana yang dilakukannya (Yudianto, 2011).
Pada pasal 1 angka 7 Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 tantang
permasyarakatan mengatakan bahwa, narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. Terpidana yang dimaksud
22
sesuai dengan Pasal 1 angka 6 undang-undang ini yaitu seseorang yang
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Harsono (dalam Riyadin, 2012) mengatakan bahwa narapidana adalah
seseorang yang telah dijatukan vonis bersalah oleh hukum dan harus
menjalani hukuman atau sanksi, yang kemudian akan ditempatkan di dalam
sebuah bangunan yang disebut rutan, penjara atau lembaga permasyarakatan.
Tujuan dari menjalani pidana hilangnya kemerdekaan pada narapidana
adalah
untuk
mengikuti
proses
pemasyarakatan.
Maksud
dari
permasyarakatan dalam pasal 1 angka 1 UU Permasyarakatan adalah kegiatan
untuk melakukan pembinaan warga binaan permasyarakatan berdasarkan
sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari
sistem pemindanaan dalam tata peradilan pidana (Barda, 2008).
Narapidana wanita yang dibina dalam lembaga pemasyarakatan
disebut warga binaan pemasyarakatan atau klien pemasyarakatan. Pembinaan
narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus
narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas
dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina
adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk
membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta
mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya
23
berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi
(Barda, 2008).
Berdasarkan beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa
narapidana wanita merupakan seorang yang berstatus narapidana yang
mengalami hilang kebebasan dan harus menjalani masa hukuman untuk
mempertangungjawabkan perbuatannya, agar setelah selesai masa hukuman
dapat memperbaiki perilakunya dan dapat kembali hidup bermasyarakat.
5.
Dinamika Psychological Well-Being pada Narapidana Wanita di
Lembaga Permasyarakatan
Bagi wanita, menjadi narapidana merupakan suatu kondisi yang
buruk dan dianggap bukan sekedar hukuman duniawi, tetapi juga hukuman
Tuhan. Menurut KUHP pasal 10 (KUHP, 2002), narapidana adalah predikat
lazim diberikan kepada orang yang terhadapnya dikenakan pidana hilang
kemerdekaan, yakni hukuman penjara (kurungan). Pada pasal 1 ayat 7
Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dinyatakan
bahwa narapidana adalah terpidana
yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di LAPAS. Terpidana dimaksud sesuai dengan Pasal 1 ayat 6
undang-undang ini yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memeroleh kekuatan hukum tetap.
Wanita yang telah masuk ke dalam Lembaga Permayarakatan akan
mendapatkan stereotip buruk. Kondisi ini masih dianggap tabu oleh
masyarakat, karena wanita lebih sedikit diberitakan melakukan tindakan
24
kriminal dibanding laki-laki. Masuknya narapidana ke dalam sel penjara
menjadi suatu perubahan hidup yang akan berdampak pada kondisi fisik dan
psikologis narapidana wanita. Sebagai pengalaman hidup yang penuh
tekanan, narapidana mengalami efek-efek psikis dan psikologis yang buruk
selama berada di Lapas (Pratama, 2016).
Menurut Kartono (2009), isolasi yang lama karena disekap dalam
penjara akan menyebabkan narapidana tidak memiliki partisipasi sosial,
terkucilkan dan lekat dengan stigma-stigma negatif yang berkembang dalam
masyarakat. Selain itu, narapidana akan didera oleh tekanan-tekanan batin
yang semakin memberatkan dengan bertambahnya waktu pemenjaraan,
munculnya kecenderungan-kecenderungan austistik (menutup diri secara
total) dan usaha melarikan diri dari realitas yang bersifat traumatik. Para
narapidana juga akan mengembangkan reaksi-reaksi emosional yang
stereotipis, yaitu cepat curiga, mudah marah, cepat membenci dan
pendendam.
Menurut Bartol (Azani, 2012), dampak psikologis hukuman penjara
antara lain: kehilangan identitas diri, stress, kecemasan hingga depresi,
kehilangan rasa aman, kehilangan kebebasan untuk berkomunikasi, hilangnya
pelayanan, kehilangan kasih sayang keluarga, kehilangan harga diri,
kehilangan rasa percaya diri dan kehilangan kreatifitas bahkan impian serta
cita-cita narapidana. Penolakan yang muncul dari keluarga dan masyarakat
juga memerburuk kondisi psikologis narapidana. Hal ini akan memunculkan
isolasi dan keengganan untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosial
25
nantinya.
Permasalahan-permasalahan
tersebut
menyebabkan
ketidaknyamanan sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis
wanita yang menjadi narapidana.
Tujuan dari menjalani pidana dengan hilangnya kemerdekaan pada
narapidana adalah untuk mengikuti proses pemasyarakatan. Maksud dari
pemasyarakatan dalam pasal 1 ayat 1 UU adalah kegiatan untuk melakukan
pembinaan warga binaan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana (Barda, 2008).
Perbedaan antara kehidupan di luar Lapas dan kehidupan di dalam
Lapas akan membawa sejumlah perubahan kehidupan termasuk kondisi
narapidana, khususnya wanita. Psychological well-being bagi narapidana,
merupakan kondisi yang penting agar bisa tetap menjalani kehidupannya di
dalam Lapas dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki (Azani,
2012). Individu yang mencapai psychological well-being akan mampu
memelihara kebahagiaan, kesehatan mental positif, dan pertumbuhan diri
selama ada di dalam Lapas. Psychological well-being ditunjukkan dengan
dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi,
penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi (Ryff dalam
Azani, 2012).
Dimensi penerimaan diri diperoleh terlebih dahulu melalui adaptasi
terhadap diri sendiri sampai individu mampu menerima dengan baik setiap
kondisi yang dialaminya (Aini & Asiyah, 2013). Masa penerimaan diri atas
26
pembinaan pada narapidana wanita ini berkisar rentang waktu tiga sampai
enam bulan. Semua responden mulai bisa beradaptasi dan mengenali
lingkungannya, ini adalah upaya individu untuk menjadikan masa lalu
sebagai pelajaran hidup dan mau memerbaiki diri (Pratama, 2016).
Penerimaan diri positif dapat menjadikan narapidana menerima keadaan
dirinya sebagai seorang tahanan di Lapas, merasa bahwa dirinya masih
mampu berbuat sesuatu yang berguna walaupun berada di dalam Lapas, serta
memandang positif segala kejadian di masalu sebagai teguran dari Tuhan agar
invidu kembali ke jalan yang benar untuk memerbaiki diri menjadi pribadi
lebih baik. Sebaliknya jika narapidana memiliki penerimaan diri negatif akan
menjadikan narapidana merasa sangat menyesali masa lalu dan merasa tidak
puas dengan dirinya. Hal itu membuat individu merasa ketidak bebasan dan
jauh dari lingkungan sosialnya selama berada di dalam Lapas.
Narapidana dengan dimensi hubungan sosial yang baik menurut
Yudianto (2011) akan menjadikan individu semakin dekat dengan keluarga
masing-masing. Keluarga menjadi lebih perduli dengan mereka dibandingkan
sebelum masuk ke dalam Lapas. Selain itu mereka juga mampu, tidak segan
dan tidak menutup diri untuk menjalin relasi mendalam dengan orang lain
yang berada di dalam Lapas, misalnya dengan teman sesama narapidana atau
petugas di Lapas. Individu lebih banyak menjalin interaksi dengan
lingkungan sekitarnya dan belajar untuk memahami setiap karakter orang lain
agar komunikasi antara mereka tidak saling menyakiti dan berjalan lancar.
Adapun individu dengan hubungan negatif dengan orang lain akan sulit
27
bersikap hangat, terbuka dan menjalin hubungan dekat dengan orang lain,
baik itu dengan keluarga, kerabat ataupun teman-teman sesama narapidana
serta petugas di dalam Lapas. Mereka menjadi kurang ramah, suka
menyendiri dan tidak memedulikan orang lain.
Dimensi
menentukan
otonomi
dirinya,
individu
memiliki
dapat
kemampuan
berupa
individu
mengatur
mampu
perilaku
atau
tingkahlaku sesuai dengan norma yang ada serta dapat menahan tekanan
sosial disekitarnya (Ryff, 1995). Otonomi positif akan menjadikan individu
mampu mengambil keputusan sesuai dengan keyakinan sendiri, walaupun
orang lain tidak sependapat dengannya, tidak mudah terpengaruh pendapat
orang lain, tenang dalam menyelesaikan masalah dan tidak terburu-buru
dalam mengambil keputusan, mereka pun tidak terpengaruh oleh pendapat
orang lain. Adapun individu dengan otonomi yang rendah tidak mampu untuk
memertahankan keyakinannya sendiri dan ketika mengambil keputusan
seringkali dipengaruhi orang lain. Selain itu individu merasa takut apabila
mengambil keputusan sesuai dengan pandangan diri sendiri, karena ia
menghayati bahwa pendapat orang lain lebih benar daripada pendangannya.
Individu dengan dimensi penguasaan lingkungan yang tinggi mampu
menciptakan situasi yang membuatnya merasa nyaman meskipun berada di
dalam Lapas, misalnya dalam upaya mengatasi stress mereka akan melakukan
kegiatan seperti olahraga dan mengikuti pengajian. Upaya ini dilakukan agar
mereka mampu mengatur emosi dengan baik dan stabil (Pratama, 2016).
Adapun individu dengan penguasaan lingkungan yang rendah tidak akan
28
mampu menciptakan situasi di dalam lapas, individu seringkali bingung dan
tidak tahu harus melakukan kegiatan apa di Lapas jika sudah tidak ada hal
atau kewajiban yang harus dilakukan sehingga mereka cenderung menarik
diri dan lebih memilih untuk mengisi waktu dengan tidur.
Individu
dengan
tujuan
hidup
yang
jelas
akan
memiliki
kebermaknaan hidup yang baik meskipun menyandang status sebagai
narapidana dan memiliki tujuan yang telah ditetapkan untuk masa depan.
Masalah yang menimpa mereka dan keadaan yang mereka jalani sekarang
merupakan titik balik dari kesalahan di masa lalu, kesempatan keadaan yang
mewajibkan bersikap dan berperilaku baik sebagai sarana untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka memiliki optimisme untuk
menyambut kehidupan mereka yang baru (Handayani, 2010). Adapun
individu dengan tujuan hidup yang tidak jelas merasa tidak memiliki
kebermaknaan hidup serta tidak berarti karena menyandang status sebagai
narapidana.
Dimensi pertumbuhan pribadi yang tinggi akan membuat individu
terus mengembangkan potensi dirinya dengan mengikuti berbagai kegiatan
dan mau mencoba mengerjakan hal baru yang tidak pernah dilakukan
sebelumnya, misalnya kegiatan kerajinan tangan dan menjahit. Hal ini akan
menyadarkan bahwa mereka memiliki potensi dan kemampuan untuk
mengerjakan hal tersebut. Adapun narapidana dengan pertumbuhan pribadi
rendah merasa tidak mampu mengembangkan potensi diri dan tidak terbuka
terhadap hal baru, tidak mau mengikuti kegiatan pengembangan diri di Lapas.
29
Psychological well-being pada narapidana ditandai dengan rasa
memiliki penerimaan diri yang baik, memiliki hubungan positif dengan orang
lain, kemandirian, tujuan hidup, penguasaan lingkungan serta pertumbuhan
pribadi.
Psychological well-being juga dipengaruhi berbagai faktor, yaitu
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan, status sosial ekonomi,
budaya, dukungan sosial, dan spritualitas (Ryff, 1989). Masing-masing dapat
dijelaskan sebagai berikut
Dalam hal usia, berdasarkan penelitian Ryff (1989), Ryff & Keyes
(1995), Ryff & Singer (1996) penguasaan lingkungan dan kemandirian akan
meningkat seiring bertambahnya usia, khususnya dari masa dewasa muda ke
dewasa madya. Pada masa dewasa madya, individu sudah memiliki berbagai
pengalaman dalam hidupnya, dan mereka juga melakukan evaluasi mengenai
apa yang telah mereka lakukan dalam hidupnya, sehingga mereka bisa
mengetahui lingkungan seperti apa yang sesuai bagi diri mereka dan dapat
menyelesaikan tugas kompleks dalam hidupnya. Dengan keadaan seperti
inilah, maka dimensi penguasaan lingkungan dapat meningkat di usia dewasa
madya (Ryff,1996). Begitu juga dengan narapidana yang telah berada di usia
dewasa madya, mereka dapat mencari strategi penyelesaian masalah
kompleks dalam hidup mereka kerena pemikiran dan pengalaman mereka
juga sudah berkembang. Selain itu, pada masa dewasa madya juga memiliki
standar hidup pribadi dan tidak mengikuti standar orang lain. Hal ini dapat
membuat individu bisa menghadapi berbagai masalah dan menyelesaikannya
30
sesuai dengan keyakinannya sendiri. Keadaan seperti ini dapat membuat
dimensi otonomi meningkat (Ryff dalam Maharani, 2015). Sama halnya
dengan narapidana, mereka telah memiliki standar hidup pribadi sehingga
pada saat menjalani masa tahanan, mereka dapat menyelesaikan masalah
sesuai dengan keyakinannya sendiri dan tidak terpengaruh oleh orang lain.
Pengaruh usia pada psychological well-being individu juga dapat
dilihat pada dimensi lainnya, yaitu pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup
yang mengalami penurunan dari usia dewasa madya ke dewasa lanjut,
kesehatan dan beberapa fungsi kognitif pada individu dapat mengalami
penurunan (Ryff dalam Maharani 2015). Begitu juga pada narapidana yang
berada di usia lanjut, kesehatan dan beberapa fungsi kognitif yang menurun,
akan membuat mereka mengalami hambatan untuk mengembangkan diri
misalnya ketika mengikuti kegiatan kegiatan baru seperti membuat kerajinan
tangan, mereka akan sulit untuk melakukannya.
Faktor budaya ikut berperan dalam menentukan psychological wellbeing seseorang. Ryff & Singer (1996) menyatakan bahwa sistem nilai
individualistik dan kolektivitas yang dianut oleh suatu masyarakat akan
memberi
dampak
terhadap
perkembangan
psychological
well-being
seseorang. Narapidana yang menganut sistem individualistik, ketika dalam
masa tahanan mereka akan dapat menunjukkan kemampuan dalam
menyelesaikan masalahnya sendiri, tidak bergantung dan mengandalkan
orang lain. Mereka mengandalkan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan
yang mereka miliki untuk dapat berhasil menyelesaikan berbagai hal yang
31
mereka hadapi. Dengan keberhasilan yang mereka capai tersebut, mereka
juga akan lebih menilai diri secara positif dan lebih mampu menerima diri
mereka yang sekarang dengan apa adanya. Adapun narapidana yang
menganut nilai kolektivitas, pada masa tahanan akan senang melakukan
kegiatan bersama dengan orang lain. Misalnya dengan mengikuti kegiatan
kerajinan tangan dengan sesama teman narapidana yang lain. Selain itu,
walaupun berada dalam Lapas mereka akan berusaha untuk tetap menjalin
hubungan yang dekat dengan keluarga. Hal ini menjadikan dimensi hubungan
positif dengan orang lainnya menjadi tinggi.
Perbedaan
status
kelas
sosial
ekonomi
turut
memengaruhi
psychological well-being, yaitu dalam dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,
penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi (Ryff dalam Ryan & Deci,
2001). Faktor yang tercangkup di dalamnya meliputi pendidikan, pendapatan
dan pekerjaan. Melalui penelitian longitudinal terhadap sampel dewasa
madya, didapatkan hasil bahwa tingkat well-being individu akan lebih baik
bila memiliki status pendidikan dan pekerjaan yang tinggi. Begitu juga
dengan narapidana yang memiliki status pendidikan dan pekerjaan yang
tinggi sebelum masuk ke lapas. Dengan ilmu pengetahuan dan pengalam
sebelumnya mereka miliki tentunya mereka akan dapat menguasai
lingkungan dan mengoptimalkan pengembangan dirinya.
Faktor dukungan sosial, menurut Davis (Praiwi, 2000) dinyatakan
bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat
psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial dapat diartikan
32
sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan ataupun pertolongan yang
dipersepsikan oleh seorang individu didapat dari diri orang lain atau
kelompoknya. Dalam hal ini narapidana walaupun berada di dalam Lapas
tetap mendapatkan dukungan emosional berupa, perhatian, keperdulian dan
empati dari orang lain, misalnya dari keluarga, akan tetap merasa nyaman
dicintai walaupun berstatus sebagai narapidana
Hal ini dapat membuat psychological well-being cenderung menjadi
tinggi. Dukungan penghargaan berpengaruh terhadap psychological wellbeing. Narapidana yang selama menjalani masa tahanan tetap dihargai oleh
keluarganya akan menunjukkan psychological well-being yang cenderung
tinggi dibandingkan dengan narapidana yang mendapat perlakuan verbal
negatif dari keluarganya yang kemudian dapat membuatnya kehilangan
perasaan dihargai (Yudianto, 2011).
Faktor lain yang memengaruhi psychological well being adalah
spiritualitas. Penelitian yang dilakukan mengenai psikologi dan religiusitas
yang dilakukan oleh Ellison & Levin (1998), Ellison dkk (2001), Koenig
(2004), Krause & Ellison (2003) menemukan hubungan positif antara
religiusitas dengan dimensi penerimaan diri dan petumbuhan pribadi yang
dimiliki seorang individu. Narapidana yang lebih aktif dalam kegiatan
keagamaan cenderung memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi
dan hal ini akan berdampak pada tingginya persepsi rasa penguasaan
lingkungannya, serta dapat meningkatkan self esteem nya. Hal ini juga dapat
menjadikan prediktor evaluasi kepuasan hidupnya.
33
Dilihat
dari
dimensi
dan
faktor-faktor
yang
memengaruhi
keberadaan psychological well-being pada narapidana dapat berefek negatif
atau positif pada individu. Efek negatif akan muncul dan menghambat
perkembangan dan dapat menimbulkan ketidakberdayaan diri. Jika hal ini
muncul keberadaannya akan mengakibatkan individu hanya mampu
menerima keadaan apa adanya tanpa ada usaha dari dirinya untuk membuat
hidupnya menjadi lebih baik. Adanya psychological well-being yang tinggi
dalam diri individu, khususnya narapidana yang sedang menjalani masa
tahanan, akan membuat individu mampu menghadapi kodisi yang sedang
dijalani.
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan
dalam
penelitian
ini
adalah
“Bagaimana
Psychological well-being pada narapidana wanita di
Tanjungpandan Belitung..
Lapas
gambaran
Klas
IIB
Download