KADAR INTERLEUKIN-6 (IL-6) PADA

advertisement
KADAR INTERLEUKIN-6 (IL-6) PADA ENDOMETRIOSIS
Endometriosis merupakan kondisi tumbuhnya kelenjar dan stroma
endometrium di lokasi heterotopik jauh dari endometrium normal. Endometriosis
merupakan suatu gangguan ginekologi kronik, bersifat jinak, tergantung estrogen,
yang berhubungan dengan nyeri pelvik dan infertilitas. Endometriosis adalah
penyebab morbiditas yang signifikan dan diasosiasikan denganin fertilitas dan
nyeri. Terdapat tiga sitokin pro-inflamasiyaitu IL-1, IL-6 dan tumor necrosis
factor (TNF)-alpha, semua terlibat dalam pengembangan endometriosis.
Konsentrasinya dalam cairan peritoneum dikaitkan dengan derajat adhesi
endometriosis. konsentrasi IL-6 yang lebih tinggi secara signifikan pada pasien
endometriosis dibandingkan
dengan
kelompok kontrol. Secara spesifik,
konsentrasi IL-6 lebih tinggi secara signifikan pada endometriosis sedang sampai
berat namun tidak pada endometriosis ringan jika dibandingkan dengan kontrol.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Endometriosis merupakan suatu gangguan ginekologis yang dikategorikan
jinak tetapi memberikan dampak besar pada usia reproduktif oleh karena sampai
saat ini endometriosis merupakan kontributor utama nyeri panggul dan
subfertilitas.1,2 Gejala-gejala yang ditimbulkan dapat mempengaruhi keadaan
fisik, mental dan sosial secara umum.3 Di samping itu keadaan ini cenderung
mengalami progresi dan rekurensi sehingga menimbulkan keadaan yang tidak
menyenangkan bagi penderita serta menjadi tantangan bagi klinisi untuk
menanggulanginya.2
Penanganan terhadap penderita sangat bersifat individual, termasuk
mempertimbangkan pengaruh penyakit itu sendiri maupun pengobatan yang akan
diberikan terhadap kualitas hidup penderita. Terapi yang tepat serta pendekatan
multidisiplin termasuk di dalamnya konseling sangat diperlukan untuk
penanganan keadaan ini. Penderita sendiri perlu dilibatkan secara aktif dalam
semua keputusan, baik untuk diagnostik maupun terapi sehingga dapat dicapai
hasil yang optimal.3
Endometriosis didefinisikan sebagai ditemukannya dan bertumbuhnya
kelenjar dan stroma endometrium di lokasi heterotopik jauh dari endometrium
normal.2,4 Endometriosis merupakan suatu gangguan ginekologi kronik, bersifat
jinak, tergantung estrogen, yang berhubungan dengan nyeri pelvik dan
infertilitas.2,5Endometriosis adalah penyebab morbiditas yang signifikan dan
1
2
diasosiasikan dengan infertilitas dan nyeri. Tiga sitokin pro-inflamasi yaitu IL-1,
IL-6 dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha, semua terlibat dalam pengembangan
endometriosis. Konsentrasinya dalam cairan peritoneum dikaitkan dengan derajat
adhesi endometriosis.konsentrasi IL-6 yang lebih tinggi secara signifikan pada
pasien endometriosis dibandingkan dengan kelompok kontrol. Secara spesifik,
konsentrasi IL-6 lebih tinggi secara signifikan pada endometriosis sedang sampai
berat namun tidak pada endometriosis ringan jika dibandingkan dengan kontrol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Endometriosis
2.1.1 Definisi
Endometriosis didefinisikan sebagai ditemukannya dan bertumbuhnya
kelenjar dan stroma endometrium di lokasi heterotopik jauh dari endometrium
normal.2,4 Endometriosis merupakan suatu gangguan ginekologi kronik, bersifat
jinak, tergantung estrogen, yang berhubungan dengan nyeri pelvik dan
infertilitas.2,5
Implan endometrium ektopik ini biasanya terletak di dalam panggul,4
dengan karakteristik ditemukannya endometrial-like tissue di luar uterus terutama
pada peritoneum pelvis, ovarium,1,6 dan septum rektovaginal,1 tetapi dapat
ditemukan di tempat lainnya dalam tubuh,3 misalnya diafragma, pleura, dan
perikardium1,7 dan sering dikaitkan dengan nyeri dan peningkatan risiko
infertilitas.2,4,7
2.1.2 Epidemiologi
Endometriosis merupakan penyebab umum morbiditas pada wanita usia
reproduktif.6,7 Endometriosis mempengaruhi 6–10% dari wanita usia reproduktif,
50–60% dari wanita dan remaja putri dengan nyeri panggul, dan sampai 50%
wanita dengan infertilitas.1
Meskipun endometriosis ini berhubungan dengan siklus menstruasi, dapat
juga mengenai wanita postmenopause (2–5%), dan umumnya terjadi sebagai efek
samping dari penggunaan hormon.5 Endometriosis postmenopause meningkatkan
3
4
risiko rekurensi dan transformasi keganasan. Beberapa lesi endometriosis
berpredisposisi untuk terjadinya kanker clear cell dan endometriod ovarium.
Endometrioma ovarium yang berdiameter 9 cm atau lebih merupakan prediktor
kuat perkembangan kanker ovarium pada wanita postmenopause yang berumur 45
tahun atau lebih.5
2.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko endometriosis meliputi:1
1. obstruksi aliran menstruasi (misalnya, anomali mullerian),
2. paparan terhadap diethylstilbestrol di dalam uterus,
3. paparan berkepanjangan dengan estrogen endogen (misalnya, karena
menarche dini, terlambat menopause, atau obesitas),
4. siklus menstruasi pendek,
5. paparan terhadap bahan kimia yang mengganggu endokrin.
Studi terhadap kembar dan keluarga menunjukkan adanya keterlibatan
komponen genetik. Konsumsi daging merah dan trans fats berhubungan dengan
peningkatan risiko endometriosis yang dikonfirmasi dengan laparoskopi, dan
makan buah-buahan, sayuran hijau, dan asam lemak n-3 rantai panjang dikaitkan
dengan penurunan risiko. Laktasi lama dan kehamilan multipel bersifat protektif.
Endometriosis
dikaitkan
dengan
peningkatan
risiko
penyakit
autoimun,
endometrioid ovarium, clear-cell karsinoma, serta kanker lainnya, termasuk
limfoma non-Hodgkin dan melanoma.1,8
5
2.1.4 Patofisiologi
Etiologi pasti dari endometriosis masih belum diketahui. Namun, banyak
teori telah diusulkan untuk menjelaskan presentasi klinis penyakit. Teori
menstruasi retrograd oleh Sampson merupakan penjelasan yang paling dapat
diterima untuk penyakit ini. Teori ini didukung dengan penelitian eksperimen
dengan binatang dan juga oleh pengamatan klinis selama laparoskopi yang
mencatat situs umum dari keterlibatan sekitar ovarium dan dalam kantung
Douglas.3 Faktor lain yang dihubungkan dengan etiologi endometriosis adalah
metaplasia coelomic, teori induksi, penyebaran limfatik atau vaskular, efek
hormon, genetik reseptor steroid, faktor imunologis/otoimun.2,8
Endometriosis pelvis adalah lokasi anatomi yang paling umum untuk
penyakit ini. Hemipelvis dan ovarium kiri lebih sering terkena daripada yang
kanan, yang dapat dijelaskan oleh adanya colon sigmoid di sebelah kiri yang
menurunkan pergerakan cairan peritoneal. Signifikansi klinis lateralisasi ini tidak
diketahui. Keterlibatan ovarium sering dikaitkan dengan kista endometriosis yang
dikenal sebagai endometrioma atau "kista coklat". Peritoneum pelvis, posterior
cul-desac, kantong uterovesical dan uterosakral, ligamen rotundum dan latum juga
merupakan tempat-tempat umum untuk endometriosis. Keterlibatan limfonodi
pelvis ditemukan sampai dengan sepertiga dari kasus. Kadang-kadang, cervix,
vagina, dan vulva juga terlibat. Meskipun traktus genitalis merupakan sistem yang
paling sering terlibat, saluran pencernaan merupakan situs extragenital yang
paling sering untuk endometriosis. Saluran kemih adalah sistem ketiga yang
paling sering terlibat, yang mempengaruhi 10% perempuan dengan endometriosis.
6
Bintik endometriotik kecil superfisial ditemukan paling sering pada kandung
kemih, diikuti oleh ureter. Endometrioma ovarium bervariasi dalam ukuran, mulai
dari 1 mm sampai kista coklat besar yang dapat lebih besar dari 8 cm diameter.3,8
Jaringan dan sel-sel endometrium transplantasi retrograde melekat pada
permukaan peritoneal, membentuk suplai darah, dan menginvasi struktur di
dekatnya. Mereka disusupi oleh saraf sensorik, simpatik, dan parasimpatis dan
mendatangkan respons inflamasi. Implan endometriotik mengeluarkan estradiol
(E2) serta prostaglandin E2 (PGE2), zat-zat yang menarik makrofag (monocyte
chemotactic protein 1 [MCP-1]), peptida neurotropik (nerve growth factor
[NGF]), enzim untuk remodeling jaringan (matrix metalloproteinases [MMPs]),
tissue inhibitors of MMPs (TIMPs), dan zat proangiogenik seperti vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan interleukin-8. Lesi mengeluarkan
haptoglobin, yang menurunkan adhesi makrofag dan fungsi fagositosis. Lesi dan
makrofag teraktivasi, yang berlimpah dalam cairan peritoneum pada wanita
dengan endometriosis, juga mensekresi sitokin pro inflamasi (interleukin-1β,
interleukin-8, interleukin-6, dan tumor necrosis factor α [TNF-α]). Lokal (dan
sistemik) estradiol dapat merangsang lesi untuk memproduksi PGE2, yang dapat
mengaktifkan serabut nyeri, meningkatkan invasi saraf lesi dengan merangsang
produksi NGF dan neurotrophins lainnya, dan meningkatkan pertumbuhan dari
nosireseptor yang berkontribusi terhadap nyeri inflamasi persisten dan
menghambat apoptosis neuron. Terjadi miseksperi dari endometrial bleeding
factor (EBAF) dan dapat mengakibatkan pendarahan rahim. Infertilitas yang
merupakan hasil dari efek racun dari proses inflamasi pada gamet dan embrio,
7
berkompromi dengan fungsi fimbrial, dan endometrium eutopik yang resisten
terhadap aksi progesteron dan tidak cocok terhadap implantasi embrio.
Progesteron tidak meregulasi gen HoxA10, HoxA11 dan integrin αVβ3, dan
dengan demikian endometrium tidak cocok terhadap implantasi embrio. Bahan
kimia yang mengganggu endokrin dapat berkontribusi pada resistensi progesteron
dan juga disfungsi kekebalan tubuh. ERFFI1 (ErbB receptor feedback inhibitor 1)
terekspresi dan adanya kelebihan sinyak mitogenik.1
Gambar 2.1 Patofisiologi Nyeri dan Infertilitas pada Endometriosis
2. 1.5 Gambaran Klinis
Nyeri panggul yang berkaitan dengan endometriosis biasanya kronis
(berlangsung ≥ 6 bulan) dan berhubungan dengan dismenore (di 50 - 90% dari
kasus), dispareunia, nyeri panggul dalam, dan nyeri perut bagian bawah dengan
atau tanpa nyeri punggung dan pinggang. Rasa sakit dapat terjadi tak terduga dan
intermiten selama siklus menstruasi atau bisa terus menerus, dan dapat terasa
tumpul, berdenyut, atau tajam, dan diperburuk oleh aktifitas fisik. Gejala yang
berhubungan dengan kandung kemih dan usus (mual, distensi, dan kenyang awal)
biasanya bersifat siklik. Nyeri sering memburuk dari waktu ke waktu dan dapat
8
berubah sifat, nyeri yang bersifat terbakar atau hipersensitivitas jarang dilaporkan,
gejala yang bersifat sugestif dari komponen neuropatik. Adanya gejala yang
tumpang tindih dengan beberapa kondisi ginekologi lainnya (misalnya, penyakit
radang panggul, adhesi panggul, kista indung telur atau massa, leiomyomata, dan
adenomiosis), dan faktor serta kondisi non ginekologi (misalnya, irritable bowel
syndrome, inflammatory bowel disease, sistitis interstisial, nyeri myofascial,
depresi, dan riwayat pelecehan seksual), membuat diagnosis menjadi sulit.1,7,8
2.1.6 Diagnosis dan Staging
Pada sebagian besar penyakit, anamnesis yang lengkap akan merujuk
kepada diagnosis pada mayoritas pasien. Trias klasik gejala dari endometriosis
yaitu dismenore (kram perut pada saat menstruasi), dispareuni (nyeri pada saat
bersenggama), dan Mittleschmerz (nyeri pada pertengahan siklus atau saat
ovulasi).2,9
Nyeri panggul kronis dan infertilitas adalah gejala yang paling umum dari
endometriosis. Nyeri panggul kronis dapat berupa nyeri siklik, nyeri nonsiklik,
dismenore sekunder, dan / atau dispareunia. Rasa sakit biasanya dimulai sebelum
timbulnya menstruasi, meningkat dengan banyaknya menstruasi, dan berkurang
secara bertahap menjelang akhir menstruasi. Dispareunia sering dalam dan
sebagian besar merupakan akibat imobilitas organ panggul akibat adhesi.2,3
Saat ini, metode definitif untuk mendiagnosis, penilaian stadium
endometriosis dan evaluasi terhadap rekurensi penyakit setelah pengobatan adalah
visualisasi dengan tindakan bedah.1 Saat ini, laparoskopi merupakan gold standar
untuk mendiagnosis endometriosis.3 Sistem penilaian yang telah direvisi dari
9
American Society for Reproductive Medicine digunakan untuk menentukan
stadium penyakit (mulai dari stadium I yang menunjukkan penyakit minimal,
hingga stadium IV yang menunjukkan penyakit parah) berdasarkan jenis, lokasi
lesi, penampilan, dalamnya invasi lesi, luasnya penyakit dan adesi. Walaupun
penilaian stadium berguna dalam menentukan manajemen penyakit, stadium tidak
berkorelasi dengan beratnya nyeri atau memprediksi respons terhadap terapi untuk
nyeri atau infertilitas. Pendekatan diagnostik non-operatif seperti ultrasonografi
transvaginal dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak banyak membantu
dalam mendeteksi adanya adesi dan implantasi di peritoneum dan ovarium.
Namun, kedua metode pencitraan tersebut dapat mendeteksi endometrioma
ovarium dengan baik, dengan kisaran sensitivitas 80 - 90% dan spesifisitas 60 98%. Karena biaya yang lebih rendah, ultrasonografi ransvaginal lebih disukai
daripada MRI dalam diagnosis endometrioma. Doppler ultrasonografi dapat
membantu dalam menetapkan diagnosis, karena dapat menunjukkan karakteristik
aliran darah sedikit ke endometrioma, aliran normal pada jaringan ovarium
normal, dan aliran yang meningkat pada tumor ovarium.1 Kadar CA-125 mungkin
meningkat pada endometriosis, tetapi tes ini tidak dianjurkan untuk tujuan
diagnostik karena rendahnya sensitivitas dan spesifisitas.1,4 Interval rata-rata
antara timbulnya rasa sakit dan diagnosis definitif (bedah) adalah 10,4 tahun. 1
2.1.7 Penatalaksanaan
Terapi endometriosis memiliki dua tujuan, yaitu mengendalikan rasa sakit
dan penekanan produksi estrogen.10 Terapi jangka panjang terhadap pasien
dengan nyeri pelvis kronis yang berhubungan dengan endometriosis melibatkan
10
rangkaian berulang terapi medis, terapi bedah, atau keduanya.1,10 Dalam
kebanyakan kasus, rasa sakit muncul kembali dalam waktu 6 sampai 12 bulan
setelah selesainya terapi.1
1. Terapi Medis
Terapi medis empiris umumnya dimulai untuk mengontrol rasa sakit tanpa
konfirmasi bedah. Terapi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit
melalui berbagai mekanisme, termasuk meminimalkan peradangan, mengganggu
atau menekan siklus produksi hormon ovarium, menghambat aksi dan sintesis
estradiol, dan mengurangi atau mengeliminasi mens. Terapi medis terdiri dari
pemberian analgesik dan preparat hormon.1,10-12
Analgesik merupakan terapi nonspesifik, tetapi merupakan bagian terapi
medis yang penting dan satu-satunya modalitas terapi yang tepat untuk wanita
yang menginginkan kehamilan.9,10 Anti inflamasi non-steroid (AINS) biasanya
efektif, karena implan endometriosis mengeluarkan prostaglandin dan sitokin,
yangmana produksinya diturunkan oleh AINS. Asetaminofen saja memang
kurang efektif tapi cukup baik bila dikombinasi dengan AINS lainnya, atau
sebagai monoterapi pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap AINS.9
AINS biasanya digunakan untuk mengurangi dismenore, meskipun suatu studi
acak terkontrol tidak menunjukkan penurunan nyeri yang signifikan akibat
endometriosis dengan menggunakan AINS dibandingkan dengan plasebo dan
tidak ada keunggulan salah satu AINS di atas lainnya.1 Haruslah dicatat bahwa
AINS sebaiknya dihindari pada masa sekitar ovulasi pada wanita yang
menginginkan kehamilan, karena penggunan AINS kronik berhubungan dengan
11
sindrom luteinized unruptured follicle wall; blokade terhadap prostaglandin
menghambat pecahnya dinding folikel yang menyebabkan keluarnya ovum,
sehingga fertilisasi dicegah. Pada nyeri hebat, terutama pada dismenore yang berat
diperlukan suatu narkotik.9 Preparat hormon yang digunakan dalam penanganan
endometriosis antara progestin, kontrasepsi oral, GnRH analog dan Danazol.10-12
a. Kontrasepsi oral
Kontrasepsi oral kombinasi dapat digunakan secara siklis atau kontinu
untuk nyeri terkait endometriosis dan biasanya dikombinasikan dengan AINS,
meskipun berhubungan dengan tingkat kegagalan 20 - 25%. Pendekatan ini
merupakan terapi lini pertama pada pasien tanpa kontraindikasi terhadap
penggunaan kontrasepsi oral kombinasi. hingga saat ini, kontrasepsi oral
merupakan terapi yang paling sering diresepkan untuk penyakit ini. Terapi yang
kontinu disebut membuat keadaan “kehamilan semu” oleh karena kombinasi
terapi estrogen-progestin menginduksi amenore dan desidualisasi endometrial
(mirip terapi dengan menggunakan progestin semata) dan menyerupai lingkungan
tinggi-estrogen, tinggi progesteron pada kehamilan yang dipercaya secara luas
dapat memperbaiki maupun mensupresi endometriosis. Kontrasepsi oral juga
dapat meningkatkan apoptosis dari jaringan endometrial eutopik pada wanita
dengan endometriosis.1,2
b. GnRH analog
GnRH analog ialah bentuk yang dimodifikasi dari GnRH yang berikatan
dengan reseptor GnRH pada gonadotrop hipofisis untuk interval waktu yang lebih
lama, berkebalikan dengan GnRH aslinya yang memiliki paruh hidup yang sangat
12
singkat. Pengobatan dengan GnRH analog menciptakan keadaan “menopause
semu” atau “oovorektomi medis”, dimana wanita dalam terapi dengan GnRH
agonis tidak menghasilkan estrogen oleh karena ovariumnya menerima stimulasi
gonadotropin yang efektif; kadar baik FSH dan LH adalah cenderung sangat
rendah.
Mekanisme-mekanisme
aksi
dari
agonis
GnRH
dalam
terapi
endometriosis ialah termasuk induksi status hipogonadal yang menghilangkan
penyakit yang ada akibat estrogen dan pada amenorea, di mana menghilangkan
semua kemungkinan terjadinya pembenihan peritoneal baru.2,9,10
Karena terapi agonis GnRH memiliki efek samping yang cukup besar,
termasuk hipoestrogenik yang dapat menyebabkan hilangnya tulang hingga 13%
selama 6 bulan (yang sebagian reversibel pada penghentian terapi), maka terapi
addback estrogen-progestagen yang direkomendasikan. Estrogen threshold
hypothesis menunjukkan bahwa mempertahankan tingkat estradiol antara 30 dan
45 pg per mililiter (109 dan 164 pmol per liter) akan mempertahankan kepadatan
mineral tulang tanpa menstimuli penyakit. Meskipun, skor untuk nyeri panggul,
pelunakan, dan dismenore diperbaiki dengan penggunaan regimen kombinasi
norethindrone asetat dengan dosis 5 mg sehari dengan agonis GnRH yang
merupakan suatu estrogen kuda terkonjugasi pada dosis 0,625 mg, atau keduanya,
tetapi tidak ketika 5 mg asetat norethindrone dikombinasikan dengan dosis yang
lebih tinggi (1,25 mg) estrogen kuda terkonjugasi. Dalam waktu 1 tahun,
kepadatan mineral tulang dipertahankan pada baseline pada semua kelompok
yang menerima addback therapy. Efek addback therapy hanya progestin terhadap
13
kepadatan tulang menunjukkan hasil yang tidak konsisten pada orang dewasa dan
remaja. 1
Sejak lesi endometriotik mengekspresikan aromatase dan mensintesis
estradiol mereka sendiri, penekanan produksi estradiol ovarium mungkin tidak
sepenuhnya mengontrol rasa sakit. Studi terbatas yang melibatkan sejumlah kecil
pasien menunjukkan bahwa inhibitor aromatase (pada dosis lebih rendah daripada
yang digunakan untuk pengobatan kanker payudara) adalah efektif dalam
mengurangi nyeri panggul, dengan efek yang mirip dengan terapi hormon lainnya.
Aromatase inhibitor, bagaimanapun, belum disetujui oleh FDA untuk nyeri terkait
endometriosis.1
c. Danazol
Danazol, adalah obat pertama yang pernah diakui untuk terapi
endometriosis di Amerika serikat, ia adalah derivat isozasol berupa 17etiniltestosteron yang diberikan secara oral yang bekerja terutama dengan
menginhibisi LH surge midsiklus urinaria dan menginduksi status anuvalatoris
kronik, namun obat ini juga memperlihatkan sejumlah enzim-enzim steroidogenik
dan meningkatkan kadar testosteron bebas.2,10,11
Danazol merupakan pengobatan awal untuk endometriosis, namun efek
samping androgeniknya membatasi penggunaannya secara klinis. Dalam studi
kecil, antiprogestagens seperti mifepristone menunjukkan dapat mengurangi rasa
sakit, namun data studi acak yang lebih besar masih kurang.1,9
d. Obat-Obat Progestasional
Obat-obat progestasional (progestin) telah lama digunakan untuk
mengobati simptomatik dari endometriosis. Sejumlah besar variasi dari obat
14
berbeda tersedia, termasuk yang berasal dari medroksiprogesteron asetat –mirip
progesteron
dan
bermacam-macam
derivat
lain
dari
19-nortestosteron;
noretindron ialah suatu prototip. Dalam terapi endometriosis, progestin yang
paling luas digunakan ialah medroksiprogesteron asetat; baik oral (20-100 mg tiap
hari) dan terapi parenteral (150 mg intramuskuler tiap 3 bulan) sudah digunakan.2
e.
Terapi hormon ajuvan
Sebuah meta-analisis dari 6 penelitian random bahwa dibandingkan 3
sampai 6 bulan pengobatan pasca operasi dengan agonis GnRH, danazol, atau
kontrasepsi oral kombinasi tanpa perawatan pasca-operasi atau plasebo
menunjukkan penurunan yang signifikan dalam skor nyeri pada akhir terapi dalam
kelompok terapi aktif, meskipun manfaatnya tidak konsisten dengan follow up
yang lebih lama (untuk 18 bulan) setelah penghentian terapi. Interval rata-rata
antara operasi dan rekurenai gejala membutuhkan terapi alternatif secara
signifikan lebih lama bagi pasien yang menerima pengobatan pasca operasi
dengan agonis GnRH (> 24 bulan) dibandingkan dengan pasien yang menerima
plasebo (12 bulan). 1
Ketika membandingkan pilihan terapi pasca operasi yang berbeda-beda,
suatu studi lainnya menunjukkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim
yang
mengandung
levonorgestrel-releasing
pasca
operasi
menghasilkan
penurunan rekurensi dismenore yang lebih besar daripada pengobatan dengan
agonis GnRH, meskipun pengobatan ini belum diadopsi secara luas.4
15
2. Terapi Bedah
Pendekatan bedah untuk menghilangkan nyeri yang berhubungan dengan
endometriosis dapat digunakan sebagai terapi lini pertama atau dimulai setelah
terapi medis gagal. Prosedur bedah termasuk eksisi, fulgurasi, atau ablasi laser
dari implan endometriosis pada peritoneum, eksisi atau drainase atau ablasi
endometrioma, reseksi nodul rektovaginal, lisis adhesi, dan gangguan jalur saraf.
Percobaan random terkontrol telah menunjukkan bahwa pada 6 bulan, ablasi
laparoskopi dari implan endometriosis adalah 65% efektif dalam mengurangi
nyeri, dibandingkan dengan pengurangan nyeri oleh laparoskopi diagnostik saja
(22%). Suatu percobaan kecil yang membandingkan ablasi laparoskopi dengan
pengobatan agonis GnRH menunjukkan pengurangan rasa sakit yang sama
dengan dua pendekatan. Rekurensi nyeri yang membutuhkan terapi adalah hal
yang umum (30 - 60% dari pasien) dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah
pengobatan. Analisis data gabungan dari dua percobaan acak yang melibatkan 164
perempuan yang membandingkan antara eksisi laparoskopi dengan drainase atau
ablasi endometrioma dengan diameter lebih besar dari 3 cm menunjukkan bahwa
penurunan rekurensi dismenore, dispareunia, dan nyeri pada eksisi sebanding
dengan tindakan bedah lebih lanjut. Sebuah strategi alternatif untuk mengontrol
nyeri yang berhubungan dengan endometriosis adalah dengan interupsi pada jalur
saraf. Sedangkan ablasi segmen ligamen uterosakral belum terbukti efektif,
percobaan random terkontrol telah menunjukkan keunggulan laparoskopi ablasi
jaringan
endometriotik
dikombinasikan
dengan
neurektomi
presakral
(pengangkatan bundel saraf di dalam segitiga interiliaca) di atas ablasi laparoskopi
16
saja dalam memperbaiki dismenore dan mengurangi nyeri berat. Penggantian
hormon pascaoperasi harus mencakup estrogen dan progestagen, karena estrogen
saja dapat merangsang pertumbuhan penyakit mikroskopis.1,12
3. Terapi Ajuvan
Pada wanita dengan penyakit lanjut, dismenore sedang sampai parah, dan
nyeri panggul nonsiklik, terapi medis pascaoperasi dapat memperbaiki nyeri
dengan menyediakan kontrol terhadap rekurensi sisa penyakit mikroskopis.9,10,12
4. Managemen Infertilitas
Terapi gonadotropin dan inseminasi intrauterine, serta fertilisasi in vitro
(IVF), merupakan terapi efektif pada wanita dengan infertilitas dan endometriosis.
Ablasi lesi endometriosis dengan melisiskan adesi dianjurkan untuk pengobatan
infertilitas yang terkait dengan endometriosis stadium 1 atau 2.1
2.2 Interleukin-6 (IL-6)
Interleukin 6 (IL-6) adalah sitokin multifungsi yang memainkan peran
dalam modulasi ekspresi GH dan reseptornya.13,14 Dalam epitelium uterus normal,
IL-6 dikenal dapat meningkatkan proliferasi, invasi dan diferensiasi sel
trofoblas.15 Sel trofoblas dari embrio yang berkembang selalu mensekresikan IL-6
secara aktif. IL-6 juga terlibat dalam proses perubahan neoplastik. Pada kanker
paru-paru yang bukan subtipe small cell, konsentrasi IL-6 menunjukkan hubungan
langsung dengan peningkatan kadar GH.14 Endometriosis adalah penyebab
morbiditas yang signifikan dan diasosiasikan dengan infertilitas dan nyeri. Tiga
sitokin pro-inflamasi yaitu IL-1, IL-6 dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha,
semua terlibat dalam pengembangan endometriosis. Konsentrasinya dalam cairan
17
peritoneum dikaitkan dengan derajat adhesi endometriosis.16 IL-6 juga dikenal
memiliki peran positif dalam pertumbuhan tumor dan metastasis.17 IL-6 juga
terlibat dalam perkembangan kanker rahim.18 Konsentrasi IL-6 ditemukan lebih
tinggi secara signifikan pada pasien endometriosis dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Secara spesifik, konsentrasi IL-6 yang lebih tinggi secara
signifikan pada endometriosis sedang sampai berat namun tidak pada
endometriosis ringan jika dibandingkan dengan kontrol.19
Pada Penelitian retrospektif dan kuantitatif, yang mengevaluasi jaringan
endometrium, ditemukan bahwa, interleukin-6 (IL-6) meningkat 2,4 kali lipat
pada endometriosis dan 4,4 kali lipat pada adenokarsinoma endometrium. Protein
tersebut tampaknya terlibat dalam perkembangan kedua kondisi ini. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
IL-6
berperan
dalam
perkembangan
endometriosis.20,21 Peningkatan kadar serum IL-6 setelah endometriosis yang
diinduksi secara surgikal menunjukkan bahwa IL-6 mungkin terlibat dalam
pengembangan awal endometriosis.22 Peningkatan IL-6 juga menunjukkan induksi
maupun proliferasi sel pada endometriosis dan karsinoma endometrium dengan
bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel neoplastik.23,24 Karena IL-6
adalah modulator GH yang cukup dikenal ko-lokalisasi protein tersebut dalam
penelitian ini mungkin memiliki beberapa signifikansi.25,26
Download