2 Survei yang dilakukan melalui Global Workforce Study mendapatkan hasil bahwa dalam periode tahun 2012 sampai dengan 2018, kawasan Asia Pasifik diperkirakan mengalami lonjakan terbesar tingkat pergantian karyawan di tahun 2014 yaitu sebesar 21,5 – 25,5% (Watson, 2014). Menurut Kapoor (2013), taksiran angka tingkat turnover di Indonesia berdasarkan sebuah perusahaan konsultasi manajemen dan survei internasional (Hay Group) pada tahun 20132014 mencapai 25,8%. Angka tersebut sekaligus memposisikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat turnover tertinggi ketiga di dunia setelah India (26,9%) dan Rusia (26,8%). Praktik human resources berjalan efektif dan efisien ketika komitmen organisasi karyawan tinggi yang ditandai dengan rendahnya tingkat turnover atas keinginan karyawan sendiri di perusaahan tersebut (Pawar & Chakravarthy, 2014; Naz & Gul, 2014; Chen, Silverthorne & Hung, 2005; Hussain & Asif, 2012). Turnover memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap kinerja perusahaan karena perusahaan harus mengeluarkan biaya kembali untuk merekrut dan memberikan training kepada karyawan pengganti (Sheraz, Wajid, Sajid & Qureshi, 2014). Tingkat turnover yang tinggi akan menciptakan dampak negatif bagi organisasi, menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian terhadap kondisi tenaga kerja (Sulistyawati & Indrayani, 2012). Turnover akan memberikan pengaruh terhadap aktivitas kerja lainnya dikarenakan perusahaan kehilangan karyawan yang berpengalaman dan penurunan prestasi karyawan secara keseluruhan pada perusahaan (Nasution, 2009). 3 Stovel dan Bontis (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masalah krusial dalam mengalisis turnover bukanlah pada seberapa banyak karyawan yang meninggalkan perusahaan namun lebih kepada bagaimana kinerja karyawan pengganti dan orang-orang yang masih bertahan. Penelitian tersebut dilakukan pada sembilan belas perusahaan jasa keuangan di Kanada dengan menyoroti praktik sumber daya manusia yang digunakan saat itu. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa manajer perlu menyadari posisi karyawan sebagai kontributor utama dalam menentukan keberhasilan pencapaian efisiensi perusahaan. Biaya perekrutan dan pelatihan pekerja pengganti perusahaan mencapai 50% dari gaji tahunan ditambah dengan kerugian produktivitas kerja sebagai karyawan baru yang belum memahami pekerjaan dan organisasi. Biaya lain akibat terjadinya turnover karyawan adalah kehilangan modal intelektual yang melibatkan hilangnya modal manusia sebagai kemungkinan bahwa karyawan tersebut pindah ke perusahaan kompetitor. Turnover bisa jadi bermanfaat ketika karyawan dengan performa yang baik bertahan dan yang buruk keluar namun juga merugikan perusahaan ketika karyawan dengan performa yang baik keluar, sementara yang buruk tetap berada di dalam organisasi. Turnover yang bermanfaat mampu mengurangi biaya organisasi. Namun turnover yang merugikan perusahaan berindikasi pada pengurangan inovasi, layanan menjadi tertunda, miskin pelaksanaan program baru, dan penurunan produktivitas. Perusahaan harus proaktif dalam mengelola kecenderungan turnover untuk mencegah karyawan yang cerdas dan berbakat meninggalkan mereka (Stovel & Bontis, 2002). 4 Abassi dan Hollman (2000) menyoroti lima alasan munculnya intensi turnover karyawan yaitu; praktik seleksi yang tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan, gaya manajerial yang tidak sesuai dengan harapan karyawan, kurangnya pengakuan akan kontribusi karyawan, sistem kompensasi yang kurang kompetitif, dan lingkungan kerja yang berbahaya. Menurut Mobley (1977), intensi turnover adalah keinginan karyawan untuk berhenti dari organisasi yang menaunginya dan telah memberikannya upah moneter atau penghasilan. Hartono (2002) merumuskan intensi turnover sebagai kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan. Sementara Sunjoyo dan Harsono (2003) menyatakan bahwa intensi turnover didefinisikan sebagai intensi seseorang untuk melakukan pemisahan aktual (turnover) dari satu organisasi. Intensi turnover mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan hubungannya dengan organisasi namun belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan organisasi (Indriantoro & Suwandi, 2001). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa intensi turnover merupakan keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi tempat ia bekerja saat ini atas keinginannya sendiri. Definisi ini sama dengan definisi intensi turnover yang dikembangkan oleh Mobley (1977) yang menyatakan bahwa terdapat tiga aspek yang di dalamnya yaitu keinginan untuk keluar, keinginan untuk mencari pekerjaan lain, dan keinginan untuk mempertimbangkan bertahan atau berpisah dari organisasi saat ini. Intensi turnover menjadi prediktor dominan yang bersifat positif terhadap terjadinya turnover atas keinginan karyawan sendiri. 5 Berbagai konsekuensi negatif terjadinya turnover pada dasarnya bisa dicegah apabila perusahaan mengetahui anteseden terjadinya turnover di lingkungan kerja mereka. Oleh sebab itu, anteseden turnover perlu dikaji agar konsekuensi negatif dari turnover itu sendiri dapat dihindarkan (Mobley, 1986). Salah satu anteseden intensi turnover yang diprediksi paling berperan adalah job stress. Penelitian yang dilakukan oleh Noor & Maad (2008) pada 248 marketing eksekutif di berbagai organisasi yang ada di Pakistan mengungkap bahwa 71,4% intensi turnover dapat diprediksi oleh job stress. Hasil penelitian tersebut di dukung oleh penelitian lainnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Qureshi, Iftikhar, dan Abbas (2013) yang menemukan bahwa job stress memberikan sumbangan sebesar 62% dalam memprediksi terjadinya intensi turnover. Sheraz, Wajid, Sajid, Qureshi, dan Rizwan (2014) dalam penelitian mereka juga mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa job stress memberikan sumbangan positif dan signifikan sebesar 58% dalam memprediksi munculnya intensi turnover. Penelitian tersebut juga memperlihatkan keterkaitan yang sangat signifikan antar variabel dimana ambiguitas peran, konflik peran, kelebihan beban kerja dan intensi turnover memiliki korelasi positif dengan job stress. Sementara kepuasan kerja berkorelasi negatif dengan job stress dan intensi turnover. Tingkat job stress pada karyawan dapat memicu timbulnya ketidakpuasan kerja yang ditampilkan melalui peningkatkan jumlah ketidakhadiran karyawan dan atau kelelahan psikologis (Larson, 1997; Larson, 2004; Larson & Murff, 2006). Ketidakpuasan kerja ini dapat ditampilkan melalui peningkatan jumlah 6 ketidakhadiran karyawan dan atau kelelahan psikologis (stress). Job stress berdampak negatif ketika terjadi secara terus-menerus dan membuat individu berada pada situasi tertekan (Nguok, 2011). Konsekuensi utama dari kepuasan kerja adalah rangsangan berpikir untuk berhenti dari pekerjaan yang menuntun individu menuju intensi untuk mencari apa yang diinginkan. Intensi tersebut dipengaruhi oleh evaluasi terhadap adanya pekerjaan alternatif, pertimbangan umur dan masa jabatan yang menimbulkan intensi untuk berhenti dan akhirnya berujung pada keputusan atau perilaku turnover (Mobley,1977). Stres berasal dari kata Latin “Stringere” yang berarti ketat. Istilah stres pertama kali diperkenalkan oleh Selye yang merujuk pada serangkaian respon yang tidak spesifik dari tubuh pada setiap kondisi yang menuntut munculnya respon tersebut (Sehnert, 1981). Manusia selalu merasakan stress karena berbagai kondisi tidak ideal dan adanya tuntutan hidup yang harus dipeuhi. Oleh sebab itu pada dasarnya stress tidak selalu berdampak negatif. Schafer (2000) menjelaskan bahwa stress terbagi atas distress dan eustress. Distress merupakan jenis stress yang berdampak negatif sedangkan eustress adalah stress yang berdampak positif. Namun dalam penelitian ini, stress yang dimaksud adalah distress karena diprediksi memicu munculnya intensi turnover. Stres seringkali dianggap sebagai term yang negatif karena dianggap mengakibatkan kerugian pada individu (Luthans, 1986). Stres merupakan kondisi dinamis pada individu yang dihadapkan pada sebuah kesempatan, tuntutan, atau sumber keinginan individu yang hasilnya dianggap bisa tidak pasti dan penting (Cooper, dkk. dalam Sen, 2008). 7 Ensiklopedia Organisasi Tenaga Kerja Internasional menyebutkan bahwa job stress ditujukan pada sebuah term yang menghubungkan antara pekerjaan dengan orang/ individu (Sur & Ng, 2014). Pendekatan tersebut memposisikan job stress dan potensi berkembang menjadi penyakit mental ketika pekerjaan menuntut variasi kebutuhan, harapan atau kapasitas dari pekerja. Aamodt (2004) mengartikan job stress sebagai reaksi fisiologis dan atau psikologis terhadap suatu kejadian-kejadian atau situasi (yang disebut stressor) yang berasal dari lingkungan kerja dan dipersepsi individu sebagai ancaman. Studi mengenai job stress dalam konteks pengembangan sumber daya manusia penting dilakukan karena memiliki pengaruh pada proses belajar dan performa karyawan (Sur & Ng, 2014). Berdasarkan penjelasan di atas maka definisi job stress yang dimaksud dalam penelitian ini adalah respon individu terhadap situasi lingkungan kerja yang dianggap mengancam yang dirasakan secara psikologis, fisiologis, dan perilaku definisi ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Aamodt (2004). Aspek job stess meliputi gejala-gejala yang dirasakan oleh individu baik secara fisik, psikis, maupun perilaku. Anteseden intensi turnover berikutnya adalah perceived organizational support (POS). Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002) POS merujuk pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli pada kesejahteraan mereka. Konstruk POS tidak hanya menyoroti tentang pentingnya komitmen karyawan kepada organisasi, namun juga menekankan bagaimana pendapat karyawan tentang komitmen organisasi terhadap mereka (Khuram, 2009). 8 Perceived organizational support adalah suatu pengalaman tentang baik atau buruknya kebijakan-kebijakan, norma-norma, prosedur, dan tindakantindakan organisasi yang mempengaruhi karyawan (Einsenberger, Armeli, Rexwinkel, Lynch, & Rhoades, 2001). Perceived organizational support dipengaruhi oleh berbagai aspek perlakuan yang diterima karyawan dari organisasi. Segala perlakuan yang diterima karyawan dari organisasi membentuk keseluruhan persepsi tentang sejauh mana organisasi menilai kontribusi mereka dan memperhatikan kesejahteraan mereka (Eisenberger, Huntington, Hutchinson, & Sowa, 1986). Berdasarkan penjelasan di atas, maka defenisi perceived organizational support yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi karyawan mengenai kebijakan, norma, dan prosedur organisasi yang membentuk keseluruhan persepsi mengenai cara organisasi menilai kontribusi dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Definisi ini sama dengan yang dikemukakan oleh Eisenberger, dkk. (1986). Perceived organizational support dapat ditampilkan melalui adanya perhatian terhadap kesejahteraan, nilai-nilai, dan aktivitas yang ditujukan sebagai proses pengembangan serta pemenuhan kebutuhan karyawan (Zhou & Miao, 2014). Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menguji keterkaitan perceived organizational support dengan intensi turnover karyawan. Studi yang dilakukan oleh Kerr (2005) membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif yang siginifikan antara perceived organizational support dan intensi turnover. Hasil yang sama diperoleh melalui studi yang dilakukan oleh Junak (2007) yang membuktikan bahwa perceived organizational support merupakan prediktor yang 9 baik dalam proses turnover dan menjadi anteseden pada komitmen dan kepuasan kerja karyawan. Perceived organizational support dalam penelitian tersebut juga terbukti mampu menjadi penghubung penting antara praktik HR dengan tingkat intensi turnover. Dawley, Houghton, dan Bucklew (2010) melakukan penelitian pada 346 karyawan perusahaan manufacturing. Penelitian tersebut memperoleh kesimpulan yang memperkuat hasil penelitian sebelumnya bahwa perceived organizational support mampu menjadi prediktor pada intensi turnover karyawan. Penelitian Luxmi dan Yadav (2011) yang dilakukan kepada 332 orang dokter di Chandigarh juga membuktikan bahwa perceived organizational support memiliki pengaruh yang signifikan pada variabel komitmen organisasi dan tingkat stres peran seorang dokter. Perceived organizational support terbukti memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap komitmen organisasi dan korelasi negatif yang signifikan dengan stres peran. Dampak dari komitmen organisasi telah banyak dibuktikan keterkaitannya dengan perilaku kerja seperti turnover, ketidakhadiran, kinerja, motivasi, dan perilaku menarik diri dari pekerjaan dalam berbagai penelitian (Klein, Becker & Meyer, 2012). Penelitian-penelitian tersebut mengarah pada indikasi bahwa perceived organizational support berpotensi menengahi hubungan job stress dengan intensi turnover dengan cara menurunkan tingkat stres dan menekan intensi karyawan untuk berpindah perusahaan. Menurut Baron & Kenny (1986) salah satu strategi mengungkap fenomena hubungan antar variabel psikologis agar memberikan implikasi konseptual yang lebih bermanfaat adalah dengan menggunakan variabel moderator. Variabel 10 moderator dijelaskan sebagai variabel yang dapat mempengaruhi arah dan atau kekuatan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Pengaruh tersebut dapat saja meningkatkan, menurunkan atau merubah relasi yang ada antara variabel bebas dengan variabel terikat (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2008). Pada umumnya variabel dapat berfungsi sebagai moderator ini adalah karakteristik inidividual (seperti jenis kelamin, coping) atau contextual (seperti dukungan sosial, lingkungan keluarga). Variabel ini juga dapat berbentuk kualitatif (seperti jenis kelamin, ras, atau kelompok) maupun kuantitatif (tingkat dari reward, tingkat resistensi, tingkat dukungan, dan lain-lain). (James & Brett, 1984; Baron & Kenny, 1986; Chaplin dalam Robins, Fraley & Kruger, 2007; McKinnon, 2007). Chaplin menambahkan bahwa untuk mengetahui model moderator dapat diibaratkan dengan kondisi “it depends” yang akan menjelaskan setiap pertanyaan yang diajukan. Misalkan, apakah job stress seseorang akan mempengaruhi intensinya untuk melakukan turnover? Maka jawaban yang muncul tergantung pada ”it depend on,” variabel yang muncul tersebut menjelaskan adanya peran variabel moderator. Hal ini juga diungkapkan oleh Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008) yang merumuskan moderator sebagai suatu kondisi, perilaku, atau karakteristik yang mempersyaratkan hubungan antara dua variabel. Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008) menjelaskan bawah social support merupkan salah satu moderator dari stress selain dari faktor keturunan, usia, jenis kelamin maupun kepribadian. Social support melibatkan aspek dukungan emosional (menampilkan perhatian, indikasi percaya, meningkatkan 11 esteem, dan mendengarkan); penilaian dukungan (memberikan umpan balik dan afirmasi); atau informasi mengenai dukungan (memberikan saran, membuat petunjuk, memberikan arahan). Manusia bisa mendapatkan dukungan dari berbagai sumber seperti halnya di dunia kerja dukungan sosial dapat diperoleh dari supervisor, rekan kerja, bawahan, pelanggan, maupun orang yang berasal dari luar organisasi yang berhubungan dengannya. Pada organisasi secara keseluruhan, penilaian individu mengenai dukungan yang didapatkannya dari elemen organisasi membentuk persepsinya mengenai dukungan organisasi secra keseluruhan (Rhoades & Eisenberger, 2002). Rhoades dan Eisenberger (2002) mendefinisikan POS sebagai keyakinan karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan dari para karyawan. POS dipengaruhi oleh berbagai aspek perlakuan yang diterima karyawan dari organisasi. POS muncul sebagai bentuk dukungan sosial yang menurut penjelasan sebelumnya dapat dijadikan sebagai variabel moderator yang berasal dari aspek kontekstual. Penelitian ini dilakukan untuk menguji peran job stress terhadap intensi turnover melalui perceived organizational support sebagai variabel moderator pada. Kerangka konseptual dari penelitian ini disajikan dalam gambar berikut ini: Perceived Organizational Support Job Stress Intensi Turnover Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian 12 Intensi turnover merupakan keinginan (intensi) untuk keluar dari organisasi (Mobley, 1986). Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa job stess merupakan prediktor dominan dalam menjelaskan terjadinya internsi turnover. Job stress merupakan respon secara psikologis dan fisiologis oleh individu terhadap suatu kejadian-kejadian atau situasi (yang disebut stressor) yang berasal dari lingkungan kerja dan dipersepsi individu sebagai ancaman (Aamodt, 2004). Job stress muncul sebagai faktor utama yang berkontribusi menimbulkan intensi turnover karyawan yang dibuktikan dengan meningkatnya angka turnover di organisasi tempat karyawan berada (Zhang & Lee, 2010; Larson, 1997). Perceived organizational support merupakan salah satu anteseden dari intensi turnover (Dawley, Houghhton, & Bucklew, 2010; Allen, Shore, & Griffeth, 2003). Perceived organizational support merupakan suatu pengalaman tentang baik atau buruknya kebijakan-kebijakan, norma-norma, prosedur, dan tindakan-tindakan organisasi yang mempengaruhi karyawan (Einsenberger, dkk, 2001). Karyawan membentuk pendapat mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan psikologis mereka (Rhoades & Eiseberger, 2002). Dengan kata lain, POS merupakan bentuk dukungan sosial yang terjadi di dalam lingkungan organisasi. Dukungan sosial sangat dibutuhkan untuk membantu individu menekan tingkat stress yang dialaminya (Veitch & Arkelin, 1995). Pendapat pribadi karyawan yang positif mengenai perceived organizational support diharapkan mampu menekan tingkat job stress karyawan terkait dengan peran dan nilai strategis mereka di dalam organisasi. Hal ini sesuai dengan model yang ditampilkan dalam kerangka penelitian di gambar 1 bahwa 13 perceived organizational support merupakan salah satu prediktor yang mampu mengurangi tingkat job stress karyawan yang berpengaruh pada menurunnya intensi turnover kayawan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran job stress terhadap intensi turnover yang dimoderasi oleh perceived organizational support. Hipotesis Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah perceived organizational support berperan sebagai moderator dalam hubungan antara job stress dengan intensi turnover. Implikasi Penelitian a. Implikasi teoritik Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada akademisi dan praktisi di bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai pengembangan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan intensi turnover pada karyawan. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan intensi turnover, job stress, dan perceived organizational support. b. Implikasi praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi acuan dalam pembuatan model intervensi yang tepat untuk menurunkan intensi turnover 14 dengan mempertimbangkan variabel job stress dan perceived organizational support.