1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan yang dihadapi oleh manusia semakin kompleks seiring
dengan perkembangan jaman. Permasalahan tersebut muncul karena adanya
interaksi antara manusia dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang
semakin kompleks. Manusia dituntut untuk memiliki kecakapan hidup yang
unggul untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks tersebut. Manusia
mampu menyelesaikan permasalahan tersebut jika memiliki rasa kepercayaan diri
serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup yang sesuai
dalam
menyelesaikan
permasalahan.
Menurut
Adeyemi
(2012),
untuk
menyelesaikan permasalahan hidup manusia memerlukan pemikiran yang sehat,
reflektif, dan kemampuan analitis yang kuat agar dapat menemukan penyebab
masalah yang dihadapi dan menghasilkan solusi untuk memecahkan masalah.
Pendidikan berperan penting dalam menciptakan peserta didik yang
memiliki kecakapan hidup yang unggul, berkualitas, dan dapat bersaing secara
global. Hal ini dapat terwujud melalui pendidikan yang berkualitas. Pendidikan
yang berkualitas menuntut adanya perubahan paradigma dari mengajar ke belajar,
dari pembelajaran teacher centered menjadi student centered (Tan, 2003).
Paradigma belajar student centered menjadikan peserta didik belajar lebih baik,
lebih termotivasi dan antusias pada apa yang mereka pelajari, serta mendukung
untuk menjadi pebelajar mandiri (Maher, 2004).
Partnership for 21st Century Skills (P21) memiliki pandangan yang
komprehensif terhadap pembelajaran pada era pengetahuan yang dikenal dengan
Framework for 21st Century Learning atau Kerangka Kerja untuk Pembelajaran
Abad 21. P21 menekankan pada inti pembelajaran abad 21 yang mengharuskan
peserta didik memiliki kompetensi penting berupa kemampuan berpikir kritis,
pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi (P21, 2009). Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Peter (2012) bahwa peserta didik yang mampu berpikir secara
kritis akan mampu menyelesaikan permasalahan secara efektif. Agar dapat
1
2
bersaing dalam dunia kerja dan kehidupan pribadi serta sosial, peserta didik harus
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah dan harus bisa berpikir secara
kritis. Lee (2002) mengungkapkan bahwa tujuan pembelajaran seharusnya dapat
meningkatkan
kemampuan
dasar
pengetahuan
untuk
mengembangkan
keterampilan peserta didik dalam berpikir kritis, pemecahan masalah, dan
pengambilan keputusan.
Biologi sebagai bagian dari sains memfokuskan pembahasan pada masalah
yang ada di alam sekitar melalui proses dan sikap ilmiah. Pembelajaran biologi
akan lebih unggul apabila menekankan pada proses pemecahan masalah yang
sering terjadi di lingkungan sehingga dapat mengasah kemampuan berpikir kritis
peserta didik.
Hasil observasi awal pada bulan Oktober 2015 pembelajaran biologi yang
diterapkan di kelas XI MIA 6 (Imersi) SMAN 1 Karanganyar didominasi oleh
guru dan menerapkan metode ceramah. Guru belum memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk bertindak, berkreasi dan berpikir kritis sesuai dengan
perkembangan peserta didik. Peserta didik kurang antusias dalam merespon dalam
menjawab pertanyaan dari guru. Kegiatan peserta didik didominasi dengan
mendengarkan ceramah dan mencatat penjelasan dari guru sehingga menghambat
berkembangnya kemampuan berpikir kritis peserta didik (Liliasari, 2009).
Observasi diperkuat dengan melakukan wawancara kepada guru dan
peserta didik selama proses pembelajaran. Hasilnya menunjukkan bahwa peserta
didik kesulitan dalam mengungkapkan pendapat berdasarkan referensi dan
argumentasi yang logis, menghubungkan hasil diskusi dengan teori, memberikan
tanggapan, dan memberi penilaian. Proses pembelajaran yang dilakukan
cenderung hanya melatih peserta didik untuk menghafal dan memahami konsep
sehingga peserta didik kurang aktif dalam pembelajaran. Hal ini karena peserta
didik lebih banyak menerima konsep dari guru sehingga peserta didik kurang
terlatih dalam memberikan tanggapan dan penilaian pada proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi awal dan wawancara menunjukkan bahwa
proses pembelajaran di kelas XI MIA 6 (Imersi) SMAN 1 Karanganyar kurang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Kegiatan pembelajaran
3
yang dilakukan di kelas kurang melatih peserta didik dalam menganalisa
permasalahan dan pemecahan masalah sehingga kemampuan berpikir kritis
peserta didik masih rendah. Oleh karena itu, permasalahan yang harus segera
diatasi di kelas XI MIA 6 (Imersi) SMAN 1 Karanganyar yaitu peningkatan
kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Tindak lanjut terhadap hasil observasi awal dengan melakukan observasi
lanjutan pada tanggal 1 Februari 2016 dengan pemberian tes yang memuat aspek
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hasilnya menunjukkan bahwa
kemampuan menginterpretasi kurang baik yaitu sebesar 30,65%, kemampuan
menganalisis kurang baik yaitu sebesar 37,10%, kemampuan menyimpulkan
kurang baik yaitu sebesar 26,61%, kemampuan mengevaluasi kurang baik yaitu
sebesar 36,29%, kemampuan menjelaskan kurang baik yaitu sebesar 27,42%, dan
kemampuan mengatur diri juga kurang baik yaitu sebesar 34,68%. Hasil tindak
lanjut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik relatif rendah.
Menurut Fauziah (2014), kemampuan berpikir kritis peserta didik termasuk dalam
kategori rendah jika persentase yang diperoleh menunjukkan angka kurang dari
atau sama dengan 40%.
Observasi selanjutnya dilakukan menggunakan angket pada tanggal 2
Februari 2016. Hasil observasi lanjutan diketahui bahwa kemampuan berpikir
kritis masih rendah, dapat dilihat bahwa aspek interpretasi yaitu 56,67% dengan
kategori cukup baik, aspek analisis yaitu 58,60% dengan kategori cukup baik,
aspek evaluasi yaitu 63,75% dengan kategori baik, aspek kesimpulan yaitu
61,60% dengan kategori baik, aspek penjelasan yaitu 56,25% dengan kategori
cukup baik dan aspek pengaturan diri yaitu 64,50% dengan kategori baik.
Menurut Ennis dalam Costa (1985), berpikir kritis adalah kemampuan
bernalar dan berpikir reflektif yang diarahkan untuk memutuskan hal-hal yang
meyakinkan untuk dilakukan. Kemampuan berpikir kritis tergolong ke dalam
kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu peserta didik harus dapat menyelesaikan
masalah yang terjadi di sekitarnya dalam lingkup pembelajaran biologi. Facione
(2013) menyatakan indikator dari berpikir kritis meliputi interpretasi, analisis,
kesimpulan, evaluasi, penjelasan, dan pengaturan diri. Kemampuan berpikir kritis
4
dapat dikembangkan secara langsung maupun tidak langsung dalam pembelajaran
biologi.
Kemampuan berpikir kritis menjadi suatu permasalahan nasional yang
harus segera diatasi. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kemampuan berpikir kritis
siswa di Indonesia yang masih rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh
PISA pada tahun 2012 (OECD: 2014), menunjukkan bahwa Indonesia menduduki
peringkat ke-64 dari 65 negara partisipan. Soal-soal yang digunakan dalam studi
PISA merupakan soal yang terdiri dari masalah-masalah yang tidak rutin untuk
mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi. Survei tersebut menunjukkan
kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis masih tergolong rendah, sehingga
sangat penting untuk ditingkatkan.
Pembelajaran biologi diarahkan pada pembelajaran konstruktivisme
membentuk pembelajaran yang penuh makna tidak akan berlangsung baik tanpa
adanya pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk berpikir kritis.
Salah satu solusi untuk mengatasi rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta
didik di kelas XI MIA 6 (Imersi) SMAN 1 Karanganyar yaitu dengan
menggunakan model pembelajaran Konstruktif-Metakognitif dalam proses
pembelajaran. Model ini merupakan merupakan salah satu inovasi model
pembelajaran yang berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir kritis peserta
didik. Berdasarkan penelitian Dianti (2015), model Konstruktivis-Metakognitif
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Model Konstruktivis-Metakognitif berorientasi pada pembelajaran yang
memberdayakan kapasitas berpikir dan kemandirian belajar peserta didik.
Menurut
Prayitno
(2014),
model
pembelajaran
berbasis
konstruktivis-
metakognitif dapat melatih kemampuan berpikir peserta didik karena dapat
menuntut peserta didik belajar mengkonstruksi konsep melalui proses asimilasi
dan akomodasi melalui kegiatan diskusi dan eksperimen. Model pembelajaran ini
dikembangakan secara terintegratif antara model pembelajaran yang berbasis
konstruktivis dan metakognitif. Pembelajaran berbasis konstruktivis berpotensi
mampu memberdayakan kapasitas berpikir peserta didik, sedangkan menurut
Paidi (2008) strategi metakognitif berpotensi melatihkan kemandirian belajar
5
peserta didik. Kolaborasi kedua karakter tersebut dapat memberdayakan
kemampuan berpikir dan kemandirian belajar peserta didik secara maksimal.
Apabila hanya diaplikasikan secara parsial tidak akan berdampak nyata terhadap
kemampuan berpikir peserta didik.
Keunggulan model Konstruktivis-Metakognitif yaitu dapat menuntut
peserta didik untuk mengkonstruksi konsep melalui proses asimilasi dan
akomodasi sehingga peserta didik dapat berlatih untuk merumuskan masalah,
merumuskan hipotesis, dan menguji jawaban tentatif. Perpaduan kedua unsur
konstruktivis dan
metakognitif
dalam
model pembelajaran Konstruktif-
Metakognitif diharapkan dapat melatih kemandirian peserta didik didalam
mengonstruksi konsep belajar dan melatih kapasitas berpikir peserta didik
sehingga mampu mengendalikan aktivitas belajarnya.
Tahapan model Konstruktivis-Metakognitif meliputi 8 langkah, yaitu yang
pertama pembentukan kelompok kolaboratif yang terdiri dari anggota tim yang
heterogen. Langkah kedua yaitu proses aktivasi skemata awal yang bertujuan
untuk menumbuhkan gagasan dan pemahaman peserta didik terhadap topik yang
akan dipelajari. Langkah yang ketiga yaitu menciptakan konflik kognitif dalam
pikiran peserta didik sehingga timbul ketidakseimbangan kognitif. Langkah
keempat dan kelima adalah perencanaan dan pembentukan konsep secara
kolaboratif sehingga dapat merestrukturisasi gagasan yang berbeda antar peserta
didik sehingga didapatkan pengetahuan yang lebih lengkap dan rinci. Langkah
keenam yaitu presentasi peserta didik di dikelas. Langkah ketujuh adalah tes
individu. Langkah yang terakhir yaitu rekognisi kelompok, yaitu perhitungan skor
kemajuan peserta didik secara individual, skor tim dan pemberian penghargaan
(Prayitno, 2014).
Sistem koordinasi merupakan salah satu pokok bahasan pada pelajaran
Biologi SMA kelas XI yang mempunyai karakteristik materi yang abstrak dan
rumit. Materi sistem koordinasi mempunyai empat prinsip penting yaitu:
mekanisme sebab akibat, hubungan antara struktur dan fungsi, aliran informasi
dan homeostatis. Sehingga dalam mempelajari materi ini dibutuhkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik untuk lebih memperdalam konsep-konsep yang
6
abstrak tersebut. Peserta didik diharapkan dapat mengkonstruksi konsep melalui
proses asimilasi dan akomodasi melalui kegiatan diskusi dan eksperimen dengan
penerapan model Konstruktivis-Metakognitif.
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan Penelitian Tindakan
Kelas yang berjudul Penerapan Model Konstruktivis-Metakognitif pada Materi
Sistem Koordinasi untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta
Didik Kelas XI MIA 6 (Imersi) SMAN 1 Karanganyar Tahun Pelajaran
2015/2016.
B. Rumusan Masalah
Apakah penerapan model konstruktivis-metakognitif pada materi sistem
koordinasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas XI
MIA 6 (Imersi) SMAN 1 Karanganyar Tahun Pelajaran 2015/2016?
C. Tujuan Penelitian
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik melalui penerapan
model konstruktivis-metakognitif pada materi sistem koordinasi kelas XI MIA 6
(Imersi) SMAN 1 Karanganyar Tahun Pelajaran 2015/2016.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Memperkuat teori tentang penggunaan model Konstruktivis-Metakognitif
dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
2. Manfaat praktis
a. Bagi peserta didik, yaitu dapat memberikan suasana belajar yang variatif
dan memotivasi peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
b. Bagi guru, yaitu memberikan solusi terkait dengan kemampuan berpikir
kritis peserta didik.
c. Bagi sekolah, yaitu memberikan saran dalam upaya mengembangkan
proses pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir
kritis.
Download