http://sumut.kemenag.go.id/ 02/01/2015 FLEKSIBELITAS AYAT-AYAT AL-QUR’AN DALAM NILAI KEHIDUPAN UNIVERSAL Oleh: H.TUAH SIRAIT Al-Qur’an al-karim merupakan kitab suci bagi umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh manusia sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari. Risalah Nabi Muhammad saw yang bersumber pada al-Qur’an berbeda dengan misi-misi dakwah yang dibawa para Nabi terdahulu, misi dakwah yang dibawa Nabi Muhammad saw bersifat universal, tidak mengenal batas-batas waktu, tempat dan etnis, tetapi berlaku untuk sepanjang zaman disemua belahan bumi dan semua umat manusia di dunia. Hal ini tertuang dalam al-Quran surat saba’ ayat 28: Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Q.S.34:28) Universalitas ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw memiliki dua dimensi, universal dalam arti berlaku untuk setiap tempat tanpa mengenal batas-batas etnis dan universal dalam arti berlaku untuk setiap waktu tanpa adanya pembatasan. Hal ini membawa konsekwensi bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw bersifat elastis, akomodatif dan fleksibel, sehingga dalam hal-hal tertentu ia dapat mengikuti perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia. Sifat universalitas al-Qur’an sebagai sumber ajaran Nabi Muhammad saw menjadikannya sebagai penutup ajaran-ajaran para Nabi terdahulu dan permanen sampai akhir masa nanti. Sebagai ajaran yang universal al-Qur’an menjadi petunjuk dan laboratorium rumus sosial kehidupan umat manusia (QS. 17:9). Allah swt menjadikan Al-Qur’an sebagai obat atas segala penyakit sosial umatnya dalam membangun individu dan masyarakat yang shaleh dan memiliki semangat kebangkitan, sebab Al-Qur’an merupakan cahaya dan petunjuk, kebaikan dan kemaslahatan, kunci kebahagiaan, jalan kehidupan yang mulia, serta citra yang tinggi dan utama. Al-Qur’an tidak saja terbatas untuk memperkuat akidah yang benar dalam hati dan membenarkannya dalam ibadah, akan tetapi juga mengatur hubungan sosial, meletakkan nilainilai yang mampu menjaga masyarakat dari penyelewengan dan kejahatan, serta menjadikan hubungan sosial tersebut berdiri diatas jalan yang benar dan kontiniu. Sebagai sumber utama, al-Qur’an menyediakan pedoman dalam kehidupan baik dalam bentuknya yang rinci maupun yang bersifat umum (prinsip-prinsip dasar), selain itu juga alQur’an menjelaskan hukum-hukum dalam bentuk yang qath’i (konkrit) dan zhanni (abstrak). Dalam hal kesenjangan antara al-Qur’an yang bersifat tetap dengan peristiwa yang selalu terjadi yang membutuhkan kepastian hukum, maka sangat diperlukan satu upaya yang dapat menselaraskan peristiwa dengan ketentuan dalam al-Qur’an, upaya inilah yang disebut dengan Ijtihad. Keragaman yang ada dalam kehidupan memiliki konotasi yang mutlak dari Al-Qur’an, keragaman Al-Qur’an terlihat dari beragamnya seni Qira’at al-Qur’an yang diriwayatkan secara shahih dari nabi Muhammad SAW melalui beberapa sanad yang mencapai derajat mutawatir. http://sumut.kemenag.go.id/ 02/01/2015 Perbedaan qira’at ini dapat kita lihat pengaruhnya pada Qira’atus Saba’ dan Qira’atul ‘Asyr yang sudah sangat terkenal dan didengarkan oleh kaum Muslimin di setiap tempat dan zaman. Meskipun demikian, perbedaan qira’at ini tidak menimbulkan perpecahan terhadap agama, tapi menambah keindahan dan khazanah kalamullah dalam bacaan umat Islam. Khazanah itu terlihat, dengan dicetaknya mushaf Al-Qur’an al-Karim di timur berdasarkan riwayat Hafs bin ‘Ashim, sedangkan di Maroko, Tunisia, Al-Jazair, Libia dan sekitarnya dicetak berdasarkan riwayat Warsy bin Nafi’. Konsep yang ada dalam Al-qur’an tidak menjadikan umat yang terbelakang, tidak moderat dan mandeg, tetapi justru mendorong kearah kemuliaan, kemajuan dan peradaban, dengan menggunakan potensi rasio manusia dalam tatanan ilmiah, baik secara teoritis maupun praktis. Dalam bidang pengetahuan mendorong adanya tajdid, sementara bidang akidah dan ibadah umat Islam lebih terdorong untuk menjalankan dan menerima secara mutlak. Adapun bidang mu’amalah lapangan ijtihad terbuka sangat lebar, semua mengarah pada kemaslahatan sosial, sehingga masa depan Islam dalam berbagai aspek kehidupan manusia akan terjaga kesinambungannya. Seandainya Allah SWT menghendaki, dia tentu dapat menjadikan agama ini satu bentuk dan satu sisi pemahaman, yang tidak memungkinkan adanya perbedaan dan tidak memerlukan ijtihad, dengan ancaman bagi yang menyimpang walaupun sejengkal maka dia kafir. Akan tetapi Allah tidak melakukan hal tersebut, agar tabiat agama ini sesuai dengan tabiat bahasa yang memiliki ragam dalam arti maupun susunan kalimatnya, seperti lafazh musytarak yang memiliki arti lebih dari satu, ada juga lafazh yang bersifat ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, qath’i ad-dalalah dan zhanni ad-dalalah dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan tabiat manusia yang diciptakan Allah beraneka ragam, setiap orang memiliki kepribadian, pemikiran dan tabiat masing-masing, sebagaimana berbedanya bentuk wajah, tekanan suara, sidik jari, pola pemikiran, kecenderungan dan cara pandangnya. Maka Allah SWT dengan ini memberikan kelapangan kepada hambanya. Allah SWT juga tidak menurunkan kitabnya (Al-Qur’an) dalam bentuk dalil-dalil muhkamat dan pasti penunjukannya secara keseluruhan, sehingga tidak menimbulkan perbedaan dalam pemahaman dan penafsiran. Akan tetapi, Allah SWT mengkehendaki didalam kitabnya berisikan dalil-dalil yang muhkamat dan adapula sebagian yang mutasyabihat, sebagai apresiasi dan pendorong bagi akal manusia untuk melakukan ijtihad. Ini menunjukkan suatu kemustahilan terjadinya kesepakatan kaum muslaimin dalam segala hal, sekalipun dalam masalah-masalah furu’iyah. Dari segi sumbernya, al-Qur’an dikategorikan sebagai sumber Qath’iy al-Wurud (qath’iy al-tsubut), yakni kepastiannya datang dari Allah SWT, tanpa keraguan sedikitpun. Barangsiapa yang mengingkari eksistensi al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT, dia termasuk kafir. Adapun dari segi kandungannya, ayat al-Qur’an terbagi dua, yakni qath’iy al-dilalah dan zhanniy aldilalah. Qath’iy al-dilalah ialah ayat-ayat al-Qur’an yang sudah jelas maknanya (tidak membutuhkan penafsiran), sedangkan zhanniy al-dilalah ialah ayat-ayat al-Qur’an yang membutuhkan penafsiran, sehingga memungkinkan para ulama dan pemikir islam dari zaman ke zaman berbeda pendapat. Dewasa ini, kehidupan masyarakat telah diwarnai dengan inovasi di segala bidang, sedang nas-nas al-Qur’an dan hadis Nabi SAW tidak menerangkan semua persoalan secara tekstual. Dalam keadaan inilah sangat dibutuhkan kesungguhan untuk mengembalikan tatanan http://sumut.kemenag.go.id/ 02/01/2015 kehidupan yang sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam, dalam menjawab persoalan kehiduapan yang tidak memiliki dasar hukum, misalnya masalah bayi tabung, sewa rahim, bank sperma dan bursa efek. Sedangkan persoalan yang sudah memiliki dasar hukum tetapi didalamnya masih timbul problema baru yang rumit, seperti kepemimpinan wanita, hakim wanita, riba dan bunga bank, hukum potong tangan bagi pencuri, vasektomi, dan tubektomi masih membutuhkan transformasi pemikiran. Dibukanya pintu ijtihad dalam Islam adalah sesuatu yang nyata, bahkan menjadi satu keharusan agar syari’at mampu mengatasi urusan kehidupan dan perkembangannya. Dalam memuliakan umatnya, Allah membuka fungsi akal manusia dan tanggung jawabnya dalam menganalisa, membandingkan, dan membuka kreatifitas kehidupan melalui pencerahan terhadap maksud-maksud syara’ secara umum. Perbedaan pandangan yang bersifat ijtihad telah memperkaya, mengembangkan dan memperluas fiqh. Sebab setiap pendapat tentu didasarkan pada dalil-dalil dan pertimbanganpertimbangan syar’i yang digali oleh akal para ulama dan pemikir Islam yang cemerlang melalui ijtihad, istinbath, qiyas, istihsan, tarjih dan sebagainya. Bagi seorang mujtahid dalam ijtihadnya, rasulullah SAW telah memberikan legalitas bahwa dia tetap akan mendapatkan satu pahala jika ijtihadnya salah. Kemampuan para mujtahid sangat patut dihargai dalam Islam, sebab dengan mujtahidlah penalaran hukum syar’i dapat terwujud dalam kehidupan manusia. Syari’at Al-Qur’an tidak terpengaruh oleh fanatisme atau iklim tertentu, ajarannya sangat orientatif dengan fikiran manusia dan relevan dengan kemampuan manusia setiap waktu, tempat dan golongan apa saja, tidak ada penekanan dan penganiayaan, serta tidak membebani sesuatu yang diluar kemampuan. Sebab itu, Syari’atnya merupaka jalan luas untuk setiap manusia, tidak berpengaruh dengan adanya warna kulit, golongan atau unsur, yang menjamin tidak terjadinya diskriminasi dan perlindungan golongan atau etnis tertentu, akan tetapi menjamin kemaslahatan manusia secara mutlak. Al-Qur’an juga mengkehendaki kemudahan bagi hambanya dan tidak mengkehendaki penyempitan (kesulitan)(QS.2:185). S ebagai salah satu kitab suci samawi yang diturunkan Allah SWT terhadap manusia, bahkan kitab suci paling sempurna dan satu-satunya kitab suci yang berlaku sampai akhir zaman, maka Al-Qur’an tentu akan menjadi landasan hidup manusia yang fleksibel, sesuai dengan perkembangan yang akan terjadi dalam kehidupan manusia sampai akhir zaman. Nilai fleksibelitas yang terdapat dalam Al-Qur’an mejadi satu jaminan dalam pemeliharaan hidup manusia yang terus akan mendapatkan nilai-nilai yang mulia dan akan menjaga harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling mulia, sekaligus menjadi Khalifatullah diatas dunia. Wallahu a’lam…………..