Tinjauan Pustaka

advertisement
Tinjauan Pustaka
PILIHAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG
PADA DERMATITIS SEBOROIK
SandraWidaty, Aninda Marina
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. CiptoMangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK
Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit eritroskuamosa kronis, biasa
ditemukan pada usia anak dan dewasa. Keadaan ini ditandai oleh kelainan kulit di area
tubuh dengan banyak folikel sebasea dan kelenjar sebasea aktif, yaitu daerah wajah,
kepala, telinga, badan bagian atas dan fleksura. Banyak faktor yang memengaruhi kejadian
DS sehingga pengobatan terkini DS hanya obat antiinflamasi saja, namun juga obat
antijamur terutama yang mengenai jamur Malassezia sp. Perjalanan penyakit DS yang
kronis memengaruhi pilihan pengobatan khususnya yang dapat digunakan jangka panjang.
Saat ini telah tersedia obat yang berfungsi sebagai ajuvan atau alternatif terhadap obat
standar, meliputi berbagai bahan yang juga berfungsi sebagai pelembap dan kandungan
produk tersebut antara lain berupa bahan anti inflamasi non-steroid dengan khasiat
antijamur atau produk lainnya. Kelebihan bahan tersebut adalah tidak ada efek samping
atau efek samping minimal, dapat melembabkan atau mengurangi kulit kering sehingga
mempercepat proses penyembuhan.
Kata Kunci: dermatitis seboroik, pelembap, anti-inflamasi nonsteroid, antijamur
ABSTRACT
Seborrheic dermatitis is a chronic erythrosquamous disease that commonly affects
adult and children. SD characterized by erythrosquamous lesions that can be found in areas
rich with sebaceous follicles and active sebaceous glands. This seborrheic areas located on
the face, head, ears, upper body parts and flexures. Multiple factors could trigger the
occurrence of SD. Recently, treatment is no longer focused on anti-inflammation; but also
antifungal, specifically affecting Malassezia sp. SD with its chronic nature, requires
maintenance treatment for long term medication. As an alternative to standardized
medication or as adjuvant, available several products as in moisturizers and cosmetics.
These products has an advantage such as low or absence of side effects, soothing effect,
anti-inflammatory nonsteroid with antifungal properties, hydration, and finnally accelerate
healing.
Keywords: Seborrheic dermatitis, moisturizer, antiinflamation-nonsteroid, treatment
Korespondensi :
Jl. Diponegoro 71 Jakarta Pusat,
Tilpon: +62(21)31935383
Email: [email protected]
153
S.Widaty & A.Marina
Servisitis klamidia pada ibu hamil di rumah sakit khusus ibu dan anak
Pilihan pengobatan jangka panjang pada dermatitis seboroik
PENDAHULUAN
Dermatitis seboroik (DS) merupakan penyakit
eritroskuamosa kronis, biasa ditemukan pada usia anak
dan dewasa. Keadaan ini ditandai oleh kelainan kulit di
area tubuh dengan banyak folikel sebasea dan kelenjar
sebasea aktif, yaitu daerah wajah, kepala, telinga, badan
bagian atas dan lipatan tubuh (inguinal, inframamae dan
aksila). Kadang-kadang dapat juga mengenai daerah
interskapular, umbilikus, perineum, dan anogenital.1
Diagnosis dermatitis seboroik umumnya mudah
ditegakkan secara klinis, dan tidak memerlukan alat
bantu khusus. Pemeriksaan tambahan lain berupa
pemeriksaan laboratorium dan pemakaian alat non invasif
dapat membantu diagnosis dan terapi spesifik yang
diperlukan.2-4
Prevalensi DS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS.
dr. Cipto Mangunkusumo berkisar antara 1 sampai 5 %
pada populasi umum.1 Di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RS. dr Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2014,
ditemukan prevalensi DS sebesar 1%, umumnya
menyerang dewasa muda, laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan dengan usia 1 bulan hingga 88 tahun.5
Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh pada DS yang
berpengaruh pada prinsip tatalaksana DS. Prognosis
dipengaruhi oleh awitan DS, dan pada bayi prognosisnya
jauh lebih baik daripada DS pada dewasa.1
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua
kelompok usia, namun biasanya terpisah menjadi dua
golongan usia yaitu neonatus dan dewasa.1 Pada bayi,
penyakit memuncak pada 3 bulan pertama, sedangkan
pada dewasa pada usia 30 hingga 60 tahun.6 DS biasanya
diderita lebih banyak oleh lelaki dibandingkan dengan
perempuan, dalam berbagai golongan usia dan ras. Di
berbagai negara Asia, pasien DS berusia antara 12 hingga
20 tahun. DS juga dapat ditemukan pada pasien dengan
kondisi imunosupresi (misalnya pasien dengan
HIV/AIDS, transplantasi organ) dan penyakit lain
misalnya Parkinson, serta gangguan nutrisi dan kelainan
genetik.7
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis DS masih belum diketahui dengan pasti,
namun berhubungan erat dengan jamur Malassezia,
kelainan imunologis, aktivitas kelenjar sebasea dan
kerentanan pasien.1,4 Jumlah sebum yang diproduksi
bukan faktor utama pada kejadian DS. Permukaan kulit
pasien DS kaya akan lipid trigliserida dan kolesterol,
namun rendah asam lemak dan skualen. Flora normal
kulit, yaitu Malassezia sp dan Propionibacterium acnes,
memiliki enzim lipase yang aktif yang dapat
mentransformasi trigliserida menjadi asam lemak bebas.
Asam lemak bebas bersama dengan reactive oxygen
species (ROS) bersifat antibakteri yang akan mengubah
flora normal kulit. Perubahan flora normal, aktivasi lipase
dan ROS akan menyebabkan dermatitis seboroik.1
Di bawah ini adalah alur yang menunjukkan peran
Malassezia sp pada dermatitis seboroik. Koloni jamur
mempunyai kemampuan untuk berproliferasi di
permukaan kulit hingga menimbulkan reaksi inflamasi
dan secara klinis nampak berupa skuama.
Gambar 1. Peran jamur Malassezia pada dermatitis seboroik di
kulit kepala.8
MANIFESTASI KLINIS
Pada bayi berusia kurang dari 3 bulan lesi akan
swasirna, sedangkan pada dewasa bersifat kronis dan
dapat residif.8 Secara klinis dapat ditemukan kondisi
seboroik (seborrhoic state) berupa perubahan warna kulit
menjadi eritema atau hipopigmentasi atau keabuan
dengan folikel yang terbuka, serta skuama pitiriasiformis
ringan hingga berat. Pada orang dewasa kelainan
ditemukan area wajah dan kelopak mata serta di daerah
kepala berupa pitiriasis kapitis atau ketombe. Sedangkan
di area badan tampak lesi pitiriasiformis berbentuk
petaloid atau folikular. Kelainan dapat khusus di daerah
lipatan disertai eksematisasi, atau dapat juga generalisata
hingga eritrodermik.1
Manifestasi klinis pada Bayi
Pada bayi dapat terjadi dari usia minggu pertama
kelahiran hingga 3 bulan, dan kelainan berhubungan
dengan waktu neonatus memproduksi sebum yang
selanjutnya akan mengalami regresi hingga pubertas.
Tempat predileksi adalah kulit kepala bagian vertex
154
MDVI
(cradle cap) berupa plak eritematosa disertai skuama
kuning kecoklatan yang lekat dan menyebar ke seluruh
bagian kulit kepala. Selain itu, juga terdapat krusta. Lesi
dapat ditemukan di wajah, leher dan menyebar ke
punggung serta ektremitas, berupa plak inflamasi di
daerah intertrigo, yaitu aksila dan lipat paha. Lesi juga
bisa didapatkan di area popok. Diagnosis banding perlu
dipikirkan pada bayi dengan gejala dermatitis seboroik
yang luas, harus dibedakan misalnya dengan dermatitis,
atopik, antara lain dengan melakukan pemeriksaan
penunjang misalnya immunoglobulin E total.1
Manifestasi klinis pada dewasa
Pada orang dewasa DS bersifat kronis dan residif,
terjadi ada usia 30-60 dengan puncak di usia 40 tahunan.1
Pada kulit kepala umumnya tingkat keparahan DS
sedang, skuama sedikit, kering, warna putih dan mudah
lepas. Pada gejala yang lebih berat terdapat plak berasal
dari skuama kering yang tebal kekuningan.6 Lesi dapat
terlihat juga di wajah secara simetris yaitu di alis, dahi,
kelopak mata atas, plika nasolabialis dan cuping hidung.
Tempat lain yang sering terkena pada regio
retroaurikularis, kanal auditori eksternal, aurikula dan
conchae bowl. Gejala yang ditemukan berupa eritema dan
gatal disertai rasa terbakar dan gatal ringan terutama di
kulit kepala. Folikulitis pitirosporum juga dapat
ditemukan di daerah seboroik. Biasanya dimulai saat
remaja sebagai akibat respons aktivitas androgen yang
meningkatkan produktivitas kelenjar sebasea.1 DS pada
orang dewasa mengalami periode remisi dan
eksaserbasasi. Pencetus kekambuhan DS umumnya akibat
stres emosional, letih, depresi, perubahan suhu, higiene
pribadi, pajanan matahari, perubahan pola makan, infeksi,
obat dan berada di ruangan dingin cukup lama.6
Pada pasien HIV-AIDS, DS umumnya parah dan
cenderung sulit diatasi dengan terapi standar. Secara
klinis dapat ditemukan erupsi di wajah berupa butterfly
rash, menyerupai lesi sistemik lupus eritematosa. DS
biasanya terjadi pada pasien dengan hitung CD4+ sebesar
200 – 500/mm3 dan dapat ditemukan sebagai manifestasi
klinis pertama pada pasien HIV-AIDS.1
Diagnosis dermatitis seboroik umumnya cukup
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, namun perlu
dipikirkan diagnosis banding, misalnya psoriasis,
dermatitis atopik, dermatitis kontak iritan, dermatofitosis,
dermatitis demodex, pitiriasis versikolor, lupus
erimatosus diskoid, pemfigus foliaseus dan rosasea.1,8
TATALAKSANA DERMATITIS SEBOROIK
Tujuan pengobatan
Tatalaksana medikamentosa DS pada skalp dan
nonskalp meliputi pemakaian obat secara topikal dan
155
Vol. 43 No. 4 Tahun 2016; 153 - 159
sistemik, dapat pula disertai pemakaian bahan lain yang
dapat digunakan sebagai terapi ajuvan ataupun terapi
pencegahan.9 Prinsip utama tatalaksana ketombe dan
dermatitis seboroik di skalp adalah untuk mengontrol
kondisi kulit kepala agar nyaman dengan biaya seminimal
mungkin. Sejak tahun 1960 telah tersedia beragam
sediaan yang digunakan untuk mengatasi ketombe dan
DS, baik berupa sampo, kondisioner, obat yang dijual
bebas maupun menggunakan resep. Prinsip tatalaksana
perawatan rambut pada ketombe dan DS adalah
pengobatan harus dapat diterima secara estetik; yaitu
dapat digunakan bersama dengan bahan perawatan
rambut harian yang akan meningkatkan kepatuhan dan
keberhasilan pengobatan.10
Pilihan pengobatan medikamentosa untuk DS
umumnya berupa obat antijamur, anti inflamasi,
keratolitik, dan kalsineurin inhibitor.9 Laporan terbaru
menyatakan penambahan pilihan pengobatan pada DS
non skalp berupa obat yang mengandung bahan
nonsteroid bersifat antiinflamasi berkhasiat antijamur
(anti-inflammatory with antifungal properties/AIAFp)
dengan bukti kesahihan B (level of evidence).10
Di bawah ini adalah tabel yang berisi berbagai
pilihan pengobatan yang dapat digunakan pada kasus
dermatitis seboroik. Pilihan pengobatan utama dengan
bukti kesahihan terbaik (A) adalah golongan obat
antijamur, diikuti dengan kortikosteroid dan beberapa
alternatif pilihan obat lainnya.
Tabel 1. Pengobatan yang sering digunakan pada DS nonskalp*
Pilihan pengobatan dermatitis seboroik nonskalp
Level of Evidence*
Obat anti jamur
Ketokonazol
A
Siklopiroksolamin
A
Sertakonazol
C
Metronidazol
A
Itrakonazol
C
Litium Suksinat/Litium Glukonat
A
Kortikosteroid
Hidrokortison
A
Obat kombinasi anti inflamasi – Antifungal (AIAF)
Promiseb®
B
Kalsineurin inhibitor
Takrolimus
B
Pimekrolimus
B
*Level of Evidence: A:uji klinis terkontrol acak buta ganda, B:uji klinis
dengan randomisasi, C: studi terbuka
Pedoman pengobatan DS juga dibuat oleh para pakar
di Asia, dengan mengikuti algoritma komprehensif yang
khusus dikembangkan untuk pengobatan DS di Asia baik
pada anak maupun dewasa. Dalam berbagai laporan kasus
Servisitis klamidia pada ibu hamil di rumah sakit khusus ibu dan anak
Pilihan pengobatan jangka panjang pada dermatitis seboroik
S.Widaty & A.Marina
mengenai penggunaan obat topikal yang mengandung
bahan antiinflamasi-antifungal (AIAF) merupakan pilihan
untuk pengobatan kasus DS akut maupun sebagai terapi
pemeliharaan.7
Pengobatan DS dibagi berdasarkan berat ringannya
penyakit, obat sistemik digunakan pada kasus DS sedang
dan berat. Telah dibuat panduan pengobatan DS untuk
populasi di Asia yang dapat dijadikan acuan pengobatan
DS (tabel 2), pengobatan menggunakan obat antijamur
topikal, steroid topikal, kalsineurin inhibitor topikal dan
obat antijamur sistemik.
Tabel 2. Pengobatan DS nonskalp pada populasiAsia.7
Produk
Formula
Cara Penggunaan
Anti jamur topikal
Krim siklopiroks 1%
Dua kali per hari dalam
4 minggu
AIAF
Krim ketokonazol
2%
Pirokton olamine/
algycera atau krim
bisabolol
DS Ringan
Steroid topikal
Kalsineurin inhibitor
topikal
Salap & krim
Hidrokortison 1%
Krim Pimekrolimus
1%
Salep Takrolimus
0,1%
DS Sedang- berat
Steroid topikal (kelas 2)
Anti jamur sistemik
Salap Aklometasone
0-05%
Krim Desonide
0.05%
Itrakonazol 100 mg
kapsul
Terbinafin 250 mg
kapsul
Flukonazol 50 mg
capsul
Dua kali perhari dalam
4 minggu
Bulan pertama: 200
mg/hr selama 1 minggu
lalu lanjut tiap
2hr/bulan hingga 11
bulan
Regimen terus
menerus: 250 mg/hr
selama 4-6 minggu
Regimen intermiten:
250 mg/hr selama 12
hari per bulan untuk 3
bulan
50 mg/hr selama 2
minggu atau 200-300
mg/minggu untuk 2-4
minggu
Sediaan anti-inflamasi nonsteroid topikal berkhasiat
antijamur telah digunakan di beberapa negara Eropa dan
Asia untuk pasien DS. Produk tersebut tidak mengandung
kortikosteroid
maupun
bahan
imunomodulator.
Penggunaan produk bukan obat resep merupakan pilihan
pengobatan yang berguna khususnya untuk daerah wajah.
Produk dapat menjadi pilihan pertama, khususnya bagi
pasien yang enggan menggunakan obat konvensional.
Krim juga mengandung emolien yang dapat
menghilangkan gejala dermatitis seboroik, misalnya
memperbaiki kulit kering, mengurangi gatal, mengurangi
kemerahan, dan rasa nyeri, serta mempermudah
penyembuhan.11,12
Pemakaian obat ajuvan sebagai tatalaksana pada DS
Nonskalp
Oleh karena sifat DS yang kronis, maka perlu
pengobatan pemeliharaan yang digunakan pada jangka
panjang. Saat ini belum ada baku emas pengobatan DS
oleh karena etiologi pasti belum jelas, serta patogenesis
yang merupakan gabungan berbagai hal menyebabkan
penggunaan antijamur dan antiinflamasi khususnya
kortikosteroid masih menjadi pilihan pengobatan.13
Tatalaksana DS di berbagai bagian tubuh
memerlukan perhatian khusus. Pasien dapat ditanyakan
tentang vehikulum yang disukai dan disesuaikan dengan
aktivitas serta kebiasaan pasien. Kepatuhan pasien
dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya regimen
pengobatan, harga produk, dan motivasi pribadi serta
pengetahuan pasien akan kesehatan yang optimal.
Tatalaksana di daerah berambut seringkali berbeda
dengan bagian yang tidak berambut. DS umumnya
diterapi dengan preparat topikal, baik dalam bentuk krim,
foam, spray, gel, sampo, dan pencuci rambut lainnya.14
Pengobatan DS meliputi obat yang diresepkan
maupun obat yang dijual bebas. Pengobatan tambahan
yang berfungsi sebagai adjuvan atau alternatif terhadap
obat baku meliputi berbagai produk kosmetik dengan
hasil uji klinis yang bervariasi. Kelebihan produk ini
umumnya jarang atau tanpa efek samping bila
dibandingkan dengan obat yang diresepkan. Dalam satu
produk umumnya terdapat satu atau lebih bahan dengan
manfaat melembutkan dan efek antiinflamasi ringan.
Beda antara obat dan produk kosmetik terlebih pada
konsentrasi bahan aktif.15 Penggunaan produk bukan obat
resep merupakan pilihan pengobatan yang berguna
khususnya untuk daerah wajah. Produk dapat menjadi
alternatif pertama, khususnya bagi pasien yang enggan
menggunakan pengobatan konvensional. Vehikulum krim
yang juga mengandung emolien akan memperbaiki kulit
kering dan mempercepat penyembuhan.11
Penggunaan pelembab pada tatalaksana adjuvan DS
di daerah bukan Skalp
Pelembap baik untuk hidrasi kulit pasien DS,
bersifat tidak iritasi serta mempercepat penyembuhan.12
Pelembap merupakan campuran berbagai bahan kimia
untuk melembutkan kulit dan meningkatkan kandungan
air di kulit.16,17 Pelembap sebaiknya digunakan minimal
1/2 ons atau 50 gram untuk seluruh tubuh kecuali wajah
156
MDVI
dan lipatan kulit, dengan frekuensi pemberian dua kali
sehari. Pelembap dioleskan searah pertumbuhan rambut
agar menghasilkan kulit yang lembut. Pemberian
sebaiknya setelah mandi ketika kulit masih lembap dan
membantu penyerapan sehingga hidrasi pada jaringan
lebih baik.16 Pelembap ditemukan pada berbagai formula,
misalnya losion, krim, salap, dan pasta. Perbedaanya ada
pada kandungan air. Krim memiliki lebih sedikit air
dibandingkan losion, dan sebagian besar lipid yang
dikandungnya dapat mengatasi kulit kering tanpa rasa
berminyak.16 Pemilihan sediaan juga bergantung pada
lingkungan misalnya musim dingin lebih baik
menggunakan bentuk salap dan pada musim semi lebih
baik menggunakan krim.17 Krim lebih sering dioleskan
dibanding salap, dan salap lebih terasa berminyak karena
cenderung tidak diserap kulit.16
Pelembab dibagi atas beberapa jenis berdasarkan
sifatnya; yaitu yang bersifat sebagai emolien, humektan,
oklusif dan terapeutik.18 Emolien digunakan untuk
melembutkan dan menghaluskan kulit, dengan cara
mengisi ruang atau celah di antara korneosit yang
mengalami deskuamasi sehingga permukaan kulit
menjadi halus, meningkatkan daya kohesi, tepi korneosit
rata, dan mengurangi friksi.19 Jenis pelembab lain bersifat
humektan; bahan lipofilik, mampu menarik air dari
lingkungan eksternal yang lembap maupun epidermis,
bergantung pada kadar kelembaban lingkungan, misalnya
natrium hialuronat, urea dan asam hidroksi alfa.18,19
Pelembap oklusif akan melapisi stratum korneum,
mempertahankan air di kulit dengan memperlambat
transepidermal water loss (TEWL). Pelembap oklusif
didapatkan pada petrolatum, minyak mineral, parafin, dan
skualen.18,19 Salap yang mengandung petrolatum dan
dioleskan tiap hari bermanfaat pada dermatitis seboroik
untuk melembutkan skuama sehingga skuama mudah
terkelupas secara halus, terutama pada bayi.7
Pelembab terapeutik memiliki berbagai sifat yaitu
bahan oklusif untuk perbaikan sawar kulit, emolien untuk
melembutkan dan menghaluskan kulit, serta humektan
untuk mempertahankan air di stratum korneum.
Kombinasi kandungan berbagai sifat pada pelembab
terapeutik menyebabkan pelembab terapeutik lebih baik
daripada pelembab lainnya.18
Penggunaan berbagai bahan aktif pada tatalaksana
adjuvan DS bukan di daerah skalp
Vehikulum yang digunakan untuk tatalaksana DS
tersedia dalam berbagai bentuk. Pemilihan bentuk sediaan
ditentukan oleh berat ringannya kasus, lokasi kelainan
dan pilihan pasien. Bentuk yang umumnya disukai untuk
daerah bukan skalp di daerah tropis berupa sediaan ringan
dan tidak berminyak misalnya bentuk krim karena
157
Vol. 43 No. 4 Tahun 2016; 153 - 159
nyaman digunakan termasuk untuk daerah lipatan.
Penambahan berbagai bahan aktif pada sediaan yang
digunakan sebagai adjuvan untuk terapi pemeliharaan
dalam tatalaksana DS berperan dalam keberhasilan
pengobatan dan pencegahan rekurensi. Bahan aktif dalam
produk kosmetik sebagai terapi adjuvan DS antara lain:
18β-glycirrhetinic acid. Berkhasiat sebagai anti
inflamasi, antiiritasi, antialergi dan antivirus. Telah
dilakukan studi komparatif secara acak, menguji sampo
mengandung
β-glycirrhetinic
acid
dalam
cyclopiroxolamine dan zinc phyritione, dengan hasil
perbaikan klinis bermakna (p<0.0001) yaitu berkurangnya
eritema, ketombe, dan berkurangnya jumlah Malassezia
spp. di permukaan kulit dalam kurun waktu dua minggu.14
Anethum graveolens. Merupakan tanaman herbal dari
family Apiceae atau umbeliferae. Berdasarkan studi
komparatif secara acak ganda pada 115 pasien dengan DS
di wajah, penggunaan bahan Anethum graveolens dapat
menghindari kekambuhan. Setelah pemakaian selama 8
minggu, rekurensi lebih rendah (21%) dari kontrol (40%).
Hal tersebut mungkin akibat efek regulasi toll-like
receptor (TLR).20
Minyak emu. Berasal dari jaringan lemak burung emu
(Dromaius
novahollandiae),
berkhasiat
sebagai
antioksidan dan antiinflamasi. Studi secara acak
terkontrol pada 126 pasien DS di wajah, membuktikan
bahwa minyak emu 20% berguna untuk mengurangi gatal
dan eritema. Namun efektivitas lebih rendah dibanding
clotrimazol 1% maupun hidrokortison 1%.21
Asam.hialuronat..Merupakan.anionik.glikosaminoglikan non-sulfat, banyak ditemukan pada jaringan ikat,
epitel dan jaringan saraf. Sebuah studi prospektif yang
melakukan pemberian sodium salt gel asam hialuronat
0,2% pada pasien DS dengan lesi di wajah dua kali sehari
setelah mencuci muka, menghasilkan perbaikan berupa
pengurangan skuama (76%), eritema (64%) serta keluhan
gatal (50%).22
Litium glukonat. Merupakan kation monovalen,
berkhasiat pada DS diduga sebagai antiinflamasi.
Berdasarkan studi acak secara multisenter pada 289
pasien DS wajah didapatkan efektivitas salap litium
glukonat 8% (52%) lebih tinggi dibanding emulsi
ketokonazol 2% (30,1%). Keamanan terhadap kedua
produk serupa.23 Studi secara acak ganda, menggunakan
plasebo mendapatkan hasil remisi 90,9% terhadap
kelompok yang menggunakan salap litium glukonat 8%
dibandingkan dengan kelompok kontrol hanya 54,7%.24
Nikotinamid. Termasuk golongan amida yang larut
dalam air dalam asam nikotinik. Menunjukkan hambatan
terhadap sekresi sebosit dan efek antiinflamasi secara
S.Widaty & A.Marina
Servisitis klamidia pada ibu hamil di rumah sakit khusus ibu dan anak
Pilihan pengobatan jangka panjang pada dermatitis seboroik
dose-dependent. Dalam studi acak terbuka, 48 pasien
dirawat sekali sehari menggunakan krim nikotinamide 4%
mendapatkan penurunan total skor yang diobservasi
sebesar 75%.25
Propilene glikol. Merupakan bahan non-aromatik
berkhasiat sebagai humektan, bersifat higroskopik dan
memiliki daya serap. Telah digunakan sebagai alternatif
kortikosteroid pada tatalaksana DS skalp. Selain itu,
ditemukan pula manfaat lain bahan ini, yaitu menurunkan
koloni Pityrosporum orbiculare secara bermakna setelah
menggunakan terapi larutan yang mengandung propilen
glikol pada pasien DS di skalp.26
Quassia Amara. Merupakan bahan yang kaya
triterpenoid quassinoids. Dapat bermanfaat sebagai
antimikroba, anti jamur, dan anti inflamasi. Pada sebuah
studi komparatif acak ganda tertutup didapatkan gel yang
mengandung ekstrak 4% Quassia cukup efektif, aman dan
dapat di toleransi untuk tatalaksana lesi DS di wajah.
Bahan ini menyerupai gel ketokonazol 2% atau gel
siklopiroksolamin.27
Tar. Bersifat anti-jamur dan anti-inflamasi serta mampu
mengurangi sebum. Aktivitas fungistatik dalam studi in
vitro sebanding dengan ketokonazol.28-31 Sampo tar sudah
sering digunakan walau bukti efektivitasnya masih kurang
yang mendukung.32
Minyak tea tree. Berasal dari pohon Melaleuca
alternifolia, yang bermanfaat sebaga antimikroba dan
antiinflamasi.33 Dari sebuah studi acak tertutup pada
pasien DS skalp, bahan ini dinyatakan dapat memberikan
perbaikan klinis lebih baik dari plasebo.34 Walau
dianggap aman, penggunaan minyak tea tree terbatas
akibat adanya kemungkinan efek estrogenik dan anti
androgenik.35,36
Bahan natural lainnya. Allantoin, Aloe vera,
Borrago officinalis, Burdock, Echinacea purpurea,
Incense, Lactoferrin, Potassium alum, Retinyl palmitate,
asam salisilat, Tarassaco, dan vitamin E juga dapat
digunakan untuk tatalaksana DS atau kondisi serupa
melalui perannyasebagai pelembap, keratolitik, antiinfl
amasi, antioksidan, imunologi, antimikroba, anti jamur,
pengaturan sebum dan gatal. Namum studi terhadap efi
kasi dan mekanisme aksi belum diketahui lebih lanjut.37-40
PENUTUP
Dermatitis seboroik merupakan penyakit yang
bersifat kronis dan rekuren yang dapat menyerang
berbagai golongan usia. Pengobatan pilihan non
terapeutik banyak dibutuhkan, khususnya untuk
menghindari efek samping maupun interaksi obat yang
mungkin terjadi. Pelembab atau produk kosmetik dengan
bahan aktif yang sesuai dapat menjadi pilihan tatalaksana
DS jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Collins CD, Hivnor C. Seborrheic Dermatitis. Dalam: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, penyunting.
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York: McGrawHill Book, Co;2012.p. 259-66.
Schwarts RA, Janusz CA, Janniger CK. Seborrheic dermatitis: An
overview.Am Fam Phys. 2006;74:125-30.
Barbareschi M, Benardon S, Veraldi S. Role of the laboratory. Dalam:
Micalli G, Veraldi S, penyunting. Seborrheic Dermatitis. Gurgaon:
MacmillanMedical Communications; 2015. p. 29-30.
Gupta A, Bluhm R, Cooper EA, Summerbell RC, Batra R. Seborrheic
dermatitis. Dermatol Clin. 2003;21:401-12.
Data kunjungan Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Dermatologi
Umum RSCM. Jakarta: RSCM; 2014.
Peyri J, Lleonart M. Clinical and therapeutic profi le and quality of life
of patients with seborrheic dermatitis. Actas Dermosifi liogr.
2007;98:476–82.
Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty
S, dkk. Treatment of seborrhoeic dermatitis in Asia: A consensus guide.
Skin Appendage Disord. 2015;1:187-96.
Schwartz J, DeAngelis YM, Dawson Jr TL. Dandruff and seborrheic
dermatitis: a head scratcher. Dalam: Evans T, Wickett R, penyunting.
Practical Modern Hair Science. Edisi ke-1. Illinois: Allured Pub; 2012.
p.389–413.
Golderberg G. Optimizing treatment approaches in seborrheic
dermatitis. J ClinAesthet Dermatol. 2013;(6):44–9.
Schwartz J, Cardin CW, De Angelis YM, Dawson Jr T. Dandruff and
seborrheic dermatitis. Dalam: Baran R, Maibach H, penyunting.
Textbook of Cosmetic Dermatology. Edisi ke-4. London: Informa;
2010. p.230–9.
Micali G, DallÓglio F, Tedeschi A. Treatment of seborrheic dermatitis
of the face with Sebclair. Dalam: Micali G, Veraldi G, penyunting.
Seborrheic Dermatitis. Gurgaon:Macmillan; 2015.h. 67-9
Del Rosso J. Adult Seborrheic Dermatitis : A status report on practical
topical management. J ClinAesthet Dermatol. 2011; 4: 32–8.
Gustafson CJ, Davis SA, Feldman SR. Complete approaches to
seborrheic dermatitis. The Dermatologist. 2012;20(6) Suppl:1-3.
Turlier V, Viode C, Durbtise E, Bacquey A, Lejeune O, Oliveira Soares
R, dkk. Clinical and biochemical assessment of maintenance treatment
in chronic recurrent seborrheic dermatitis: randomized controlled study.
Dermatol Ther (Heidelb). 2014;4:43-59.
DallÓglio F, Tedeschi A, Verzi AE, Micali G. Cosmetological
approach. Dalam: Micali G, Veraldi G, penyunting. Seborrheic
Dermatitis. Gurgaon: Macmillan; 2015. p.57-9.
Hurlow J, Bliss DZ. Dry skin in older adults. Geriatr Nurs.
2011;32:257- 62.
Flynn Tc, Petros J, Clark RE, Viehman GE. Dry Skin and Moisturizers.
Clinics in Dermatology. 2001;19:387-392.
Draelos ZD. Modern moisturizer myths, misconception, and truths.
Cutis. 2013;91:308-14
Baumann L. Cosmetics and skin care in dermatology. Dalam: Goldmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, penyunting
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York:
Mcgraw Hill; 2012. p.3009-12.
Ionescu MA, Baroni A, Brambililla A. Double blind clinical trial in a
series of 115 patients with seborrheic dermatitis: prevention of relapses
using topical modulator of Toll like receptor 2. G Ital Dermatol
Venereol. 2011;146(3):185-9.
Attarzadeh Y, Asilian A, Shahmoradi Z, Adibi N. Comparing the effi
cacy of Emu oil with clotrimazole and hydrocortisone in the treatment
of seborrheic dermatitis: a clinical trial. J ResMed Sci. 2013;18(6):47781.
Schlesinger T, Powell CR. Effi cacy and safety of a low molecular
weight hyaluronic acid topical gel in the treatment of facial seborrheic
dermatitis fi nal report. J Clin Aesthet Dermatol. 2014;7:15-8.
158
MDVI
23. Dreno B, Chosidow O, Revuz J, Moyse D, The Study Investigator
Group. Lithium gluconate 8% vs ketoconazole 2% in the treatment of
seborrhoeic dermatitis : a multicentre, randomized study. Br J
Dermatol. 2003;148:1230-6.
24. Dreno B, Moyse D. Lithium gluconate in the treatment of seborrheic
dermatitis: a multicenter, randomised, double blind study versus
placebo. Eur J Dermatol. 2002;12:549-52.
25. Fabbrocini G, Cantelli M, Monfrecola G. Topical nicotinamide for
seborrheic dermatitis: an open randomized study. J Dermato Treat.
2014;25:241-5.
26. Faergemann J. Propylene glycol in the treatment of seborrheic
dermatitis of the scalp: a double-blind study. Cutis. 1988;42:69-71.
27. Diehl C, Ferrari A. Efficacy of topical 4% Quassia amara gel in facial
seborrheic dermatitis: a randomized, double-blind, comparative study. J
Drugs Dermatol. 2013;12:312-5.
28. Nenoff P, Haustein UF, Fiedler A. The antifungal activity of a coal tar
gel onMalassezia furfur in vitro. Dermatology. 1995;191:311-4.
29. Paghdal KV, Schwartz RA. Topical tar: back to the future. J am Acad
Dermatol. 2009;61:294-302.
30. ArnoldWP. Tar. Clin Dermatol. 1997;15:739-44.
31. Wright MC, Hevert E, Rozman T. In vitro comparison of antifungal
effects of a coal tar gel and ketokonazole gel on Malassezia furfur.
Mycoses.1993;36:207-10.
32. Brodell RT, Cooper KD. Comprehensive dermatologic drug therapy.
Therapeutic shampoo. Philadelphia:WB SaundersCompany; 2001.
p.647-58.
159
Vol. 43 No. 4 Tahun 2016; 153 - 159
33. Carson CF, Hammer KA, Riley TV. Tea Tree Oil: A review of
antimicrobial and other medicinal properties. Clin Microbiol Rev.
2006;19:50-62.
34. SatchellAC, SaurajenA, Bell C, Barnetson RS. Treatment of dandruff
with 5% tea tree oil shampoo. JAmAcad Dermatol. 2002;47:852-5.
35. Hammer KA, Carson CF, Riley TV, Nielsen JB. Areview of the
toxicity of Melaleuca alternifolia (tea tree) oil. Food ChemToxicol.
2006;44:616-25.
36. Henley DV, Lipson N, Korach KS, Bloch CA. Prepurbetal
gynecomastia linked to lavender and tea tree oils. N Engl JMed. 2007;
356:479-85.
37. Naldi L. Seborrheic dermatitis. Clin Evid. 2010;12:1713.
38. Feily A, Namazi MR. Aloe vera in dermatology: a brief review. G Ital
Dermatol Venereol. 2009;144:85-91.\
39. Squire RA, Goode K. A randomized, single-blind, single-centre clinical
trial to evaluate comparative clinical efficacy of shampoos containing
cicroplox olamine (1.5%) and salicylic acid (3%), or ketokonazol (2%
nizoral) for the treatment of dandruff/seborrheic dermatitis. J Dermatol
Treat. 2002;13:51-60.
40. Scwartz RA, Janusz CA, Janniger CK. Seborrheic dermatitis:An
overview. Am Fam Physician. 2006;74:125-30.
Download