5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pelayanan Publik a. Definisi Pelayanan publik merupakan layanan proses pemenuhan kebutuhan yang disediakan oleh kelompok atau seseorang maupun birokrasi baik secara langsung maupun tidak langsung guna memenuhi kepuasan atas pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat umum maupun khusus (Moenir, 2006; Pasolong, 2007). Sedangkan Lewis dan Gilman (2005) mendefinisikan pelayanan publik sebagai sebuah etika pelayanan publik yang berupa pelayanan dan pengelolaan sumber daya secara jujur, efektif, efisien, adil, serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan terhadap publik sehingga dapat menumbuhkan rasa kepercayaan publik terhadap pemerintah. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003, pengertian pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan kebutuhan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara pelayanan publik yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 adalah Instansi Pemerintah sebagai sebutan kolektif yang meliputi Satuan Kerja/satuan organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya, baik pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah. Selain itu, pengguna jasa pelayanan publik meliputi orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum yang menerima layanan dari instansi pemerintah (MENPAN, 2003). 6 Menurut UU No. 25 Tahun 2009, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik (Lembaga Negara RI, 2009). Maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku untuk memenuhi segala kebutuhan publik baik berupa barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif. b. Unsur Pelayanan Publik Menurut Bharata (2004), terdapat empat unsur penting dalam proses pelayanan publik, yaitu: 1) Penyedia layanan (provider), merupakan pihak yang dapat memberikan layanan tertentu kepada konsumen, dapat berupa layanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasajasa (services); 2) Penerima layanan, disebut konsumen (customer/user) penerima berbagai layanan dari penyedia layanan; 3) Jenis layanan, yaitu layanan yang dapat diberikan oleh penyedia layanan kepada pihak yang membutuhkan layanan; dan 4) Kepuasan pelanggan, merupakan tujuan utama dalam memberikan layanan. Hal ini sangat penting karena tingkat kepuasan pelanggan biasanya sangat berkaitan dengan standar kualitas barang dan atau jasa yang dinikmati. c. Azas Pelayanan Publik Menurut UU No 25 Tahun 2009, pelayanan publik harus memperhatikan azas keadilan dan non diskriminatif. Adapun azas tersebut meliputi: 1) Kepentingan Umum. Pemberian pelayanan berlandaskan kepentingan umum dan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan; 2) Kepastian Hukum. Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan; 3) Kesamaan Hak. Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi; 4) Keseimbangan hak dan Kewajiban. Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi 7 maupun penerima pelayanan; 5) Keprofesionalan. Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas; 6) Partisipatif. Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat; 7) Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil serta dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan; 8) Keterbukaan. Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang dibutuhkan 9) Akuntabilitas. Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 10) Fasilitas Dan Perlakuan Khusus Bagi Kelompok Rentan. Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan; 11) Ketepatan Waktu. Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan; 12) Kecepatan Kemudahan dan Keterjangkauan. Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau (Lembaga Negara RI, 2009). d. Prinsip Pelayanan Publik Prinsip-prinsip dasar dalam pelayanan publik seperti yang telah tertuang dalam Kepmenpan No. 63 Tahun 2003 menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut: 1) kesederhanaan, yaitu perosedur pelayanan publik bersifat tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan; 2) kejelasan. Hal ini mencakup kejelasan dalam: a) persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; b) unit kerja/pejabat berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan serta penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; serta c) rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran; 3) kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan selama kurun waktu yang telah ditentukan; 4) akurasi. Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah; 5) keamanan. Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum; 6) tanggung jawab. Pimpinan penyelenggara pelayanan 8 publik/pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik; 7) kelengkapan sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika; 8) kemudahan akses. Tempat, lokasi, dan sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika; 9) kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan. Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta ikhlas dalam memberikan pelayanan; serta 10) kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain. e. Standar Pelayanan Publik Berdasarkan Kep. MENPAN No. 63 Th 2003:VB, dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran baku dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Adapun standar pelayanan tersebut meliputi: 1) Prosedur pelayanan, merupakan prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengadaan; 2) Waktu penyelesaian adalah waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan; 3) Biaya pelayanan yaitu biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang dititipkan dalam proses pemberian pelayanan; 4) Produk Pelayanan merupakan hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; 5) Sarana dan prasarana adalah penyedia sarana dan prasarana pelayanan yang memadahi oleh penyelenggara pelayanan publik; dan 6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan yaitu kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan (MENPAN, 2003). 9 Azas, prinsip, dan standar pelayanan tersebut diatas merupakan pedoman dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi pemerintah dan juga berfungsi sebagai indikator dalam penilaian serta evaluasi kinerja bagi penyelenggara pelayanan publik. Dengan adanya standar dalam kegiatan pelayanan publik ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan, prosesnya memuaskan dan tidak menyulitkan masyarakat. f. Standar Pelayanan Transportasi Publik untuk Penyandang Disabilitas Standar pelayanan transportasi publik bagi penyandang disabilitas difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadahi dengan tujuan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek hidup dan penghidupannya. Adapun sarana dan prasarana tersebut harus dapat menjamin penyandang disabilitas baik dari faktor: 1) keselamatan (bangunan pedestrian, shelter dan terminal harus memperhatikan keselamatan penggunanya); 2) kemudahan (alat transportasi publik, shelter, dan terminal harus dapat dijangkau oleh penyandang disabilitas); 3) kegunaan (setiap penyandang disabilitas harus dapat menggunakan bangunan umum yaitu pedestrian, shelter dan terminal dengan baik); 4) kemandirian (setiap penyandang disabilitas harus dapat menggunakan sarana dan prasaran transportasi publik tanpa bantuan orang lain) (MENPAN, 2003; MENPU, 2006); dan 5) berkualitas, yaitu pelayanan transportasi publik yang diterima dapat melebihi harapan dan memuaskan user; 6) keadilan (pelayanan transportasi publik harus dapat memenuhi kebutuhan semua warga masyarakat termasuk penyandang disabilitas sehingga mereka mendapatkan hak yang sama dengan warga negara lainnya; 7) merata, dalam memberikan pelayanan transportasi publik harus dapat menjangkau semua aspek yaitu kebijakan dan peraturan serta perencanaan transportasi; serta 8) efektif dan efisien (penggunaan sarana dan prasarana transportasi publik dapat digunakan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan sumber daya yang tersedia). 10 g. Kualitas Pelayanan Publik Tujuan utama pelayanan publik adalah kepuasan masyarakat terhadap suatu pelayanan (Ramsooek et al., 2010). Kualitas terbaik dapat dicapai apabila kebutuhan, harapan dan kepuasan pelanggan terhadap pelayanan sudah terpenuhi, serta memenuhi syarat dan standar yang telah ditentukan (Zeithaml et al., 2003; Nasution, 2001; dan Kotler, 1994). Sedangkan menurut LAN (2003), yang dimaksud dengan pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, serta mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi pelayanan berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya. Menurut Sinambela (2010) untuk mencapai kepuasan tersebut, maka dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari adanya: 1) Transparan yaitu pelayanan bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; 2) Akuntabilitas. Pelayanan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) Kondisional merupakan pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; 4) Partisipatif. Pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; 5) Kesamaan Hak yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, kecacatan dan lain-lain; serta 6) Keseimbangan Hak dan Kewajiban yang mana dalam memberikan pelayanan harus mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. Sedangkan menurut Gaspersz (2002), faktor yang harus diperhatikan dalam memperbaiki kualitas jasa untuk mencapai tingkat kepuasan yang optimal, meliputi: 1) Ketepatan dalam pelayanan, hal yang perlu diperhatikan meliputi lamanya waktu tunggu, proses, dan ketentuan jam pelayanan (jam buka dan tutup) loket layanan; 2) Akurasi pelayanan, kepastian reliabilitas 11 pelayanan dan harus diusahakan bebas dari kesalahan; 3) Kesopanan dan keramah-tamahan dalam memberikan pelayanan terutama terhadap pelanggan eksternal, hal ini banyak diperankan oleh mereka yang berada di front line; 4) Tanggung jawab, berkaitan dengan penanganan komplain atau keluhan pelanggan; 5) Kelengkapan, menyangkut ketersediaan ruang pelayanan, sarana pendukung serta komplementer layanan lainnya; 6) Kemudahan mendapatkan layanan, berkaitan dengan jumlah outlet, petugas, staf administrasi dan fasilitas pendukung; 7) Variasi model layanan, berkaitan dengan innovasi baru untuk memberikan pola-pola yang baru dalam pelayanan, penggunaan teknologi informasi untuk memberikan layanan; 8) Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan permintaan khusus, atau emergensi; 9) Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, kemudahan dalam akses, ketersediaan informasi, petunjuk dan bentuk-bentuk lain; 10) Atribut pendukung pelayanan lainnya, termasuk di dalamnya lingkungan sekitar, kebersihan, fasilitas yang dapat di gunakan saat menunggu seperti air conditioner/AC, musik atau hiburan lainnya. Kualitas pelayanan perlu diukur berdasarkan standar kualitas pelayanan sebagai ukuran minimun dari layanan yang harus diberikan dan menjadi tolak ukur dalam mengukur kualitas layanan. Menurut Tjiptono (2008), faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan (jasa), yaitu: expected service dan perceived service. Artinya apabila pelayanan (jasa) yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan (expected service), maka kualitas pelayanan (jasa) dipersepsikan baik dan memuaskan. Akan tetapi jika pelayanan (jasa) yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas pelayanan (jasa) dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan (jasa) yang di terima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas pelayanan (jasa) dipersepsikan buruk. Maka, baik tidaknya kualitas pelayanan (jasa) tergantung pada penyedia pelayanan (jasa) dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. 12 Sedangkan kualitas pelayanan yang dikembangkan oleh Parasuraman et al. (1985) dalam Tjiptono (2008), meliputi sepuluh dimensi service quality yang dikenal sebagai metode SERVQUAL yang meliputi: 1) Reliabilitas (reliability), mencakup dua aspek utama, yaitu konsistensi kinerja (performance) dan sifat terpercaya (dependability). Hal ini berarti perusahaan mampu menyampaikan layananya secara benar sejak awal (right the first time), memenuhi janjinya secara akurat dan andal (misalnya memberikan layanan sesuai jadual yang disepakati). Menyimpan data (record) secara tepat, dan mengirimkan tagihan yang akurat; 2) Responsivitas (responsiveness), atau daya tanggap, yaitu kesediaan dan kesiapan para karyawan untuk membantu dan melayani para pelanggan dengan segera. Contoh: ketepatan waktu pelayanan, pengiriman, kecepatan menghubungi kembali pelanggan, dan penyampaian layanan secara cepat; 3) Kompetensi (competence), yaitu penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat melayani sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan dan keterampilan karyawan kontrak, pengetahuan dan keterampilan personil, dukungan operasional, dan kapabilitas riset organisasi; 4) Akses (access), meliputi kemudahan untuk dihubungi atau ditemui (unproachability) dan kemudahan kontak. Hal ini berarti lokasi fasilitas layanan mudah di jangkau, waktu mengantri atau waktu menunggu tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi (contohnya telepon, surat, email fax, websites, dan seterusnya) dan jam operasi nyaman; 5) Kesopanan (courtesy), meliputi sikap santun, respek, atensi dan keramahan para karyawan; 6) Komunikasi (communication), artinya menyampaikan informasi kepada para pelanggan dalam bahasa yang mudah mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Termasuk di dalamnya adalah penjelasan mengenai jasa/layanan yang ditawarkan, biaya pelayanan, trade off antara layanan dan biaya, serta proses penanganan masalah potensial yang mungkin timbul; 7) Kredibilitas (credibility), yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakter pribadi karyawan, dan interaksi dengan pelanggan; 8) Keamanan (security), yaitu bebas dari bahaya, 13 resiko dan keragu-raguan. Termasuk di dalamnya adalah keamanan secara fisik (physical safeety), keamanan financial (financial security), privasi dan kerahasiaan (confidentiality); 9) Kemampuan memahami pelanggan (understanding the costumer), yaitu berupaya memahami pelanggan dan kebutuhan spesifik mereka, memberikan perhatian individual, dan mengenal pelanggan reguler; serta 10) Bukti fisik (tangible) meliputi penampilan fasilitas fisik, peralatan dan personel pemberi jasa. Kesepuluh dimensi tersebut oleh Zeithaml et al. (1990) dirangkum dalam 5 dimensi pokok, yaitu: 1) Tangible (bukti fisik) merupakan hal yang berkaitan dengan fasilitas fisik, peralatan, tekhnologi dan penampilan dari personal pemberi jasa; 2) Reliability (keandalan) adalah kemauan pihak pemberi layanan/jasa dalam menyediakan/ memberikan apa yang dijanjikan kepada penerima jasa/pelanggan secara akurat dan meyakinkan; 3) Responsiveness (ketanggapan), hal ini berkaitan dengan tanggung jawab dan keinginan untuk memberikan jasa yang prima, membantu penerima jasa/pelanggan apabila menghadapi masalah yang berkaitan dengan jasa yang diberikan, kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan yang cepat, tepat serta tanggap terhadap keinginan pelanggan; 4) Assurance (jaminan) yaitu mencakup pengetahuan, kemampuan kesopanan, dan sifat yang dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan; dan 5) Empathy (empati) meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan. Sedangkan kelompok dimensi competence, courtesy, credibility dan security menjadi dimensi assurance dan dimensi access, communication dan understanding the costumer menjadi dimensi empathy. Hubungan antar dimensi tersebut dapat dicermati pada Tabel 2.1. 14 Tabel 2.1. Correspondence between Servqual Dimentions and Original Ten Dimention for Evaluating Service Quality Original Ten Tangibles Reliability Dimentions for Evaluating Service Quality Tangibles Reliability Responsiveness Competence Courtesy Credibility Security Access Communication Understanding the Costumer Sumber: Zeithaml et al. (1990) Responsiveness Assurance empathy Pengukuran kualitas pelayanan (SERVQUAL) berawal dari adanya kesenjangan/gap dalam pelayanan (Zeithaml et al., 1990), yang terdiri dari: 1) GAP antara persepsi manajemen dan ekspektasi pelanggan (Customer Expectation-management perceptin gap): Gap 1 terjadi apabila terdapat perbedaan antara harapan konsumen dengan apa yang dipersepsikan manajemen terhadap harapan kosumen. Misalnya harapan kosumen adalah mendapatkan pelayanan yang terbaik, meskipun harganya mahal tidak menjadi masalah. Sebaliknya manajemen mempunyai persepsi bahwa konsumen mengharapkan harga yang murah meskipun kualitasnya agak rendah; 2) Gap antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas layanan, (management,s perception–Service Quality specification Gap): Gap 2 Manajemen memahami apa yang diinginkan oleh konsumen, tetapi tidak dapat menetapkan standar mutu yang jelas yang dapat merealisasikan harapan pelanggan; 3) Gap antara spesifikasi kualitas jasa penyelenggaraan pelayanan (service quqlity specification–service delivery gap): Gap 3 Gap ini lahir jika pelayanan yang diberikan berbeda dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang telah dirumuskan; 4) Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternalKomunikasi Pasar (delivery external comunication gap): Gap 4 Harapan pelanggan dipengaruhi oleh janji yang dibuat penyedia jasa/layanan baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui iklan. Faktanya sering sekali janji yang diberikan tidak direalisasikan degan tepat atau tidak terpenuhi, hal 15 ini tentu akan mengecewakan pelanggan; 5) Gap antara pelayanan yang dirasakan dengan Pelayanan yang diharapkan-Gap kualitas pelayanan (perceived service-expected service gap): Gap 5 terjadi karena pelayanan yang diharapkan oleh konsumen tidak sama dengan pelayanan yang senyatanya diterima atau dirasakan oleh konsumen. h. Kualitas Pelayanan Transportasi Publik bagi Penyandang Disabilitas Berdasarkan teori yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kualitas pelayanan transportasi publik bagi penyandang disabilitas harus dapat memenuhi kriteria: 1) kondisional di mana pelayanan transportasi publik yang diberikan harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan provider dan user secara efektif dan efisien; 2) kesamaan hak yaitu pelayanan transportasi publik harus dapat diakses oleh semua warga masyarakat termasuk penyandang disabilitas; 3) kelengkapan, terkait dengan ketersediaan ruang yang memadahi serta rambu-rambu yang sesuai; 4) kemudahan mendapatkan layanan, meliputi jumlah dan design bus, shelter, pedestrian, dan terminal, petugas pemberi layanan dan fasilitas pendukung lainnya; 5) kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi shelter, ukuran shelter yang aksesibel, kemudahan dalam akses, dan ketersediaan informasi/petunjuk rute armada yang jelas; 6) keamanan yaitu bebas dari resiko jatuh/tergelincir akibat dari design arsitektural yang ada; 7) kemampuan memahami pelanggan, merupakan kemampuan petugas dalam memahami dan melayani user sesuai kebutuhan spesifik mereka; 8) ketanggapan yaitu tanggung jawab dan keinginan provider untuk menyediakan pelayanan transportasi publik yang prima membantu user apabila menghadapi masalah yang berkaitan dengan jasa yang diberikan, kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan yang cepat, tepat serta tanggap terhadap keinginan pelanggan (Gaspersz, 2002; Parasuraman et al., 1985 dalam Tjiptono, 2008; Sinambela, 2010). 16 i. Hambatan dalam Mewujudkan Kualitas Pelayanan yang Baik Hambatan dalam menciptakan manajemen yang berkualitas merupakan kendala yang muncul dan dihadapi dalam sebuah sistem pelayanan. Menurut Sinambela (2008), memaparkan bahwa terdapat beberapa hambatan dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Adapun hambatan tersebut, meliputi: 1) ketiadaaan komitmen dari manajemen; 2) ketiadaan pengetahuan dan kurangnya pemahaman tentang manajemen kualitas bagi aparatur yang bertugas melayani; 3) ketidakmampuan aparatur dalam mengubah kultur yang mempengaruhi kualitas manajemen kualitas pelanggan; 4) ketidaktepatan perencanaan manajemen kualitas yang dijadikan pedoman dalam pelayanan pelanggan; 5) belum dioptimalkannya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan; 6) ketidakmampuan membangun learning organization, learning by the individuals dalam organisasi; 7) ketidaksesuaian antara struktur organisasi dengan kebutuhan; 8) ketidakcukupan dana dan sumber daya; 9) ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi karyawan; 10) ketidaktepatan mengadopsi prinsip manajemen kualitas ke dalam organisasi; 11) ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan, baik internal maupun eksternal; dan 12) ketidaktepatan dalam pemberdayaan dan kerja sama. 2. Penyandang Disabilitas a. Pengertian Disabilitas The International Classification of Functioning, Disability and Health/ICF tidak membedakan antara jenis/tipe dan penyebab kecacatan baik itu fisik dan atau mental akan tetapi dipandang sebagai “Kondisi Kesehatan” yang merupakan penyakit, cedera, dan gangguan. Sedangkan yang disebut sebagai gangguan, adalah terjadinya penurunan pada fungsi dan struktur tubuh tertentu sehingga sering diidentifikasikan sebagai gejala/tanda-tanda kondisi kesehatan (WHO, 2001). Menurut The International Classification of Functioning, Disability and Health/ICF menyatakan bahwa disabilitas (disablement) mengacu pada kesulitan dalam area fungsional seseorang yang dipandang secara holistik serta muncul dari hubungan interaksi antara faktor kontekstual, lingkungan dan personal (Hemmingsson and Jonsson, 2005). 17 Disabilitas meliputi aspek impairments, activity limitations, dan participation restrictions. Impairments merupakan penurunan atau ketidaknormalan struktur dan fungsi tubuh baik fisik dan atau mental (contoh: paralisis, kebutaan, dan gangguan mental). Activity limitations diartikan sebagai dampak impairment yang mengakibatkan keterbatasan/kesulitan pada individu untuk beraktivitas normal, sebagai contohnya meliputi area produktifitas, perawatan diri dan pengisian waktu luang (leissure). Sedangkan participation restrictions adalah keterbatasan individu dalam melakukan peran/partisipasinya di dalam masyarakat sebagai dampak dari impairment dan activity limitations yang dialaminya (contoh: mengalami diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan dan transportasi) (Hemmingsson and Jonsson, 2005; Imrie, 2004; Schneidert et al., 2003; Simeonsson et al., 2003). Komponen keterbatasan yang mempengaruhi peran/partisipasi di masyarakat dapat disebabkan karena: 1) faktor personal (terkait dengan fungsi dan struktur tubuh), contoh: motivasi, harga diri, konsep diri, dll. Faktor ini belum dikonseptualisasikan/diklasifikasikan lebih detail. Akan tetapi, secara lebih lanjut perbedaan kapasitas seseorang penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas kehidupannya dapat difasilitasi dengan adanya modifikasi lingkungan (Hurst, 2003; Imrie, 2004; Ueda and Okawa, 2003) dan 2) faktor lingkungan, hal ini menggambarkan perbedaan tingkat fungsi serta peran seseorang dimana dia harus hidup dan beraktivitas. Faktor ini dapat berupa fasilitator atau hambatan bagi seseorang untuk melakukan peran/partisipasinya di masyarakat. Contoh: produk dan teknologi; lingkungan alam dan arsitektur bangunan; dukungan, hubungan, sikap dan layanan yang tersedia; sistem serta kebijakan yang diterapkan (Hurst, 2003; Nordenfelt, 2003; Schneidert et al., 2003). Hubungan tersebut, dapat ditunjukkan pada gambar 2.2 Interaction between the components of the International Classification of Functioning, Disability and Health. 18 Gambar 2.1 Interaction between the components of the International Classification of Functioning, Disability and Health (WHO, 2001) Sedangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan bahwa penyandang disabilitas/difabel adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Penyandang cacat ini terdiri dari: (1) penyandang cacat fisik: tuna netra (hambatan penglihatan), tuna rungu (hambatan pendengaran dan bicara), serta tuna daksa (cacat tubuh seperti mengalami polio dan gangguan gerak); (2) penyandang cacat mental: tuna grahita (keterbelakangan mental), tuna laras (mengalami gangguan emosi dan sosialisasi), dan autis (mengalami gangguan interaksi, komunikasi dan perilaku yang berulang-ulang dan terbatas); serta (3) penyandang cacat fisik dan mental: tuna ganda (mengalami lebih dari satu hambatan) (Lembaga Negara RI, 1997; Kementerian Kesehatan RI, 2014). Menurut Rahayu et al. (2013), adapun jenis gangguan yang menyebabkan seseorang menjadi disabilitas adalah: tuna netra (buta), tuna wicara (bisu), tuna rungu (tuli), tuna daksa (cacat tubuh), tuna grahita (cacat mental) dan tuna ganda (komplikasi antara dua atau lebih bentuk kecacatan). 19 b. Karakteristik dan Derajat Disabilitas Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (2005), disabilitas dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik dan derajat disabilitasnya. Adapun karakteristik dari masing-masing gangguan, adalah sebagai berikut: 1) Fisik/daksa Karakteristik penyandang disabilitas daksa, meliputi: a) Terbatasnya mobilitas (gerak); b) Hilangnya/tidak berfungsinya tangan atau kaki, ringan pada salah satu bagian; c) Hilangnya/tidak berfungsinya dua tagan atas siku; d) Hilang/tidak berfungsinya dua kaki atas lutut dan dua tangan atas siku; e) Cerebral palsy ringan; serta f) Layuh salah satu kaki, tangan/kaki bengkok dan sebagainya. Adapun derajat disabilitas daksa, dibagi menjadi: a) Disabilitas tubuh ringan. Adalah mereka yang menyandang disabilitas tubuh dimana kebutuhan aktivitas hidup sehari-harinya tidak memerlukan pertolongan orang lain; b) Disabilitas tubuh sedang. Orang yang menyandang disabilitas tubuh, dimana kebutuhan aktivitas hidup sehari-harinya harus dilatih terlebih dahulu sehingga untuk seterusnya dapat dilakukan tanpa pertolongan orang lain, dan c) Disabilitas tubuh berat. Seseorang yang untuk kebutuhan aktivitas hidup sehari-harinya selalu memerlukan pertolongan orang lain. 2) Netra Karakteristik disabilitas netra yang merupakan stereotip yaitu perilaku yang terbentuk karena adanya keinginan diri untuk bergerak. Gerakan tersebut meliputi: menggerakkan badan ke depan dan belakang; meletakkan kepalan atau jari ke mata; mengayunkan jari di depan mata; berputar-putar dengan cepat; serta menundukkan kepala dalam-dalam. Adapun karakteristik khusus penyandang disabilitas netra, meliputi: a) pada umumnya gerakan tubuh mereka kurang seimbang karena mereka tidak memiliki gambaran tentang posisi tubuh yang benar, contoh: posisi kepala miring, jalan diseret, dll; b) kurang/tidak memahami (sensitif) terhadap kebutuhan orang lain, karena mereka tidak dapat memodifikasi sikap mereka dalam merespon yang terlibat pada ekspresi wajah, gerakan 20 tubuh, gerakan bola mata, dan gerakan non verbal lainnya; serta c) penyandang disabilitas netra yang telah sukses beradaptasi dengan lingkungan, pada umumnya memiliki kemampuan dalam mengingat. Derajat disabilitas netra diklasifikasikan berdasar perbedaan kemampuan melihat dibandingkan mata normal (pada jarak 200 kaki). Klasifikasi ini terdiri dari: a) 20/200-legal blindness. Kemampuan melihat suatu benda pada jarak 20 kaki, sedangkan kemampuan mata normal pada jarak 200 kaki. Maka seseorang dengan kemampuan ketajaman penglihatan 20/200 kaki berhak menerima bantuan alat penglihatan; b) 5/200 – 10/200 - travel vision. Kemampun untuk melihat suatu benda pada jarak 5 - 10 kaki; c) 3/200 - 5/200 – motion perception. Kemampuan untuk melihat suatu benda pada jarak 3 – 5 kaki, sementara seseorang dengan ketajaman mata normal dapat melihat pada jarak 200 kaki; d) kurang dari 3/200 – light perception (low vision). Kemampuan untuk membedakan sinar yang kuat pada jarak 3 kaki dari mata, akan tetap tidak mempunyai kemampuan untuk mendeteksi gerakan tangan pada jarak yang sama; dan e) bermasalah dalam mempersepsikan visual – buta total. Seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui/membedakan adanya sinar yang kuat yang ada langsung di depan matanya. 3) Rungu dan wicara Karakteristik pada disabilitas ini, terdiri dari: a) pada waktu berbicara, tidak jelas kata/kalimat yang diucapkan; b) pada waktu berbicara diikuti dengan gerakan anggota badan seperti kepala, tangan, bibir, dll yang melambangkan isyarat; c) sulit memahami ucapan orang lain kecuali dengan melihat gerakan bibir/tangan. Disabilitas rungu wicara diklasifikasikan menjadi: a) disabilitas rungu total yaitu seseorang yang kehilangan pendengaran 90 desibel (db) atau lebih dan b) kurang dengar yaitu seseorang yang kehilangan pendengaran kurang dari 90 db. Golongan ini dibedakan menjadi: a) kurang dengar ringan, kehilangan kemampuan mendengar pada 30 – 50 db; b) kurang dengar sedang adalah kehilangan pendengaran pada 51 – 70 21 db; dan c) kurang dengar berat, yaitu kehilangan kemampuan pendengaran pada 71 – 90 db. 4) Intelektual/mental retardasi Karakteristik disabilitas intelektual meliputi: 1) kecerdasan sangat terbatas (IQ di bawah 70); 2) mengalami ketidakmampuan sosial, yaitu tidak mampu mengurus diri sendiri sehingga sebagian selalu memerlukan bantuan orang lain; 3) keterbatasan terhadap minat pada hal-hal tertentu dan sederhana; 4) perhatian labil dan mudah berpindah-pindah; 5) memiliki daya ingat lemah terutama pada aspek sekolastik; 6) keterbatasan dan minimnya emosi yang dimiliki, contohnya ada perasaan senang, takut, marah, benci, dan terkejut; 7) apatis, acuh tak acuh terhadap sekitarnya; 8) mengalami kelainan tubuh, terutama pada kategori disabilitas berat; serta 9) mempunyai kelainan tubuh khusus (typologi mongolisme/down syndrome). Derajat disabilitas intelektual, dapat digolongkan menjadi: a) mental retardasi ringan (mild, moron, debil); b) mental retardasi sedang (moderate); dan c) mental retardasi berat (severe). Adapun penggolongan disabilitas intelektual berdasarkan kebutuhan pelayanan rehabilitasi, diklasifikasikan menjadi: a) tidak mampu latih (untrainable), yaitu kelompok yang memerlukan perawatan, pengawasan, dan pengurusan secara terus menerus dari orang lain. Jika ditinjau dari tingkat intelegensi, termasuk dalam kategori idiomasi/imbisil berat sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan pelayanan yang bersifat bimbingan rehabilitatif; b) mampu latih (trainable), adalah mereka yang dapat menerima dan mengikuti program latihan praktis/sederhana serta dapat mengambil manfaat dari pelatihan yang diperolehnya. Pada umumnya tergolong dalam imbisil ringan; serta c) mampu didik (educable), mereka yang dapat mengikuti dan menerima program bimbingan/pelatihan yang bersifat teoritik maupun praktik serta dapat memanfaatkannya. Pada umumnya tergolong debilitas. 22 c. Kebijakan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas UUD 1945 dan peraturan perundang undangan sangat jelas mengatur tentang landasan kebijakan untuk peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas didasarkan pada prinsip kesetaraan/persamaan kesempatan dan partisipasi dalam berbagai aspek kehidupan khususnya terkait dengan aksesibilitas, rehabilitasi, kesempatan kerja, kesehatan dan pendidikan. Dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan bahwa “seluruh warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”, artinya bahwa ada persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa membedakan kondisi fisik. Pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Artinya pemerintah berkewajiban menyediakan aksesibilitas pelayanan umum yang memadahi bagi masyarakat. Sebagai implementasi nyata, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Firdaus dan Iswahyudi, 2010). Hak yang harus diperoleh penyandang disabilitas termasuk aksesibilitas pelayanan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 6 yang mana disebutkan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh: (1) Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (2) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecatatan, pendidikan, dan kemampuannya; (3) Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasilnya; (4) Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) Rehabilitasi bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Lembaga Negara RI, 1997). Adapun pengaturan aksesibilitas pelayanan bagi penyandang disabilitas diatur dalam Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Hal ini mengatur tentang kesamaan keempatan dalam kewajiban, hak dan peran 23 penyandang disabilitas terhadap kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki (Lembaga Negara RI, 1998). Kebijakan Pemkot Surakarta mengenai penyandang disabilitas, ditatarkan dalam Perda Kota Surakarta No 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Warga Difabel. Perda ini mencakup pelayanan hak penyandang disbilitas dalam hal aksesibilitas fisik, rehabilitasi, pendidikan, kesempatan kerja, peran serta dalam pembangunan, dan bantuan sosial. Adapun aksesibilitas fisik meliputi pelayanan yang terkait dengan perencanaan dan peruntukan pembangunan kawasan kota serta fasilitas publik dengan berpedoman pada penetapan standarisasi aksesibilitas fisik sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pemkot Surakarta, 2008). d. Hambatan Arsitektural Menurut Tarsidi (2008), hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas disebabkan oleh design arsitektural. Hambatan tersebut dibagi berdasarkan jenis kecacatan utama seperti kecacatan fisik, kecacatan sensoris dan kecacatan intelektual. Tabel 2.2 memaparkan hambatan arsitektural yang dihadapi penyandang disabilitas. 24 Tabel 2.2. Hambatan Arsitektural bagi Penyandang Disabilitas Kategori Disabilitas Fisik Sensoris Intelektual Hambatan • Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit. • Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar. • Tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja/wastapel. • Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit. • Permukaan jalan yang renjul (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda. • Pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka. • Tombol-tombol yang terlalu tinggi letaknya. • Tangga yang terlalu tinggi. • Lantai yang terlalu licin. • Bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang menutup secara otomatis. • Pintu lift yang menutup terlalu cepat. • Tangga berjalan tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat. Tunanetra: • Tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat. • Rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki. • Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup. • Lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk menunjukkan nomor lantai. Tunarungu: Tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara di bandara atau terminal angkutan umum. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium dengan pencahayaan yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya. Para penyandang kecacatan intelektual akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku Sumber: Tarsidi (2008) e. Aksesibilitas Istilah 'aksesibilitas' terkait dengan pemberian akses yang sama untuk semua orang dalam mengakses fasilitas dan jasa tanpa membedakan antara orang normal dengan penyandang disabilitas (United Nations, 2007). Inefisiensi aksesibilitas bangunan terutama di terminal dan angkutan umum telah menimbulkan keterbatasan gerak bagi penyandang disabilitas sehingga mengakibatkan hambatan yang signifikan dalam partisipasinya di masyarakat. Dimana cara paling sederhana untuk meningkatkan penggunaan fasilitas transportasi publik adalah dengan membentuk lingkungan yang aman, mudah, dan nyaman bagi pejalan kaki (Soltani et al., 2012; Henry, 2009; Griffin, 25 2000). Sedangkan menurut Aljanzouri (2014), aksesibilitas merupakan potensi interaksi/peluang untuk mendapatkan barang, jasa, kegiatan dan tujuan secara bersama-sama secara mudah. Aksesibilitas memuat dua hal, pertama terkait dengan kebijakan dan peraturan yang dapat menciptakan hambatan untuk penyandang disabilitas. Hal ini mungkin merupakan peraturan/kebijakan diskriminatif yang masih menimbulkan hambatan baik sengaja maupun tidak sengaja bagi penyandang cacat. Contoh: melarang penumpang disabilitas melakukan perjalanan dengan alat transportasi publik, karena dianggap menyulitkan dan sulitnya mengevakuasi mereka dalam keadaan darurat; atau peraturan ketenagakerjaan yang mensyaratkan “kondisi normal” bagi pencari kerja sehingga menghambat penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan. Arti aksesibilitas yang kedua tentang perencanaan transportasi, hal ini menggambarkan waktu/biaya yang diperlukan untuk mencapai tempat tujuan (Malhotra and Jalil, 2010). Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan kemudahan yang disediakan untuk semua orang termasuk penyandang disabilitas dan lansia dengan tujuan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek hidup dan penghidupan. Dalam keputusan ini juga membahas mengenai azas aksesibilitas yang digunakan sebagai pedoman dasar penyedia akses sarana dan prasarana, yang meliputi: 1) keselamatan. Semua bangunan umum di suatu lingkungan harus memperhatikan keselamatan penggunanya; 2) kemudahan. Setiap orang dapat menjangkau semua tempat/bangunan umum dalam suatu lingkungan; 3) kegunaan. Setiap orang harus dapat menggunakan semua bangunan umum di suatu lingkungan; dan 4) kemandirian. Setiap orang harus dapat mencapai, masuk, dan menggunakan semua tempat/bangunan umum di suatu lingkungan tanpa bantuan orang lain (MENPU, 2006). Selain itu, Menteri Perhubungan juga menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan No KM 71 Tahun 1998 tentang aksesibilitas penyandang cacat dan orang sakit pada sarana dan prasarana perhubungan (MENHUB, 1998). 26 Pasal 5 pada Surat Keputusan ini membahas fasilitas pelayanan bagi penyandang disabilitas dan orang sakit pada sarana angkutan jalan, diantaranya: 1) Sarana angkutan jalan harus dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan khusus yang diperlukan dan memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan bagi penumpang disabilitas dan orang sakit. 2) Fasilitas dan pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari: (a) Ruangan dirancang dan disediakan secara khusus untuk penyandang cacat dan orang sakit guna mempermudah bergerak dan (b) Tersedia alat bantu untuk naik turun dari dan ke sarana pengangkut. 3) Pengendara tuna rungu/cacat kaki/tangan dalam berlalu lintas di jalan wajib diberi tanda khusus pada kendaraannya agar dapat lebih dikenal oleh pemakai jalan yang lain. Sedangkan Pasal 6 pada Kepmen ini menegaskan persyaratan yang harus ada pada fasilitas angkutan umum, khususnya angkutan jalan meliputi: 1) Penyelenggara/pengelola prasarana angkutan jalan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dan memberikan pelayanan khusus bagi penyandang disabilitas dan orang sakit. 2) Fasilitas dalam pelayanan khusus sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), yaitu: a) Kondisi keluar masuk terminal harus landai b) Kondisi peturasan yang dapat dimanfaatkan penyandang disabilitas dan orang sakit secara mandiri c) Pengadaan jalur khusus akses keluar masuk terminal d) Konstruksi tempat pemberhentian kendaraan umum yang sejajar dengan permukaan pintu masuk kendaraan umum e) Pemberian kemudahan dalam pembelian tiket f) Pada terminal angkutan umum dilengkapi papan informasi tentang daftar trayek angkutan jalan dilengkapi rekaman petunjuk yang dapat dibunyikan apabila dibutuhkan (atau terdapat tulisan dengan huruf braille) 27 g) Pada tempat pemberhentian kendaraan umum dapat dilengkapi dengan daftar trayek dilengkapi rekaman yang dapat dibunyikan apabila dibutuhkan (atau terdapat tulisan dengan huruf braille) h) Pada tempat penyeberangan jalan yang dikendalikan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas yang sering dilalui oleh penyandang disabilitas netra, dapat dilengkapi dengan alat pemberi isyarat bunyi pada saat alat pemberi syarat untuk pejalan kaki berwarna hijau/merah i) Tersedia ruang yang dirancang dan disediakan secara khusus untuk penyandang disabilitas dan orang sakit guna mempermudah dalam bergerak. f. Permasalahan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Permasalahan aksesibilitas yang dihadapi oleh penyandang disabilitas berdasarkan jenis disabilitasnya menurut Dirjen Bina Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (2005), adalah: 1) Disabilitas fisik/tuna daksa: a) terbatasnya ruang yang dipergunakan untuk sarana aksesibilitas; b) bervariasinya jenis disabilitas pada tuna daksa: (1) belum tersedia aksesibilitas pada fasilitas publik, seperti: stasiun kereta api, terminal bus/shelter, kantor pemerintah maupun swasta, rumah sakit, panti sosial dll; (2) belum tersedianya aksesibilitas pada sarana transportasi umum seperti kereta api, bus, pesawat, dan lain-lain serta (3) belum optimalnya penyediaan aksesibilitas pada lingkungan balai/panti rehabilitasi sosial sesuai kebutuhannya. 2) Disabilitas sensorik (tuna netra): a) konstruksi bangunan yang bermacammacam sehingga membahayakan tuna netra dan belum semua bangunan menyediakan aksesibilitas sesuai standar; b) banyaknya saluran pembuangan air/selokan yang terbuka; c) belum tersedianya penunjuk berupa huruf braille pada setiap tempat; d) penempatan tiang listrik dan telepon dan lainnya yang membahayakan bagi tuna netra; e) konstruksi pedestrian yang belum seragam dan tidak semuanya menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas netra. 3) Disabilitas sensorik (tuna rungu-wicara): a) kurang tersedianya simbolsimbol isyarat di tempat umum; b) sarana komunikasi/telepon yang 28 menggunakan kode cahaya; c) pelaksanaan sistem isyarat Bahasa Indonesia dalam teknologi informatika dan komunikasi sesuai dengan perkembangan; serta d) masih terbatasnya organisasi sosial yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas rungu wicara. g. Ketentuan Aksesibilitas Penyediaan Sarana Prasarana Angkutan Umum Sarana prasarana bagi pengguna angkutan umum meliputi jalur pedestrian, shelter, bus dan ramp yang direncanakan sebagai alat transportasi umum yang aksesibel. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998 tentang persyaratan teknis bangunan umum dan lingkungan (MENPU, 1998). 1) Jalur pedestrian yaitu merupakan jalur khusus bagi pejalan kaki dan dirancang sesuai kebutuhan orang untuk bergerak secara aman, nyaman, dan tidak terhalang. Adapun persyaratannya, meliputi: a) Permukaaan. Permukaaan jalan harus stabil, kuat, tahan cuaca, bertekstur halus tetapi tidak licin. Hindari sambungan/gundukan pada permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya harus tidak lebih dari 1,25 cm. Apabila menggunakan karpet, maka ujungnya harus kencang dan mempunyai trim permanen. b) Kemiringan maksimum 7° dan pada setiap jarak 9 m disarankan terdapat tempat pemberhentian untuk istirahat. c) Area istirahat terutama digunakan untuk membantu pengguna jalan penyandang disabilitas. d) Pencahayaan berkisar antara 50-150 lux, tergantung intensitas pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan kenyamanan. e) Perawatan dibutuhkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan. f) Drainase dibuat tegak lurus dengan arah jalur dimana kedalaman maksimalnya 1,5 cm, mudah dibersihkan dan letak lubang dijauhkan dari tepi ramp. 29 g) Ukuran. Lebar minimum pedestrian 120 cm untuk jalur searah dan 160 cm untuk 2 arah. Jalur ini harus bebas dari pohon, tiang rambu-rambu dan benda pelengkap yang menghalangi. Jalur pedestrian, ditunjukkan pada gambar 2.2 dan gambar 2.3. Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998 Gambar 2.2. Jalur Pedestrian 30 Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998 Gambar 2.3. Prinsip Perencanaan Jalur Pedestrian 31 2) Jalur pemandu merupakan jalur yang memandu penyandang disabilitas untuk berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan. Jalur ini terutama digunakan bagi penyandang disabilitas netra. Adapun persyaratannya: a) Tekstur ubin pengarah bermotif garis menunjukkan arah perjalanan. b) Tekstur ubin peringatan bermotif bulat menandakan perubahan situasi di sekitarnya. c) Daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (guiding blocks): didepan jalur lintas kendaraan; di daerah pintu masuk/keluar dari dan ke tangga/fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai; di pintu masuk/keluar terminal transportasi umum/area penumpang; pada pedestrian yang menghubungkan jalan dan bangunan; serta pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum terdekat. d) Pemasangan ubin tekstur untuk jalan pemandu pada pedestrian yang telah ada, perlu memperhatikan tekstur dari ubin eksisting, sehingga tidak terjadi kebingungan dalam membedakan tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan. e) Untuk membedakan warna ubin pemandu dengan lainnya, pada ubin pemandu dapat diberi warna kuning/jingga. Jalur pemandu, dipaparkan pada gambar 2.4. 32 33 34 Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998 Gambar 2.4. Jalur Pemandu 35 3) Ramp Ramp merupakan jalur landai yang berada di di depan pintu masuk suatu bangunan atau ujung pedestrian (perbatasan/persilangan antara pedestrian dengan jalan). Ramp berfungsi sebagai penghubung untuk mengakses antara jalan dengan pedestrian karena biasanya pedestrian terletak 10 cm lebih tinggi dari jalan raya. Pada sisi kanan dan kiri ramp, dilengkapi dengan handrail. Handrail merupakan pegangan tangan sepanjang ramp yang harus disediakan untuk kedua sisi ramp. Handrail disarankan untuk diperpanjang 300 mm pada tiap bagian ujungnya untuk memberikan kemudahan bagi pengguna saat naik maupun turun ramp. Handrail ini harus mudah dipegang dan tidak licin, baik berpenampang melingkar maupun horizontal dengan diameter 40-50 mm (National Disability Authority). Ramp dapat ditunjukkan pada gambar 2.5. 36 Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998 Gambar 2.5. Ramp yang Direkomendasikan 4) Anak Tangga Menurut National Disability Authority keberadaan anak tangga merupakan jalur alternatif dari ramp yang harus ada dengan perubahan ketinggian yang tidak curam. Beberapa orang, mengalami kesulitan untuk berjalan di permukaan ramp karena posisi kaki yang miring sehingga mereka lebih memilih berjalan di permukaan yang datar untuk menjangkau tempat dengan 37 ketinggian yang berbeda. Adapun dimensi ukuran anak tangga, ditunjukkan pada Gambar 2.6. Profil Anak Tangga. Sumber: National Disability Authority Gambar 2.6. Profil Anak Tangga 5) Tiang pembatas/Bollard Tiang pembatas/bollard pada pedestrian, berfungsi sebagai pembatas atau penanda perubahan kondisi lingkungan sekitar. Perubahan kondisi lingkungan ini dapat berupa batasan antara area untuk pejalan kaki/pedestrian dengan 38 jalan raya atau batasan antara pedestrian dengan selokan yang menjadi bagian dari pedestrian tersebut. Keberadaan bollard tersebut memberikan keamanan berjalan terutama bagi penyandang disabilitas netra agar dapat mewaspadai perubahan kondisi saat melewatinya. Jarak ideal antar bollard berkisar 1.200 mm berfungsi untuk memberikan ruang kenyamanan pada pejalan kaki (Department for Transport, 2013). Bollard ditujukkan pada Gambar 2.7. Tiang Pembatas/Bollard. Sumber: Transport Scotland (2010) & Murdiyanti (2012) Gambar 2.7. Tiang Pembatas/Bollard B. Penelitian yang Relevan Penelitian dengan Judul Bus Transit Accessibility for People with Reduced Mobility: The Case of Oviedo, Spain oleh Dell’Olio et al. (2007) dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi aksesibilitas transportasi publik yang dialami oleh penyandang disabilitas mobilitas. Penggunaan GIS dan software yang mudah digunakan diproduksi untuk menampilkan pilihan rute dan setiap permasalahn yang mungkin ditemui selama perjalanan. Alat ini memungkinkan perencana kota untuk menargetkan titik-titik tertentu di mana hambatan perlu dihilangkan dan rencana investasi serta perubahan yang diperlukan untuk mencapai aksesibilitas universal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif jenis studi kasus dengan metode focus group technique, observasional, dan interview. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Spanyol, shelter kurang besar, bus di kota masih mempunyai platform yang tinggi sehingga sulit untuk diakses meskipun beberapa bus kota sudah meninggikan platformnya. Langkah pemerintah untuk memfasilitasi akses penyandang disabilitas dengan cara menginformasikan jadual dan frekuensi bus menggunakan sistem jaringan, membuat design bus lebih landai, serta menggunakan peringatan perangkat akustik bagi penyandang tuna netra. 39 Penelitian pada 2013 dengan judul Accessibility of Student with Physical Disability to Washrooms in Bungoma Bus Terminus, Kenya oleh Ochien’g et al. dengan tujuan untuk mengkaji aksesibilitas siswa dengan disabilitas fisik dalam mengakses toilet di terminal utama di Bungoma dengan metode pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui kuesioner terstruktur dan jadual observasi dengan melibatkan 108 responden (3 sekolahan). Hasil: toilet yang ada sempit dan penuh hambatan sehingga responden mengalami kesulitan dalam mengakses dan menggunakan toilet karena pintu sempit, ambang batas tinggi dan tidak terdapat handrail sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak hambatan di toilet Terminal Bus Bungoma yang menghambat keamanan dan mobilitas siswa dengan disabilitas fisik. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. tahun 2013 dengan judul Pelayanan Publik Bidang Transportasi bagi Kaum Difabel di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan tujuan untuk menganalisis penyediaan pelayanan publik khususnya bidang transportasi bagi kaum difabel di DIY dan mengidentifikasi alternatif solusi yang dapat diterapkan dalam pemberian pelayanan transportasi yang adil. Jenis penelitian kualitatif dengan metode wawancara, observasi, dan data dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinas Perhubungan serta Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah di Provinsi DIY belum secara optimal dalam menyediakan pelayanan perhubungan untuk memenuhi kebutuhan kaum difabel. Hingga saat ini baru Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah menyediakan fasilitas perhubungan ramah difabel. Pemerintah kabupaten di DIY yaitu Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul belum menyediakan sarana prasarana yang mendukung aksesibilitas perhubungan bagi difabel. Pemerintah Kota Yogyakarta telah berupaya untuk mengadopsi sejumlah kebutuhan difabel dalam penyediaan pelayanan perhubungan seperti pembangunan shelter bus dan armada bus Trans Jogja yang ramah difabel, trotoar memberi kemudahan pejalan difabel, pemasangan rambu lalu lintas khusus difabel. Namun kuantitas dan kualitas penyediaan sarana dan prasarana belum memadahi. Jumlah shelter dan armada bus yang ramah difabel kurang mencukupi serta trotoar yang telah banyak beralih fungsi menjadi areal 40 parkir dan berjualan pedagang kaki lima menjadi hambatan bagi aksesibilitas difabel. Penelitian dengan judul Toll Motorway Accessibility For Wheelchair Users:A Survey oleh Prigent et al. tahun 2008 bertujuan untuk mengidentifikasi kesulitan bagi pengguna kursi roda dalam mengakses jalan raya dengan design survei dan kuesioner. Lokasi penelitian di jalan tol dan Rumah Sakit Rehabilitasi di Perancis dengan subjek penelitian sebanyak 167 pengguna kursi roda dan untuk menilai bias seleksi, sebanyak 19 pasien rawat jalan yang berturut-turut menggunakan kursi roda rumah sakit. Hasil yang diperoleh adalah pengguna kursi roda melaporkan mengalami kesulitan mengakses jalan yang sebenarnya dapat diperbaiki dengan cukup mudah. C. Kerangka Penelitian Disabilitas (fisik, dan atau mental) Impairment: • Fisik • Sensoris • Intelektual Participation restrictions Activity limitations Rendahnya aksesibilitas: keselamatan, kemudahan, kegunaan dan mandiri Rendahnya kesetaraan/per samaan kesempatan Modifikasi lingkungan Pemenuhan kebutuhan layanan publik Aksesibilitas layanan transportasi publik Gambar 2.8. Kerangka Penelitian