5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pelayanan Publik a

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pelayanan Publik
a. Definisi
Pelayanan publik merupakan layanan proses pemenuhan kebutuhan
yang disediakan oleh kelompok atau seseorang maupun birokrasi baik secara
langsung maupun tidak langsung guna memenuhi kepuasan atas pelayanan
terhadap kebutuhan masyarakat umum maupun khusus (Moenir, 2006;
Pasolong, 2007). Sedangkan Lewis dan Gilman (2005) mendefinisikan
pelayanan publik sebagai sebuah etika pelayanan publik yang berupa
pelayanan dan pengelolaan sumber daya secara jujur, efektif, efisien, adil,
serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan terhadap publik sehingga dapat
menumbuhkan rasa kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63 Tahun 2003, pengertian pelayanan publik adalah segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan
kebutuhan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara pelayanan publik
yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 63 tahun 2003 adalah Instansi Pemerintah sebagai sebutan kolektif yang
meliputi Satuan Kerja/satuan organisasi Kementerian, Departemen, Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi
Negara, dan Instansi Pemerintah lainnya, baik pusat maupun Daerah termasuk
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah. Selain itu, pengguna
jasa pelayanan publik meliputi orang, masyarakat, instansi pemerintah dan
badan hukum yang menerima layanan dari instansi pemerintah (MENPAN,
2003).
6
Menurut UU No. 25 Tahun 2009, pelayanan publik adalah kegiatan
atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik (Lembaga Negara RI, 2009).
Maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah rangkaian
kegiatan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan
publik kepada masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
untuk memenuhi segala kebutuhan publik baik berupa barang, jasa, dan/atau
pelayanan administratif.
b. Unsur Pelayanan Publik
Menurut Bharata (2004), terdapat empat unsur penting dalam proses
pelayanan publik, yaitu: 1) Penyedia layanan (provider), merupakan pihak
yang dapat memberikan layanan tertentu kepada konsumen, dapat berupa
layanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasajasa (services); 2) Penerima layanan, disebut konsumen (customer/user)
penerima berbagai layanan dari penyedia layanan; 3) Jenis layanan, yaitu
layanan yang dapat diberikan oleh penyedia layanan kepada pihak yang
membutuhkan layanan; dan 4) Kepuasan pelanggan, merupakan tujuan utama
dalam memberikan layanan. Hal ini sangat penting karena tingkat kepuasan
pelanggan biasanya sangat berkaitan dengan standar kualitas barang dan atau
jasa yang dinikmati.
c. Azas Pelayanan Publik
Menurut UU No 25 Tahun 2009, pelayanan publik harus
memperhatikan azas keadilan dan non diskriminatif. Adapun azas tersebut
meliputi: 1) Kepentingan Umum. Pemberian pelayanan berlandaskan
kepentingan umum dan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi
dan/atau golongan; 2)
Kepastian Hukum. Jaminan terwujudnya hak dan
kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan; 3) Kesamaan Hak. Pemberian
pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status
ekonomi; 4) Keseimbangan hak dan Kewajiban. Pemenuhan hak harus
sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi
7
maupun penerima pelayanan; 5) Keprofesionalan. Pelaksana pelayanan harus
memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas; 6) Partisipatif.
Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat; 7)
Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Setiap warga negara berhak
memperoleh pelayanan yang adil serta dapat dengan mudah mengakses dan
memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan; 8) Keterbukaan.
Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh
informasi mengenai pelayanan yang dibutuhkan
9) Akuntabilitas. Proses
penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 10) Fasilitas Dan
Perlakuan Khusus Bagi Kelompok Rentan. Pemberian kemudahan terhadap
kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan; 11) Ketepatan
Waktu. Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai
dengan standar pelayanan; 12) Kecepatan Kemudahan dan Keterjangkauan.
Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau
(Lembaga Negara RI, 2009).
d. Prinsip Pelayanan Publik
Prinsip-prinsip dasar dalam pelayanan publik seperti yang telah
tertuang dalam Kepmenpan No. 63 Tahun 2003 menyatakan bahwa
penyelenggaraan pelayanan publik harus memenuhi beberapa prinsip sebagai
berikut: 1) kesederhanaan, yaitu perosedur pelayanan publik bersifat tidak
berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan; 2) kejelasan. Hal
ini mencakup kejelasan dalam: a) persyaratan teknis dan administratif
pelayanan publik; b) unit kerja/pejabat berwenang dan bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan serta penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa
dalam pelaksanaan pelayanan publik; serta c) rincian biaya pelayanan publik
dan tata cara pembayaran; 3) kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik
dapat diselesaikan selama kurun waktu yang telah ditentukan; 4) akurasi.
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah; 5) keamanan.
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian
hukum;
6)
tanggung
jawab.
Pimpinan
penyelenggara
pelayanan
8
publik/pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan
publik; 7) kelengkapan sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan
prasarana, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk
penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika; 8) kemudahan
akses. Tempat, lokasi, dan sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau
oleh masyarakat, dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan
informatika; 9) kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan. Pemberi pelayanan
harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta ikhlas dalam
memberikan pelayanan; serta 10) kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus
tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan
yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan,
seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
e. Standar Pelayanan Publik
Berdasarkan
Kep.
MENPAN
No.
63
Th
2003:VB,
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan
dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan.
Standar pelayanan merupakan ukuran baku dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Adapun
standar pelayanan tersebut meliputi: 1) Prosedur pelayanan, merupakan
prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan
termasuk pengadaan; 2) Waktu penyelesaian adalah waktu penyelesaian yang
ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian
pelayanan termasuk pengaduan; 3) Biaya pelayanan yaitu biaya atau tarif
pelayanan termasuk rinciannya yang dititipkan dalam proses pemberian
pelayanan; 4) Produk Pelayanan merupakan hasil pelayanan yang akan
diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; 5) Sarana dan
prasarana adalah penyedia sarana dan prasarana pelayanan yang memadahi
oleh penyelenggara pelayanan publik; dan 6) Kompetensi petugas pemberi
pelayanan yaitu kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan
dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan
perilaku yang dibutuhkan (MENPAN, 2003).
9
Azas, prinsip, dan standar pelayanan tersebut diatas merupakan
pedoman dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi pemerintah
dan juga berfungsi sebagai indikator dalam penilaian serta evaluasi kinerja
bagi penyelenggara pelayanan publik. Dengan adanya standar dalam kegiatan
pelayanan publik ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh pelayanan
yang sesuai dengan kebutuhan, prosesnya memuaskan dan tidak menyulitkan
masyarakat.
f. Standar Pelayanan Transportasi Publik untuk Penyandang Disabilitas
Standar pelayanan transportasi publik bagi penyandang disabilitas
difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadahi
dengan tujuan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek hidup
dan penghidupannya. Adapun sarana dan prasarana tersebut harus dapat
menjamin penyandang disabilitas baik dari faktor: 1) keselamatan (bangunan
pedestrian,
shelter
dan
terminal
harus
memperhatikan
keselamatan
penggunanya); 2) kemudahan (alat transportasi publik, shelter, dan terminal
harus dapat dijangkau oleh penyandang disabilitas); 3) kegunaan (setiap
penyandang disabilitas harus dapat menggunakan bangunan umum yaitu
pedestrian, shelter dan terminal dengan baik); 4) kemandirian (setiap
penyandang disabilitas harus dapat menggunakan sarana dan prasaran
transportasi publik tanpa bantuan orang lain) (MENPAN, 2003; MENPU,
2006); dan 5) berkualitas, yaitu pelayanan transportasi publik yang diterima
dapat melebihi harapan dan memuaskan user; 6) keadilan (pelayanan
transportasi publik harus dapat memenuhi kebutuhan semua warga
masyarakat termasuk penyandang disabilitas sehingga mereka mendapatkan
hak yang sama dengan warga negara lainnya; 7) merata, dalam memberikan
pelayanan transportasi publik harus dapat menjangkau semua aspek yaitu
kebijakan dan peraturan serta perencanaan transportasi; serta 8) efektif dan
efisien (penggunaan sarana dan prasarana transportasi publik dapat digunakan
dengan cara yang tepat dan sesuai dengan sumber daya yang tersedia).
10
g. Kualitas Pelayanan Publik
Tujuan utama pelayanan publik adalah kepuasan masyarakat terhadap
suatu pelayanan (Ramsooek et al., 2010). Kualitas terbaik dapat dicapai
apabila kebutuhan, harapan dan kepuasan pelanggan terhadap pelayanan
sudah terpenuhi, serta memenuhi syarat dan standar yang telah ditentukan
(Zeithaml et al., 2003; Nasution, 2001; dan Kotler, 1994). Sedangkan
menurut LAN (2003), yang dimaksud dengan pelayanan berkualitas adalah
pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, serta
mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi
pelayanan berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani,
tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya.
Menurut Sinambela (2010) untuk mencapai kepuasan tersebut, maka dituntut
kualitas pelayanan prima yang tercermin dari adanya: 1) Transparan yaitu
pelayanan bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; 2)
Akuntabilitas. Pelayanan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) Kondisional merupakan
pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; 4)
Partisipatif. Pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan
pelayanan
publik
dengan
memperhatikan
aspirasi,
kebutuhan dan harapan masyarakat; 5) Kesamaan Hak yaitu pelayanan yang
tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras,
agama, golongan,
status
sosial,
kecacatan dan lain-lain;
serta 6)
Keseimbangan Hak dan Kewajiban yang mana dalam memberikan pelayanan
harus mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima
pelayanan publik.
Sedangkan menurut Gaspersz (2002), faktor yang harus diperhatikan
dalam memperbaiki kualitas jasa untuk mencapai tingkat kepuasan yang
optimal, meliputi: 1) Ketepatan dalam pelayanan, hal yang perlu diperhatikan
meliputi lamanya waktu tunggu, proses, dan ketentuan jam pelayanan (jam
buka dan tutup) loket layanan; 2) Akurasi pelayanan, kepastian reliabilitas
11
pelayanan dan harus diusahakan bebas dari kesalahan; 3) Kesopanan dan
keramah-tamahan dalam memberikan pelayanan terutama terhadap pelanggan
eksternal, hal ini banyak diperankan oleh mereka yang berada di front line; 4)
Tanggung jawab, berkaitan dengan penanganan komplain atau keluhan
pelanggan; 5) Kelengkapan, menyangkut ketersediaan ruang pelayanan,
sarana pendukung serta komplementer layanan lainnya; 6) Kemudahan
mendapatkan layanan, berkaitan dengan jumlah outlet, petugas, staf
administrasi dan fasilitas pendukung; 7) Variasi model layanan, berkaitan
dengan innovasi baru untuk memberikan pola-pola yang baru dalam
pelayanan, penggunaan teknologi informasi untuk memberikan layanan; 8)
Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan permintaan
khusus, atau emergensi; 9) Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan,
berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, kemudahan dalam akses,
ketersediaan informasi, petunjuk dan bentuk-bentuk lain; 10) Atribut
pendukung pelayanan lainnya, termasuk di dalamnya lingkungan sekitar,
kebersihan, fasilitas yang dapat di gunakan saat menunggu seperti air
conditioner/AC, musik atau hiburan lainnya.
Kualitas pelayanan perlu diukur berdasarkan standar kualitas
pelayanan sebagai ukuran minimun dari layanan yang harus diberikan dan
menjadi tolak ukur dalam mengukur kualitas layanan. Menurut Tjiptono
(2008), faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan (jasa), yaitu:
expected service dan perceived service. Artinya apabila pelayanan (jasa) yang
diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan
(expected service), maka kualitas pelayanan (jasa) dipersepsikan baik dan
memuaskan. Akan tetapi jika pelayanan (jasa) yang diterima melampaui
harapan pelanggan, maka kualitas pelayanan (jasa) dipersepsikan sebagai
kualitas yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan (jasa) yang di terima lebih
rendah
daripada
yang diharapkan,
maka
kualitas
pelayanan
(jasa)
dipersepsikan buruk. Maka, baik tidaknya kualitas pelayanan (jasa)
tergantung pada penyedia pelayanan (jasa) dalam memenuhi harapan
pelanggannya secara konsisten.
12
Sedangkan kualitas pelayanan yang dikembangkan oleh Parasuraman
et al. (1985) dalam Tjiptono (2008), meliputi sepuluh dimensi service quality
yang dikenal sebagai metode SERVQUAL yang meliputi: 1) Reliabilitas
(reliability), mencakup dua aspek utama, yaitu konsistensi kinerja
(performance) dan sifat terpercaya (dependability). Hal ini berarti perusahaan
mampu menyampaikan layananya secara benar sejak awal (right the first
time), memenuhi janjinya secara akurat dan andal (misalnya memberikan
layanan sesuai jadual yang disepakati). Menyimpan data (record) secara
tepat,
dan
mengirimkan
tagihan
yang
akurat;
2)
Responsivitas
(responsiveness), atau daya tanggap, yaitu kesediaan dan kesiapan para
karyawan untuk membantu dan melayani para pelanggan dengan segera.
Contoh: ketepatan waktu pelayanan, pengiriman, kecepatan menghubungi
kembali pelanggan, dan penyampaian layanan secara cepat; 3) Kompetensi
(competence), yaitu penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan agar dapat melayani sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan dan keterampilan karyawan
kontrak, pengetahuan dan keterampilan personil, dukungan operasional, dan
kapabilitas riset organisasi; 4) Akses (access), meliputi kemudahan untuk
dihubungi atau ditemui (unproachability) dan kemudahan kontak. Hal ini
berarti lokasi fasilitas layanan mudah di jangkau, waktu mengantri atau waktu
menunggu tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan mudah
dihubungi (contohnya telepon, surat, email fax, websites, dan seterusnya) dan
jam operasi nyaman; 5) Kesopanan (courtesy), meliputi sikap santun, respek,
atensi dan keramahan para karyawan; 6) Komunikasi (communication),
artinya menyampaikan informasi kepada para pelanggan dalam bahasa yang
mudah mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan
pelanggan. Termasuk di dalamnya adalah penjelasan mengenai jasa/layanan
yang ditawarkan, biaya pelayanan, trade off antara layanan dan biaya, serta
proses penanganan masalah potensial yang mungkin timbul; 7) Kredibilitas
(credibility), yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup
nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakter pribadi karyawan, dan
interaksi dengan pelanggan; 8) Keamanan (security), yaitu bebas dari bahaya,
13
resiko dan keragu-raguan. Termasuk di dalamnya adalah keamanan secara
fisik (physical safeety), keamanan financial (financial security), privasi dan
kerahasiaan
(confidentiality);
9)
Kemampuan
memahami
pelanggan
(understanding the costumer), yaitu berupaya memahami pelanggan dan
kebutuhan spesifik mereka, memberikan perhatian individual, dan mengenal
pelanggan reguler; serta 10) Bukti fisik (tangible) meliputi penampilan
fasilitas fisik, peralatan dan personel pemberi jasa.
Kesepuluh dimensi tersebut oleh Zeithaml et al. (1990) dirangkum
dalam 5 dimensi pokok, yaitu: 1) Tangible (bukti fisik) merupakan hal yang
berkaitan dengan fasilitas fisik, peralatan, tekhnologi dan penampilan dari
personal pemberi jasa; 2) Reliability (keandalan) adalah kemauan pihak
pemberi layanan/jasa dalam menyediakan/ memberikan apa yang dijanjikan
kepada penerima jasa/pelanggan secara akurat dan meyakinkan; 3)
Responsiveness (ketanggapan), hal ini berkaitan dengan tanggung jawab dan
keinginan untuk memberikan jasa yang prima, membantu penerima
jasa/pelanggan apabila menghadapi masalah yang berkaitan dengan jasa yang
diberikan, kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan yang
cepat, tepat serta tanggap terhadap keinginan pelanggan; 4) Assurance
(jaminan) yaitu mencakup pengetahuan, kemampuan kesopanan, dan sifat
yang dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko dan
keragu-raguan; dan 5) Empathy (empati) meliputi kemudahan dalam
melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan
memahami kebutuhan pelanggan. Sedangkan kelompok dimensi competence,
courtesy, credibility dan security menjadi dimensi assurance dan dimensi
access, communication dan understanding the costumer menjadi dimensi
empathy. Hubungan antar dimensi tersebut dapat dicermati pada Tabel 2.1.
14
Tabel 2.1. Correspondence between Servqual Dimentions and Original
Ten Dimention for Evaluating Service Quality
Original
Ten Tangibles
Reliability
Dimentions for
Evaluating
Service Quality
Tangibles
Reliability
Responsiveness
Competence
Courtesy
Credibility
Security
Access
Communication
Understanding
the Costumer
Sumber: Zeithaml et al. (1990)
Responsiveness
Assurance
empathy
Pengukuran kualitas pelayanan (SERVQUAL) berawal dari adanya
kesenjangan/gap dalam pelayanan (Zeithaml et al., 1990), yang terdiri dari: 1)
GAP antara persepsi manajemen dan ekspektasi pelanggan (Customer
Expectation-management perceptin gap): Gap 1 terjadi apabila terdapat
perbedaan antara harapan konsumen dengan apa yang dipersepsikan
manajemen terhadap harapan kosumen. Misalnya harapan kosumen adalah
mendapatkan pelayanan yang terbaik, meskipun harganya mahal tidak
menjadi masalah. Sebaliknya manajemen mempunyai persepsi bahwa
konsumen mengharapkan harga yang murah meskipun kualitasnya agak
rendah; 2)
Gap antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas
layanan, (management,s perception–Service Quality specification Gap): Gap
2 Manajemen memahami apa yang diinginkan oleh konsumen, tetapi tidak
dapat menetapkan standar mutu yang jelas yang dapat merealisasikan harapan
pelanggan; 3) Gap antara spesifikasi kualitas jasa penyelenggaraan pelayanan
(service quqlity specification–service delivery gap): Gap 3 Gap ini lahir jika
pelayanan yang diberikan berbeda dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang
telah dirumuskan; 4) Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternalKomunikasi Pasar (delivery external comunication gap): Gap 4 Harapan
pelanggan dipengaruhi oleh janji yang dibuat penyedia jasa/layanan baik yang
disampaikan secara langsung maupun melalui iklan. Faktanya sering sekali
janji yang diberikan tidak direalisasikan degan tepat atau tidak terpenuhi, hal
15
ini tentu akan mengecewakan pelanggan; 5) Gap antara pelayanan yang
dirasakan dengan Pelayanan yang diharapkan-Gap kualitas pelayanan
(perceived service-expected service gap): Gap 5 terjadi karena pelayanan
yang diharapkan oleh konsumen tidak sama dengan pelayanan yang
senyatanya diterima atau dirasakan oleh konsumen.
h. Kualitas Pelayanan Transportasi Publik bagi Penyandang Disabilitas
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa kualitas pelayanan transportasi publik bagi penyandang
disabilitas harus dapat memenuhi kriteria: 1) kondisional di mana pelayanan
transportasi publik yang diberikan harus sesuai dengan kondisi dan
kemampuan provider dan user secara efektif dan efisien; 2) kesamaan hak
yaitu pelayanan transportasi publik harus dapat diakses oleh semua warga
masyarakat termasuk penyandang disabilitas; 3) kelengkapan, terkait dengan
ketersediaan ruang yang memadahi serta rambu-rambu yang sesuai; 4)
kemudahan mendapatkan layanan, meliputi jumlah dan design bus, shelter,
pedestrian, dan terminal, petugas pemberi layanan dan fasilitas pendukung
lainnya; 5) kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan
lokasi shelter, ukuran shelter yang aksesibel, kemudahan dalam akses, dan
ketersediaan informasi/petunjuk rute armada yang jelas; 6) keamanan yaitu
bebas dari resiko jatuh/tergelincir akibat dari design arsitektural yang ada; 7)
kemampuan memahami pelanggan, merupakan kemampuan petugas dalam
memahami dan melayani user sesuai kebutuhan spesifik mereka; 8)
ketanggapan
yaitu
tanggung
jawab
dan
keinginan
provider
untuk
menyediakan pelayanan transportasi publik yang prima membantu user
apabila menghadapi masalah yang berkaitan dengan jasa yang diberikan,
kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan yang cepat, tepat
serta tanggap terhadap keinginan pelanggan (Gaspersz, 2002; Parasuraman et
al., 1985 dalam Tjiptono, 2008; Sinambela, 2010).
16
i. Hambatan dalam Mewujudkan Kualitas Pelayanan yang Baik
Hambatan
dalam
menciptakan
manajemen
yang
berkualitas
merupakan kendala yang muncul dan dihadapi dalam sebuah sistem
pelayanan. Menurut Sinambela (2008), memaparkan bahwa terdapat beberapa
hambatan dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Adapun
hambatan tersebut, meliputi: 1) ketiadaaan komitmen dari manajemen; 2)
ketiadaan pengetahuan dan kurangnya pemahaman tentang manajemen
kualitas bagi aparatur yang bertugas melayani; 3) ketidakmampuan aparatur
dalam mengubah kultur yang mempengaruhi kualitas manajemen kualitas
pelanggan; 4) ketidaktepatan perencanaan manajemen kualitas yang dijadikan
pedoman dalam pelayanan pelanggan; 5) belum dioptimalkannya pendidikan
dan pelatihan yang berkelanjutan; 6) ketidakmampuan membangun learning
organization, learning by the individuals dalam organisasi; 7) ketidaksesuaian
antara struktur organisasi dengan kebutuhan; 8) ketidakcukupan dana dan
sumber daya; 9) ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi
karyawan; 10) ketidaktepatan mengadopsi prinsip manajemen kualitas ke
dalam organisasi; 11) ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada
pelanggan, baik internal maupun eksternal; dan 12) ketidaktepatan dalam
pemberdayaan dan kerja sama.
2. Penyandang Disabilitas
a. Pengertian Disabilitas
The International Classification of Functioning, Disability and
Health/ICF tidak membedakan antara jenis/tipe dan penyebab kecacatan baik
itu fisik dan atau mental akan tetapi dipandang sebagai “Kondisi Kesehatan”
yang merupakan penyakit, cedera, dan gangguan. Sedangkan yang disebut
sebagai gangguan, adalah terjadinya penurunan pada fungsi dan struktur
tubuh tertentu sehingga sering diidentifikasikan sebagai gejala/tanda-tanda
kondisi kesehatan (WHO, 2001). Menurut The International Classification of
Functioning, Disability and Health/ICF menyatakan bahwa disabilitas
(disablement) mengacu pada kesulitan dalam area fungsional seseorang yang
dipandang secara holistik serta muncul dari hubungan interaksi antara faktor
kontekstual, lingkungan dan personal (Hemmingsson and Jonsson, 2005).
17
Disabilitas meliputi aspek impairments, activity limitations, dan
participation
restrictions.
Impairments
merupakan
penurunan
atau
ketidaknormalan struktur dan fungsi tubuh baik fisik dan atau mental (contoh:
paralisis, kebutaan, dan gangguan mental). Activity limitations diartikan
sebagai dampak impairment yang mengakibatkan keterbatasan/kesulitan pada
individu untuk beraktivitas normal, sebagai contohnya meliputi area
produktifitas, perawatan diri dan pengisian waktu luang (leissure). Sedangkan
participation restrictions adalah keterbatasan individu dalam melakukan
peran/partisipasinya di dalam masyarakat sebagai dampak dari impairment
dan activity limitations yang dialaminya (contoh: mengalami diskriminasi
dalam mendapatkan pekerjaan dan transportasi) (Hemmingsson and Jonsson,
2005; Imrie, 2004; Schneidert et al., 2003; Simeonsson et al., 2003).
Komponen keterbatasan yang mempengaruhi peran/partisipasi di masyarakat
dapat disebabkan karena: 1) faktor personal (terkait dengan fungsi dan
struktur tubuh), contoh: motivasi, harga diri, konsep diri, dll. Faktor ini belum
dikonseptualisasikan/diklasifikasikan lebih detail. Akan tetapi, secara lebih
lanjut perbedaan
kapasitas
seseorang penyandang disabilitas
dalam
melakukan aktivitas kehidupannya dapat difasilitasi dengan adanya
modifikasi lingkungan (Hurst, 2003; Imrie, 2004; Ueda and Okawa, 2003)
dan 2) faktor lingkungan, hal ini menggambarkan perbedaan tingkat fungsi
serta peran seseorang dimana dia harus hidup dan beraktivitas. Faktor ini
dapat berupa fasilitator atau hambatan bagi seseorang untuk melakukan
peran/partisipasinya
di
masyarakat.
Contoh:
produk
dan
teknologi;
lingkungan alam dan arsitektur bangunan; dukungan, hubungan, sikap dan
layanan yang tersedia; sistem serta kebijakan yang diterapkan (Hurst, 2003;
Nordenfelt, 2003; Schneidert et al., 2003). Hubungan tersebut, dapat
ditunjukkan pada gambar 2.2 Interaction between the components of the
International Classification of Functioning, Disability and Health.
18
Gambar 2.1 Interaction between the components of the International
Classification of Functioning, Disability and Health
(WHO, 2001)
Sedangkan
Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
1997
tentang
Penyandang Cacat menjelaskan bahwa penyandang disabilitas/difabel adalah
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan
aktivitas kehidupannya. Penyandang cacat ini terdiri dari: (1) penyandang
cacat fisik: tuna netra (hambatan penglihatan), tuna rungu (hambatan
pendengaran dan bicara), serta tuna daksa (cacat tubuh seperti mengalami
polio dan gangguan gerak); (2) penyandang cacat mental: tuna grahita
(keterbelakangan mental), tuna laras (mengalami gangguan emosi dan
sosialisasi), dan autis (mengalami gangguan interaksi, komunikasi dan
perilaku yang berulang-ulang dan terbatas); serta (3) penyandang cacat fisik
dan mental: tuna ganda (mengalami lebih dari satu hambatan) (Lembaga
Negara RI, 1997; Kementerian Kesehatan RI, 2014). Menurut Rahayu et al.
(2013), adapun jenis gangguan yang menyebabkan seseorang menjadi
disabilitas adalah: tuna netra (buta), tuna wicara (bisu), tuna rungu (tuli), tuna
daksa (cacat tubuh), tuna grahita (cacat mental) dan tuna ganda (komplikasi
antara dua atau lebih bentuk kecacatan).
19
b. Karakteristik dan Derajat Disabilitas
Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (2005), disabilitas
dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik dan derajat disabilitasnya.
Adapun karakteristik dari masing-masing gangguan, adalah sebagai berikut:
1) Fisik/daksa
Karakteristik
penyandang
disabilitas
daksa,
meliputi:
a)
Terbatasnya mobilitas (gerak); b) Hilangnya/tidak berfungsinya tangan
atau kaki, ringan pada salah satu bagian; c) Hilangnya/tidak berfungsinya
dua tagan atas siku; d) Hilang/tidak berfungsinya dua kaki atas lutut dan
dua tangan atas siku; e) Cerebral palsy ringan; serta f) Layuh salah satu
kaki, tangan/kaki bengkok dan sebagainya.
Adapun derajat disabilitas daksa, dibagi menjadi: a) Disabilitas
tubuh ringan. Adalah mereka yang menyandang disabilitas tubuh dimana
kebutuhan aktivitas hidup sehari-harinya tidak memerlukan pertolongan
orang lain; b) Disabilitas tubuh sedang. Orang yang menyandang
disabilitas tubuh, dimana kebutuhan aktivitas hidup sehari-harinya harus
dilatih terlebih dahulu sehingga untuk seterusnya dapat dilakukan tanpa
pertolongan orang lain, dan c) Disabilitas tubuh berat. Seseorang yang
untuk kebutuhan aktivitas hidup sehari-harinya selalu memerlukan
pertolongan orang lain.
2) Netra
Karakteristik disabilitas netra yang merupakan stereotip yaitu
perilaku yang terbentuk karena adanya keinginan diri untuk bergerak.
Gerakan tersebut meliputi: menggerakkan badan ke depan dan belakang;
meletakkan kepalan atau jari ke mata; mengayunkan jari di depan mata;
berputar-putar dengan cepat; serta menundukkan kepala dalam-dalam.
Adapun karakteristik khusus penyandang disabilitas netra, meliputi: a)
pada umumnya gerakan tubuh mereka kurang seimbang karena mereka
tidak memiliki gambaran tentang posisi tubuh yang benar, contoh: posisi
kepala miring, jalan diseret, dll; b) kurang/tidak memahami (sensitif)
terhadap kebutuhan orang lain, karena mereka tidak dapat memodifikasi
sikap mereka dalam merespon yang terlibat pada ekspresi wajah, gerakan
20
tubuh, gerakan bola mata, dan gerakan non verbal lainnya; serta c)
penyandang disabilitas netra yang telah sukses beradaptasi dengan
lingkungan, pada umumnya memiliki kemampuan dalam mengingat.
Derajat disabilitas netra diklasifikasikan berdasar perbedaan
kemampuan melihat dibandingkan mata normal (pada jarak 200 kaki).
Klasifikasi ini terdiri dari: a) 20/200-legal blindness. Kemampuan melihat
suatu benda pada jarak 20 kaki, sedangkan kemampuan mata normal pada
jarak 200 kaki. Maka seseorang dengan kemampuan ketajaman
penglihatan 20/200 kaki berhak menerima bantuan alat penglihatan; b)
5/200 – 10/200 - travel vision. Kemampun untuk melihat suatu benda pada
jarak 5 - 10 kaki; c) 3/200 - 5/200 – motion perception. Kemampuan
untuk melihat suatu benda pada jarak 3 – 5 kaki, sementara seseorang
dengan ketajaman mata normal dapat melihat pada jarak 200 kaki; d)
kurang dari 3/200 – light perception (low vision). Kemampuan untuk
membedakan sinar yang kuat pada jarak 3 kaki dari mata, akan tetap tidak
mempunyai kemampuan untuk mendeteksi gerakan tangan pada jarak yang
sama; dan e) bermasalah dalam mempersepsikan visual – buta total.
Seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui/membedakan
adanya sinar yang kuat yang ada langsung di depan matanya.
3) Rungu dan wicara
Karakteristik pada disabilitas ini, terdiri dari: a) pada waktu
berbicara, tidak jelas kata/kalimat yang diucapkan; b) pada waktu
berbicara diikuti dengan gerakan anggota badan seperti kepala, tangan,
bibir, dll yang melambangkan isyarat; c) sulit memahami ucapan orang
lain kecuali dengan melihat gerakan bibir/tangan.
Disabilitas rungu wicara diklasifikasikan menjadi: a) disabilitas
rungu total yaitu seseorang yang kehilangan pendengaran 90 desibel (db)
atau lebih dan b) kurang dengar yaitu seseorang yang kehilangan
pendengaran kurang dari 90 db. Golongan ini dibedakan menjadi: a)
kurang dengar ringan, kehilangan kemampuan mendengar pada 30 – 50
db; b) kurang dengar sedang adalah kehilangan pendengaran pada 51 – 70
21
db; dan c) kurang dengar berat, yaitu kehilangan kemampuan pendengaran
pada 71 – 90 db.
4) Intelektual/mental retardasi
Karakteristik disabilitas intelektual meliputi: 1) kecerdasan sangat
terbatas (IQ di bawah 70); 2) mengalami ketidakmampuan sosial, yaitu
tidak mampu mengurus diri sendiri sehingga sebagian selalu memerlukan
bantuan orang lain; 3) keterbatasan terhadap minat pada hal-hal tertentu
dan sederhana; 4) perhatian labil dan mudah berpindah-pindah; 5)
memiliki daya ingat lemah terutama pada aspek sekolastik; 6) keterbatasan
dan minimnya emosi yang dimiliki, contohnya ada perasaan senang, takut,
marah, benci, dan terkejut; 7) apatis, acuh tak acuh terhadap sekitarnya; 8)
mengalami kelainan tubuh, terutama pada kategori disabilitas berat; serta
9) mempunyai kelainan tubuh khusus (typologi mongolisme/down
syndrome).
Derajat disabilitas intelektual, dapat digolongkan menjadi: a)
mental retardasi ringan (mild, moron, debil); b) mental retardasi sedang
(moderate); dan c) mental retardasi berat (severe). Adapun penggolongan
disabilitas intelektual berdasarkan kebutuhan pelayanan rehabilitasi,
diklasifikasikan menjadi: a) tidak mampu latih (untrainable), yaitu
kelompok yang memerlukan perawatan, pengawasan, dan pengurusan
secara terus menerus dari orang lain. Jika ditinjau dari tingkat intelegensi,
termasuk dalam kategori idiomasi/imbisil berat sehingga tidak mungkin
untuk mendapatkan pelayanan yang bersifat bimbingan rehabilitatif; b)
mampu latih (trainable), adalah mereka yang dapat menerima dan
mengikuti program latihan praktis/sederhana serta dapat mengambil
manfaat dari pelatihan yang diperolehnya. Pada umumnya tergolong dalam
imbisil ringan; serta c) mampu didik (educable), mereka yang dapat
mengikuti dan menerima program bimbingan/pelatihan yang bersifat
teoritik maupun praktik serta dapat memanfaatkannya. Pada umumnya
tergolong debilitas.
22
c. Kebijakan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
UUD 1945 dan peraturan perundang undangan sangat jelas mengatur
tentang landasan kebijakan untuk peningkatan kualitas hidup penyandang
disabilitas didasarkan pada prinsip kesetaraan/persamaan kesempatan dan
partisipasi dalam berbagai aspek kehidupan khususnya terkait dengan
aksesibilitas, rehabilitasi, kesempatan kerja, kesehatan dan pendidikan. Dalam
UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan bahwa “seluruh warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”, artinya bahwa ada
persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa membedakan kondisi fisik.
Pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa, “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Artinya pemerintah berkewajiban menyediakan aksesibilitas pelayanan umum
yang memadahi bagi masyarakat. Sebagai implementasi nyata, yaitu dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Firdaus
dan Iswahyudi, 2010).
Hak
yang
harus
diperoleh
penyandang
disabilitas
termasuk
aksesibilitas pelayanan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
Pasal 6 yang mana disebutkan bahwa setiap penyandang cacat berhak
memperoleh: (1) Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan; (2) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis
dan derajat kecatatan, pendidikan, dan kemampuannya; (3) Perlakuan yang
sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasilnya; (4)
Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) Rehabilitasi bantuan sosial
dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) Hak yang sama untuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat (Lembaga Negara RI, 1997).
Adapun
pengaturan
aksesibilitas
pelayanan
bagi
penyandang
disabilitas diatur dalam Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1998 tentang
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Hal ini
mengatur tentang kesamaan keempatan dalam kewajiban, hak dan peran
23
penyandang disabilitas terhadap kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki
(Lembaga Negara RI, 1998).
Kebijakan Pemkot Surakarta mengenai penyandang disabilitas,
ditatarkan dalam Perda Kota Surakarta No 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan
Warga Difabel. Perda ini mencakup pelayanan hak penyandang disbilitas
dalam hal aksesibilitas fisik, rehabilitasi, pendidikan, kesempatan kerja, peran
serta dalam pembangunan, dan bantuan sosial. Adapun aksesibilitas fisik
meliputi pelayanan yang terkait dengan perencanaan dan peruntukan
pembangunan kawasan kota serta fasilitas publik dengan berpedoman pada
penetapan standarisasi aksesibilitas fisik sesuai ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku (Pemkot Surakarta, 2008).
d. Hambatan Arsitektural
Menurut Tarsidi (2008), hambatan yang dialami oleh penyandang
disabilitas disebabkan oleh design arsitektural. Hambatan tersebut dibagi
berdasarkan jenis kecacatan utama seperti kecacatan fisik, kecacatan sensoris
dan kecacatan intelektual. Tabel 2.2 memaparkan hambatan arsitektural yang
dihadapi penyandang disabilitas.
24
Tabel 2.2. Hambatan Arsitektural bagi Penyandang Disabilitas
Kategori Disabilitas
Fisik
Sensoris
Intelektual
Hambatan
• Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak
seperti pada tangga atau parit.
• Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar.
• Tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja/wastapel.
• Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan
koridor yang terlalu sempit.
• Permukaan jalan yang renjul (misalnya karena adanya
bebatuan) menghambat jalannya kursi roda.
• Pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka.
• Tombol-tombol yang terlalu tinggi letaknya.
• Tangga yang terlalu tinggi.
• Lantai yang terlalu licin.
• Bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang menutup
secara otomatis.
• Pintu lift yang menutup terlalu cepat.
• Tangga berjalan tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat.
Tunanetra:
• Tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar
atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan
nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat.
• Rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke
luar atau papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki.
• Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup.
• Lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan
bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk
menunjukkan nomor lantai.
Tunarungu:
Tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman
melalui pengeras suara di bandara atau terminal angkutan
umum. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di
auditorium dengan pencahayaan yang buruk, dan mereka
mungkin tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya.
Para penyandang kecacatan intelektual akan mengalami
kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana
tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku
Sumber: Tarsidi (2008)
e. Aksesibilitas
Istilah 'aksesibilitas' terkait dengan pemberian akses yang sama
untuk semua orang dalam mengakses fasilitas dan jasa tanpa membedakan
antara orang normal dengan penyandang disabilitas (United Nations, 2007).
Inefisiensi aksesibilitas bangunan terutama di terminal dan angkutan umum
telah menimbulkan keterbatasan gerak bagi penyandang disabilitas sehingga
mengakibatkan hambatan yang signifikan dalam partisipasinya di masyarakat.
Dimana cara paling sederhana untuk meningkatkan penggunaan fasilitas
transportasi publik adalah dengan membentuk lingkungan yang aman, mudah,
dan nyaman bagi pejalan kaki (Soltani et al., 2012; Henry, 2009; Griffin,
25
2000). Sedangkan menurut Aljanzouri (2014), aksesibilitas merupakan
potensi interaksi/peluang untuk mendapatkan barang, jasa, kegiatan dan
tujuan secara bersama-sama secara mudah. Aksesibilitas memuat dua hal,
pertama terkait dengan kebijakan dan peraturan yang dapat menciptakan
hambatan untuk penyandang disabilitas. Hal ini mungkin merupakan
peraturan/kebijakan diskriminatif yang masih menimbulkan hambatan baik
sengaja maupun tidak sengaja bagi penyandang cacat. Contoh: melarang
penumpang disabilitas melakukan perjalanan dengan alat transportasi publik,
karena dianggap menyulitkan dan sulitnya mengevakuasi mereka dalam
keadaan darurat; atau peraturan ketenagakerjaan yang mensyaratkan “kondisi
normal” bagi pencari kerja sehingga menghambat penyandang disabilitas
untuk mendapatkan pekerjaan. Arti aksesibilitas yang kedua tentang
perencanaan transportasi, hal ini menggambarkan waktu/biaya yang
diperlukan untuk mencapai tempat tujuan (Malhotra and Jalil, 2010).
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Pekerjaan
Umum
No
30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan, menyatakan bahwa aksesibilitas
merupakan kemudahan yang disediakan untuk semua orang termasuk
penyandang disabilitas dan lansia dengan tujuan untuk mewujudkan
kesamaan kesempatan dalam segala aspek hidup dan penghidupan. Dalam
keputusan ini juga membahas mengenai azas aksesibilitas yang digunakan
sebagai pedoman dasar penyedia akses sarana dan prasarana, yang meliputi:
1) keselamatan. Semua bangunan umum di suatu lingkungan harus
memperhatikan keselamatan penggunanya; 2) kemudahan. Setiap orang dapat
menjangkau semua tempat/bangunan umum dalam suatu lingkungan; 3)
kegunaan. Setiap orang harus dapat menggunakan semua bangunan umum di
suatu lingkungan; dan 4) kemandirian. Setiap orang harus dapat mencapai,
masuk, dan menggunakan semua tempat/bangunan umum di suatu lingkungan
tanpa bantuan orang lain (MENPU, 2006).
Selain itu, Menteri Perhubungan juga menerbitkan Keputusan Menteri
Perhubungan No KM 71 Tahun 1998 tentang aksesibilitas penyandang cacat
dan orang sakit pada sarana dan prasarana perhubungan (MENHUB, 1998).
26
Pasal 5 pada Surat Keputusan ini membahas fasilitas pelayanan bagi
penyandang disabilitas dan orang sakit pada sarana angkutan jalan,
diantaranya:
1) Sarana angkutan jalan harus dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan
khusus yang diperlukan dan memenuhi syarat untuk memberikan
pelayanan bagi penumpang disabilitas dan orang sakit.
2) Fasilitas dan pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
terdiri dari: (a) Ruangan dirancang dan disediakan secara khusus untuk
penyandang cacat dan orang sakit guna mempermudah bergerak dan (b)
Tersedia alat bantu untuk naik turun dari dan ke sarana pengangkut.
3) Pengendara tuna rungu/cacat kaki/tangan dalam berlalu lintas di jalan
wajib diberi tanda khusus pada kendaraannya agar dapat lebih dikenal oleh
pemakai jalan yang lain.
Sedangkan Pasal 6 pada Kepmen ini menegaskan persyaratan yang harus
ada pada fasilitas angkutan umum, khususnya angkutan jalan meliputi:
1) Penyelenggara/pengelola prasarana angkutan jalan wajib menyediakan
fasilitas yang diperlukan dan memberikan pelayanan khusus bagi
penyandang disabilitas dan orang sakit.
2) Fasilitas dalam pelayanan khusus sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1),
yaitu:
a) Kondisi keluar masuk terminal harus landai
b) Kondisi peturasan yang dapat dimanfaatkan penyandang disabilitas dan
orang sakit secara mandiri
c) Pengadaan jalur khusus akses keluar masuk terminal
d) Konstruksi tempat pemberhentian kendaraan umum yang sejajar dengan
permukaan pintu masuk kendaraan umum
e) Pemberian kemudahan dalam pembelian tiket
f) Pada terminal angkutan umum dilengkapi papan informasi tentang daftar
trayek angkutan jalan dilengkapi rekaman petunjuk yang dapat
dibunyikan apabila dibutuhkan (atau terdapat tulisan dengan huruf
braille)
27
g) Pada tempat pemberhentian kendaraan umum dapat dilengkapi dengan
daftar trayek dilengkapi rekaman yang dapat dibunyikan apabila
dibutuhkan (atau terdapat tulisan dengan huruf braille)
h) Pada tempat penyeberangan jalan yang dikendalikan dengan alat pemberi
isyarat lalu lintas yang sering dilalui oleh penyandang disabilitas netra,
dapat dilengkapi dengan alat pemberi isyarat bunyi pada saat alat
pemberi syarat untuk pejalan kaki berwarna hijau/merah
i) Tersedia ruang yang dirancang dan disediakan secara khusus untuk
penyandang disabilitas dan orang sakit guna mempermudah dalam
bergerak.
f. Permasalahan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas
Permasalahan aksesibilitas yang dihadapi oleh penyandang disabilitas
berdasarkan jenis disabilitasnya menurut Dirjen Bina Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (2005), adalah:
1) Disabilitas fisik/tuna daksa: a) terbatasnya ruang yang dipergunakan
untuk sarana aksesibilitas; b) bervariasinya jenis disabilitas pada tuna
daksa: (1) belum tersedia aksesibilitas pada fasilitas publik, seperti:
stasiun kereta api, terminal bus/shelter, kantor pemerintah maupun swasta,
rumah sakit, panti sosial dll; (2) belum tersedianya aksesibilitas pada
sarana transportasi umum seperti kereta api, bus, pesawat, dan lain-lain
serta (3) belum optimalnya penyediaan aksesibilitas pada lingkungan
balai/panti rehabilitasi sosial sesuai kebutuhannya.
2) Disabilitas sensorik (tuna netra): a) konstruksi bangunan yang bermacammacam sehingga membahayakan tuna netra dan belum semua bangunan
menyediakan aksesibilitas sesuai standar; b) banyaknya
saluran
pembuangan air/selokan yang terbuka; c) belum tersedianya penunjuk
berupa huruf braille pada setiap tempat; d) penempatan tiang listrik dan
telepon dan lainnya yang membahayakan bagi tuna netra; e) konstruksi
pedestrian yang belum seragam dan tidak semuanya menyediakan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas netra.
3) Disabilitas sensorik (tuna rungu-wicara): a) kurang tersedianya simbolsimbol isyarat di tempat umum; b) sarana komunikasi/telepon yang
28
menggunakan kode cahaya; c) pelaksanaan sistem isyarat Bahasa
Indonesia dalam teknologi informatika dan komunikasi sesuai dengan
perkembangan; serta d) masih terbatasnya organisasi sosial yang
menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi penyandang
disabilitas rungu wicara.
g. Ketentuan Aksesibilitas Penyediaan Sarana Prasarana Angkutan Umum
Sarana prasarana bagi pengguna angkutan umum meliputi jalur
pedestrian, shelter, bus dan ramp yang direncanakan sebagai alat transportasi
umum
yang
aksesibel.
Keputusan
Menteri
Pekerjaan
Umum
No
441/KPTS/1998 tentang persyaratan teknis bangunan umum dan lingkungan
(MENPU, 1998).
1) Jalur pedestrian yaitu merupakan jalur khusus bagi pejalan kaki dan
dirancang sesuai kebutuhan orang untuk bergerak secara aman, nyaman,
dan tidak terhalang. Adapun persyaratannya, meliputi:
a) Permukaaan. Permukaaan jalan harus stabil, kuat, tahan cuaca,
bertekstur halus tetapi tidak licin. Hindari sambungan/gundukan pada
permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya harus tidak lebih dari
1,25 cm. Apabila menggunakan karpet, maka ujungnya harus kencang
dan mempunyai trim permanen.
b) Kemiringan maksimum 7° dan pada setiap jarak 9 m disarankan
terdapat tempat pemberhentian untuk istirahat.
c) Area istirahat terutama digunakan untuk membantu pengguna jalan
penyandang disabilitas.
d) Pencahayaan berkisar antara 50-150 lux, tergantung intensitas
pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan kenyamanan.
e) Perawatan dibutuhkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kecelakaan.
f) Drainase dibuat tegak lurus dengan arah jalur dimana kedalaman
maksimalnya 1,5 cm, mudah dibersihkan dan letak lubang dijauhkan
dari tepi ramp.
29
g) Ukuran. Lebar minimum pedestrian 120 cm untuk jalur searah dan 160
cm untuk 2 arah. Jalur ini harus bebas dari pohon, tiang rambu-rambu
dan benda pelengkap yang menghalangi.
Jalur pedestrian, ditunjukkan pada gambar 2.2 dan gambar 2.3.
Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998
Gambar 2.2. Jalur Pedestrian
30
Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998
Gambar 2.3. Prinsip Perencanaan Jalur Pedestrian
31
2) Jalur pemandu merupakan jalur yang memandu penyandang disabilitas
untuk berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin
peringatan. Jalur ini terutama digunakan bagi penyandang disabilitas netra.
Adapun persyaratannya:
a) Tekstur ubin pengarah bermotif garis menunjukkan arah perjalanan.
b) Tekstur ubin peringatan bermotif bulat menandakan perubahan situasi
di sekitarnya.
c) Daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (guiding
blocks): didepan jalur lintas kendaraan; di daerah pintu masuk/keluar
dari dan ke tangga/fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian
lantai; di pintu masuk/keluar terminal transportasi umum/area
penumpang; pada pedestrian yang menghubungkan jalan dan bangunan;
serta pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi
umum terdekat.
d) Pemasangan ubin tekstur untuk jalan pemandu pada pedestrian yang
telah ada, perlu memperhatikan tekstur dari ubin eksisting, sehingga
tidak terjadi kebingungan dalam membedakan tekstur ubin pengarah
dan ubin peringatan.
e) Untuk membedakan warna ubin pemandu dengan lainnya, pada ubin
pemandu dapat diberi warna kuning/jingga.
Jalur pemandu, dipaparkan pada gambar 2.4.
32
33
34
Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998
Gambar 2.4. Jalur Pemandu
35
3) Ramp
Ramp merupakan jalur landai yang berada di di depan pintu masuk suatu
bangunan atau ujung pedestrian (perbatasan/persilangan antara pedestrian
dengan jalan). Ramp berfungsi sebagai penghubung untuk mengakses antara
jalan dengan pedestrian karena biasanya pedestrian terletak 10 cm lebih tinggi
dari jalan raya. Pada sisi kanan dan kiri ramp, dilengkapi dengan handrail.
Handrail merupakan pegangan tangan sepanjang ramp yang harus disediakan
untuk kedua sisi ramp. Handrail disarankan untuk diperpanjang 300 mm pada
tiap bagian ujungnya untuk memberikan kemudahan bagi pengguna saat naik
maupun turun ramp. Handrail ini harus mudah dipegang dan tidak licin, baik
berpenampang melingkar maupun horizontal dengan diameter 40-50 mm
(National Disability Authority). Ramp dapat ditunjukkan pada gambar 2.5.
36
Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No 441/KPTS/1998
Gambar 2.5. Ramp yang Direkomendasikan
4) Anak Tangga
Menurut National Disability Authority keberadaan anak tangga merupakan
jalur alternatif dari ramp yang harus ada dengan perubahan ketinggian yang
tidak curam. Beberapa orang, mengalami kesulitan untuk berjalan di
permukaan ramp karena posisi kaki yang miring sehingga mereka lebih
memilih berjalan di permukaan yang datar untuk menjangkau tempat dengan
37
ketinggian yang berbeda. Adapun dimensi ukuran anak tangga, ditunjukkan
pada Gambar 2.6. Profil Anak Tangga.
Sumber: National
Disability Authority
Gambar 2.6. Profil Anak Tangga
5) Tiang pembatas/Bollard
Tiang pembatas/bollard pada pedestrian, berfungsi sebagai pembatas atau
penanda perubahan kondisi lingkungan sekitar. Perubahan kondisi lingkungan
ini dapat berupa batasan antara area untuk pejalan kaki/pedestrian dengan
38
jalan raya atau batasan antara pedestrian dengan selokan yang menjadi bagian
dari pedestrian tersebut. Keberadaan bollard tersebut memberikan keamanan
berjalan terutama bagi penyandang disabilitas netra agar dapat mewaspadai
perubahan kondisi saat melewatinya. Jarak ideal antar bollard berkisar 1.200
mm berfungsi untuk memberikan ruang kenyamanan pada pejalan kaki
(Department for Transport, 2013). Bollard ditujukkan pada Gambar 2.7.
Tiang Pembatas/Bollard.
Sumber: Transport Scotland (2010) & Murdiyanti (2012)
Gambar 2.7. Tiang Pembatas/Bollard
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian dengan Judul Bus Transit Accessibility for People with
Reduced Mobility: The Case of Oviedo, Spain oleh Dell’Olio et al. (2007)
dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi aksesibilitas
transportasi publik yang dialami oleh penyandang disabilitas mobilitas.
Penggunaan GIS dan software yang mudah digunakan diproduksi untuk
menampilkan pilihan rute dan setiap permasalahn yang mungkin ditemui selama
perjalanan. Alat ini memungkinkan perencana kota untuk menargetkan titik-titik
tertentu di mana hambatan perlu dihilangkan dan rencana investasi serta
perubahan yang diperlukan untuk mencapai aksesibilitas universal. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif jenis studi kasus dengan metode focus group
technique, observasional, dan interview. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di
Spanyol, shelter kurang besar, bus di kota masih mempunyai platform yang
tinggi sehingga sulit untuk diakses meskipun beberapa bus kota sudah
meninggikan platformnya. Langkah pemerintah untuk memfasilitasi akses
penyandang disabilitas dengan cara menginformasikan jadual dan frekuensi bus
menggunakan sistem jaringan, membuat design bus lebih landai, serta
menggunakan peringatan perangkat akustik bagi penyandang tuna netra.
39
Penelitian pada 2013 dengan judul Accessibility of Student with Physical
Disability to Washrooms in Bungoma Bus Terminus, Kenya oleh Ochien’g et al.
dengan tujuan untuk mengkaji aksesibilitas siswa dengan disabilitas fisik dalam
mengakses toilet di terminal utama di Bungoma dengan metode pendekatan
studi kasus. Data dikumpulkan melalui kuesioner terstruktur dan jadual
observasi dengan melibatkan 108 responden (3 sekolahan). Hasil: toilet yang ada
sempit dan penuh hambatan sehingga responden mengalami kesulitan dalam
mengakses dan menggunakan toilet karena pintu sempit, ambang batas tinggi
dan tidak terdapat handrail sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak
hambatan di toilet Terminal Bus Bungoma yang menghambat keamanan dan
mobilitas siswa dengan disabilitas fisik.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. tahun 2013 dengan judul
Pelayanan Publik Bidang Transportasi bagi Kaum Difabel di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan tujuan untuk menganalisis penyediaan
pelayanan publik khususnya bidang transportasi bagi kaum difabel di DIY dan
mengidentifikasi alternatif solusi yang dapat diterapkan dalam pemberian
pelayanan transportasi yang adil. Jenis penelitian kualitatif dengan metode
wawancara, observasi, dan data dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Dinas Perhubungan serta Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah di
Provinsi DIY belum secara optimal dalam menyediakan pelayanan perhubungan
untuk memenuhi kebutuhan kaum difabel. Hingga saat ini baru Pemerintah Kota
Yogyakarta yang telah menyediakan fasilitas perhubungan ramah difabel.
Pemerintah kabupaten di DIY yaitu Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunung
Kidul belum menyediakan sarana prasarana yang mendukung aksesibilitas
perhubungan bagi difabel. Pemerintah Kota Yogyakarta telah berupaya untuk
mengadopsi sejumlah kebutuhan
difabel dalam
penyediaan
pelayanan
perhubungan seperti pembangunan shelter bus dan armada bus Trans Jogja yang
ramah difabel, trotoar memberi kemudahan pejalan difabel, pemasangan rambu
lalu lintas khusus difabel. Namun kuantitas dan kualitas penyediaan sarana dan
prasarana belum memadahi. Jumlah shelter dan armada bus yang ramah difabel
kurang mencukupi serta trotoar yang telah banyak beralih fungsi menjadi areal
40
parkir dan berjualan pedagang kaki lima menjadi hambatan bagi aksesibilitas
difabel.
Penelitian dengan judul Toll Motorway Accessibility For Wheelchair
Users:A Survey oleh Prigent et al. tahun 2008 bertujuan untuk mengidentifikasi
kesulitan bagi pengguna kursi roda dalam mengakses jalan raya dengan design
survei dan kuesioner. Lokasi penelitian di jalan tol dan Rumah Sakit Rehabilitasi
di Perancis dengan subjek penelitian sebanyak 167 pengguna kursi roda dan
untuk menilai bias seleksi, sebanyak 19 pasien rawat jalan yang berturut-turut
menggunakan kursi roda rumah sakit. Hasil yang diperoleh adalah pengguna
kursi roda melaporkan mengalami kesulitan mengakses jalan yang sebenarnya
dapat diperbaiki dengan cukup mudah.
C. Kerangka Penelitian
Disabilitas
(fisik, dan atau mental)
Impairment:
• Fisik
• Sensoris
• Intelektual
Participation
restrictions
Activity limitations
Rendahnya aksesibilitas:
keselamatan, kemudahan,
kegunaan dan mandiri
Rendahnya
kesetaraan/per
samaan kesempatan
Modifikasi
lingkungan
Pemenuhan kebutuhan
layanan publik
Aksesibilitas layanan
transportasi publik
Gambar 2.8. Kerangka Penelitian
Download