tugas etika bisnis - 01211021 NOVIAN KRISTIANTO

advertisement
TUGAS ETIKA BISNIS
Oleh
NOVIAN KRISTIANTO
NIM: 01211021
PRODI: Manajemen
Dosen : Hj. IGA Aju Nitya Dharmani, SST, SE.MM
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN PEMASARAN
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
2014
BAB I
BISNIS DAN ETIKA DALAM BISNIS
1.1
Bisnis dan Etika Dalam Dunia Modern
1. Tiga aspek pokok dari bisnis
Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut
mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain ada faktor organisatorismanajerial, ilmiah-teknologis, dan politik-sosisl-kultural. Semua faktor yang membentuk
kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan dianalisis melalui
pelbagai
pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen.
Ada baiknya kita mulai dengan mempelajari kasus atau situasi bisnis konkret,
supaya di situ bias tampak tiga sudut pandang berbeda yang ingin kita fokuskan.
Kasus 1 : Industri kimia
Marc Jones, usia 42 tahun, sudah selama 15 tahun bekerja untuk Krimsons Corporatiaon,
sebuah perusahaan yang memproduksi bahan kimia yang berbahaya. Karena dedikasinya
kepada perusahaan selama itub terlalu besar, Jones dipromosikan menjadi manajer
sebuah unit produksi yang penting.
Setelah tiga minggu bertugas, ia dipanggil oleh manajer kepala, Kevin Lombard, karena
yang terakhir ini merasa kurang puas dengan prestasi Jones. Ia mengeluh karena sejak
Jones mengambil alih tugas dari pendahunya irama produksi di unitnya menurun dengan
cukup mencolok. Lombard menegaskan bahwa keadaan itu tidak bias diterima. Jones
diberi pesan : “Tingkatkan laju produksi, minimal samapai taraf sebelumnya”.
Jones tentu kaget karena teguran yang tidak disangka-sangka itu. Ia menyelidiki
masalahnya dan menemukan bahwa pendahulunya hanya dapat mencapai laju produksi
setinggi itu, karena ia tidak teliti dalam menerapkan aturan-aturan keamanan. Jones
menyadari bahwa dengan cara kerja pendalunya mengambil risiko besar, baik untuk
karyawan perusahaan maupun untuk lingkungan hidup di sekitar pabrik. Namun
pendahulunya itu mujur. Selama ia bertugas tidak terjadi kecelakaan yang berarti.
Beberapa peristiwa kecil dapat diatasinya sendiri, sehingga bias disembunyikan untuk
dunia luar.
Jones melaprkan hal itu kepada bosnya. Ia yakin, dengan demikian bertindak demi
kepentingan perusahaan. Betapa besar keheranan Jones, ketika mendengar jawaban
Lombard : “saya tidak bias memperhatika detail-detail” dan “bagaimanapun, saudara
harus sanggup mempertahankan tingkat produksi sebelumnya”. Lagi pula, Lombard
mulai meragukan apakah Jones itu orang yang tepat untuk job baru tersebut. “Bukankah
saudara terlalu melebih-lebihkan? Saudara bersikap pengecut dengan membayangbayangkan khayalan yang kurang realitis. Dulu tidak pernah ada masalah”.
(Sumber: J. Verstraeten/J. Van Gerwen, Business en Ethiek, Tielt (Belgium), Lannoo,
1990, hlm. 15)
1. Sudut pandang ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukarmenukar,
jual-beli,
memproduksi-memasarkan,
bekerja-mempekerjakan,
dan
interaksi manusiawi lainnya, dengan maksud memperoleh untung. Dalam bisnis
modern untung itu diekspresikan dalam bentuk uang, tetapi hal itu tidak hakiki untuk
bisnis. Tetapi perlu segera dutambahkan, pencarian keuntungan dalam bisnis tidak
bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi. Bisnis bukanlah karya amal. Karena
itu bisa timbul salah paham, jika kita mengatakan, bisnis merupakan suatu aktivitas
sosial. Kata “sosial” di sini tidak dimaksudkan dalam arti “suka membantu orang
lain”, sebagaimana sering dimengerti dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam
konteks populer. Bisnis justru tidak mempunyai sifat membantu orang dengan
sepihak, tanpa mengharapkan sesuatu kembali.
Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam sistem ekonomi pasar bebas para
pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya yang langka (tenaga kerja, bahan
mentah, informasi/pengetahuan, modal) menghasilkan barang dan jasa yang berguna
untuk masyarakat. Para produsen akan berusaha untuk meningkatkan penjualan
demikian rupa, sehingga hasil bersih akan mengimbangi atau malah melebihi biaya
produksi. Jika kompetisi pada pasar bebas berfungsi dengan semestinya, akan
menyusul efisiensi ekonomis, artinya hasil maksimal akan dicapai dengan
pengeluaran minimal. Efisiensi merupakan kata kunci dalam ekonomi modern. Untuk
mencapai tujuan itu para ekonom telah mengembangkan pelbagai teknik dan kiat.
Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah bisnis
yang membawa banyak untung. Orang bisnis selalu akan berusaha membuat bisnis
yang baik (dalam arti itu). Dapat dimengerti bila manajer kepala dalam kasus 1
(Industri kimia) ingin mempertahankan produktivitas perusahaan selama itu.
Perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan kimia lainnya. Jika produktivitas
menurun, biaya produksi akan bertambah, sehingga harga produknya perlu dinaikkan.
Tetapi dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing. Akibat tingkat produksi cenderung
menurun, perusahaan bisa memasuki daerah “angka merah”, fenomena yang sangat
ditakuti setiap manajer. Karena itu, masuk akal saja, bila manajer kepala, Kevin
Lombard, menuntut agar unit produksi yang dipimpin Marc Jones secara minimal
akan mempertahankan tingkat produktivitasnya yang sama seperti di bawah pimpinan
pendahulunya.
2. Sudut pandang moral
Dengan tetap mengakui peranan sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis,
perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain lagi yang tidak boleh diabaikan,
yaitu sudut pandang moral. Dalam kasus 1 (Industri Kimia) memang sangat hakiki
agar perusahaan kimia berhasil mempertahankan produktivitasnya. Namun demikian,
dapat ditanyakan lagi apakah produktivitas boleh dipertahankan dengan segala cara.
Para manajer pabrik memikul tanggung jawab besar, bila terjadi kecelakaan yang
menewaskan para pekerja, merugikan kesehatan pekerja dan masyarakat di sekitar
pabrik, atau merusak lingkungan. Jadi, ada batasnya juga dalam mewujudkan tujuan
perusahaan. Di samping aspek ekonomi dari bisnis, di sini tampak aspek lain : aspek
moral. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Sebaliknya,
menghormati kepentingan dan hak orang orang lain harus dilakukan juga demi
kepentingan bisnis itu sendiri. Bila pada suatu hari terjadi kecelakaan besar dalam
industry kimia, perusahaan bersangkutan itu sendiri bisa mengalami kerugiaan besar.
Dan yang dialaminya bukan saja kerugiaan materiil, tetapi nama baiknya jatuh juga
karena ternyata lalai dalam memperhatikan keselamatan para pekerja dan kebersihan
lingkungan. Bisnis yang etis tidak membawa kerugiaan bagi bisnis itu sendiri,
terutama kalau dilihat dalam perspektif jangka panjang. Bisnis yang baik adalah juga
bisnis yang baik secara moral.
3. Sudut pandang hukum
Dalam kasus 1 (Perusahaan kimia) harus kita membedakan aspek moral dari aspek
hukum. Memang dikatakan, pendahulu Jones “tidak teliti dalam menerapkan aturanaturan keamanan”. Tidak begitu jelas apakah dengan itu dimaksudkan aturan hukum
atau aturan intern perusahaan. Kalaupun dimaksudkan peraturan hukum yang resmi,
perilakunya tidak menjadi jelek hanya karena melanggar peraturan hukum. Terlepas
dari konteks hukum, manajer tidak boleh mengambil keputusan yang membahayakan
karyawan atau lingkungan hidup. Melakukan hal seperti itu harus dianggap tidak etis.
Tetapi sebaiknya hal ini diatur menurut hukum juga. Kepentingan umum minta agar
dalam industri penuh risiko seperti industri kimia menjadi jelas standar yang berlaku
dan pelaksanaannya dikontrol dengan ketat.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus menaati hukum dan
peraturan yang berlaku. Tetapi sudut pandang hukum itu tidak cukup. Perlu diakui
lagi adanya sudut pandang lain, yaitu sudut pandang moral. Tidak semua hal yang
pantas dilakukan atau tidak pantas dilakukan perlu diatur atau malah bisa diatur
menurut hukum. Di samping hukum, kita membutuhakan etika juga. Kita
membutuhkan norma moral yang menetapkan apa yang etis atau tidak etis dilakukan.
Bahkan harus digarisbawahi, pada taraf normatif etika mendahului hukum. Misainya,
kewajiban itu sendiri mematuhi hukum berasal dari sudut pandang moral.
4. Tolok ukur untuk sudut pandang ini
Lebih sulit untuk menentukan baik tidaknya bisnis dari sudut pandang moral. Apa
yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau
tingkah laku? Setidak-tidaknya dapat disebut tiga macam tolok ukur yaitu :
a. Hati nurani
Suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu
perbuatan lain adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati
nurani.
Dalam kasus kasus 1 (Industri kimia) rupanya Marc Jones ingin bertindak
menurut hati nuraninya. Apakah atasannya, Kevin Lombard, juga mengikuti
tuntutan hati nuraninya? Apakah menurut hati nurani ia bisa membiarkan risiko
besar bagi anak buahnya dan lingkungan hidup, demi meningkatkan
produktivitasnya?
Sebagaimana ditunjukkan oleh kasus serupa ini, dalam dunia bisnis hati nurani
mudah dininabobokan oleh keinginan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Kita tidak pernah bisa melihat ke dalam hati nurani seseorang. Dan orang
beragama tidak jarang bersedia saja mengambil risiko akan disiksa dalam neraka
di akhirat (atau bertaruh akan menerima pengampunan Tuhan pada akhir
hidupnya), jika ia berhadapan dengan kesempatan memperoleh keuntungan besar,
kendatipun dengan cara yang tidak halal. Hati nurani memang merupakan norma
moral yang penting, tetapi sifatnya subyektif, sehingga tidak terbuka untuk orang
lain. Pertanyaan apakah hati nurani mengizinkan atau tidak, hanya bisa dijawab
oleh orang yang bersangkutan.
Karena alasan-alasan ini hati nurani sebagai norma moral seringkali sulit dipakai
dalam forum umum dan harus dilengkapi dengan norma-norma lain. Salah satu
contoh konkret adalah pengakuan hak kekayaan intelektual.
b. Kaidah emas
Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah
mengukurnya dengan kaidah emas yang berbunyi : “Hendaklah memperlakukan
orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”. Perilaku saya bisa
dianggap secara moral baik, bila saya memperlakukan orang tertentu sebagaimana
saya sendiri ingin diperlakukan. Mengapa begitu? Karena saya (dan setiap orang)
tentu menginginkan agar saya diperlakukan dengan baik. Nah, saya harus
memperlakukan orang lain dengan cara demikian pula. Kalau begitu, saya
berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral).
Kaidah emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun negatif. Tadi
diberikan perumusan positif. Bila dirumuskan secara negatif, kaidah emas
berbunyi : “Janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang anda sendiri tidak
ingin akan dilakukan terhadap diri Anda”. Saya kurang konsisten dalam tingkah
laku saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau
akan dilakukan terhadap saya sendiri. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara
tidak baik (dari sudut pandang moral).
Seandainya, Kevin Lombard dalam kasus 1 (Industri kimia) menjadi pekerja biasa
di pabrik kimia itu, apakah ia akan setuju bila atasannya membiarkan risiko besar
bagi keselamatannya?
c. Penilaian umum
Cara ketiga dan barangkali ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu
perbuatan atau perilaku adalalah menyerahkannya kepada masyarakat umum
untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga “audit sosial”. Di sini perlu digarisbawahi
secara khusus pentingnya kata “umum”. Tidak cukup, bila suatu masyarakat
terbatas menilai kualitas etis suatu perbuatan atau perilaku.
Sebagai contoh sering disebut praktek-praktek korupsi. Di banyak negara maju,
seperti Amerika Serikat atau Jerman, korupsi ditolak dengan tegas dan dinilai
tidak etis. Sedangkan di banyak negara berkembang korupsi merajalela dan
dianggap sebagian dari bisnis normal. Alasannya, praktek-praktek korupsi tidak
pernah transparan. Biaya tambahan akibat korupsi adalah “biaya siluman”.
Praktek-praktek seperti pungli, uang pelican, komisi tidak resmi, dan sebagainya,
selalu disembunyikan terhadap “audit sosial”.
Audit sosial sebagai tolok ukur moral justru menunjukkan bahwa tidak ada negara
atau kebudayaan apapun yang menerima korupsi sebagai sesuatu yang baik atau
bahkan netral secara moral.
2. Apa itu etika bisnis?
Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu
pula “etika bisnis” bisa berbeda artinya. Untuk menganalisis arti-arti “etika” adalah
membedakan antara “etika sebagai praksis” dan “etika sebagai refleksi”.
Etika sebagai praksis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh
dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipratekkan. Dapat
dikatakan juga, etika sebagai praksis adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau
tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita
berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan
atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik
buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada taraf populer
maupun ilmiah.
3. Perkembangan etika bisnis
Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari
sorotan etika. Aktivitas perniagaan selalu berurusan dengan etika, artinya selalu harus
mempertimbangkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Etika bisnis dalam arti khusus ini untuk pertama kali timbul di Amerika Serikat
dalam tahun 1970-an dan agak cepat meluas ke kawasan dunia lainnya.
1. Situasi dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain
menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama
dalam negara dan dalam konteks itu mereka membahas juga bagaimana
kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
Dengan demikian di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20 etika
dalam bisnis terutama dipraktekkan dalam konteks agama dan teologi. Suatu
contoh bagus khusus untuk Amerika Serikat adalah dokumen pastoral yang
dikeluarkan oleh para uskup Amerika Serikat dengan judul Ekonomi Justice
for All Catholic Social Teaching and the U.S Ekonomy (1986).
2. Masa peralihan: tahun 1960-an
Dalam tahun 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dilihat sebagai
persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade berikutnya.
Dasawarsa 1960-an ini di Amerika Serikat (dan dunia Barat pada umumnya)
ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa
(mulai di ibukota Prancis bulan Mei 1968), penolakan terhadap establishment
(kemapanan).
Dunia pendidikan menanggapi situasi ini dengan cara berbeda-beda. Salah
satu reaksi paling penting adalah memberi perhatian khusus kepada social
issues dalam kuliah manajemen. Salah satu topik yang menjadi populer dalam
konteks itu adalah corporate social responsibility (tanggung jawab sosial
perusahaan).
3. Etika bisnis lahir di Amerika Serikat: 1970-an
Etika bisnis sebagai suatu bidang intelektual dan akademis dengan identitas
sendiri mulai terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Terutama ada
dua faktor yang memberi kontribusi besar kepada kelahiran etika bisnis di
Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an: sejumlah filsuf mulai
terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis sekitar bisnis, dan etika
bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang
meliputi dunia bisnis di Amrika Serikat.
Pantas dicatat lagi, dalam mengembangkan etika bisnis para filsuf cenderung
bekerja sama dengan ahli-ahli lain, khususnya ahli ekonomi dan manajemen.
Norman E. Bowie malah menyebut suatu kerja sama macam itu sebagai
tanggal kelahiran etika bisnis, yaitu konferensi perdana tentang etika bisnis
yang diselenggarakan di Universitas Kansas oleh Philosophy Departement
(Richard De George) bersama College of Business (Joseph Pichler) bulan
November 1974.
Faktor kedua yang memacu timbulnya etika bisnis sebagai suatu bidang studi
yang serius adalah krisis moral yang dialami dunia bisnis Amerika pada awal
tahun 1970-an. Sekitar tahun 1970 masih berlangsung demontrasi-demontrasi
besar melawan keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam. Karena
perkembangan perang ini, banyak orang mulai meragukan kredibilitas
pemerintah federal di Washington dan para politisi pada umumnya.
Sebagian sebagai reaksi atas terjadinya peristiwa-peristiwa tidak etis ini pada
awal tahun 1970-an dalam kalangan pendidikan Amerika dirasakan kebutuhan
akan refleksi etika di bidang bisnis. Salah satu usaha khusus adalah
menjadikan etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum perguruan
tinggi yang mendidik manajer dan ahli ekonomi.
4. Etika bisnis meluas ke Eropa: tahun 1980-an
Mula-mula di Inggris yang secara geografis maupun kultural paling dekat
dengan Amerika Serikat, tetapi tidak lama kemudian juga di negara-negara
Eropa Barat lainnya. Pada tahun 1983 diangkat professor etika bisnis pertama
di suatu universitas Eropa (universitas Nijenrode, Belanda).
Pada tahun 1987 didirikan European Business Ethics Network (EBEN) yang
bertujuan menjadi forum pertemuan antara antara akademisi dari universitas
serta sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional
dan internasional.
5. Etika bisnis menjadi fenomena global: tahun 1990-an
Dalam dekade 1990-an sudah menjadi jelas, etika bisnis tidak terbatas lagi
pada dunia barat. Tidak mengherankan , bila etika bisnis mendapat perhatian
khusus di negara yang memiliki ekonomi paling kuat di luar dunia barat:
Jepang. Yang pertama aktif di sana adalah Institute of Moralogy yang
bermukim pada Universitas Reitaku di Kashiwa-Shi, pinggiran kota
metropolitan Tokyo. Di India, etika bisnis terutama dipratekkan oleh
Management Center for Human Values yang didirikan tahun 1992. Juga di
Hongkong selama beberapa tahun terakhir ini etika bisnis mendapat perhatian
khusus, yang tentu tidak terlepas dari perubahan status kekuasaan yang
berlangsung di sana tahun 1997.
Tanda global lain bagi sifat global etika bisnis adalah didirikannya
International Society for Business, Ecnomics, and Ethics (ISBEE).
4. Faktor sejarah dan budaya dalam etika bisnis
Orang yang terjun dalam kegiatan bisnis, menurut penilaian sekarang
menyibukkan diri dengan suatu pekerjaan terhormat, apalagi ia berhasil menjadi
pebisnis yang sukses.
Jika kita mempelajari sejarah, dan khususnya sejarah dunia barat, sikap positif ini
tidak selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Pedagang tidak mempunyai
nama baik dalam masyarakat barat di masa lampau.
Di sini tentu tidak mungkin mempelajari seluruh perkembangan historis dari sikap
terhadap bisnis ini. Tetapi kiranya hal itu sudah cukup untuk memperlihatkan bahwa
pandangan etis tentang perdagangan dan bisnis berkaitan erat dengan faktor sejarah
dan budaya.
1. Kebudayaan Yunani kuno
Masyarakat Yunani kuno pada umumnya berprasangka terhadap kegiatan
dagang dan kekayaan. Warga negara yang bebas seharusnya mencurahkan
perhatian dan waktunya untuk kesenian dan ilmu pengetahuan (filsafat), di
samping tentu memberi sumbangsih kepada pengurusan negara dan kalau
keadaan mendesak turut membela negara. Pada filsuf Plato (427-347 SM) hal
itu tampak dengan jelas dalam karya terakhirnya yang berjudul UndangUndang. Menurut Plato, negara yang ideal adalah negara agraris yang sedapat
mungkin berdikari, sehingga perdagangan hampir tidak perlu. Perdagangan
mempertebal keserakahan manusia. Yang paling berharga bagi manusia
adalah keutamaan dan bukan kekayaan duniawi.
Penolakan terhadap perdagangan dan kekakayaan diberi dasar lebih teoritis
oleh Aristoteles (384-322 SM). Dalam karyanya Politica ia menilai sebagai
tidak etis setiap kegiatan menambah kekayaan. Ia membedakan antara
oikonomike tekhne dan khrematistike tekhne: kegiatan ekonomi dan kegiatan
krematistik. Yang satu itu dinilai etis, sedangkan yang lain ditolak karena
menyalahi batas etika.
2. Agama Kristen
Dalam kitab suci Kristen terdapat cukup banyak teks yang bernada kritis
terhadap kekayaan dan uang, dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Dalam seluru alkitab, orang kaya diminta membuka hatinya untuk kaum
miskin.
Dalam Alkitab itu sendiri perdagangan tidak ditolak sebagai kurang etis. Akan
tetapi, karena perdagangan merupakan salah satu jalan biasa menuju
kekayaan, dapat dimengerti juga kalau pada permulaan sejarah Gereja Kristen
perdagangan dipandang syak wasangka. Dalam kalangan Kristiani pada
zaman kuno dan abad pertengahan, profesi pedagang sering dinilai kurang
pantas. Augustinus (354-430) sudah menegaskan: “seorang pedagang
barangkali bisa berkelakuan tanpa dosa, tapi tidak mungkin ia berkenan di hati
Tuhan”. Dengan kata lain, pekerjaan seorang pedagang paling-paling netral
saja dari sudut pandang moral, tapi tidak pernah bisa menjadi sesuatu yang
sungguh-sungguh baik.
Dalam tahun pertama dari majalah Business Ethics Quaterly berlangsung
polemik antara David Vogel dan Thomas McMahon tentang pandangan
Kristen zaman kuno dan abad pertengahan mengenai perdagangan. Vogel
berpendapat bahwa dalam periode Kristiani sebelum Reformasi bisnis
dianggap tidak etis atau sekurang-kurangnya sangat dicurigakan. McMahon
menganggap pendapat ini terlalu berat sebelah dan mengemukakan banyak
teks dari periode pra-Reformasi dimana tampak sikap lebih kontruktif
terhadap kegiatan bisnis. Menilai hasil diskusi ini, rupanya kita simpulkan
bahwa masalah pandangan Kristen pra-Reformasi tentang perdagangan perlu
didekati dengan nuansa yang seperlunya. Perlu diakui Vogel, dengan adanya
Reformasi timbul juga suatu sikap lebih positif terhadap perdagangan. Dalam
pandangan Protestan, memperoleh untung dengan berdagang dinilai sebagai
pertanda berkat Tuhan atas kerja keras orang beriman.
3. Agama Islam
Sepatah kata perlu ditambah tentang masalah riba dalam pandangan Islam,
sebuah persoalan yang jelas berkaitan dengan etika ekonomi. Pertama-tama
perlu ditekankan bahwa masalah ini tidak terbatas pada agama Islam saja.
Boleh dikatakan, pengambilan riba dilarang dalam seluruh dunia barat yang
pra-modern. Aristoteles menolak riba, seperti yang sudah kita lihat, demikian
hukum Roma (Ius Romanum) dalam kekaisaran Roma.
Karena itu suatu percobaan untuk keluar dari masalah moral ini adalah
membedakan antara riba dan bunga uang (bahasa Inggris usury dan interest;
bahasa Belanda woeker dan rente). Orang yang menyetujui pembedaan ini
adalah pakar ekonomi Indonesia yang besar, Mohammad Hatta, dalam tulisan
yang berjudul “Islam dan rente”. Riba dilarang, karena menyengsarakan orang
yang dalam keadaan susah. Rente adalah imbalan untuk pinjaman yang
digunakan untuk usaha produktif. Riba sama dengan pemerasan, rente bersifat
businesslike.
Dalam kalangan Islam dewasa ini tidak semua orang bisa menerima
pembedaan antara riba dan bunga uang ini, sehingga pandangan tentang
masalah moral ini menjadi berbeda.
4. Kebudayaan Jawa
Dipandang menurut spektrum budaya, tidak semua suku bangsa di Indonesia
memperlihatkan minat dan bakat yang sama di bidang perdagangan. Orang
Minang, umpanya, terkenal karena tekun dalam usaha dagang dan sanggup
mencatat sukses. Jika Clifford Geertz pada tahun 1950-an menyelidiki struktur
sosial kota Jawa Timur yang disebutnya Modjokuto (nama samara unuk Pare),
ia menemukan di situ empat golongan: priyayi, para pedagang pribumi (wong
dagang), orang kecil yang bekerja sebagai buruh tani atau tukang (wong cilik),
orang Tionghoa (wong Cina) yang hampir semua bekerja di bidang
perdagangan.
Perbedaan yang dilukiskan tadi kadang-kadang bergema dalam pengalaman
orang jawa modern. Seorang pengusaha terkenal, asal Jawa, umpamanya,
mengaku kepada wartawan asing:”Ayah selalu menegaskan kepadaku bahwa
bisnis adalah kegiatan untuk kelas bawah. Ia ingin aku akan bekerja di
pemerintahan”.
5. Sikap modern dewasa ini
Tetapi dengan menerima sistem ekonomi pasar bebas yang dipelopori oleh
Adam Smith tidak semua masalah etika hilang dengan sendirinya. Sesudah
komunisme Uni Soviet runtuh pada akhir tahun 1980-an, sistem ekonomi
pasar bebas mencapai taraf globalisasi. Di banyak negara sebagian besar
Produk Domestik Bruto dikuasai oleh sejumlah kecil konglomerat dan
korporasi multinasional.
Dalam konteks internasional pasti lebih sulit menciptakan tatanan ekonomi
yang adil. Dan banyak orang meragukan apakah hal itu sungguh mungkin
tercapai. Namun, kalau tuntutan etika dianggap serius, tidak ada jalan lain
daripada usahakan saja. Tantangan besar untuk organisasi seperti WTO.
Kritik atas etika bisnis
1. Etika bisnis mendiskriminasi
Inti keberatan Drucker ialah bahwa etika bisnis menjalankan semacam
diskriminasi. Mengapa dunia bisnis harus dibebankan secara khusus
dengan etika? Hanya ada satu etika yang berlaku untuk perbuatan semua
orang, penguasa atau rakyat jelata, kaya atau miskin, yang kuat dan yang
lemah. Tetapi etika bisnis tidak setuju. Mereka mengukur bisnis dengan
standar etis lebih ketat daripada bidang-bidang lain.
2. Etika bisnis itu kontradiktif
Dengan nada sinis mereka bertanya: masa mau memikirkan etika dalam
menjalankan bisnis! Etika bisnis mengandung suatu kontradiksi. Dunia
bisnis itu ibarat rimba raya dimana tidak ada tempat untuk etika.
3. Etika bisnis tidak praktis
Keberatan bahwa etika bisnis (sebagai ilmu) kurang paraktis lebih sering
terdengar dan Stark bukan orang yang menyinggung masalah ini. Etika
yang tidak melayani tujuan itu rupanya oleh stark dinilai kurang praktis.
4. Etikawan tidak bisa mengambil alih tanggung jawab
Seluruh kritikan ini juga berdasarkan salah paham. Etika bisnis sama
sekali tidak bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis dari para
pebisnis, para manajer, atau pelaku moral lain di bidang bisnis. Etika
bisnis atau cabang etika terapan lainnya tidak berpretensi memiliki
keahliaan yang sama sifatnya seperti banyak keahliaan lainnya.
Download