bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepercayaan Diri
2.1.1 Definisi
Kepercayaan diri yang di definisikan oleh Hakim (dalam Widiyanti, 2012)
merupakan suatu keyakinan terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan
keyakinan tersebut membuat merasa mampu untuk bias mencapai berbagai tujuan dalam
hidupnya.
Sedangkan menurut Slameto (2003), kepercayaan diri merupakan suatu
kepercayaan mengenai keadaan dirinya yang tumbuh dari interaksi seseorang dengan
orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya. Sependapat dengan hal tersebut,
Putri, dkk (2013) menjelaskan, kepercayaan diri merupakan konsep diri yang positif
yang timbul dari dalam diri seseorang akibat interaksi dengan orang lain.
Rasa percaya diri menurut Lauster (dalam siska, dkk, 2003) bukan merupakan
sifat yang diturunkan (bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat
diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan, sehingga upaya-upaya tertentu dapat
dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri, dengan demikian
kepercayaaan diri terbentuk dan berkembang melalui proses belajar di dalam interaksi
seseorang dengan lingkungannya.
Dapat penulis simpulkan bahwa kepercayaan diri merupakan pemikiran positif
akan kemampuan yang dimiliki oleh individu, yang dapat dikembangkan melalui
interaksi dengan lingkungannya.
2.1.2 Karakteristik Kepercayaan Diri
Anak yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi adalah: yakin kepada diri
sendiri, tidak bergantung pada orang lain, tidak ragu-ragu, merasa diri berharga, tidak
menyombongkan diri, dan memiliki keberanian untuk bertindak (Nirwana, 2013).
7
8
Sebaliknya, anak yang mempunyai atau sering berkelakuan buruk di rumah maupun di
sekolah dan sering mengalami depresi mencerminkan kurangnya rasa percaya diri,
sebab, kurangnya rasa percaya diri bisa berakibat serius pada cara berpikir anak, seperti
tidak menghargai diri sendiri, dan tidak sanggup mengatasi masalah dalam hidupnya,
dalam arti lain anak yang kurang percaya diri seringkali mempunyai pemikiran negative
(Nirwana, 2013).
Lauster (dalam siska, dkk, 2003), mengungkapkan ciri-ciri orang yang percaya
diri adalah: mandiri, tidak mementingkan diri sendiri, cukup toleran, ambisius, optimis,
tidak pemalu, yakin dengan pendapatnya sendiri dan tidak berlebihan.
Anak yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi akan merasa nyaman
dengan dirinya sendiri, cenderung mengetahui potensi pada dirinya, dapat bersosialisasi
dan berkomunikasi dengan baik (Adywibowo, 2010). Sebaliknya menjelaskan bahwa
jika kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi, maka anak akan merasa diabaikan, tersisih,
merasa tidak pantas mendapat perhatian, dan pemalu (Adywibowo, 2010).
Menurut Suhardita (2011), sikap seseorang yang menunjukan dirinya tidak
percaya diri antara lain:
•
Keragu-raguan
•
Mudah cemas
•
Tidak punya inisiatif
•
Tidak yakin
•
Cenderung menghindar
•
Mudah patah semangat
•
Tidak berani tampil di depan orang banyak
2.1.3 Faktor yang Dapat Mendukung Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman hidup dan berhubungan dengan
kemampuan melakukan sesuatu dengan baik. Dengan kepercayaan diri yang baik
seseorang akan dapat mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada dalam dirinya
(Suhardita, 2011).
9
Dalam kehidupan awal anak, keluarga dan sekolah adalah lingkungan yang
mempunyai peran besar dalam pembentukan kepercayaan diri, dalam pembentukkan dan
mempertahankan kepercayaan diri anak membutuhkan waktu yang tidak singkat dan
tidak mudah pula (Adywibowo, 2010). Rachmawati dan Kurniati (2010) menjelaskan
bahwa kepercayaan diri anak dapat diperoleh dari lingkungan sekitar anak terutama
orangtua dan guru melalui sikap penerimaan dan menghargai.
Terdapat beberapa cara untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada anak
(Nirwana, 2013), antara lain:
1. Orangtua harus menjadi contoh yang baik.
Anak merupakan pengamat kritis yang tidak segan mencontoh tingkah laku dan
sikap orangtuanya, oleh karena itu sebaiknya orangtua lebih berhati-hati dalam
bersikap saat sedang memcahkan masalah atau ketika dalam keadaan stres.
2. Memberikan pujian terhadap kerja keras anak.
Memberi pujian kepada anak sebaiknya tidak hanya ketika anak mencapai suatu
preatasi atau juara saja, namun hargailah dan berikanlah support dan semangat
kepada anak setiap kerja keras anak meskipun anak tidak mendapatkan prestasi
atau juara, dengan begitu anak akan merasa lebih dihargai. Selain itu, usahakan
orangtua tidak membandingkan anak dengan orang lain, sebaiknya orangtua
mencoba untuk berpihak pada kekurangan dan kelebihan anak.
3. Pandai memilih kata-kata.
Seringkali orangtua menunjukkan kekecewaan pada anak dengan melontarkan
kata-kata kasar, namun sebetulnya hal tersebut membuat kepercayaan diri anak
menurun dan merasa tidak dihargai. Oleh karena itu sebaiknya orangtua
menggunakan kata-kata yang halus seperti sebuah nasehat atau memberikan
kepercayaan pada anak kalau kedepannya akan semakin baik.
4. Meluruskan kesalahan persepsi.
Tidak jarang anak mengeluhkan kekurangannya atau merasa tidak sanggup,
disini orangtua sebaiknya membantu anak untuk menghilangkan pemikiran
negatif tersebut.
10
5. Memberi perhatian pada anak.
Sebaiknya orangtua selalu siap untuk mendengarkan isi hati yang membuat anak
gelisah, karena yang anak butuhkan adalah empati dari orangtua.
6. Menemukan bakat anak.
Bantulah anak dalam menemukan potensi dan bakatnya, dengan begitu anak akan
lebih percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya.
7. Mengajari anak memecahkan masalah.
Jika anak sedang menghadapi masalah, bantulah dengan menemukan solusinya.
Pertama orangtua perlu untuk meneliti masalah tersebut terlebih dahulu, lalu
bertanya kepada anak solusi seperti apa yang ia inginkan, namun orangtua harus
mengkoreksi solusi tersebut, jika orangtua tidak setuju, maka tawarkanlah solusi
lain dan bantu anak untuk memutuskan.
8. Mengembangkan rasa humor anak.
Dalam mengatasi rasa stres anak, sebaiknya orangtua mengajak anak untuk
berbagi cerita humor. Anak yang memiliki rasa humor yang tinggi cenderung
memiliki kecerdasan diatas rata-rata dan emosi yang stabil.
9. Mengajak bersosialisasi.
Orangtua sebaiknya tidak meninggalkan anak di lingkungan yang baru di kenal
anak. Seringkali anak merasa gugup jika berada di lingkungan yang asing, oleh
karena itu orangtua sebaiknya mengambil tindakan partisipative learning, yaitu
tindakan yang melibatkan orangtua dalam lingkungan anak.
10. Mengajari anak bersikap realistis.
Orangtua sebaiknya memberitahu kepada anak bahwa terkadang hidup tidak
seperti yang diharapkan, banyak kejadian yang terjadi dan sudah diluar
kemampuan kita. Oleh karena itu anak tidak perlu merasa takut ketika
menghadapi masalah.
11
2.1.4 Dimensi Kepercayaan Diri
Lauster (dalam Hikmah, 2012) menguraikan ada lima aspek kepercayaan diri yaitu :
1) Optimis, adalah sifat senantiasa memiliki harapan dan berpandangan baik dalam
menghadapi segala hal.
2) Mandiri dalam mengerjakan tugas, ialah keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak
bergantung kepada orang lain dan mengerjakan kewajibannya sebagai pelajar dan
sebagai anak.
3) Memiliki ambisi untuk maju, yaitu memiliki dorongan dan berusaha ingin
mencapai akan sesuatu dengan tetap memiliki pertimbangan-pertimbangan yang
bijaksana dan sesuai dengan akal sehat.
4) Tidak berlebihan, adalah perasaan pasti tentang kemampuan yang dimiliki
sehingga dalam menggapai sesuatu tidak dengan cara berlebihan.
5) Toleransi, adalah pengertian yang dimiliki mengenai kekurangan yang ada dalam
diri individu untuk menerima pendapat orang lain dan member kesempatan
kepada orang lain.
2.2 Anak Usia Dini
2.2.1 Definisi
Anak usia dini merupakan sosok individu yang sedang menjalani suatu proses
perkembangan yang pesat dan sangat menentukan bagi kehidupan selanjutnya (Sari,
2013). Dalam buku yang ditulis oleh Pratisti (2008), dijelaskan bahwa anak usia dini
juga disebut sebagai masa Golden Age, yang berlangsung dari usia 0-6 tahun, pada masa
ini terjadi berbagai perubahan pada anak, seperti munculnya kepekaan anak terhadap
stimulus dan meningkatnya kemampuan berkomunikasi.
Usia dini merupakan masa penting, karena dalam masa ini ada era yang dikenal
dengan masa keemasan (golden age), masa keemasan hanya terjadi satu kali dalam
perkembangan kehidupan manusia, pada masa ini merupakan masa kritis bagi
perkembangan anak, jika dalam masa ini anak kurang mendapat perhatian dalam hal
12
pendidikan, perawatan, pengasuhan dan layanan kesehatan serta kebutuhan gizinya
dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Wuryandani,
2010).
Menurut Wahyudin & Agustin (dalam Istiyani, 2013), pada rentang usia dini anak
dikenal mengalami masa keemasan (the golden years), dimana anak mulai peka terhadap
rangsangan yang dari luar yang dapat membantu mengembangkan kemampuan kognitif,
afektif, prikomotorik, bahasa, sosio-emosional dan spiritual. Dengan belajar sambil
berrmain dapat membantu anak dapat membantu anak mengembangkan semua
kemampuan tersebut, karena memungkinkan anak untuk berinteraksi dengan
lingkungannya (Wahyudin & Agustin, dalam Istiyani, 2013),
2.2.2 Tahapan Perkembangan Anak Usia Dini
Dalam teori perkembangan kognitif yang dijelaskan oleh Piaget (dalam Santrock,
2007), beliau percaya bahwa manusia melewati empat tahap dalam memahami dunia,
dan setiap tahapan tersebut berkaitan dengan usia dan terdiri atas cara piker yang
berbeda-beda, empat tahap perkembangan kognitif diantaranya adalah sensorimotor,
praoperasional, operasional konkret dan operasional formal, berikut merupakan
penjelasan dari setiap tahap:
-
Tahap Sensorimotor (sensorimotor stage) merupakan tahap perkembangan
kognitif yang berlangsung dari kelahiran sampai dengan kurang lebih 2 tahun.
Bayi membangun pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan
pengalaman sensori dengan tindakan fisik. Bayi mengalami kemajuan dari
tindakan instingtual dan reflex pada saat kelahiran, sampai awal pemikiran
simbolik, menuju akhir tahapan tersebut.
- Tahap praoperasional (praoperasional stage) merupakan tahap yang berlangsung
antara usia 2 sampai 7 tahun. Pada tahap ini anak mulai mempresentasikan dunia
dengan kata-kata dari gambar. Kata-kata dan gambar ini mencerminkan pemikiran
simbolik yang semakin maju dan melampaui hubungan informasi sensori dan
tindakan fisik.
13
- Tahap Operasional Konkret (concrete operational stage) adalah tahap dari piaget
yang berlangsung antara usia 7 sampai 11 tahun. Di tahap ini anak sudah mampu
berpikir dengan logis dan mengklasifikasikan objek ke dalam kategori yang
berbeda.
- Tahap Operasional Formal (formal operational step) adalah tahap perkembangan
piaget yang berlangsung antara usia 11 sampai 15 tahun. Pada tahap ini individuindividu mulai mengambil keputusan berdasarkan pengalaman nyata dan berpikir
lebih abstrak, idealis, dan logis.
Jika dilihat berdasarkan tahap perkembangan Piaget, anak usia dini atau anak
usia Taman Kanak-kanak termasuk pada tahap praoperasional (praoperasional stage)
yaitu usia 2-7 tahun. Dalam jurnal yang ditulis oleh Rahman (2009), dijelaskan bahwa
pada tahap praoperasional anak sudah mulai memiliki kesadaran akan eksisnya suatu
benda yang ada atau biasanya ada, selain itu anak juga mengembangkan perilaku meniru
seperti pada saat melihat orang lain merespons suatu barang, orang, keadaan atau situasi,
dan kejadian yang dihadapi pada masa lalu, lebih lanjut dijelaskan juga bahwa anak
mulai mampu memahami situasi yang mengandung masalah, kemudian mereka
membutuhkan waktu untuk berpikir sesaat dan memahami situasi, lalu menemukan
pemahaman spontan dalam memecahkan masalah dengan cara mereka sendiri, akan
tetapi pada tahap ini anak belum menguasai situasi yang mengandung perbedaan
pendapat dengan orang lain.
Dalam teori perkembangan Psikoseksual yang dijelaskan oleh Freud (dalam
Pratisti, 2008) terdapat 5 tahap perkembangan yang dimulai dari usia 1 bulan hingga
masa pubertas, yaitu:
•
Tahap oral (usia 1-18 bulan), merupakan tahap dimana bayi memperoleh
kenikmatan melalui oral atau mulut, dimana bayi menyukai kegiatan
mengunyah, menghisap, dan menggigit yang perilaku tersebut merupakan
salah satu cara dalam mengurangi tekanan dan tegangan pada bayi.
14
•
Tahap anal (usia 1-3 tahun), merupakan tahap dimana anak memperoleh
kenikmatan melalui anus atau alat pembuangan yang dapat mengurangi
ketegangan pada bayi.
•
Tahap Falik (usia 3-6 tahun), merupakan tahap dimana anak memperoleh
kenikmatan melalui alat kelamin, dimana pada tahap ini muncul Oedipus
Complex, yaitu peristiwa dimana anak ingin menggantikan salah satu dari
orangtuanya yang berjenis kelamin sama dengan tujuan mendapatkan kasih
sayang dari orangtua yang berjenis kelamin lain dengannya. Namun pada
tahap ini timbul konflik dimana anak menyadari bahwa mencintai ibunya
secara berlebihan akan bertentangan dengan norma, oleh karena itu anak
mencoba untuk mengembangkan identitas dirinya sesuai dengan oarangtua
yang berjenis kelamin sama dengannya, dan bila konflik ini tidak
terpecahkan maka anak akan terfiksasi pada tahapan ini.
•
Tahap Laten (usia 6 sampai dengan masa pubertas), merupakan tahap
dimana anak mulai menekan semua minat terhadap seks dan anak mulai
mengembangakan keterampilan sosial dan intelektual yang dapat
membenatu anak dalam menyalurkan energi dan melupakan konflik yang
terjadi pada tahap falik.
•
Tahap Kemaluan (mulai pubertas), merupakan tahap yang ditandai
dengan munculnya dorongan seksual dengan seseorang yang berasal dari
luar keluarga.
Dalam Santrock (2007) dijelaskan bahwa perkembangan motorik berawal dari
motivasi seseorang ketika bayi untuk melakukan suatu hal, dari motivasi tersebutlah
perilaku motorik baru mungkin terbentuk, terdapat dua jenis keterampilan motorik yaitu
motorik kasar dan motorik halus:
•
Motorik kasar, yang merupakan keterampilan yang meliputi aktivitas otot
yang besar, seperti menggerakkan lengan dan berjalan. Dengan seiringnya
bertambah umur, kemampuan anak akan semakin berkembang, pada masa
kanak-kanak atau masa prasekolah, anak sudah tidak lagi bersusah payah
15
dalam menggerakkan tubuhnya, saat berusia 3 tahun anak menikmati
gerakan sederhana seperti melompat dan berlari, saat berumur 4 tahun anak
masih menyukai kegiatan yang sama namun anak sudah lebih menyukai
petualangan, dan ketika anak berumur 5 tahun anak semakin menyukai
petualangan dan lebih percaya diri dalam melakukan kegiatan seperti
memanjat suatu objek dan berlari cepat dan menyukai balapan dengan satu
sama lain.
•
Motorik halus, motorik halus melibatkan gerakan yang diatur secara halus,
seperti contohnya menggenggam mainan, mengancingi baju, dan kegiatan
lain yang memerlukan keterampilan tangan merupakan keterampilan motorik
halus. Pada usia 3 tahun, anak sudah dapat melakukan kegiatan yang cukup
detail seperti mengambil objek terkecil diantara ibu jari dan telunjuk,
membangun menara balok meski belum sepenuhnya berada dalam garis
lurus, dan bermain bongkar pasang gambar sederhana meskipun saat
meletakkan kepingannya belum baik dan tepat. Pada usia 4 tahun, koordinasi
motorik halus menjadi lebih tepat, sebagai contohnya ketika anak ingin
membuat menara balok dengan sempurna, mereka seringkali mencoba untuk
membongkar dan membangunnya kembali agar lebih sempurna. Pada saat
usia 5 tahun, motorik halus anak juga semakin meningkat, anak sudah bisa
mengontrol gerakan tangan, jari, dan juga lengan sesuai dengan kordinasi
mata, ketika bermain balok pun anak sudah tidak lagi membangun menara
sederhana, namun ingin membuat bangunan yang lebih rumit.
2.2.3 Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini mempunyai dua tujuan, yaitu: (1) Tujuan utama, yaitu
untuk mengembangkan kualitas anak dengan tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tingkat perkembangannya, dalam tujuan untuk mempersiapkan anak memasuki
pendidikan selanjutnya dan di masa depan, dan (2) Tujuan penyerta, yaitu
mempersiapkan kesiapan belajar anak di sekolah (Djuharie, 2011).
16
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal I Ayat 14 menyatakan bahwa “Pendidikan bagi anak usia dini adalah
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut” (Savitri, 2012). Martani (2012) menjelaskan, Taman
Kanak-kanak (TK) memungkinkan anak mendapatkan ruang dan kesempatan untuk
berinteraksi yang semakin luas. Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 58 Tahun 2009 tentang standar nasional pendidikan anak usia dini dan tingkat
pencapaian perkembangan menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan yang
diharapkan dicapai anak pada rentang usia tertentu, perkembangan anak yang dicapai
merupakan aspek pemahaman nilai-nilai agama, moral, fisik, kognitif, bahasa, dan sosial
emosional (Savitri, 2012).
TK sebagai bagian dari pendidikan usia dini, mengemban tiga fungsi utama
dalam pendidikan yaitu mengembangkan potensi kecerdasan anak, penanaman nilai-nilai
dasar, dan pengembangan kemampuan dasar (Palupi, 2006). Taman Kanak-kanak
merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal
untuk rentang usia empat sampai dengan enam tahun, pada hakekatnya adalah
pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan
perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh
aspek kepribadian anak, oleh karena itu taman kanak-kanak perlu menyediakan berbagai
kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi
kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik dan motorik (Djohaeni, 2005).
17
Rachmawati dan Kurniati (2010) menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan
belajar, yaitu:
1. Pendekatan yang bersifat Teacher Center, yaitu dimana guru menjadi pusat
pembelajaran, anak hanya ditempatkan sebagai pendengar ceramah guru,
objek, pasif, dan serba disuapi oleh guru, hal tersebut membuat terbatasnya
eksplorasi yang dilakukan oleh anak.
2. Pendekatan yang bersifat Student Center, yaitu dimana pendekatan yang
melibatkan anak dalam proses pembelajaran dari awal sampai akhir berupa
belajar aktif (Active Learning), dengan menempatkan murid sebagai pusat
dari kegiatan pembelajaran.
Lebih lanjut Rachmawati & Kurniati (dalam Istiyani, 2013), pembelajaran yang
diangap paling tepat untuk anak usia dini adalah dengan model bermain, karena dunia
bermain adalah dunia anak, melalui bermain anak dapat mempelajari banyak hal, tanpa
disadari oleh anak dan tanpa merasa terbebani, melalui bermain anak dapat mengenal
aturan, bersosialisasi, menempatkan diri, menata emosi, toleransi, kerja sama, mengalah,
sportif, dan sikap-sikap positif lainnya.
Sulit sekali mencari pengganti kegiatan yang sepadan dengan kegiatan bermain,
termasuk kegiatan instruksional di kelas, kegiatan instruksional memiliki lingkup yang
terbatas, dan tidak dapat menyentuh tujuan multiaspek seperti dalam permainan, dalam
garis-garis besar program kegiatan belajar taman kanak-kanak, bermain juga merupakan
prinsip dalam pengajaran di TK, di mana bermain merupakan cara yang paling baik
untuk mengembangkan kemampuan anak didik, sebelum bersekolah, bermain
merupakan cara alamiah untuk anak menemukan lingkungan, orang lain, dan dirinya
sendiri, pada prinsipnya bermain mengandung rasa senang dan lebih mementingkan
proses daripada hasil akhir (Istiyani, 2013)
18
2.3 Metode Beyond Centers and Circle Time
2.3.1 Sejarah
Metode pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) atau yang sering
juga disebut dengan pendekatan sentra ini ditemukan dan dikembangkan oleh Dr.
Pamela Phelps yang berasal dari Amerika Serikat. Beliau merupakan seorang tokoh
pendidikan yang sudah mengabdikan diri dalam dunia pendidikan anak usia dini selama
40 tahun. Metode pembelajaran BCCT ini pertama kali dikembangkan melalui sekolah
Creative Pre School di Tallahasse, Florida, dan kini konsepnya telah diterapkan di
banyak Negara (Arriyani & Wismiarti, 2010).
Metode ini masuk ke Indonesia pada tahun 1996 yang dibawa dan diadopsi oleh
drg. Wismiarti yang merupakan seorang pendiri dari sekolah Al-Falah di Ciracas,
Jakarta, beliau sudah melakukan sebuah studi banding ke beberapa sekolah di beberapa
negara seperti Australia, Eropa, dan Amerika Serikat, dari hasil studi banding yang
sudah beliau dapatkan, drg. Wismiarti memutuskan untuk mengadopsi metode
pembelajaran yang sudah beliau pelajari di Creative Pre School di Tallahasse, Florida,
Amerika Serikat (Arriyani & Wismiarti, 2010).
2.3.2 Definisi
Sentra, yang dikenal juga dengan Beyond Centers and Circle Time (BCCT),
adalah konsep pembelajaran usia dini yang resmi diadopsi oleh Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia sejak tahun 2004 (Arriyani & Wismiarti, 2010). Depdiknas
dalam Aryanti (2013) menyatakan beyond centers and circle times merupakan
pendekatan untuk meningkatkan perkembangan kognitif pada anak usia dini. Kata sentra
berasal dari kata “center” atau yang berarti “pusat” mempunyai makna yaitu titik pusat
(center point), dimana semua rencana pembelajaran yang sudah ditetapkan (lesson plan)
dan kegiatan main di semua sentra mengacu pada tujuan satu hari yang sudah
disesuaikan dengan lesson plan, sedangkan arti dari “circle time” adalah dimana anak
dan guru duduk berdampingan dan membentuk lingkaran sehingga guru dapat menatap
langsung ke semua anak (Arriyani & Wismiarti, 2010).
19
Melalui pendekatan sentra anak dirangsang untuk secara aktif melakukan
kegiatan bermain sambil belajar di sentra-sentra pembelajaran (Indriati, 2013). Menurut
Lestarini (2013), model BCCT (Beyond Centers and Circle Time) merupakan
pendekatan yang menggunakan metode permainan, anak bebas memilih permainan yang
dia kehendaki, hal penting yang harus ada dalam pendidikan anak usia dini sendiri
adalah yang berpusat pada anak, yang mana pendidikan ini menaruh kepedulian
terhadap keseluruhan aspek-aspek perkembangan anak yang mencakup perkembangan
fisik, kognitif, bahasa dan sosial anak, pembelajaran diorganisasikan sesuai dengan
kebutuhan, minat, dan gaya belajar anak. Penekanannya ialah pada proses belajar dan
bukan pada apa yang dipelajari, pendekatan ini merupakan metode yang mempunyai
landasan filosofi kontruktivisme yang mana pembelajarannya menekankan bahwa
belajar tidak sekedar menghafal, siswa harus mengkontruksikan pengetahuannya di
benak mereka sendiri (Lestarini, 2013). Dikutip dari Faiqoh (2008), “esensi main yang
meliputi perasaan senang, bebas dan merdeka harus menjiwai setiap kegiatan belajar.
Dengan demikian anak dapat mengembangkan kemandirian, rasa percaya diri,
kemampuan berfikir kritis dan kreatif.”
Dalam Kunarti (2008) dijelaskan, proses pembelajaran BCCT berpusat di sentra
main dan saat anak dalam lingkaran dengan menggunakan 4 jenis pijakan (scaffolding)
untuk mendukung perkembangan anak, yaitu : (1) pijakan lingkungan main; (2) pijakan
sebelum main; (3) pijakan selama main; dan (4) pijakan setelah main. Pijakan adalah
dukungan yang berubah-ubah yang disesuaikan dengan perkembangan yang dicapai
anak yang diberikan sebagai pijakan untuk mencapai perkembangan yang lebih tinggi.
Dalam buku yang ditulis oleh Arriyani & Wismiarti (2010), berdasarkan dari
sekolah Al Falah yang merupakan sekolah pertama di Indonesia yang mengadopsi
metode BCCT, terdapat tujuh sentra, yaitu :
1. Sentra Bahan Alam
Sentra ini menyediakan bahan sifat cairatau bahan alam (eksplorasi bak pasir,
bak air, dengan perlengkapannya). Diantaranya: (1) Alat ukur (literan, botol,
gelas ukur, dll), (2) Bahan dengan benda-benda yang mengapung dan yang
bisa tenggelam (batu, busa, sumba), (3) Percampunran warna (air, sumba, cat
20
air), (4) Ublek (adonan tepung, pewarna, air), (5) Pengenalan tekstur kasar
dan halus (pasir, tepung).
2. Sentra Seni
Menyediakan kegiatan yang melatih motorik kasar dan halus, dan
memberikan pemahaman mengenai seni kepada anak (menggambar,
meronce, melukis, meronce, menggunting, melipat kertas, dll)
3. Sentra Balok
Sentra ini dilengkapi dengan berbagai macam bentuk, ukuran, dan warna
balok. Balok disimpan dengan klasifikasi (bentuk dan ukuran) yang akurat,
tanpa sadar hal tersebut membuat anak mempelajari klasifikasi bentuk dan
ukuran. Sentra balok ini juga merangsang ide anak dalam membangun
bangunan dengan balok.
4. Sentra Persiapan
Sentra ini bertjuan untuk mempersiapkan dan merangsang anak mencoba
konsep aksara dan matematika anak, dengan disediakannya huruf-huruf,
buku-buku cerita, alat tulis, angka-angka, pohon nhitung, dll.
5. Sentra Imtak (Keimanan dan ketakwaan)
Pada sentra ini anak diajarkan mengenai ilmu agama, seperti mengajarkan
praktek shalat, wudhu, berdoa, pengenalan huruf hijaiyyah dan juga
diterapkan nilai moral sehari-hari sesuai dengan agama.
6. Sentra main Peran Besar
Pada sentra ini, objek atau alat pendukung main berukuran yang sebenarnya.
Seperti menggunakan peran guru yang menggunakan alat tulis, dokter dengan
peralatannya, menggunakan alat makan, dll.
7. Sentra Main Peran Kecil
21
Sedangkan untuk sentra main kecil menggunakan objek pendukung yang
yang berukuran lebih kecil seperti boneka, rangkaian kereta dan rel kereta,
kebun binatang dengan miniature kebun binatang, dll.
22
Menurut Palupi (2006), ada tujuh sentra yang dikembangkan dalam metode
BCCT, yaitu:
1. Sentra persiapan.
Sentra ini menyediakan permainan yang berkaitan dengan calistung permulaan
yang bermutu dan menyenangkan. Untuk itu disediakan huruf-huruf, buku-buku
cerita, alat tulis, angka-angka pohon hitung, dan bahan- bahan lain yang
merangsang anak mencoba konsep aksara dan matematika. Pembelajaran ini
harus dimulai dari sesuatu yang sederhana agar anak memabami Calistung secara
alamiah.
2. Sentra balok.
Sentra ini berisi balok-balok bentuk geometri dengan berbagai ukuran dan
wama. Disarankan paling sedikit 100 balok setiap anak agar cepat merangsang
anak menciptakan bentuk bangunan yang bervariasi dan terstruktur sesuai
dengan ide atau gagasannya. Anak tanpa sadar belajar menghitung jumlah balok
yang diperlukan dalam konstruksi bangunan yang diciptakannya
3. Sentra cair.
Sentra ini menyediakan bahan sifat cair atau bahan alam (eksplorasi di bak pasir,
bak air, dengan perlengkapannya) yaitu (1) alat ukur (literan, botol, jirigen,
sendok, gelas ukur, dan pompa air), (2) konsep terapung tenggelam (batu, busa,
sumba), (3) percampuran wama (air, sumba, cat air), (4) ublek (adonan tepung,
pewama, air), dan (5) pengenalan tekstur kasar dan halus (tepung, pasir).
4. Sentra musik dan olah tubuh.
Sentra ini menyediakan permainan dan pengenalan dengan alat-alat musik
perkusi seperti angklung, tamborin, marakas, piano, terompet, dan lain-lain.
Anak langsung bisa menyanyi, menari, ritmik, diiringi dengan alat musik
tersebut. Sedangkan untuk olah tubuh bisa melakukan seperti englek, memanjat,
permainan bola dan lain-lain.
5. Sentra seni dan kreativitas.
23
Sentra ini menyediakan permainan pembelajaran menggambar, mewarnai, dan
melukis, dengan bermacam-macam media dan cara. Selain itu, anak juga
dikenalkan dengan meronce, menggunting sederhana, melipat kertas, mencocok
gambar, membatik, jumputan, mozaik, kolase, mengayam, dan menjahit
sederhana. Semua kegiatan tersebut untuk melatih pengembangan motorik kasar
dan halus pada anak.
6. Sentra bermain peran.
Pada sentra ini tersedia sarana untuk main peran mikro, misalnya rumah boneka,
rangkaian kereta dengan rel, kebun binatang dengan miniatur binatang-binatang
liamya. Sedangkan bermain peran makro yaitu menggunakan alat-alat yang
berukuran sesungguhnya, misalnya guru menggunakan alat-alat tulis dalam
pembelajaran, tukang pos dengan surat-surat dan sepedanya, dokter dengan
peralatannya, dan lain-lain. Tujuan akhir dari bermain peran adalah belajar
bermain dan bekerja sama dengan orang lain agar anak memperoleh pengalaman
pada dunia nyata.
7. Sentra ibadah.
Pada sentra ini disediakan sarana-sarana ibadah yang sesuai dengan agama dan
kepercayaan anak dan aturan-aturan dalam beribadah, misalnya agama Islam
mengajarkan doa-doa sehari-hari, praktek shalat, dan prakek wudu. Begitu juga
dengan agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha diajarkan cara beribadah serta
pembiasaan nilai-nilai moral yang berlaku.
2.3.3 Tujuan
Kata sentra berasal dari kata “center” atau yang berarti “pusat” mempunyai
makna yaitu titik pusat (center point), dimana semua rencana pembelajaran yang sudah
ditetapkan (lesson plan) dan kegiatan main di semua sentra mengacu pada tujuan satu
hari yang sudah disesuaikan dengan lesson plan (Arriyani & Wismiarti, 2010). Seluruh
kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan perlu diorganisasi secara teratur, sistematis,
dan terarah sehingga anak dapat membangun kemampuan menganalisanya dan dapat
mempunyai kemampuan pengambilan keputusan (Arriyani & Wismiarti, 2010).
24
Sentra yang bertujuan untuk memberikan informasi yang sudah terorganisir
secara rapi dan teratur, atau dengan kata lain mengajarkan anak sistematika berfikir
sejak dini, yang dapat membantu anak dalam menghadapi berbagai masalah dalam
hidupnya di masa mendatang secara akademis maupun non-akademis, dan dapat
menyelesaikan masalah tersebut sendiri (Arriyani & Wismiarti, 2010).
Untuk itu sentra-sentra pembelajaran disiapkan secara permanen, lengkap
dengan fasilitas yang dubutuhkan dan selalu menggunakan pijakan duduk melingkar
sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dalam sentra, dengan kata lain dalam
pendekatan ini seluruh kegiatan pembelajaran berfokus pada anak sebagai subjek
"pembelajar" sehingga siswa terbantu dalam pengembangan dirinya sesuai dengan bakat
atau potensi dan minat masing-masing (Palupi, 2006).
2.3.4 Peran Guru dalam Metode BCCT
Dalam upayanya untuk menerapkan metode BCCT di Indonesia, sekolah Al Falah
mengirimkan beberapa gurunya untuk mempelajari metode ini, ketika para guru tersebut
kembali ke Indonesia, konsultan dan juga pendiri dari Creative Pre School Pamela
Phelps, Ph.D., mengirim seorang stafnya untuk membantu mendirikan sekolah Al Falah
(Arriyani & Wismiarti, 2010). Tujuan dari pelatihan guru tersebut adalah meningkatkan
kemampuan guru dalam memahami perkembangan anak dan memberikan dukungan
pembelajaran yang sesuai kepada anak muridnya, selanjutnya guru diharapkan untuk
mempunyai kemampuan dalam perancangan kegiatan atau kurikulum yang sudah
disesuaikan dengan kebutuhan muridnya, oleh karena itu dalam metode ini guru hanya
berperan sebagai fasilitator, motivator dan evaluator (Arriyani & Wismiarti, 2010).
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (dalam Kunarti, 2008), evaluasi kemajuan
perkembangan anak dilakukan setiap pertemuan dengan cara mencatat perkembangan
kemampuan anak dalam hal motorik kasar, motorik halus, berbahasa, sosial dan aspekaspek lainnya. Pencatatan kegiatan main anak dilakukan oleh pendidik. Selain mencatat
kemajuan belajar anak, juga dapat menggunakan lembaran ceklist perkembangan anak,
mengumpulkan hasil karya anak sebagai bahan evaluasi dan melaporkan perkembangan
belajar anak kepada orang tua masing-masing
25
Dikutip dari buku yang ditulis oleh Arriyani & Wismiarti (2010), saat kegiatan
main berlangsung, guru harus dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk
mengembangkan pengalaman main peran mereka dengan memberikan waktu yang
cukup untuk bermain, mengembangkan bahasa mereka dengan mencontohkan cara
berkomunikasi dengan benar dan tepat. Komunikasi yang baik membantu anak untuk
dapat mengembangkan kepercayaan diri, harga diri dan hubungan-hubungan yang baik
dengan orang lain.
Lebih lanjut Arriyani & Wismiarti (2010) menjelaskan bahwa ada 3 cara yang
dapat digunakan dalam berinteraksi dengan anak dalam tujuannya yaitu mendukung
proses bermain anak: (1) Non-direct teaching, yaitu dimana guru memberikan pelajaran
yang tidak langsung dan anak harus membangun pemahamannya sendiri, sebagai
contohnya yaitu guru tidak menyuruh, melarang, dan tidak boleh marah pada murid
secara langsung, namun, guru hanya membantu memberikan sebuah pijakan
(scaffolding) pada anak; (2) Menggunakan bahasa yang baik dan benar, yaitu dimana
guru menjadi contoh bagi muridnya dalam berkomunikasi; (3) Memberi motivasi, yaitu
dimana guru memberikan dukungan kepada anak dalam tujuannya yaitu meningkatkan
kepercayaan diri anak.
2.4 Metode Pembelajaran Konvensional
2.4.1 Definisi
Metode pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa
digunakan untuk menyampaikan materi dalam kelas, yang mempunyai tujuan utama
yaitu mengembangkan daya intelektual anak (Siregar, 2012). Djamarah (1996) juga
menjelaskan bahwa metode konvensional sering juga dipanggil sebagai metode ceramah,
hal ini dikarenakan penggunaan metode konvensional sebagai alat komunikasi antara
guru dan anak murid sudah lama digunakan. Sependapat dengan hal tersebut, Mansyur
(dalam Harsono, 2009) menjelaskan bahwa metode konvensional ini sering dipanggil
metode ceramah karena interaksi antara guru dan murid melalui penerangan atau
penuturan secara lisan.
26
Menurut Sudjana (dalam Siregar, 2012), adapun ciri-ciri pengajaran
konvensional adalah sebagai berikut :
1. Mengajar berpusat pada bahan pelajaran.
Metode ini mempunyai tujuan yaitu mengembangkan daya intelektual siswa,
dan tugas guru pada metode ini adalah menyampaian materi pelajaran yang
baru.
2. Mengajar berpusat pada guru.
Berdasarkan konsep pengajaran konvensional, proses pembelajaran yang baik
dinilai dari sisi guru, dan bukan apa yang terjadi pada siswa.
Dikutip dari Henson (dalam Santrock, 2009), beliau mengemukakan tujuan yang
dapat tercapai dengan menggunakan metode ceramah, yaitu:
1. Menyampaikan informasi dan memotivasi minat para siswa dalam satu mata
pelajaran.
2. Memperkenalkan topik sebelum siswa membacanya sendiri atau memberikan
instruksi tentang cara mengerjakan tugas.
3. Meringkas atau mensintesis informasi setelah sebuah diskusi atau
penyelidikan.
4. Memberikan sudut pandang alternative atau mengklarifikasi isu-isu dalam
persiapan untuk diskusi.
5. Menjelaskan materi yang sulit dipelajari sendiri oleh para siswa.
Komunikasi yang terjadi di metode konvensional ini lebih banyak satu arah,
yaitu dari guru ke anak, metode lebih berfokus pada penguasaan konsep-konsep bukan
kompetensi, lebih sering menggunakan modus “telling” atau memberikan informasi,
dibandingkan dengan penggunaan modus “demonstrating” atau memperagakan
(Sihombing & Pangaribuan, 2012).
Dalam penggunaanya, dijelaskan oleh Harsono (2009) metode ini terbilang
mudah karena dalam persiapannya mudah, fleksibel tanpa perhatian khusus. Di dukung
dengan pendapat yang sejalan dengan hal tersebut, Siregar (2012) juga menjelaskan
27
bahwa penggunaan metode pembelajaran konvensional dianggap praktis, karena hanya
menggunakan metode-metode yang sederhana.
2.4.2 Tujuan
Metode konvensional atau yang merupakan pembelajaran klasikal, pada
umumnya lebih mengutamakan hapalan daripada penegertian, lebih fokus pada area
akademis seperti matematika, lebih mengutamakan hasil daripada proses, dan
merupakan metode yang menggunakan pendekatan “teacher center” atau berpusat pada
guru (Suyono, 2012). Dalam pendekatan ini, perencanaan dan pengajaran dirancang
dengan sistematis, dan guru pada metode ini berfungsi untuk mengarahkan pembelajaran
para siswa (Santrock, 2009).
2.5 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Usia anak pra-sekolah atau anak usia dini merupakan masa dimana anak mulai
sensitif terhadap rangsangan atau stimulus dari lingkungannya. Lingkungan pertama
yang berpengaruh terhadap perkembangan anak adalah keluarga, dan yang kedua ialah
lembaga pendidikan. Salah satu metode pembelajaran yang masih sering digunakan oleh
lembaga pendidikan di Indonesia adalah metode konvensional, yaitu metode yang lebih
terfokus kepada hasil secara akademis. Namun seiring dengan berkembangnya jaman,
28
lembaga pendidikan di Indonesia mulai mengadopsi berbagai metode pembelajaran dari
luar negeri, diantaranya adalah metode Beyond Centers and Circle Time (BCCT),
dimana dalam metode ini murid merupakan fokus dari pembelajaran, mengunakan
metode permainan, dan memiliki landasan pembelajaran tidak sekedar menghafal,
namun anak harus mengkonstruksikannya sendiri. Metode yang digunakan dalam
pendidikan usia dini sebaiknya tidak hanya berfokus pada akademis saja, namun
kecerdasan intrapersonal juga dikembangkan, seperti halnya kepercayaan diri yang dapat
membantu anak dalam mengerjakan tugas, berkomunikasi, mengembangkan
pengalaman, kemandirian, keberanian, dll. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan
penelitian yang bertujuan yaitu mengetahui gambaran kepercayaan diri anak usia
prasekolah dengan dua metode pembelajaran yang berbeda, dalam hal ini yaitu metode
BCCT dan metode konvensional.
29
Download