9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pembangunan Secara normatif pembangunan diartikan sebagai proses yang memungkinkan masyarakat meningkatkan kapasitas personal dan institusionalnya dalam mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka, berkelanjutan, adil dan merata (Korten 1990; Suryadi 2001). Pembangunan merupakan proses yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan (Suryono, 2001). Dalam UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinyatakan bahwa pembangunan nasional diartikan sebagai upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Adapun tujuan bernegara secara umum adalah untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan dapat juga dilihat dari sisi administrasi pembangunan dan pembangunan administrasi. Administrasi pembangunan berkaitan dengan manajemen pembangunan sedangkan pembangunan administrasi adalah perbaikan organisasi pemerintah dalam membangun. Menurut Kartasasmita (1997), dalam analisis manajemen pembangunan dikenal beberapa fungsi manajemen pembangunan yaitu perencanaan, pengerahan sumberdaya, pengerahan pembangunan oleh pemerintah, koordinasi, pemantauan, serta evaluasi dan pengawasan. Adapun pembangunan adminsitrasi adalah keadaan yang memungkinkan tercapainya efektifitas penggunaan sumberdaya. 9 10 2.2. Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Suryadi (2001), dalam perkembangannya, pembangunan yang dilakukan negara-negara di dunia mengalami beberapa pergeseran paradigma. Dalam kurun 1960-1970 berkembang paradigma pertumbuhan (growth). Pada kurun 19701980 berlaku paradigma kesejahteraan (welfare) dan pada kurun 1980-1990 berkembang paradigma pembangunan manusia (people centered development). Adapun di era 2000-an seperti saat ini, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan suatu millenium development goals yang dideklarasikan pada September 2000. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, menekankan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara dan peningkatan pendapatan masyarakat. Alat ukur pertumbuhan ekonomi suatu negara yang utama adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Menurut Mankiw (2003), GDP adalah nilai pasar semua barang jadi dan jasa yang diproduksi sebuah negara selama kurun waktu tertentu. Untuk menggambarkan keterkaitannya dengan jumlah penduduk, sering dipakai ukuran PDB per kapita atau lebih populer disebut pendapatan per kapita. Setelah berjalan sekian lama ternyata pertumbuhan ekonomi menimbulkan persoalan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan pendapatan. Sejak itu beralihlah paradigma pembangunan kepada pembangunan kesejahteraan yang menekankan pada perwujudan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dalam waktu yang sesingkat mungkin. Dalam perjalanannya konsep pembangunan ini malah menimbulkan pengaruh dominan dari pemerintah di tiap-tiap negara. Kritik yang muncul terhadap konsep pemerataan pendapatan nasional adalah pelaksanaannya yang sentralistik sehingga menimbulkan ketergantungan rakyat dengan pemerintah 10 11 atau ketergantungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat atau juga ketergantungan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Pada gilirannya konsep ini tidak menimbulkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) karena adanya ketergantungan (Suryadi, 2001). Suryadi (2001) menjelaskan bahwa kesadaran untuk lebih menekankan pada adanya proses pembangunan berkelanjutan memunculkan paradgima pembangunan manusia pada era 1900-an. Paradigma pembangunan manusia pada dasarnya adalah pembangunan yang menekankan pada pembangunan yang berkelanjutan yang didukung oleh pendekatan pembangunan manusia (human development) melalui aksiaksi pelayanan sosial (social service), pembelajaran sosial (social learning), pemberdayaan (empowerment), peningkatan kapasitas (capacity building) dan peningkatan kelembagaan (institutional building). Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini dapat dikatagerokian dalam beberapa periode yaitu periode orde lama (1945-1966), periode orde baru (1966-1998) dan periode reformasi (1998-sekarang). Menurut Dumairy (1996) selama dua puluh tahun pertama sejak merdeka pembangunan di Indonesia berjalan relatif kurang menggembirakan. Hal tersebut terjadi karena seringnya pergantian kabinet akibat adanya ketidakstabilan politik pada masa itu. Pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan dengan laju 6,9 persen dalam periode 1952-1958 turun secara drastis menjadi tinggal 1,9 persen pada periode 1960-1965. Dampak kemerosotan pembangunan yang terjadi pada masa tersebut berujung pada pergantian kekuasaan pemerintahan dari orde lama kepada orde baru. Pada masa orde baru dicanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) sejak 1969 dengan titik tekan pada adanya trilogi pembangunan yaitu 11 12 stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dalam PELITA I (1969-1974) prioritas pertama diarahkan pada stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Pada PELITA II (1974-1979) sasaran dibalik menjadi pertumbuhan ekonomi yang menempati prioritas pertama. Selama dua PELITA ini kinerja perekonomian Indonesia sangat memuaskan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era tersebut rata-rata mencapai 7 persen per tahun. Investasi meningkat dengan laju yang menggembirakan dari 11 persen menjadi 24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hanya saja dominasi perekonomian pada waktu itu ditopang oleh hanya satu sumber utama yaitu minyak bumi. Sumber utama penerimaan devisa saat itu sebanyak 80 persen berasal dari minyak bumi (Dumairy, 1996). Selama kurun dua pelita pertama ternyata terjadi ketidakmerataan pendapatan nasional dan regional. Secara nasional pada akhir PELITA II diketahui angka Gini Ratio Indonesia sebagai indikator pemerataan pendapatan mencapai 0,504. Koefisien Gini Ratio berkisar antara 0 – 1. Nilai Gini Ratio mendekati nol berarti distribusi pendapatan semakin baik dan jika mendekati 1 berarti distribusi semakin jelek. Secara regional berlangsung pula ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan masyarakat dan juga antara wilayah di Pulau Jawa dengan Luar Jawa (Dumairy, 1996) Kesadaran pentingnya pemerataan pembangunan muncul pada rencana pembangunan Indonesia selanjutnya terutama sejak PELITA III (1979-1983). Pada masa ini pemerintah banyak mempersiapkan proyek-proyek pembangunan di berbagai daerah dengan tetap menempatkan kendali pembangunan pada pemerintah pusat di Jakarta. Salah satu wujud keberhasilan pembangunan adalah tercapainya swasembada beras tahun 1984. Banyak saluran irigasi dan areal pertanian yang 12 13 dibangun serempak untuk mencapai prestasi terebut. Hal yang sama juga dilakukan di bidang pendidikan dan kesehatan dengan dibangunnya banyak sekolah-sekolah dasar berdasarkan Insturksi Presiden (INPRES) dan juga Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Pada PELITA IV (1983-1987), target pertumbuhan ditetapkan hanya 5 persen per tahun, lebih rendah dari pada periode sebelumnya sebesar 6 persen per tahun. Pada masa ini peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan mulai ditingkatkan dengan adanya deregulasi dan debirokratisasi. Pada PELITA V (1988-1993) pertumbuhan ekonomi mencapai 6,7 persen per tahun. Paket deregulasi dan debirokratisasi tetap dilanjutkan sehingga dapat meningkatkan ekspor komoditas non migas. Pada PELITA VI (1994-1999) pemerintah mengalami persoalan beban utang luar negeri yang sangat berat yang merupakan akumulasi pembiayaan pembangunan tahun-tahun sebelumnya (Dumairy, 1996). Terjadinya krisis ekonomi di tahun 1997 mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah memerintah selama kurang lebih 32 tahun. Persoalan yang ditinggalkan pemeritahan orde baru yang paling memberatkan adalah pertumbuhan ekonomi yang negatif pada tahun 1998 yaitu sebesar -6,21 persen (Bappenas, 1998). Pemerintah saat ini menyadari kelemahan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dan mulai menerapkan pendekatan pembangunan yang lain. Salah satu pendekatan pembangunan yang diterapkan adalah pendekatan pembangunan manusia yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Salah satu misi pembangunan yang tertuang dalam GBHN tahun 1999-2004 adalah perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. 13 14 2.3. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan manusia adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Menurut Todaro dan Smith (2003) pembangunan memiliki tiga nilai inti yaitu tercapainya kemampuan hidup (life sustenance), kemandirian (self esteem) dan kemerdekaan atau kebebasan (freedom). Kemampuan hidup diartikan kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kemandirian berarti mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian. Adapun kemerdekaan berarti memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup. Kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan minimal yang diperlukan manusia untuk hidup dengan layak. Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan akan pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan dan pekerjaan. Kebutuhan dasar di atas dapat dibuat bertingkat tergantung urgensinya. Menurut Sumardjo (2007), Asian Bank Development (ADB) telah menetapkan bahwa hierarki kebutuhan dasar tersebut diawali dengan kebutuhan untuk bertahan hidup (survival) seperti kebutuhan akan makanan dan gizi, kesehatan, sanitasi dan air bersih serta kebutuhan akan pakaian yang layak. Pada tahap selanjutnya adalah kebutuhan akan keamanan (security) yang meliputi perumahan, pekerjaan, pendapatan dan kedamaian. Pada tahap akhir terdapat kebutuhan untuk berkembang (enabling) yang meliputi pendidikan dasar, partisipasi, peranan keluarga dan psikososial. Konsep tingkat kebutuhan manusia yang terkenal adalah yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Kebutuhan manusia menurut pendapat Maslow bertingkattingkat. Tingkatan kebutuhan tersebut secara berurut adalah (1) kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, tidur, berkeluarga dan kebutuhan dasar lainnya, (2) kebutuhan akan keamanan dan keselamatan, (3) kebutuhan akan kasih sayang, (4) kebutuhan 14 15 akan pengakuan dan penghargaan dari orang lain, dan (5) kebutuhan akan aktualisasi diri (Flippo, 1990). Kesadaran akan perlunya pemahaman mengenai kebutuhan dasar manusia sangat penting. Setiap pemerintahan wajib mendahulukan pemenuhan kebutuhan dasar manusia ini sebelum memenuhi kebutuhan yang lainnya. Perserikatan Bangsabangsa (PBB) juga telah menetapkan perlunya pemenuhan kebutuhan dasar manusia ini sebagai bagian dari pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB yang dibuat pada tanggal 10 Desember 1948. Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu anggota PBB telah menetapkan satu kebijakan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004. Pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam pembangunan saat ini telah diakui di tingkat internasional. PBB dalam hal ini telah menetapkan suatu tujuan pembangunan milenium atau millenium development goals (MDGs) pada September 2000. Tujuan pembangunan milenium pada intinya bertumpu pada konsep pembangunan manusia. Melalui delapan tujuan yang ditetapkan dalam MDGs, pembangunan manusia seutuhnya diharapkan dapat dicapai. Keterkaitan antara tujuan MDGs dengan pembangunan manusia dapat dilihat pada Tabel 3. 2.4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Satu kesulitan yang ditemukan dalam penerapan konsep pembangunan manusia adalah dalam hal mengukur tingkat keberhasilan pembangunan. Hal ini terjadi karena konsep tersebut menempatkan manusia sebagai pusat dari keseluruhan proses pembangunan. Pembangunan manusia mencakup hampir semua aspek 15 16 kehidupan manusia mulai dari kebebasan menyampaikan pendapat, kesetaraan jender, kesempatan memperoleh pekerjaan, gizi anak, hingga kemampuan untuk membaca dan menulis bagi orang dewasa. Untuk keperluan mengukur hasil-hasil pembangunan manusia, PBB melalui United Nation Development Program (UNDP) telah menetapkan sebuah tolok ukur khusus yang dikenal sebagai human development index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh UNDP pada laporan tahunannya (UNDP, 2003). Tabel 3. Keterkaitan Millenium Development Goals dengan Pembangunan Manusia Millenium Development Goals Indikator Pembangunan Manusia Hidup yang sehat dan usia yang Tujuan 4,5,6 : menunrunkan angka kematian panjang anak, meningkatkan kesehatan ibu, dan menangani penyakit utama Pendidikan yang memadai Tujuan 2,3 : menuntaskan pendidikan dasar, kesetaraan jender dalam pendidikan, dan memberdayakan wanita Standar kehidupan yang layak Tujuan 1 : mengurangi kemiskinan dan kelaparan Kondisi Penting Untuk Keterkaitan dengan Millenium Pembangunan Manusia Development Goals Kebebasan politik dan sosial dalam Tidak termasuk tujuan tetapi termasuk kehidupan bermasyarakat sasaran yang penting dalam MDG Kelestarian Lingkungan Tujuan 7 : menjamin kelestarian lingkungan Kesetaraan – terutama kesetaraan Tujuan 3 : mempromosikan kesetaraan jender jender dan pemberdayaan wanita Menyelaraskan lingkungan ekonomi Tujuan 8 : memperkuat kemitraan negara global kaya dan negara miskin Sumber : UNDP (2003) Menurut UNDP (2003), IPM pada dasarnya adalah nilai yang menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktorfaktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yakni: 16 17 1. Usia yang panjang dan sehat, diukur dengan angka harapan hidup (AHH), 2. Pendidikan, yang diukur dengan dengan tingkat baca tulis atau angka melek huruf (AMH) dengan pembobotan dua per tiga serta angka partisipasi kasar atau ratarata lama sekolah (RLS) dengan pembobotan satu per tiga 3. Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS. Gambar 4. Bagan Alir penetapan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) Metodologi penghitungan angka IPM pada dasarnya cukup mudah. Pertama kali harus diketahui data berupa : angka harapan hidup (AHH) dalam satuan tahun, angka melek huruf (AMH) dalam persentase penduduk, angka rata-rata lama sekolah (RLS) dalam satuan tahun dan angka pengeluaran per kapita dalam satuan mata uang. Masing-masing data ini kemudian diubah menjadi indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya berli dengan membandingkannya dengan standar yang ditetapkan oleh UNDP sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4. 17 18 Tabel 4. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM Komponen IPM Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah Konsumsi Per Kapita Nilai Maksimum 85 Nilai Minimum 25 Keterangan Standar UNDP 100 0 Standar UNDP 15 0 Standar UNDP 732.720 300.000 Standar UNDP yang disesuaikan Sumber : BPS Kab. Bogor (2005) Untuk memudahkan penjelasan dimisalkan data awal komponen IPM diketahui sebagai berikut : AHH : 67,8 tahun, AMH : 90,1%, RLS : 7 tahun dan konsumsi per kapita : Rp. 576.300 per bulan. Indeks dihitung dengan rumus : Indeks x(i) = [x(i) – x(i) min] / [x(i) maks – x(i) min] Dengan demikian indeks kesehatan diperoleh sebesar : (67,8 – 25) / (85 – 25) = 0,713. Indeks pendidikan ditentukan oleh dua komponen yaitu AMH dan RLS dengan proporsi 2/3 untuk AMH dan 1/3 untuk RLS. Oleh karena itu indeks pendidikan diperoleh sebesar : {(2/3) x [(90,1 – 0) / (100 – 0)]} + {(1/3) x [(7 - 0) / (15 – 0)]} = 0,756. Adapun indeks daya beli diperoleh sebesar : (576,3 – 300) / (732,7 – 300) = 0,636. Angka IPM dihitung dengan persamaan : IPM = (1/3) x (indeks kesehatan + indeks pendidikan + indeks daya beli) maka diperoleh IPM = (1/3) x [0,713 + 0,756 + 0,632] = 0,701. Untuk memudahkan pembacaan angka IPM tersebut kemudian dikalikan 100 sehingga dinyatakan IPM sebesar = 70,10, (BPS Kab. Bogor, 2005). Penghitungan yang lebih rumit diperlukan pada waktu menentukan besaran AHH, AMH, RLS dan daya beli. 18 19 Penghitungan akan bertambah rumit jika data dasar yang diperlukan berkenaan dengan komponen-komponen tersebut kurang tersedia sebagaimana sering terjadi di Indonesia. 2.5. Peran Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Indikator yang terdapat dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu indikator pendidikan, kesehatan dan daya beli merupakan indikator yang menggambarkan keberhasilan pembangunan sosial ekonomi di satu wilayah. Penerapan otonomi daerah di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1999 telah memberikan beban tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota dalam upaya peningkatan angka IPM. Berdasarkan UU 22/99 yang telah diperbaharui oleh UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan meliputi penanganan bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, pertanian dalam arti luas, perindustrian dan perdagangan, transportasi dan sebagainya. Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian yang besar pada upaya peningkatan angka IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Pemerintah RI memberikan Dana Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada tiap daerah untuk keperluan pembangunan daerah. Menurut salah satu ketentuan yang ditetapkan dalam PP 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan pasal 40 disebutkan : 1. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. 2. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. 19 20 3. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 4. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil (DBH). 5. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Menurut ketentuan di atas tertulis jelas bahwa pemberian Dana Perimbangan dari pemerintah pusat salah satunya adalah dalam rangka meningkatkan angka IPM di tiap daerah. Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa sejak tahun 1999 pemerintah pusat telah mengalokasikan dan menyalurkan DAU kepada setiap propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan. Pada tahun 2004, pemerintah mengalokasikan DAU untuk 32 propinsi di Indonesia sebesar Rp. 80,3 triliun. Alokasi DAU tersebut menghasilkan angka IPM Indonesia tahun 2005 sebesar 68,7. IPM tersebut adalah IPM kumulatif dari seluruh IPM yang ada di tiap daerah. Menurut Siregar (2007) pada kenyataannya korelasi antara DAU per kapita dengan pertumbuhan angka IPM sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa DAU tidak banyak digunakan untuk menghasilkan program-program pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menunjang pertumbuhan angka IPM. Besaran DAU per kapita tahun 2004 dan angka IPM yang dicapai tahun 2005 untuk 30 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. 20 21 Tabel 5. Dana Alokasi Umum (DAU) per kapita (Rp. Ribu) tahun 2004 dan IPM tahun 2005 No Propinsi 1 Papua 2 Maluku 3 Kalimantan Tengah 4 Maluku Utara 5 Gorontalo 6 Sulawesi Tengah Nusa Tenggara 7 Timur 8 Sulawesi Tenggara 9 Aceh 10 Sulawesi Utara 11 B e n g k u l u 12 J a m b i Kep. Bangka 13 Belitung 14 Kalimantan Timur 15 Sumatera Barat DAU/ Kapita IPM 2005 No 1,559.79 62.10 16 985.98 69.20 17 942.59 73.20 18 880.64 67.00 19 821.89 67.50 20 704.53 68.50 21 673.15 63.60 22 648.47 67.50 23 632.88 69.00 24 625.09 74.20 25 622.57 71.10 26 620.03 71.00 27 603.05 70.70 28 601.32 72.90 29 600.91 71.20 30 Propinsi Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Bali Sulawesi Selatan DI Yogyakarta Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Lampung Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat Banten DKI Jakarta DAU/ Kapita IPM 2005 538.42 67.40 517.89 66.20 515.84 69.80 515.16 68.10 462.47 73.50 394.33 62.40 360.07 72.00 347.89 73.60 345.36 70.20 340.03 68.80 312.40 69.80 293.86 68.40 215.41 69.90 191.36 68.80 85.47 76.10 Sumber : Depkeu (2004), diolah 21