Good Governance dalam Proyek Infrastruktur

advertisement
Good Governance dalam Proyek Infrastruktur
Oleh Nico Aditia, Pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan
Seperti yang kita ketahui, kebutuhan pembangunan infrastruktur akan semakin meningkat seiring
dengan adanya peningkatan aktivitas ekonomi. Kebutuhan akan infrastruktur bahkan semakin kuat
dan mungkin bisa mencapai dua kali lipat dalam beberapa tahun ke depan. Ini sesuai dengan laporan
OECD yang bertajuk “Strategic Transport Infrastructure Needs to 2030 (2011). Laporan tersebut
menyebutkan, Produk Domestik Bruto per kapita (PDB per kapita) di negara-negara berpendapatan
tinggi diperkirakan akan meningkat terus. Bahkan peningkatan PDB per kapita negara-negara maju
akan lebih tinggi dari rata-rata PDB per kapita negara berkembang. Laporan tersebut juga
menyebutkan bahwa PDB per kapita Cina dan India bisa meningkat tiga sampai empat kali pada
tahun 2030. Sejalan dengan laporan tersebut, banyak kalangan memprediksi bahwa kebutuhan
infrastruktur juga akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia.
Dalam laporan OECD tahun 2006-2007 dengan tajuk The Infrastructure to 2030, disebutkan bahwa
dibutuhkan lebih dari USD53 triliun selama periode 2010-2030 untuk kebutuhan investasi infrastruktur
global yang mencakup transportasi darat, telekomunikasi, listrik dan sektor air. Pertumbuhan
kebutuhan investasi akan mencapai sekitra 2,5 persen dari GDP dunia per tahun. Pertumbuhan
kebutuhan investasi ini akan meningkat menjadi 3,5% dari PDB apabila memperhitungkan kebutuhan
investasi untuk pembangkit listrik, minyak, gas dan batubara.
Untuk Indonesia, peningkatan infrastruktur diperkirakan menjadi komponen utama dalam upaya
pemerintah untuk menarik investasi yang lebih besar guna meningkatkan ekonomi dan daya saing.
Oleh karenanya, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas penting yang terus dilakukan. Namun,
upaya ini diperkirakan tidak akan mudah mengingat berbagai hambatan dan tantangan yang harus
dihadapi.
Sebagai gambaran, banyak pihak yang mengatakan bahwa perkembangan infrastruktur di Indonesia
masih berjalan di tempat. Perkembangan infrastruktur juga dinilai tidak mampu mengejar
pertumbuhan ekonomi serta kemajuan negara lain. Kemampuan dalam mengejar pertumbuhan dan
kemajuan negara lain setidaknya terlihat Global Competitiveness Report yang dipublikasikan secara
berkala. Untuk tahun 2008-2009 saja, menurut Global Competitiveness Report, Indonesia berada di
urutan ke-86 dari 134 negara. Urutan tersebut dirasakan masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
negara-negara tetangga, seperti Malaysia (23), Thailand (29), China (47), India (72), Sri Lanka (65)
dan Pakistan (85).
Banyak kalangan juga berpendapat bahwa kondisi infrastruktur secara umum belum akan banyak
berubah kendati beberapa langkah terobosan telah ditempuh. Diperkirakan, listrik merupakan
infrastruktur yang akan lebih dahulu dikembangkan kemudian jalan raya, utamanya jalan tol,
walaupun hal ini masih jauh tertinggal dengan negara lain. Telekomunikasi bisa jadi menjadi
infrastruktur yang paling mapan karena adanya kehadiran teknologi seluler. Sementara gambaran
lebih buruk terlihat untuk infrastruktur yang terkait dengan kepentingan masyarakat banyak, seperti
pengairan, sanitasi, air bersih, dan angkutan umum masal.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan tantangan terbesar
yang harus diatasi. Tentu tantangan tersebut sudah dijawab oleh pemerintah saat ini. Pemerintah
juga terus berupaya menggenjot pembangunan infrastruktur. Tetapi hal tersebut bukan tanpa
masalah. Banyak kendala yang dihadapi dalam menjawab tantangan tersebut, mulai dari masalah
pendanaan hingga persoalan teknis di lapangan.
Dari sisi pendanaan misalnya, saat ini alokasi infrastruktur dalam postur APBN dinilai masih dibawah
standar yang diharapkan. Alokasi anggaran infrastruktur dewasa ini baru mencapai kurang lebih 2
persen terhadap PDB (2012). Sedangkan menurut beberapa pakar dan Asian Development Bank
(ADB), anggaran infrastruktur yang ideal untuk pembangunan infrastruktur Indonesia adalah minimal
5 persen dari PDB. Tentu masalah pendanaan bukan hal yang mudah, karena ruang fiskal pemerintah
juga semakin sempit. Apalagi kemampuan APBN semakin terbatasi oleh beban subsidi energi yang
sangat besar dan penjatahan APBN melalui undang-undang sektoral.
Namun demikian, harapan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur masih ada. Meski
kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur terbatas,
pemerintah masih dapat mengupayakan pembangunan infrastruktur dengan beberapa cara alternatif.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah-Swasta (Public
Private Partnership), Skema Viability Gap Funding (VGF) atau skema pembiayaan unsolucited. Namun
alternatif ini bukannya tanpa masalah. Ada celah yang bisa menjadi permasalahan baik saat
perencanaan maupun pasca pembangunan infrastruktur. Permasalahan tersebut adalah sejauh mana
implementasi tata kelola yang baik (good governance) dari pengelola proyek. Apabila tata kelola
proyek pemerintah baik, maka pemerintah tidak akan kesulitan dalam mengakses pendanaan. Hal ini
terjadi karena investor akan datang dengan sendirinya. Namun, apabila tata kelola proyek tidak baik,
jangan kan investor, perbankan saja tidak akan mau untuk membiayai proyek tesebut. Malah, bisa
jadi, bukan investor yang datang, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi yang siap menjemput
pengelola proyek.
Oleh karena itu, masalah pembiayaan merupakan masalah yang masih bisa diatasi dan masih
memiliki jalan keluar, berupa tiga alternatif yang telah disebutkan. Namun demikian, solusi masalah
pendanaan tidak akan efektif jika tidak ada syarat utama yang dipenuhi, yaitu adanya good
governance dalam pengelolaan proyek.
Maraknya kasus korupsi yang mencuat ke publik merupakan sebuah tanda lemahnya penerapan good
governance. Jika penerapan good governance lemah dalam proyek infrastruktur, sudah pasti hal
tersebut akan menimbulkan banyak permasalahan. Mulai dari pemborosan sampai dengan masalah
hukum. Dampaknya, bukan saja menurunkan kepercayaan masyarakat, tapi juga menurunkan
kepercayaan diri para pejabat pengelola proyek. Hal ini tentu saja akan menghambat eksekusi suatu
proyek infrastruktur.
Good governance tentu bukan saja pekerjaan rumah pemerintah. Tapi hal ini juga merupakan
pekerjaan rumah seluruh stakeholder proyek infrastruktur. Good governance bukan saja diperlukan
pada tingkat implementasi proyek. Good governance juga diperlukan mulai dari rencana usulan
proyek, pembahasan anggaran, pelelangan, pengawasan pelaksanaan proyek, sampai dengan
pertanggungjawaban pelaksanaan proyek. Jadi bukan hanya pengelolaan proyeknya saja, tapi
semenjak embrio ide infrastruktur itu muncul harus dikawal dengan penerapan good governance.
Dengan adanya good governance pada proyek infrastruktur niscaya hambatan pendanaan bukan lagi
masalah. Dukungan semua pihak, terutama investor dan stakeholder proyek infrastruktur menjadi
sangat penting. Bukan saja terkait dengan pendanaan, tapi juga terkait dengan implementasi good
governance dalam proyek-proyek infrasturktur.
Mudah-mudahan good governance bukan menjadi slogan semata. Semoga.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis
bekerja.
Download