resume ushul fiqh dan qawaidh fiqqiyah pertemuan 1 - IBEC

advertisement
RESUME USHUL FIQH DAN QAWAIDH FIQQIYAH
PERTEMUAN 1 –7
PERTEMUAN 1
USHUL FIQH DAN QAWA’ID FIQHIYYAH
Definisi Ushul Fiqh
Ushul fiqih (‫ )أصول الفقه‬tersusun dari dua kata, yaitu ushul (‫ )أصول‬dan fiqih (‫)الفقه‬.
 Pengertian ushul (‫ )أصول‬secara bahasa:
Ushul (‫ )أصول‬merupakan jamak (bentuk plural/majemuk) dari kata ashl (‫ )أصل‬yang
berarti dasar, pondasi atau akar.
 Pengertian fiqih (‫ )الفقه‬secara bahasa:
Fiqih (‫ )الفقه‬secara bahasa berarti pemahaman (‫)الفهم‬.
Pengertian fiqih (‫ )الفقه‬secara istilah:
Fiqih (‫ )الفقه‬menurut istilah mutasyarri’in (ahli syari’ah) adalah ilmu tentang hukumhukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci( ‫العلم‬
‫)باألحكام الشرعية العملية المستنبطة من األدلة التفصيلية‬. Ruang lingkup fiqih terbatas pada hukumhukum yang bersifat aplikatif dan furu’iy (cabang) dan tidak membahas perkaraperkara i’tiqad (keyakinan).
Pengertian ushul fiqih (‫)أصول الفقه‬:
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah: kaidah-kaidah yang dengannya seorang
mujtahid bisa mencapai istinbath (penggalian hukum) terhadap hukum-hukum syar’i
dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Perbedaan Ushul Fiqh dengan Fiqh
Ushul Fiqh
Objek
metodologi penetapan hukum
fiqh sedangkan objek kajian
fiqh
Fiqh
hukum yang berhubungan dengan
perbuatan manusia beserta dalildalilnya yang terperinci
Konsentrasi
metode yang digunakan dalam
deduksi beberapa peraturan
yang terdapat di dalam sumber
pengetahuan dari peraturan detail
hukum Islam dalam berbagai
cabangnya
Objek dan Pokok Pembahasan Ushul Fiqh
Adapun yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqih adalah :
1. Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib,
haram, sunnat, makruh, dan mubah.
2. Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya.
3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.
4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.
Jadi yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqh itu adalah perbuatan mukallaf dari sagi
dapat diterapkan kepadanya hukum-hukum syari’at serta syari’at yang bersifat kully
dari segi dapat ditarik daripadanya hukum yang bersifat kully (umum) pula,sedangkan
yang menjadi pokok pembahasannya adalah :
1. Hukum,yang didalamnya meliputi
wajib,sunnat,makruh,mubah,haram,hasan,qabih,’ada,qada,shahih,fasid,dan lainlain.
2. Adillah ,yaitu dalil-dalil qur’an ,sunnah,ijma’,dan qiyas.
3. Jalan-jalan serta cara-cara beristimbath (turuqul istimbath).
4. Mustambith,yaitu mujthid dengan syarat-syaratnya.
Ushul Fiqh berfokus pada sumber hukum Islam, metode yang diturunkan dari sumber
materi Syariah dan juga mengatur praktek dari ijtihad.
Sumber dari syariah ada dua: wahyu (revelation) dan bukan wahyu (non revelation).
Dimana wahyu menghasilkan fakta dasar dan indikasi yang dapat diturunkan peraturan
mendetail darinya. Sedangkan yang bukan wahyu menghasilkan metodologi dan
petunjuk prosedural untuk meyakinkan pemenuhan yang benar dari sumber wahyu.
Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
Menurut Prof Dr. Amir Syarifuddin, tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh
ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil syara’ yang terinci agar
sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil
itu.
Dua maksud mengetahui ushul fiqh:
(1) Bila kita telah mengetahui metode ushul fiqh, maka bila suatu ketika kita
menghadap suatu masalah baru yang tidak mungkin ditemukan dalam kitab fiqh
terdahulu, maka kita akan mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan
cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu
(2) Bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi
mengalami kesukaran dalam penerapannya, kita bisa merumuskan kaidah baru yang
memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh.
Pendekatan Ilmu Ushul Fiqh
Ada tiga pendekatan ilmu ushul fiqh yaitu:
(1) teoritis (ushul al-shafiiyah atau tariqah al-mutakallimin); berfokus pada tampilan
prinsip.
(2) deduktif (ushul al-hanafiyyah atau tariqah al-fuqaha); lebih cenderung
mengembangkan sebuah sintesis diantara prinsip dan persyaratan dari kasus parsial.
(3) gabungan dari teoritis dan deduktif
Adillah shar’iyyah dan ahkam
Adillah shar’iyyah dan ahkam adalah hukum atau nilai yang mengatur hal yang
dilakukan oleh mukallaf.
Ahkam diturunkan dari adillah. Ahkam memiliki arti membuktikan atau menetapkan
satu hal dalam menghargai yang lainnya dimana bisa berbentuk afirmatif atau negatif.
Jadi, ketika kita mengatakan bahwa air itu tidak dingin atau matahari itu tidak terbit,
ada hukum di dalam kasus ini. (Kamali)
Hukum adalah arti juridis yang digunakan untuk menetapkan sesuatu nilai seperti
sebuah kewajiban (wujub), rekomendasi (nadb), atau perintah atau larangan dalam
menghormati keberlakuan kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum.
Sedangkan secara terminologis, menurut jumhur ushuliyyin, hukum yaitu: “Khitab
(Kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan seseorang mukallaf, baik berupa
iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk
meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara
melakukan dan tidak melakukan) atau wadhi’ (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat atau mani’ (penghalang)).
Menurut fuqaha, pengertian hukum adalah “tuntutan dari khitab (firman) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan seorang mukallaf.”
Sedangkan kata syara’ secara harfiyah artinya membuat peraturan undang-undang,
membuka, memulai, menjelaskan, menerangkan, jalan ke tempat mata air, atau tempat
yang dilalui air sungai, atau peraturan, sesuai dengan firman Allah dalam Qur-an surat
al-Jatsiyah ayat 18.
Pembagian Hukum Syara
1. Hukum Taklifi
Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulullah yang berhubungan langsung dengan
perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk perintah (anjuran untuk melakukan), larangan
(anjuran untuk tidak melakukan) atau dalam bentuk memilih antara berbuat atau tidak
berbuat.
2. Hukum Wadh’i
Khitabullah yang Ia menjadikan sesuatu itu sebagai sebab, syarat, dan mani’
(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi), sah dan
fasad (rusak).
Hukum Taklifi
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) , tahrim
(haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).
 Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan
pasti. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Pembagian wajib berdasarkan orang yang dibebani kewajiban hukum :
1. Wajib ‘Aini (fardhu ‘Ain). Yaitu kewajiban yang disebabkan kepada
setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf) tanpa kecuali.
Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur, kecuali dilakukannya sendiri.
Misalnya kewajiban melaksanakan shalat lima kali sehari semalam
2. Wajib Kifa’i (Fardhu Kifayah). Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada
seluruh mukallaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat
Islam, maka kewajiban itu sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak
ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan untuk melaksanakannya.
Misalnya pelaksanaan shalat jenazah.
3. Wajib muayyan. Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya
adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya seperti kewajiban puasa
Ramadhan, kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.
4. Wajib mukhayyar. Yaitu suatu kewajiban dimana objeknya boleh dipilih
antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kafarat yang
telah dijelaskan dalam Qur-an surat al-Maidah ayat 89. Ayat tersebut
menjelaskan bahwa orang yang melanggar sumpah, dikenakan kafarat.
Jenis kafaratnya boleh memilih antara beberapa macam kafarat tersebut.
Pembagian wajib berdasarkan waktu pelaksannanya :
1. Wajib mutlaq. Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan waktu
pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksaannya
ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melaksanakannya.
Misalnya mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena
uzur. Ia wajib melakukannya, dan dapat dilakukan kapan saja ia
mempunyai kesanggupan.
2. Wajib Muwaqqat. Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi
oleh waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang
telah ditentukan itu. Contohnya puasa Ramadhan, dilaksanakan
bulan Ramadhan dan ibadah haji dilaksanakan pada bulan-bulan
tertentu saja.
Pembagian wajib berdasarkan jumlah atau kadar yang ditentukan :
1. Wajib Muhaddad. Yaitu kewajiban yang telah ditentukan
kadarnya, misalnya kadar zakat fitrah, kadar (nishab) zakat maal.
2. Wajib Ghairu Muhaddad. Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya
yang tidak ditentukan ukurannya, misalnya, nafkah untuk keluarga
tidak ditentukan kadarnya, tergantung kemampuan suami.
 Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan
perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya,
firman Allah surat Al-Baqarah [2]:282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”
Pembagian sunnah dari selalu atau tidak Nabi melakukannya :
1. Sunnah Muakkad. Yaitu sunnah-sunnah yang selalu dikerjakan oleh
Nabi Muhammad, di samping ada keterangan bahwa perbuatan itu,
bukan perbuatan fardhu, contohnya shalat witir.
2. Sunnah Ghairu Muakkad. Yaitu sunnah yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad tetapi tidak terus menerus dilakukan, contohnya
memberi sedekah kepada fakir miskin
Pembagian sunnah berdasarkan kemungkinan meninggalkan perbuatan :
1. Sunnah Huda yaitu: pelaksanaannya dimaksudkan sebagai
penyempurna atau pelengkap kewajiban agama, seperti adzan dan
sholat berjama’ah. Orang yang sengaja meninggalkannya dianggap
sesat dan berdosa, sehingga apabila penduduk suatu daerah sepakat
untuk meninggalkannya, maka mereka boleh diperangi.
2. Sunnah Zaidah (sunnah tambahan), yaitu hal-hal yang dikerjakan
nabi saw., berupa hal-hal biasa yang bersifat akhlak; seperti etika
makan, minum, tidur dan memakai pakaian. Apabila mukallaf
melakukannya adalah lebih baik, sedang bila ia meninggalkannya,
maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa yaitu tidak berkaitan dengan
makruh dan keburukan.
3. Nafal, yaitu yang ditetapkan sebagai tambahan atas fardlu, wajib dan
sunnah, seperti shalat tathawwu’ (sunnah yang dilakukan secara
individu). Contohnya seorang melakukan sholat sunnah empat rakaat
sebelum dzuhur. Seseorang yang melakukannya akan mendapatkan
pahala dan tak ada hukuman dan teguran bagi yang meninggalkannya.
 Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan
dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.”
Pembagian haram :
1. Haram li-dzatihi. Yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah
karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri, seperti
haramnya makan bangkai, minum khamr, berzina dan mencuri.
Bahaya perbuatan tersebut berhubungan langsung dengan lima hal
yang harus dijaga (adh-daruriyat al-khamas) yaitu badan, keturunan,
harta benda, akal dan agama.
2. Haram li-ghairihi. Yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, dimana
adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri,
tetapi perbuatan itu dapat menimbulkan haram lidzatihi, contohnya
jual beli barang-barang secara riba diharamkan, karena dapat
menimbulkan riba, yang diharamkan dzatiah-nya.
 Makruh adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk
tidak berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:
“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu
niscaya menyusahkanmu.”
 Mubah dalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 235:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.”
Hukum Wadh’i
a. Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.
Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78,
b. syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan
hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa:
6
c. Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada
hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi:
“Pembunuh tidak memdapat waris.” Hadis tersebut menunjukkan bahwa
pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu
terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
e. Bathal, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan
tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan
minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai
harta dalam pandangan syara’.
f. Pengertian ‘Azimah secara bahasa berarti kemauan yang kuat.
Menurut istilah adalah Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yang
disyari’atkan Allah sejak semula, tidak berkaitan dengan suatu peristiwa baru.
Contoh : Hukum shalat Dhuhur 4 raka’at adalah hukum asal, itu disebut ‘azimah.
Hukum makan bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu adalah ‘azimah.
g. Pengertian Rukhshah menurut bahasa berarti mudah dan gampang.
Menurut istilah rukhshah berarti suatu nama bagi hukum yang disyari’atkan
karena adanya peristiwa baru yang keluar dari hukum asal karena ada udzur.
Contoh : menjama’ dua shalat karena ada udzur safar (perjalanan) dan hujan;
menqashar shalat bagi musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang dalam
keadaan darurat. Hukum-hukum ini keluar dari hukum asal, dan yang
mempengaruhinya adalah karena ada udzur.
Mahkum fiih, Mahkum Alaih dan ahliyah


Definisi mahkum fih menurut Abdul Wahab Khallaf yaitu: “perbuatan mukallaf
yang berhubungan dengannya hukum syar’i.”
Menurut Syaikh Muhammad Khudari Biek, Mahkum ‘alaih yaitu mukallaf (orang
yang dibebani hukum atau subjek hukum). Sedangkan definisi Mahkum ‘alaih
menurut Abdul Wahab Khallaf yaitu: “Seorang mukallaf yang berhubungan
dengan kemampuan mengerjakan hukum syari’.

Pengertian Ahliyyah
=>> Secara etimologi ahliyyah berarti“kecakapan menangani suatu urusan”
=>> Secara terminologi, para ahli ushul fiqh mendefenisikan ahliyyah dengan
suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’
Pembagian Ahliyyah
1. Ahliyyah Al-wujub adalah kecakapan seseorang menerima hak-hak yang
menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajibannya.
Para ulama ushul membagi lagi Ahliyyah Al-wujub kepada dua bagian:
=>> Ahliyyah Al-wujub An-Naqishah
yaitu ketika seseorang masih berada dalam kandunga ibunya(janin).
=>> Ahliyyah Al-wujub Al-Kamilah
yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir, sampai ia
dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang seperti orang
gila.
2.Ahliyyah Al-Ada’ adalah kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah
dianggap sempurna untuk bertanggung jawab atas seluruh perbuatannya , baik
yang bersifat positif maupun negatif.
Para ulama ushul membagi lagi Ahliyyah Al-ada’ kepada dua bagian:
=>>Adimul ahliyah li al-ada’ (tidak memiliki kecakapan untuk bertindak) yaitu
manusia sejak lahir sampai mencapai tamyiz sekitar umur 7 tahun.
=>>Ahliyah al-ada al-Naqishah (kecakapan bertindak tidak sempurna) yaitu
cakap berbuat hukum secara lemah yaitu manusia yang telah mencapai usia
tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.
=>>Ahliyah al-Ada’ al-Kamilah, yaitu kecakapan bertindak secara sempurna
yaitu
seseorang yang telah mencapai usia dewasa (usia baligh).

Awaridh al-Ahliyah
Awaridh Samawiyah. Yaitu penghalang yang datangnya bukan dari diri manusia, dan
bukan pula dari kemauannya tetapi memang datangnya dari Allah Ta’ala.
Diantaranya :
• Al-Junun (gila)
• Al-Ikrah (dipaksa)
• Usia Kanak-Kanak
• Al-Ighma (pingsan)
• An-Naum (tidur)
• Al-Maradh (sakit)
• Al-’Ittah (lemah akalnya)
• Haidh dan Nifas
• An-Nisyan (lupa)
• Al-Maut (Mati)
• Al-Khata (kesalahan)
Awaridh Muktasabah. Yaitu penghalang yang terjadi dengan kehendak manusia, baik
dari dirinya sendiri maupun dari luar dirinya.
Diantaranya :
•
•
•
•
As-Sakr (mabuk)
Al-Hazl (bergurau)
As-Safah (Bodoh)
As-Safar (Perjalanan)
PERTEMUAN 2
SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM :
AL QUR’AN DAN SUNNAH
Pengertian Al-Qur’an dan Hadist
 Secara etimologis, kata Al Qur’an merupakan ‘isim mashdar dari fi’il madli “ ‫ “ قرأ‬yang
artinya membaca, menelaah, mempelajari.
Pengertian Al Qur’an secara terminologis Menurut Istilah Ahli Usul Fiqh Dan Ahli
Fiqh adalah kalam Allah, yang menjadi mukjizat, yang diturunkan kepada nabi SAW,
yang dituliskan di mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir, dan dipandang sebagai
ibadah bagi yang membacanya.
 Sunnah secara etimologis yaitu perjalanan hidup, jalan/cara, tabiat, syariah, yang jamaknya
adalah al-sunnan.
 Pengertian hadist secara etimologis memiliki arti kabar, kejadian, sesuatu yang baru,
perkataan, hikayat dan cerita.
Pengertian hadist secara terminologis adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah SW,
baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya setelah beliau diangkat menjadi Nabi.
Pembagian sunnah dilihat dari materi dan isinya, terbagi kepada :
1. Sunnah Qauliyah (ucapan), yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau
dan disampaikan kepada orang lain.
2. Sunnah Fi’liyah (perbuatan), yaitu perbutan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang
lain dengan ucapannya.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan
di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi.
Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain
dengan ucapannya.
Pembagian hadits dilihat dari jumlah perawi terbagi kepada :
1. Hadist Mutawatir, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak perawi
yang secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta sejak tingkat
awal sanad sampai akhir sanad.
Hadist mutawatir terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
i.
Mutawatir lafdzi, yaitu hadist yang disepakati oleh para perawi, bahwa ia mutawatir
dari segi lafal dan makna.
ii.
Mutawatir maknawi, yaitu hadist yang disepakati para perawi dari segi maknanya,
tidak lafalnya, sehingga maknanya menjadi terputus, meskipun lafalnya tidak sampai
ke derajat putus. Contohnya hadist tentang mengusap sepatu (khuf).
2. Hadist Masyhur, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi tidak sebanyak
orang yang meriwayatkan hadist mutawatir, kemudian menyamai tingkatan mutawatir pada
masa-masa sahabat dan pada masa-masa sesudahnya.
3. Hadist ‘Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau lebih, yang
tidak terpenuhinya syarat masyhur dan mutawatir.
Pembagian hadits dilihat dari penerimaan dan penolakan :
1. Hadist shahih, yaitu hadist yang sanadnya muttasshil (bersambung) sampai kepada Nabi
Muhammad SAW., melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral yang baik (‘adl) dan tingkat
kapasitas intelektual yang mumpuni, tanpa ada kejanggalan dan cacat, baik dalam matan
maupun sanadnya.
2. Hadist hasan, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tapi tidak begitu kuat
hafalannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illah, serta kejanggalan dalam
matannya. Hadist hasan termasuk hadist maqbul. Biasanya hadist ini dijadikan hujjah untuk
hal-hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
3. Hadist dha’if, ialah hadist yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang
yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat. Menurut Imam Nawawi, yaitu hadist yang
tidak memenuhi kualifikasi hadist shahih maupun hadist hasan.

Dilihat dari gugurnya perawi, maka hadist dibagi menjadi :
Hadist yang terputus sanadnya
Mu’allaq
Mursal
Mudallas
Munqathi
Mu’dhal

: hadist yang dari permulaan sanadnya gugur seorang rowi atau lebih,
dengan berturut-turut
: Hadits yang gugur pada akhir sanadnya setelah tabi’in.
: Hadits yang menyembunyikan cacat dalam sanad,
: satu hadist yang di tengah sanadnya gugur seorang rowi atau beberapa rowi,
tetapi tidak berturut-turut.
: hadist yang ditengah sanadnya gugur dua rowi atau lebih dengan berturutturut.
Hadist yang cacat perawinya
Maudhu’
Matruk
Mungkar
Mu’allal
Mudhthorib
Munqalib/maqlub
Mudraj
Syadz
: hadits dusta yang dibuat-buat dan dinisbahkan kepada
rasulullah(perawi berdusta)
: hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tertuduh sebagai
pendusta.
: hadits yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadits lain
yang lebih kuat.
: hadits yang setelah dilihat dengan lebih teliti terdapat ‘cacat’ atau
aib yang menggugurkan kesahihannya, meskipun secara dhohir
terlihat selamat dari cacat tersebut.
: hadist yang diriwayatkan dengan berbagai riwayat versi beragam
yang mempunyai kekuatan yang sama atau berimbang, yang tidak
memungkinkan untuk digabungkan ( al-jam’) antara keduanya, dan
tidak memungkinkan pula ditarjih (dipilih) salah satu dari keduanya.
: hadis yang diriwayatkan dengan cara menganti kata-kata lain baik
pada sanad maupun muatannya
: hadis yang bentuk sanadnya diubah atau ke dalam matannya
dimasukkan sesuatu kata atau dua kalimat yang sebetulnya bukan
bagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.
: hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh
namun bertentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat
dan perawinya lebih tsiqoh
Nasikh dan Mansukh
 Secara etimologis, nasakh berarti membatalkan, dan menghapus, sedangkan menurut AlBarizi, nasakh secara etimologis berarti mengganti.
 Secara terminologis, nasakh yaitu pembatalan mengamalkan hukum syara’ oleh dalil
yang datang kemudian.
2 pendapat ulama tentang nasakh, yaitu:
Pendapat yang menerima
 Karena ada nash Al-Qur’an yang menjelaskan adanya nasakh, yaitu dalam surat Al
Baqarah ayat 106 :
“Ayat mana saja yang kami nasakh kan, atau kami jadikan manusia lupa kepadanya,
kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
 Karena terkadang ada dua dalil yang seakan-akan bertentangan dan keduanya tidak
bisa digabung dan/atau dikompromikan.
 Allahlah yang membuat syariat, maka Allah pulalah yang berhak menghapus,
membatalkan, atau menggantinya. Hal ini dijelaskan dalam surat An-Nahl ayat 101 :
“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya,
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata :
sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-adakan saja, bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui”
Pendapat yang menolak
 Surat Al-Kahfi ayat 27 :
“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kepada kitab Tuhanmu (Al
Qur’an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat Nya. Dan kamu
tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada nya.”
 Kalau ada nasakh dalam Al-Qur’an akan mengakibatkan hilangnya sifat kemukjizatan
Allah.
 Sesungguhnya dua ayat yang bertentangan dapat dikompromikan, karena yang
demikian itu hanya berbeda di dalam lafalnya saja, tetapi intinya (makna) sama.
 Tidak ada hikmah dan manfaatnya dalam nasakh.
Macam-Macam Nasakh
A. Abdul Wahab Khallaf membagi nasakh kepada :
 Nasakh sharih (nasakh yang jelas), yaitu nasakh yang telah diterangkan dengan jelas
dalam nash.Contoh dalam surat Al Anfal ayat 65-66 :
 Nasakh Al Dhamani, yaitu Allah tidak menerangkan dengan jelas, bahwa ayat itu
telah dihapus secara zahir seakan-akan bertentangan, dan tidak mungkin
dikompromikan kedua dalil tersebut, maka solusinya ayat yang datang belakangan
dihapus (di nasakh) dengan ayat yang datang kemudian. Contoh yang terdapat dalam
surat Al Baqarah ayat 180
B. Berdasarkan Muhammad bin Sholeh al Utsaimin :
 Yang di nasakh adalah hukumnya, lafalnya tetap. Contoh nya terdapat dalam surat Al
Anfal ayat 65-66:
 Lafalnya telah di nasakh, tetapi hukumnya tetap berlaku.Contohnya adalah ayat tentang
hukuman rajam. Lafal ayat tersebut telah di-nasakh, akan tetapi hukumnya tetap berlaku
 Yang di nasakh hukumnya dan lafalnya.Contohnya, perkataan Aisyah tentang persusuan
:Menurut Aisyah r.a., “dahulu tatkala Al Qur’an diturunkan, sepuluh kali susuan itu
menyebabkan mahram, kemudian dihapus menjadi lima kali susuan”
C. Dalam pembagian lain, nasakh dibagi lagi menjadi :
 Al Qur’an me-nasakh Al Qur’an. Contohnya terdapat dalam surat Al Baqarah ayat
187
 Sunnah me-nasakh Al Qur’an
 Al Qur’an me-nasakh Sunnah
Syarat-syarat terjadinya nasakh, yaitu :
 Nash yang seakan-akan bertentangan tidak bisa digabungkan atau dikompromikan.
 Harus diketahui mana nash yang datang lebih dahulu, dan mana nash yang datang
kemudian. Nash yang datang lebih dahulu disebut mansukh dan ayat yang datang
kemudian disebut nasikh.
 Nash nya harus shahih, karena menurut jumhur ulama, nasikh harus lebih kuat dari
mansukh atau semisal/sederajat dengannya. Sehingga menurut mereka dalil mutawatir
tidak bisa di-nasakh dengan dalil ahad, walaupun dalil ahad itu shahih.
Yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya
ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.
Secara temionologis,difinisi sanad ialah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada
matan hadis”.
Ta’arudh
 Secara etimologis, ta’arudh berarti bertentangan.
 Secara terminologis, ta’arudh berarti pertentangan dua dalil, antara satu dalil
berbeda/bertentangan dengan dalil lainnya.
 Unsur-unsur Ta’arudh:


Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam arti
yang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat Al Qur’an, samasama hadist mutawatir, atau sama-sama hadis ahad.
 Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang
satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.
 Dalil yang bertentangan tersebut memiliki kesamaan dari segi waktu munculnya.
Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnya
dalil.
 Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya maupun pada
segi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama pada
tingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir.
Cara menyelesaikan Ta’arudh :
Terjadi perbedaan pendapat mengenai urutan metode penyelesaian dalil ta’arudh.
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah :
Nash wa Mansukh
Tarjih
al jam’u wal tarjih
Tasaqut ad Dalalain
Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Malikiyyah, yang juga terdapat dalam kitab
Wahbah az Zuhaili :
al jam’u wal tarjih
Tarjih
Nash wa Mansukh
Tasaqut ad Dalalain
Contoh dalil Al Qur’an yang bertentangan (ta’arudh) adalah;
ْ ‫ع‬
ْ َ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِمن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َواجًا يَت َ َربَّصْنَ ِبأَنفُس ِِه َّن أَرْ بَعَةَ أ‬
َ‫علَ ْي ُك ْم ِفي َما فَعَ ْلن‬
َ ‫ش ًرا فَ ِإذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَه َُّن فَالَ ُجنَا َح‬
َ ‫شه ٍُر َو‬
}234{ ُُ‫ير‬
ُ ‫وف َوهللاُ ِب َما ت َ ْع َملُونَ َخ ِب‬
ِ ‫ِفي أَنفُس ِِه َّن ِب ْال َمع ُْر‬
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
..." (Al-Baqarah: 234)
Dan firman Allah swt. Lainnya
ْ ‫شه ٍُر َوالالئِي لَ ْم يَ ِح‬
ْ َ‫سائِ ُك ْم ِإ ِن ارْ ت َ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّتُه َُّن ثَالثَةُ أ‬
ُ ُ ‫ضنَ َوأ‬
َ‫ضعْن‬
َ َ‫والت األحْ َما ِل أ َ َجلُه َُّن أَ ْن ي‬
َ ِ‫يض ِم ْن ن‬
ِ ‫َوالالئِي يَئِسْنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
َّ ‫ق‬
}4{ ‫اَّللَ يَجْ عَ ْل لَهُ ِم ْن أَمْ ِر ِه يُس ًْرا‬
ِ َّ ‫حَمْ لَه َُّن َو َم ْن يَت‬
….. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. …" (At Thalaq: 4)
1. Dengan menggabungkan dan mengkompromikan (al jam’u wal al taufiq)
Ayat pertama bersifat umum, yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya, baik
hamil atau tidak hamil wajib beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Ayat kedua juga
bermakna umum, yaitu setiap wanita hamil yang ditinggal mati suaminya atau bercerai hidup
wajib beriddah sampai melahirkan kandungannya. Dengan demikian, sepintas terbaca dari
kedua ayat tersebut saling bertentangan. Namun pertentangan itu, seperti dikemukakan oleh
Abdul Karim Zaidan, ahli usul fiqh dari irak, dapat dikompromikan sehingga keduanya
berfungsi. Keduanya dikompromikan dengan menyatakan bahwa iddah perempuan hamil
yang ditinggal mati suaminya adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah yang
disebut oleh kedua ayat di atas, yaitu sampai melahirkan atau 4 bulan 10 hari. Artinya jika
perempuan itu melahirkan sebelum samapai 4 bulan 10 hari sejak suaminya meninggal, maka
iddahnya menunggu 4 bulan 10 hari, dan jika sampai 4 bulan 10 hari, perempuan itu belum
juga melahirkan, maka iddahnya sampai ia melahirklan.
2. Mentarjih : adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan.
Contoh dalil yang perlu ditarjih
ُ ‫ع‬
َّ ‫ع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوأَقِي ُموا ال‬
‫ظ بِ ِه َم ْن‬
َ ‫ش َهادَة َ ِ ََّلِلِ ذَ ِل ُك ْم يُو‬
َ ‫ي‬
ْ ‫ارقُوه َُّن بِ َم ْع ُروفٍ َوأ َ ْش ِهدُوا ذَ َو‬
ِ َ‫فَإِذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَأ َ ْم ِس ُكوه َُّن بِ َم ْع ُروفٍ أَ ْو ف‬
َّ ‫ق‬
َّ ِ‫َكانَ يُؤْ ِمنُ ب‬
‫اَلِلَ يَجْ عَ ْل لَهُ َم ْخ َر ًجا‬
ِ ‫اَلِلِ َو ْاليَ ْو ِم‬
ِ َّ ‫اآلخ ِر َو َم ْن يَت‬
“…dan persaksikanlah dengan dua saksi yang adil diantara kamu…”(At Thalaq :2)
Dan firman Allah swt. Lainnya
ُ ‫ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأ َ ْربَعَ ِة‬
َ ‫ش َهدَا َء فَاجْ ِلدُو ُه ْم ث َ َمانِينَ َج ْلدَة ً َوال ت َ ْقبَلُوا لَ ُه ْم‬
َ‫ش َهادَة ً أَبَدًا َوأُولَئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬
ِ ‫صنَا‬
َ ْ‫َوالَّذِينَ يَ ْر ُمونَ ْال ُمح‬
“….dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamany....”(An Nur : 4)
Ayat pertama adalah nash yang mufassar, mengandung kemungkinan bahwa
kesaksian orang yang menuduh orang lain bebuat zina tanpa bukti, apabila telah bertaubat.
Karena setelah bertaubat, orang tersebut termasuk kategori orang adil. Sedangkan ayat kedua
merupakan nash yang muhkam, karena ada penegasan kata “selama-lamanya”.
Konsekuansinya kesaksian penuduh zina tetap tidak dapat diterima selama-lamanya.
Meskipun ia telah bertaubat dan diakui keadilan sikapnya. Dengan demikian keduanya saling
bertentangan. Akan tetapi mengingat ayat pertama termasuk mufassar dan ayat kedua
termasuk muhkam, maka yang pertama dikalahkan oleh yang kedua. Berdasarkan pentarjihan
itu, kesaksian orang tersebut tetap ditolak.
3. Dengan metode al nasakh : Meneliti mana diantara kedua dalil itu yang lebih dahulu turun
atau di tetapkan, jika tidak ada peluang untuk mentarjih. Jika diketahui, maka dalil yang
terdahulu dianggap telah di-nasikh oleh dalil yang kemudian.
4. Tasaaqut ad-Dalalain. Jika tidak mungkin diketahui mana yang terdahulu, maka kedua dalil
itu tidak dapat digunakan. Dalam keadaan demikian, seorang mujtahid hendaklah merujuk
kepada dalil lain yang lebih rendah bobotnya seperti hadits, qiyas atau ijma’ ulma’.
PERTEMUAN 3
ATURAN INTERPRETASI TEKS: MENURUNKAN HUKUM DARI SUMBER-NYA
Pengertian Tafsir dan Ta’wil




Secara bahasa tafsir berasal dari kata Al-Fasru yaitu menyingkap sesuatu yang
ditutup.
Menurut Az-Zarkasyi, Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang
diturunkan kepada Muhammad, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan
hukum dan hikmah-hikmahnya.
Secara bahasa ta’wil berasal dari kata “a-u-l” yang berarti kembali ke asal. Atas dasar
ini maka ta’wil al-kalam (penakwilan terhadap suatu kalimat), Dan menurut istilah
adalah suatu makna yang menjadi tempat kembali perkataan pembicara, atau suatu
makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan.
Tafsir memiliki arti “penjelasan” sedangkan Ta’wil memiliki arti “interpretasi yang
mengandung kiasan”. Tafsir pada bertujuan untuk menjelaskan arti dari teks
tertentu dan menurunkan hukum darinya dalam batasan-batasan kata dan kalimat
di dalamnya(eksplisit). Sedangkan Ta’wil, memiliki arti harfiah dalam kata-kata dan

kalimat yang dibaca sebuah arti tersembunyi dimana selalu berdasarkan alasan
yang spekulatif dan ijtihad(implisit).
tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam
Sunnah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedangkan ta’wil
adalah apa yang disimpulkan para ulama
Metode Istinbath Hukum Melalui Pendekatan Bahasa
Metode istinbath hukum melalui pendekatan bahasa, meliputi pokok bahasan sebagai berikut:
 Lafal dari segi shighat taklif
Terbagi atas
1. Amr( Perintah)
Amr / perintah yaitu lafadz yang menunjukan permintaan dari pihak yang lebih
tinggi kepada pihak yang lebih rendah.
Shighat-shigat yang menunjukan amr adalah sebagai berikut :
a) Fi’il amr, seperti dalam ayat al-qur’an :
‫ياأيها الذين أمنوا هللا اتقوا هللا حق تقاته وال تموتن إال وأنتم مسلمون‬
Lafadz ‫ اتقوا‬adalah fi’il amr yang berarti bertakwalah, yang berarti perintah atau
kewajiban bertakwa kepada allah
b) Sighat mudhari' yang disertai lam amr seperti dalam ayat al-Qur’an :
‫لينفق ذو سعة من سعته‬
Lafadz ‫لينفق‬adalah fi’il mudhari' yang disertai lam amr yang berarti perintah atau
kewajiban orang kaya untuk menginfakan sebagian hartanya.
c) Sighat jumlah khobariyah yang bermakna permintaan (thalab), seperti
dalam ayat al-Qur’an :
‫والوالدات يرضعن أوالدهن حولين كاملين‬
Lafadz ‫ يرضعن‬adalah sighat jumlah khobariyah yang berarti perintah atau
kewajiban bagi setiap keluarga atau ibu (menyusui) untuk menyusui anak selama
2 tahun.
Dilalah Amr (makna setiap ungkapan perintah)
Menurut mayoritas ulama, kaidah ushul / ketentuan yang berlaku adalah:
Setiap amr (ungkapan perintah) menunjukan makna wajib, selama tidak ada dalil
yang menunjukan makna selain wajib.
2. Nahi(Larangan)
Nahyi / larangan yaitu lafadz yang menunjukan larangan untuk dikerjakan.
Shigat-shigat yang menunjukan nahyi adalah sebagai berikut :
a. Fi’il nahyi (la taf'al), seperti dalam ayat al-Qur’an :
‫وال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل‬
Lafadz ‫وال تأكلوا‬adalah fi’il nahyi yang berarti larangan memakan harta
dengan cara bathil.
b. Lafadz tahrim, seperti dalam ayat al-Qur’an :
... ‫حرمت عليكم الميتة والدم‬
Lafadz ‫حرمت‬berarti larangan untuk memakan bangkai, darah...
c. Nafyu al Hal (tidak halal untuk dilakukan), seperti dalam ayat al-Qur’an:
‫ياأيها الذين أمنوا ال يحل لكم أن ترثوا النساء كرها‬
Lafadz ‫ال يحل‬itu berarti maknanya larangan.
d. Perintah untuk meninggalkan suatu pekerjaan, seperti dalam ayat alQur’an :
‫فاجتنبوا الرجس من األوثان واجتنبوا قول الزور‬
Lafadz ‫ فاجتنبوا‬itu berarti larangan berkata kotor.
Dilalah Nahi (makna setiap ungkapan perintah) :
Menurut mayoritas ulama, kaidah ushul yang beraku adalah setiap Nahyi menunjukan
makna haram dan larangan melakukan hal dilarang selama tidak ada dalil yang
menunjukan makna lain

Lafal dari segi kandungan pengertian
1. Am
Secara etimologis, ‘am berarti mencakup dan meliputi. Sedangkan secara
terminologis (istilah) ushul fiqig, yaitu: “Lafal yang meliputi semua pengertian
yang patut baginya pada satu kata.”
Shighat-shigatnya adalah sebagai berikut :
• Lafadz-lafadz Jama' seperti ‫ معاشر‬،‫ معشر‬،‫ جميع‬،‫كل‬: ،‫ كافة‬،‫ عامة‬، seperti: ‫كل‬
‫امرئ بما كسب رهين‬
• Lafadz Jama' dengan alif lam atau idhafah, seperti:‫قد أفلح المؤمنون‬
• Lafadz mufrad dengan alif lam atau idhafah, seperti: ‫والسارق والسارقة‬
‫فاقطعوا أيديهما‬
• Lafaz Nakirah dalam siyaq nafi atau nahi atau syart, seperti: ‫ال وصية‬
‫لوارث‬
• Asma Mausuhulah seperti, ma, man, alladzi, seperti:‫وأحل لكم ما وراء ذلكم‬
• Asma Syarth seperti, Ai, Aina, seperti dalam:‫فمن شهد منكم الشهر فليصمه‬
• Asma istifham seperti, mata, madza, seperti‫أين ما كنتم تدعون من دون هللا‬
2. Khas dan Takhshish
Secara etimologis, khas (khusus) yaitu lawan dari umum. Sedangkan secara
terminologis yaitu: “Lafal yang menunjukkan atas sesuatu yang terbatas dengan
orang tertentu atau bilangan tertentu, seperti nama-nama, istilah dan bilangan.”
Secara etimologis, takhshish yaitu lawan dari ta’mim. Sedangkan secara
terminologis, takhshish yaitu: “Mengeluarkan bagian dari anggota (satuan) yang
umum.”

Dalil takhshish terbagi kepada dua macam, yaitu:
Muttashil (bersambung) yaitu yang tidak berdiri sendiri
Munfashil (terpisah) yaitu yang berdiri sendiri
Kaidah ushul yang berlakua untuk lafadz jama’ adalah Lafadz menunjukan
makna umum selama belum ada pengkhususan (takhshih). Jika ada nash yang
mentakhsisnya, maka makna yang jadi rujukan adalah nash yang
mentakhsisnya.
3. Mutlaq
Lafadz Muthlaq yaitu lafadz yang menunjukan makna umum (yang tidak tertentu
dan tidak disifati).
4. Muqayyad
Lafadz Muqayyad yaitu lafadz yang menunjukan makna tertentu dan disifati.
Seperti ‫( طالب مجد‬pelajar yang sugguh-sungguh).
Dilalah muthlak dan muqayyad
“Lafadz mutlak bermakna muthlaq (umum) sebelum ada yang membatasinya.”
“Lafadz muqayad bermakna khusus sebelum ada penghapusan batasan tersebut.”
 Lafal dari segi kejelasan artinya
1. Nash : Lafal yang menunjukkan artinya sebagai dalil yang tidak ada kemungkinan
untuk ditakwil.
2. Zahir : Lafal yang mengandung dua kemungkinan makna, namun salah satu di
antara keduanya lebih jelas.
3. Mujmal : Lafal yang tidak diketahui maksudnya kecuali dengan bantuan lafal lain.
Terkadang dari aspek ketentuannya, sifatnya atau kadarnya.
4. Mubayyan: Lafal yang dapat dipahami maksudnya, terkadang dengan makna
aslinya atau setelah dijelaskan maknanya.
5. Mufassar : Suatu lafal yang menunjukkan dengan sendirinya makna yang terinci,
yang tidak mungkin ditakwil.
6. Muhkam : Suatu lafal yang menunjukkan atas maknanya yang tidak mungkin
menerima pembatalan, pergantian dan takwil, karena dalilnya telah jelas dengan
sendirinya
 Lafal dari segi tidak terang artinya
1. Khafi
: Lafal yang menunjukkan maknanya sebagai dalil yang jelas,
tetapi dalam praktik maknanya atas sebagian satuan mengandung kesamaran yang
membutuhkan kepada analisa dan pemiki
2. Musykil
: Bentuk lafal yang tidak menunjukkan kepada maksudnya,
tetapi dapat diketahui melalui Qarinah (indikasi) luar yang menjelaskan
maksudnya.
3. Mutasyabih
: Lafal yang tidak ditunjukkan oleh lafalnya itu sendiri kepada
maksudnya itu dan tidak terdapat indikasi luar yang menerangkannya, hanya
Allah yang mengetahuinya dan lafal tersebut tidak bisa diinterpretasikan.
4. Musytarak
: Lafal yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan
penggunaan yang bermacam-macam
PERTEMUAN 4
ATURAN INTERPRETASI TEKS: al-Dalalat (Implikasi Tekstual)
Dengan referensi dari aturan Al Qur’an dan Sunnah, ulama ushul fiqh membedakan beberapa
bentuk dari arti/makna yang mungkin disampaikan oleh suatu nash.
Hanafi membedakan 4 level arti/makna, yaitu ibarah al-nass, isharah al-nass, dalalah alnass, iqtida' al ‘Ibarah al-Nashs dikenal juga dengan mantuq sharih dalam kalangan
Hanafiyah.Mantuq sharih, yaitu sesuatu yang diucapkan secara tegas. Contohnya
dalam surat An-Nisa ayat 3
 Dalalah al-isyarah yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi,
namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi
dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.Contohnya dalam surat Al-Ahqaf ayat
15
 Dalalat al nashsh berasal dari analogi dan identifikasi dari ‘illah yang biasa terjadi di
antara makna yang eksplisit dan makna yang berasal dari indikasi. Beberapa ulama
menyebutkan bahwa Dalalat al nashsh sama dengan qiyas jali.
 Dalalah al-Iqtidha, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam
pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali
dengan adanya penyisipan itu.
Dalalah al-Iqtidha terbagi kepada tiga macam, yaitu :
1) Suatu lafal yang mengungkapkan tunjukan maknanya yang tersembunyi bersifat wajib
agar makna lafal tersebut menjadi benar.
Contohnya hadist Rasulullah SAW :
“Tidak ada wasiat kepada ahli waris” (HR. Bukhari)
lafal tersebut penunjukkan maknanya tidak jelas. Oleh karena itu, agar
penunjukkan makna lafal itu menjadi sempurna, harus ditunjukkan maknanya yang
tersembunyi, yaitu “sah”, sehingga berbunyi :
“Tidak sah wasiat kepada ahli waris”
2) Suatu lafal yang tunjukan maknanya yang tersembunyi wajib dikemukakan
berdasarkan konsekuensi pertimbangn logis.
Contohnya dalam surat Yusuf ayat 82:
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang
kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.”
Dalam ayat di atas, diperintahkan untuk bertanya kepada negeri, padahal
negeri itu tidak bisa ditanya karena benda mati. Agar tunjukan makna lafal ini dapat
dipahami dengan benar, harus dimunculkan makna yang tidak terungkap pada
lahirnya, yaitu kata “penduduk negeri” sehingga berbunyi “tanyalah penduduk negeri”
3) Suatu lafal yang tunjukan maknanya wajib ditakdirkan berdasarkan konsekuensi
syara’
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 178
Logika terbalik (Mafhum al-Mukhalafah)
Mafhum al-Mukhalafah yaitu pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan.
Ulama ushul membagi Mafhum al-Mukhalafah kepada:
•
Mafhum ash-shifah (Implication of the Attribute)
Contohnya : Zakat binatang ternak, apabila telah mencapai 40 ekor kambing” (HR.
Malik dan Abu Daud) Hadist di atas menggunakan lafal (yang diternak di padang
rumput lepas tanpa perlu diambilkan makanannya), jika dipahami secara mafhum
mukhalafah, maka binatang ternak (yang diambilkan makanannya), maka tidak ada
kewajiban menzakatkan ternak kambing yang ma’lunah*.
hadist di atas menurut jumhur ulama menunjukkan dua hukum. Pertama, hukum yang
ditarik melalui mantuq, yaitu berupa kewajiban membayar zakat ternak kambing assimah. Kedua, hukum yang ditarik melalui mafhum mukhalafahnya, yaitu tidak ada
kewajiban menzakatkan ternak yang ma’lufah (yang diambilkan makanannya).
Hukum yang disebut kedua ini, yaitu tidak wajib menzakatkan kambing yang
ma’lunah, disepakati sebagian ulama Hanafiah.
•
Mafhum al-ghayah (Implication of the Extent)
Contohnya yaitu surat Al-Baqarah ayat 187 :
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar.”
Contoh lainnya, yaitu :
“Tidak wajib mengeluarkan zakat sampai mencapai setahun”
•
Mafhum asy syarat (Implication of the Condition)
Contohnya dalam surat Ath-Thalaq ayat 6
•
Mafhum al-’adad (Implication of the Stated Number)
Contohnya yaitu surat An Nur ayat 2:
“Perempuan yang berzina dal laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Berdasarkan mafhum al-adad yang terdapat pada ayat di atas, maka tidak sah deraan
yang kurang atau lebih dari 100 kali.
 Mafhum laqab
Contohnya hadist berikut :
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama-sama jenisnya” (HR
Muslim)
Secara mafhum laqab, boleh jual beli sejenis, bila bukan emas.
PERTEMUAN 5
QIYAS
Pegertian Qiyas
Qiyas memiliki arti mengukur panjang dan lebar atau kualitas dari sesuatu.
Qiyas adalah perluasan dari nilai syariah dari kasus asli (asl) kepada kasus baru disebabkan
kasus baru memiliki penyebab efektif yang sama dengan kasus asli.
Rukun-Rukun Qiyas
•
Kasus asli (asl) : Dimana sebuat peraturan diberikan dalam teks yang dicari oleh
analogi untuk memperluas kepada sebuah kasus baru
Asl mempunyai dua arti. Pertama merujuk kepada sumber (Quran dan sunnah).
Kedua arti dari Asl itu subjek sesuatu yang diberi peraturan
•
Kasus baru (far’) : Dimana sebuah peraturan dibutuhkan
Kasus baru harus memenuhi 3 kondisi ini:
1. Kasus baru tidak boleh teratasi oleh Quran dan sunnah ataupun Ijma’.
2. Penyebab efektif dari analogi harus dapat diaplikasikan kepada kasus baru dengan
jalan yang sama yang dilakukan pada kasus asli.
3. Aplikasi qiyas kepada kasus baru harus tidak menghasilkan perubahan dalam hukum
yang ada di Quran dan sunnah (qiyas tidak boleh melawan aturan yang ada di Quran
dan sunnah)
•
Penyebab efektif (illah): Dimana sebuah atribut (wasf) dari asl dan ditemukan
sebagai hal yang umum untuk kasus asal dan kasus baru
Kondisi penyebab efektif harus mengikuti 5 hal:
1. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, ‘illah harus sebuah atribut yang konstan
(mundabit) yang dapat diaplikasikan ke semua kasus tanpa dipengaruhi oleh
perbedaan orang, waktu, tempat dan keterbatasan.
2. Penyebab efektif harus jelas (zahir), bukan sesuatu yang tidak jelas seperti
kesengajaan, goodwill, dan lain-lain.
3. ‘Illah harus merupakan atribut yang tepat dan mempunyai hubungan yang beralasan
kepada hukum dari Quran dan sunnah.
4. ‘Illah harus sesuatu yang membutuhkan objek (muta’addi)
5. Harus bukan sebuah atribut yang melawan Quran dan sunnah.
•
Peraturan (hukm) : Mengatur kasus asli yang diperluas menjadi kasus baru
Hukm harus memenuhi 4 kondisi ini:
1. Hukm harus merupakan sebuah peraturan syariah yang bersifat praktis
2. Hukm harus rasional atau dapat dimengerti alasan atau penyebab diberlakukannya
3. Hukm harus tidak terbatas pada situasi pengecualian atau pernyataan parsial dari
suatu urusan.
4. Hukum dari teks harus merepresentasikan asal dari peraturan umum dari qiyas pada
tempat pertama.
Ilustrasi Qiyas
 Ayat tersebut secara eksplisit melarang meminum khamr. Apabila pelarangan ini
diperluas dengan analogi kepada obat-obatan terlarang, empat pilar analogi dalam
contoh ini akan menjadi:
Asl :Minum Khamr
Far’ :Konsumsi obat-obatan terlarang
‘Illah :Efek memabukkan
Hukm :Pelarangan
Jenis-Jenis Qiyas
1. Analogi yang superior (Qiyas al-Awla) .Contoh dalam QS: al-Isra ayat 23
2. Analogi persamaan (Qiyas al-Musawi). Contoh dalam QS: an-Nisa’ ayat 2 yang
melarang manusia untuk memakan harta anak yatim.
3. Analogi yang inferior (Qiyas al-Adna). Contoh dalam QS: al-Maidah ayat 90
tentang larangan minum kahamr dengan ‘illat memabukkan.
4. Analogi yang jelas (Qiyas Jali). Contoh dalam QS : an-Nisa’ ayat 101 tentang
diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian baik untuk laki-laki
maupun perempuan.
5. Analogi yang tersembunyi (Qiyas Khafi).
Bukti (Hujjiyyah) Qiyas
Ayat yang mendukung adanya qiyas, salah satunya QS: an-Nisa ayat 150
Sebuah penilaian yang diberikan harus berdasarkan oetunjuk yang Allah jelaskan. Quran
selalu mengindikasikan rasionalisasi dari hukum itu sendiri. Contohnya zakat mengurangi
konsentrasi kekayaan di orang-orang tertentu.
Ada dua jenis indikasi dalam sunnah:
 Pandangan Pertama:
Qiyas adalah sebuah bentuk ijtihad yang tervalidasi dalam hadits Muadz bin Jabal.
Sunnah menghasilkan fakta bahwa Rasulullah terpaksa menggunakan penalaran analogis
ketika beliau tidak menemukan wahyu pada kasus tertentu.
Qiyas hanya digunakan apabila tidak ada peraturan eksplisit yang ditemukan di dalam
sumber, sehingga pertanyaan bagaimana jika ada konflik yang timbul antara nash dan qiyas,
bukan sebuah pertanyaan yang relevan.
 Pandangan kedua :
Dimana dipegang oleh Imam Malik, juga mengeluarkan kemungkinan adanya konflik
diantara qiyas dan nash tapi tidak menolak bahwa ada kemungkinan teks yang spekulatif
dengan qiyas. Berdasarkan pandangan ini, analogi menjadi konflik dengan keumuman dari
Quran.
Hanafi berpendapat bahwa keumuman adalah implikasi definitif (qat’I al-dalalah) dimana
qiyas bersifat spekulatif.
Ijtihad
Secara etimologis menurut Loweis Ma’luf, ijtihad adalah bersungguh-sungguh sehabis usaha.
Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal, usaha ijtihad dilakukan oleh orang
yang telah mencapai derajat tertentu di bidang kelilmuan disebut faqih, produk atau usaha
yang diperoleh dari ijtihad adalah dugaan kuat tentang hukum yang bersifat amaliah, ijtihad
ditempuh dengan cara-cara istinbath.
Para ahli ushul fiqih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak
terdapat dalam nash atau yang terdapat dalam teks Quran dan sunnah yang masuk ke dalam
kategori zhanni al-dalalat.
Syarat-Syarat Berijtihad
Menurut Prof. Satria Efendi M. Zein, syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid:
 Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat dalam Quran baik
secara bahasa maupun secara istilah
 Mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’
 Mengetahui ayat atau hadits mana yang tidak berlaku lagi
 Mempunyai pengetahuan masalah yang menjadi ijma
 Mengetahui seluk beluk qiyas
 Menguasai bahasa Arab serta ilmu yang berhubungan
 Menguasai ushul fiqih
 Mengetahui maqashid syariah
Tingkatan Ijtihad
Menurut Abu Zahrah, mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:
 Mujtahid mustaqil (independen). Mujtahid ini adalah tingkatan tertinggi, seseorang
harus memenuhi syarat-syarat diatas. Contoh orang dalam tingkatan ini adalah imam
mujtahid yang empat orang.
 Mujtahid muntashib fi al-mazhab. Mujtahid tingkat ini mampu merumuskan sendiri
akan tetapi berpegang pada mazhab tertentu. Contoh: Qadhi Abu Yusuf
 Mujtahid fi al-mazhab. Tingkatan mujtahid yang bertaqlid pada imam mujtahid
tertentu.
Mujtahid fi al-tarjih (ijtihad intiaq’i). Mujtahid yang kegiatannya memperbandingkan
berbagai mazhab atau pendapat dan mempunyai kemampuan mentarjih salah satu pendapat
terkuat dengan metode tarjih.
Pembagian Ijtihad dari Proses Kerja
Menurut al-Syatibi, ijtihad dilihat dari segi proses kerjanya dapat dibagi menjadi dua
bentuk:
 Ijtihadi istinbathi yaitu upaya untuk meneliti ‘illah yang dikandung oleh nash.
 Ijtihad tatbiqi yaitu upaya untuk meneliti suatu masalah dimana hukum hendak
diidentifikasi dan diterapkan sesuai dengan ide yang dikandung oleh nash. Ijtihad
yang kedua ini disebut tahqiq al-manat, berfokus pada mengaitkan kasus-kasus yang
muncul dengan kandungan makna yang ada di dalam nash
Pembagian Ijtihad dari Mujtahid dalam melakukan Ijtihad\
 Pertama, kelompok tradisional yaitu usaha menggali hukum yang lebih berorientasi
pada ungkapan-ungkapan yang tersurat dalam Quran dan Sunnah. Kelompok ini
biasanya disebut dengan ahl al-hadits.
 Kedua, kelompok rasional, yaitu upaya menggali dan menetapkan hukum yang lebih
berorientasi kepada akal. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hukum
merupakan sesuatu yang kepentingannya dapat ditelaah dengan memerhatikan aspekaspek kemaslahatan. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl ar-ra’yi
Metode Ijtihad
 Ijtihad Bayani. Yaitu metode analisis kebahasaan untuk memberikan penjelasanpenjelasan terhadap makna teks Quran dan Sunnah.
 Ijtihad Ta’lili/Qiyasi. Yaitu memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh
suatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’i, nash dzanni dan tidak ada pula
ijma.
 Ijtihad Istishlahi. Yaitu memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh
hukum-hukum syara dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.
Hukum Melakukan Ijtihad dan Fatwa
 Orang yang mampu melakukan ijtihad maka ia berkewajiban berijtihad (berfatwa).
Karena itu mufti berkewajiban, ketika ia satu-satunya yang ada di lokasi tertentu,
untuk mengeluarkan fatwa dan mengajar kapan saja ia diminta untuk melakukan itu.
Berdasarkan keterangan diatas maka hukum berfatwa adalah fardhu kifayah.
Produk Ijtihad
•
Fiqih
•
Qanun (Undang-Undang)
•
Qadha’i (Putusan Pengadilan)
•
Fatwa (Pendapat Hukum)
Taqlid
Secara etimologis taqlid yaitu meletakkan sesuatu di lehernya dengan mengitarinya seperti
kalung.
Secara terminologis yaitu “Mengikuti perkataan seseorang yang perkataannya bukan hujjah.”
Dalam masalah taqlid dalam bidang furu’iyah, Ibnu Subki mengelompokkan umat
kepada 4 kelompok:
 Orang awam yang tidak mempunyai keahlian sama sekali
 Orang alim namun belum mencapai tingkat mujtahid
 Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat
(zhann)
 Mujtahid
PERTEMUAN 6
METODE PENETAPAN HUKUM LAINNYA
Istihsan
Istihsan memiliki arti “untuk menerima atau menggantikan sesuatu yang lebih baik”. Istihsan
merupakan turunan dari hasuna dimana menjadi baik atau cantik. Dalam istilah fiqih, istihsan
adalah sebuah metode untuk melakukan opini personal dalam rangka untuk menghindari
kekakuan dan ketidakadilan yang mungkin dihasilkan dari penegakan literal hukum yang ada.
Dalam beberapa kasus, istihsan bermaksud menghindari kesulitan dan memberikan sebuah
solusi yang harmonis dengan sumber yang lebih tinggi dari Syariah.
Istihsan pada dasarnya mengutamakan maslahah atas keputusan qiyas dalam hal konflik yang
timbul diantara mereka. Menurut Imam Malik, esensi dari istihsan adalah mengutamakan
maslahah apabila qiyas melanggar maslahah.
Istihsan sebagai metode dalam pencarian fasilitas dan memudahkan dalam perintah yang
legal. Menurutnya prinsip utama dari agama sesuai dengan yang dituliskan dalam Quran QS:
Al-Baqarah ayat 185.
Dan juga dalam hadits yang berbunyi “Hal yang paling baik dari agamamu adalah yang
membawa kemudahan bagi orang-orang.
Komponen rasional yang terkandung dalam qiyas sebagian besar merupakan opini personal
(ra’y). Ini membenarkan bahwa istihsan lebih mengandung ra’y yang lebih besar
Bagaimanapun juga, karena identitasnya yang dekat dengan Quran dan Sunnah, qiyas lebih
diterima secara luas sebagai prinsip dari fiqih. Namun qiyas dan istihsan keduanya harus
diekspresikan dari kecenderungan rasional dalam sebuah sistem yang tetap menjaga
kedekatan identitasnya dengan Quran dan Sunnah.
Qiyas jali atau analogi yang jelas berbeda dengan Qiyas khafi atau analogi yang tersembunyi.
Qiyas khafi biasa disebut dengan istihsan atau qiyas mustahsan (qiyas yang lebih baik) lebih
kuat dan lebih efektif dibandingkan dengan qiyas jali, hal ini disebabkan oleh refleksi dan
analisis yang lebih dalam. Istihsan bisa berasal dari qiyas jali maupun qiyas khafi, menurut
jumhur ulama.
Maslahah Mursalah (Pertimbangan Kepentingan Publik)
Maslahah memiliki arti “manfaat”. Persamaan maslahah adalah istislah. Al-Ghazali
menyatakan bahwa maslahah mengandung beberapa pertimbangan dimana melindungi
manfaat atau mengurangi bahaya namun secara simultan harmonis dengan tujuan (maqashid)
syariah.
Maslahah mursalah didefinisikan sebagai pertimbangan yang menyesuaikan dan
mengharmoniskan dengan tujuan dari Pemberi Hukum, dimana melindungi manfaat atau
mencegah bahaya. Contohnya adalah sahabat Rasulullah memilih untuk menerbitkan mata
uang, membangun penjara dan mengenakan pajak kepada tanah pertanian yang berada dalam
teritorinya dan hal ini tidak terdapat dalam hukum tekstual.
Jenis-jenis Maslahah (secara umum)
•
Daruriyyat (Essential)
Sesuatu yang menjadi ketergantungan orang-orang yang apabila tidak adanya dia akan
mengakibatkan kerusakan. Ia termasuk lima hal esensial (agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta).
•
Hajiyyat (Complementary)
Sesuatu yang menjadi pelengkap dari lima nilai esensial yang apabila diabaikan dapat
menyebabkan kesulitan namun tidak sampai mengakibatkan kerusakan. Contohnya
keringanan puasa dan shalat untuk orang yang sedang bersafar.
•
Tahsiniyyat (Embellishment)
Sesuatu yang realisasinya dapat meningkatkan dan mencapai apa yang diinginkan
Jenis-jenis Maslahah(berdasarkan otoritas tekstual)
•
Al-Maslahah Al-Mu’tabarah
•
•
Maslahah Mursalah
•
•
Maslahah yang tegas ditegakkan dan diberlakukan hukum untuk realisasinya.
Contohnya adalah qisas untuk melindungi kehidupan, membela kepemilikan
barang dengan menghukum pencuri.
Maslahah yang berlaku setelah wahyu Allah diturunkan. Contohnya
diperlukan adanya dokumen untuk pembuktian atas kepemilikan barang
(misalnya rumah)
Maslahah Mulgha
•
Maslahah yang dibatalkan secara eksplisit atau indikasinya dapat ditemukan
dalam Syariah. Contohnya adalah pembagian waris kepada anak laki-laki dan
anak perempuan yang sama nilainya telah dibatalkan oleh QS An-Nisa ayat
11.
Kondisi dari Maslahah Mursalah
•
Maslahah harus asli (haqiqi)
•
•
Maslahah bertujuan untuk melindungi lima hal yang esensial yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Maslahah harus umum (kulliyah)
•
Yang akan melindungi manfaat atau melindungi bahaya. Bukan sebuah
maslahah apabila hanya melindungi sedikit individu.
•
Maslahah tidak boleh bertentangan dengan nash atau ijma
Perbedaan Istislah, Analogi dan Istihsan
 Dalam menentukan aturan syariah pada sebagian isu, ulama harus berpedoman
kepada Quran, Sunnah dan Ijma’. Apabila tidak ada aturan dari sumber ini, maka
mereka harus menggunakan qiyas dengan mengidentifikasi illah yang umum diantara
aturan teks dan menghasilkan sebuah solusi yang dipersyaratkan. Apabila solusi yang
dihasilkan melaui qiyas memberikan kesulitan atau hasil yang tidak adil walaupun ia
berasal dari qiyas yang jelas maka sebaiknya digunakan istihsan.
 Apabila tidak ada analogi yang bisa digunakan maka ulama dapat menggunakan
maslahah mursalah.
‘Urf (Adat/Kebiasaan)
Urf adalah sebuah kata yang diturunkan dari akar bahasa arabnya yaitu ‘arafa (untuk
mengetahui), ‘urf secara abahasa berarti “yang diketahui”. Beberapa pengamat mengatakan
bahwa ‘adah berarti praktek pengulangan dan dapat digunakan kepada individu maupun
grup
Kondisi ‘Urf yang Berlaku (Valid)




Harus merepresentasikan sebuah keumuman dan fenomena yang terjadi
Harus ada dalam waktu sebuah transaksi terjadi
Harus tidak bertentangan dengan ketentuan yang jelas
Tidak boleh melanggar nass yang definit dan prinsip dalam hukum
Istishab (Anggapan keberlanjutan)
 Secara bahasa, istishab memiliki arti “menemani atau “mengawal. Secara terminologi
(istilah) menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah: “mengukuhkan menetapkan apa yang
pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.”
Jenis-jenis Istishab
•
Istishab al-adam al-asli
•
•
Istishab al-wujud al-asli
•
•
Fakta atau aturan dari hukum yang tidak ada dalam masa lalu yang dianggap
tidak ada sampai dengan pembuktiannya.
Istishab yang diterima begitu saja atas kehadirannya atau eksistensinya
dimana diindikasikan oleh hukum atau alasan
Istishab al-hukm
•
•
Keberlanjutan dari hukum umum dan prinsip dari sebuah hukum
Istishab al-wasf
•
Keberlanjutan dari atribut seperti
sebuah atribut)
menganggap air bersih (bersih menjadi
Beberapa Kaidah Fiqih dalam Istishab
•
Keyakinan tidak dapat dibantah dengan keraguan
•
Praduga umum sampai umum dikenakan kepada pembatasan
•
Praduga dari kebebasan asli dari hutang dimana kebebasan dari hutang sampai dengan
kontraknya diterima
•
Asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan
Sadd al-Dhara’I (Menghalangi cara menuju hasil yang tidak diharapkan)
Dhara’iah adalah sebuah kata yang memiliki sinonim dengan wasilah dimana secara bahasa
shadd artinya memblokir atau menutup.
Secara bahasa al-dzari’ah artinya jalan yang membawa kepada sesuatu , secara hissi atau
ma’nawi baik atau buruk. Menurut Ibnu Qayyim, al-dzari’ah: apa apa yang menjadi
perantara dari jalan kepada sesuatu.
 Dengan memandang pada natijahnya, perbuatan itu ada dua bentuk:
 Natijahnya baik. Maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan
oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya.
 Natijahnya buruk. Maka segala sesatu yang mendorong kepadanya adalah juga
buruk dan karenanya dilarang.
Ijma’ (Kesepakatan Ulama’)
Secara etimologis Ijma’ berasal dari kata ajma’a yujmi’u Ijma'an memiliki 2 arti;
=>> "ajma’a fulan 'ala safar"  tekat yang kuat
=>> "ajma' muslimun 'ala kadza”  kesepakatan
Secara terminology Ijma’ berarti kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat
Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masa tertentu atas
suatu perkara agama.
Hakikat Ijma’ sebagai Sumber Hukum
 tidak ada yang berwenang memutuskan suatu hukum yang tidak ada dalam Al Qur’an
dan Hadits setelah Rasulullah wafat
 dalam hadits Rasulullah SAW bersabda “tidak mungkin umatku bersepakat dalam hal
kesesatan”
 bila Ijma' telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi
siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut
Rukun dan Syarat Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan 5 rukun Ijma’
 Setiap ulama’ yang mengikuti pembahasan sebuah masalah harus menyatakan
persetujuannya.
 Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
 Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing
mujtahid
mengemukakan
pandangannya.
 Hukum yang disepakati adalah hukum syara‟ yang bersifat aktual dantidak ada
hukumnya secara rinci dalam al-Qur‟an.
 Sandaran hukum ijma‟ tersebut haruslah al-Qur‟an dan atau hadis Rasulullah.
Syarat ijma’ diantaranya :
 Yang melakukan ijma ‟ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad
 Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil(berpendirian kuat
terhadap agamnya)
 Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri ucapan atau
perbuatan bid‟ah.
PERTEMUAN 7
METODE IJTIHAD DAN PENETAPAN FATWA
Pengertian Ijtihad
 Secara etimologis menurut Loweis Ma’luf, ijtihad adalah bersungguh-sungguh
sehabis usaha
 Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal, usaha ijtihad dilakukan oleh
orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang kelilmuan disebut faqih, produk
atau usaha yang diperoleh dari ijtihad adalah dugaan kuat tentang hukum yang
bersifat amaliah, ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath.
 Para ahli ushul fiqih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang
tidak terdapat dalam nash atau yang terdapat dalam teks Quran dan sunnah yang
masuk ke dalam kategori zhanni al-dalalat.
Syarat-Syarat Ber-ijtihad
Menurut Prof. Satria Efendi M. Zein, syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid:
 Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat dalam Quran baik
secara bahasa maupun secara istilah
 Mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’
 Mengetahui ayat atau hadits mana yang tidak berlaku lagi
 Mempunyai pengetahuan masalah yang menjadi ijma
 Mengetahui seluk beluk qiyas
 Menguasai bahasa Arab serta ilmu yang berhubungan
 Menguasai ushul fiqih
 Mengetahui maqashid syariah
Tingkatan Ijtihad
Menurut Abu Zahrah, mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:
 Mujtahid mustaqil (independen). Mujtahid ini adalah tingkatan tertinggi, seseorang
harus memenuhi syarat-syarat diatas. Contoh orang dalam tingkatan ini adalah imam
mujtahid yang empat orang.
 Mujtahid muntashib fi al-mazhab. Mujtahid tingkat ini mampu merumuskan sendiri
akan tetapi berpegang pada mazhab tertentu. Contoh: Qadhi Abu Yusuf
 Mujtahid fi al-mazhab. Tingkatan mujtahid yang bertaqlid pada imam mujtahid
tertentu.
 Mujtahid fi al-tarjih (ijtihad intiaq’i). Mujtahid yang kegiatannya memperbandingkan
berbagai mazhab atau pendapat dan mempunyai kemampuan mentarjih salah satu
pendapat terkuat dengan metode tarjih.
Ijtihad Fardhi : Ini merupakan ijtihad yang dilakukan pleh perorangan atau hanya beberapa
orang mujtahid
Ijtihad Kolektif : Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini ijtihad bisa
dilakukan oleh kelompok para ahli di bidangnya. Banyak lembaga ijtihad kolektif yang
bersifat nasional, regional bahkan internasional.
Pembagian Ijtihad dari Proses Kerja
Menurut al-Syatibi, ijtihad dilihat dari segi proses kerjanya dapat dibagi menjadi dua
bentuk:
 Ijtihadi istinbathi yaitu upaya untuk meneliti ‘illah yang dikandung oleh nash.
 Ijtihad tatbiqi yaitu upaya untuk meneliti suatu masalah dimana hukum hendak
diidentifikasi dan diterapkan sesuai dengan ide yang dikandung oleh nash. Ijtihad
yang kedua ini disebut tahqiq al-manat, berfokus pada mengaitkan kasus-kasus yang
muncul dengan kandungan makna yang ada di dalam nash
Pembagian Ijtihad dari Mujtahid dalam melakukan Ijtihad
 Pertama, kelompok tradisional yaitu usaha menggali hukum yang lebih berorientasi
pada ungkapan-ungkapan yang tersurat dalam Quran dan Sunnah. Kelompok ini
biasanya disebut dengan ahl al-hadits.
 Kedua, kelompok rasional, yaitu upaya menggali dan menetapkan hukum yang lebih
berorientasi kepada akal. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hukum
merupakan sesuatu yang kepentingannya dapat ditelaah dengan memerhatikan aspekaspek kemaslahatan. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl ar-ra’yi.
Metode Ijtihad
 Ijtihad Bayani. Yaitu metode analisis kebahasaan untuk memberikan penjelasanpenjelasan terhadap makna teks Quran dan Sunnah.
 Ijtihad Ta’lili/Qiyasi. Yaitu memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh
suatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’i, nash dzanni dan tidak ada pula
ijma.
 Ijtihad Istishlahi. Yaitu memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh
hukum-hukum syara dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.
Hukum Melakukan Ijtihad dan Fatwa
 Orang yang mampu melakukan ijtihad maka ia berkewajiban berijtihad (berfatwa).
Karena itu mufti berkewajiban, ketika ia satu-satunya yang ada di lokasi tertentu,
untuk mengeluarkan fatwa dan mengajar kapan saja ia diminta untuk melakukan itu.
Hanya ketika ada mujtahid lain, mufti tersebut bebas dari kewajiban. Karena hanya
ketika permintaan itu dipenuhi maka kewajiban itu hilang, dan masyarakat secara
keseluruhan dianggap telah memenuhi kewajiban itu.
 Berdasarkan keterangan diatas maka hukum berfatwa adalah fardhu kifayah.
Produk Ijtihad
•
Fiqih
•
Qanun (Undang-Undang)
•
Qadha’i (Putusan Pengadilan)
•
Fatwa (Pendapat Hukum)
Secara literal, al-fatwa berarti “jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau
perundang-undangan yang sulit.
Fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan
dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari
Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad.
Perbedaan Mujtahid Dan Mufti
Para ahli ushul fiqih menyamakan antara mujtahid dengan mufti, orang yang diminta
pendapatnya. Disemua karya-karya mereka, kedua istilah ini dipakai secara sinonim. Mandat
kesarjanaan apapun yang dimiliki oleh mujtahid, mufti juga harus memilikinya, tapi dengan
satu perbedaan :
Mufti, menurut sebagian ulama ushul fiqh, tidak hanya harus bersifat adil dan dapat
dipercaya, tapi juga harus diketahui bahwa ia menjadikan agama dan persoalan-persoalan
agama dengan sangat serius.
Syarat Mufti
Syarat seorang mufti adalah sebagai berikut :
 Seorang yang sudah mukallaf, yaitu Muslim, dewasa, dan sempurna akalnya
 Seorang yang ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad, misalnya
mengetahui dalil-dalil sama’i dan dalil-dalil aqli
 Seorang yang adil dan dapat dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut dari seorang
mufti karena ia seorang panutan.
 Bersikap tenang (sakinah) dan berkecukupan, mempunyai niat dan iktikad yang baik,
kuat pendirian dan dikenal di tengah umat.
Metode Penetapan Fatwa
Metode yang digunakan oleh komisi fatwa MUI dalam proses menetapkan fatwa melalui tiga
pendekatan, yaitu :
•
Nash qath’i: Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan berpegang dengan nash AlQur’an dan Hadist untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat
dalam nash Al-Qur’an ataupun Hadist secara jelas.
•
Qauli : Pendekatan qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan
mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqh terkemuka
(al-kutub al-mu’tabarah).
•
Manhaji : Pendekatan manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa
yang mempergunakan kaidah-kaidah pokok dan metodologi yang dikembangkan oleh
imam mazhab dalam merumuskan suatu masalah.
Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif dengan menggunakan
metode :
•
Mempertemukan pendapat yang berbeda
•
Memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya (tarjihi)
•
Menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah
ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi)
•
istinbathi
Produk Fatwa MUI
•
Ibadah
Shalat jumat musafir di kapal, kepeloporan pejabat dalam melaksanakan ibadah,
istitha’ah dalam melaksanakan ibadah haji, ibadah haji hanya sekali dalam seumur
hidup, dll.
•
Sosial kemasyarakatan
Penyalahgunaan narkotika, film the message, talak tiga sekaligus, panti pijat, daging
kelinci, adopsi, nyanyian dengan menggunakan ayat Al-Qur’an, Natal bersama, dll
•
Paham keagamaan
Islam jama’ah, ahmadiyah qadiyan, faham syi’ah, jama’ah, khalifah, bai’at 145, darul
arqam, dll.
•
IPTEK
Pemyembelihan hewan secara mekanis, tubektomi, wasiat menghibahkan kornea mata,
penyakit kusta, dll.
Download