mood stabilizers sebagai terapi adjuvan pada skizofrenia

advertisement
MOOD STABILIZERS SEBAGAI TERAPI ADJUVAN
PADA SKIZOFRENIA
Oleh
Dr. IGA ENDAH ARDJANA, Sp.KJ (K)
DIBAWAKAN PADA ACARA KONAS PSIKIATRI BIOLOGI MAKASAR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ................................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... ii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 4
1.2 Batasan Pembahasan ........................................................................................ 5
1.3 Tujuan dan Manfaat.......................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................7
2.1 Skizofrenia......................................................................................................... 7
2.1.1 Sejarah Skizofrenia ................................................................................... 7
2.1.2 Kriteria Diagnosis Skizoprenia ............................................................... 8
2.1.3 Epidemiologi Skizofrenia ...................................................................... 10
2.1.4 Etiologi Skizofrenia ................................................................................ 11
2.2 Mood Stabilizers sebagai Terapi Skizofrenia Masa Depan ........................ 21
2.2.1 Mood stabilizers ...................................................................................... 22
2.2.2 Jenis-Jenis Mood Stabilizers.................................................................. 23
2.2.3 Interaksi Mood Stabilizer dan Kontraindikasi ..................................... 35
BAB III RINGKASAN ...............................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................39
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Dua Tokoh Psikiatri Dunia (Sadock n Sadock, 2013). ..................................... 7
Gambar 2. Peta Alokasi Kerusakan Pada Otak Dan Gejala Yang Ditimbulkan Pada
Skizofrenia (Stahl, 2013). ................................................................................................ 13
Gambar 3. Jalur Glutamat Di Dalam Otak Manusia (Stahl, 2013). .................................. 16
Gambar 4. Hipotesis Disfungsi Glutamat Pada Skizofrenia (Stahl, 2013). ...................... 18
Gambar 5. Hipofungsi NMDA Di Kortek Yang Dihubungkan Dengan Gejala Positif Pada
Skizofrenia (Stahl, 2013). ................................................................................................ 19
Gambar 6. Hipofungsi NMDA Di Hipokampus Dan Gejala Positif Pada Skizofrenia ..... 20
Gambar 7. Hipofungsi Reseptor NMDA Di Ventral Hipokampus Dan Gejala Negatif
Pada Skizofrenia (Stahl, 2013). ........................................................................................ 20
Gambar 8. Skema Tingkatan Tatalaksana Skizofrenia dan Pemberian Mood Stabilizer
Menurut TMAP (Argo et all, 2008). ................................................................................ 22
Gambar 9. Mekanisme Kerja Mood Stabilizers (Stahl, 2013). ......................................... 23
Gambar 10. Mekanisme Kerja Lithium (Stahl, 2013). ..................................................... 24
Gambar 11. Bentuk Molekul Asam Valproat (Stahl, 2013). ............................................ 26
Gambar 12. Mekanisme Kerja Asam Valproat Pada Kanal Voltase Natrium . ................ 27
Gambar 13. Mekanisme Kerja Asam Valproat Dengan GABA. Asam Valproat Memiliki
Kemungkinan Efek Meningkatkan Transmisi Saraf GABA Dengan Menghambat
Reuptake GABA, Peningkatan Produksi Atau Intervensi Metabolisme GABA Melalui
GABA Transaminasi (GABA-T) (Stahl, 2013). ............................................................... 27
Gambar 14. Mekanisme Kerja Asam Valproat (Stahl, 2013). .......................................... 28
Gambar 15. Bentuk Molekul Carbamazepin (Stahl, 2013)............................................... 30
Gambar 16. Mekanisme Kerja Dari Carbamazepin (Stahl, 2013). ................................... 31
Gambar 17. Bentuk Molekul Lamotrigin (Stahl, 2013). ................................................... 33
Gambar 18. Mekanisme Kerja Lamotrogin (Stahl, 2013). ............................................... 34
Gambar 19. Carbamazepin Menginduksi Enzim Sitokrom P-450 tipe 3A4. .................... 36
DAFTAR SINGKATAN
CR
: Controlled-Release
DSM-5
: Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder, Fifth
Edition
DTNBP1
: Dystrobrevin Binding Protein-1
ECT
: Electroconvulsive Therapy
GABA
: Gamma Aminobutyric Acid
GSK-3
: Glycogen Syntase Kinase 3
LC
: Locus Coeruleus
NMDA
: N-Methyl-D-Aspartate
PCP
: Phencyclidine
TMAP
: Texas Medication Algorithm Project
VSSCs
: Voltage Sensitive Sodium Channels
VTA
: Ventral Tegmental Area
XR
: Extended-Release
AA
: Antipsikotik Atipikal
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skizofrenia adalah Gangguan jiwa yang berat penyakit dibidang psikiatri. Secara
keseluruhan terdapat 1% dari populasi akan mengalami penyakit skizofrenia. Menurut data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi Skizofrenia di Indonesia mencapai 1,27
permil. Orang yang mengalami skizofrenia tidak mampu mengenali realitas sehingga orang
dengan skizofrenia tidak mampu menjalankan kehidupan sehari-hari layaknya seperti orang
normal. Manifestasi ini menyebabkan orang dengan skizofrenia memerlukan penanganan yang
cepat dan tepat, sehingga prognosis pasien ini bisa menjadi lebih baik dan pasien mampu
menjalankan kehidupan mendekati orang normal dan tidak jatuh ke fase deteorisasi mental
yang menyebabkan kerugian semua pihak, baik itu keluarga maupun negara.
Pengobatan di bidang biologi pada pasien skizofrenia sampai saat ini telah berkembang
dari electroconvulsive therapy (ECT), penggunaan pertama dari chlorpromazine pada tahun
1952 sebagai antipsikotik tipikal dan termasuk juga pengobatan antipsikotik generasi kedua
(atipikal) dan yang terbaru adalah penggunaan mood stabilizers. Perkembangan pengobatan
skizofrenia ini, diharapkan mampu membantu pasien skizofrenia mendapatkan kehidupan yang
lebih baik dan sejahtera (Djimandjaja, 2010). Bagi klinisi ini merupakan tantangan untuk
memutuskan pengobatan apa yang terbaik untuk penanganan skizofrenia, yang disesuaikan
dengan risiko dan benefit pada pasien itu sendiri (Murray et all, 2008).
Obat antipsikotik adalah obat yang paling sering digunakan untuk penanganan
skizofrenia, namun pada beberapa kasus memberikan hasil yang kurang optimal dengan hanya
pemberian antipsikotik saja. Hasil yang kurang optimal ini memberikan dampak bagi klinisi
untuk mencoba memikirkan solusi untuk menemukan obat alternatif bagi pasien skizofrenia
yang tidak optimal dengan pemberian antipsikotik ini.
Adanya bukti-bukti pengananan skizofrenia dengan memakai antipsikotik yang
memakai dasar hipotesis dopamin tidak relevan lagi. Bukti-bukti tersebut menunjukkan dimana
gejala inti skizofrenia, simptom negatif dan defisit kognitif, ternyata tidak berespon baik
terhadap antipsikotik yang bersifat antagonis dopamin. Bukti-bukti ini mengakibatnya timbul
dugaan bahwa gejala-gejala inti tersebut tidak berkaitan dengan aktifitas dopamin saja. Oleh
karena itu, hipotesis dopamin tersebut direvisi kembali dengan memasukkan neurotransmiter
lainnya, misalnya serotonin, glutamat dan Gamma Aminobutyric Acid (GABA) yang saling
berinteraksi menyebabkan orang menderita skizofrenia (Amir, 2008).
Akhir-akhir ini, banyak dilakukan penelitian tentang obat-obat skizofrenia salah
satunya obat golongan mood stabilizers. Mood stabilizers saat ini menjadi salah satu kunci dari
terapi dari pasien skizofrenia yang tidak mampu diatasi hanya dengan pemberian antipsikotik
saja. Secara internasional saat ini banyak dilakukan penambahan terapi termasuk mood
stabilizers pada pasien skizofrenia sebagai terapi adjuvan (Kang Sim, 2011). Obat tambahan
ini bisa digunakan untuk mengurangi gejala dan keluhan seperti agresifitas dan mania pada
skizofrenia (Murray et all, 2008).
Penulis dalam tinjauan puskata ini akan membahas bagaimana peran mood stabilizers
sebagai terapi adjuvan dalam penanganan skizofrenia dan juga akan dipaparkan bagaimana
interaksi dengan obat antipsikotik serta efek sampingnya.
1.2 Batasan Pembahasan
Tinjauan pustaka ini akan membahas bagaimana peran mood stabilizers sebagai terapi adjuvan
dalam penanganan skizofrenia dan efek sampingnya.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas bagaimana mood stabilizers digunakan
sebagai terapi adjuvan dalam penanganan skizofrenia dan efek samping apa saja yang akan
ditimbulkannya sehingga hasil dari kajian pustaka ini bisa diaplikasikan kepada pasien yang
berkunjung ke tempat pengobatan kita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia
2.1.1 Sejarah Skizofrenia
Besarnya masalah klinis skizofrenia secara terus menerus telah menarik perhatian tokoh-tokoh
utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan ini. Dua tokoh tersebut adalah Emil
Kraepelin (1856-1926) dan Eugen Bleuler (1857-1939). Sebelumnya Benedict Morel (18091873), seorang psikiater Prancis, menggunakan istilah demence precoce untuk pasien dengan
penyakit yang dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan (Sadock & Sadock,
2013).
Gambar 1. Dua tokoh psikiatri dunia (Sadock, 2013).
Pada tahun 1898, Kraepelin menerjemahkan pasien dengan istilah demensia praecox, yang
digambarkan dengan penyakit demensia yang memiliki perjalanan penyakit yang memburuk,
pada usia muda, dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan
waham. Meski Kraepelin telah mengakui bahwa sekitar 4 % pasiennya sembuh sempurna dan
13 % mengalami remisi yang signifikan, para peneliti dikemudian hari sering kali salah
menyatakan bahwa Kraepelin menganggap demensia precox memiliki perjalan penyakit
dengan perburukan yang yang tak terhindarkan.
Tahun 1908, Bleuler mencetuskan istilah schizophrenia, yang menggantikan istilah
demensia precox dalam literatur. Ia memilih istilah tersebut untuk menunjukkan adanya
schisme (perpecahan) antara pikiran, emosi dan perilaku, namun tidak mengalami deteorisasi.
Setelah Bleuler mencetuskan konsep ini, insidensi skizofrenia di Amerika Serikat meningkat
hingga dua kali dibandingkan insiden di Eropa yang mengikuti prinsip Kraepelin dan setelah
DSM-III diterbitkan, diagnosis skizofrenia di Amerika beralih ke konsep Kraepelin, namun
istilah skizofrenia dari Bleuler diterima secara internasional untuk gangguan seperti ini.
2.1.2 Kriteria Diagnosis Skizofrenia
Kriteria Skizofrenia diambil Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder,
Fifth Edition (DSM-5), yaitu dijelaskan bahwa untuk menegakkan diagnosis skizofrenia harus
memenuhi kriteria :
A. jika ada dua atau lebih gejala dibawah ini, dimana gejala ini tampak secara signifikan
selama period 1 bulan (atau kurang jika dilakuan terapi yang berhasil) dan sedikitnya
satu dari gejala nomor 1,2, atau 3 :
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara yang kacau
4. Perilaku katatonik atau aneh
5. Simptom negatif (emosi yang hilang, atau penarikan diri)
B. Adanya gangguan secara fungsi satu atau lebih fungsi penting, seperti bekerja,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri.
C. Gejalanya berlangsung persisten minimal 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup
sedikitnya 1 bulan dari gejala (atau berkurang karena efek pengobatan) yang dijumpai
pada kriteria A dan juga termasuk gejala prodromal atau gejala sisa. Selama gejala
prodromal atau gejala sisa, keluhan yang nampak berupa gejala negatif atau dua atau
lebih gejala yang ada pada kriteria A.
D. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan psikotik
dikesampingkan jika 1) tidak ada gambaran depresi mayor atau episode manik yang
terjadi pada fase aktif ini, atau 2), jika terjadi episode mood selama fase aktif, yang
menunjukkan gejala minimal atau sebagian besar pada fase aktif atau gejala sisa pada
penyakit saat ini.
E. Gangguan ini tidak diakibatkan oleh efek psikologi dari penggunaan obat seperti
penyalahgunaan obat atau kondisi medis lain.
F. Jika ada riwayat gangguan spektrum autism atau gangguan komunikasi pada masa
anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat jika ada gejala dominan halusinasi atau
waham minimal 1 bulan (atau kurang jika dengan keberhasilan pengobatan).
Beberapa gejala harus persisten secara berkelanjutan selama periode sedikitnya 6 bulan.
Gejala prodromal sering mendahului pada fase aktif dan diikuti dengan gejala sisa yang
ditandai dengan ringannya atau batas ambang mulai adanya halusinasi atau waham. Penderita
bisa menampilkan kepercayaan disertai ideas of reference atau magis, mereka bisa memiliki
persepsi yang tidak seperti biasanya (merasakan kehadiran seseorang yang tidak bisa dilihat
nyata), kata-katanya mungkin tidak bisa dimengerti dan samar-samar, dan kebiasaan yang aneh
tetapi tidak jelas (seperti : mengomel pada orang orang). Gejala negatif sering pada masa
prodromal ini dan dapat menjadi berat. Individu yang aktif secara sosial dapat menjadi menarik
diri dari kebiasaanya. Gejala-gejala ini sering menjadi petanda awal dari penyakit skizofrenia.
Gangguan mood juga sering terdapat pada skizofrenia dan mungkin bersamaan dengan
fase aktifnya. Diagnosis skizofrenia memerlukan adanya tanda halusinasi atau waham pada
saat tidak adanya episode gangguan mood. Episode gangguan mood secara keseluruhan bisa
terjadi hanya minimal dari fase aktif atau fase residual pada skizofrenia.
2.1.3 Epidemiologi Skizofrenia
Prevalensi dari penyakit skizofrenia ini kira-kira 0,3-0,7%, walaupun dilaporkan adanya
variasi berdasarkan ras dan lintas negara. Di Amerika, angka prevalensi kejadian skizofrenia
berkisar 1%, yang berarti ada satu orang yang menderita skizofrenia dalam 100 orang populasi,
sedangkan menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi skizofrenia di
Indonesia mencapai 1,27 permil. Diantara orang dengan skizofrenia tersebut terdapat 14,3%
yang dipasung oleh keluarganya sendiri. Penyakit ini peluang kejadiannya sama antara pria dan
wanita, dan onset umur lebih awal terjadi pada pria dibandingkan dengan yang wanita.
Gambaran psikotik pada skizofrenia biasanya muncul pada masa remaja akhir dan pada
pertengahan umur 30 tahun. Onset pada usia remaja jarang terjadi. Usia puncak sering
munculnya skizofrenia pada episode pertama psikotik adalah awal umur 20-an untuk pria dan
akhir 20-an untuk wanita. Skizofrenia yang muncul pada umur diatas 45 tahun, maka
dikategorikan sebagai skizofrenia dengan onset lambat. Onset skizofrenia dengan umur
dibawah 10 tahun dan diatas 60 tahun sangat jarang terjadi. Onset penyakit ini bisa terjadi
secara tiba-tiba, tetapi sebagian besar terjadi secara perlahan dan gradual. Setengahnya dari
kasus ini menunjukkan gejala depresi (Sadock & Sadock, 2013).
Semakin awal umur terkena penyakit ini, akan diprediksikan prognosis menjadi semakin
buruk. Penyakit ini juga berhubungan dengan jenis kelamin, dimana jenis kelamin laki-laki,
tingkat pendidikan yang rendah, gejala negatif yang dominan, dan gangguan kognitif secara
umum prognosisnya buruk. Penelitian menunjukkan hanya sekitar 20% penderita skizofrenia
dilaporkan bisa menjadi pulih sempurna. Sebagian besar individu dengan skizofrenia masih
membutuhkan dukungan kehidupan sehari-harinya, baik secara formal ataupun informal dan
banyak penyakit kronis dengan eksaserbasi dan remisi dengan gejala yang aktif dan deteorisasi
mental yang progresif (Sadock & Sadock, 2013).
2.1.4 Etiologi Skizofrenia
Menurut model diatesis-stress, skizofrenia terjadi karena gangguan integrasi dari faktor
biologis, psikososial dan lingkungan. Seseorang yang rentan (diatesis), bila diaktifkan oleh
pengaruh yang penuh tekanan antara faktor biologis, psikososial dan lingkungan, akan
memungkinkan timbulnya skizofrenia. Komponen biologis dapat berupa kelainan genetik,
gangguan fungsi atau struktural otak, neurokimia, infeksi, sedangkan psikologis (contohnya
situasi keluarga yang penuh tekanan atau kematian kerabat dekat), dan komponen lingkungan
seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial, dan trauma (Amir, 2008 dan Sadock & Sadock,
2012).
1. Genetik
Faktor genetik yang turut menentukan timbulnya skizofrenia dibuktikan dengan penelitian
tentang keluarga penderita skizofrenia. Angka kesakitan bagi saudara kandung adalah 7-15%;
bagi anak dengan orangtua yang skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia
40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 6186%. Anak yang lahir langsung dari orang tua yang menderita skizofrenia 10 kali lipat akan
lahir menjadi skizofrenia dibandingkan anak yang lahir dari orangtua normal (Sadock &
Sadock, 2013).
Beberapa data menunjukkan bahwa umur ayah berkorelasi dengan terjadinya skizofrenia.
Pada studi penderita skizofrenia dimana data yang dipakai pada pasien dengan riwayat tidak
ada penyakit skizofrenia pada ayah maupun ibu, dimana didapatkan hasil adanya peningkatan
lahirnya anak yang menderita skizofrenia dari ayah yang berumur diatas 60 tahun. Ini terjadi
dikarenakan adanya gangguan spermatogenesis pada orang yang lebih tua.
Model pengaruh genetik pada penderita skizofrenia ternyata belum jelas diketahui dan
tidak sesederhana hukum Mendel. Skizofrenia diperkirakan bahwa potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat,
mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu, apakah akan
terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak (mirip halnya dengan faktor genetik pada penyakit
diabetes). Hasil analisis tahun belakangan ini, mutasi gen Dystrobrevin Binding Protein-1
(DTNBP1) dan neureglin 1 telah diketahui sebagai penyebab timbulnya gejala negatif pada
skizofrenia (Sadock & Sadock, 2013).
2. Hipotesis Perkembangan saraf
Studi autopsi dan studi pencitraan otak memperlihatkan abnormalitas struktur dan
morfologi otak penderita skizofrenia, antara lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil
6% dari pada otak normal dan ukuran anterior-posterior yang 4% lebih pendek, pembesaran
ventrikel otak yang non spesifik, gangguan metabolisme di daerah frontal dan temporal dan
kelainan susunan seluler pada struktur saraf di beberapa kortek dan subkortek tanpa adanya
gliosis yang menandakan kelainan tersebut terjadi pada saat perkembangan.
Studi neuropsikologis mengungkapkan defisit dibidang atensi, pemilahan konseptual,
fungsi eksekutif dan memori pada skizofrenia. Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis
perkembangan saraf yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi pada
awal kehidupan, mungkin sekali akibat pengaruh genetik dan kemudian dimodifikasi oleh
faktor maturasi dan lingkungan (Sadock & Sadock, 2013).
3. Neurobiologi
Gejala utama pada skizofrenia dibuatkan ke dalam 5 lokalisasi pada region otak manusia, tidak
hanya gejala positif dan gejala negatif saja, tetapi juga gejala gejala kognitif, gejala agresif dan
gejala afektif yang dikaitkan dengan daerah otak yang mengalami gangguan (Stahl, 2013 dan
Sadock & Sadock 2012).
Gambar 2. Peta alokasi kerusakan pada otak dan gejala yang ditimbulkan pada skizofrenia (Stahl,
2013).
Secara spesifik, gejala positif dari skizofrenia dihipotesiskan oleh karena adanya
malfungsi pada sirkuit mesolimbik, sementara gejala negatif karena adanya malfungsi di area
mesokortek dan juga melibatkan area mesolimbik khususnya yang melibatkan nucleus
acumbens yang diperkirakan menjadi bagian dari sirkuit reward dari otak, sehingga jika ada
masalah dengan reward dan motivasi pada skizofrenia maka kelainannya diduga berasal dari
area ini. Nucleus acumbens juga akan teraktivasi karena penggunaan zat yang tampak pada
pasien skizofrenia. Gejala positif bisa menumpuk dengan gejala negatif yang ditandai dengan
mulai adanya keinginan untuk merokok, penyalahgunaan obat dan alkohol, mungkin di
hubungkan pada area otak ini.
Gejala afektif diasosiasikan dengan area ventromedial prefrontal kortek, sementara gejala
agresif (yang berhubungan dengan kontrol impuls) diasosiasikan dengan proses informasi yang
abnormal dari orbitofrontal kortek dan amigdala. Gejala agresif seperti menyerang, kekerasan,
perilaku berakata kasar dapat terjadi oleh karena gejala positif seperti waham dan halusinasi
sehingga kita sering dibuat bingung. Intervensi perilaku bisa menolong untuk mencegah
terjadinya kekerasan dengan mengurangi faktor pencetus dari lingkungan sekitarnya.
Gejala kognitif pada skizofrenia mencakup berkurangnya perhatian dan berkurangnya
proses informasi di otak yang bermanifestasi pada berkurangnya kelancaran berbicara
(kemampuan berbicara spontan), bermasalah dengan pembelajaran secara serial, dan
berkurangnya kewaspadaan untuk fungsi eksekutif (mempertahankan dan fokus perhatian,
konsentrasi, prioritas dan perilaku sosial, kesulitan untuk memecahkan masalah). Fungsifungsi ini tidak mencakup gejala demensia dan gangguan memori yang dimiliki oleh penyakit
alzheimer. Gejala kognitif pada skizofrenia sangat penting untuk ditegakkan karena dia sangat
kuat berhubungan dengan fungsi nyata di dunia, lebih kuat dibandingkan gejala negatif.
Sangat sulit juga kita membedakan gejala disfungsi kognitif dari gejala afektif dan gejala
negatif, tetapi peneliti mencoba untuk melokalisasi area yang spesifik dari disfungsi otak yang
terkena untuk setiap gejala utama pada pasien skizofrenia ini dengan harapan hasil pengobatan
pasien yang lebih baik.
Model ini sangat jelas dan sederhana karena setiap area otak memiliki beberapa fungsi dan
setiap fungsi akan berpengaruh pada lebih dari satu area otak. Secara spesifik, pasien memiliki
gejala yang unik dan respon yang berbeda terhadap pengobatan. Model ini dengan mengacu
pada gejala yang tampak pada pasien dimana kita bisa menghubungkan dengan malfungsi
kerusakan pada otak. Setiap area otak memiliki neurotransmiter yang berbeda-beda, reseptor,
enzim, dan gen yang mengatur bisa dipakai pedoman para klinisi untuk mengobati pasien
secara lebih maksimal (Stahl, 2013).
a. Hipotesis Dopamin
Hipotesis dopamin ini menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh adanya
hiperaktifitas pada jaras dopamin pada otak manusia. Hipotesis ini didukung oleh hasil
penelitian bahwa amphetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin, dapat
menginduksi psikosis yang mirip dengan skizofrenia dan obat antipsikotik bekerja dengan
memblok reseptor dopamin, terutama reseptor Dopamin D2. Teori dasar ini tidak menjelaskan
apakah hiperaktivitas neuron dopamin mengakibatkan banyaknya pengeluaran dopamin?
Lebih banyak reseptor dopamin? Hipersensitifitas reseptor dopamin dengan neurotransmiter
dopamin? Atau kombinasi dari semua mekanisme tersebut yang menyebabkan orang menjadi
skizofrenia?. Keterlibatan neurotransmiter lain seperti serotonin, noradrenalin, GABA dan
glutamat serta neuropeptida lain masih terus diteliti.
b. Hipotesis Abnormalitas Reseptor NMDA
Beberapa tahun terakhir di era 2000-an, adanya kerusakan reseptor N-Methyl-D-Aspartate
(NMDA) yang mempengaruhi produksi neurotransmiter glutamat, yang dihipotesiskan sebagai
kunci terjadinya patofisiologi dari skizofrenia. Hipotesis ini akan menjadi target pengobatan
masa depan skizofrenia. Hipotesis ini menjelaskan bagaimana abnormalitas dari reseptor
NMDA mempengaruhi hiperaktifas glutamat yang menyebabkan timbulnya gejala skizofrenia.
Glutamat menjadi neurotransmiter mayor untuk eksitasi pada sistem saraf sentral dan sering
menjadi kunci penting dalam pengaturan sistem eksitasi dalam otak.
Glutamat adalah neurotransmiter eksitasi yang mengeksitasi neuron di dalam otak (master
swicth). Ada 6 jalur glutamat dalam otak manusia, diantaranya :
a) Jalur Cortico-brainstem
Jalur glutamat yang paling penting dari neuron kortek piramidal menuju neurotransmiter
batang otak, mencakup jalur serotonin, Ventral Tegmental Area (VTA) dan substansia
nigra untuk dopamin dan locus coeruleus (LC) untuk norepineprin. Ini merupakan jalur
kunci regulasi pengeluaran dari neurotransmiter di otak. Inervasi langsung dari neuron
monoamin ini pada batang otak akan merangsang pengeluaran neurotransmiter dari neuron
glutamat. Jika diinervasi secara tidak langsung dari neuron monoamin oleh GABA maka
akan terjadi blok pengeluaran neurotransmiter glutamat.
Gambar 3. Jalur glutamat di dalam otak manusia (Stahl, 2013)..
b) Jalur Cortico-striatal
Jalur ini merupakan jalur glutamatergik yang kedua dari kortek piramidal menuju komplek
striatum. Jalur ini diketahui sebagai jalur glutamat cortico-striatal menuju ke dorsal
striatum atau jalur glutamat cortico-accumbens saat menuju ke area ventral striatum yang
dikenal dengan nucleus accumbens. Jalur glutamat ini memutuskan neuron GABA
dibagian lain dari komplek striatal yang disebut dengan globus pallidus.
c) Jalur Hippocampal-accumbens
Jalur glutamat yang lain, yang menjalar dari hipocampus menuju nucleus accumbens dan
ini diketahui dengan jalur glutamat hippocampal-accumbens. Sama seperti glutamat pada
jalur cortico-striatal dan cortico-accumbens, hippocampal-accumbens ini menuju nucleus
accumbens dengan menghentikan neuron GABA yang berhubungan dengan globus
Pallidus.
d) Jalur Thalamo-cortical
Jalur ini membawa informasi dari talamus kembali ke kortek, yang sering memproses
informasi sensoris.
e) Jalur Cortico-thalamic
Jalur Glutamat yang ke-5 yang dikenal sebagai jalur glutamat cortico-thalamic, yang
mengantar signal kembali ke talamus, sebagai respon reaksi dari informasi sensoris.
f) Jalur Cortico-cortical (direct)
Komplek dari berbagai jalur glutamat cortico-cortical memperlihatkan kortek dengan satu
kesatuan, neuron piramidal bisa mengeksitasi sesama yang lainnya yang ada di kortek
cerebral melalui sinaps langsung dari neurotransmiter glutamat itu sendiri.
g) Jalur Cortico-cortical (indirect)
Di lain pihak, neuron piramidal yang satu bisa menghambat yang lainnya secara tidak
langsung, melalui interneuron yang mengeluarkan GABA.
Pada Gambar 4, memperlihatkan bagaimana disfungsi glutamat sebagai hipotesis
terjadinya skizofrenia. Tampak dari dekat neuron kortek pyramidal yang berhubungan dengan
interneuron GABAergik dan hipofungsi reseptor NMDA ini. (1) Glutamat yang dikeluarkan
dari neuron intrakortikal, akan tetapi reseptor NMDA yang akan mengikat glutamat itu sendiri
mengalami hipofungsi, sehingga tidak terjadi efek maksimal oleh reseptor NMDA. (2) Hal ini
menyebabkan berkurangnya pengeluaran GABA dari interneuron, sehingga stimulasi dari α2
GABA reseptor pada akson neuron glutamat lainnya tidak terjadi. (3) Saat GABA tidak
berikatan dengan α2 GABA reseptor pada aksonnya, neuron pyramidal tidak akan dihambat,
maka dari itu akan terjadinya hiperaktif pengeluaran glutamat.
Gambar 4. Hipotesis disfungsi glutamat pada skizofrenia (Stahl, 2013).
Hipofungsi reseptor NMDA menyebabkan abnormalitas pembentukan glutamat yang akan
menyebabkan gejala psikotik pada seseorang yang menunjukkan gejala sama pada skizofrenia.
Amfetamin yang merangsang pengeluaran dopamin, juga mengakibatkan gejala psikotik
dengan ditandai adanya halusinasi dan waham yang dimasukan dengan gejala positif dari
skizofrenia. Perbedaan dengan amfetamin yang hanya menyebabkan gejala positif,
Phencyclidine (PCP) dan ketamin juga menyebabkan gejala kognitif, negatif, afektif, penarikan
diri, dan gangguan fungsi eksekutif pada skizofrenia.
Teori ini kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas perkembangan neuron yang
membentuk sinaps glutamat dan interneuron GABA pada kortek serebral (Gambar 3 dan 4).
Telah terjadi kesalahan program genetik pada semua interneuron GABA yang dapat
diidentifikasi dimana pada prefrontal kortek yang interneuron GABA ini banyak berikatan
dengan kalsium yang berikatan dengan protein yang disebut degan parvalbumin. Ikatan
parvalbumin dengan GABA interneuron ini yang merusak reseptor NMDA sehingga terjadi
hipofungsi
(Stahl
2013).
Gambar 5. Hipofungsi NMDA di kortek yang dihubungkan dengan gejala positif pada skizofrenia
(Stahl, 2013).
Hipofungsi dari reseptor NMDA ini akan menyebabkan hiperaktifitas dari glutamat pada
jalur cortico-brainstem neuron glutamat yang menginervasi neuron dopamin pada VTA
menuju nucleus acumbens (area mesolimbik). Akibat dari hiperaktifitas glutamat ini, maka di
VTA akan terjadi penurunan dopamin, sehingga akan terjadinya hiperaktifitas dopamin sebagai
kompensasinya. Ini adalah dasar biologi terjadinya hiperaktifitas dopamin pada mesolimbik
yang diasosiasikan dengan munculnya gejala positif pada skizofrenia.
Kemungkinan juga terjadi peningkatan glutamat di daerah ventral hippocampus, yang
menyebabkan terjadinya penurunan dopamin di mesolimbik, sehinga disini juga akan terjadi
hiperaktifitas dopamin di area ini. Ini juga adalah dasar biologi terjadinya hiperaktifitas
dopamin pada mesolimbik yang diasosiasikan dengan munculnya gejala positif pada
skizofrenia.
Gambar 6. Hipofungsi NMDA di hipokampus dan gejala positif pada skizofrenia
(Stahl, 2013).
Ini tampak berbeda dengan apa yang terjadi pada jalur glutamat cortico-brainstem. Jalur
glutamat cortico-brainstem secara tidak langsung menginervasi sistem GABA interneuron,
yang menginervasi neuron dopamin di mesokortek. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi, jika
neuron glutamat sangat aktif di VTA? maka akan terjadi hipoaktif dopamin di mesokortek. Ini
sangat jelas apa yang dihipotesiskan untuk terjadinya skizofrenia. Hipoaktif dopamin pada
mesokortek diasosiasikan sebagai munculnya gejala negatif pada skizofrenia. Patofisiologi
jalur glutamat dan GABA ini nantinya akan menjadi dasar pengobatan skizofrenia masa depan
(Stahl, 2013).
Gambar 7. Hipofungsi reseptor NMDA di ventral hipokampus dan gejala negatif pada skizofrenia
(Stahl, 2013).
2.2 Mood Stabilizers sebagai Terapi Skizofrenia Masa Depan
Mood stabilizers merupakan kelas terapi lain yang digunakan untuk pengobatan gangguan
skizofrenia dan bipolar (Dorothy, 2009). Lithium, asam valproat, carbamazepin dan lamotrigin,
semuanya digunakan terapi adjuvan pada skizofrenia, walaupun masih sedikit penelitian
tentang efikasi pengobatan pada psikosis (Rosenberg dan Salman 2007; Grunze 2008).
Kurang jelasnya patofisiologi pada penyakit psikiatri, lebih dari setengah psikiater
memakai obat psikotropika kombinasi. Antipsikotik (tipikal atau atipikal) masih menjadi pusat
utama dari pengobatan skizofrenia. Banyak penderita skizofrenia perlu kombinasi obat,
termasuk dari kelas obat yang berbeda seperti antidepresan, anticemas, mood stabilizers dan
beberapa obat lain untuk mengobati efek samping dari antipsikotik. Polifarmasi sangat sering,
dimana 1/5-1/3 penderita skizofrenia tidak berespon terhadap antipsikotik (Stahl, 2013).
Penggunaan mood stabilizers pada penderita skizofrenia rentangan 15% sampai 50%.
Studi di Amerika rata-rata setengah dari pasien skizofrenia mendapat mood stabilizers dan 1/3nya menggunakan asam valproat. Studi cross sectional pada pasien dengan rentang umur 1865 tahun di Inggris melaporkan bahwa 28,5% pasien skizofrenia mendapatkan mood
stabilizers. Di Asia sebanyak 20% pasien memakai tambahan terapi mood stabilizers untuk
menangani kasus skizofrenia yang dirawat di rumah sakit, dan akan terus terjadi peningkatan.
Ini menandakan bahwa penggunaan mood stabilizer pada skizofrenia sangat sering dilakukan.
Beberapa studi telah dilaporkan dan ternyata berhasil dengan mood stabilizers, pasien
skizofrenia yang resisten dengan obat antipsikotik. Mood stabilizers ini secara signifikan
mampu memperbaiki perilaku yang agresif, bicara kacau, rawat inap berulang, gejala positif,
umur muda, jika belum cukup diatasi dengan antipsikotik saja. Mood stabilizers yang paling
sering digunakan adalah asam valproat dengan lithium dan carbamazepin mengikuti
dibelakangnya (Horowitz, 2014 & Sim Kang, 2011).
Texas Medication Algorithm Project (TMAP) dan konsensus skizofrenia Indonesia 2011
juga memberikan rekomendasi tingkatan pengobatan skizofrenia, dimana pada dasarnya
pengobatan tetap didahului dengan memakai antipsikotik, jika berespon parsial bisa dilakukan
kombinasinya, dan jika tidak mengalami perbaikan, maka pada tahap akhir bisa ditambahkan
obat golongan mood stabilizers sebagai terapi adjuvan yang sesuai pada alur dibawah ini.
(Argo, et al., 2008).
Mood stabilizers ini mampu menjaga keseimbangan mood pada pasien bipolar, tetapi
penggunaan mood stabilizers ini telah berkembang ke berbagai penyakit psikiatri yang lainnya,
seperti penggunaan mood stabilizers sebagai terapi adjuvan atau tambahan pada penderita
skizofrenia, walaupun studi secara empiris pada kasus ini masih terbatas (Horowitz, 2014).
Tahap I
Berikan 1 Antipsikotik Atipikal
Tahap II
Berikan 1 Antipsikotik Atipikal yang belum dicoba pada Tahap I
Tahap III CLOZAPINE
Tahap IV
CLOZAPINE ditambah 1 SGA atau 1 FGA atau ECT
Tahap V
1 SGA atau FGA yang belum pernah dicoba pada tahap I atau II
TAHAP VI: TERAPI KOMBINASI
FGA dan SGA, dua SGA,
ECT dan 1 SGA atau FGA,
Mood Stabilizers dan 1 SGA atau FGA
Gambar 8. Skema tingkatan tatalaksana skizofrenia dan pemberian mood stabilizer menurut TMAP
(Argo et all, 2008).
2.2.1 Mood stabilizers
Mood stabilizers adalah obat mampu mengobati dan menstabilkan mood pasien dari atas
sehingga bisa mencegah mania sedangkan pada keadaan depresi, mood stabilizers mampu
menstabilisasi mood dari bawah keatas atau dengan kata lain mencegah mood yang depresi
(Gambar 9).
Gambar 9. Mekanisme kerja mood stabilizers (Stahl, 2013).
2.2.2 Jenis-Jenis Mood Stabilizers
Adapun jenis-jenis mood stabilizers yang sering digunakan adalah :
A. Litium, sebagai mood stabilizer klasik
Lithium adalah ion yang mekanisme kerjanya belum dimengerti. Barangkali lithium
bekerja melalui penghambatan dari enzim second messenger seperti Inositol
Monophosfatase (gambar bagian kanan), dengan memodulasi Protein G (gambar bagian
tengah), atau dengan penurunan signal tranduksi kaskade, yang melibatkan penghambatan
dari Glycogen Syntase Kinase 3 (GSK-3) dan protein C kinase (gambar bagian kiri). Semua
aktifitas dari lithium ini akan mempengaruhi terbentuknya proteksi pada saraf dan
plastisitas jangka panjang dari sel saraf yang mampu mengurangi toksisitas dari
hiperglutamat pada skizofrenia (Gabbard, 2015 & Stahl, 2013).
Gambar 10. Mekanisme kerja lithium (Stahl, 2013).
Guideline terbaru mengatakan lithium dipakai sebagai obat lini pertama pada pasien
dengan episode akut bipolar dengan depresi, yang bisa bekerja sebagai mencegah bunuh
diri (Leishouth, 2010). Beberapa orang dengan skizofrenia yang tidak bisa mendapat
antipsikotik mungkin bisa efektif dengan pengobatan lithium tersendiri .Begitu juga pasien
yang agresif, lithium disini berfungsi sebagai antiagresif yang bisa digunakan untuk
menangani agresifitas pada skizofrenia (Sadock& Sadock, 2013).
Sediaan obat lithium ini ada yang 150 mg, 300 mg, 600 mg lithium karbonat (generik),
lithium karbonat tablet (lithotabs) 450 mg Controlled-Release (CR) lithium karbonat capsul
(Eskalith CR dan Lithonat), dan 8 mEq/5 mL lithium sitrat sirup.
Dosis awal untuk pemakaian lithium untuk dewasa adalah 300 mg yang diminum 3
kali sehari. Jika mengalami gangguan fungsi ginjal, bisa dimulai dengan 300 mg sekali atau
dua kali sehari. Dosis untuk stabilisasi biasanya 900-1200 mg per hari yang menghasilkan
konsentrasi di plasma darah 0,6-1 mEq/L. Dosis pemeliharaan bisa diberikan 2-3 kali sehari
atau sekali dosis yang CR. Pemberhentian obat lithium harus secara pelan-pelan untuk
mengurangi kekambuhan gejala mania (Sadock & Sadock, 2013).
Efek samping dari lithium berupa gejala intestinal seperti dispepsia, mual, muntah, dan
diare, kenaikan berat badan, rambut rontok, tremor, mengantuk, dan menurunnya kognitif.
Ada juga efek pemakaian jangka panjang berupa gangguan ginjal dan tiroid. Untuk
mengatasi efek samping ini, sebaiknya dilakukan monitor level obatnya dalam plasma.
Lithium ini biasanya dipakai dosis yang paling rendah dan jika hasilnya tidak memuaskan
akan dikombinasi dengan mood stabilizers yang lainnya (Stahl, 2013). Tabel dibawah ini
secara singkat dijelaskan spesifikasi dari obat lithium :
Lithium
Mekanisme kerja
‒ Proteksi dan plastisitas jangka panjang dari sel saraf yang
mampu mengurangi toksisitas NMDA dari hiperglutamat
Sediaan
‒ Lithium carbonat 150 mg, 300 mg, 600 mg
Dosis
‒ Dosis awal untuk dewasa adalah 300 mg 3 kali sehari.
‒ Jika ada gangguan fungsi ginjal, dimulai dengan 300 mg 12 kali sehari.
‒ Dosis untuk stabilisasi biasanya 900-1200 mg per hari
Efek samping
‒ Sering : gangguan intestinal (dispepsia, mual, muntah, dan
diare), kenaikan berat badan, rambut rontok, tremor,
mengantuk, dan menurunnya kognitif.
‒ Efek jangka panjang : gangguan ginjal dan tiroid.
Interaksi
Antipsikotik : hati-hati terjadi perburukan dari gejala
ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik maligna
Antidepresan : sindrom serotonin, dengan penghambatan
uptake serotonin
Antikonvulsan : seperti asam valproat dan karbamazepin
saling menguntungkan dan tidak ada efek buruk
B. Asam Valproat
Gambar 11. Bentuk molekul asam valproat (Stahl, 2013).
Asam valproat sudah diciptakan sejak tahun 1800-an. Obat ini disebut asam valproat
karena dengan cepat berubah menjadi bentuk asam saat masuk ke dalam perut. Asam
valproat meningkatkan respon pengobatan terapi dengan antipsikotik pada penderita
skizofrenia khususnya mengatasi gejala agresif dan agitasi. Asam valproat kurang
bermanfaat jika monoterapi untuk mengatasi gejala psikotik pada skizofrenia, maka dari
itu asam valproat biasanya sebagai terapi adjuvan pada skizofrenia (Versayanti, 2010,
Sadock, 2013).
Mekanisme kerja dari asam valproat adalah melalui 3 cara yaitu mengurangi aliran
ion kalsium ini dengan langsung menghambat disaluran Voltage Sensitive Sodium
Channels (VSSCs) dan yang kedua dengan menghambat fosforilasi enzim yang mengatur
sensitifitas kanal ion natrium. Penghambatan pada VSSCs menyebabkan menurunnya
influx natrium ke dalam sel neuron sehingga menyebabkan berkurangnya eksitasi sel
neuron terutama glutamat dan transmisi dari excitatory neurotransmitter juga berkurang.
Cara kerja ini mampu memperbaiki hiperaktivasi glutamat yang terjadi pada penderita
skizofrenia (Stahl, 2013).
Gambar 12. Mekanisme kerja asam valproat pada kanal voltase natrium (Stahl, 2013).
Gambar 13. Mekanisme kerja asam valproat dengan gaba. (Stahl, 2013).
Teori lain menyatakan asam valproat meningkatkan mekanisme kerja GABA, dengan
meningkatkan keluarannya dan mengurangi reuptake serta memperlambat metabolisme
inaktifasinya (Gambar 13). Dengan efek ini maka akan terjadi aktifitas GABA yang lebih
banyak, dan ini menyebabkan semakin banyaknya inhibisi pada transmisi neurotransmiter,
yang dapat menjelaskan efek antimania pada asam valproat dan mengurangi gejala pada
skizofrenia.
Saat mulai terapi dengan asam valproat, harus terlebih dahulu dilakukan tes fungsi hati,
darah lengkap dan tes kehamilan pada wanita. Pemberian untuk kasus mania akut, dimulai
dengan pemberian oral 20-30-mg/kgBB per hari. Jika pasien sangat gelisah maka bisa
dimasukkan kedalam infus intravena. Untuk pemberian obat pertama kalinya, dosis yang
dianjurkan mulai dosis kecil, yaitu 250 mg setelah makan dan bisa dilanjutkan sampai 3 kali
sehari setelah melewati 3-6 hari. Sebagian besar orang mendapat dosis 1200 mg dan 1500 mg
sehari dengan dosis terbagi dengan dosis maksimalnya adalah 2000 mg perhari. Jika diminum,
akan mulai diserap dalam waktu 2 jam dan waktu paruh plasmanya 6-16 jam (Semple, 2010).
Sediaan yang tersedia di Indonesia yaitu asam valproat yang 125 mg, 250 mg, dan 500 mg.
Jika gejala sudah teratasi maka bisa diminum sekali sebelum tidur. (Sadock & Sadock, 2013).
Gambar 14. Mekanisme kerja asam valproat (Stahl, 2013).
Efek samping dari asam valproat ini yang paling sering adalah gangguan pencernaan
seperti mual muntah dan mengantuk. Efek samping lainnya dapat berupa peningkatan berat
badan, dan rambut rontok. Masalah efek samping yang serius
dapat dicegah dengan
menurunkan dosis obat, dan bila perlu setelah diturunkan dikombinasi juga dengan mood
stabilizers lainnya.
Obat ini juga menyebabkan terganggunya fungsi hati dan pankreas, menimbulkan toksik
bagi janin (defek pada saraf), gangguan metabolisme tubuh serta kemungkinan terjadinya
amenorea dan kista ovarium jika diberikan pada anak wanita. Pada wanita juga sering
didapatkan efek gangguan pada menstruasi, hiperandrogenism, obesitas dan resisten hormon
insulin pada pemberian asam valproat ini.
Metabolisme dari asam valproat ini terjadi pada sitokrom P-450 di sel hati. Asam valproat
memiliki kemampuan untuk menghambat pemecahan obat yang dimetabolisme di hati
sehingga asam valproat sebaiknya tidak diberikan pada orang dengan gangguan hati (Murray,
2008).
Asam valproat
Mekanisme kerja ‒ Merubah sensitifitas ion kanal natrium dengan menghambat
kerja enzim yang mengatur masuknya ion natrium, dan
blockade langsung pada kanal natrium, sehingga ion natrium
berkurang
masuk
kedalam
sel
yang
menyebabkan
berkurangnya eksitasi glutamat (efek antimania)
‒ Meningkatkan pengeluaran GABA dengan menghambat
reuptake GABA, dan memperlambat inaktifasi GABA pada
sel GABAnergik
Sediaan
‒ 125mg, 250 mg, 500 mg (depakote), ikalep 300 mg
Dosis
‒ Pemberian pertama kali dianjurkan mulai dosis kecil, yaitu
250 mg setelah makan dan dilanjutkan sampai 250 mg 3 kali
sehari setelah 3-6 hari.
‒ Sebagain besar orang mendapat dosis 1200 mg dan 1500 mg
sehari dengan dosis terbagi.
‒ Jika gejala sudah teratasi maka bisa diminum sekali sebelum
tidur
Efek samping
‒ Sering : gangguan pencernaan (mual, muntah dan
mengantuk), penambahan berat badan, dan rontok.
‒ terganggunya fungsi hati dan pankreas, toksik bagi janin
(defek pada saraf), kemungkinan terjadinya amenorea dan
kistik ovarium jika diberikan pada anak wanita.
‒ Pada wanita juga sering didapatkan efek gangguan pada
menstruasi, hiperandrogenism, obesitas dan resisten hormon
insulin
Interaksi
Antipsikotik
: Meningkatkan
sindrom,
sedasi,
delirium
ekstrapiramidal
dan
stupor
(pada
beberapa kasus)
Antidepresan
: Meningkatkan konsentrasi dalam plasma
(amitriptilin dan fluoxetin)
Antikonvulsan : Menurunkan
serum
asam
vaproat
(carbamazepine)
C. Carbamazepin
Gambar 15. Bentuk molekul carbamazepin (Stahl, 2013).
Carbamazepin adalah antikonvulsan yang pertama kali terbukti efektif untuk mengatasi gejala
mania. Carbamazepin diperkirakan bekerja dengan memblok Voltage Sensitive Sodium
Channels VSSCs, langsung pada sisi yang membuka kanal ion dari VSSCs sub unit α. (Stahl,
2013). Efek tambahan dari carbamazepin dapat mengurangi arus melalui NMDA glutamatereceptor channels sehingga terjadi efek perbaikan pada gejala skizofrenia.
Carbamazepin dimetabolisme pada enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan
mekanisme kerja dari enzim hati CYP tipe 3A4. Peningkatan dosis boleh diberikan setelah
pengobatan dilakukan beberapa bulan (Ketter et al.,1999; Moseman et al.,2003). Metabolism
dari carbamazepin mungkin dipengaruhi oleh gangguan fungsi hati. Dosis terapi pada darah
untuk pengobatan akut mania atau episode campuran diperlukan sekitar 4-12 ug.ml. Konsentasi
dalam plasma tercapai setelah 4-8 jam dan waktu paruh di dalam plasma 18-55 jam (Semple,
2010).
Gambar 16. Mekanisme kerja dari carbamazepin (Stahl, 2013).
Target dosis untuk mengatasi mania dari carbamazepin ini adalah 1200 mg per hari,
walaupun ada variasinya di setiap Negara. Carbamazepin biasa diperlukan dosis 3-4 kali sehari
dan obat yang Extended-Release (XR) lebih di utamakan karena cukup diminum 1-2 kali
sehari. Salah satu sediaan carbamazepin generik adalah 100 mg, 200 mg, 400 mg, tegretol 100
mg dan 200 mg dan bentuk carbamazepin lepas lambat adalah Extended-Release (XR)
carbatrol yang tersedia dalam kemasan 100, 200, 300 mg tablet.
Carbamazepin memiliki efek samping yang paling sering adalah ganguan gastrointestinal
yang ringan seperti mual, muntah, konstipasi, diare, dan tidak ingin makan dan gangguan pada
saraf pusat (diplopia, lemas, pusing, tremor, ataxia, penglihatan kabur). Efek yang berat bisa
saja terjadi, seperti kelainan darah seperti anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis dan
reaksi kulit yang serius. (Sadock & Sadock, 2013).
Berlawanan dengan lithium dan asam valproat, carbamazepin tidak menyebabkan kenaikan
berat badan. Kebanyakan efek samping penggunaan carbamazepin ini terjadi jika plasma level
diatas 9 ug/mL. Efek yang sangat berat sering juga terjadi seperti agranulositosis, anemia
aplastik, gangguan fungsi hepar, hipersensitifitas sistemik, gangguan ginjal, gangguan
konduksi jantung, psikosis, Steven-Johnson syndrome, trombositopenia dan pankreatitis. Efek
samping ini diatasi dengan pemeriksaan test fungsi hepar, ginjal dan elektrolit (Semple 2010
& Murray, 2008).
Carbamazepin
Mekanisme kerja
‒ memblok VSSCs, langsung pada sisi yang membuka kanal
ion dari VSSCs sub unit α.
‒ Memperbaiki
fungsi
NMDA
Glutamate-Receptor
Channels
Sediaan
‒ 100 mg, 200 mg, 300 mg tablet
Dosis
‒ Target dosis untuk mengatasi mania ini adalah 1200 mg
per hari, walaupun ada variasinya di setiap negara.
‒ Pengobatan diperlukan dosis 3-4 kali sehari dan obat yang
lepas lambat (XR) cukup diminum 1-2 kali sehari.
Efek samping
‒
Efek samping yang paling sering adalah ganguan
gastrointestinal yang ringan seperti mual, muntah,
konstipasi, diare, anoreksi dan gangguan pada saraf pusat
(diplopia, lemas, pusing, tremor, ataxia, penglihatan
kabur).
‒
Efek berat bisa saja terjadi, seperti kelainan darah seperti
anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis dan reaksi
kulit yang serius.
‒
Efek sangat berat yang meliputi agranulositosis, anemia
aplastik, gagal hepar, hipersensitifitas sistemik, gangguan
ginjal, gangguan konduksi jantung, psikosis, Sindrom
Steven-Johnson, trombositopenia dan pankreatitis
Interaksi
‒ Carbamazepin menurunkan efek obat dalam plasma
(olanzapin, quetiapin, aripriprazol, clozapin, lamotrigin,
asam valproat, haloperidol, alprazolam, clonazepam,
amitriptilin, fluphenazin)
D. Lamotrigin
Lamotrigin ditetapkan sebagai mood stabilizers dengan mekanisme kerjanya yang
saling melengkapi dengan obat carbamazepin yang sama-sama bekerja pada kanal VSSCs, dan
obat ini yang tidak disarankan untuk gejala mania pada bipolar karena kemungkinana
mekanisme kerjanya tidak kuat untuk memblok kanal natrium, atau perlu waktu yang panjang
untuk memberikan efek dari obat ini untuk mengatasi gejala mania, sedangkan secara umum
diperlukan respon obat yang bekerja dengan cepat.
Gambar 17. Bentuk molekul lamotrigin (Stahl, 2013).
Lamotrigin disimpulkan memiliki efek yang unik, yaitu menurunkan pengeluaran
glutamat, yang mampu memperbaiki hiperaktifitas glutamat pada skizofrenia. Efek ini tidak
jelas, apakah karena pemblokkan pada VSSCs atau beberapa reaksi tambahan dari sinaps sel?
Pengurangan eksitasi glutamat merupakan efek yang unik pada obat lamotrigin ini (Gabard,
2015 & Stahl, 2013).
Pada penelitian klinis, pemberian lamotrigin dianjurkan diatas 200 mg per hari.
Kebanyakan pasien mendapat 100 mg dan 200 mg per hari, namun hasil ini masih belum
konsisten. Jika diminum, konsentrasi puncak diplasma akan terjadi dalam waktu 1-5 jam, dan
waktu paruhnya 24 jam (Semple, 2010). Sediaan obat yang ada dipasaran mulai dari 25 mg,
100 mg, 150 mg dan 200 mg tablet. Obat yang bisa dikunyah juga tersedia dalam dosis 2,5 dan
25 mg. Obat ini tidak dianjurkan pada umur dibawah 16 tahun (Sadock & Sadock, 2013).
Gambar 18. Mekanisme kerja lamotrogin (Stahl, 2013).
Efek samping yang paling sering dari pemberian lamotrigin ini adalah pusing, ataxia,
somnolen, pandangan kabur, mual, namun ringan. Penurunan kognitif dan nyeri sendi dan
punggung dilaporkan sering terjadi. Efek lainnya dari obat ini bisa menyebabkan Sindrom
Steven Johnson, tetapi sangat jarang. Reaksi rash pada kulit bisa terjadi, tetapi bisa
diminimalisasi dengan pemberian obat secara titrasi yang sangat pelan selama fase inisiasi
pemberian obat ini. Tabel dibawah menjelaskan akan spesifikasi dari obat lamotigin untuk
lebih mudah dimengerti :
Lamotrigin
Mekanisme kerja
‒ Memblok kanal natriun dan beberapa reaksi tambahan dari
sinaps sel menyebabkan pengurangan eksitasi glutamat
Sediaan
‒ 25 mg, 100 mg, 150 mg dan 200 mg tablet
Dosis
‒ 200 mg per hari
Efek samping
‒
Paling sering adalah pusing, ataxia, somnolence,
pandangan kabur, mual, namun ringan, penurunan
kognitif dan nyeri sendi dan punggung
‒
Efek lainnya dari obat ini bisa menyebabkan Sindrom
Steven Johnson, tetapi sangat jarang.
Keunggulan
‒
Tidak menyebabkan mengantuk, penambahan berat
badan dan efek metabolik lainnya
Interaksi
‒ Lamotrigin menurunkan plasma level 25% obat asam
valproat
‒ Lamotrigin jika dikombinasi dengan carbamazepin,
konsentasinya berkurang 40-50%
2.2.3 Interaksi Mood Stabilizer dan Kontraindikasi
Pasien yang mendapatkan tambahan mood stabilizers rata-rata berusia muda, karena
kemungkinan pasien muda lebih banyak gejala positif dan meningkatnya agresifitas atau
perilaku impulsif. Pada pasien geriatri, banyak studi menunjukkan adanya efek samping yang
lebih banyak seperti jatuh, infeksi, gangguan gastrointestinal (Horowitz, 2014). Selama
kehamilan, sebagian besar mood stabilizers yang juga bekerja sebagai antikonvulsan (asam
valproat dan carbamazepine) dan lithium memiliki risiko tinggi untuk toxisitas terhadap fetus.
(Stahl, 2013).
Mood stabilizers golongan lithium, asam valproat, carbamazepin, lamotrigin juga
memberikan efek positif terhadap peningkatan prepulse inhibition (PPI) pada mencit, dimana
keadaan ini kemungkinan bisa memperbaiki defisit PPI yang terjadi pada penderita skizofrenia
(Dorothy, 2009). Percobaan pada mencit juga didapatkan mood stabilizers golongan lithium
dan valproat efektif bekerja memperbaiki metabolism sel khususnya memperbaiki fosforilasi
mitokondria, sehingga adanya defek mitokondria pada penderita skizofrenia bisa diperbaiki
dan akhirnya bisa mengurangi gejala skizofrenia itu sendiri (Corena M et all, 2013).
Penggunaan kombinasi aripiprazol dengan lithium atau asam valproat mampu mengurangi
relaps gangguan mood pada kasus mania bipolar I yang bisa diaplikasikan juga untuk
mengurangi relaps skizofrenia jangka panjang (Marcus, 2011).
Pemberian carbamazepin harus diperhatikan apabila dikombinasi dengan obat antipsikotik
seperti haloperidol, fluphenazin, clozapin, olanzapin, quetiapin dan aripriprazol. Obat ini jika
diberikan bersamaan dengan carbamazepin maka akan terjadi hiperaktivasi oleh enzim
sitokrom P-450 tipe 3A4, yang menyebabkan peningkatkan metabolisme obat antipsikotik
tersebut, sehingga obat tersebut akan menjadi cepat dibuang keluar oleh tubuh. Pemberian
carbamazepin dengan obat-obatan tersebut, baik antipsikotik tipikal dan atipikal tidak
direkomendasi (Amir, 2008, Stahl, 2013 & Sadock, 2013). Interaksi obat carbamazepin dengan
dapat menurunkan kadar haloperidol sebanyak 50-60% (Monaco & Cicolin, 1999).
Gambar 19. Carbamazepin Menginduksi Enzim Sitokrom P-450 tipe 3A4 (Stahl, 2013).
Obat antidepresan golongan SSRI juga tidak disarankan dikombinasi dengan asam
valproat dan carbamazepin karena SSRI ini menghambat sitokrom P-450 yang akan
meningkatkan kadar asam valproat dan carbamazepin dalam plasma (Widyawati, 2011).
Gejala klinis, resiko genetik, epidemiologi dan patofisiologi neurotransmiter yang tampak
pada skizofrenia, sering overlapping dengan gangguan bipolar, maka dari itu untuk penanganan
skizofrenia dengan bipolar penatalaksanaanya juga hampir sama. Sekitar 60% pasien bipolar
yang overlapping dengan skizofrenia, menurut Kraepelin, ini merupakan proses yang
berkelanjutan dari bipolar untuk menjadi skizoafektif dan terakhir jatuh menjadi skizofrenia
(Bambole, 2013).
Berikut ini beberapa rekomendasi terapi kombinasi pemberian antipsikotik dan mood
stabilizer yang ideal untuk penanganan skizofrenia yang tidak optimal dengan pemberian
antipsikotik saja. Jika pasien menunjukkan gejala positif yang tumpang tindih dengan gejala
mania pada bipolar maka first line terapinya adalah dengan pemberian Antipsikotik Atipikal
(AA) atau kombinasi valproat/lithium dengan antipsikotik atipikal (risperidon, quetiapin,
olanzapin, atau aripiprazol). Tidak di rekomendasi pemberian kombinasi carbamazepin dengan
antipsikotik atipikal (risperidon, olanzapin quetiapin ataupun aripiprazol).
Jika yang menonjol gejala negatif, yang tumpang tindih dengan gejala depresi pada
bipolar, maka dapat diberikan first line terapi dengan kombinasi quetiapin/ Olanzapin dengan
SRRI dan jika tidak berespon optimal bisa diberikan kombinasi
valproat/lithium dengan lurasidone (second line) atau valproat/lithium dengan tricyclic
antidepresan dan quetiapine dikombinasi dengan lamotrigine (third line
BAB III
RINGKASAN
Patofisiologi Skizofrenia belum jelas diketahui penyebabnya. Para peneliti terus
berupaya meningkatkan pengetahuan untuk memahami bagaimana patofisiologi penyebab dari
skizofrenia ini sehingga penanganan skizofrenia ini khususnya yang tidak optimal dengan
pemberian antipsikotik bisa lebih optimal.
Patofisiologi yang terbaru telah diketahui bahwa adanya abnormalitas reseptor NMDA
yang mempengaruhi jalur glutamat, secara tidak langsung menyebabkan terjadinya skizofrenia.
Teori ini mampu menjelaskan terjadinya gejala positif dan negatif pada skizofrenia.
Berdasarkan hipotesis reseptor NMDA tersebut maka makin banyak dikembangkan
penelitian obat-obatan yang bekerja pada jalur tersebut. Beberapa hasil penelitian ternyata
didapatkan bahwa pemberian terapi adjuvan mood stabilizer berefek bagus pada pasien
skizofrenia khususnya skizofrenia yang tidak maksimal dengan pengobatan antipsikotik saja.
Diperlukan lebih banyak lagi penelitian yang menunjukkan efikasi mood stabilizers
dapat menyembuhkan pasien skizofrenia sebagai monoterapi saja, sehingga saat ini obat mood
stabilizers hanya digunakan sebagai terapi adjuvan dalam penanganan skizofrenia khususnya
skizofrenia yang tidak berespon dengan antipskikotik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir, Nurmiati. 2009, ‘Interaksi Neurotransmiter pada skizofrenia dan implikasi
terapeutiknya’, Perjalanan panjang skizofrenia, Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa,
Jakarta dan dibawakan pada kongres internasional WPA regional meeting ‘Mental Health
Disaster : Beyond Emergency Respone’, Nusa Dua, Bali, Indonesia
2. Argo, T., Crismon, M., Miller, A. & Moore, T., 2008. Texas Medication Algorithm Project
Procedural Manual: Schizophrenia Algorithm. Texas Department of State Health Services.
3. Bambole V., Johnston M., Shah N., Sonavane S., Desouza A., Shrivastava A., 2013,
Symptom overlap between schizophrenia and bipolar mood disorder: Diagnostic issues.
Open journal of Psychiatry, Mumbai, India page 8-15.
4. Corena M, Walss-Bass C, Oliveros A, Villegas A.G. Ceballos C. Charlesworth C.M.
20013. New Model of action for mood stabilizers: Phosphoproteome from rat Pre-Frontal
Cortex Synaptoneurosomal Preparations. Plos one Journal. www.plosone.org.
5. Diagnostic and statistical manual ofmental disorders fifth edition (DSM-5). 2013.
American Psychiatris Assosiacion. Washington DC, USA
6. Dorothy, Choinski M, Mhicael J, Gasior. 2009. Mood stabilizer increase prepulse
inhibition in DBA/ 2NCrl mice. Psychopharmacology. Springer Journal. USA. Page 369377
7. Gabbard G., 2015. Treatment of Psychiatric disorder DSM-5 edition. New York University.
Washington DC. USA
8. Horowitz E, Bergman L.C., Ashkenazy C, Moscona I, Grinvald H, Magnezi R, 2014, ‘Off
label use of Sodium Valproate for Skizoprenia’, Plos One Journal, Volum 9, Israel.
9. Kang Sim, Kian Hui Yioung, et all. 2011. Adjunctive mood stabilizer treatment for
hopspitalized schizophrenia patients: Asia psychotropic prescription study (2001-2008).
International journal of Neuropshicopharmacology. Page 1157-1164.
10. Leishout R.J. and MacQueen M. 2010, Efficacy and acceptability of mood stabilizers in the
treatment of acute bipolar depression : systematic review. BJPsych Journal. p266-273.
11. Marcus R., Khan A., Rollin L, Morris B, Timko K, Carson W, et all. 2011, Efficay of
Aripiprazole adjunctive to lithium or valproat in the long term treatment of patient with
bipolar I disorder with an inadequate response to lithium and valproate monotherapy:
multicenter, double-blind, randomize study. Bipolar disorder journal page 133-144. USA.
12. Murray, R.M. et all, 2008. Essential Psychiatry fourth edition. Cambride University Press,
United States of America, p. 586.
13. Rapat kerja consensus nasional terapi gangguan bipolar, 2010. Panduan Tatalaksana
Gangguan bipolar Pokja SPM dan Seksi Bipolar PDSKJI. Jakarta
14. Sadock, B.J. and Sadock, V.A. 2003. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry ninth
edition. Philadelphia, USA. Pippincot Williams and Wilikins p.623-631
15. Semple D. dan Smyth R., 2010. Oxford Handbook of Psychiatry second edition. Oxford
University Press. USA
16. Stahl, Stephen M. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis and
Practical Application fourth edition. New York. Cambrige Medicine Press.
17. Triananda K., Di Indonesia terdapat 1,27 permil orang dengan skizofrenia. www.berita
satu.com, akses 23 November 2013.
18. Versayanti S., 2010, Berbagai tantangan pada pengobatan skizofrenia. Kepatuhan dan
Rehabilitasi Kognitif sebagai penentu keberhasilan terapi skizofrenia dalam Majalah Jiwa
Psikiatri. Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa, tahun XLIII no.3 September 2010.
Jakarta hal 1-24.
19. Widyawati Ika, 2011, Penatalaksanaan Skizoprenia Masa Anak dan Gangguan Bipolar
Masa Kanak, Pertemuan Nasional Akeswari II, 5-7 Mei 2011, Hotel Inna Garuda,
Yogyakarta.
Wiguna Thjin, 2011, Aspek Mental Pada Anak dengan Epilepsi, Pertemuan
Download