seminar nasional keperawatan komunitas “peran perawat dalam

advertisement
SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS
“PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN
PRIMER MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS
“PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN
PRIMER MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
7 November 2015
Gedung Serba Guna Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia
Editor : Ns. Muhammad Muin, S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.Kom
Ns. Diyan Yuli Wijayanti, S.Kep., M.Kep
Bekti Iskandar, S.Hum
Program Studi Magister Keperawatan
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran
Diponegoro Semarang, Indonesia
Universitas
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS
“PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN”
ISBN : 978-602-73501-0-6
@ 2015 Program Studi Magister Keperawatan
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Indonesia
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Redaksi
Program Studi Magister Keperawatan
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Jalan Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang Semarang 50275
Telp. (024) 76480919 Fax : (024) 76486849
Email : [email protected]
Website : www. keperawatan.undip.ac.id
Cetakan Pertama, 7 November 2015
ii
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
7 November 2015
Kami Mengucapkan terima kasih kepada tim reviewer
Dr.Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M.Sc
Nur Setiawati Dewi, S.Kp., M.Kep. Sp.Kep.Kom
Megah Andriany, S.Kp, M.Kep. Sp.Kep.Kom
Ns. Muhammad Muin, S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.Kom
Ns. Diyan Yuli Wijayanti, S.Kep., M.Kep
Rita Hadi Widyastuti, M.Kep., Sp.Kep.Kom
iii
KATA PENGANTAR
Perawat memiliki peran yang vital dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sehat dan aktif dalam mengisi pembangunan. Perawat memberikan kontribusi yang sangat
besar terhadap keberhasilan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna
terhadap pasien. Perawat menempati 1/3 dari keseluruhan tenaga kesehatan di Indonesia
baik di RS maupun di Puskesmas. Oleh sebab itu diperlukan suatu mekanisme dalam
upaya meningkatkan profesionalisme perawat dalam mewujudkan program percepatan
pembangunan kesehatan di Indonesia.
Saat ini permasalahan kesehatan yang dihadapi cukup kompleks, upaya kesehatan
belum dapat menjangkau seluruh masyarakat meskipun Puskesmas telah ada di setiap
kecamatan yang rata-rata ditunjang oleh tiga Puskesmas Pembantu. Hal ini ditunjukkan
dengan masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu, jumlah kasus baru
TB, jumlah kasus baru AIDS dan penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung
dan penyakit pembuluh darah, juga terjadi peningkatan.
Keperawatan sebagai salah satu bagian pelayanan kesehatan di Indonesia
memandang isu ini sebagai masalah krusial yang perlu untuk ditindaklanjuti bersama, tidak
hanya oleh stakeholder, tetapi juga oleh praktisi, akademisi, dan masyarakat. Jalinan
kerjasama ini bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dan pemecahan masalah yang
mempengaruhi outcome berupa kualitas pelayanan dan profesionalisme perawat.
Menjawab realitas tersebut kegiatan seminar nasional dengan tema “Peran perawat dalam
pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” dapat bermanfaat
untuk memajukan dan menggiatkan kembali pendidikan dan profesi sebagai perawat yang
berkompeten dan berkualitas di keperawatan komunitas ( masyarakat) terutama menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN .
Semarang, 7 November 2015
Ketua Panitia
Rita Hadi Widyastuti, S.Kp., M.Kep., Sp. Kom
iv
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Semarang, 7 November 2015
Sususan panitia pelaksanaan seminar:
Ketua
:
Rita Hadi W, S.Kp. M.Kep. Sp.Kep.Kom
Sekretaris
:
Ns. Sri Padma Sari, S.Kep., MNS
Bendahara
:
Titien Supriyanti, S.Kom
Sie. Acara
:
Ns. Nurullya Rachma, S.Kep., M.Kep.
Sp.Kep.Kom
Ns. Artika Nurrahima, S.Kep., M.Kep
Sie. Ilmiah
:
Ns. Muhammad Muin, S.Kep., M.Kep.
Sp.Kep.Kom
Ns. Diyan Yuli Wijayanti, S.Kep., M.Kep
Nur Setiawati Dewi, S.Kp., M.Kep.
Sp.Kep.Kom
Megah Andriany, S.Kp, M.Kep. Sp.Kep.Kom
Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M.Sc
Bekti Iskandar, S.Hum
Sie. Danus
:
Elis Hartati, S.Kep., M.Kep
Rinna Prasmawati, SKM
Sie. Konsumsi
:
Wida Riana, SIP
Sie. Perlengkapan,
:
Evi Silitoma Kriswanto
Ponco Sudarsono
Sie. Pubdekdok &
Transportasi
:
Heri Kristanto
Margiyono, S.Kom
v
Susunan Acara
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Semarang, 7 November 2015
Waktu
07.00- 08.30
08.30- 09.00
Kegiatan
Registrasi (coffe break)
Pembukaan:
Narasumber
Menyayikan lagu Indonesia
Raya
Doa
Dirijen : MC
Pembaca Doa
M.Mu’in,M.Kep.,Sp.Kep.Kom
Laporan ketua panitia
Rita Hadi W,S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kep.Kom
Sambutan:
Dekan FK UNDIP
09.00- 11.30
Prof. DR. dr. Tri Nur Kristina, DMM.,
M.Kes
Materi (Panel)
@ 30 menit tiap pembicara,
diskusi 45 menit
Moderator:
Ns. Nurullya Rachma, M.Kep.,
Sp.Kep.Kom
1. Kebijakan Kementerian
Kesehatan tentang
peran dan posisi
perawat dalam
menurunkan angka
kematian ibu dan bayi di
pelayanan kesehatan
primer
Dr. dr. Anung Sugihantono, M.Kes
(Dirjen Bina Gizi & KIA Kemenkes RI)
2. Kebijakan dan strategi
pendayagunaan tenaga
kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan
primer
3. Konsep dan
implementasi Asuhan
Keperawatan Komunitas
dalam rangka
peningkatan status
kesehatan menuju MEA:
dr. Yulianto Prabowo, M.Kes
(Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Tengah)
Purwadi, S.Kp., M.Kep.Sp.Kom
vi
Aplikasi program 1 RW
1 perawat
Penyerahan sertifikat dan
Diserahkan oleh Kajur/Ketua Panitia
plakat
11.30- 12.30
Presentasi poster
(Hall depan RSG Lt.3)
12.30- 13.30
Ishoma
13.30- 15.00
Presentasi oral
Ruang 3 A,B,C Jur Kep
15.00- 15.15
Penutupan:
Kajur Keperawatan FK
DR. Untung Sujianto, S.Kp.,M.Kes
UNDIP
15.15- 15.30
Pembagian sertifikat
vii
Daftar Isi
Halaman Judul ............................................................................................................
Kata Pengantar
............................................................................................................
Susunan Panitia
...........................................................................................................
Susunan Acara ............................................................................................................
Daftar Isi .....................................................................................................................
A. Materi Pembicara
1. Konsep dan implementasi Asuhan Keperawatan Komunitas dalam rangka
peningkatan status kesehatan menuju MEA: Aplikasi program 1 RW 1
perawat oleh Purwadi, S.Kp., M.Kep.Sp.Kom
i
iv
v
vi
viii
1
20
B. Oral Presentation
1. Dely Maria , Juniati Sahar, Sigit Mulyono.....................................................
Kemampuan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk
meningkatkan status gizi anak usia sekolah.
2. Fitri Suciana....................................................................................................
Efektifitas Program Perawatan Diri Terhadap Kemampuan Diri Pasien
Gagal Jantung
3. Tut Wuri Prihatin, Witri Hastuti, Fitroh Suryaningsih...................................
Pengaruh Terapi Bekam terhadap Perubahan Tekanan Darah pada Pasien
Hipertensi
4. Zahroh Ulil Fadhilah, Wahyu Maha Nugraha................................................
Jenis Terapi Komplementer yang Berpengaruh terhadap Penurunan Kadar
Glukosa Darah pada Pasien Diabetes Mellitus
5. Kastuti Endang Trirahayu , ............................................................................
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Keluarga Dalam
Perawatan Pasien Tuberculosis Paru
6. Kartika Setia Purdani, .....................................................................................
Komplementer Terapi; Aromaterapi Dalam Autism
7. Erika Dewi Noorratri ......................................................................................
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kegagalan Pengobatan Pada
Pasien Tuberculosis Paru
8. Nurul Devi Ardian...........................................................................................
Faktor-Faktor Yangmempengaruhi Perilaku Seksual Pada Remaja
Wachidah Yuniartika
9. Candra Dewi Rahayu.......................................................................................
Kolaborasi Perawat Klien Dalam Penanganan Kesehatan Jiwa Komunitas:
Literature Review
10. Maria Dyah Kurniasari ...................................................................................
Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia Mangostana) Terhadap Jumlah
Limfosit Total, Jumlah Hb, Berat Badan Pada Penderita Hiv Dengan Terapi
Antiretroviral (Arv) Di Rsud Gunung Jati, Cirebon
11. Dwi Yuniar Ramadhani..................................................................................
Literatur Review : Dukungan Keluarga, Efikasi Diri dan Kualitas Hidup
Lansia dengan Diabetes Melitus Tipe 2
28
37
43
50
55
61
72
79
88
94
viii
12. Treesia Sujana .................................................................................................
Effectiveness of maternal and neonatal health promotion strategies in low
and middle income countries with disadvantage environment Road to an incontext health promotion strategy for Indonesia
13. Domianus Namuwali ......................................................................................
Pengaruh Penggunaan SMS Dan Telpon Pengingat Terhadap Kepatuhan
Pasien Minum Obat Anti Tuberkulosis Paru : Literatur review
14. Umi Setyoningrum
..........................................................................................
Hubungan Peran dan Fungsi Keluarga Terhadap Perilaku Seksual Pra
Nikah Remaja
15. Yuni Dwi Hastuti , Sidik Awaludin.................................................................
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Hiv/Aids Terhadap Pengetahuan
Dan Sikap Siswa Di Sma Setiabudi Semarang
16. EIstki Suprihatin .............................................................................................
Hubungan Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Dengan Pencegahan
Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk
17. Budi Kristanto .................................................................................................
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkembangan Bahasa Pada
Anak Pra Sekolah
18. Lusia Lilik Mei M ..........................................................................................
The Relationship Between Husband Support And Self Efficacy With Stress
Levels In Multiple Roles Woman
19. Asti Nuraeni, Susana Agustina, Mamat Supriyono.........................................
Efektivitas Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok Terhadap
Frekuensi Merokok Siswa Sman 14 Semarang
20. Yulia Susanti, Junaiti Sahar, Poppy Fitriyani ................................................
Hubungan Dukungan Keluarga Dalam Pencegahan Dengan Kejadian
Demam Berdarah Pada Anggota Keluarga Di Kabupaten Kendal
21. Dwi Roma Yogi, Riani Pradara Jati
Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Lansia
Memeriksakan Kesehatan di Posyandu Lansia di Desa Sawahjoho
Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang
22. Dwi Susilawati, Reni Sulung Utami .............................................................
Efektivitas Senam Diabet Terhadap Aktivitas dan Kepuasan Dalam
Berhubungan Seksual Pada Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas
Kecamatan Ungaran Barat
23. Yunitia Aulianita, Sari Sudarmiati .................................................................
Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap Kecemasan
Wanita Klimakterium di Rw 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan
Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah
24. Puji Purwaningsih ...........................................................................................
Kajian Literatur : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktifitas Fisik dan
Perilaku Sedentary Pada Anak
25. Chandra Bagus Ropyanto ...............................................................................
Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self Efficacy
Melakukan Activity Daily Living (ADL) Pasien Pasca Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) Ekstremitas Bawah di Kota Semarang
101
108
115
118
125
131
139
146
153
161
168
178
186
192
ix
26. Elis Hartati, Diyan Yuli Wijayanti .................................................................
Pemberdayaan Kader Posyandu Lansia di Semarang
27. Wachidah Yuniartika......................................................................................
Studi Literature : Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Tingkat Depresi
Pasien Diabetes Mellitus
28. Diah Indriastuti................................................................................................
Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami
29. Diah Fitri Purwaningsih ................................................................................
Efisiensi Biaya Dengan Menggunakan Metode Assertive Community
Treatment Pada Pasien Dengan Skizofrenia Di Puskesmas : Literature
Review
30. Rinda Winandita , Rita Hadi Widyastuti ........................................................
Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Wredha
31. Muchammad Nurkharistna Al Jihad ..............................................................
Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil
C. Poster Presentation
1. Herry Setiawan ...............................................................................................
Nilai Marketing Perawat sebagai Pemberi Pelayanan Keperawatan pada
Klien Stroke dalam Menyikapi Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA): Literature Review
2. Arwyn Weynand Nusawakan ........................................................................
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi
dalam konteks lintas budaya.
3. Azka Fathiyatir Rizqillah, Diyan Yuli Wijayanti............................................
Tingkat Depresi Pada Lanjut Usia : Studi Eksporatif Pada Lansia Di
Kelurahan Padangsari Kota Semarang
4. Diah Indriastuti , Tahiruddin............................................................................
Deteksi Postnatal Depression menggunakan EPDS (Edinburg Postnatal
Depression Scale) Pada Kunjungan Rumah Ibu Post Partum
5. Retno Yuli Hastuti, Sutaryono, Ayu Arumsari................................................
Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk Menurunkan Kecemasan Pada
Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi Di Stikes Muhammadiyah
Klaten
6. Muhammad Mu’in, Dyan Yuli Wijayanti.......................................................
Spiritualitas Dan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus
7. Yossie Susanti Eka Putri, Livana PH..............................................................
Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres Keluarga
Sebagai Akibat Beban Merawat Lansia Demensia Di Ciwaringin Bogor
8. Satriya Pranata, Aini Hidayati........................................................................
Literature Review : Pengaruh Terapi Pijat Terhadap Tingkat Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus
202
210
218
225
234
241
250
260
266
274
281
289
295
304
x
26. Elis Hartati, Diyan Yuli Wijayanti .................................................................
Pemberdayaan Kader Posyandu Lansia di Semarang
27. Wachidah Yuniartika......................................................................................
Studi Literature : Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Tingkat Depresi
Pasien Diabetes Mellitus
28. Diah Indriastuti................................................................................................
Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami
29. Diah Fitri Purwaningsih ................................................................................
Efisiensi Biaya Dengan Menggunakan Metode Assertive Community
Treatment Pada Pasien Dengan Skizofrenia Di Puskesmas : Literature
Review
30. Rinda Winandita , Rita Hadi Widyastuti ........................................................
Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Wredha
31. Muchammad Nurkharistna Al Jihad ..............................................................
Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil
C. Poster Presentation
1. Herry Setiawan ...............................................................................................
Nilai Marketing Perawat sebagai Pemberi Pelayanan Keperawatan pada
Klien Stroke dalam Menyikapi Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA): Literature Review
2. Arwyn Weynand Nusawakan ........................................................................
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi
dalam konteks lintas budaya.
3. Azka Fathiyatir Rizqillah, Diyan Yuli Wijayanti............................................
Tingkat Depresi Pada Lanjut Usia : Studi Eksporatif Pada Lansia Di
Kelurahan Padangsari Kota Semarang
4. Diah Indriastuti , Tahiruddin............................................................................
Deteksi Postnatal Depression menggunakan EPDS (Edinburg Postnatal
Depression Scale) Pada Kunjungan Rumah Ibu Post Partum
5. Retno Yuli Hastuti, Sutaryono, Ayu Arumsari................................................
Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk Menurunkan Kecemasan Pada
Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi Di Stikes Muhammadiyah
Klaten
6. Muhammad Mu’in, Dyan Yuli Wijayanti.......................................................
Spiritualitas Dan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus
7. Yossie Susanti Eka Putri, Livana PH..............................................................
Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres Keluarga
Sebagai Akibat Beban Merawat Lansia Demensia Di Ciwaringin Bogor
8. Satriya Pranata, Aini Hidayati........................................................................
Literature Review : Pengaruh Terapi Pijat Terhadap Tingkat Kadar Glukosa
Darah Pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus
202
210
218
225
234
241
250
260
266
274
281
289
295
304
x
Materi Pembicara
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
PEMBAGIAN RUANGAN ORAL PRESENTASI
SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS UNDIP 2015
RUANG
: 1 (KAMPUS JURUSAN KEPERAWATAN UNDIP)
WAKTU
: JAM 13.00-14.30
MODERATOR : Ns. M. Muin S.Kep., M.Kep., Sp. Kom.
No
1
2
3
4
5
6
7
Nama
Ns. Dely Maria
P. M.Kep.,
Sp.Kep. Kom.
Puji
Purwaningsih
Judul
Kemampuan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi
untuk meningkatkan status gizi anak usia sekolah.
Ns. Kartika Setia
Purdani, S.kep
Ns. Nurul Devi
Ardiani, S.Kep
Treesia Sujana,
MN
Komplementer Terapi; Aromaterapi Dalam Autism
Umi
Setyoningrum,
S.Kep., Ns
YuniDwiHastuti,
Sidik Awaludin 2)
Kajian Literatur : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktifitas Fisik
Dan Perilaku Sedentary Pada Anak Usia 7-12 Tahun.
Faktor-Faktor Yangmempengaruhi Perilaku Seksual Pada Remaja
Effectiveness of maternal and neonatal health promotion
strategies in low and middle income countries with disadvantage
environment Road to an in-context health promotion strategy for
Indonesia
Hubungan Peran dan Fungsi Keluarga Terhadap Perilaku Seksual
Pra Nikah Remaja
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Hiv/Aids Terhadap
Pengetahuan Dan Sikap Siswa
Di Sma Setiabudi Semarang
8
Budi Kristanto,
S.Kep., Ns
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkembangan Bahasa
Pada Anak Pra Sekolah
9
Asti Nuraeni,
Susana Agustina,
Mamat
Supriyono.
Rinda
Winandita, Rita
Hadi W.
Efektivitas Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok
Terhadap Frekuensi Merokok Siswa Sman 14 Semarang
10
11. Elis Hartati,
Diyan Yuli
Wijayanti2)
Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Pada Lansia
Di Panti Wredha
Pemberdayaan Kader Posyandu Lansia Di Semarang
xi
RUANG
: 2 (KAMPUS JURUSAN KEPERAWATAN UNDIP)
WAKTU
: JAM 13.00-14.30
MODERATOR : Ns. Diyan Yuli W., M.Kep.
No
Pengarang
1 Fitri
Suciana,S.Kep.,
Ns.,M.Kep.
2 Ns. Kastuti
Endang
Trirahayu.,
S.Kep
3 Chandra Bagus
Ropyanto,
Muhamad Rofi’i
Judul
Efektifitas Program Perawatan Diri Terhadap Kemampuan Diri
Pasien Gagal Jantung
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Keluarga Dalam
Perawatan Pasien Tuberculosis Paru
Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self Efficacy
Melakukan Activity Daily Living (Adl) Pasien Pasca Open Reduction
Internal Fixation (Orif)
Ekstremitas Bawah
4
Erika Dewi
Noorratri
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kegagalan Pengobatan
Pada Pasien Tuberculosis Paru
5
Dwi Yuniar
Ramadhani
Literatur Review : Dukungan Keluarga, Efikasi Diri dan Kualitas
Hidup Lansia dengan Diabetes Melitus Tipe 2
6
Ns. Diah
indriastuti,
S.kep
Ns, Domianus
Namuwali,
S.Kep
Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai
Islami
8
Ekki Suprihatin,
Istianna N, Efy
Kusumawati
Hubungan Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Dengan
Pencegahan Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Desa Wonosari
Kecamatan Trucuk
9
Yulia Susanti,
Junaiti Sahar,
Poppy Fitriyani
Hubungan Dukungan Keluarga Dalam Pencegahan
Dengan Kejadian Demam Berdarah
Pada Anggota Keluarga Di Kabupaten Kendal
10
Dwi Roma Yogi,
Riani Pradara
jati
Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Lansia
Memeriksakan Kesehatan Di Posyandu Lansia Di Desa Sawahjoho
Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang.
7
Pengaruh Penggunaan SMS Dan Telpon Pengingat Terhadap
Kepatuhan Pasien Minum Obat Anti Tuberkulosis Paru : Literatur
review
xii
RUANG
: 3 (KAMPUS JURUSAN KEPERAWATAN UNDIP)
WAKTU
: JAM 13.00-14.30
MODERATOR : Ns. Sri Padma Sari, MNS
No
Pengarang
Fitroh
Suryaningsih Tut
Wuri Prihatin
Witri Hastuti
Yunitia Aulianita,
Sari Sudarmiati,
Sp.Mat.
Judul
Pengaruh Terapi Bekam terhadap Perubahan Tekanan Darah pada
Pasien Hipertensi
Jenis Terapi Komplementer yang Berpengaruh terhadap
Penurunan Kadar Glukosa Darah pada Pasien Diabetes Mellitus
4
Zahroh Ulil
Fadhilah, Wahyu
Maha Nugraha
Wachidah
Yuniartika
5
Ns. Candra Dewi
Rahayu, S. Kep
Kolaborasi Perawat Klien Dalam Penanganan Kesehatan Jiwa
Komunitas: Literature Review
Maria Dyah
Kurniasari, Edi
Dharmana,
Hussein Gasem
Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia Mangostana) Terhadap
Jumlah Limfosit Total, Jumlah Hb, Berat Badan Pada Penderita Hiv
Dengan Terapi Antiretroviral (Arv) Di Rsud Gunung Jati, Cirebon
Ns. Diah Fitri
Purwaningsih, S.
Kep
Efisiensi Biaya Dengan Menggunakan Metode Assertive
Community Treatment (Act) Pada Pasien Dengan Skizofrenia Di
Puskesmas : Literature Review
Lusia Lilik Mei
M., Vivi Retno
Intening
Dwi Susilawati,
M.Kep., Sp.Mat,
Ns. Reni Sulung
Utami, S.Kep.,
MSc.
M. Nurkharistna
Al Jihad
The Relationship Between Husband Support And Self Efficacy With
Stress Levels In Multiple Roles Woman
1
2
3
6
7
8
9
10
Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap
Kecemasan Wanita Klimakterium Di Rw 6 Kelurahan Pedalangan
Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah
Studi Literature : Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Tingkat
Depresi Pasien Diabetes Mellitus
Efektivitas Senam Diabet Terhadap Aktivitas Dan Kepuasan Dalam
Berhubungan Seksual Pada Penderita Diabetes Mellitus Di
Puskesmas Kecamatan Ungaran Barat
Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil
xiii
KONSEP DAN IMPLEMENTASI ASUHAN
KEPERAWATAN KOMUNITAS DALAM RANGKA
PENINGKATAN STATUS KESEHATAN MENUJU MEA;
Aplikasi Program 1 RW 1 Perawat Untuk Warga
Jakarta Lebih Sehat dan Sejahtera
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Kantor Dinas Kesehatan Blok D Lt. II Jln. Kesehatan 10 Jakarta Pusat Telp. 085100090961
Daftar Isi
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
Prinsip Kerja 1RW 1 Perawat
Alasan program 1 RW 1 perawat
Tugas & wewenang perawat menurut UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
Skema kerja logis 1 RW 1 perawat
Hubungan kerja dengan mitra lain
Yang dilakukan oleh perawat
Standar Pelayanan Minimal
Sasaran kerja prioritas
Jadwal harian tentatif
Peralatan yang dibutuhkan
Manfaat 1 RW 1 Perawat
Dukungan PPNI
Indikator Keberhasilan
Hal yang perlu diperhatikan
Data yang harus dimiliki perawat
Yang dilaporkan ke Puskesmas dan PPNI Kabupaten/kota
Kontak Person Ketua PPNI Wilayah
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
1
Prinsip kerja 1 RW 1 perawat
No
Prinsip
1
Datangi
Penjelasan
1.
2.
Menyapa keluarga dengan hati
dan mengenalkan sebagai
perawat
Mendatangi keluarga rawan
atau kelompok khusus seperti
posyandu
2
Dengarkan
Mendengarkan keluhan
3
Rawat
Merawat anggota keluarga baik
sehat atau sakit
4
Catat
Mencatat hal penting dan
mendesak untuk dilaporkan
5
Laporkan
Melaporkan kepada instansi terkait
sesuai tanggungjawabnya
Alasan perlunya 1 RW 1 Perawat di DKI Jakarta
1. Jaminan Kesehatan Nasional lebih dikembangkan pada
penguatan pelayanan kesehatan primer dengan
penekanan pada upaya promotif & preventif.
2. Prevalensi penyakit menular relatif stagnan & penyakit
tidak menular cenderung meningkat sehingga perlu
penguatan upaya promotif & preventif pada keluarga.
3. Upaya kuratif lebih masif, sehingga upaya promotif &
preventif cenderung terabaikan.
4. Penumpukkan pasien di RS tanpa diikuti dengan tindak
lanjut perawatan melalui penyuluhan, edukasi &
pendampingan di rumah, kurang bermakna dalam
perilaku hidup bersih dan sehat.
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
2
Tugas perawat menurut
UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
 Tugas ;
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pemberi asuhan kepeperawatan
Penyuluh dan konselor klien & keluarga
Pengelola pelayanan
Peneliti keperawatan
Pelaksana tugas berdasar pelimpahan wewenang
Pelaksana tugas dalam keterbatasan tertentu
 Tugas secara bersama atau sendiri
 Pelaksanaan tugas harus bertanggung jawab dan
bertanggung gugat.
Wewenang perawat menurut
UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
 Wewenang dalam Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
1. Melakukan pengkajian keperawatan kesmas di
tingkat keluarga dan masyarakat.
2. Menetapkan permasalahan keperawatan kesmas
3. Membantu penemuan kasus penyakit
4. Merencanakan tindakan keperawatan kesmas
5. Melakukan rujukan kasus
6. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan kesmas
7. Menjalin kemitraan dalam perawatan kesmas
8. Mengelola kasus
9. Melakukan penatalaksanaan keperawatan
komplementer dan alternatif
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
3
Skema kerja logis 1 RW 1 perawat
Input
Proses
• Laporan masy.
• Informasi
masalah
kesehatan dari
Puskesmas, RS
& klinik.
• Hasil
pemantauan
lapangan.
• Informasi dari
media massa
dan pihak lain.
• Report dari
perawat
Puskesmas
tentang
rujukan balik
pasien pulang
rawat dari
Rumah Sakit.
Output
• Pemantauan
wilayah.
• Home visit atau
kunjungan
lapangan.
• Pembinaan keluarga
atau kelompok.
• Pemantauan dan
surveilance masalah
kesehatan.
• Pemberian
pelayanan
keperawatan
sederhana pada
individu & keluarga.
• Rujukan kasus ke
Puskesmas, dokter
praktek/Rumah
Sakit/Klinik.
• Kelg dg bayi, balita, ibu hamil
& ibu melahirkan terpantau.
• Terpantaunya penyakit
menular, tidak menular dan
gizi.
• Terbinanya keluarga rawan
kesehatan.
• Terbinanya kelompok
masyarakat yang mempunyai
masalah kesehatan.
• Terkoordinasinya upaya
pengendalian penyakit
menular, tidak menular dan
gizi.
• Terlaksananya pelayanan
keperawatan yang bersifat
promotif dan preventif pada
keluarga dan masyarakat.
• Terpantaunya status
kesehatan keluarga baik saat
sehat maupun pasca
perawatan dari Rumah Sakit.
Hubungan kerja 1 RW 1 perawat
dengan Puskesmas, RS, Klinik & Masy
Rumah
Sakit
Puskesmas
Dokter
praktek
Tokoh
masy
Kader
kesehatan
Perawat
Kelurahan
Kelg
Kelg
Kelg
Klinik
Pera Perawat dala
Institusi
pendidikan
nakes
Posyandu
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
4
Yang dilakukan perawat dalam
program 1 RW 1 perawat...
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Home visit; Mengunjungi keluarga rawan kesehatan, termasuk
keluarga pasca rawat dari Rumah Sakit;
Home health promotion; Memberikan informasi agar keluarga
selalu menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat;
Home education; Memberikan pendidikan kesehatan, konseling
dan pendampingan pada anggota keluarga pasca rawat;
Home care; Merawat anggota keluarga yang sakit termasuk
dengan terapi komplementer (pemanfaatan keanekaragaman
hayati), termasuk paliatif care.
Home surveilance; Memantau penyakit menular & tidak menular
pada keluarga dan kelompok khusus di masyarakat;
Visiting doctor ; Kerjasama dengan dokter untuk keperluan sesuai
kebutuhan keluarga, dalam konteks medis.
Refferal; Melakukan rujukan kasus sesuai SOP;
Siapa perawat RW itu ..?
• Berdomisili sesuai tempat tinggalnya, bisa ...
1.
2.
3.
4.
5.
Perawat yang bekerja di Puskesmas
Perawat yang bekerja di Rumah Sakit
Perawat yang bekerja di Klinik
Perawat yang bekerja di Institusi Pendidikan
Perawat yang bekerja di pelayanan home care
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
5
Distribusi perawat rw berdasarkan
wilayah per Oktober 2015
No
Kota Administrasi
Jumlah perawat
tiap RW
Jumlah RW yang
ada
1
2
3
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Barat
45
38
35
393
443
581
4
5
6
Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Kepulauan Seribu
Jumlah
30
84
1
233
578
703
24
2.722
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
program 1 RW 1 perawat
No
Kegiatan
Frek.
1 Home visit &
home care
2 Penyuluhan &
pembinaan
kesehatan
3 Monev
3 kali
seminggu
1 kali
seminggu
4 Rujukan kasus &
kerjasama dg tim
kesehatan lain
Pera Perawat dala
1 kali
sebulan
Sesuai
kebutuhan
atau 1 kali
sebulan
Sasaran
Anggota keluarga sakit &
pasca rawat RS
Kelompok khusus
seperti ibu pengajian, ibu
hamil, lansia, & Posyandu
Tokoh masy, kader, lintas
sektor
Dokter praktek,
Puskesmas, RS & tim kes
lainnya
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
6
Sasaran kerja prioritas
Keluarga dengan anggota keluarganya
yang pulang perawatan dari RS.
2. Keluarga rawan kesehatan seperti ada
anggota keluarga dengan usia bayi, ibu
hamil, ibu pasca melahirkan dan usia
lanjut.
3. Keluarga dengan anggota keluarga yang
menderita DM, pasca stroke, TB paru,
hipertensi, penyakit jantung dan kanker.
1.
Jadwal harian tentatif
N
o
Waktu
Jenis kegiatan
1
07.00 – 12.00
1.
2.
3.
4.
2
15.00 – 18.00
1. Home visit
2. Home care sesuai kebutuhan
3. Penyuluhan di kelompok khusus; pengajian, arisan,
dll
4. Koordinasi dan advokasi terhadap tokoh masy
tentang masalah kesehatan yang ada
5. Pembinaan PHBS pada keluarga rawan
3
19.00 – 21.00
1. Home visit
2. Home care
3. Penyuluhan di pengajian, arisan, dll
Home visit
Home care sesuai kebutuhan
Penyuluhan di Posyandu
Koordinasi dan advokasi terhadap tokoh masy
tentang masalah kesehatan yang ada
5. Pembinaan PHBS pada keluarga rawan
Pera Perawat dala
Keterangan
Dilakukan
diluar jam
kerja
efektif, baik
shift atau
tidak
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
7
Peralatan yang dibutuhkan
1.
2.
3.
4.
5.
Community Health Nursing (CHN) kit.
Wound care kit.
Berbagai media penyuluhan seperti
leaflet, flyer, booklet, lembar balik, dll
Seragam (putih-putih) dengan memakai
sepatu, pin PPNI dan name tag).
Papan berjalan & alat tulis secukupnya.
Manfaat program 1 RW 1 perawat




Bagi warga Jakarta
1.
2.
Membantu pemulihan pasca rawat.
Memperpanjang waktu kambuh penyakitnya
Bagi Pemerintah Provinsi
1.
2.
3.
Lebih peduli pada warganya.
Model bagi Provinsi lainnya
Mengurangi beban biaya pengobatan (kuratif)
Bagi Rumah Sakit
1.
2.
Mengurangi penumpukan pasien
Mengurangi lama waktu perawatan di RS
Bagi Puskesmas
1.
2.
Membantu cakupan layanan promotif & preventif
Memperkuat program kesehatan
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
8
Dukungan PPNI terhadap program
1 RW 1 perawat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Buku petunjuk teknis
Hal yang harus dicatat dan dilaporkan
Name tag
Pin PPNI
Papan nama ukuran 60 x 40 cm
Surat tugas dari PPNI Provinsi DKI
Jakarta yang diketahui oleh Pemprov c.q
Dinas Kesehatan.
Perawat yang bertugas mengisi formulir.
Indikator keberhasilan 1 RW 1 perawat
Indikator
Key performance indicator (KPI)
Penurun 1. Semua ibu hamil terpantau status kesehatannya.
an angka 2. Semua ibu hamil terdeteksi sejak dini bahaya yang mungkin terjadi
kematian 3. Semua ibu hamil mendapatkan pelayanan kehamilan minimal 4 kali
selama kehamilannya.
ibu
4. Semua ibu hamil mendapatkan penyuluhan, pelatihan dan
pendampingan dalam rangka menghadapi persalinannya.
5. Semua keluarga ibu hamil tertempel stiker P4K (program perencanaan
persalinan dan pencegahan komplikasi).
6. Ibu hamil resiko tinggi seperti menderita penyakit hipertensi, jantung
atau diabetes terpantau status kesehatannya.
7. Semua ibu hamil terjamin tempat persalinannya di fasilitas kesehatan
yang memadai.
8. Semua ibu melahirkan difasilitasi kesehatan yang memadai.
9. Ibu melahirkan yang disertai penyakit seperti hipertensi, jantung dan
diabetes mendapatkan perawatan sesuai standar.
10. Semua ibu pasca melahirkan mendapatkan kunjungan rumah minimal
3 kali oleh perawat.
11. Semua ibu pasca melahirkan diberikan konseling kebutuhan KB pasca
persalinan yang sesuai.
12. Keluarga dengan ibu melahirkan mendapatkan penyuluhan, pelatihan
dan pendampingan tentang tugas keluarga sesuai dengan
perkembangan keluarganya.
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
9
Penurun 1. Semua janin terdeteksi secara dini dari ancaman yang mungkin
terjadi.
an angka
kematian 2. Semua bayi baru lahir dilakukan pemberian air susu ibu yang
pertama kali.
bayi
3. Semua bayi baru lahir tidak mengalami infeksi tali pusat.
4. Semua bayi baru lahir diberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan
5. Bayi lahir prematur mendapatkan perawatan metode kanguru sesuai
standar.
6. Semua bayi mendapatkan immunisasi sesuai standar.
7. Bayi yang dirawat di Rumah Sakit dilakukan perawatan oleh perawat
kompeten dan sesuai standar.
8. Bayi pasca perawatan mendapatkan kunjungan rumah minimal 3 kali
oleh perawat.
9. Keluarga bayi baru lahir mendapatkan penyuluhan, pelatihan dan
pendampingan tentang tata kelola bayi baru lahir yang sehat di
rumah oleh perawat.
10. Bayi baru lahir terhindar dari tindak kekerasan orang terdekat.
Penurunan 1. Penderita penyakit menular seperti TB paru, kusta,
HIV/AIDS, dll mendapatkan konseling oleh perawat.
angka
2. Semua penderita penyakit menular menjalankan program
kejadian
pengobatan sesuai standar.
penyakit
3. Semua penderita penyakit menular terpantau status
menular
kesehatannya.
4. Penderita penyakit menular dan keluarganya mendapatkan
kunjungan rumah oleh perawat minimal 1 kali per minggu
sampai dinyatakan sembuh atau mandiri.
5. Keluarga penderita penyakit menular mendapatkan
penyuluhan, pelatihan dan pendampingan oleh perawat
tentang tata kelola hidup sehat di rumah.
6. Penderita penyakit menular yang mengalami
kecenderungan depresi mendapatkan konseling dan
pendampingan oleh perawat.
7. Keluarga dan penderita penyakit menular yang mengalami
stigma atau cenderung dikucilkan oleh masyarakat
mendapatkan advokasi oleh perawat.
8. Tidak terjadi penularan kepada anggota keluarga lainnya.
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
10
Terkend 1. Penderita penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi,
alinya
reumatik, dll mendapatkan konseling oleh perawat.
angka
2. Semua penderita penyakit tidak menular menjalankan program
kejadian
pengobatan sesuai standar.
penyakit
3.
Semua penderita penyakit tidak menular terpantau status
tidak
kesehatannya.
menular
4. Penderita penyakit tidak menular dan keluarganya mendapatkan
kunjungan rumah oleh perawat minimal 1 kali per minggu sampai
dinyatakan mandiri.
5. Keluarga penderita penyakit tidak menular mendapatkan
penyuluhan, pelatihan dan pendampingan oleh perawat tentang
tata kelola hidup sehat di rumah.
6. Penderita penyakit tidak menular yang mengalami kecenderungan
depresi mendapatkan konseling dan pendampingan oleh perawat.
7. Keluarga dan penderita penyakit tidak menular difasilitasi dalam
kelompok swabantu (peer group) dan mendapatkan advokasi oleh
perawat.
8. Tidak terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tidak menular
secara signifikan.
9. Terbentuknya berbagai kelompok swabantu di berbagai tatanan
masyarakat sesuai kebutuhan.
10. Terbentuknya jejaring komunikasi antara kelompok swabantu
penderita penyakit tidak menular.
Peningkatan 1. Semua usia lanjut terpantau status kesehatannya.
kualitas
2. Usia lanjut dan keluarganya mendapatkan konseling dari
hidup usia
perawat.
lanjut
3. Usia lanjut dan keluarganya mendapatkan kunjungan rutin
minimal 1 kali dalam sebulan oleh perawat.
4. Terbentuknya wadah usia lanjut seperti Posyandu Lansia
atau Posbindu di masyarakat.
5. Kelompok usia lanjut terfasilitasi berbagai hasil
produktifitasnya yang digunakan oleh masyarakat seperti
kerajinan tangan dll.
6. Tidak ada usia lanjut yang terlantar di masyarakat.
7. Adanya peringatan Hari Usia Lanjut setiap 29 Mei.
8. Adanya pembinaan rutin ke Panti Jompo oleh perawat.
9. Keluarga dengan usia lanjut mendapatkan penyuluhan,
pelatihan dan pendampingan tentang cara perawatan usia
lanjut di rumah.
10. Rata-rata usia harapan hidup usia lanjut berumur 77 tahun.
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
11
Hal-hal yang perlu diperhatikan
1. Tugas ini merupakan tugas profesi perawat
berkonstribusi terhadap warga Jakarta di
tempat tinggalnya.
2. Bekerjasama dengan tokoh masy dan profesi
kesehatan lain diwilayahnya.
3. Selalu melaporkan kondisi warganya ke
Puskesmas dan Ketua PPNI Wilayah, setiap
tgl 5 bulan berjalan.
4. Selalu meng-update data yang ada setiap
minggunya.
Data yang harus dimiliki perawat
No
1
2
3
4
5
Jenis data
Jumlah warga pasca rawat
dengan stroke, peny
jantung, kanker, DM & TB
paru
Jumlah ibu hamil
Jumlah bayi
Jumlah ibu pasca melahirkan
Jumlah usia lanjut
Pera Perawat dala
Sumber data
Kader, ketua
RT/RW,
Puskesmas
Kader
Kader
Kader
Kader
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
12
Yang dilaporkan ke Puskesmas dan
PPNI Kabupaten/kota
No
Gol umur
1
Bayi
2
Balita
3
Anak sekolah
4
Ibu hamil,
menyusui &
nifas
5
Remaja
6
Dewasa
7
Lansia
Jenis kasus
Tindakan
Hasil
Tindak lanjut
Kontak person Ketua PPNI Wilayah
sebagai koordinator
N
o
Wilayah
Nama Ketua PPNI & No Hp
Instansi tempat
kerja
1
Jakarta Pusat
Ners Nana S., M.Kep, Sp.Kom
(0812 1222 3013)
Univ.
Muhammadiyah
Jakarta
2
Jakarta Utara
H. Maryanto, SKM
(0852 1637 1644)
AGD Dinkes 118
3
Jakarta Barat
Ners Yuni Astuti, M.Kep
(0812 1888 7657)
AKPER RS Sumber
Waras
4
Jakarta
Selatan
Ners Karsini., S.Kep (Sekretaris)
(08170077644)
RS Setia Mitra
5
Jakarta Timur
Ners Jajang R., M.Kep, Sp.Kom
(081511969883)
Dinas Kesehatan
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
13
Evaluasi kuantitatif program 1rw1perawat
Bulan Mei 2015 dari klien & keluarga
No
1
2
3
4
5
Aspek yang dievaluasi
Relevansi
Progress
Cost efficiency
Effectiveness
Outcome
Rata-rata
Skore
82,54
72,02
77,78
76,98
72,02
75,77
Evaluasi kuantitatif program 1rw1perawat
Bulan Mei 2015 dari perawat pelaksana
No
1
2
3
4
5
Aspek yang dievaluasi
Relevansi
Progress
Cost efficiency
Effectiveness
Outcome
Rata-rata
Pera Perawat dala
Skore
85,19
76,39
79,63
89,33
70,83
78,43
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
14
1.
2.
3.
4.
Perawat dibekali obat-obatan sederhana agar
dapat segera menangani saat kunjungan rumah.
Diperbanyak perawat di RW lainnya.
Ditambah jumlah perawatnya karena ..ada 17
RT..kasihan perawatnya.
Puskesmas deket rumah tapi rame, mau berobat
pusing duluan..untung ada program ini dg perawat
yang memuaskan setiap ada keluhan langsung
ditanggapi.
Evaluasi kualitatif program 1rw1perawat Bulan
Mei 2015 dari perawat pelaksana
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Saya kerja di swasta, dg ada surat persetujuan dari
perusahaan agar meningkatkan yankesmas.
Mohon difasilitasi home visit.
Ada sharing/no telp perawat di RW lain
Perlu fasilitas tempat untuk posbindu & posyandu.
Perlu dukungan fasilitas untuk pemeriksaan gula
darah, dll.
Perlu fasilitas untuk home visit seperti alat
kesehatan dll
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
15
Harapan dan dukungan yang diharapkan
PPNI dari Pemprov DKI Jakarta..terus
diperjuangkan..
 Dua
saja cukup ...
No
Aspek
1 Dana operasional
melalui dana
kapitasi/BPJS
2 Difasilitasi
kemudahan
mendapatkan SIPP
Kemungkinan kendala
Relatif “berliku”terkait bargaining
dg BPJS,, Dinas Kesehatan,
organisasi profesi, dll
Tegasnya aturan administrasi
perizinan khususnya aspek perda
ttg zonasi (tidak boleh ada klinik
di pemukiman)
Bukti perawat RW di Jakut aktif
dalam posyandu lansia
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
16
Action plan segera ...(on proses)
1.
2.
3.
4.
5.
Bentuk satgas khusus tingkat Provinsi &
Kota Adm, dg uraian tugasnya.
Susun SOP uraian tugas utama perawat di
RW.
Buat indikator spesifik yang terintegrasi dg
SPM sbg bahan advokasi ke Pemprov &
BPJS.
Advokasi SIPP untuk teman sejawat terpilih
melalui PTSP.
Siapkan tim advokasi untuk memperkuat
aspek legal.
Jenis tindakan keperawatan dalam konteks community public
health nursing menurut NIC (2013)
Intervention
1. Abuse protection support
2. Bioterrorism preparedness
3. Blood products administration
4. Case management
5. Community disaster preparedness
6. Community health development
7. Consultation
8. Culture brokerage
9. Environmental management; community
10. Entvironmental management; home
preparation
11. Environmental management; worker safety
12. Environmental risk protection
13. Family planning; contraception
14. Fiscal resource management
15. Health care information exchange
Pera Perawat dala
Educational level
Time required
RN basic
RN post basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
>1 jam
>1 jam
>1 jam
>1 jam
>1 jam
>1 jam
46-60 menit
16-30 menit
>1 jam
>1 jam
RN basic
RN basic
RN basic
RN post basic
RN basic
>1 jam
46-60 menit
31-45 menit
>1 jam
15 menit
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
17
Jenis tindakan keperawatan dalam konteks community public
health nursing menurut NIC (2013)
Intervention
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
Health education
Health literacy enhancement
Health policy monitoring
Health screening
Health system guidance
Home maintenance assistance
Immunization/vacination management
Medication administration; subcutaneous
Parenting promotion
Program development
Referral
Risk identification
Social marketing
Surveillance; community
Sustenance support
Teaching; group
Teaching; infant nutrition 0-3 months
Educational level
Time required
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN post basic
RN basic
RN basic
RN post basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
16-30 menit
16-30 menit
>1 jam
46-60 menit
16-30 menit
31-45 menit
16-30 menit
15 menit
31-45 menit
>1 jam
16-30 menit
46-60 menit
>1 jam
>1 jam
31-45menit
>1 jam
16-30 menit
Jenis tindakan keperawatan dalam konteks community public
health nursing menurut NIC (2013)
Intervention
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
Teaching; infant nutrition 4-6 months
Teaching; infant nutrition 7-9 months
Teaching; infant nutrition 10-12 months
Teaching; infant safety 0-3 months
Teaching; infant safety 4-6 months
Teaching; infant safety 7-9 months
Teaching; infant safety 10-12 months
Teaching; safe sex
Teaching; toddler nutrition 13-18 months
Teaching; toddler nutrition 19-24 months
Teaching; toddler nutrition 25-36 months
Teaching; toddler safety 13-18 months
Teaching; toddler safety 19-24 months
Teaching; toddler safety 25-36 months
Vehicle safety promotion
Pera Perawat dala
Educational level
Time required
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
RN basic
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
16-30 menit
>1 jam
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
18
THE OUTCOMES ... PREVENT
OVERBURDEN
Selamat
berkarya
memperkuat
pelayanan
kesehatan
primer, melalui
konstribusi
profesi perawat
bagi masy
sekitar.
Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN
Semarang, 7 November 2015
19
Oral Presentation
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Semarang, 7 November 2015
HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN TUGAS
KESEHATAN KELUARGA DALAM PEMENUHAN NUTRISI DENGAN
STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH
Dely Maria P1, Junaiti Sahar2, Sigit Mulyono3
1
Akademi Keperawatan RS Jakarta, Email: [email protected]
Universitas Indonesia, Email: [email protected], Email: [email protected]
2,3
Abstrak
Latar Belakang. Nutrisi yang baik berkontribusi pada tumbuh kembang anak usia sekolah,
dikarenakan nutrisi tersebut untuk memenuhi kebutuhan secara fisik, perkembangan kognitif dan
social anak usia sekolah.
Tujuan. Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan
keluarga dalam pemenuhan nutrisi dengan status gizi anak usia sekolah.
Metoda. Desain penelitian cross sectional, menggunakan metode proportional random sampling,
responden sebesar 276. Sampel penelitian siswa kelas 4-5 beserta orangtua siswa di SD wilayah
kelurahan Pondokranggon. Uji statistik menggunakan chi-square dan regresi logistik.
Hasil. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan keluarga merawat baik berpeluang sebesar 6.3 kali
(OR: 6.303) memiliki status gizi baik dibandingkan dengan kemampuan keluarga merawat yang tidak
baik.
Kesimpulan. Status gizi anak usia sekolah tidak terlepas dari kemampuan keluarga melakukan tugas
kesehatan keluarga khususnya kemampuan keluarga merawat dan pentingnya meningkatkan kerjasama
lintas sektor dan program dalam meningkatkan dan mengatasi masalah gizi pada anak usia sekolah.
Kata kunci : kemampuan keluarga merawat, status gizi, anak usia sekolah
Pendahuluan
Periode usia sekolah selain mengalami pertumbuhan fisik juga mengalami perkembangan
secara kognitif dan sosial. Seiring pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas anak usia
sekolah semakin meningkat diperlukannya faktor yang mendukung untuk pemenuhan tersebut.
Salah satu faktor yang mendukung yaitu pemenuhan kebutuhan nutrisi anak usia sekolah.
Pemenuhan kebutuhan nutrisi anak sekolah dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Menurut
Stanhope dan Lancaster (2010), faktor risiko meliputi usia dan biologi, lingkungan dan gaya
hidup. Faktor risiko yaitu usia 6-12 tahun, merupakan kelompok umur yang berisiko terhadap
masalah nutrisi dikarenakan pemasukan yang tidak seimbang (Allender,Rector &Warner,
2010). Faktor biologi yaitu genetik, merupakan salah satu penyebab terjadinya gizi lebih
(Hitchock, 1999; Barlow, 2007;Kaakinen, 2010).
Faktor lingkungan, meliputi lingkungan sosial dan lingkungan fisik (Stanhope&Lancaster,
2010). Lingkungan sosial meliputi faktor ekonomi, dimana terdapat hubungan antara sumber
finansial dan kebutuhan. Keluarga yang memiliki sumber ekonomi yang adekuat
memungkinkan keluarga dapat mengakomodasi kesehatannya. Hal ini juga diperjelas di dalam
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
20
Hitchock (1999), bahwa status ekonomi merupakan sumber kuat dalam menentukan status
kesehatan dan nutrisi. Anak yang hidup dalam kemiskinan mengalami nutrisi kurang sampai
dengan buruk (Benyamin, 1996 di dalam Hitchock, 1999; Allender,Rector&Warner, 2010).
Gaya hidup juga dapat mempengaruhi kesehatan anggota keluarga lainnya. Kaakinen (2010)
juga mempertegas, bahwa bila salah satu anggota keluarga berinisiatif merubah perilaku,
anggota keluarga yang lain juga akan melakukan perubahan. Faktor lingkungan psikologis
sangat mempengaruhi anak dalam pemenuhan nutrisi seperti menyediakan makanan yang
bervariasi, membujuk
saat anak tidak mau makan, memberikan pujian saat anak
mengkonsumsi makanan yang sehat, memotivasi anak untuk mau makan makanan yang sehat.
James dan Flores (2004), di dalam Kaakinen,Duff,Coehlo dan Hanson (2010), menyatakan
bahwa perilaku hidup sehat sangat dipengaruhi oleh keluarga seperti konsumsi makan yang
sehat
Allender, Rector dan Warner (2010), menguraikan bahwa anak usia sekolah dalam tahap
tumbuh kembangnya berisiko terhadap berbagai masalah kesehatan, antara lain masalah gizi.
Masalah gizi yang dimaksud disini adalah gizi lebih dan gizi kurang. Gizi yang adekuat
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan. Gizi kurang merupakan faktor risiko dari
penyakit dan kematian di negara berkembang (Amare,et.all, 2012; Olosunya,2010) dan
berdampak pada perkembangan kognitif dan performance anak (Cook,2002;Hall et.all,2001
dalam Allender, 2010; Hioui,Azzaoui,Ahami&Aboussaleh,2011). Penelitian Saifah (2011),
didapatkan 65,39 % diantaranya tidak makan buah secara rutin, 28,85% tidak makan sayur
secara rutin, dan 59,62% mempunyai kebiasaan jajan makanan berenergi tinggi. Gizi lebih bila
tidak ditangani beresiko terhadap perkembangan penyakit kronik seperti hipertensi, DM tipe 2,
hipercolesterolemia (Taylor, 2005; Juresa, 2012). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan
prevalensi nasional anak usia sekolah (6 - 12 tahun), kategori gizi kurang sebesar 11.2%
sedangkan kelebihan gizi 18.8%.
Salah satu faktor sosial yang mempengaruhi status gizi yaitu faktor keluarga
(Stanhope&Lancaster, 2010). Faktor keluarga dalam hal ini meliputi kemampuan
menyediakan makanan, pola asuh keluarga, jenis makanan yang disediakan keluarga, dan
sosialisasi terhadap makanan (Taylor,2005). Perilaku keluarga dan praktik kesehatan di dalam
keluarga sangat mempengaruhi kesehatan di dalam keluarga (Kaakinen,Duff,Coehlo&Hanson,
2010).
Berdasarkan data Puskesmas kelurahan Pondokranggon I tahun 2013, dari hasil screening
kelas satu di keenam sekolah, didapatkan data gizi kurang (0,78%), gizi baik (83,34%), gizi
lebih (15,88%). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak puskesmas, anak usia sekolah
sering didapatkan mengkonsumsi jajanan diluar pagar sekolah, walaupun ada beberapa
sekolah yang sudah memiliki kantin sekolah. Jajanan yang dikonsumsi seperti cilok yang
menggunakan saus. Hal ini dibenarkan dengan pernyataan dari guru sekolah yang mengatakan
“walaupun anak anak membawa bekal dari rumah, namun tetap saja mereka membeli jajan”.
Berdasarkan hal tersebut, perlunya perawat komunitas melakukan penelitian tentang “
Hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi
dengan status gizi anak usia sekolah di wilayah kelurahan Pondok Ranggon”
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
21
Tujuan
Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan
keluarga dalam pemenuhan nutrisi dengan status gizi anak usia sekolah.
Metoda
Desain penelitian menggunakan desain deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 753 siswa. Pengambilan sampel dengan menggunakan
metode proportional random sampling, Berdasarkan perhitungan sampel setelah dikoreksi,
jumlah sampel sebesar 291 responden Jumlah kuesioner yang terkumpul tidak sebesar 291
responden, namun 276 responden Hal tersebut dikarenakan 6 (enam) orangtua siswa tidak
mengembalikan kuesioner, 4 (empat) orangtua tidak mengisi secara lengkap kuesioner dan 5
(lima) orangtua tidak mengisi kuesioner. Namun jumlah responden sebesar 276 sudah
memenuhi syarat minimal dari perhitungan sampel. Waktu penelitian dimulai dari April
minggu I – Mei minggu ke III. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan menggunakan
alat ukur antropometri (timbangan, meteran/ microtoise, dan kuesioner untuk anak usia
sekolah dan orangtua siswa.
Hasil
Analisis Univariat
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah
kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276)
Status Gizi
Jumlah
Prosentase
Baik
165
59.8%
Tidak baik
111
40.2%
Jumlah
276
100%
Hasil analisis pada tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden memiliki status gizi baik(-2
SD sampai 1 SD) yaitu 59.8%.
Analisis bivariat
Tabel 2. Hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia sekolah di SD
wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276)
Pendapatan
Status gizi
pv
OR (95% CI)
Baik
Tidak baik Total
Tinggi
83 (61.9%)
51(38.1%)
134
(100%)
Rendah
82 (57.7%)
60 (42.3%)
142
(100%)
Jumlah
165(55.8%)
111(40.2%)
276(100%)
“Pera Perawat dala
0.557
1.191 (0.735-1.929)
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
22
Hasil analisis menunjukkan pendapatan keluarga tinggi (UMR: ≥ 2.440.000) memiliki anak
usia sekolah dengan status gizi baik 61.9%, sedangkan pendapatan yang rendah mengalami
gizi baik sebesar 57.7%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara
pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.557).
Tabel 3. Hubungan Pendidikan Bapak dengan status gizi anak usia sekolah di SD
wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276)
Pendidika
n Bapak
Tinggi
Rendah
Status Gizi
Baik
Tidak baik
103(57.5%)
76(42.5%)
62(63.9%)
35(36.1%)
Total
179(100%)
97(100%)
Pv
OR (95% CI)
0.367
0.765(0.460-1.273)
Hasil analisis menunjukkan pendidikan bapak tinggi memiliki anak usia sekolah dengan status
gizi baik sebesar 57.5%, sedangkan pendidikan bapak yang rendah sebesar 63.9% juga
mengalami status gizi baik. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara
pendidikan bapak dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.367).
Tabel 4. Hubungan pendidikan Ibu dengan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah
kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n = 276)
Pendidikan Ibu
Tinggi
Rendah
Jumlah
Status Gizi
Baik
Tidak baik
96(60.8%)
62(39.2%)
69(58.5%)
49(41.5%)
111(40.2%)
165(59.8%)
Total
158(100%)
118(100%)
276(100%)
Pv
0.796
OR (95% CI)
1.1(0.676-1.787)
Hasil analisis menunjukkan pendidikan ibu tinggi memiliki anak usia sekolah dengan status
gizi baik 60.8%, sedangkan ibu yang pendidikan rendah memiliki anak usia sekolah yang
berstatus gizi baik sebesar 58.5 %. Namun hasil uji chi square menunjukkan tidak ada
hubungan antara pendidikan ibu dalam keluarga dengan status gizi anak usia sekolah
(p=0.796).
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
23
Tabel 5. Hubungan jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak usia sekolah
di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276)
Jumlah
anak
dalam klg
Status Gizi
Baik
Tidak Baik
Kecil (1-2 74 (53.2%)
orang)
Besar (> 2 91 (66.4%)
orang)
Jumlah
111(40.2%)
65 (46.8%)
Total
Pv
OR (95% CI)
139 (100%)
0.035
46(33.6%)
137 (100%)
165(59.8%)
276(100%)
1.738(1.0682.827)
Hasil analisis menunjukkan jumlah anak dalam keluarga besar (> 2 orang) memiliki anak usia
sekolah dengan status gizi baik sebesar 66.4% sedangkan keluarga yang memiliki anak dalam
jumlah kecil (1-2 orang) berstatus gizi baik 53.2%. Hasil uji chi square menunjukkan ada
hubungan antara jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.035).
Hasil analisis juga menunjukkan OR= 1.738, artinya jumlah anak dalam keluarga besar (> 2
orang) mempunyai peluang 1.7 kali memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik
dibandingkan dengan jumlah anak dalam keluarga kecil.
Tabel 6. Hubungan Tugas Kesehatan Keluarga (kemampuan keluarga merawat,
memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan) dengan status gizi
anak usia sekolah di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014
(n=276)
Variabel
Status Gizi
Kemampuan keluarga
merawat
Baik
Tidak baik
Jumlah
Memodifikasi lingkungan
Baik
Tidak baik
Jumlah
Memanfaatkan pelayanan
kesehatan
Baik
Tidak baik
Jumlah
Tugas Kesehatan Keluarga
Baik
Tidak baik
Jumlah
“Pera Perawat dala
Total
Pv
OR (95% CI)
Baik
Tidak baik
142(51.4%)
23(8.3%)
165 (59.8%)
9(3.3%)
102 (37%)
111(40.2%)
151(54.7%)
125(45.3%)
276(100%)
0.000
6.303(3.70310.730)
95(34.4%)
70(25.4%)
165(59.8%)
54(19.6%)
57(20.7%)
111(40.2%)
1489(54%)
127(46%)
276(100%)
0.216
1.397(0.862-2.266)
99(35.9%)
66(23.9%)
165(59.8%)
63(22.8%)
48(17.4%)
111(40.2%)
114(41.3%)
162(58.7%)
0.637
1.162(0.710-1.904)
116(42%)
49 (17.8%)
111(40.2%)
39(14.1%)
72 (26.1%)
165 (59.8%)
155 (56.2%)
121 (43.8%)
276(100%)
0.000
3.927(2.361-6.531)
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
24
Hasil analisis menunjukkan kemampuan keluarga merawat yang baik memiliki anak usia
sekolah dengan status gizi baik sebesar 51.4% sedangkan keluarga dengan kemampuan
merawat yang tidak baik memiliki status gizi baik hanya 33.8%. Tugas kesehatan keluarga
baik menunjukkan status gizi baik sebesar 42%. Hasil uji chi square menunjukkan ada
hubungan antara kemampuan keluarga merawat dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.00).
Hasil analisis juga menunjukkan OR= 6.303, artinya kemampuan keluarga merawat yang baik
mempunyai peluang sebesar 6.3 kali memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik
dibandingkan dengan kemampuan keluarga merawat yang tidak baik.
Analisis Multivariat
Tabel 8. Hasil pemodelan akhir multivariat status gizi anak usia sekolah di SD wilayah
kelurahan Pondok ranggon (n=276)
No Variabel
1
B
P value
OR
(95% CI)
6.303 (3.703 – 10.730)
Kemampuan
keluarga 1.841
0.000
merawat
Konstanta
-0.550
0.003
0.577
Dapat disimpulkan dari seluruh proses analisis bahwa kemampuan keluarga merawat
mempengaruhi status gizi pada anak usia sekolah karena memiliki OR paling besar yaitu
6.303. Kemampuan keluarga merawat baik berpeluang sebesar 6.3 kali (CI : 3.703 – 10.730)
memiliki status gizi anak usia sekolah baik dibandingkan dengan kemampuan keluarga
merawat yang tidak baik.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan tinggi dan rendah memiliki kontribusi yang
sama dalam menentukan status gizi anak usia sekolah. Menurut analisis peneliti, yang
mempengaruhi status gizi dari berbagai faktor dimana tidak hanya dari status pendapatan
keluarga namun ditunjang dengan pengetahuan keluarga dalam mengolah makanan yang tepat
untuk anak usia sekolah yang bisa didapatkan melalui informasi dari media cetak maupun
elektronik terkait nutrisi yang seimbang untuk anak usia sekolah .
Hasil penelitian tidak menunjukkan ada hubungan signifikan antara pendidikan dengan status
gizi anak usia sekolah. Menurut analisis peneliti, pemenuhan nutrisi anak usia sekolah tidak
hanya dikarenakan faktor pendidikan. Namun dapat dipengaruhi faktor observasi, meniru dan
merubah perilaku sendiri. Juga dapat dipengaruhi oleh ketersediaan waktu ibu dalam
memperhatikan kebutuhan nutrisi anak usia sekolah, dalam hal ini adalah ibu yang tidak
bekerja.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
25
Hasil analisis didapatkan jumlah anak dalam keluarga besar (> 2 orang) sebagian besar
memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik sebesar 66.4%. Hal ini bertolak belakang
secara teori, di dalam Allender dan Spradley (2010) menyatakan semakin kecil jumlah anak
dalam satu keluarga, maka semakin baik status gizi anak tersebut yang dikaitkan dengan
ketersediaan makanan .Menurut analisis peneliti, jumlah anak dalam keluarga bukan faktor
utama penentu status nutisi namun dipengaruhi oleh multifaktor seperti pendapatan, pekerjaan,
pendidikan, pengalaman yang positif, pengaruh media massa.
Hasil penelitian ini, kemampuan keluarga merawat merupakan faktor yang dominan dalam
mempengaruhi status gizi anak usia sekolah. Keadaan status gizi tidak terlepas dari
kemampuan keluarga melakukan perawatan dimana tindakan perawatan dikaitkan dengan
perilaku kesehatan keluarga. Perilaku disini berkaitan dengan tingkat pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh keluarga. Kurangnya pengetahuan cara merawat
berarti kurangnya kemampuan keluarga melakukan pencegahan dan pemenuhan gizi
seimbang. Secara teori keluarga juga menjadi role model pada anggota keluarga lainnya secara
positif dan negatif (Friedman, Bowden&Jones, 2003 dalam Kaakinen, 2010). Perilaku dan
praktik keluarga juga mempengaruhi kesehatan yang meliputi praktik pemberian makan, jenis
makanan yang dikonsumsi (Kaakinen, 2010). Sosialisasi terkait makanan, perilaku keluarga
makan juga mempengaruhi status gizi anak usia sekolah.
Kesimpulan
1. Pendapatan keluarga yang rendah dan tinggi memiliki peran yang sama dalam status gizi
anak usia sekolah. Status gizi tidak mutlak dipengaruhi oleh pendapatan keluarga,
dikarenakan tidak semua keluarga memanfaatkan pendapatan keluarganya secara bijak
dalam pemenuhan nutrisi. Dengan pendapatan yang rendah namun bijak dalam manajemen
keuangan, status nutrisi akan terpenuhi.
3. Sebagian besar pendidikan orangtua ( ibu dan bapak) memiliki pendidikan tinggi yaitu
SMA. Hasil penelitian tidak ada hubungan pendidikan dengan status gizi anak usia sekolah.
Status gizi anak usia sekolah tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan, namun dapat
dipengaruhi oleh ketersediaan waktu ibu, keluarga mencari dan mendapatkan informasi
tentang gizi melalui media.
4. Ada hubungan antara jumlah anggota keluarga > 2 dengan status gizi anak usia sekolah.
Status gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini dapat disebabkan pengetahuan
keluarga tentang gizi anak usia sekolah, pengaruh media massa dan pengalaman positif dari
ibu.
5. Kemampuan keluarga merawat merupakan variabel yang dominan mempengaruhi status
gizi anak usia sekolah. Status gizi anak usia sekolah dapat ditingkatkan melalui
peningkatan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam menyediakan makanan
seimbang pada anak usia sekolah.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
26
Daftar Pustaka
Allender, Rector&Warner. (2010), Community health nursing: promoting and protecting the
public health, seventh edition. Philadelphia: Lippincott
Friedman,. M,. Bowden, V.R,. Jones, E.G. (2003). Family nursing : Research theory &
Practice. Fifth edition. New Jersey. Person Education Inc.
Friedman,.Bowden.(2010). Buku ajar keperawatan keluarga . Jakarta:EGC
Gomes.(2013). Family and women decide child nutrition.Vo.5.No.7.SciRes
Hittchock, J.E et al. (1999). Community health nursing.Caring in action. New York . Delmar
Publisher
Juresa.,Musil.,Majer.,(2012). Behavioral pattern of overweight and obese school
children.Coll.Antropol.36
James.(2013). Nursing care of children :principles and practice.Fourth edition.St.Louis:
Elsevier
Laporan nasional Riskesdas tahun 2013. www.depkes.go.id. Diakses tanggal 25 Maret 2014
Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan masyarakat Ilmu dan seni. Jakarta:Rineka Cipta
Olusanya.(2010).Assesment of the food habits and school feeding programme of pupils in a
rural community in odogbolu local government area of ogun state,nigeria .Pakistan Journl
of Nutrition
Saifah,A., Sahar, J., (2011). Hubungan peran keluarga, guru, teman sebaya dan
media
massa dengan perilaku gizi anak usia sekolah darar wilayah kerja
puskesmas
Mabelopura Kota Palu. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Lancaster.S. (2010).Community publichealth nursing. 6th Ed..USA. Mosby Company
Taylor.,Evers.,Kenna.(2005).Determinants of healthy eating in children nd youth .Canadian
Journal of Public Health
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
27
EFEKTIFITAS PROGRAM PERAWATAN DIRI TERHADAP
KEMAMPUAN PERAWATAN DIRI PASIEN GAGAL JANTUNG
Fitri Suciana
Stikes Muhammadiyah Klaten, email : [email protected]
Abstrak
Latar Belakang: Gagal jantung merupakan sekumpulan proses dari kegagalan jantung
yang berlangsung kronis. Penyakit ini membutuhkan biaya perawatan yang tinggi karena
seringnya pasien gagal jantung mengalami rehospitalisasi sehingga menyebabkan biaya
perawatan yang tidak sedikit.Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup adalah
dengan meningkatkan kemampuan perawatan diri pasien dengan program perawatan diri
pasien gagal jantung.Program perawatan diri meliputi edukasi dan pemberian modul
tentang mengenal gejala gagal jantung dan home monitoring yaitu kontrol tekanan darah,
keteraturan minum obat, kontrol edema dan kontrol terjadinya rawat inap berulang yang
dilakukan oleh perawat di rumah.
Tujuan: diketahuinya efektifitas program perawatan diri terhadap kemampuan perawatan
diri pada pasien gagal jantung yang meliputi self maintenance, self management dan self
confidence.
Metoda : Metoda yang digunakan adalah quasi eksperimen, pre-post with control group.
Teknik sampling yang digunakan consecutive sampling,didapatkan 36 responden dengan
pembagian 18 responden kelompok kontrol dan 18 reponden kelompok intervensi. Pada
kelompok kontrol dilakukan pretes serta home monitoring dan postest yang dilakukan
setelah minggu keempat, sedangkan kelompok intervensi diberikan edukasi dan pemberian
modul tentang cara mencegah gagal jantung serta pretest. Home monitoring pada
kelompok intervensi dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Pengumpulan data
kemampuan perawatan diri dengan Self Care Heart Failure Index sedangkan analisa data
untuk mengetahui efektifitas kemampuan perawatan diri menggunakan paired t-test.
Hasil : Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada kemampuan perawatan diri self maintenance,self management dan self confidence
pada kelompok kontrol dengan nilai p value 0,40;0,38;0,08 sedangkan pada kelompok
intervensi self maintenance dan self management mengalami perbedaan yang signifikan
dengan nilai P value yaitu 0,03 dan 0,00 sedangkan self confidence dengan P value 0,50.
Pada penelitian ini ada beberapa responden yang mengalami penyakit penyerta dan hal
tersebut dapat meyebabkan self confidence pada responden tidak ada perubahan yang
signifikan. Kepercayaan diri responden diakibatkan karena kondisi kronis penyakit yang
diderita oleh responden.
Kesimpulan : program perawatan diri efektif digunakan untuk meningkatkan self
maintenance dan self management.
Kata kunci : edukasi, home monitoring, kemampuan perawatan diri
Pendahuluan
Penyakit kronis merupakan penyakit yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya
perawatan yang tidak sedikit. Penyakit ini akan menimbulkan dampak bagi penderitanya
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
28
antara lain masalah fisik, sosial dan ekonomi sehingga dampak tersebut dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup penderitanya. Penyakit kardiovaskuler merupakan
salah satu dari 10 besar penyakit kronis yang ada di Indonesia (Yenny&Herwana ,2006).
Di Indonesia, penyakit ini mulai diderita pada usia 30 tahun dan paling banyak terjadi pada
usia diatas 50 tahun dengan jumlah penderita gagal jantung mencapai 13 % dari total
jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2013. Di propinsi Jawa Tengah jumlahnya
mencapai 18 % dari jumlah penduduk dan merupakan peringkat terbesar kedua setelah
kota Yogyakarta (Riskesdas ,2013).
Individu yang mengalami gagal jantung membutuhkan penanganan yang spesifik karena
pada dasarnya penanganan pada gagal jantung membutuhkan perawatan jangka panjang.
Perawatan dalam waktu lama di rumah sakit membutuhkan biaya yang banyak,
mempengaruhi kondisi ekonomi dan kondisi psikologis pasien, menurunkan aktivitas
fisik, membatasi kehidupan sosial sehingga menyebabkan menurunnya kualitas hidup
(Buapan,A.,2008; Salehitali, SH et al, 2009 ;Shojaei 2008).
Gagal jantung selain membutuhkan perawatan dalam jangka waktu lama juga
menyebabkan rawat inap berulang. Faktor yang mempengaruhi kejadian rawat inap
berulang antara lain adalah pasien tidak mampu mengenali tanda dan gejala seperti
kelebihan cairan (edema), sesak nafas saat melakukan aktivitas ringan maupun berat,
ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan diet. Ketidakmampuan pasien dalam mengenali
tanda dan gejala inilah, maka sangat penting dilakukannya edukasi dan program perawatan
diri. (Majid,A., 2010; Sadiati ,2014).
Di Indonesia, program perawatan diri dan manajemen gejala termasuk di dalam program
rehabilitasi pasca gagal jantung dan telah dilaksanakan di beberapa Rumah Sakit di
Indonesia, seperti RSCM, RS Harapan Kita, RS Fatmawati, RS Hasan Sadikin Bandung
dan RSUP Dr. Sardjito. Program rehabilitasi ini masih terpusat di rumah sakit karena
kurangnya fasilitas penunjang seperti transportasi, kurangnya fasilitas rehabilitasi di luar
klinik, maka perlu dikembangkan program rehabilitasi jantung ke arah group-base, homebase atau community-base (Radi, 2009).
Salah satu kegiatan program perawatan diri adalah dengan edukasi dan home monitoring.
Home monitoring dapat dilakukan dengan memantau perkembangan kesehatan pasien di
rumah serta memantau manajemen gejala pasien. Manajemen tersebut meliputi ada atau
tidaknya peningkatan berat badan , edema, dispnea, kelelahan pada aktivitas fisik ringan,
keadaan pasien tidur kemudian tiba-tiba bangun dalam keadaan sesak nafas berat sambil
duduk dan berusaha mencari udara segar (paroxysmal nocturnal dispnea) dan ortopnea
(Black MJ & Hawk,2014).
Edukasi dapat efektif jika pasien diberikan modul atau panduan dan check list. Check list
yang digunakan dalam manajemen gejala meliputi check list jadwal minum obat serta
check list dan diagram kontrol berat badan. Timbang berat badan dapat dilakukan setiap
hari atau maksimal seminggu sekali untuk mengetahui perubahan berat badan karena
penimbunan cairan. Program perawatan diri yang pernah dilakukan untuk pasien dengan
gagal jantung yaitu program HFSC (Heart Failure of Self Care ) dari perhimpunan gagal
jantung Amerika-Heart Failure Society of America. (HFSA ,2006). Program dari HFSA ini
pernah dilakukan di dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang dkk pada tahun 2011
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
29
untuk menilai efektifitas program self care terhadap gejala distress, status fungsional dan
kulitas hidup.
Dikembangkannya program perawatan diri tersebut berawal dari teori yang disampaikan
oleh Orem bahwa perawatan diri merupakan pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan
dilakukan oleh individu itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan guna mempertahankan
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai keadaan baik sehat maupun sakit. Tujuan
dari melakukan perawatan diri secara mandiri adalah untuk meningkatkan kemandirian
individu dalam memenuhi kebutuhan dirinya sehingga individu secara psikologis puas
dengan keadaan umumnya sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya rawat inap
berulang (Alligood,& Tomey, 2006).
Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya efektifitas program perawatan diri terhadap kemampuan perawatan diri
pada pasien gagal jantung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kemampuan perawatan diri pada pasien gagal jantung sebelum dan
setelah program perawatan diri pada kelompok intervensi.
b. Mengetahui kemampuan perawatan diri pada pasien gagal jantung sebelum dan
setelah program perawatan diri pada kelompok kontrol.
c. Mengetahui perbedaan kemampuan perawatan diri pada kelompok kontrol dan
intervensi.
Metoda
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Quasy Experiment dengan pre post test design.
Sampel penelitian ini adalah pasien gagal jantung yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak
36 responden dengan 18 responden kelompok intervensi dan 18 responden kelompok
kontrol. Teknik sampling menggunakan consecutive sampling dengan waktu pengambilan
data bulan Juni-Agustus 2015. Variabel penelitian ini meliputi program perawatan diri dan
kemampuan perawatan diri. Kelompok intervensi mendapatkan program perawatan diri
berupa edukasi tentang pengenalan gagal jantung serta mendapat modul.
Instrument penelitian untuk mengukur kemampuan perawatan diri menggunakan kuesioner
Self Care of Heart Failure Index. Teknis pelaksanaannya kelompok intervensi
mendapatkan home monitoring setiap minggu sekali selama 4 minggu, sedangkan
kelompok kontrol home visit dilakukan setelah 4 minggu pasien pulang ke rumah. Edukasi
dan pemberian modul pada kelompok kontrol diberikan setelah home monitoring. Program
perawatan diri meliputi edukasi tentang pengenalan gagal jantung dan home monitoring
berupa monitor tekanan darah, monitor edema, monitor berat badan dan monitor minum
obat.
Analisa univariat untuk karakteristik responden menggunakan prosentase sedangkan
analisis bivariat digunakan untuk mengetahui kemampuan perawatan diri pada kelompok
kontrol maupun intervensi baik sebelum dan sesudah perlakuan dengan menggunakan
paired t-test. Perbedaan kemampuan perawatan diri setelah perlakuan pada kelompok
kontrol dan intervensi dengan menggunakan pooled t test.
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
30
Hasil
Hasil Analisis Perbedaan Kualitas Hidup dan Kemampuan Perawatan Diri Sebelum
dan Sesudah Program Perawatan Diri selama 4 minggu Pada Kelompok Kontrol dan
Intervensi di RSI Klaten bulan Juni-Agustus 2015 (n=36)
Variabel
Kelompok Waktu
Perawatan Kontrol
Diri
Maintenance Pretest
Postest
Management Pretest
Postest
Confidence Pretest
Postest
Intervensi
Maintenance Pretest
Postest
Management Pretest
Postest
Confidence Pretest
Postest
n
Mean
SD
SE
P Value
18
18
18
18
18
18
14,39
18,61
7,00
9,17
14,83
19,44
2,524
7,031
2,679
3,502
5,113
4,033
0,595
1,657
0,631
0,825
1,205
0,950
0,40
18
18
18
18
18
18
12,83
18,56
4,78
9,56
16,67
19,61
1,689
7,147
1,263
3,929
4,159
4,972
0,398
1,685
0,298
0,926
0,980
1,172
0,03
0,38
0,08
0,00
0,50
Skor kemampuan perawatan diri pada kelompok kontrol menunjukkan hasil tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada maintenance (p=0,40,α=0,05), management
(p=0,38,α=0,05), confidence (p=0,08,α=0,05) sedangkan pada kelompok intervensi
terdapat perbedaan yang signifikan pada skor maintenance (p=0,03,α=0,05), management
(p=0,000,α=0,05), namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada skor confidence
(p=0,50,α=0,05).
Hasil Analisis Perbedaan Kualitas Hidup dan Kemampuan Perawatan Diri Antara
Kelompok Kontrol Dengan Kelompok Intervensi Setelah Mendapatkan Program
Perawatan Diri selama 4 Minggu di RSI Klaten bulan Juni-Agustus 2015 (n=36)
Variabel Kelompok
Perawatan Kontrol
Diri
Intervensi
Mean
41,44
58,06
SD
14,001
9,619
SE
3,300
2,267
t
Pvalue
-4,193
0,01
n
18
18
Rata-rata skor kemampuan perawatan diri kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol. Hasil uji statistik didapatkan hasil P value 0,01 sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada alpha 0,05 terdapat perbedaan bermakna secara statistik rata-rata
kemampuan perawatan diri setelah dilakukan program perawatan diri selama 4 minggu
antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
31
Hasil Analisis Selisih Kemampuan Perawatan Diri Antara Kelompok Kontrol Dengan
Kelompok Intervensi Sebelum dan Sesudah Perlakuan Program Perawatan Diri di RSI
Klaten bulan Juni-Agustus 2015 (n=36)
Variabel Kelompok Mean
SD
SE
t
P Value
Perawatan Kontrol
11,33 14,463 3,409 -2,705
0,11
Diri
Intervensi 24,06 13,752 3,241
n
18
18
Hasil uji statistik didapatkan P value 0,11 dan dapat disimpulkan bahwa pada alpha 0,05
tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik selisih rata-rata kemampuan perawatan
diri setelah dilakukan program perawatan diri antara kelompok kontrol dan kelompok
intervensi.
Pembahasan
Kegiatan home visit ini merupakan kegiatan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat
terkait dengan tugasnya sebagai edukator. Hal ini sesuai dengan UU RI no. 38 tahun 2014
tentang keperawatan pasal 29 ayat 1,2 dan 3 yang menyampaikan bahwa perawat dalam
menyelenggarakan praktik keperawatan salah satunya sebagai edukator dapat dilaksanakan
secara bersama atau sendiri-sendiri. Pelaksanaan tugas perawat harus dilaksanakan secara
bertanggung jawab dan akuntabel (UU Keperawatan, 2014). Di dalam Undang-Undang
mengatur tugas dan kewajiban seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
bagi pasien. Di dalam teori Orem disampaikan bahwa sebagian tindakan keperawatan
dilakukan oleh perawat dan sebagian lagi dilakukan oleh pasien. Hal ini dilakukan dengan
tujuan pasien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (Alligood & Tomey,2006).
Program perawatan diri yang dilakukan pada penelitian ini diawali dengan edukasi kepada
pasien. Program edukasi pada perawatan gagal jantung meliputi pemahaman penyebab
CHF, gejala, diet restriksi garam dan cairan, regimen terapeutik, kepatuhan, aktivitas fisik,
perubahan gaya hidup. Pengenalan terhadap gejala perlu dipahami oleh pasien agar dapat
segera berkonsultasi kepada dokter atau perawat (Sadiati, 2014). Penelitian ini dalam
melakukan edukasi menggunakan buku panduan yang telah disusun sendiri oleh peneliti
dengan menggunakan referensi dari HFSA dan melalui proses uji validitas pakar sebanyak
3 orang. Poin-poin yang disampaikan di dalam buku panduan ini adalah pengertian gagal
jantung, gejala awal gagal jantung, cara mencegah agar tidak terjadi kekambuhan, jadwal
minum obat, kontrol berat badan, kontrol edema, dan kontrol tekanan darah.
Obat obatan sebaiknya dikonsumi secara teratur sesuai jadwal yang direkomendasikan oleh
dokter, maka perlu dibuatkan jadwal minum obat. Penjadwalan minum obat dapat berupa
buku diary atau check list yang ditempel di kotak obat (Albert, 2012;Eastwood,2007).
Peneliti telah membuat format jadwal minum obat sehingga responden dapat melakukan
penandaan jika telah minum obat. Namun hasilnya hanya 2 responden yang melakukan
penandaan minum obat, hal ini bisa disebabkan karena kurangnya pemahaman dari
responden untuk melakukan penandaan minum obat. Dari kegiatan home visit, 90 %
responden mengatakan rutin minum obat terutama digoksin, antihipertensi dan diuretik.
Manajemen cairan dan berat badan perlu dilakukan secara rutin oleh pasien gagal jantung
maksimal 1 minggu sekali, sedangkan untuk manajemen cairan pasien perlu mebatasi
konsumsi sodium yaitu sebanyak 2-3 gram per hari. Hal ini dilakukan untuk mencegah
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
32
kenaikan berat badan yang mendadak > 2 kg dalam satu minggu, karena perubahan
mendadak dari berat badan dapat menyebabkan pasien sulit bernafas (Paul 2006, Bui et al,
2012).
Pelaksanaan program perawatan diri dapat lebih efektif dengan pemberian buku panduan.
Buku panduan yang telah disusun terdapat format kontrol edema dengan tujuan agar
responden selalu kontrol berat badan untuk mencegah kenaikan berat mendadak sehingga
dapat mengurangi terjadinya sulit bernafas. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan
pasien dalam kontroling berat badan sudah baik, terbukti hanya satu pasien dalam
kelompok intervensi yang mengalami kenaikan berat badan
2 kg dalam satu minggu.
Minggu III dan IV program perawatan diri dijalankan merupakan satu minggu setelah
lebaran, kemungkinan pada waktu lebaran responden tidak dapat mengontrol makan.
Kontrol berat badan dan kontrol edema merupakan satu kesatuan strategi perawatan diri
pasien gagal jantung untuk mencegah terjadinya sesak nafas. Sesak nafas karena pitting
edema menyebabkan cairan keluar dari kapiler dan memasuki ruang interstitial (Black &
Hawks, 2014).
Strategi program perawatan diri lainnya yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pasien
namun penting dilakukan minimal satu minggu sekali adalah kontrol tekanan darah.
Kontrol tekanan darah perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan sistolik dan
diastolik. Penyakit hipertensi telah terbukti meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung
(Mariyono & Santoso, 2009). Hipertensi yang berlangsung lama dan tidak terkendali dapat
menyebabkan perubahan struktur miokard, pembuluh darah dan system konduksi jantung.
Perubahan ini menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit arteri koroner, disfungsi
sistolik dan diastolik sehingga berakibat nyeri dada, infark miokard, aritmia jantung dan
gagal jantung kongestif (Diamond,Philip, 2005). Responden yang dirawat dengan gagal
jantung semuanya diberikan obat antihipertensi oleh dokter. Hasil kontrol tekanan darah
menunjukkan ada 1 responden pada kelompok kontrol yang mengalami hipertensi,
sedangkan pada kelompok intervensi setiap minggunya ada yang mengalami peningkatan
tekanan darah maupun stabil tekanan darahnya. Responden yang mengalami peningkatan
tekanan darah adalah pasien dengan gagal jantung dan gagal ginjal.
Hasil penelitian ini menyampaikan bahwa kemampuan perawatan diri pasien pada
kelompok kontrol tidak mengalami perubahan yang signifikan dikarenakan responden
sebagian besar baru mengalami rawat inap yang pertama sehingga belum memperoleh
edukasi. Faktor budaya di masayarakat kota klaten yang berasumsi bahwa sesorang yang
menderita gagal jantung usianya tidak akan panjang, dan membutuhkan biaya yang sangat
banyak untuk biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya sehari-hari selama di rumah
sakit. Sedangkan dari segi pembiayaan, pasien sudah menggunakan BPJS sehingga
menjadi terbantu dalam pembiayaan rumah sakit. Kondisi ekonomi yang sebagian besar
responden tidak memiliki pendapatan dapat mempengaruhi kemampuan perawatan diri
pasien dalam melakukan manajemen perawatan diri seperti diet nutrisi dan kontrol ke
rumah sakit sehingga menyebabkan nilai confidence pada perawatan diri tidak mengalami
perbedaan yang signifikan.
Teori Orem menyampaikan bahwa perawatan diri merupakan proses kognitif dan
kemampuan individu dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan aktivitas dalam
meningkatkan derajat kesehatan (Riegel,2008;Orem,2001). Dikaitkan dengan teori Orem
tersebut, pada penelitian ini rata-rata pasien memiliki pendidikan yang rendah, namun
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
33
kemampuan responden untuk melakukan tindakan preventif dan manajemen gejala sudah
bagus. Terlihat dari hasil penelitian self care maintenace dan self care management bahwa
ada perbedaan yang signifikan pada kelompok intervensi. Yang termasuk di dalam dimensi
self care maintenance adalah menjalankan terapi pengobatan, melakukan aktivitas
fisik,menjalankan diet nutrisi serta monitor BB dan TD, sedangkan yang termasuk di
dalam self care management adalah melakukan manajemen diri untuk melakukan
perubahan, pengambilan keputusan, melakukan strategi pengobatan dan evaluasi dari
tindakan yang dilakukan (Riegel & Dickson, 2004). Namun keyakinan responden untuk
sembuh atau meningkat derajat kesehatannya masih rendah, terlihat dari hasil penelitian
self care confidence tidak ada perbedaan yang signifikan.Hal ini mungkin terkait dengan
faktor budaya masyarakat yang menganggap bahwa gagal jantung hanya membutuhkan
perawatan di rumah sakit dan tidak dapat dicegah gejalanya.
Program perawatan diri dikatakan berhasil jika diiringi dengan self management yang baik
dari pasien. Self management merupakan kemampuan individu dalam upaya untuk
mengenal gejala dan perubahan yang terjadi sehingga dapat mengambil keputusan yang
tepat (Riegel & Dickson, 2004). Keberhasilan self management didukung oleh pemahaman
individu terhadap edukasi yang diberikan serta monitoring yang teratur dari tenaga medis.
Self management pada responden penelitian ini rata-rata baik dan dapat mengenali gejala
gagal jantung. Hal ini bisa disebabkan responden pernah mendapatkan informasi
sebelumnya, karena beberapa pasien pernah mengalami rawat inap sebelumnya dengan
diagnosis yang sama.
Monitoring pasien di rumah dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain adalah
telemonitoring, telefon dan home visit (Bui et al, 2012). Strategi monitoring pada
penelitian ini menggunakan kegiatan home visit. Alasan memilih home visit ini adalah
agar pasien dapat terkontrol dengan benar tekanan darah, berat badan, edema dan
kepatuhan minum obat, sehingga dapat diperoleh hasil yang sebenarnya.
Kegiatan home visit yang dilakukan oleh perawat dapat memberikan psikologis yang
positif bagi pasien karena pasien merasa nyaman dan mendapatkan dukungan yang positif
dalam melakukan perawatan diri, sehingga diharapkan kemampuan perawatan diri pasien
dapat meningkat (Greene, 2004). Sebagian besar pasien membutuhkan dukungan dari
pasangan, keluarga dan teman untuk melaksanakan perawatan dirinya, sehingga
diharapkan akan meningkat kualitas hidupnya (Fahlberg, 2010). Penelitian ini dukungan
sosial muncul dari keluarga terdekat pasien, yaitu dari anak dan cucu. Yang termasuk
dukungan sosial pada penelitian ini adalah dari segi dukungan psikologis maupun secara
finansial, sehingga pasien memliki self maintenance dan self management yang baik.
Kesimpulan
1. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan perawatan diri maintenance,
management pada kelompok intervensi,namun tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada kemampuan perawatan diri confidence setelah diberi program
perawatan diri.
2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan perawatan diri
maintenance, management dan confidence pada kelompok kontrol setelah
dilakukan program perawatan diri.
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
34
Daftar Pustaka
Albert .(2012). Fluid Management Strategies in Heart Failure, Critical Care Nurse, vol.32,
no 2. Cleveland
Alligood and Tomey .(2006). Nursing theoriest and their works (6th Ed.).St.Louis : Mosby
Elsevier.
Black MJ & Hawk (2014). Medical Surgical Nursing. Clinical Management for Positive
Outcome 8th Ed Vol 2. Elsevier Pte Ltd Singapore
Bui .(2012). Home Monitoring for Heart Failure Management, Journal of the American
College of Cardiology, American College of Cardiology Foundation, Vol. 59 no.
2, 2012
Buapan,A. (2008). Factors influencing adaptation in heart failure patients, Thesis, School
of Graduate Studies, Mahidol University, Bangkok
Diamond JA, Phillips&RA. Hypertensive Heart Disease. Hypertens Res Vol. 28, No. 3
(2005). On International journal of obesity. from
http://www.nature.com/hr/journal/v28/n3/abs/hr200525a.html akses 16 februari
2015 on Februari, 16 2015
Eastwood, et al .(2007). Weight and Symptom Diary for Self-monitoring in Heart Failure
Clinic Patients vol. 22, No. 5, pp 382-389 on Journal of Cardiovascular Nursing
Fahlberg .(2010). Dissertation quality of life and social support of older individuals with
chronic heart failure, Dissertation, The Univesity of Winconsin-Milwaukee
Greene .(2004). A Literature Review of Home Care Monitoring of Heart Failure Patients.
University of Florida College of Pharmacy
Majid,A., (2010). Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Rawat Inap
Ulang Pasien Gagal Jantung Kongestif di RS Yogyakarta
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20281141-T%20Abdul%20Majid.pdf (akses
tanggal 6 januari 2015)
Mariyono&Santoso .(2009). Definisi,Klasifikasi,Diagnosis dan Penanganan Gagal
Jantung. RSUP Sanglah, Denpasar
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=13160&val=927 akses 6
januari 2015
Orem, DE .(2001). Nursing Concept of Practice. The CV. Mosby Company. St. Louis
Paul .(2006). Module 2nd Heart Failure Society of America. America
http://www.hfsa.org/hfsa-wp/content/uploads/2014/10/module-2.pdf
Radi.B. dkk .(2009). Rehabilitasi Kardiovaskuler di Indonesia. Jurnal Kardiologi
Indonesia. Jakarta
Riegel, B, et al .(2004). Psychometric testing of the self care of heart failure. Journal of
Cardiac Failure, 10(4), 350-359
Riegel,B et al .(2009). An Update on the Self Care of Heart Failure Index, Journal
Cardiovascular Nursing; 24(6); 485-497, University of Pennsylvania
Riskesdas .(2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20201
3.pdf (10 januari 2015)
Sadiati .(2014). Home Monitoring For Heart Failure Management, Departemen /SMF
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RSUD Dr. Soetomo-FK Unair Surabaya
http://rumahsakit.unair.ac.id/website/home-monitoring-for-heart-failuremanagement/
Salehitali, SH et al, (2009). The effect of continuous home visits and health education on
the rate of readmissions, referrals, and health care costs among discharged patients
with heart failure, 15(4):43-9, (Persian)
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
35
Shojaei .(2008). Quality of Life Patients with Heart Failure, 14(2): 5-13. (Persian)
Wang .(2011). Effectiveness of a Self Care Program in Improving Symptom Distress and
Quality of Life in Congestive Heart Failure Patients : A Preliminary study,
Journal of Nursing Research, vol. 19, no 4, Taiwan
Yenny&Herwana.(2006).Prevalensi penyakit kronis dan kualitas hidup pada lanjut usia di
Jakarta selatan. Bagian Farmakologi FK Universitas Trisakti.
__________________________ .(2014). Salinan UU RI tentang keperawatan
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/UU%20No.%2038%20Th%202014%
20ttg%20Keperawatan.pdf diakses tanggal 1 September 2015
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
36
PENGARUH TERAPI BEKAM TERHADAP
PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI
Tut Wuri Prihatin1), Witri Hastuti2), Fitroh Suryaningsih3)
1) Stikes Karya Husada ([email protected]), 2) Stikes Karya Husada
([email protected]), 3) Stikes Karya Husada
([email protected])
Abstrak
Latar Belakang. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan
konsisten diatas 140/ 90 mmHg. Salah satu cara untuk menurunkan tekanan darah yaitu dengan
metode bekam. Bekam dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik secara
signifikan. Beberapa penelitian juga mendukung pernyataan diatas. Penelitian yang dilakukan oleh
Akbar dan Mahati (2013) dengan judul pengaruh bekam basah terhadap kolesterol dan tekanan
darah pada pasien hipertensi di Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekam dapat
menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik secara signifikan.Hasil wawancara yang
dilakukan terhadap 4 orang perawat di Puskesmas Kalongan, mereka mengatakan bahwa terapi
bekam belum pernah dilakukan sama sekali di puskesmas tersebut, 10 pasien dengan hipertensi di
Puskesmas Kalongan, hanya 1 orang yang pernah melakukan bekam, namun tidak dilakukan
pengukuran tekanan darah baik sebelum dan sesudah dilakukan bekam. Data survei menunjukan
masyarakat di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur yang merupakan bagian daerah
binaan Puskesmas Kalongan, masyarakatnya masih belum mengetahui bahwa terapi bekam
merupakan salah satu terapi alternatif untuk menurunkan hipertensi.
Tujuan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi bekam terhadap perubahan
tekanan darah pada pasien hipertensi di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur.
Metoda. Dilakukan uji kenormalan data dengan Shapiro-Wilk, variabel dengan distribusi data
normal yaitu tekanan darah sistol setelah bekam dan variabel tekanan darah diastol setelah bekam
tidak normal. Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji statistik menggunakan uji
statistik non-parametrik Mann-Whitney dan variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji
statistik. menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test.
Hasil. Hasil uji kenormalan data hanya satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan
darah sistol setelah bekam dengan nilai α = 0,208. Sedangkan pada variabel tekanan darah diastol
setelah bekam didapatkan nilai α = 0,002 (< 0,05). Pada variabel tekanan darah diastol setelah
bekam uji statistik menggunakan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney, diperoleh p-value =
0.000 (< 0,05). Sedangkan Pada variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji statistik
menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test, diperoleh p-value = 0.000 (< 0,05).
Kesimpulan. Terdapat perbedaan tekanan darah pada pasien hipertensi antara yang tidak
dilakukan bekam dengan yang dilakukan bekam.
Kata Kunci : bekam, hipertensi
Pendahuluan
Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH) dalam Rahajeng &
Tuminah (2009), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta
di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat. Prevalensi kejadian hipertensi sebesar 25,8
persen dari total jumlah penyakit tidak menular di seluruh Indonesia. Selain itu hipertensi
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
37
menduduki urutan ke-6 penyakit tidak menular (PTM) setelah penyakit asma, penyakit
paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, DM, dan hipertiroid. Sedangkan prevalensi
hipertensi di Jawa Tengah yang didiagnosis oleh dokter sebesar 26.4% (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 prevalensi kejadian
hipertensi tertinggi di Jawa Tengah berada di Kota Semarang yaitu sebanyak 77.104 orang.
Kemudian diikuti Kota Surakarta sebanyak 57.977 orang dan Kabupaten Sukoharjo
sebanyak 42.450 orang. Hasil pengambilan data yang dilakukan di Desa Susukan pada
tanggal 9 Maret 2015, diperoleh jumlah pasien dengan hipertensi dari bulan Januari –
Februari 2015 mengalami peningkatan, dari 26 pasien menjadi 44 pasien yang tersebar di
desa tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Akbar dan Mahati (2013) dengan judul pengaruh bekam
basah terhadap kolesterol dan tekanan darah pada pasien hipertensi di Semarang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bekam dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik
maupun diastolik secara signifikan. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 4 orang
perawat di Puskesmas Kalongan, mereka mengatakan bahwa terapi bekam belum pernah
dilakukan sama sekali di puskesmas tersebut. Selain itu hasil wawancara dengan 10 pasien
dengan hipertensi di Puskesmas Kalongan, hanya 1 orang yang pernah melakukan bekam,
namun tidak dilakukan pengukuran tekanan darah baik sebelum dan sesudah dilakukan
bekam. Data survei menunjukan masyarakat di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran
Timur yang merupakan bagian daerah binaan Puskesmas Kalongan, masyarakatnya masih
belum mengetahui bahwa terapi bekam merupakan salah satu terapi alternatif untuk
menurunkan hipertensi.
Metodelogi
Metode penelitian menggunaka quasi exsperiment, terlebih dahulu dilakukan uji
kenormalan data dengan Shapiro-Wilk, variabel dengan distribusi data normal yaitu
tekanan darah sistol setelah bekam dan variabel tekanan darah diastol setelah bekam tidak
normal. Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji statistik menggunakan uji
statistik non-parametrik Mann-Whitney dan variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji
statistik. menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test.
Bentuk rancangan penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Jenis dan rancangan penelitian
Subjek
Pra-tes
Perlakuan
K
O1
K’
O1’
X
Pasca-tes
O2
O2’
Populasi sebanyak 40 orang, pada bulan Februari 2015 di Kelurahan Susukan Kecamatan
Ungaran Timur, yaitu. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling (sampel
jenuh), dimana semua populasi dijadikan sampel, sehingga sampel dalam penelitian ini
sebanyak 40 orang, 20 orang sebagai kelompok perlakuan dan 20 orang sebagai kelompok
kontrol.
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
38
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2.1
Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin pasien dengan hipertensi (n=40)
Jenis Kelamin
Frekuensi
Persentase (%)
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Tabel 2.1. menunjukkan bahwa
perempuan 24 (60%).
16
24
40
jumlah laki – laki lebih
40,0
60,0
100,0
kecil 16 (40%) dibanding
Tabel 2.2
Distribusi responden berdasarkan tekanan darah pada kelompok kontrol (n=20)
Tekanan Darah
Mean
SD
Min
Max
Pengukuran pertama
TD sistol
155,5
9,72
140
170
TD diastole
94,5
3,94
90
100
Pengukuran kedua
TD sistol
154,75
9,93
140
170
TD diastole
93,75
3,93
90
100
Berdasarkan Tabel 2.2 dapat diketahui bahwa rata-rata tekanan darah pada kelompok
kontrol baik tekanan darah sistol maupun diastol cenderung tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Pada pengukuran pertama rata-rata tekanan darah sistol 155,5 mmHg dan
tekanan darah diastol rata-rata 94,5 mmHg. Sedangkan pada pengukuran kedua rata-rata
tekanan darah sistol 154,75 mmHg dan tekanan darah diastol rata-rata 93,75 mmHg.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah responden pada kelompok
kontrol maupun kelompok perlakuan masuk dalam kategori tekanan darah stage I (mild),
yaitu 155,5/ 94,5 mmHg (kelompok control) dan 152/ 93,25 mmHg (kelompok perlakuan).
Tabel 2.3
Distribusi responden berdasarkan tekanan darah pada kelompok perlakuan (n=20)
Tekanan Darah
Mean
SD
Min
Max
TD sistol
TD diastol
TD sistol
152
93,25
139,5
9,38
4,06
11,46
140
90
120
170
100
160
TD diastol
84
4,17
80
90
Berdasarkan Tabel 2.3 dapat diketahui terjadi perubahan yang cukup signifikan nilai ratarata tekanan darah pada kelompok perlakuan baik tekanan darah sistol maupun diastol.
Pada pengukuran sebelum dilakukan bekam nilai rata-rata tekanan darah sistol 152 mmHg
dan tekanan darah diastol rata-rata 93,25 mmHg. Kemudian setelah dilakukan bekam
tekanan darah mengalami penurunan, pada tekanan darah sistol menjadi rata-rata 139,5
mmHg dan tekanan darah diastol menjadi rata-rata 84 mmHg. Hasil penelitian
menujukkan bahwa responden dengan hipertensi yang telah dilakukan bekam mengalami
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
39
penurunan tekanan darah yang cukup signifikan yaitu rata-rata sebesar 139,5/ 84 mmHg
dari 152/ 93,25 mmHg. Hal tersebut menunjukkan bahwa bekam secara langsung dapat
menurunkan tekanan darah seseorang, terutama pada pasien hipertensi.
Tabel 2.4
Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok kontrol (n=20)
Tests of Normality
Tekanan Darah Kelompok Kontrol
p-value
Shapiro-Wilk
Statistic df
Sig.
Tekanan Darah Sistol Pertama
0.926
20 0.130
Wilcoxon= 0.083
Tekanan Darah Sistol Kedua
0.892
20 0.029
Tekanan Darah Diastol Pertama
0.809
20 0.001
Wilcoxon= 0.083
Tekanan Darah Sistol Kedua
0.784
20 0.001
Tabel 2.4. menunjukkan bahawa hasil uji kenormalan data dengan Shapiro-Wilk hanya
satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol pertama dengan nilai
α = 0,130, sedangkan variabel yang lain distribusi data tidak normal dengan nilai α < 0,05
(0.029, 0.001, dan 0.001). Sehingga untuk melakukan uji beda berpasangan menggunakan
uji statistik non-parametrik Wilcoxon.
Setelah dilakukan uji statistik non-parametrik Wilcoxon diperoleh hasil p-value = 0,083
dan 0,083 ( > 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa pada kelompok kontrol tidak terdapat
perbedaan tekanan darah, baik pada pengukuran pertama maupun pengukuran yang kedua.
Tabel 2.5
Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok perlakuan (n=20)
Tekanan Darah Kelompok Kontrol
Tekanan
Bekam
Tekanan
Bekam
Tekanan
Bekam
Tekanan
Bekam
Darah Sistol Sebelum
Darah Sistol
Setelah
Darah Diastol Sebelum
Darah Diastol Setelah
Tests of Normality
Shapiro-Wilk
Statistic
df
Sig.
0.923
20
0.112
0.960
20
0.550
0.734
20
0.000
p-value
Paired
t-test = 0.000
Wilcoxon= 0.000
0.778
20
0.000
Berdasarkan Tabel 2.5 dapat diketahui bahwa setelah dilakukan uji kenormalan data hanya
dua variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol sebelum dan setelah
bekam dengan nilai α = 0,112 dan 0,550, sedangkan variabel yang lain nilai α < 0,05
(0.000 dan 0.000). Uji berpasangan pada tekanan darah sistol menggunakan Paired t-test
diperoleh p-value = 0.000. Sedangkan Uji berpasangan pada tekanan darah diastol
menggunakan Wilcoxon diperoleh p-value = 0.000. Jadi dapat disimpulkan, terdapat
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
40
perbedaan yang signifikan tekanan darah, sebelum dan setelah dilakukan bekam pada
kelompok kontrol.
Tabel 2.6
Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok perlakuan (n=40)
Tekanan Darah Setelah
Bekam
Tekanan Darah Diastol
Tekanan Darah Sistol
Tests of Normality
Shapiro-Wilk
Statistic df
Sig.
0.899
40
0.002
0.963
40
0.208
p-value
Mann-Whitney = 0,000
Independent t-test = 0,000
Berdasarkan Tabel 2.6 dapat diketahui bahwa setelah dilakukan uji kenormalan data hanya
satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol setelah bekam
dengan nilai α = 0,208. Sedangkan pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam
didapatkan nilai α = 0,002 (< 0,05). Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji
statistik menggunakan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney, diperoleh p-value =
0.000 (< 0,05). Sedangkan Pada variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji statistik
menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test, diperoleh p-value = 0.000 (<
0,05).
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah pada pasien hipertensi
antara yang tidak dilakukan bekam dengan yang dilakukan bekam di Kelurahan Susukan
Kecamatan Ungaran Timur. Bekam merupakan metode pengobatan dengan cara
mengeluarkan darah yang terkontaminasi toksin atau oksidan dari dalam tubuh melalui
permukaan kulit ari. Dalam istilah medis dikenal dengan istilah ‘Oxidant Release Therapy’
atau ‘Oxidant Drainage Therapy’ atau istilah yang lebih populer adalah ‘detoksifikasi’.
Bertujuan untuk menetralkan oksidan di dalam tubuh sehingga kadarnya tidak makin
tinggi (Asmui, 2014).
Apabila dilakukan pembekaman pada satu poin, maka kulit (kutis), jaringan bawah kulit
(sub kutis), fasia, dan otot akan terjadi kerusakan dari mast-cell atau lain-lain. Akibat dari
kerusakan ini akan dilepaskan beberapa zat seperti serotonin, histamine, bradikinin, slow
reacting substance (SRS). Zat-zat ini akan meyebabkan dilatasi kapiler dan arteriol serta
flare reaction pada daerah yang dibekam. Dilatasi kapiler juga dapat terjadi ditempat yang
jauh dari tempat pembekaman, ini menyebabkan terjadinya perbaikan mikrosirkulasi
pembuluh darah. Akibatnya timbul efek relaksasi (pelemasan) otot-otot yang kaku serta
akibat vasodilatasi umum akan menurunkan tekanan darah secara stabil. Proses ini akan
terjadi pelepasan corticotrophin releasing faktor (CRF), serta releasing faktor lainnya oleh
adenohipofise. CRF selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya adrenocorticotropic
hormone (ACTH), corticotropihin, dan corticosteroid. Corticosteroid ini akan
menyembuhkan peradangan dan menstabilkan permeabilitas sel (Kusyati, 2012).
Golongan histamine yang ditimbulkan mempunyai manfaat dalam proses reparasi
(perbaikan) sel dan jaringan yang rusak, serta memacu pembentukan reticulo endothelial
cell, yang akan meninggikan daya resistensi (daya tahan) dan imunitas (kekebalan) tubuh.
Sistem imun terjadi melalui pembentukan interleukin dari cell karena faktor neural,
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
41
penngkatan jumlah sel T karena peningkatan set-enkephalin dan endorphin yang
merupakan mediator antara susunan saraf pusat dan sisem imun, substansi yang
mempunyai fungsi parasimpatis dan sistem imun serta peranan kelenjar pituitary dan
hypothalamus anterior yang memproduksi CRF (Kusyati, 2012). Pembekaman kulit akan
menstimulasi kuat syaraf permukaan kulit yang akan dilanjutkan pada cornu posterior
medulla spinalis melalui syaraf A-delta dan C serta traktus spinothalamicus kearah
thalamus yang akan menghasilkan endorphin. Sedangkan sebagian rangsangan lainnya
akan diteruskan melalui serabut aferen simpatik menuju ke motor neuron dan
menimbulkan reflek intubasi nyeri, efek lainnya adalah dilatasi pembuluh darah kulit dan
peningkatan kerja jantung (Kusyati, 2012).
Sedangkan sistem endokrin terjadi pengaruh pada sistem sentral melalui hypothalamus dan
pituitary sehingga menghasilkan ACTH, thyroid stimulating hormone (TSH), follicle
stimulating hormone-luteinizing hormone (FSH-LH), antideuretik hormone (ADH),
sedangkan melalui sistem perifer langsung berefek pada organ untuk menghasilkan
hormon-hormon insulin, thyroxin, adrenalin, corticotropin, estrogen, progesterone,
testoteron. Hormon-hormon inilah yang bekerja ditempat jauh dari yang dibekam
(Kusyati, 2012). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Eka Etik Putri
ebelumnya. Hasil dari penelitian hanya efektif buat penurunan sistol tapi tidak efektif
untuk penurunan diastol.
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan yang sigificant antara nilai tekanan darah sistole dam diastole sebelum
dan sesudah dilakukan terpi bekam.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, N., & Mahati, E. (2013). Pengaruh Bekam Basah terhadap Kolesterol dan Tekanan
Darah pada Pasien Hipertensi Di Semarang. Semarang: UNDIP.
Andari, R., & Mahati, E. (2014). Pengaruh Bekam Basah terhadap Kadar Gula Darah
Puasa pada Pasien Diabetes Melitus Di Semarang. Semarang: UNDIP.
Asmui. (2014). Materi Pelatihan: Bekam Pengobatan menurut Sunnah Nabi. Semarang.
Baradero, M. (2008). Seri Asuhan Keperawatan: Klien Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta:
EGC.
Dinkes Jawa Tengah. (2012). Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012.
Jawa Tengah: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Fahmy, A., & Gugun, A.,M. (2008). Pengaruh Bekam (Al Hijamah) terhadap Kadar
Kolesterol LDL pada Pria Dewasa Normal. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Gunawan, L. (2007). Hipertensi. Yogyakarta: Kanisius.
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar RI 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kusyati, E. (2012). Bekam: Sebagai Terapi Komplementer Keperawatan. Yogyakarta:
Popup Design Yogyakarta.
Rahajeng, E., & Tuminah, S. (2009). Majalah Kedokteran Indonesia: Prevalensi Hipertensi
dan Determinannya di Indonesia. Jakarta: IDI.
Ramayulis, R. (2010). Menu dan Resep untuk Penderita Hipertensi. Jakarta: Penebar plus.
Suarsyaf, P. (2012). Pengaruh Terapi Bekam terhadap Perubahan Skala Nyeri pada Pasien
Nyeri Punggung Bawah. Jakarta: UIN.
“Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
42
LITERATUR EVIEW
JENIS TERAPI KOMPLEMENTER YANG BERPENGARUH TERHADAP
PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES
MELITUS
Zahroh Ulil Fadhilah1), Wahyu Maha Nugraha2)
1) Mahasiswa Stikes Al Islam Yogyakarta Dukuh MJ1/1221 Yogyakarta (02743814892,
[email protected]) 2) Stikes Al Islam Yogyakarta
Abstrak
Latar Belakang. Peningkatan penderita Diabetes Melitus (DM) terus terjadi tiap tahunnya,
diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 8,2 juta. Harus ada
penanganan yang tepat terutama upaya dalam pengembangan dan pemanfaatan terapi
komplementer untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pasien dengan DM.
Tujuan. Tujuan dari pembuatan literature review untuk mengetahui jenis terapi komplementer
yang berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM.
Metoda. Artikel terapi komplementer didapatkan dari berbagai macam pencarian yaitu medline,
proquest, dan google search. Kriteria inklusi dan ekslusi yang dilakukan review literature adalah
semua jenis-jenis terapi komplementer yang terbukti secara statistik mampu menurunkan kadar
glukosa darah kemudian dilihat desainnya, desain yang diambil adalah RCT, Quasy eksperiment,
case sontrol study dan cross sectional. Selain itu literatur yang diambil hanya berbatas pada tahun
2006-2014. Jenis kriteria sampel bebas, tidak dibatasi usia maupun jenis DM. Penelitian
literatur menggunakan critical apraisal guidelines dan caps tools. Keterbatasan proses review
adalah sulitnya menemukan penelitian yang khusus melihat outcome berupa kadar glukosa darah,
kebanyakan outcome yang diukur adalah nyeri, relaksasi dan kualitas hidup. Kondisi ini yang
menyebabkan literatur yang didapatkan hanya 7 buah.
Hasil. Swedish massage, panax ginseng, yoga, terapi doa, aroma terapi, acupuncture dan
acupressure terbukti secara signifikan dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM.
Kesimpulan. Dari hasil review didapat bahwa jenis terapi komplementer yang dapat
diaplikasikan di Indonesia adalah panax ginseng, swedish massage, terapi doa dan aroma terapi.
Sedangkan acupuncture, acupressure,dan yoga sulit di aplikasikan.
Kata kunci: terapi komplementer, acupressure, acupuncture, Swedish massage, aroma
terapi,yoga.
Pendahuluan
Dengan adanya peningkatan ekonomi, peningkatan kesejahteraan diikuti pula oleh
peningkatan penyakit degenerative, salah satunya adalah Diabetes Melitus (DM) yang
terus berkembang tiap tahunnya (Soegondo dalam Mashudi, 2011). Kondisi
peningkatannya dapat dilihat dari angka prevalensi yang dirilis oleh International
Diabetes Federation (IDF) tahun 2006 bahwa USA mencapai angka 8,3%, sedangkan
Cina mencapai 3,9%. Dari data Litbang Depkes 2008 sebesar 4,6% dan meningkat 1,1%
menjadi 5,7% pada tahun 2008 (Soegondo dalam Mashudi 2011). Seiring dengan
pertambahan penduduk seperti saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada
jumlah 8,2 juta penderita DM di Indonesia (Soegondo, et al, 2007).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
43
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tindakan komplementer dapat dijadikan sebagai
salah satu intervensi untuk menurunkan kadar glokosa darah pada pasien DM. Penelitian
yang dilakukan oleh (Jung,et al, 2011) menunjukkan bahwa panax ginseng
supplementation signifikan dalam meningkatkan sensitivitas dari insulin. Penelitian yang
dilakukan oleh (Jin, et al, 2012) menunjukkan bahwa acupressure therapy dapat
mencegah pengembangan dari DM tipe 2. Penelitian yang dilakukan oleh (Ingle, et al,
2011) menunjukkan bahwa acupuncture therapy efektif untuk mengontrol kadar
glukosa darah tetap dalam kondisi normal. Penelitian yang dilakukan oleh (Kashaninia, et
al, 2011) menunjukkan bahwa swedish massage dapat mengontrol kadar glokusa darah
pada pasien DM.
Penelitian yang dilakukan oleh (Finch, et al, 2007) menunjukkan bahwa massage therapy
berefek positif terhadap potensial pergerakan, menurunkan insiden ulcer neuropati pada
DM. Hasil publikasi dari original article oleh (Fan, et al, 2013) menunjukkan bahwa
yoga, massage, aroma terapi dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh (Garrow&Egede, 2006) menunjukkan bahwa
terapi relaksasi dan berdoa dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DM.
Dengan banyak manfaat yang dilaporkan mengenai terapi komplementer, maka penulis
tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai jenis terapi komplementer yang
berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pada pasien DM.
Tujuan
Mengetahui jenis terapi komplementer yang berpengaruh terhadap penurunan kadar
glukosa darah pada pasien DM.
Metode
Jenis design penelitian yang dimasukkan dalam literature review adalah RCT, quasi
eksperiment, case control dan crosssesional. ITipe studi yang akan direview adalah
semua jenis terapi komplementer yang terbukti signifikan menurunkan kadar glukosa
darah pada pasien DM. Semua jenis partisipan DM tipe I atau tipe II baik anak-anak,
dewasa maupun lansia dimasukkan sebagai partisipan dalam review. Semua intervensi
berupa terapi komplementer terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah pada
penderita DM.
Tipe outcome yang diukur hanya berbatas pada keefektifan terapi dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DM. Literatur review ini dilaksanakan
dengan melakukan penelusuran artikel penelitian yang mampu menurunkan kadar glukosa
darah. Penelusuran dilakukan menggunakan Science direct, Medline, Google Search dan
Pro-quest dengan kata kunci setiap variable. Artikel yang ditemukan dari masing-masing
pencarian kemudian dilakukan pembacaan secara cermat. Pencarian dibatasi dari tahun
2006-2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Ekstraksi data penelitian
dilakukan dengan membaca hasil dari penelitian kemudian mengambil intisari dari
penelitian. Hasil akhir dari penelitian disertakan lengkap dengan nilai signifikansi P
value, OR dan CI. Nilai tersebut dimasukkan dalam sebuah tabel untuk mempermudah
pembahasan hasil ekstraksi.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
44
TABEL EKSTRAKSI DATA
Study/ author
Tempat
penelitian
Jumlah
sampel
Korea
18 res
ponden,
9 kelom
pok
intervensi
dan 9
kontrol
Acupressure
Theraphy
Inhibits the
Development
of Diabetic
Complication
in Chinese
Patients with
Type 2
Diabetes
Jin, et.
Al.,(2009)
Cina
80 res
ponden,
40 inter
vensi,
40 kon
trol
Application of
acupuncture
theraphy in
type 2 Diabetes
melitus
patients.
Ingle, et. Al.,
(2011)
India
20 res
ponden,
10 inter
vensi dan
10 kon
trol
Effect of Panax
ginseng
Supplementatio
n on Muscle
Damage and
Inflamation
after Uphil
Treadmill
Running in
Humans.
Jung, et,
al.,(2001)
The Effect of
Swedish
Massage on
Glycohemoglob
in in Children
with Diabetes
Melitus.
Khashaninia,
et. Al.,(2011)
Iran
36 res
ponden ,
18 inter
vensi dan
18 kon
trol
Usia
Kelompok
Metode
penelitian
/Alat ukur
Outcome
Intervensi
Kontrol
19-22
tahun
Pada kelompok
intervensi
diberikan
ekstrak ginseng
dengan takaran
20 gr/hari.
Pemberian
diberikan
selama 4 hari
dengan
dicampurkan air
hangat sebanyak
200 ml.
RCT/
Spectro
photo meter
Sensivisitas
insulin
meningkat,
menurunkan
resistensi
terhadap
insulin,
menurunkan
Kerusakan
otot, menurun
kan inflamasi
dengan P
value <0,05
Tidak
dijelas
kan
menge
nai
rentang
usia
namun
respon
den
adalah
orang
dewasa
Tidak
dijelas
kan
dengan
rinci
usia
dari
respon
den
Kelompok
intervensi
mendapatkan
perlakuan
acupresure
selama 90 menit
dengan durasi
4-6 kali
perminggu
untuk waktu 3
tahun
Pada
kelompok
kontrol
diberikan
placebo
dengan
dilakukan
blinding
sehingga
sampel tidak
mengetahui
siapa yang
dapat ekstrak
ginseng dan
siapa yang
mendapatkan
placebo
Tidak
dijelaskan
pada jurnal
apa yang
dilakukan
pada
kelompok
kontrol
RCT/ vacum
column
Chroma
tography
Acupressure
dapat
menurunkan
resiko
perkembangan
diabetes
melitus ke arah
progesif
dan komplikasi
dengan
P Value< 0,001
Diberikan
intervensi
acupuntur
dengan simulasi
dari elektrik
dengan pranata
jarum, jarum
ditanamkan di
tubuh pasien
selama 2030 menit.
Intervansi
diberikan
selama 3 kali
dalam satu
bulan.
Tidak
dijelaskan
pada jurnal
apa intervensi
yang
dilakukan
pada
kelompok
kontrol
Acupuncture
theraphy
evektif dalam
mengontrol
glukosa darah
dan
menurunkan
resiko
komplikasi dari
diabetes
melitus denga
P value <0.001
6-12
tahun
Diberikan
intervensi
Swedish
massage selama
15 menit,
dilakukan 3 kai
dalam
seminggu,
pelaksanaan
dilakukan
selama 3 bulan
Tidak
dijelaskan
pada
jurnal apa
intervensi
yang
dilakukan
pada
kelompok
kontrol
Quasi eks
periment/
kuisioner
dan peme
riksaan
laboratorium
dgn melihat
plasma
glucose,
postprandial
plasma
glucose,
glycosylated
hemo globin
(HbA 1c),
lipid pro file
and body
mass index
(BMI)
RCT/
Kuisioner,
namun tidak
dijelaskan
secara rinci
mengenai
alat ukur
yang
digunakan
untuk
mengukur
glycohemogl
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Massage
therapy secara
signifikan
mamou
mengontrol
kadar glukosa
darah pada
pasien anakanak dengan
diabetes
melitus dengan
P value
45
Patterns of
complementary
and alternative
medicine use
among a group
of patient with
type 2 diabetes
receiving out
patient care in
Singapore.
Monica, et. Al.,
(2013)
National
Patterns and
Correlates of
Complementary
and Alternative
Medicine Use
in Adults with
Diabetes
Garrow, et.
Al.,(2006)
How Effective
is Swedish
Massage on
Blood Glucose
Leel in
Children with
Diabetes
Melitus
Sajedi, et.
Al.,(2011)
obin, namun
dari jurnal
menunjukka
n bahwa
pengukuran
dilakukan
dengan
pengukuran
laboratorium
Cross
sectional /
alat
yang
digunakan
adalah
kuisioner
dan
glukometer
Singapura
304 res
ponden
41-60
tahun
-
-
Charles
ton,
SC
2474
Respon
den
18-65
tahun
-
-
Cross
sectional/
alat
Pengumpul
an data
mengguna
kan
kuisioner
Iran
38
sampel
19 kelom
pok
kasus
dan 19
kelomok
kontrol
Anakanak
usia
6-12
tahun
Diberikan
intervensi
Swedish
massage 3 kali
seminggu
selama 15
menit.
Intervensi
diberikan
selama 3 bulan
Tidak
diberikan
intervensi
Swedish
massage
hanya diberi
kan intervensi
yang bisa
dilakukan
pada umum
nya.
RCT
(Random
Control
Trial) .
Lembar
observasi
Swedish
massage dan
kuisioner
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
<0,0001
Yoga, Massage
dan
aroma terapi
berkorelasi
positif terhadap
kadar
glukosa darah
dengan P
value < 0,05
Terapi berdoa,
yoga relaksasi,
dan herbal
berkorelasi
positif terhadap
penurunan
kadar glukosa
darah. Terapi
doa dengan
(OR 1.19, 95%
Cl 1.05, 1.36.
Yoga OR 0.56,
95% Cl 0.43,
0.72. herbal
OR 0.82, 95%
Cl 0.72, 0.93)
Swedish
massage efektif
memberikan
efek penurunan
kadar
glukosa darah
pada anak
dengan DM
46
Terdapat 7 artikel yang menjelaskan terapi komplementer mampu menurunkan kadar
glukosa darah. Jenis terapi komplementer tersebut adalah Swedish massage, panax
ginseng, acupressure theraphy, acupuncture, yoga, aroma terapi, relaksasi dan terapi doa.
Dari literatur didapatkan hasil bahwa panax ginseng meningkatkan sensitivitas insulin,
menurunkan resitensi terhadap insulin, menurunkan kerusakan otot, menurunkan
inflamasi. Acupressure juga mampu menurunkan resiko perkembangan DM ke arah
progresif dan komplikasi. Acupuncture theraphy efektif dalam mengontrol glukosa darah
dan menurunkan resiko dan komplikasi dari DM. Massage therapy secara
signifikan mampu mengontrol kadar glukosa darah pada pasien anak-anak dengan DM.
Yoga, massage, aroma terapi dan doa berkorelasi positif terhadap kadar glukosa darah.
Terapi komplementer yang mampu menurunkan kadar glukosa darah adalah panax
ginseng P value <0,05, acupressure P value < 0,001, acupuncture P value <
0,001, massage P value <0,0001, yoga P value <0.05, doa P value <1,93. Artikel
yang dimasukkan dirasa sudah mampu menggambarkan jelas CI 95% untuk setiap studi,
heterogenitas yang dianalisis dengan perhitungan statistik dan P valuenya yang signifikan.
Hasil
Kualitas artikel dinilai menggunakan tools yang sesuai dengan desain penelitian. Hasil
dari analisis didapatkan bahwa semua studi memenuhi kriteria baik. Berikut hasil
analisis dari critical apraisal penelitian:
a. Panax Ginseng
Pada artikel jenis metode penelitian yang dipilih merupakan jenis metode yang baik,
yaitu RCT. Dari hasil analisis menggunakan caps tools yang khusus digunakan
untuk menganalisis RCT, didapatkan hasil bahwa treatment yang dilakukan sudah
dirandom sehingga tingkat kepercayaan tinggi, hanya saja untuk mengontrol variabel
pengganggu dalam artikel tidak dijelaskan. Ini menjadi hal yang dianggap menurunkan
penilaian artikel meskipun bila dilakukan pembacaan pada artikel secara mendalam.
Kemungkinan besar variabel pengganggu sudah dilakukan kontrol dengan baik agar
menghindari bias, hanya saja tidak dituliskan. Proses blinding pada artikel sudah
dilakukan, yaitu dengan tidak diketahuinya kelompok kontrol dan kasus, kedua
kelompok sama-sama diberikan ekstrak yang salah satunya adalah placebo, kelompok
kontrol dan kasus tidak mengetahui apakah mereka termasuk dalam kelompok
kontrol maupun kelompok kasus. Jenis intervensi yang diberikan pada kelompok
intervensi adalah pemberian ekstrak ginseng dengan takaran 20 gr/hari. Pemberian
diberikan selama 4 hari dengan dicampurkan air hangat sebanyak 200 ml. Berikut
merupakan gambaran intervensi pemberian panax ginseng terhadap outcome yang
diharapkan. Hasil penelitian mampu menjawab outcome yang diharapkan dimana
efek dari panax ginseng terbukti secara statistik mampu meningkatkan sensitivitas
insulin, menurunkan resistensi terhadap insulin dan mampu menurunkan kadar gula darah
pada penderita diabetes melitus dengan P value <0,05. Penerapan dari hasil
penelitian mudah dan murah, sehingga dapat direkomendasikan untuk diterapkan
sebagai salah satu terapi kompementer yang digunakan perawat dalam memberikan
intervensi pada pasien diabetes melitus untuk menurunkan kadar glukosa darah.
b. Acupressure
Metode yang digunakan dalam artikel sudah menggunakan metode yang baik, yaitu
RCT, dimana dalam memberikan intervensi dilakukan random, sehingga tingkat
kepercayaan tinggi. Proses blinding sudah dilakukan pada penelitian. Pada kelompok
intervensi acupresssure dilakukan selama 90 menit dengan durasi 4-6 kali seminggu
untuk waktu yang lama, yaitu 3 tahun. Hasil penelitian mampu menjawab outcome
yang diharapkan yaitu acupresssure terbukti akurat dan kuat secara statistik dapat
PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
47
menurunkan resiko perkembangan DM ke arah progresif dengan nilai P <0,001. Untuk
penerapan di Indonesia, acupressure tidak familiar sehingga sulit dilaksanakan,
proses pelatihan masih sedikit dan mahal.
c. Acupuncture
Pada penelitian yang menggunakan
intervensi acupuncture terdapat beberapa
sampel yang menolak di awal tidak dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian,
partisipasi sampel yang setuju sekitar 60-79%. Jenis metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah quasi experiment. Proses kontrol variabel pengganggu dalam
penelitian tidak dijelaskan dalam artikel. Hasil dari penelitian artikel adalah adanya
kemungkinan bias, jenis study design, kontrol variabel pengganggu dan blinding
memiliki rating moderate. Metode belum cukup kuat dan jumlah sampel masih sedikit.
Untuk pelaksanaan di Indonesia intervensi ini masih dianggap tidak familiar sehingga
sulit dilaksanakan, selain itu pola pelaksanaanya butuh keahlian, proses pelatihan masih
sedikit dan mahal sehingga intervensi tidak begitu efektif untuk dilakukan di Indonesia.
d. Massage
Ada 2 artikel yang dianalisis tentang pemberian intervensi mengenai Swedish
Imassage. Kedua artikel sudah menggunakan metode penelitian yang baik yaitu RCT.
Pada dasarnya kualitas penelitian sama, hanya saja outcome yang ingin dicapai
sedikit berbeda satu sama lain. Sampel pada kedua artikel sudah dilakukan randomisasi.
Sampel yang diberikan massage adalah anak-anak dengan usia 6-12 tahun. Untuk
outcome yang ingin melihat efektivitas swedish massage terhadap glycohemoglobin.
Jumlah sampel adalah 36 pasien dengan 18 kelompok intervensi dan 18 kelompok
kontrol. Sedangkan outcome artikel lainnya adalah untuk melihat efektivitas massage
dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pasien anak dengan DM, sampel
berjumlah 38 dengan 19 kontrol dan 19 intervensi. Hasil penelitian dari kedua artikel
sudah mampu menjawab outcome yang menunjukkan bahwa swedish massage terbukti
mampu secara signifikan menjaga kadar gula darah tetap normal dan mampu menurunkan
kadar gula darah pasien yang menderita DM dengan nilai P value <0,0001. Berikut
merupakan gambaran penurunan glukosa darah pada dua kelompok. Proses aplikasi dari
hasil penelitian mudah dan dapat diterapkan di Indonesia karena pelaksanaanya cepat dan
tidak dianggap sebagai hal yang tabuh. Pelatihan mengenai swedish massage sudah
ada di Indonesia dengan sertifikasi yang baik. Pengaplikasian swedish massage
terbukti menguntungkan secara finansial dan menguntungkan untuk meningkatkan
kesehatan penderita DM dalam mengontrol dan menurunkan kadar glukosa darah.
e. Yoga, Doa dan Aroma terapi
Ada dua artikel yang membahas mengenai yoga dan aroma terapi. Kualitas dari
kedua artikel dianggap baik dari hasil analisis. Kedua artikel ini menggunakan
metode cross sectional, metode ini masih dirasa kurang kuat dalam pembuktian
karena secara evidance penggunaan metode terbaik adalah RCT. Proses untuk
mecegah bias dari kedua artikel sudah dilakukan, kontrol yaitu penetapan kriteriakriteria yang ketat mengenai usia sampel dan karakteristik sampel. Jumlah responden
dalam artikel banyak, responden mengenai aroma terapi dan doa berjumlah 2474 sampel,
sedangkan yoga sebanyak 304 sampel. Dari jumlah sampel ini sebenarnya sudah mampu
menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari hasil penelitian. Hasil penelitian ini
dapat menjadi pengembangan untuk penelitian eksperimen selanjutnya. Terbukti doa dan
aroma terapi berkorelasi positif dengan kadar glukosa darah dengan P value<0,05 dan
yoga terbukti berkorelasi positif erhadap penurunan kadar glukosa darah dengan nilai
statistik OR 0.56, 95% CI 0.43, 0.72.
PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
48
Kesimpulan
Dari hasil review literature yang dilakukan secara sistematis membuktikan bahwa
swedish massage, acupuncture, acuprussure, yoga, doa, panax ginseng dan aroma
terapi terbukti dapat menurunkan kadar glukosa darah. Berbagai jenis terapi
komplomenter tersebut meskipun terbukti secara evidance based mampu menurunkan
kadar glukosa darah, namun tidak semuanya dapat diterapkan di Indonesia karena
pertimbangan kemudahan, kelebihan, kekurangan dan cost yang dikeluarkan dari
pelaksanaanya. Hasil critical apraisal dan pendalaman mengenai terapi komplementer
dinilai bahwa jenis terapi yang direkomendasikan untuk diaplikasiksan di klinik adalah
swedish massage, terapi doa, aroma terapi dan panax ginseng. Sedangkan acupuncture,
acuprussure. dan yoga belum bisa direkomendasikan di Indonesia karena pertimbangan
pada cost yang dikeluarkan terlalu besar, pelatihan profesional belum ada di Indonesia
serta sulitnya dalam pengaplikasian karena dibutuhkan kejelian dan waktu yang lama
dalam pelaksanaanya.
Daftar pustaka
Brown et al. (2005). Sudarshan Kriya Yogic Breathinh in the Treatment of Stress,
Anxiety and Depression: Part 1 Neurophysiologic Model, (online), http://www.
thevirafoundation.org/images/Trauma treatment_Breathwork_Part_I.p df, diakses :
10 Februari 2012 ).
Garrow, D and Egade, LE., (2006). National Pattens and Corelates of Complementary
and Alternative Medicine Use in Adult with Diabetes. The Journal of Alternative
and Complementary Medicine. Volume 12.895-902.
Ingle, PV. Samdani, PV. Patil, PH. Pardeshi, MS, Surana. SJ., (2011). Application of
acupuncture theraphy in type 2 diabetes mellitus patient . Pharma science monitor
An international journal of pharmaceutical science.18-26.
Jin, K.,Chen, L.Pan, JY. Li, JM. Wang, Y and Wang, FY., (2009). Acupressure Therapy
inhibits the Development of Diabetic Complication in Chinese Patients with type
2
Diabetes. The Journal of Alternative and Aomplementary Medicine. 1027-1032.
Jung, HL, Kwak, HE. Kim, SS. Kim, YC, Lee, CD. Byurnx, HK and Kang, Hy.,
(2011).
Effect of Panac ginseng Supplementationnon on Mussle Damage and Inflammationn after
Uphill Treadmill Running in Humans. The American Journal of Chinese
Medicine, Vol 9, No.3,441-450
Kashaninia, Z. Abedinipoor, A. Hos.ainzadeh, S. Sajedi, F., (2011). The Effect of
Swedish Massage on Glycohemoglobin in Children with Diabetes Mellitus. Iranian
Rehabilitation Journal, Vol.9
Mashudi. (20011). Pengaruh Progresssive Muscle Relaxation Terhadap Kadar
Glukosa Darah.
Nita Fitriya. Teori Psikospiritual 2009. Diaksses pada tanggal 17 Juli 2009.
URL: http://fikunpad.unpad.ac.id/?=191
Peijin Esther Msonica, PE. Chan, FM. Chan, YL. Koh, SL., (2013). Patterns of
complementary and alternative medicine use among a group of patients with type 2
diabetes receiving outpatient care in Singapore. International Journal of Nursing
Practice. 44-45
Sajedi, F. Khasaninia, Z. Hoseimsadeh, S & Abedenipoor, A.,(2011). How effect is
Swedish Massage on Blood Glucose Level in Children with Diabete Mellitus.
Department of Nursing, School of Nursing and Midwifery.
Soegondo, S Soewondo, P.,& Subekti I, Ed. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu
(hlm 31-45), Jakarta: FKU.
PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
49
LITERATURE REVIEW:FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEMANDIRIAN KELUARGA DALAM PERAWATAN PASIEN TUBERCULOSIS
PARU
Ns. Kastuti Endang Trirahayu., S.Kep.
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
Email : Fiida [email protected]
Abstrak
Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit kronis yang menjadi salah satu fokus
permasalahan dalam bidang kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. Teori Orem dan
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa keluarga adalah salah satu faktor yang berpengaruh
dalam perawatan pengobatan dan kesembuhan pasien Tuberkulosis Paru. Hasil survey
menunjukkan bahwa kebanyakan pasien TB paru lebih memilih untuk dirawat di rumah bersama
dengan keluarga mereka. Oleh karena itu, kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru
adalah hal yang sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa
saja yang berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru.
Metode: Metode yang digunakan tinjauan sistemik (systemic review) yaitu dengan melakukan
penelusuran jurnal publikasi yang berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB
Paru mulai tahun 2009-2015. Penelusuran dilakukan melalui media online seperti Googlesearch,
Sciencedirect.com, Proquest.com, EBSCO, dll. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh.
Hasil: Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa
manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang berbasis
klinis (Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014). Selain edukasi, tujuan yang jelas mengenai
perawatan pasien TB (Palinggi dkk., 2013) dan teknik komunikasi yang tepat (KaulagekarNagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013) harus dimiliki oleh keluarga.
Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga harus dihapuskan agar keterlibatan
keluarga dalam perawatan pasien TB paru bisa meningkat (Anand dkk., 2013). Dan untuk
meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru, keluarga dapat dilibatkan
dalam proses medis seperti konsultasi dan pemeriksaan ke dokter, yang rutin berjalan pada pasien
(Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004).
Kesimpulan: Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara
lain program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru,
teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta
penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru.
Keywords: Kemandirian Keluarga, Perawatan Pasien TB Paru
Latar Belakang
Secara global, Beban TB masih sangat besar, bahkan WHO menyatakan bahwa TB saat ini
telah menjadi ancaman global. Pada tahun 2013, 9 juta jiwa terinfeksi penyakit ini, dan 1,5
juta diantaranya meninggal dunia. Berbagai upaya dikerahkan, meliputi diagnosa dan
pengobatan yang efektif, untuk menurunkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit
TB. Terbukti semenjak tahun 2000-2013, ada sebanyak 37 juta jiwa berhasil diselamatkan
karena adanya diagnosa dan pengobatan dini (WHO, 2014). Indonesia sendiri, sejak tahun
2010 menempati urutan kelima Negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi
prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insiden berjumlah
430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
50
per tahunnya (Kemenkes RI, 2011). Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi,
berdasarkan laporan dari Kemenkes RI (2011), Indonesia merupakan Negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun
2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan
diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan
demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection
Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir
adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global
tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.
Salah satu wilayah di Indonesia yang berhasil dalam mendekati target deteksi kasus TB
paru adalah Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2012, Kabupaten Banyumas menempati peringkat ke-4 jumlah penduduk terbanyak di
Jawa Tengah dengan jumlah sebanyak 1.570.598 orang (BPS 2012). Penemuan penderita
TB paru di kabupaten Banyumas tahun 2012 sebanyak 1.161 kasus case detection rate
(CDR) sebesar 69,0% (target >70%) menempati urutan ke-10 kabupaten terbanyak di Jawa
Tengah (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012). Penemuan penderita TB Paru anak tahun
2012 sebanyak 427 kasus dan tahun 2013 sebanyak 448 kasus dengan proporsi 14,1% .
Case notification rate (CNR) tahun 2011 sebesar 176/100.000 penduduk, tahun 2012
sebesar 179/100.000 penduduk dan tahun 2013 sebesar 195/100.000 penduduk. CNR
Nasional adalah sebesar 85/100.000 penduduk (Dinkes Kabupaten Banyumas, 2014).
Kesuksesan dalam penyembuhan penderita TB Paru tentunya tidak terlepas dari pola
perawatan yang sesuai. Orem menyebutkan bahwa faktor kondisi dasar yang
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam merawat dirinya sendiri diantaranya adalah
usia, jenis kelamin, orientasi sosial-budaya, status kesehatan, dan sistem keluarga (Orem,
2001). Faktor kondisi dasar semacam ini dan partisipasi perawatan diri dari individu pada
akhirnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan individu tersebut, termasuk persepsi
mengenai kualitas hidup personal dan pencapaian kontrol metabolisme. Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Yani (2012) diketahui bahwa kepatuhan pasien
Tuberkulosis paru terhadap perilaku hidup sehat meningkat secara signifikan setelah
menerima perawatan dengan dukungan keluarga berbasis program DOTS.
Dari hasil survei prevalensi TB oleh Kemenkes pada tahun 2004 mengenai pengetahuan,
sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang
menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76%
keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat
disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama
TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui
bahwa tersedia obat TB gratis. Agar proses penyembuhan pasien TB paru bisa berjalan
dengan efektif dan efisien dalam perawatan keluarga, tentunya kemandirian serta
kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru sangat dibutuhkan. Oleh karena itu
dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang bisa mempengaruhi
kemandirian dan kemampuan keluarga dalam melakukan perawatan pada pasien TB paru.
Tujuan
Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemandirian dan kemampuan
keluarga dalam merawat pasien TB paru. Memberikan rekomendasi tentang apa saja yang
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
51
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
bisa dilakukan untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat
pasien TB paru.
Metoda
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan sistematik (systemic review).
Tinjauan sistemik adalah sebuah sintesis dari studi-studi penelitian primer yang
menyajikan topik yang terkait dengan formulasi pertanyaan dan tujuan penelitian. Metode
tinjauan sistematik ini yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal publikasi yang
berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru. Penelusuran jurnaljurnal yang berkaitan dengan topik penelitian dilakukan melalui Website publikasi jurnal
penelitian resmi yaitu ProQuest, EBSCO, dan PubMed, dengan menggunakan kata kunci
yang dipilih. Pencarian hanya dibatasi pada terbitan 2007-2014 yang dapat diakses fulltext
dalam format pdf. Jurnal yang terpilih kemudian ditelaah untuk kemudian dibahas dan
ditarik kesimpulannya dalam makalah. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh.
Hasil
Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa
manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang
berbasis klinis (Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014). Program DOTS berbasis keluarga
terdiri dari tiga tahap yaitu: estimasi, transitif, dan operatif, yang melibatkan partisipasi
keluarga. Faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan pengobatan salah satunya adalah
adanya program pengarahan. Dalam rangka mengimplementasikan program DOTS yang
baik, ada empat metode utama yaitu pengajaran, pengarahan, pemberian dukungan, dan
penyediaan lingkungan. Selain itu, buku panduan juga dibutuhkan untuk mengembangkan
kemandirian keluarga dalam perawatan pasien TB paru (Yani et al., 2012).
Selain edukasi melalui program DOTS, hal lain yang juga berpengaruh terhadap
kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru adalah adanya
tujuan yang jelas. Ketika anggota keluarga memiliki tujuan atau target untuk terlibat dalam
perawatan, maka keinginan mereka untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien akan
berubah kedalam sebuah tindakan konkrit (Palinggi dkk., 2013).
Faktor lainnya yang juga dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga
dalam merawat pasien TB paru adalah teknik komunikasi yang baik. Komunikasi yang
baik adalah komunikasi yang dapat memberikan rasa dukungan bagi pasien. Komunikasi
yang terbuka dalam keluarga mengenai manajemen perawatan penyakit, respon keluarga
yang sehat terhadap situasi penyakit yang membuat stress (terterkan), dan dukungan
keluarga terhadap kemandirian pasien berhubungan dengan perilaku manajemen pribadi
pasien yang lebih baik. Selain itu, komunikasi langsung antara tenaga medis dengan
anggota keluarga dapat membantu menyelesaikan kekhawatiran keluarga tentang pasien
dan membantu anggota keluarga untuk menyusun tujuan yang tepat dalam perawatan
pasien (Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013).
Dengan komunikasi yang baik, anggota keluarga juga akan bisa mengatasi permasalahan
atau tekanan yang ada sehingga mereka menjadi lebih termotivasi untuk secara mandiri
merawat pasien TB paru. Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga
harus dihapuskan agar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien TB paru bias
meningkat (Anand dkk., 2013)
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
52
Terakhir, melibatkan keluarga dalam proses perawatan klinis juga merupakan salah satu
factor yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat
pasien TB paru. Perawatan penyakin kronis adalah hal yang kompleks dan sering kali
dalam satu pertemuan klinis pasien akan mendapatkan banyak sekali informasi yang baru.
Oleh karena itu, dengan melibatkan keluarga dalam proses perawatan klinis (ikut dalam
proses pemeriksaan/konsultasi rutin ke dokter) akan dapat membantu pasien dalam
menyerap dan memahami informasi yang didapat. Selain itu, hal ini juga akan
meningkatkan kemampuan dan kemandirian keluarga dalam merawat pasien. Keluarga
dapat membantu pasien untuk menjaga rutinitas pemeriksaan dan konsultasi dengan
dokter. Keluarga juga dapat memberikan informasi tambahan yang dibutuhkan kepada
tenaga medis (dokter) tentang manajemen dan gejala penyakit yang dialami pasien di
rumah. Keluarga dapat membantu mengkomunikasikan kekhawatiran pasien. Dan ketika di
rumah pun keluarga dapat membantu perawatan pasien dengan lebih baik berdasarkan
pada hasil pemeriksaan dan konsultasi yang telah dijalani (Kaulagekar-Nagarkar dkk.,
2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004).
Diskusi
Dari jurnal-jurnal penelitian yang dipilih, dapat diketahui bahwa ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB
paru. Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh adalah edukasi tentang penyakit
dan manajemennya; adanya tujuan yang jelas dan spesifik; pengembangan teknik
komunikasi yang efektif dan mendukung; dan keterlibatan dalam proses perawatan klinis.
Keseluruhan faktor tersebut tentunya tidak dapat dikembangkan sendiri oleh keluarga.
Untuk dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien
TB paru, tentunya keterlibatan dari lembaga-lembaga terkait diperlukan. Salah satu hal
yang dapat dilakukan adalah dengan membuat sebuah rancangan program yang dapat
meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru.
Sebagai catatan keterbatasan makalah ini adalah bahwa makalah ini disusun berdasarkan
hasil penelitian pustaka-pustaka yang beragam dari sisi obyek penelitiannya dan tidak
semuanya berkaitan langsung dengan tujuan makalah ini. Jurnal-jurnal terkait topik
makalah masih sangat sedikit, namun di lain sisi ini adalah sebuah peluang penelitian yang
berarti di masa mendatang akan sangat baik untuk bisa meneliti lebih mendalam tentang
aplikasi perancangan program asuhan keperawatan keluarga untuk pasien TB paru dengan
pengembangan berlandaskan pada penelitian-penelitian yang ada sebelumnya.
Kesimpulan
Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara lain
program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru,
teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta
penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru. Untuk dapat meningkatkan
kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien, lembaga terkait (lembaga
keperawatan) atau tenaga medis harus bisa mengidentifikasi faktor yang berpengaruh,
kemudian membuat sebuah rancangan, mengaplikasikan, dan terakhir melakukan evaluasi
dan pengembangan.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
53
Daftar Pustaka
Abreu, W., et.al. (2015). Promotion of Self-Care in Clinical Practice: Implications for
Clinical Supervision in Nursing. International Journal of Information and
Education Technology, 5(1).
Anand T, D.Arun K, Nandini S, Renuka S, Laxmi K, S.V.Singh, GK Ingle. (2013).
Perception on Stigma Towards TB Among Patients on Dots & Patients Attending
General OPD in Delhi. Indian Journal of Tuberculosis. 61.
Duangrithi D, Kampl P, Vipa T, Varunee D, Yuthichai K, Pasokarn J, Duangjai
Sahassanada, Punnee Pitisuttithum. (2014). Family Based Directly Observed
Therapy on Culture Conversion in Newly Diagnosed Pulmonary Tuberculosis
Patients. American Journal of Public Health Research. 2(4).
Howyida, S., et.al. (2012). Effect of Counseling on Self-Care Management among Adult
Patients with Pulmonary Tuberculosis. Life Science Journal. 9(1).
Kemenkes RI. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kardas P, Pawel L dan Michal M. (2013). Determinants of Patient Adherence: a Review of
Systematic Reviews. Journal of frontiers in pharmacology. 4(91).
Kaulagekar-Nagarkar A, Deepali D, dan Preeti J. (2012). Perspective of Tuberculosis
Patients on Family Support and Care in Rural Maharashtra. Indian Journal of
Tuberculosis. 5.
Kaur S, D Behera, D Gupta, SK Verma. (2009). Evaluation of a Supprotive Educative
Intervention on Self Care in Patients with Bronchial Asthma. Nursing and
Midwifery Research Journal. 5(2).
Munawaroh, S. (2012). Penerapan Teori Dorothea E. Orem Dalam Pemberian Asuhan
Keperawatan. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Nursasi AY. (2014). Peningkatan Kemandirian Perawatan Klien TB Paru Melalui
Pemberdayaan Dalam Kelompok Keluarga Mandiri. Jurnal Universitas Indonesia.
Orem, D. (2001). Nursing concepts of practice (6th edition). St. Louis: Mosby.
Palinggi, Y., dkk. (2013). Hubungan Motivasi Keluarga Dengan Kepatuhan berobat Pada
Pasien Tb Paru Rawat Jalandi RSU A. Makkasau Pare-Pare. Jurnal STIKES Nani
Hasanuddin Makassar. 2(3).
Rosado-Quiab U, Roberto MC, David AC, Alfredo V. (2014). Influence of Family System
Characteristics on Adherence to Directly Observed Treatment, Short-Course (Dots)
in Pulmonary Tuberculosis-A Cohort Study. J Mycobac Dis. 4(5).
Shin S, Jennifer F, Jaime B, Kedar M, Jim YK, Paul F. (2004). Community-based
Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis in Lima, Peru: 7 Years of
Experience. Journal of Social Science & Medicine. 59.
WHO. (2014). Global Tuberculosis Report Fact Sheet. Retrieved from
http://www.who.int/tb/publications/factsheet_global.pdf.
Yani DI, Sang-arun I, dan Charuwan K. (2012). Development of Family-Based DOTS
Support Program for Enhancing Adherence to Health Behaviors of Patients With
Pulmonary Tuberculosis. Journal of 4th International Conference on Humanities
and Social Sciences.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
54
KOMPLEMENTER TERAPI: AROMATERAPI DALAM AUTIS
Kartika Setia Purdani
Mahasiswa Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang
Abstrak
Latar belakang. Data tahun 2014 tentang angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68
kelahiran hidup anak. Dengan pemanfaatan caring perawat kepada pasien melalui konsep holistik,
dan dengan perkembangan ilmu keperawatan, terapi komplementer bisa menjadi salah satu pilihan
dalam merawat pasien. Berdasar pembagian NCCAM (National Center for Complementary and
Alternative Medicine) terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi
biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi masuk pada terapi
biologi, dengan cara kerja adalah memanfaatkan zat yang ditemukan di alam. Banyak terapi
kesehatan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan peran anak dengan autisme, termasuk aromatrapi,
kandungan essensial oil dalam aromaterapi terbukti dapat meningkatkan proses interaksi dan
peningkatan pola tidur, sehingga beberapa gangguan yang mendominasi anak dengan autisme bisa
terminimalisir dengan pemanfaatan aromaterapi.
Tujuan. Paparan diatas menjadi dasar bagi penulis untuk melakukkan literature review terhadap
salah satu aplikasi komplementari terapi yakni aromaterapi untuk penanganan autisme.
Metoda. Metode yang dipilih ialah literature review, dengan 5 jurnal yang di peroleh, dengan
penelusuran artikel publikasi PROQUEST menggunakan tahun 2005-2015 serta penelusuran
manual menggunakan Google Search dengan kata kunci aromatherapy, autism, complementhary
therapy. Pencarian hanya dibatasi pada jurnal yang dapat diakses fulltext dalam format pdf dan
berbahasa Inggris.
Hasil. Kelima artikel menggunakan desain penelitian qualitatif dengan responden sasaran primer
dan sekunder anak dengan autisme, terapi dilakukan dengan membaui aromaterapi dan juga
penggabungan dengan pijatan menggunakan minyak aromatherapi. Empat artikel memiliki kulaitas
yang tinggi dan 1 artikel memiliki kualitas sedang.
Kesimpulan. Hasil pembahasan bahwa dari 5 gangguan yang biasa terjadi pada anak autisme,
hanya 4 gangguan autisme yang bisa ditangani dengan aromaterapi. Dan 1 jurnal menjelaskan
bahwa tidak ada perubahan dalam pemanfaatan aromaterapi pada anak dengan autisme.
Kata Kunci : Aromaterap, Autism, Complementhary Therapy
Pendahuluan
Anak adalah titipan Illahi dengan berbagai karakteristiknya, dan anak tentunya akan
menjadi tumpuan masa depan orang tua, dengan harapan anak yang terlahir tidak memiliki
kekurangan, baik secara fisik maupun psikis. Namun kita sebagai manusia tetap memiliki
keterbatasan dalam perwujudan seorang anak, karena akan banyak faktor yang
melatarbelakangi hal tersebut, misalnya saja dalam kesehatan anak, proses dari periode
perinatal dan natal akan sangat berpengaruh pada kehidupannya kelak, konsumsi makanan,
pskikis dan fisik ibu, kesehatan ibu dan pengetahuan ibu juga akan memiliki pengaruh
dalam perwujudan buah hatinya kelak.
Bila kita dihadapkan dengan pilihan mengenai anak, pasti kita akan berangan memiliki
anak yang tidak memiliki kekurangan dalam hal apapun, tetapi pernahkah kita
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
55
membayangkan apabila kita dikaruniai anak dengan kemampuan minimal (difabel) atau
kemampuan yang tidak selayaknya diperoleh anak disesuaikan dengan usia.
World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10)
mendefinisikan autisme khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan
atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe
karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku
yang diulang-ulang (World Health Organization’s International Classification of Diseases
(ICD-10) (American Psychiatric Association, h. 75, 2000). Setiap tahun di seluruh dunia,
kasus autisme mengalami peningkatan. Awal tahun1990-an, kasus autisme masih berkisar
pada perbandingan 1 : 2.000 kelahiran.(Synopsis of Psychiatry). Di Amerika Serikat pada
th 2000 angka ini meningkat menjadi 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita
autisme (Sutism Research Institute). Di Inggris, datanya lebih mengkhawatirkan. Data
terakhir dari CDC (Center for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat pada
tahun 2002 juga menunjukkan prevalensi autisme yang semakin membesar, sedikitnya 60
penderita dalam 10.000 kelahiran. Berdasarkan data International Congress on Autismem
tahun 2006 tercatat 1 dari 150 anak punya kecenderungan autisme. Pada tahun yang sama
data dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Centers for Disease Control and
Prevention) Amerika Serikat menyebut, prevalensi penyandang autisme di beberapa
negara bagian adalah 1 dari 88 anak usia 8 tahun. Sedangkan data tahun 2014 tentang
angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68 kelahiran hidup anak.( Autism and
Developmental Disabilities Monitoring Network, 2014)
Betty Neuman (dalam, Marriner-Tomey, 1994) mengubah istilah holistik menjadi holistik
yang makna dan pengertiannya sama, yaitu memandang manusia (klien) sebagai suatu
keseluruhan yang bagian-bagiannya saling mempengaruhi dan berinteraksi secara dinamis.
Bagian-bagian tersebut meliputi fisiologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual.
Perubahan istilah tersebut untuk meningkatkan pemahaman terhadap manusia secara
keseluruhan.( Marriner-Tommey, A., 1994) Kozier (1995), mengemukakan bahwa dalam
holistik, memandang semua kehidupan organisme sebagai interaksi. Gangguan pada satu
bagian akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Dengan kata lain adanya gangguan
pada salah satu bagian akan menimbulkan dampak pada keseluruhan.( Kozier, E.B, Erb, G.
L, et. All, 1995) Keperawatan dengan caring bio, psiko, sosio, kultural dan psikososial
tentunya tidak terlepas dari konsep holistik, dengan tidak mengesampingkan keseluruhan
sistem caring, maka perkembangan terbaru di sistem kesehatan dalam ranah keperawatan
adalah pemanfaatan terapi komplementer. Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir
ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi
bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder,
M. & Lindquist, R., 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna
terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional (Smith, S.F.,
Duell, D.J., Martin, B.C., 2004). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah
pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi 42% di
tahun 1997 (Snyder, M. & Lindquist, R., 2002).
Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam
pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern (Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson,
P.H., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
56
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan. Terapi komplementer
juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk
terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan
individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith,
S.F., Duell, D.J., Martin, B.C., 2004).
Berdasar pembagian NCCAM (National Center for Complementary and Alternative
Medicine) terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi
biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi yang nantinya
akan peneliti manfaatkan untuk alternatif terapi autisme masuk pada ranah terapi biologi,
dengan cara kerja adalah memanfaatkan zat yang ditemukan di alam.( Mariah Snyder,
PhD, RN, & Ruth Lindquist, PhD, RN, ACNS-BC, FAAN, FAHA., 2010) Salah satu
keuntungan menggunakan terapi ini adalah terdapat pengalaman sensorik dalam mencerna
bau dan menggunakan sentuhan dalam penyampaian perawatan.( Libster, M., 2002)
Aromaterapi bekerja melalui proses penghirupan aroma, selanjutnya berjalan ke olfaktori
dan diteruskan ke sisitem limbik, dimana di dalam sisitem limbik dia bereaksi dengan
korteks serebral yang punya peranan terhubung langsung ke bagian-bagian otak yang
mengendalikan detak jantung, tekanan darah, pernapasan, tingkat stres, dan tingkat
hormon.( Kiecolt-Glaser, J., Graham, J., Malarkey, W., Porter, K., Lemeshow, S., &
Glaser, R., 2007) Sedangkan penyerapan melalui kulit adalah dengan difusi, epidermis
dan lapisan lemak bertindak sebagai reservoir sebelum komponen minyak esensial
mencapai dermis dan aliran darah. Secara topikal minyak esensial diserap dengan cepat
melalui kulit; dalam beberapa aplikasinya telah digunakan untuk meningkatkan penetrasi
dermal untuk obat-obatan.(Williams, A., & Barry, B., 1989). Paparan diatas menjadi dasar
bagi penulis untuk melakukan literature review apakah ada pengaruh aromaterapi dalam
penanganan anak dengan autisme?
Tujuan
Archana Kumari, Sumeet Mansingh, and Prithvi Perepa, 2006., melakukan penelitian
dengan judul “Effects of aromatherapy on the development of communication skills in
children with autism” tujuannya yaitu mengetahui apakah aromaterapi bsa untuk
mengatasi masalah komunikasi pada anak autis. Intervensi dilakukan
dengan
menggunakan diffuser aromaterapi lavender selama 15-20 menit 3x dalam satu minggu
dan dilakukan dalam 4 bulan. Hasil yang peneliti dapatkan, sampel mempertahankan
perhatian lebih dari waktu biasanya, tenang, interaksi dengan peneliti dengan kemauan
mengulang tindakan peneliti, mengikuti petunjuk dan keinginan mengulang sesi
aromaterapi. Selanjutnya penelitian Emily J. Laconic. 2014, “ Health Professionals’ Use of
Aromatherapy with Children and Adolescents with Mental Illness”. Penelitian ini
menggunakan sampel praktisi kesehatan yang menangani kesehatan mental pada anak dan
remaja, diharapkan terjadi perubahan sikap pada anak autis, lebih tenang dan rileks dalam
sesi pengajaran. Tim I. Williams. 2006, juga melakukan penelitian dengan judul
“Evaluating Effects of Aromatherapy Massage on Sleep in Children with Autism: A Pilot
Study”. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek aromaterapi dalam onset tidur stabil anak
autis. Heather Godfrey BSc (Joint Hons), PGCE, MIFA. 2009, juga melakukan kajian
serupa dengan judul “The Role of Essential Oils In The Treatment and Management of
Aattention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD)”, tujuannya adalah mengurangi
hiperaktifitas dan meningkatkan perhatian untuk anak dengan kebutuhan khusus ADHD.
Terakhir adalah Cynthia C. Woo and Michael Leon. 2013, “Environmental Enrichment as
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
57
an Effective Treatment for Autism: A Randomized Controlled Trial ”, dengan harapan
sensorimotor anak autis akan meningkat setelah diberikan perlakuan aromatherapi.
Metoda
Metode yang digunakan dalam penulisan dan pembahasan literature review ini adalah
metode Evidence-Based Practice (EBP). EBN merupakan pendekatan yang dapat
digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan pada evidence atau fakta
hasil penelitian. EBN ini dilakukan dengan melakukan penelusuran jurnal, publikasi
lembaga ahli, maupun hasil penelitian tesis ataupun disertasi yang berkaitan dengan topik
pemanfaatan aromaterapi untuk anak autis. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
Critical Apprasial Tools yang menyesuaikan apakah penelitian kualitatif atau kuantitatif
dan ditemukan level evidence jurnla tersebut. Sintesis dilakukan pada artikel yang sejenis
yang sudah dikelompokkan untuk dibahas dan memperoleh kesimpulan.
Hasil
Pemanfaatan aromaterapi untu anak autis dengan masalah utama komunikasi didapatkan
hasil gangguan Asperger, terdapat perbaikan dalam mempertahankan perhatian, tetapi
tidak konsisten. Gangguan Perkembangan Menurun, perhatian pada objek meningkat
menjadi 30 detik. Sindrom Rett, terjadi peningkatan pehatian dan konsentrasi dan juga
terdapat peningkatan dalam penggunaan kontak mata, dan hasil selanjutnya gangguan
Disintegrasi Anak menjadikan anak tersebut menemiliki waktu yang lebih untuk fokus
pada satu kegiatan.
Berikutnya adalah masalah anak autis dengan gangguan mental, hasilnya yakni
menjadikan klien lebih rileks dan tenang. Anak autis dengan gangguan tidur diperoleh
hasil bahwa aromaterapi tidak memberikan efek pada pola tidur. Anak autis dengan
karakteristik ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) terbukti dapat mengurangi
hiperaktifitas dan meningkatkan perhatian setelah penggunaan aromaterapi. Juga untuk
anak autis berusia 3-12 tahun didapatkan jikalau aromaterapi dapat meningkatkan
senorimotor anak.
Pembahasan
Pemanfaatan aromaterapi dalam mengatasi 5 masalah utama pada anak autis yakni,
Gangguan Autistik, Gangguan Asperger, Gangguan Perkembangan Menurun, Sindrom
Rett, dan Gangguan Disintegrasi Anak terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan,
meskipun dalam satu gangguan tidak bisa teratasi, mengenai hal ini anggapan peneliti
adalah usia sampel yang diambil dalam penelitian, karena gangguan autistik timbul pada
anak autis usia dibawah 3 tahun dan seluruh sampel pada penelitian ini adalah anak dengan
usia 3 tahun atau lebih, selanjutnya adalah mengenai jenis essensial oil yang dimanfaatkan
dalam aromaterapi untuk anak autis, sebagai contoh pemanafaatan essensial oil lavender,
dengan harga yang relatif mahal perlu pengkajian ulang mengenai jenis essensial oil bumi
Indonesia untuk pengganti lavender
Kesimpulan
Daya aromaterapi dalam penanganan autis didasarkan pada mekanisme alamiahnya bahwa
terdapat pengalaman sensorik dalam mencerna bau dan menggunakan sentuhan dalam
penyampaian perawatan. Aromaterapi bekerja melalui proses penghirupan aroma,
selanjutnya berjalan ke olfaktori dan diteruskan ke sisitem limbik, dimana di dalam sisitem
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
58
limbik dia bereaksi dengan korteks serebral yang punya peranan terhubung langsung ke
bagian-bagian otak yang mengendalikan detak jantung, tekanan darah, pernapasan, tingkat
stres, dan tingkat hormon. Sedangkan penyerapan melalui kulit adalah dengan difusi,
epidermis dan lapisan lemak bertindak sebagai reservoir sebelum komponen minyak
esensial mencapai dermis dan aliran darah. Mengenai mekanisme penggunaanya dapat
disesuaikan dengan kondisi klien, apakah cukup dengan membaui aromanya atau jiga
perlakuan pijatan dengan menggunakan essensial oil aromaterapi, perlu juga untuk
mengetahuikrakteristik klien, dan bisa dimulai dari usia berlanjut ke keluhan sehingga bisa
optimal dalam bekerja, selanjutnya adalah jenis essensial oil yang akan digunakan dengan
harapan harga terjangkau, efek maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association, h. 75, 2000. Diagnostic and Statictical Manual-IV
Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson, P.H. (1999). Nurse’s
handbook of alternative and complementary therapies. Pennsylvania: Springhouse.
Archana Kumari, Sumeet Mansingh, and Prithvi Perepa. Effects of aromatherapy on the
development of communication skills in children with autism. Paper presented at
„Unravelling autism: causes, diagnostics and intervention conference, New Delhi,
India (2006)
Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network. 2014. Community Report on
Autism. National Center on Birth Defects and Developmental Disabilities. Division
of Birth Defects and Developmental Disabilities.
Cynthia C. Woo and Michael Leon. Environmental Enrichment as an Effective Treatment
for Autism: A Randomized Controlled Trial. 2013 American Psychological
Association
Kiecolt-Glaser, J., Graham, J., Malarkey, W., Porter, K., Lemeshow, S., & Glaser, R.
(2007). Olfactory influences on mood and autonomic, endocrine, and immune
function. Psychoneuroendocrinology, 11(15), 765–772).
Kozier, E.B, Erb, G. L, et. All. Fundamental of Nursing: Concept, Process and Practice. 5
th ed. California: Addison-Wesley Publ. 1995.
Laconic, Emily J., "Health Professionals’ Use of Aromatherapy with Children and
Adolescents with Mental Illness" (2014).Master of Social Work Clinical Research
Papers. Paper 349. http://sophia.stkate.edu/msw_papers/349
Libster, M. (2002). Delmar’s integrative herb guide for nurses. Victoria, Australia: Delmar
Thompson Learning.
Mariah Snyder, PhD, RN, & Ruth Lindquist, PhD, RN, ACNS-BC, FAAN, FAHA. 2010.
Complementary & Alternative Therapies in Nursing. Sixth Edition Springer.
Publishing Company, LLC. New York.
Marriner-Tommey, A. Nursing Theorist and Their Work, 3rd ed. St. Louis: Mosby
Company. 1994.
Publications (8) The Role of Essential oils in the Management of ADHD: Heather
Godfrey©/2001 – revised 2009 / One Clinic©
Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C. (2004). Clinical nursing skills: Basic to advanced
skills. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Snyder, M. & Lindquist, R. (2002). Complementary/alternative therapies in nursing. 4th
ed. New York: Springer.
Tim I. Williams. Evaluating Effects of Aromatherapy Massage on Sleep in Children with
Autism: A Pilot Study. Advance Access Publication 19 April 2006
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
59
Williams, A., & Barry, B. (1989). Essential oils as novel skin penetration enhancers.
International Journal of Pharmaceutics, 57, R7–R9.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
60
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
KEGAGALAN DAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN PADA
PASIEN TUBERCULOSIS PARU
Erika Dewi Noorratri
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro, Semarang.
Email : [email protected]
Abstrak
Latar Belakang. TBC merupakan penyakit yang menular dan mematikan di dunia.Evaluasi
WHO selama 3 tahun dari 2008,2009,2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia
mencapai 189 per 100.000 penduduk. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB
terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria (WHO, 2009).
Banyak faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan tbc di Indonesia. Diantaranya
dilihat dari segi sosial ekonomi, gaya hidup, obat, jangkauan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan,dan lingkungan. Oleh karena itu , sistematik review ini akan mengulas tentang
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis
paru.
Tujuan. Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan
ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru.
Metode. Metode yang digunakan adalah metode sistematis review yang menggunakan beberapa jenis
artikel ilmiah seperti jurnal penelitian kuantitatif dan kualitatif , terkait dengan tujuan dan pertanyaan
penelitian. Kemudian artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil kemudian
dianalisa.
Hasil. Faktor yang paling dominan mempengaruhi ketidakpatuhan dengan obat antara pasien
TB paru adalah pendidikan, sedangkan faktor yang tidak mempengaruhi ketidakpatuhan
dengan obat adalah umur, jenis kelamin, kualitas layanan, dukungan dari obat mengambil
pengawas dan jarak dari rumah ke pusat kesehatan (Erni Erawatyningsih, dkk, 2009). Pasien
yang mempunyai keluhan efek samping OAT berisiko sebesar 4,07 kali untuk default
dibandingkan pasienyang tidak mempunyai keluhan OAT.Diketahui juga terdapat beberapa
faktor risiko lain yang berpengaruh sebagai konfounder terhadap hubungan antara efek
samping OAT dengan terjadinya default tersebut yaitu penyakit penyerta, jenis obat dan
carabayar.(Samsu Rian, 2010). Pasien 42% gagal yang diberikan regiman
pengobatan.(Nagaraja SB, Srinath Satyanarayana, et al,2011),hasil yang paling banyak yaitu
program yang didapatkan praktisi mandiri mendapatkan informasi tentang pengobatan yang
diobservasi secara langsung short-course (DOTS) strategy. (Putra I W. Ni Wayan Utami. et
al, 2013).dan pasien 93% diterima pada regimen standard kategori 2. (Dooley KE, Ouafae
Lahlou, at al, 2011)
Kesimpulan : Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien
tuberculosis paru diantaranya pendidikan, adanya penyakit penyerta, jenis obat dan cara
bayar.
Kata Kunci : kegagalan, OAT, TBC paru
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
61
Pendahuluan
TBC merupakan penyakit yang menular dan mematikan di dunia.Setiap tahun terdapat 9 juta
kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah
terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan
untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis.
Evaluasi WHO selama 3 tahun dari 2008,2009,2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC
Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Indonesia masih termasuk 10 besar negara
dengan beban permasalahan TB terbesar dari 22 negara di dunia. Indonesia merupakan
negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan
dan.Nigeria (WHO, 2009). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari
total jumlah pasien TB didunia. Setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246
orang.Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.Estimasi prevalensi
TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus baru per tahun.Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per
tahun.
Adapun kendala yang dihadapi yaitu Komitmen dan kontribusi pemerintah daerah terhadap
pengendalian TB, Masih ada populasi tidak terjangkau (wilayah Indonesia Timur, penjara,
pendatang di kota besar, dan populasi dengan risiko tinggi HIV), Peningkatan jumlah
jaringan laboratorium untuk biakan dan uji kepekaan di pulau lain selain Jawa dan EQA,
Pengenalan metode diagnostik baru (LPA, Xpert MTB/RIF) dan integrasi ke dalam sistem,
Pengembangan aktivitas kolaboratif mengenai TB/HIV untuk mencakup provinsi lain,
Mencegah habisnya obat lini pertama dan lini kedua.
Cakupan penemuan kasus TB baru BTA (+) atau Case Detection Rate (CDR) di Jawa Tengah
tahun 2006 s/d 2010 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 100%. Meskipun masih
dibawah target yang ditentukan, capaian CDR tahun 2010 sebesar 23.922 kasus (69,04%)
meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 (48,15%). CDR tertinggi di Kota Tegal sebesar
111,58% dan yang terendah di Kota Salatiga sebesar 30,60%. Terdapat tiga kabupaten/kota
yang sudah melampaui target 100% yaitu Kota Tegal (111,58%), Kota Pekalongan (105,96)
dan Kabupaten Pekalongan (100,89%).
Penyakit TBC masih banyak diderita oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor. Baik itu dari penderita maupun lingkungan di sekitarnya. Salahsatunya faktor dari
bagaimana pengobatan penderita TBC. Sesuai dengan aturan dan petunjuk yang diberikan
atau tidak, atau ada faktor yang lain yang mempengaruhi dan sampai sekarang ini diketahui
belum berhasil dalam pengobatannya. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Hal
inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis paru”.
Tujuan
a. Tujuan Umum
Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan
pengobatan pada pasien tuberculosis paru.
b. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi karakteristik responden tentang umur , pendidikan, pekerjaan,
pendapatan.
2) Mengidentifikasi kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan tbc paru.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
62
3) Menganalisa faktor-faktor yang paling dominan terhadap kegagalan dan
ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru.
Metoda
Dalam sistemik review ini , metode yang digunakan adalah campuran metode sistematis
review, semacam tinjauan literatur yang menggunakan beberapa jenis artikel ilmiah seperti
jurnal penelitian kuantitatif dan kualitatif , terkait dengan tujuan dan pertanyaan penelitian.
Kemudian artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil kemudian dianalisa.
Systematic review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi pada
EBSCO, Googlesearch, proquest.com serta Sciencedirect.com dengan kata kunci yang
dipilih. Artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil salah satunya dan
dianalisa.
Penelusuran literatur dibatasi pada terbitan 2005-2015 yang dapat diakses fulltext dalam
format pdf.Artikel yang dipilih adalah hasil penelitian yang berupa faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pasien tuberculosis
paru.Adapun topik yang dipilih adalah Artikel yang sesuai kriteria lalu dianalisis
menggunakan critical appraisal tool yang sesuai untuk hasil penelitian kuantitatif untuk
menilai kualitas penelitian.Data-data dari hasil temuan yang sudah dianalisis kemudian
diekstraksi dan dikelompokkan yang sejenis kemudian data-data yang sudah diekstraksi tadi
dilakukan triangulasi, dibahas dan disimpulkan untuk menjawab tujuan. Ada 6 artikel yang
dilakukan sistematik review. Yaitu :
1. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas Antang
Kecamatan Manggala kota Makassar. Pada tahun 2012
2. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian Default di Rumah
Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur Januari 2008- Mei 2010. Pada tahun 2010
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat pada Penderita Tuberculosis.
Pada tahun 2009
4. Factors associated to referral of tuberculosis suspects by private practitionersto community
health centres in Bali Province, Indonesia. Pada tahun 2013
5. How Do Patients Who Fail First-Line TB Treatment but Who Are Not Placed on an MDRTB Regimen Fare inSouth India? Pada tahun 2011
6. Risk factors for tuberculosis treatment failure,default, or relapse and outcomes of
retreatment in Morocco. Pada tahun 2011
Hasil
1. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas
Antang Kecamatan Manggala kota Makassar.
Pengetahuan seseorang tentang suatu penyakit dapat dihubungkan dengan kegagalan
dalam pengobatan.responden yang memiliki pengetahuan yang kurang lebih banyak
mengalamikegagalan pengobatan dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan
yang baik dan ternyata pasien yang banyak mengalami kegagalan dalam pengobatannya
adalah mereka yang pengatahuannya kurang.
Menurut Brunner, bahwa pengetahuan tentang kesehatan dapat membantu individuindividu tersebutuntuk beradaptasi dengan penyakitnya, mencegah komplikasi, dan belajar
untuk memecahkan masalah ketika menghadapi situasi baru. Semakin rendah pendidikan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
63
seseorang maka semakin rendah pula pengetahuannya tentang penyakit tuberkulosis, akan
tetapi gagal atau berhasilnya pengobatan seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor
dukungan keluarga. Pengobatan pasientuberkulosis yang disertai dengan dukungan penuh
dari keluarga maka besar kemungkinan pasien tersebut akan sembuh dari penyakitnya,
begitupula sebaliknya akan kecil kemungkinan untuk sembuh jika pengobatan dari pasien
tidak disertai dengan dukungan keluarga terutama dalam hal minum obat. Pengetahuan
penderita tuberkulosis tentang penyakitnya jugamerupakan faktor yang mempengaruhi
kejadian tuberkulosis sebab pengetahuan yang baik tentang penyakit yang diderita akan
membuat penderita tahu apa-apa yang harus dilakukan dan apa-apa yang tidak boleh
dilakukan sehingga dapat membantu petugas kesehatan dalam memberantas.
Penelitian oleh Sulianti (2001) menyatakan bahwa lamanya waktu pengobatan penyakit
tuberkulosis yang harus dilakukan selama 6 bulan, mungkin saja dijadikan beban oleh
penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Tetapi bagi
penderita yang memiliki pengetahuan yang cukup akan terhindar dan sembuh dari
penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur.
2. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian Default di
Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur Januari 2008- Mei 2010
Pengobatan yang tidak tuntas dapat mengakibatkan menurunnya sensitifitas kuman
terhadap jenis obat yang telah diberikan (resisten). Hal ini merupakan faktor penyulit bagi
proses penyembuhan pada tahap berikutnya selain tingginya biaya yang harus dikeluarkan
sehingga banyak penderita TB tidak dapat disembuhkan dan berakhir dengan kematian.
Berdasarkan kerangka teori yang ada, banyak sekali faktor risiko yang dapat menyebabkan
terjadinya default, namun pada penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada satu faktor
risiko saja yaitu efek samping OAT Setelah dilakukan pengontrolan terhadap variabelvariabel umur, penyakit penyerta, jenis obat, cara ambil obat, keberadaan PMO, jenis
PMO, pendidikan PMO, cara bayar dan penyuluhan kesehatan, pada model akhir dalam
analisis multivariat ditemukan tiga variabel konfounding yang mempengaruhi hubungan
antara efek samping OAT dengan terjadinya default, yaitu penyakit penyerta, jenis obat
dan cara bayar.
Hubungan antara efek samping OAT dengan default setelah mengontrol variabel lainnya
tersebut di atas terlihat sangat bermakna artinya pasien yang mempunyai keluhan efek
samping OAT berisiko 4,07 untuk mengalami default dibandingkan dengan pasien yang
tidak mempunyai keluhan efek samping OAT setelah dikontrol oleh faktor penyakit
penyerta, jenis obat dan cara bayar. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
sebelumnya, misalnya pada penelitian Tekle et al di Ethiophia tahun 2002 didapatkan OR
4,20 (95%CI: 1,51 – 11,66), dan penelitian di India tahun 2000 yang dilakukan oleh
Santha et al diketahui OR sebesar 4,3 (95%CI: 2,5 – 7,4), demikian halnya hasil penelitian
di China tahun 2005 yang dilakukan oleh Xiangin eta al yang membagi efek samping
OAT ke dalam tiga kategori yaitu ringan, sedang dan berat. Masing- masing OR untuk
efek samping OAT tersebut pada derajat kepercayaan 95% adalah 2,32 (1,15-4,66) dan
4,47 (2,46-8,12) dan beberapa penelitian lainnya yang menyimpulkan bahwa efek samping
OAT sebagai salah satu penyebab default dalam program pengobatan TB paru.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat pada Penderita
Tuberculosis.
a) Pengaruh jenis kelamin terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
64
Laki-laki lebih rentan terkena penyakit TB paru. Hal ini disebabkan karena beban kerja
mereka yang berat, istirahat yang kurang, serta gaya hidup yang tidak sehat di
antaranya adalah merokok dan minum alkohol. Beberapa penelitian
mengkonfirmasikan bahwa tingkat kepatuhan tidak mempunyai hubungan bermakna
dengan jenis kelamin, dan dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa mayoritas
penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki (54,2%), jadi dapat dikemukakan bahwa
hal ini disebabkan karena laki-laki kurang memperhatikan kesehatannya dan gaya
hidup yang tidak sehat.
Penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa jenis
kelamin laki-laki lebih patuh berobat dibandingkan dengan wanita.8 Menurut beberapa
teori mengatakan bahwa wanita lebih banyak melaporkan gejala penyakitnya dan
berkonsultasi dengan dokter karena wanita cenderung memiliki perilaku yang lebih
tekun daripada laki-laki.
b) Pengaruh umur terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru
Faktor umur bukan merupakan faktor penentu ketidakpatuhan penderita dalam
pengobatan karenamereka yang berusia muda maupun usia lanjut memiliki motivasi
untuk hidup sehat dan selalumemperhatikan kesehatannya. Di samping itu, pekerjaan
yang tidak terlalu sibuk membuatpenderita tetap dapat menjalankan pengobatan dan
sebagian
besar
penderita
bekerja
sebagai
petani.Beberapa
penelitian
mengkonfirmasikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umurdengan
kepatuhan berobat. Umur tua kepatuhan berobatnya semakin tinggi karena usia tua
tidakdisibukkan dengan pekerjaan sehingga dapat datang berobat secara teratur. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh beberapa peneliti yang
menyatakan bahwa umur tidakberpengaruh terhadap tindakan seseorang karena adanya
faktor perantara seperti sikap seseorang dan faktor lain yang mempengaruhi kehendak
seseorang.
c) Pengaruh pendidikan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru
Semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tidak patuh penderita untuk berobat
karena rendahnya pendidikan seseorang sangat mempengaruhi daya serap seseorang
dalam menerima informasi sehingga dapat mempengaruhi tingkat pemahaman tentang
penyakit TB paru, cara pengobatan, dan bahaya akibat minum obat tidak teratur. Hasil
penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh beberapa peneliti lain bahwa
semakin tinggi pendidikan seseorang maka makin besar kemampuan untuk menyerap,
menerima atau mengadopsi informasi. Penelitian tersebut tidak sesuai dengan
penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pendidikan
penderita TB paru dengan kepatuhan berobat yang disebabkan karena kurangnya
informasi yangditerima penderita, sehingga penderita tidak banyak mengetahui tentang
bahaya penyakit TB tersebut.
d) Pengaruh pengetahuan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru
Ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan terhadap ketidakpatuhan berobat.
Semakin rendah pengetahuan maka semakin tidak patuh penderita TB paru untuk
datang berobat, hubungan ini memiliki nilai koefisien korelasi positif. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian Fahruda yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan
penderita yang rendah akan berisiko lebih dari dua kali terjadi kegagalan pengobatan
dibandingkan dengan penderita yang memiliki pengetahuan tinggi. Ketidakpatuhan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
65
talaksana pengobatan ini meliputi keteraturan pengobatan, pemeriksaan dahak ulang
pada akhir pengobatanfase awal dan satu bulan sebelum akhir pengobatanfase
lanjutan.Begitu pula yang dijelaskan oleh penelitian lainnya, bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan penderita dengan kepatuhan pengobatan, menyatakan
bahwa rendahnya pengetahuan penderita menyebabkanketidakpatuhan penderita dalam
pengobatan karena penderita kurang mendapatkan penyuluhan dan informasi (KIE)
yang adekuat baik dari petugas kesehatan maupun media komunikasi lainnya.
e) Pengaruh pendapatan keluarga terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru
Ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan keluarga terhadap ketidakpatuhan
berobat pada penderita TB paru. Pendapatan keluarga yang sangat rendah dapat
menentukan ketidakpatuhan penderita berobat dengan nilai p= 0,001 (p < 0,05).
Penderita TB paru yang paling banyak terserang adalah masyarakat yang
berpenghasilan rendah, sehingga dalam pengobatan TB paru selain penghasilannya
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, mereka masih harus mengeluarkan
biaya transport untuk berobat di Puskesmas. Hal ini yang menyebabkan penderita tidak
patuh dalam pengobatan. Beberapa penelitian mengkonfirmasikan hasil yang sama
dengan penelitian ini yangmemperlihatkan ada hubungan yang bermakna antara
kepatuhan penderita dengan pendapatankeluarga.
f) Pengaruh lama sakit keluarga terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TBparu
Ada pengaruh yang signifikan antara lama sakit terhadap ketidakpatuhan berobat pada
penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif bermakna, artinya
semakin lama keluhan yang diderita penderita maka akan semakin tidak patuh untuk
datang berobat. Hal ini disebabkan karenakondisi kesehatan penderita yang lemah, gizi
yang kurang dan keparahan penyakit yang diderita. Beberapa penelitian
mengkonfirmasikan hasil yang sama dengan penelitian ini yang memperlihatkan ada
hubungan yang bermakna antara kepatuhan penderita dengan kondisi penyakit bahwa
penderitamemutuskan menghentikan pengobatan secara sepihak meskipun belum
terjadi konversi dahak.
g) Pengaruh efek samping obat terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB
Ada pengaruh yang signifikan antara efek samping obat terhadap ketidakpatuhan
berobat pada penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif
bermakna artinya semakin penderita memiliki banyak keluhan semakin tidak patuh
penderita untuk berobat.Pada umumnya gejala efek samping obat yang ditemukan pada
penderita adalah sakit kepala, mual-mual, muntah, serta sakit sendi tulang.Gejala efek
samping obat dapat terjadi pada fase intensif atau awal pengobatan bahwa obat yang
harus diminum penderita jumlah banyak sehingga membuat penderita malas untuk
minum obat.
h) Pengaruh kualitas pelayanan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru
Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kualitas pelayanan petugas pengobatan
terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru, dengan demikian bahwa ada
faktor lain yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru di
antaranya pengetahuan, pendidikan, lama sakit, pendapatan keluarga, dan efek samping
obat. Kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas terhadap penderita
tidak mempengaruhi ketidakpatuhan berobat padapenderita TB paru.Hal ini disebabkan
karena petugas kesehatan memberikan perhatian khususserta memberikan informasi
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
66
yang jelas sehingga dapat menyebabkan baiknya hubungan dengan setiap penderita TB
paru yang datang ke Puskesmas. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh beberapa penelitian lain yang mengatakan bahwa sikap petugas tidak
mempengaruhi kepatuhan penderita untuk berobat karena bahwa sikap dan perilaku
petugas kesehatan sudah cukup baik dalam memberikan pelayanan pengobatan pada
penderita, karena petugas telah mengikuti pelatihan teknis program dan
penanggulangan penyakit TB paru.
i) Pengaruh peran PMO terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru
Tidak ada pengaruh yang signifikan peran PMO terhadap ketidakpatuhan berobat pada
penderita TB paru. Dalam penelitian ini bahwa faktor peran PMO dalam pengobatan
penderita tidak ada pengaruh yang signifikan, karena setiap penderita TB paru telah
memiliki PMO dan peran PMO sudah maksimal dalam pengawasan pengobatan.Dalam
pengawasan pengobatan, petugaskesehatan harus mengikutsertakan keluarga sebagai
pengawas pengobatan agar penderita dapat berobat secara kontinyu.Dukungan
masyarakat dan keluarga sebagai pengawas dan pemberi semangat kepada penderita
mempunyai peran yang sangat besar dalam peningkatan pengobatan penderita.Beberapa
penelitian mengatakan sumbangan terbesar dari seluruh variabel terhadap kepatuhanada
pada dukungan keluarga. Beberapa penelitian juga mengkonfirmasikan bahwa
penderita yang menjalani pengobatan secara tidak teratur 50% di antaranya tidak
mempunyai PMO dan penderita TB paru yg berobat tidak teratur memiliki risiko tidak
sembuh 6,91 kali. Hal ini menunjukkan bahwa peran PMO masih sangat rendah dalam
pengawasan menelan obat dan kontrol secara teratur.
j) Pengaruh jarak rumah terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru
Tidak ada pengaruh yang signifikan antara jarak rumah terhadap ketidakpatuhan
berobat pada penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak rumah
untuk menjangkau fasilitas kesehatan atau puskesmas bukan merupakan faktor penentu
ketidakpatuhan penderita dalam pengobatan.
4. Factors associated to referral of tuberculosis suspects by private practitionersto
community health centres in Bali Province, Indonesia .
Dari studi ini menunjukkan bahwa dari beberapa faktor yang diteliti didapatkan hasil yang
paling banyak yaitu program yang didapatkan praktisi mandiri mendapatkan informasi
tentang pengobatan yang diobservasi secara langsung short-course (DOTS) strategy. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian informasi tentang strategi DOTS danrujukan
dari penderita TB yang penting yaitu untuk meningkatkan rujukan dari penderita TB oleh
praktisi swasta ke pusat-pusat kesehatan masyarakat.penderita TB yangtelah dikunjungi
oleh petugas TB, telah menerima informasi tentang strategi DOTS, dan memiliki bentuk
rujukan yang tersedia dari para praktisi yang tidak disebutkan oleh seorang penderita TB.
Seorang petugas TB, ketika mengunjungi seorang praktisi swasta, diharapkan untuk
mengingatkan praktisi tentang peran mereka dalam menemukan penderita TB dan tentang
pentingnya mengirimkan penderita TB ke fasilitas kesehatan publik untuk evaluasi
mikroskopis.Sebuah studi di Myanmar menyimpulkan bahwa faktor keberhasilan praktisi
swasta ' kontribusi untuk pengendalian TB yang pelatihan dan pengawasannya oleh sektor
publik dan penyediaan obat-obatan dan bahan habis pakai secara gratis oleh NTP. (
Probandari, 2011). Sebuah studi tentang proses kolaborasi antara NTP dan rumah sakit di
Yogyakarta, Indonesia, mengungkapkan kemitraan yang dapatdibentuk jika dimulai
dengan proses yang intensif interaksi termasuk perantara aktor (yaitu, orang mendekati
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
67
rumah sakit swasta dan advokasi program kemitraan) untuk mendekati NTP dan rumah
sakit ( Chakaya, 2008). Penelitian lain dari berbagai negara dan pada benua yang berbeda
menunjukkan bahwa keberhasilan proyek campuran publik-swasta sangat tergantung pada
tingkat interaksi antara penyedia layanan kesehatan swasta dan publik ( Malborg, 2011;
Maung, 2006).
5. How Do Patients Who Fail First-Line TB Treatment but Who Are Not Placed on an
MDR-TB Regimen Fare inSouth India?
Studi ini menunjukkan bahwa hasil pengobatan keseluruhan pasien yang gagal pengobatan
anti-TB pada lini pertama dan yang tidak ditempatkan pada rejimen MDR-TB yang sangat
buruk.Hasil terburuk terlihat di antara kategori I dan II kegagalan ditempatkan pada
penafsiran suatu rejimen. Temuan memiliki program beserta implikasi. Pertama, hanya
satu dari tiga pasien memiliki keberhasilan pengobatan pada saat RNTCP rejimen
pengobatan ulang.Dengan demikian, terlepas dari obat pola sensitivitas, pasien yang gagal
pada pengobatan lini pertama di India memiliki hasil pengobatan yang buruk jika terus
pada 'pengobatan ulang rejimen '.Penelitian serupa telah didokumentasikan dari bagian
lain dunia Kedua, dalam kondisi ideal, kegagalan dalam dikelola NTP harus jarang dengan
tidak adanya MDR-TB. Terjadinya kegagalan umumnya terkait program faktor-faktor
seperti kemiskinan, kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk.
6. Risk factors for tuberculosis treatment failure,default, or relapse and outcomes of
retreatment in Morocco.
Dalam penelitian ini dari 291 pasien yang menjalani pengobatan ulang TB, hasil berbeda
jauh dengan kelompok - 74% pasien dengan kekambuhan, 48% pasien dengan gagal, dan
41% pasien dengan standar yang memiliki keberhasilan pengobatan, mirip dengan
penelitian sebelumnya. Studi terbaru menunjukkan bahwa, di daerah perkotaan, kepatuhan
terkait pengetahuan pasien tentang TB dan penyediaan pendidikan tentang penyakit yang
khusus oleh penyedia perawatan kesehatan ke pasien(Mulenga C, 2010) Dalam klinik
perkotaan yang padat, waktu untuk pendidikan bisa terbatas. Bawaan dari penafsiran itu
yang paling sering di antara mereka yang telah gagal dari pengobatan awal, sedangkan
kegagalan adalah yang paling umum di antara orang-orang dengan kegagalan sebelumnya.
Meskipun pedoman penafsiran seringkali sama untuk pasien yang gagal, bawaan dari, atau
kambuh setelah pengobatan awal. Hasil ini menunjukkan bahwa kelompok dapat
mengambil manfaat dari strategi manajemen yang berbeda( Zignol, 2007) . Misalnya,
kegagalan pengobatan umumnya karenaresistensi obat, sementara kekambuhan mungkin
karena kurang kepatuhan, beban mikobakteri tinggi (seperti di cavitary penyakit), atau
reinfeksi eksogen.
Pembahasan
Dari beberapa penelitian diatas, kita tahu bahwa faktor faktor yang mempengaruhi kegagalan
pengobatan pasien tuberculosis ada beberapa faktor, diantaranya pengetahuan pasien,
semakin tinggi pengetahuan akan pentingnya minum obat, maka semakin berhasilnya
pengobatan tbc pada pasien tersebut. karena dia akan berobat secara teratur dan tuntas. Peran
keluarga juga berpengaruh terhadap kepatuhana minum obat pasien tbc, semakin peduli dan
memberikan dukungan yang penuh keluarga akan kesembuhan pasien , maka semakin
sedikit prosentasi kegagalan pengobatannya. Pasien akan mengalami resistensi obat karena
adanya sensitifitas kuman terhadap jenis obat tbc, apabila pasien melakukan pengobatan yang
tidak penuh. Pasien malas untuk berobat selama 6 bulan pengobatan karena faktor biaya dan
kejenuhan yang ada.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
68
Selain faktor diatas, ada beberapa faktor yang tidak akan ketinggalan, diantaranya jenis
kelamin. Ternyata jenis kelamin juga mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat seseorang.
Dari penelitian diatas disebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki kurang memperhatikan
kesehatannya dan gaya hidup yang tidak sehat.seperti merokok dan minum alkohol. Yang
kedua yaitu faktor umur. Faktor umur bukan merupakan faktor penentu ketidakpatuhan
penderita dalam pengobatan karenamereka yang berusia muda maupun usia lanjut memiliki
motivasi untuk hidup sehat dan selalumemperhatikan kesehatannya. Ketiga faktor pendapatan
keluarga, disebutkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah, cenderung untuk tidak patuh
menjalani pengobatan, dikarenakan pendapatannya selain untuk kehidupan sehari-hari yang
mungkin kurang, apalagi untuk berobat ke puskesmas misalnya. Itu perlu transportasi yang
membutuhkan biaya. Selanjutnya faktor efek samping obat. Pasien yang menjalani
pengobatan mengeluh adanya efek samping obat seperti mual, muntah, sakit sendi,dll
Sehingga pasien malas untuk melanjutkan pengobatan, karena takut akan efek samping obat
tersebut.
Praktisi mandiri di pusat kesehatan masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam hal
pengobatan pasien tbc. Di indonesia ada petugas khusus yang menangani masalah tbc. Di
setiap puskesmas ada. Hal ini merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk
mengurangi angka kejadian penyakit tbc yang ada di masyarakat. Peran petugas kesehatan
selain memberikan penyuluhan juga berperan sebagai PMO selain anggota keluarga pasien.
Mengawasi minum obat pasien, meskipun tidak selalu disamping pasien.
Di India, pasien dengan tbc ada yang berhasil dalam penyembuhan ada juga yang mengalami
kegagalan. Terjadinya kegagalan umumnya terkait program faktor-faktor seperti kemiskinan,
kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk.Faktor kemiskinan ini dimanamana ada, karena tidak ada biaya akan mempengaruhi dalam berbaga hal, seperti transportasi
dan kepatuhan minum obat, kualitas obat yang buruk juga mempengaruhi kegagalan
pengobatan tbc. Hal ini bisa membuat resisitensi obat.
Kesimpulan
Terjadinya kegagalan pengobatan tbc umumnya terkait dengan program faktor-faktor seperti
kemiskinan, kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk. Responden yang
memiliki pengetahuan yang kurang lebih banyak mengalami kegagalan pengobatan
dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan yang baik, pengobatan yang tidak tuntas
dapat mengakibatkan menurunnya sensitifitas kuman terhadap jenis obat yang telah diberikan
(resisten), Berdasarkan kerangka teori yang ada, banyak sekali faktor risiko yang dapat
menyebabkan terjadinya default,yaitu efek samping OAT, umur, penyakit penyerta, jenis
obat, cara ambil obat, keberadaan PMO, jenis PMO, pendidikan PMO, cara bayar dan
penyuluhan kesehatan, Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada
penderita tuberculosis diantaranya pengaruh jenis kelamin, umur, pendidikan, pengetahuan,
pendapatan keluarga, lama sakit, efek samping obat, kualitas pelayanan, peran PMO dan
pengaruh jarak rumah terhadap ketidakpatuhan berobat.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
69
Daftar Pustaka
WHO.
Indonesia
Tuberculosis
Profile.
2011.
Available
on:
https://extranet.who.int/sree/Reports?op=Replet&name=/WHO_HQ_Reports/G2/PROD/
EXT/TBCountryProfile&ISO2=ID&outtype=pdf
Dinas Kesehatan Jawa Tengah.2010. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.Available on
:http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2010/Profil2010.htm
Erawatyningsih,Erna dkk. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat
pada pasien tuberculosis. Berita kedokteran masyarakat vol.25 No 3 September
2009. Nusa Tenggara Barat
Rian, Samsu. 2010. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian
Default di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur Januari 2008- Mei 2010,
Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta.
Probandari A, Utarini A, Lindholm L, Hurtig A: Life of a partnership: the process
ofcollaboration between the National Tuberculosis Program and the hospitals
inYogyakarta, Indonesia.Soc Sci Med 2011, 73(9):1386–1394.
Chakaya J, Uplekar M, Mansoer J, et al: Public-private mix for control of tuberculosisand
TB-HIV in Nairobi, Kenya: outcomes, opportunities and obstacles. Int J TubercLung
Dis 2008, 12(11):1274–1278.
Malmborg R, Mann G, Squire SB: Systematic assessment of the concept and practiceof
public-private mix for tuberculosis care and control. Int J Equity Health 2011, 10:49.
Maung M, Kluge H, Aye T, et al: Private GPs contribute to TB control in
Myanmar:evaluation of a PPM initiative in Mandalay Division. Int J Tuberc Lung
Dis 2006,10(9):982–987.
Xiangin Ai, et al. Factors associated with low cure rate of tuberculosis in remotepoor areas of
shaanxi Province, China: a case control study. Biomedcentral,2010. Artikel asli
dapat diakses pada http://www.biomedcentral.com/1471-2458/10/112
Rusadi, Matrisno dkk. 2012. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan
Tuberculosis di Puskesmas Antang Kecamatan Manggala kota Makassar.Volume 1
Nomor 1 tahun 2012. ISSN : 2302-2531. Makassar
Nagaraja SB, Srinath Satyanarayana, et al. (2011). How Do Patients Who Fail First-Line TB
Treatment but Who Are NotPlaced on an MDR-TB Regimen Fare in South India?
.PLoS ONE 6(10): e25698. doi:10.1371/journal.pone.0025698. Madhukar Pai,
McGill University, Canada
Putra I W. Ni Wayan Utami. et al. (2013). Factors associated to referral of tuberculosis
suspects by private practitionersto community health centres in Bali Province,
Indonesia. BMC Health Services Research. BioMed sentral.The open access
publiser. doi:10.1186/1472-6963-13-445
Dooley KE, Ouafae Lahlou, at al. (2011). Risk factors for tuberculosis treatment
failure,default, or relapse and outcomes of retreatmentin Morocco.Dooley et al.
BMC Public Health 2011, 11:140.http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/140
. BMC Public Health
Mulenga C, Mwakazanga D, Vereecken K, Khondowe S, Kapata NShamputa IC, Meulemans
H, Rigouts L: Management of pulmonarytuberculosis patients in an urban setting in
Zambia: a patient’sperspective. BMC Public Health 2010, 10:756
World Health Organization: Treatment of tuberculosis. Guidelines for nationalprogrammes.
WHO/CDS/TB/2003.313. Geneva, Switzerland , 3 2003.Ottmani SE, Zignol M,
Bencheikh N, Laasri L, Chaouki N, Mahjour J: Resultof cohort analysis by category
of tuberculosis retreatment cases inMorocco from 1996 to 2003. Int J Tuberc Lung
Dis 2006, 10(12):1367-1372.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
70
Mak A, Thomas A, Del Granado M, Zaleskis R, Mouzafarova N, Menzies D:Influence of
multidrug resistance on tuberculosis treatment outcomeswith standardized regimens.
Am J Respir Crit Care Med 2008,178(3):306-312.
Zignol M, Wright A, Jaramillo E, Nunn P, Raviglione MC: Patients withpreviously treated
tuberculosis no longer neglected. Clin Infect Dis 2007,44(1):61-64
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
71
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKSUAL
PADA REMAJA
Nurul Devi Ardian
Mahasiswa Magister Keperawatan Komunitas
Universitas Diponegoro Semarang. Email: [email protected]
Abstrak
Latar Belakang. Remaja merupakan tahapan dimana seseorang berada diantara fase anak dan dewasa
yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan emosi. Remaja merupakan
kelompok beresiko terhadap berbagai masalah kesehatan di masyarakat, salah satunya terkait dengan
perilaku seksual. Proporsi penduduk berusia remaja menunjukkan angka yang cukup besar. lebih dari
seperempat penduduk dunia adalah remaja berusia antara 10-24 tahun. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 500 responden mahasiswa di Semarang, 31 orang (6,2%) menyatakan pernah melakukan
intercourse, 111 orang (22%) pernah melakukan petting. Penelitian lain menyebutkan bahwa kebiasaan
pacaran mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di semarang yaitu kissing 43%, necking 17%,
petting 15%, dan sebanyak 5% mengaku pernah melakukan intercourse (hubungan seksual) pranikah.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual remaja
Metode. Penulis melakukan pencarian literature/ jurnal di google scholar terkait dengan tema perilaku
seksual remaja dengan format pdf. Kata kunci yang digunakan adalah perilaku seksual remaja, perilaku
seksual pranikah pada remaja, faktor perilaku seksual remaja dari tahun 2010-2014. Setelah mendapatkan
jurnal yang sesuai dengan tema diatas kemudian dilakukan identifikasi sesuai dengan topik kemudian
dilakukan review dan dilaporkan hasilnya pada makalah yang akan disusun.
Hasil. Dari hasil studi literature didapatkan hasil bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi terjadinya perilaku seksual pada remaja. Faktor internal antara lain: aspek perkembangan
alat seksual (biologis), religiusitas yang rendah, rasa percaya diri dan penghargaan diri yang rendah,
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang kurang, serta aspek motivasi, sedangkan dari faktor
eksternal antara lain: aspek keharmonisan keluarga, tempat tinggal beresiko, aspek pergaulan, gaya hidup,
dukungan sosial terhadap hubungan seksual pranikah yang beresiko KTD, dan aspek media massa.
Kesimpulan. Remaja yang memiliki sikap lebih permisif terhadap masalah seksualitas akan cenderung
melakukan hubungan seksual pranikah, hal ini dicegah dengan meningkatkan self efficacy pada diri
remaja tersebut. Perlu adanya upaya khusus agar pengetahuan remaja meningkat tentang perilaku seksual
yang sehat dan bertanggung jawab, mengurangi "tabu" terhadap seksualitas, meningkatkan efikasi diri
terhadap perilaku seksual pranikah yang pada akhirnya dapat mengambil keputusan yang tepat dan
bertanggung jawab pada kehidupan seksualnya. Remaja hendaknya dapat menekan perilaku seksual
pranikah dan menjauhi media pornografi sehingga bisa mengendalikan dorongan negative dan mengubah
kearah positif.
Kata Kunci: Perilaku Seksual, Remaja, faktor internal, faktor eksternal
Pendahuluan
Remaja indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya
hidup mereka. Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya serta
nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
72
industrialisasi yang cepat. Hal ini diikuti pula oleh adanya revolusi media yang terbuka bagi
keragaman gaya hidup dan pilihan karir.
Perilaku seksual pada remaja semakin meningkat frekuensinya seiring dengan banyaknya faktor
yang mempengaruhi sehingga diperlukan perhatian khusus dari semua pihak baik dari orang tua,
lingkungan, sekolah serta teman dekat. Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan
yang penting bagi tahap kehidupan selanjutnya. Pada umumnya remaja memiliki rasa
keingintahuan yang tinggi untuk mencoba sesuatu yang baru dan belum pernah dialaminya.
Kurangnya informasi yang akurat tentang kesehatan reproduksi menjadikan remaja untuk
mencaritahu mencari akses sendiri baik dari media cetak, media internet, pengalaman teman
sebaya, dan yang lainnya. Remaja merupakan kelompok beresiko secara seksual maupun
kesehatan reproduksi karena rasa keingintahuaanya yang tinggi untuk mencoba sesuatu yang
baru.
Perkembangan jaman saat ini sangat mempengaruhi perilaku seksual remaja dalam memandang
seksualitas, mulai dari berpacaran yang dahulu dianggap tabu sekarang sudah banyak remaja
yang tidak mempunyai rasa malu dalam menunjukkan sikap berpacaran di khalayak umum misal
berpegangan tangan sampai anggapan bahwa pacaran itu sesuatu yang harus dilakukan pada
masa remaja dengan alasan masa remaja tidak akan terulang dua kali, malu dengan teman jika
tidak memiliki pacar, sebagai trend gaya hidup remaja sekarang. Dengan berubahnya stigma/
kepercayaaan tentang pacaran yang menjadi legal saat ini diperlukan pengawasan yang lebih
pada remaja supaya tidak berakhir kepada tindakan yang tidak diinginkan seperti kehamilan
diluar nikah, kebiasaan free sex,aborsi tidak aman yang berujung kematian, HIV/AIDS, Penyakit
Menular Seksual, dan sebagainya. Keluarga mempunyai peranan penting dalam membentuk
perkembangan dan kepribadian sebagai pengontrol bagi remaja dalam memberikan batasan di
kehidupan sosial yang mulai terkikis dengan masuknya era modernisasi.
Tujuan
Penulisan review ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual pada remaja
Metoda
Jurnal yang dilakukan review oleh penulis dicari di google scholar dengan memasukkan kata
yang spesifik terkait dengan perilaku seksual pada remaja (perilaku seksual remaja, perilaku
seksual pranikah, faktor perilaku seksual remaja) tahun 2010-2014 dan ditemukan beberapa
literature yang terkait tetapi penulis hanya melakukan review terhadap 5 jurnal lebih detail,
sedangkan jurnal yang lain dipakai sebagai penunjang dalam pembahasan di dalam artikel yang
disusun. Dari masing-masing penelitian terdapat beberapa variable berbeda yang mempengaruhi
perilaku seksual pada remaja.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
73
Tabel 1
N Peneliti
Judul
o
1 Azinar,
Perilaku
M. (2013) Seksual
Pranikah
Beresiko
Terhadap
Kehamilan
Tidak
Diinginkan
(KTD)
2 B.Syamsul
huda,
Musthofa,
Winarti.P.
(2010)
Metode
Tujuan
Variabel
Cross
section
al
Untuk
mengetahui
faktor yang
mempengaru
hi
perilaku
seksual
pranikah
beresiko
KTD
pada
remaja
1. Perilau
seksual
pranikah
2. Kehamil
an
3. Reprodu
ksi
Faktor yang Cross
mempengar section
uhi perilaku al
seks
pranikah
Mahasiswa
di
pekalongan
tahun 20092010
Penelitian ini
bertujuan
untuk
menganalisa
beberapa
variabel yang
mempengaru
hi
perilaku
seks
Pranikah
pada remaja
1. Remaja
2. Kesehata
n
reproduk
si
3. Perilaku
seks
pranikah
beresiko
“Pera Perawat dala
Hasil dan kesimpulan
 Terdapat
12,1%
responden
pernah
memiliki perilaku seksual
pranikah yang beresiko
terhadap KTD.
 Dari
hasil
analisis
ditemukan 5 variabel yang
signifikan berhubungan
dengan perilaku seksual
pranikah yaitu religiusitas,
sikap, akses dan kontak
dengan media pornografi,
sikap teman dekat, serta
perilaku seksual teman
dekat.
 Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
11,9%
melakukan
perilaku seks pranikah
bensiko.
 Adanya hubungan yang
signifikan antara umur,
jenis kelamin, religiusitas,
sikap permisif terhadap
seksualitas, efikasi diri,
akses media pornografi
dan kontrol orang tua
dengan perilaku seks
pranikah yang berisiko
KTD
 Mahasiswa
yang
mempunyai sikap lebih
permisif mempunva resiko
berperilaku seks pranikah
yang
berisiko
KTD
sebesar 3,473 kali lebih
besar
dibandingkan
dengan
yang
kurang
permisif. Remaja yang
mempunyai efikasi din
tinggi
mempunyai
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
74
3 Khairunni Hubungan
Metode
sa, A.
religiusitas
skala
(2013)
dan kontrol
diri
Dengan
perilaku
seksual
pranikah
remaja di
MAN
1
samarinda
Untukmenget
ahui
hubungan
antara
religiusitas
dan control
diri dengan
perilaku
seksual
pranikah
pada remaja.
1. Religiusi
tas
2. Kontrol
diri
3. Perilaku
seksual




4 Hartono,
RD.
(2013)
FaktorFaktor
Yang
Menyebabk
an Remaja
Berperilaku
Menyimpan
g
“Pera Perawat dala
Peneliti
an
deskript
if
untuk
menganalisis
dan
mendeskripsi
kan penyebab
mahasiswa
melakukan
seks bebas
1. Mahasis
wa
2. seks
bebas
3. perilaku
menyim
pan
4. faktor
internal
5. faktor
eksternal


proteksi din untuk tidak
melakukan perilaku seks
pranikah berisiko KTD
sebesar 0,192 kali lebih
bcsar
daripada
yang
mempunyai efikasi diri
rendah
Terdapat hubungan antara
religiusitas dan kontrol
diri
dengan
perilaku
seksual pranikah pada
remaja di MAN 1
Samarinda (F = 3.251, R2
= 0.066, dan p = 0.043)
Terdapat hubungan antara
religiusitas dan perilaku
seksual pranikah dengan
beta = - 0.235, t = -2.170,
dan p = 0.033
Kemudian pada kontrol
diri
dengan
perilaku
seksual pranikah terdapat
hubungan dengan beta =
0.221, t = 2.042, dan p =
0.044.
Nilai signifikasi < 0.05
menjelaskan bahwa ada
hubungan yang antara
religiusitas dan kontrol
diri
dengan
perilaku
seksual pranikah adalah
signifikan
Mahasiswa
melakukan
seks bebas disebabkan
oleh dua faktor yaitu
faktor internal dan faktor
eksternal
Faktor internal dan faktor
eksternal
saling
mempengaruhisatu sama
lain.
sehingga
mengakibatkan informan
pokok
(remaja)
melakukan hubungan seks
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
75
5 Banun, F
&
Setyorog
o,S.
(2013)
FaktorCross
Faktor
section
Yang
al
Berhubunga
n Dengan
Perilaku
Seksual
Pranikah
Pada
Mahasiswa
Semester V
STIKes X
Jakarta
Timur 2012
Mengetahui
1. Perilaku
faktor-faktor
Seksual
yang
Pranikah
berhubungan 2. Mahasis
dengan
w
perilaku
3. Jakarta
seksual
Timur
Pranikah
Pada
Mahasiswa
Semester V
STIKes
X
Jakarta Timur
2012
 Dari
hasil
analisis,
didapatkan
perilaku
seksual berisiko sebanyak
55,2%. Gaya hidup yang
berisiko
77,4%,tempat
tinggal berisiko 47,5%,
keharmonisan keluarga,
berisiko 65,2%.
Pembahasan
Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan
lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai
dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Pada remaja
yang masih berada dalam masa peralihan dalam mencari jati diri sering terpengaruh dalam
perilaku ini mulai dari yang ringan sekedar rasa tertarik sampai ke tindakan yang dilarang yaitu
bersenggama. Orang tua mempunyai peran penting dalam proses sosialisasi anak. Dari orang
tualah anak belajar tentang nilai-nilai dan sikap yang terdapat dan dianut masyarakat Menurut
aliran psikoanalisis, orang – orang yang tidak mempunyai hubungan yang harmonis dengan
orang tuanya dimasa kecil maka kemungkinan besar akan menjadi orang yang paling sering
melanggar norma masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan
pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembang anak remaja. Secara ideal perkembangan anak
remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarga yang harmonis, sehingga berbagai
kebutuhan yang diperlukan dapat terpenuhi dan memiliki role model yang positif dari orang
tuanya sendiri.
Gaya hidup remaja pada era globalisasi juga merupakan salah satu faktor terjadinya perilaku
seksual, dikarenakan gaya hidup remaja saat ini banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi.
Pengaruh teknologi terutama media masa memberikan kontribusi pada perubahan gaya hidup
remaja. Remaja yang memiliki aktivitas dan hobi dalam memanfaatkan media visual seperti
menonton video dan film pornografi bisa saja tanpa mereka sadari akan mempengaruhi
pengetahuan serta sikap dalam bertindak kearah gaya hidup yang berisiko melakukan perilaku
seksual. Selain itu religiusitas juga menjadi faktor remaja dalam melakukan perilaku seksual.
Religiusitas memberikan kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan
tingkah lakunya. Religiusitas dapat menstabilkan tingkah laku, memberikan perlindungan rasa
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
76
aman terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensinya. Religiusitas adalah sikap batin
pribadi setiap manusia dihadapan Tuhan yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain,
yang mencakup totalitas kedalam pribadi manusia.
Diperlukan pengawasan dan perhatian khusus bagi remaja baik ketika di rumah, lingkungan,
maupun di sekolah. Menciptakan lingkungan yang kondusif juga diperlukan bagi remaja dalam
menemani masa tumbuh kembang dan transisi yang sedang dialami sehingga tidak terjerumus
kepada perilaku seksual yang beresiko ke kejadian yang tidak diinginkan seperti seks pranikah,
kehamilan diluar nikah, kebiasaan free sex, HIV AIDS, dan lainnya. Peran serta orang tua dan
komunikasi yang efektif merupakan pondasi yang kuat dalam menciptakan susana keluarga yang
nyaman sehingga remaja bertumbuh, berkembang, serta mempunyai kepribadian yang baik.
Kesimpulan
Dari hasil studi literature diketahui terdapar beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
perilaku seksual pada remaja, antara lain: aspek perkembangan alat seksual (biologis), tingkat
religiusitas, rasa percaya diri dan penghargaan diri yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi yang kurang, aspek motivasi, aspek keharmonisan keluarga, tempat tinggal beresiko,
aspek pergaulan, gaya hidup, dukungan sosial terhadap hubungan seksual pranikah, sikap orang
tua terhadap seksualitas, komunikasi dalam keluarga, perilaku seksual teman dekat dan aspek
media massa.
Daftar Pustaka
Hartono & Ginawati. 2013. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Remaja Berperilaku
Menyimpang. Artikel Ilmiah Penelitian Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember
Azinar, M. 2013. Perilau Seksual Pranikah Beresiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas
Banum, F.OS & Setyogroho, S. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku
seksual Pranik STIKes X Jakarta Timur. Jurnal Ilmiah Kesehatan 5 (1) Januari 2013 S1
Kesehatan MMasyarakat STIKes MH.Thamrin
Khairunnisa, A. 2013. Hubungan Religiusitas Dan Kontrol Diri Dengan Perilaku Seksual
Pranikah Remaja Di MAN 1 Samarinda. eJournal Psikologi, 2013, 1 (2): 220-229 ISSN
0000-0000, ejournal.psikologi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
Suryoputro. A, dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilau Seksual Remaja Di Jawa
Tengah: Implikasinya Terhadap Kebijakan Dan Layanan Kesehatan Seksual Dan
Reproduksi. Jurnal MAKARA, Kesehatan Vol 10, No 1, Juni 2006: 29-40
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
77
B. Syamsulhuda, dkk. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Mahasiswa
Pekalongan Tahun 2009-2010. Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol 1 No.1 Desember
2010: 33-41 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
Rothkopf, I & Turgeon, S. 2011. Sex Differences in College Students’ Free Drawings and Their
Relationship to 2D:4D Ratio and Recalled Childhood Play Behavior . Arch Sex Behav
(2014) 43:311–318 DOI 10.1007/s10508-013-0169-y.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
78
KOLABORASI PERAWAT KLIEN DALAM PENANGANAN KESEHATAN JIWA
KOMUNITAS: LITERATURE REVIEW
Candra Dewi Rahayu
Mahasiswa Magister Keperawatan FK Universitas Diponegoro
Email: [email protected]
Abstrak
Latar Belakang. Penting bagi perawat untuk mengikutsertakan klien dalam proses
perawatannya, perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan fokus kepada klien
sehingga meningkatkan kemamapuan dalam menentukan pilihan bantuan sesuai dengan
kebutuhannya. Asuhan keperawatan harus memadukan antara proses pembelajaran dan
pemeberian asuhan. Perawat komunitas harus mampu mengorganisir proses pengambilan
keputusan karena hal ini meningkan pemahaman keluarga dan masyarakat sehingga
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
Tujuan. Meningkatkan kolaborasi perawat klien dalam penangan kesehatan jiwa komunitas
Metoda. Literature review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah pada
tahun 2010-2015 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan Google search.
Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “clinical
decision making” and “mental heath” and “primary care”. Metodologi yang digunakan dalam
publikasi ilmiah dengan metoda kuantitatif, kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat
kepada pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat. Selanjutnya data direview dengan
penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dibahas dan
disimpulkan.
Hasil. Hasil penelusuran mendapat 4 publikasi ilmiah dengan kualitas baik. Hasil
penelusuran literatur menunjukan bahwa keterlibatan klien dalam penangan kesehatan jiwa di
komunitas akan menurunkan konflik dalam pengambilan keputusan. Lima komponen kunci
dalam konsep hubungan perawat klien yaitu mendasari etos, ketenagaan, intervensi, indikator
dan hasil. Ilustrasi hubungan perawat klien adalah pemberdayaan klien dan pengambilan
keputusan bersama.
Kesimpulan. Pengalaman dan tingkat pemahaman akan berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan oleh pengasuh (care giver). Akan tetapi yang terjadi di Indonesia asuhan
keperawatan belum mencerminkan asuhan yang berfokus pada klien. Belum
teridentifikasinya kasus kesehatan jiwa di komunitas serta deskriminasi terhadap klien
dengan gangguan jiwa menunjukan kolaborasi perawat klien belum optimal.
Kata Kunci: Kolaborasi, Kesehatan Jiwa Komunitas, Pengambilan Keputusan, Asuhan
Keperawatan
Pendahuluan
Kesehatan jiwa masyarakat (community mental health) telah menjadi bagian masalah
kesehatan masyarakat (public health) yang dihadapi semua negara. Salah satu pemicu
terjadinya berbagai masalah dalam kesehatan jiwa adalah dampak moderenisasi dimana tidak
semua orang siap untuk menghadapi cepatnya perubahan dan kemajuan teknologi baru yang
secara tidak langsung akan berdampak terhadap daya emban ekonomi masyarakat. Hasil
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa berat/skizofrenia di daerah
pedesaan ternyata lebih tinggi dibanding daerah perkotaan di daerah pedesaan, proporsi
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
79
rumah tangga dengan minimal salah satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa
berat dan pernah dipasung mencapai 18,2 persen. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya
hanya mencapai 10,7 persen. Hal ini memberikan konfirmasi bahwa tekanan hidup yang
dialami penduduk pedesaan lebih berat dibanding penduduk perkotaan. Salah satu bentuk
tekanan hidup itu adalah kesulitan ekonomi.
Masalah kesehatan jiwa hasil survei Riskesdas sampai tahun 2013 di Indonesia sangat besar.
Diperkirakan 72.800 penyandang gangguan jiwa berat di Indonesia dan gangguan mental
emosional 19,5 juta orang dengan 1 juta kasus gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, sekitar
18.000 kasus “ditangani” dengan dipasung. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat belum
sepenuhnya memahi kebutuhan bagi keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Barry K.J
2007 menjelaskan bahwa penting bagi perawat untuk mengikutsertakan keluarga dalam
proses perawatan, perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan yang fokus kepada
keluarga sehingga keluarga mampu memilih bantuan sesuai dengan kebutuhan. Penelitian
yang dilakuan oleh Elaine Haycock-Stuart tahun 2012 dalam memeberikan asuhan
keperawatan yang berfokus pada pasien perawat harus mampu memadukan antara proses
pembelajaran dan pemeberian asuhan, perawat komunitas harus mampu mengorganisir proses
pengambilan keputusan karena hal ini meningkan pemahaman keluarga dan masyarakat
sehingga meningkatkan kualitas asuhan keperawatan (Margaret M. Mahon, 2010) dalam
penelitiannya juga disebutkan bahwa peran perawat komunitass adalah melakukan
pendampingan proses pengambilan keputusan.
Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun akan menyebabkan
penderitaannya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga serta
lingkungan masyarakat sekitarnya. Seperti yang diuangkapkan hasil survei oleh word bank
bahwa beberapa negara menunjukan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau disability
Ajusted Life Years (DALY’s) sebesar 8,1% dari global burden of Disease disebabkan oleh
maslah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi pada dampak yang disebkan oleh penyakit TB
(7,2%), Kanker (5,8%) maupun Penyakit Jantung (4.4%). Tingginya masalah tersebut
menunjukan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang besar dibanding dengan massalah kesehtan lainnya di masyarakat.
Rencana strategis Kemenkes 2010-2014 menjelaskan bahwa visi pembangunan kesehatan
Indonesia adalah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat,
meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, meningkatkan
surveyor, monitoring dan informasi kesehatan serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat
namun sampai pada saat visi tersebut belum tercapai. Peran serta masyarakat dalam
penanganan kesehatan jiwa sangatlah penting untuk itu dibutuhkan kerjasama antara tim
kesehatan dengan klien dalam hal ini adalah masyarakat. Keterlibatan klien akan
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk mendapatkan
pertolongan yang tepat sesuai dengan gangguan yang dialaminya (Claire Henderson at all
2012).
Puskesmas merupakan fasilitas kesehatan tingakat I yang diharapkan mampu menjadi ujung
tombak langkah keberhasilan visi kementrian kesehatan untuk memberikan akses pelayanan
kesehatan yang berfokus pada keluarga (family centered care). Akan tetapi hal ini belum bisa
dilakssanakan oleh pukesmas terbukti dari penelitian yang dilakuan Keliat dkk tahun 2011
menunjukan bahwa 46% pasien yang dirawat di lima rumah sakit jiwa di Pulau Jawa
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
80
mempunyai kemampuan tinggal di masyarakat, tetapi mereka tidak pulang karena tidak
tersedianya pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat. Membukitikan bahwa sumberdaya
Puskesmas belum malakukan peranannya sebagai sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pratama melalui fungsi rehabilitatif.
Sejak tahun 2001, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan pelayanan
kesehatan jiwa seharusnya dilakukan di masyarakat. Namun, program pelayanan kesehatan
jiwa di puskesmas belum menjadi program pelayanan pokok di Indonesia. Menyelesaikan
masalah kesehatan jiwa bukan melalui pembangunan rumah sakit jiwa yang baru, melainkan
mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, menggunakan komunikasi
dialogis dalam penyelesaiannya serta reflektife learning bagi masyarakat (Barry K.J 2007).
Dengan alasan ini penulis merasa penting untuk meningkatkan kolaborasi perawat-klien
dalam hal ini adalah masyarakat sebagai upaya untuk menacapai masyarakat yang sehat jiwa
Tujuan
Secara umum meningkatkan kolaborasi perawat klien dalam penangan kesehatan jiwa
komunitas. Secara khusus mengetahi peran perawat dalam penanganan kesehatan jiwa
masyarakat. Selain itu mengetahui metoda efektif tenaga kesehatan dalam penanganan
kesehatan jiwa masyarakat, mengetahui pentingnya keterlibatan klien dalam pengambilan
keputusan penanganan kesehatan jiwa masyarakat, mengetahui manfaat pentingnya
pengambilan keputusan klinis dengan melibatkan masyarakat.
Metode
1. Kriretia Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif, kuantitatif atau
campuran pada tahun 2010-2015 dengan menggunakan bahasa ingris dan full teks.
Pemilihan sampel pada artikel adalah perawat dan atau pasien dengan gangguan jiwa di
komunitas. Asuhan keperawatan yang diberikan adalah asuhan keperawatan yang berfokus
pada klien (pasien, klien dan komunitas) sehingga dalam pemberian asuhan keperawatan
harus melibatkan klien termasuk dalam hal pengambilan kepetusan untuk menentukan
pilihan bantuan yang tepat sesuai dengan masalah.
2. Strategi Pencarian Literatur
Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah pada tahun
2010-2015 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American
Journal Of Nursing (AJN). Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline
dengan kata kunci “clinical decision making” and “mental heath” and “primari care”.
3. Ekstraksi data dan motede pengkajian kualitas studi
Data dari artikel direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian
dikelompokkan untuk dilakukan triangulasi untuk dilakukan pembahasan dan disimpulkan
sehingga dikeahui kualitas jurnal. Penentuan kualitas jurnal dengan menggunakan
prosentase hasil ekstraksi yaitu jurnal dikategorikan menjadi kualitas baik, sedang dan
kulaitas tidak baik. Jurnal dikategorikan baik jika propsentase 80%-100%, cukup jika
65%-79% dan tidak baik jika prosentase <64%.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
81
Gambar 1
Diagram Prisma
Identifikasi
Clinical Decision Making & Mental Healt n=1.467
Clinical Decision Making & Mental Healt &
primary care n=149
EBSCO
ProQuest
Clinical Decision Making & Mental Healt n=
Clinical Decision Making & Mental Healt &
primary care n=
PubMed
Clinical Decision Making & Mental Healt n=1.856
Clinical Decision Making & Mental Healt &
primary care n=209
BMC
Decision aid & Mental Healt n=414
Google search
Skrening
Kelayakan
aya
Analisis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
PDF
Full Teks
Bahasa Inggris
Free Download
Medeline
Peer Review
Tahun 2010-2015
1. Sampel adalah perawat dan
klien (pasien dan keluarga)
yang mengalami gangguan
jiwa di komunitas.
2. Pengambilan keputusan
melibatkan klien
3. Pengambilan keputusan
dalam penangan gangguan
jiwa
1. Kolaborasi perawat klien
dalam penanganan
kesehatan jiwa
1.
2.
3.
4.
5.
EBSCO
n=28
ProQuest n=
Pub Med n=45
BMC PH n= 8
Google Search
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
EBSCO
n= 10
ProQuest n=
Pub Med n= 6
BMC
n= 3
Google Search n=1
EBSCO
n= 2
ProQuest n= 1
Pub Med n=1
BMC
n=1
Google Search n=1
Sitematik Review n=4
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
82
4. Analisa Data
Data dikumpulkan berdasarkan tujuan, sampel dan hasil yang sebanding kemudian
dilakukan analisis (table 1) sehingga dapat pula dilihat heterogenitas dari hasil
penelitian yang ditemukan dalam studi (publikasi ilmiah). Jika dalam temuan jurnal
tidak sesuai dengan kirteria baik kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi ataupun
hasil tidak sesuai yang telah ditetapkan maka jurnal tersebut tidak dilakukan
sistematik review (dihapus). Sistematik review ini bertujuan untuk untuk
memperkuat hasil dari studi/penelitian tersebut. Dalam review ini ada dua jurnal yang
kemudian tidak dilakukan analissis (dihapus)
Tabel 1
Karakteristik artikel yang didapatkan (N=4)
No
Penulis/Th
Judul
1
Claire
Henderson,
Elaine
Brohan,
Sarah
Clement,
Paul at all
Th. 2012
A decision
aid to assist
decisions on
disclosure of
mental
health status
to
an
employer:
protocol for
the CORAL
exploratory
randomised
controlled
trial
Conceptualis
ing patient
empowerme
nt:
a mixed
methods
study
2
Paulina
Bravo,
Adrian
Edwards,
Paul James
Barr, at all
Th.2015
Jurnal/
Metode
BMC
Psychia
try,
12:133
Singleblind
RCT
BMC
Health
Service
s
Researc
h15:25
2
mixed
method
s study
Magenta
BSimmons,
Sarah E
Hetrick and
Anthony F
Jorm Th.
2011
Experiences
of treatment
decision
making for
young
people
diagnosed
with
depressive
disorders: a
qualitative
BMC
Psychia
try
11:194
Qualita
tive
Tujuan
Hasil
Untuk
menguji Bantuan
pengambilan
CORAL decision keputusan dengan CORAL
aid tool dengan menunjukkan
membantu
menguji
pengguna layanan kesehatan
kemampuan
jiwa serta memperjelas
pengambilan
kebutuhan dan nilai-nilai
keputusan dalam tentang
pengungkapan
mencari
masalah
mereka
dan
pertolongan
menyebabkan
pengurangan
sesuai
dengan konflik dalam pengambilan
masalah
baik keputusan
segera
ataupun
setelah tiga bulan
pasca uji.
Mengembangkan 1. Hubungan perawat klien
konsep kolaborasi
dapat dilakukan pada
perawat-klien,
semua level dengan tingkat
dengan
pemahaman klien.
menggunakan
2. Level ini kan menentukan
pendekatan
penggunaan indikator yang
pemberdayaan
digunakan
klien, self
3. Lima komponen kunci
management,
dalam konsep hubungan
pengambilan
perawat klien adalah
keputusan
mendasari etos,
bersama
ketenangan, intervensi ,
indikator dan hasil.
4. Ilustrasi hubungan perawat
klien adalah pemberdayaan
klien dan pengambilan
keputusan bersama
Mengeksplorasi
1. Pengalaman keterlibatan
pengalaman dan
klien bervariasi dan
keinginan klien
dipengaruhi oleh klien
dan pengasuh
sendiri serta tim kesehatan
(caregivers)
(dokter ataupun perawat).
dalam
2. Untuk pengasuh
keterlibatannya
(caregivers), pengalaman
pengambilan
keterlibatan lebih homogen
keputusan untuk
.
penanganan
3. Keinginan untuk terlibatan
depresi
bervariasi dari masing-
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
83
study in
primary care
and
specialist
mental
health
settings
Sandra E
Moll Th.
2014
The web of
silence: a
qualitative
case study of
early
intervention
and support
for
healthcare
workers
with mental
ill-health
BMC
Public
Health,
14:138
Qualita
tive,
case
study
massing klien pengasuh
(caregivers) namun
sebagian besar terlibat
dalam pengambilan
keputusan setidaknya.
4. Teridentikasi adanya
hambatan dalam
pengambilan keputusan
baik dari klien ataupun
pengasuh (caregivers).
Untuk
Hasil penelitian menunjukan
mengeksplorasi
bahwa beberapa penyebab
kekuatan individu tenaga kesehatan memberikan
dan organisasi,
laporan secara lambat bahkan
serta
tidak melaporkan temuan
mengidentifikasi
gangguan jiwa dikernakan
hambatan dan
ketidakpastian dalam
peluang untuk
mengidentifikasi masalah
berubah dalam
kesehatan mental, stigma
menentukan
mengenai kesehatan mental
intervensi petugas yang buruk, wacana
kesehatan
kompetensi profesional,
dikomunitas
ketegangan sosial , tekanan
dalam menangani beban kerja , harapan
masalah gangguan kerahasiaan dan kurangnya
jiwa
akses yang tepat untuk
mendukung kesehatan mental.
Hasil
Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif, kuantitatif dan RCT pada empat
jurnal yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal
EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan google search (gambar 1). Hasil penelitian kualitatif
dengan mengidentifikasi beberapa tema, sedangkan hasil penelitian RCT dilakukan perlakuan
untuk menguji CORAL decision aid tool penelitian ini dilakukan dengan single blind yang
kemudian di lakukan follow up untuk mengetahui efektifitas dari perlakuan/tindakan.
1. Peran Kepemimpinan Keperawatan Komunitas
Perawatan berkualitas dianggap sebagai komponen penting dari profesi keperawatan.
Kebijakan baru-baru ini telah menekankan peran kepemimpinan dalam memenuhi agenda
kualitas. Sebagai pergeseran keseimbangan perawatan dari rumah sakit kepada masyarakat
ada keharusan untuk mengkonfirmasi lebih efektif kualitas perawatan pasien dan keluarga
dalam menerima perawat yang bekerja di masyarakat (Elaine Haycock-Stuart, 2012).
Penekanan kebijakan layanan kesehatan menekannya penawaran yang sama kepada semua
perawat untuk membuat unsur-unsur praktik klinis mereka sehingga menunjukan
perawatan yang berkualitas tinggi dan memverifikasi apa yang benar-benar penting untuk
pasien dan keluarga.
Pengembangan kapasitas kepemimpinan dikeperawatan komunitas dipandang sebagai
instrumen dalam mencapai kualitas pelayanan sebagai pergeseran perawatan kesehatan ke
masyarakat. Komponen sumberdaya manusia yang berperan dalam meningkatkan asuhan
keperawatan komunitas yaitu perawat, pengunjung kesehatan, perawat sekolah, staf
perawat dan asisten kesehatan yang bekerja dimasyarakat sehingga menurut Sandra E
Moll tahun 2014 dibutuhkan kemampuan mengorganisasi serta self assesmen sehingga
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
84
pelaporan kegiatan asuhan keperawatan komunitas terstruktur dan terlapor cepat dan
sesuai.
Asuhan keperawatan yang berkualitas adalah asuhan keperawatan yang mengedepankan
nilai-nilai profesional profesi, dengan biaya yang minimal, pasien dan keluarga puas
dengan asuhan keperatana yang diberikan (Giordano 2010, Appleby et al. 2010).
Keinginan pasien dan keluarga adalah dikutsertakan dalam proses asuhan dan
pengambilan keputusan (Magenta B et all, 2011). Sehingga dibutuhkan strategi yang tepat
untuk memenuhi standar asuhan keperawatan yang berkualitas.
2. Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas
Perawat kesehatan jiwa masyarakat merupakan tenaga perawatan dari puskesmas yang
bertanggung jawab memberikan pelayanan keparawatan diwilayah kerja puskesmas. Fokus
pelayanan pada tahap awal adalah anggota masyrakat yang mengalami gangguan jiwa
akan tetapi peran perawat belum optimal sepeti yang diungkapkan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Sandra E Moll 2014 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil
penelitian menunjukan bahwa beberapa penyebab tenaga kesehatan memberikan laporan
secara lambat bahkan tidak melaporkan temuan gangguan jiwa dikernakan ketidakpastian
dalam mengidentifikasi masalah kesehatan mental, stigma mengenai kesehatan mental
yang buruk, wacana kompetensi profesional, ketegangan sosial, tekanan beban kerja,
harapan kerahasiaan dan kurangnya akses yang tepat untuk mendukung kesehatan mental.
Magenta B el all 2011 Teridentikasi adanya hambatan dalam pengambilan keputusan baik
dari klien ataupun pengasuh (caregivers) yaitu a system level, at a relationship level with
clinicians and at a personal level. Hambatan A system level adalah kurangnya waktu
dalam bertanya selama konsultasi, hambatan dalam relationship level adanya
miskomunikasi antara klien dan perawat atau kurangnya komunikasi antara perawat dan
klien serta adanya krisis kepercayaan (klien merasa tidak percaya dengan perawat dan
tidak dipercayai oleh perawat). Personal level merupakan hambatan yang muncul dari diri
klien dan caregivers sendiri keluarga menyangkal yang dialami klien adalah gangguan
jiwa.
3. Asuhan Keperawatan Melibatkan Klien
Hubungan perawat klien akan terjalin jika dalam memberikan asuhan keperawatan klien
dilibatkan, klien memahami setiap proses keperawatan yang dilakukan pada diri maupun
keluarganya. Magenta B el all 2011 menejelaskan bahwa klien ingin terlibat dalam proses
asuhan keperawatan contoh keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Pengalaman
keterlibatan klien bervariasi dan dipengaruhi oleh klien sendiri serta tim kesehatan (dokter
ataupun perawat) sedangkan pengasuh (caregivers), mempunyai pengalaman keterlibatan
lebih homogen. Hasil penelitian Paulina Bravo et all 2015 mengidentifikasi hubungan
perawat klien dapat dilakukan pada semua level dengan tingkat pemahaman klien. Level
ini akan menentukan penggunaan indikator yang digunakan. Lima komponen kunci dalam
konsep hubungan perawat klien adalah mendasari etos, moderator, intervensi , indikator
dan hasil. Ilustrasi hubungan perawat klien adalah pemberdayaan klien dan pengambilan
keputusan bersama
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
85
Pembahasan
Dari studi literatur didapatkan bahwa keterlibatan klien dalam asuhan keperawatan kurang
optimal hal ini juga dalap dilihat dari sistem peleporan perawat yg dijelaskan dalam
penelitian Sandra E Moll tahun 2014 yang menunjukan bahwa sistem pelaporan tidak optimal
karena masalah dilaporkan secara lambat dan bahkan tidak dilaporkan hal ini akan
menghambat proses identifikasi dan proses pengambilan kebijakan (regulasi) dari
pemerintah. Regulasi mepunyai hubungan dalam keberhasilan dan peningkatan
program/sistem kerja yang ada di komunitas dalam hal ini adalah masyarakat yang sehat jiwa
(Lara Corr, 2014).
Keinginan klien untuk terlibat dalam proses kepeerawatan, setidaknya dalam pengambilan
keputusan hal ini menegaskan kembali penelitian yang telah dilakukan oleh Jan Flotin 2007
yang menejelaskan bahwa klien lebih menyukai jika berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan klinis keperawatan dan berharap diikutkan dalam asuhannya. Penelitian tersebut
menegaskan bahwa klien lebih menyukai dalam hubungan kolaborasi bukan hubungan yang
otonom. Hal ini akan bermanfaat untuk meneliti lebih lanjut terkait sejauh mana keterlibatan
klien serta hubungan kolaborassi antara klien dan tenaga kesehatan dalam pengambilan
keputusan terutama pada masalah ganggun jiwa.
Claire Henderson tahun 2012 dengan penelitian tentang kemampuan pengambilan keputusan
mentukan pilihan bantuan dengan Conceal Or ReveAL, or CORAL tools menjukan bahwa
pengungkapan masalah menyebabkan pengurangan konflik dalam pengambilan keputusan,
hal ini menegaskan penelitaian oleh Magenta B et all tahun 2011 menegaskan pengalaman
dan keterlibatan klien dalan asuhan mempunyai efek positif terhadap kemampuan klien
dalam pengambilan keputusan. Hubungan kolaborasi sangat dibutuhkan untuk itu kolaborasi
perawat klien harus menunjukan hubungan yang saling menghormati, saling percaya, berbagi
informasi, komunikassi terbuka, pengambilan keputusan bersama sehingga, intervensi
keperawatan harus memperhatikan nilai, kepercayaaan dan pilihan pasien sebagai
landasannya (Blue-Banning M, Summers J, Frankland H, et al 2004 dan Keen D, 2007).
National Collaborating Centre For Method and Tools menjelaskan Kolaborasi perawat klien
klien dalam komunitas sangatlah penting karena proses keperawatan komunitas akan
tergantung pada keadaan tertentu, serta keterampilan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh
individu dan kelompok yang terlibat dalam proses. Pada akhirnya, kolaborasi perawat-klien
harus menarik pengetahuan klien terkait kesehatan tenaga kesehatan dituntut mempunyai
keahlian dalam menggabungkan semua yang relevan faktor yang mempengaruhi dalam
hubungan, kesimpulan atau rekomendasi. Untuk mencapai kolaborasi yang otimal diperlukan
perawat yang mempunyai kualifikasi sehingga dibutuhkan pendidikan berkelanjutan bagi
perawat atau dengan dengan membangun mitra bestari antara puskesmas dengan intansi
pendidikan yang mempunyai perawat spesial komunitas atau spesialis jiwa untuk
memberikan mentoring kepada perawat, keluarga dan masyarakat sehingga tercipta hubungan
kolaborasi antara perawat pendidik (perawat spesialis), perawat klinik (perawat vokasi),
keluarga dan masyaarakat.
Kesimpulan
Penelusuran literatur menunjukan bahwa pentingnya melibatkan klien dalam asuhan
keperawatan dan hal ini juga disepakati oleh klien bahwa klien ingin diikutkan dalam proses
keperawatan, akan tetapi hal ini belem sepenuhnyadengan berbagai alasan. Hasil ini bisa
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
86
digunakan sebagai acuan bagi penelian selanjutnya untuk menggali lebih dalam bagaimana
hubungan kolaborasi antara perawat klien serta strateginya dalam membangun hubungan
yang efektif dan efisien sehingga kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan akan
menjadi kebutuhan primer yang harus segera di penuhi.
Daftar Pustaka
Appleby J., Ham C., Imins C. & Jennings M. (2010) Improving NHS Productivity: More
With the Same Not More of the Same.The King’s Fund, London.
Barry K.J, 2007, Collective inquiry: understanding the essence of best practice construction in
mental health, Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing, 2007, 14, 558–565
Blue-Banning M, Summers J, Frankland H, et al. Dimensions of family and professional
partnerships: constructive guidelines for collaboration. Except Child 2004;70:167–85.
Claire Henderson. Elaine Brohan. Sarah Clement, (2012), A decision aid to assist decisions
on disclosure of mental health status to an employer: protocol for the CORAL
exploratory randomised controlled trial, Henderson et al. BMC Psychiatry 2012, 12:133
Giordano R. (2010) Leadership Needs of Medical Directors and Clinical Directors. The
King’s Fund, London.
Elaine Haycock-Stuart. Susanne Kean, 2012, Does nursing leadership affect the quality of
care in the community setting? Journal of Nursing Management, 2012, 20, 372–381
Claire Henderson, Elaine Brohan, Sarah Clement, et all. 2012. A Decision Aid To Assist
Decisions On Disclosure Of Mental Health Status To An Employer: Protocol For The
CORAL Exploratory Randomised Controlled Trial, BMC Psychiatry, 12:13
Jan Florin, 2007, Patient participation in clinical decision making in nursing – a collaborative
effort between patients and nurses. Joanna Jansdotter [email protected]
Keen D. Parents, families, and partnerships: issues and considerations Int J Disabil, Dev Educ
2007;54:339–49
Lara Corr, Elise Davis, Kay Cook, Elizabeth Waters and Anthony D LaMontagne, 2014, Fair
relationships and policies to support family day care educators’ mental health: a
qualitative study, BMC Public Health, 14:1214
Magenta B Simmons, Sarah E Hetrick and Anthony F Jorm, 2011, Experiences Of Treatment
Decision Making For Young People Diagnosed With Depressive Disorders: A
Qualitative Study In Primary Care And Specialist Mental Health Settings, BMC
Psychiatry, 11:194
Margaret M. Mahon, 2010, Advanced Care Decision Making Asking the Right People the
Right Questions. Journal of Psychosocial Nursing • Vol. 48, No. 7
National Collaborating Centre For Method and Tools. A Model for Evidence-Informed
Decision Making in Public Health. www.conmo.ca/[email protected]
Paulina Bravo, Adrian Edwards, Paul James Barr, Isabelle Scholl, Glyn Elwyn, Marion
McAllister, 2015, Conceptualising Patient Empowerment: A Mixed Methods Study.
Health Services Research 15:252.
Sandra E Moll, 2014, The Web Of Silence: A Qualitative Case Study Of Early Intervention
And Support For Healthcare Workers With Mental Ill-Health. BMC Public Health,
14:138
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
87
EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana ) TERHADAP
BERAT BADAN PADA PENDERITA HIV DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL
(ARV) DI RSUD GUNUNG JATI, CIREBON
Maria Dyah Kurniasari1, Edi Dharmana2, Hussein Gasem3
1
Staff Akademik Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,
2
Bagian Parasitologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
3
Bagian Penyakit Dalam, Rumah Sakit dr. Kariadi.
[email protected].
Abstrak
Latar Belakang. Peringkat ke-4 Provinsi dengan penderita HIV tertinggi di Indonesia adalah
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kumulatif kasus HIV: 9.340 penderita, sedangkan jumlah
penderita AIDS berjumlah 4131 penderita (Spiritia Y & KPA Jawa Tengah. 2014). Terapi
yang diaplikasikan selama ini adalah onat antiretroviral/ARV dengan efek samping yang
menyertai (Abbas AK, 2007). Kulit Buah manggis mengandung xanthone sebagai
antioksidan yang, sangat dibutuhkan dalam tubuh sebagai penyeimbang prooxidant (reduxing
radicals, oxidizing radicals, carbondentered, sinar UV, metal, dll) yang ada dilingkungan
manusia yang dapat menghambat replikasi virus HIV dan aktivitasnya dilihat dari berat badan
penderita, karena penurunan berat badan dapat memicu penurunan sistem imun dan
merangsang oxidative stress (Planta Med, 1996).
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas pemberian ekstrak kulit
manggis (Garcinia mangostana) terhadap berat badan pada penderita HIV dengan terapi
antiretroviral (ARV).
Metoda. Dilakukan penelitian eksperimental pada manusia, dengan design Randomized
Control Group Pretest-Post Test Design, sampel sebanyak 20 pada masing-masing
kelompok. Kelompok 1: Penderita HIV dengan terapi ARV diberikan ekstrak kulit manggis,
2: Penderita HIV dengan terapi ARV diberikan kapsul placebo. Perlakuan selama 30 hari,
dilakukan pemeriksaan berat badan sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Penelitian ini
menggunakan statistik non-parametik oleh karena inferensi statistik (pengambilan keputusan)
tidak membahas parameter-parameter populasi sehingga distribusi data (populasinya)
menjadi tidak normal. Untuk dapat mengetahui uji beda antar kelompok (pre test dan post
test) maka digunakan uji Paired T Test. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan kelompok
perlakuan dan placebo maka digunakan uji beda Mann Whitney.
Hasil. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna berat badan (p: 0.701 ) pada penderita HIV
antara pemeriksaan sebelum dan sesudah diberikan ekstrak kulit manggis (Garcinia
mangostana ). Terdapat perbedaan bermakna yang bermakna berat badan (p: 0.008) pada
penderita HIV antara pemeriksaan kelompok yang diberikan ekstrak kulit manggis (Garcinia
mangostana ) dan placebo.
Pembahasan. Antioxidan yang terkandung dalam ekstrak kulit manggis ini tidak
menunjukan efeknya dalam mengurangi terjadi induksi oxidative stress. Banyak faktor yang
mempengaruhi berat badan pada manusia, dimana kita ketahui bahwa manusia memiliki
banyak sekali faktor yang berpengaruh pada berat badan.
Kesimpulan. Pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana) tidak efektif terhadap
berat badan pada penderita HIV dengan terapi ARV.
Kata Kunci: Ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana ), Berat badan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
88
Pendahuluan
Berdasarkan jumlah kumulatif dari laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan
Desember 2013, Provinsi Jawa Barat menempati urutan ke empat tertinggi. Jumlah kumulatif
kasus HIV untuk Provinsi Jawa Barat sendiri, berjumlah 9.340 penderita, sedangkan jumlah
penderita AIDS berjumlah 4131 penderita (Spiritia Y & KPA Jawa Tengah, 2014). Terapi
yang selama ini sudah diaplikasikan kepada penderita yang terinfeksi HIV adalah obat
antiretroviral/ARV (Abbas AK, 2007). Obat ARV bekerja sebagai kompetitor enzyme reverse
transcriptase pada pembentukan DNA virus, menutup rantai enzyme sehingga pembentukan
DNA virus terganggu, dan menghambat pembentukan kapsul virus (Karnen B, 2004).
Terlepas dari manfaat positif ARV, penurunan berat badan merupakan bagian dari masalah
keperawatan dan prediktor independen dari perkembangan penyakit dan kematian terkait HIV
(Spiritia Y, 2013). Mengingat obat ini memiliki keterbatasan seperti salah satunya adalah
efek samping mengkonsumsi obat ARV, maka para peneliti tertantang untuk melakukan
penelitian tentang pengobatan penyakit ini.
Salah satu bukti efek samping obat ARV tercantum pada laporan dari penelitian terbaru yang
menunjukan bahwa penderita HIV mengalami penurunan berat badan yang bermakna (10%)
dalam tiga bulan pertama setelah memulai ARV (Carole, 2012). Gejala awal seperti nafsu
makan menurun, mual dan/ muntah. Faktor lain yang juga berkontribusi terhadap penurunan
berat badan adalah terjadinya infeksi yang menyertai pada penderita HIV seperti malabsorpsi
gastrointestinal yang disebabkan oleh infeksi bakteri, contohnya diare. Selain itu, faktor
masalah neurologis dan/atau kejiwaan yang membuat penderita mengalami perburukan nafsu
makan dan mengalami malabsorpbsi. Sedangkan, status nutrisi yang dapat mengacu pada
berat badan yang baik pada penderita HIV sendiri penting untuk mempertahankan daya tahan
tubuh melawan infeksi penyerta, sehingga selanjutnya akan berimplikasi pada kemampuan
penderita HIV tetap dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, aktif dan produktif
(Nursalam, dkk., 2007).
Salah satu dari keanekaragaman tanaman di Indonesia, dapat menjadi potensi menjadi
tanaman obat. Kulit Buah manggis mengandung xanthone sebagai antioksidan yang, sangat
dibutuhkan dalam tubuh sebagai penyeimbang prooxidant (reduxing radicals, oxidizing
radicals, carbondentered , sinar UV, metal, dll) yang ada dilingkungan manusia yang dapat
menghambat replikasi virus HIV dan aktivitasnya dilihat dari berat badan penderita, karena
penurunan berat badan dapat memicu penurunan sistem imun dan merangsang oxidative
stress (Plant Med, 1996). Tanaman obat tersebut dapat menjadi pengobatan adjuvant. Peneliti
ingin menggunakan ekstrak kulit manggis sebagai antioksidan yang harapannya dapat
digunakan sebagai obat komplemen, bersamaan dengan pemberian obat antiretroviral/ ARV.
Harapan dari penelitian ini, terdapat efektivitas ekstrak kulit manggis terhadap berat badan
penderita HIV dengan terapi ARV, sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan
komunitas khususnya sebagai perawat komplementer serta memenurunkan terjadinya koinfeksi pada penderita HIV.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas pemberian ekstrak kulit manggis
(Garcinia mangostana) terhadap berat badan pada penderita HIV dengan terapi antiretroviral
(ARV).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
89
Metoda
Penelitian eksperimental dengan Double Blind Randomized Pretest-Post Test Control Group
Design pada manusia (penderita HIV rawat jalan dengan terapi ARV). Pengukuran variabel
dilakukan pada group sebelum dan setelah perlakuan. Penderita HIV rawat jalan dengan
terapi ARV sejumlah 40 penderita sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Kelompok
dibagi menjadi dua, yaitu perlakuan (mendapatkan kapsul ekstrak kulit manggis) dan
mendapatkan kapsul placebo, masing-masing kelompok 20 penderita. Pengelompokkan
dilakukan secara randomisasi menggunakan teknik simple randomized sampling.
Pemeriksaan fisik untuk mengatahui berat badan 2 kali yaitu sebelum dan sesudah diberi
perlakuan selama 30 hari sesuai kelompok, serta perbedaan berat badan kelompok perlakuan
dan kelompok placebo.
Hasil dari analisa deskriptif tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis statistik
menggunakan Paired T Test bila distribusi normal dan uji Wilcoxcon Smith bila distribusi
tidak normal. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan kelompok perlakuan dan placebo
maka digunakan uji beda Mann Whitney. Data dianggap berbeda secara bermakna bila nilai
(p<0,05) dengan derajat kepercayaan 95%. Penelitian dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro dan RSUP dr. Kariadi Semarang.
Hasil
Karakteristik dasar subjek penelilian memiliki karakteristik yang sama, yang ditunjukan pada
Tabel 1.
Table 01. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Karakteristik
Umur (+SD)
Jenis Kelamin (%)
Jumlah Subjek
Penelitian
(n=40)
34,10+5,93
Perlakuan
(n=20)
Placebo
(n=20)
Uji
Beda
(p)
0,464
33,25+5,17
34,95+6,63
62,5
37,5
406+148
60
40
373 + 28
65
35
438 + 36
0,172
3,55+2,3
3,1+2,31
4,0+2,27
0,135
58,23+11,11
58,3+10,6
0,828
2066+728
1958+591
58,15+11,8
7
2175+844
0,744
Laki-Laki
Perempuan
Rerata Jumlah Sel sel
T CD4 (mm3)
( +SD)
Lama penggunaan
ARV (tahun) (+SD)
Berat Badan (kg)
Jumlah Limfosit Total
(cells/mm3)
Subjek penelitian yang digunakan memiliki karakteristik data yang setara, sehingga
memulai dengan start point yang sama dalam masing-masing kelompok.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
90
Table 02. Deskripsi Data Berat Badan
Berat Badan
Kelompok perlakuan Pre test
Kelompok placebo
Post test
Pre test
Post test
n
Mean (kg)
Min
Max
20
20
58,30
58,05
42
77
39
76
20
20
58,15
57,15
33
85
32
83
Tabel 03. Tes Normalitas Berat Badan
Kelompok
Kelompok Perlakuan Pre test
Statistik (kg)
df
Sig.
.951
.963
.886
.882
20
20
20
20
.383
.601
.023
.019
Post test
Kelompok Placebo Pre test
Post test
Tabel 04. Uji Paired T Test ( Kelompok perlakuan dan placebo pre test dan postest)
Kelompok
n
20
20
20
20
Perlakuan Pre Test
Placebo
Post Test
Pre Test
Post Test
90
0.701
0.008
90
2
2
80
80
5
70
5
60
7
50
9
40
10
30
11
20
12
20
10
17
10
0
18
0
pre
post
PLACEBO
70
BERAT BADAN
BERAT BADAN
p
7
60
9
50
10
40
11
30
12
17
18
pre
20
20
post
22
PERLAKUAN
Grafik 01. Grafik Berat Badan Individu Kelompok Perlakuan dan Placebo pada Pre
dan Post test
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
91
Tabel 05. Uji Beda Mann Whitney (Kelompok Perlakuan dan Placebo)
Kelompok
Pretest
Posttest
Perlakuan
Placebo
Perlakuan
Placebo
n
Median (BB)
(minimum-maximum)
20
20
20
20
p
0.217
0.514
Pembahasan
Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis Terhadap Berat Badan
Berat badan pada pemeriksaan pretest dan posttest dalam kelompok perlakuan tidak memiliki
perbedaan yang signifikan, yang dibuktikan dengan hasil uji beda non parametik Paired T
Test dengan nilai p = 0.701 (p> 0.05). Namun pada kelompok placebo, terdapat perbedaaan
yang signifikan antara pemeriksaan pretest dan posttest, dibuktikan dengan nilai p = 0.008
(p<0.005). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok: kelompok
perlakuan dan placebo, baik pada pemeriksaan pretest maupun posttest. Hasil ini telah
ditunjukan pada tabel analisa Mann Whitney pada bab sebelumnya (Tabel 05).
Selain faktor ARV, banyak faktor lain yang dapat menjadi prediktor penurunan berat badan
seperti kondisi sosioekonomi, tingkat hemoglobin (Spiritia Y, 2013). Keadaan sosioekonomi
jelas mempengaruhi berat badan, khususnya status nutrisi penderita. Status sosioekonomi
yang lebih rendah dikaitkan dengan resiko lebih tinggi dari penurunan berat badan jangka
panjang. Sementara, dari hasil observasi saat penelitian, para penderita termasuk dalam
kelompok sosioekonomi menengah kebawah, yang dibuktikan dengan data rekam medis yang
mengemukakan tentang riwayat kesehatan terdahulu pasien.
Faktor lain seperti tingkat hemoglobin ini terkait dengan IMT penderita, karena dengan IMT
penderita yang lebih rendah dapat berarti bahwa kemungkinan penderita tersebut terdapat
infeksi atau penyakit lain yang menyertai. Pada penderita HIV dengan ko-infeksi tuberculosis
dan gangguan sistem gastrointestinal dapat bermanifetsasi anemia (yang mempunyai
indikator hemoglobin). Proses patofisiologi penyakit yang menyertai ini yang menyebabkan
terjadinya proses penurunan hemoglobin. Sehingga jika seorang penderita ditemukan
hemoglobin yang rendah maka kemungkkinan mendapatkan ko-infeksi yang secara tidak
langsung menyebabkan penurunan berat badan.
Menurut penelitian terbaru, jika kita kaitkan dengan sel CD4, dimana sel ini adalah sel imun
yang diserang oleh virus HIV, maka tidak terdapat hubungan dengan IMT (Swity, 2013).
Sehingga berat badan yang terkait dengan IMT tidak secara langsung berefek pada status
imun penderita HIV, dimana dapat menjadi indikator prognosa kesehatan penderita, namun
pemeriksaan berat badan dapat menjadi pemeriksaan yang penting bagi status nutrisi
penderita. Status nutrisi yang baik pada penderita HIV sendiri guna untuk mempertahankan
kekuatan dan yang lebih penting lagi untuk meningkatkan fungsi imun, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Pada seseorang dengan intake
protein, mikronutrisi seperti iron, zinc, vitamin B12, dan folat yang tidak adekuat dapat
menyebabkan penurunan sel monosit dan aktivitas makrofag, defisiensi Ig, dan penurunan
konsentrasi serum sitokin dan komponen sel komplemen, serta terjadi induksi oxidative stress
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
92
(Yu Ping Tan, 2009). Jika penderita HIV dapat mempertahankan ketahanan tubuhnya, maka
dapat juga menjaga penderita HIV tetap dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, aktif dan
produktif (Nursalam, dkk., 2007).
Jika dilihat dari respon subjektif yang mereka tuliskan pada form yang sudah disediakan oleh
peneliti, beberapa subjek penelitian mengemukakan perubahan atau efek yang mereka
rasakan secara subjektif. Beberapa efek posistif yang mereka rasakan seperti nafsu makan
bertambah, dan badan terasa lebih fit. Hal tersebut menunjukan bahwa motivasi, dukungan
dan perhatian dari orang lain dapat berpengaruh pola pikir, perasaan dan tindakan penderita
HIV.
Namun, hasil dari penelitian ini, kerja dari antioxidan yang terkandung dalam ekstrak kulit
manggis tidak menunjukan perbedaan yang signifikan setelah diberikan. Hasil penelitian ini
tentunya akan mendapatkan hasil yang jauh lebih bagus dengan jangka waktu perlakuan yang
lebih lama dan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak, dengan meminimalkan faktorfaktor lain yang berpengaruh pada berat badan penderita. Banyak faktor yang mempengaruhi
berat badan karena, dalam penelitian ini subjek yang digunakan adalah manusia, dimana kita
ketahui bahwa manusia memiliki banyak sekali faktor yang berpengaruh pada berat badan.
Subjek penelitian penelitian ini, memiliki kesetaraan karakteristik dasar/ srtarting point yang
sama menurut statistik. Namun, banyak faktor lain seperti makan yang dikonsumsi seharihari, aktivitas keseharian subjek penelitian yang berbeda-beda. Hal ini akan mempengaruhi
keadaan umum penderita. Sehingga, dapat mempengaruhi hasil penilaian berat badan.
Berbeda jika penelitian ini dilakukan pada mencit yang dapat dikontrol secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut dengan intensitas kontrol yang lebih
menyeluruh, sehingga tidak banyak faktor yang mempengaruhi hasil penilaian variabel
penelitian.
Kesimpulan
Pemberian ekstrak kulit manggis (Garciana mangostana ) tidak efektif terhadap jumlah sel
berat badan dalam kelompok perlakuan penderita HIV dengan terapi ARV. Diperlukan
penelitian selanjutnya dengan pengembangan kajian pemberian ekstrak kulit manggis
(Garcinia mangostana ), khususnya kandungan ektrak kulit manggis, apakah terdapat
interaksi yang menimbulkan efek negative antara ekstrak kulit manggis dengan terapi ARV.
Penelitian dengan jangka waktu agar mendapatkan hasil penelitian yang jauh lebih baik.
Selain itu, diperlukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan orang sehat sebagai
kelompok kontrol dengan kontrol penuh pada seluruh faktor-faktor yang berpengaruh pada
berat badan. Diperlukan pemeriksaan darah lengkap yang berpengaruh pada berat badan serta
lebih lengkap dan pemeriksaan viral load. Juga dibutuhkan penelitian efektivitas pemberian
motivasi, dukungan, dan perhatian terhadap pola pikir, perasaan dan tindakan penderita HIV,
terkait dengan data hasil pengakuan subjektif responden penelitian ini.
Daftar Pustaka
Abbas AK, Lichtman AH PS. 2007. Celluer and Molecular Immunology. 6th ed. Philadelpia,
WB Saunders.
Karnen B. 2004. Imunologi Dasar. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
93
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jawa Tengah. 2014. Rencana Strategis
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Jawa Tengah.
Nursalam, Kurniawati D. Nunuk. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS. Edisi I. Jakarta: Salemba Medika.
Planta Med. 1996. Aug;62(4):381-2. Chen SX, Wan M, Loh BN. Active constituents against
HIV-1 protease from Garcinia mangostana. Journal of pubmed.gov.
Spiritia Y. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Sampai Desember. 2013. p.
http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf.
UNAIDS. AIDS Epidemic. 2013. p. http://www.unaids.org/en/dataanalysis/epidemiology.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
94
LITERATUR REVIEW : DUKUNGAN KELUARGA, EFIKASI DIRI DAN
KUALITAS HIDUP LANSIA DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2
Dwi Yuniar Ramadhani
Mahasiswa Magister Keperawatan, Fakultas Kedokteran,Universitas Diponegoro
Email : [email protected]
Abstrak
Latar Belakang : Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan
tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang dihasilkan dari kerusakan pada sekresi insulin,
aksi insulin atau keduanya. Perawatan penderita dengan diabetes melitus membutuhkan waktu yang
lama sehingga berpengaruh pada kualitas hidup penderita. Penderita yang tinggal dengan keluarga
dapat memberikan dukungan sehingga berpengaruh pada kualitas hidup. Efikasi diri pasien DM
dapat ditunjukkan dari sebuah perilaku tertentu dan mengubah pola pikir tertentu sehingga dapat
mengelola dan meminimalkan gejala yang mereka alami dan meningkatkan kualitas hidup.
Metode: Literatur review dengan mengumpulkan jurnal dengan cara melakukan penelusuran jurnal
yang telah terpublikasi pada ProQuest, Ebsco, Google Search, Google Scholar dengan
menggunakan kata kunci Dukungan Keluarga, Self Efficacy, Kualitas Hidup, Lansia dengan
Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal yang diambil mempunyai kemiripan kemudian dianalisis.
Penelusuran dibatasi terbitan tahun 2005-2015 dengan format Fulltext PDF.
Hasil: Dari hasil penelusuran didapatkan 167 abstrak dan diambil 8 jurnal yang sesuai untuk
dilakukan review.
Diskusi: Diabetes mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Beberapa hal yang berhubungan
dengan kualitas hidup penderita diabetes melitus diantaranya adalah dukungan keluarga dan efikasi
diri. Dengan adanya hubungan dukungan keluarga dan efikasi diri maka penderita dapat melakukan
perawatan diri, meningkatkan kemampuan dan merubah pola pikir sehingga dapat mengelola dan
meningkatkan kualitas hidup.
Kesimpulan : Dukungan keluarga, efikasi diri, dan kualitas hidup penting bagi lansia dengan
diabetes melitus tipe 2, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan
dari ketiga komponen tersebut.
Kata Kunci: Dukungan Keluarga, Efikasi Diri, Kualitas Hidup, Lansia denganan DM Tipe 2
Pendahuluan
Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang dihasilkan dari kerusakan pada sekresi insulin,
aksi insulin atau keduanya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel-sel beta
pankreas, yang diperlukan untuk memanfaatkan glukosa dari makanan yang dicerna
sebagai sumber energi (Loghmani, 2005). Diabetes tipe 2 adalah tipe diabetes yang banyak
terjadi, biasa terjadi pada usia dewasa, tetapi banyak juga pada anak-anak dan remaja
(International Diabetes Federation, 2013, p.23). Faktor yang beresiko berpengaruh pada
pathogenesis diabetes diantaranya adalah penuaan, obesitas, peminum alkohol, perokok,
faktor genetik, dan lain-lain (Ozougwu et al, 2013). Banyak orang dengan diabetes tipe 2
tidak menyadari penyakitnya, karena butuh waktu bertahun-tahun gejala dari penyakit
tersebut muncul. Mereka didiagnosa ketika telah terjadi komplikasi diabetes (International
Diabetes Federation, 2013, p.23).
Komplikasi diabetes berhubungan dengan mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi
mikrovaskular seperti retinopati, nefropati, neuropati. Komplikasi makrovaskular seperti
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
95
penyakit arteri koroner, stroke, penyakit peripheral vascular, adanya ulserasi dan anggota
badan yang diamputasi (CDC, 2002). Penderita DM yang sudah terdiagnosa harus
mengubah gaya hidup mereka. Mereka mengalami banyak emosi negatif yang
menyebabkan kesulitan beradaptasi sosial, mengganggu kemampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari, dan menyebabkan kecacatan. Hasil penelitian didapatkan berbagai
faktor (misalnya, penyakit, durasi, faktor sosial, komplikasi, metode pengobatan, dan
keadaan emosi) berpengaruh pada keadaan emosional dan kualitas hidup pasien DM
(Mikailiūkštienė et al, 2013).
Kualitas hidup penderita Diabetes Melitus merupakan perasaan puas dan bahagia akan
hidup secara umum. Kualitas hidup telah digambarkan oleh WHO (1994) sebagai sebuah
persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan pada konteks budaya dan sistem
nilai dimana mereka tinggal hidup, harapan, standar dan fokus hidup mereka.
Meningkatkan kualitas hidup penderita DM dibutuhkan pengelolaan yang baik.
Pengelolaan DM tipe 2 membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan perhatian jangka
panjang untuk perawatan diri dan perilaku preventif (Hunt, Caralise W, et al. 2012).
Perawatan pada DM membutuhkan waktu yang lama karena penyakit tersebut merupakan
penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup dan memiliki permasalah yang sangat
kompleks. Penderita harus memiliki kemampuan dan keyakinan diri untuk dapat
melakukan perawatan diri serta membutuhkan dukungan keluarga terdekat. Dukungan
sosial dan anggota keluarga dianggap sebagai sumber yang berpengaruh pada dukungan
sosial untuk penderita diabetes. Anggota keluarga dapat memberikan dampak positif dan
atau negatif pada kesehatan penderita diabetes, mengganggu atau memfasilitasi aktivitas
perawatan diri dan berkontribusi atau menpengaruhi stress pada kontrol glikemik
(Mayberry et al, 2012).
Berdasarkan social cognitive theor y Bandura (1994) menyatakan bahwa salah satu bentuk
dukungan sosial berasal dari keluarga yang merupakan salah satu sumber informasi yang
mendukung peningkatan efikasi diri. Efikasi diripada lanjut usia berfokus pada penerimaan
dan penolakan terhadap kemampuannya seiring dengan kemunduran fisik dan intelektual
yang dialami (Bandura, 1994).
Tujuan
Untuk menggambarkan dukungan keluarga, efikasi diri dan kualitas hidup lansia dengan
diabetes melitus tipe 2.
Metoda
Literatur review dengan mengumpulkan jurnal dengan cara melakukan penelusuran jurnal
yang telah terpublikasi pada ProQuest, Ebsco, Google Search, Google Scholar dengan
menggunakan kata kunci Dukungan Keluarga, Self Efficacy, Kualitas Hidup, Lansia
dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal yang diambil mempunyai kemiripan kemudian
analisis. Penelusuran dibatasi terbitan tahun 2005-2015 denga format Fulltext PDF.
Hasil
Hasil penelitian Ariani (2012), didapatkan hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri
(p = 0,010; α = 0,05; 95% CI ; 1,152; 16,286). Menggambarkan bahwa responden yang
mendapatkan dukungan keluarga memiliki peluang 4,97 kali menunjukkan efikasi diri
yang baik dibandingkan responden yang kurang mendapatkan dukungan keluarga. Hasil
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
96
penelitian Wahyuni (2014), menunjukkan responden yang memiliki nilai kualitas hidup
tinggi adalah responden dengan kelompok umur lansia (65,9%). Tingginya kualitas hidup
pada lansia disebabkan oleh lansia sudah menjalani kehidupan lebih lama dan mengalami
berbagai perubahan sehingga mereka mampu mengevaluasi hidupnya lebih positif. Hasil
penelitian Yusra (2011), menunjukkan analisis hubungan dukungan keluarga (dimensi
emosional, penghargaan, instrumen dan informasi) dengan kualitas hidup responden
menunjukkan pola positif, hubungan terkuat (r = 0.703). Hasil uji statistik menunjukkan
hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup responden (p
value = 0.001). Hasil penelitian Rahmawati (2015), didapatkan rata-rata usia responden
adalah 55,6 tahun dengan usia termuda 29 tahun dan tertua 81 tahun, dengan jumlah
responden 50 orang. Nilai R2 adalah 0,403 yang berarti bahwa dukungan keluarga
memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup sebesar 40,3% sedangkan sisanya 59,7%
merupakan pengaruh dari variabel lain yang tidak diteliti. t value untuk dukungan keluarga
terhadap kualitas hidup diperoleh 15,366. Nilai ini lebih besar dari titik kritis 1,96 (nilai
t-tabel pada α = 5%) sehingga dapat disimpulkan dukungan keluarga terbukti berpengaruh
signifikan terhadap kualitas hidup dengan kontribusi pengaruh sebesar 40,3%.
Hasil penelitian Nursari (2014) didapatkan efikasi diri sedang dengan kualitas hidup
sedang sebanyak 18 orang (31%). Hasil analisis menggunakan korelasi Spearman Rank
menunjukkan ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pada peasien DM dengan p
value sebesar 0,000 dan r hitung sebesar 0,678, sehingga dapat diartikan semakin tinggi
efikasi diri pasien DM maka semakin baik kualitas hidupnya. Hasil penelitian Rini (2011)
didapatkan ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien PPOK di RS Paru Batu
(p value: 0,022 ; α: 0,10). Berdasarkan nilai OR dapat disimpulkan bahwa responden
dengan efikasi diri baik memiliki peluang 3,417 kali menunjukkan kualitas hidup baik
dibandingkan dengan responden yang memiliki efikasi diri tidak baik (CI 95% ; OR:
1,291-9,043). Hasil penelitian Caralise W, et al (2012) didapatkan Self-efficacy secara
signifikan berkorelasi positif dengan pengelolaan diri diabetes [r (150) = 0,40], dukungan
sosial [r (150) = 0,28], dan pemecahkan masalah sosial [r (150) = 0,36] pada p, 0,01.
Diabetes manajemen diri tidak signifikan berkorelasi dengan dukungan sosial atau
pemecahan masalah sosial dalam sampel ini. Hasil penelitian Permatasari (2014)
didapatkan terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan perawatan diri lansia
hipertensi (ρ< 0,02), terdapat hubungan antara efikasi diri dan perawatan diri lansia
hipertensi (ρ< 0,00), terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan efikasi diri (ρ< 0,00).
Efikasi diri merupakan faktor yang paling dominan berkontribusi terhadap perawatan diri
dengan nilai (beta 0,28). Terdapat koefisien regresi negatif antara dukungan keluarga dengan
perawatan diri lansia hipertensi -0,02. Dukungan keluarga dan efikasi diri memiliki
pengaruh sebesar 20% terhadap perawatan diri lansia hipertensi.
Pembahasan
American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 menyatakan diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2011).
Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas yang membebaskan glukosa dari
makanan untuk masuk kedalam sel dimana akan diubah menjadi energi yang dibutuhkan
oleh otot dan jaringan. Seseorang dengan diabetes tidak mampu menyerap glukosa dengan
baik dan sisa glukosa beredar dalam darah sehingga merusak jaringan dari waktu ke waktu.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
97
Kerusakan ini menyebabkan gangguan dan komplikasi kesehatan sehingga mengancam
jiwa (International Diabetes Federation, 2013, p.22).
Banyak orang dengan diabetes tipe 2 tidak menyadari penyakitnya, karena butuh waktu
bertahun-tahun gejala dari penyakit tersebut muncul. Mereka didiagnosa ketika telah
terjadi komplikasi diabetes. Orang dengan diabetes tipe 2 semakin berkembang pesat di
seluruh dunia. Peningkatan ini berhubungan dengan perkembangan ekonomi, populasi usia
lanjut, peningkatan urbanisasi, perubahan pola makan, kurangnya aktivitas fisik dan
perubahan gaya hidup (International Diabetes Federation, 2013, p.23).
Diabetes mempengaruhi kualitas hidup penderita. Kualitas hidup merupakan gabungan
persepsi individu tentang kesejahteraan, kepuasan, dan kebahagiaan, dipengaruhi oleh
jenis, jumlah, dan frekuensi komplikasi metabolik. Penderita dengan diabetes merasa
terbebani oleh emosi negatif, dengan pembatasan disebabkan oleh penyakit, dan oleh
tekanan dan perencanaan diperlukan untuk pengelolaan penyakit. Beban penyakit yang
juga membatasi produktivitas kerja, kehidupan sosial, hubungan keluarga, dan kepentingan
rekreasi (Misra, et al, 2008).
Dukungan keluarga sangat berpengaruh pada penderita DM tipe 2 dimana dapat
meningkatkan keyakinan akan kemampuannya melakukan tindakan perawatan diri,
meningkatkan kemampuan adaptasi dari kognitif sehingga meningkatkan optimisme
penderita DM tipe 2, mengurangi kesepian. Penderita DM tipe 2 tinggal bersama keluarga
akan merasakan perasaan nyaman dan aman sehingga dapat menumbuhkan perhatian
terhadap diri sendiri dan meningkatkan motivasi untuk melakukan perawatan diri serta
menurunkan resiko komplikasi dan meningkatkan kualitas hidupnya. Adanya rasa nyaman
pada diri penderita DM tipe 2 adalah karena adanya dukungan emosional, penghargaan,
instrumental dan informasi dari keluarga, sehingga dapat mencegah terjadinya stress pada
penderita DM tipe 2 (Yusra, 2011; Rahmawati, 2015).
Bentuk dukungan keluarga pada penderita DM usia lanjut merupakan bentuk bakti anak
kepada orang tua. Bentuk bakti anak kepada orang tua adalah untuk memuja, merawat dan
memenuhi kebutuhan mereka dimasa tua. Hubungan yang saling mendukung adalah dengan
menyediakan sumber daya dan memfasilitasi manajemen diabetes (Liu, 2012). Berdasarkan
social cognitive theor y Bandura (1994) menyatakan bahwa salah satu bentuk dukungan
sosial berasal dari keluarga yang merupakan salah satu sumber informasi yang mendukung
peningkatan efikasi diri.
Efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu
tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri
menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan berperilaku
(Bandura, 1994). Efikasi diri yang dimiliki oleh penderita DM baik atau kurang dapat
dibentuk oleh individu itu sendiri. Adanya keyakinan pada diri pasien DM dapat
ditunjukkan dari sebuah perilaku tertentu dan mengubah pola pikir tertentu sehingga dapat
mengelola dan meminimalkan gejala yang mereka alami dan meningkatkan kualitas hidup.
Kesimpulan
Dukungan keluarga, self efficacy, dan kualitas hidup penting bagi lansia dengan diabtes
melitus tipe 2, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan
dari ketiga komponen tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
98
Daftar Pustaka
Depkes RI. 2005. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Tenaga Kesehatan.
Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. P. 1
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut
Usia di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Semester I.
Jakarta. Kementrerian Kesehatan RI. P. 9
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus Pengendalian dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Diakses dari
http://labcito.co.id. pada tanggal 19 Agustus 2015 jam 12.07 wib.
International diabetes Federation. 2013. IDF Diabetes Atlas. Sixth Edition. P. 22. Diakses
dari www.idf.org. pada tanggal 27 Agustus 2015 jam 15.22 wib.
International diabetes Federation. 2014. IDF Diabetes Atlas. Sixth Edition. 2014 Update. P.
14. Diakses dari www.idf.org/regions/wetern-pacific. pada tanggal 27 Agustus
2015 jam 15.25 wib.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar
RISKESDAS 2013. Kementerian Kesehatan RI. P 88-90. Diakses dari
http://www.litbang.depkes.go.id. pada tanggal 27 Agustus 2015 jam 8.12 wib.
Hunt, Caralise W, et al. 2012. Relationships Among Self-Efficacy, Social Support, Social
Problem Solving, and Self-Management in Rural Sample Living With Type 2
Diabetes Mellitus. Springer Publishing Company. P. 127. Diakses dari
www.search.proquest.com. pada tanggal 25 Agustus 2015 jam 16.09 wib.
Ariani.Yesi, Ratna Sitorus dan Dewi Gayatri. 2012. Motivasi Dan Efikasi Diri Pasien
Diabtes Melitus Tipe 2 Dalam Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperawatan
Indonesia. Volume 15. No. 1. Hal. 29-38.
Wahyuni. Yuli, Nursiswati dan Anastasia Anna. 2014. Kualitas Hidup Berdasarkan
Karakteristik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Volume 2. No. 1. Hal 25-34.
Yusra, Aini. 2010. Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta. Tesis.
Rahmawati. Fuji, Elsa Pudji Setiawati dan Tetti Solehati. 2015. Pengaruh Dukungan
Keluarga Terhadap Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2.
Liu, Tingting & Nell Hodgson Woodruff. 2012. A Concept Analysis of Self Efficacy
Among Chinese Elderly with Diabetes Mellitus. Wiley Periodicals, Inc. Nursing
Forum. Volume 47. No. 4. P. 226-235. Tanggal 07-08-2015 jam 14.39 wib.
Stipanovic. 2003. The effects of diabetes education on self-efficacy and self care (Thesis
master, Unversity of Manitoba) University of Manitoba, Canada.
Misra, Ranjit & Julie Lager. 2008. Predictors of Quality of Life Among Adults with Type 2
Diabtes Mellitus. Elsevier. Journal od Diabtes and Its Complication 22. P.
217-223. Tanggal 28-08-2015 jam 12.54 wib.
Nursari, Made, Dkk. 2014. Hubungan Efikasi Diri Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien
Diabtes Melitus di Poliklinik Interna BLUD RSUD Sanjiwani Gianyar.
Keperawatan Jiwa, Komunitas dan Manajemen. Desember Vo. 1 No. 2. P.
186-192.
Mayberry, Lindsay S, Chandra Y. Osborn. 2012. Family Support, Medication Adherence,
and Glycemic Control Among Adults With Type 2 Diabetes. Clinical
Care/Education/Nutrition/Psyhosocial Research. Diabtes Care Vol. 35. P.
1239-1245.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
99
J. C, Ozougwu, et al. 2013. The Pathogenesis and Pathophysiology of Type 1 and Type 2
Diabetes Mellitus. Journal of Physiology and Pathophysiology. Academic Journal
Vol 4(4). P. 46-57.
Loghmani, Emily. 2005. Guidelines for Adolescent Nutrition Services. P. 167-182.
Permatasari, Leya Indah, dkk. (2014). Hubungan Dukungan Keluarga dan Self Efficacy
Dengan Perawatan Diri Lansia Hipertensi. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia
Vol. 10. No. 2.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
100
KEEFEKTIFAN STRATEGI PROMOSI KESEHATAN DI NEGARA
BERKEMBANG DENGAN LINGKUNGAN YANG KURANG
MENGUNTUNGKAN PERJALANAN MENUJU STRATEGI
PROMOSI KESEHATAN YANG SESUAI DENGAN
KONTEKS INDONESIA
Treesia Sujana
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Indonesia
Abstrak
Latar Belakang. Kesehatan maternal dan neonatal merupakan dua masalah kesehatan yang
besaran masalahnya telah mendesak untuk diatasi. Walaupun angka kematian ibu telah menurun
sebanyak 47% dalam sepuluh tahun, tetapi masih ada kurang lebih 287.000 ibu yang meninggal
pada masa ante dan post natal pada tahun 2010.
Tujuan. Tujuan dari kajian literature ini adalah untuk mempelajari strategi promosi kesehatan dari
konteks yang nyata dan melihat faktor faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari program
program yang telah dicanangkan.
Metoda. Studi ini menggunakan metoda strategy literature review dari 20 artikel yang membahas
strategi promosi kesehatan. Sample menggunakan purposive sampling dengan populasi artikel
akademik yang telah melalui proses peer reviewed. Artikel dipilih melalui database artikel
penelitian ProQuest dan melalui proses seleksi dengan penelusuran abstrak dan full text. Sample
dipilih dengan kriteria: memiliki strategi promosi kesehatan; mendeskripsikan evaluasi dari strategi
promosi kesehatan yang diteliti dan ditulis; dan mengimplementasikan strategi promosi kesehatan
di negara negara berkembang dengan pendapatan rendah dan menengah sebagai konteks.
Hasil. Dari ke-20 penelitian intervensi promosi kesehatan didapatkan adanya 4 tujuan besar dari
strategi promosi kesehatan. Penigkatan kesadaran terhadap kesehatan, peningkatan terhadap akses
dan layanan kesehatan Ibu dan anak, mengurangi angka kematian anak, serta analisis pihak pihak
yang berkepentingan dalam kesehatan Ibu dan anak. 13 dari 20 artikel yang diteliti ditemukan
berfokus pada the Ottawa Charter action area yang kedua yaitu promosi kesehatan untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung bagi peningkatan kesehatan.
Kesimpulan. Ada duaj hal penting yang teridentifikasi dari studi ini.pertama adalah bahwa
mengerti konteks dan lokasi pemberian promosi kesehatan itu penting; memiliki pengetahuan
dasar mengenai tahapan perilaku di masyarakat akan memperkaya peneliti dalam menyusun tujuan
dan prioritas. Kedua, memliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mendekati pemegang kebijakan
akan sangat diperlukan dalam pemberian strategi promosi kesehatan the Ottawa Charter action area
yang pertama.
Kata Kunci: kesehatan komunitas, strategi promosi kesehatan, ibu dan anak.
Pendahuluan
Kesehatan maternal dan neonatal merupakan dua masalah kesehatan yang besaran
masalahnya telah mendesak untuk diatasi. Oleh karena itu PBB telah mengembangkan 8
Millenium Development Goals (MDGs) dimana menurunkan angka kematian anak dan
meningkatkan kesehatan ibu menjadi dua fokus pengembangannya (PBB, 2013).
Walaupun angka kematian ibu telah menurun sebanyak 47% dalam sepuluh tahun, tetapi
masih ada kurang lebih 287.000 ibu yang meninggal pada masa ante dan post natal pada
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
101
tahun 2010 (WHO, 2013). WHO pada tahun 2013 juga menekankan bahwa penyebab
paling besar dari kematian ibu dapat dihindari, dimana akses untuk mendapatkan layanan
kesehatan maternal dan tidak adanya kesadaran terhadap bahaya bahaya terkait kesehatan
maternal merupakan penyebab kematian yang paling utama. Selain itu angka kematian
anak di dunia juga belum mencapai target yang ditetapkan oleh MDGs yaitu menurunkan
angka kematian anak hingga dua pertiga dalam periode 15 tahun dari 93 anak menjadi 31
anak di setiap 1000 kelahiran pada 2015 (PBB, 2012).
Kesehatan neonatal sendiri sangat tergantung pada kesehatan ibu. Kematian dan kesakitan
neonatal seringkali terkait dengan kesehatan ibu ketika masa kehamilan dan juga terkait
dengan ketrampilan Ibu pada masa neonatal. Apabila kita melihat dari paradigma sehat
(Greg & O'Hara, 2007) kesehatan Ibu merupakan sesuatu yang rumit, semua dimensi
kesehatan Ibu akan mempengaruhi pengetahuan dan ketrampilan Ibu. Oleh demikian,
layanan kesehatan maternal dan neonatal yang terintegrasi akan meningkatkan
kemungkinan menurunnya angka kematian ibu dan anak.
Konteks yang dipilih dari kajian literature terhadap strategi promosi kesehatan ini adalah
negara negara berkembang yang terindikasi memiliki berbagai faktor penentu kesehatan
yang diakibatkan oleh situasi yang kurang menguntungkan. Terlebih lagi infrastruktur
yang kurang dan kondisi sosial ekonomi di negara negara berkembang terindikasi sebagai
kontributor paling besar terhadap angka kematian ibu dan neonatal. Laporan MDGs
membuktikan bahwa negara negara Sub-Sahara Afrika dan wilayah Asia Tenggara terdata
sebagai negara dengan angka kematian maternal dan anak dibawah lima tahun yang tinggi
di dunia (PBB Laporan MDGs, 2012). Struktur dari kajian literature ini dimulai dengan
penjelasan singkat dari hasil analisa dari 20 artikel hasil penelitian yang disajikan di dalam
bagan. Penemuan dari analisa kemudian dikembangkan dan didukung dengan literature
pendukung pada bagian diskusi. Akhirnya penekanan kembali dari tujuan dan keuntungan
dari studi ini akan dijelaskan di kesimpulan.
Tujuan
Studi ini akan menganalisa strategi promosi kesehatan yang telah dilakukan di area
kesehatan maternal dan neonatal. Tujuan dari kajian literature ini adalah untuk
mempelajari strategi promosi kesehatan dari konteks yang nyata dan melihat faktor faktor
yang mempengaruhi keberhasilan dari program program yang telah dicanangkan. Kajian
literature ini juga akan melihat kemungkinan dari adanya proses adaptasi dan
pengembangan strategi strategi promosi kesehatan baru.
Metoda
Studi ini menggunakan metoda strategy literature review dari 20 artikel yang membahas
strategi promosi kesehatan. Sample pada studi ini menggunakan purposive sampling
dengan populasi artikel artikel akademik yang telah melalui proses peer reviewed. Artikel
dipilih melalui database artikel penelitian ProQuest dan melalui proses seleksi dengan
penelusuran abstrak dan full text. Sample kemudian dipilih dengan kriteria : memiliki
strategi promosi kesehatan; mendeskripsikan evaluasi dari strategi promosi kesehatan yang
diteliti dan ditulis; dan mengimplementasikan strategi promosi kesehatan di negara negara
berkembang dengan pendapatan rendah dan menengah sebagai konteks. Setelah proses
seleksi maka 20 artikel penelitian pengkajian strategi promosi kesehatan dengan konteks
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
102
negara Bangladesh, India, Malawi, Nepal, Sub Sahara Afrika, Pakistan, Burma, Kenya,
Lesotho, Mesir rural dan Ghana terpilih menjadi sample.
Ke-20 artikel yang terpilih kemudian di analisa dengan metoda pengkategorian yang
memilah informasi pada setiap artikel. Pengkategorian pada studi ini ditentukan sesuai
dengan ide ide penting yang kemudian muncul pada proses awal analisa yang kemudian
dikaitkan dengan the Ottawa Chatter action area, yang merupakan area fokus promosi
kesehatan dunia yang ditetapkan pada tahun 1986 di Konferensi Internasional Promosi
Kesehatan yang pertama di Ottawa.
Hasil
Dari tahap membaca dan menyeleksi awal dari setiap artikel yang diteliti, pengkategorian
mengarah kepada beberapa kategori besar yaitu: tujuan promosi kesehatan; konteks dari
lokasi promosi kesehatan; pertanyaan penelitian dan hipotesa; strategi promosi kesehatan
dan teori yang mendukung; fokus pada the Ottawa Charter action area, hasil dan metoda
evaluasi; serta kekuatan dan kelemahan dari strategi promosi kesehatan yang digunakan.
Bentuk dan tujuan dari intervensi promosi kesehatan
Dari ke-20 penelitian intervensi promosi kesehatan didapatkan adanya 4 tujuan besar dari
strategi promosi kesehatan. Penigkatan kesadaran terhadap kesehatan, peningkatan
terhadap akses dan layanan kesehatan Ibu dan anak, mengurangi angka kematian anak,
serta analisis pihak pihak yang berkepentingan dalam kesehatan Ibu dan anak adalah
tujuan tujuan strategi promosi kesehatan yang ditemukan dalam studi ini. Terdapat delapan
penelitian yang menggunakan grup pekerja kesehatan masyarakat, dimana anggota
masyarakat yang pada umumnya wanita dilatih dan diberi pengetahuan mengenai
kesehatan ibu dan anak. Enam diantaranya teridentifikasi berhasil menurunkan angka
kematian ibu di area kontrol, meningkatkan angka ibu dengan peningkatan kesadaran
terhadap kesehatan Ibu dan anak serta meningkatnya akses terhadap layanan kesehatan ibu
dan anak. Selain menggunakan pekerja kesehatan komunitas, tiga penelitian menggunakan
strategi penggunaan dukun bersalin terlatih untuk membantu menekan determinan
kesehatan maternal di masyarakat. Dari hasil analisa didapatkan bahwa dalam ketiga
pemberian intervensi strategi ini membuktikan adanya perbedaan antara grup wanita
dengan dukun bersalin terlatih dan grup kontrol, dimana terdapat peningkatan angka
pemberian layanan kesehatan terhadap ibu dan anak, serta adanya peningkatan angka ibu
bersalin di tempat layanan kesehatan.
Beberapa strategi lain seperti kunjungan rumah oleh perawat, adanya koperasi simpan
pinjam bagi keperluan persalinan, serta intervensi dengan program Nasional yang
dicanangkan pemerintah merupakan strategi promosi kesehatan lain yang teridentifikasi
dalam studi ini. Strategi strategi tersebut tidak tercatat sebagai strategi yang berdampak
signifikan terhadap kesehatan ibu dan anak. Program nasional yang berkaitan dengan
kesehatan ibu dan anak ditemukan memberikan perubahan pada perilaku kesehatan ibu,
tetapi tidak teridentifikasi menurunkan angka kematian ibu dan bayi secara langsung
dalam periode tertentu.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
103
Keterkaitan dengan area promosi kesehatan berdasarkan the Ottawa Charter action
area
13 dari 20 artikel yang diteliti ditemukan berfokus pada the Ottawa Charter action area
yang kedua yaitu promosi kesehatan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi
peningkatan kesehatan, 5 artikel berfokus pada action area yang ke 1 yaitu membangun
kebijakan yang sehaT. 1 artikel berfokus pada the Ottawa Charter action area 5 yaitu
mengalihkan kembali layanan kesehatan yang berfokus ke klinis menjadi ke komunitas
dan action area 3 yaitu memperkuat intervensi dalam skala komunitas.
Analisa data mendapatkan bahwa kegiatan promosi kesehatan dengan menggunakan
pekerja kesehatan masyarakat pada beberapa artikel tidak diketahui dengan jelas apakah
faktor faktor yang mempengaruhi kesehatan ibu dan anak lain turut diteliti. Selain itu
terdapat beberapa intervensi promosi kesehatan yang tidak tercatat dilakukan proses
evaluasi. Di sisi lain, strategi ini diidentifikasi sebagai strategi kesehatan ibu dan anak
yang mudah diadaptasi oleh ibu di komunitas karena memanfaatkan ibu ibu yang
merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Selain pemanfaatan ibu ibu dalam
masyarakat sebagai tenaga kesehatan komunitas, pelatihan terhadap dukun bersalin juga
terbukti efektif dalam memberikan akses terhadap informasi dan layanan kesehatan bagi
para ibu di komunitas. Meskipun demikian, terdapat keterbatasan dalam evaluasi program,
dimana faktor penentu kesehatan lain tidak dipertimbangkan dalam proses evaluasi strategi
ini.
Terdapat lima buah artikel yang menekankan terhadap strategi promosi kesehatan dari
sudut pandang pengambil kebijakan, dimana terdapat program program Nasional yang
dicanangkan di masing masing lokasi penelitian dan mengkaji keberhasilan program
program tersebut dengan provinsi lain sebagai kontrol. Semua strategi promosi kesehatan
yang dilakukan teridentifikasi memiliki framework yang kuat sebagai landasan dalam
melakukan intervensi di masyarakat. Tetapi terdapat adanya keterbatasan dalam
implementasi strategi dan diperlukan tindakan lanjutan bagi keefektifan strategi ini.
Pembahasan
Hasil analisa dari 20 strategi promosi kesehatan yang telah dilakukan memperlihatkan
bahwa semua strategi promosi kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
individu; meningkatkan akses dan layanan kesehatan maternal dan neonatal yang
menurunkan angka mortalitas dan memperkuat analisa pihak pihak yang berkepentingan
dalam memberi keputusan pencanangan strategi. Sebagian besar strategi promosi
kesehatan yang muncul dilakukan berdasarkan evaluasi dari implementasi promosi
kesehatan sebelumnya atau strategi yang diadaptasi dari setting yang lain.
Meskipun sebagian strategi promosi kesehatan dilakukan berdasarkan hasil evaluasi
program sebelumnya, proses analisa mendapatkan bahwa pengkajian awal terhadap
populasi target tetap dilakukan sebelum perencanaan intervensi dilakukan. Teridentifikasi
beberapa faktor penting yang mempengaruhi proses adaptasi dari intervensi seperti:
karakter populasi, jumlah partisipan, adanya faktor lingkungan dan sumber daya potensial
dari komunitas. Faktor faktor inilah yang menurut teori promosi kesehatan dapat
mempengaruhi keefektifan dari strategi promosi kesehatan di komunitas (Nutbeam, Harris
& Wise, 2010)
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
104
Strategi strategi promosi kesehatan ditemukan berkaitan dengan the Ottawa Chatter action
area yang kedua yaitu menciptakan lingkungan yang mendukung. Proses diskusi dalam
menentukan area aksi promosi kesehatan global the Ottawa Chatter menyimpulkan bahwa
menciptakan lingkungan yang mendukung berarti mengawasi dan mendukung satu dengan
yang lainnya di dalam komunitas dan mengembangkan lingkungan berdasarkan potensi
yang ada pada populasi atau lingkungan (WHO, 2009). Dalam studi ini pengembangan
petugas kesehatan masyarakat, yang di Indonesia dikenal dengan kader, terbukti dapat
merubah prilaku kesehatan ibu di masyarakat. Sebagai warga masyarakat, kader memiliki
kemampuan untuk mendekati dan memberikan informasi kesehatan bagi para ibu di
komunitas tanpa adanya hambatan budaya. Selain itu pemberdayaan dukun bersalin, kader
dan pekerja kesehatan dalam komunitas bersama dengan para pemegang kepentingan dan
juga organisasi kesehatan yang berperan dalam membangun lingkungan yang mendukung
bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak. Seperti yang ditekankan dalam the ecological of
human behaviour theory bahwa interaksi antara individu dengan lingkungannya pada
akhirnya akan berdampak pada perubahan tingkah laku (Bronfenbrenner, 1994).
Beberapa strategi terkait dengan the Ottawa Charter action area 1, yaitu membangun
kebijakan yang sehat. Hampir semua strategi strategi yang terkait dengan the Otthawa
Charter area 1 ini menganalisa kebijakan ibu dan anak dan mendokumentasijan efek dari
strategi maternal dan neonatal. Untuk dapat mengkomunikasikan kebijakan dengan
pemerintah, kita harus mampu membangun ulang permasalahan dan memiliki pengetahuan
yang akan membawa kita terhadap pemecahan masalah. Akan tetapi beberapa strategi
tidak menyertakan theoritical framework untuk startegi promosi kesehatan yang
dicanangkan sehingga seringkali tidak mencapai tujuan spesifik dan tidak mendalam.
Proses evaluasi seringkali hanya dihitung dari satu faktor dan memiliki hasil yang bias.
Kesimpulan
Kajian literatur ini telah memberikan gambaran akan beberapa pengembangan strategi
promosi kesehatan ibu dan anak di negara berkembang seperti Indonesia. Evaluasi dari
setiap strategi mendeskripsikan kebehrasilan dari setiap strategi dan intervensi yang
diimplementasikan di masyarakat. Beberapa hal yang sangat penting dari kajian ini adalah
bahwa: mengerti konteks dan lokasi pemberian promosi kesehatan itu penting; memiliki
pengetahuan dasar mengenai tahapan perilaku di masyarakat akan memperkaya peneliti
dalam menyusun tujuan dan prioritas. Kedua, memliki pengetahuan dan ketrampilan dalam
mendekati pemegang kebijakan akan sangat diperlukan dalam pemberian strategi promosi
kesehatan the Ottawa Charter action area yang pertama. Keberlanjutan dari pelaksanaan
kebijakan perlu dilakukan dan dikembangkan dalam pengembangan konsep intervensi aksi
promosi kesehatan. Ketiga, memiliki theoritical framework yang dapat memfokuskan
intervensi pada tujuan dan akan memntukan bentuk intervensi yang akan dilakukan.
Dengan mempertimbangkan hal hal ini penetapan tujuan yang mendalam dan sesuai
dengan konteks serta intervensi yang nyata dapat dilakukan di masyarakat. Hal ini akan
mengarah kepada tujuan yang paling utama yaitu menurunkan angka kematian ibu dan
anak di komunitas.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
105
Daftar Pustaka
Ahmed SM, Hossain A, Khan MA, Mridha MK, Alam A, Choudhury N, et al. (2010).
Using formative research to develop MNCH programme in urban slums in
Bangladesh: experiences from MANOSHI , BRAC. BMC Public Health
;10(1):663.
Baqui AH, El-Arifeen S, Darmstadt GL, Ahmed S, Williams EK, Seraji HR, et al. (2008).
Effect of community-based newborn-care intervention package implemented
through two service-delivery strategies in Sylhet district,Bangladesh: a clusterrandomised controlled trial. The Lancet Jun;371(9628):1936-44.
Bhutta ZA, Soofi S, Cousens S, Mohammad S, Memon ZA, Ali I, et al. (2011).
Improvement of perinatal and newborn care in rural Pakistan through communitybased strategies: a cluster-randomised effectiveness trial. The Lancet.
Jan;377(9763):403-12.
Bhutta ZA, Soofi S, Cousens S, Mohammad S, Memon ZA, Ali I, et al. (2011).
Improvement of perinatal and newborn care in rural Pakistan through communitybased strategies: a cluster-randomised effectiveness trial. The Lancet
Jan;377(9763):403-12.
Bronfenbrenner U.(1994). Ecological Models of Human Development. International
Encyclopedia of Education Vol3. Oxford: Elesivier.
Gregg J, O’Hara L. (2007).The Red Lotus Health Promotion Model: a new model for
holistic, ecological, salutogenic health promotion practice. Health Promotion
Journal of Australia (18): 12-19
Haider R, Ashworth A, Kabir I, Huttly SRA. (2000). Effect of community-based peer
counsellors on exclusive breastfeeding practices in Dhaka, Bangladesh: A
randomised controlled trial. The Lancet Nov 11;356(9242):1643-7.
Huntington D, Banzon E, Recidoro ZD.(2012). A systems approach to improving maternal
health in the Philippines. World Health Organization. Bulletin of the World Health
Organization 02;90(2):104-10.
Hussein J, Kanguru L, Astin M, Munjanja S. (2012). The Effectiveness of Emergency
Obstetric Referral Interventions in Developing Country Settings: A Systematic
Review. PLoS Medicine 07;9(7):e1001264.
Jokhio AH, Winter HR, Cheng KK. (2005). An Intervention Involving Traditional Birth
Attendants and Perinatal and Maternal Mortality in Pakistan. N Engl J Med .May
19;352(20):2091-9.
Kalter HD, Mohan P, Mishra A, Gaonkar N, Biswas AB, Balakrishnan S, et al. (2011).
Maternal death inquiry and response in India - the impact of contextual factors on
defining an optimal model to help meet critical maternal health policy objectives.
Health Research Policy and Systems ;9(1):41.
Kasem E, Habib F, Delal KE, Neff-Smith M, O'Donnell C. (2011). The effect of home
visitation on Egyptian maternal health and health behavior: A pilot study. Journal
of Multicultural Nursing & Health. Winter;7(1):11-16.
Khan et.al. (2013). Interventions to reduce neonatal mortality from neonatal tetanus in low
and middle income countries-a systematic review. BMC Public Health13:322
Kirkwood BR, Manu A, ten Asbroek A,H.A., Soremekun S, Weobong B, Gyan T, et al.
(2013). Effect of the Newhints home-visits intervention on neonatal mortality rate
and care practices in Ghana: a cluster randomised controlled trial. The LancetJun
22;381(9884):2184-92.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
106
Kruk ME, Jakubowski A, Rabkin M, Elul B, Friedman M, El-Sadr W. (2012). PEPFAR
Programs Linked To More Deliveries In Health Facilities By African Women Who
Are Not Infected with HIV. Health Aff . 07;31(7):1478-88.
More NS, Bapat U, Das S, Alcock G, Patil S, Porel M, et al. (2012). Community
Mobilization in Mumbai Slums to Improve Perinatal Care and Outcomes: A
Cluster Randomized Controlled Trial. PLoS Medicine 07;9(7):e1001257.
Mullany LC, Lee TJ, Yone L, Lee CI, Teela KC, Paw P, et al. (2010)Impact of
Community-Based Maternal Health Workers on Coverage of Essential Maternal
Health Interventions among Internally Displaced Communities in Eastern Burma:
The MOM Project. PLoS Medicine 08;7(8):e1000317.
Nutbeam D, Harris E, Wise M. (2010). Theory in a Nutshell: a practical guide to health
promotion theories. 3rd edn. NSW: McGraw-Hill,
Ouma PO, van Eijk A,M., Hamel MJ, Sikuku ES, Odhiambo FO, Munguti KM, et
al.(2010). Antenatal and delivery care in rural western Kenya: the effect of training
health care workers to provide "focused antenatal care". Reproductive
Health;7(1):1.
Prost A, Colbourn T, Seward N, Azad K, Coomarasamy A, Copas A, et al. (2013).
Women's groups practicing participatory learning and action to improve maternal
and newborn health in low-resource settings: a systematic review and metaanalysis. The Lancet May 18;381(9879):1736-46.
Saha S, Annear PL, Pathak S. (2013). The effect of Self-Help Groups on access to
maternal health services: evidence from rural India. International Journal for Equity
in Health;12(1):36.
Satti H, Motsamai S, Chetane P, Marumo L, Barry DJ, Riley J, et al. (2012).
Comprehensive Approach to Improving Maternal Health and Achieving MDG 5:
Report from the Mountains of Lesotho. PLoS One 08;7(8).
Tylleskär T, Jackson D, Meda N, Engebretsen IMS, Chopra M, Diallo AH, et al. (2011)
Exclusive breastfeeding promotion by peer counsellors in sub-Saharan Africa
(PROMISE-EBF): a cluster-randomised trial. The LancetJul;378(9789):420-7.
United Nation Development Programme. The Millenium Development Goals, Eight Goals
for 2015. [homepage on the internet] [cited 2013 Sept 4] available on
http://www.undp.org/content/undp/en/home/mdgoverview/
United Nation. The Millenium Development Goals Report .(2012). New York : United
Nation
United Nation. The Millenium Development Goals Report. (2013). New York : United
Nation
World Health Organizations. (2013). MDG 5: Improve Maternal Health [homepage on the
internet] [cited 2013 Sept 4] available on http://www.who.int/topics/millennium
_development_goals/maternal_health/en/index.html
World Health Organizations. (2009). Milestones in Health Promotion, Statements from
Global Conferences [cited 2013 Sept 4] available on www.who.int/ health
promotion
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
107
PENGARUH PENGGUNAAN SMS DAN TELPON PENGINGAT TERHADAP
KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS PARU :
LITERATUR REVIEW
Domianus Namuwali
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
Email : [email protected]
Abstrak
Latar Belakang. Pada tahun 2014 ada sekitar 8,6 kasus TB paru di seluruh dunia. Pengobatan TB
paru selama 6 bulan. Kemungkinan penderita tidak patuh minum obat sangat besar karena waktu
pengobatan lama, jumlah obat yang banyak, efek samping, kurang kesadaran penderita akan
penyakitnya dan pasien tidak mengambil obat karena lupa. penggunaan sms dan telepon pengingat
memiliki potensi untuk membantu mempromosikan kapatuhan pengobatan Tuberkulosis.
Tujuan. untuk mengetahui pengaruh penggunaan SMS dan telepon pengingat terhadap kepatuhan
pasien minum obat anti Tuberkulosis paru.
Metode. Metode penelitian yang digunakan adalah literatur review terhadap hasil penelitian yang
berkaitan dengan pengaruh penggunaan sms dan telepon terhadap kepatuhan pasien minum obat
tuberkulosis yang dipublikasi pada pangkalan data (data base) EBSCO, dan PubMed, artikel yang
dipilih merupakan artikel bahasa Inggris yang terbit sejak tahun 2011 sampai tahun 2014.
Hasil. Hasil pencarian pada pangkalan data, artikel yang ditemukan sebanyak 16 dan hanya 5
artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil dari artikel yang ditemukan adalah pengaruh
penggunaan sms terhadap kepatuhan minum obat anti tuberkulosis berkisar 72,94 % - 100% dan
pengaruh penggunaan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat berkisar 66 % 100%.
Kesimpulan. Penggunaan sms dan telepon pengingat efektif untuk meningkatkan kepatuhan
minum obat pada penderita tuberkulosis
Kata Kunci: Sms, telpon, kepatuhan, Tuberkulosis
Pendahuluan
Tuberkulosis adalah Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis(Depkes RI, 2005).penyakit Tuberculosis ditularkan ke orang
lain melalui inhalasi. (Liu et al., 2014) Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan
masyarakat dunia. Pada laporan WHO tahun 2014 menyebutkan bahwa penduduk
diseluruh dunia yang menderita TB Paru sebanyak 6.1 juta kasus TB dan terdapat 5.7
juta kasus baru dan kasus TB kambuh. India dan Cina menyumbang 37 % dari 5,7 juta
dan sisanya terdapat di beberapa negara seperti Negara-negara Afrika, Eropa, Amerika
Dan Asia Tenggara (WHO, 2014).
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dilaporkan pada tahun 2014
penduduknya berjumlah 252.124.458 jiwa dan dari jumlah tersebut yang menderita TB
Paru sebanyak 285.254 jiwa dan terdapat 176.677 kasus baru TB Paru BTA Pisitif
176.677. Pada tahun 2014 cakupan angka kesembuhan penderita TB Paru sebanyak 74,2%.
(Kemenkes RI, 2015). Pengobatan TB berlangsung enam sampai delapan bulan dan dapat
mengakibatkan efek samping yang sulit seperti mual, pusing, ruam kulit, dan gejala seperti
flu. Kepatuhan terhadap rejimen pengobatan sangat penting untuk pengendalian TB.
Kegagalan dalam mematuhi pengobatan dapat mengakibatkan pasien terus menularkan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
108
penyakit dan dapat mengarah pada pengembangan TB yang resistan terhadap obat multi
(MDR-TB). MDR-TB lebih sulit disembuhkan dan membutuhkan rejimen pengobatan
yang lebih lama hingga dua tahun. Organisasi kesehatan dunia WHO merekomendasika
pendobatan TB yang diawasi secara langsung yang disebut (DOTS). Sebagai strategi untuk
memantau kepatuhan pasien minum obat. (Nglazi, Bekker, Wood, Hussey, & Wiysonge,
2013). Salah satu kunci keberhasilan pengobatan TB adalah Kepatuhan (adherence)
penderita terhadap farmakoterapi. Bentuk intervensi untuk meningkatkan adherence
Pemberian informasi sesuai kebutuhan penderita sehingga penderita memahami kondisi
dan risiko kesehatannya memahami risiko kalau tidak adherence. Bentuk Reminder (alat
pengingat) yang dapat dipakai dan dianjurkan adalah :Kalender, Instruksi yang jelas,
dengan huruf yang besar dan menyolok, Surat, Pamflet Telpon dll(Depkes RI, 2005)
Beberapa strategi mempromosikan keptuhan pengobatan TB telah dilakukan penelitian.
Penyedian komunikasi tentang kepatuhan; mengembangkan atau meningkatkan dukungan
layanan kepatuhan pengobatan yang ditawarkan oleh tim (perawat, dokter, apotek, pasien
dan lain-lain) terapy yang diamati secara langsung (melibatkan seorang pekerja perawatan
kesehatan, perawatan komunitas, atau anggota keluarga langsung memantau pasien waktu
menelan obat TB) (Nglazi et al., 2013). Penggunaan pesan singkat (layanan sms) telah
diusulkan sebagai sarana untuk mempromosikan kepatuhan pengobatan TB. pesan teks
dikirim setiap hari atau mingguan pada pasien mengingatkan untuk ambil obat. (Nglazi et
al., 2013).
Pasar ponsel global seluler saat ini sekitar 1,8 milyar pelanggan dan diperkirang 3 milyar
pada akhir tahun 2010 (Reid dan Reid dalam Liliweri Alo, 2015). Ponsel mengambil alih
semua usaha untuk menjawab pikiran perasaan dan tindakan pengguna pada tingkat
regional dan internasional. Ponsel telah mengubah cara dimana semua interaksi
antarpersonal dapat terjadi dalam suatu masyarakat, karena itu pandangan sosiologis
kehadiran ponsel sangat relevan.(Liliweri Alo, 2015). Berdasarkan fenomena diatas maka
dirumuskan pertanyaan klinis dalam bentuk PICO (Patients/Problem, Intervention,
Comparison, Outcome). Dalam jurnal ini, P: pasien TB Paru, I: DOTS dengan SMS dan
telepon pengingat, C: DOTS Standar tanpa pengingat O: Kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis paru. Dari PICO dapat diformulasikan pertanyaan klinis menjadi “apakah ada
pengaruh penggunaan SMS dan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat antit
tuberkulosis ?“. Untuk mendapatkan bukti terbaik tentang penggunaan ponsel (telpon
seluler) dalam bentuk sms dan telpon sebagai salah satu intervensi untuk mempromosikan
kepatuhan pengobatan TB peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan sistimatic
review.
.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan SMS dan
telepon pengingat terhadap kepatuhan pasien minum obat anti Tuberkulosis paru.
Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah Systematic/literatur review, studi evaluasi,
Random Control Trial terhadap artikel tentang penggunaan pesan singkat (SMS) dan
telpon pengingat terhadap kepatuhan pasien minum obat Tuberkulosis. Pencarian jurnal
penelitian dilakukan dengan menggunakan pencarian literatur pada pangkalan data (data
base) EBSCO dan PubMed. Jurnal yang dipilih adalah jurnal berbahasa Inggris yang
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
109
dipublikasikan pada tahun 2011 sampai dengan 2014 yang dapat diakses fulltext dalam
format pdf.
Adapun kriteria inklusi artikel yang sebagai berikut :
1. Jenis penelitian : Sistimatic Review,
2. Peserta/partisipan : pasien usia dewasa dan anak yang sedang menerima pengobatan
TB.
3. Jenis intevensi : penggunaan pesan singkat (sms) dan telpon pengingat untuk
mempromosikan kepatuhan minum obat tuberkulosis paru.
Kriteria eksklusi artikel adalah :
1. Jenis penelitian : penelitian kualitatif.
2. Jenis intervensi : penggunaan layanan media, penggunaan kalender, penggunaan kartu
monitoring.
Hasil
Artikel yang ditemukan melalui pencarian data pada pangkalan data ESBCO dan PubMed
sebanyak 5 artikel yang terdiri 2 artikel dengan jenis penelitian sistimatic review dan 1
artikel dengan jenis penelitian study evaluasi dan 2 artikel dengan jenis penelitian
Random Control Trial (RCT). Hasil dari artikel yang ditemukan adalah pengaruh
penggunaan sms terhadap kepatuhan minum obat anti tuberkulosis berkisar 72,94 % 100% dan pengaruh penggunaan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat
berkisar 66 % 100%. Hasil lengkap dari lima artikel dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Penggunaan sms dan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat anti tubekulosis
No
Judul
Mobile phone
text messaging
for promoting
adherence to
antituberculosis
treatment:
a systematic
review protocol
Tahun: 2013
Penulis
Mweete D Nglazi
Linda Gail Bekker,
Robin Wood,
Gregory D Hussey
Charles S
Wiysonge
Desain,
Sampel,
Cara
menganalisa
data
Desain:
Sistimatic
review
Sampel:
4 artikel
dengan 565
responden
Analisa data
dengan
menggunakan
Cochrane
Collaboration
Review
Manager
version 5.1
Hasil
Hasil dari 4 artikel akan diuraikan sebagai
berikut :
1. Bridges.org: Evaluation of the On Cue
Compliance Service pilot: Testing the
Use of SMS Reminders in the Treatment
of Tuberculosis in Cape Town, South
Africa . Cape Town. Cape Town:
Bridges.org; 2005. Hasil dari penelitian
ini keberhasilan pengobatan pada
kelompok yang di invensi SMS sebesar
72,94% dan kelompok DOTS 69,4%
dan tingkat tingkat penyelesaian
pengobatan TB
lebih tinggi pada
kelompok intervensi SMS sebesar
10,59 % dibandingkan dengan DOTS
3,0%.
2. Broomhead S, Mars M: Retrospective
return on investment analysis of an
electronic treatment adherence device
piloted in the Northern Cape Province.
Hasil dari penelitian adalah tingkat
kesembuhan TB secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok SIMpill® -
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
110
3.
4.
Reminder
systems to
improve patient
adherence to
tuberculosis
clinic
appointments
for diagnosis
and treatment
Tahun: 2014
Liu Q,
Abba K,
Alejandria MM,
Sinclair D,
Balanag VM,
Lansang MAD
Desain
Sistimatic
review
Sampel :
4654
Analisa data
dilakukan
dengan
menggunakan
review
manager
kelompok DOTS (RR 2,32, 95% CI
1,60-3,36).
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
tingkatkan
kepatuhan pengobatan lebih tinggi pada
kelompok
yang
menggunakan
SIMpill® dengan kombinasi DOTS
standar daripada krlompok yang
menggunakan DOTS standar saja.
Owiti P, Gardner A, Szkwarko D, Diero
L, Carter EJ: Mobile phone text
messaging reminders to aid adherence
to tuberculosis care in Eldoret, Kenya.
43rd World Conference on Lung Health
of The Union, Kuala Lumpur, Malaysia
2012. Hasil penelitian ini adalah
kelompok
yang
menerima
sms
pengingat mempunyai kecenderungan
1,6 kali lebih tinggi untuk mematuhi
jadwal klinik dibandingkan dengan
mereka yang tidak (95% CI 1,06-2,29)
Iribarren S, Chirico C, Echevarrria M,
Cardinali D: TextTB: a parallel design
randomized control pilot study to
evaluate acceptance and feasibility of a
patient-driven mobile phone based
intervention to support adherence to TB
treatment.
Hasil penelitian ini adalah Pada 60 hari
setelah dilakukan intervensi di peroleh hasil,
pada kelompok yang di intervensi memiliki
tingkat kepatuhan yang lebih tinggi
dibandingkan pada kelompok kontrol, tetapi
perbedaan ini secara statistik tidak
signifikan (RR 1,49, 95% CI 0,90-2,42)
Hasil dari penelitian ini adalah kelompok
(penderita) yang dirawat dengan TB aktif
meningkatkan kehadiran ke klinik dan
pengobatan sampai selesai lebih tinggi pada
kelompok yang menerima telpon pengingat
sebelum perjanjian (kehadiran ke klinik dari
66% berbanding 50%; RR 1,32, 95% CI
1,10-1,59, satu percobaan (USA), 615
peserta, bukti kualitas rendah, Pengobatan
TB selesai: 100% berbanding 88%; RR
1,14, 95% CI 1,02-1,27, satu percobaan
(Thailand), 92 peserta, bukti kualitas
rendah). Kehadiran ke Klinik dan
pengobatan TB selesai juga lebih tinggi
dengan menggunakan pengingat kegagalan
(huruf atau kunjungan rumah) (klinik
kehadiran: 52% vs 10%; RR 5,04, 95% CI
1,61-15,78, satu percobaan (India), 52
peserta, bukti kualitas rendah; pengobatan
penyelesaian: RR 1,17, 95% CI 1,11-1,24,
dua uji coba (Irak dan India), 680 peserta,
bukti kualitas sedang).
Untuk orang-orang profilaksis TB,
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
111
Tuberculosis
treatment with
mobile-phone
medication
reminders in
northern
thailand
Piyada
Kunawararak,
Sathirakorn
Pongpanich,
Sakarin
Chantawong,
Pattana Pokaew,
Patrinee Traisathit,
Kriengkrai
Srithanaviboonchai
and Tanarak Plipat
Desain:
Study evaluasi
Tahun: 2013
HSiu-Ling Huang,
Yu-Chuan Jack Li,
Yueh-Ching
Chou4, Yow-Wen
Hsieh, Frank Kuo,
Wen-Chen Tsai1,
Sinkuo Daniel
Chai1,
Blossom Yen-Ju
Lin, Pei-Tseng
Kung and ChiaJung Chuang
TextTB: A Mixed
Method Pilot
Sarah Iribarren
Susan Beck
Desain:
RCT
Sampel:
Kelompok
intervensi 763
dan kelompok
kontrol 435
Analisa data
dilakukan
dengan uji
chi-sguare utk
mengidentifikasi perbedaan
antara klpk
intervensi dan
kelompok
kontrol.
Desain:
RCT
Tahun : 2011
Effects of and
satisfaction
with short
message service
reminders for
patient
medication
adherence: a
randomized
controlled study
Sampel:
3,993
Analisa data
yang
digunakan
pada
penelitian ini
adalah
STATA (versi
10.1.) dan Epi
Info (versi
6.0).
kehadiran ke klinik lebih tinggi dengan
kebijakan penggunaan telpon pengingat
sebelum perjanjian (63% berbanding 48%;
RR 1,30, 95% CI 1,07-1,59, satu percobaan
(USA), 536 peserta); dan kehadiran di klinik
akhir lebih tinggi dengan rutin tiga bulanan
telepon-telepon atau kunjungan perawat
(93% berbanding 65%, satu percobaan
(Spanyol), 318 peserta).
Bagi orang-orang yang menjalani skrining
untuk TB, tiga uji coba Telpon pengingat
sebelum perjanjian menemukan sedikit atau
tidak berpengaruh pada proporsi orang yang
kembali ke klinik untuk hasil uji kulit
mereka (tiga percobaan, 1189 peserta, bukti
kualitas rendah), dan dua percobaan
menemukan sedikit atau tidak berpengaruh
dengan kartu take home pengingat (dua
percobaan, 711 peserta).
Hasil dari penelitian ini adalah
1. Pada kelompok TB-MDR yang diobati
selama 18 bulan dengan Model 2
(pengobatan dengan DOTS ditambah
dengan penggunaan telpon pengingat)
dan non TB-MDR kelompok perlakuan
selama 6 bulan dengan Model 2,
diperoleh tingkat keberhasilan 100%.
2. Pada kelompok TB-MDR yang dirawat
menggunakan Model 1 (Penggunaan
DOTs
tanpa
telpon
pengingat)
diperoleh tingkat keberhasilan adalah
73,7% dan pada kelompok Kelompok
Non TB-MDR yang diobati dengan
Model 1 diperoleh tingkat keberhasilan
96,7%. Perbedaan yang signifikan
untuk kedua TB-MDR kelompok
(p=0,0001)
dan
non
TB-MDR
kelompok (p=0,047) antara kedua
model
Hasil dari penelitian adalah :
Pada
kelompok
kontrol
mengalami
penurunan insiden dosis tertunda pada
sebesar 46,4% pada kelompok kontrol dan
sebesar 78,8 % pada kelompok intervensi,
dosis
yang
terlewatkan
mengalami
penurunan sebesar 90,1% untuk
pada
kelompok intervensi dan 61,1%
pada
kelompok kontrol. Pada analisis regresi
logistik kelompok intervensi memiliki
probabilitas 3,2 kali lipat lebih tinggi
mengalami penurunan dosis tertunda
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan: Penggunaan SMS secara
signifikan mempengaruhi tingkat minum
obat sesuai jadwal.
Analisis statistik menggunakan IBM SPSS,
versi 20 dengan uji Independent-sample -
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
112
Study Evaluating
Acceptance,
Feasibility, and
Exploring Initial
Efficacy of a Text
Messaging
Intervention to
Support TB
Treatment
Adherence
Patricia F. Pearce,
Cristina Chirico,
Mirta Etchevarria
Daniel Cardinale,
and Fernando
Rubinstein
Tahun : 2013
Sampel:
19 responden
kelompok
kalender dan
18 responden
untuk
kelompok
intervensi
pesan teks
tes dan uji chi-square untuk variabel
kategori dikotomis.
Hasil dari penelitian ini adalah kepatuhan
pengobatan pada kelompok intervensi pesan
singkat sebanyak 77 % dan pada kelompok
kalender sebenayak 53 %.
Pembahasan
Kunci keberhasilan pengobatan TB adalah Kepatuhan (adherence) penderita terhadap
farmakoterapi. Kemungkinan penderita TB tidak adherence sangat besar, karena
pemakaian obat jangka panjang, jumlah obat yang diminum perhari, efek samping yang
mungkin timbul dan kurangnya kesadaran penderita akan penyakitnya. Bentuk-bentuk non
adherence terhadap farmakoterapi bagi penderita TB diantaranya : Tidak mengambil
obatnya, Minum obat dengan dosis yang salah, Minum obat pada waktu yang salah, Lupa
minum obat, Berhenti minum obat sebelum waktunya. (Depkes RI, 2005)
Bentuk intervensi untuk meningkatkan adherence Pemberian informasi sesuai kebutuhan
penderita sehingga penderita memahami kondisi dan risiko kesehatannya memahami risiko
kalau tidak adherence. Bentuk Reminder (alat pengingat) yang dapat dipakai dan
dianjurkan adalah : Pesan teks Kalender, Instruksi yang jelas, dengan huruf yang besar dan
menyolok, Surat, Pamflet Telpon.(Depkes RI, 2005).
Penggunaan pesan teks (SMS) dan telepon untuk promosi kepatuhan pengobatatan telah
dilakukan penelitian pada berbagai penyakit antara lain : hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sarah Iribarren tahun et al tahun 2013 menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan lebih
pada pasien yang menggunakan pesan teks dibandingkan dengan pasien yang
menggunakan buku harian obat.(Iribarren et al., 2013). Penelitian lain yang berkaitan
dengan penggunaan ponsel dilakukan oleh (Elangovan & Arulchelvan, 2013), S
Arulchelvan tahun 2013 menyebutkan mayoritas pasien menggunakan untuk memanggil
petugas kesehatan untuk memperjelas keraguan mereka pada efek samping, makanan, dan
gejala penyakit. Supervisor pengobatan TB efektif menggunakan ponsel untuk menasihati
pasien agar mematuhi rejimen pengobatan.(Elangovan & Arulchelvan, 2013)
Promosi kepatuhan pengobatan TB paru melalui pesan teks (SMS) dapat dikirim
mingguan atau harian pada pasien untuk mengingatkan mereka minum obat, komunikasi
satu arah atau komunikasi interaktif dua arah yaitu pasien dapat menerima dan membalas
pesan. Pesan teks /sms dapat digunakan untuk memberitahukan penyedia layanan
kesehatan bahwa pasien telah mengambil obat (Nglazi et al., 2013).
Hasil dari literatur review ini memberikan bukti pada pembuat kebijakan agar mengadopsi
intervensi penggunaan SMS dan telpon pengingat terhadap kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis. Penggunaan intervensi ini dapat dikombinasikan dengan intervensi lain yang
mempunyai bukti dari hasil penelitian. Review literatur ini perlu dikembangan dengan
melakukan penelitian lebih lanjut diwaktu yang akan datang dengan mempertimbangkan
lokasi penelitian, konten(isi) waktu pesan, pesan perlu dibalas atau tidak, pesan dikirim
secara otomatis atau manual dan ukuran sampel.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
113
Kesimpulan
Penggunaan sms dan telepon pengingat efektif untuk meningkatkan kepatuhan minum obat
pada penderita tuberkulosis.
Daftar Pustaka
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical care Untuk Penyakit Tuberkulosis (pp. 1–110).
Jakarta.
Elangovan, R., & Arulchelvan, S. (2013). Original Article A Study on the Role of Mobile
Phone Communication in Tuberculosis DOTS Treatment, 38(4). http://doi.org/
10.4103/0970-0218.120158
Iribarren, S., Beck, S., Pearce, P. F., Chirico, C., Etchevarria, M., Cardinale, D., &
Rubinstein, F. (2013). TextTB : A Mixed Method Pilot Study Evaluating
Acceptance, Feasibility , and Exploring Initial Efficacy of a Text Messaging
Intervention to Support TB Treatment Adherence, 2013.
Kemenkes RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI. (2015). Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan). Retrieved
September 3, 2015, from http://www.depkes.go.id/resources/download/ pusdatin/
profil-kesehatan-indonesia/data-dan-informasi-2014.pdf
Liliweri Alo. (2015). Komunikasi Antar Personal (Edisi Pert, pp. 331–336). Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Liu, Q., Abba, K., Mm, A., Sinclair, D., Vm, B., & Mad, L. (2014). Reminder systems to
improve patient adherence to tuberculosis clinic appointments for diagnosis and
treatment (Review) SUMMARY OF FINDINGS FOR THE MAIN
COMPARISON, (11).
Mbuagbaw, L., Kop, M. L. Van Der, Lester, R. T., Thirumurthy, H., Pop-eleches, C., Ye,
C., & Smieja, M. (2013). Mobile phone text messages for improving adherence to
antiretroviral therapy ( ART ): an individual patient data meta-analysis of
randomised trials. http://doi.org/10.1136/bmjopen-2013-003950
Nglazi, M. D., Bekker, L., Wood, R., Hussey, G. D., & Wiysonge, C. S. (2013). Mobile
phone text messaging for promoting adherence to anti-tuberculosis treatment : a
systematic review protocol. http://doi.org/10.1186/2046-4053-2-6
WHO. (2014). Global Tuberculosis Report. Retrieved from http://apps.who.int/
iris/bitstream/10665/137094/1/9789241564809_eng.pdf
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
114
HUBUNGAN PERAN DAN FUNGSI KELUARGA TERHADAP PERILAKU
SEKSUAL PRA NIKAH REMAJA
Umi Setyoningrum
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Fakultas Kedokteran
Email : [email protected]
Abstrak
Latar belakang : Perilaku seksual pra nikah pada remaja semakin meningkat dan memberikan dampak
negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan remaja. Hal tersebut di pengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah peran dan fungsi keluarga yang tidak berfungsi secara maksimal. Sehingga
remaja mencari pemenuhan peran dan fungsi keluarga di luar. Berdasarkan data dari Badan KBPP
tahun 2010 angka pernikahan dini d bawah usia 19 tahun mencapai angka 46%. Hal ini membutuhkan
perhatian khusus berkaitan dengan beberapa ancaman permsalahan pada remaja.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan peran dan fungsi keluarga terhadap perilaku Seksual Pra Nikah
pada remaja.
Metode : systematik review dengan cara melakukan penelusuran artikel publikasi pada Google
scholar, dengan kata kunci yang dipilih, Penelusuran dibatasi pada terbitan tahun 2000-2014 dengan
format fulltext PDF. Kriteria inklusi : Remaja dengan perilaku seks dan kriteria eksklusi : peran dan
fungsi keluarga. Artikel yang sesuai kemudian dianalisis menggunakan critical appraisal tool yang
sesuai untuk hasil penelitian RCT untuk menilai kualitas penelitian. Data diekstraksi dari artikel lalu
dikelompokkan untuk dibahas dan disimpulkan.
Hasil : Temuan berupa 4 buah artikel dengan rincian 4 artikel memiliki kualitas tinggi. Didapatkan
adanya hubungan peran dan fungsi keluarga terhadap perilaku seksual pra nikah pada remaja.
Diantaranya fungsi afektif, fungsi sosial, fungsi reproduksi, fungsi perlindungan.
Kesimpulan : Diantara beberapa fungsi keluarga yang tidak optimal akan memberikan dampak pada
perilaku seks bebas pada remaja.
Kata Kunci : Peran dan Fungsi Keluarga, Perilaku Seksual Pra Nikah, Remaja
Pendahuluan
Perkembangan usia remaja semakin meningkat, hal ini beresiko terhadap munculnya
permasalahan terhadap remaja salah satunya yaitu perilaku seks pra nikah. Pemasalah ini bisa
disebabkan karena faktor keluarga yaitu terkait dengan peran dan fungsi keluarga.
Berdasarkan PP No 21 tahun 20 tahun 1994 yang sedang digalakkan oleh BKKBN terdapat
delapan fungsi keluarga yaitu : fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih,
fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan
fungsi pembinaan sosial. Keluarga merupakan lembaga yang paling utama dalam
pembentukan nilai dan norma sebelum remaja masuk dalam lingkungan masyarakat. Masa
remaja merupakan masa dimana mereka bersikap sesuka hati selama itu membuat mereka
merasa senang tanpa memikirkan dampak terburuk dari kejadian atau peristiwa yang mereka
alami. Menurut Supriyatna (2009), perubahan yang terjadi pada masa remaja berlangsung
sesuai kodrat manusia yang mana masih membutuhkan bantuan, bimbingan dan pertimbangan
dari orang sekelilingnya.
Menurut Ramonasari dalam (Al-Ghifari Abu, 2003) mengungkapkan bahwa hampir 80 %
remaja melakukan hubungan seks sebelum nikah dengan pacarnya, dalam jangka waktu
pacaran kurang dari satu tahun. Perilaku pacaran biasanya disertai dengan pola perilaku
seksual mulai dari berciuman, bercumbu, hingga bersenggama (Hurlock, 1993). Saat ini
pacaran menjadi suatu kebiasaan di kalangan remaja, remaja yang tidak memiliki pacar akan
dikatakan kuno oleh teman sebayanya (Hermawan, 2003). Berbagai faktor mempengaruhi
perilaku tersebut salah satunya disebabkan remaja mempunyai persepsi bahwa hubungan seks
merupakan cara mengungkapkan cinta, sehingga demi cinta, seseorang merelakan hubungan
seksual dengan pacar sebelum nikah (Setyawan 2004), faktor lingkungan, pergaulan,
kurangnya bimbingan orang tua terutama ajaran agama baik di rumah maupun di sekolah.
Tujuan
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara peran dan fungsi keluarga tehadap perilaku
seks pranikah pada remaja.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
115
Metoda
Metoda yang digunakan adalah systematic review dengan cara melakukan penelusuran artikel
publikasi dengan kata kunci yaitu peran dan fungsi keluarga, perilaku seks bebas pada remaja
dengan format full text PDF. Kemudian kita kelompokkan dan dibahas serta disimpulkan.
Hasil
Perilaku menyimpang pada remaja ada kaitannya dengan peran dan fungsi keluarga, karena di
dalam keluarga orang tua sangat menentukan perilaku remaja saat ini. Dari beberapa penelitian
yang sudah dilakukan di peroleh beberapa fungsi yang dominan mempengaruhi perilaku seks
pra nikah pada remaja yaitu : fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi
seksual,
Pembahasan
Terjadinya perilaku seks pra nikah pada remaja merupakan gejolak kehidupan yang
disebabkan karena perubahan sosial di masyarakat. Perubahan tersebut bisa berawal dari tidak
optimalnya peran dan fungsi keluarga. Keluarga mempunyai pengaruh terhadap kejadian
perilaku seks bebas pada remaja, untuk itu perlu adanya peningkatan komunikasi dan
keharmonisan dalam lingkungan keluarga. Serta adanya pengoptimalan fungsi keluarga.
Pada fungsi afeksi, keluarga mempunyai kewajiban memberikan kasih sayang pada semua
anggota keluarganya. Sehingga masing-masing anggota keluarga merasa dihargai dan dicintai.
Apabila hal tersebut tidak terbentuk dalam keluarga maka anak cenderung mencari fungsi
afeksi di luar. Fungsi sosialisasi, berperan mendidik anak dari awal pertumbuhan dan
perkembangan sampai terbentuk kepribadian. Anak mendapatkan pengetahuan dari orang tua
tentang sosialisasi sesuatu itu boleh dilakukan atau tidak, pantas atau tidak pantas, baik atau
tidak baik, karena faktor kesibukan orang tua hal tersebut sering terabaikan. Sehingga
membuat orangtua kadang lebih mempercayakan pada lembaga pendidikan sekolah. Fungsi
perlindungan, berkewajiban melindungi seluruh anggota keluarga antara satu dengan yang
lainnya. seluruh anggota keluarga saling bekerja sama melindungi sehingga tercipta
kenyamanan dalam keluarga. Fungsi seksual, perlu adanya pendidikan atau pengetahuan
seksual sejak dini sehingga anak akan memahami setiap perubahan secara fisik selama proses
pertumbuhan dan perkembangannya.
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian mengenai disfungsi keluarga perlu adanya komunikasi dan
hubungan yang efektif antara orang tua dan anak-anaknya, sehingga akan tercipta
keharmonisan dalam keluarga. Hal tersebut untuk meminimalkan kenakalan remaja di luar
rumah yang tidak bisa terpantau secara maksimal oleh orang tua. Akan tetapi hal tersebut bisa
diantisipasi dengan adanya pelaksanaan fungsi keluarga yang baik serta peran orang tua yang
sesuai.
Saran
Sebaiknya para orang tua membekali anak-anak mereka terutama yang telah beranjak dewasa
dengan ajaran-ajaran agama, nilai dan norma serta memberikan edukasi dampak negatif dari
perilaku seks bebas terutama pada anak usia karena pada masa itu mereka memilki rasa ingin
tahu yang berlebih. Orang tua juga harus menjalankan fungsi keluarga (afeksi) seperti
memberikan kasih sayang yang penuh terhadap anak-anak mereka, sehingga anak-anak
mereka terlebih yang telah berusia remaja merasa bahagia dengan keluarga merasa nyaman
dengan suasana rumah daripada di lingkungan luar rumah. Menjadikan anak-anak mereka
terutama para remaja tidak terjerumus ke dalam bahaya pergaulan bebas seperti seks pranikah.
Daftar Pustaka
Mellyanika Dita, 2014. Disfungsi Keluarga Dalam Perilaku Hubungan Seks Pra Nikah
Remaja Di Kota Samarinda Kalimantan Timur . eJournal Sosiatri, 2014, 2(1): 22-34.
Rochaniningsih Sri N, 2014. Dampak Pergeseran Peran Dan Fungsi Keluarga Pada Perilaku
Menyimpang Remaja. Jurnal Pembangunan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi : 59-71.
Irmawaty Lenny, 2013. Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa . Jurnal Kemas 9 (1)
(2013) 44-52.
Ahmad Taufik, 2013. Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seks Pranikah (Studi Kasus SMK
Negeri 5 Samarinda). eJournal Sosiatri-Sosiologi, 2013, 1 (1): 31-44.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
116
Faturochman, 2001. Revitalisasi Peran Keluarga . Buletin Psikologi, Tahun IX, No. 2,
Desember 2001, 39-47
Setyawan. A, 2004. Seks Gadis? Memahami Seks Membuktikan Cinta. Yogyakarta : Galang
Press.
Hurlock, Elizabeth B,1991. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
117
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS TERHADAP
PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA
DI SMA SETIABUDI SEMARANG
Yuni Dwi Hastuti1, Sidik Awaludin2
1)
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNDIP Email: [email protected]
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNSOED Email : [email protected]
2)
Abstrak
Latar Belakang. Peningkatan angka HIV/AIDS tidak hanya disebabkan oleh perilaku seksual
tetapi juga penggunaan narkoba suntik bersama-sama. Di Indonesia, jumlah pengguna narkoba
sekitar 35% adalah siswa SMA dan 30% siswa SMP, sehingga siswa merupakan salah satu
kelompok beresiko. Kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab tingginya angka
HIV/AIDS. Pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS merupakan salah satu metode yang
diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa.
Metoda. Penelitian ini merupakan eksperimen semu (quasi eksperiment) dengan desain non
equivalent control group atau non random control group pretest posttest. Instrumen penelitian
yang digunakan adalah kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Sampel penelitian
meliputi 84 siswa di SMA Setiabudi Semarang dengan menggunakan purposive sampling sebagai
teknik pengambilan sampel. Analisa data yang digunakan adalah analisa bivariat, Wilcoxon Match
Pair Test.
Hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesudah pemberian pendidikan kesehatan, jumlah
responden yang memiliki pengetahuan tinggi meningkat sebesar 83,6% dengan p value 0,000 dan
jumlah responden yang memiliki sikap baik meningkat sebesar 4,7% dengan p value 0,000.
Kesimpulan. Hasil tersebut menunjukkan terdapat pengaruh pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat
disarankan supaya dilakukan penelitian lain tentang metode yang lebih mempengaruhi sikap siswa
terhadap HIV/AIDS.
Kata Kunci : pendidikan kesehatan, pengetahuan, sikap
Pendahuluan
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit mematikan yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV/AIDS menyerang sistem kekebalan manusia dan
menghancurkannya (Kurniawati, 2007). HIV/AIDS tidak hanya menular melalui hubungan
seksual, tetapi juga melalui penggunaan narkoba suntik bersama-sama. Sekitar 5-10 %
penularan HIV/AIDS melalui alat suntik yang tercemar (terutama pada pemakai narkotika
suntik) (Sasongko, 2009). Di Indonesia, jumlah pengguna narkoba sekitar 35% adalah
siswa SMA dan 30% siswa SMP (Badan Narkotika Nasional, 2003). Pendidikan kesehatan
tentang HIV/AIDS merupakan salah satu metode yang diharapkan mampu meningkatkan
pengetahuan dan sikap siswa. Pendidikan kesehatan merupakan usaha atau kegiatan untuk
membantu individu, kelompok, dan masyarakat meningkatkan kemampuan baik
pengetahuan, sikap maupun keterampilan untuk mencapai hidup sehat secara optimal
(Herawani, 2001). Kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab tingginya angka
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
118
HIV/AIDS. Pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS merupakan salah satu metode yang
diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa di SMA Setiabudi Semarang.
Metoda
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment) dengan
menggunakan desain non equivalent control group atau non random control group pretest
posttest. Dalam desain ini sebelum diberikan pendidikan kesehatan terlebih dahulu
dilakukan pembagian sampel menjadi 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Kemudian dilakukan pretest, setelah itu untuk kelompok eksperimen
diberi intervensi yaitu pemberian pendidikan kesehatan sedangkan kelompok kontrol tidak.
Setelah program pemberian pendidikan kesehatan selesai, dilakukan post-test pada kedua
kelompok karakteristik sampel dengan jangka waktu kurang lebih 1 bulan.
Populasi penelitian ini adalah siswa SMA Setiabudi Semarang yang berjumlah 514 orang.
Kemudian dari jumlah subjek ini dilakukan pemilihan calon responden dengan
menggunakan purposive sampling dengan kriteria : (1) Siswa kelas X SMA Setiabudi
Semarang; (2) Siswa yang belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS selama 1 tahun terakhir; (3) Siswa yang bertempat tinggal atau bersekolah di
sekitar lingkungan prostitusi; (4) Siswa yang tidak pernah atau jarang mendapatkan
informasi tentang HIV/AIDS dari berbagai sumber informasi. Sampel yang digunakan
adalah 84 orang. Peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner yang telah
diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis
univariat dan bivariat menggunakan Wilcoxon Match Pair Test.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen terdiri dari 17 laki-laki
dan 25 perempuan, sedangkan pada kelompok kontrol terdiri dari 22 laki-laki dan 20
perempuan. Umur responden berkisar antara 15-18 tahun dan mayoritas berumur 16 tahun
baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.
Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang
HIV/AIDS pada Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009
Kelompok
Pengetahuan
Ekperimen (n=42)
Kontrol (n=42)
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sesudah
f (%)
f (%)
f (%)
f (%)
Tinggi
6 (14,3%)
41 (97,6%)
3 (7,1%)
4 (9,5%)
Sedang
36 (85,7%)
1 (2,4%)
39 (92,9%)
37 (88,1%)
Rendah
1 (2,4%)
Total
42 (100%)
42 (100%)
42 (100%)
42 (100%)
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
119
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen, sesudah pemberian
pendidikan kesehatan, responden yang memiliki pengetahuan tinggi mengalami
peningkatan dari 6 responden (14,3%) menjadi 41 responden (97,6%) dan pada kelompok
kontrol, sesudah pemberian pendidikan kesehatan, responden yang memiliki pengetahuan
tinggi meningkat dari 3 responden (7,1%) menjadi 4 responden (9,5%).
Sikap Siswa Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap terhadap HIV/AIDS
pada Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009
Kelompok
Sikap
Ekperimen (n=42)
Kontrol (n=42)
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sesudah
f (%)
f (%)
f (%)
f (%)
Baik
22 (52,4%)
24 (57,1%)
23 (54,8%)
26 (61,9%)
Buruk
20 (47,6%)
18 (42,9%)
19 (45,2%) 16 (38,1%)
Total
42 (100%)
42 (100%)
42 (100%) 42 (100%)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen, sesudah pemberian
pendidikan kesehatan, responden yang memiliki sikap baik meningkat dari 22 responden
(52,4%) menjadi 24 responden (57,1%) dan pada kelompok kontrol, sesudah pemberian
pendidikan kesehatan, responden yang memiliki sikap baik meningkat dari 23 responden
(54,8%) menjadi 26 responden (61,9%).
Perbedaan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan
Tabel 3. Perbedaan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan
Tentang HIV/AIDS pada Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009
Asymp.sig (2.tailed)
Kelompok Eksprerimen
.000
Kelompok Kontrol
.009
Uji analisa statistik pada pengetahuan kelompok eksperimen menggunakan uji Wilcoxon
Match Pair Test dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi
0,000 (p=0,000) yang berarti ada perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah pemberian
pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada kelompok eksperimen. Uji analisa statistik
pada pengetahuan kelompok kontrol menggunakan uji Wilcoxon Match Pair Test dengan
tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,009 (p=0,009) yang
berarti ada perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan tentang
HIV/AIDS pada kelompok kontrol.
Perbedaan Sikap Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan
Tabel 4. Perbedaan Sikap Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan
Tentang HIV/AIDS pada Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009
Asymp.sig (2.tailed)
Kelompok Eksprerimen
.000
Kelompok Kontrol
.032
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
120
Uji analisa statistik pada sikap kelompok eksperimen menggunakan uji Wilcoxon Match
Pair Test dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,000
(p=0,000) yang berarti ada perbedaan sikap sebelum dan sesudah pemberian pendidikan
kesehatan tentang HIV/AIDS pada kelompok eksperimen. Uji analisa statistik pada sikap
kelompok kontrol menggunakan uji Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kesalahan
(alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,032 (p=0,032) yang berarti ada perbedaan
sikap sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada kelompok
kontrol.
Perbedaan Tingkat Pengetahuan sesudah Pendidikan Kesehatan tentang HIV/AIDS
antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Tabel 5. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Sesudah Pendidikan Kesehatan tentang
HIV/AIDS antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Siswa SMA
Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009
Pemberian Pendidikan
N
Mean
Sum of
Asymp.sig
Kesehatan
Rank
Ranks
(2.tailed)
Pengetahuan
tidak
42
21.71
912.00
0.000
Sesudah
mendapat
pendidikan
kesehatan
42
63.29
2658.00
mendapat
pendidikan
kesehatan
Total
84
Uji analisa statistik pada pengetahuan menggunakan uji Mann-Whitney dengan tingkat
kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,000 (p=0,000) yang berarti ada
perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
Perbedaan Sikap sesudah Pendidikan Kesehatan tentang HIV/AIDS antara
Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Tabel 6. Perbedaan Sikap Sesudah Pendidikan Kesehatan tentang HIV/AIDS
antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Siswa SMA Setiabudi
Semarang, Maret-Mei 2009
Pemberian Pendidikan
N
Mean
Sum of
Asymp.sig
Kesehatan
Rank
Ranks
(2.tailed)
Sikap
tidak mendapat
42
42.56
1787.50
0.982
Sesudah
pendidikan
kesehatan
mendapat
pendidikan
kesehatan
Total
42
42.44
1782.50
84
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
121
Uji analisa statistik pada sikap menggunakan uji Mann-Whitney dengan tingkat kesalahan
(alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,982 (p=0,982) yang berarti tidak ada
perbedaan sikap sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
Pembahasan
Karakteristik Responden
Proporsi jenis kelamin responden antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda,
karena proporsi siswa menurut jenis kelamin di SMA Setiabudi Semarang sendiri tidak
terlalu jauh berbeda dan pihak sekolah lebih cenderung menyeimbangkan jumlah siswa
laki-laki dan perempuan di setiap kelas dengan cara mengatur pembagian siswa pada saat
kenaikan kelas dengan jumlah siswa laki-laki dan perempuan yang cukup seimbang di
setiap kelas dan hal ini dilakukan oleh bagian kesiswaan.
Sebagian besar responden berumur 16 tahun. Umur sekitar 16 tahun adalah masa dimana
siswa sebagai remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar akan sesuatu hal yang baru.
Dengan demikian, diharapkan bahwa proses belajar siswa menjadi lebih mudah dan
efektif, karena siswa akan berusaha memuaskan rasa keingintahuannya itu dengan
memperhatikan informasi yang diberikan pada saat pendidikan kesehatan dan berusaha
bertanya tentang hal-hal yang memancing keingintahuan. Namun, di samping itu rasa
keingintahuan yang besar dapat pula memancing remaja untuk mencoba sesuatu hal yang
baru, sekalipun hal tersebut adalah perilaku yang buruk, misalnya penyalahgunaan narkoba
atau bahkan perilaku seks bebas yang merupakan salah satu cara yang beresiko
menularkan HIV/AIDS.
Perbedaan Pengetahuan Siswa tentang HIV/AIDS
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan dapat dijadikan sebagai
salah satu
usaha untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan dalam hal
pengetahuan. Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan
dan sumber informasi (Notoatmodjo, 2003). Peningkatan pengetahuan ini terjadi karena
adanya pemberian pendidikan kesehatan, dimana didalamnya terdapat proses belajar.
Melalui proses belajar, siswa diharapkan mampu memperoleh pengetahuan baru atau
meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Peningkatan pengetahuan responden tentang HIV/AIDS pada penelitian ini juga
dipengaruhi oleh faktor individu, dimana responden adalah siswa SMA yang masih dalam
masa remaja yang mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi sehingga masih bersemangat
untuk belajar untuk menjawab rasa keingintahuannya tersebut. Hal inilah yang ternyata
juga menyebabkan peningkatan pengetahuan yang tidak terlalu signifikan dari kelompol
kontrol meskipun tanpa pendidikan kesehatan. Hal ini berkaitan dengan keingintahuan
remaja terhadap sesuatu yang belum mereka ketahui jawabannya.
Perbedaan Sikap Siswa terhadap HIV/AIDS
Sesuai dengan hasil penelitian, pendidikan kesehatan ternyata berperan dalam perubahan
sikap individu, meskipun tidak terlalu signifikan, karena didalam pendidikan kesehatan
terkandung unsur-unsur komunikasi dalam upaya mengubah sikap individu dan strategi
yang dapat digunakan adalah strategi persuasif. Sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan,
dipengaruhi, dan diubah. Sikap berbeda dari sifat (trait) yang lebih merupakan bawaan dan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
122
sulit diubah (Sarwono, 1999). Oleh karena itu, melalui pendidikan kesehatan diharapkan
sikap remaja dapat dikembangkan atau dipengaruhi menjadi lebih baik. Pendidikan
kesehatan sebenarnya bertujuan untuk mempengaruhi sikap remaja dengan cara
memberikan pengetahuan dalam hal ini adalah fakta-fakta tentang HIV/AIDS, karena
pendidikan kesehatan merupakan landasan kognitif bagi terbentuknya suatu sikap. Namun,
tidak hanya pengetahuan saja yang membentuk sikap seseorang. Pengetahuan, pikiran,
keyakinan dan emosi juga ikut berperan dalam menentukan sikap yang utuh (Notoatmodjo,
2003).
Sikap memiliki beberapa tingkatan yaitu menerima (receiving) yaitu seseorang mau dan
memperhatikan stimulus, merespon (responding) yaitu seseorang memberikan jawaban
ketika ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah indikator
level ini, menghargai (valuing) yaitu seseorang mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau mendiskusikan suatu masalah, bertanggung jawab (responsible) yaitu seseorang
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilih dengan segala risiko yang merupakan
sikap yang paling tinggi. Pendidikan kesehatan mampu mempengaruhi sikap seseorang
sampai pada tingkatan menerima (receiving) yaitu mau dan memperhatikan stimulus dan
merespon (responding) dengan memberikan jawaban ketika ditanya walaupun belum
sampai pada tahapan menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau mendiskusikan suatu objek ataupun bertanggung jawab (responsible) atas segala
sesuatu yang dipilih dengan segala risiko yang merupakan tingkatan sikap tertinggi (11).
Perbedaan Pengetahuan dan Sikap sesudah Pendidikan Kesehatan antara Kelompok
Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan
kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disebabkan oleh peningkatan pengetahuan
kelompok eksperimen sesudah pendidikan kesehatan yang sangat signifikan dan cukup
untuk menyebabkan perbedaan pengetahuan antara kelompok eksperimen dan kontrol.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan sikap sesudah pendidikan
kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Tidak
adanya perbedaan sikap sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disebabkan oleh perubahan sikap kelompok
eksperimen sesudah pendidikan kesehatan yang tidak terlalu signifikan.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, pada kelompok
eksperimen, terdapat lebih banyak responden perempuan, sedangkan pada kelompok
kontrol, terdapat lebih banyak responden berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa berdasarkan umur, pada kelompok eksperimen maupun kelompok
kontrol, responden paling banyak berumur 16 tahun. Berdasarkan hasil penelitian,
pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai salah
satu usaha untuk membantu individu meningkatkan kemampuan dalam hal pengetahuan.
Pendidikan kesehatan juga dapat mempengaruhi sikap individu dan dapat dijadikan
sebagai salah satu usaha untuk membantu individu mengubah sikap dengan tetap
memperhatikan faktor-faktor eksternal lain yang membentuk sikap secara utuh. Selain itu
dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
123
kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan sangat mempengaruhi timbulnya perbedaan
pengetahuan antara individu yang memperoleh pendidikan kesehatan dengan individu
yang tidak memperoleh pendidikan kesehatan. Namun, tidak ada perbedaan sikap sesudah
pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan tidak mempengaruhi timbulnya
perbedaan sikap antara individu yang memperoleh pendidikan kesehatan dengan individu
yang tidak memperoleh pendidikan kesehatan.
Bagi pihak sekolah hendaknya membekali siswa tentang pengetahuan HIV/AIDS dan
meningkatkan pembinaan sikap siswa agar terhindar dari perilaku yang beresiko
menularkan HIV/AIDS serta meningkatkan pembinaan sikap siswa terhadap penderita
HIV/AIDS dan orang terdekat penderita HIV/AIDS. Bagi institusi kesehatan agar
membuat dan melaksanakan program pencegahan meningkatnya perilaku yang beresiko
menularkan HIV/AIDS seperti penyalahgunaan narkoba dan seks bebas dengan melakukan
pendidikan kesehatan di sekolah-sekolah dengan materi dan metode yang bervariasi
seputar HIV/AIDS. Untuk penelitian selanjutnya perlu diadakan penelitian yang lebih
mendalam tentang bagaimana cara untuk meningkatkan sikap remaja terhadap HIV/AIDS
selain dengan pendidikan kesehatan, misalnya dengan metode diskusi kelompok atau
bermain peran dan mengambil responden dengan jumlah yang lebih banyak dan apabila
menggunakan responden kontrol, akan lebih baik bila menggunakan responden kontrol
yang berada dilokasi yang berbeda dengan responden eksperimen, tetapi memiliki
karakteristik yang hampir sama.
Daftar Pustaka
Badan Narkotika Nasional. Narkoba Suntik pada Remaja SMA di Bandung . Jakarta :
BNN-IASTP. 2003.
Herawani. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan . Jakarta : EGC. 2001.
Kurniawati, N.D, S.Kep, Ns. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.
Jakarta : Salemba Medika. 2007.
Notoatmodjo, S. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Prinsip-Prinsip Dasar . Jakarta : PT.
Rineka Cipta. 2003.
Notoatmojo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2003.
Sarwono, S.W. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta :
Balai pustaka. 1999.
Sasongko, Adi, dr. Acquired Immunodeficiency Syndrome. Petra.ac.id. Diakses tanggal 9
Januari 2009. http://www.petra.ac.id/science/aids/aids2.htm
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
124
HUBUNGAN PELAKSANAAN TUGAS KESEHATAN KELUARGA DENGAN
PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DESA WONOSARI
KECAMATAN TRUCUK
Istianna Nurhidayati1), Efy Kusumawati2), Ekki Suprihatin3)
1,2,3
Stikes Muhammadiyah Klaten, [email protected],
Abstrak
Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue(DBD) merupakan satu dari beberapa penyakit
menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama Negara berkembang. Kejadian
DBD di Indonesia terjadi peningkatan setiap tahun yang menimbulkan Kejadian Luar
Biasa dan dampak sosial dan ekonomi dimasyarakat.Pencegahan DBD diperlukan untuk
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.Pencegahan DBD dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya pelaksanaan tugas kesehatan keluarga.
Tujuan. Mengetahui hubungan pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan pencegahan
DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk
Metode penelitian. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi. Populasi
penelitian ini adalah semua jumlah KK yang ada di Desa Wonosari. Sampel sebanyak 81
KK dengan teknik cluster random sampling. Analisa data menggunakan Kendal Tau.
Hasil.. Hasil penelitian diperoleh 79% keluarga mengenal masalah dengan baik tentang
DBD, 87% keluarga mengambil keputusan dengan baik, 50,6% keluarga dalam kategori
baik melakukan perawatan penegahan DBD, 84% kategori baik dalam memodifikasi
lingkungan sesuai syarat kesehatan, dan 77,8% kategori baik dalam memanfaatkan
pelayanan. 85,2% responden kategori baik dalam pencegahan DBD.
Kesimpulan. Terdapat hubungan pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga dengan
pencegahan DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk dengan arah hubungan positif dan
p value = 0,027 atau p< 0,05.
Kata kunci : Pencegahan DBD, Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga
Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu dari beberapa penyakit
menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang.Penyakit
ini banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia.Insidensi DBD
meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir ini.Populasi DBD di dunia
meningkat lebih dari 40%. World Health Organization (WHO, 2013) menjelaskan, sekitar
2,5 milyar orang, atau 40% merupakan population at risk DBD. WHO memperkirakan 50
sampai 100 juta terinfeksi virus DBD setiap tahunnya, ditemukan 500.000 kasus DBD dan
22.000 kematian, sebagian besar di antara anak-anak. Anomali iklim dan buruknya
penanganan lingkungan yang menyebabkan kasus DBD meningkat di masyarakat.Data
dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama jumlah penderita DBD
setiap tahunnya. WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD pada
urutan keempat tertinggi di Asia Tenggara (WHO, 2011).
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
125
Peningkatan kasus DBD di Indonesia di tunjukkan dengan insiden DBD. Demam Berdarah
Dengue di Indonesia pada tahun 2011 sebesar Incidence rate (IR)= 27.67 per 100.000
penduduk. Pada tahun 2012 meningkat menjadi sebesar (IR)= 37,27%, dan pada tahun
2013 sebasar (IR) = 45,85 % per 100.000 penduduk. Data diatas menunjukkan bahwa
angka kejadian DBD di Indonesia masih terjadi peningkatan setiap tahunnya. Penyakit
DBD di Provinsi Jawa Tengah juga menjadi permasalahan serius, terbukti 35
Kabupaten/Kota sudah pernah terjangkit penyakit DBD. Angka insiden DBD di Provinsi
Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar IR=15,27 per 100.000 penduduk, tahun 2012
sebesar IR=19,29 per 100.000 penduduk. Peningkatan IR DBD di Jawa Tengah akan
berdampak pada penurunan angka derajat kesehatan. Di kalangan masyarakat akan
berdampak pada ekonomi dan sosial (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012). Kasus
penderita DBD di Kabupaten Klaten pada tahun 2012 sebanyak 82 orang dengan IR
sebesar 6,2 per 100.000 penduduk. Tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi sebanyak 336
kasus, dengan IR= 25,5 per 100.000 penduduk. Data diatas menunjukkan bahwa,
Kabupaten Klaten termasuk daerah yang setiap tahunnya terkena penyakit DBD (Dinas
Kesehatan Kab.Klaten, 2013).
Peningkatan IR DBD yang terjadi setiap tahun menimbulkan dampak sosial dan ekonomi
di masyarakat. Kerugian sosial yang terjadi antara lain kepanikan dalam keluarga,
kematian anggota keluarga, dan berkurangnya usia harapan hidup. Dampak ekonomi yang
langsung dirasakan oleh penderita DBD adalah biaya pengobatan. Dampak yang tidak
langsung adalah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain dikeluarkan seperti
transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita (Kemenkes RI, 2013). Untuk
mengurangi dampak tersebut diperukan upaya pengendalian masalah DBD.
Pengembangan kebijakan nasional penanggulangan DBD dilakukan dengan berbagi cara:
mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) di berbagai tingkat
administrasi, penanggulangan DBD masuk dalam standar pencapaian minimum (SPM)
bidang kesehatan di kabupaten kota sehingga upaya pengendalian operasional dan nonoperasional menjadi tanggung jawab kabupaten kota sesuai dengan peranturan menteri
kesehatan RI Nomor. 174 Tahun 2008.Hasil dari program di atas belum dapat
dilaksanakan secara maksimal, karena keluarga maupun masyarakat hanya
mengaplikasikan program 3M saja, dan itupun belum dilakukan semua keluarga (Dirjen
P2P Kemenkes RI, 2012).
Upaya pemberantasan DBD dapat berhasil apabila seluruh masyarakat berperan secara
aktif dalam PSN DBD. Gerakan PSN DBD merupakan bagian yang paling penting dari
keseluruhan upaya pemberantasan DBD oleh keluarga/masyarakat. Hasil dari PSN
menunjukkan bahwa pemberantasan jentik melalui kegiatan PSN DBD dapat
mengendalikan populasi nyamuk aedes aegypti sehingga penularan DBD dapat dicegah
dan dikurangi.Dari gerakan sederhana itu, angka penderita dan kematian DBD bisa
ditekan. Hasil studi pendahuluan di Desa Wonosari, Kecamatan Trucuk yang merupakan
daearah endemis DBD didapatkan fenomena masih banyak ditemukan jentik-jentik
nyamuk aides aaigepti di rumah warga, masih menggantung baju kotor lebih dari 3 hari.
Sinar matahari jarang masuk di dalam rumah karena jendela tidak pernah di buka.Di
sekeliling rumah masih ada sampah yang masih bisa menampung air. Keluarga belum
mampu memahami cara pencegahan DBD dan perilaku 3M tidak dilakukan di keluarga.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
126
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pelaksanaan tugas kesehatan
keluarga dengan pencegahan demam berdarah dengue (DBD) di desa Wonosari,
kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten
Metoda
Dengan desain penelitian deskriptif korelasi.Pengambilan data dilakukan dengan metode
cluter random sampling.Populasi dalam penelitian ini adalah semua KK yang ada di Desa
Wonosari Kecamatan Trucuk sebanyak 1300 KK.Sampel yang diambil pada penelitian
semuanya memenuhi syarat inklusi sebanyak 81 responden.Instrumen A digunakan untuk
mengukur variabel pelasanaan tugas kesehatan keluarg, Instrumen B lembar observasi
pelaksananaan pencegahan DBD di rumah. Analisa bivariat yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antara variabel pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan
pencegahan DBD menggunakan uji statistik Kendall-Tau
Hasil
Karakteristik Responden
Tabel 1.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Desa Wonosari
Tahun 2015 (n=81)
variabel
Frekuensi (f)
Prosentase(%)
Umur
Masa remaja akhir (17-24tahun)
1
1.2
Masa Dewasa Awal (26- 35 Tahun) 19
23.5
Masa Dewasa Akhir (36- 45 Tahun) 26
32.1
Masa Lansia Awal (46 - 55 Tahun)
22
27.2
Masa Lansia Akhir (56 - 65 Tahun) 12
14.8
Masa Manula(> 65tahun)
1
1.2
81
100
Jenis Kelamin
77
95.1
Laki-Laki
4
4.9
Perempuan
81
100
Tingkat Pendidikan
14
17.3
SD
18
22.2
SMP
37
45.7
SMA
12
14.8
PT
81
100
Pekerjaan
Tukang Kayu
3
3.7
Buruh
26
32.1
Wiraswasta
28
34.6
Tani
6
7.4
PNS
11
13.6
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
127
Pensiun
Pedagang
Pendapatan
< UMR
>UMR
2
5
2.5
6.2
81
100
22
59
81
27.2
72.8
100
Tabel 1.1.menunjukan karakteristik responden penelitian terbanyak berumur 36-45 tahun
atau pada masa dewasa akhir yaitu sebesar 32,1% dan sebagian besar responsen berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebesar 95,1%. berdasarkan tingkat pendidikan SMA sebesar
45,7%. Jenis pekerjaan terbanyak wiraswasta sebesar 34,6% dengan pendapatan terbanyak
yaitu pendapatan lebih dari UMR sebesar 72.8%.
Pelaksanaan tugas kesehatan keluarga
Table 1.2. Distrubusi Frekuensi Pelaksanaan tugas Kesehatan Keluarga
di Desa WonosariTahun 2015 (n=81)
Variabel
Mengenal masalah
Baik
Kurang
Memutuskan masalah
Baik
Kurang
Merawat angota keluarga
Baik
Kurang
Modifikasi lingkungan
Baik
Kurang
Memanfaatkan Yankes
Baik
Kurang
Pelaksanaan tugas kesehatan
keluarga
Baik
Kurang
Total
Frekuensi
(f)
Prosentas
e (%)
64
17
79.0
21.0
71
10
87.7
12.3
41
40
50.6
49.4
68
13
84.0
16.0
63
18
77.8
22.2
60
21
81
74.1
25.9
100.0
Tabel 1.2. Menunjukan distribusi frekeunsi pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga di
Desa Wonosari tertinggi dengan kategori baik adalah keluarga dalam memutuskan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
128
masalah (87,7%) dan terendah pada keluarga dalam merawat anggota keluarganya
(50,6%).
Tabel 1.3 Distrubusi Frekuensi Pencegahan DBD dalam Keluarga di Desa
WonosariTahun 2015 (n=81)
Pencegahan DBD
Frekuensi
Prosentase %
Baik
69
85.2
Kurang baik
12
14.8
Total
81
100
Tabel 1.3 menunjukkan distribusi frekuensi Pencegahan DBD dalam keluarga
menunjukkan Proporsi keluarga dalam pencegahan DBD dengan kategori baik sebesar
85,2%, lebih besar dari pada keluarga dalam pencegahan DBD dengan kategori kurang
baik.
Tabel 1.4 Hubungan pelaksanaan Tugas Kesehatan Kleuarga dengan
Pencegahan DBD di desa Wonosari tahun 2015
Pencegahan DBD
Total
p
Baik
Kurang
f
%
f
%
f
%
Tugas
Baik
55 67.9 14
17.3
69
85.2
0.027
Kes
Kurang
5 6.2 7
8,6
12
14.8
Kel
Jumlah
60 74.1 21
25.9
81
100
Tabel 1.4 Menunjukan tugas kesehatan keluarga terkait pencegahan DBD dengan kategori
baik 67.9%, lebih besar dibandingkan dengan kategori kurang baik 6,2%. Hasil uji statistik
Kendall-Tau menunjukan ada hubungan antara tugas kesehatan keluarga dengan
pencegahan DBD p< 0,05, dengan r =0,54.
Pembahasan
Maglaya (2009) menjelaskan tugas kesehatan keluarga dalam pencegahan DBD meliputi 5
indikator yaitu keluarga dalam mengenal masalah kesehatan terkait pencegahan DBD,
keluarga dalam memutuskan masalah, keluarga dalam merawat anggotanya, keluarga
dalam memodifikasi lingkungan, keluarga dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
ada. Hasil penelitian menunjukkan proporsi pelaksanan lima tugas kesehatan keluarga
dalam pencegahan DBD dengan kategori baik 67.9%. Hasil secara keseluruhan
penatalaksanaan tugas kesehatan keluarga didapatkan mayoritas dalam kategori baik
dimana keluarga melaksanakan tugas kesehatan dalam pencegahan DBD dengan baik.
Friedman (2010) menjelaskan keluarga merupakan sebuah system yang erat hubungannya
yang saling mempengaruhi antar anggota keluarga. Hal ini sejalan dengan Ramlah (2011)
menjelaskan peran dan pelaksanaan tanggung jawab keluarga sangat mempengaruhi
kondisi anggota keluarga dalam berinteraksi, ataupun dalam memenuhi semua kebutuhan
anggota keluarga, sesuai dengan tumbuh kembang semua anggota keluarga, termasuk
pemenuhan kebutuhan kesehatan.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
129
Hasil observasi pelaksanaan tugas kesehatan keluarga kurang baik sebesar 6,2%.
Kebiasaan
yang menunjukkan kurangnya pencegahan DBD di keluarga adalah
menggantung baju lebih dari 2 hari. Hasil ini sejalan dengan peneliatian Sitio(2008) yang
memaparkan kebiasaan menggantung baju berhubungan signifikan dengan kejadian DBD
dengan p=0,018 dengan 95% confidence interval. Hasil uji statistik Kendall-Tau
menunjukan ada hubungan antara Tugas Kesehatan keluarga dengan Pencegahan DBD.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Manalu (2009) memaparkan faktor perilaku keluarga
yang dioptimalkan untuk mengatasi penyakit DBD yaitu partisipasi keluarga dalam
melakukan 3M. Kusyogo (2006), menjelaskan Pendidikan yang dimiliki responden dan
tingkat pengetahuan responden mengenai penyakit DBD merupakan faktor yang
menghalangi responden dalam upaya melakukan pencegahan DBD, tingkat pengetahuan
responden mengenai DBD, faktor kerentanan yang dirasakan, keseriusan responden yang
dirasakan terhadap DBD mempengaruhi praktik pencegahan DBD. Factor kepercayaan,
sikap dan potensi masyarakat merupakan faktor pendukung/ penghalang dalam upaya
pencegahan DBD.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga
dengan pencegahan DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk dengan arah hubungan
positif dan p value =0,027 (p<0.05).
Daftar Pustaka
Dirjen P2P Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pengertian Demam
Berdarah Dengue
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2013. Program Penanggulangan Demam Berdarah
Dengue
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Data penyakit menular
Kusyogo, Cahyo. 2006. Kajian Faktor-faktor Perilaku dalam Keluarga yang
mempengaruhi Pencegahan Penyakit DBD
di Kelurahan Meteseh, Kota
Semarang. Media Litbang Kesehatan XVI, Nomor 4 tahun 2006.
Maglaya. 2009. Family Health Nursing: The Proses. Argonauta Corporation: Nangka
Marikina City
Manalu Emmylia. 2009. Determinan Partisipasi Keluarga dalam Tindakan Pencegahan
Demam Berdarah Denguedi Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekan Baru.USU
Sitio, Anton. 2008. Hubungan Perilaku tentang PSN dan Kebiasaan Keluarga dengan
Kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan.
World Health Organization (WHO). 2013. Prevalensi penyakit menular di dunia
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
130
LITERATUR REVIEW FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK
Budi Kristanto
Mahasiswa Prodi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
Abstrak
Latar belakang. Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan
perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Semakin hari gangguan ini tampak
semakin meningkat dengan pesat. Beberapa laporan menyebutkan angka kejadian gangguan bicara
dan bahasa berkisar 5 – 10% pada anak sekolah.
Tujuan. Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengetahui fakor yang berhubungan
dengan perkembangan bahasa anak
Metode. Literatur review dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi melalui
Gogle search dengan dengan kata kunci yang dipilih yaitu “faktor yang mempengaruhi
perkembangan baahasa anak pra sekolah”. Penelusuran dibatasi terbitan 2004-2014 yang dapat
diakses fulltext dalam format pdf yang merupakan penelitian di dalam negeri. Dari hasil
penelusuran didapatkan 3 jurnal penelitian yang sesuai.
Hasil. Pada penelitian dari studi ini di dapatkan prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%.
Didapatkan bahwa terdapat faktor yang berhubungan dari perkembangan bahasa anak adalah pola
asuh orang tua. Pada penelitian yang lain didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan dan sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak usia 1-3
tahun.
Pembahasan. Faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa
dibagi menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari anak. Faktor yang diteliti dan
berkontribusi pada perkembangan bahasa anak pada penelitian ini adalah pola asuh orang tua,
pengetahuan dan sikap orang tua terkait stimulasi anak.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan perkembangan bahasa masih cukup tinggi, pada penelitian yang
dibahas ini di dapatkan prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%.. Dari berbagai sumber
dipaparkan terkait faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa
dibagi menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari anak. Pada studi dari penelitian ini
didapatkan bahwa salah satu faktor eksternal yang disimpulkan memberikan pengaruh yang
signifikan adalah factor pola asuh dari orang tua anak. Sedangkan pada penelitian berikutnya dapat
dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan sikap ibu
tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak.
Kata Kunci : Perkembangan bahasa, anak, pengetahuan, sikap, pola asuh
Pendahuluan
Perkembangan merupakan bertambah atau meningkatnya kemampuan dalam struktur serta
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai
hasil dari proses pematangan. Hal tersebut menyangkut proses diferensiasi dari sel-sel
tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang semakin berkembang sehingga
masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi,
intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.1 Gangguan
bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering
ditemukan pada anak. Semakin hari gangguan ini tampak semakin meningkat dengan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
131
pesat. Beberapa laporan menyebutkan angka kejadian gangguan bicara dan bahasa berkisar
5 – 10% pada anak sekolah. Kemampuan motorik dan kognisi berkembang sesuai tingkat
usia anak. Perolehan bahasa bertambah melalui proses perkembangan mulai dari bahasa
pertama, usia pra sekolah dan usia sekolah di mana bahasa berperan sangat penting dalam
pencapaian akademik dari anak yang bersangkutan.2,3 Perkembangan bahasa, khususnya
pada usia dibawah lima tahun (balita) akan berkembang sangat aktif serta pesat.
Keterlambatan bahasa pada periode atau masa ini perlu bahkan harus mendapatkan
perhatian karena dapat menimbulkan berbagai masalah dalam proses belajar di usia
sekolah nantinya.4 Anak yang mengalami keterlambatan berbicara dan berbahasa beresiko
mengalami kesulitan dalam belajar, kesulitan untuk membaca dan menulis dan akan
menyebabkan pencapaian prestasi akademik yang kurang secara menyeluruh, hal ini dapat
berlanjut sampai usia dewasa muda. Selanjutnya orang dewasa dengan pencapaian
akademik yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa, akan mengalami masalah
perilaku dan penyesuaian psikososial.5
Dari paparan tersebut terlihat bahwa sangat besar akibat yang diimbulkan oleh karena
keterlambatan bahasa pada anak usia pra sekolah, maka sangatlah penting untuk
optimalisasi proses perkembangan bahasa pada masa ini. Deteksi dini keterlambatan dan
gangguan bicara usia prasekolah adalah tindakan yang terpenting untuk menilai tingkat
perkembangan bahasa anak, sehingga dapat meminimalkan kesulitan dalam proses belajar
anak tersebut saat memasuki usia sekolah nantinya. Profesi perawat khususnya perawat
komunitas sesuai dengan salah satu peran dan fungsinya sebagai penemu kasus sangat
strategis. Kegiatan skrining dapat dilakukan dengan lebih awal, sehingga factor resiko dari
gangguan perkembangan bahasa lebih awal dapat dikomunikasikan dengan orang tua anak
dan tindakan dapat segera dilakukan.
Tujuan
Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengetahui fakor yang berhubungan dengan
perkembangan bahasa anak.
Metode
Literatur review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi melalui
Gogle search dengan dengan kata kunci yang dipilih yaitu “faktor yang mempengaruhi
perkembangan baahasa anak pra sekolah”. Penelusuran dibatasi terbitan 2004-2014 yang
dapat diakses fulltext dalam format pdf yang merupakan penelitian di dalam negeri. Dari
hasil penelusuran didapatkan 3 jurnal penelitian yang sesuai. Penelitian tersebut berjudul :
1. Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara pada Anak Prasekolah di TPA
Werdhi Kumara I dengan Early Language Milestone Scale-2. Penelitian dilakukan oleh:
Rosalia Beyeng, Soetjiningsih dan Trisna Windiani. Tahun 2012.
2. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak Usia toodler
(1-3 Tahun) di Desa Sambiroto Demak. Penelitian dilakukan oleh Misbakhul Munir,
Vivi Yosafianti dan Shobirun. Tahun 2012.
3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa dengan
Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur
Tunggal Depok Sleman Yogyakarta. Penelitian dilakukan oleh Dewi Listyowati,
Listyana Natalia Retnaningsih dan Lala Budi Fitriana. Tahun 2012.
Hasil
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
132
1. Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara pada Anak Prasekolah di TPA
Werdhi Kumara I dengan Early Language Milestone Scale-2.
Jumlah anak yang berada di TPA Werdhi Kumara I adalah 148 anak, dengan kisaran
usia dari 3 bulan-7 tahun. Dari 148 anak yang berada di TPA, yang berusia 3 bulan
sampai 36 bulan ada 58 anak (39.1). Pada penelitian ini di dapatkan prevalensi
keterlambatan bicara sebesar 8.6%
Tabel 1. Karakteristik keterlambatan bicara pada anak di TPA Werdhi Kumara I
Variabel
Jenis Kelamin
- laki-laki
- perempuan
Usia
- 0-12 bulan
- 13-24 bulan
Frekuensi
P
4
1
0.40
1
2
0.66
2. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak Usia toodler
(1-3 Tahun) di Desa Sambiroto Demak.
Penelitian dilakukan dengan crossectional terhadap ibu dan anak usia toodler sebanyak
63 responden dengan total sampling di Desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupaten
Demak. Instrumen yang digunakan adalah kwesioner dan lembar DDST.
Hasil pada penelitian ini adalah :
No
1.
2.
3.
4.
No
1.
2.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tipe Pola Asuh Ibu
Tipe
Frekwensi
Demokratis
39
Otoriter
7
Permisif
8
Laissez faire
9
Jumlah
63
Tabel 3. Distribusi Frekwensi Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa
Frekwensi
Baik
48
Kurang baik
15
Jumlah
63
%
61.9
11.1
12.7
14.3
100
%
76.2
23.8
100
Berdasarkan hasil analisis statistik hubungan pola asuh dengan perkembangan bahasa
anak usia toodler didapatka hasil : sebagian besar responden perkembangan bahasanya
baik, yaitu 48 responden (76.2%) sedangkan sisanya 25 responden (23.8%)
perkembangan bahasanya kurang baik.
Berdasarkan uji statistic dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p value
sebesar 0.000 dengan nilai signifikan <0.05 yang berarti ada hubungan antara pola asuh
ibu dengan perkembangan bahasa anak usia toddler (0-3tahun). Berdasarkan analisis
hubungan pola asuh ibu dengan perkembangan bahasa anak usia toddler didapatkan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
133
data responden dengan perkembangan bahasa baik dengan pola asuh demokratis
sebanyak 36 (75%), otoriter sebanyak 6 (12.5%), permisif 2 (4.2%), laissez faire
sebanyak 4 (8.4%). Responden dengan perkembangan bahasa kurang baik dengan pola
asuh demokratis sebanyak 3 (20%), otoriter sebanyak 1 (6.7%), permisif 6 (40%),
laissez faire sebanyak 5 (33.3%).
3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa dengan
Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur
Tunggal Depok Sleman Yogyakarta
Desain penelitian ini adalah kuantitatif yang dilakukan dengan menggunakan metode
deskriptif korelasi (correlasion study) menggunakan rancangan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah 34 orang tua dan 34 anak usia 1-3 tahun yang
sekolah di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman, Yogyakarta. Teknik
sampling dilakukan secara total sampling yaitu 34 ibu dan 34 anak usia 1-3 tahun.
Tehnik Pengumpulan Data menggunakan kuesioner tertutup dan dengan metode
dokumentasi. Analisis data penelitian menggunakan analisis univariat dan analisa
bivariat menggunakan uji korelasi Spearman Rank (Rho) uji ini digunakan untuk
mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD
Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta
Juni 2012
No
Perkembangan bahasa
Frekwensi
%
1.
Normal
17
50
2.
Suspek
17
50
Jumlah
34
100
Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan tabel diketahui bahwa perkembangan bahasa anak yang normal dan
suspek adalah sebanyak 17 (50%).
Tabel 5 Hubungan antara tingkat pengetahuan tentang stimulasi bahasa dengan
Perkembangan bahasa anak usia 1-3 tahun di PAUD Mekar Sejati
Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta
Juni 2012
Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan ibu baik dan
perkembangan bahasa dikategorikan normal yaitu 11 (64,7%).
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
134
Tabel 6. Hubungan Antara Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa Dengan Perkembangan
Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal
Depok Sleman Yogyakarta
Juni 2012
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebagian besar sikap ibu tentang stimulasi
bahasa kurang dan perkembangan bahasa anak dikategorikan suspek yaitu 8 (53,3%).
Pembahasan
Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara
Studi Cochrane terakhir telah melaporkan data keterlambatan bicara, bahasa dan gabungan
keduanya pada anak usia prasekolah dan usia sekolah. Prevalensi keterlambatan bicara dan
bahasa pada anak usia 2-4.5 tahun adalah 58%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah
2.3-19%. 6 Pada penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi keterlambatanbicara pada anak
di TPA Werdhi Kumara I sebesar 8.62%. Pada penelitian ini keterlambatan bicara yang
terdeteksi dengan pemeriksaan ELMS 2 terbanyak pada rerata usia di atas 13 bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh Campbell.7 mendapatkan adanya factor resiko terjadinya
keterlambatan bicara pada anak apabila terdapat riwayat keluarga yang mengalami
keterlambatan bicara. Penelitian lain menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara pendidikan ibu yang rendah, jumlah anggota keluarga, social ekonomi dan usia ibu
yang muda dengan resiko terjadinya keterlambatan bicara.Pada penelitian ini, pendidikan
orang tua yang terdiri dari pendidikan menenganh dan pendidikan tinggi tidak beda
bermakna dalam mempengaruhi frekuensi keterlambatan bicara pada anak, sedangkan
faktor resiko lain tidak dicari pada penelitian ini.
Yliherva, dkk.8 melakukan penelitian pada lebih dari 8000 anak di Finlandia menemukan
adanya hubungan prematuritas, asfiksia, berat badan lahir rendah dengan terjadinya
keterlambatan bicara pada anak. Keterlambatan bicara pada penelitian ini lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki, status gizi baik, usia kehamilan cukup bulan, tidak asfiksia
namun tidak bermakna secara statistic (p>0.05). Kelemahan penellitian ini adalah tidak
mencari factor resiko lain yang mungkin mempengaruhi terjadinya keterlambatan bicara
pada subyek penelitian.
Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak
Berdasarkan hasil penelitian, data karakteristik responden menunjukkan persentase
terbesar umur responden (ibu) berumur antara 20-35 tahun sebanyak 55 responden
(87.3%) dan pada responden anak sebagian besar berumur 25-36 bulan sebanyak 33
responden (52.4%). Menurut Notoatmodjo9, seseorang yang umurnya lebih tua akan lebih
banyak pengalamannya sehingga mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki, maka ibu
semakin cukup umur akan semakin berpikir matang dan ligis. Sejak lahir sampai usia 3
tahun anak memiliki kepekaan sensoris dan daya piker yang sudah mulai dapat menyerap
pengalaman-pengalaman melalui sensorisnya, usia satu setengah sampai kira-kira tiga
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
135
tahun mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat bahasanya (berbicara atau
bercakap-cakap).10 Berdasarkan karakteristik data dari hasil penelitian untuk tigkat
pendidikan responden (ibu) yaitu SMP atau sederajad sebanyak 34 responden (54.0%). Hal
ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pendidikan tersebut responden lebih mudah
menerima informasi yang diberikan oleh peneliti. Pengetahuan sangat erat kaitannya
dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikaan semakin tinggi,
maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan
bahwa orang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah
pula11.
Berdasarkan hasil penelitian pola asuh yang dilakukan oleh ibu terhadap perkembangan
bahasa anak usia toddler (1-3 tahun) di desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupaten
Demak tergolong baik yaitu 39 responden (61.9%) menerapkan pola asuh demokratis dan
sisanya ibu menerapkan pola asuh otoriter 7 responden (11,1%), permisif 8 responden
(12.7%), dan laissez faire 9 responden (14.3%). Hal tersebut dikarenakan rata-rata ibu
yang memiliki anak usia toddler sudah melatih anak untuk belajar bicara melalui aktivitas
bermain, mengajarkan anak bernyanyi untuk melatih kemampuan mengucapkan kata-kata,
melatih anak berbicara sampai lancar untuk secara berulang-ulang sampai anak dapat
berbicara sesuai tahap perkembangannya. Hasilnya pola asuh ini mendorong anak untuk
mandiri, namun masih menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan
verbal member dan menerima dimungkinkan, dan ibu bersikap hangat dan penyayang
terhadap anak. 12 Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara pola asuh ibu terhadap
perkembangan bahasa anak usia toddler hasilnya nilai p= 0.000 (p<0.05), maka dapat
disimpulkan ada hubungan antara pola asuh ibu terhadap perkembangan bahasa anak usia
toddler (1-3 tahun) di Desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupeten Demak.
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa
dengan Perkembangan Bahasa Anak
Pengetahuan adalah merupakan hasil mengingat sesuatu hal, termasuk mengingat kembali
kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi
setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu.
Berdasarkan tabel diketahui bahwa mayoritas pengetahuan ibu tentang stimulasi bahasa di
PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta adalah baik.
Pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berpola dari
keyakinan tersebut. Dengan baiknya pengetahuan merupakan faktor terpenting karena
sangat mempengaruhi tingkat kemampuan atau intelektual yang dimiliki seseorang dalam
melakukan stimulasi bahasa13
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah faktor internal seperti
jasmani dan rohani serta faktor eksternal seperti pendidikan, paparan media massa,
ekonomi, hubungan sosial, dan pengalaman. Faktor internal seperti faktor jasmani
khususnya panca indra, dan faktor rohani khususnya kesehatan psikis, intelektual,
psikomotor serta kondisi efektif atau konatif individu akan sangat berpengaruh pada proses
penerimaan terhadap informasi dari luar, karena apabila terjadi kerusakan pada salah satu
panca indra maka akan terjadi kesalahan pada penerimaan informasi.14 Pada saat peneliti
melakukan observasi pada responden di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok
Sleman Yogyakarta, semua responden (ibu) dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
Selain itu, faktor eksternal seperti pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap
pengetahuan. Pada penelitian ini pendidikan ibu mayoritas adalah SMP dan SMA, semakin
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
136
tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik juga pengetahuannya 14. Sikap
merupakan respon evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif15. Berdasarkan
penelitian sikap ibu tentang stimulasi bahasa anak di PAUD Mekar Sejati Janti Catur
Tunggal Depok Sleman Yogyakarta mayoritas adalah kurang.
Sikap ibu tentang stimulasi bahasa yang kurang berarti keinginan ibu untuk melakukan
stimulasi bahasa masih kurang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang berpengaruh
dalam pembentukan sikap ibu tentang stimulasi bahasa diantaranya pengalaman pribadi,
pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media masa, lembaga
pendidikan, agama dan faktor emosional. Hal lain yang mempengaruhi sikap ibu tentang
stimulasi bahasa adalah pengaruh orang lain. Biasanya orang yang memiliki pengaruh
besar adalah keluarga, bisa dari suami, orangtua bahkan mertua. Seringkali ibu melakukan
stimulasi bahasa belajar dari orangtua karena dianggap sudah banyak pengalaman. Hal ini
didukung oleh Azwar15 pada umumnya individu cenderung memiliki sikap yang
konfromis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Sikap seseorang adalah komponen yang sangat penting dalam perilaku kesehatannya, yang
kemudian diasumsikan bahwa adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku
seseorang. Sikap positif seseorang terhadap kesehatan kemungkinan tidak otomatis
berdampak pada perilaku seorang menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap
kesehatan hampir pasti dapat berdampak negatif pada perilakunya. Berdasarkan tabel
diketahui bahwa tidak ada hubungan antara sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan
perkembangan bahasa anak usia 1-3 tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal
Depok Sleman Yogyakarta. Sikap ibu yang kurang tentang stimulasi bahasa tidak selalu
menyebabkan perkembangan bahasa anak terganggu, hal ini didukung oleh hasil penelitian
yang dilakukan oleh peneliti bahwa sikap ibu yang kurang tentang stimulasi bahasa
menyebabkan perkembangan bahasa anak antara normal dan suspek sama. Sikap ibu
dalam penelitian ini masih suatu keinginan untuk melakukan sesuatu dan bukan tindakan
untuk melakukan sesuatu.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti juga didukung oleh teori Menurut Newcomb
dalam Notoatmodjo16, menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan
untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Perkembangan bahasa
anak sangat dipengaruhi oleh sikap ibu dalam memberikan stimulasi bahasa pada anak,
dimana pemberian stimulasi tersebut tergantung keinginan ibu dalam melakukan stimulasi
pada anak. Hal ini didukung oleh Moersintowarti16, bahwa stimulasi adalah perangsangan
dan latihan-latihan terhadap kepandaian anak yang datangnya dari lingkungan di luar anak.
Stimulasi ini dapat dilakukan oleh orang tua anggota keluarga, atau orang dewasa lain
disekitar anak.
Kesimpulan
Dari studi 3 penelitian yang telah dilakukan terkait dengan perkembanganbahasa anak ini,
maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Prevalensi gangguan
perkembangan bahasa masih cukup tinggi, pada penelitian yang dibahas ini di dapatkan
prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%. 2) Dari berbagai sumber dipaparkan terkait
faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa dibagi
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
137
menjadi 2 yaitu factor internal dan factor eksternal dari anak. 3) Pada studi dari penelitian
ini didapatkan bahwa salah satu factor eksternal yang disimpulkan memberikan pengaruh
yang signifikan adalah factor pola asuh daro orang tua anak. 4) Sedangkan pada penelitian
berikutnya dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan dan sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak.
Daftar Pustaka
Soetjiningsih. Perkembangan anak dan permasalahannya . Dalam:Narendra MB,Sularyo T
S, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IG, penyunting. Buku Ajar Tumbuh Kembang
Anak dan Remaja; Edisi I. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, Sagung
Seto, 2002; 91
Busari JO, Weggelaar NM. How to investigate and manage the child who is slow to speak.
BMJ 2004; 328:272 276
Parker S, Zuckerman B, Augustyn M. Developmental and behavioral Pediatrics (2nd ed):
Language Delays. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005
Owens RE. Language Development an Introduction, 5th edition. New York:Allyn and
Bacon; 2001.
Smith C, Hill J, Language Development and Disorders of Communication and Oral Motor
Function. In : Molnar GE, Alexander MA,editors. Pediatric Rehabilitation.
Philadelphia: Hanley and Belfus;1999.p. 57-79.
US Preventives Services Task Force. Screening for speech ang language delay in
preschool children : Recommendation statement. Pediatrics. 2006; 117:497-501.
Law J, Boyle J, Harkness a. Screening for speech and language delay : systematic review
of literature. Health Technol Asses. 1998;2:1-184.
Tomblin JB, Hardy JC, Hein HA. Predicting poor-communication status in preschool
children using risk factors present at birth. J Speech Hear Res. 1991: 34: 1096105.
Theo, R., & Martin, H. Pendidikan Anak Usia Dini: tuntunan psikologis dan pedagogis
bai pendidik dan orang tua . Jakarta : PT Gramedia Widiasarana, 2004.
Admin.(2011). Definisi pengetahuan dan serta factor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan.http//dunia baca.com.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan remaja . Edisi 11. Jakarta: Erlangga.
Mubarak, et al. (2007). Promosi Kesehatan. Sebuah Pengantar proses belajar mengajar
dalam pendidikan. Edisi I. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sukmadinata, N. (2003). landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: Alfabeta
Azwar, S. (2011). sikap manusia teori dan pengukurannya . Jakarta: Pustaka Pelajar
Departemen Rehabilitasi Medik RSCM. (2006). Internet. prevalensi keterlambatan
perkembangan
berbahas
a
di
Indonesia .
http://speechclinic.wordpress.com/2009/12/13/faktor-risiko-gangguan-berbahasapada-anak. 12 desember 2011
Notoatmodjo, S. (2011). pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Moersintowarti, B. (2002). telat bicara akibat kurang stimulasi. Jakarta: EGC.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
138
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SUAMI DAN SELF EFFICACY DENGAN
TINGKAT STRES PADA WANITA YANG BERPERAN GANDA
Lusia Lilik K. M1, Vivi Retno I. S2
STIKES Bethesda Yakkum Yogyakarta, Email: [email protected]
Email: [email protected])
Abstrak
Latar Belakang: Wanita berperan ganda yaitu wanita yang berperan sebagai ibu rumah tangga
(isteri dan ibu dari anaknya) dan juga sebagai pekerja. Maka diperlukan dukungan suami dan
adanya kemampuan diri (self efficacy). Wanita yang berperan ganda lebih potensial mengalami
banyak stresor daripada wanita berperan tunggal. Karena setiap peran yang melekat menimbulkan
berbagai stresor.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres pada
wanita yang berperan ganda pada bulan September 2015.
Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif korelasional. Sampel penelitian 30 orang dengan
purposive sampling. Analisis data menggunakan uji Chi Square Yate’s Correction dengan tingkat
kepercayaan 95 %.
Hasil: Hasil uji statistik Chi Square Yate’s Correction: Diperoleh p-value = 3,281 > α = 0,05,
artinya tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres, diperoleh p-value = 0,201
> α = 0,05, artinya tidak ada hubungan antara self efficacy dengan tingkat stres.
Pembahasan: Dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat stres pada wanita dengan berperan
ganda tidak hanya dapat dihubungkan dengan dukungan suami. Faktor lain seperti: kepribadian,
persepsi, tingkat pendidikan, status keluarga, usia pernikahan, jenis pekerjaan, jumlah anak dan
tempat tinggal turut berperan dalam perubahan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda. Self
efficacy tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat stres, hasil yang dicapai manusia dan
kesejahteraan pribadi yang positif membutuhkan penghayatan yang optimis akan self-efficacy.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres
pada wanita yang berperan ganda di Dusun Puluhan Jerukan, Sumberarum, Moyudan, Sleman,
Yogyakarta September 2015.
Kata Kunci : dukungan suami – self efficacy – wanita berperan ganda
Pendahuluan
Perkembangan ekonomi di Indonesia yang semakin pesat membuat kebutuhan rumah
tangga juga mengalami peningkatan. Kurangnya pendapatan yang dihasilkan suami
sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut serta
bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan latar pendidikan yang berbeda-beda,
membuat sejumlah wanita mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Dalam sektor industri domestik banyak dijumpai wanita bekerja sebagai
buruh pabrik, pembantu rumah tangga, maupun buruh cuci (Anoraga, 2005). Peran wanita
saat ini sudah bergeser dari peran tradisional menjadi modern, dari sekedar memiliki peran
tradisional untuk melahirkan anak dan mengurus rumah tangga, sekarang ini wanita
memiliki peran sosial dimana dapat berkarir dalam bidang kesehatan, ekonomi, sosial,
maupun politik. Idealnya memang setiap wanita bisa menjalani semua peran dengan baik
dan sempurna, namun ini bukanlah hal mudah. Peran ganda yang dimaksud adalah wanita
yang berkerja dan berumahtangga mengakibatkan tuntutan yang lebih dari biasanya
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
139
terhadap wanita, karena terkadang wanita menghabiskan waktu untuk mengurus rumah
tangga dibandingkan dengan pasangannya yang berkerja (Triaryati, 2006). Perempuan
yang berkerja, dapat mengalami ketegangan (stres) yang berkaitan dengan pemenuhan
tuntutan peran antara pekerjaan dan rumah tangga. Dari semua tuntutan yang ada tersebut
maka diperlukan adanya kerja sama antara kedua belah pihak, disini suami yang berperan
untuk menyelesaikan persoalan stres tersebut. Hasil wawancara yang sudah dilakukan
ditemukan permasalahan yaitu para ibu rumah tangga yang juga bekerja di luar rumah
merasa sangat sulit untuk membagi waktu antara urusan rumah tangga dan urusan
pekerjaan. Setelah bekerja para ibu biasanya sudah merasa lelah, sedangkan masih harus
mengurus rumah, belum juga ibu yang mempunyai anak kecil dan anak tersebut ”rewel”,
semua permasalah ini membuat ibu stres sehingga tidak dapat memenuhi
tanggungjawabnya dengan baik. Para ibu juga sangat membutuhkan dukungan dari
keluarga terutama suami, pada kenyataannya ada juga suami yang kurang memberikan
dukungan kepada isteri.
Tujuan
Secara Umum mengetahui hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan
tingkat stres pada wanita yang berperan ganda pada September 2015. Secara khusus
mengetahui karakteristik responden, mengetahui dukungan suami pada wanita yang
berperan ganda, mengetahui self efficacy pada wanita yang berperan ganda, mengetahui
tingkat stres pada wanita yang mempunyai peran ganda, mengetahui hubungan antara
dukungan suami dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda apabila diketahui
ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres pada wanita yang berperan
ganda, dan mengetahui hubungan antara self efficacy dengan tingkat stres pada wanita
yang berperan ganda apabila diketahui ada hubungan antara self efficacy dengan tingkat
stres pada wanita yang berperan ganda.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan deskriptif correlation dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2015 dengan 30 responden sebagai sampel
yang digunakan menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria wanita yang
berperan sebagai kepala keluarga dan sebagai ibu untuk anaknya. Alat pengumpulan data
untuk mengukur dukungan suami, self efficacy dan tingkat stres adalah kuesioner.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia
September 2015
Usia
Frekuensi
Persentase
18 - 40 tahun
41 - 60 tahun
24
6
80,00 %
20,00 %
Total
30
100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
140
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Pernikahan
September 2015
Usia perkawinan
Frekuensi
Persentase
< 10 tahun
≥ 10 tahun
Total
9
21
30,00 %
70,00 %
30
100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
September 2015
Tingkat Pendidikan
Frekuensi
Persentase
Dasar
Menengah
Tinggi
Total
0
21
9
0,00 %
70,00 %
30,00 %
30
100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
September 2015
Pekejaan
Frekuensi
Persentase
Tidak Bekerja (IRT)
0
0,00 %
PNS
5
16,67 %
Pegawai Swasta
15
50,00 %
Wiraswasta
10
33,33 %
Total
30
100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Suami
September 2015
Dukungan Suami
Frekuensi
Persentase
Baik
20
66,67 %
Kurang
10
33,33 %
Total
30
100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
141
Tabel 6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Self Efficacy
September 2015
Self Efficacy
Frekuensi
Persentase
Tinggi
16
53,33 %
Rendah
14
46,67 %
Total
30
100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Stres Wanita
September 2015
Tingkat Stres
Frekuensi
Persentase
Ringan
12
40,00 %
Sedang
16
53,33 %
Berat
2
6,67 %
Total
30
100,00 %
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 8
Hubungan Antara Dukungan Suami Dengan Tingkat Stres Pada Wanita Yang
Berperan Ganda September 2015
Dukungan Suami
Koefisien
Total p-value
Tingkat Stres Dukungan Dukungan
Kontingensi
Baik
Kurang
Stres Ringan
6
6
12
Stres Sedang
13
3
16
3.281
0.194
Stres Berat
1
1
2
Total
20
10
30
Sumber : Primer terolah 2015
Tabel 9
Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Tingkat Stres Pada Wanita Yang
Berperan Ganda September 2015
Self Efficacy
Koefisien
Self
Self
Efficacy
Efficacy
Tinggi
Rendah
Stres Ringan
7
5
Stres Sedang
8
8
Stres Berat
1
1
Total
16
14
Sumber : Primer terolah 2015
Tingkat Stres
“Pera Perawat dala
Total p-value
12
16
2
30
0.201
Kontingensi
0.904
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
142
Pembahasan
Tabel karakteristik responden menunjukkan usia responden terbanyak dalam penelitian ini
adalah usia 14-40 tahun, sedangkan paling sedikit yaitu usia 41-60 tahun sebanyak 6
responden. Perempuan yang berusia lebih tua cenderung lebih mempunyai rasa keterikatan
atau komitmen pada organisasi dibandingkan dengan yang berusia muda sehingga
meningkatkan loyalitas mereka pada organisasi. Sama halnya yang terjadi di tempat
penelitian, perempuan yang lebih tua juga lebih banyak mengikuti acara yang ada di
Dusun, seperti senam, arisan RT dan RW. Tidak sedikit juga jika dikaitkan dengan tingkat
stres pada perempuan, pada usia muda, mereka lebih mudah mengalami stres dibanding
usia tua karena pada usia tua sudah terdapat sumber fisik dan mental serta pengalaman,
sehingga berpengaruh terhadap mekanisme kopingnya.
Hasil penelitian berdasarkan usia pernikahan juga menjadi pendukung dalam
keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan dari tingkat stres. Hasil penelitian
menujukkan terdapat 9 responden yang usia perkawinan kurang dari 10 tahun dan 21
responden dengan usia lebih dari 10 tahun. Dari data yang didapatkan tersebut bahwa usia
pernikahan yang masih muda lebih rentan mengalami stres yang disebabkan karena konflik
dibandingkan usia pernikahan yang sudah lama karena isteri lebih bisa mengontrol dan
berkomunikasi serta berfikir lebih bijak yang dikaitkan dengan tingkat emosional setiap
individu. Selain dari usia pernikahan peneliti juga melihat dari tingkat pendidikan,
pendidikan merupakan suatu proses belajar dan dilalui oleh sebagian besar orang. Hasil
penelitian berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan 21 responden dengan tingkat
pendidikan menengah dan 9 responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Notoatmodjo
(2007) menyatakan secara umum seseorang yang memiliki pendidikan tinggi mempunyai
pengetahuan yang lebih luas dibanding dengan seseorang berpendidikan rendah.
Pendidikan tinggi mampu mempengaruhi pola pikir seseorang. Pola pikir dimaksud
sebagai sikap seseorang dalam menentukan pilihan. Peneliti juga mendapatkan beberapa
responden dengan pendidikan menengah mengatakan bahwa responden juga belum bisa
mengontrol stres dalam keluarga. Hal ini menyatakan bahwa tingkat pendidikan sangat
mempengaruhi seseorang dalam mengontrol emosi setiap individu.
Pekerjaan dalam keluarga juga mempunyai peran demi keharmonisan keluarga itu sendiri.
Hasil penelitian berdasarkan pekerjaan didapatkan sebanyak 5 responden dengan
pekerjaan sebagai PNS, 15 responden dengan pekerjaan sebagai pegawai swasta, 10
responden dengan pekerjaan sebagai wiraswasta, dan tidak ada responden yang tidak
bekerja. Tidak memiliki pekerjaan akan membuat seseorang lebih mudah mengalami stres
karena kehilangan status sosialnya. Selain dari pekerjaan, penghasilan seorang isteri yang
lebih tinggi dari suami, juga bisa memunculkan potensi masalah dalam kehidupan rumah
tangga apabila tidak disikapi secara bijak oleh kedua pihak. Hasil analisis menunjukkan
bahwa dari 30 responden didapatkan 20 responden mendapatkan dukungan suami baik dan
10 responden mendapatkan dukungan suami kurang. dukungan adalah adanya bantuan atau
dukungan yang diterima individu dari orang lain dalam kehidupannya sehingga individu
tersebut merasa bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintainya
(Sarafino, 2006). Bentuk dukungan sendiri ada beberapa diantaranya yaitu emosional,
instrumental, infomasi dan persahabatan. Hasil dari uji hipotesisi juga menunjukkan tidak
ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres, jadi wanita menjadi stres
dikarenakan oleh hal-hal selain dukungan suami.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
143
Self efficacy merupakan kepercayaan mengenai kompetensi personal dalam sebuah situasi
khusus. Hasil yang didapatkan dalam penelitian dari 30 responden terdapat 16 responden
dengan self efficacy tinggi dan 14 responden dengan self efficacy rendah. Self efficacy ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pencapaian kinerja, pengalaman, persuai
verbal, emosional dan reaksi fisiologis. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi atau
belief yang kuat dalam kemampuan mereka (Bandura, 2005). Self efficacy yang tinggi
juga mempengaruhi individu dalam penyelesaian tugas, mengurangi stres, dan mengurangi
kerentanan untuk mengalami depresi. Setelah diuji, self efficacy juga tidak mempengaruhi
tingkat stres pada wanita.
Hasil analisis dari 30 responden didapatkan 12 responden dengan tingkat stres ringan, 16
responden dengan tingkat stres sedang dan 2 responden dengan tingkat stres berat. Dimana
stres sendiri dapat muncul karena beberapa faktor yang meliputi stresor fisik, sosial dan
psikologis (Priyoto, 2014). Dalam penelitian ini sebagian besar responden mengalami stres
sedang, tetapi setiap individu masih bisa mengontrol emosi dan menguranga stres dengan
koping masing-masing. Sebagian besar wanita di Dusun Puluhan Jerukan, Sumberarum,
Moyudan, Sleman, Yogyakarta sudah bisa mengatasi stres dengan cukup baik, disamping
dukungan dari keluarga dan relasi, masyarakat sekitar juga saling berhubungan baik satu
sama lain, ini semua mendukung setiap individu dari stres.
Uji statistik dengan Chi Square diperoleh p-value = 3,281 > α = 0,05, artinya tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat stres. Adapun
variabel pengganggu antara lain kepribadian, persepsi, tingkat pendidikan, status keluarga,
usia pernikahan, jenis pekerjaan, jumlah anak dan tempat tinggal, dari semua variabel
pengganggu tersebut tidak ada yang berpengaruh secara langsung untuk mempengaruhi
tingkat stres.Uji statistik dengan Chi Square diperoleh p-value = 0,201 > α = 0,05, artinya
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat stres. Hasil
yang dicapai manusia dan kesejahteraan pribadi yang positif membutuhkan penghayatan
yang optimis akan self-efficacy. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya kehidupan
sosial sehari-hari penuh dengan kesulitan.
Kesimpulan
Karakteristik berdasarkan usia responden terbanyak yaitu usia 18-40 tahun
sebanyak 24 responden. Karakteristik berdasarkan usia perkawinan terbanyak yaitu usia >
10 tahun sebanyak 21 responden. Karakteristik berdasarkan pendidikan responden
terbanyak yaitu pendidikan menengah sebanyak 21 responden. Karakteristik berdasarkan
jenis pekerjaan terbanyak yaitu pegawai swasta sebanyak 15 responden. Dari variabel
dukungan suami terdapat 66,67% dengan kategori baik. Dari variabel self efficacy terdapat
53,33% dengan kategori tinggi. Dari variabel tingkat stres terdapat 53,33% dengan
kategori sedang. Tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan
tingkat stres. Tidak ada hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan tingkat stres.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
144
Tidak ada hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres
September 2015.
Daftar Pustaka
A’at, Sriati. (2008). Tinjauan Tentang Stres. Retrieved January 03, 2009, from
Http://www.recaucesunpad.ac.id.
Ali, Z. (2009). Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC
Anoraga, P. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Astria, Tita. (2006). Hubungan antara Self Efficacy dengan Minat Melanjutkan Studi ke
Perguruan Tinggi pada Siswa SMA Negeri 2 Ciamis . Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Bandura. A. (2006). Self-Efficacy Belief of Adolescence: Guide for Constructing SelfEfficacy
Scale.New
York:
by
Information
Age
Publishing,(Http://www.ravansanji.ir/files/ravansanjiir/21655425BanduraGuide200
6.pdf, diakses tanggal 16 Mei 2012).
Chasanah, Nur. (2008). Analisis Pengaruh Empowerment, Self-Efficacy Dan Budaya
Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan .
Tesis Magister Manajemen Universitas Negeri Diponegoro.
Foucault, Michel, (2007), Space, Knowledge and Power , dalam Rethiking Architecture: A
Reader in Cultural Theory. London: Neil Leach, Roudledge.
Hawari, Dadang. (2011). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: FKUI.
Rini, Harfiahana Puspa. (2013). Self Efficacy dengan Kecemasan dalam Menghadapi
Ujian Nasional. Jurnal Online Psikologi, Vol. 01, No. 01. Santrock, John. 2009.
Safitri, Nurliana. (2008). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Tingkat
Disclosure Laporan Tahunan pada Sektor Property dan Real Estate di Buras Efek
Indonesia (BEI)Periode 2003-2007.
th
Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 5 . New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Sulistyawati, Ika. (2010). Jurnal psikologi sosial : Hubungan Antara Dukungan Sosial
Dengan Self-Efficacy Mahasiswa Dalam Menyusun Skripsi. Fakultas Psikolosi
Universitas Gunadarma.
Triaryati, N. (2006). Pengaruh adaptasi kebijakan mengenai work family issue terhadap
absen dan turnover . Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. 5 (1), 85-96.
McGraw-Hill, Poerwandari, E,Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Perilaku
Manusia . Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia.
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Woolfolk, Anita. (2005). Educational psychology.Boston: Pearson Education.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
145
EFEKTIVITAS PENDAMPINGAN PEER GROUP TENTANG BAHAYA ROKOK
TERHADAP FREKUENSI MEROKOK SISWA SMAN 14 SEMARANG
Asti Nuraeni1, Susana Agustina2, Mamat Supriyono3
1.2
STIKES Telogorejo Semarang,
Email: [email protected], Email: [email protected]
Dinas Kesehatan Kota Semarang, Email : [email protected]
Abstrak
Pendahuluan: Merokok adalah permasalahan remaja yang dari tahun ke tahun semakin
mengkhawatirkan. Prevalensi perokok remaja Indonesia pada tahun 2010 adalah 38,4% dan
menurun pada tahun 2013 menjadi 37,3%. Penurunan ini belum mencapai target yang diharapkan
(5% per tahun). Peningkatan jumlah perokok tentu meningkatkan masalah kesehatan yang terjadi.
Salah satu cara untuk mengurangi frekuensi merokok adalah pendampingan peer group tentang
bahaya rokok.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa efektivitas
pendampingan peer group tentang bahaya rokok terhadap frekuensi merokok siswa SMAN 14
Semarang.
Metode: Desain penelitian ini adalah the one group pre test-post test design dengan teknik total
sampling. Instrumen yang digunakan adalah lembar instrumen pendampingan peer group.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara. Peneliti menggunakan uji normalitas shapirowilk dan uji hipotesis dependent T test. P-value yang didapatkan adalah 0,0001 (≤ 0,05).
Hasil: Hasil penelitian ini terdapat perbedaan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sebelum
dan sesudah pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Responden berada pada rentang usia
16-18 tahun dengan mayoritas berusia 17 tahun (63,3%). Kategori perokok terbesar sebelum
dilakukan intervensi adalah perokok berat (50%) dan kategori ini tetap menjadi kategori perokok
terbesar sesudah dilakukan intervensi, tetapi frekuensinya menurun (46,7%). Rata-rata penurunan
frekuensi merokok sebelum dan sesudah dilakukan intervensi adalah 2,26. Peneliti memiliki
harapan agar peneliti selanjutnya menggunakan kelompok kontrol.
Kata kunci: Pendampingan peer group tentang bahaya rokok, frekuensi merokok
Pendahuluan
Keperawatan kesehatan komunitas adalah sebuah spesialisasi yang membawa secara
bersamaan pengetahuan dari ilmu kesehatan masyarakat dan keperawatan untuk
meningkatkan kesehatan komunitas (American Public Health Association, 1996 dalam
Stanhope & Lancaster, 2014, hlm. 6). Sasaran keperawatan kesehatan komunitas menurut
Depkes (2006, dalam Efendi & Makhfudli, 2009, hlm. 8-9) adalah individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat. Sasaran kelompok adalah kelompok yang rentan terhadap
timbulnya masalah kesehatan. Sasaran kelompok terbagi menjadi 2 macam, yaitu
kelompok masyarakat khusus yang tidak terikat dalam suatu institusi dan kelompok
masyarakat khusus yang terikat dalam suatu institusi. Remaja merupakan salah satu bagian
dari kelompok masyarakat khusus yang terikat dalam suatu institusi, salah 1 institusi yang
dimaksud adalah sekolah. Masa remaja atau usia muda adalah usia yang paling rawan
dalam kehidupan. Masa ini dipenuhi dengan pertentangan dan perlawanan, bertolak
belakang dari masa kecil yang lebih aman dan lebih mudah diatur (Agustin, dalam Bali
Post, 2009, ¶5-7). Masa remaja memang masa yang menyenangkan, akan tetapi tidak
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
146
jarang masa ini menjadi masa yang berat karena para remaja biasanya menghadapi
berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain cyber bullying
and stalking, seks bebas, alkohol dan narkoba, grades, masalah keluarga, eating disorder,
depresi, dan merokok (Iif, 2014, ¶2, 4, 6-8,10-12). Permasalahan remaja yang dari tahun
ke tahun semakin mengkhawatirkan adalah permasalahan merokok. Merokok adalah
menghirup asap pembakaran tembakau yang digunakan (Encyclopedia of Children’s
Health, 2014, ¶1). Remaja umumnya merokok karena sekedar mengikuti orang yang lebih
dewasa darinya, mengikuti trend, dan memiliki teman perokok berat (Husaini, 2006, hlm.
27-28).
Peningkatan jumlah perokok tentu meningkatkan masalah kesehatan yang terjadi. Akibat
merokok antara lain kanker, terganggunya perbaikan DNA, penyakit dan serangan jantung,
stroke, katarak, diabetes melitus tipe 2, dan kerusakan paru-paru, lambung, dan pembuluh
darah (Dharma, 2014, ¶2). Perawat komunitas seharusnya turut berpartisipasi dalam
membantu perokok mengurangi frekuensi rokok yang dikonsumsi bahkan membantunya
berhenti merokok. Peran perawat komunitas ada bermacam-macam, yaitu sebagai pemberi
asuhan keperawatan, perencana, pendidik, konselor, advokat, dan pemimpin. Peran-peran
tersebut dapat diterapkan pada masyarakat, rumah, tempat kerja, sekolah, tempat bermain,
dalam sebuah organisasi, dan dalam sebuah pemerintahan (Stanhope & Lancaster, 2014,
hlm. 3). Peran dan fungsi perawat sekolah akan lebih berhasil jika para siswa turut
berpartisipasi. Partisipasi siswa dibutuhkan karena pengaruh teman sebaya (peer group)
bagi remaja turut menjadi andil untuk pertumbuhan perokok baru. Teman sebaya sangat
berpengaruh karena pada masa remaja, seseorang akan mulai mengembangkan
persahabatan yang lebih intim, eksklusif dan konstan. Remaja bahkan terkadang lebih
terbuka dengan teman sebayanya dibandingkan dengan keluarganya.
Layanan peer group adalah layanan yang dilakukan dimana beberapa anggota teman
sebaya berkumpul (Moro, Bergamaschi, & Aberer, 2005, hlm. 169). Peer group dapat
menurunkan frekuensi merokok karena kebanyakan murid merasa lebih nyaman berbicara
mengenai isu sosial dan personal dengan peer leaders (Media Smarts, 2013, hlm. 15).
Teknik ini juga memberikan dukungan emosional, informasi, dan dukungan sosial dengan
memberikan pendidikan kesehatan, manajemen stres dan teknik mengubah tingkah laku,
dukungan emosional mengenai pembaruan bebas rokok, dan membuat klien membangun
jaringan sosial bebas rokok (University of Colorado, hlm. 1).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisa efektivitas
pendampingan peer group tentang bahaya rokok terhadap frekuensi merokok siswa SMAN
14 Semarang.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy Experiment karena pada desain ini
semua persyaratan yang dibutuhkan untuk mengendalikan pengaruh dari variabel eksternal
tidak dipenuhi, khususnya saat menentukan partisipan yang akan berpartisipasi dalam
sebuah eksperimen (Santoso, 2010, hlm. 25). Rancangan penelitian yang digunakan adalah
rancangan the one group pre test-post test design. Pada rancangan ini dilakukan pre test,
pendampingan peer group dan post test (Harris et al., 2006, ¶24).
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
147
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI SMAN 14 Semarang yang
merokok dimana jumlahnya 30 siswa. Peneliti menggunakan metode total sampling karena
populasi dalam penelitian ini relatif kecil. Sampel yang diambil meliputi keseluruhan
unsur populasi yaitu berjumlah 30 responden. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa
kelas XI SMAN 14 Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia menjadi
responden yaitu 30 responden. Kriteria inklusi penelitian ini adalah siswa putra SMAN 14
Semarang tahun ajaran 2014/2015, berada pada kelas XI dan merupakan seorang perokok
aktif, keadaan umum sadar dan kooperatif, bersedia menjadi responden penelitian dan
menandatangani informed consent, bersedia hadir dalam setiap pertemuan pada saat
pengambilan data. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah siswa yang sedang sakit dan
siswa tidak selalu menghadiri pertemuan.
Penelitian ini dilakukan di SMAN 14 Semarang pada 03 Maret sampai 02 April 2015. Alat
yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah lembar observasi yang digunakan untuk
mencatat frekuensi merokok responden sebelum dan sesudah pendampingan peer group
tentang bahaya rokok. Peralatan yang dibutuhkan untuk pertemuan pertama adalah
mangkok, papan tulis, dan spidol. Pertemuan ke-2 membutuhkan LCD dan pertemuan ke-3
membutuhkan mangkok Penelitian ini juga dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan
pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Analisis univariat bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis bivariat
adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2012, hlm. 182-183). Analisis univariat digunakan untuk
menggambarkan usia dan frekuensi merokok responden. Variabel bebas dalam penelitian
ini adalah pendampingan peer group tentang bahaya rokok, sedangkan variabel terikat
dalam penelitian ini adalah frekuensi merokok. Hasil analisis data menggunakan uji
statistik paired T-test karena distribusinya normal (p-value ≥ 0,05). Uji paired T test
digunakan untuk membandingkan mean dari 2 set nilai yang berhubungan secara langsung
satu sama lain. (Social Science Statistics, 2014, ¶1).
Hasil
Penelitian ini dilakukan di SMAN 14 Semarang yang berada di Kecamatan Semarang
Utara, Propinsi Jawa Tengah. Sekolah ini didirikan pada tahun 1988 berdasarkan SK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 52/6/1988. Jenis bangunan
SMAN 14 Semarang sebagian besar berlantai 2. Fasilitas yang terdapat di sekolah ini
antara lain perpustakaan, lapangan olahraga, UKS, laboratorium dan musholla. Jumlah
keseluruhan siswa adalah 930 siswa yang terbagi menjadi 503 siswa putra dan 427 siswa
putri.
1. Analisis univariat
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Usia Siswa SMAN 14 Semarang, Maret 2015
(n=30)
Usia
Jumlah
Persentase
(tahun)
(f)
(%)
16
9
30,0
17
19
63,3
18
2
6,7
Jumlah
30
100,0
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
148
Tabel 1 menggambarkan sebagian besar siswa terbanyak berada pada usia 17 tahun
dengan jumlah 19 siswa (63,3%).
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Merokok Siswa SMAN 14 Semarang Sebelum dan Sesudah
Dilakukan Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok, Maret 2015
(n=30)
Frekuensi Merokok
Perokok ringan
Perokok sedang
Perokok berat
Total
Sebelum Intervensi
Persentase
Jumlah (f)
(%)
10
33,3
5
16,7
15
30
50,0
100,0
Sesudah Intervensi
Jumlah
Persentase (%)
(f)
12
40
4
13,3
14
30
46,7
100,0
Tabel 2 menggambarkan bahwa frekuensi merokok siswa terbanyak sebelum intervensi
adalah kategori perokok berat yaitu 15 siswa (50%). Kategori ini tetap menjadi
kategori frekuensi merokok siswa terbanyak sesudah intervensi tetapi frekuensinya
menurun menjadi 14 siswa (46,7%).
2. Analisis bivariat
Tabel 3
Analisis Efektivitas Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok Terhadap
Frekuensi Merokok Siswa SMAN 14 Semarang,Maret 2015
(n=30)
Std.
Kelompok
Mean
P-value
Deviasi
Frekuensi
merokok
sebelum
0,0001
dilakukan intervensi
26,53
17,06
Frekuensi
merokok
sesudah
24,27
16,19
dilakukan intervensi
Tabel 3 menggambarkan hasil uji paired T test. Nilai significancy yang didapatkan
adalah 0,0001 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa pendampingan peer group
tentang bahaya rokok efektif dalam menurunkan frekuensi merokok siswa SMAN 14
Semarang.
Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa kelas XI berada pada rentang usia 16 sampai 18
tahun. Frekuensi setiap usia berbeda-beda karena selisih antar usia cukup besar.
Responden yang berusia 16 tahun ada 9 siswa, yang berusia 17 tahun berjumlah 19 siswa,
dan ada 2 siswa yang berusia 18 tahun. Penelitian ini didukung oleh penelitian Smet (1994,
dalam Riadi, 2013, ¶2) yang menyatakan bahwa 85%-95% perokok mulai merokok
sebelum umur 18 tahun. Penelitian lain juga dikemukakan oleh Nasution (2007, hlm. 2)
yang menyatakan bahwa merokok pada umumnya dimulai pada usia remaja (diatas 13
tahun).
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
149
Usia responden yang merupakan kategori remaja adalah usia paling rentan seseorang
menjadi perokok. Hal ini terjadi karena pada usia ini ada berbagai hal yang
melatarbelakangi seorang menjadi perokok. Remaja menganggap merokok adalah
“penopang” dalam bermasyarakat, tanda kejantanan dan lambang kematangan, serta
bentuk konformitas kelompok (Armstrong, 1995; Hurlock, 1980; Mons et al., 2001, dalam
Psikologi, 2013, ¶7). Hal ini ditunjang juga karena merokok adalah cara untuk diterima
dan tidak dikucilkan dari kelompok teman sebaya (Kobus, 2003; Walsh & Tzelepis, 2007,
dalam The Cancer Council, 2014, ¶6).
Hasil analisis menyimpulkan bahwa sebagian besar perokok adalah remaja. Responden
merokok karena ingin mencoba bagaimana rasa rokok dan karena bujukan teman.
Responden memiliki persepsi bahwa hampir semua teman mereka merokok sehingga
responden merasa aneh jika tidak merokok sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian terkait
dan juga teori yang menunjukkan bahwa sebagian besar perokok adalah remaja. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pendampingan peer group tentang
bahaya rokok, 10 siswa (33,3%) berstatus perokok ringan, 5 siswa (16,7%) termasuk
dalam kategori perokok sedang, dan 15 orang (50%) merupakan perokok berat. Hasil post
test yang dilakukan sesudah pemberian intervensi selama 3 minggu menunjukkan bahwa
jumlah perokok ringan bertambah menjadi 12 siswa (40%), perokok sedang jumlahnya
menurun menjadi 4 siswa (13,3%), dan jumlah perokok berat juga menurun menjadi 14
siswa (46,7%). Kategori perokok ada 3 yaitu perokok ringan, sedang, dan berat (The
Cancer Council, 2015, ¶13).
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan frekuensi merokok
sesudah dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Uji paired T test
menyimpulkan pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam menurunkan
frekuensi merokok siswa (p=0,0001 < α 0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Campbell et al. pada tahun 2008 (¶2, 4, 13) dengan judul Sebuah
Intervensi Informal yang Dipimpin Teman Sebaya Untuk Pencegahan Merokok Pada
Remaja (ASSIST (A Stop Smoking In Schools Trial)): Percobaan Randomisasi Rumpun.
Penelitian ini menggunakan teknik sampel acak berstrata dimana jumlah respondennya
adalah 10.730 siswa. Dua puluh sembilan sekolah menjadi kelompok kontrol dan 30
sekolah menjadi kelompok intervensi. Intervensi yang diberikan berupa percakapan
informal mengenai merokok yang dilakukan saat berangkat ke sekolah, pulang sekolah,
istirahat, dan makan siang. Perlakuan ini berlangsung selama 10 minggu dan hasilnya
adalah prevalensi merokok remaja menurun.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lotrean et al. pada
tahun 2010 (¶1) dengan judul Evaluasi Program Pencegahan Merokok yang Dipimpin
Oleh Teman Sebaya pada Remaja Roma. Responden dalam penelitian ini berjumlah 1.071
siswa yang berasal dari 20 SMP. Responden dibagi menjadi 28 kelompok yang berfungsi
ebagai kontrol dan 27 kelompok yang mendapat perlakuan. Intervensi yang dilakukan
berupa menonton video dan berdiskusi dalam kelompok yang dipimpin oleh teman sebaya.
Lotrean et al. lalu melakukan follow up selama 9 bulan. Hasil analisis regresi logistik
berganda menunjukkan efek yang signifikan dari program merokok pada remaja sehingga
kesimpulan dari penelitian ini adalah efek jangka pendek program pencegahan merokok
dapat direalisasikan di Roma.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
150
Pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam menurunkan frekuensi
merokok karena komponen pendampingan peer group terdiri dari sharing dan pemberian
pendidikan kesehatan. Sharing dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik dan
cara terbaik untuk mengatasi suatu masalah (BC Partners For Mental Health And
Addictions Information, 2011, ¶6). Pendidikan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, mengubah sikap, dan mengarahkan perilaku seseorang menjadi lebih baik
(Maulana, 2009, hlm. 153). Penurunan frekuensi merokok juga dapat disebabkan karena
responden mendapatkan manfaat dari peer group. Peer group bermanfaat untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian, meningkatkan harapan hidup, meningkatkan
pengetahuan, meningkatkan status kesehatan dan perawatan diri, dan mengurangi
penggunaan layanan darurat (American Academy Of Family Physicians Foundation, 2015,
¶2).
Pendampingan peer group tentang bahaya rokok bermanfaat dalam menumbuhkan
kemauan responden untuk menurunkan frekuensi merokoknya. Apabila responden tidak
memiliki kemauan tersebut maka tentu hasilnya tidak maksimal. Penurunan frekuensi
merokok yang dialami hampir sebagian besar responden disebabkan adanya dukungan dari
teman sebaya dan pemberian pendidikan kesehatan sehingga pengetahuan, sikap, dan
perilaku responden berubah. Proses sharing membuat responden belajar dari pengalaman
orang lain dan mempraktikkan cara berhenti merokok yang dilakukan oleh temannya.
Hasil penelitian ini dan hasil penelitian terkait menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan
rerata jumlah batang rokok yang dihisap sebelum dan sesudah dilakukan pendampingan
peer group tentang bahaya rokok maka pendampingan peer group tentang bahaya rokok
memungkinkan untuk diterapkan dalam menurunkan frekuensi merokok siswa.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Tiga puluh siswa yang merokok berada pada kelas XI IPA dan IPS dimana rentang usianya
16-18 tahun. Mayoritas responden berusia 17 tahun (19 siswa). Kategori perokok terbesar
sebelum dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok adalah perokok berat
(15 siswa atau 50%). Perokok berat tetap menjadi kategori perokok terbesar sesudah
dilakukan intervensi, tetapi frekuensinya menurun menjadi 14 siswa (46,7%). Hasil
analisis data menyimpulkan pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam
menurunkan frekuensi merokok siswa. Rata-rata penurunan frekuensi merokok sebelum
dan sesudah dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok adalah 2,26. Uji
paired T test menujukkan nilai significancy 0,0001 (p<0,05), maka hipotesis terdapat
perbedaan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sebelum dan sesudah pendampingan
peer group tentang bahaya rokok dapat diterima.
Daftar Pustaka
Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Encyclopedia Of Children’s Health. (2014). Smoking. http://www.healthofchildren.
com/S/Smoking.html, diperoleh tanggal 03 Desember 2014
Harris, et al. (2006). The Use And Interpretation Of Quasi-Experimental Studies In
Medical Informatics. http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1380192/,
diperoleh tanggal 31 Januari 2015
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
151
Husaini, A. (2006). Tobat Merokok Rahasia & Cara Empatik Berhenti Merokok. Jakarta:
Pustaka IIMaN
Iif. (2014). Delapan Masalah Utama yang Sering Dihadapi Remaja . http://www.
kawankumagz.com/read/8-masalah-utama-yang-sering-dihadapi-remaja, diperoleh
tanggal 08 Desember 2014
Lotrean, L. M., Dijk, F., Mesters, I., Ionut, C., De Vries, H. (2010). Evaluation Of A PeerLed
Smoking
Prevention
Programme
For
Romanian
Adolescents .
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20601383, diperoleh tanggal 23 April 2015
Maulana, H. D. J. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC
Media Smarts. (2013). Gender And Tobacco. http://mediasmarts.ca/sites/mediasmarts/
files/pdfs/lesson-plan/Lesson_Gender_ Tobacco.pdf, diperoleh tanggal 08 Januari
2015
Moro, G., Bergamaschi, S., & Aberer, K. (2005). Agents And Peer-to-Peer Computing.
Jerman: Springer-Verlag Berlin Heidelberg
Nasution, I. K. (2007). Perilaku Merokok Pada Remaja . http://library.usu.ac.id/
download/fk/132316815.pdf, diperoleh tanggal 28 April 2015
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi revisi. Jakarta: Rineka
Cipta
Psikologi. (2013). Remaja dan Perilaku Merokok. http://psikologi.net/remaja-danperilaku-merokok/, diperoleh tanggal 23 April 2015
Riadi, M. (2013). Tahapan, Tipe dan Faktor Perilaku Merokok. http://www.
kajianpustaka.com/2013/09/tahapan-tipe-dan-faktor-perilaku-merokok.-html,
diperoleh tanggal 28 April 2015
Santoso, S. (2010). Kupas Tuntas Riset EKSPERIMEN dengan Excel 2007 dan Minitab
15. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Social Science Statistics. (2014). T Test Calculator for 2 Dependent Means.
www.socscistatistics.com/tests/ttestdependent, diperoleh tanggal 31 Januari 2015
Stanhope, M., & Lancaster, J. (2014). Foundations Of Nursing In The Community:
Community-Oriented Practice. Edisi 4. Missouri: Elsevier Mosby
The Cancer Council. (2014). The Smoking Behaviour Of Peers, And Peer Attitudes And
Norms.
http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&
cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0CDEQFjAC&url=http%3A%2F%2Fwww.tobaccoi
naustralia.org.au%2F5-8-the-smoking-behaviour-of-peers-and-peer-attitu&ei=
wry-VjiBMeKOmwXMq4DoAw&usg=-AFQjCNHlU9-MY7OWtWULrJ5aufv mUa9og&sig2=8bCXXHiJi-ji_H5gpQ5IN- g&bvm=bv.83829542,d.dGY, diperoleh
tanggal 24 April 2015
. (2015). Self Reported Measures Of Tobacco Consumption.
http://www.tobaccoinaustralia.org.au/2-3-self-reported-measures-of-tobaccoconsumption, diperoleh tanggal 29 April 2015
University Of Colorado. Behavioral Health And Wellness Program. http://www.
integration.samhsa.gov/Peer_to_Peer_Tobacco_Recovery_Program.pdf, diperoleh
tanggal 08 Januari 2015
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
152
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DALAM PENCEGAHAN DENGAN
KEJADIAN DEMAM BERDARAH PADA ANGGOTA KELUARGA DI
KABUPATEN KENDAL
Yulia Susanti1, Junaiti Sahar², Poppy Fitriyani³
1
Staf STIKES Kendal, [email protected]
1,2
FIK UI, Depok, Jawa Barat
Abstrak
Latar Belakang. Penyakit menular merupakan masalah kesehatan yang diprioritaskan dalam
pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus
penyakit demam berdarah sampai saat ini belum ada, sehingga mengakibatkan kasus demam masih
tinggi di berbagai belahan dunia. Standar pelayanan Minimum (SPM) penanggulangan penyakit
menular wajib dilaksanakan oleh masing- masing daerah. Penyakit menular yang menjadi prioritas
pembangunan nasional jangka panjang 2005-2025 salah satunya adalah demam berdarah. Penyakit
demam berdarah telah menjadi wabah tahunan yang telah menghilangkan ratusan jiwa orang setiap
tahunnya Di kabupaten Kendal terdapat 18 desa endemis demam berdarah dari 286 kelurahan/desa,
pada tahun 2013 terdapat 322 pasien dan bulan Februari 2014 terdapat 59 pasien yang dirawat di
rumah sakit umum. Pencegahan dan pengendalian laju penularan virus dengue merupakan salah
satu cara yang bisa dilakukan oleh keluarga dalam upaya pengendalian kejadian penyakit pada
anggota keluarganya.
Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan dengan
kejadian demam berdarah pada anggota keluarga di Kabupaten Kendal.
Metoda. Desain penelitian deskriptif korelasi, pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel
secara probability sampling yaitu cluster sampling, responden berjumlah 108. Kriteria sampel yaitu
orang dewasa yang tinggal bersama keluarga di Kelurahan Langenharjo. Uji statistik yang
digunakan chi square.
Hasil. Hasil penelitian menyatakan ada hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan penyakit
demam berdarah dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga.
Kasimpulan. Disimpulkan bahwa anggota keluarga membutuhkan dukungan dari seluruh anggota
keluarga dalam pencegahan penyakit. Dukungan keluarga diberikan berupa dukungan informasi,
emosional, penghargaan dan instrumental sehingga dapat terhindar anggota keluarga dapat
terhindar dari penyakit demam berdarah.
Kata kunci: Dukungan keluarga, kejadian demam berdarah pada anggota keluarga
Pendahuluan
Penyakit menular merupakan masalah kesehatan yang diprioritaskan dalam
pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. Standar pelayanan Minimum (SPM)
penanggulangan penyakit menular wajib dilaksanakan oleh masing-masing daerah, kecuali
apabila daerah tersebut bebas dari masalah penyakit menular. Penyakit menular yang
menjadi prioritas pembangunan nasional jangka panjang 2005-2025 adalah demam
berdarah, malaria, diare, polio, filaria, kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, penumonia,
dan penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit demam berdarah saat ini
harus segera untuk diberantas, karena telah menjadi wabah tahunan yang telah
menghilangkan ratusan jiwa orang setiap tahunnya (Dinkes Jateng, 2010). Vaksin untuk
pencegahan terhadap infeksi virus dan obat penyakit demam berdarah sampai saat ini
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
153
belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga mengakibatkan kasus demam
masih tinggi di berbagai belahan dunia (WHO, 2009).
Kasus penyakit demam berdarah di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan
data dari Profil Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia, pada tahun
2007 terdapat 158.115 kasus dan tahun 2008 sampai turun menjadi 137.469 (Inciden
Rate = 59,02 per 100.000 penduduk), namun meningkat lagi di tahun 2009 menjadi
154.855 kasus tahun 2011 s.d oktober terdapat
49.486 kasus (Soedarto, 2012).
Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah angka
kesakitan/Incidence Rate demam berdarah tahun 2011 sebesar 15,27/100.000 penduduk,
dengan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) di tahun 2011 sebesar 0.93%. sedangkan
di tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi 19,29/100.000 penduduk (Dinkes Jateng
2013).
Kabupaten Kendal termasuk kabupaten endemis demam berdarah di Jawa Tengah, dimana
terdapat 18 desa endemis dari 286 desa. Jumlah kasus tahun 2010 terdapat 501 dengan 2
korban jiwa, tahun 2011 terdapat 84, tidak ada korban jiwa. Sedangkan akhir Oktober 2012
terdapat 108 kasus dengan tidak ada korban jiwa (Dinkes Kendal, 2012). Sedangkan
jumlah pasien demam berdarah yang dirawat di RSUD Dr. H. Soewondo Kendal pada
tahun 2013 terdapat 322 orang dan 2014 sampai dengan bulan Februari
2014 terdapat 59 orang (RSUD Kendal, 2014). Meskipun kasus demam berdarah menurun
dengan tidak adanya korban jiwa, namun kejadian demam berdarah ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di wilayah kabupaten
Kendal. Hal ini dimungkinkan
adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya antara faktor manusia, penyakit dan
lingkungan wilayahnya.
Pencegahan dan pengendalian laju penularan virus dengue merupakan salah satu cara yang
bisa dilakukan oleh keluarga dalam upaya pengendalian kejadian penyakit pada anggota
keluarganya. Dengan melakukan pencegahan secara mandiri dengan kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M plus (Misnadiarly, 2009). Terbentuknya
perilaku hidup sehat pada anggota keluarga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga,
masyarakat dan lingkungan sosial yang luas. Keluarga akan berada pada kondisi
berisiko (family at risk) terhadap masalah kesehatan, apabila individu dalam keluarga atau
anggota keluarga memiliki faktor risiko yang tersebut diatas. Karena perilaku yang tidak
sehat akan berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian dalam keluarga
atau masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2010). Sesuai dengan fungsi pemeliharaan
kesehatan, keluarga mempunyai tugas bidang kesehatan yang perlu dipahami dan
dilakukan oleh keluarga. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan
perilaku dari anggota keluarga, kelompok dan masyarakat (Setiadi, 2010).
Upaya pencegahan kejadian penyakit demam berdarah keluarga selain harus ada didukung
oleh
peran masing- masing anggota keluarga juga memperlukan dukungan sosial
keluarga. Menurut Friedman, Bowden, & Jones (2003), dukungan sosial keluarga
merupakan sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dan lingkungan sosial.
Dukungan sosial berdasarkan Peterson dan Bredow (2004), dukungan sosial keluarga
menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga
akan meningkatkan kesehatan dan adapatasi mereka dalam kehidupan.
Dukungan
keluarga yang dapat diberikan antara lain: dukungan instrumental, dukungan
informasional, dukungan penghargaan, dan dukungan emosional. Dalam upaya tersebut
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
154
perawat komunitas dapat melakukan pemberdayaan keluarga sebagai bagian anggota
masyarakat untuk melakukan strategi intervensi keperawatan yang tepat pada keluarga
pada level pencegahan penyakit ditatanan keluarga. Faktor dukungan keluarga dalam
upaya pencegahan penyakit demam berdarah ini dilakukan untuk melihat kejadian
penyakit demam berdarah dalam keluarga. Berdasarkan kondisi tersebut, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan dukungan keluarga dalam upaya
pencegahan
dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga di kabupaten
Kendal.
Tujuan
Mengetahui hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan dengan kejadian demam
berdarah pada anggota keluarga di Kabupaten Kendal.
Metode
Rancangan deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional yang digunakan
pada penelitian ini. Populasi adalah seluruh anggota keluarga yang tinggal di daerah
endemis demam berdarah Kelurahan Langenharjo Kabupaten Kendal sebanyak 1956
kepala keluarga. Sampel penelitian ini adalah orang dewasa yang tinggal bersama keluarga
di kelurahan Langenharjo dengan sampel sebanyak 108 orang. Responden diharapkan
adalah ibu di keluarga sebagai primary care giver/pemberi perawatan utama dalam
keluarga. Adapun kriteria inklusi sampel meliputi: seorang dewasa berusia 18-55 tahun,
bersedia menjadi responden, dapat membaca dan menulis, serta berkomunikasi dengan
baik.
Hasil penelitian
Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden mayoritas berusia 36 – 55 tahun
sebanyak 65,7%, berjenis kelamin perempuan sebanyak 78,7%, berpendidikan tinggi
sebanyak 72,2%, status pekerjaan bekerja sebanyak 75%, berpendapatan tinggi diatas Upah
Minimum Kabupaten (UMK) sebanyak 60,2% , dan memiliki tipe keluarga keluarga inti
sebanyak 75,9%. Berdasarkan hasil analisis univariat kejadian demam berdarah pada
anggota keluarga menunjukkan bahwa dari 108 keluarga yang diteliti, didapatkan 15
keluarga (13,9%) sedang atau pernah menderita demam berdarah, sebagian besar usia
dewasa muda antara 18-35 tahun sebanyak 80%, dan berjenis kelamin laki-laki benyak
66,7%. Hasil analisis univariat tentang dukungan keluarga menunjukkan bahwa dukungan
informasi baik sebesar 69,4%, dukungan emosional baik sebesar 71,3%, dukungan
penghargaan dan instrumental keluarga baik sebesar 59,3%. Disimpulkan bahwa
presentase dukungan keluarga yang meliputi dukungan informasi, dukungan emosional,
dukungan penghargaan dan dukungan instrumental dalam kategori baik.
Tabel 5.4
Hubungan Dukungan Keluarga Dalam Pencegahan Dengan Kejadian Demam Berdarah
Di Kabupaten Kendal Bulan Juni Tahun 2014 (n=108)
No
1
2
Dukungan
Keluarga
Informasi
Baik
Kurang
Emosional
Baik
Kurang
Kejadian Demam
Berdarah
Tdk Terjadi
Terjadi
n
%
n
%
Total
n
%
73
20
97,3
60,6
2
13
2,7
39,4
75
33
100
100
70
23
90,9
74,2
7
8
9,1
25,8
77
31
100
100
OR
95% CI
P
Value
23,725
4,942-113,893
0,000
3,478
1,137-10,644
0,049
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
155
3
4
Penghargaan
Baik
Kurang
Instrumental
Baik
Kurang
61
32
95,3
72,7
3
12
4,7
27,3
64
44
100
100
7,625
2,006-28,990
0,002
67
26
91,8
74,3
6
9
82
25,7
73
35
100
100
3,865
1,251-11,941
0,031
Berdasarkan hasil analisis bivariat tabel diatas didapat hubungan antara dukungan
informasi keluarga dengan kejadian demam berdarah (p value = 0,000), adanya hubungan
antara dukungan emosional keluarga dengan kejadian demam berdarah pada anggota
keluarga dengan nilai p value 0,049, ada hubungan antara dukungan penghargaan keluarga
dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga p value =
0,002, ada hubungan antara dukungan instrumental keluarga dalam pencegahan dengan
kejadian demam berdarah pada anggota keluarga p value =
0,031. Berdasarkan analisis bivariat hubungan antara dukungan keluarga: dukungan
informasi, dukungan emosional, dukungan penghargaan dan dukungan instrumental
memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value
< 0,05.
Pembahasan
Hasil analisis univariat tentang distribusi kejadian demam berdarah pada anggota
keluarga di Kelurahan Langenharjo Kabupaten Kendal didapatkan dari 108 kepala keluarga
yang menjadi responden, terdapat 15 orang kepala keluarga yang anggota keluarganya
yang berusia dewasa sedang atau pernah menderita demam berdarah dalam 1 tahun
terakhir. Ini berarti ada sebagian besar dari anggota keluarga yang mengalami demam
berdarah yang berusia dewasa. Berdasarkan hasil penelitian ini, angka ini lebih banyak dari
laporan rekam medik pasien yang dirawat di RSUD Kendal pada 1 tahun terakhir sampai
dengan bulan Februari 2014 sejumlah 10 orang dewasa. Jumlah ini berbeda karena peneliti
melakukan penelitian pada minggu keempat bulan Mei sampai dengan minggu pertama
bulan Juni 2014. Berdasarkan data tersebut jumlah penderita berisiko tinggi terjadinya
kejadian luar biasa demam berdarah, oleh karena itu perlu diwaspadai oleh masyarakat atau
keluarga yang tinggal didaerah endemis demam berdarah. Hal ini dukung oleh penelitian
Ali, Rehman, Nisar, Rafique, Hussain, dan Nausheen (2013), pasien yang memilki riwayat
perjalanan ke daerah endemis demam berdarah lebih tinggi berisiko dibandingkan mereka
yang tidak. Riwayat perjalanan ke daerah endemik secara bermakna berkaitan positif
terhadap kejadian demam berdarah.
Anggota keluarga berusia dewasa yang tinggal di wilayah endemis demam berdarah
kelurahan Langenharjo berisiko tinggi untuk menderita demam berdarah. Selain faktor
daerah atau lokasi tempat tinggal, faktor usia dapat mempengaruhi. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh Soedarto (2012), bahwa demam berdarah dapat menyerang
semua kelompok umur, sejak tahun 2001 sebagian besar terjadi pada kelompok usia
dewasa. Hal ini didukung juga oleh penelitian Ali, Rehman, Nisar, Rafique, Hussain
dan Nausheen (2013), yang menunjukkan angka kejadian demam berdarah di Pakistan
lebih tinggi ditemukan pada kelompok usia 21 - 30 tahun dibandingkan dengan usia anakanak dan usia tua. Sementara hasil penelitian lain di Malaysia menunjukkan bahwa orang
dewasa lebih rentan terhadap demam berdarah dibandingkan dengan anak-anak penderita
usia rata-rata 32 tahun (Sam, et.all, 2013). Hasil penelitian yang serupa oleh Pang, Salim,
Lee, Hibberd dan Chia (2012) membuktikan bahwa pasien dengue di Singapura sebagian
besar diderita oleh orang dewasa kelompok umur 30-39 tahun dibandingkan pada
kelompok umur 40-49 tahun. Ini berarti bahwa usia dewasa antara 21 – 39 tahun sangat
berisiko tinggi untuk menderita demam berdarah.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
156
Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa kejadian demam berdarah pada anggota
keluarga cenderung terjadi peningkatan yang disebabkan oleh adanya pemeliharan
lingkungan rumah yang kurang efektif oleh keluarga. Lingkungan yang tidak sehat akan
mempengaruhi kesehatan anggota keluarga tersebut. Risiko kejadian penyakit
disebabkan oleh lingkungan, seperti tidak adekuatnya kondisi tempat tinggal atau
perumahan, kondisi lingkungan tempat bekerja di luar rumah dengan kondisi pekerjaan
yang berisiko untuk kesehatan (Mc. Murray, 2003). Sedangkan berdasarkan Organisasi
Kesehatan Dunia/WHO (2009), tindakan untuk mencegah dan mengendalikan demam
berdarah antara lain dengan manajeman lingkungan. Tujuannya yaitu mengubah
lingkungan menjadi tidak sesuai dan cocok untuk perkembangan nyamuk. Menurut
Soedarto (2012), menyatakan bahwa kegiatan menjaga lingkungan rumah yang sehat,
dengan melakukan kegiatan pencegahan demam berdarah yang efektif bisa dilakukan
keluarga yaitu pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M Plus (menguras, menutup,
mengubur) dan menggunakan repelen yang dioleskan ke kulit atau disemprotkan,
penggunaan obat nyamuk bakar, memasang kassa nyamuk pada jendela dan pintu serta
penggunaan AC dirumah.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti berpendapat bahwa terjadinya demam berdarah pada
anggota keluarganya dapat juga disebabkan oleh kurang pedulinya keluarga dalam
menjaga lingkungan tempat tinggal yang sehat, keluarga tidak melakukan pencegahan
demam berdarah sehingga terdapat anggota keluarga yang menderita demam berdarah. Hal
ini sudah dibuktikan dengan penelitian Hasan dan Ayubi (2007), menunjukkan bahwa
individu yang tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M Plus berisiko
5,85 kali lebih besar mengalami demam berdarah daripada individu yang melakukan 2M
atau 3M.
Hasil penelitian ini dari analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
dukungan informasi dengan kejadian demam berdarah. Hasil penelitian ini mempunyai
kesamaan dengan Herlinah (2011), menemukan ada hubungan yang kuat antara dukungan
informasi dengan perilaku lansia hipertensi dalam pengendalian hipertensi. Hasil
penelitian lain yang sama Yenni (2011), juga menemukan adanya hubungan antara
dukungan informasi yang diberikan keluarga dengan kejadian stroke pada lansia hipertensi.
Menurut Peterson dan Bredow (2004), dukungan informasi meliputi pemberian nasihat,
saran, pengetahuan dan informasi serta petunjuk. Menurut analisis peneliti, anggota
keluarga yang mendapatkan dukungan informasi dari keluarga berupa nasihat, pengarahan
atau masukan terkait dengan pencegahan penyakit, akan termotivasi untuk melakukan
tindakan pencegahan yang lebih baik. Seperti apabila didalam keluarga terdapat
kegiatan saling bertukar pikiran atau sharing informasi terkait penyakit pencegahan
demam berdarah, maka akan terpenuhinya kebutuhan informasi didalam keluarga. Anggota
keluarga yang mendapatkan informasi yang cukup dari keluarga akan memahami apa yang
harus dilakukan supaya terhindar dari demam berdarah. Apabila anggota keluarga selalu
melakukan tindakan pencegahan penyakit demam berdarah secara rutin dan teratur
akan mengurangi risiko untuk menderita demam berdarah.
Hasil penelitian dari analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
dukungan emosional dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value = 0,049.
Hasil penelitian ini mempunyai kesamaan dengan hasil penelitian Herlinah (2011),
menemukan ada hubungan yang kuat antara dukungan emosional dengan perilaku lansia
hipertensi dalam pengendalian hipertensi. Hasil penelitian ini juga ditunjang dengan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
157
hasil penelitian Yenni (2011), menemukan adanya hubungan antara dukungan
emosional keluarga dengan kejadian stroke pada lansia. Dukungan emosional
merupakan bentuk bantuan yang diberikan oleh keluarga seperti mendengarkan,
memberikan pujian, dan kehadiran (Kaakinen, Duff, Coehlo & Hanson, 2010). Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa dukungan emosioanal keluarga sangat berperan
penting dalam memberikan dukungan perawatan dan pengobatan penyakit menular atau
kronis sehingga membantu meningkatkan kesehatannya (Amiya, 2014; Miller, 2013).
Menurut analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan emosioanl dari
keluarga berupa mendengarkan keluhan, memberikan pujian atau reinforcement, dan
perhatian yang cukup terkait dengan cara pencegahan penyakit demam berdarah.
Dengan terpenuhinya dukungan emosional dalam keluarga dalam pencegahan maka
akan meningkatkan kesehatan dan perilaku pencegahan demam berdarah sehingga akan
terhindar dari penyakit demam berdarah.
Berdasarkan analisis bivariat penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
dukungan penghargaan dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value =
0,002. Hasil penelitian ini sda kesamaan dengan hasi penelitian Handayani (2013),
menemukan ada hubungan yang bermakna antara dukungan penghargaan dengan
penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Menurut Kaakinen, Duff, Coehlo dan
Hanson (2010), dukungan penghargaan berupa umpan balik yang diberikan kepada
individu untuk membantu dalam mengevaluasi dirinya dalam menilai situasi. Menurut
analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan penghargaan dari keluarga
berupa umpan balik dalam mengevaluasi dirinya dalam menilai situasi yang cukup terkait
dengan pencegahan demam berdarah, akan mengurangi atau terhindar dari penyakit
demam berdarah dan akan merubah perilakunya supaya menjadi lebih sehat. Semakin baik
dukungan penghargaan keluarga terhadap anggota keluarganya akan semaikin baik
perilaku anggota keluarga untuk melakukan pencegahan demam berdarah. Oleh sebab
itu, keluarga harus memberikan dukungan penghargaan berupa memberikan umpan balik,
dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah pencegahan yang dihadapi anggota
keluarga sehingga angka kejadian demam berdarah dapat diturunkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan instrumental
dengan kejadian demam berdarah dengan
nilai p value = 0,031. Hasil
penelitian ini mempunyai kesamaan dengan Herlinah (2011), menemukan terdapat
hubungan antara dukungan instrumental dengan perilaku lansia hipertensi. Bentuk
dukungan instrumental dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi
penderita, menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan dan lain-lain (Setiadi, 2010).
Menurut analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan instrumental yang
baik seperti tenaga, peralatan, dana dan waktu dari keluarganya akan mempermudah
melakukan kegiatan pencegahan penyakit demam berdarah. Berdasarkan hal tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa anggota keluarga yang mendapatkan dukungan instrumental
yang baik dari keluarga akan mendapat melakukan pencegahan dan mengontrol
kesehatannya dengan baik sehingga dapat meningkatkan status kesehatannya dan
menurunkan risiko untuk mengalami demam berdarah.
Kesimpulan
Karakteristik keluarga sebagian besar dalam kategori usia dewasa menengah,
perempuan, berpendidikan tinggi, bekerja, pendapatan keluarga tinggi, tipe keluarga
inti. Terdapat 13,9% anggota keluarga mengalami kejadian demam berdarah berusia
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
158
dewasa dan laki-laki. Dukungan keluarga (dukungan informasi, emosional, penghargaan
dan instrumental) dalam pencegahan demam berdarah sebagian besar kategori baik. Ada
hubungan antara dukungan informasi dalam pencegahan dengan kejadian demam
berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan emosional dalam
pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan
antara dukungan penghargaan dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada
anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan instrumental dalam pencegahan dengan
kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan
keluarga (dukungan informasi, emosional, penghargaan dan instrumental) dalam
pencegahan demam berdarah dengan kejadian demam berdarah.
Referensi
Ali, A. Rehman, Nisar, Rafique, Hussain, & Nausheen. (2013). Seroepidemiology of
dengue fever in Khyber Pakhtunkhawa, Pakistan. International Journal Of
Infectious Diseases: IJID: Official Publication Of The International Society For
Infectious Diseases [Int J Infect Dis] 2013 Jul; Vol. 17 (7), pp. e518-23. Date of
Electronic Publication: 2013 Mar 21.
Amiya, RM., et.al. (2014). Perceived Family Support, Depression, and Suicidal
Ideation among People Living with HIV/AIDS: A Cross-Sectional Study in the
Kathmandu Valley, Nepal.
Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2013). Laporan Penyelenggaran Rakerkesda
2013. Semarang: Dinas kesehatan provinsi Jawa Tengah
Handayani, D.Y. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Penerapan Perilaku
Hidup Bersih Dan Sehat Di Kelurahan Cisalak Pasar Kecamatan Cimanggis Kota
Depok. Tesis. Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI. Depok.
Hasan, A. & Ayubi, D. (2007). Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk
dan Kejadian Demam Berdarah Di Kota Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. Volume 2. Nomor 2. Oktober. 2007. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.
Herlinah, L(2011). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Lansia Dalam
Pengendalian Hipertensi Di Wilayah Kec. Koja Jakarta Utara . Tesis. Program
Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI. Depok
Kaakinen, J.R., Duff, V.G., Coehlo, D.P., & Hanson, S.M.H. (2010). Family health care
nursing : Theory, practice and research. 4th edition. Philadelphia: F.A. davis
Company.
Miller & Dimatteo. (2013). Importance of family/social support and impact on
adherence to diabetic therapy. Diabetes, Metabolic Syndrome And Obesity: Targets And
Therapy [Diabetes Metab Syndr Obes] 2013 Nov 06; Vol. 6, pp. 421-426. Date of
Electronic Publication: 2013 Nov 06.
Pang, J., Salim, A., Lee, V.J., Hibberd, M.L., & Chia, K.S. (2012). Diabetes with
Hypertension as Risk Factors For Adult Dengue Hemorrhagic Fever In A
Predominantly Dengue Serotype 2 Epidemic: A Case Control Study. PLoS
Neglected Tropical Diseases Vol. 6.Edisi 5. 2002 May.
RSUD Kendal. (2014). Laporan tahunan pasien. Kendal: RSUD Kendal.
Sam, SS., Omar, S.E., Teoh, B.T., Abdul, J.J., & Abu, B.S. (2013). Review of Dengue
hemorrhagic fever fatal cases seen among adults: a retrospective study. Plos
Neglected Tropical Diseases [PLoS Negl Trop Dis] 2013 May 02; Vol. 7 (5), pp.
e2194.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
159
Setiadi (2010). Konsep dan proses keperawatan keluarga . Edisi pertama. Yogyakarta:
Graha ilmu.
Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue Dengue Haemorrhagic Fever. Jakarta: Sagung
Seto.
Stanhope & Lancaster. (2010). Community & Public Health Nursing. St. Louis: Mosby
WHO. (2009). Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control .
New Edition. Geneva. WHO Press.
Yenni (2011). Hubungan Dukungan Keluarga Dan Karakteristik Lansia Dengan Kejadian
Stoke Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Perkotaan Bukittinggi.
Tesis. Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI. Depok.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
160
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PERILAKU
LANSIA MEMERIKSAKAN KESEHATAN DI POSYANDU LANSIA
DI DESA SAWAHJOHO KECAMATAN WARUNGASEM
KABUPATEN BATANG
Dwi Roma Yogi1, Riani Pradara jati2
1,2
Stikes kendal, Email:[email protected]
Email: [email protected])
Abstrak
Latar Belakang. Keluarga sebagai suatu kelompok individu di dalam keluarga dapat
menimbulkan mencegah, mengabaikan, atau memperbaiki masalah kesehatan dalam
kelompok sendiri. Hampir setiap masalah kelompok kesehatan individu di pengaruhi oleh
keperawatan keluarga mempunyai peran utama dalam pemeliharaan kesehatan seluruh
anggota keluarganya dan bukan individu itu sendiri yang mengusahakan tercapainya
tingkat kesehatan yang di inginkan. Kesehatan pada usia lanjut harus sangat di perhatikan,
karena lansia sering di ikuti dengan penurunan kualitas hidup sehingga status lansia dalam
kondisi sehat ataupun sakit. Penuaan dapat terjadi secara alamiah / fisiologis atau
patologis.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Antara Dukungan Keluarga
dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu lansia.
Metoda. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif
dengan rancangan Cross sectional. Tekhnik sampling yang digunakan proporsional
random sampling sebanyak 70 lansia yang dilaksanakan di Desa SawahJoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang pada bulan januari 2015. Analisa data menggunakan
univariat dan bivariat dengan Chi Square. Karena syarat chi-square tidak terpenuhi maka
membaca uji statistik dengan menggunakan continuity correction, berdasarkan uji tersebut
didapatkan hasil p = 0,006 (0,006 < 0,05).
Hasil. sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan
antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu
lansia.
Kesimpulan. Menurut hasil penelitian ini, keluarga disarankan agar selalu memberikan
dukungan kepada keluarga terutama lansia sehingga lansia mengujungi posyandu lansia.
Kata kunci: Dukungan Keluarga, Perilaku Lansia
Pendahuluan
Lansia adalah bagian dari suatu proses tumbuh kembang manusia tidak secara tiba-tiba
menjadi tua, tetapi berkembang menjadi bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi
tua. Usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia, suatu proses menjadi
lebih tua dengan umur mencapai umur 60 tahun ke atas. Pada lansia akan mengalami
masalah fisik, mental dan sosial kemunduran fungsi yang di miliki seorang lansia
(Hidayanti, 2009). Menurut data WHO tahun (2012) terjadi peningkatan jumlah lansia
yang cenderung cepat, dengan jumlah penduduk lansia yang diseluruh dunia mencapai 426
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
161
juta atau sekitar 6,8% dari total populasi. Penduduk Indonesia berdasarkan profil kesehatan
lansia (2009) Jumlah penduduk lansia di Indonesia telah mengalami peningkatan secara
cepat setiap tahunnya, jumlah penduduk lansia indonesia mencapai 109,32 juta orang tua
8,37 persen dari total penduduk indonesia, jumlah ini semakin bertambah dimana pada
tahun 2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang, angka ini naik menjadi 28,96
juta orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2008. Menurut data
profil Kesehatan Jawa Tengah tahun 2009, jumlah penduduk Jawa Tengah sebesar
1.506924 jiwa, terdiri dari 748.515 jiwa penduduk laki-laki dan 758.409 jiwa penduduk
perempuan perkembangan penduduk memiliki hasil yang bervariasi dan mengalami
peningkatan 1399,133-1.506.924 jiwa, dengan peningkatan jumlah penduduk menujukan
jumlah usia lansia. Dari data tersebut telah didapat usia pra usila (45-59) tahun sebanyak
48.055 orang dan lansia (≥60) tahun, menurut data profil kabupaten Batang sebanyak
42.787 orang kabubaten Batang, tahun 2013 berpenduduk 57.684 jiwa terdiri dari pria
28.334 jiwa dan wanita 29.350 jiwa.
Seiring dengan meningkatnya populasi lansia, pemerintah telah berusaha merumuskan
berbagai kebijakan untuk usia lanjut tersebut, terutamanya pelayanan dibidang kesehatan
posyandu lansia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia dan mutu
kehidupan lansia untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya (Latifah, 2010).
Pelaksanaan kegiatan posyandu lansia merupakan salah satu usaha pendekatan pelayanan
masyarakat secara primer, semakin tinggi masyarakat untuk mendapatkan suatu pelayanan
kesehatan yang optimal khusunya lansia, semakin meningkatkan derajat kesehatan lansia
yang semakin bertambah jumlahya, salah satu keberhasilan dalam rangka pelaksanaan
posyandu adalah memperbaiki atau meningkatakan derajat kesehatan di masyarakat
(Nugroho, 2008).
Seiring dengan pelaksanaan program posyandu lansia di harapkan lansia semakin berperan
dalam meningkatkan derajat kesehatanya pelayanaan yang bisa diberikan di posyandu
lansia yaitu pemeriksaan aktifitas sehari-hari, pemeriksaan status mental, pemeriksaan
status gizi dengan pemeriksaan berat badan, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan gula
darah dan kunjungan rumah yang dilakukan oleh kader dalam rangka kegiatan perawatan
kesehatan masyarakat (Yuni, 2009). Namun hal yang terjadi adalah rendahnya perilaku
lansia untuk memeriksakan kesehatannya ke posyandu dikarenakan tidak semuanya rumah
tangga mengetahui keberadaan posyandu lansia (Kemenkes, 2013). Berdasarkan survey
Riset Kesehatan Dasar (2013) hanya 65,2% rumah tangga yang mengetahui keberadaan
posyandu. di jawa tengah hanya 66% (Kemenkes, 2013). berdasarkan profil jateng
prosentase ke datangan ke pelayanan kesehatan posyandu terjadi penurunan yaitu pada
tahun 2011 (17.417 atau 36,84) menjadi 17.184 (35,22%) pada tahun 2012 (Dinkes
jateng,2012).
Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat berkunjung ke posyandu. Faktor tersebut
bisa berasal dari dalam dan luar diri sendiri, dukungan informasi, dukungan penilaian,
dukungan instrumental dan dukungan emosional, ini merupaka strategi preventif yang
paling baik untuk meningkatkan dukungan keluarga yang adekuat dalam membantu
anggota keluarga dalam mempertahankan kesehatan, keluarga yang baik akan selalu
memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan lansia dan sebalikya apabila
keluarga kurang meberikan dukungan khususnya kesehatan makaakan memberikan
pengaruh yang kurang baik (Handayani dan Wahyuni,2012). Pentingnya lansia dalan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
162
memeriksakan kesehatan di posyandu untuk meningkatakan pelayanan kesehatan maupun
kesejahteraan sosial dimasyarakat diaharapkan terciptanya lansia mandiri dalam proses
penuaan, proses penuaan hendakya diiringi dengan kemampuan dan kesadaran lansia
dalam menampikan peranan secara aktif dalam pelayanan posyandu, masalah lansia dalam
memeriksakan kesehatan diposyandu lansia dipengaruhi antara tindakan partisipasi lansia,
jarak rumak ke posyandu, pelayanan, biaya yang dikeluarkan dan efektifitas pelayanan
yang diberikn di posyandu lansia (sudaryanto, 2008)
Pelayanan kesehatan di posyandu lanjut usia meliputi kesehatan fisik dan mental
emosional. Hasil pemeriksan kesehatan fisik dicatat dan dipantau ,dengan Kartu Menuju
Sehat (KMS) untuk mengethui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau
anacaman masalah kesehtan yang dihadapi, dengan memperhatikan aspek kesehatan
kegiatan olahraga senam lansia lanjut usia, gerak jalan santai untuk meningkatkan
kebugaran (DepKes RI, 2008). Frans juniardi (2010) dalam penelitianya faktor-faktor yang
mempengaruhi dengan rendahya kunjungan lansia ke posyandu lansia di puskesmas, telah
membuktikan bahwa dukungan keluarga yang merupakan faktor yang penting yang
mempengaruhi perilaku lansia dalam memeriksakan kesehatan di posyandu lansia,
penelitian yang dilakukan Herdini (2013) Faktor-faktor yang berhubungan dengan angka
kehadiran lanjut usia di posyandu lansia, juga membuktikan pengaruh kehadiran lansia
yang aktif menghadiri posyandu lansia, dukungan keluarga yang memiliki pengaruh tinggi
selain dari pengetahuan lansia terhadap posyandu serta pendidikan lansia.
Menurut kader posyandu lansia mengatakan tidak semua lansia memeriksakan kesehatan
dan aktif di posyandu tiap bulan, dan itu disebabkaan tidak ada yang mengantar, dan selain
fisiknya yang lemah sedangan keluarga kalau pagi pada bekerja dan tetangga puya aktifitas
sendiri, lansia yang aktif ke posyandu lansia biansanya kalau ada temanya dan kalau ada
keluhan, sedangkan lansia yang tidak aktif keposyandu mengatakan karena tidak ada yang
mengantar dan tidak bisa dimintai tolong kondisi fisik yang tidak memungkinkan karena
sering pusing, badan lemas, susah makan. Hasil survey pendahuluan pada bulan 16
September 2014, Pada Desa Sawahjoho dari 214 lansia hanya 70 orang lansia yang
memeriksakan kesehatan ke posyandu atau hanya 32% , yang telah berumur 60 tahun dan
hidup bersama keluarga, Dari 6 sampel diambil terdapat 3 responden yang tidak
memeriksakan kesehatan di posyandu lansia, mengontrol keadaan kesehatanya bila ada
teman dan kalo ada keluhan, sedangkan 3 tidak datang ke posyandu mengatakan karena
tidak ada yang mengatar dan tidak ada yang bisa dimintai tolong menggingat kondisi fisik
yang tidak memungkinkan. Fenomena tersebut membuat peneliti tertarik melakukan
penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku
memeriksakan kesehatan di posyandu lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang
Tujuan
Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia dalam
pemeriksakan kesehatan pada posyandu lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang.
Metode
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga
peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitiannya (Karjono & Yasril,
2009). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi, yaitu melihat
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
163
hubungan antara dua variabel satu dengan lainnya, dalam penelitian ini peneliti ingin
mencari hubungan dukungan keluarga dengan perilaku memeriksakan kesehaatan pada
lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Sedangkan
pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan
cross sectional yaitu suatu penelitian non eksperimental untuk mengetahui dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada saat itu (point time approuch). Artinya, tiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali dan faktor resiko serta efek diukur menurut keadaan
atau status saat diobservasi. (Sumantri, 2011).
Populasi penelitian ini adalah semua lansia yang berumur ≥ 60 tahun di Desa Sawahjoho
yang berjumlah 70 orang, Sampel dalam penelitian ini adalah semua lansia yang berusia
berumur ≥ 60 tahun ke atas memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, Teknik Sampling yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan Total Sampling yaitu suatu teknik penetapan
sampel dengan cara menggunakan semua populasi sebagai sampel untuk menggambarkan
kondisi dari keseluruhan objek yang diteliti (Hidayat, 2007).
Analisis univariate Variabel yang dianalisis adalah dukungan keluarga dan perilaku
memeriksakan kesehatan di posyandu lansia, Analisis Bivariate Pada penelitian ini untuk
mengetahui dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di
posyandu lansia menggunakan rumus chi-Square Karena data yang digunakan merupakan
data kategorik dihubungkan dengan skala kategorik.
Hasil
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur lansia di Desa SawahJoho
Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015.
Variabel
Umur
Mean
65.84
Median
65.50
Modus
60
Stadar deviasi
4.207
Min
60
Maks
75
Berdasarkan Tabel 4.1 di atas diketahui bahwa rata-rata umur lansia yang memeriksakan
kesehatan di posyandu lansia di desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten
Batang dari 70 responden adalah yang berumur 60 tahun, umur yang paling muncul 60
tahun sebanyak 9 responden dan umur terendah 60, umur tertinggi responden 75 tahun
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin lansia di Desa
SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015.
Jenis kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Total
Frekuensi
31
39
70
Persentase
44.3
55.7
100,0
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa proporsi responden berdasarkan Jenis Kelamin Lansia yang
memeriksakan kesehatan di posyandu lansia Di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang. Mayoritas lansia perempuan yaitu sebanyak 39 (55.7%) responden dan
responden laki-laki sebanyak 31 ( 44.3%).
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
164
Dukungan keluarga
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi dukungan keluarga di Desa SawahJoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015
Dukungan Keluarga
Jumlah
Prosentase ( % )
Baik
39
55.7%
Kurang
31
44.3%
Total
70
100
Dari tabel 4.3 diatas didapatkan data bahwa lansia di Desa SawahJoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang sebagian besar mendapatkan dukungan keluarga dengan
baik sebanyak 39 orang (55.7%) dan hanya sebagian kecil lansia yang mendapatkan
dukungan keluarga kurang sebanyak 31 orang (44.3%)
Perilaku lansia
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi Perilaku Lansia di Desa SawahJoho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015
Perilaku Lansia
Jumlah
Prosentase ( % )
Baik
41
58.6%
Kurang
29
41.4%
Total
70
100
Dari tabel 4.4 diatas didapatkan data bahwa lansia di Desa Sawah Joho Kecamatan
Warungasem Kabupaten Batang mayoritas perilaku lansia memeriksakan kesehatan di
posyandu lansia baik sebanyak 41 orang (58.6%) dan hanya sebagian kecil saja yang
kurang sebanyak 29 orang (41.4%).
Diskusi
Tabel 4.5 Hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan
kesehatan di posyandu lansia di Desa Sawah Joho
Perilaku lansia
Dukungan
p
Baik
Kurang
Total
OR
keluarga
value
n
%
n
%
n
%
Baik
29
74.4
10
25
39
100
Kurang
12
38.7
19
61.5
31
100
0.003
4.59
Jumlah
41
58.6
29
41.4
70
100
Tabel 4.8 Menunjukkan frekuensi dukungan keluarga dari masing-masing kategori dari 70
responden. dari 39 responden yang memiliki dukungan keluarga baik, ada 29 (74,4%)
memiliki perilaku yang baik dan 10 (25,0%) sedangkan 31 reponden yang memiliki
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
165
dukungan keluarga baik ada 12 (38.7%) perilaku yang baik dan 19 (61.5%) memiliki
dukungan yang kurang
Berdasarkan hasil analisa bivariat merupakan analisa yang dilakukan terhadap dua variabel
yang saling berhubungan, yaitu untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan
perilaku lansia memeriksakan kesehan di posyandu. Jenis analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Chi-Square dengan tingkat signifikansi 0,05.Uji statistic alternatife
Continuity Correction diperoleh nilai ρvalue 0,006 (0,006 < 0,05), maka dapat disimpulkan
ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia yang memeriksakan
kesehatan di posyandu lansia. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=4,59, artinya
lansia yang memliki dukungan keluarga yang baik mempunyai peluang 4,59 kali perilaku
baik.
Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilaksanakan di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dukungan keluarga pada lansia di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem
Kabupaten Batang, dukungan keluarga dengan baik sebanyak 39 responden (55.7%).
2. Perilaku lansia dalam memeriksakan kesehatan di posyandu lansia Desa SawahJoho
Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang bahwa mayoritas baik 41 responden
(58.6%).
3. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan
kesehatan di posyandu lansia nilai ρvalue 0,006 (0,006 < 0,05).
Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Kesehatan lansia di Indonesia .http://subhankadir.files.wordpress.com
Arikunto, S (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Azizah, L.M 2011, Keperawatan lanjut usia, Graha Ilmu, Yogyakarta
Balitbangkes, Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007: Prevalensi
Penduduk lansia Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Balitbangkes, Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007: Prevalensi
Penduduk. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Bomar, P.J.( 2007) promotion health in families : applyimg research and theory to nursing
practice. Philadelphia : W.B Saunders Company
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan. Semarang. 2009
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta
Depkes RI. (2006). pelayanan posyandu lansia. Jakarta: Depkes RI.
Friedman, M. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga “riset, teori dan praktik. Jakarta :
EGC.
Hayani Hasugia Fitri 2012, “Hubungan perilaku lansia dan dukungan keluarga terhadap
pemanfaatan posyandu lansia di wilayah kerja darussalan tahun 2012”. Diakses
pada tanggal 14 September 2014 jam 13.00 WIB.
Hidayat, A. (2008). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba
Medika.
Kasjono, H & Yasril. (2009). Teknik Sampling Untuk Penelitian Kesehatan.Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Latifah, Nurul. 2010. Urgensi Posyandu Lansia. http://bataviase.co.id
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
166
Makhfudli & Efendi, F. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan praktik
dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Maryam S R, Ekasari. F M, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal Usia Lanjut dan
Perawatan. Jakarta. Penerbit Salemba Medika. 2008
Notoatmodjo, S. (2005). Promosi kesehatan: Teori dan aplikasi. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Nugroho, W. (2008). Keperawatan gerontik dan geriatrik. (3th ed). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. (2008). Konsep & Penarapan Metodologi penelitian Ilmu keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Notoadmojo, 2007, Kesehatan masyarakat: ilmu dan seni, Rineka Cipta, Jakarta.
Nugroho, W 2008, Keperawatan gerontik, edk 3, EGC, Jakarta.
Riyanto, Agus, 2010. Pengolahan dan analisis data kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.
Sudaryanto, Agus Indrawati. 2008. Persepsi Lansia terhadap Kegiatan Pembinaan
Kesehatan Lansia di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Prambanan Yogyakarta.
Jurnal Kesehatan, Vol. Diakses pada tanggal 14 September 2014 jam 13.00 WIB.
Setiadi (2008) Konsep & proses : keperawatan keluarga, Yogyakarta : Graha ilmu
Sumantri, A. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana.
Sugiyono. (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Widyaning Pertiwi Herdini 2013, ” Faktor-faktor yang berhubungan dengan angka
kehadiran lanjut usia di posyandu lansia”.Diakses pada tanggal 15 September 2014
jam 22.00 WIB.
Yuni, 2009. jurnal kesehatan bidan desa (posyandu lansia) Diakses pada tanggal 16
September 2014 jam 11.00WIB.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
167
EFEKTIVITAS SENAM DIABET TERHADAP AKTIVITAS DAN
KEPUASAN DALAM BERHUBUNGAN SEKSUAL PADA
PENDERITA DIABETES MELLITUS DI PUSKESMAS
KECAMATAN UNGARAN BARAT
Dwi Susilawati1Reni Sulung Utami2
1,2
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro, Semarang,
Jawa Tengah, [email protected]
Abstrak
Latar Belakang. Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia. Diabetes mellitus memberikan dampak baik
dampak fisik dan psikologis pada penderitanya. Adanya dampak fisik dan psikologis akan
menimbulkan perubahan saat melakukan hubungan sexual. Hubungan seksual atau coitus adalah
masuknya penis ke vagina yang kemudian memberikan rangsangan sehingga keduanya mencapai
orgasme.
Tujuan. Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang efektivitas senam diabet
terhadap aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM di wilayah kerja Puskesmas Ungaran
Barat.
Metoda. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan metode triangulation yang
menggunakan rancangan “Pretest-Posttest with control Group” yang berguna untuk mengukur
tingkat aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM sebelum (pre-test) dan sesudah (post –
test) diberi intervensi. Populasi dalam penelitian ini adalah pria DM sejumlah sampel 30 orang.
Pengambilan sampel dengan menggunakan total sampel, kemudian diambil dengan tehnik simple
random sampling untuk mendapatkan data kualitatif yaitu sebanyak 5 orang. Analisis efektivitas
senam diabet terhadap aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM menggunakan chi-square.
Hasil. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya Sebagian besar karakteristik umur responden
berada pada rentang lansia awal sebanyak 14 orang (46,7 %), karakteristik pekerjaan responden
adalah wiraswasta sebanyak 18 orang (60 %), kategori pendidikan responden paling banyak adalah
SMA yaitu sebanyak 12 orang (40 %).
Kesimpulan. Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet dengan tingkat aktivitas dan
kepuasan sexual sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM.
Kata Kunci : Diabet Melitus, Senam diabet, Kepuasan dan aktivitas sexual
Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius.
Menurut kriteria diagnostik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) pada tahun
2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126
mg/dL dan pada tes sewaktu >200 mg/dL. Prevalensi penyakit DM semakin meningkat
jumlah penderitanya setiap tahun di seluruh dunia.Jumlah penderita DM tersebut sekitar 60
% berada di benua Asia.Indonesia berada di posisi ke-empat dunia setelah India, China,
dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes mellitus di Provinsi Jawa Tengah terus
meningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi diabetes mellitus di Jawa Tengah tahun 2007
sebesar 1,3%, meningkat menjadi 1,41% pada tahun 2008, dan 1,43% pada tahun 2009.
Prevalensi diabetes mellitus tergantung insulin tahun 2008 sebesar 0,16% dan meningkat
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
168
menjadi 0,81% pada tahun 2009. Prevalensi diabetes mellitus tidak tergantung insulin pada
tahun 2008 sebesar 1,25%, mengalami penurunan menjadi 0,62% pada tahun 2009.
Diabetes mellitus memberikan dampak baik dampak fisik dan psikologis pada
penderitanya.Dampak fisik yang terjadi adalah adanya komplikasi yang dialami penderita
diabetes mellitus.Komplikasi tersebut dapat berupa angiopati atau kelainan pada pembuluh
darah, neuropati pada sistem saraf, ataupun campuran dari keduanya.Dampak psikologis
yang umumnya dialami penderita diabetes mellitus adalah penolakan, ketakutan,
ketidakpatuhan dan tertekan.Penolakan dan ketakutan terjadi ketika pertama kali
didiagnosis menderita diabetes mellitus.Kebanyakan penderita tidak percaya bahwa
mereka memiliki diabetes mellitus. Adanya dampak fisik dan psikologis akan
menimbulkan perubahan saat melakukan hubungan sexual. Hubungan seksual atau coitus
adalah masuknya penis ke vagina yang kemudian memberikan rangsangan sehingga
keduanya mencapai orgasme.
Menurut Bangun ( 2013) perubahan dalam hubungan sexual pada penderita pria diabet
melitus yang terjadi adalah perubahan frekuensi dalam berhubungan sexual, perubahan
hasrat, perubahan fisik, perubahan ereksi dan perubahan ejakulasi.Penelitian yang
dilakukan oleh Rahmadi di Martapura pada tahun 2008, menyebutkan bahwa dari 40
penderita diabetes mellitus dengan rentang usia 20-50 tahun terdapat 80 % yang
mengalami gangguan ereksi, 85,3 % mengalami hambatan libido. Kemampuan ereksi 0,536 dengan p = 0,000, sedangkan pada hambatan libido r = 0,462 dengan p = 0,003 21.
Penyebab perubahan dalam hubungan sexual adalah karena rendahnya kadar gula dalam
darah. Kadar gula yang sangat rendah dapat mengakibatkan gangguan pada beberapa
fungsi saraf.Kerusakan saraf dan penyakit arteri yang mengakibatkan hilangnya potensi
seksual atau disfungsi ereksi pada pria penderita diabetes mellitus. Kondisi tersebut akan
memberikan respon yang berbeda saat melakukan hubungan sexual(Bhasin,2007). Respon
yang dialami pria penderita DM karena adanya perubahan dalam hubungan sexual adalah
kecewa, jengkel, menyesal dan putus asa. Menurut Bangun (2013) Rasa kecewa dan
jengkel disebabkan karena ketidakmampuan penderita DM dalam melakukan atau
memenuhi kebutuhan sexual dengan pasangannya. Perasaan menyesal disebabkan tidak
mampu memberikan nafkah batin pada isterinya. Adanya perasaan putus asa disebabkan
karena penyakitnya yang tidak bisa sembuh.
Adanya perubahan dan respon dalam hubungan sexual yang terjadi pada pria penderita
DM akan berpengaruh pada aktivitas dan kepuasan seseorang pria penderita DM saat
berhubungan sexual. Hal ini disebabkan karena adanya disfungsi seksual. Disfungsi
seksual merupakan salah satu penyebab ketidak harmonisan kehidupan seksual setiap
pasangan. Pria penderita disfungsi seksual akan merasa kecewa dan tidak puas dengan
hubungan seksual. Disfungsi seksual yang berkepanjangan akan membuat pria merasa
malu kepada pasangannya, bahkan dapat terjadi penolakan terhadap aktivitas seksual. Hal
tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan perceraian dalam rumahtangga. Oleh karena
itu diperlukan peran perawat untuk meminimalkan disfungsi sexual pada penderita
DM.Salah satu peran perawat adalah memberikan pendidikan kesehatan yang berupa
senam diabet pada pria DM. Senam diabet adalah suatu latihan yang dilakukan oleh
penderita diabet melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan
peredaran darah bagian kaki. Menurut Widianti (2010) senam diabet dapat membantu
memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot –otot kecil kaki dan mencegah
terjadinay kelainan bentuk kaki. Senam diabet akan memberikan manfaat bagi penderita
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
169
DM. Puskesmas di wilayah Kecamatan Ungaran barat terdiri dari Puskesmas Ungaran dan
Puskesmas Lerep. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Puskesmas Ungaran didapatkan
data bahwa jumlah penderita DM meningkat dari tahun ke tahaun. Jumlah penderita DM
di Puskesmas Lerep pada 2012 sejumlah 231 orang,dan pada tahun 2013 jumlah penderita
DM naik menjadi 300 orang. Jumlah penderita DM pada bulan Maret tahun 2014 sebanyak
55 orang. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap 3 informan dengan DM di wilayah di
Puskesmas wilayah kerja kecamatan Ungaran barat, didapatkan data bahwa penderita DM
mengalami gangguan dalam berhubungan seksual dengan pasangannya. Menurut
penderita, gangguan tersebut disebabkan oleh penurunan keinginan untuk melakukan
hubungan seksual. Penderita juga menyampaikan bahwa ada perubahan kepuasan dalam
melakukan hubungan seksual. Selain itu juga penderita DM masih minim pengetahuan
tentang senam diabet.
Metode penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan metode triangulation
yang menggunakan rancangan “Pretest-Posttest without control Group”. Populasi pada
penelitian ini adalah pria penderita diabet di wilayah kerja Puskesmas Ungaran
barat.Peneliti menggunakan batas minimal sampel dalam penelitian quasi eksperimen yaitu
30 orang. Sampel ditetapkan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi. Kriteria
inklusi dalam penelitian ini adalahPria DM yang sudah 1 tahun mendertia DM dan Aktif
melakukan hubungan sexual. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan
kuesioner untuk mengukur kepuasan hubungan sexual.Peneliti bekerja sama dengan
perawat dan enumerator yang sebelumnya dilakukan persamaaan persepsi dengan memberi
pengarahan kepada enumerator yaitu menjelaskan tujuan dari penelitian. Penelitian
mengkategorikan aktivitas dan kepuasan penderita DM sebelum dilakukan pemberian
pelatihan senam diabet. Skala pengukuran data yang digunakan adalah skala ordinal dan
nominal. Pengumpulan datadilakukan pada penderita DM dengan mendatangi rumah
penderita. Pelaksanaan dan pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh
enumerator (mahasiswa). Pengumpulan data dilaksanakan bulan Mei – Oktober 2014.
Hasil
Hasil penelitian analisa data yang dikumpulkan sejak bulanApril sampai dengan
November 2014. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Ungaran Barat.
1. Analisis kuantitatif
a. Tingkat aktivitas dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet
Melitus.
Tabel 1.
Perbedaan tingkat aktivitas dalam melakukan hubungan sexual pada penderita
Diabet Melitus padapre dan post test kelompok intervensi di Puskesmas Ungaran
Barat tahun 2014
Kategori aktivitas
Hubungan sexual
Tidak pernah
Jarang
Sering
Total
P value
“Pera Perawat dala
Frek
0
15
15
30
Kelompok Intervensi
Pre
Post
%
frek
%
0
0
0
50
11
36,7
50
19
63,3
100
30
100
0,001
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
170
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden
yang melakukan hubungan sexual dengan katerogi sering saat pre test sebanyak 15
orang (50%). Sedangkan jumlah responden yang melakukan hubungan sexual
dengan katerogi sering saat post test sebanyak 50 orang (50%). Hasil uji statisitk
didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut adalah 0,001. Jadi ada
perbedaan yang bermakna antara aktivitas hubungan sexual pada saat pre dan post
test pada kelompok intervensi.
b. Tingkat kepuasan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet
Melitus.
Tabel 2.
Perbedaan tingkat kepuasaan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita
Diabet Melitus padapre dan post test kelompok intervensi di Puskesmas Ungaran
Barat tahun 2014
Kategori kepuasan
Hubungan sexual
Frek
19
11
30
Puas
Tidak puas
Total
Pvalue
Kelompok Intervensi
Pre
Post
%
Frek
%
63,3
14
46,7
36,7
16
53,3
100
30
100
0,017
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden
yang mengalami ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat pre test
sebanyak 11 orang (36,7%). Sedangkan jumlah responden yang mengalami
ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat post test sebanyak 16 orang
(53,3). Hasil uji statisitk didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut
adalah 0,017. Jadi ada perbedaan yang bermakna antara kepuasan dalam melakukan
hubungan sexual pada saat pre dan post test pada kelompok intervensi.
2. Analisis kualitatif
a. Karakteristik partisipan
Tabel 3.
Karakteristik partisipan yang dilakukan wawancara mendalam tentang kepuasan
hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus padapre dan post test pada kelompok
intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Parisipan
P1
P2
P3
P4
P5
Umur
(tahun)
60
52
46
52
51
Pendidikan
Pekerjaan
Kelompok
SMP
SI
SMP
SMP
SMP
Wiraswasta
PNS
BURUH
Wiraswasta
PNS
Intervensi
Intervensi
Intervensi
Intervensi
Intervensi
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sampel pada kelompok intervensi,
partisipannya yang berumur 44 tahun sebanyak 2 orang, partisipan yang
mempunyai pendidikan SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebagai IRT sebanyak
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
171
2 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol partisipan yang mempunyai pendidikan
SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebanyak IRT sebanyak 3 orang.
Perbedaan kepuasan yang dirasakan oleh penderita Diabet Melitus padapre
dan posttest kelompok intervensi diperkuat dengan hasil kualitatif yang diperoleh
bahwa kelompok yang mendapat perlakuan, kepuasan yang dirasakan oleh
penderita Diabet Melitus mengalami peningkatan ditunjukkan dengan kenikmatan
setelah mengakhir hubungan sexual. Hasil analisis indepth interviewterlihat dalam
table dibawah ini,
Tabel 4.
Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus
padapre test pada kelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Kata kunci
Jengkel
Kecewa
Ereksi ora tegang banget
Ereksi ora kenceng
Kurang tegang
Ejakulasi sedikit
Susah keluar
Metune susah
Sub Kategori
Perasaan pada hubungan
sexual
Ereksi tidak maksimal
Tema
Perasaan pada hubungan
sexual
Disfungsi ereksi
Gangguan ejakulasi
Disfungsi ejakuasi
Tabel 5.
Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus
padapost test padakelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Kata kunci
Puas
Rasane senang
Nikmat
Ereksi tegang
Ereksi kenceng
Tegang
Ejakulasi banyak
Keluarnya normal
Keluar banyak
Sub Kategori
Tema
Perasaan pada hubungan Perasaan pada hubungan
sexual
sexual
Ereksi normal
Tidak ada disfungsi ereksi
Ejakulasi normal
Tidak
ejakuasi
ada
disfungsi
Pembahasan
Tingkat aktivitas penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada
kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada
perbedaan yang bermakna (p value 0,001). Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada
penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas hubungan sexual. Salah
satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang
senam diabet.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Smith (1995) dan Notoatmodjo (2003) yang menyatakan
bahwa pendidikan kesehatan senam diabet adalah kegiatan belajar mengajar yang
disesuaikan dengan kondisi penderita DM dan diberikan oleh perawat.Pendidikan
kesehatan menurut WHO merupakan berbagai kombinasi pengalaman belajar yang
dirancang untuk membantu individu dan komunitas meningkatkan kesehatannya dengan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
172
meningkatkan pengetahuan yang mempengaruhi perilaku.Oleh karena itu ada perbedaan
bermakna tingkat aktivitas saat melakukan hubungan sexual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet efektif meningkatan aktivitas hubungan
sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang melakukan hubungan sexual
dengan kategori jarang pada saat pre intervensi sebanyak 15 orang (50%). Sedangkan
jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat post
intervensi sebanyak 11 orang ( 36,7 %). Penurunan frekuensi hubungan sexual kategori
jarang pada saat post terjadi sebanyak 12%.
Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat pre
intervensi sebanyak 15 orang ( 50 %). Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya
perubahan aktivitas dalam hubungan sexual. Kaplan menyebutkan bahwa adanya diabetes
pada pria dapat berdampak pada kemampuan seks dimana neuropati dapat menyebabkan
kerusakan syaraf (Duning, 2003). Hal ini senada dalam penelitian Bangun (2013)
didapatkan bahwa dalam hubungan sexual penderita DM mengalami penurunan frekuensi
hubungan sexual. Berdasarkan penelitian Bangun secara kualitatif (2013) didapatkan hasil
bahwa pria DM melakukan hubungan sexual sebanyak 3 atau 4 kali sebulan, ada juga yang
hanya sebulan sekali. Adanya perubahan aktifitas hubungan sexual pada responden
tercermin melalui penuruan frekuensi hubungan sexual dan penurunan hasrat dalam
sexual. Perubahan frekuensi ini terjadi karena adanya penurunan kadar testoteron yang
berkaitan dengan keseluruhan aktivitas sexual dan rendahnya hasrat sexual. Nilai total dan
bebas dari testoteron umumnya akan rendah pada pasien DM.
Diabetes Melitus dapat menyebabkan gangguan pada pembuluh darah akibat aterosklerosis
berupa kelainan mikrovaskular dan makrovaskular yang dihubungkan dengan berbagai
faktor aterogenik seperti kelainan metabolisme lemak, perubahan adhesi trombosis.
Gangguan pembuluh darah terkait dengan disfungsi endotelial karena aktivasi protein
kinase C (PKC), ekspresi berlebihan growth factors/cytokines dan stress oxidasi.
Peningkatan glukosa di jalur poliol mengeluarkan co-faktor aldose reductase (nicotinamide
adenine dinucleotidephosphate / NADPH) dan sorbitol dehydrogenase (nikotinamid adenin
dinukleotida / NAD+), menyebabkan berkurangnya NADPH yang berdampak menurunnya
aktifitas glutathione reductase dan sintesis nitric oxide (NO) sehingga terjadi gangguan
mikrovaskular dan melambatnya konduksi saraf, kegagalan neurogenik dan menurunnya
NO menyebabkan akumulasi advanced glycation end products (AGEs) (22). Selain itu
hiperglikemia dengan melewati jalur glycolytic meningkatkan sintesis de novu
deacylglyceral (DAG) yang meningkatkan aktifitas PKC yang gilirannya meningkatkan
aktifitas sodium-proton antiport yang mengatur pH intrasel, pertumbuhan dan difrensiasi
sel juga menambah ekspresi protein matriks seperti fibronectin, kolagen tipe IV dan
laminin yang menyebabkan disfungsi vaskular. Hiperglikemia kronis juga menyebabkan
peningkatan nonenzimglucation yang berlaku sebagai antigen bagi protein dan DNA
sehingga terjadi kelainan struktur dan fungsi makromolekul jaringan yang menyebabkan
gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta saraf perifer. Pada penderita diabetes
juga terjadi peningkatan very low densiy lipoprotein (VLDL) yang memudahkan agregasi
platelet, peningkatan tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan penurunan insulin-like
growth factor-1 (IGF-1) yang mengakibatkan disfungsi saraf simpatis sehingga terjadi
penurunan aliran darah proksimal dan vasokonstriksi paradoksal. Peningkatan jalur poliol,
akumulasi AGEs intrasel, aktifitas PKC menyebabkan komplikasi endotelium pembuluh
darah, saraf perifer berupa mikroangiopati dan neuropati yang mengakibatkan
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
173
terganggunya aliran darah, iskemia, terganggunya perfusi jaringan yang dapat berakibat
gagalnya ereksi. Gangguan aktifitas hubungan sexual pada penderita didukung dengan
hasil wawancara dengan informan. Masalah dalam hubungan seksual lain yang terjadi
pada informan adalah disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi tersebut meliputi kemampuan
ereksi selama aktifitas sexual, kemampuan ereksi maksimal untuk penetrasi, frekuensi
memasukkan alat kelamain, kemampaun penetrasi, kemampuan mempaertahanakn ereksi
saat penetrasi dan kemampuan memepertahankan ereksi sampai coitu selesai. satu
informan mengatakan susah untuk ereksi sehingga tidak bisa memulai hubungan sexual
dengan pasangan. Empat informan mengatakan ketika sedang ereksi tidak bisa optimal
sehingga kurang puas dalam melakukan hubungan sexual.Selain itu juga terjadi perubahan
ejakulasi dengan penurunan produksi sperma dan gangguan ejakulasi.Adanya disfungsi
ereksi ini menurunkan frekuensi hubungan sexual pada penderita DM.Hasil wawancara
dengan informan juga didapatkan adanya perubahan fungsi orgasme. Tiga orang informan
mengatakan kemampuan ejakulasi setelah adanya stimulasi atau intercouse dan merasakan
orgasme atau klimaks saat diberikan stimulasi menurun dengan adanya Diabet melitus.
Adanya disfungsi ereksi pada penderita diabetes mellitus dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain neurogenik, vaskulogenik, kerusakan endotel, dan miogenik.Pada
penyakit diabetes yang telah mengalami neuropati, terjadi kerusakan saraf perifer menuju
corpora yang dapat mengurangi sensasi penis. Pada vaskulogenik terjadi gangguan yang
mempengaruhi aliran darah arteri perifer yang berkaitan erat dengan disfungsi ereksi.
System perdarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang kemudian menjadi
arteri penis komunis dan bercabang menjadi arteri kavernosa, arteri dorsalis penis, dan
arteri bulbo uretralis. Penyempitan arteri pudenda interna mengurangi penekanan perfusi
ke corpora yang mengakibatkan kegagalan untuk mencapai kekakuan penuh sehingga
ereksi menjadi lemas (flaccid).
Disfungsi endotel merupakan awal terjadinya lesi aterosklerosis pada penderita diabetes.
Kerusakan endotel menyebabkan gangguan relaksasi otot polos, sedangkan pada
kerusakan miogenik terjadi gangguan fungsi otot polos. Endotel mempunyai peranan
penentu dalam mengatur kontraktilitas dinding pembuluh darah. Sel-sel endotel yang rusak
dapat mengurangi pelepasan neurotransmitter yang menyebabkan vasorelaksasi terutama
sintesis nitric oxide (NO) . Menurunnya NO dapat mengakibatkan gangguan
mikrovaskular dan konduksi saraf juga akan melambat. Nitric oxide merupakan mediator
neural pada proses terjadinya ereksi yang prinsipnya dapat menyebabkan relaksasi otototot halus kavernosum penis dan pembuluh darah penis. Sebelum NO berperan dalam
mekanisme ereksi, terlebih dahulu terjadi ereksi refleksogenik. Ereksi refleksogenik hasil
dari stimulus reseptor sensori pada penis, hubungan dengan tulang belakang, aksi saraf
somatik dan saraf eferen parasimpatis. Aktifitas saraf parasimpatis memicu rangkaian
peristiwa melalui neurotransmiter acetylcholine dan merangsang neurefektor
nonadrenergic-noncholinergic (NANC) melepaskan NO yang menyebabkan relaksasi otot
halus trabekular dan pembuluh darah penis. Aliran darah masuk ke dalam korpus
kavernosum menekan vena sehingga terjadi penurunan aliran balik vena (mekanisme
penutupan venocorporal). Peningkatan inflow dan penurunan outflow secara cepat
mengakibatkan tekanan intrakavernosa meningkatkan sehingga menyebabkan kekakuan
pada penis yang progresif dan terjadi ereksi penuh. eksogen merupakan komponen penting
dari seksualitas yang dapat meningkatkan libido. Rendah tingkat testosteron
mengakibatkan penurunan libido. Disfungsi ereksi dilaporkan sekitar 50 % terjadi pada
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
174
laki-laki diabetes dan frekuensi disfungsi ereksi pada penderita diabetes meningkat 25 %
di atas usia 35 tahun dan 70 % sesudah usia 60 tahun, serta 30 % penderita diabetes
mengalami penurunan libido. Dalam penelitian Hafna Ilmy Muhalla (2011) menyebutkan
bahwa disfungsi ereksi adalah komplikasi yang sering terjadi dan 3 kali lebih sering terjadi
pada pri DM dibanding non-DM. Lebih dari separuh (tepatnya 35%-75%) pria DM
mengalami disfungsi ereksi dengan berbagai tingkatan dan sayangnya hanya 10% yang
mencari pengobatan. Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori
jarang pada saat post intervensi sebanyak 11 orang ( 36,7 %). Hal ini berarti ada
peningkatan frekuensi hubungan sexual setelah responden diajarkan senam diabet. Adanya
gerakan dalam senam diabet memberikan manfaat bagi responden yaitu menurunkan kadar
glukosa darah dan dapat membantu mengatasi terjadinya komplikasi (gangguan lipid darah
atau pengendapan lemak didalam darah, peningkatan tekanan darah, hipertensi, koagulasi
darah atau penggumpalan darah). Adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita
akan berpengaruh pada hubungan sexual.
Tingkat kepuasan penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada
kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada
perbedaan yang bermakna (p value 0,017). Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada
penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepuasan hubungan sexual. Salah
satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang
senam diabet.Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet tidak efektif dalam
meningkatkan kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang
merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang (36,7%). Sedangkan
jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat post intervensi sebanyak 16 orang
(53,3%).
Demon dan Byers (1999) menyatakan kepuasan seksual adalah suatu bentuk kedekatan
seksual yang dirasakan oleh pasangan suami istri dalam wilayah interpersonal, yaitu dalam
kualitas komunikasi seksual, penyingkapan hubungan seksual dan keseimbangan
hubungan seksual. Kepuasan seksual merupakan suatu bentuk perasaan yang dirasakan
oleh pasangan atas kualitas hubungan seksual mereka yang dapat berupa sentuhan fisik
dan psikis. Hubungan seksual ini bukanlah semata-mata bertemunya secara keadaan
fisiologik antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga bertemunya keadaan
psikologik dari kedua individu itu.semua curahan hatinya,curahan perasaannya dinyatakan
pada waktu hubungan seksual tersebut (Walgito, 1984).
Pusat pengaturan prilaku seksual termasuk libido terdapat pada otak di bagian
hipotalamus dan korteks serebri. Fungsi bagian ini salah satunya dipengaruhi keberadaan
hormon testosteron yang berfungsi sebagi faktor tropik. Akibat hiperglikemia
berkepanjangan menyebabkan gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta
sistem saraf perifer karena peningkatan aktifitas PKC dan TNF α , Selain itu pula juga
dapat terjadi penurunan ekspresi IGF-I akibat tidak cukupnya atau tidak sensitifnya
insulin, gangguan replikasi sel Leydig karena penurunan signalling SCF akibat
sesistensinya insulin pada testis menyebabkan menurunnya produksi hormon testosteron,
selain itu juga menyebabkan berkurangnya reseptor androgen pada sel Leydig sehingga
juga akan mempengaruhi kadar hormon testosteron. Testosteron diperlukan untuk
terjadinya bangkitan libido, testosteron dapat meningkatkan rangsang seksual (sexual
erotism) dan kesadaran seksual (sexual awareness).Menurunnya jumlah testosteron
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
175
menyebabkan berkurangnya akumulasi testosteron pada daerah hipotalamus dan korteks
serebri, akibatnya bagian yang mengaktifkan metabolisme otak dan mengatur libido ini
menjadi kurang aktif sehingga terjadi hambatan atau penurunan libido. Selain menyebab
hormonal, hambatan libido dapat pula dikarenakan dampak pengobatan, rasa tidak puas
terhadap pengobatan, ini dapat dilihat dari lebih banyaknya hambatan libido terdapat pada
penderita diabetes melitus dengan waktu lama menderita di atas 1 tahun baik 1-5 tahun
atau diatas 5 tahun, yaitu 1,6 x (27,5%) cenderung lebih besar dibandingkan penderita
yang lama menderitanya dibawah 1 tahun (17,5%)
Jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang
(36,7%). Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya ketidakpuasan penderita
dalam melakukan hubungan sexual. Hal ini dikarenakan karena adanya perubahan
disfungsi ereksi yang terjadi pada responden. Adanya disfungsi ereksi tersebut akan
berpengaruh terhadap kepuasan dalam hubungan sexual. Ketidakpuasan dalam melakukan
hubungan sexual pada penderita DM akan memberikan adanya emosi negatif pada
responden. Berdasarkan wawancara dengan informan didapatkan emosi negatif yang
muncul dari informan sebelum dilakukan pelatihan senam diabet diantaranya adalah
kecewa dan jengkel. Kecewa merupakan respon yang dialami oleh informan dalam
penelitian ini. Kecewa merupakan perasaan kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul
keinginannya dan harapan). Satu dari informan yang berperan serta dalam penelitian ini
menyatakan bahwa informan merasa kecewa akibat dari ketidakmampuan atau
kegagalannya memenuhi kewajibanya sebagai suami. Dalam penelitian ini hal ini terjadi
sebagai akibat dari ketidak mampuan informan dalam melakukan atau memenuhi
kebutuhan seksualitas yang diakibatkan oleh perubahan seksualitas yang terjadi.
Menurut Bangun (2013) Harapan atau keinginan informan adalah mampu menjalankan
kewajibannya sebagai seorang suami untuk memenuhi kebutuhan bathin dari istrinya.
Dimana sebagai seorang laki – laki secara umum menginginkan menjadi the real men atau
pria sejati, yang mempunyai pekerjaan baik, stress yang tertata, hidup yang baik bersama
perempuan yang benar dan baik, dan bahkan mendapatkan keberhasilan dan kegagalan
yang nyata dan baik pula. Namun diabetes yang dideritanya mengakibatkan disfungsi atau
tidak berfungsi secara normal dari organ seksualnya akan menyebabkan seorang lelaki
tersebut akan merasa sudah tidak bisa menjadi pria sejati lagi dan akhirnya kesejahteraan
hidup terganggu. Emosi negatif lain yang muncul dari informan yang diteliti adalah
munculnya perasaan jengkel terhadap kondisi perubahan seksual yang terjadi saat
dilakukan penelitian. Salah satu informan mengatakan jengkel terhadap kondisinya saat ini
sebagai dampak akibat perubahan seksual yang dialaminya. Rasa jengkel informan
dikarenakan adanya perubahan dalam ereksi sehingga mempengaruhi kepuasan dan
kenikmatan dalam hubungan sexual. Jumlah responden yang merasakan tidak puas pada
saat post intervensi sebanyak 16 orang (53,3%). Apabila dibandingkan dengan jumlah
responden pada saat pre Intervensi memang meningkat peningkatan 16,6 %. Kondisi ini
disebabkan ada beberapa responden yang tidak rutin melakukan senam diabet. Responden
yang melakukan senam rutin dalam 4 kali dalam seminggu hanya 40 %. Responden tidak
melakukan senam diabet secara rutin karena responden kurang menyadari akan dampak
perubahan sexual akibat adanya penyakit diabet mellitus. Senam diabet apabila dilakukan
rutin oleh penderita diabet akan memberikan manfaat bagi penderita terkait hubungan
sexual.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
176
Senam diabetes adalah senam fisik yang dirancang menurut usia dan status fisik dan
merupakan bagian dari pengobatan diabetes mellitus (Persadia, 2000).Senam diabet adalah
suatu latihan yang dilakukan oleh penderita diabet melitus untuk mencegah terjadinya luka
dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki. Manfaat senam diabet adalah
menurunkan kadar glukosa darah. Adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita
akan berpengaruh pada hubungan sexual. Latihan rutin senam diabet pada penderita diabet
melitus menyebabkan hubungan sexual dengan pasangannya menjadi lebih berkwalitas.
Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan informan yang menyatakan bahwa
mereka merasa nikmat dan puas setelah melakukan senam diabet 4 kali dalam seminggu.
Kesimpulan
Sebagian besar karakteristik umur responden berada pada rentang lansia awal sebanyak 14
orang ( 46,7 %), karakteristik pekerjaan responden adalah wiraswasta sebanyak 18 orang (
60 %), kategori pendidikan responden paling banyak adalah SMA yaitu sebanyak 12 orang
(40 %), Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet dengan tingkat aktivitas
sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM, Ada
hubungan yang bermakna antara senam diabet tingkat dan kepuasan sexual sebelum dan
sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM untuk kelompok intervensi.
Saran diperuntukkan bagi pria penderit a DM yaitu Penderit a DM disarankan
untuk lebih rajin melakukan senam diabet sehingga bermanfaat untuk dirinya dan
pasanganya.
Daftar Pustaka
Arikunto. (2008). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Atul Lutha. (2013). Erectile Dysfunction In Diabetic Male : Plausible Mechanism And
Management Strategies. Diaskes melalui http://diabetesindia.com tanggal 29
Agustus 2013.
Bhasin S, et al. (2007). Sexual Dysfunction In Men And Women With Endocrine
Disorders. Diakses melalui http://www.thelancet.com tanggal 28 Agustus 2013.
Bangun. (2013). Pengalaman hubungan seksual pada penderita Diabet Mellitus Di
Puskesmas Bergas, Skripsi, tidak dipublikasikan.
Hafna Ilmy Muhala ( 2011). Pengalaman Disfungsi Seksual pada Klien Pria Diabetes di
RSUPN
Dr.
Cipto.
Diambil
dari
http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id= 20281063&lokasi= lokal
pada tanggal 12 Januari 2013
Jacobs LI.(2005). Impotensi Yang Perlu Diketahui Setiap Suami Istri. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.
Misnadiarly.(2006).Diabetes Mellitus Ulcer, Gangren, Infeksi. Jakarta : Pustaka populer
Obor.
Moelong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. .Bandung : PT. Rosdakarya
Notoatmodjo S. (2002). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Sustrani L.(2006). Diabetes. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tjokronegoro A, Murtiani AS.(2003). Rahasia Dibalik Keperkasaan Pria. Jakarta : FKUI
Pangkahila W.(2005). Menguak Disfungsi Ereksi:Menyimak Masalah Pria,Keluhan
Wanita. Jakarta : PT Gramedia.
Profil Kesehatan Jawa Tengah.(2013) Diakses melaui www.dinkesjatengprov.go.id tanggal
25 Juli 2013.
Widhyastuti. (2012). Senam Diabet. Jakarta : Rineka Cipta.
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
177
Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap Kecemasan Wanita
Klimakterium Di Rw 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang Jawa Tengah
Yunitia Aulianita1, Sari Sudarmiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat2
Mahasiswa Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email:
[email protected]
Staf Pengajar Departemen Keperawatan Maternitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Diponegoro, email: sarisudarmiati@gmail. com.
Abstrak
Kecemasan wanita klimakterium terjadi akibat adanya sindrom klimakterium dan
ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. SEFT sebagai salah satu
terapi non farmakologis untuk mengatasi kecemasan. SEFT adalah terapi yang
menggabungkan sistem energi tubuh dan spiritualitas dengan metode tapping pada 18 titik
kunci di sepanjang 12 jalur energi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh spiritual emotional freedom technique terhadap kecemasan wanita klimakterium.
Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan quasi eksperiment tanpa kelompok
kontrol. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah
responden sebanyak 30 wanita klimakterium. Kecemasan pre-test dan post-test diukur
dengan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kecemasan sebanyak 30 responden (100%), setelah dilakukan terapi
SEFT adalah tidak ada kecemasan sebanyak 4 responden (13,3%). Rata-rata skor
kecemasan (pre-test) sebesar 21,50 dan rata-rata skor kecemasan (post-test) sebesar 19,43.
Hasil uji statistik dengan Wilcoxon signed rank test diperoleh value = 0,000, dengan
value < (0,05) H0 ditolak, hal ini menunjukkan ada pengaruh SEFT terhadap kecemasan
wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang Jawa Tengah. Saran bagi wanita klimakterium adalah terapi SEFT dapat
direkomendasikan sebagai terapi alternatif untuk mengatasi kecemasan wanita
klimakterium.
Kata kunci : Kecemasan, Klimakterium, SEFT
Pendahuluan
Klimakterium adalah fase proses penuaan wanita dari masa reproduktif menuju masa tidak
reproduktif (Andrews, 2009). Pada tahun 2014 di Jawa Tengah, jumlah wanita
klimakterium dengan kelompok usia 45-59 tahun mencapai 2.794.706 jiwa (Kementrian
Kesehatan RI, 2011). Jumlah wanita diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan
peningkatan angka harapan hidup (AHH). Pada tahun 2010, AHH perempuan di Jawa
Tengah sebesar 74,8 tahun dan diperkirakan pada tahun 2015 mencapai 75,6 tahun (BPS,
2010). Peningkatan AHH wanita akan membawa konsekuensi terhadap kesehatan wanita
klimakterium (Aziz, 2010).
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
178
Wanita klimakterium akan mengalami kecemasan sebagai salah satu dampak psikologis
dari sindrom klimakterik. Kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada masa
perimenopause dengan rentang usia 45-55 tahun (Chontessa et al., 2012). Kecemasan
wanita klimakterium disebabkan oleh fluktuasi hormon estrogen dan progesteron,
ketidakmampuan mengandung anak, perasaan tidak berharga lagi, kebutuhan seksual
terganggu, perceraian, kematian suami atau anak, masalah keluarga, masalah pekerjaan,
masa pensiun, masalah ekonomi, gangguan tidur, kecantikan memudar, daya tarik
menurun, kelebihan berat badan, serta perubahan fisik akibat penuaan lainnya (Kozier,
2010).
Terapi untuk mengatasi kecemasan dapat dilakukan dengan terapi psikologis. Salah satu
terapi psikologis yang digunakan adalah spiritual emotional freedom technique (SEFT).
SEFT merupakan kombinasi antara Spiritual Power dengan Energy Psychology yang
memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku
manusia. Prinsip SEFT adalah mengatasi masalah kesehatan dengan cara merangsang titiktitik kunci di sepanjang 12 jalur energi meridian tubuh. SEFT tidak menggunakan alat
bantu terapi dan cara penggunaan SEFT mudah dipelajari. SEFT menggunakan teknik
ketukan ringan (tapping) dengan ujung jari telunjuk dan jari tengah pada 18 titik kunci di
sepanjang 12 energi meridian tubuh (Zainuddin, 2006).
Telah banyak penelitian tentang SEFT berguna untuk mengatasi masalah emosi,
diantaranya adalah penelitian oleh Zakiyyah yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh
terapi SEFT terhadap penurunan nyeri dismenorea pada remaja putrid (Zakiyyah, 2013).
Penelitian yang sama telah dilakukan oleh Yuliani dan Purwanti yang melaporkan bahwa
setelah dilakukan spiritual healing kecemasan wanita menopause sudah tidak ada lagi
(Yuliani & Purwanti, 2013). Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Faridah
membuktikan bahwa terapi SEFT dapat menurunkan tekanan darah tinggi (Faridah, 2012).
Penelitian oleh Dhianto juga melaporkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap
penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Pekalongan
(Dhianto et al., 2014).
Hasil studi pendahuluan kepada 12 wanita klimakterium, peneliti memperoleh data sebagai
berikut: 9 dari 12 orang mengalami kecemasan dengan kecemasan ringan sebanyak 5
orang, kecemasan sedang 3 orang dan kecemasan berat 1 orang. Kegiatan posyandu lansia
di Kelurahan Pedalangan belum ada yang berkaitan dengan penatalaksanaan kecemasan
wanita klimakterium dengan menggunakan terapi SEFT. Berdasarkan fenomena tersebut,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Spiritual Emotional
Freedom Technique terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di RW 6 Kelurahan
Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah”.
Metode
Metode penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain penelitian quasi eksperiment tanpa
kelompok kontrol dengan pendekatan one group pre-test-post-test design. Populasi
penelitian ini adalah wanita klimakterium berusia 45-55 tahun di RW 6 Kelurahan
Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah sebanyak 52 orang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah
sampel penelitian 30 orang. Sebelum dilakukan pengambilan data, dilakukan skrining
tingkat kecemasan dengan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
179
(HRS-A). Responden yang memenuhi kriteria inklusi (skor HRS-A > 13), diberikan terapi
SEFT sebanyak dua kali selama 5-10 menit. Jarak terapi SEFT pertama dan kedua yaitu 24
jam. Pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 28 Mei-11 Juni 2015. Peneliti
menggunakan kuesioner HRS-A untuk mengukur kecemasan responden saat pre-test dan
post-test.
Hasil Penelitian
1. Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan, Pendidikan Terakhir, dan
Pekerjaan
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan,
Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan
Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei – 11 Juni
2015 (n: 30)
Data
Demografi
Tidak
ada
kecemas
an
F
%
Tingkat Kecemasan
Kecemasan Kecemasan Kecemasan
ringan
sedang
berat
F
%
F
%
F
Usia
46,2
3
23,0
4
47,0
7
41,2
2
Status Pernikahan
50,0
1
50,0
0
Jumlah
Kecema
san
berat
sekali/pa
nik
F
%
F
%
30,8
11,8
0
0
0,0
0,0
13
17
100
100
0,0
0
0,0
2
100
18,2
33,3
0
0
0,0
0,0
22
6
100
100
0,0
0
0,0
0
0,0
%
45-50 tahun
51-55 tahun
0
0
0,0
0,0
6
8
Belum
Menikah
Menikah
Janda
0
0,0
1
0
0
0,0
0,0
12
1
Tidak
Sekolah
Tidak
Tamat SD
Tamat SD
SMP
SMA
Akademika
/Universitas
0
0,0
0
54,6
6
27,2
4
16,7
3
50
2
Pendidikan Terakhir
0,0
0
0,0
0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0
0
0
0,0
0,0
0,0
0,0
0
2
9
3
0,0
33,3
60,0
42,9
0
2
5
3
0,0
33,3
33,3
42,9
2
2
1
1
100
33,3
6,7
14,2
0
0
0
0
0,0
0,0
0,0
0,0
2
6
15
7
100
100
100
100
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
180
Data
Demografi
Ibu Rumah
Tangga
Pensiunan
Wiraswasta
Pegawai
Negeri
Pegawai
Swasta
Lain-lain
Ibu Rumah
Tangga
Pensiunan
Wiraswasta
Pegawai
Negeri
Data Demografi
Jumlah
Tidak ada Kecemasan Kecemasan Kecemasan Kecemasan
kecemasan
ringan
sedang
berat
berat sekali
/panik
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
Pekerjaan
0
0,0
8
57,2
1
7,1
5
35,7
0
0,0
14 10
0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0 0,0
0
0,0
0
0,0
5
100
0
0,0
0
0,0
5
10
0
0
0,0
3
60,0
2
40,0
0
0,0
0
0,0
5
10
0
0
0,0
2
40,0
2
40,0
1
20,0
0
0,0
5
10
0
0
0,0
1
100
0
0,0
0
0,0
0
0,0
1
10
0
0
0,0
8
57,2
1
7,1
5
35,7
0
0,0
14 10
0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0 0,0
0
0,0
0
0,0
5
100
0
0,0
0
0,0
5
10
0
0
0,0
3
60,0
2
40,0
0
0,0
0
0,0
5
10
0
Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan tertinggi berdasarkan usia adalah 5155 tahun sebesar 47,0%, status pernikahan adalah menikah sebesar 54,6%, pendidikan
terakhir adalah SD sebesar 100%, dan pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar
35,7%.
2. Distribusi Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi
SEFT
Tabel 2
Kategori Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi
SEFT di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa
Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 (n: 30)
Kecemasan
Responden
Tingkat Kecemasan
Tidak ada Kecemasan Kecemasan Kecemasan
kecemasan
ringan
sedang
berat
“Pera Perawat dala
Jumlah
Kecemasan
berat
sekali/panik
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
181
Sebelum
SEFT
Sesudah
SEFT
F
0
%
0,0
F
14
%
46,7
F
10
%
33,3
F
6
%
20,0
F
0
%
0,0
F %
30 100
4
13,3
13
43,3
11
36,7
2
6,7
0
0,0
30 100
Tabel 2 menunjukkan sebelum dilakukan SEFT, diperoleh data kecemasan ringan 14
wanita (46,7%), kecemasan sedang 10 wanita (33,3%), dan kecemasan berat 6 wanita
(20,0%). Sesudah dilakukan SEFT, diperoleh data tidak ada kecemasan 4 wanita (13,3%),
kecemasan ringan 13 wanita (43,3%), kecemasan sedang 11 wanita (36,7%), dan
kecemasan berat 2 wanita (6,7%).
3. Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan
Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah
Tabel 3
Hasil Uji Wilcoxon Signed Rank Test Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan
Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang Jawa Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 (n: 30)
Mea Median
Std.
Skor
Skor
Z
P
n
Deviatio Terendah Tertinggi
Value
n
Sebelum 21,5
23,00
5,23
14,00
31,00
SEFT
0
- 4,593a 0,000 0,05
Sesudah
19,4
20,00
5,09
13,00
28,00
SEFT
3
Tabel 3 menunjukkan sebelum SEFT, mean 21,50, median 23,00, standar deviasi 5,23,
skor terendah 14,00 dan tertinggi 31,00. Sesudah SEFT, mean 19,43, median 20,00,
standar deviasi 5,09, skor terendah 13,00 dan tertinggi 28,00. Uji Wilcoxon Signed Rank
Test menunjukkan penurunan rata-rata skor kecemasan sebelum dan sesudah SEFT sebesar
2,07. Diperoleh nilai (p < 0,05) dan nilai Z (-4,593a) berada diluar rentang -/+1,95, artinya
menunjukkan bahwa dengan p-value= 0,000 terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap kecemasan wanita
klimakterium.
Pembahasan
1. Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum Diberikan Terapi SEFT
Tabel 3 menunjukkan kecemasan sebelum SEFT dengan mean 21,50, skor terendah 14
dan tertinggi 31. Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh wanita mengalami
kecemasan. Tingkat kecemasan sebelum SEFT, yaitu kecemasan ringan 14 wanita
(46,7%), kecemasan sedang 10 wanita (33,3%), dan kecemasan berat 6 wanita
(20,0%). Responden berusia 51-55 tahun mengalami kecemasan lebih besar, yaitu
47,0% mengalami kecemasan ringan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian
Afuanti yang mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada usia
51-55 tahun. Semakin bertambah usia wanita klimakterium, maka berbagai keluhan
juga akan bertambah dan kecemasan akan semakin meningkat (Afuanti et al., 2010).
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
182
Responden yang menikah mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 54,6% mengalami
kecemasan ringan. Mayoritas wanita klimakterium yang mengalami kecemasan adalah
wanita klimakterium yang menikah. Wanita yang menikah memiliki kecemasan lebih
berat karena perselisihan dalam perkawinan, tidak memiliki hubungan interpersonal
yang erat dengan anggota keluarga, kurangnya otonomi, serta perbedaan pendapat
dengan suami dan anak-anak (Afuanti et al., 2010).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden berpendidikan SD mengalami
kecemasan lebih besar, yaitu 100% mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian
Apriyanti mengatakan kecemasan tertinggi berada pada wanita klimakterium yang
berpendidikan rendah. Pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan sikap wanita
menjadi lebih baik dalam mengahadapi perubahan selama masa klimakterium,
sehingga meminimalisir timbulnya kecemasan (Apriyanti et al., 2012).
Responden ibu rumah tangga mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 35,7%
mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fitriah
mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium adalah ibu rumah tangga. Ibu
yang bekerja memiliki lebih banyak bersosialisasi, sehingga dapat mempengaruhi
informasi yang didapat. Ibu rumah tangga lebih merasakan kehilangan gairah seksual
sehingga takut tidak dapat memuaskan suami, ketakutan suami mencari wanita lain,
berkurangnya peran dalam keluarga, ketakutan berkurangnya penghasilan karena tidak
bekerja (Fitriah & Susilowati, 2010).
2. Kecemasan Wanita Klimakterium Sesudah Diberikan Terapi SEFT
Pada tabel 3 menunjukkan kecemasan sesudah SEFT dengan mean 19,43, skor
terendah 13 dan skor tertinggi 28. Kecemasan sesudah SEFT menurun dengan hasil
tidak ada kecemasan 4 wanita (13,3%), kecemasan ringan 13 wanita (43,3%),
kecemasan sedang 11 wanita (36,7%), dan kecemasan berat 2 wanita (6,7%).
Penurunan kecemasan terlihat dari peningkatan jumlah wanita yang tidak mengalami
kecemasan, yaitu sebelum SEFT seluruh responden mengalami kecemasan dan
sesudah SEFT terdapat 4 wanita yang tidak mengalami kecemasan. Tingkat kecemasan
berat juga menurun dari 6 wanita menjadi 2 wanita sesudah diberikan SEFT. Hasil ini
menunjukkan bahwa kecemasan wanita klimakterium mengalami penurunan sesudah
diberikan SEFT. SEFT memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku manusia
dengan menggunakan teknik tapping pada 18 titik kunci di sepanjang 12 energi
meridian tubuh. SEFT menetralisir perlawanan psikologis berupa pikiran-pikiran
negatif selama masa klimakterium. Pikiran-pikiran negatif tersebut diubah menjadi
pikiran-pikiran positif dengan cara dinetralisir dengan doa kepasrahan. Kekuatan doa
yang disertai keikhlasan dan kepasrahan dapat memperkuat efek terapi SEFT
(Zainuddin, 2006).
3. Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium
Hasil uji Wilcoxon signed rank test pada tabel 3 diperoleh nilai p-value = 0,000 < 0,05.
P-value = 0,000, nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan
(0,05). Hal ini
berarti H0 ditolak dan Ha diterima sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh
SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium sebelum dan sesudah dilakukan terapi
SEFT. Adanya pengaruh yang signifikan antara terapi spiritual healing (SEFT)
terhadap penurunan kecemasan wanita menopause di kelompok pengajian Majelis
“Pera Perawat dala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
183
Taklim Nurul Hikmah Desa Purbadana Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas
(Yuliani & Purwanti, 2013).
SEFT menurunkan adrenalin dan kortisol, sehingga denyut jantung, tekanan darah
tinggi dan ketegangan otot menurun (Hart, 2003). Hal ini diperkuat dengan penelitian
Faridah yang menyatakan bahwa terdapat penurunan tekanan darah systole dan
diastole pada penderita hipertensi usia 45-59 tahun di RSUD dr. Soegiri Lamongan
(Faridah, 2012).
Penelitian di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan diperoleh hasil bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara terapi SEFT terhadap penurunan kecemasan pasien
pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan setelah diberikan terapi
SEFT. Hasil uji paired sample T-Test diperoleh nilai p value= 0,000 < aplha (0,05)
dengan rata-rata skor kecemasan saat pre-test 52,82 dan turun saat post-test menjadi
43,47 (Dhianto et al., 2014).
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan: 1) Kecemasan wanita
klimakterium sebelum diberikan SEFT berada pada rentang 14 sampai 31 dengan rata-rata
skor 21,50; 2) Kecemasan wanita klimakterium sesudah diberikan SEFT berada pada
rentang 13 sampai 28 dengan rata-rata skor 19,43; 3) Ada pengaruh SEFT terhadap
kecemasan wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik
Kota Semarang Jawa Tengah dengan nilai p-value = 0,000 <
0,05). Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan, yaitu: 1) Wanita klimakterium
mampu menerapkan terapi SEFT untuk menurunkan kecemasan wanita klimakterium; 2)
Bagi profesi keperawatan diharapkan mampu menambah wawasan keilmuan perawat
tentang cara mengatasi kecemasan wanita klimakterium; 3) Penelitian selanjutnya mampu
mengembangkan SEFT dengan mencari pengaruh pada aspek selain kecemasan wanita
klimakterium.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kader lansia dan wanita klimakterium di RW 6
Kelurahan Pedalangan yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
Afuanti, V., Widajati, S., & Usnawati, N. (2010). Gambaran tingkat kecemasan ibu dalam
masa klimakterium. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 1(1), 58–63.
Retrieved
from
http://static.schoolrack.com/files/100398/295411/volume1_nomor1.pdf
Andrews, G. (2009). Buku ajar kesehatan reproduksi wanita . Jakarta: EGC.
Apriyanti Emi, Sumantri, A. S. T. (2012). Attitudes of Klimakterium’s Women in Dealing
Menopause Period at Jimus Village Polanharjo District Klaten Regency. Jurnal
Ilmu Kesehatan, IV(2), 1–9.
Aziz, I. J. (2010). Pembangunan berkelanjutan: peran dan kontribusi Emil Salim. Jakarta:
Gramedia.
BPS. (2010). Angka harapan hidup (Eo) menurut provinsi, kabupaten/kota dan jenis
kelamin. Retrieved from http://www.datastatistik-indonesia.com/
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekono i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
184
Chontessa, T. J., Singara, T., & Idrus, H. M. F. (2012). Hubungan beratnya gejala ansietas
dengan masa klimakterium wanita di Rumah Sakit Pendidikan Makassar.
Universitas
Hasanuddin,
1–13.
Retrieved
from
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/e94f2a6d70d39a82cfd214750374ed.pdf
Dhianto, H. M., Irwansyah, R., Rusmariana, A., & Aktifah, N. (2014). Pengaruh terapi
spiritual emosional freedom technique (SEFT) terhadap tingkat kecemasan pada
pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Jurnal Stikes
Pekajangan Pekalongan, (8). Retrieved from http://www.e-skripsi.stikesmuhpkj.ac.id/e-skripsi/index.php?p=fstream
Faridah, V. N. (2012). Pengaruh keperawatan spiritual emotional freedom technique
(SEFT) Islami terhadap tekanan darah penderita hipertensi, 02(Xii). Retrieved from
http://stikesmuhla.ac.id/v2/wp-content/uploads/jurnalsurya/noXII/0.pdf
Fitriah, & Susilowati, E. (2010). Hubungan antara tipe kepribadian dengan tingkat
kecemasan pada wanita menopause di Desa Bangkal wilayah kerja Puskesmas
Pamolokan Kabupaten Sumenep tahun 2010. Jurnal Kesehatan Wiraraja Medika ,
9–15. Retrieved from http://wiraraja.ac.id/wp-content/uploads/2013/02/JURNALVOL-1-EDISI-1.pdf
Kementrian Kesehatan RI. (2011). Data penduduk sasaran program pembangunan
kesehatan 2011-2014. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
Indonesia. Retrieved from http://www.depkes.go.id/
Kozier, B. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan (7th ed.). Jakarta: EGC.
Yuliani, U. D., & Purwanti, S. (2013). Efektivitas spiritual healing terhadap penurunan
tingkat kecemasan pada wanita menopause. Jurnal Kebidanan, V(02). Retrieved
from http://journal.akbideub.ac.id/index.php/jkeb/article/view/120/119
Zainuddin, A. F. (2006). Spiritual emotional freedom technique (SEFT) for healing +
success and happinee + greatness. Jakarta: Afzan Publishing.
Zakiyyah, M. (2013). Pengaruh terapi spiritual emosional freedom technique ( SEFT )
terhadap penanganan nyeri dismenorea. Jurnal Sain Med, 5(2), 66–71. Retrieved
from:http://www.kopertis7.go.id/uploadjurnal/Muthmainnah_Zakiyyah.pdf
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekono i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
185
KAJIAN LITERATUR : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
AKTIFITAS FISIK DAN PERILAKU SEDENTARY PADA ANAK
Ns. Puji Purwaningsih, S.Kep
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Semarang
Abstrak
Latar Belakang. Aktifitas fisik dan perilaku sedentary seringkali dihubungkan dengan kasuskasus penyakit tidak menular. Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007 – 2013
mempunyai pola cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia
Sehat 2015-2019. Prevalensi ini didapat melalui wawancara dan pemeriksaan dimulai usia ≥ 15
tahun. Temuan ini menunjukkan usia temuan diagnosis adalah usia 15 tahun sehingga upaya
penelitian faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary anak usia 0-< 15
sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular merupakan penyakit yang berkembang
lambat dengan durasi yang lama. Upaya preventif diperlukan sebagai upaya mengurangi angka
kejadian penyakit menular maka sebagai awal pijakan penelitian perlu diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak
Tujuan. Kajian literature ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada
aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak
Metoda. Kajian literatur ini dengan menggunakan pencarian komprehensif dengan melibatkan
semua database Ebscho, Science Direct yang dibatasi pada tahun 2005-2015 dengan format full
PDF. Kata kunci pencarian menggunakan kata influence factor, physical activity, sedentary
behavior, children. Kajian ini untuk mengetahui faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan
perilaku sedentary pada anak ..
Hasil. Hasil penilaian literature menunjukkan kualitas sedang dan baik. Lima kajian literature ini
menunjukkan beragam faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada
anak . Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan jumlah
penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status
perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua ,
Perjalanan akhir pekan
Kesimpulan. Ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan jumlah
penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status
perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua ,
Perjalanan akhir pecan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary pada anak . Berbagai faktor ini sebagai pencetus penyakit-penyakit tidak menular diusia
dewasa anak tersebut.
Kata Kunci : Faktor berpengaruh, aktifitas fisik, perilaku sedentary, anak
Pendahuluan
Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang berkembang lambat dengan
durasi yang panjang serta tidak menular. Menurut WHO yang termasuk penyakit tidak
menular adalah Penyakit kardivaskuler, kanker, diabetes dan penyakit pernapasan ( asma) .
Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007 – 2013 mempunyai pola
cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia Sehat 20152019 (Penelitian, Pengembangan, & Pengantar, 2013) . Prevalensi hipertensi, penyakit
kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
186
jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok
dan stroke di Indonesia cenderung meningkat. Data ini didapatkan melalui wawancara
dan pemeriksaan dimulai usia ≥15 tahun (Penelitian et al., 2013). Healthy people 2020
merefleksikan bahwa aktifitas fisik dianjurkan dan agar dapat menjadi kebijakan kesehatan
khususnya bagi anak-anak sampai dengan usia lanjut. Target Kebijakan yang berkaitan
dengan aktifitas fisik bagi anak dan remaja adalah terfasilitasinya aktifitas fisik dengan
setting sesuai usia anak, terpantaunya jam untuk menonton tv dan penggunaan computer
atau layar, terfasilitasi program aktifitas fisik di sekolah dasar.
Prevalensi tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Diana Herrmaan Et All
tahun 2015 bahwa penyakit sendi dipicu oleh aktivitas fisik yang kurang, hal ini
sedentary time berperan penting dalam demineralisasi tulang sehingga berpengaruh pada
kekuatan tulang (Herrmann et al., 2015), penelitian oleh Travis J Saunders Et All tahun
2014 bahwa perilaku sendentary menjadi faktor resiko penyakit cardiometabolik pada
anak dan remaja (Saunders, Chaput, & Tremblay, 2014), hasil kajian literatur oleh Valerie
Carson Et All tahun 2015 bahwa tipe perilaku sedentary berdampak pada perkembangan
aspek kognitif pada anak usia 0-5 tahun (Carson et al., 2015).
Penelitian prevalensi penyakit tidak menular tersebut dipengaruhi oleh perubahan gaya
hidup masyarakat Indonesia pada umumnya, gaya hidup traditional lifestyle berubah
menjadi sedentary lifestyle (Remaja, Sma, & Cendrawasih, n.d.). Hal ini diperkuat oleh
catatan Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, DTCE bahwa salah
satu faktor timbulnya penyakit di Indonesia adalah perilaku sedentary merupakan perilaku
berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan
bahkan mempengaruhi usia harapan hidup. Perilaku sedentary adalah perilaku santai
antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja
(kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di
perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur(Prof. dr
Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, n.d.).
Penelitian menunjukkan bahwa pengurangan aktivitas sedentari sampai dengan <3 jam per
hari dapat meningkatkan umur harapan hidup se esar tahun ata dari alit an kes
iskesdas 1 menun ukkan ahwa
1 persen penduduk kita ter l n kuran akti
secara isik Data Balitbangkes juga menunjukkan proporsi penduduk kelompok umur
≥1 tahun den an perilaku akti itas sedentari <
am aru
penduduk sedan kan
sedentari ≥ am per hari adalah
1 hampir satu dari empat penduduk Artinya, masih
terlalu banyak penduduk kita yang relatif terlalu banyak bersantai dan tidak beraktifitas
fisik (Penelitian et al., 2013).
Salah satu program Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah
meningkatnya pengendalian penyakit tidak menular dengan melaksanakan pilar paradigma
sehat dengan strategi pengutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan promotif,
preventif dan pemberdayaan masyarakat (Kementerian-Kesehatan, 2008). Upaya promotif
dan preventif perilaku sedentary untuk menekan atau mengurangi prevalensi penyakit
tidak menular sangatlah diperlukan. Temuan diatas menunjukkan usia temuan diagnosis
adalah usia 15 tahun sehingga upaya penelitian faktor yang berhubungan dengan aktifitas
fisik dan perilaku sedentary anak sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular
merupakan penyakit yang berkembang lambat dengan durasi yang lama (Penelitian et al.,
2013).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
187
Tujuan
Tujuan dilakukannya kajian literature adalah mengumpulkan semua hasil penelitian yang
berhubungan dengan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentari
pada anak
Metoda
Ka ian literature ini diawali den an men identi ikasi kata kunci “In luence act r”
“physical activity” “sedentary” “pediatric” yan di unakan dalam data ase elektr nik
Pencarian artikel dibatasi dari tahun 2005 – 2015 dengan menggunakan data base
EBSCHO dan PubMed. Skrinning dilakukan untuk mencari artikel sesuai kata kunci..
Hasil ekstraksi dengan total artikel 5 literatur.
Hasil
Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan
jumlah penempatan TV ( n = 1), pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas
sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua ( n = 2 ), Sosio
ekonomi dan etnis ( n = 3), Dukungan orang tua ( n=4), Perjalanan akhir pecan ( n=5).
Tabel 1
Penelitian
Metode
Tujuan
Kaushal,
et al (2014)
Systematic
review
Untuk
mengetahui
lingkungan
fisik
rumah
yang
berhubungan dengan
physical aktivitas dan
perilaku sedentari
Crawford,
et al (
2010)
The CLAN
Study
Untuk
mengetahui
Catatan
orangtua
tentang lingkungan
rumah ( dukungan
social, model peran,
Peaturan,
ling,
Variabel utama
1.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
Alat untuk aktifitas
fisik dan penunjang
perilous sedentary
Aktifitas fisik dan
perilous sedentari
Keluarga
Lingkungan sekitar
Aktifitas fisik
Berat badan
Lingkungan
Hasil penelitian/ temuan
penelitian
1. Intervensi
untuk
mengurangi
perilaku
sedentary
dengan
membatasi jumlah TV
memperlihatkan efektif
pada anak dan orang
dewasa
2. Ketersediaan peralatan
aktifitas fisik terlihat
efektif
3. Studi observasi :
Lokasi dan jumlah
penempatan
TV
dihubungan
perilous
sedentary pada anak
perempuan
4. Jumlah
dan
jenis
peralatan
fisik
berhubungan
dengan
aktifitas
fisik
dan
perilous sedentary pada
laki-laki
1. Pada
laki
laki
berhubungan
:
pendidikan ibu, paparan
kondisi
jalan
raya,
aktifitas sibling, peran
ibu. Status perkawinan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
188
karakteristik
lingkungan sekitar (
Tanda lalu lintas,
keamanan
jalan,
transportasi umum),
informasi
geografi
untuk
memetakan
lingkungan ( tempat
tujuan aktifitas fisik ,
hubungan antar jalan
raya)
Rossem et
al ( 2012)
Observasio
nal Study
Untuk
mengetahui
dampak social dan
indicator
aktivitas
fisik dan perilous
sedentary pada usia
preschool
Tandon, et
al (2014)
Observasio
nal kohort
study
Mengetahui
faktor
yang
dihubungkan
aktifitas fisik dan
perilous sedentary di
rumah
Crosssectional
studi
Mengetahui
hubungan perjalanan
ke sekolah dan akhir
pekan
pada
perbedaan aktifitas
fisi dan perilous
sedentary,
yang
diidentifikasi melalui
jenis kelamin
Schoeppe,
et al (2015)
1.
2.
1.
2.
Sosial Ekonomi
Etnis
Aktifitas fisik dan
lingkungan social
Interaksi faktor social
dan lingkungan
Alat Perjalanan ke sekolah
dan akhir pekan
orangtua,
perilous
sedentary berhubungan
dengan BMI z-score
2. Pada
perempuan
:
saudara, peran ayah,
peraturan, aktifitas fisik
orangtua
berhubungan
posistif dengan tingakt
aktifitas fisik. Status
petkawinan orangtua dan
model peran sedentary
ibu berhubungan dengan
BMI z score
Anak
dengan
ibu
berpendidikan rendah ( OR :
3.27, 95 % CI 2.12 – 5.05),
Suka nonton TV kurang
lebih 2 jam perhari ( OR
2.67, 95 % CI 2.04 – 3.49),
Hasil yang sama pada
aktifitas duduk kurang lebih
0,5 jam perhari dan bermain
kurang dari 3 jam perhari (
OR ; 1.95, 95 % CI : 1.39 –
2.73). Sosio ekonomi dan
etnis sebagai indicator yang
berhubungan
dengan
perilous sedentary
47, 2 % rata-rata waktu anak
tinggal di rumah, 43,6 dan
46.4 % terlibat dalam
aktifitas fisik dan perilous
sedentary. Dukungan orang
tua positif dihubungkan
dengan aktifitas fisik dan
negative dengan perilous
sedentary.
Perjalanan
akhir
pecan
mempunyai
hubungan
positif dengan aktifitas fisik
Pembahasan
Faktor – faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan prilaku sedentary adalah
lingkungan rumah dimana terdapat peralatan atau media yang mendukung pada aktifitas
fisik dan perilous sedentari. Ketersediaan sarana seperti adanya videogame, alat untuk
aktifitas fisik merupakan faktor pendukung yang paling kuat untuk membentuk perilous
atau kebiasaan . Peraturan akan Pembatasan aktifitas menonton TV bermain game
merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kejadian pelaku sedentary. Alat aktifitas
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
189
fisik didesign untuk wanita sehingga memungkinan untuk memfasilitasi aktifitas fisik di
rumah. (Kaushal & Rhodes, 2014).
Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Tandon, et al ( 2014) bahwa
Lingkungan social dan aktifitas yang spesifik merupakan variable yang kuat berhubungan
dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary. Dukungan orangtua merupakan faktor
terbesar dalam penyediaan sarana aktifitas fisik. Peraturan –peraturan yang dibuat oleh
orangtua juga sebagai faktor yang berhubungan dengan perilous sedentary. Proporsi waktu
luang anak adalah rumah(tempat tinggal) sehingga aktifitas fisik dan perilous sedentary
cenderung terjadi di rumah. Upaya – upaya modifikasi fisik rumah dan lingkungan social
merupakan intervensi untuk mengurangi kejadian perilous sedentary ((Tandon et al.,
2014). Faktor sosioekonomi dan perbedaan budaya dalam menonton TV dan penggunaan
waktu libur merupakan faktor yang berkontribusi dalam aktifitas fisik dan perilous
sedentary pada anak. Pekerjaan ibu merupakan faktor utama dalam perilous menonton TV.
Pendidikan rendah merupakan penyebab utama kerusakan fungsi social dan menjadi
penyebab adanya masalah stresst keluarga. Ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu lebih
unuk melihat TV (Van Rossem et al., 2012). Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya
bahwa pendidikan ibu, status pekerjaan ibu (Crawford et al., 2010).
Faktor lingkungan dalam rumah yang mempengaruhi aktifitas fisik dan perilous sedentary
adalah adanya saudara kandung, model peran orangtua dan saudara, keikutsertaan orangtua
dalam aktifitas fisik. Keikutsertaan orangtua mempunyai hubungan yang positif dalam
perubahan aktifitas fisik anak ((Crawford et al., 2010). Hal ini diperkuat oleh penelitian
Salmon et al, 2013 bahwa karakteristik lingkungan mempunyai nilai signifikan. Tujuan
perjalanan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous
sedentary. Tujuan perjalanan diluar perjalanan kesekolah merupakan faktor yang paling
berhubungan dengan aktifitas fisik. Perjalanan menggunakan mobil merupakan faktor
yang paling berkontribusi untuk waktu sedentary pada anak. Anak yang pergi ke sekolah
dengan berjalan kaki atau bersepeda mendukung pada tingkat aktifitas anak (Schoeppe,
Duncan, Badland, Oliver, & Browne, 2015).
Kesimpulan
Aktifitas fisik dan perilous sedentary anak dipengaruhi dari berbagai faktor yaitu
lingkungan rumah ( ketersediaan sarana dan prasana, jumlah dan lokasi penempatan),
peraturan dalam keluarga , lingkungan social keluarga ( model peran orangtua, dukungan
orangtua, perilous orangtua), social, ekonomi budaya, tingkat pendidikan orangtua, usia
orangtua, status perkawinan. Pekerjaan orangtua, budaya keluarga, peran model saudara
kandung, tujuan perjalanan, alat transportasi. Faktor – faktor aktifitas fisik dan perilous
sedentary pada anak sangat penting diketahui sebagai upaya promotif terhadap
pencegahan penyakit yang timbul akibat perilous sedentary. Peran perawat komunitas
sangatlah penting untuk survey tentang aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak,
sebagai temuan awal temuan kasus perilous sedentary pada anak.
Daftar Pustaka
Cars n V Kuzik N Hunter S Wie e S a Spence J C Friedman A … Hinkley T
(2015). Systematic review of sedentary behavior and cognitive development in
early childhood. Preventive Medicine, 78, 115–122. doi:10.1016/j.ypmed.
2015.07.016
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
190
Craw rd
Cleland V Timperi A Salm n J Andrian p ul s N
erts
…
Ball, K. (2010). PEDIATRIC HIGHLIGHT The longitudinal influence of home
and nei h urh d envir nments n children ’ s dy mass index and physical
activity ver 5 years : the CLAN study (March) 1177–1187. doi:10.1038/
ijo.2010.57
Herrmann
P hla eln H Gian a na F K nsta el K Lissner L Mårild S …
Ahrens, W. (2015). Association between bone stiffness and nutritional biomarkers
combined with weight-bearing exercise, physical activity, and sedentary time in
preadolescent children. A case–control study. Bone, 78, 142–149.
doi:10.1016/j.bone.2015.04.043
Kaushal, N., & Rhodes, R. E. (2014). The home physical environment and its relationship
with physical activity and sedentary behavior: A systematic review. Preventive
Medicine, 67, 221–237. doi:10.1016/j.ypmed.2014.07.026
Kementerian-Kesehatan. (2008). Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Penelitian, B., Pengembangan, D. A. N., & Pengantar, K. (2013). RISET
KESEHATAN DASAR.
Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, D. No Title. Retrieved from
http://www.litbang.depkes.go.id/content/bagaimana-hidup-sehat-untuk-mencegahfaktor-risiko-penyakit .
Saunders, T. J., Chaput, J. P., & Tremblay, M. S. (2014). Sedentary behaviour as an
emerging risk factor for cardiometabolic diseases in children and youth. Canadian
Journal of Diabetes, 38(1), 53–61. doi:10.1016/j.jcjd.2013.08.266
Schoeppe, S., Duncan, M. J., Badland, H. M., Oliver, M., & Browne, M. (2015).
Associations between children‫׳‬s active travel and levels of physical activity and
sedentary behavior. Journal of Transport & Health, 2(3), 336–342.
doi:10.1016/j.jth.2015.05.001
Tandon, P., Grow, H. M., Couch, S., Glanz, K., Sallis, J. F., Frank, L. D., & Saelens, B. E.
( 1 ) Physical and s cial h me envir nment in relati n t children’s verall and
home-based physical activity and sedentary time. Preventive Medicine, 66, 39–44.
doi:10.1016/j.ypmed.2014.05.019
Van Rossem, L., Vogel, I., Moll, H. a., Jaddoe, V. W., Hofman, A., Mackenbach, J. P., &
Raat, H. (2012). An observational study on socio-economic and ethnic differences
in indicators of sedentary behavior and physical activity in preschool children.
Preventive Medicine, 54(1), 55–60. doi:10.1016/j.ypmed.2011.10.016
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
191
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF EFFICACY
DALAM ACTIVITY DAILY LIVING (ADL) PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL
FIXATION (ORIF) EKSTREMITAS BAWAH DI KOTA SEMARANG
Chandra Bagus Ropyanto, Muhamad Rofi’i
Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, E-mail :
[email protected]
Abstrak
Latar Be;akang. Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah
memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus sentral program
rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan Activity Daily Living (ADL) secara mandiri
merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional. Self efficacy merupakan aspek
yang berperan terhadap perubahan perilaku. Self efficacy merupakan keyakinan diri pada seseorang
yang mampu membantu menginisiasi determinasi perilaku.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan self
efficacy pasien pasca ORIF ekstremitas bawah.
Metoda. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan 35 responden dan pengumpulan data
menggunakan kuesioner. Variabel independen adalah usia, lama hari pasca ORIF, jenis fraktur,
nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan persepsi; sementara variabel dependen adalah self
efficacy. Uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta korelasi pearson dan spearman rho
untuk data numerik.
Hasil. Hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi (r = 0,515 dan nilai p=0,002) dan usia (-0,464
dan nilai p=0,005) merupakan faktor yang berhubungan. Model multivariat memiliki nilai p=0,001
dan persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4 % self efficacy dengan nyeri
sebagai faktor yang paling besar untuk memprediksi self efficacy setelah dikontrol usia,
pengetahuan, dan persepsi.
Kesimpulan. Penelitian ini merekomendasikan melakukan manajemen nyeri non farmakologis
untuk meningkatkan self efficacy terintegrasi dengan peningkatan pengetahuan dan memperhatikan
aspek psikologis.
Kata kunci: Self efficacy, pasca ORIF, dan activity daily living.
Pendahuluan
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang dikategorikan berdasarkan jenis dan
luasnya (Smeltzer & Bare, 2006). ORIF merupakan salah satu prosedur pembedahan untuk
mereduksi patah tulang yang paling banyak keunggulannya (Price & Wilson, 2003). ORIF
sebagai bagian dari bedah ortopedi menimbulkan yang berkaitan dengan nyeri, perfusi
jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri (Bare & Smeltzer, 2006).
Permasalahan pasca ORIF baik yang bersifat fisik maupun psikologis akan menimbulkan
dampak pada kualitas hidup pasien. Kualitas hidup pasien ditentukan salah satunya pada
kemampuan fungsional. Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama
dari penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011).
Perawat selama ini kurang memperhatikan perubahan kemampuan fungsional pada pasien
pasca ORIF. Status fungsional pada pasca ORIF merupakan fase dimana kemampuan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
192
fungsional berada pada tahap paling rendah dibandingkan prehabilitasi dan paska
rehabilitasi dimana status fungsional berada di bawah level minimal (Ditmyer et al (2002);
dikutip dari Topp et al, 2002). Fase restoratif (fase rehabilitasi) mendukung pasien dengan
gangguan sebagai dampak suatu penyakit untuk meningkatkan kemampuan melakukan
perawatan diri sampai mampu berfungsi dalam level maksimal yang memungkinkan
(DeLaune & Ladner, 2002). Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah
ortopedi adalah memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan
fokus sentral program rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan Activity Daily Living
(ADL) secara mandiri merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional.
Peran perawat perlu ditingkatkan untuk memandirikan secara komprehensif. Aspek
psikologis perlu mendapatkan perhatian lebih besar karena sering terlupakan dalam
meningkatkan kemandirian pasien sebagai perubahan perilaku.
Self efficacy merupakan aspek yang berperan terhadap perubahan perilaku. Self efficacy
merupakan keyakinan diri pada seseorang yang mampu membantu menginisiasi
determinasi perilaku (Pajares, 2002; dalam Werrel, 2011). Self efficacy merupakan
persepsi individu untuk menunjukan kemampuan terhadap kepastian dirinya untuk
mencapai tujuan (Bandura, 1997; dalam Cardoza, 2011). Penelitian-penelitian mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy dalam melakukan ADL pada area
klinik masih sedikit daripada area komunitas. Mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan self efficacy maka perawat pada area klinik mampu meningkatkan
kemampuan fungsional pasien sebagai bagian optimalisasi discharge planning.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan teori baru berbasis penelitian.
Penelitian bertujuan sebagai upaya untuk meningkatkan self efficacy dalam melakukan
ADL dengan memprediksi faktor-faktor yang berhubungan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi self efficacy pada ADL pasien pasca ORIF perlu dilakukan analisa lebih
lanjut. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap self efficacy ADL pasien pasca ORIF
diadaptasi dari Teori Sosial Kognitif Bandura yang terdiri dari tiga aspek personal, yaitu :
kognitif, persepsi, dan kejadian biologis (Bandura 1977, diadaptasi dari Cardoza 2011).
Faktor personal kognitif berupa pengetahuan pasien mengenai ADL pasca operasi. Faktor
persepsi merupakan persepsi dan motivasi pasien mengenai keyakinan dalam melakukan
ADL. Faktor kejadian biologis terdiri dari usia, jenis fraktur, lama hari rawat pasca ORIF,
nyeri, dan kelelahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan self efficacy melakukan ADL pasien pasca ORIF ekstremitas bawah
di Semarang.
Metode
Penelitian cross-sectional mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen, tentunya tidak semua subyek harus diukur pada hari ataupun saat yang sama
jadi desain cross-sectional tidak ada tindak lanjut atau follow-up (Sastroasmoro & Ismael,
2010). Variabel independen adalah variabel independen dalam penelitian ini adalah usia,
lama hari rawat pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan
persepsi, sementara variabel dependen adalah self efficacy. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua pasien paska ORIF pada fraktur ekstremitas bawah yang menjalani rawat
inap di lima rumah sakit di Kota Semarang pada saat dilakukan penelitian. Metode
penarikan sampel dengan menggunakan consecutive sampling, dimanan semua subjek
yang datang harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi sampel adalah :
pasien paska ORIF pada ekstremitas bawah (femur, tibia, dan fibula, patella, hindfoot,
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
193
midfoot, dan fore foot), berusia 15 – 65 tahun, kemampuan kognitif baik, bersedia menjadi
responden penelitian. Kriteria eksklusi sampel adalah : pasien mengalami fraktur pada
kedua sisi ekstremitas bawah, pasien yang mengalami fraktur pada area selain ekstremitas
bawah, mengalami komplikasi akut seperti infeksi, perdarahan, sindrom kompartemen,
emboli lemak, dan DVT, mempunyai riwayat penyakit stroke, jantung, dan paru-paru.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan remus koefisien korelasi jumlah sampel yang
terkumpul adalah 35 responden.
Instrumen
Pengetahuan diukur dengan menggunakan pertanyaan dengan nilai alpha cronbach’s =
0,450, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,11 – 0,733. nilai alpha cronbach’s = 0,824,
dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 – 0,854. Persepsi diukur dengan dengan
mengadaptasi instrumen perceived general self efficacy dengan nilai alpha cronbach’s =
0,851, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,477 – 0,906. Nyeri pada area fraktur
diukur dengan menggunakan Numeric Rating Scale dengan rentang 0 sebagai rentang
terendah sampai 10 sebagai yang tertinggi. Numeric Rating Scale reliabel dan valid untuk
mengkaji nyeri dengan rentang pada kondisi medis dan area klinis (Loretz, 2005).
Kelelahan diukur dengan menggunakan Fatigue Severity Scale (NWRC, 2011) yang telah
dimodifikasi. Pertanyaan awal terdiri dari 9 pernyataan yang mengukur kelelahan
responden selama berada di RS. Instrumen memiliki nilai koefisien alpha 0,91 dan internal
konsistensi 0,81 – 0,89 (Folden & Tappen, 2007). Hasil uji validitaas dan reliabilitas
menunjukan nilai alpha cronbach’s = 0,824, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 –
0,854. Motivasi diukur dengan menggunakan modifikasi Health Motivation Scale in
Physical yang dikutip dari Xiaoyan (2009). Hasil uji validitaas dan reliabilitas menunjukan
nilai alpha cronbach’s = 0,755, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,279 – 0,820.
Self efficacy diukur dengan menggunakan modifikasi dari Fall-Efficacy Scale (Tinetti et al,
1990). Instrumen memiliki nilai reliabilitas alpha 0,94 (Folden & Tappen, 2007). Uji
reliabilitas instrumen self efficacy didapatkan nilai alpha cronbach’s = 0,747, dengan nilai
korelasi validitas berkisar 0,299 – 0,918.
Hasil
Hasil analisa karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1. Hasil analisis menunjukan
bahwa hampir seluruhnya responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 27 responden
(77,1 %). Tingkat pendidikan responden hampir seluruhnya SMA sebanyak 25 responden
(71,4 %). Pekerjaan responden paling banyak adalah pegawai swasta sebanyak 8
responden (22,9 %). Lebih dari setengahnya status perkawinan responden adalah belum
menikah sebanyak 18 responden (51,4 %). Jenis fraktur paling banyak adalah fraktur
femur dimana lebih dari setengahnya sebanyak 21 responden (60,0 %). Tindakan operasi
responden lebih dari setengahnya adalah ORIF sebanyak 23 responden (65,7 %). Jenis
anastesi responden seluruhnya Regional Anastesi (RA)/Spinal Anastesi Block (SAB)
sebanyak 35 responden (100,0 %).
Tabel 1.
Distribusi karakteristik responden di RS Kota Semarang 2014 (n=35)
Karakteristik Responden
Frekuensi
%
Jenis Kelamin
Laki-laki
27
77,1
Perempuan
8
22,9
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
194
Karakteristik Responden
Total
Pendidikan
SD
SMP
SMA
Pendidikan Tinggi
Total
Pekerjaan
Wiraswasta
Pegawai Swasta
TNI
Pelajar
Tidak Bekerja
Total
Status Perkawinan
Belum Menikah
Menikah
Total
Jenis Fraktur
Femur
Tibia dan Fibula
Hindfoot
Total
Tindakan Operasi
ORIF
ORIF dan Debridemen
Total
Jenis Anastesi
Regional Anastesi/Spinal Anastesi Block
General Anastesi
Total
Frekuensi
35
%
100
6
2
25
2
35
17,2
5,7
71,4
5,7
100
8
12
5
7
3
35
22,9
34,3
14,2
20,0
8,6
100
18
17
35
51,4
48,6
100
21
8
6
35
60,0
22,9
17,1
100
23
12
35
65,7
34,3
100
35
100,0
0
35
0,0
100
Tabel 2
Distribusi Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi,
Motivasi, dan Self Efficacy Responden di Kota Semarang (n=35)
Minimal Variabel
Mean
SD
95 % CI
Maksimal
Usia
36,06
17,12
15 – 63
30,17 – 41,94
Lama Hari Pasca ORIF
2,34
1,39
1-6
1,86 – 2,82
Nyeri
4,57
2,05
0-8
3,87 – 5,27
Kelelahan
24,46
8,60
7 – 42
21,50 – 27,41
Pengetahuan
11,69
2,40
6 – 16
10,86 – 12,51
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
195
Variabel
Persepsi
Motivasi
Self-Efficacy
Mean
SD
19,86
35,91
21,83
5,84
5,01
5,23
Minimal Maksimal
6 - 27
25 - 44
10 - 30
95 % CI
17,85 – 21,86
34,19 – 37,63
20,03 – 23,63
Tabel 3
Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi, dan Motivasi
kaitannya dengan Self Efficacy Melakukan ADL di RS Kota semarang (n=35)
No.
Variabel Independen
r
R2
p-value
1.
Usia
-0,464
0,215
0,005
2.
Lama Hari Pasca ORIF
0,012
0,001
0,945
3.
Nyeri
-0,120
0,014
0,494
4.
Kelelahan
-0,135
0,018
0,440
5.
Pengetahuan
0,107
0,011
0,540
6.
Motivasi
0,515
0,265
0,002
7.
Persepsi
-0,225
0,051
0,193
Tabel 4
Jenis Fraktur berdasarkan Self Efficacy Pasien Pasca ORIF Ekstremitas Bawah
di Kota Semarang (n=35)
Minimal maksimal
Variabel Independen
Mean
SD
P-value
Jenis Fraktur :
1.
Fraktur Femur
2. Fraktur Tibia dan Fibula
3.
Fraktur hindfoot,
midfoot, dan forefoot
21,10
23,13
22,67
5,08
6,22
4,8
12 – 30
10 – 30
16 - 26
0,603
Tabel 5
Persepsi, Kelelahan, dan Motivasi Kaitannya dengan Self Efficacy Responden
di Kota Semarang (n=35)
Kefisien B
P-value
Koefisien B
Variabel
R2
P-value
Variabel
variabel
(Constant)
Persepsi
-0,272
0,025
Kelelahan
-0,257
0,085
Motivasi
0,748
0,000
0,494
6,64
0,001
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
196
Hasil analisa multivariat menunjukan nilai koefisien determinasi (R square) adalah 0,494
berarti variabel persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4 % self efficacy
sisanya faktor lain, dengan nilai p 0,001.
Persamaan regresi yang diperoleh adalah :
Self Efficacy = 6,64 + 0,748 (M) – 0,272 (Per) – 0,257 (K)
Interprestasi persamaan regresi, setiap kenaikan motivasi 1 point, akan meningkatkan self
efficacy sebesar 0,748 setelah dikontrol variabel persepsi dan kelelahan. Setiap kenaikan
persepsi 1 point, akan mengakibatkan penurunan self efficacy sebesar 0,272 setelah
dikontrol variabel motivasi dan kelelahan. Setiap kenaikan kelelahan 1 point akan
mengakibatkan penurunan self efficacy sebesar 0,257 setelah dikontrol variabel motivasi
dan persepsi. Hasil analisa menunjukan bahwa variabel motivasi merupakan variabel yang
paling besar pengaruhnya terhadap self efficacy.
Pembahasan
Aspek fisik yang terdiri dari lama hari pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, dan kelelahan
menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap self efficacy pasien paca
ORIF ekstremitas bawah Aspek fisik lain yaitu usia menunjukan hubungan yang dengan
tingkat signifikansi sedang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlunya dibahas
mengenai variebel-variabel dalam aspek fisik secara spesifik.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa terdapat hubungan dengan
tingkat signifikan sedang yang bersifat negatif dan rata-rata usia responden berada pada
dewasa muda. Kesesuaian perbandingan hasil penelitian dengan melihat pada aspek
fisiologis dan psikologis berdasarkan dengan tumbuh kembang kaitannya dengan kondisi
pasca ORIF yang membuat variabel usia lebih berhubungan dibanding variabel dalam
aspek fisik lainnya. Usia dewasa muda merupakan usia ideal dimana mencapai puncak
efisiensi muskuloskeletal dan akan mengalami penurunan massa otot, kekuatan, dan
ketangkasan pada dewasa menengah (DeLaune & Ladner, 2002). Perkembangan
muskuloskeletal yang maksimal akan membantu kemampuan beraktivitas tidak hanya pada
area yang fraktur, sehingga self efficacy pada pasca ORIF akan lebih cepat untuk optimal.
Usia juga berkaitan dengan tumbuh kembang yang mempengaruhi kematangan mekanisme
koping seseorang. Mekanisme koping yang positif akan meningkatkan self efficacy
seseorang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama hari pasca ORIF
dengan self efficacy yang berkaitan dengan kondisi perkembangan pada fase inflamasi
didukung dengan latihan untuk rehabilitasi yang didapatkan saat tahap paska operasi.
Lama hari pasca ORIF saat diukur self efficacy adalah 2,34 menunjukan bahwa semua
responden masih berada pada fase inflamasi. Lama hari rawat pasca ORIF berkaitan
dengan tahap perkembangan status fungsional, fase penyembuhan fraktur dan program
rehabilitasi yang dilakukan sebagai variabel confounding yang berperan mempengaruhi
self efficacy. Rata-rata lama hari rawat 2,34 hari hampir mencapai setengah dari
kemampuan fungsional pada fase rehabilitasi. Peningkatannya dengan melihat
perbandingan hari sebelumnya pada responden yang sama terdapat peningkatan tetapi
tidak terlalu jauh pada hari selanjutnya dan didukung dengan melihat kemampuan pada
responden dengan lama hari rawat yang berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
197
Nyeri paska pembedahan ekstremitas bawah memiliki intensitas nyeri hebat dengan
kejadian sampai 70 % dengan durasi 3 hari (Smeltzer & Bare, 2005). Nyeri paska bedah
ortopedi saat berada diruang perawatan adalah 4,7 dengan menggunakan skala 0 sampai
10. Nyeri berkontribusi terhadap aktivitas pasca operasi (Morris et al, 2010). Nyeri ringan
dapat berlangsung sampai beberapa bulan pada kasus bedah ortopedi (Hoffenfeld &
Murthy, 2011). Nyeri berhubungan secara negatif terhadap self efficacy karena berkaitan
dengan ambang nyeri (Miro, Matinez, Sanchez, Prados, Medina, 2011). Nyeri merupakan
pengalaman universal individu, yang didefinisikan sebagai pengalaman individu dan
melaporkan adanya sensasi rasa nyaman dan tidak nyaman yang bersifat subjektif
tergantung persepsi individu (DeLaune & Ladner, 2002). Nyeri paska ORIF
mempertimbangkan jenis fraktur, tindakan operasi, dan respon terhadap nyeri yang
mempengaruhi rentang gerak sendi, kekuatan otot, serta kemampuan mobilisasi dan
ambulasi. Kemampuan mengontrol nyeri mendukung penggunaan analgetik untuk
meningkatkan kemampuan aktivitas. Tingkat nyeri tidak hanya ditentukan berdasarkan
aspek fisiologis tetapi aspek psikologis berperan penting karena nyeri bersifat subjektif.
Gate control pain theory menjelaskan bahwa persepsi individu menentukan kemampuan
mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional individu
(DeLaune & Ladner, 2002). Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu
meningkatkan self efficacy (Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram,
Kashdan, Kasle, Zautra, 2010).
Trauma yang mengakibatkan fraktur dan tindakan pembedahan merupakan stimulus
fisiologis terjadinya kelelahan karena penurunan perfusi jaringan akibat perdarahan.
Operasi merupakan trigger yang menyebabkan beberapa gejala kelelahan (Goedendorp,
2009). Kelelahan tidak mengganggu secara signifikan atau menghambat self efficacy
dalam fungsi fisik normal dan aktivitas sehari-hari dengan melihat karakteristik dari
kelelahan pasca ORIF. Kelelahan pada sistem muskuloskeletal mengakibatkan gejala
berupa nyeri otot, nyeri beberapa sendi, sakit kepala, dan kelemahan yang merupakan
tanda klinis yang sering terlihat pada kondisi paska ORIF. Kelelahan secara langsung
berhubungan dengan penurunan kapasitas fisik dalam pemenuhan ADL (Tiesinga et al,
2001). Kelelahan pada pasca ORIF fraktur ekstremitas bawah merupakan kelelahan
sebagai suatu sensasi. Kelelahan sebagai suatu sensasi merupakan bagian dari rentang
kehidupan normal. (Connell & Stoke, 2007). Kelelahan bersifat alamiah dimana
berlangsung secara singkat dan dapat dieliminasi dengan istirahat yang cukup.
Self-efficacy ditentukan beberapa komponen dari penyebab personal terdiri dari fungsi dari
kemauan, perasaan (suatu rasa terhadap kapasitas dan efektivitas), nilai, dan ketertarikan
(Peterson et al, 2009). Penelitian yang dilakukan Peterson et al (2009) menjelaskan bahwa
self efficacy didasari oleh penerimaan personal penyakit, penerimaan terhadap perubahan
kapasitas, fokus dalam kontrol, kemampuan belajar dan melakukan, kewaspadaan, dan
tanggung jawab personal. Peningkatan komponen dasar self efficacy ditunjukan pada pasca
ORIF seiring dengan perbaikan kondisi umum sehingga meningkatkan efikasi untuk
mandiri.
Pengetahuan seseorang tidak mendukung peningkatan self efficacy, karena ada aspek
psikologis lain seperti motivasi yang sangat mempengaruhi kepercayaan diri dalam
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
198
kehidupan nyata (Mancuso, Sayles, Allegrante, 2010). Pasien pasca ORIF ekstremitas
bawah kemampuan seseorang untuk menerima aspek negatif sehingga meningkatkan
motivasi dan berakibat tingkat pengetahuan responden kurang berpengaruh terhadap self
efficacy. Pengetahuan merupakan bagian dari aspek kognitif yang membentuk tujuan
personal seseorang yang mempengaruhi kemampuan aprasial seseorang. Pengetahuan yang
tinggi akan mendorong seseorang untuk memvisulisasikan tujuan dengan melihat aspekaspek negatif. Hal tersebut merupakan fungsi utama untuk memprediksi kemampuan
seseorang untuk mengontrol aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan
komponen utama dari self efficacy (Zulkosky, 2009).
Motivasi menentukan kemampuan individu untuk berperilaku secara sehat dengan
memperhatikan aspek lain. Kesiapan individu mempengaruhi kemampuan untuk
berperilaku walaupun motivasi menunjukan kategori baik. Kesiapan berperilaku berkaitan
dengan keamanan melakukan aktivitas yang dipengaruhi oleh persepsi individu yang salah
satunya ditentukan tingkat pengetahuan. Tingkat pengetahuan individu berkaitan dengan
keadaan penyakitnya dan tingkat pendidikan. Responden rata-rata kurang mengetahui
sebenarnya dengan kondisi frakturnya dapat meningkatkan kemandirian melalui beberapa
aktivitas sesuai batas-batas yang diperbolehkan.
Motivasi self-care status fungsional pada pola kesehatan dilihat dari perhatian melakukan
aktivitas fisik. Kesediaan mencari dan menerima arahan berkaitan dengan kesediaan pasien
dalam melakukan aktivitas fisik. Status fungsional merupakan gambaran dari kemampuan
aktivitas kesehatan yang positif dilihat dari kemampuan klien untuk mandiri dalam hal
melakukan aktivitas fisik. Pemahaman akan kondisi penyakit dan kurangnya peran
individu berperan terhadap perbedaan motivasi dengan tindakan yang dilakukan untuk
mencapai kemandirian (Siegert & Taylor, 2004). Dampak yang timbul adalah
ketidaktertarikan dan ketakutan untuk gagal sebagai penghambat. Kesiapan untuk
meningkatkan kemandirian berkaitan dengan perilaku tidak maksimal pada tahap action
dan maintenance.
Persepsi merupakan bagian dari aspek afektif yang merupakan kepercayaan dalam
kemampuan untuk bersikap menghadapi berbagai situasi yang mengancam. Kemampuan
seseorang dalam melakukan mekanisme koping akan membuat perubahan level
kepercayaan diri seserang dalam mengelola hal yang mengganggu dan merupakan
komponen kunci dari self efficacy (Zulkosky, 2009). Kemampuan koping seseorang lebih
mampu mengontrol pasien pasca ORIF ekstremitas bawah dalam melakukan aktivitas
dibandingkan aspek persepsi. Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu
meningkatkan self efficacy (Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram,
Kashdan, Kasle, Zautra, 2010).
Kesimpulan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan intervensi keperawatan
berupa pendidikan kesehatan, latihan aktivitas seperti makan, perawatan diri, mandi,
menggunaan toilet dengan mengintegrasikan manajemen nyeri pada fase rehabilitasi paska
ORIF fraktur ekstremitas bawah yang lebih lanjut sebagai pengembangan SOP. Perlunya
peningkatan kemampuan perawat dalam latihan aktivitas terintegrasi manajemen nyeri
pada fase rehabilitasi paska ORIF fraktur ekstremitas bawah melalui pelatihan atau
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
199
seminar. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel lebih besar dengan karakteristik
fraktur lebih spesifik dengan rentang waktu yang lebih lama. Penelitian lebih lanjut
bersifat eksperimental mengenai pengaruh latihan aktivitas terintegrasi dengan manajemen
nyeri terhadap self-efficacy pada pasca ORIF fraktur ekstremitas bawah.
Daftar Pustaka
Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009). Medical Surgical Nursing : Clinical management for
positive outcome, 8thed. St Louis Missouri : Elsevier Saunders.
Cardoza, M.P. (2011). A Study of self-efficacy and functional ability in pre-operative and
post-operative patients with primary elective total hip replacements. Proquest LLC.
Dahlen, L., Zimmerman, L., & Barron, C. (2006). Pain perception and its relation to
functional status post total knee arthroplasty : a pilot study. Orthopaedic Nursing,
July-August 2006, 25 (4). Academic Research Library.
Depkes R.I. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 20 Oktober 2010. http://www.depkes
co.id.
Folden, S., & Tappen, R. (2007). Factors influencing function and recovery following hip
repair surgery. Orthopaedic Nursing, July-August 2007, 26 (4). Academic Research
Library.
Halstead J.A. (2004). Orthopaedic Nursing : Caring for patients with musculoskeletal
disorders. Brockton : Westren Schools.
Loretz, L. (2005). Primary Care Tools for Clinicians : A Compendium of forms,
quistionnares, and rating scales for everyday Practice. Philadelphia : MosbyElseviers.
Mancuso, C.A., Sayles W., & Allegrante J.P., (2010). Knowledge, attitude, and self
sfficacy in asthma self sanagement and quality of life. Journal of Asthma : 2010,
47:883-888. Taylor & Francis Ltd.
McKnight, P.E., Afram A., Kashdan, T.B., Kasle S., & Zautra A., (2010). Coping Self
Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning :
Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral
Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science & Business Media B.V.
Miro, E., Matinez, M.P., Sanchez, A.I., Prados, G., & Medina A., (2011). Coping Self
Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning :
Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral
Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science & Business Media B.V.
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2005). Nursing Research : Priciples and methods, 7th edition.
Philadelphia : Lippinscott Williams & Wilkins.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of Nursing: Study guide and skills
performance checklists, 6th ed, Australia, Elseiver-Mosby.
Ridge, R.A., & Goodson, A.S. (2000). The Relationships between multidisciplinary
discharge outcomes and functional status after total hip replacement. Ortopaedic
Nursing : Jan/Feb 2000, 19 (1). Academic Research Library.
Ropyanto, C.B., Sitorus, R., & Eryando, T. (2011). Analisis faktor-faktor yang
berhubungan terhadap status fungsional pasien pasca ORIF fraktur ekstremita
bawah.
Saltzman, S. (2010), Functional Status Assesment. Diunduh 3 Maret 2011
www.galter.northwestern.edu/functional_status_assesment.cfm.
Smeltzer, S., & Bare, B. (2009). Brunner and Suddarth’s : Text book medical surgical
nursing. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
200
Wrong Diagnosis (2011). Prevelence and Incidence Statistic for Fractures. Diunduh 25
Mei 2011 www.wrong diagnosiswho.com.
William, L.S, & Hopper, P.D. (2009). Understanding Medical Surgical Nursing, 3rd ed.
Philadelphia : F.A. Davis Company.
Wilkinson, A. (2010), Functional Status. Diunduh 3 Maret 2011 www.uic.edu/nursing/
ccrv/pdf.
Wood, G.L., & Haber, H. (2010). Nursing Research : Methods and critical apprasial for
evidence based practice 7thedition. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders.
Zulkosky, K. (2009). Self Efficacy : Concept Analysis. Journal Compilation Nursing
Forum. Volume 44, No. 2, April-June 2009..
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
201
PEMBERDAYAAN KADER POSYANDU LANSIA DI SEMARANG
Elis Hartati1, Diyan Yuli Wijayanti2
1,2
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,
email: [email protected], email: [email protected]
Abstrak
Latar Belakang. Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat di RW 01 Kelurahan Tembalang dan RW 09 Keluarahan
Kalisidi. Peningkatan kesehatan lansia dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya
yang tersedia di masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah dengan
memfasilitasi pelayanan kesehatan dalam suatu wadah seperti posyandu lansia.
Tujuan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membentuk posyandu lansia, membentuk
kepengurusan posyandu lansia, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader,
melaksanakan program posyandu lansia dan meningkatkan kemandirian lansia. Metoda
yang digunakan adalah koordinasi, rekruitment, pendidikan kesehatan, sosialisasi,
implementasi dan rencana tindak lanjut program posyandu lansia.
Hasil. Hasil kegiatan adalah terbentuknya posyandu lansia di RW 01 “Mahardika” dan
RW 09 “Melati”, terbentuknya kepengurusan posyandu lansia berjumlah 24 orang,
peningkatan pengetahuan kader tentang penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus,
dan peningkatan keterampilan kader tentang pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah,
asam urat dan kolesterol.
Kesimpulan. Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai
100% dari target luaran secara keseluruhan Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan
Tembalang bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama
posyandu lansia “Mahardika”
Kata kunci: pemberdayaan, kader, posyandu lansia
Pendahuluan
Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi. Peningkatan kualitas hidup bagi lansia
dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya yang tersedia di masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewajiban membina lansia sesuai dengan peraturan
Undang- Undang RI No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan
bahwa pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan dan kemampuan lansia, upaya penyuluhan, penyembuhan dan meningkatkan
pengembangan lembaga.
Kelurahan Tembalang yang berada dekat lingkungan Universitas Diponegoro menjadi
pilot project daerah binaan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro sampai saat ini. Tidak adanya wadah dalam memberdayakan
masyarakat lansia khususnya di RW 01 Kelurahan Tembalang di bidang kesehatan lansia,
akan berdampak negatif terhadap derajat kesehatan lansia. Pemberdayaan masyarakat
sangat menunjang terhadap keberhasilan program yang dilaksanakan oleh Puskesmas.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
202
Puskesmas menjadi sarana untuk memeriksakan kesehatan lansia secara rutin, akan tetapi
dalam meningkatkan promotif dan preventif serta rehabilitatif kesehatan lansia perlu
adanya fasilitas khusus bagi lansia, seperti posyandu lansia. Kelurahan Kalisidi Dusun
Gebug Kecamatan Ungaran Barat memiliki permasalahan yang serupa dengan kelurahan
Tembalang. Kelurahan Kalisidi walaupun tidak dijadikan daerah binaan Universitas
Diponegoro, akan tetapi pemerataan pembangunan sumber daya masyarakat seyogyanya
difalisitasi oleh pemerintah dengan memberdayakan masyarakat. Letak geografis dari
Dusun Gebug Kelurahan kalisidi, berada di daerah pegunungan dan cukup jauh dari Pusat
pelayanan kesehatan. Selain itu, tidak adanya angkutan umum sebagai fasilitas bagi
masyarakat menjadi penghambat lansia datang secara rutin ke puskesmas untuk
memeriksakan kesehatannya. Pembinaan yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro
sebagai pengabdian kepada masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi akan lebih
efektif dan optimal jika dibentuk Posyandu Lansia.
Metoda
Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini adalah koordinasi dengan jajaran
pemerintahan untuk penentuan tempat posyandu lansia, penyusunan kebutuhan sarana dan
prasarana yang diperlukan, rekruitment calon kader, penyusunan struktur pengelolaan,
pengurusan ijin pembentukan posyandu, perencanaan anggaran pembentukan posyandu
dan anggaran operasional, sosialisasi posyandu lansia di Kelurahan Tembalang dan
Kalisidi. Ruang lingkup kegiatan adalah kader berjumlah 24 orang, yang terdiri dari 12
kader dari kelurahan Tembalang dan 12 kader dari Kelurahan Kalisidi. Bahan dan alat
yang digunakan adalah panduan buku pantau lansia, panduan posyandu lansia, buku
penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Alat yang digunakan untuk kegiatan
posyandu lansia adalah alat untuk pemeriksaan tekanan darah : spigmomanometer dan
stetoskop, alat untuk pemeriksaan :asam urat ; kadar gula darah; kolesterol, stik : asam
urat ; kadar gula darah ; kolesterol, alkohol, kapas. Selain itu meja berjumlah 10 buah,
kursi 10 buah, 5 Buku Form pengisian dari masing-masing fungsi meja posyandu lansia,
timbangan berat badan, dan alat pengukur tinggi badan. Tempat kegiatan pengabdian
dilaksanakan di rumah kader ibu Roisatun untuk kelurahan Kalisidi dan rumah kader ibu
Yuliarti untuk kelurahan Tembalang. Teknik pengumpulan data adalah dengan pre-post
test bagi kader yang mengikuti pelatihan.
Hasil
Hasil yang dicapai untuk Mitra I (RW 01 Kelurahan Tembalang) :
Terbentuknya pos yandu lansia Melati : Hasil rapat koordinasi dengan calon kader di 5 RT
yang ada di RW 01 Kelurahan Tembalang Kecamatan Tembalang ditentukan rumah Ibu
Yuliarti sebagai tempat kegiatan posyandu lansia yang beralamat di RT 02 RW 01
Kelurahan Tembalang. Kader dan tim pengabdian telah melakukan identifikasi keperluan
untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat kesehatan : spigmomanometer, stetoskop,
mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat, kolesterol, timbangan berat badan. Selain itu
alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter, meja 5 buah, kursi 5 buah, buku
pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30 buah, buku panduan penyakit
hipertensi 30 buah, buku panduan penyakit reumatik 30 buah, buku panduan penyakit
diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbangan/pengukuran
tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, KMS (Kartu Menuju Sehat) bagi lansia,
buku tamu dan alat tulis lain yang menunjang keperluan posyandu lansia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
203
Tim pengabdian telah melakukan identifikasi sumber daya manusia sebagai calon kader,
didapatkan sebanyak 12 calon kader bersedia untuk menjadi kader posyandu lansia di RW
01 Kelurahan Tembalang. Calon kader yang telah direkruit berasal dari 5 RT yang
semuanya telah terwakili dari masing-masing RT tersebut. Kader telah diberikan
pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang sering terjadi pada lansia, seperti : penyakit
hipertensi, reumatik, dan diabetes melitus. Hasil pendidikan kesehatan didapatkan
peningkatan pengetahuan pada kader mengenai penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes
melitus.
Tabel 1. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Hipertensi di RW 01 Kelurahan
Tembalang
Items
Pre Test Post Test
Pengertian
15,38
69,23
Faktor resiko
84,61
92,3
Tanda dan gejala
53,84
92,3
Dampak
7,69
20
Tindakan
psikologis
53,84
76,92
Tabel 1 menunjukkan bahwa kader kurang memahami tentang dampak dari terjadinya
hipertensi sebanyak 20%
Tabel 2. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Reumatik di RW 01 Kelurahan
Tembalang
Items
Pre Test Post Test
Pengertian
69,23
84,61
Tanda dan gejala
61,53
69,23
Pengaturan diet
38,48
76,92
Jenis makanan
69,23
79
Jenis herbal
23,07
84,61
Tabel 2 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan jenis herbal
yang digunakan pada klien dengan penyakit reumatik sebanyak 84,61%
Tabel 3. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Diabetes Melitus di RW 01
Kelurahan Tembalang
Items
Pre Test Post Test
Pengertian
23,07
92,3
Tanda dan gejala
15,38
84,61
Jenis diabetes
46,15
84,61
Dampak diabetes
46,15
76,92
Langkah preventif
61,53
92,3
Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah
preventif terjadinya penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3%.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
204
Hasil yang dicapai untuk Mitra II (RW 09 Desa Kalisidi) :
Terbentuknya posyandu lansia Mahardika. Berdasarkan hasil kesepakatan rapat koordinasi
disepakati untuk tempat posyandu lansia di rumah Kader Ibu Roisatun RT 02 RW 09 Desa
Kalisidi Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Kader dan tim pengabdian telah
melakukan identifikasi keperluan untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat
kesehatan : spigmomanometer, stetoskop, mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat,
kolesterol, timbangan berat badan. Alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter,
meja 5 buah, kursi 5 buah, buku pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30
buah, buku penyakit hipertensi 30 buah, buku penyakit reumatik 30 buah, buku penyakit
diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbangan/pengukuran
tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, lembaran KMS (Kartu Menuju Sehat) bagi
lansia, buku batik besar 5 buah dan alat tulis lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan
posyandu.
Terbentuknya kepengurusan posyandu lansia Mahardika : jumlah kader 12 orang yang
terwakili dari seluruh RT (9 RT) yang ada di RW 09 Desa Kalisidi. Kader telah diberikan
pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang sering terjadi pada lansia. Pendidikan
kesehatan yang dilakukan kepada 12 kader adalah penyakit hipertensi, penyakit reumatik,
penyakit diabetes melitus. Terjadi peningkatan pengetahuan pada kader mengenai penyakit
hipertensi, reumatik dan diabetes melitus.
Tabel 1. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Hipertensi di RW 09 Kelurahan Kalisidi
Items
Pre Test Post Test
Pengertian
23,07
84,61
Faktor resiko
69,23
84,61
Tanda dan gejala
23,07
84,61
Dampak
15,38
46,15
Tindakan psikologis
38,46
61,53
Tabel 1 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian, faktor resiko serta
danda dan gejala penyakit hipertensi sebanyak 84,61%.
Tabel 2. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Reumatik di RW 09 Kelurahan Kalisidi
Items
Pre Test Post Test
Pengertian
Tanda dan gejala
Pengaturan diet
Jenis makanan
Jenis herbal
69,23
46,15
30,76
30,76
15,38
84,61
76,92
76,92
69,23
76,92
Tabel 2 menunjukkan bahwa mampu memahami tentang pengertian penyakit reumatik sebanyak
84,61%.
Tabel 3. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Diabetes Melitus di RW 09 Kelurahan
Kalisidi
Items
Pre Test Post Test
Pengertian
23,07
92,3
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
205
Tanda dan gejala
Jenis diabetes
Dampak diabetes
Langkah preventif
30,76
30,76
30,76
53,84
84,61
76,92
76,92
92,3
Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah
preventif penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3%.
Pembahasan
Terbentuknya posyandu lansia
Posyandu lansia dibentuk di dua tempat yaitu posyandu lansia Mahardika dan Melati.
Keberhasilan pengabdian terjadi karena adanya dukungan dari kelurahan setempat dan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah proses kegiatan sosial dalam meningkatkan
partisipasi orang, organisasi dan masyarakat terhadap tujuan individu dan masyarakat,
pengaruh politik, peningkatan kualitas hidup masyarakat
dan keadilan sosial
(Wallerstein,1992 dalam Helvie,1998). Hubungan saling percaya dapat terbina dengan
kelurahan dan jajarannya merupakan langkah awal dalam mencapai tujuan posyandu lansia
ini. Koordinasi dengan ketua FKK (Forum Kesehatan Keluarga) tidak mengalami
hambatan. Koordinasi dan komunikasi dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan
gambaran posyandu lansia, tujuan, ruang lingkup, sasaran, sarana dan prasarana serta
perlunya keterlibatan kader sebagai penggerak memandirikan lansia.
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lanjut Usia adalah suatu wadah pelayanan kepada
lanjut usia di masyarakat, yang proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh
masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan
non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan
pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Eng dan Parker (1994) dalam
Helvie (1998) menyebutkan 2 dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh masyarakat
atau calon kader adalah kemampuan komunikasi dan artikulasi dalam memberikan support
sosial kepada masyarakat. Interaksi merupakan suatu proses persepsi dan komunikasi
antara individu dengan lingkungan dan antara individu yang satu dengan individu yang
lain, diwujudkan dengan perilaku verbal dan diarahkan untuk mencapai tujuan. Setiap
individu yang berinteraksi dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dalam pengetahuan,
tujuan, pengalaman terdahulu dan persepsi (King dalam Tomey, A.M. & Alligod, M.R.
(2006).
Pengetahuan tentang posyandu dan masalah kesehatan lansia
Pengetahuan kader di RW 01 Kelurahan Tembalang tentang penyakit hipertensi
mengalami peningkatan : pengertian 53,85%, faktor resiko 7,09%, tanda dan gejala
38,46%, dampak 12,31%, serta tindakan psikologis yang dilakukan pada hipertensi
mencapai 23,08%. Pengetahuan tentang penyakit reumatik mengalami peningkatan :
pengertian 15,38%, tanda dan gejala 7,7%, pengaturan makanan 38,44%, Jenis makanan
yang dianjurkan 9,77%, serta jenis herbal dalam mengatasi reumatik 61,54%. pengetahuan
kader tentang penyakit diabetes melitus mengalami peningkatan : pengertian 69,23%,
tanda dan gejala 69,23%, jenis diabetes meiltus 38,46%, komplikasi 30,77%, serta cara
pencegahan diabetes 30,77%.
Pengetahuan kader di RW 09 Kelurahan Kalisidi tentang penyakit hipertensi mengalami
peningkatan : pengertian 61,54%, faktor resiko 15,38%, tanda dan gejala 61,54%, dampak
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
206
30,77%, serta tindakan psikologis yang dilakukan pada hipertensi mencapai 23,07%.
Pengetahuan kader tentang penyakit reumatik mengalami peningkatan : pengertian
15,38%, tanda dan gejala 30,77%, pengaturan makanan 46,16%, Jenis makanan yang
dianjurkan 38,47%, serta jenis herbal dalam mengatasi reumatik 61,54%. Pendidikan
kesehatan yang dilakukan oleh Tim pengabdian kepada kader telah berhasil sehingga kader
memperoleh pengetahuan yang baru tentang masalah kesehatan yang sering terjadi pada
lansia. Pengetahuan menurut WHO adalah suatu pengalaman yang didapatkan oleh
seseorang dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman orang lain (Mubarok,W.I.,
2009). Tingkat pengetahuan yang telah dicapai oleh kader adalah tahap tahu, memahami,
penerapan, analisis, sintesis sampai dengan evaluasi. Pendidikan kesehatan ini bertujuan
agar kader mempunyai kompetensi dalam menghadapi masalah-masalah kesehatan yang
sering terjadi pada lansia, seperti masalah hipertensi, reumatik dan diabetes melitus.
Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dalam perubahan perilaku
seseorang. Pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan kepercayaan diri merupakan faktor
prediposisi yang mempengaruhi perilaku (Green, L.W, Kreuter, M.W, 2000).
Keterampilan tentang penggunaan alat pemeriksaan kesehatan
Tim pengabdian terlebih dahulu mengenalkan satu persatu alat yang akan digunakan dan
fungsi dari masing-masing alat tersebut.Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
pemeriksaan juga diterangkan sampai kader siap melakukan demonstrasi mandiri.
Pelatihan terhadap kader mengenai cara melakukan pemeriksaan tekanan darah, kadar gula
darah, asam urat dan kolesterol adalah sesuatu yang baru bagi kader. Hal ini tidak pernah
dilakukan sebelumnya sehingga kader bersemangat dan antusias untuk mengikuti
pelatihan/demonstrasi yang menunjang terhadap implementasi posyandu lansia ini.
Perilaku kader mengalami readiness to change, dimana kesediaan untuk berubah dapat
dilihat jika ada suatu inovasi atau program kesehatan di dalam masyarakat. Sebagain kader
ada yang menerima inovasi dengan cepat dan sebagian kader lambat untuk menerima
inovasi atau perubahan tersebut. Kader telah melalui tahapan perilaku terjadi secara
berurutan, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan akan berubah menjadi
sikap dan sikap akan menjadi sebuah tindakan. Tim pengabdian melakukan evaluasi
terhadap praktek yang dilakukan kader, sehingga jika hasil dari praktek tersebut kurang
tepat, maka latihan dilakukan berulang-ulang samapai kader mampu melakukan praktek
sendiri dan mampu melakukan pemeriksaan dengan tepat secara langsung pada lansia saat
kegiatan posyandu lansia. Alat pemeriksaan tekanan darah menggunakan stetoskop
teaching, sehingga saat dilakukan demontrasi, tim pengabdian juga mengetahui secara
akurat sejauhmana kemampuan latihan kader.
Terbentuknya kepengurusan posyandu lansia
Kepengurusan kader dilakukan dengan menggunakan gerakan pemberdayaan
(empowerment) masyarakat. Gerakan pemberdayaan masyarakat adalah gerakan dari, oleh
dan untuk mengenali dan mengatasi masalah kesehatan serta memelihara, meningkatkan
dan melindungi kesehatan masyarakat secara mandiri. Pemberdayaan yang dilakukan
dalam hal ini adalah pemberdayaan perempuan yang menjadi kader posyandu lansia.
Kepengurusan posyandu lansia dibina oleh Lurah dengan penanggung jawab Ketua RW.
Proses pembentukan tidak mengalami hambatan karena kader mempunyai kesediaan
untuk berubah ke arah yang lebih baik, sehingga pesan yang disampaikan oleh tim
pengabdian kepada kader diterima secara utuh. Komunikasi dapat dilakukan dua arah
antara kader dengan tim. Komunikasi adalah penyampaian pesan dari seseorang kepada
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
207
orang lain melalui media agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh sasaran sesuai
dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan (Sudiharto, 2007).
Tersusunnya program posyandu lansia
Program posyandu lansia yang telah tersusun merupakan hasil dari pemberdayaan sumber
daya manusia khususnya kader. Kader memfasilitasi kegiatan lansia yang disusun dalam
program posyandu lansia. Kader dalam hal ini merencanakan, memutuskan dan mengelola
tim (12 kader setiap keluhan) melalui collective action dan networking sehingga lansia
memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi dan sosial. Program
posyandu lansia tersusun berdasarkan identifikasi data selama proses pengabdian.
Identifikasi dilakukan oleh kader dan diarahkan sesuai dengan data fokus lansia dengan
menggunakan teknik fishbonding. Fisbonding merupakan teknik identifikasi masalah yang
cepat dan merupakan metode yang mudah digunakan (Ervin, N.E., 2002)
Peningkatan kesehatan dan kemandirian lansia
Kesehatan dan kemandirian lansia di Rw 01 dan RW 09 dmeningkat dengan adanya
kunjungan lansia ke posyandu. Pendekatan yang dilakukan Tim pengabdian sebagai
perawat komunitas adalah pendekatan pelayanan kesehatan, merupakan pendekatan yang
dilakukan oleh perawat untuk menggerakkan masyarakat berperan aktif dalam pelayanan
berdasarkan modifikasi perilaku tak sehat. Pendekatan kedua adalah pengembangan
komunitas, yaitu melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk
meningkatkan kesehatan (Rifkin, 1986 dalam Anderson & McFarlane, 2001). Pendekatan
selanjutnya adalah pendekatan medis dengan cara koordinasi dan kolaborasi dengan pihak
puskesmas Rowosari. Rencana tindak lanjut dengan Pihak Puskesmas adalah
keberlangsungan posyandu lansia setiap bulannya yang disepakati setiap tanggal 15 akan
dilaksanakan kegiatan posyandu lansia. Monitoring kegiatan akan dilakukan oleh
Puskesmas dan pemantauan dari pihak Kelurahan juga dilakukan sebagai reward atas
keberhasilan kader dalam melaksanakan program posyandu lansia. Reward merupakan
faktor reinforcing yang mempengaruhi perilaku (Green, L.W, Kreuter, M.W, 2000).
Kesimpulan
Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai 100% dari target
luaran secara keseluruhan. Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan Tembalang
bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama posyandu lansia
“Mahardika”. Posyandu memiliki kepengurusan dengan pembina dari Lurah, penanggung
jawab Ketua RW dan jumlah keseluruhan kader 24 orang . Pengurus telah memiliki
rencana program kedepan bagi kegiatan lansia dalam meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan kemandirian lansia.
Daftar Pustaka
Anderson & McFarlane. (2001).Community as Partner Theory and Practice in Nursing.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia
Ervin, N.E. (2002). Advanced Community Health Nursing Practice.Population FocucedCare. Michigan.Frentice Hall
Green, L.W, Kreuter, M.W. (2000). Health Promotion Planning an Educational and
Environmental Approach., second edition. Toronto. Mayfield Publishing Company
Helvie, Carl O. (1998). Advanced Practice Nursing in The Community. Sage Publications
Thousand Oaks.London
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
208
Mubarok, W.I, dkk (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi.
Jakarta.Salemba Medika.
Sudiharto (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan
Transkultural. Hal 45-47. Jakarta. EGC.
Tomey, A.M. & Alligod, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Works. Sixt Ed.
St.Louis; Mosby Elsevier
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
209
STUDI LITERATURE : EFEKTIVITAS PSIKOEDUKASI TERHADAP TINGKAT
DEPRESI PASIEN DIABETES MELLITUS
Wachidah Yuniartika
Mahasiswa Magister Keperawatan Undip Peminatan Komunitas
Email: [email protected]
Abstrak
Pendahuluan. Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan penanganan mandiri
seumur hidup. Diet, aktivitas fisik dan stress fisik dapat mengakibatkan depresi sehingga berakibat
juga kualitas hidup menurun, karena itu pasien kesulitan dalam mengatur kadar glukosa darah
mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak psikososial yang dialami
pasien adalah psikoedukasi.
Tujuan. untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien
diabetes mellitus.
Metode. Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun
2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai berikut
psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication Index dengan kata
kunci pencarian nursing. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, menggunakan
Intervensi psikoedukasi, outcome yang diukur : ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi
atau diabetes mellitus.
Hasil. Sesuai criteria dan metode didapatkan 7 jurnal yang bisa dilakukan dalam studi ini. Hasil
analisis menunjukkan adanya pengaruh PMR secara signifikan dalam menurunkan kadar glukosa
darah pasien diabetes Mellitus (mashudi), intervensi psikoedukasi efektif secara bermakna
mencegah terjadinya depresi pascasalin (Yafeti), psikoedukasi SWEEP lebih efektif dari daripada
UC untuk mengobati wanita depresi dengan diabetes tipe 2 (Sue M, et al), pelatihan kognitif
dikombinasikan dengan intervensi psikoedukasi pada lanjut usia dengan diabetes efektif dalam
menghasilkan keuntungan kognitif serta sikap dan peningkatan pengetahuan tentang diabetes
mellitus (De’bora, et al), pasien dengan terapi psikoedukasi kelompok lebih baik dibandingkan
kelompok pendidikan diabetes konvensional dalam mencapai tujuan pengendalian diabetes,
program ini efisien pada pasien diabetes dalam perawatan primer (Miguel et al), psikoedukasi
efektif dalam penanganan jangka panjang dan pendek untuk pasien depresi ringan, tetapi untuk
pasien depresi sedang efektif dalam jangka pendek (Rocio et al).
Kesimpulan. Semua studi melaporkan efektivitas intervensi psikoedukasi dalam hal mengurangi
depresi dan pengendalian diabetes.
Kata Kunci : Psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus
Pendahuluan
Diabetes adalah penyakit kronis yang mempengaruhi sekitar 346 juta orang di seluruh
dunia, 1 dengan tambahan 7 juta orang terkena diabetes setiap tahun. Indonesia kini telah
menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika
Serikat, China dan India. Hasil penelitian dari International Diabetes Federation (2005)
menunjukkan prevalensinya 60% penderita diabetes mellitus mengalami depresi dan juga
menunjukkan 15% penderita diabetes mellitus mengalami depresi sedang. Menurut
penelitian penckofer,et al, prevalensi depresi di antara pasien dengan diabetes tipe 2 adalah
9,8%, 5,2% untuk laki-laki dan 15,1% untuk perempuan.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
210
Studi menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes yang tinggal di negara-negara
berkembang memiliki prevalensi lebih tinggi mengalami gangguan kejiwaan. Masalah
Ekonomi yang berat dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan, terutama depresi,
kecemasan, dan penyalahgunaan zat, sehingga pasien mengalami kesulitan dalam
mengatur kadar glukosa darah mereka. 1 Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mengalami dampak psikososial yang dialami pasien adalah psikoedukasi. Sasaran dari
psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien
terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam
terapi, dan pengembangan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang
berkaitan dengan penyakit tersebut.2
Tujuan
Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi
psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus.
Metoda
Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun
2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai
berikut psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication
Index dengan kata kunci pencarian nursing, diabetes mellitus, psikoedukasi.
a. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, Menggunakan Intervensi
psikoedukasi,
b. Kriteria Eksklusi: tidak secara khusus melaporkan diabetes atau depresi, tidak
melaporkan intervensi psikoedukasi
c. outcome yang diukur : Ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau diabetes
mellitus.
d. Penilaian Kualitas: pedoman untuk melakukan penilaian kritis dalam literature review
ini melibatkan proses lima langkah secara berurutan: Pemahaman: Membaca melalui
artikel untuk memahami ide-ide kunci dan konten. Perbandingan: membaca setiap
artikel yang dipilih untuk memahami masalah penelitian, tujuan, desain, ukuran sampel,
prosedur pengumpulan data dan temuan kunci. Analisis: memeriksa dan
menghubungkan dengan review ini sesuai tujuan dan kriteria inklusi/eksklusi. Evaluasi:
menentukan arti, makna, dan validitas dengan memeriksa jurnal antara proses studi, dan
temuan.
Hasil
Sebanyak 20 abstrak diidentifikasi sebagai potensi masuknya review. Setelah duplikat
abstrak dihapus dan diperiksa sesuai kriteria inklusi, 10 abstrak yang diidentifikasi relevan
tetapi tidak cocok semua kriteria inklusi dan 7 yang memenuhi kriteria inklusi. Sebuah
studi tambahan diidentifikasi selama proses review. Gambaran dari 7 studi secara rinci
ditampilkan dalam Tabel 1 dibawah ini:
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
211
Tabel 1. Ringkasan dari pemilihan artikel
Penulis dan tahun
Negara
Sampel
Intervensi psikoedukasi
Outcame yang
diukur
Depresi
DM
√
Mashudi (2012)
Indonesia
15 kontrol
15 perlakuan
Progressive muscle relaxation
Yafeti Nazara (2009)
Indonesia
Media booklet
√
Penckofer sue, et al
(2012)
Debora Lee &
Monica (2012)
Mirjana P, et al
(2015)
USA
Miguel angel, et al
(2013)
Rocio Casanas, et al
(2012)
Spain
72 DM tipe 2
SWEEP (Wo e ’s E otio s a d
Evaluation of a Psycoeducational)
Pelatihan kognitif dan program
pendidikan pd orang tua
6 sesi mingguan dibagi dlm.
Psikoedukasi (A), Latihan Fisik (B)
Perawatan Biasa (C)
Psikoedukasi terapi kelompok
√
Croatia
40 perlakuan
45 kontrol
38 SWEEP
36 UC (biasa)
19 Perlakuan (EG)
15 kontrol (CG)
209 perlakuan
Spain
119 intervensi
112 kontrol
Psikoedukasi yang meliputi
perawatan diri dan gaya hidup
sehat (diet,latihan fisik,tidur)
√
Brazil
√
√
√
√
√
Tabel 2. Rincian Metodologis studi Literature: efektifitas intervensi psikoedukasi
terhadap depresi pasien diabetes mellitus.
Penulis
dan tahun
Mashudi
(2012)
Judul Artikel
Yafeti
Nazara
(2009)
Efektivitas
psikoedukasi
terhadap pencegahan
depresi pascasalin
(penelitian di
pelayanan kesehatan
Kabupaten Nias,
Sumatera Utara)
Pengaruh PMR
terhadap kadar
glukosa darah pada
pasien diabetes
mellitus Tipe 2 di
RSUD Jambi.
Desain penelitian
Tujuan dan metode
Hasil
kuasi eksperimen
dengan pre and
post with control
group,
Teridentifikasikannya
pengaruh
progressive
muscle relaxation(PMR)
terhadap
penurunan
kadar glukosa darah (KGD)
pada pasien diabetes
melitus tipe 2 (DMT2) di
RSUD Raden Mattaher
Jambi.
Pengambilan
sampel
dengan
consecutive
sampling. Data dianalisis
secara
univariat
dan
bivariat
untuk menilai efektivitas
intervensi psikoedukasi
yang diberikan kepada
ibu-ibu postpartum dalam
pencegahan terjadinya
depresi.
Penelitian dilaksanakan di
Rumah Sakit Umum
Gunung Sitoli dan di lima
Puskesmas yang diambil
secara random di Kab.
Nias pada bulan Mei - Juli
Hasil analisis menunjukkan
adanya
pengaruh
PMR
secara
signifikan
dalam
menurunkan KGD pasien
DMT2 di RSUD Raden
Mattaher Jambi. Sedangkan
variabel umur, jenis kelamin,
penyakit penyerta, dan lama
menderita
DMT2
tidak
mempunyai
hubungan
dengan rata-rata penurunan
kadar glukosa darah setelah
intervensi.
kuasi
eksperimental
dengan post
test only design
Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa intervensi
psikoedukasi secara
signifikan (p= 0,001), Odds
Ratio (OR) : 5,924
(95 % CI : 2,081-16,868)
efektif mencegah terjadinya
depresi pascasalin.
Faktor dominan yang
berpengaruh pada efektivitas
intervensi
psikoedukasi adalah
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
212
2006. Sampel adalah ibu
yang melahirkan normal
di Rumah Sakit dan di
Puskesmas, didampingi
suami, ibu dan bayi dalam
kondisi sehat tanpa
komplikasi sebanyak
85 orang. Instrumen yang
digunakan untuk
mengukur depresi adalah
kuesioner Edinburg
Postpartum Depression
Scale (EPDS).
dukungan keluarga nilai (p
=0,001, OR :
80 (95 % CI : 6,0691054,570).
Penckofer
sue, et al
(2012)
A Psychoeducational
Intervention (SWEEP)
for Depressed
Women with
Diabetes.
Secara random,
desain eksperimen
menggunakan
kelompok control
dan kelompok
intervensi.
Tujuan Untuk mengetahui
efektivitas Studi
Emosi perempuan dan
Evaluasi dari
PSYCHOEDUCATIONAL
(SWEEP), terapi kelompok
untuk pengobatan depresi
berdasarkan
prinsip terapi perilaku
kognitif yang
dikembangkan
untuk wanita dengan
diabetes tipe 2.
Wanita dengan gejala
depresi meningkat secara
signifikan (Pusat Studi
Epidemiologi dg Depresi
Skala ≥16) metode SWEEP
dengan random (n=38),
dan metode biasa UC
(n=36)
Model multilevel
menunjukkan bahwa SWEEP
adalah
lebih efektif daripada UC
dalam mengurangi depresi
(perbedaan berarti
-15 vs -7, p <0,01),
penurunan sifat kecemasan
(perbedaan berarti -15 vs -5,
p <0,01), dan meningkatkan
ekspresi kemarahan
(perbedaan berarti -12 vs -5,
p <0,05).
Meskipun SWEEP dan UC
memiliki perbaikan dalam
glukosa puasa (perbedaan
berarti -24 vs -1 mg / dl) dan
HbA1c
(perbedaan berarti -0,4 vs 0.1%), tidak ada statistik
perbedaan yang signifikan
antara kelompok.
Debora
Lee &
Monica
(2012)
Elderly Individuals
with Diabetes: Adding
Cognitive
Training to
Psychoeducational
Intervention
Desain
eksperimen
menggunakan
kelompok
perlakuan (EG)
dan kelompok
control (CG)
Bertujuan untuk menilai
efek dari pelatihan
kognitif delapan sesi dan
program pendidikan pada
orang tua diabetes dan
mengetahui perubahan
kesadaran mereka
tentang aspek-aspek
tertentu dari diabetes.
Protokol pertanyaan klinis
dan sosiodemografi:
dengan menggunakan
instrument (ATT-19);
(DKN-A); (MMSE);
(GDS); (SKT); dan
(RBMT)
Hasil menunjuk perbedaan
yang signifikan antara kedua
kelompok untuk ATT-19,
DKN, dan memori SKT- dan
SKT-total, dan perbedaan
sedikit signifikan bagi sejarah
RBMT di posttest. Adapun
variabel kognitif yang tersisa,
tidak ada perubahan yang
diamati. Efek tes ulang tidak
diamati dalam CG. Kami
menyimpulkan bahwa
pelatihan kognitif
dikombinasikan dengan
intervensi psychoeducational
pada lanjut usia dengan
diabetes efektif dalam
menghasilkan keuntungan
kognitif serta sikap dan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
213
Mirjana P,
et al
(2015)
Does treatment of
subsyndromal
depression improve
depression-related
and
diabetes-related
outcomes? A
randomised
controlled
comparison of
psychoeducation,
physical exercise and
enhanced treatment
as usual.
Miguel
angel, et al
(2013)
Psychoeducative
groups help control
type 2 diabetes in a
primary care setting.
Studi kuasieksperimental
(pra / pascaintervensi) dengan
kelompok kontrol
non-ekuivalen.
Dewasa pasien diabetes
tipe 2 yang positif
mengalami depresi dan
menyatakan kebutuhan
untuk bantuan profesional
dengan masalah hati yang
memenuhi syarat. Kriteria
adalah depresi klinis, saat
ini perawatan psikiatris
dan komplikasi diabetes.
Dari 365 pasien yang
memenuhi syarat 209
yang bisa dilakukan
intervensi selama 6
sesi.psikoedukasi (A) dan
latihan fisik (B), atau
untuk meningkatkan
perawatan seperti biasa
(C). Pengacakan
dikelompokkan
berdasarkan jenis
kelamin.gejala depresi
(hasil primer) dan
diabetes, perawatan diri
diabetes, kontrol
metabolik dan kualitas
kesehatan yang
berhubungan dengan
kehidupan(hasil sekunder)
dianalisis pada 6 bulan
dan 12 bulan follow-up.
Menggunakan uji statistic
ANOVA.
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengukur
dampak dari intervensi
kelompok
psychoeducational
pada diabetes
menggunakan hemoglobin
glikosilasi (HbAlc),
indeks massa tubuh (BMI)
dan risiko kardiovaskular
faktor (CVRF)
dibandingkan dengan cara
pendidikan konvensional.
kelompok
psychoeducational
terapi dalam kelompok
studi (PGT) dibandingkan
dengan pendidikan
diabetes konvensional di
kelompok kontrol (CG).
peningkatan pengetahuan
tentang diabetes mellitus.
Pasien yang diacak ke dalam
kelompok A 74, 66 B dan 69
ke dalam kelompok C, 203
menyelesaikan
intervensi, dan 179 pasien
dengan semua 3 penilaian
dianalisis. Gejala depresi
peserta dari
psychoeducational, latihan
fisik dan ditingkatkan
perawatan sebagai kelompok
biasa membaik sama dari
waktu 12 bulan follow-up
(waktu terhadap waktu efek
x kelompok; seperti yang
dilakukan diabetes dan
kualitas hidup, perawatan
diri diabetes, trigliserida, dan
kolesterol total dan LDLkolesterol.
Intervensi yang digunakan
memiliki efek positif setelah
dilakukan intervensi 12-bulan
psikologis dan hasil terkait
diabetes menunjukkan
bahwa intervensi minimal
menangani pasien diabetes
terkait masalah klinis yang
menguntungkan dan cukup
untuk mengobati
subsyndromal depresi.
Pasien PGT mencapai
signifikan
peningkatan HbAlC, BMI dan
CVRF, dibandingkan
kelompok pendidikan
diabetes konvensional dlm
mencapai tujuan
pengendalian diabetes yang
optimal. struktur
perubahan dalam program
ini adalah terapi yang lebih
efisien untuk
pendidikan diabetes dalam
perawatan primer.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
214
Rocio
Casanas,
et al
(2012)
Effectiveness of a
psychoeducational
group program for
major depression in
primary care:
a randomized
controlled
Studi percobaan
acak terkontrol.
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menilai
efektivitas program
psychoeducational, yang
meliputi aspek
perawatan pribadi dan
gaya hidup sehat, pada
pasien dengan gejala
depresi ringan/sedang
dalam Perawatan Primer
(PC).
sampel 246 responden
berusia lebih dari 20
tahun yang diukur melalui
perawat / dokter umum
primary care (PCCs) di 12
Pusat perkotaan
Barcelona. kelompok
intervensi (IG) (n = 119)
menerima program
psychoeducational (12
minggu, sesi 1,5 jam
dipimpin oleh dua
perawat) dan kelompok
kontrol (CG) (n = 112)
menerima perawatan
biasa. Pasien dinilai pada
awal di 3, 6 dan 9 bulan.
Ukuran hasil utama
adalah BDI, EQ-5D dan
remisi berdasarkan BDI.
231 pasien acak dimasukkan,
di antaranya 85 memiliki
depresi ringan dan 146
depresi sedang. Analisis
menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara
kelompok dalam kaitannya
dengan tanda gejala,
terutama di Kelompok
depresi ringan dengan
tingkat tinggi 57% (p = 0,009)
dan 65% (p = 0,006) pada
pasca perawatan pada 9
bulan follow up, dan hanya
menunjukkan perbedaan
yang signifikan pada BDI di
pasca perawatan dan
pada 6 dan 9 bulan tindak
lanjut (p = 0,048; d '= 44.).
Dalam sampel secara
keseluruhan, analisis hanya
menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara
kelompok pada BDI di
pasca perawatan, masingmasing. Kelompok
psikoedukasi meningkat
secara signifikan pada EQ-5D
di jangka pendek dan
panjang. Intervensi
psychoeducational ini adalah
pengobatan yang efektif
jangka pendek dan panjang
untuk pasien dengan
gejala depresi ringan. Ini
menghasilkan hasil signifikan,
dianjurkan dalam PC dan
dapat dilakukan oleh
perawat dengan pelatihan
sebelumnya. Pada pasien
yang depresi sedang,
kelompok psychoeducation
efektif dalam jangka pendek.
Pembahasan
Kami mengidentifikasi tujuh artikel kuantitatif studi yang meneliti tentang intervensi
psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau terkait Diabetes Mellitus. studi menemukan
bahwa intervensi psikoedukasi efektif dalam mencegah dan mengurangi depresi walaupun
dalam studi tersebut dijelaskan model intervensinya dilakukan berbeda-beda. Intervensi
psikoedukasi efektif secara bermakna mencegah terjadinya depresi dengan cara dukungan
keluarga (Yafeti, 2009), terapi kelompok dengan prinsip terapi perilaku kognitif dalam
pengembangannya (Penckofer, et al, 2012), dibuat dalam 6 sesi kegiatan dimana dalam
tindakan psikoedukasi tersebut dimasukkan juga tindakan dalam perawatan diri diabetes,
kontrol metabolic dan kualitas kesehatan yag berhubungan dengan kehidupan, kegiatan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
215
dianalisis pada 6 bulan dan follow-up 12 bulan (mirjana, 2015). Pasien dengan depresi
ringan psikoedukasi efektif untuk pengobatan jangka pendek dan panjang, tetapi jika
pasien depresi sedang pengobatan efektif untuk jangka pendek saja (Rocio, et al, 2012).
Pasien dengan penyakit kronis salah satunya Diabetes Mellitus dua kali mengalami
gangguan kecemasan dan depresi dari seluruh populasi. Studi terbaru telah menunjukkan
bahwa secara umum kadar glukosa yang tinggi dapat berkontribusi untuk pengembangan
kecemasan dan depresi. 3 Untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita Diabetes
Mellitus tipe 2 bisa melakukan Progressive muscle relaxation (PMR) (mashudi, 2012),
pelatihan kognitif dan program pendidikan diabetes khususnya pada pasien lanjut usia
(Debora,et al, 2012). cara mengontrol Diabetes Mellitus tipe 2 dengan intervensi
psikoedukasi kelompok dan pengukuran kadar glukosa, berat badan dan pemeriksaan
faktor resiko kardiovaskuler (Miguel, et al, 2013)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil review dari tujuh artikel dapat disimpulkan bahwa Intervensi
psikoedukasi efektif dalam menurunkan depresi pada pasien dengan Diabetes Mellitus.
Daftar Pustaka
Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. 2010. Psychoeducation for Bipolar Mood
Disorder . Jurnal: Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective
Disorders.
Casanas Rocio, et,al, 2012, Effectiveness of a psycho-educational group program for
major depression in primary care: a randomized controlled trial . Research
Article, BMC Psychiatry.
Debora lee, et al, 2012, Elderly Individuals with Diabetes: Adding Cognitive Training to
Psychoeducational Intervention, educational gerontology.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013
Maria Augusta,et al,2014, Anxiety disorders are associated with quality of life impairment
in patients with insulin-dependent type 2 diabetes: a case-control study, Revista
Brasileira de Psiquiatria. Original Article
Mashudi, 2012, Pengaruh Progressive muscle relaxation terhadap kadar glukosa darah
pada pasien diabetes mellitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Jambi, jurnal health & sport volume 5.
Miguel, et al, 2012, Psychoeducative groups help control type 2 diabetes in a primary care
setting. Original Article, Nutricion Hospitalaria.
Mirjana, et,al, 2015, Does treatment of subsyndromal depression improve depression
related and diabetes-related outcomes? A randomized controlled comparison of
psychoeducation, physical exercise and enhanced treatment as usual. Research,
Trials.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
216
Penckofer Sue M, et,al, 2012, A Psychoeducational Intervention (SWEEP) for Depressed
Women with Diabetes. Original Article, The Society of Behavioral Medicine.
Yafeti, 2009, Efektivitas psikoedukasi terhadap pencegahan depresi pascasalin (penelitian
di pelayanan kesehatan Kabupaten Nias, Sumatera Utara), jurnal Obstetric
Indonesia volume 33.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015
217
PROFESI DOULA DALAM PENDAMPINGAN PERSALINAN
DENGAN NILAI-NILAI ISLAMI
Diah Indriastuti
Mahasiswa Magister Keperawatan
Konsentrasi Komunitas UNDIP, Email: [email protected]
Abstrak
Pendahuluan. Doula berperan dalam proses caring untuk ibu selama awal kehamilan
hingga masa peralihan menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk
persiapan persalinan dan menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan
doula post partum. Konsep islam berkaitan dengan konsep caring pada proses keperawatan
dan pemenuhan kebutuhan. Doula memiliki konsep caring yang selaras dengan konsep
caring dalam Islam. Keduanya berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan
kebutuhan seorang pasien secara terus menerus.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan
Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami..
Metoda. Literatur review disusun menggunakan metode campuran, yang mengintegrasikan
temuan dari penelitian kualitatif dan kuantitatif. 3 artikel digunakan dengan komposisi 1
junarl systematic review dan 2 artikel penelitian Qualitatif.
Hasil. Doula mampu meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses
perawatan di rumah sakit, memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan
bayinya dan mengurangi kejadian post partum depresi. Keperawatan dalam Islam memiliki
sifat kesucian terkait dengan ibadah, kemurahan hati dan mendahulukan orang lain,
tanggungjawab dan komitmen social, mengutamakan kebajikkan. Keperawatan memiliki
simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian pertolongan pada sesama. Menurut Al
Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut dari belas kasih dan Allah mencintai orang
yang bersifat demikian.
Pembahasan. Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin
membutuhkan pendampingan secara terus menerus, doula memberikan dukungan secara
bermakna pada ibu. Keperawatan menurut budaya islam membimbing seseorang untuk
mencari solusi atas permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses
pengasuhan ibu pada anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar
untuk memandirikan diri mereka sendiri.
Kesimpulan. Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek
doula yang professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak.
Sementara dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan
kesehatan sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim
pada masa awal kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula
yang menerapkan konsep Islami. Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep
mengenai manfaat dukungan doula dan konsep keperawatan Islami secara terpisah.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
218
Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai profesi doula menurut perspektf kajian
Islam.
Kata Kunci : doula, islami, kehamilan, kelahiran, keperawatan, pendampingan.
Pendahuluan
Kelahiran adalah proses yang kompleks, timbal balik dan terintegrasi dengan sosiokultural
(Fulton, 1999). Asal kata doula adalah dari bahasa Yunani yang berpengalaman dan melalui
pelatihan sebelumnya sebagai seorang pendamping persalinan. Doula memberikan dukungan
terus menerus kepada ibu hamil dan pasangannya secara fisik, emosi, social, serta pemberian
informasi selama kehamilan hingga persalinan (Indriastuti & Namuwali, 2015). Tugas doula
adalah merawat dan menemani ibu hamil.(Arnold, 2001) Doula menjalankan tugasnya secara
holistic, biological, psychological, social, cultural, dan spiritual selama masa kehamilan dan
persalinan
Doula berperan dalam proses caring untuk ibu selama awal kehamilan hingga masa peralihan
menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk persiapan persalinan dan
menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan doula post partum (Arat,
2013). Peran doula terdiri dari :
a. Menyediakan dukungan emosional yang berkelanjutan, seperti berbicara dengan ibu dan
memberikan dukungan dengan tetap menjaga kontak mata
b. Memberikan informasi pada ibu mengenai kemajuan persalinan dan menjelaskan
kemungkinan intervensi medis yang perlu dilakukan
c. Membantu ibu mendapatkan posisi bersalin yang baik, ibu mendapatkan kenyamanan dan
kemajuan persalinan terfasilitasi
d. Komunikasi terus menerus dengan ibu baik verbal maupun nonverbal untuk meyakinkan
ibu bahwa dia tidak sendirian.
e. Memfasilitasi ibu untuk melakukan kontak skin to skin dengan bayinya segera setelah
lahir dan berusaha melakukan IMD(Fulton, 1999)
Dalam Islam, ucapan Nabi (SAW) merupakan hadis yang menekankan pada pekerjaan
merawat dan melayani pasien. Tinjauan dalam Al Qur’an mengenai caring adalah perawatan
dari istri Nabi ayub yang menderita penyakit kulit sehingga penampilannya buruk dan berbau.
Pada kisah Mariam dan Zakaria terlihat perawatan orang tua kepada seorang anak. Nabi Yusuf
memperlihatkan caring pada para tahanan dengan memenuhi kebutuhan mereka. Kewajiban
seorang ibu yang diatur dalam Al Qur’an adalah caring pada anak selama masa
pengasuhan(Sadat, Hoseini, & Alhani, 2013).
Konsep islam berkaitan dengan konsep caring pada proses keperawatan dan pemenuhan
kebutuhan.
a. Caring dianggap sebagai sebuah symbol dalam Islam, bahwa caring bukan hanya untuk
manusia tetapi untuk semua makhluk. Kepedulian caring Islami adalah sebuah bentuk
pelayanan pada Tuhan(Alimohammadi et al., 2013). Caring dalam Islam berarti keinginan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
219
untuk bertanggung jawab, sensitif, memotivasi dan berkomitmen untuk bertindak benar
demi kesempurnaan(Rassool, 2000).
b. Pemenuhan kebutuhan
Definisi dalam Islam mengenai pemenuhan kebutuhan pasien adalah “siapa pun
yang
berupaya
untuk
memenuhi
kebutuhan
pasien
akan
diberikan hadiah pengampunan untuk semuanya / dosanya bahkan jika
kebutuhan tidak terpenuhi(Alimohammadi et al., 2013).
Doula memiliki konsep caring yang selaras dengan konsep caring dalam Islam. Keduanya
berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan seorang pasien secara terus
menerus.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan
Dengan Nilai-Nilai Islami.
Metoda
Design penelitian yang digunakan adalah sistematik review mix metode atau metode
campuran. Artikel dipilih berdasarkan criteria inklusi sebagai berikut :
a. Profesi Doula
b. Konsep perawatan kesehatan dalam Islam.
c. Caring
Kriteria eksklusinya adalah artikel yang tidak membahas mengenai doula dan konsep
perawatan kesehatan dalam Islam. CASP yang digunakan adalah Evaluative Tool for Mixed
Method Studies (USIR, 2005). Penelusuran dilakukan melalui EBSCO, Proquest dan Google
search dengan keyword, doula, Islamic dan konsep. Boolean operator yang digunakan adalah
“And” agar pencarian data lebih fokus. Ekstraksi data, adalah mengelompokkan data menurut
variabel yang ingin dikaji. Data sinthesis dilaksanakan untuk melihat konsep doula dama
pandangan Islam.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
220
Peneliti
Diah
indriastuti,
et al.
(2015)
Design
Sample
/subject
RCT
Data
Systematic dikumpulkan
review
dari 3 artikel
jurnal yang
menunjukkan
manfaat peran
doula
Table 1. ekstraksi Data
Intervensi
memberikan konseling non medis pada
satu kelompok dan membandingkan pada
kelompok lain yang tidak menerima
konseling.
Fariba
Thalegani
et al.
(2000)
Analisis
kritis
literature
Morse
(Kualitatif
design)
Konseptual
keperawatan
berdasarkan
pemikiran
Islam
Mengulas 4 pinsip filosofi dalam
mengkaji, mengelompokkan dan
mengecaluasi keilmuan kosep
kerepawatan dalam pemikiran Islami
Akram
Sadat et al.
(2013)
Analisis
konsep
Walker
dan Avant
(Kualitatif
design)
Konsep
keperawatan
melalui analisis
sumber Islami
Melakukan analisa konsep keperawatan
menggunakan 8 tahapan dari Walker dan
Avant
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
Hasil
Para
peserta
menunjukkan
peningkatan persepsi ibu yang
positif baik untuk diri mereka
sendiri
tentang
persalinan,
kelahiran dan bayi mereka
(pengalaman memberikan ASI
eksklusif dan inisiasi menyusui).
Intervens imedis berkurang; dan
depresi post partum menurun
Definisi
dan
deskripsi
keperawatan dalam Islam jelas
memfasilitasi
dan
dapat
dipraktekkan secara operasional
Keperawatan dianggap mirip
dengan pengasuhan ibu dan
memilki sifat feminism. Namun
dalam
Islam
digambarkan
seorang
perawat
sebagai
seseorang yang berusaha untuk
memperbaiki keadaan pasien.
221
Hasil
Penelusuran artikel jurnal dilakukan melalui EBSCO didapatkan opsi sebanyak 358 artikel
untuk Konsep keperawatan Islam, 227 artikel doula. 500.000 artikel didapatkan mengenai
konsep keperawatan Islami dan 2,830 artikel doula hasil dari google search engine. Dari
Proquest sebanyak 20 artikel keperawatan Islam dan 20 artikel doula. Pentapisan artikel untuk
mendapatkan sesuai criteria inklusi dan 3 artikel tersebut adalah artikel yang paling sesuai
dengan tujuan sustematic review tentang Profesi Doula dalam Pendampingan Persalinan
dengan Nilai-Nilai Islami.
a. Peran pendampingan persalinan oleh doula
Dalam sistematik review mengenai keuntungan dukungan persalinan yang diberikan oleh
doula(Indriastuti & Namuwali, 2015), dijelaskan bahwa persalinan menjadi lebih mudah
(28%), mampu mengatasi persalinan dengan baik (37%), memiliki pengalaman melahirkan
yang menyenangkan (59%)(Campbell, Scott, Klaus, & Falk, 2007), dan mampu
memberikan ASI dengan mudah(Campbell et al., 2007). Selain itu terjadi penurunan
intervensi obstetric secara signifikan. Penurunan penggunaan analgetik (36%), penurunan
penggunaan oksit osin (71%), pengurangan penggunaan forcep (56%) dan penurunan
persalinan secara SC (52%)(Campbell et al., 2007).
Penurunan depresi pasca persalinan dengan pengukuran menggunakan EPDS menyebutkan
bahawa ibu dengan dukungan doula memiliki resiko lebih rendah untuk mengalami depresi
pasca persalinan. Pengkajian pada skor EPDS >13 (depresi berat) sebanyak 14,39% ibu
dengan dukungan doula mengalami depresi sedangkan ibu tanpa pendampingan doula
memiliki prevalensi lebih tingi yaitu 21,25% (Lumley, Austin, & Mitchell, 2004)
b. Karakteristik dalam keperawatan Islami
Karakteristik atau sifat dalam keperawatan Islami memiliki sifat sebagai berikut :
1) Kesucian terkait dengan ibadah
Dalam sudut pandang Islam, keperawatan adalah pekerjaan suci yang memiliki
keterkatian dengan tingkatan ibadah tertinggi karena merujuk pada literatur Islam
berupa Hadis Nabi (SAW)
2) Kemurahan hati dan mendahulukan orang lain
Moral baik, kebajikan dan mengutamakan orang lain adalah wujud dari prinsip
keadilan, karena individu yang adil tidak akan melanggar hak orang lain. Sementara
orang yang murah hati dan mengutamakan orang lain bukan hanya akan menjaga hak
orang lain tetapi juga memnganugerahkan miliknya untuk orang lain.
3) Tanggungjawab dan komitmen social
Karunia’ yang didapatkan oleh seseorang diharapkan dapat diabdikan dengan
pelayanan kesehatan dan keperawatan. salah satu contohnya dalah dengan mendirikan
lembaga kesehatan.
4) Mengutamakan kebajikkan
Keperawatan memiliki simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian
pertolongan pada sesama. Menurut Al Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut
dari belas kasih dan Allah mencintai orang yang bersifat demikian(Alimohammadi et
al., 2013).
Implementasi nilai baik tersebut berada dalam Al Qur’an pada kisah nabi Yusuf yang
merawat tahanan di penjara ketika dia dihukum karena difitnah telah melakukan zina
dengan zulaikhah (Qs Yusuf: 25). Dalam penjara, Yusuf dikenal sebagai orang yang
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
222
pemurah dan suka membantu . setelah yusuf meninggalkan penjara, dia masih
memperhatikan para tahanan. Yusuf membersihkan penjara, meminta penjaga untuk
memperbaiki kondisi penjara, merawat yang sakit dan menghibur mereka. Hasilnya penjara
menjadi bersih, kondisi tahanan lebih baik, secara spiritual dan mental lebih tenang
sehingga yusuf mendapatkan kepercayaan dan penghormatan dari mereka (Sadat et al.,
2013).
Dalam kisah nabi musa (Qs Al-Qashah:7), ketika ibu nabi musa menghanyutkannya di
sungai untuk keselamatannya dari Fir’aun. Kemudian, saat diasuh oleh istri Fri’aun, Musa
tidak mau meminum susu dari ibu susu manapun. Ibu susu yang bisa menyusui Musa
adalah ibu kandungnya sendiri. Hal ini menyebabkan pengasuhan dan perawatan anak pada
Musa bayi ditangani langsung oleh ibunya sendiri.
Pembahasan
Seorang dalam
masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin membutuhkan
pendampingan secara terus menerus. Pendampingan yang dibutuhkan memnbutuhkan
perhatian penuh secara emosional, informatif, dukungan fisik dan bantuan untuk melakukan
perawatan pada bayi untuk pertama kali (Fulton, 1999). Keuntungan dari dukungan doula
secara keseluruhan pada 1 artikel sistemati review mengenai manfaat dukungan doula baik
saat kehamilan, persalinan dan pasca bersalin (Indriastuti & Namuwali, 2015). Doula mampu
meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses perawatan di rumah sakit
(Kathryn D. Scoot, 1999), memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan
bayinya(Campbell et al., 2007) dan mengurangi kejadian post partum depresi (Lumley et al.,
2004).
Keperawatan menurut budaya islam adalah membimbing seseorang untuk mencari solusi atas
permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses pengasuhan ibu pada
anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar untuk memandirikan diri
mereka sendiri, sebagaimana Musa diasuh oleh ibu kandungnya. Meski begitu seorang lakilaki seperti Nabi Yusuf juga mampu untuk berperan dalam keperawatan yang memiliki sifat
feminism keibuan. Kemampuan Yusuf ini berkat kemurahan hati dan sikapnya yang suka
membantu orang lain serta kemampuannya memberikan perawatan dalam semua aspek
kehidupan.
Dukungan yang diberikan oleh doula memiliki nilai-nilai moral baik yang sesuai dengan
kajian Islam, Kemurahan hati , altruism, tanggungjawab, komitmen social, simpati, kasih
sayang, dan memberikan pertolongan pada sesama. (Alimohammadi et al., 2013).
Kesimpulan
Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek doula yang
professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak. Sementara
dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan kesehatan
sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim pada masa awal
kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula yang menerapkan
konsep Islami. Pendekatan secara spiritual keagamaan memiliki cakupan yang menyeluruh.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
223
Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep mengenai manfaat dukungan doula dan
konsep keperawatan Islami secara terpisah. Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai
profesi doula menurut perspektf kajian Islam.
Daftar Pustaka
Alimohammadi, N., Taleghani, F., Mohammadi, E., & Akbarian, R. (2013). Nursing in
Islamic thought: Reflection on application nursing metaparadigm concept: A
philosophical inquiry. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research , 18(4),
272–9.
Retrieved
from
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3872860&tool=pmcentre
z&rendertype=abstract
Arat, G. (2013). Doulas’ perceptions on single mothers' risk and protective factors, and
aspirations relative to child-birth. The Qualitative Report, 18(4), 1–11.
Campbell, D., Scott, K. D., Klaus, M. H., & Falk, M. (2007). Female relatives or friends
trained as labor doulas: Outcomes at 6 to 8 weeks postpartum. Birth, 34(3), 220–227.
doi:10.1111/j.1523-536X.2007.00174.x
Fulton, J. M. (1999). Doula Supported Childbirth : An Exploration of Maternal Sensitivity ,
Self-Efficacy , Responsivity , and Parental Attunement Diploma ( Mountainside
Hospital School of Nursing ) 1976 Approved :
Indriastuti, D., & Namuwali, D. (2015). Beneficial effects of doula support on pregnancy. In
Java International Conference.
Kathryn D. Scoot. (1999). the obstetrical and post partum benefits of continuous support
during childbirth. JOOURNAL OF WOMEN’S HEALTH & GENDERBASED
MEDICINE, 8.
Lumley, J., Austin, M.-P., & Mitchell, C. (2004). Intervening to reduce depression after birth:
a systematic review of the randomized trials. International Journal of Technology
Assessment in Health Care, 20(2), 128–144. doi:10.1017/S0266462304000911
Rassool, G. H. (2000). The crescent and Islam: healing, nursing and the spiritual dimension.
Some considerations towards an understanding of the Islamic perspectives on caring.
Journal of Advanced Nursing, 32(6), 1476–1484. doi:10.1046/j.13652648.2000.01614.x
Sadat, A., Hoseini, S., & Alhani, F. (2013). Sources : Seeking Remedy Search terms : Author
contact :, 24(3).
USIR. (2005). Evaluation Tool for “Mixed Methods” Study Designs The “mixed method”
evaluation tool was developed from the evaluation tools for “quantitative” and
“qualitative” studies,. Policy. Salford, Greater Manchester: University of Salford
Manchester. Retrieved from http://usir.salford.ac.uk/13070/
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
224
EFISIENSI BIAYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE ASSERTIVE
COMMUNITY TREATMENT PADA PASIEN DENGAN SKIZOFRENIA
DI PUSKESMAS : LITERATURE REVIEW
Diah Fitri Purwaningsih
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
Email : [email protected]
Abstrak
Latar Belakang. Skizofrenia adalah penyakit kejiwaan yang sangat rentan untuk kambuh. Hal yang
paling sering menyebabkan kekambuhan adalah kurangnya dukungan dari keluarga, masyarakat
sekitar, dan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mengurangi kekambuhan pasien
skizofrenia adalah dengan melakukan assertive community treatment dimana tim multidisiplin
memberikan pelayanan secara komprehensif dan fleksibel dengan pelayanan diberikan di tempat
tinggal pasien. Assertive community treatment dilakukan di masyarakat binaan dengan ratio paling
banyak 1 perawat 10 pasien.
Tujuan.meningkatkan efisiesi biaya dengan menggunakan metode assertive community treatment pada
pasien skizofrenia dengan melibatkan tim interdisiplin.
Metodologi.Literature review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan
penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan Google search. Penelusuran dengan metoda
boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “Skizofrenia” and “ Assertive Community
Treatment” and “Cost”.Metodologi yang digunakan dalam publikasi ilmiah dengan metoda kuantitatif,
kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat.
Hasil. Hasil penelusuran literatur menunjukan bahwa keterlibatan tim interdisiplin dalam mengurangi
kekambuhan pasien sangat besar. Assertive community treatment dapat menurukan biaya $ 4.529
rawat inap dan menurunkan 37% kekambuhan. Assertive community treatment dapat memberikan
perawatan komprehensif pada perawatan rawat jalan. Assertive community treatment memiliki rata-rata
biaya per-orang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding.
Kesimpulan. Dimana dengan menggunakan metode assertive community treatment tim interdisiplin
(dokter, psikiatri, perawat) untuk memberikan dukungan pada pasien dalam minum obar secara rutin
dan memberikan aktifitas positif pada pasien skizofrenia agar tetap dapat hidup berdampingan dengan
masyarakat yang lainnya.
Kata Kunci. efesiensi biaya, assertive community treatment, skizofrenia
Pendahuluan
Kesehatan merupakan keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan
tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Seseorang dikatakan sehat apabila seluruh
aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh, psikis, maupun sosial (Stuart
& Laraia, 2005). Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara
dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut
Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
225
dalam arti ketidak mampuan serta invalisasi baik secara individu maupun kelompok akan
menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efisien.
Didalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa
kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dari definisi
tersebut juga tersirat bahwa “Kesehatan Jiwa” merupakan bagian yang tidak terpisahkan
(integral) dari “Kesehatan” dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup
manusia yang utuh. (UU No 36 Tahun 2009)
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa
skizofrenia. seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality). Skizofrenia
merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi
(kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan)
(Maramis, 1994). Penderita Skizofrenia sering mengalami kekambuhan sehingga ia harus
menjalani perawatan dan pengobatan yang berulang/ keluar masuk rumah sakit jiwa. Banyak
faktor yang memicu terjadinya kekambuhan yaitu faktor lingkungan, keluarga, penyakit fisik,
maupun faktor dari dalam individu itu sendiri. Lingkungan dan keluarga mempunyai andil
yang besar dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita dengan gangguan jiwa,
oleh karena itu pemahaman keluarga mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan
lingkungan menerima penderita apa adanya dan memperlakukannya secara manusiawi dan
wajar merupakan hal yang mendasar dalam mencegah kekambuhan penderita.
Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan kemempuan tenaga kesehatan
di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk melakukan assertive community
treatmen dengan strategi turun langsung ke masyarakat dengan gangguan jiwa skizofrenia
untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah satunya untuk rutin mengkonsumsi
obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan
kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat meningkatkan efisiensi biaya. (Bramesfeld
et al., 2013). ACT dianggap sebagai salah satu pendekatan yang paling efektif untuk
memberikan layanan untuk orang dengan penyakit mental parah dan persisten (Rosenheck dan
Neale 1998a, b; Latimer 1999; Phillips et al. 2001)
Tujuan
a. Tujuan umum
Melakukan review efisiensi biaya dengan menggunakan metode assertive community
treatment pada pasien skizofrenia.
b. Tujuan khusus
1) Mengetahi peran tim interdisiplin dalam penanganan skizofrenia di masyarakat
2) Mengetahui pentingnya dukungan keluarga dalam meningkatkan kemandirian pasien
skizofrenia.
Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
226
3) Mengetahui pentingnya dukungan masyarakat dalam meningkatkan kemandirian pasien
skizofrenia
4) Mengetahui pentingnya metode assertive community treatment dalam efisiensi biaya
pada pasien skizotrenia.
Metoda
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi : Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif,
kuantitatif atau campuran pada tahun 2010-2015 dengan menggunakan bahasa ingris dan
full teks. Pemilihan sampel pada artikel adalah perawat dan atau pasien dengan skizofrenia
di masyarakat. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan assertive community
treatment. Dengan dampak yang ditimbulkan dari assertive community treatment adalah
efisiensi biaya.
2. Strategi Pencarian Literatur
Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan
penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American Journal Of Nursing
(AJN). Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci
“assertive community treatment” and “cost” and “skizofrenia”.
Hasil
Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif dan kuantitatif pada tiga jurnal
yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal EBSCO,
ProQuest, PubMed, BMC dan google search.
1. Kontribusi perawat dalam kesehatan jiwa di puskesmas
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu
hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin
hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai
antar sesama anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting.
Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu
rencana menjadi efektif. Kualitas hidup pasien dengan skizofrenia perlu ditingkatkan
dengan cara mentoring dari petugas kesehatan. (Zavradashvili et al., 2010)
2. Efisiensi biaya pada penggunaan metode assertive community treatment pada pasien
skizofrenia
Dalam penelitian oleh Erick dengan studi observasional menyebutkan bahwa perkiraan
fiscal pada tahun 2001 sampai denga 2004 terjadi peningkatan $ 4.529 dalam biaya VA tren
dalam penggunaan rawat inap, kemudian efek assertive community treatment tetap stabil
setelah tahun 2004 dimana dengan menggunakan assertive community treatment menurun
37%, karena lebih sedikit pasien dirawat dirumah sakit. (Slade, McCarthy, Valenstein,
Visnic, & Dixon, 2013). Timbal balik yang sama antara efektivitas biaya dan akses
mungkin terjadi dengan program perawatan kesehatan lainnya sumber daya intensif dan
hemat biaya, seperti Program All-In Perawatan untuk Lansia (PACE) (Eng et al 1997;.
Greenberg 2010; Gross et al. 2004). Studi ini menunjukkan bagaimana pengorbanan ini
dapat sistematis model yang mendukung dalam pengambilan keputusan antara keluarga
Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
227
pasien. penggunaan ACT dapat meingkatkan efektifitas biaya dalam pengobatan rawat inal
pasien, sehingga dapat digunakan dalam jangka panjang. Para peneliti meneliti efisiensi
dalam menggunakan model ACT layanan tanpa batas pada tingkat tinggi intensitas
ditetapkan dalam ACT Model.
Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran
capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya perorang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding. Biaya bersih per
orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya bersih kelompok
pembanding. Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001
sampai 2004, masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari $ 4.529 dalam VA
cost. (Slade et al., 2013). ACT dapat menurunkan efektifitas biaya 20% lebih rendah,
karena ACT melibatkan tim interdisiplin. (Rosen, Mueser, & Teesson, 2007). ACT untuk
pasien usia lanjut juga memiliki putus sekolah lebih sedikit dari pengobatan (18,8% dari
asertif pengobatan masyarakat untuk pasien usia lanjut dibandingkan 50% pasien TAU; x 2
(df = 1) = 6.75, p = 0,009). (Stobbe et al., 2014)
Dengan ACT kepuasan pasien meningkat, penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih
besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal
substansial, memiliki rata-rata biaya per-orang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari
kelompok pembanding. Dengan demikian, biaya bersih per orang untuk Alameda County
untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya bersih kelompok pembanding.(William, 2011)
Pembahasan
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu
hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin hendaknya
memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama
anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai
pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir dengan nalar
dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari anggota
tim. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan
kesehatan. Psikososial adalah bentuk praktek psiko-therapeutik dimana pengetahuan tentang
bio-psiko-sosial.
Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa antara lain:
a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik
profesional untuk pasien sakit jiwa
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional
Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
228
f. Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang lain.
Assertive community treatment adalah suatu program pelayanan kesehatan dengan pendekatan
tim multidisiplin yang memberikan pelayanan yang komprehensif dan fleksibel, dukungan dan
pelayanan rehabilitasi untuk individu dengan gangguan jiwa berat, dimana pelayanan
diberikan di lingkungan natural pasien, bukan dalam setting Rumah Sakit. (ACT Tools Kit,
2008)
Dalam Assertive Community Treatment tim multidisiplin bekerja bersama dalam suatu tim.
Tim Assertive Community Treatment berkolaborasi dalam memberikan terapi, rehabilitasi,
dan dukungan bagi tiap-tiap klien untuk menjalani kehidupan di masyarakat. Konsumen
adalah klien dari suatu tim, bukan klien dari salah satu anggota tim secara individual. Individu
dengan gangguan jiwa berat biasanya tidak mengalami perbaikan yang bermakna bila hanya
ditangani dengan pelayanan rawat jalan yang biasa. Tim Assertive Community Treatment
memberikan pelayanan kapanpun dan dimanapun dibutuhkan. Konsumen tidak perlu
mengikuti
Gambaran penting dari Assertive Community Treatment
a. Staf multidisiplin
Tim yang memberikan layanan Assertive Community Treatment terdiri dari berbagai
profesi yang saling bekerjasama memberikan layanan komprehensif untuk pasien dengan
gangguan jiwa berat.
b. Pelayanan yang terintegrasi Pelayanan dalam Assertive Community Treatment dilakukan
secara terintegrasi oleh sebuah tim, yang terdiri dari: - Terapi : terapi obat/medikasi,
perawatan kesehatan fisik, kontrol gejala - layanan rehabilitasi : aktivitas sehari-hari,
hubungan interpersonal - terapi penyalahgunaan zat - bantuan-bantuan praktis - layanan
sosial - layanan terhadap keluarga - layanan yang lain yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
c. Pendekatan tim Anggota Tim Assertive Community Treatment adalah para profesional di
bidang kesehatan jiwa dari berbagai profesi yang bekerja bersama-sama secara kolaboratif.
Masing-masing anggota tim mempunyai klien tetap yang ditangani, akan tetapi anggota tim
yang lain juga mengenal klien dari anggota tim yang lain dan siap
d. Rasio staf-klien rendah (1:10) Rasio staf dengan klien relatif kecil untuk menjamin layanan
yang adekuat untuk masing-masing klien. Rasio yang ideal adalah satu tenaga kesehatan
melayani 10 klien.
e. Tempat kontak di lingkungan pasien dengan kunjungan rumah (home visit) Semua anggota
tim Assertive Community Treatment melakukan kunjungan rumah terhadap klien.
Kunjungan dilakukan di lingkungan tempat tinggal pasien atau lingkungannya, seperti di
tempat kerja klien, bukan pertemuan di tempat pelayanan kesehatan. Penilaian yang
dilakukan di lingkungan kehidupan pasien sehari-hari akan memberikan hasil yang lebih
akurat tentang keadaan dan masalah yang dihadapi klien.
f. Medication management Prioritas utama dari Assertive Community Treatment adalah
pemberian pengobatan yang efektif, dengan penilaian yang adekuat tentang gejala yang
Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
229
g.
h.
i.
j.
k.
dialami pasien dan diagnosisnya, pemilihan obat yang rasional, dosis dan durasi terapi yang
adekuat, dan penatalaksanaan efek samping yang kemungkinan dialami.
Fokus pada masalah kehidupan sehari-hari Tim Assertive Community Treatment berfokus
pada aktivitas sehari-hari klien, tergantung dari kebutuhan pasien, seperti; rumah yang
aman, membuat rencana pertemuan, melakukan pembayaran dan berbelanja. Tim Assertive
Community Treatment juga membantu klien mendapatkan ketrampilan dalam lingkungan
tempat tinggalnya.
Akses yang cepat Tim Assertive Community Treatment memberikan respons yang cepat
terhadap masalah emergency yang dihadapi klien, sehingga bisa dikatakan bahwa tim
Assertive Community Treatment bekerja 24 jam sehari.
Assertive outreach Tim Assertive Community Treatment melakukan pendekatan pada klien
yang menolak untuk bekerjasama, dan tidak secara otomatis menghentikan pelayanan
terhadap klien yang menolak untuk bekerjasama.
Pelayanan bersifat individual Pelayanan dan dukungan yang diberikan kepada klien bersifat
individual untuk mengakomodasi kebutuhan dari klien dengan gangguan jiwa berat, yang
berada pada populasi yang heterogen.
Pelayanan tidak berbatas waktu Layanan yang diberikan kepada klien tetap diberikan
walaupun klien telah mengalami stabilisasi dari permasalahan yang dihadapi, baik
stabilisasi pengobatan, gejala, dan masalah dengan keluarga/lingkungannya
Menurut paham kesehatan jiwa seseorang dikatakan sakit apabila ia tidak mampu berfungsi
secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam penaganannya keikutsertaan peran
pekerja sosial medis di Rumah Sakit dan Puskesmas sangat berpengaruh terhadap proses
pengobatan yang harus dijalani pasien dan pembiayaan yang harus ditanggung keluarganya.
Secara garis besar peran pekerja sosial medis dalam penanganan pasien gangguan jiwa di
Rumah Sakit dan Puskesmas adalah sebagai berikut:
a. Inisiator; membantu seorang klien/pasien gangguan jiwa menyelesaikan persoalan karena
tidak dapat menerima keterbatasan yang disebabkan oleh penyakitnya.
b. Negosiator; membantu keluarga pasien/klien dalam hal pembiayaan pelayanan kesehatan
jiwa di Rumah Sakit atau Puskemas.
c. Advokasi; membantu mengemukakan persoalan yang dihadapi pasien/klien.
d. Pembicara; membantu keluarga pasien/klien dalam menyampaikan permasalahan kepada
pihak Rumah Sakit atau Puskesmas.
e. Organisator; mengorganisir tim penanganan secara psiko-sosial
Tim interdisiplin yang ada di Puskesmas diharapkan dapat mengatasi masalah kekambuhan
pasa pasien skizofrenia. Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan
kemempuan tenaga kesehatan di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk
melakukan assertive community treatmen dengan strategi turun langsung ke masyarakat
dengan gangguan jiwa skizofrenia untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah
satunya untuk rutin mengkonsumsi obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga
kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat
meningkatkan efisiensi biaya.
Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
230
Judul
Cost Savings from Assertive Community Treatment
Services in an Era of Declining Psychiatric Inpatient Use
(Eric P. Slade, John F. McCarthy, Marcia Valenstein,
Stephanie Visnic, and Lisa B. Dixon 2013)
The effectiveness of assertive community treatment for
elderly patients with severe mental illness: a randomized
controlled trial
(Jolanda Stobbe ([email protected])
André I Wierdsma ([email protected]) Rob M
Kok
([email protected])
Hans
Kroon
([email protected])
Bert-Jan
Roosenschoon
([email protected])
Marja
Depla
([email protected])
Cornelis L Mulder ([email protected])
Cost-Effectiveness Of A Capitated Assertive Community
Treatment Program
(Chandler, Daniel, Spicer, Gary, Wagner, Marti,
Hargreaves, William 2011)
Pera Perawat sala
Hasil
Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001 sampai 2004,
masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari $ 4.529.Tren penggunaan rawat inap
yang akan datang menyarankan untuk menggunakan assertive community treatment (ACT).
Efek rogram ini tetap stabil setelah 2004. Dimana kelayakan untuk assertive community
treatment (ACT) menurun 37 persen, karena lebih sedikit pasien yang dirawat di Rumah
Sakit
Dari 62 pasien yang diacak, 26 hilang untuk menindaklanjuti (10 pasien di ACT untuk
pasien lansia dan 16 di TAU). Sehubungan dengan pasien dengan TAU, lebih banyak pasien
yang dialokasikan untuk ACT memiliki kontak pertama dalam waktu tiga bulan (96,9 vs
66,7%; X 2 (df = 1) = 9,68, p = 0,002). ACT untuk pasien usia lanjut juga memiliki putus
sekolah lebih sedikit dari pengobatan (18,8% dari asertif pengobatan masyarakat untuk
pasien usia lanjut dibandingkan 50% pasien TAU; x 2 (df = 1) = 6.75, p = 0,009). Tidak ada
perbedaan dalam variabel hasil primer dan sekunder lainnya. Kesimpulan bahwa ada
dampak positing dalam menerapkan metode assertive community treatment (ACT) terhadap
perawatan lansia dengan gangguan mental berat
Hipotesis penelitian adalah bahwa dengan langkah tim mendukung orang-orang yang
dinyatakan akan di fasilitas subakut jangka panjang dapat dipertahankan dalam masyarakat.
Skor pada skala kepuasan klien berkisar dari 1,0 (paling puas) untuk 4.0. Kelompok
pembanding yang non-signifikan lebih puas (perbandingan rata-rata = 2.19, SD = 0,839;
demonstrasi berarti = 2,34, SD = 0,847; t = -0,647, df = 52, p </ = 0,521; efek ukuran =
0,179 )
Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran
capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya perorang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding. Dengan demikian,
biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya
bersih kelompok pembanding.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
231
Kesimpulan
Penelusuran literatur menunjukan pentingnya interdisiplin dalam memberikan assertive
community treatment dalam meminimalkan biaya yang dikeluarkan dalam perawatan di
Rumah Sakit pada pasien skizofrenia. Karena dengan melakukan assertive community
treatment tim interdisiplin berhubungan langsung dengan keluarga pasien dan masyarakat
untuk memberiukan dukungan pada pasien agar tetap dapat hidup berdampingan dengan
masyarakat yang lainnya. Hal ini bisa digunakan untuk acuan penelitian yang lainnya
dalam hal efektifitas biaya yang ditimbulkan dari assertive community treatment tetapi
tidak hanya pada pasien skizofrenia melainkan pada pasien gangguan mental yang lainnya.
Daftar Pustaka
Bramesfeld, A., Moock, J., Kopke, K., Büchtemann, D., Kästner, D., Radisch, J., &
Rössler, W. (2013). Effectiveness and efficiency of assertive outreach for
Schizophrenia in Germany: study protocol on a pragmatic quasi-experimental
controlled trial. BMC Psychiatry, 13, 56. http://doi.org/10.1186/1471-244X-13-56
Eng, C., J. Pedulla, G. P. Eleazer, R. McCann, and N. Fox. 1997. “Program of Allinclusive Care for the Elderly (PACE): An Innovative Model of Integrated
Geriatric Care and Financing.” Journal of the American Geriatrics Society 45 (2):
223.
Greenberg, G., and R. Rosenheck. 2010. Department of Veterans Affairs National Mental
Health Program Performance Monitoring System: Fiscal Year 2009 Report.West
Haven, CT: Northeast ProgramEvaluation Center, VA ConnecticutHealthcare
System.
Gross, D. L., H. Temkin-Greener, S. Kunitz, and D. B. Mukamel. 2004. “The Growing
Pains of Integrated Health Care for the Elderly: Lessons from the Expansion of
PACE.” Milbank Quarterly June 82 (2): 257–82.
Maramis, W.F. (1994). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press
Phillips, S. D., B. J. Burns, E. R. Edgar, K. T. Mueser, K.W. Linkins, R. A. Rosenheck, R.
E. Drake, and E. C. McDonel Herr. 2001. “Moving Assertive Community
Treatment into Standard Practice.” Psychiatric Services 52 (6): 771–9.
Rosenheck, R., and M. Neale. 1998a. “Intersite Variation in the Impact of Intensive
Psychiatric Community Care on Hospital Use.” American Journal of
Orthopsychiatry 68 (2): 191–200.
Rosenheck, R. A., and M. S. Neale. 1998b. “Cost-Effectiveness of Intensive Psychiatric
Community Care for High Users of Inpatient Services.” Archives of General
Psychiatry 55: 459–66.
Stuart & Laraia. (2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5 . Jakarta: EGC
Latimer, E.A. 1999. “Economic Impacts of Assertive Community Treatment: A Review of
the Literature.” Canadian Journal of Psychiatry 44 (5): 443–54.
Rosen, A., Mueser, K. T., & Teesson, M. (2007). Assertive community treatmentIssues
from scientific and clinical literature with implications for practice. The Journal of
Rehabilitation
Research
and
Development,
44(6),
813.
http://doi.org/10.1682/JRRD.2006.09.0110
Slade, E. P., McCarthy, J. F., Valenstein, M., Visnic, S., & Dixon, L. B. (2013). Cost
Savings from Assertive Community Treatment Services in an Era of Declining
Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
232
Psychiatric Inpatient Use. Health Services Research, 48(1), 195–217.
http://doi.org/10.1111/j.1475-6773.2012.01420.x
Slade M, Beck A, Bindman J, Thornicroft G, Wright S: Routine clinical outcome measures
for patients with severe mental illness: CANSAS and HONOS. Br J Psychiatry
1999, 174:404–408
Stobbe, J., Wierdsma, A. I., Kok, R. M., Kroon, H., Roosenschoon, B.-J., Depla, M., &
Mulder, C. L. (2014). The effectiveness of assertive community treatment for
elderly patients with severe mental illness: a randomized controlled trial. BMC
Psychiatry, 14, 42. http://doi.org/10.1186/1471-244X-14-42
UU No 36 Tahun 2009
Zavradashvili, N., Donisi, V., Grigoletti, L., Pertile, R., Gelashvili, K., Eliashvili, M., &
Amaddeo, F. (2010). Is the implementation of assertive community treatment in a
low-income country feasible? The experience of Tbilisi, Georgia. Social Psychiatry
and Psychiatric Epidemiology, 45(8), 779–83. http://doi.org/10.1007/s00127-0090125-2
Pera Perawat sala
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015
233
GAMBARAN TINGKAT RISIKO JATUH PADA LANSIA
DI PANTI WREDHA
Rinda Winandita 1, Rita Hadi Widyastuti2
1
Mahasiswa Jurusan Keperawatan, fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,
email: [email protected]
2
Staf Pengajar Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas, Jurusan
Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,
email : [email protected]
Abstract
Latar Belakang. Jatuh merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia
dan dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Risiko jatuh dapat dinilai berdasarkan faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik seperti usia, penyakit yang diderita, psikologis dan
pengobatan sedangkan, faktor ekstrinsik seperti tersandung, lantai licin dan penerangan kurang.
Jatuh pada lansia dapat mengakibatkan cedera fisik ringan, berat bahkan komplikasi yang
mengakibatkan kematian, rasa takut jatuh kembali, tidak percaya diri dan pengeluaran biaya untuk
berobat.
Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti
Wredha.
Metoda. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif dengan pendekatan survei. Pengambilan
sampel menggunakan teknik Total Sampling dengan responden sebanyak 177 lansia. Pengambilan
data menggunakan pengkajian Morse Fall Scale.
Hasil. Hasil penelitian menunjukan 77 lansia (43,5%) memiliki risiko jatuh yang tinggi, 60 lansia
(33,9%) risiko rendah dan 40 lansia (22,6%) tidak berisiko.
Kesimpulan. Identifikasi terhadap tingkat risiko jatuh pada lansia perlu dilakukan agar kejadian
jatuh dapat diantisipasi. Saran dari penelitian ini diharapkan pengasuh lansia dapat lebih
memperhatikan kondisi biologis dan psikologis dari lansia yang menyebabkan jatuh.
Kata kunci : Risiko Jatuh, Lansia, Morse Fall Scale
Pendahuluan
Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terusmenerus dan berkesinambungan. Selanjutnya, akan menyebabkan perubahan anatomis,
fisiologi dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi tubuh dan
kemampuan tubuh secara keseluruhan (Michael and Mehmet, 2009). Pada UU No. 13
Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa batasan umur yang masuk dalam kategori
lansia adalah seorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Di Indonesia hasil
sensus penduduk tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia
termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yaitu
18,1 juta pada tahun 2010. Daerah Kota Semarang berdasarkan data BPS Kota Semarang
tahun 2013, penduduk lansia laki-laki dan perempuan berjumlah 111.103 lansia dari total
seluruh penduduk di Kota Semarang (BPS, 2013)
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
234
Banyaknya jumlah lansia di satu sisi dapat menunjukkan meningkatnya harapan hidup dan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun di sisi lain, hal tersebut menjadi
suatu permasalahan mengingat lansia mengalami proses penuaan seperti perubahan
anatomi/fisiologi, berbagai penyakit sebagai akibat penuaan, serta pengaruh psikologis
pada fungsi organ (Kris dan Hadi, 2009). Masalah kesehatan utama yang timbul pada
lansia diantaranya yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak
stabil atau jatuh), intellectual impairment (gangguan intelektual atau demensia),
impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalesscence, skin
integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan dan kulit), isolation (depresi),
incontinence (beser buang air kecil atau buang air besar), infection (infeksi), impaction
(sulit buang air besar), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh
menurun), impotence (impotensi), inanition (kurang gizi), impecunity (tidak punya uang)
dan iatrogenesis (penyakit akibat obat-obatan) (Nugroho, 2008). Instability yaitu masalah
yang terjadi pada lansia berupa berdiri dan berjalan tidak stabil atau jatuh. Sedangkan,
jatuh adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang menyebabkan seseorang berada di
tempat lebih rendah seperti lantai atau tanah (Tamher dan Noorkasiani, 2009).
Sekitar 30-50% dari populasi lanjut usia yang berusia 65 tahun ke atas mengalami jatuh
setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Pada lanjut usia di
atas 80 tahun, sekitar 50% pernah mengalami jatuh. Walaupun tidak semua kejadian jatuh
mengakibatkan luka atau memerlukan perawatan, tetapi kejadian luka akibat jatuh pun juga
meningkat terutama pada usia diatas 85 tahun (Pangkahila, 2007). Dampak terjadinya jatuh
pada lansia dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek biologis beberapa lansia yang
pernah jatuh sekitar 5% mengalami perlukaan jaringan lunak dan sekitar 5% mengalami
fraktur. Kemudian, dari aspek psikologis pada lansia yang mengalami jatuh akan muncul
rasa tidak percaya diri dan takut mengalami kejadian jatuh kembali. Rasa takut jatuh sering
juga dikaitkan dengan depresi dan isolasi sosial. Dari aspek ekonomi, lansia yang
mengalami jatuh maupun keluarga lansia membutuhkan biaya untuk pengobatan apabila
kejadian jatuh pada lansia menimbulkan masalah yang serius pada kesehatan lansia
(Miller, 1995).
Salah satu upaya untuk mengidentifikasi risiko jatuh pada lansia adalah dengan cara
melakukan pengkajian dan penilaian terhadap gaya berjalan, riwayat jatuh maupun riwayat
penyakit yang diderita. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia
yang dikarenakan berbagai faktor (Tamher dan Noorkasani, 2009). Tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di
Panti Wredha.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti
Wredha.
Metoda
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif non eksperimental dengan jenis
penelitian deskriptif dan menggunakan metode survei. Populasi dalam penelitian ini
seluruh lansia yang tinggal di Panti Wredha Pucang Gading, PELKRIS (Elim) dan Harapan
Ibu Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 177 lansia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
235
Hasil
1. Data Karakteristik Responden
Diagram 1 Karakteristik Responden di
Panti Wredha Semarang Berdasarkan
Jenis Kelamin, Mei 2015 (n=177)
200
146
100
Jenis Kelamin
31
0
Laki-laki
Perempuan
Diagram 1 menunjukan bahwa lebih dari setengah responden berjenis kelamin
perempuan yaitu sebanyak 146 lansia (82,5%).
Diagram 2 Karakteristik Responden di
Panti Wredha Semarang Berdasarkan
Usia, Mei 2015 (n=177)
150
100
50
0
110
57
10
Usia
Lanjut Usia Lanjut Usia Tua Lanjut Usia
Sangat Tua
Diagram 2 menunjukan data terbanyak responden penelitian tergolong pada lanjut
usia tua yaitu sebanyak 110 responden (62,1%) dengan kisaran umur 75-90 tahun.
Diagram 3 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang
Berdasarkan Lama Tinggal, Mei 2015 (n=177)
30
24
22
16
13
12
6
6
3 4
3
2 4
8
4 4
7
1 2 1 1 2
Lama Tinggal
1 1
1 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
7 bulan
1 tahun
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
6 tahun
7 tahun
8 tahun
10 tahun
12 tahun
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
20 tahun
29 tahun
30 tahun
35
30
25
20
15
10
5
0
Diagram 3 menunjukan data lama tinggal responden sebanyak 30 lansia (16,9%) telah
tinggal di panti selama 2 tahun.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
236
Diagram 4 Karakteristik Responden di Panti Wredha Kota
Semarang Berdasarkan Riwayat Penyakit, Mei 2015 (n=177)
80
60
40
20
0
72
47
27
21
6
3
5
3
10
1
5
Riwayat Penyakit
Diagram 4 menunjukan riwayat penyakit yang paling banyak responden yaitu hipertensi
dengan penderita sebanyak 47 lansia (26,6%).
2. Gambaran Tingkat Risiko Jatuh
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Tingkat Risiko Jatuh Responden di Panti Wredha
Kota Semarang, Mei 2015 (n=177)
Tingkat Risiko Jatuh
Frekuensi
Prosentase (%)
Tidak Berisiko
40
22,6
Risiko Rendah
60
33,9
Risiko Tinggi
77
43,5
Jumlah
177
100
Berdasarkan tabel 5 menunjukan bahwa mayoritas responden memiliki risiko
jatuh tinggi yaitu sebanyak 77 lansia (43,5%).
Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan
yaitu sebanyak 146 lansia (82,5%). Jumlah lansia perempuan yang lebih tinggi
daripada jumlah lansia laki-laki sesuai dengan usia harapan hidup perempuan yang
lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kementrian Kesehatan menyatakan pada tahun
2013 rata-rata usia harapan hidup yaitu 72,7 tahun untuk perempuan dan 68,4 tahun
untuk laki-laki (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Hasil penelitian ini juga
menunjukan risiko jatuh tinggi sebesar 37,3 % atau 66 lansia perempuan dan 6,2%
atau 11 lansia laki-laki. Kejadian jatuh lebih banyak terjadi pada lansia perempuan
juga disebabkan karena penurunan hormon estrogen pada lansia post menopouse.
Berkurangnya hormon estrogen dapat menyebabkan tulang kehilangan kalsium dan
metabolisme serta absorbsi nutrien menjadi kurang efektif (Mauk, 2010). Kejadian
jatuh pada lansia perempuan lebih banyak terjadi juga dikarenakan berkurangnya
kekuatan otot pada ekstremitas bawah pada lansia perempuan dan kurangnya
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
237
kemampuan lansia perempuan dalam mengembalikan stabilitas tubuh (Lord, 2007).
Hal tersebut didukung oleh penelitian Yuna Ariawan (2011) menunjukan dari 52
responden lansia terdapat prevalensi kejadian jatuh sebesar 17,3% atau 9 lansia dan 6
lansia (67%) diantaranya wanita dan 3 lansia (33%) sisanya laki-laki (Ariawan, 2011).
Data usia responden menunjukan hasil bahwa sebagian besar responden masuk dalam
kategori lanjut usia tua yaitu usia 75-90 tahun sebanyak 110 lansia (62,1%).
Keseimbangan berkurang seiring bertambahya usia karena perubahan yang terjadi
pada lansia. Semakin tinggi usia seseorang akan lebih berisiko mengalami masalah
kesehatan karena adanya faktor-faktor penuaan lansia dan akan mengalami perubahan
baik dari segi fisik, ekonomi, psikososial, kognitif dan spiritual (Sihvonen,2004).
Risiko jatuh juga meningkat dari 25% pada usia 70 tahun menjadi 35% setelah berusia
lebih dari 75 tahun (Stanley, 2006). Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Setyo
Harsoyo (2012) menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat usia dengan risiko
jatuh pada lansia dengan p-value 0,00 (Harsoyo, 2012).
Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden telah tinggal di panti selama
lebih dari 1 tahun. Lansia yang tinggal di panti selama kurang lebih 1 tahun sebanyak
24 lansia (13,6%), 2 tahun sebanyak 30 lansia (16,9%) dan 3 tahun sebanyak 22 lansia
(12,4%). Peneliti mengobservasi bahwa lansia yang telah lama tinggal di panti telah
mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta mereka mampu beradaptasi
dengan tenaga caregiver di panti. Lansia yang telah mampu beradaptasi dengan
lingkungan maupun sosial di panti lebih dapat menempatkan dirinya agar lebih
berhati-hati dalam beraktivitas (Hana dan Ismail, 2009).
Hasil penelitian menunjukan dari keseluruhan lansia yang menderita hipertensi yaitu
sebanyak 47 lansia (40,7%). Riwayat penyakit yang diderita lansia dapat
meningkatkan risiko jatuh pada lansia seperti gangguan kardiovaskuler, persarafan,
penglihatan, psikologi, muskuloskeletal dan lain-lain (Stanley, 2006). Prevalensi
hipertensi akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Terjadinya hipertensi
pada lansia disebabkan oleh menurunya elastisitas dinding aorta, katub jantung
menebal dan menjadi kaku dan kemampuan jantung untuk memompa darah menurun
1% setiap tahun setelah berumur 20 tahun (Xiaohua, 2012). Hasil penelitian Anne
Ambrose (2013) menyatakan bahwa keseimbangan dan gaya berjalan berhubungan
dengan tekanan darah dan detak jantung. Hal tersebut sejalan dengan dengan
penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat risiko jatuh tinggi dimiliki oleh
penderita hipertensi sebanyak 11,9% atau 21 lansia.
2. Tingkat Risiko Jatuh
Penelitian ini menunjukan bahwa tingkat risiko jatuh responden mayoritas
menggambarkan tingkat risiko jatuh tinggi yaitu sebanyak 77 lansia (43,5%)
sedangkan, sebesar 33,9% atau 60 lansia memiliki tingkat risiko jatuh rendah dan
sebanyak 40 lansia (22,6%) tidak memiliki risiko jatuh. Jatuh yang terjadi pada lansia
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik
adalah faktor penyebab jatuh yang berasal dari diri lansia sendiri seperti penglihatan
buram, kekuatan otot ekstrmitas berkurang dan lain-lain sedangkan, faktor ekstrinsik
adalah faktor lingkungan (Nugroho, 2008).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
238
Pada penelitian ini sebagaian besar lansia yang tinggal di panti memiliki gangguan
kesehatan dan beberapa diantaranya menggunakan alat bantu berjalan seperti tongkat,
walker, kursi roda maupun berpegangan pada benda di sekitar untuk membantu para
lansia ketika beraktivitas. Penggunaan alat bantu dapat menjadi faktor risiko jatuh
yang berbeda pada lansia. Hasil penelitian menunjukan sebanyak 42 lansia (23,7%)
menggunakan alat bantu kruk/tongkat/walker dan sebanyak 78 lansia (44,1%) memilih
untuk berpegangan pada benda sekitar saat berjalan. Risiko jatuh lebih tinggi dimiliki
oleh lansia yang berpegangan pada benda disekitar saat berjalan dibanding dengan
lansia yang menggunakan alat bantu. Berdasarkan observasi peneliti lansia yang
memilih untuk berpegangan dengan benda disekitar lebih memiliki risiko jatuh karena
ada beberapa benda yang belum diketahui tingkat keamanannya bagi lansia. Selain
kondisi lingkungan, status mental pada lansia juga perlu diperhatikan karena lansia
rentan mengalami depresi. Depresi dapat membuat lansia kurang aktif bersosialisasi
sehingga kurang beraktivitas. Aktivitas yang kurang dapat mengakibatkan otot
menjadi kaku (Tamher dan Noorkasiani, 2009).
Status mental dan emosional pada lansia mempengaruhi kesadaran, penilaian gaya
berjalan, keseimbangan dan proses informasi yang diperlukan untuk mobilisasi atau
berpindah secara aman. Perilaku dan kemampuan kognitif juga dapat mempengaruhi
risiko jatuh seseorang dan kemungkinan penyebab jatuh (Stanley, 2006). Berdasarkan
penelitian ini dari 177 responden terdapat 38 lansia (21,5%) mengalami keterbatasan
daya ingat atau tidak dapat mengungkapkan tentang kondisi dirinya dan beberapa
diantaranya pernah mengalami jatuh. Hasil penelitian dari Nasution Zulkarnaen (2014)
menyatakan bahwa adanya hubungan antara keadaan status mental dengan
meningkatnya risiko jatuh (p=0,002). Seiring lanjutnya usia seseorang didapatkan
penurunan yang kontinyu dalam kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi
baru serta kecepatan bereaksi terhadap stimuls sederhana maupun kompleks .
Perubahan status mental pada lansia yang berupa berkurangnya kontrol sistem saraf
pusat dapat menurunkan persepsi dan sensori, kesadaran atau perhatian yang
mengakibatkan lansia kesulitan terlambat dalam mengantisipasi kejadian yang tibatiba, yang akan memudahkan lansia terjatuh (Zulkarnaen, 2014).
Kesimpulan
Hasil peneitian didapatkan jenis kelamin responden dalam penelitian ini yaitu sebagian
besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 146 lansia (82,5%), usia responden
sebagian besar masuk dalam kategori lanjut usia tua kisaran umur 75-90 tahun sebanyak
110 lansia (62,1%), riwayat penyakit hipertensi adalah salah satu penyakit yang diderita
oleh mayoritas responden yaitu sebanyak 47 lansia (40,7%) dan mayoritas responden
tinggal di panti selama kurang lebih 2 tahun yaitu sebanyak 30 lansia (16,9%).
Gambaran tingkat risiko jatuh responden yakni sebagian besar menggambarkan tingkat
risiko jatuh tinggi sebanyak 77 lansia (43,5%) sedangkan, sebesar 33,9% atau 60 lansia
memiliki tingkat risiko jatuh rendah dan 40 lansia (22,6%) tidak berisiko. Kejadian jatuh
memiliki dampak negatif dan serius bagi lansia baik untuk kesehatan dan kualitas hidup
lansia. Pihak Panti Wredha perlu menginstrusikan kepada para pengasuh lansia untuk
melakukan langkah-langkah pencegahan jatuh. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi
Panti Wredha dalam menilai risiko jatuh dan mengurangi kejadian jatuh serta cedera pada
lansia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
239
Daftar Pustaka
Ambrose AF. Risk Factors for Falls Among Older Adults: A riview of the literature.
Elsevier Matur. 2013;75(1):51–61.
Ariawan Y et al. Hubungan Antara Activities Specific Balance Confidence Scale Dengan
Umur Dan Falls Pada Lansia Di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar. J
Penyakit Dalam. 2011;12(1).
Badan Pusat Statistik Kota Semarang . 2013 . Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
di Kota Semarang. Diakses pada 15 Maret 2015 di http://semarangkota.bps.go.id/
Hadi dan Kris . 2009 . Buku Ajar Boedhi - Darmojo Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Hana dan Ismail . 2009 . Memahami Krisis Lanjut Usia: Uraian Medis dan PedagogisPastoral. Jakarta: Gunung Mulia
Kementrian Kesehatan RI . 2013 . Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta:
Bakti Husada
Lord et al. Epidemiology of Falls and Fall-Related Injuries in: fall in Older People: Risk
Factors and Strategies for Prevention. Cambridge Univ Press. 2007;3–5.
Mauk K . 2010 . Gerontological Nursing: Competencies for Care. 2nd ed. Sudbury,
Masschusetts: Jones and Bartlett Publisher
Michael and Mehmet. 2009. Staying Young : Jurus Menyiasati Kerja Gen Agar Muda
Sepanjang Hidup. Bandung: Qanita
Miller CA . 1995 . Nursing Care Of Older Adult . : Philadelphia: J.B. Lippincott Company
Zulkarnaen, N . 2014. Hubungan Status Mental Dengan Risiko Jatuh Pada Lansia.
Universitas Darma Agung
Nugroho, W. 2008 . Keperawatan Gerontik dan Geriatik Ed.3 . Jakarta: EGC
Pangkahila W. 2007 . Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Jakarta:
Kompas
Setyo H. Hubungan antara Usia dan Resiko Jatuh Pada Lansia di Posyandu Lansia RW 09
Kalirejo Wilayah Kerja Puskesmas Lawang. Poltekes Kemenkes Malang; 2012.
Sihvonen S. 2004. Postural Balance and Aging. Finland: University Of Jyvaskyla
Stanley M. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Ed. 2. Jakarta: EGC
Tamher dan Noorkasani . 2009 . Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Xiaohua . 2012 . Risk Factors For Accidential Falls in the Elderly and Intervention
Strategy. J Med Coll PLA 27. 299–305.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2 015
240
PELAKSANAAN PROGRAM ANTENATAL CARE OLEH PERAWAT
PADA IBU HAMIL
Muchammad Nurkharistna Al Jihad
[email protected]
Abstrak
Latar Belakang. Kualitas pelayanan antenatal merupakan faktor penentu penting dari kesehatan ibu.
Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui Antenatal Care antara petugas kesehatan yaitu perawat yang
baik berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan ibu hamil.
Metoda. Desain artikel ilmiah ini menggunakan sistematik review. Tipe study dalam artikel ini adalah
deskriptif yang berusaha menggambarkan, menjelaskan dan menafsirkan kondisi saat ini. Data yang
didapatkan dari kebiasaan atau perilaku seseorang untuk memahami mengapa dan bagaimana
keputusan dibuat.
Hasil. Hasil kajian perempuan yang menghadiri layanan perawatan antenatal Usia rata-rata
perempuan adalah 25 tahun penelitian, 9% di bawah 18 tahun, dan 8% lebih dari 33 tahun. Perawat
perlu melakukan berbagai kegiatan penyediaan pelayanan antenatal termasuk anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penyelidikan laboratorium.Ibu hamil yang memanfaatkan palayanan antenatal care masih
belum maksimal.
Kesimpulan. Temuan penelitian ini berkelanjutan dari standar perawatan kualitas dan perbaikan lebih
lanjut yang ada dalam profesi keperawatan dan pelayanan keperawatan.Penelitian ini mungkin
memiliki implikasi untuk beberapa bidang program keperawatan termasuk: praktik keperawatan,
pendidikan keperawatan, dan penelitian keperawatan untuk perbaikan lebih lanjut layanan perawatan
antenatal.
Kata kunci: antenatal care, ibu hamil, perawat
Pendahuluan
Indonesia berkomitmen untuk mencapai tujuan MDGs, khususnya menurunkan AKI dari 359
menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup, tujuan ini diharapkan tercapai di tahun menurun di
tahun 2015. Kota Semarang sebagai Ibu Kota Jawa Tengah menjadi kota yang ikut serta
menyumbangkan angka kematian ibu sebanyak 29 kasus pada tahun 2013 (Sumber: DKK
Kota Semarang). Data deskriptif dari 2007 Indonesia Demografis dan Survei Kesehatan
(SDKI) telah menunjukkan bahwa, seperti di lain negara-negara berkembang, pelayanan
antenatal di Indonesia masih kurang dimanfaatkan. Sekitar 95% dari ibu hamil di Indonesia
sekurang-kurangnya satu kunjungan pemeriksaan kehamilan, namun hanya 66% dari
perempuan memiliki empat kunjungan antenatal seperti yang direkomendasikan, yang lebih
rendah dari target nasional dari 90% wanita memiliki setidaknya empat kunjungan antenatal
care.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah salah satu pointnya adalah dalam
peningkatan kualitas antenatalcare yaitu penggunaan Buku KIA pada ibu hamil, pelayanan
antenatal terpadu di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat dasar dan rujukan, pencegahan dan
penanganan malaria pada kehamilan, pencegahan dan penanganan anemia pada kehamilan,
pencegahan dan penanganan Kurang Energi Kronis (KEK) pada kehamilan, pelaksanaan
Kelas Ibu Hamil, prevention of Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
241
Pelayanan antenatal care penting bagi ibu hamil untuk mempersiapkan kelahiran dengan baik.
Menurut Depkes RI (2010), pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan terlatih untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan. Pengertian
antenatal care adalah perawatan kehamilan.Pelayanan perawatan kehamilan merupakan
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan
standar pelayanan antenatal care yang sudah ditetapkan. Sedangkan tujuan pelaksanaan
pelayanan antenatal antara lain memantau kemajuan kehamilan serta memastikan kesehatan
ibu dan tumbuh kembang bayi, meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental
dan sosial ibu serta janin, mengenali secara dini kelainan atau komplikasi yang mungkin
terjadi selama hamil, mempersiapkan persalinan cukup bulan; melahirkan dengan selamat
dan mengurangi sekecil mungkin terjadinya trauma pada ibu dan bayi, mempersiapkan ibu
untuk menjalani masa nifas dan mempersiapkan pemberian asi eksklusif, mempersiapkan
peran ibu dan keluarga untuk menerima kelahiran dan tumbuh kembang bayi.
Pelayanan antenatal yang berkualitas dapat mandeteksi terjadinya risiko pada kehamilan yaitu
mendapatkan akses perawatan kehamilan berkualitas, memperoleh kesempatan dalam deteksi
secara dini terhadap komplikasi yang mungkin timbul sehingga kematian maternal dapat
dihindari (Mufdlilah, 2009).Dari sini kita perlu mengetahui bagaimana kualitas antenatal care
yang dilakukan, terutama peran perawat dalam melakukan pelayanan antenatal care.Kualitas
pelayanan antenatal diberikan selama masa hamil secara berkala sesuai dengan pedoman
pelayanan antenatal yang telah ditentukan untuk memelihara serta meningkatkan kesehatan
ibu selama hamil jika sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat menyelesaikan kehamilan
dengan baik dan melahirkan bayi yang sehat.Apakah kualitas pelayanan antenatalcare yang
dilakukan oleh perawat berhubungan dengan kunjungan pemeriksaan ibu hamil.
Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui Antenatal Care antara petugas kesehatan yaitu perawat yang baik berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan dengan ibu hamil
Tujuan Khusus
1.
2.
3.
4.
Memahami karakteristik dan hambatan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan
Antenatal Care
Mengetahui tindakan keperawatan terkait pemeriksaan Antenatal Care
Mengetahui kualitas fasilitas kesehatan terkait layanan Antenatal Care
Mengetahui hasil ibu hamil yang memanfaatkan layanan Antenatal Care
Metoda
Design artikel ilmiah ini menggunakan sistematik review. Review sistematik adalah sebuah
sintesis dari studi-studi penelitian primer yang menyajikan suatu topik tertentu dengan
formulasi pertanyaan klinis yang spesifik dan jelas, metode pencarian yang eksplisit dan
reprodusibel, melibatkan proses telaah kritis dalam pemilihan studi, serta
mengkomunikasikan hasil dan implikasinya1. Tipe study dalam artikel ini adalah deskriptif.
descriptive study : Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan, menjelaskan dan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
242
menafsirkan kondisi saat ini. Data yang didapatkan dari kebiasaan atau perilaku seseorang
untuk memahami kenapa dan bagaimana keputusan dibuat. Tujuan dari penelitian deskriptif
adalah untuk menguji fenomena yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu. Sebuah
penelitian deskriptif berkaitan dengan kondisi, praktik, struktur, perbedaan atau hubungan
yang ada, pendapat diadakan, proses yang terjadi atau kecenderungan yang jelas sedangkan
tujuan Penelitian kualitatif untuk meningkatkan pengetahuan melalui pemahaman dan
penemuan untuk mengidentifikasi hubungan satu variabel dengan variabel lain serta untuk
menjelaskan atau menginterpretasikan fenomena yang dikaji.
Kriteria inklusi untuk mengontrol mengacaukan variabel yang dapat menyebabkan persepsi
yang berbeda untuk perawat adalah: (1) paling sedikit diploma dalam kebidanan, (2) bekerja
minimal 3 bulan di perawatan antenatal, dan (3) bekerja di antenatal peduli keluar
departemen pasien untuk memberikan teknis dan perawatan interpersonal, dan tugas ini
menjabat di lingkungan lain dalam tahun ini. Kriteria inklusi untuk hamil perempuan: (1)
kehamilan normal, (2) usia kehamilan ≥ 28 minggu, dan (3) kunjungan ke klinik antenatal
setidaknya sekali. Pada beberapa jurnal yang diambil diukur persepsi perawat dan ibu
hamil.kualitas layanan Antenatal care yang dinilai melalui checklist, dan proses atribut,
termasuk interpersonal dan aspek teknis, melalui observasi dan wawancara
langsung. Pengambilan jurnal yang ada menggunakan critical appraisal. Telaah kritis
(critical appraisal) adalah suatu proses yang secara teliti dan sistematis mengevaluasi
penelitian untuk memutuskan tingkat kepercayaan, nilai, serta relevansinya dalam suatu
konteks tertentu2. Dengan kata lain, telaah kritis merupakan suatu proses mengevaluasi dan
menginterpretasikan suatu evidence secara sistematis dengan mempertimbangkan validitas,
hasil, dan relevansinya. Sedangkan, praktik berbasis bukti merupakan integrasi dari bukti
penelitian terbaik (best research evidence) dengan keahlian klinis (clinical expertise) dan
nilai-nilai serta preferensi pasien (patient values and preferences)3.
Hasil
1. Memahami karakteristik dan hambatan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan Antenatal
Care
Perempuan yang mengunjungi layanan perawatan antenatal 9% berusia di bawah 18
tahun, dan 8% lebih dari 33 tahun. Untuk 31% dari perempuan itu kehamilan pertama
mereka. Untuk 12% dari wanita yang observasi dan wawancara keluar dilakukan selama
mereka kunjungan pertama ke layanan kesehatan, dan 17% selama kedua kunjungi. Para
wanita yang tersisa menghadiri untuk ketiga atau Kunjungan lanjut. Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam kandungan Karakteristik yang ditemukan antara womenattending
publik atau penyedia layanan swasta.Kondisi sosial ekonomi rumah tangga mungkin juga
mempengaruhi perilaku kesehatan mencari (19, 20). Hasil menunjukkan bahwa
penggunaan pelayanan antenatal oleh hamil Wanita ini terkait dengan status sosial
ekonomi-nya rumah tangga: perempuan yang hidup dalam kondisi yang lebih buruk
berkonsultas pelayanan kesehatan swasta kurang sering dan mengandalkan lebih sering
pada pelayanan kesehatan pemerintah daripada mereka yang tinggal di lebih baik
keadaan. Wanita menghadiri fasilitas sektor publik memiliki skor sosial ekonomi rata-rata
11 (kisaran, 5-25).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
243
Wanita yang menghadiri konsultasi di sektor swasta memiliki skor median dari 13 (kisaran
7-26) dari maksimum 31 poin. Perbedaan yang signifikan (H = 20,6; P <0,001). Biaya
yang dikenakan untuk perawatan antenatal Besi (II) sulfat dan asam folat (Fefo) untuk
profilaksis anemia disediakan gratis untuk 72% dari wanita yang hadir jasa pemerintah. Di
sektor swasta hanya 12% dari perempuan menerima Fefo gratis.
2. Mengetahui tindakan keperawatan terkait pemeriksaan Antenatal Care
Perawat perlu melakukan berbagai kegiatan penyediaan pelayanan antenatal termasuk
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penyelidikan laboratorium.
1) Riwayat pengkajian: Untuk menilai faktor risiko dalam kehamilan, perawat harus
mengambil sejarah dari ibu hamil tentang keluarga mereka kronis dan penyakit bawaan,
penyakit masa lalu dan sekarang medis dan bedah, menstruasi, masa lalu dan kehamilan
ini, dan sejarah perawatan prakonsepsi
2) Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik adalah salah satu yang paling komponen penting
dari perawatan antenatal. Dalam pemeriksaan fisik, perawat menilai anemia, sianosis,
edema dan ikterus; memeriksa gigi dan gusi infeksi dan karies gigi, mengukur tekanan
darah, berat badan dan tinggi badan; melakukan pemeriksaan abdomen dengan
mengukur tinggi fundus, posisi janin, menghitung suara jantung janin; dan
mengevaluasi status kehamilan saat ini.
3) Investigasi: Perawat perlu melakukan laboratorium penyelidikan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang memerlukan tindakan cepat. Ini mungkin
termasuk analisis urin untuk mengetahui kadar albumin dan gula, dan infeksi saluran
kemih; skrining darah untuk mengukur hemoglobin atau hematokrit tingkat ibu hamil
untuk mengukur status gizi dan kebutuhan suplemen zat besi 4.
Penyedia layanan kesehatan harus memberikan informasi kesehatan kepada ibu hamil
untuk meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraan, seperti pendidikan kesehatan
umum tentang nutrisi yang tepat; jarak kelahiran dan keluarga berencana.Informasi saran
untuk ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, menyusui; dan persiapan untuk
bayi baru lahir dan perawatan postnatal setelah melahirkan.Medis dan psikososial
intervensi. Dalam pelayanan antenatal kesehatan penyedia layanan harus memberikan
perawatan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan mengukur kemajuan status kesehatan
ibu dan pertumbuhan janin. Ini termasuk: pemantauan berat badan, mengukur tekanan
darah, rekaman ukuran uterus, memperkirakan usia kehamilan dari janin, mencatat waktu
gerakan pertama janin, presentasi janin dan auskultasi denyut jantung janin; dan
memberikan janji antenatal4. Selain itu, Intervensi farmakologis atau non farmakologis
mungkin diperlukan untuk mengelola ketidaknyamanan umum karena kehamilan sebagai
berikut:
1) Pengelolaan ketidaknyamanan umum kehamilan. Beberapa ketidaknyamanan biasanya
muncul selama kehamilan yang meliputi perasaan gelisah.Perawat perawatan antenatal
harus tahu ketidaknyamanan ini dan manajemen mereka. Ituyang paling umum yang
menyebabkan ketidaknyamanan kecemasan ibu adalah: kelelahan, mual danmuntah,
sembelit, mulas, keputihan, varises, sakit pinggang danwasir. Untuk menghilangkan
kecemasan, perawat perlu memberikan intervensi keperawatan untukmeringankan
ketidaknyamanan mereka .Kesimpulannya, komponen perawatan antenatal adalah
urutan pentingkegiatan yang diperlukan untuk memantau kondisi ibu dan
perkembangan janin selamakehamilan. Untuk memantau kemajuan ini, perawat perlu
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
244
melakukan awal dan terus meneruskajian untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
janin. Medis dan psikologisintervensi yang dibutuhkan oleh layanan perawatan
antenatal untuk mengelola ketidaknyamanan umumselama kehamilan dan untuk
meningkatkan kesejahteraan ibu.
Perawat memainkan peran penting dalam menyediakan layanan berkualitas tinggi ibu
selama periode antenatal dan persalinan yang berkontribusi untuk mengurangi ibu
dankematian perinatal (Lavender & Chapple, 2004). Trinh dan rekan (2007) menyatakan
bahwapenyedia pelayanan antenatal seperti perawat memiliki dampak yang besar pada
kualitas perawatan.
Perawat harus memiliki tanggung jawab moral, etika dan profesional untuk memberikan
perawatan kepada ibu hamil (Viccars, 2003). Mereka bertanggung jawab untuk pemberian
perawatan, memberikanpendidikan kesehatan saat ini dan mendengarkan klien "saran
tentang layananyang wanita butuhkan (Kritcharoen et al., 2005). Untuk mengidentifikasi
kebutuhan tersebut, keperawatanProses adalah kerangka diterima digunakan untuk
menilai, menganalisis, perencanaan,melaksanakan dan mengevaluasi asuhan keperawatan
(Murray et al., 2002). Perawat dapat mengambilriwayat kesehatan yang lengkap,
melakukan pemeriksaan fisik, ketertiban dan menafsirkan laboratoriuminvestigasi, dan
menyediakan
perawatan
primer
untuk
pemeliharaan
kesehatan
dan
promosi. Berdasarkankerangka ini, perawat "peran dalam perawatan antenatal adalah: (1)
penilaian, (2) analisis,(3) perencanaan, (4) pelaksanaan dan (5) evaluasi.
Penilaian harus sistematis dan terencana; dan pengumpulan data dan informasi fisiologis
yang berkaitan dengan psikologis, sosial danpertimbangan budaya harus dilakukan secara
efektif. Perawat mengumpulkan informasiyang membantu untuk mendiagnosa kelainan
pada tahap awal. Perawat harus menggunakanpenilaian penilaian awal dan lanjut untuk
wanita hamil di klinik antenatal.
1. Penilaian awal. Di klinik antenatal, selama kunjungan pertama wanita hamil perawat
harus mengkaji status kesehatan dengan mengambil sejarah,melakukan pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, dan menilai faktor risikoberikut.
a. Mengambil sejarah. Perawat mengambil sejarah sebelumnya dan kehamilan
sekarang dan riwayat menstruasi dalam rangka membangun perkiraan
tanggalpengiriman (Kirkham, Harris, & Grzybowski 2005). Juga, ia mengambil
medis dansejarah bedah, termasuk kondisi kronis seperti diabetes mellitus,
hipertensi,penyakit
ginjal,
atau
operasi
yang
dapat
mempengaruhi
kehamilan; riwayat keluarga, dan kronispenyakit anggota keluarga yang dapat
mengungkapkan pola kelainan genetik. ASejarah psikososial juga harus diambil
dalam rangka membangun perasaan ibudan kondisi sosial-ekonomi ibu (Boller et al,
2003;. Donabedian, 1980;Murray et al., 2002; Rani et al., 2008; Trinh et al., 2007).
b. Pemeriksaan fisik. Perawat harus melakukanpemeriksaan fisik untuk mendeteksi
masalah sebelumnya tidak terdiagnosis yang dapat mempengaruhihasil
kehamilan. Pemeriksaan ini meliputi: memeriksa tanda-tanda vital seperti
darahtekanan, nadi, respirasi, suhu; mengamati kongesti vena dan edema;tinggi
mengukur dan berat, diameter panggul, tinggi fundus; dan mendengar jantung
janinsuara; memeriksa warna kulit untuk mendeteksi penyakit kuning dan anemia,
memeriksa kelenjar tiroiduntuk kebersihan pembesaran dan oral untuk infeksi,
memeriksa payudara untuk mendeteksi tanda-tanda abnormal 4. Puting datar atau
terbalik dapat mempengaruhi bayi yang baru lahir untuk menyusui; Oleh karena itu,
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
245
selamayang antenatal check up perawat harus memeriksa payudara untuk
mempersiapkan wanitauntuk menyusui efektif setelah melahirkan dia.
c. Uji Laboratorium. Tes laboratorium yang umum digunakanselama kehamilan
adalah: pengelompokan darah; tes darah untuk hemoglobin dan hematokrit;hitung
darah lengkap; Rh factor dan antibodi layar; uji laboratorium penyakit
kelamin(VDRL); titer rubela; tes kulit untuk TBC layar; hemoglobin elektroforesis
untuklayar untuk sifat sel sabit; Layar hepatitis B; HIV (Human Immunodeficiency
Virus) layar; urine analisis tes urin untuk memeriksa jumlah protein,
glukosa,keton; dan bakteri papnicolaou (Pap) smear untuk menyaring neoplasia
serviks; danTes glukosa darah ibu untuk menyaring diabetes mellitus gestasional.
Selain itu, selama kunjungan awal, perawat harus mengkaji beberapa faktor risikoyang
dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin. Ini adalah: usia ibu di bawah 16tahun
atau lebih dari 35 tahun; multigravida; berat di bawah 45 kg atau lebih dari 90
kg;ketinggian di bawah 154 cm; merokok; kecanduan narkoba; Sejarah abnormal
kelahiran sebelumnya;penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
jantung, ginjal. Penyakit, gangguan tiroid dan infeksi bersamaan.Dengan
demikian,perawat dapat berkontribusi untuk diagnosis dan memberikan pengobatan
tepat waktu selama risiko
2. Analisis
Perawat harus melakukan analisis kritis terhadap data ibu hamil sebelum
diagnosis. Asumsi teruji dapat menyebabkan tidak relevan atau kesalahan diagnosis
masalah yang sebenarnya. Berdasarkan analisis tersebut,Perawat dapat mendiagnosa
wanita hamil dan berencana untuk menerapkan perawatan untukkasus yang
dipilihmenyebutkan kemungkinan diagnosa keperawatan untukwanita hamil misalnya:
(1) kecemasan yang berhubungan dengan ragu-ragu tentang kehamilan dan tidak tahu
apa yang diharapkan selama kunjungan kantor, (2) perilaku kesehatan terkait dengan
mempertahankan
kehamilan
yang
sehat
dan
kekhawatiran
mengenai
umumketidaknyamanan kehamilan, (3) pengetahuan kekurangan perawatan diri selama
kehamilan,(4) ketakutan terkait dengan tidak diketahui melahirkan. Theses ketakutan
mungkin termasuk kekhawatirantentang perjalanan yang aman diri dan bayi melalui
pengalaman pengiriman, dan kekhawatiran terkait dengan mengasumsikan peran
orangtua.
3. Perencanaan.
Berdasarkan diagnosis keperawatan, perawat berencana untuk menerapkankesehatan
terkait
pengetahuan
dan
keperawatan
intervensi
melalui
pendidikan
kesehatanProgram. Sebagai contoh, perawat dapat merencanakan untuk memberikan
informasi nutrisi untukmeningkatkan kesehatan ibu dan pertumbuhan janin yang bisa
memfasilitasi ibu hamil untukmeningkatkan protein dan asupan zat besi; mengurangi
komplikasi dari status kesehatan mereka yang buruk. Selain itu, kelas antenatal
mempersiapkan peran keibuan, danmenyusui, dan mengingatkan mereka untuk
menerima perawatan postnatal setelah melahirkan. Sebagai akibatwanita hamil akan
dapat mempromosikan dan melindungi diri mereka sendiri dan bayi yang
dikandungnyaselama kehamilan. Perawat harus merencanakan untuk memberikan
informasi kepadaibu hamil untuk meredakan ketidaknyamanan umum selama
kehamilan. Maka perawat harusjuga merekomendasikan cara-cara untuk memodifikasi
perilaku yang mungkin memiliki efek yang merugikan pada ibudan janin seperti
perasaan stres, beristirahat kurang dan melakukan kerja keras.
4. Implementasi.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
246
Perawat klinik antenatal harus menerapkan direncanakanasuhan keperawatan pada ibu
hamil di klinik antenatal. Dia harus meminta wanitatentang ketidaknyamanan mereka,
memberikan perawatan untuk meringankan itu, mempertahankan tenang dan percaya
diricara selama aksi, melindungi privasi selama pemeriksaan fisik, menggunakan
aktifmendengarkan dan memberikan informasi faktual mengenai rencana
perawatannya. Perawat perlu memberikan informasi kesehatantentang gizi, perawatan
bayi baru lahir, manfaat menyusui dan teknik, dan kelahirandi kelas pendidikan
kesehatan antenatal. Selain itu, perawat mengetahui tanda-tanda bahaya kehamilan
termasuk perdarahan vagina, pecahnyamembran, pembengkakan jari atau bengkak
wajah, penglihatan kabur, perutnyeri, nyeri buang air kecil, muntah dan penurunan
gerakan janin, dan rencanauntuk tindakan segera membungkus tanda-tanda bahaya
5. Evaluasi.
Evaluasi adalah hasil perawatan. Perawat perlu mengevaluasidiimplementasikan
informasi kesehatan terkait dan intervensi keperawatan lainnya yang efektif untukibu
hamil berdasarkan pemahaman mereka. Evaluasi mempromosikan keselamatan dan
kesejahteraanmenjadi ibu hamil dan janin mereka selama kehamilan. Dalam
mengevaluasifase, wanita hamil verbalisasi pemahaman mereka tentang pengetahuan
kesehatan terkaitdan metode yang membantu mereka untuk mempromosikan status
kesehatan mereka dan meringankan ketidaknyamanankehamilan. Perawat harus
meminta ibu hamil tentang rencana mereka untuk memodifikasikebiasaan yang dapat
merugikan kesehatan mereka. Setelah mengevaluasi, jika perawat merasa bahwa
dirinyaimplementasi efektif dalam klinik antenatal, dia dapat berkolaborasi dengan
keluargauntuk menentukan rencana baru untuk pelaksanaan.
3. Mengetahui kualitas fasilitas kesehatan terkait layanan Antenatal Care
Kualitas pelayanan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakses layanan yang
efisien dengan maksud memaksimalkan manfaat kesehatan dalam kaitannya dengan
kebutuhan klien.Kualitas didefinisikan sebagai refleksi dari nilai-nilai dan tujuan saat ini
digunakan dalam sistem perawatan medis dan dalam masyarakat yang lebih besar. Selain
itu, Campbell et al. (2000) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai model sistem
berbasis terdiri dari struktur dan proses. Berdasarkan ini, Donabedian (1966) didefinisikan
kualitas pelayanan sebagai sejauh mana pelayanan yang sebenarnya konsisten dengan
kriteria hadir untuk perawatan yang baik.
Blumenthal (1996) menyebutkan empat perspektif utama mengenai kualitas pelayanan:
perspektif kesehatan profesional, pasien, rencana perawatan kesehatan dan organisasi, dan
pembeli. Semua ini menentukan kualitas perawatan yang berbeda. Terlebih Dahulu,
profesional perawatan kesehatan mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai atribut dan
hasil perawatan disediakan oleh praktisi untuk merawat penerima, menekankan
keunggulan teknis dan interaksi. Kedua, perspektif kualitas pelayanan didefinisikan
sebagai pandangan tentang perawatan yang mereka terima dengan kepuasan dan hasilnya
tingkat dari pasien berpusat perawatan". Ketiga, rencana perawatan kesehatan dan kualitas
organisasi didefinisikan peduli karena penekanan pada kesehatan populasi yang terdaftar
dan atribut perawatan yang merefleksikan metode pelaksanaan organisasi. Akhirnya,
kualitas pelayanan dari perspektif pelanggan melibatkan efektivitas dan biaya
perawatan. Dalam penelitian ini, kualitas perawatan terutama difokuskan pada kualitas
pelayanan kesehatan dan kualitas pelayanan keperawatan.
4. Mengetahui hasil ibu hamil yang memanfaatkan layanan Antenatal Care
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
247
Ibu hamil yang memanfaatkan palayanan antenatal care masih belum maksimal.Faktor
sangat terkait dengan layanan perawatan antenatal adalah bayi dari daerah pedesaan dan
dari luar wilayah Jawa-Bali, bayi dari indeks kekayaan rumah tangga rendah dan dengan
tingkat pendidikan ibu rendah,dan kelahiran yang tinggi peringkat bayi dengan kelahiran
pendek interval kurang dari dua tahun. Faktor yang terkait lainnya diidentifikasiibu
termasuk melaporkan jarak ke fasilitas kesehatan sebagai masalah besar, ibu yang kurang
terkena media massa,dan ibu melaporkan tidak ada komplikasi obstetri selama kehamilan.
PAR menunjukkan bahwa 55% dari total risikountuk underutilization layanan perawatan
antenatal yang disebabkan indeks kekayaan rumah tangga yang rendah dikombinasikan
dantingkat pendidikan ibu yang rendah.
Pembahasan
Ada dua kelompok subjek dalam penelitian ini: perawat dan wanita hamil. Mereka memiliki
informasi demografis yang berbeda dan berbagai jenis tingkat persepsi mengenai kualitas
pelayanan antenatal di Bangladesh. Dalam hal perawat, sebagian besar perawat yang lebih
dari 35 tahun (87.50%) dengan rata-rata usia 42,5 tahun. Kebanyakan menikah (98,20%) dan
Diploma pemegang Keperawatan (80.40%). Kebanyakan perawat telah bekerja selama lebih
dari 10 tahun (80.40%); dan memiliki lebih banyak dari 6 bulan "pengalaman dalam
pelayanan antenatal (91,10%) bekerja. Di sisi lain kelompok, sebagian besar wanita hamil
adalah 20-35 tahun (94,60%) dengan rata-rata usia 25,27 tahun. Sebagian besar wanita hamil
memiliki baik pendidikan formal atau kehadiran di sekolah dasar atau menengah
(89,30%); hampir semua ibu rumah tangga (96,40%); 62.50% dari perempuan memiliki usia
kehamilan 32 minggu atau lebih; dan 82.10% perempuan telah membuat setidaknya tiga
kunjungan antenatal.
Total skala perawat "persepsi mengenai kualitas pelayanan antenatal adalah tinggi (M =
176,95, SD = 16,07). Demikian pula, perawatan teknis dan perawatan antar pribadi
ditemukan untuk menjadi tinggi (M = 116,18, SD = 14,74; M = 60,77, SD = 2.58). Hanya
Beberapa alasan termasuk struktur rumah sakit, durasi pengalaman kerja, Pengalaman di unit
perawatan antenatal, tingkat pendidikan mereka, dan program pelatihan mungkin pengaruh
untuk melihat di tinggi. Di sisi lain, skala total ibu hamil persepsi mengenai kualitas
pelayanan antenatal juga pada tingkat tinggi (M = 162,71,SD = 24,70); dan perawatan teknis
subskala dan perawatan interpersonal yang juga ditemukan tinggi (M = 106,55, SD = 18,74;
M = 56,16, SD = 7,25). Selain itu, teknis merawat subskala untuk penilaian dan pendidikan
kesehatan, dan hasil perawat dan wanita hamil juga ditemukan pada tingkat tinggi.
Meskipun temuan perawat dan persepsi ibu hamil mengenai kualitas pelayanan antenatal
berada di tingkat tinggi, persepsi perawat secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita hamil (M = 179,45 vs M = 164,49 t = 4,50,p <.001). Selain itu, dalam sub-skala untuk
perawatan teknis dan perawatan interpersonal, yang persepsi perawat secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan ibu hamil(M = 118,49 vs M = 107,82, t = 3,97, p < .001); (M =
68,07 vs M = 41,43, Z = 4,47, p <.001). Dalam hal persepsi yang berbeda dari perawat dan
wanita hamil antara rumah sakit dalam dan di luar Dhaka, ditemukan bahwa perawat
"persepsi dalam Dhaka tidak berbeda nyata (M = 181,48 vs M = 178,13, t = 0,973, p > .05);
dan persepsi wanita hamil di luar Dhaka secara signifikan lebih tinggi daripada mereka untuk
rumah sakit di Dhaka (M = 171,85, vs M = 152,57, t = 3.67, p <.01).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
248
Temuan penelitian ini dapat diartikan dan merekomendasikan kelanjutan dari standar
perawatan kualitas dan perbaikan lebih lanjut yang ada dalam profesi keperawatan dan
pelayanan keperawatan.Penelitian ini mungkin memiliki implikasi untuk beberapa bidang
program keperawatan termasuk: (1) praktik keperawatan, (2) pendidikan keperawatan, dan
(3) penelitian keperawatan untuk perbaikan lebih lanjut layanan perawatan antenatal.
Praktik keperawatan . Temuan penelitian ini dapat digunakan dalam keperawatan
praktek. Melalui penyebaran temuan seperti memanggil rapat umum antara perawat yang
bekerja di klinik antenatal, mengatur lokakarya dengan keperawatan pemimpin dan pembuat
kebijakan, dan penerbitan dalam newsletter keperawatan atau jurnal, yang.Peneliti ingin
menunjukkan daerah untuk meningkatkan praktik keperawatan yang ada di pelayanan
antenatal.
Keperawatan pendidikan. Temuan penelitian ini mungkin memiliki implikasi untuk
kurikulum keperawatan keperawatan kesehatan ibu dan anak. Peneliti akan ingin
menunjukkan daerah yang siswa menyusui perlu mempersiapkan diri dalam yang modern
pendidikan keperawatan dan teknologi untuk memberikan layanan berkualitas dalam
pelayanan perawatan antenatal komparatif dengan negara-negara lain. Selain itu, melalui inservice perawat pendidikan mungkin memperluas pengetahuan dan keterampilan mereka
untuk meningkatkan pelayanan antenatal.
Kesimpulan
Ringkasan dan analisis hasil penemuan yang didapatkan termasuk didalamnya kekuatan dan
keterbatasan yang dimiliki. Serta jelaskan implikasi dari hasil review tersebut bagi
pelayanan, pembuat kebijakan dsb. Dalam kesimpulan, perawat memainkan peran kunci di
klinik antenatal dengan mengidentifikasi kondisi fisik dan psikologis melalui awal dan
selanjutnya penilaian. Melalui proses keperawatan, analisis data untuk diagnosis
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, membuat pedoman yang tepat untuk
memberikan keperawatan merawat wanita hamil di klinik antenatal.
Daftar Pustaka
Akobeng AK. Principles of evidence based medicine. Arch Dis Child 2005;90:837-40.
Burls A. What is critical appraisal? What is…? series of evidence-based medicine 2nd ed.
Hayward Group Ltd, Hayward Medical Communications Division; 2009 Feb[cited
2012 August 12]. Supported by Sanofi Aventis. Available from URL:HYPERLINK
http://www.medicine.oc.ac.uk/bandolier/painres/download/whatis/what_is_critical_a
ppraisal.pdf
Donabedian, A. (2005). Mengevaluasi kualitas perawatan medis. The Milbank Quarterly, 83 ,
691-729.
Green S. Systematic reviews and meta-analysis. Singapore Med J 2005;46(6):270-4.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
249
Poster Presentation
Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju
Masyarakat Ekonomi ASEAN”
Semarang, 7 November 2015
Karakteristik Perawat yang Dibutuhkan Masyarakat sebagai Pemberi
Pelayanan Keperawatan pada Klien Stroke dalam Menyikapi
Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA):
Literature Review
Herry Setiawan
Mahasiswa Program Studi Magister Keperawatan, Jurusan Keperawatan,
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang
Email: [email protected]
Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara
maju dan berkembang. Di negara ASEAN, stroke menjadi penyebab utama keempat kematian
sejak tahun 1992, nomor satu di Indonesia. Klien stroke membutuhkan fasilitas perawatan
jangka panjang di rumah sakit, pusat rehabilitasi dan di rumah. Mereka bisa mendapatkan
kembali kualitas hidup dengan perawatan jangka panjang yang tepat dan dukungan dari
keluarga atau pengasuh. Pengasuh membutuhkan dukungan dan motivasi dari perawat dalam
pelaksanaannya. Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadikan persaingan
perawat Indonesia dan perawat asing semakin nyata. Keadaan ini memberikan kesempatan
klien dan keluarga memilih dirawat oleh profesional keperawatan.
Tujuan: mengidentifikasi karakteristik perawat yang dibutuhkan masyarakat sebagai pemberi
pelayanan keperawatan pada klien stroke.
Metodologi: Literature review dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi tahun 20012014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed dan Google search. Penelusuran
dengan metoda boleon, full teks, pdf, dengan kata kunci “stroke patients” and “nurse” and
“caregiver”. Metodologi yang digunakan dalam publikasi dengan metoda kuantitatif, nonRCTdan RCT dilakukan oleh perawat kepada keluarga klien dengan Stroke. Selanjutnya data
di-review dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk
dibahas dan disimpulkan.
Hasil: Penelusuran mendapat 4 publikasi ilmiah dengan kualitas baik yang menunjukan
bahwa pengasuh klien stroke membutuhkan keberadaan perawat dalam mendengarkan,
mendukung, memotivasi, menginformasikan hal terkait pelaksanaan perawatan.
Diskusi: Perawat Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan perawat asing
yang terasosiasi dalam Points-of-Difference (POD) dan Points-of-Parity (POP) membuat
masyarakat memilihnya. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan
kesehatan psikologis pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan
menurunkan ketegangan pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai
harapan klien dan keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan.
Kesimpulan: Perawat yang memiliki karakteristik yang diinginkan klien akan membuat
masyarakat memilih perawat Indonesia diantara himpitan perawat asing yang berdatangan
dalam perawatan klien Stroke di era MEA.
Kata Kunci: Stroke, Karakteristik Perawat, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
250
LATAR BELAKANG
Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, harapan akan
pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik, daya beli masyarakat yang semakin
tinggi, sebenarnya mempunyai dampak yang menyita perhatian. Perubahan pola
penyakit dari penyakit infeksi menjadi penyakit degeneratif semakin meningkat.
Cerebral Vascular Accident (CVA) atau lebih dikenal dengan Stroke, salah satu contoh
penyakit degeneratif yang merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara
maju dan berkembang (Murray & Lopez, 1997). Di Amerika Serikat, stroke adalah penyebab
utama ketiga kematian (Hinkle & Guanci, 2007). Di negara ASEAN, data kematian lebih
bervariasi, stroke telah menjadi penyebab utama ke-empat kematian sejak tahun 1992; nomor
satu di Indonesia (Venketasubramanian, 1998). Stroke dapat dicegah dan diobati sehingga
penderita stroke dapat memperoleh kembali kualitas hidup mereka dengan perawatan jangka
panjang yang tepat dan dukungan dari keluarga atau pengasuh (Depkes RI, 2011).
Penderita stroke membutuhkan fasilitas perawatan jangka panjang di rumah
sakit, pusat rehabilitasi dan di rumah (Mohn-Brown, 2007). Manajemen stroke
diperlukan untuk mencegah komplikasi dan kematian akibat stroke dalam perawatan
jangka panjang. Klien yang mengalami stroke dapat sepenuhnya pulih atau mungkin
memiliki beberapa efek residual dari penyakit mereka. Klien stroke memiliki risiko
tinggi komplikasi; komplikasi ini hambatan potensi untuk pemulihan yang optimal
(Kuptniratsaikul, 2008). Peran perawat sebagai tenaga kesehatan sangat diperlukan
dalam memfasilitasi klien dan keluarga dalam masa penyembuhan pascastroke.
Keluarga dan pengasuh menjadi pengambil keputusan perawatan klien stroke di
fasilitas perawatan jangka panjang (Mohn-Brown, 2007).
Pengasuh adalah orang yang harus peduli karena kekerabatan dekat mereka atau
ikatan emosional dengan penerima pelayanan (Schofield et al, 1998). Persyaratan
terus-menerus dan perawatan jangka panjang klien stroke dengan sumber daya yang
terbatas adalah kenyataan pahit bagi banyak pengasuh (Dorsey & Vaca, 1998). Tim
kesehatan mengidentifikasi caregiver klien stroke sebagai anggota kunci dari tim.
Meskipun keterlibatan seara aktif dari caregiver dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan dalam perawatan akut sering hilang (Maclsaac et al, 2011). Caregiver akan
membahas dasar-dasar mengelola kegiatan hidup sehari-hari dan strategi pemecahan
masalah. Jadi, caregiver perlu belajar tetang peran mereka dengan jelas (Thompson et
al, 2004).
Peran caregiver adalah membantu klien stroke tetang cara makan, melakukan
aktivitas (kegiatan hidup sehari-hari) dan rehabilitasi (Dewit, 2009). Fase perawatan
akut dari manajemen stroke adalah singkat, dan caregiver membutuhkan bantuan
dalam membuat keputusan tentang tahap berikutnya tentang perawatan untuk klien
stroke (Phipps et al, 2003). Caregiver juga memiliki peran penting dalam fase ketiga
dari stroke yaitu perencanaan pulang dari rumah sakit, yang akan membantu klien dan
perawat menyesuaikan diri dengan cara hidup mereka yang baru (Dewit, 2009). Jadi,
perawat perlu mengidentifikasi caregiver sebagai penerima peduli dan mendampingi
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
251
klien selama di rumah sakit dan di rumah; sehingga mendukung mereka saat mereka
menyesuaikan diri dengan peran mereka nantinya (Thompson et al, 2004).
Menurut UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, pelayanan Keperawatan
adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan
kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. Akhir
tahun 2015 akan diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), perawat asing
akan bebas masuk ke Indonesia. Di Era globalisasi sekarang ini mengharuskan tenaga
kesehatan berbenah diri. Peluang dan tantangan yang menghadang harus diterobos
baik itu dengan peningkatan daya jual, mutu dan profesionalisme tenaga kesehatan
Indonesia.
Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang telah berada dipelupuk mata dan
sudah menjadi keharusan bagi masyarakat Indonesia guna menyiapkan diri untuk
menghadapinya. Hal ini sangat mungkin membawa Indonesia pada kondisi terpuruk
jika tidak ada kesiapan yang matang pada segala bidang (Beritajatim, 2015). Kesiapan
dalam hal ini juga dilakukan oleh perawat Indonesia. Kesiapan bukan hanya untuk
menerima kedatangan perawat asing yang mencari nafkah di Negara tercinta. Namun,
kesiapan dalam mengirim perawat berkualitas dan profesional ke luar negeri.
Amanat UU 38 tahun 2014 pasal 2 poin (d) menekankan bahwa dalam
pelaksanaan pemberian praktik keperawatan seorang perawat harus memperhatikan
etka dan profesionalitas. Disebutkan juga dalam Kerangka Kompetensi Perawat
Indonesia yaitu praktik keperawatan berbentuk praktik profesional, etik, legal dan peka
budaya. Semua ini akan mendukung pencapaian perawat Indonesia dalam menghadapi
MEA dengan menganut karakteristik khusus dan nilai marketing yang menjadikan
perawat Indonesia dipilih oleh masyarakat selaku klien. Nilai ini juga yang membuat
perawat Indonesia dipilih oleh klien sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada
klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi karakteristik perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan
pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui peran perawat dalam pemberi pelayanan keperawatan pada klien stroke
b. Mengetahui pentingnya nilai marketing perawat sebagai pemberi pelayanan dalam
menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
c. Mengetahui pentingnya pembentukan karakteristik perawat sebagai pemberi
pelayanan keperawatan pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA).
METODE
1. Kriretia Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi yaitu artikel dengan metoda penelitian metoda kuantitatif, nonRCTdan RCT dilakukan oleh perawat kepada keluarga klien Stroke yang dilakukan
tahun 2011-2014 dengan menggunakan bahasa inggris dan full teks. Pemilihan sampel
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
252
pada artikel adalah pemberian pelayanan perawat kepada pasien dan keluarga pasien
dengan penyakit Stroke.
2. Strategi Pencarian Literatur
Literature review dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi pada tahun 20012014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed dan Google search.
Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “stroke
patients” and “nurse” and “caregiver”.
Diagram Pencarian Literatur:
EBSCO
Stroke patients, n= 117.234
Stroke patients and nurse, n= 541
Stroke patients and nurse and caregiver, n=25
Pro-Quest
Stroke patients, n= 87.443
Stroke patients and nurse, n= 321
Stroke patients and nurse and caregiver, n=11
PubMed
Stroke patients, n= 7.211
Stroke patients and nurse, n= 55
Stroke patients and nurse and caregiver, n=6
Identifikasi
Google search
Skrening
Kelayakan
1.
2.
3.
4.
5.
PDF
Full Teks
Bahasa Inggris
Free Download
Tahun 2001-2014
1.
Sampel adalah perawat dan
klien (pasien dan keluarga)
yang mengalami penyakit
Stroke
Perawatan dilakukan oleh
keluarga/pasangan dan
perawat
Perawatan lanjutan pasca
stroke
aya
2.
3.
Analisis
Stroke patients, n= 152.000.000
Stroke patients and nurse, n= 43.400.000
Stroke patients and nurse and caregiver, n=10.800.000
1.
2.
3.
4.
EBSCO
Pub Med
Pro-Quest
Google Search
Pemberi pelayanan
keperawatan pada klien
Stroke
1.
2.
3.
4.
n= 14
n= 5
n= 3
n = 15
EBSCO
n= 4
Pub Med
n= 2
Pro-Quest
n= 1
Google Search n = 3
1.
2.
3.
4.
EBSCO
n= 4
Pub Med n= 1
Pro-Quest n= 1
Google Search n= 2
Literature Review, n=4
3. Ekstraksi Data dan Motede Pengkajian Kualitas Studi
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
253
Data dari artikel direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian
dikelompokkan untuk dilakukan triangulasi untuk dilakukan pembahasan dan
disimpulkan sehingga dikeahui kualitas jurnal. Penentuan kualitas jurnal dengan
menggunakan prosentase hasil ekstraksi yaitu jurnal dikategorikan menjadi kualitas
baik, sedang dan kulaitas tidak baik. Jurnal dikategorikan baik jika propsentase 80%100%, cukup jika 65%-79% dan tidak baik jika prosentase <64%.
4. Analisa Data
Data dikumpulkan berdasarkan tujuan, sampel dan hasil yang sebanding kemudian
dilakukan analisis (table 1) sehingga dapat pula dilihat heterogenitas dari hasil
penelitian yang ditemukan dalam studi (publikasi ilmiah). Jika dalam temuan jurnal
tidak sesuai dengan kirteria baik kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi ataupun hasil
tidak sesuai yang telah ditetapkan maka jurnal tersebut tidak dilakukan sistematik
review (dihapus). Literature review ini bertujuan untuk memperkuat hasil dari
studi/penelitian tersebut.
HASIL
Dari ekstraksi data dapat dilakukan beberapa sintesa guna memberikan gambaran
mengenai keadaan klien, keluarga, pengasuh pada penyakit Stroke. Penelitian Han Boter, et
al (2004), dari 173 pasien, 166 (96%) menyebutkan total 1.419 masalah. Masalah fisik (92%;
153/166), masalah emosional (60%; 99/166). Proporsi pasien dengan masalah menurun dari
94% (142/151) di kontak pertama, 74% (108/145) di kontak terakhir. Dari 148 penjaga, 118
(80%) dihubungi dan 84 disebutkan 266 masalah 'beban psikososial' paling sering disebutkan
(45%; 53/118). Proporsi wali dengan masalah adalah 56% (54/96) pada kontak pertama dan
37% (26/70) pada kontak terakhir. Dari 864 intervensi untuk pasien, perawatan stroke yang
paling sering diterapkan 'mendengarkan mendukung' (55%; 471/864) dan 'meyakinkan atau
mendorong' (12%; 107/864), dan dari 258 intervensi untuk penjaga 45% (115/258 ) adalah
'mendengarkan mendukung' dan 17% (43/258) 'menginformasikan'. Penelitian Visser-Meily,
et al (2005), kepuasan rata-rata adalah 7, dan 44% dari semua pasangan ‡ 8 (sangat puas) tapi
23% tidak puas. Karakteristik ‘pasangan dan pasien' dan skor kepuasan tidak terkait.
Karakteristik dukungan jumlah hari pertemuan (p ¼ 0,02), partisipasi dalam kelompok
pengasuh (p ¼ 0,006) dan dukungan dari anggota tim (p ¼ 0,000) terkait dengan kepuasan.
Tidak ada perbedaan dalam skor kepuasan pasangan ditemukan antara pusat rehabilitasi yang
berpartisipasi. Hanya 39% dari pasangan berpartisipasi dalam kelompok pengasuh. Alasan
penting untuk tidak berpartisipasi dalam kelompok tersebut tidak menyadari kesempatan
untuk mengambil bagian dalam kelompok (49%). Pasangan berpartisipasi dalam kelompok
menunjukkan gejala depresi lebih dan memiliki lebih mitra sangat cacat. Dukungan Pengasuh
terutama diberikan oleh perawat dan pekerja sosial. Satu dari lima pasangan menunjukkan
tidak terindikasi setelah didukung oleh tim rehabilitasi.
Penelitian R. Oupra, el at (2010), sebanyak 140 penderita stroke dan pengasuh; 70
pasien/pasangan pengasuh di masing-masing kelompok. Pengasuh pasien dirawat di rumah sakit
intervensi menyusul stroke akut sebagai penerima intervensi, sementara pengasuh pasien dirawat di
rumah sakit pembanding menerima perawatan biasa di rumah sakit. Keluarga pengasuh pada
kelompok intervensi memiliki kualitas hidup lebih baik secara signifikan daripada kelompok
pembanding (GHQ - 28 di debit t=2,82, d.f.=138, P=0,006; dan pada 3 bulan t=6.80, d.f.=135, P <
0,001) dan mereka juga melaporkan berkurang ketegangan. Indeks pada t= 6.73 debit, d.f.=138, P <
0,001; dan pada 3 bulan t =7.67, d.f.=135, P < 0,001). Penelitian ini menunjukkan bahwa memberikan
pendidikan dan dukungan kepada keluarga pengasuh penderita stroke dapat mengurangi ketegangan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
254
pengasuh dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Penelitian Franze´n-Dahlin, et al (2008), tidak
ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara kelompok intervensi dan kontrol mengenai kesehatan
psikologis secara keseluruhan. Namun, subanalysis mengungkapkan bahwa mereka yang
berpartisipasi lebih sering dalam pertemuan kelompok (lima atau enam kali) memiliki kesehatan
psikologis signifikan lebih kuat (P50.05). Pengetahuan tentang stroke meningkat dari waktu ke waktu
pada kedua kelompok, tetapi peserta dalam kelompok intervensi belajar lebih (P ¼ 0,041).
DISKUSI
Pada pelaksanaannya perawat memegang peranan penting karena wajib memilih
pengasuh terbaik untuk perawatan lanjutan. Kebutuhan informasi terkait perawatan lanjutan,
motivasi, dorongan dan dukungan untuk merawat klien stroke menjadikan penguat bagi
mereka yang bertindak sebagai pengasuh atau caregiver . Caregiver adalah orang yang
memiliki kewajiban untuk peduli karena adanya hubungan kekerabatan dekat atau ikatan
emosional dengan penerima pelayanan (Schofield et al., 1998). Caregiver utama biasanya
adalah anggota keluarga, teman yang rela mengorbankan waktu, tenaga dan dalam beberapa
kasus, seluruh diri mereka cenderung untuk kebutuhan penerima pelayanan (Robcares, 2013).
Keluarga atau caregiver akan menjadi care-taker untuk penderita stroke dalam perawatan
jangka panjang (Burke et al., 2007).
Peran caregiver adalah menyediakan kebutuhan dasar pangan, sandang, kebersihan
dan tempat tinggal. Mereka juga harus tahu bagaimana untuk memenuhi kebutuhan emosional
seseorang tanpa menciptakan ketergantungan. Terlebih lagi, mereka tidak boleh melupakan
kebutuhan mereka sendiri dan memahami bahwa untuk merawat orang yang dicintai, mereka
juga harus merawat dirinya sendiri (Robcares, 2013). Di Indonesia, istilah "caregiver" masih
langka di masyarakat karena profesi ini masih relatif jarang. Istilah lain caregiver adalah
"pekerja perawatan", "pengasuh lanjut usia", atau di Jepang disebut "kaigofukushishi". Selain
itu, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjaga keluarga mereka. Dengan
demikian caregiver di Indonesia adalah pengasuh keluarga (primary caregiver).
Tim kesehatan mengidentifikasi caregiver pasien stroke sebagai salah satu kunci dari
tim kesehatan. Namun, terlibatnya caregiver secara aktif dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan dalam perawatan akut sering tidak ada (Maclsaac et al., 2011). Caregiver
membahas dasar-dasar mengelola aktivitas sehari-hari dan strategi pemecahan masalah. Jadi,
caregiver juga perlu belajar tentang peran mereka secara koheren (Thompson et al., 2004).
Peran caregiver adalah membantu penderita stroke dalam hal makan, melakukan ADL dan
rehabilitasi (Dewit, 2009). Caregiver juga berkontribusi terhadap kebutuhan informasi dan
psikologi (Dorsey & Vaca, 1998).
Pada pelaksanaan pelayanan keperawatan klien dengan Stroke, mungkinkah perawat
Indonesia bisa bersaing dengan Negara Asia Tenggara lainnya? inilah yang akan menjadi
tugas besar untuk setiap individu perawat Indonesia dan organisasi profesi tentunya akan
mendukung perawat Indonesia dalam membenahi kompetensi, keahlian dan profesionalisme
dalam pelaksanaan keperawatan. Perawat profesional adalah perawat yang dapat memberikan
pelayanan keperawatan dengan menerapkan etika profesional keperawatan serta memiliki
kemampuan secara keilmuan. Jadi tidak hanya pintar secara keilmuan tetapi juga memiliki
prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan dan naluri pengembangan secara mandiri maupun
bekerjasama.
Menyikapi persaingan era pasar bebas bukan hanya perawat asing yang akan
berdatangan. Namun, klien asing juga akan banyak dirawat di Indonesia. Kemampuan
berbahasa asing akan memudahkan komunikasi perawat klien. Kaitannya dengan klien Stroke
jelas karena kejadian Stroke baik di dalam maupun di luar negeri sama besarnya. Di Amerika
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
255
Serikat, stroke adalah penyebab utama ketiga kematian (Hinkle & Guanci, 2007). Di negara
ASEAN, data kematian lebih bervariasi, stroke telah menjadi penyebab utama ke-empat
kematian sejak tahun 1992. Era MEA 2015, antisipasi arus tenaga kerja asing tidak hanya
dikelola oleh negara, setiap Individu dan profesi masyarakat Indonesia pun harus mampu
melakukan antisipasi arus tersebut. Hal utama yang dapat dilakukan oleh individu adalah
dengan memiliki kompetensi dan kemampuan yang dapat menandingi tenaga kerja asing, hal
yang dapat menandingi kemampuan tenaga asing adalah dengan memiliki etos kerja
profesional yang tentunya tidak akan mudah ditiru oleh tenaga asing. Persaingan dalam hal
harga dan kualitas akan mudah ditiru oleh kompetitor tetapi persaingan dalam hal etika,
perilaku tentunya bukanlah hal mudah untuk ditiru khususnya perilaku yang berasal dari hati
nurani perawat Indonesia.
Perawat Indonesia haruslah mencari arti pentingnya positioning yang otentik dalam
pelayanan keperawatan. Hal ini akan menjadi Point of Difference (POD) yang sangat efektif.
Positioning seperti ini tentunya perlu didukung oleh banyak hal yang bersumber dari karakter
dan perilaku perawat itu sendiri. Semakin cerdasnya masyarakat dan adanya ledakan
informasi, maka strategi positioning yang mengaitkan dengan authenticity sungguh efektif
untuk menciptakan citra perawat Indonesia yang akan dipilih oleh masyarakat selaku klien
yang memerlukan pelayanan keperawatan. Perawat secara personal dan tim perawatan
memiliki beberapa POD yang sangat kuat dan menancap dalam benak sebagian besar
masyarakat Indonesia. Perawat adalah tenaga kesehatan yang mendengarkan dan melayani
klien saat sakit. Bagaimana terkait perihal caring dalam tata klinis. Jawaban yang lugas dan
sederhana harus diberikan, yaitu mendengarkan keluhan klien terkait penyakitnya. Perawat
memposisikan seperti ini pada saat klien melihat banyak perawat tidak mendengarkan dan
melayani klien saat sakit. Jadi, POD yang efektif adalah atribut atau karakter yang memiliki
oposisi atau sisi kontras yang kuat. Selain itu, sudah pasti bahwa POD yang kuat juga harus
didukung oleh banyak elemen merek. Dalam hal ini, sosok perawat yang sederhana, ramah,
dekat dengan klien melalui waktu panjang yang disediakan. Hal ini memberi kekuatan yang
besar sehingga POD ini menjadi kuat, unik, dan dapat dipercaya oleh masyarakat selaku klien.
Points of Parity (POP) diibaratkan sebuah merek tidak boleh hanya unik dan berbeda,
tapi juga harus memiliki citra yang menetralisir keunggulan dari pesaing dalam hal ini
perawat dari Negara asing. Inilah yang disebut dengan POP. Misal. Perawat Indonesia
ternyata, tidak tangguh dalam hal daya tahan tubuh dalam bekerja, kalah jauh dari pesaing
yaitu perawat asing. Ini yang megakibatkan beberapa kelompok masyarakat selaku klien
mulai meragukan kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan. Jadi, sebagian yang
mulai beralih adalah mereka yang melihat bahwa perawat Indonesia tidak memiliki sesuatu
yang dipunyai oleh perawat asing. Misalnya, sebagai pengambil keputusan klinis yang tegas.
POP harus mulai dibentuk sehingga menetralisir keunggulan perawat asing. Perawat
Indonesia juga bisa tegas, pelaksana keperawatan yang mampu berpikir kritis. Inilah yang
disebut Points of Parity (POP), yaitu citra yang mampu menetralisir keunggulan pesaing,
walau tidak perlu lebih unggul.
Kotler dan Keller (2006), menyebutkan bahwa POP merupakan asosiasi-asosiasi yang
tak perlu unik pada merek tetapi mungkin terbagi dengan merek-merek lain. Hal ini juga ada
pada diri perawat, aspek kompetensi dasar, pintar, lulusan terbaik tidak hanya milik perawat
Indonesia tapi juga perawat asing. Soal keramahan, tulus, kenyamanan, dan kecepatan dalam
pelayanan juga telah menjadi standar umum seorang perawat. Bukan hal yang khusus.
Namun, justru bila aspek tersebut tidak terpenuhi, klien tidak akan memandang perawat
Indonesia tersebut sebagai tenaga keperawatan yang layak untuk dipilih. Perawat bukanlah
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
256
tenaga profesional yang sesungguhnya jika tidak empati, sopan, rendah hati, care dan
sebagainya. Kotler dan Keller (2006), menyebutkan bahwa ada dua bentuk dasar dari POP
yaitu kategori dan kompetitif. Bentuk pertama yaitu kategori merupakan hal yang esensial
bagi sebuah produk agar dipandang legitimate dan kredibel sebagai produk di satu kategori
tertentu. Hal yang telah menjadi standar umum itulah yang diterima. Apalah artinya seorang
perawat jika tidak empati, sopan, rendah hati, care? Klien selaku konsumen akan merasa
bahwa perawat tersebut tidak kredibel dan tidak pantas disebut perawat profesional.
Bentuk kedua (kompetitif) merupakan asosiasi yang didesain untuk mengurangi
Points-of-Difference (POD) dari pesaing. POD adalah atribut di mana konsumen secara kuat
mengasosiasikan atau mengaitkan dengan sebuah merek, mengevaluasi secara positif dan
mempercayai bahwa mereka tidak dapat menemukan pada tingkat yang sama dengan sebuah
merek lain yang kompetitif. Jadi POD merupakan pembeda di satu merek yang tidak dapat
ditemukan pada merek lain. Ketika POD menjadi kekuatan sebuah merek untuk bersaing,
merek lain mencoba meredam dengan menyetarakannya sebagai POP. Saat perawat Indonesia
mengkampanyekan bahwa tenaga keperawatan dididik melalui serangkaian langkah yang
terjamin kualitas peserta didiknya. Pesaing dari Negara asing juga melakukan hal serupa.
Manakala di setiap intitusi pendidikan asing disediakan fasilitas yang serupa, melakukan hal
yang sama dengan di Indonesia. Sesuatu yang berbeda pun menjadi hal yang biasa dan
menjadi standar yang diterima sebagai keharusan.
Keadaan ini menuntut perawat agar dapat mengaktualisasikan POP dan POD secara
nyata dengan berbagai aktivitas pelayanan keperawatan yang mendukung. Dapat
dikomunikasikan menuntut perawat untuk merancang aktivitas promosi dengan berbagai
asosiasi yang sesuai dengan pengetahuan klien yang telah ada. Sebagai contoh menambah
pelayanan di luar rumah sakit seperti home care ketika klien memutuskan untuk dirawat di
rumah. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis
pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan
pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan
keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan.
KESIMPULAN
Pengasuh klien stroke membutuhkan keberadaan perawat dalam mendengarkan,
mendukung, memotivasi, menginformasikan hal terkait pelaksanaan perawatan. Perawat
Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan perawat asing yang terasosiasi
dalam Points-of-Difference (POD) dan Points-of-Parity (POP) membuat masyarakat memilihnya.
Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis
pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan
pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan
keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan. Perawat yang
memiliki karakteristik yang diinginkan klien akan membuat masyarakat memilih perawat
Indonesia diantara himpitan perawat asing yang berdatangan dalam perawatan klien Stroke di
era MEA.
Point of Difference (POD) dan Point
a it (
) adalah suatu keniscayaan dalam
dunia pemasaran profesi keperawatan. Menjadi serupa dengan pesaing adalah suatu standar
yang harus dipenuhi agar jasa pelayanan memperoleh legitimasi dan dipandang kredibel oleh
klien selaku konsumen. Tetapi menjadi yang berbeda dalam benak klien relatif terhadap
perawat pesaing adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Majulah Perawat
Indonesia, saatnya perawat Indonesia muncul dipermukaan dengan langkah penuh percaya
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
257
diri karena sudah dilengkapi dengan bekal keilmuan dan hati yang siap melayani dengan
penuh kasih.
DAFTAR PUSTAKA
A˚ F anze´n-Dahlin et al. 2008. A randomized controlled trial evaluating the effect of a
support and education programme for spouses of people affected by stroke. Clinical
Rehabilitation 2008; 22: 722–730.
Berita
Jatim.
Perawat
Dituntut
lebih
Profesional,
Menyambut
MEA.
http://wartakesehatan.com/54664/perawat-dituntut-lebih-profesional-menyambut-mea.
Diakses, 02 Oktober 2015
Carlsson C and Linander K. 2012. Positioning of a brand point of parity- a study of a possible
approach for taking position of a point of parity in a mature business to business
market. Master of Science Thesis INDEK 2012:08
Depkes
RI.
Delapan
dari
1000
orang
di
Indonesia
terkena
stroke.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/pressrelease/
1703-8-dari-1000-orang-diindonesia-terkena-stroke.html. Retrieved November 1, 2015
Dewit SC. Medical-surgical nursing concepts & practice. St Louis, Missouri: Saunders
Elsevier; 2009.
Dorsey MK & Vaca KJ. The stroke patient and assessment of caregiver needs. Journal of
Vascular Nursing 1998; 16: 62 – 67.
Ghodeswar. 2008. Building brand identity in competitive markets: a conceptual model.
Journal of Product & Brand Management 17/1 (2008) 4–12
Han Boter, et al. 2004. ut each nu se supp t a te st ke: a desc iptive stud n patients’
and care s’ needs, and applied nu sing inte venti ns. Clinical Rehabilitati n 2004; 18:
156–163.
Hinkle JL & Guanci MM. 2007. Acute ischemic stroke review. Journal Neuroscience Nurse;
39: 285 – 293.
Hunt LA et al. 2011. Assessment of student nurses in practice: A comparison of theoretical
and practical: assessment results in England. Nurse Education Today
Janiszewska K. 2012. The strategic importance of brand positioning in the place brand
concept: elements, structure and application capabilities. Journal of International
Studies, Vol. 5, No 1, pp. 9-19
J.M. Anne Visser-Meil et al. 2005. Sp uses’ satis acti n with ca egive supp t in st ke
rehabilitation. Scand J Caring Sci; 2005; 19; 310–316.
Kuptniratsaikul V, et al.. Complications during the rehabilitation period in Thai patients with
stroke. American Journal of Physical Medicine & Rehabilitation 2008; 88 (2): 92 – 99.
Mohn-Brown et al. 2007. Medical-surgical nursing. 2nd ed. New Jersey: Pearson.
Murray CJL & Lopez AD. 1997. Mortality by cause for eight regions of the world: Global
burden of disease study. The Lancet; 349: 1269 – 1276.
Phipps WJ, et al. 2003. Medical-surgical nursing health and illness perspectives. USA: Seventh
edition. Mosby; 2003.
R. Oupra; et al. 2010. Effectiveness of Supportive Educative Learning programme on the
level of strain experienced by caregivers of stroke patients in Thailand. Health and
Social Care in the Community 18(1), 10–20.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
258
Schofield H, et al. 1998. Family caregivers disablity, illness and ageing. Australia: Allen &
Unwin.
Thompson TC, Pierce LL, Steiner V, Govoni AL, Hicks B, Griedemann M. 2004. What
happened to normal? Learning the role of caregiver. On-Line Journal of Nursing
Informatics; 8(2): 13.
Undang-undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan
Venketasubramanian N. 1998. The epidemiology of stroke in ASEAN countries – a review.
Neuro Journal Southeast Asia; 3: 9 – 14.
Walker L. 2013. Marketing Yourself and Your Profession: A guide for primary care nurses.
Australian Medicare Local Alliance. ISBN: 978-0-9873577-1-7.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
259
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN PERAWAT
DALAM BERADAPTASI DALAM KONTEKS LINTAS BUDAYA
Arwyn Weynand Nusawakan
Staff Pengajar di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana
Abstrak
Latar Belakang. Keberagaman bangsa Indonesia dari segi suku dan budaya akan berimplikasi
pada perilaku kesehatan masyarakat yang juga beragam. Perawat yang berada dan bekerja pada
layanan kesehatan primer dimana pusta layanan yang akan diberikan adalah kepada individu atau
keluarga yang tentu memiliki keberagaman, sangat diharapkan memiliki kompetensi kultural yang
akan sangat membantunya beradaptasi dan memahami faktor sosial budaya yang dapat
berpengaruh pada kesehatan masyarakat dan sikap mereka terhadap penyakit.
Tujuan. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam
melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya ( crosscultural adaptation).
Metoda. studi ini merupakan sebuah studi literatur dimana jurnal-jurnal terpublikasi pada Ebsco
Host yang berhubugan dengan adaptasi kultural pada perawat maupun calon perawat di ringkas dan
kemudian disintesa hasil-hasilnya.
Hasil. Berdasarkan analisis 14 jurnal terpublikasi didapatkan beberapa faktor yang berhubungan
dengan adaptasi dalam konteks perawatan lintas budaya adalah pendidikan, komunikasi,
pengalaman dan pelatihan. Hasil penelitian menemukan bahwa tingkat pendidikan perawat
berpengaruh pada kemampuan beradaptasi lintas budaya yang mana, semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin tinggi kemampuan beradaptasinya. Tidak hanya itu, Kominikasi (verbal dan
non verbal) merupakan salah satu hal penting yang bisa berpengaruh dalam hal kompetensi kultural.
Hal lainnya adalah pengalaman terpapar dengan lingkungan lintas budaya juga membuat seorang
perawat atau mahasiswa keperawatan mampu belajar beradaptasi. Sejumlah pelatihan intensif
berkaitan dengan kompetensi kultural kepada perawat terbukti bermanfaat untuk meningkatkan
pengetahuan, skill, dan sensitifitas kultural.
Kesimpulan: Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi dalam
konteks lintas budaya adalah tingkat pendidikan, kemampuan berkomunikasi, pengalaman, dan
pelatihan mengenai kompetensi kultural kepada perawat.
Kata Kunci: Kompetensi Kultural, Tingkat Pendidikan, Komunikasi, Pengalaman, Pelatihan
Pendahuluan
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia sudah sangat dikenal sebagai negara yang
memiliki latar belakang suku budaya yang beragam. Hal ini bisa terlihat dari berbagai suku
bangsa yang terdapat di negara ini. Badan Pusat Statistik (2015) mencatat bahwa Indonesia
yang didalamnya terdapat 34 provinsi, memiliki ± 17.504 pulau yang tersebar luas dari
barat hingga timur. Keberagamaan suku dan bangsa ini bisa menjadi sebuah kekayaan
yang besar berdampak baik bagi negara ini, tetapi juga bisa menjadi masalah jika tidak di
kelola dengan baik. Salah satu bidang yang berhubungan dengan keberagaman ini adalah
bidang kesehatan. Kebiasaan, sistem kepercayaan, dan perilaku masyarakat yang beragam
akan berdampak pada cara pandang mereka terhadap kesehatan itu sendiri. Sebagai sebuah
harmony dari tubuh, jiwa, dan roh (Watson 1985), kesehatan dimaknai berbeda pada setiap
budaya, yang bergantung pada nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan
kemampuan untuk memenuhi setiap kebutuhan dasar manusia (Ray, 2010).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
260
Kleinman (1998) mengatakan bahwa kesehatan dapat dimaknai pada budaya yang
berbeda-beda berdasarkan health-belief model, bentuk-bentuk koping, perilaku mencari
pertolongan, dan parameter sosiospiritual. Kleinman melanjutkan beberapa penyakit
memiliki keterkaitan dengan budaya seperti penyakit yang dimaknai berhubungan dengan
kemiripan dengan anggora keluarga yang lain, ritual-ritual tertentu dalam budaya,
keterkaitan antara rasa malu dengan sejumlah penyakit psikologis, dan lain-lain. Hal ini
berimplikasi pada perlunya pehaman dari tenaga kesehatan yang melaksanakan layanan
kesehatan, kususnya ketika melakukan pelayanan transkultur.
Perawat sebagai salah satu bagian dari petugas kesehatan yang berperan penting dalam
melakukan proses caring pada pasien diperhadapkan dengan kompleksitas yang dimiliki
individu maupun komunitas tertentu. Kompleksitas tersebut terkait dengan essensi dari
manusia itu sendiri yang unik dan holistik dimana sakit bukan hanya persoalan fisik
melainkan psikis, sosialspiritual maupun budaya. Dalam hal budaya, Ray (2010)
mengatakan bahwa dalam proses merawat para pasien perawat harus berhadapan dengan
latar belakang budayanya sendiri, keberagaman budaya pasien, pengetahuannya terhadap
keberagaman budaya tersebut, dan kemampuan perawat tersebut untuk menghubungkan
hal-hal tersebut atau beradaptasi dengan hal-hal tersebut. Dengan kata lain, dibutuhkan
kemampuan perawat dalam melakukan dapatasi terhadap budaya para pasien yang
beragam tersebut.
Adaptasi kultural dapat dipandang sebagai sebuah proses seseorang dalam menyesuaikan
dirinya yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda dengan budaya orang lain.
Dengan kata lain, adaptasi budaya adalah kemampuan seseorang dalam melakukan
penyesuaian terhadap norma, nilai, kepercayaan, perilaku dan kebiasan dari orang lain.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang mempengaruhi
kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya. Hal ini
diangkat dengan asumsi bahwa perawat yang mampu beradaptasi dengan budaya pasien
dapat memberikan layanan yang lebih baik. Leininger (1991) dalm bukunya mengatakan
bahwa perawatan yang total kepada pasien hanya mungkin dilakukan ketika perawat
mampu memandang klien dari desain kerangka berpikir budayanya.
Tujuan
Tujuan dari peelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya.
Metode
Studi ini adalah sebuah studi literatur untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi lintas budaya. Hal ini dilakukan dengan
cara mereview jurnal-jurnal yang telah terpublikasi mengenai adaptasi kultural pada
perawat maupun calon perawat. Jurnal-jurnal tersebut diringkas kemudian disintesa
hasil-hasilnya. Jurnal-jurnal tersebut diidentifikasi melalui artikel-artikel yang telah
dipublikasikan yang diunduh melalui Ebsco Host sebagai pangkalan data jurnal-jurnal
antara tahun 2002-2015 dengan menggunakan kata kunci seperti
Hasil
Berdasarkan hasil sintesis dari 14 jurnal yang berkaitan dengan faktor yang
mempengaruhi kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi lintas budaya, didapati
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
261
paling tidak ada 4 hal yang berkaitan dengan kamampuan adaptasi perawat dalam lintas
budaya:
Pendidikan.
Faktor yang pertama adalah tentang latar belakang pendidikan perawat itu sendiri.
Pendidikan sangat berkaitan dengan kemampuan perawat memahami budaya orang lain.
Melalu proses pendidikan keperawatan baik dalam tahap akademik maupun praktik,
perawat maupun calon perawat diarahkan baik secara kognitif maupun sikapnya untuk
mampu memahami budaya lain disekitarnya. Semakin tinggi pendidikan yang didapat
perawat diharapkan semakin baik kemampuan beradaptasinya.
Selain itu dunia pendidikan keperawatan memegang peranan penting dalam mencetak
calon perawat yang mampu beradaptasi lintas budaya. Institusi pendidikan yang mengatur
kurikulum berbasis lintas budaya maupun memasukannya kedalam proses belajar
mahasiswa serta program-program lintas budaya membuat calon perawat memiliki bekal
yang cukup dalam layanan keperawatan kedepan. Pendapat ini didukung oleh Purnell
(2013) dalam bukunya Transcultural Health Care yang mengatakan bahwa memasukan
materi mengenai kopetensi kultural akan membuat perawat diajarkan sejak dunia
pendidikan untuk mampu memahami kebudayaan pasien. Hal ini akan membuat
mahasiswa calon perawat lebih mampu ketika melakukan layanan kesehatan sebagai
seorang perawat.
Ruth, Cantrell dan Reynolds (2014) yang melakukan penelitian mengenai promoting
cultural understanding through pediatric clinical dyads menemukan bahwa keenam riset
partisipan yang merupakan mahasiswa keperawatan dari Amerika dan Oman ini mampu
memahami mitos-mitos, mengatasi rintangan-rintangan budaya, dan terjadi peningkatan
pemahaman terhadap pandangan budaya lain. Ruddock dan Turner (2007) dalam studiny
mengenai membangung sensitifitas budaya pada mahasiswa keperawatan melalui program
internasionalisasi dan mendapatkan hasil bahwa program ini berhasil mengembangkan
sensitifitas budaya mahasiswa seperti mampu membuat penyesuaian terhadap perbedaan
budaya.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Mareno dan Hart (2014) tentang perbandingan
kompetensi kultural antara perawat lulusan sarjana dan pasca sarja dimana 365 perawat
yang berpartisipan dalam survey ini mendapatkan hasil bahwa meskipun tidak ada
perbedaan yang signifikan dari segi kesadatan, skill, kenyamanan dengan pasien perawat
lulusan pasca sarjana memiliki pengetahuan tentang budaya yang lebih tinggi
dibandingkan perawat sarjana. Penelitian ini memunculkan kesimpulan bahwa pendidikan
keperawatan baik sarjana maupun pasca sarjana perlu memasukan aspek kecakapan
kultural kedalam kurikulum perkuliahan sejak mahasiswa bisa dipersiapkan sejak awal.
Duffy (2002) dalam tulisannya mengenai sebuah kritik pada pendidikan budaya dalam
keperawatan bahkan mengatakan bahwa pendidikan yang transformatif diperlukan sebagai
alternatif untuk mempelajari pendidikan budaya karena pendekatan ini memfokuskan pada
perkembangan kepribadian dan sepertihalnya meningkatkan kemampuan merawat orang
lain dalam hal ini adalah pasien.
Komunikasi
Komunikasi merupakan elemen penting dalam melakukan interaksi umat manusia. Baik
komunikasi verbal maupun non verbal harus mampu dimaknai secara kultural sehingga
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
262
proses penyampaian pesan dapat berlangsung dengan baik. Perawat dalam melakukan
tugas dan tanggungjawabnya menjadikan komunikasi sebagai alat yang paling vital dalam
membangun interaksi dengan pasien yang datang dengan latar belakang budaya yang
beragam. Dengan kata lain, kemampuan perawat dalam beradaptasi dengan pasien-pasien
lintas budaya sangat dipengaruhi oleh kemampuannya membangun komunikasi dengan
pasien-pasien tersebut.
Sebuah penelitian kualitatif oleh Jirwe, Gerrish, and Emami (2009) mengenai pengalaman
komunikasi mahasiswa keperawatan (5 mahasiswa berkewarganegaraan swedia dan 5
mahasiswa berkewarganegaraan non swedia) dalam pertemuan perawatan lintas budaya
dan menemukan beberapa tema seperti para mahasiswa keperwatan ini menyadari bahwa
komunikasi yang efektif menjadi hal yang penting dalam melakukan pertemuan lintas
budaya mengenai perawatan pasien, hal ini terlihat dari kesulitan yang mereka alami dalam
berkomunikasi dengan patient yang memiliki komunikasi verbal yang berbeda,
mengembangkan strategi dalam berkomunikasi dengan pasien yang berbeda, dan
keterbatasan itu berdampak pada ketidakpuasan layanan yang diterima oleh pasien-pasien
yang mereka rawat.
Ho (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa peningkatan kemampuan berbahasa
sebagai bagian dari berkomunikasi dan memahami pasien lintas budaya sangat diperlukan
dalam meningkatkan layanan keperawatan pada lingkungan internasional. Disisi lain
Meuter dkk (2015) mengatakan bahwa memahami bahasa asing dalam konteks kesehatan
sangatlah penting karena komunikasi yang memadai akan berdampak negative seperti
peningkatan stress psikis pada pasien, kesalahan komunikasi atau kesalahpahaman pada
potensi resiko kesehatan. Penelitian serupa dilakukan Tavallali, Kabir, Jirwe (2014)
menemukan bahwa ketidak mampuan perawat dalam beradaptasi dengan budaya pasien
dalam hal melakukan komunikasi lintas budaya akan menimbulkan ketidak puasan layana
pada pasien.
Pengalaman
Proses peningkatan kompetensi layanan keperawatan berbasis lintas budaya akan terus
berkembang seiring terpapar dengan berbagai pengalaman merawat pasien yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda. Penelitian Gabriel dkk (2014) mengatakan bahwa
proses mendapatkan penerimaan dan adaptasi dengan lingkungan profesional adalah
contoh pengalaman-pengalaman perawat dalam mencapai kompetensi budaya. Studi
serupa dilakukan oleh Hung dkk (2013) tentang pengalaman perawat jiwa pemula yang
bekerja pada latar belakang budaya Taiwan menemukan bahwa pengalaman perawat
berproses mulai dari berjuang dengan keterbatasan yang ada, belajar dari interaksi dengan
perawat senior maupun pasien dan keluarga, mulai mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut
hingga perawat memliki perasaan memiliki untuk bekerja di unit itu dan mampu
beradaptasi dengan pasien maupun dengan perawat senior. Penelitian serupa tentang
pengalaman perawat asal Cina yang bekerja di Australia oleh Zhou (2014) menemukan
bahwa pengalaman bekerja dengan budaya yang berbeda ini melewati paling tidak 3
proses yaitu berjuang dengan susah payah, melakukan refleksi, dan menyadari adanya
perbedaan budaya yang harus dikelola dalam proses pelayanan perawat tersebur.
Pelatihan
Guna memperlengkapi perawat dengan kemampuan memahami budaya pasien yang
majemuk, diperlukan pelatihan-pelatihan yang memungkinkan perawat meningkatkan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
263
kompetensi budaya mereka. Penelitian tersebut memberikan tambahan baik secara
pemikiran maupun sikap perawat dalam meningkatkan layanan mereka pada pasien lintas
etnis. Penelitian dari Berlin dkk (2010) menemukan bahwa pelatihan kepada perawat
berdampak positif terhadap pada kemampuan berbudaya mereka pada layanan kesehatan.
Hal ini senada dengan penelitian Majunder, (2003) yang meneliti tentang efek dari program
pelatihan sensitif budaya pada 114 perawat dan 133 pasien dan terbukti bahwa pelatihan
tersebut dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat dan pekerja kesehatan lainnya.
Selain itu, pelatihan itu juga memberikan dampak positif terhadap kesehatan pasien.
Elminowski (2015) dalam penelitiannya tentang efektifitas 3 jam pelatihan pendidikan
budaya menemukan bahwa pelatihan tersebut merupakan hal yang esesnsial dan efektif
untuk menyampaikan pentingnya pendidikan budaya dan pelatihan kepada perawat.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelusuran jurnal-jurnal hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi ketika
melakukan perawat lintas budaya adalah faktor pendidikan, komunikasi, pengalaman, dan
pelatihan-pelatihan yang di dapat.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Indonesia 2015. Badan Pusat Statistik; Indonesia
Watson, J. (1985). Nursing: Human Science and Human Care. Norwalk, CT:
Appleton-Century-Crofts.
Berlin, Anita et.al. (2010). Cultural competence among Swedish child health nurses after
specific training: A randomized trial. Blackwell Publishing Asia Pty Ltd. (12).
381–391. DOI: 10.1111/j.1442-2018.2010.00542.x
Elminowski, Nerfis S. (2015). Developing and Implementing a Cultural Awareness
Workshop for Nurse Practitioners. Journal of Cultural Diversity. (22)3.
Duffy Mary . (2002). A Critique of Cultural Education in Nursing. Journal of Advanced
Nurrsing. (36)4, 487-495. DOI: 10.1046/j.1365-2648.2001.02000.x
Gabriel, Rodriguez.,et.al. (2014). Cultural experiences of immigrant nurses at two
hospitals in Chile. Revista Latino-Americana de Enfermagem. (22)2. 187-196. DOI:
10.1590/0104-1169.2980.2401.
Ho, Ya-Yu Cloudia. (2015). Investigating Internationally Educated Taiwanese Nurses'
Training and Communication Experiences in the United States. Journal of
Continuing
Education
in
Nursing.
(46)5.
218-277.
DOI:
10.3928/00220124-20150420-02
Hung B.J et.al. (2014). The working experiences of novice psychiatric nurses in Taiwanese
culture: a phenomenological study. Journal of Psychiatric and Mental Health
Nursing. (21). 536–543. DOI: 10.1111/jpm.12121
Jirwe M., Kate G & Azita E. (2010). Student nurses’ experiences of communication in
cross-cultural care encounters. Nordic College of Caring Science Journal. (24).
436-444. doi: 10.1111/j.1471-6712.2009.00733.x
Kleinman, A. (1998). Do Psychiatric disorders differ in defferent cultures? In P Brown
(Ed). Mayfield Publishing Company: CA
Leininger, M. (1991). Culture Care Diversity and Universality: A theory of nursing . New
York: National League fo Nursing Press.
Majundar, B. Browne, et. Al. (2003). Effects of Cultural Sensitivity Training on Health
Care Provider Attitudes and Patient Outcomes. Journal of Advanced Nursing, 53(4),
470-479. DOI: 10.1111/j.1547-5069.2004.04029.x
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
264
Moreno. Nicole & Patricia L. Hart. (2014). Cultural Competency among Nurses with
Undergraduate and Graduate Degrees: Implications for nursing education. Nurse
Education Perspective. 35 (2), 83-88). DOI: 10.5480/12-834.1
Meuter, F I Renata et.al. (2015). Overcoming language barriers in healthcare: A protocol
for investigating safe and effective communication when patients or clinicians use
a second language. BMC Health Services Research. (15)371. DOI
10.1186/s12913-015-1024-8
Purnell, L D. (2013). Transcultural Health Care: A Culturally Competent Approach. (4th Ed)
F.A David Company: Philadelphia
Ray, M A. (2010) Transcultural Caring Dynamic in Nursing and Health Care. F.A David
Company: Philadelphia.
Ruddock H.C. & Turner de S. (2007) Developing cultural sensitivity: nursing students’
experiences of a study abroad programme. Journal of Advanced Nursing. 59(4),
361–369. DOI: 10.1111/j.1365-2648.2007.04312.x
Ruth. McDermott L., Cantrell M N., Reynolds. K. (2014) Promoting cultural
understanding through pediatric clinical dyads: An education research project.
Nurse Education Today. Nov2014, Vol. 34 Issue 11, p1346-1351. 6p.
10.1016/j.nedt.2014.03.012.
Travalalli, A G., Zarina, N K., Maria, J. (2014). Ethnic Swedish Parents’ Experiences of
Minority Ethnic Nurses’ Cultural Competence in Swedish Pediatric Care. Nordic
College of Caring Science Journal. (28). 255-263. doi: 10.1111/scs.12051
Zhou, Yunxian. (2014). The Experience of China-Educated Nurses Working in Australia: A
Symbolic
Interactionist
Perspective.
.PLoS
ONE.
(9)9.
e08143.
DOI:10.1371/journal.pone.0108143
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Semarang, 7 November 2015
265
TINGKAT DEPRESI PADA LANJUT USIA : STUDI EKSPORATIF PADA
LANSIA DI KELURAHAN PADANGSARI KOTA SEMARANG
Azka Fathiyatir Rizqillah1), Diyan Yuli Wijayanti2)
Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang
1,2
Abstrak
Latar Belakang. Depresi adalah masalah psikriatrik yang paling sering terjadi di dunia
dan menyerang lebih dari 300 juta jiwa di dunia (National Mental Health Strategy
Australia , 2001). Umumnya, prevalensi depresi pada wanita sekitar 5% - 12% yang jauh
lebih besar daripada prevalensi depresi pada laki-laki yaitu sekitar 2% - 3% (American
Psychiatric Association, 1994). Tahun 2009, prevalensi depresi pada lansia di dunia
kurang lebih 8-15%. Hasil meta analisis didapatkan prevalensi rata-rata depresi pada
lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita-pria 14,1 : 8,6. WHO memperkirakan
pada tahun 2020 depresi akan menduduki peringkat teratas penyakit yang dialami lanjut
usia di negara berkembang termasuk Indonesia (Dharmono, 2008)..
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat depresi pada lansia di
Kelurahan Padangsari.
Metoda. Metode yang dipakai adalah observasi dan structured interview. Penelitian ini
melibatkan 88 lansia di Kelurahan Padangsari Kota Semarang. Instrumen yang digunakan
adalah kuesioner Geriatric Depression Scale Short Form.
Hasil. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi pada lansia cukup bervariasi
yaitu 40,9% (36 orang) lansia tidak mengalami depresi, 40,9% (36 orang) lansia
mengalami depresi ringan dan 18,2% (16 orang) lansia mengalami depresi sedang.
Kesimpulan. Masih minimnya pemeriksaan akan depresi pada posyandu lansia menjadi
salah satu faktor penyebab cukup tingginya prevalensi depresi di Kelurahan Padangsari.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan tenaga kesehatan di Indonesia untuk semakin
memberikan perhatian terhadap masalah psikososial pada lansia dan tidak hanya berfokus
pada masalah-masalah fisik lansia.
Kata kunci: tingkat depresi, lansia
Pendahuluan
Keberhasilan suatu program kesehatan dan program pembangunan suatu negara
pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduknya
(Badan Pusat Statistik, 2010). Angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki
dan perempuan) diproyeksikan naik dari 67,8 tahun pada periode 2000-2005
menjadi 73,6 tahun pada periode 2020-2025 sebagai akibat dari adanya transisi
demografi (Badan Pusat Statistik, 2010). Peningkatan usia harapan hidup
penduduk menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun
ke tahun. Tahun 2002 di Indonesia terdapat 14.439.967 jiwa (7,18%) lansia dan
tahun 2009 jumlah lansia di Indonesia mencapai kurang lebih 23,9 juta jiwa
(9,77%). Diperkirakan tahun 2020 jumlah lansia yang ada di Indonesia akan
mencapai 11,34% atau 28,8 juta jiwa (Menkokesra, 2010; Ronawulan, 2009).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
266
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yang terus meningkat menyebabkan
adanya tuntutan yang besar terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan
khususnya pada lansia dimana masa lanjut usia adalah masa terdapat beberapa
perubahan baik biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Perubahan biologis yang
terjadi pada lansia dimulai dari perubahan tingkat sel hingga organ. Tingkat sel
terjadi penurunan kemampuan untuk replikasi (membelah) sehingga sel menjadi
tetap dan dapat mengalami nekrosis dan apoptosis akibat fisik maupun kimiawi
(Ham, 2007).
Perubahan secara psikologis pada lansia erat kaitannya dengan perubahan biologis
dan perubahan sosial yang dialaminya. Perubahan biologis pada lansia akan
berdampak pada kemampuan sensasi, persepsi dan penampilan psikomotor yang
sangat penting bagi fungsi individu sehari-hari (Atchley&Barusch, 2004; Stuart,
2005). Shives mengatakan bahwa perubahan biologis tersebut umumnya akan
mengakibatkan lansia merasa cemas, kesepian, rasa bersalah, keluhan somatik,
demensia dan depresi (Shives, 2005).
Depresi adalah masalah psikriatrik yang paling sering terjadi di dunia dan
menyerang lebih dari 300 juta jiwa di dunia (National Mental Health Strategy
Australia , 2001). Umumnya, prevalensi depresi pada wanita sekitar 5% - 12%
yang jauh lebih besar daripada prevalensi depresi pada laki-laki yaitu sekitar 2% 3% di salah satu komunitas di Amerika Serikat (American Psychiatric
Association, 1994). Tahun 2009, prevalensi depresi pada lansia di dunia kurang
lebih 8-15%. Hasil meta analisis dari laporan negara-negara di dunia didapatkan
prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan
wanita-pria 14,1 : 8,6. WHO memperkirakan pada tahun 2020 depresi akan
menduduki peringkat teratas penyakit yang dialami lanjut usia di negara
berkembang termasuk Indonesia (Dharmono, 2008).
Depresi yang tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan penurunan
produktifitas kerja, gangguan pola tidur, perubahan nafsu makan, putus asa dan
gagasan bunuh diri (Kaplan, 2010). Depresi adalah penyakit yang dapat
disembuhkan apabila ditangani dengan baik. Menurut Landreville (2001, dalam
Wheeler, 2008) psikoterapi dapat menjadi intervensi yang sehat bagi lansia.
Mackin dan Arean (2005, dalam Wheeler, 2008) menyatakan bahwa Cognitiv
Behavior Therapy (CBT), Reminiscence Therapy (RT), Psychodynamic Therapy
yang ringkas, dan kombinasi Interpersonal Therapy (IPT) dan obat-obatan telah
mendukung intervensi untuk depresi ringan sampai sedang pada depresi mayor.
Videbeck (2008) menyatakan bahwa pada individu yang mengalami depresi dapat
diberikan intervensi psikoterapi Terapi Interpersonal, Terapi Kognitif dan
Perilaku, Terapi Psikoanalitis dan Terapi Keluarga.
Tidak semua penanganan depresi di atas dapat dilaksanakan di lapangan dengan
baik, karena masih minimnya pemeriksaan untuk depresi pada lansia khususnya di
komunitas. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia sebenarnya sudah
mengatur kebutuhan akan kesehatan lanjut usia dalam tugas pokok dan fungsi
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
267
perawat komunitas dan dijabarkan lebih lanjut dalam buku Pedoman Pengelolaan
Kesehatan di Kelompok Usia Lanjut. Salah satu tugas pokok dan fungsi perawat
di puskesmas adalah “mengelola pelaksanaan posyandu lansia”. Depkes RI (2003)
mengatakan bahwa posyandu lansia adalah pelayanan kesehatan di kelompok usia
lanjut meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional.
Kelurahan Padangsari adalah salah satu Kelurahan di Kota Semarang yang
memiliki proposi penduduk lanjut usia yang tinggi, berdasarkan data monografi
bulan Febuari 2013 terdapat 600 lanjut usia yang mendiami 16 Rukun Warga
(RW) di wilayah Kelurahan Padangsari. Terdapat 10 posyandu lansia di 10
Rukun Warga (RW) di wilayah kerja Kelurahan Padangsari dan dibawah
penanganan Puskesmas Padangsari. Posyandu lansia di Kelurahan ini dilakukan
sebulan sekali dengan diisi berbagai kegiatan, akan tetapi berdasarkan observasi
peneliti dan hasil wawancara dari salah satu warga anggota posyandu lansia
kegiatan posyandu biasanya diisi dengan pemeriksaan kesehatan, penyuluhan,
senam dan juga informasi-informasi dari anggota RW. Sangat jarang sekali
kegiatan posyandu yang dilakukan untuk mengukur keadaan emosional lansia,
khususnya pada masalah depresi. Sebagian besar kegiatan posyandu diisi dengan
masalah-masalah kesehatan fisik seperti hipertensi, diabetes mellitus, asam urat
dan sebagainya.
Masyarakat lanjut usia di Kelurahan Padangsari juga terlihat masih jarang
terpapar dengan informasi mengenai depresi. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya lansia yang pada awalnya keberatan menjadi responden dalam
penelitian ini karena merasa dirinya tidak depresi namun setelah dilakukan
pendekatan dan diwawancara berdasarkan Geriatric Depression Scale Short Form
ternyata mengalami depresi ringan atau sedang. Terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi angka kejadian depresi. Salah satunya adalah faktor
lingkungan tempat tinggal. Sebagian besar lanjut usia di Indonesia bertempat
tinggal dengan keluarganya (Darmojo, 2009). Namun di Indonesia juga terdapat
panti wredha atau Unit Rehabilitasi Sosial yang merupakan institusi tempat
tinggal dari kumpulan para lanjut usia dan berada dibawah koordinasi Dinas
Sosial. Perbedaan tempat tinggal ini memunculkan perbedaan lingkungan fisik,
sosial, ekonomi, psikologis dan spiritual. Perbedaan jenis tempat tinggal
disebutkan sebagai faktor prediktor independen untuk terjadinya depresi pada
lanjut usia (Chung, 2008; Karakaya et al, 2009; Thompson & Borson, 2006).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pengaruh factor
lingkungan terhadap insidensi depresi pada lansia. Salah satunya adalah Penelitian
Ayu Fitri (2011) tentang studi perbandingan kejadian dan tingkat depresi pada
lansia di panti wreda dan komunitas Kota Semarang. Penelitian ini melibatkan 52
lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang dan 50 lansia di
Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Hasil dari
penelitian Ayu Fitri ini menunjukkan bahwa kejadian depresi lebih tinggi terjadi
di komunitas daripada di panti wredha atau unit rehabilitasi sosial. Dimana 60%
lansia di komunitas mengalami depresi dan hanya 38,5% lansia di unit rehabilitasi
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
268
sosial yang mengalami depresi. Persebaran tingkat depresi lansia di panti wreda
cukup bervariasi yaitu 26,9% mengalami depresi ringan, 9,6% mengalami depresi
sedang dan 1,9% mengalami depresi berat. Persebaran tingkat depresi lansia di
komunitas cukup tinggi dimana lansia dengan depresi ringan sejumlah 40% dan
depresi sedang 20% (Ayu Fitri, 2011). Masih minimnya penelitian tentang tingkat
depresi di komunitas, khususnya di Kelurahan Padangsari dan masih minimnya
pemeriksaan awal untuk mengetahui prevalensi depresi di wilayah ini membuat
peneliti tertarik untuk meneliti tingkat depresi pada lansia di Kelurahan
Padangsari. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat depresi pada
lansia di Kelurahan Padangsari.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain cross sectional.
Data merupakan data primer yang diambil pada bulan April – Mei 2013. Subjek
dari penelitian ini adalah lansia yang tinggal di wilayah Kelurahan Padangsari,
berusia lebih dari sama dengan 60 tahun dan kurang dari 70 tahun dan tidak
mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan hambatan komunikasi
seperti gangguan pendengaran, gangguan berbicara, demensia dan delirium.
Kriteria eksklusi ditetapkan untuk mengeliminasi subjek yaitu lanjut usia yang
mengalami gangguan persepsi dan sensori atau mengalami kondisi sakit yang
menyebabkan gangguan komunikasi seperti stroke.
Jumlah sampel dari penelitian ini adalah 88 lansia dari populasi lansia yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 189 lansia. Subyek dipilih dengan
menggunakan teknik random sampling. Penentuan sampel dilapangan
menggunakan metode Tabel Angka Random (TAR). Lansia yang memenuhi
kriteria inklusi kemudian dijelaskan tentang tujuan dan manfaat dari penelitian ini
dan diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden
(informed consent). Responden kemudian diukur tingkat depresi dengan
menggunakan kuesioner Geriatric Depression Scale Short Form, dimana nilai 04 menunjukkan tidak depresi, nilai 5-9 menunjukkan depresi ringan, nilai 10-12
depresi sedang dan nilai 13-15 depresi berat. Peneliti mengumpulkan data dengan
mengikuti kegiatan posyaandu lansia dan mendatangi rumah lansia satu per satu
sesuai data yang ada. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisa
univariat dimana data akan disajikan dalam distribusi frekuensi melalui grafik
atau tabel.
Hasil Penelitian
Sebanyak 88 responden ikut serta dalam penelitian ini dengan mengisi kuesioner
GDS Short Form dan kuesioner data demografi. Adapun karakteristik dari
responden penelitian ini dapat dilihat melalui tabel dibawah ini :
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
269
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik di Kelurahan
Padangsari bulan April-Mei 2012, (n=88)
Karakteristik
F
%
Jenis Kelamin
39
44,3
Laki laki
49
55,7
Perempuan
Umur
60-62 tahun
41
46,6
63-64 tahun
29
32,9
65-68 tahun
18
20,5
Agama
53
60,2
Islam
Katolik
18
20,5
Kristen
17
19,3
88
100
TOTAL
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Depresi di Wilayah Kerja
Kelurahan Padangsari, bulan April-Mei 2012
(n=88)
Tingkat Depresi
F
%
Tidak Depresi
Depresi Ringan
Depresi Sedang
Depresi Berat
TOTAL
36
36
16
0
88
40,9
40,9
18,2
0
100
Pembahasan
Depresi pada lansia dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah, kerusakan
fungsional dan kematian (Whooley and Jonathan, 2008). Masih tingginya
prevalensi depresi pada lansia di dunia membutuhkan perhatian yang cukup besar
dari tenaga kesehatan. Prevalensi depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari
cukup sedikit. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar lansia yang tinggal di
wilayah Kelurahan Padangsari tidak mengalami depresi yaitu 36 orang (n=88)
serta cukup banyak yang mengalami depresi ringan yaitu sebanyak 36 orang
(n=88) dan lansia yang mengalami depresi sedang adalah sebanyak 16 orang
(n=88). Lansia di Kelurahan Padangsari juga baik secara secara mental, hal itu
dibuktikan dengan tidak adanya lansia yang mengalami depresi berat (0%).
Observasi peneliti menunjukkan bahwa sebagian besar lansia yang tidak
mengalami depresi di Kelurahan Padangsari menyatakan bahwa dirinya puas
dengan kehidupannya sekarang. Lansia yang tidak mengalami depresi ini terlihat
sangat terbuka dan memiliki empati yang tinggi. Sebagian besar dari mereka
mengatakan bahwa mereka senang membantu mahasiswa dalam melakukan
penelitian karena anak-anak mereka juga pernah melakukan penelitian sebagai
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
270
syarat wisuda sarjana. Mereka juga sangat ramah dan hangat. Lansia dengan
depresi ringan sebagian besar mengatakan belum puas dengan kehidupannya
sekarang, masih banyak hal yang ingin dicapainya tapi belum tercapai.Responden
dengan kriteria ini juga mengatakan bahwa dirinya sering merasa jenuh dan bosan
terhadap kehidupannya sekarang dan yakin bahwa banyak sekali orang yang lebih
baik dari diri mereka serta sering mengalami masalah dengan ingatan akhir-akhir
ini.
Depresi ringan ditandai afek depresif (suasana hati tertekan), kehilangan minat
terhadap kesenangan dan merasa lelah. Depresi ringan ditunjukkan dengan
sedikitnya ada 2 gejala yang ditemukan selama kurun waktu minimal 2 minggu.
Kriteria depresi sedang adalah sedikitnya ada dua dari tiga gejala-gejala utama
depresi, ditambah minimal 3 gejala lain dari depresi dan dalam kurun waktu
minimal 2 minggu (WHO, 2008). Hal ini sesuai dengan validasi yang dilakukan
oleh peneliti.Sebagian besar lansia dengan depresi ringan tidak dalam suasana hati
yang menyenangkan saat bertemu dengan peneliti. Bahkan beberapa responden
terlihat setengah hati menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bayu Rizky A
(2011) tentang gambaran tingkat depresi pada lansia di Kelurahan Babakan Sari
Wilayah Kerja Puskesmas Babakan Sari Kota Bandung. Penelitian Bayu ini
menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan 95 responden lansia dan
diukur tingkat depresi dengan kuesioner yang sama dengan penelitian peneliti
yaitu kuesioner GDS 15-item. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 58%
responden tidak mengalami depresi dan 42% responden (n=95) mengalami
depresi dengan rincian 24% mengalami depresi ringan, 11% mengalami depresi
sedang dan 7% mengalami depresi berat (Rizky Bayu, 2011).
Hal ini cukup sesuai dengan keadaan lansia di lingkungan Kelurahan Padangsari.
Berdasarkan hasil observasi peneliti sebagian besar lansia yang terlihat memiliki
suasana hati yang buruk dan sudah meninggalkan aktivitas yang disukainya
selama lebih dari 2 minggu adalah lansia berjenis kelamin wanita. Peneliti lebih
sering menemukan lansia wanita yang tidak puas dengan kehidupannya dan
memiliki suasana hati yang buruk saat dilakukan wawancara berdasarkan
kuesioner GDS-SF.
Terdapat juga beberapa lansia yang mengalami depresi sedang di Kelurahan
Padangsari meskipun prevalensinya sedikit yaitu 16 dari n=88 (18,2%). Lansia
dengan depresi sedang ini merasa bahwa banyak hal yang disesali dalam
hidupnya, mereka sering merasa hidupnya kosong dan sering merasa jenuh dan
bosan. Sebagian responden juga sudah meninggalkan aktivitas yang mereka sukai
karena terhalang oleh penyakit seperti ulcus diabetes dan penyakit jantung.
Mereka juga merasa bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi dan banyak orang
yang jauh lebih baik daripada diri mereka sekarang. Lansia dengan karakteristik
ini semuanya mengeluhkan bahwa diri mereka sedang mengalami penyakit yang
kronis seperti ulkus diabetikum, memiliki penyakit jantung atau penyakit tumor.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
271
Hal ini sesuai dengan penelitian Patten S (2001) di Kanada bahwa pasien dengan
penyakit kronis memiliki resiko mengalami depresi lebih tinggi daripada pasien
yang tidak memiliki penyakit kronis. Sejumlah 4% dari pasien dengan satu atau
lebih penyakit kronis di Kanada mengalami depresi dan hanya 2,3% pasien tanpa
penyakit kronis di Kanada mengalami depresi dalam kurun waktu dua tahun
terakhir (Patten, 2001). Ali S et al (2006) juga mengemukakan bahwa pasien
dengan penyakit kronis memiliki resiko 66, 67% lebih tinggi untuk mengalami
depresi dibandingkan dengan pasien lainnya.
Secara umum, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian tentang prevalensi
depresi pada lansia di Seoul, Korea Selatan. Penelitian Lee, Choi, Jung & Kwak
(2000) melaporkan bahwa prevalensi depresi pada lansia di Seoul adalah 44% dari
seluruh lansia yang ada di Seoul dan 18,8% nya mengalami depresi ringan, 7,4%
mengalami depresi sedang dan 17,8% mengalami depresi berat (Lee, Choi, Jung
& Kwak, 2000). Secara angka terdapat jumlah yang jauh berbeda tentang
prevalensi depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari dan data dari penelitian
Lee, Choi, Jung & Kwak. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan jumlah populasi
dan responden yang signifikan antara penelitian ini dan data tersebut. Data
tersebut dapat menunjang bahwa prevalensi depresi pada lansia memang cukup
banyak terjadi.
Fenomena lain yang cukup menarik dari hasil sebaran tingkat depresi lansia di
Kelurahan Padangsari adalah jumlah lansia yang tidak mengalami depresi sama
dengan jumlah lansia yang mengalami depresi ringan (40,9%). Hasil observasi
peneliti di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar lansia dengan depresi
ringan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami depresi dan tidak mau percaya
bahwa dirinya mengalami depresi ringan. Hal ini dapat menjadi faktor banyaknya
depresi yang tidak terdiagnosa secara dini (underdiagnosed). Hal ini sejalan
dengan data dari The Behavioral Risk Factor Surveillance System 2006 di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensi pasien dengan depresi yang
terlambat didiagnosa di Amerika Serikat mencapai 8.7%-9.2% (Strine TW et al,
2008).
Serta membuktikan bahwa di masyarakat masih beredar stigma negatif pada
pasien dengan mental dissoder termasuk depresi.Stigma adalah ketika orang dan
masyarakat yakin bahwa seseorang itu buruk dan harus dijauhkan dari pergaulan
di lingkungan sekitar dan di masyarakat (Champbell, 2005). Hal ini sesuai ketika
ada beberapa responden yang terlihat tidak senang ketika peneliti berusaha untuk
mengetahui tingkat depresi lansia tersebut dan mengatakan bahwa tidak ada lansia
yang depresi di Kelurahan Padangsari ini.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi pada lansia di Kelurahan
Padangsari cukup bervariasi dimana jumlah lansia yang tidak mengalami depresi
sama dengan jumlah lansia yang mengalami depresi ringan dan tidak ada lansia
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
272
yang mengalami depresi berat di Kelurahan Padangsari. Adapun beberapa saran
yang dapat peneliti sampaikan adalah petugas kesehatan khususnya perawat
komunitas di puskesmas diharapkan dapat menjalankan tugas pokok dan
fungsinya secara holistik, tidak hanya fokus pada masalah fisik tetapi juga
masalah mental lansia khususnya masalah depresi pada lansia.
Daftar Pustaka
American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders: DSM-IV. 4th ed. Washington: American Psychiatric
Association; 1994.
Campbell, Maimane & Sibiya, 2005. Understanding and Challenging HIV/AIDS
Stigma.
Chung S. Residential status and depression among Korean elderly people:a
comparison between residents of nursing home and those based in the
community. Health Soc Care Community. 2008 Jul; 16(4): 370-7.
Darmojo RB. Gerontologi dan geriatri di Indonesia. Dalam: Sudoyo
AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibarata MK, Setiyati S (editor). Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi V, Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009:halaman 924-33.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengelolaan Kesehatan di
Kelompok Usia Lanjut. 2003
Dharmono.
S.
Waspadai
Terhadap
Lansia .
Available
from:http//www.infogue.com. 2008. diakses pada 21Desember 2012.
National Mental Health Strategy (Australia), Australia. Departmentof Health and
Aged Care. Mental Health and SpecialPrograms Branch. National action
plan for depression : under the National Mental Health Plan: 1998–2003.
Canberra: Mental Health and Special Programs Branch, Commonwealth
Department of Health and Aged Care, 2001.
Strine TW et al. Depression and anxiety in the United States: findings from the
2006 Behavioral Risk Factor Surveillance System. Psychiatr Serv. 2008
Dec;59(12):1383-90.
Stuart, G. W. & Laraia, M.T. Principle and practice of psychiatric nursing. (8th
ed.). Philadelphia, USA: Mosby, Inc. 2005.
Thompson DJ, Borson S. Major depression and related disorders in late life.
Dalam: Agronin ME, Maletta GJ. Principles and practice of geriatric
psychiatry. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins; 2006: 349-68.
Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa . Edisi Bahasa Indonesia. Alih
bahasa : Renata Komalasari dan Afrina Hany. Jakarta: EGC.
Wheeler, K. (2008). Psychotherapy for the advanced practice psychiatric nurse.
USA: Mosby, Inc.
World Health Organization. 2008. Depression. Retrieved April 18, 2008, from
http://www.who.int/mental_health/management/depression/definition/en/.
diakses pada 18 Juni 2013
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
273
DETEKSI POSTNATAL DEPRESSION MENGGUNAKAN
EDINBURG POSTNATAL DEPRESSION SCALE (EPDS) PADA KUNJUNGAN
RUMAH IBU POST PARTUM
Diah Indriastuti, Tahiruddin
Universitas Cendrawasih Jayapura-Papua,
Email: [email protected], Email: [email protected]
Abstrak
Pendahuluan. Gambaran buruk setelah nifas dan kecemasan yang tidak dapat dikontrol oleh ibu
pasca melahirkan merupakan tanda terjadinya depresi post partum atau Post natal depression (PND)
yang tidak hanya membahayakan ibu tetapi juga bayinya. Gejala depresi yang tidak dikenali dan
ditangani dengan baik dapat menyebabkan gangguan social, psikologi dan pekerjaan bagi ibu dan
menempatkan bayi pada posisi beresiko mengalami masalah perkembangan, perilaku dan emosional.
Hubungan antara PND dan kesehatan mental bayi telah menjadi fokus utama intervensi pada
kunjungan rumah. Edinburg Postpartum Depression Scale (EPDS) sebagai alat pengkajian suasana
hati sangat penting bagi ibu dengan resiko PND. EPDS adalah skala laporan diri berisi 10 item
pertanyaan mengenai gejala depresi selama 1 minggu yang lalu. Nilai dari pengukuran skala dalah 030, setiap item memiliki skala empat poin (0-3).
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kejadian PND pada ibu postnatal melalui
kunjungan rumah.
Metoda. Penelitian ini menggunakan mix methods atau metode campuran dengan sampel ibu
postnatal. Data dikumpulkan dari 3 jurnal, pengukuran skala depresi posnatal dilakukan
menggunakan EPDS.
Hasil. Kunjungan pertama pada ibu Post Partum ditemukan kejadian PND, 9 dari 17 ibu (47%)
memiliki skor EPDS ≥9. 5 dari 7 kasus yang dikunjungi (71%), ditemukan ibu post partum telah
mengalami selama episode depresi dengan skor EPDS ≥9. 2 ibu tidak terindentifikasi memiliki
potensi depresi menurut pengukuran EPDS. Setelah melahirkan pada bulan ketiga, 69 ibu pada
kelompok kontrol (37.7%) dan 65 ibu pada kelompok intervensi (35.3%) memiliki skor postpartum
sebesar 10.1 tahun setelah post partum, 174 wanita (25,6%) mengalami depresi dengan skala EPDS ≥
12.
Pembahasan. Lima puluh persen episode depresi terjadi diantara 5 minggu pertama setelah
melahirkan bahkan selbih singkat yaitu 1 minggu. Akibat terlalu cepat dan pendeknya waktu kejadian
depresi dan ketrlambatan kunjungan rumah dilaksanakan, skor EDPS seringkali menunjukkan level
rendah cenderung tidak dapat teridentifikasi. Keterlambatan kunjungan, pada bulan ketiga setelah
persalinan tidak memberikan efek yang dignifikan pada kejadian PND. Intervensi yang berguna
untuk mengatasi depresi adalah kunjungan rumah khusus untuk pengelolaan PND untuk perawatan
depresi bukan untuk pencegahan. Sedangkan untuk kunjungan rumah yang ditujukan pada neonatal
dilaksanakan secara terpisah. Wanita dengan Ekonomi status rendah, riwayat keluarga memiliki
penyakit kejiwaan, pernah mengalami penyakit somatic, tidak merencanakan kehamilan, tidak puas
terhadap body image selama kehamilan, paritas > 3, persalinan SC, tidak dapat menyusui, riwayat
kehilangan bayi, tidak mendapatkan dukungan suami dan memiliki riwayat sakit Jiwa dapat menjadi
sasaran utama untuk pemeriksaan EPDS.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
274
Kesimpulan. PND dapat meningkat setiap saat. EPDS berperan dalam mendeteksi keberadaan
depresi ibu post partum. Pengembangan skill dan pengetahuan tenaga kesehatan dalam deteksi PND
dan edukasi masyrakat untuk pemanfaat EPDS sangat dibutuhkan. Kunjungan rumah yang paling
tepat dilaksanakan pada 2 minggu setelah persalinan.
Keyword: Deteksi, Postnatal Depression, EPDS, Kunjungan Rumah
Pendahuluan
Gambaran buruk setelah nifas dan kecemasan yang tidak dapat dikontrol oleh ibu pasca
melahirkan merupakan tanda terjadinya depresi post partum atau Post natal depression (PND)
yang tidak hanya membahayakan ibu tetapi juga bayinya. Meskipun kehamilan dan
melahirkan adalah proses alami untuk wanita, namun dapat menyebabkan ketidakseimbangan
emosional terutama setelah bersalin. Pada tahun 1996 dilakukan penelitian mengenai depresi
post natal oleh O’Hara dan Swain yang menunjukkan bahwa depresi terjadi pada ibu
primipara sebesar 13%(Soep, 2000). Gejala depresi yang tidak dikenali dan ditangani dengan
baik dapat menyebabkan gangguan social, psikologi dan pekerjaan bagi ibu dan menempatkan
bayi pada posisi beresiko mengalami masalah perkembangan, perilaku dan emosional(Ueda et
al., 2006). Tingkat kejadian PND terendah terjadi di Eropa Barat dan Australia, tingkat
menengah terjadi di Amerika, tingkat tertinggi di Amerika Selatan dan Asia. Negara di Asia
yang memiliki prevalensi PND tinggi diataranya India (32%), korea (36%), Guyana dan
Taiwan (61%), namun sebagian penderita menolak untuk dikatakan mengalami depresi, tidak
memperdulikan tanda dan gejala depresi dan cenraderung untuk tidak mencari bantuan
profesiona l(Dindar & Erdogan, 2007). Penderita PND akan merasa malu jika diketahui
mengalami depresi dan takut dianggap tidak mampu berperan sebagai ibu(Soep, 2000).
Terjadinya peningkatan prevalensi PND pada wanita dengan riwayat depresi atau memiliki
factor resiko gangguan psikososial seperti pendapatan rendah atau stress semasa
kehamilan(Dugravier et al., 2013).
Rusaknya tali kasih antara ibu dan anak dapat menyebabkan gangguan dalam pengasuhan
sehingga menyebabkan gangguan perkembangan pada anak sejak bayi hingga dewasa. (Soep,
2000). Sehingga PND menjadi permasalahan penting dalam masyarakat umum yang
berpengaruh buruk pada kesehatan ibu, bayi, dan anggota keluarga lainnya yang terjadi dalam
rentang waktu 2 minggu sampai 1 tahun (Dindar & Erdogan, 2007). PND merupakan factor
resiko untuk kesehatan mental anak dan dikaitkan dengan gangguan mental lanjutan pada anak
pra sekolah terutama persaan aman, dan gangguan perkembangan kognitif, sosial dan
emosional. Pengaruh PND diperkirakan menjadi sebab anak pada usia 11 tahun beresiko 4 kali
mengalami gangguan kejiwaan(Dugravier et al., 2013)
Hubungan antara PND dan kesehatan mental bayi telah menjadi fokus utama intervensi pada
kunjungan rumah(Dugravier et al., 2013). Ibu yang meminta diberikan kunjungan rumah
disebabkan oleh kesulitan dalam perawatan bayi dan pengasuhan. Pada minggu ke 6-10,
kunjungan rumah dilaksanakan(Ueda et al., 2006), Pada kunjungan rumah ini, tenaga
kesehatan dapat melakukan pengkajian pada ibu untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
depresi. Sebagai contoh program kunjungan rumah yang disertai dengan pengkajian PND
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
275
adalah Program Keluarga Sehat di Amerika atau Kemitraan Perawat dan Keluarga. Tim
kesehatan dalam kunjungan rumahnya bekerjasama dengan ibu mengakan stategi promosi
kesehatan mental seperti cara mengatasi stress di waktu sulit, mengajarkan kemapuan
menyelesaikan masalah pada ibu yang meningkatkan self efficacy, menyediakan bantuan dan
bekerja sama dengan ibu untuk meningkatkan dukungan social. Kemampuan pengasuhan dan
kasih sayang pada awal pengasuhan anak dapat mengurangi resiko gangguan
mental(Dugravier et al., 2013).
Penggunaan Edinburg Postpartum Depression Scale (EPDS) sebagai alat pengkajian suasana
hati sangat penting bagi ibu dengan resiko PND. Skala ini dikembangkan oleh COX pada
tahun 1987 (Dindar & Erdogan, 2007). EPDS adalah skala laporan diri berisi 10 item
pertanyaan mengenai gejala depresi selama 1 minggu yang lalu. Nilai dari pengukuran skala
dalah 0-30, setiap item memiliki skala empat poin (0-3) (Ueda et al., 2006). Penilaiannya
adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Nilai 1-8 tidak menunjukkan kejadian depresi
Nilai 9-11 menunjukkan nilai depresi yang rendah
Nilai 12-30 menunjukkan nilai depresi rendah meningkat ke tinggi.
Nilai 0 dicatat sebagai kemungkinan terjadinya depresi karena beberapa wanita cenderung
menutupi gejala depresinya(Dindar & Erdogan, 2007).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kejadian PND menggunakan EPDS pada ibu
postnatal melalui kunjungan rumah.
Metoda
Design penelitian ini adalah sistematik review dengan metode campuran (mix metode). Artikel
dikumpulkan dengan menelusuri jurnal yang melaksanakan pengukuran Postnatal depression
menggunakan EPDS. Criteria inklusi yang digunakan adalah :
a. Artikel pengukuran PND menggunakan EPDS
b. Populasinya meliputi ibu post natal, baik nulipara maupun multipara.
c. Menerima kunjungan rumah dari tenaga kesehatan.
d. Hasil akhir yang diukur adalah prevalensi kejadian PND yang terdeteksi menggunakan
EPDS pada kunjungan rumah
Kriteria eksklusinya adalah artikel yang tidak menggunakan EPDS dan tidak menerima
kunjungan rumah dari tenaga kesehatan. CASP menggunakan Evaluative Tool for Mixed
Method Studies (USIR, 2005). Artikel dikumpulkan dengan melakukan penelusuran di
EBSCO, Proquest dan Google search dengan keyword, Postnatal depression, post partum
depression, dan EPDS. Boolean operator yang digunakan adalah “And” untuk memfokuskan
pencarian data. Ekstraksi data, mengelompokkan data menurut variabel yang ingin dikaji. Data
synthesis digunakan untuk prevalensi kejadian PND menggunakan EPDS pada kunjungan
rumah.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
276
Table 1. ekstraksi Data
Peneliti
Design
Ilknur
Decriptive
Dindat, et design and
al.
random
(2007)
survey
method
Romain
PROBE
Dugravier, (Prospective
et
al. Randomized
(2013)
Open
Blinded
Endpoint)
Matoko
Diagostic
Ueda et al. test Study
(2006)
Populasi
Sample
ibu
post 679 ibu
partum di 9 partum
puskesmas di
Turki.
Semua
ibu
primipara
pada trimester
2
yang
memeriksakan
diri ke 10
klinik
maternitas di
Paris
Ibu dan bayi
dengan
kunjungan
rumah
Intervensi
post Pengukuran PND menggunakan EPDS
1. 183 wanita Pengawasan selama 27 bulan pada ibu
sebagai
yang memiliki anak beresiko mengalami
kontrol
gangguan kesehatan mental
2. 184 wanita
mendapatk
an
intervensi
Hasil
Penelitian menunjukkan 25,6%
kejadian PND pada level tinggi
dan 16,7% pada level rendah
PND
Nilai mean (SD) EPDS untuk
grup control adalah 9.4 (5.4)
dan 8.6 (5.4) untuk grup
intervensi (p = 0.18).
70
wanita Gangguan suasana hati pada ibu dikaji 19 ibu (27% dikategorikan
wanita jepang dengan 2 modalitas diagnostic (EPDS & mengalami onset baru depresi.
yang menerima SCID IV).
kunjungan
rumah neonatal
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
277
Hasil
Pada proses penelusuran artikel jurnal melalui EBSCO didapatkan opsi sebanyak 13,990
artikel dan 163.000 hasil dari google search engine. Kemudian setelah dilakukan screening
awal didapatkan 3 artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Artikel tersebut adalah artikel
yang paling eligible dengan tujuan sustematic review tentang Deteksi Postnatal Depression
menggunakan EPDS (Edinburg Postnatal Depression Scale) pada Kunjungan Rumah Ibu Post
Partum.
Post Natal Depression kunjungan rumah pertama kali
a.
NO Peneliti
1
Motoku
Ueda
(2006)
2
Roamin
Dugravier
(2013)
3
Ilnur
Dindar
(2007)
b.
Skala
EPDS
EPDS
≥9
EPDS ≥
9
EPDS
>11
EPDS
10
EPDS ≥
12
EPDS
9-11
EPDS ≥
9
EPDS 0
Periode
n
%
Awal
9/17
47%
Depresi
5/7
71%
Prepartum
164
44,7%
3
bulan
Postpartum
1
year
postpartum
174
25,6%
114
16,8%
362
53,3%
29
4,3%
Kelompok
Kontrol
N
%
Intervensi
n
%
86
47,0% 78
42,4%
69
37.7% 65
35.3%
Penyebab PND dengan pengukuran EPDS
Pada saat kunjungan rumah diketahui penyebab depresi pada ibu post partum dari skor
terendah ke tinggi adalah (Dindar & Erdogan, 2007):
Variabel
N
%
EPDS score mean ± SD
Ekonomi status rendah
Riwayat keluarga : sakit
kejiwaan
Pernah mengalami penyakit
somatic
Tidak
merencanakan
kehamilan
Tidak puas terhadap body
image selama kehamilan
111
48
16,4
13,2
11,78±6,26
10,83±5,92
Nilai
depresi
Rendah
Rendah
72
14,4
10,71±5,45
Rendah
239
53,4
9,86±5,77
Rendah
159
23,4
11,18±5,94
Rendah
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
278
Paritas > 3
Persalinan SC
Tidak dapat menyusui
Riwayat kehilangan bayi
Tidak
mendapatkan
dukungan suami
Riwayat sakit Jiwa
60
394
220
27
161
8,8
58,0
32,0
4
23,7
11,68± 6,62
9,07± 5,73
9,08±6,16
10,26
10,14± 6,06
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
132
52,3
13,42±6,17
Tinggi
Pembahasan
Kejadian PND terjadi pada masa awal post partum. Para ibu yang mengalami depresi adalah
mereka yang membutuhkan dukungan kunjungan rumah selama periode postnatal atau post
partum. 50% episode depresi terjadi diantara 5 minggu pertama setelah melahirkan bahkan
selbih singkat yaitu 1 minggu. Akibat terlalu cepat dan pendeknya waktu kejadian depresi dan
ketrlambatan kunjungan rumah dilaksanakan, skor EDPS seringkali menunjukkan level rendah
cenderung tidak dapat teridentifikasi(Ueda et al., 2006).
Keterlambatan kunjungan, yaitu pada bulan ketiga setelah persalinan tidak akan memberikan
efek yang dignifikan pada kejadian PND. Intervensi yang terbukti berguna untuk mengatasi
depresi adalah kunjungan rumah yang hanya ditujukan pada pengelolaan PND. Fokus utama
kunjungan rumah pada ibu post partum adalah untuk perawatan depresi bukan untuk
pencegahan. Sedangkan untuk kunjungan rumah yang ditujukan pada neonatal dilaksanakan
secara terpisah(Dugravier et al., 2013).
Wanita dengan Ekonomi status rendah, riwayat keluarga memiliki penyakit kejiwaan, pernah
mengalami penyakit somatic, tidak merencanakan kehamilan, tidak puas terhadap body image
selama kehamilan, paritas > 3, persalinan SC, tidak dapat menyusui, riwayat kehilangan bayi,
tidak mendapatkan dukungan suami dan memiliki riwayat sakit Jiwa dapat menjadi sasarn
utama untuk pemeriksaan EPDS(Dindar & Erdogan, 2007).
Kesimpulan
Postnatal Depression dapat meningkat setiap saat selama tahun-tahun kelahiran. Penelitian
menunjukkan bahwa EPDS sang berperan dalam mendeteksi keberadaan depresi pada ibu post
partum. Pengembangan skill dan pengetahuan tenaga kesehatan dalam deteksi PND dan
Edukasi masyrakat untuk pemanfaat EPDS sangat dibutuhkan(Dindar & Erdogan, 2007).
Akibat keterlambatan kunjungan rumah, PND seringkali tidak terdeteksi. Kunjungan rumah
yang paling tepat dilaksanakan pada 2 minggu setelah persalinan(Dugravier et al., 2013).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
279
Daftar Pustaka
Dindar, I., & Erdogan, S. (2007). Screening of Turkish Women for Postpartum Depression
Within the First Postpartum Year : The Risk Profile of a Community Sample, 24(2), 176–
183.
Dugravier, R., Tubach, F., Saias, T., Guedeney, N., Pasquet, B., Purper-ouakil, D., … Matos,
J. (2013). Impact of a Manualized Multifocal Perinatal Home- Visiting Program Using
Psychologists on Postnatal Depression : The CAPEDP Randomized Controlled Trial,
8(8), 1–11. doi:10.1371/journal.pone.0072216
Soep. (2000). PENERAPAN EDINBURGH POST-PARTUM DEPRESSION SCALE
SEBAGAI ALAT DETEKSI RISIKO DEPRESI NIFAS PADA PRIMIPARA DAN
MULTIPARA.
Ueda, M., Yamashita, H., & Yoshida, K. (2006). Impact of infant health problems on postnatal
depression : Pilot study to evaluate a health visiting system, 182–189.
USIR. (2005). Evaluation Tool for “Mixed Methods” Study Designs The “mixed method”
evaluation tool was developed from the evaluation tools for “quantitative” and
“qualitative” studies,. Policy. Salford, Greater Manchester: University of Salford
Manchester. Retrieved from http://usir.salford.ac.uk/13070/
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
“
Se ara g, 7 No e ber
5
280
PENGARUH TERAPI HIPNOTIS LIMA JARI UNTUK MENURUNKAN
KECEMASAN PADA MAHASISWA YANG SEDANG MENYUSUN SKRIPSI DI
STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN
Retno Yuli Hastuti1, Sutaryono2, Ayu Arumsari3
E-mail : [email protected]
Abstrak
Pendahuluan: Mahasiswa yang sedang menyusun skripsi banyak mengalami kendala salah
satunya kecemasan. Untuk mengatasi kecemasan yang dialami mahasiswa yang sedang menyusun
skripsi diberikan terapi hipnotis lima jari.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk
menurunkan kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen dengan pendekatan rancangan
penelitian One group Pre test-Post test yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi hipnotis
lima jari untuk menurunkan kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi
Hasil : Responden sebanyak 18 orang, setelah dilakukan pengukuran sebelum perlakuan
didapatkan hasil cemas sedang sebnyak 18 orang (100%) dan setelah mendapat perlakuan menjadi
15 orang (83,3%) mengalami cemas ringan dan 3 orang (16,7%) mengalami cemas sedang.
Adapun hasil uji statistik didapatkan hasil p=0,000 (p<0,05).
Kesimpulan : bahwa dalam penelitian ini ada hubungan atau pengaruh yang kuat dari perilaku
sebelum terapi hipnotis lima jari dan sesudah terapi hipnotis lima jari (p < 0,05).
Kata kunci : kecemasan, hipnotis lima jari
Pendahuluan
Kecemasan (ansietas) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan
dengan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan (ansietas) berbeda dengan rasa takut,
yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. kecemasan (anisietas) adalah
respon emosional terhadap penilaian tersebut (Stuart, 2006). Menurut Kliat dkk (2011)
Kecemasan (ansietas) adalah suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan
terjadi dan merasa tidak nyaman seakan ada ancaman yang disertai gejala-gejala fisik
seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan tangan gemetar.
Riskesdas (2013) menyebutkan prevalensi kecemasan pada penduduk Indonesia
diperkirakan 20% dari populasi dunia dan sebanyak 47,7% remaja merasa cemas. Saat ini
lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Terjadi penurunan
prevalensi gangguan emosional seperti gangguan kecemasan dari 11,6% tahun 2007
menjadi 6,0% tahun 2013 dari populasi orang dewasa. Peserta didik termasuk di dalamnya
mahasiswa banyak mengalami peristiwa yang mungkin menimbulkan kecemasan,
misalnya dalam penyusunan skripsi (Fausiah, 2008). Banyak mahasiswa tingkat akhir yang
mengalami kesulitan bagaimana harus menulis tulisan ilmiahnya dalam bentuk skripsi atau
tesis. Kesulitan yang seringkali dihadapi, diantaranya menemukan dan merumuskan
masalah, mencari judul yang efektif, sistematika proposal, sistematika skripsi, kesulitan
mencari literatur, bahan bacaan, kesulitan dengan standar tata tulis ilmiah, serta dana dan
waktu yang terbatas.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
281
Kesulitan-kesulitan tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan cemas (ansietas) sehingga
mahasiswa kehilangan motivasi, menunda skripsi, bahkan ada yang memutuskan untuk
tidak menyelesaikan skripsi. Hal ini tentu sangat merugikan mahasiswa yang bersangkutan
mengingat bahwa skripsi merupakan tahap yang paling menentukan dalam mencapai gelar
akademik. Selain itu usaha dan kerja keras yang telah dilakukan bertahun-tahun
sebelumnya akan menjadi sia-sia jika mahasiswa gagal menyelesaikan skripsi (Hariwijaya
& Triton, 2006). Kaplan (2006) menyatakan bahwa faktor penyebab kecemasan (ansietas)
yaitu faktor internal (individu) dan eksternal (lingkungan). Faktor internal berkaitan
dengan individu termasuk sikap dan ciri kepribadian misalnya jenis kelamin, usia, kurang
memahami dan menguasai materi yang ditulis sedangkan faktor eksternal dimana faktor ini
berasal dari luar individu, misalnya seperti tuntutan pekerjaan atau tugas akademik
(skripsi), hubungan mahasiswa dengan lingkungan, dosen pembimbing, IQ, orang tua dan
keluarga.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosma (2008) pada mahasiswa tingkat akhir di
Universitas Ahmad Dahlan menunjukan bahwa dari 10 mahasiswa didapatkan 5
mahasiswa (50%) mengalami kecemasan tingkat sedang dan 5 mahasiswa (50%)
mengalami tingkat kecemasan rendah. Kecemasan (ansietas) ini dapat diatasi dengan
beberapa cara, antara lain terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi
farmakologi seperti obat anti cemas (anxiolytic) dapat membantu menurunkan cemas
tetapi memiliki efek ketergantungan, sedangkan
terapi non farmakologi seperti
psikoterapi, terapi tertawa, terapi kognitif, relaksasi dan salah satunya dengan hipnotis
lima jari (Suyatmo, 2009). Hipnotis lima jari adalah pemberian perlakuan pada mahasiswa
dalam keadaan rileks, kemudian memusatkan pikiran pada bayangan atau kenangan yang
diciptakan sambil menyentuhkan lima jari secara berurutan dengan membayangkan
kenangan saat menikmati (Jenita D.T. Donsu dkk, 2008).
Hipnotis lima jari merupakan salah satu bentuk self hipnosis yang dapat menimbulkan efek
relaksasi yang tinggi, sehingga akan mengurangi ketegangan dan stress dari pikiran
seseorang. Hipnotis lima jari mempengaruhi system limbik seseorang sehingga
berpengaruh pada pengeluaran hormone-hormone yang dapat memacu timbulnya stress.
Mahasiswa yang diberikan hipnotis lima jari akan mengalami relaksasi sehingga
berpengaruh terhadap system tubuh dan menciptakan rasa nyaman serta perasaan tenang
(Mahoney, 2007). Hipnotis lima jari juga dapat mempengaruhi pernafasan, denyut jantung,
denyut nadi, tekanan darah, mengurangi ketengangan otot dan kordinasi tubuh,
memperkuat ingatan, meningkatkan produktivitas suhu tubuh dan mengatur hormonhormon yang berkaitan dengan stress.
Hasil penelitian Mu’afiro Adin (2007) pada 45 pasien Ca Servik (kanker leher rahim) di
Ruang Kandungan RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan 26 pasien (57,77%)
mengalami penurunan kecemasan setelah diberikan hipnotis lima jari.
Metode hipnotis lima jari dapat dilakukan ±10 menit dengan konsentrasi dan rileks
pertama menyentuh ibu jari dengan telunjuk dan mengenang saat mahasiswa merasa
sehat, kedua menyentuh ibu jari dengan jari tengah dan mengenang saat mahasiswa
pertama kali mengalami kemesraan, ketiga menyentuh ibu jari dengan jari manis dan
mengenang saat mahasiswa mendapat pujian dan terakhir menyentuh ibu jari dengan
kelingking dan mengenang tempat yang paling indah yang pernah dikunjungi (Keliat dkk,
2011).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
282
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada 10 mahasiswa yang sedang menyusun skripsi
pada bulan Maret 2015 di STIKES Muhammadiyah Klaten didapatkan 8 mahasiswa (80%)
mengalami tingkat kecemasan disebabkan kesulitan dalam berhubungan dengan dosen
pembimbing, khawatir dalam menentukan judul, kemampuan dalam membuat tulisan,
kurang menguasai metodelogi penelitian atau konsep, kemampuan mengoperasikan
komputer, kesehatan, orang tua dan keluarga sedangkan 2 (20%) mahasiswa tidak
mengalami kecemasan disebabkan siap mengahadapi skripsi dan tidak mengalami
kesulitan mencari literature. Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk Menurunkan kecemasan
Pada Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi di STIKES Muhammadiyah Klaten”.
Metode
Lokasi, populasi dan sampel penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah Pra eksperiment dalam satu kelompok (One
group Pre Test Post Test Design), di mana responden dilakukan pre test sebelum diberikan
perlakuan dan responden dilakukan post test setelah diberikan perlakuan (Notoatmodjo,
2012). Perlakuan pada mahasiswa berupa Hipnotis Lima Jari oleh peneliti kurang lebih 10
menit sebanyak 1x pertemuan Penelitian ini dilaksanakan di STIKES Muhammadiyah
Klaten pada tanggal 01 juli - 02 juli 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat IV di STIKES Muhammadiyah Klaten tahun 2015,
laki-laki maupun perempuan yang berjumlah 92 mahasiswa. Teknik pengambilan sampel
menggunakan metode non-probability, jenis porposive sampling berdasarkan
penghitungan besar sampel, dibutuhkan 18 responden. Kriteria inklusi pada penelitian ini
adalah mahasiswa tingkat IV yang sudah terdaftar mengikuti skripsi, mahasiswa yang
bersedia menjadi responden, mahasiswa yang belum menikah, mahasiswa yang mengalami
kecemasan sedang. Pada penelitian ini jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi
sebanyak 32 responden kemudian peneliti membagikan nomer undian 1-18. Bagi
responden yang mendapat nomor undian maka yang akan menjadi respondenya
Pengumpulan data
Pengumpulan data dengan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dengan
membagikan kuisoner (HRS-A) Hamilton Ranting Scale for Anxietas. Alat ukur ini terdiri
dari 14 pertanyaan gejala yang masing-masing pertanyaan gejala diberi penilaian antara
0-4, yang artinya 0 = tidak ada (tidak ada gejala), 1 = gejala ringan (satu gejala dari pilihan
yang ada), 2 = gejala sedang (terdapat separuh dari gejala yang ada), 3 = gejala berat (lebih
dari separuh gejala yang ada), 4 = gejala berat sekali (semua gejala ada). Masing-masing
nilai dari ke 14 kelompok gejala dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat
diketahui derajat kecemasan, yaitu : Total nilai 0-13 = tidak ada kecemasan, 14-20 =
kecemasan ringan dan 21-27 = kecemasan sedang
Analisis data
Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik. Analisia univariat dilakukan
dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi. Analisia bivariat untuk mengetahui
pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk menurunkan kecemasan mahasiswa yang sedang
menyusun skripsi menggunakan uji statistik parametrik yang bertujuan untuk uji
kemaknaan dengan paried t test.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
283
Hasil
Analisa Univariat
1. Karakteristik Responden
a. Umur
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Umur Prodi S1 di STIKES
Muhammadiyah Klaten Tahun 2015 (n=18).
Umur
frekuensi %
21
7
38,9
22
7
38,9
23
4
22,2
Jumlah
18
100
Minimum
21
Maksimum
23
Mean
21,83
SD
0,786
Sumber : Data primer
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukan bahwa paling banyak mahasiswa yang
mengalami kecemasan adalah mahasiswa usia 21 dan 22 dengan frekuensi 7 orang
(38,9%) dengan rata-rata 21,83 ± 0,786.
b. Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin di STIKES
Muhammadiyah Klaten Tahun 2015 (n=18).
Jenis Kelamin
Frekuensi
Laki-laki
4
Perempuan
14
Jumlah
18
Sumber : Data primer
%
22,2
77,8
100
Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa karakteristik jenis kelamin paling
banyak adalah perempuan sebanyak 14 responden (77,8%).
2. Disribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Sebelum dan sesudah di Hipnotis Lima Jari.
a. Tingkat kecemasan Sebelum
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi tingkat kecemasan sebelum diberikan hipnotis lima
jari pada mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten.
Tingkat
frekuensi
%
kecemasan
Tidak ada
0
0
kecemasan
0
0
Ringan
18
100
Sedang
Jumlah
18
100
Sumber : Data primer
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
284
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan sebelum pengukuran
terapi hipnotis lima jari diperoleh cemas sedang 18 (100%).
b. Tingkat Kecemasan Sesudah
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi tingkat kecemasan sesudah diberikan hipnotis lima
jari pada mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten.
Tingkat
frekuensi
%
kecemasan
Tidak ada
0
0
kecemasan
15
83,3
Ringan
3
16,7
Sedang
Jumlah
18
100
Sumber : Data primer
Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan sesudah pengukuran
terapi hipnotis lima jari diperoleh cemas ringan 15 (83,3%) dan cemas sedang 3
(16,7%).
Analisis Bivariat
1. Uji Normalitas
Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan sebelum melakukan uji statistik
menggunakan Uji Shapiro Wilk. Uji normalitas pada penelitian ini yaitu:
Tabel 4.5 Uji Normalitas Kecemasan sebelum dan sesudah diberikan hipnotis lima
jari pada mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten.
No
1.
2.
Perelaku P value
an
Pretest
0,399
Posttest
0,728
Sumber : Data sekunder
Berdasarkan Tabel 4.5 menunjukkan hasil normalitas untuk variabel kecemasan
diperoleh nilai (P value > α [0,05]) sehingga dapat disimpulkan data pada variabel
kecemasan berdistribusi normal.
2. Uji Paired t Test
Uji Paired t Test digunakan untuk mengetahui perbedaan nilai pretest dan posttest
untuk masing-masing kelompok.
Tabel 4.6 Perbedaan Pretest dan Posttest Kecemasan sebelum dan sesudah
diberikan hipnotis lima jari pada mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten.
Pretest
Posttest
N
18
Mean
SD
t hitung
23,06
2,287
10,269
18,11
2,246
Sumber : Data sekunder
Sig (2-tailed)
0,000
Berdasarkan Tabel 4.6 diketahui rata-rata kecemasan pada mahasiswa sebelum
perlakuan adalah 23,06 dan pada tahap post test setelah diberi perlakuan menurun
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
285
menjadi 18,11 sedangkan t hitung diperoleh 10,269 dengan t tabel sebesar 1,729 (t
hitung > t tabel) hasil p value diperoleh sebesar 0.000 (p> 0,05) hal ini berati bahwa
terdapat perbedaan kecemasan pada mahasiswa sebelum dan sesudah perlakuan.
Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Berdasarkan tabel 4.1 distribusi frekuensi responden berdasarkan umur, mahasiswa
yang mengalami kecemasan adalah mahasiswa usia 21 dan 22 dengan frekuensi 7 orang
(38,9%) dengan rata-rata 21,83 ± 0,786. Prawirohusodo (2006) menyatakan umur muda
lebih banyak mengalami stress dan cemas dikarenakan pada usia ini mekanisme koping
belum terbentuk secara utuh sehingga kesulitan dalam mengambil keputusan berlanjut
kecemasan. Berdasarkan tabel 4.2 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis
kelamin paling banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 14 responden (77,8%)
dan kelamin berjenis laki-laki sebanyak 4 responden (22,2%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadibroto (2010) menyatakan bahwa
perempuan memiliki tingkat kecemasan atau stress yang lebih tinggi dari laki-laki.
Stress dapat menstimulus organ endokrin untuk mengeluarkan hormone epineprin yang
mempunyai efek dalam glikolisis di hati. Kaplan & Saddock (2006) menyatakan bahwa
kecemasan (ansietas) adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, perubahan
dan pengalaman terhadap sesuatu yang baru dan belum dicoba. Perubahan dalam
kehidupan seseorang merupakan stress yang bagi individual tertentu mengakibatkan
timbulnya kecemasan (ansietas). Kecemasan (ansietas) menurut Prawirohusodo (2006)
adalah perasaan yang dialami manusia sepanjang hidupnya, yang dapat muncul sebagai
gejala normal tetapi dapat jugasebagai gejala gangguan jiwa. Semua perilaku ditunjukan
untuk mengurangi ketegangan . Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk
dapat memusatkan pikiran. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Indah
(2013) menyatakan ada pengaruh hipnotis lima jari terhadap penurunan kecemasan
lansia di desa beteng dengan nilai signifikansi p value < 0,05.
2. Pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk menurunkan kecemasan pada mahasiswa
yang sedang menyusun skripsi.
Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai P value = 0,000 dimana nilai p <
(α=0,05), sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan nilai pengukuran perilaku pretest
dan posttest. Dengan hasil tersebut berati Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh secara signifikan dari pemberian terapi hipnotis
lima jari. Kecemasan (ansietas) adalah suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang
buruk akan terjadi dan merasa tidak nyaman seakan ada ancaman yang disertai gejalagejala fisik seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan tangan gemetar (Kliat
dkk, 2011). Kecemasan (ansietas) pada mahasiswa sering kali muncul sebagai hal yang
bisa karena adanya kebutuhan tertentu yang harus dilewati oleh seseorang mahasiswa
untuk dapat masuk ke tahap selanjutnya seperti skripsi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi mahasiswa yang menyusun skripsi adalah tugas akademik (skripsi) yaitu
tugas akademik (skripsi) yang dianggap berat dan tidak sesuai dengan kemampuan
individu dapat menyebabkan terjadinya kecemasan (ansietas) Kaplan (2006). Hasil ini
sejalan dengan penelitian Ibnu dan Yoga (2008) menyatakan bahwa faktor yang
menghambat penyusunan skripsi adalah kesulitan menemukan permasalahan, tidak rutin
bimbingan dengan dosen dan kesulitan menulis karya tulis ilmiah.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
286
Penatalaksanaan pada kecemasan (ansietas) dapat dilakukan dengan menggunakan
terapi farmakologis dan non terapi farmakologis. Terapi farmakologi seperti obat anti
cemas (anxiolytic) sedangkan terapi non farmakologi dengan psikoterapi, terapi
kognitif, terapi tertawa, relaksasi dan hipnotis lima jari. Salah satu cara yang dapat
menurunkan kecemasan yaitu Hipnotis lima jari (Keliat dkk, 2011). Hipnotis lima jari
adalah pemberian perlakuan dalam keadaan rileks, kemudian memusatkan pikiran pada
bayangan atau kenangan yang diciptakan sambil menyentuhkan lima jari tangan secara
berurutan dengan membayangkan kenangan. Manfaat hipnotis lima jari adalah dapat
meningkatkan semangat, menimbulkan kedamaian di hati dan mengurangi ketegangan
(Keliat dkk, 2011). Kecemasan (ansietas) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan
menyebar sifatnya tidak spesifik dan di gambarkan sebagai GAS/General Adaptation
Syndrome. GAS/General Adaptation Syndrome adalah respon pertahanan terhadap
stress dari keseluruhan tubuh (Potter et.al., 2005).
Tiga fase reaksi stress yaitu tahap pertama fase alarm reaction (waspada) adalah respons
tahap awal tubuh bereaksi terhadap stress dengan mengatifkan sistem syaraf simpatis
dan sistem hormon tubuh seperti kotekolamin, epinefrin, nerepinefrint, glukokortikoid,
koetisol dan kortison. Tahap kedua resistance (reaksi pertahanan) adalah respon tubuh
terhadap stressor dengan menggunakan kemampuan tubuh sehingga timbul gejala psikis
dan somatik. Tahap ketiga exhaustion (kelelahan/keletihan) adalah respon atau gejala
yang timbul akibat stressor seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri
koroner, hipertensi, dispepsia (keluhan pada gastrointestinal), depresi, kecemasan
(ansietas), frigiditas, impotensia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Kumalasari (2013) menyatakan bahwa mahasiswa yang diberikan hipnotis, gelombang
pikirannya masuk ke gelombang alfa frekuensinya 7-14 hertz atau lebih dalam lagi ke
gelombang theta frekuensinya 4-7 hertz. Ketika pikiran masuk ke gelombang ini,
mahasiswa menghasilkan zat endorphin alami yang menghasilkan sensasi nyaman dan
dalam hipnotis state ini, sistem metabolisme tubuh menjadi jauh lebih baik dan tubuh
bebas dari ketegangan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini maka kesimpulan yang dapat diambil adalah umur
responden yang paling banyak mengalami kecemasan usia 21 dan 22 dengan frekuensi 7
orang (38,9%) dengan rata-rata 21,83 ± 0,786. Tingkat kecemasan (ansietas) mahasiswa di
STIKES Muhammadiyah Klaten sebelum memperoleh hipnotis lima jari menunjukan 18
(100%) responden mengalami kecemasan (ansietas)
sedang. Tingkat kecemasan
(ansietas) mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten sesudah memperoleh hipnotis
lima jari menunjukan 15 responden (83,3%) mengalami kecemasan ringan dan 3
responden (16,7%) mengalami kecemasan (ansietas) sedang. Ada pengaruh hipnotis lima
jari terhadap penurunan kecemasan (ansietas) mahasiswa di STIKES Muhammadiyah
Klaten sebelum diberikan terapi hipnotis lima jari dan setelah diberikan terapi hipnotis
lima jari dengan p value =0, 000 (p<0,05).
SARAN
Terapi hipnotis lima jari dapat dijadikan salah satu terapi untuk meningkatkan asuhan
keperawatan khususnya individu yang mengalami kecemasan (ansietas). Bagi institusi
Stikes Muhammadiyah Klaten dapat dijadikan bahan masukan dalam upaya menurunkan
kecemasan (ansietas) dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dengan cara
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
287
memberikan terapi hipnotis lima jari. Bagi mahasiswa sebaiknya aktif dalam menjalankan
terapi hipnotis lima jari dalam menangani masalah kecemasan (ansietas) secara mandiri
dengan keadaan rileks demi menjaga kesehatan. Dalam melakukan penelitian selanjutnya
sebaiknya dilakukan penelitian dengan variabel lain yang lebih variatif, menggunakan
kelompok kontrol dalam desain penelitian .
Daftar Pustaka
Fausiah. 2008. Gangguan Cemas. Dalam Psokologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI
Press.
Hadibroto. 2010. Pedoman Diabetes Melitus. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Hariwijaya & Triton.2006. Pedoman Penulisan Ilmiah Sripsi dan Tesis. Yogyakarta: Tugu
Publisher.
Indah Kumalasari. 2013. Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Terhadap Penurunan
Kecemasan Lansia di Desa Beteng.
Jenita D.T. Donsu, Rosa D. Ekwantini, Sri Arini Rinawati. 2008. Five Fingers On The
Effect Of Hypnosis Anxiety Reduction In Breast Cancer Patients.
Kaplan & Saduck. 2006. Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Edisi Ketujuh Jilid
Dua. Newyork : Newyork Univercity Medical Center.
Keliat,B.A., dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Intermediete
Course). EGC : Jakarta.
Lanjar Sri Lestari. 2011. Pengaruh terapi tertawa terhadap tingkat kecemasan lansia di
desa Keden Pedan Klaten.
Mahoney Michael, 2007, Winning Hypnotherapy Program, http:www. Healthy
audio.co.uk.
Mu’aforo Adin.2007. pengaruh hypnosis lima jari terhadap penurunan kecemasan pasien
kanker leher rahim. Skripsi .tidak diterbitkan. Fakultas kedokteran Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka
Cipta :
Jakarta
Nursalam, (2009) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan . Edisi
2. Salemba Medika. Jakarta.
Prabowo, H. And Regina, H.S. 2007. Tritmen Untuk Menurunkan Stress. Available online
http:///repository. Gunadarma. Ac. Id.
Prawirohusodo, S. 2006. Stress dan Kecemasan, Kumpulan makalah Simposium Stress dan
Kecemasan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Available from:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/materi_pertemuan/launch_riskesda
s/Riskesdas%20Launching%20Kabadan.pdf [diaccessed 3 Maret 2015 jam 7:35].
Sonya Rosma. 2008. Pengaruh Pelatihan Berfikir Positif Untuk Menurunkan Kecemasan
Pada Mahasiswa Yang Sedang Menempuh Skripsi. Jurnal. Universitas Ahmad
Dahlan.
Stuart, G.W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC.
Suyatmo, Yeyi, S.P., Carla, R.M. 2009. Pengaruh Relaksasi Otot Dalam Menurunkan
Skor Kecemasan T-Tmas Mahasiswa Menjelang Ujian Akhir Program di Akademi
Keperawatan Notokusumo Yogyakarta . Tersedia dalam berita kedokteran
masyarakat
vol.
25.
No.
3
di
http://berita-kedokteran
masyarakat.org/index.php/bkm/article/view/173/97. [Diakses tanggal 02 Maret
2015 jam 7:01 PM].
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
288
SPIRITUALITAS DAN KUALITAS HIDUP
PENDERITA DIABETES MELLITUS
Muhammad Mu’in1, Dyan Yuli Wijayanti2
1
Staf Pengajar Bagian Keperawatan Komunitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro, Email: [email protected]
2
Staf Pengajar Bagian Keperawatan Jiwa, Jurusan Keperawatan, Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro, Email:[email protected]
Abstrak
Latar Belakang. DM dan komplikasinya berdampak pada penurunan kualitas hidup penderita.
Upaya mempertahankan kualitas hidup dilakukan dengan menginternalisasi, menerima kondisi
serta melaksanakan perawatan DM secara disiplin. Spiritualitas yang adekuat menunjang
manajemen perawatan yang adekuat yang akan berdampak pada kualitas hidup yang baik.
Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan antara spiritua;itas dengan kualitas hidup
penderita DM.
Metoda. Desain penelitian adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional yang
bertujuan mengetahui hubungan spiritualitas dengan kualitas hidup pada penderita DM. Penelitian
dilakukan pada 51 penderita DM di wilayah kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang.
Hasil. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor spiritualitas 76,43, rata-rata skor kualitas hidup
dimensi fisik 22.23, dimensi psikologis 19.52, dimensi sosial 10.21, dan dimensi lingkungan 27.64.
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup
penderita DM, dengan arah hubungan yang positif (nilai P 0,025).
Pembahasan. DM menurunkan kualitas hidup penderitanya dengan menurunkan semua dimensi
kesehatan secara umum. Agama dan spiritualitas membentuk dasar makna dan tujuan serta
memberikan bekal bagi penderita DM untuk memaknai penyakit yang mereka alami sebagai suatu
peristiwa hidup yang positif. Pasien DM yang sehat secara spiritual dapat mendayagunakan
kepercayaan mereka dalam melakukan koping terhadap penyakit, nyeri, dan tekanan hidup. Mereka
mempunyai perasaan eksistensi pribadi yang bermakna, pemenuhan tujuan hidup, serta perasaan
hidup sampai pada suatu tahap adalah berharga serta cenderung mempunyai pandangan yang lebih
positif dan kualitas hidup yang lebih baik. Kualitas hidup yang baik pada penderita berdampak
positif terhadap kepatuhan terhadap manajemen terapi DM.
Kesimpulan. Aspek spiritual pada penderita DM mutlak diperhatikan dalam asuhan keperawatan
untuk mempertahankan kualitas hidup mereka.
Kata Kunci : spiritualitas, kualitas hidup, DM
Pendahuluan
Prevalensi penderita Diabetes Melitus (DM) di Indonesia cukup tinggi, mencapai 0,7 %
sampai 1,6 %. (Litbangkes Depkes, 2008, Suyono dalam Sudoyo et al, (2006). Secara
global Indonesia menempati ranking ke-empat setelah India, Cina dan Amerika Serikat.
DM dan komplikasinya dapat menyebabkan perubahan kualitas hidup penderita DM yang
dimanifestasikan oleh penurunan kesejahteraan baik fisik, psikososial, maupun spiritual.
Secara fisik DM dapat menyebabkan berbagai komplikasi lanjut yang meliputi komplikasi
akut maupun komplikasi kronis sampai dengan kematian (Kariadi, 2009), dengan
prevalensi yang cukup tinggi Ramsey et al, (1999) (Litbangkes Depkes, 2008). Secara
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
289
psikososial DM dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan meliputi depresi dengan
prevalensi yang cukup tinggi (Isworo, 2008), ansietas, kelainan makan, ketergantungan zat
serta, gangguan psikotik atau bipolar (Gonzales et al, 2011). Secara spiritual kondisi kronis
seperti DM dapat mengalami distres spiritual yang dicirikan dengan berbagai cara seperti
mempertanyakan makna penderitaan, makna eksistensi diri, atau implikasi moral dan etis
dari rejimen terapi Hymovich dan Hagopian (1992).
Penurunan kualitas hidup penderita DM berbanding lurus dengan komplikasi DM yang
terjadi. Penderita DM tanpa komplikasi cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih
baik dibandingkan dengan penderita DM dengan komplikasi (OR 3,939) (Tyas, 2008).
Kemampuan penderita DM dalam menginternalisasi kondisi sakit dan mengintegrasikan
manajemen perawatan DM ke dalam pola hidup sehari-hari sangat menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan penatalaksanaan DM. Hasil penelitian Yanti, 2009
menunjukkan adanya keterkaitan antara kesadaran diri penderita DM terkait penyakit dan
perawatannya dengan kejadian komplikasi DM dengan odd ratio sebesar 11,176 kali.
Persepsi sakit penderita DM yang positif juga berkaitan dengan kualitas hidup penderita
yang baik (OR 14) (Tyas, 2008).
Sumber-sumber spiritual ditemukan dapat membantu penderita DM mengelola penyakit
DM secara lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Phelps, 2010).
Penderita penyakit seperti DM yang sejahtera secara spiritual dapat menggunakan
kepercayaannya dalam berkoping terhadap penyakit, nyeri, dan tekanan hidup (Puchalski,
2010).
Tujuan
Penelitian bertujuan mengetahui hubungan spiritualitas dengan kualitas hidup penderita
DM.
Metoda
Penelitian ini menggunakan rancangan kuantitatif deskriptif korelasi bertujuan mengetahui
hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM. Strategi penelitian
dengan pengambilan data melalui penyebaran kuesioner yang dilakukan satu waktu (cross
sectional). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien DM di wilayah kerja Puskesmas
Padangsari. Data penderita DM di Posyandu tidak mencakup semua penderita, sehingga
digunakan teknik sampling dengan snow ball, penderita DM yang menjadi responden
diminta untuk menunjukkan responden lain yang ada di wilayah setempat.
Tempat
penelitian dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Daily Spiritual Experience Scale
untuk mengukur spiritualitas dan kuesioner WHOQoLBREF versi Indonesia untuk
mengukur kualitas hidup. Dari 60 kuesioner yang disebar hanya 51 yang dikembalikan dan
diisi lengkap oleh responden. Analisis univariat dalam bentuk distribusi frekuensi dan
prosentase mendeskripsikan karakteristik setiap variabel meliputi jenis kelamin, umur,
agama, pekerjaan, lama mengalami DM; serta rata-rata skor spiritualitas dan kualitas hidup
penderita DM. Analisis bivariat uji Pearson Product Moment untuk mengidentifikasi
hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
290
Hasil
Data demografi penderita DM diwilayah kerja Puskesmas Padangsari disajikan dalam
Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Demografi Penderita DM di Wilayah Kerja
Puskesmas Padangsari Kota Semarang (n:51)
Usia
Frekuensi
1
26
24
Prosentase (%)
2
51
47,1
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
25
26
49
51
Pekerjaan
Swasta
Ibu rumah tangga
Wiraswasta
Pensiunan
Dagang
PNS
Tidak bekerja
2
16
5
24
1
1
2
3,9
31,4
9,8
47,1
2
2
3,9
Islam
Kristen
Katolik
Hindu
45
2
3
1
88,2
3,9
5,9
2
Lama mengalami DM
1-5 thn
> 5 thn
Total
23
28
51
45,1
54,9
100
30-45 thn
46-60 thn
> 60 thn
Agama
Data skor spiritualitas penderita DM di Wilayah Kerja Puskesmas Padangsari disajikan
dalam Tabel. 2 berikut.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
291
Tabel. 2 Distribusi Nilai Statistik Spiritualitas Penderita DM di Wilayah Kerja
Puskesmas Padangsari Kota Semarang (n=51)
Rata-rata
SD
Minimum
Maksimum
N
76,4314
7,98813
62,00
90,00
51
Spiritualitas
Data Skor kualitas hidup setiap dimensi penderita DM di wilayah kerja Puskesmas
Padangsari disajikan dalam Tabel. 3 berikut.
Tabel. 3 Distribusi Frekuensi Skor Nilai Rata-rata Setiap DomainKualitas Hidup
Penderita DM di Wilayah Kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang (n=51)
No
1
2
3
4
Domain Kualitas Hidup
Fisik
Psikologis
Sosial
Lingkungan
Nilai Rata-rata
22.23
19.52
10.21
27.64
Standar Deviasi
2.8
2.5
1.62
4.21
Hasil uji Pearson Product Moment menunjukkan ada hubungan positif antara spiritualitas
dengan kualitas hidup penderita DM (r : 0,313 nilai P : 0,025). Semakin tinggi spiritualitas
akan semakin baik kualitas hidup penderita.
Pembahasan
Usia responden terbanyak pada penelitian ini adalah 46 tahun ke atas. Jumlah penderita
penyakit degeneratif semakin tinggi dengan meningkatnya usia, termasuk di Indonesia
(Litbangkes Depkes, 2008). Upaya pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya
DM lebih dini. Jenis kelamin responden dalam penelitian ini hampir sama antara laki-laki
dan perempuan. Prevalensi DM di Indonesia antara laki-laki dan perempuan tidak jauh
berbeda. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi yang sama antara penderita DM
laki-laki (0.7 %) dan perempuan (0.7 %) (Litbangkes Depkes, 2008). Semua responden
memeluk agama yang resmi dan diakui di Indonesia. Mayoritas warga Indonesia
mempunyai agama sebagai panutan dalam menjalani kehidupan. Agama juga merupakan
salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan spiritual (Zohar dan Marshal, 2000),
termasuk pada penderita DM. Sebagian responden sudah tidak bekerja karena memasuki
usia pensiun. Krisis kehidupan seperti kehilangan pekerjaan karena pensiun akan
berdampak pada spiritualitas seseorang (Zohar & Marshal, 2000). Sebagian responden
sudah mengalami DM selama lebih dari 5 tahun. Kondisi kronis seperti DM dapat
menyebabkan distres spiritual yang dicirikan dengan berbagai cara seperti
mempertanyakan makna penderitaan, makna eksistensi diri, atau implikasi moral dan etis
dari rejimen terapi (Hymovich dan Hagopian, 1992).
DM dan kondisi kronis lain menurunkan kualitas hidup penderitanya. DM mengganggu
semua dimensi kesehatan kecuali kesehatan mental dan nyeri (Stewart AL, et al dalam
Wee, HL; Cheung, YB; Li, SC; Fong, KY; Thumboo, J; 2005). DM juga berdampak
signifikan pada kesehatan umum (Alonso J et al dalam Wee, HL; Cheung, YB; Li, SC;
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
292
Fong, KY; Thumboo, J; 2005)). Penurunan kualitas hidup membutuhkan kemampuan
koping yang efektif pada penderita DM
Agama dan spiritualitas membentuk dasar makna dan tujuan bagi banyak orang Foglio, JP
& Brody, H, dalam Puchalski, 2001). Spiritualitas memberikan bekal bagi penderita DM
untuk memaknai penyakit yang mereka alami sebagai suatu peristiwa hidup yang positif.
Pasien yang sehat secara spiritual dapat mendayagunakan kepercayaan mereka dalam
melakukan koping terhadap penyakit, nyeri, dan tekanan hidup. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa mereka yang sehat secara spiritual cenderung mempunyai pandangan
yang lebih positif dan kualitas hidup yang lebih baik (Puchalski, 2001). Penderita DM
membutuhkan strategi koping yang efektif menghadapi vonis penyakit dan prognosisnya,
perubahan perilaku hidup berupa pembatasan maupun pengobatan, serta kejadian
komplikasi DM. Spiritualitas memberikan kekuatan bagi penderita menghadapi stressor
fisik dan psikologis akibat penyakit DM.
Pasien dengan penyakit lanjut, seperti DM yang sehat secara spiritual mempunyai perasaan
eksistensi pribadi yang bermakna, pemenuhan tujuan hidup, serta perasaan hidup sampai
pada suatu tahap adalah berharga yang berkaitan dengan kualitas hidup yang baik (Cohen
SR, Mount BM, Strobel MG, Bui F, dalam Puchalski, 2001). Spiritualitas memungkinkan
penderita DM memaknai kejadian sakit sebagai pengalaman positif yang bermakna
baginya.
Kualitas hidup yang baik pada penderita berhubungan dengan kepatuhan terhadap
manejemen terapi DM (Chaveepojnkamjorn, W; Pichainarong, N; Schelp, FP; &
Mahaweerawat, U; 2008). Asuhan keperawatan yang ditujukan untuk mempertahankan
atau meningkatkan spiritualitas penting dilakukan untuk mempertahankan kualitas hidup
penderita DM sekaligus meningkatkan kepatuhan terhadap manajemen terapi.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara spiritualitas dengan kualitas
hidup penderita DM. Semakin baik spiritualitas maka akan semakin baik kualitas hidup
penderita DM. Penderita dengan kualitas hidup yang baik lebih patuh terhadap manajemen
terapi DM
Daftar Pustaka
Chaveepojnkamjorn, W; Pichainarong, N; Schelp, FP; & Mahaweerawat, U (2008).
Quality of Life among Type 2 Diabetic Patients. South East Asian Journal Trop
Med Public Health. Vol 39 No. 2 Maret 2008 329
Gonzales, J.S; Esbitt, S.A; Schneider, H.E; Osborne, P.J; Kupperma, E.G (2011)
Psychological Isuues in Adults with Type 2 Diabetes. Available from
http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9781
Isworo, A (2008) Hubungan Depresi dan Dukungan Keluarga Terhadap Kadar Gula Darah
Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Sragen. Tesis: FIK UI: Tidak
dipublikasikan
Kariadi, SHKS., 2009. Diabetes? Siapa Takut!!. Panduan lengkap untuk Diabetisi,
Keluarganya, dan Profesional Medis. Bandung: Mizan Media Pustaka.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
293
Litbangkes Depkes (2008) Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007. Depkes RI: Jakarta
Phelps, Kenneth W. (2010) Satisfaction with Life and Biopsycosocial-Spiritual Health
Among Underserved Patients with Diabetes. Dissertation
Puchalski, C.M (2001) The Role of Spirituality in Health Care. Diperoleh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305900/.
Ramsey, S.D. (1999) Incidence, Outcomes, and Cost of Foot Ulcers in Patients with
Diabetes. http://care.diabetes journals.org.
Sudoyo et al (2006) Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid III edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakitd Dalam FK UI
Tyas, MDC. (2008) Hubungan Perawatan Diri dan Persepsi Sakit Dengan Kualitas Hidup
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di Kota
Blitar. Tesis. FIKUI. Tidak dipublikasikan
Yanti, S (2009) Analisis Hubungan Kesadara Diri Pasien dengan Kejadian Komplikasi
Diabetes Melitus Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUD Dr AdnanW.D.
Payakumbuh. Tesis. FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Wee, HL; Cheung, YB; Li, SC; Fong, KY; Thumboo, J (2005) The Impact of Diabetes
Mellitus and Other Chronic Medical Conditions on Health-related Quality of
Life: Is the Whole Greater than the Sum of its Parts?
http://www.hqlo.com/content/3/1/2.
Zohar, D & Marshal, Ian (2000) SQ, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence,
Bloomsbury, London 2000
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
294
PENGARUH TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP TINGKAT
STRES KELUARGA SEBAGAI AKIBAT BEBAN MERAWAT LANSIA
DEMENSIA DI CIWARINGIN BOGOR
Yossie Susanti Eka Putri1, Livana PH2
1
Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu keperawatan Universitas Indonesia,
Email: [email protected]; 2 Program Studi Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Kendal
Abstrak
Latar Belakang. Stres merupakan respon individu terhadap rangsangan atau tekanan yang
mengancam dan mengganggu individu serta berdampak pada kejiwaan yang lebih didominasi oleh
keluhan-keluhan somatik atau fisik. Stres terjadi pada keluarga yang merawat lansia dengan
demensia. Prevalensi keluarga yang mengalami stres sedang akibat beban merawat lansia demensia
sebesar 69% sehingga perlu tindakan keperawatan untuk mengatasi stres tersebut.
Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot progesif terhadap
tingkat stres keluarga sebagai akibat beban merawat lansia demensia di Ciwaringin Bogor.
Metoda. Desain penilitian quasi eksperiment dengan pre-post test without control group. Teknik
pengambilan sampel delakukan secara purposive sampling dengan jumlah sampel 26 orang.
Hasil. Hasil penelitian menggunakan uji chi square menunjukkan penurunan tingkat stres keluarga
setelah mendapat terapi relaksasi otot progresif (P Value= 0,001). Rekomendasi penelitian ini
bahwa stres sebagai akibat beban merawat lansia demensia dapat diatasi dengan terapi relaksasi
otot progresif.
Kata Kunci : Stres, Relaksasi otot progresif, keluarga klien demensia
Pendahuluan
Lanjut usia merupakan individu yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (UndangUndang Nomer 13 tahun 1998). Lansia mengalami beberapa perubahan baik fisik,
kognitif, psikologis, dan sosial. Perubahan yang terjadi secara fisik pada lansia antara lain
kulit menjadi keriput, mata mengalami kerabunan, penurunan pendengaran, penurunan
indra pengecap, gigi banyak yang tanggal, penurunan kepadatan tulang, perubahan fungsi
organ tubuh yang mengakibatkan daya tahan tubuh lansia cendrung menurun sehingga
mudah terkena penyakit. Lansia juga mengalami perlambatan tingkah laku dimana lansia
lebih membutuhkan waktu yang cukup ama untuk menerima, memproses, dan bereaksi
terhadap suatu perintah. Lansia juga mengalami penurunan kemampuan kognitif.
Penurunan kemampuan kognitif tersebut dapat berupa penurunan kemampuan berhitung,
mengeja, dan mengingat. Salah satu bentuk penurunan fungsi kognitif adalah demensia
(Stanley, 2006).
Demensia merupakan gangguan mental yang berlangsung progresif dan bersifat
irreversibel yang disebabkan oleh kerusakan organik jaringan otak (Maryam; Ekasari;
Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008). Demensia akan menimbulkan dampak pada memori
masa lalu dan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang. Kondisi ini cukup berbahaya
sehingga kemampuan berpikir, berkomunikasi menjadi terganggu. Lansia demensia juga
tidak mampu menerima informasi yang baru, sehingga suasana hati dan perilaku akan
mengalami penurunan dalam kehidupan sehari-hari.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
295
Lansia yang mengalami demensia mengalami penurunan Kemampuan intelektual sehingga
mengganggu pekerjaan dan lingkungan.
Gangguan berpikir secara nyata dan
menganalisis masalah, memberi pertimbangan, serta tidak mampu melakukkan gerakan
bertujuan, meskipun tidak ada kelumpuhan, sulit mengartikan rangsangan luar seperti
suara, sentuhan, sehingga penderita mengalami kesulitan menunjukkkan dan mengenal
objek, memperkirakan lamanya kejadian, dan menggambarkan objek yang dilihat
meskipun kesadaraan tetap baik.
Lansia yang mengalami demensia memiliki beberapa gejala yaitu, meningkatnya
kesulitan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, mengabaikan kebersihan diri, sering
lupa akan kejadian-kejadian yang dialami dalam keadaan yang makin berat, nama orang
atau keluarga dapat dilupakan, pertanyaan atau kata-kata sering diulang ulang, tidak
mengenal dimensia waktu, misalnya bangun dan berpakaian pada malam hari, tidak dapat
mengenal demensia ruang dan tempat, sifat dan perilaku berubah menjadi keras kepala dan
cepat marah, menjadi depresi dan menangis tanpa alasan yang jelas (Maryam; Ekasari;
Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008).
Lansia yang mengalami demensia dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan keadaan
mental lansia yaiitu dengan melakukan pemeriksaan orientasi, regristasi (menyuruh dan
menyebutkan beberapa nama benda dalam waktu singkat), perhitungan (menambahkan
dan mengurangi), mengingat kembali (mengulangi nama benda yang sudah disebut
sebelumnya), dan tes bahasa (menyebutkan nama benda yang ditunjuk) (Yatim, DTM &
H, 2003).
Keluarga sebagai orang terdekat lansia hendaknya mampu memahami perilaku lansia
demensia tersebut. Tindakan yang dapat dilakukan keluarga dalam merawat lansia dengan
demensia antara lain melakukan evaluasi secara cermat kemampuan yang maksimal dari
lansia dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari kemudian dapat ditentukan jenis
perawatan yang dibutuhkan, memperbaiki lingkungan tempat tinggal untuk menghindari
kecelakaan yang tidak diinginkan, mengupayakan lansia tersebut dapat mempertahankan
kegiatan sehari-hari secara optimal, membantu daya pengenalan terhadap waktu, tempat,
dan orang dengan sering mengingat kembali hal-hal yang berhubungan dengan kejadian
yang pernah terjadi.(Maryam; Ekasari; Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008).
Keluarga yang merawat lansia demensia juga mengalami beberapa masalah yang dialami
selama merawat lansia dengan dementia sehingga berisiko tinggi mengalami tekanan
beban dalam menjaga lansia seperti stres, cemas, depresi, dan bebagai masalah kesehatan
lainnya. Secara sosial, keluarga lansia dengan demensia umumnya mengalami masalah
dalam interaksi sosial, karena cenderung mengorbankan waktu luangnya untuk mengurus
lansia. Secara Finansial, Biaya untuk merawat lansia dengan demensia cukup tinggi.
Secara fisik dan mental, keluarga yang merawat lansia dengan demensia berisiko
mengalami masalah pada kesehatan seperti menurunnya imun, penyembuhan luka yang
lambat, meningkatnya resiko penyakit jantung (Brodaty & Donkin, 2009).
Tingkat stres keluarga lansia dengan demensia lebih tinggi dibandingkan keluarga lansia
lainnya. keluarga memiliki peran penting dalam merawat lansia dengan dementia.
Seringkali pelaku rawat mengalami beban dalam merawat lansia, baik secara fisik dan
psikologis. Profesional kesehatan, salah satunya perawat perlu memperhatikan kondisi
keluarga lansia demensia dengan membantu mengurangi beban yang dialami. Seorang
perawat memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung keluarga yang merawat
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
296
lansia dengan demensia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pelaku rawat,
memperbaiki mood, menurunkan stres dan depresi.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dalam mengidentifikasi masalah
psikologis berupa stres pada keluarga lansia dengan demensia didapatkan hasil bahwa dari
26 keluarga lansia demensia mengalami stres sedang sebesar 69% yang ditandai dengan
sering sakit kepala, otot terasa tegang dan pegal, mudah lelah, tidur tidak nyenyak dan
sering terbangun. Respons stres yang terjadi pada keluarga lansia dengan demensia
tersebut perlu segera diatasi agar masalah stres yang ada dapat berkurang atau teratasi
sehingga perlu tindakan keperawatan. Ada beberapa cara untuk menurunkan beban, stres,
depresi, dan memperbaiki mood keluarga yang merawat lansia demensia yang dapat
dilakukan secara berkelompok maupun seara individu. Terapi kelompok dapat dilakukan
perawat berupa Supportive psychotherapy dan Interpersonal psychotherapy sedangkan
terapi individu dapat berupa Tarik Napas Dalam, terapi musik, teknik koping efektif, dan
terapi relaksasi otot progresif (Tracy & Chlan, 1999).
Relaksasi Otot progresif merupakan salah satu cara relaksasi yang sederhana dan mudah
untuk dilakukan dengan menegangkan dan merilekkan otot-otot tubuh (Richmond, 2013).
Terapi relaksasi otot progresif yang dilakukan bertujuan untuk mengenali perbedaan saat
otot ditegangkan dan saat otot dilemaskan selama 10-15 detik yang dilakukan sebanyak
dua hingga tiga kali pada setiap gerakannya (Nay,2007). Relaksasi otot progresif dapat
digunakan untuk mengurangi beberapa respons stres, misalnya nyeri, kaku leher,
perubahan tekanan darah, sakit kepala, gangguan tidur, dan nyeri punggung bawah
(Nasional Safety Council, 2004). Penelitian yang pernah dilakukan Livana, Helena, dan
Mustikasari (2014) menunjukkan bahwaa relaksasi otot progresif yang diberikan selama 4
hari pada keluarga klien gangguan jiwa mampu menurunkan tingkat stres sebesar 78%,
sedangkan hasil penelitian Livana dan Wardani (2015) menunjukkan bahwa relaksasi otot
progresif mampu menurunkan tingkat ansietas sebesar 87% setelah diberikan kepada
keluarga klien hemodialisis selama 4 hari. Penelitian yang pernah dilakukan Kanender,
Palandeng, dan Kallo (2015) menunjukkan bahwa terapirlaksasi otot progresif mampu
mengatasi insomnia. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya tersebut peneliti
simpulkan bahwa terapi relaksasi otot progresif dapat diberikan pada keluarga lansia
dengan demensia yang mengalami stres selama 5- 6 hari berturut-turut untuk mencapai
hasil yang maksimal. Berdasarkan latarbelakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat
stres keluarga dengan demensia di iwaringin Bogor.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh terapirelaksasi otot progresif terhadap
tingkat stres keluargalansia dengan demensia sebagai akibat beban merawat lansia
demensia.
Metode
Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi eksperiment dengan Pre-post test without
control group. Penelitian ini dilaksanakan di Ciwaringin Bogor pada bulan AgustusSeptember 2015. Populasi penelitian ini adalah semua keluarga lansia demensia di
Ciwaringin Bogor yang memenuhi kriteria inklusi yang berjumlah 26 orang. Teknik
pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pengukuran tingkat stres pada
saat pre dan post test menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS
42) yang berisikan 14 pertanyaan terkait stres dan buku kerja. Pre test dilakukan pada
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
297
masing-masing keluarga lansia dengan demensia setelah menandatangani Imformed
consent dan selanjutnya diberikan terapi relaksasi otot progresif hingga masing-masing
keluarga lansia dengan demensia dianggap paham dan mampu mengikuti 15 gerakan
secara berurutan sesuai dengan petunjuk dalam panduan yang tersedia. Tahap selanjutnya
masing-masing keluarga lansia dengan demensia diminta untuk melakukan terapi relaksasi
otot progresif secara mandiri dirumah masing-masing selama 6 hari berturut-turut yang
dilakukan pada malam hari sebelum tidur dan pagi hari setelah bangun tidur. Tahap
selanjutnya keluarga lansia dengan demensia dievaluasi dengan menanyakan kembali
perasaannya dan menjelaskan bahwa intervensi telah selesai dilakukan, kemudian masingmasing keluarga lansia demensia diminta untuk mengumpulkan buku kerja yang telah diisi
selama latihan terapi relaksasi otot progresif dan dilakukan post test pada semua keluarga
lansia dengan demensia yang telah memenuhi kriteria inklusi tersebut. Tahap terakhir yaitu
dilakukan pengolahan dan analisis data dengan bantuan perangkat lunak komputer yang
menggunakan analisis statistik uji Chi-Square.
Hasil
Tabel 1
Distribusi karakteristik jenis kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan,
pekerjaan, penghasilan, hubungan keluarga dengan lansia (n = 26)
No
Variabel
1 Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
2 Umur
Dewasa muda
(18-25 tahun)
Dewasa (25-60
tahun)
Lansia (> 60
tahun)
3 Pendidikan
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
4 Status Perkawinan
Belum menikah
Menikah
Janda atau duda
f
%
0
26
0
100
1
4
24
92
1
4
7
7
12
27
27
46
0
25
1
0
96
4
No
Variabel
F
%
5 Pekerjaan
Tidak Bekerja
19
73
Bekerja
7
27
Pensiunan
0
0
6 Penghasilan
< UMK Bogor
7
27
> UMK Bogor
0
0
Tidak ada
19
73
penghasilan
7 Hubungan keluarga dengan
klien
Suami/Istri
3
12
Kakak/ Adik
1
4
Anak
20
76
Cucu
2
8
Tabel 2
Perubahan tingkat stres keluarga lansia dengan demensia sebelum dan sesudah
pemberian terapi relaksasi otot progresif (n = 26)
No
Tingkat Ansietas
P-Value
Normal
Ringan
Sedang
Berat
f
%
f
%
f
%
f
%
1 Sebelum pemberian terapi relaksasi otot progresif
0
0
1
4
18
69
7
27
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
298
2
Sesudah pemberian terapi relaksasi otot progresif
4
15
19
73
3
12
0
0
0,001
Pembahasan
Distribusi keluarga lansia dengan demensia semuanya berjenis kelamin perempuan
(100%). Hasil ini jika dikaitkan dengan hasil ukur tingkat stres, maka dapat disimpulkan
bahwa perempuan cenderung mudah terkena stres. Hasil ini sesuai dengan pendapat Black
& Halwk (2005) yang menyatakan bahwa perempuan itu emosional, dan pasif. Penelitian
Isnarti dan Ritandiyah (2006) juga mendukung hasil penelitian ini yaitu bahwa perempuan
mengalami tingkat stres lebih tinggi dibanding laki-laki. Thompson (2007) berpendapat
bahwa stres yang dirasakan keluarga dipengaruhi oleh beban biaya yang dihabiskan lansia
dalam memenuhi perawatan diri, selain itu karakteristik dari care giver seperti jenis
kelamin, orang tua, dukungan sosial juga mempengaruhi tingkat stres keluarga sebagai
care giver. Berdasarkan hasil penelitian dan teori, peneliti berpendapat bahwa jenis
kelamin mempengaruhi tingkat stres.
Karakteristik umur keluarga yang merawat lansia dengan demensia mayoritas berumur
dewasa (25-60 tahun) (92%), Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan Tobing, Keliat, & Wardhani (2012) yang menunjukkan bahwa
umur berkaitan erat terhadap perubahan ansietas dan depresi sebesar 36,5%, dimana
tingkat stres berada diantara ansietas dan depresi (Crawford & Henry, 2003). Hasil
penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian Sutejo (2009) yang berpendapat bahwa
tahapan umur dewasa berkonstribusi terhadap terjadinya stres terkait dengan tugas
perkembangan yang kompleks. Pada tahap masa dewasa, individu mempunyai tanggung
jawab kemandirian yang tinggi terhadap sosial ekonomi dan kemampuan mengatasi
masalah dalam menghadapi stres kehidupan dibanding dengan tahap kehidupan yang lain.
Pendapat lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini adalah pendapat Tarwoto dan
Wartonah (2003) yang menyatakan bahwa maturitas individu juga mempengaruhi tingkat
stres seseorang. Individu yang memiliki kepribadian matang akan lebih sulit mengalami
stres dibanding dengan individu yang tidak berkepribadian matang, hal ini dikarenakan
individi yang mempunyai kepribadian matang mempunyai daya adaptasi yang besar
terhadap stresor yang timbul, sehingga individu yang berkepribadian tidak matang akan
sangat mudah mengalami stres. Individu yang tidak mempunyai kepribadian matang
merupakan individu yang tergantung dan tidak peka terhadap rangsangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27% keluarga lansia dengan demensia
berpendidikan tamat SD, 27% tamat SMP, dan 46% tamat SMA. Hasil penelitian ini
sejalan dengan pendapat Notoadmojo (2007) yang berpendapat bahwa pengetahuan
berkaitan dengan segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh melalui proses
pembelajaran, pendidikan, dan pengalaman hidup lainnya, sehingga peneliti berpendapat
bahwa apabila keluarga lansia dengan demensia mampu mengenal masalah yang terjadi
pada demensia, maka lansia dengan demensia juga akan mendapatkan perawatan yang
maksimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan keluarga lansia dengan demensia
mayoritas (96%) sudah menikah, dan 4% janda. Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan
tingkat stres yang dialami keluarga lansia dengan demensia, maka sependapat dengan
penelitian Adams (2008) di Amerika yang menyatakan bahwa keluarga yang sudah
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
299
menikah sebagai pelaku rawat secara signifikan lebih banyak mengalami stres
dibandingkan dengan pasangan yang tidak sebagai pelaku rawat, hal ini dikarenakan
beban yang ditanggung keluarga individu tersebut dan ditambah lagi beban merawat lansia
dengan demensia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas keluarga lansia dengan demensia tidak
bekerja (73%) dan 23% keluarga lansia dengan demensia bekerja. Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan pendapat Thoits (2010) yang menyatakan bahwa dampak stres dapat
dicegah dengan merencanakan kegiatan yang bermanfaat yaitu dengan bekerja.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori tersebut, peneliti berpendapat bahwa mayoritas
keluarga lansia demensia mengalami stres karena tidak bekerja sedangkan beban biaya
yang harus ditanggung dalam merawat lansia cukup tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas (73%) keluarga lansia dengan demensia
tidak memiliki penghasilan. Hasil penelitian ini tidak mendukung teori fungsi keluarga
yang dikemukakan oleh Friedman (2010) yang menyatakan bahwa satu dari lima fungsi
pokok keluarga adalah fungsi ekonomi yang merupakan fungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara ekonomi seperti makanan, pakaian, perumahan, dll. Hasil
penelitian dan teori yang ada, jika dikaitkan dengan tingkat stres yang terjadi pada
keluarga lansia dengan demensia maka peneliti berpendapat bahwa keluarga lansia dengan
demensia mengalami stres disebabkan karena tidak memiliki penghasilan sehingga fungsi
ekonomi dalam keluarga tidak terpenuhi secara maksimal sehingga beban biaya dalam
merawat lansia dengan demensiapun akan menjadi salah satu penyebab stres yang dialami
keluarga.
Karakteristik hubungan keluarga dengan lansia dari hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa mayoritas dari resonden memiliki hubungan anak (76%). Hasil penelitian ini jika
dikaitkan dengan tingkat stres yang terjadi pada keluarga menunjukkan bahwa mayoritas
keluarga lansia dengan demensia yang merawat lansia dengan demensia karena hubungan
yang sangat dekat yaitu hubungan antara anak dan orangtua.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres keluarga lansia dengan demensia
sebelum pemberian terapi relaksasi otot progresif mayoritas (69`%) mengalami stres
tingkat sedang dan 27% mengalami stres tingkat berat, sedangkan setelah pemberian terapi
relaksasi otot progresif menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami tingkat stres
ringan (73%) dan 12% mengalami stres sedang. Hasil analisis diketahui bahwa pemberian
terapi relaksasi otot progresif selama enam hari secara rutin mampu menurunkan tingkat
stres sebesar 85%. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p = 0,001 (p Value < 0,005) maka
dapat diartikan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara tingkat stres sebelum dan
setelah latihan terapi relaksasi otot progresif selama enam hari secara rutin.
Hasil penelitian ini mendukung pendapat Ramdhani (2009) bahwa relaksasi otot progresif
dapat membantu merilekskan ketegangan otot tubu. Relaksasi otot progresif bertujuan
menurunkan respons fisiologis ansietas dan stres seperti pegal-pegal akibat ketegangan
otot tubuh dan gangguan tidur, hal ini membantu keadaan tubuh untuk mengabaikan otototot tubuh yang sedang tegang sehingga pikiran menjadi rileks. Hasil penelitian ini juga
mendukung pendapat beberapa peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa relaksasi otot
progresif mampu menurunkan respons fisiologis dan psikologis dari ansietas dan stres
(Smeltzer & Bare, 2002); relaksasi otot progresif selama enam hari secara bermakna dapat
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
300
menurunkan tekanan darah sistolik (Hamarno, Nurachmah, & Widyastuti, 2010); relaksasi
otot progresif dapat menghilangkan gejala-gejala fisik akibat stres (Brooker, 2009);
relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat ansietas dan depresi secara bermakna
pada klien kanker (Tobing; Keliat; & Wardhani, 2012); efektifitas relaksasi otot progresif
mampu menurunkan tingkat stres (Scheufele, 2013); relaksasi otot progresif secara rutin
mampu menurunkan berbagai situasi stres (Chen, et al, 2009); relaksasi otot progresif
mampu mengurangi efek psikolosis seperti stres dan ketegangan mental (Shinde, 2013),
relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat stres, tekanan darah dan denyut
jantung pada pasien rehabilitasi jantung (Wilk, 2012); relaksasi otot progresif yang
dilakukan selama 4 hari pada pasien gangguan fisik menunjukkan ada penurunan tingkat
ansietas setelah pemberian terapi relaksasi otot progresif (Supriati, 2010); relaksasi otot
progresif menginduksi respons suasana hati dalam mengatasi kebingungan, depresi, dan
kelelahan (Hashim, 2011); relaksasi otot progresif juga dapat menurunkan tingkat stres
biologis pada pengasuh lanjut usia (Oktavianis, 2010).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Edmund Jacobson pada tahun 1930-an yang
menyatakan bahwa relaksasi otot progresif efektif untuk mengurangi ketegangan otot dan
meningkatkan relaksasi mental atau pikiran. Pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif
dilakukan untuk membedakan perasaan yang dialami saat bagian otot tegang dan saat
bagian otot dirilekskan sehingga saat otot ditegangkan maka akan diikuti dengan relaksasi
dari 15 kelompok otot tubuh (Berstein & Borkovec, 1973; dalam Kwekkeboom &
Gretarsdottir, 2006; conrad & Roth, 2007; Supriati, 2010; Alini, 2012).
Keberhasilan pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif pada penelitian ini, yaitu karena
peneliti mempraktekkan terlebih dahulu setiap gerakan yang akan dilatih, selanjutnya
keluarga lansia dengan demensia diminta untuk mengulang setiap gerakan yang sudah
dilatih.keluarga lansia dengan demensia yang telah mampu mempraktekan kembali setiap
gerakan hingga 15 gerakan secara berurutan, maka peneliti melakukan evaluasi dengan
menanyakan kembali perasaan keluarga lansia setelah latihan relaksasi otot progresif.
Keluarga lansia dengan demensia selanjutnya diminta untuk melakukannya secara mandiri
dirumah secara rutin selama 6 hari dan keluarga lansia diminta untuk mendokumentasikan
setiap latihan gerakan relaksasi otot progresif pada malam sebelum tidur dan pagi setelah
bangun tidur di buku kerja yang telah tersedia.
Berdasarkan teori, hasil penelitian, dan hasil penelitian sebelumnya, peneliti berpendapat
bahwa terapi relaksasi otot progresif yang diberikan pada keluarga lansia dengan demensia
secara rutin selama enam hari pada malam sebelum tidur dan pagi setelah bangun tidur,
mampu menurunkan tingkat stres dibandingkan dengan sebelum melakukan latihan
relaksasi otot progresif. Hal ini dikarenakan komitmen keluarga lansia dengan demensia
dalam melakukan latihan relaksasi otot progresif tersebut. Hasil penelitian ini sejalan
dengan rekomendasi penelitian Livana, Helena, dan Mustikasari (2014) tentang
pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif selama 6 hari diharapkan mampu menurunkan
tingkat stres secara maksimal. Hal ini terbukti bahwa pelaksanaan latihan relaksasi otot
progresif yang dilakukan selama enam hari mampu menurunkan tingkat stres sebesar 85%
dibandingkan dengan latihan yang hanya dilakukan selama empat hari dan mampu
menurunkan tingkat stres hanya sebesar 78%, sehingga untuk mencapai hasil yang lebih
maksimal (100%) maka direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya, pemberian terapi
relaksasi otot progresif sebaiknya diberikan selama 7-8 hari secara rutin.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
301
Kesimpulan
Terapi relaksasi otot progresif yang diberikan pada keluarga lansia dengan demensia
mampu menurunkan tingkat stres sebagai akibat beban merawat lansia demensia sebesar
85%. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi evidence based practice bagi perawat
khususnya perawat spesialis keperawatan jiwa dalam memberikan alternatif terapi dalam
mengatasi stres keluarga sebagai akibat beban merawat lansia demensia. Penelitian lanjut
dengan metode kualitatif diharapkan dapat dilakukan agar efektifitas terapi relaksasi otot
progresif dapat diketahui.
Daftar Pustaka
Adams, K.B. (2008). Specific effects of caring for a spouse with dementia: differences in
depressive symptoms between caregiver and non-caregiver spouses. USA:
University, Cleveland, Ohio, U.S.A. International Psychogeriatrics 20.3 : 508-20.
Chen, et all. (2008). Efficacy of progressive muscle relaxation training in reducing anxiety
in patients with acute schizophrenia. China: Taipei Medical University. Journal of
Clinical Nursing: Complementary & Alternative Medicine 18.15; 2187-2196.
Crawford, J.R & Henry, J.D. (2003). The depression anxiety stress scales (DASS):
normative data and latent structure in a large non-clinical sample. British journal of
clinical psychology 42: 111-113.
Hashim, HA., & Hanafi, AYH. (2011). The effects of progressive muscle relaxation and
autogenic relaxation on young soccer players' mood states. Malaysia: Tehran
University of Medical Sciences Press. Asian Journal Of Sports Medicine 2.2: 99105.
Isnarti & Ritandiyah. (2006). Perbedaan tingkat stres kerja ditinjau dari jenis kelamin.
Diambil dari http://library gunadarma.ac.id
Livana, Helena, Mustikasari (2014). Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat
stres keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa di RSUD Dr.H. Soewondo
Kendal. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Maryam;ekasari; Rosidawati;Jubaedi; Batubara. 2008. Mengenal usia lanjut dan
perawatannya.Jakarta: salemba Medika
Ramdhani, N., & Putra, A.A. (2008). Pengembangan multimedia relaksasi. Jogjakarta :
Bagian Psikologi klinis Fakultas psikologi UGM
Scheufele, P.M. (2013). Effects of Progressive Relaxation and Classical Music on
Measurements of Attention, Relaxation, and Stress Responses”. Netherlands:
Springer Science & Business Media. Journal of Behavioral Medicine 23.2 : 207-28.
Scott, J.R. (2013). “Stress Management”. New York 3 Mei 2013.
Stanley Mickey. 2006. Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Supriati, L. Keliat, B.A., Nuraini, T. (2010). Pengaruh terapi tought stopping dan
progressive muscle relaxation terhadap ansietas pada klien dengan gangguan fisik
di RSUD Dr. Soewondo Madiun. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Tidak
dipublikasikan.
Sutejo. (2009).Pengaruh Logoterapi kelompok terhadap ansietas pada penduduk pasca
gemba di kabupaten klaten propinsi Jawa Tengah. Tesis. Tidak dipublikasikan.
Thoits, P.A. (2010). Stress and health major finding and policy implications. Journal of
health and social behavior 51.1: S541-S53. Bloomington: Indiana University
Tobing, D.L., Keliat, B.A., Wardhani, I.Y. (2012). Pengaruh Progresive Muscle
Relaxation dan Logoterapi terhadap Perubahan Ansietas, Depresi, Kemampuan
Relaksasi, dan Kemampuan Memaknai Hidup Pasien Kanker di RS Dharmais
Jakarta. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
302
Wilk, C., and Turkoski, B. (2012). Progressive Muscle Relaxation in Cardiac
Rehabilitation: A Pilot Study. Rehabilitation Nursing, 26: 238–242.
Yatim, DTM & H. 2003. Pikun (demensia), penyakit Alzheimer dan sejenisnya,
bagaimana cara mengatasinya/dr. Faisal yatim DTM&H, MPH, edisi 1; cetakan
pertama. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
303
LITERATURE REVIEW: PENGARUH TERAPI PIJAT TERHADAP TINGKAT
KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS
Satriya Pranata, Aini Hidayati
Stikes Al Islam Yogyakarta, E-mail: [email protected]
Abstrak
Latar belakang. penderita diabetes melitus terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Laporan
menunjukkan bahwa terapi pijat merupakan terapi komplementer yang digemari di indonesia
serta memiliki banyak fungsi. Perlu digali lebih dalam mengenai pengaruh terapi pijat terhadap
tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus.
Tujuan. Mengetahui pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien
dengan diabetes melitus.
Metoda. Pencarian artikel dilakukan menggunakan Science Direct, Medline, Google Search
dan Pro Quest untuk menemukan artikel sesuai kriteria inklusi dan ekslusi kemudian
dilakukan review.
Hasil. terapi pijat secara signifikan mampu mengontrol kadar glukosa darah pada pasien anakanak dengan diabetes melitus P value < 0,0001. Faktor yang mempengaruhi pasien menggunakan
pengobatan komplementer adalah gender dengan P value = 0.049, pemasukan rumah tangga
P= 0.048 dan frekuensi kontrol gula darah P= 0.036. Swedish massage terbukti efektif
memberikan efek penurunan kadar glukosa darah pada anak dengan DM nilai P =0.00. sampel
menggunakan pengobatan herbal mencapai 100%. Intervensi mind body 94,2%. 100%. Sampel
mempercayai bahwa obat herbal dapat menurunkan kadar glukosa darah dan dapat mengatasi
gejala DM 35,7%. Terdapat signifikansi kadar glukosa darah dan laktat sebelum dan sesudah
pijat dengan nilai P<0.05. Terdapat penurunan level ansietas dan glukosa darah sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi pijat dengan nilai P 0.00.
Kesimpulan. terapi pijat merupakan terapi komplementer yang digemari. Hasil penelitian belum
dapat digeneralisasi. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
Kata kunci: Diabetes Melitus, Terapi Pijat, Glukosa Darah
Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang melanda
seluruh belahan dunia hingga saat ini. Data dari International Diabetes Federation (IDF)
tahun 2014 menunjukkan bahwa 1 dari 12 orang di dunia menderita DM. Jumlah penderita
Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia saat ini berjumlah 387 Juta jiwa dengan
prevalensi 8,3%. setiap 7 detik 1 orang di dunia meninggal akibat DM, total jumlah
penderita DM yang meninggal mencapai 4,9 juta jiwa. Diprediksi pada tahun 2035
jumlah penderita DM akan mengalami penambahan jumlah penderita hingga 205 juta jiwa
(IDF, 2014).
Jumlah penderita DM di Indonesia terus mengalamai peningkatan. tahun 2014
penderita DM mencapai angka 9,1 juta dengan prevalensi 5.81 %. DM yang tidak
terdiagnosis berjumlah 4,8 juta, penderita yang meninggal akibat DM berjumlah
175.836 jiwa, rata-rata jumlah biaya yang di keluarkan oleh setiap pasien DM di tahun
2014 berjumlah 174.71 USD atau setara dengan 2,3 juta rupiah. Diperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang menderita DM di tahun 2035 mencapai angka 14,1 juta (IDF,
2014).
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
304
Dengan bertambahnya jumlah penderita DM setiap
tahunnya, tantangan tenaga
kesehatan khususnya perawat untuk mensikapi kondisi ini tentunya semakin besar
karena masalah yang timbul berdasarkan respon tubuh juga akan semakin kompleks.
Selama ini penanganan pasien DM masih dilakukan berdasarkan konteks kolaborasi
farmakologi, padahal perawat memiliki intervensi mandiri yaitu terapi komplementer yang
diharapkan menjadi salah satu solusi penanganan peningkatan glukosa darah pasien
DM.
Salah satu terapi komplementer yang sedang berkembang saat ini adalah terapi pijat
(massage therapy). Penelitian menunjukkan bahwa tindakan komplementer seperti terapi
pijat memiliki banyak manfaat, terapi pijat dapat meningkatkan mood pasien setelah
melakukan ope rasi jantung terbuka (Babae, 2012). Terapi pijat mampu menurunkan
tingkat depresi pasien penderita HIV (Polland, 2013). Back massage dapat menurunkan
ansietas, meningkatkan aliran darah pada pasien CHF (congestif heart failure) (Chen
2013). Penelitian yang dilakukan oleh (Kashaninia, et al, 2011) menunjukkan bahwa
swedish massage dapat mengontrol kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus.
Penelitian yang dilakukan oleh (Finch, et al, 2007) menunjukkan bahwa massage therapy
berefek positif terhadap potensial pergerakan, menurunkan insiden ulcer neuropati pada
diabetes melitus. Dengan banyaknya manfaat yang dilaporkan mengenai terapi pijat
maka penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai pengaruh terapi pijat
terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus.
Tujuan
Mengetahui pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien
dengan diabetes melitus.
Metoda
Jenis design penelitian yang dimasukkan didalam literatur review adalah RCT dan quasi
eksperiment. Jenis metode penelitian ini dirasa sudah dapat menjawab pertanyaan
klinis yang sudah ditentukan sejak awal. Tipe study yang akan direview adalah semua jenis
penelitian yang menggunakan terapi pijat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada
pasien dengan diabetes melitus. Partisipan yang ditentukan untuk di review tidak dibatasi
secara umur maupun tipe diabetesnya. Semua jenis partisipan baik anak-anak, dewasa
maupun lansia dimasukkan sebagai partisipan dalam literature review. Intervensi yang
dimasukkan dalam kriteria inklusi adalah semua jenis intervensi terapi pijat yang
dilakukan untuk menurunkan tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes
melitus. Tipe outcome yang diukur hanya berbatas pada pengaruh terapi pijat terhadap
tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus.
Literature review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel penelitian yang
sudah terpublikasi dimana populasi pasiennya adalah penderita diabetes melitus yang
mendapatkan perlakuan terapi pijat dimana hasilnya mampu menurunkan kadar glukosa
darah. Penelusuran dilakukan menggunakan Science direct, Medline, Google Search dan
Pro-quest dengan kata kuci tiap variabel yang telah di pilih. Artikel yang ditemukan dari
masing-masing pencarian kemudian dilakukan pembacaan secara cermat untuk melihat
artikel mana yang memenuhi kriteria inklusi penulis untuk dijadikan sebagai literatur
dalam penulisan literature review. Pencaharian dibatasi dari tahun 2000-2015 yang
dapat diakses fulltext dalam format pdf dengan desain RCT dan quasy eksperiment. Setiap
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
305
artikel penelitian yang terpublikasi melakukan terapi pijat serta mampu menurunkan kadar
glukosa darah pada pasien diabetes melitus akan dimasukkan dalam literature review.
Artikel yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan penulis dianalisis, ditentukan level
dari evidancenya sampai melakukan ekstraksi data dan sintesis. harapannya dari banyak
penelitian tersebut didapatkan sebuah kesimpulan yang nantinya menjadi dasar dalam
melakukan praktek keperawatan di rumah sakit, masyarakat, maupun komunitas.
Ekstraksi data penelitian dilakukan dengan membaca hasil dari penelitian kemudian
mengambil intisari dari penelitian. Intisari dari penelitian yang diambil adalah judul
penelitian, nama peneliti, metode penelitiannya, jumlah sampel dengan melihat
karakteristik sampel dan berapa jumlah kelompok intervensi dan kontrol, alat yang
digunakan dalam proses penelitian serta hasil akhir dari penelitian lengkap dengan nilai
signifikansinya. Semua bagian-bagian tersebut dimasukkan dalam sebuah tabel agar
mempermudah dalam membaca hasil ekstraksi.
Hasil
Untuk mendapatkan artikel penelitian yang dibutuhkan, penulis melakukan
pencarian dengan menggunakan kata kunci. Jumlah artikel yang didapatkan serta
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berjumlah 7 artikel, 7 artikel tersebut kemudian
dianalisis. Berikut merupakan daftar artikel yang di ekstraksi dalam bentuk tabel:
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
306
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
307
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
308
Didapatkan 7 jenis artikel, artikel yang dianalisis menggunakan metode penelitian yang
beragam seperti RCT, quasy eksperiment, Two occasions in a counter balance design dan
Cross sectional. Tempat penelitian dari artikel yang dapatkan juga beragam, Artikel
pertama pengambilan data dilakukan di Iran, artikel kedua pengambilan data di
singapura, artikel ketiga pengambilan data dilakukan di Iran, artikel keempat
pengambilan data dilakukan di Indonesia, artikel ke lima pengambilan data dilakukan di
South Korea, artikel ke enam pengambilan data dilakukan di United Kingdom dan artikel
ke tujuh pengambilan datanya dilakukan di Swedia.
Artikel pertama menunjukkan bahwa Swedish massage secara signifikan mampu
mengontrol kadar glukosa darah pada pasien anak-anak dengan diabetes melitus P value <
0,0001. Artikel kedua menunjukkan bahwa pengobatan komplementer yang umum
digunakan oleh sampel saat melakukan rawat jalan adalah suplemen gizi, obat herbal
cina dan pijat. Sumber informasi pasien mengenai CAM 44,2 % dari teman, dari
pasangan dan keluarga 38%. Faktor yang mempengaruhi pasien menggunakan pengobatan
komplementer adalah gender dengan P value = 0.049, pemasukan rumah tangga P=
0.048 dan frekuensi control gula darah P= 0.036, rekomendasi dari hasil penelitian adalah
perlu dilakukan peningkatan profesionalitas tenaga kesehatan mengenai kemampuan
memberikan edukasi dan pelayanan terapi komplementer pada pasien rawat jalan.
Artikel ketiga dengan intervensi Swedish massage terbukti efektif memberikan efek
penurunan kadar glukosa darah pada anak dengan diabetes melitus, nilai P =0.00.
Artikel keempat dengan desain cross sectional menujukkan bahwa Favorit sampel
menggunakan pengobatan herbal mencapai 100%. Intervensi mind body 94,2%. 100%
Sampel mempercayai bahwa obat herbal dapat menurunkan kadar glukosa darah,
menyehatkan tubuh 76,6% dan dapat mengatasi gejala DM 35,7%. Informasi mengenai
pengobatan herbal 98,7% di dapatkan dari relasi dan teman, 89% mengetahui sendiri,
semantara informasi dari market lokal 36,4%.
Artikel kelima menunjukkan bahwa
thermomechanical massage dapat menurunkan tekanan darah dengan P value = 0.00;
glukosa darah pasien dengan diabetes mengalami penurunan setelah dilakukan perlakuan
dengan P value = 0.00; kelompok dengan diabetes dan hipertensi signifikan mengalami
penurunan tekanan darah dan penurunan kadar glukosa darah dengan P value < 0.05.
Artikel ke enam menjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antar group setelah
dilakukan intervensi, namun terdapat penurunan selisih antar group dengan nilai P
<0.05; intervensi pijat dapat meningkatkan perbaikan persepsi pasien dengan nilai P
<0.01; tidak ada perbedaan kandungan laktat dan glukosa darah dari intervensi dan pasiv
rest intervensi. Namun terdapat signifikansi kadar glukosa darah dan laktat sebelum dan
sesudah pijat dengan nilai P<0.05. Sedangkan artikel ketujuh menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan signifikansi level oksitosin pasien sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi tactile massage. Terdapat penurunan level ansietas dan glukosa darah sebelum
dan sesudah dilakukan intervensi dengan nilai P = 0.00.
Pembahasan
Hasil pencarian dengan menetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat
mempengaruhi jumlah artikel yang didapatkan. Awalnya penentuan artikel yang
diambil hanya berbatas pada artikel yang menggunakan metode penelitian RCT dan quasy
eksperiment, namun karena jumlah dari artikel sangat terbatas maka kriteria diturunkan,
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
309
artikel dengan metode penelitian apapun akhirnya tetap dimasukkan selama tetap terkait
dengan terapi pijat pada pasien diabetes melitus serta korelasi terhadap kadar glukosa
darah. Setelah menurunkan kriteria berupa metode penelitian, akhirnya artikel yang
didapatkan berjumlah 7 artikel. Hasil yang beragam ditunjukkan pada hasil penelitian di
artikel, hasil penelitian secara umum menyebutkan bahwa terapi pijat memang terbukti
signifikan mampu menurunkan kadar glukosa darah. Khasiat lain, terapi pijat mampu
menurunkan tekanan darah dan menurunkan tingkat ansietas pasien dengan diabetes
melitus.
Peningkatan kadar glukosa darah, ansietas dan tingginya tekanan darah pada pasien
diabetes melitus terkait dengan kerja hormon dan vaskularisasi. Pada pasien diabetes
melitus, kekentalan darah meningkat karena tingginya kadar glukosa di dalam darah,
akibatnya aliran darah menjadi tidak lancar sehingga memicu terjadinya hipertensi
(Smeltzer & Bare, 2008).
Pasien dengan diabetes melitus harus terus melakukan kontrol glukosa darah, kontrol
diet, penyesuaian gaya hidup dikarenakan resiko komplikasi penyakit lain hingga luka
yang sulit sembuh, kondisi ini akan menyebabkan terjadinya ansietas pada pasien.
Ansietas akan memicu peningkatan hormon kortisol diikuti oleh peningkatan konversi
asam amino, laktat dan piruvat di hati menjadi glukosa melalui proses glukogenesis,
kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (Smeltzer
& Bare, 2008).
Terapi pijat memiliki efek fisiologis melancarkan predaran darah. Bekuan dan kekentalan
darah dapat dipecah karena manipulasi pijat pada otot sehingga darah akan menjadi
lancar. Lancarnya predaran darah akan memicu keluarnya hormon endorphin sehingga
pasien yang dilakukan terapi pijat mengalami relaksasi (Arovah, 2010). Dengan
terjadinya peningkatan relaksasi diharapkan akan diikuti juga dengan penurunan
kadar glukosa di dalam darah.
Hasil penelitian pada artikel lainnya menunjukkan bahwa ternyata terapi pijat termasuk
salah satu terapi komplementer alternative yang sangat diminati masyarakat di
Singapura yang memiliki latar rumpun Asia sama dengan di Indonesia, itulah mengapa
hasil dari penelitian yang dilakukan di Singapura dan di Indonesia cenderung memiliki
kaitan yang erat yaitu minat masyarakat akan terapi komplementer seperti terapi pijat
sangat digemari.
Kelengkapan dan aplikasi evidence
Artikel mengenai pelaksanaan terapi pijat terhadap kadar glukosa darah pada pasien
dengan diabetes mellitus yang terpublikasi masih sedikit. Kekuatan dari evidence yang
ditemukan setelah dilakukan literature review terletak pada artikel yang terpublikasi
dari literature yang baik, resmi serta sudah dilakukan peer review.
Kualitas evidence
Kualitas dan bukti yang ditampilkan pada artikel sudah cukup kuat, hanya saja masih
dibutuhkan penelitian lanjutan dengan desain RCT untuk membuktikan efektifitas
pelaksanaan terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan
diabetes melitus. Penelitian yang terbukti berkorelasi terhadap kadar glukosa darah
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
310
dengan menggunakan desain RCT hanya terbukti pada sampel anak-anak. Dibutuhkan
penelitian lain dengan desain RCT yang dilakukan pada orang dewasa hingga lansia.
Implikasi hasil penelitian pada praktik
Meskipun jumlah artikel yang melihat pengaruh pelaksanaan terapi pijat masih sedikit,
pelaksanaan program ini memiliki peluang yang besar untuk diterapkan di tatanan
klinis dan komunitas khususnya di Indonesia. Kondisi ini di dukung oleh minat
masyarakat Indonesia yang tinggi pada terapi komplementer seperti pijat. Perlu dilakukan
penelitian lanjutan untuk semakin menguatkan evidence.
Implikasi pada penelitian lanjutan
Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada orang dewasa. Pemilihan lokasi pijat serta
jenis pijat memiliki peran penting. Terdapat banyak jenis terapi pijat yang sudah
berkembang di dunia khususnya Indonesia. Pemilihan jenis pijat yang sudah terbukti
secara akademis akan lebih baik karena sudah di dukung dengan teori-teori penguat untuk
menjaga pasien tetap aman saat dilakukan pijat. Perlu juga dilakukan penentuan secara
teori dari tekanan yang diberikan saat melakukan pijat, perbedaan tekanan dapat dilihat
dari jumlah lemak pada tubuh pasien. Semakin bayak lemak semakin besar tekanan yang
harus diberikan dan sebaliknya. Pengaplikasian terapi pijat tergolong mudah, low cost,
serta sudah didukung oleh tempat pelatihan dan instruktur pelatih yang cukup
memadai. Untuk mengukur pengaruh atau efektifitas terapi akan lebih baik menggunakan
metode RCT.
Kesimpulan
Hasil literature review ini menunjukkan bahwa terapi pijat terbukti dapat menurunkan
kadar glukosa darah. Khasiat lainnya adalah menurunkan ansietas dan menurunkan
tekanan darah. Terapi pijat sangat digemari di Negara asia seperti Singapura dan
Indonesia. Pengaplikasian terapi pijat tergolong mudah, low cost, serta sudah didukung
oleh tempat pelatihan dan instruktur pelatih yang cukup memadai. Dengan sedikitnya
hasil penelitian dengan menggunakan metode penelitian yang terbaik, penelitian
selanjutnya dengan kualitas lebih baik akan memiliki efek serta dampak yang lebih besar
terhadap perkembangan terapi komplementer khususnya terapi pijat dimasa depan.
Jika sudah terdapat bukti baru dengan kualitas study yang lebih baik maka literature
review ini dapat diperbaharui sebagai pedoman dalam pemberian pelayanan
kompelementer terapi pijat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pada pasien
dengan diabetes mellitus.
Daftar Pustaka
Arovah, NI.,(2010). Dasar-Dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga. (hlm 63-74),
Yogyakarta: UNY
Babae, S. Safiei, Z. Sadeghi, M.M. Nik, A.Y. Valiani, M., (2012). Effectiveness of
massage therapy on the mood of patients after open-heart surgery. Iranian
Journal of Nursing and Midwifery Research | February 2012 | Vol.17 | Issue 2
(Special)
Chen, W.L. Liu, G.J. Yeh, S.H. Chiang, M.C. Fu, M.Y. Hsieh, Y.K., (2013). Effect of
Back Massage Intervention on Anxiety, Comfort, and Physiologic Responses in
Patients with Congestive Heart Failure. The Journal Of Alternative And
Complementary Medicine Volume 19, Number 5, 2013, pp. 464–470
Finch, P. Baskwill, A. Marincola, F and Becker, P., (2007). Changes in pedal plantar
pressure variability and contact time following massage therapy. Acase study of
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
311
a client with diabetic neuropathy. Journal of Bodywork and Movement
Therapies. 295-301
Hemming, B. Smith, M. Graydon, J. Dyson, R.,(2000). Effects of massage on
physiological restoration, perceived recovery, and repeated sports performance.
Br J Sports Med 2000;34:109–115
Henricson, M.,(2008). Tactile Touch In Intensive Care. Nurses’ preparation, patients’
experiences and the effect on stress parameters. Digital version:
http://hdl.handle.net/2320/1814
IDF., (2014). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition.www.idf.org/diabetesatlas
Kashaninia, Z. Abedinipoor, A. Hosainzadeh, S. Sajedi, F., (2011). The Effect of Swedish
Massage on Glycohemoglobin in Children with Diabetes Mellitus. Iranian
Rehabilitation Journal, Vol. 9
Niswah. Chinnawong, T. Manasurakarn.,(2014). Complementary Therapies Used
Among Adult Patients with Type 2
Diabetes Mellitus in Aceh, Indonesia. Nurse Media Journal of Nursing, 4, 1, 2014, 671687 671
Polland, R.E. Gertsik, L. Vafreau, J.T. Smith. Mirocha. J. Rao, U. Dar, E. (2013). OpenLabel, Randomized, Parallel- Group Controlled Clinical Trial of Massage for
Treatment of Depression in HIV-Infected Subjects. The Journal Of Alternative
And Complementary Medicine Volume 19, Number 4, 2013, pp. 334–340
Sajedi, F. Khashaninia, Z. Hoseimsadeh, S & Abedinipoor, A.,(2011). How effect is
Swedish Massage on Blood Glucose
Level in Children with Diabetes Mellitus. Department of Nursing, School of Nursing and
Midwifery
Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. (2008). Brunner & suddarth Textbook of medicalsurgical nursing (11 th edition).Philadelphia : Lippincot William & Wilkins.
So. C.S. Gioltli, R. Chang, T. Bae, H.J. Chang, Y. Boone, W.R. Blanks, R.H.I.,(2014).
Psyological Changes Following Thermomechanical Massage in a Population of
Hypertensive Patient and/or Type II Diabetis. J Vertebral Subluxation Res.JVSR, May 3, 2014
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas
“Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
312
Download