SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS “PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN PRIMER MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS “PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN PRIMER MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 7 November 2015 Gedung Serba Guna Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia Editor : Ns. Muhammad Muin, S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.Kom Ns. Diyan Yuli Wijayanti, S.Kep., M.Kep Bekti Iskandar, S.Hum Program Studi Magister Keperawatan Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Diponegoro Semarang, Indonesia Universitas i PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS “PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KESEHATAN PRIMER MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN” ISBN : 978-602-73501-0-6 @ 2015 Program Studi Magister Keperawatan Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Indonesia Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit Redaksi Program Studi Magister Keperawatan Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Jalan Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang Semarang 50275 Telp. (024) 76480919 Fax : (024) 76486849 Email : [email protected] Website : www. keperawatan.undip.ac.id Cetakan Pertama, 7 November 2015 ii Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” 7 November 2015 Kami Mengucapkan terima kasih kepada tim reviewer Dr.Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M.Sc Nur Setiawati Dewi, S.Kp., M.Kep. Sp.Kep.Kom Megah Andriany, S.Kp, M.Kep. Sp.Kep.Kom Ns. Muhammad Muin, S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.Kom Ns. Diyan Yuli Wijayanti, S.Kep., M.Kep Rita Hadi Widyastuti, M.Kep., Sp.Kep.Kom iii KATA PENGANTAR Perawat memiliki peran yang vital dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dan aktif dalam mengisi pembangunan. Perawat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap keberhasilan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna terhadap pasien. Perawat menempati 1/3 dari keseluruhan tenaga kesehatan di Indonesia baik di RS maupun di Puskesmas. Oleh sebab itu diperlukan suatu mekanisme dalam upaya meningkatkan profesionalisme perawat dalam mewujudkan program percepatan pembangunan kesehatan di Indonesia. Saat ini permasalahan kesehatan yang dihadapi cukup kompleks, upaya kesehatan belum dapat menjangkau seluruh masyarakat meskipun Puskesmas telah ada di setiap kecamatan yang rata-rata ditunjang oleh tiga Puskesmas Pembantu. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu, jumlah kasus baru TB, jumlah kasus baru AIDS dan penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan penyakit pembuluh darah, juga terjadi peningkatan. Keperawatan sebagai salah satu bagian pelayanan kesehatan di Indonesia memandang isu ini sebagai masalah krusial yang perlu untuk ditindaklanjuti bersama, tidak hanya oleh stakeholder, tetapi juga oleh praktisi, akademisi, dan masyarakat. Jalinan kerjasama ini bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dan pemecahan masalah yang mempengaruhi outcome berupa kualitas pelayanan dan profesionalisme perawat. Menjawab realitas tersebut kegiatan seminar nasional dengan tema “Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” dapat bermanfaat untuk memajukan dan menggiatkan kembali pendidikan dan profesi sebagai perawat yang berkompeten dan berkualitas di keperawatan komunitas ( masyarakat) terutama menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN . Semarang, 7 November 2015 Ketua Panitia Rita Hadi Widyastuti, S.Kp., M.Kep., Sp. Kom iv Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” Semarang, 7 November 2015 Sususan panitia pelaksanaan seminar: Ketua : Rita Hadi W, S.Kp. M.Kep. Sp.Kep.Kom Sekretaris : Ns. Sri Padma Sari, S.Kep., MNS Bendahara : Titien Supriyanti, S.Kom Sie. Acara : Ns. Nurullya Rachma, S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.Kom Ns. Artika Nurrahima, S.Kep., M.Kep Sie. Ilmiah : Ns. Muhammad Muin, S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.Kom Ns. Diyan Yuli Wijayanti, S.Kep., M.Kep Nur Setiawati Dewi, S.Kp., M.Kep. Sp.Kep.Kom Megah Andriany, S.Kp, M.Kep. Sp.Kep.Kom Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M.Sc Bekti Iskandar, S.Hum Sie. Danus : Elis Hartati, S.Kep., M.Kep Rinna Prasmawati, SKM Sie. Konsumsi : Wida Riana, SIP Sie. Perlengkapan, : Evi Silitoma Kriswanto Ponco Sudarsono Sie. Pubdekdok & Transportasi : Heri Kristanto Margiyono, S.Kom v Susunan Acara Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” Semarang, 7 November 2015 Waktu 07.00- 08.30 08.30- 09.00 Kegiatan Registrasi (coffe break) Pembukaan: Narasumber Menyayikan lagu Indonesia Raya Doa Dirijen : MC Pembaca Doa M.Mu’in,M.Kep.,Sp.Kep.Kom Laporan ketua panitia Rita Hadi W,S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kep.Kom Sambutan: Dekan FK UNDIP 09.00- 11.30 Prof. DR. dr. Tri Nur Kristina, DMM., M.Kes Materi (Panel) @ 30 menit tiap pembicara, diskusi 45 menit Moderator: Ns. Nurullya Rachma, M.Kep., Sp.Kep.Kom 1. Kebijakan Kementerian Kesehatan tentang peran dan posisi perawat dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi di pelayanan kesehatan primer Dr. dr. Anung Sugihantono, M.Kes (Dirjen Bina Gizi & KIA Kemenkes RI) 2. Kebijakan dan strategi pendayagunaan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer 3. Konsep dan implementasi Asuhan Keperawatan Komunitas dalam rangka peningkatan status kesehatan menuju MEA: dr. Yulianto Prabowo, M.Kes (Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah) Purwadi, S.Kp., M.Kep.Sp.Kom vi Aplikasi program 1 RW 1 perawat Penyerahan sertifikat dan Diserahkan oleh Kajur/Ketua Panitia plakat 11.30- 12.30 Presentasi poster (Hall depan RSG Lt.3) 12.30- 13.30 Ishoma 13.30- 15.00 Presentasi oral Ruang 3 A,B,C Jur Kep 15.00- 15.15 Penutupan: Kajur Keperawatan FK DR. Untung Sujianto, S.Kp.,M.Kes UNDIP 15.15- 15.30 Pembagian sertifikat vii Daftar Isi Halaman Judul ............................................................................................................ Kata Pengantar ............................................................................................................ Susunan Panitia ........................................................................................................... Susunan Acara ............................................................................................................ Daftar Isi ..................................................................................................................... A. Materi Pembicara 1. Konsep dan implementasi Asuhan Keperawatan Komunitas dalam rangka peningkatan status kesehatan menuju MEA: Aplikasi program 1 RW 1 perawat oleh Purwadi, S.Kp., M.Kep.Sp.Kom i iv v vi viii 1 20 B. Oral Presentation 1. Dely Maria , Juniati Sahar, Sigit Mulyono..................................................... Kemampuan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk meningkatkan status gizi anak usia sekolah. 2. Fitri Suciana.................................................................................................... Efektifitas Program Perawatan Diri Terhadap Kemampuan Diri Pasien Gagal Jantung 3. Tut Wuri Prihatin, Witri Hastuti, Fitroh Suryaningsih................................... Pengaruh Terapi Bekam terhadap Perubahan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi 4. Zahroh Ulil Fadhilah, Wahyu Maha Nugraha................................................ Jenis Terapi Komplementer yang Berpengaruh terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah pada Pasien Diabetes Mellitus 5. Kastuti Endang Trirahayu , ............................................................................ Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Keluarga Dalam Perawatan Pasien Tuberculosis Paru 6. Kartika Setia Purdani, ..................................................................................... Komplementer Terapi; Aromaterapi Dalam Autism 7. Erika Dewi Noorratri ...................................................................................... Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kegagalan Pengobatan Pada Pasien Tuberculosis Paru 8. Nurul Devi Ardian........................................................................................... Faktor-Faktor Yangmempengaruhi Perilaku Seksual Pada Remaja Wachidah Yuniartika 9. Candra Dewi Rahayu....................................................................................... Kolaborasi Perawat Klien Dalam Penanganan Kesehatan Jiwa Komunitas: Literature Review 10. Maria Dyah Kurniasari ................................................................................... Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia Mangostana) Terhadap Jumlah Limfosit Total, Jumlah Hb, Berat Badan Pada Penderita Hiv Dengan Terapi Antiretroviral (Arv) Di Rsud Gunung Jati, Cirebon 11. Dwi Yuniar Ramadhani.................................................................................. Literatur Review : Dukungan Keluarga, Efikasi Diri dan Kualitas Hidup Lansia dengan Diabetes Melitus Tipe 2 28 37 43 50 55 61 72 79 88 94 viii 12. Treesia Sujana ................................................................................................. Effectiveness of maternal and neonatal health promotion strategies in low and middle income countries with disadvantage environment Road to an incontext health promotion strategy for Indonesia 13. Domianus Namuwali ...................................................................................... Pengaruh Penggunaan SMS Dan Telpon Pengingat Terhadap Kepatuhan Pasien Minum Obat Anti Tuberkulosis Paru : Literatur review 14. Umi Setyoningrum .......................................................................................... Hubungan Peran dan Fungsi Keluarga Terhadap Perilaku Seksual Pra Nikah Remaja 15. Yuni Dwi Hastuti , Sidik Awaludin................................................................. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Hiv/Aids Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Siswa Di Sma Setiabudi Semarang 16. EIstki Suprihatin ............................................................................................. Hubungan Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Dengan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk 17. Budi Kristanto ................................................................................................. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkembangan Bahasa Pada Anak Pra Sekolah 18. Lusia Lilik Mei M .......................................................................................... The Relationship Between Husband Support And Self Efficacy With Stress Levels In Multiple Roles Woman 19. Asti Nuraeni, Susana Agustina, Mamat Supriyono......................................... Efektivitas Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok Terhadap Frekuensi Merokok Siswa Sman 14 Semarang 20. Yulia Susanti, Junaiti Sahar, Poppy Fitriyani ................................................ Hubungan Dukungan Keluarga Dalam Pencegahan Dengan Kejadian Demam Berdarah Pada Anggota Keluarga Di Kabupaten Kendal 21. Dwi Roma Yogi, Riani Pradara Jati Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Lansia Memeriksakan Kesehatan di Posyandu Lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang 22. Dwi Susilawati, Reni Sulung Utami ............................................................. Efektivitas Senam Diabet Terhadap Aktivitas dan Kepuasan Dalam Berhubungan Seksual Pada Penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Kecamatan Ungaran Barat 23. Yunitia Aulianita, Sari Sudarmiati ................................................................. Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium di Rw 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah 24. Puji Purwaningsih ........................................................................................... Kajian Literatur : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktifitas Fisik dan Perilaku Sedentary Pada Anak 25. Chandra Bagus Ropyanto ............................................................................... Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self Efficacy Melakukan Activity Daily Living (ADL) Pasien Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Ekstremitas Bawah di Kota Semarang 101 108 115 118 125 131 139 146 153 161 168 178 186 192 ix 26. Elis Hartati, Diyan Yuli Wijayanti ................................................................. Pemberdayaan Kader Posyandu Lansia di Semarang 27. Wachidah Yuniartika...................................................................................... Studi Literature : Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Tingkat Depresi Pasien Diabetes Mellitus 28. Diah Indriastuti................................................................................................ Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami 29. Diah Fitri Purwaningsih ................................................................................ Efisiensi Biaya Dengan Menggunakan Metode Assertive Community Treatment Pada Pasien Dengan Skizofrenia Di Puskesmas : Literature Review 30. Rinda Winandita , Rita Hadi Widyastuti ........................................................ Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Wredha 31. Muchammad Nurkharistna Al Jihad .............................................................. Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil C. Poster Presentation 1. Herry Setiawan ............................................................................................... Nilai Marketing Perawat sebagai Pemberi Pelayanan Keperawatan pada Klien Stroke dalam Menyikapi Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA): Literature Review 2. Arwyn Weynand Nusawakan ........................................................................ Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi dalam konteks lintas budaya. 3. Azka Fathiyatir Rizqillah, Diyan Yuli Wijayanti............................................ Tingkat Depresi Pada Lanjut Usia : Studi Eksporatif Pada Lansia Di Kelurahan Padangsari Kota Semarang 4. Diah Indriastuti , Tahiruddin............................................................................ Deteksi Postnatal Depression menggunakan EPDS (Edinburg Postnatal Depression Scale) Pada Kunjungan Rumah Ibu Post Partum 5. Retno Yuli Hastuti, Sutaryono, Ayu Arumsari................................................ Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk Menurunkan Kecemasan Pada Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi Di Stikes Muhammadiyah Klaten 6. Muhammad Mu’in, Dyan Yuli Wijayanti....................................................... Spiritualitas Dan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus 7. Yossie Susanti Eka Putri, Livana PH.............................................................. Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres Keluarga Sebagai Akibat Beban Merawat Lansia Demensia Di Ciwaringin Bogor 8. Satriya Pranata, Aini Hidayati........................................................................ Literature Review : Pengaruh Terapi Pijat Terhadap Tingkat Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus 202 210 218 225 234 241 250 260 266 274 281 289 295 304 x 26. Elis Hartati, Diyan Yuli Wijayanti ................................................................. Pemberdayaan Kader Posyandu Lansia di Semarang 27. Wachidah Yuniartika...................................................................................... Studi Literature : Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Tingkat Depresi Pasien Diabetes Mellitus 28. Diah Indriastuti................................................................................................ Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami 29. Diah Fitri Purwaningsih ................................................................................ Efisiensi Biaya Dengan Menggunakan Metode Assertive Community Treatment Pada Pasien Dengan Skizofrenia Di Puskesmas : Literature Review 30. Rinda Winandita , Rita Hadi Widyastuti ........................................................ Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Wredha 31. Muchammad Nurkharistna Al Jihad .............................................................. Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil C. Poster Presentation 1. Herry Setiawan ............................................................................................... Nilai Marketing Perawat sebagai Pemberi Pelayanan Keperawatan pada Klien Stroke dalam Menyikapi Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA): Literature Review 2. Arwyn Weynand Nusawakan ........................................................................ Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi dalam konteks lintas budaya. 3. Azka Fathiyatir Rizqillah, Diyan Yuli Wijayanti............................................ Tingkat Depresi Pada Lanjut Usia : Studi Eksporatif Pada Lansia Di Kelurahan Padangsari Kota Semarang 4. Diah Indriastuti , Tahiruddin............................................................................ Deteksi Postnatal Depression menggunakan EPDS (Edinburg Postnatal Depression Scale) Pada Kunjungan Rumah Ibu Post Partum 5. Retno Yuli Hastuti, Sutaryono, Ayu Arumsari................................................ Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk Menurunkan Kecemasan Pada Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi Di Stikes Muhammadiyah Klaten 6. Muhammad Mu’in, Dyan Yuli Wijayanti....................................................... Spiritualitas Dan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus 7. Yossie Susanti Eka Putri, Livana PH.............................................................. Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Stres Keluarga Sebagai Akibat Beban Merawat Lansia Demensia Di Ciwaringin Bogor 8. Satriya Pranata, Aini Hidayati........................................................................ Literature Review : Pengaruh Terapi Pijat Terhadap Tingkat Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Dengan Diabetes Mellitus 202 210 218 225 234 241 250 260 266 274 281 289 295 304 x Materi Pembicara Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” PEMBAGIAN RUANGAN ORAL PRESENTASI SEMINAR NASIONAL KEPERAWATAN KOMUNITAS UNDIP 2015 RUANG : 1 (KAMPUS JURUSAN KEPERAWATAN UNDIP) WAKTU : JAM 13.00-14.30 MODERATOR : Ns. M. Muin S.Kep., M.Kep., Sp. Kom. No 1 2 3 4 5 6 7 Nama Ns. Dely Maria P. M.Kep., Sp.Kep. Kom. Puji Purwaningsih Judul Kemampuan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk meningkatkan status gizi anak usia sekolah. Ns. Kartika Setia Purdani, S.kep Ns. Nurul Devi Ardiani, S.Kep Treesia Sujana, MN Komplementer Terapi; Aromaterapi Dalam Autism Umi Setyoningrum, S.Kep., Ns YuniDwiHastuti, Sidik Awaludin 2) Kajian Literatur : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktifitas Fisik Dan Perilaku Sedentary Pada Anak Usia 7-12 Tahun. Faktor-Faktor Yangmempengaruhi Perilaku Seksual Pada Remaja Effectiveness of maternal and neonatal health promotion strategies in low and middle income countries with disadvantage environment Road to an in-context health promotion strategy for Indonesia Hubungan Peran dan Fungsi Keluarga Terhadap Perilaku Seksual Pra Nikah Remaja Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Hiv/Aids Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Siswa Di Sma Setiabudi Semarang 8 Budi Kristanto, S.Kep., Ns Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkembangan Bahasa Pada Anak Pra Sekolah 9 Asti Nuraeni, Susana Agustina, Mamat Supriyono. Rinda Winandita, Rita Hadi W. Efektivitas Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok Terhadap Frekuensi Merokok Siswa Sman 14 Semarang 10 11. Elis Hartati, Diyan Yuli Wijayanti2) Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Wredha Pemberdayaan Kader Posyandu Lansia Di Semarang xi RUANG : 2 (KAMPUS JURUSAN KEPERAWATAN UNDIP) WAKTU : JAM 13.00-14.30 MODERATOR : Ns. Diyan Yuli W., M.Kep. No Pengarang 1 Fitri Suciana,S.Kep., Ns.,M.Kep. 2 Ns. Kastuti Endang Trirahayu., S.Kep 3 Chandra Bagus Ropyanto, Muhamad Rofi’i Judul Efektifitas Program Perawatan Diri Terhadap Kemampuan Diri Pasien Gagal Jantung Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Keluarga Dalam Perawatan Pasien Tuberculosis Paru Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Self Efficacy Melakukan Activity Daily Living (Adl) Pasien Pasca Open Reduction Internal Fixation (Orif) Ekstremitas Bawah 4 Erika Dewi Noorratri Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kegagalan Pengobatan Pada Pasien Tuberculosis Paru 5 Dwi Yuniar Ramadhani Literatur Review : Dukungan Keluarga, Efikasi Diri dan Kualitas Hidup Lansia dengan Diabetes Melitus Tipe 2 6 Ns. Diah indriastuti, S.kep Ns, Domianus Namuwali, S.Kep Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami 8 Ekki Suprihatin, Istianna N, Efy Kusumawati Hubungan Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Dengan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk 9 Yulia Susanti, Junaiti Sahar, Poppy Fitriyani Hubungan Dukungan Keluarga Dalam Pencegahan Dengan Kejadian Demam Berdarah Pada Anggota Keluarga Di Kabupaten Kendal 10 Dwi Roma Yogi, Riani Pradara jati Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Lansia Memeriksakan Kesehatan Di Posyandu Lansia Di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. 7 Pengaruh Penggunaan SMS Dan Telpon Pengingat Terhadap Kepatuhan Pasien Minum Obat Anti Tuberkulosis Paru : Literatur review xii RUANG : 3 (KAMPUS JURUSAN KEPERAWATAN UNDIP) WAKTU : JAM 13.00-14.30 MODERATOR : Ns. Sri Padma Sari, MNS No Pengarang Fitroh Suryaningsih Tut Wuri Prihatin Witri Hastuti Yunitia Aulianita, Sari Sudarmiati, Sp.Mat. Judul Pengaruh Terapi Bekam terhadap Perubahan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Jenis Terapi Komplementer yang Berpengaruh terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah pada Pasien Diabetes Mellitus 4 Zahroh Ulil Fadhilah, Wahyu Maha Nugraha Wachidah Yuniartika 5 Ns. Candra Dewi Rahayu, S. Kep Kolaborasi Perawat Klien Dalam Penanganan Kesehatan Jiwa Komunitas: Literature Review Maria Dyah Kurniasari, Edi Dharmana, Hussein Gasem Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia Mangostana) Terhadap Jumlah Limfosit Total, Jumlah Hb, Berat Badan Pada Penderita Hiv Dengan Terapi Antiretroviral (Arv) Di Rsud Gunung Jati, Cirebon Ns. Diah Fitri Purwaningsih, S. Kep Efisiensi Biaya Dengan Menggunakan Metode Assertive Community Treatment (Act) Pada Pasien Dengan Skizofrenia Di Puskesmas : Literature Review Lusia Lilik Mei M., Vivi Retno Intening Dwi Susilawati, M.Kep., Sp.Mat, Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep., MSc. M. Nurkharistna Al Jihad The Relationship Between Husband Support And Self Efficacy With Stress Levels In Multiple Roles Woman 1 2 3 6 7 8 9 10 Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di Rw 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah Studi Literature : Efektivitas Psikoedukasi Terhadap Tingkat Depresi Pasien Diabetes Mellitus Efektivitas Senam Diabet Terhadap Aktivitas Dan Kepuasan Dalam Berhubungan Seksual Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Puskesmas Kecamatan Ungaran Barat Pelaksanaan Program Antenatal Care Oleh Perawat Pada Ibu Hamil xiii KONSEP DAN IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS DALAM RANGKA PENINGKATAN STATUS KESEHATAN MENUJU MEA; Aplikasi Program 1 RW 1 Perawat Untuk Warga Jakarta Lebih Sehat dan Sejahtera Persatuan Perawat Nasional Indonesia Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Kantor Dinas Kesehatan Blok D Lt. II Jln. Kesehatan 10 Jakarta Pusat Telp. 085100090961 Daftar Isi A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. K. L. M. N. O. P. Q. Prinsip Kerja 1RW 1 Perawat Alasan program 1 RW 1 perawat Tugas & wewenang perawat menurut UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Skema kerja logis 1 RW 1 perawat Hubungan kerja dengan mitra lain Yang dilakukan oleh perawat Standar Pelayanan Minimal Sasaran kerja prioritas Jadwal harian tentatif Peralatan yang dibutuhkan Manfaat 1 RW 1 Perawat Dukungan PPNI Indikator Keberhasilan Hal yang perlu diperhatikan Data yang harus dimiliki perawat Yang dilaporkan ke Puskesmas dan PPNI Kabupaten/kota Kontak Person Ketua PPNI Wilayah Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 1 Prinsip kerja 1 RW 1 perawat No Prinsip 1 Datangi Penjelasan 1. 2. Menyapa keluarga dengan hati dan mengenalkan sebagai perawat Mendatangi keluarga rawan atau kelompok khusus seperti posyandu 2 Dengarkan Mendengarkan keluhan 3 Rawat Merawat anggota keluarga baik sehat atau sakit 4 Catat Mencatat hal penting dan mendesak untuk dilaporkan 5 Laporkan Melaporkan kepada instansi terkait sesuai tanggungjawabnya Alasan perlunya 1 RW 1 Perawat di DKI Jakarta 1. Jaminan Kesehatan Nasional lebih dikembangkan pada penguatan pelayanan kesehatan primer dengan penekanan pada upaya promotif & preventif. 2. Prevalensi penyakit menular relatif stagnan & penyakit tidak menular cenderung meningkat sehingga perlu penguatan upaya promotif & preventif pada keluarga. 3. Upaya kuratif lebih masif, sehingga upaya promotif & preventif cenderung terabaikan. 4. Penumpukkan pasien di RS tanpa diikuti dengan tindak lanjut perawatan melalui penyuluhan, edukasi & pendampingan di rumah, kurang bermakna dalam perilaku hidup bersih dan sehat. Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 2 Tugas perawat menurut UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Tugas ; 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemberi asuhan kepeperawatan Penyuluh dan konselor klien & keluarga Pengelola pelayanan Peneliti keperawatan Pelaksana tugas berdasar pelimpahan wewenang Pelaksana tugas dalam keterbatasan tertentu Tugas secara bersama atau sendiri Pelaksanaan tugas harus bertanggung jawab dan bertanggung gugat. Wewenang perawat menurut UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Wewenang dalam Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) 1. Melakukan pengkajian keperawatan kesmas di tingkat keluarga dan masyarakat. 2. Menetapkan permasalahan keperawatan kesmas 3. Membantu penemuan kasus penyakit 4. Merencanakan tindakan keperawatan kesmas 5. Melakukan rujukan kasus 6. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan kesmas 7. Menjalin kemitraan dalam perawatan kesmas 8. Mengelola kasus 9. Melakukan penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternatif Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 3 Skema kerja logis 1 RW 1 perawat Input Proses • Laporan masy. • Informasi masalah kesehatan dari Puskesmas, RS & klinik. • Hasil pemantauan lapangan. • Informasi dari media massa dan pihak lain. • Report dari perawat Puskesmas tentang rujukan balik pasien pulang rawat dari Rumah Sakit. Output • Pemantauan wilayah. • Home visit atau kunjungan lapangan. • Pembinaan keluarga atau kelompok. • Pemantauan dan surveilance masalah kesehatan. • Pemberian pelayanan keperawatan sederhana pada individu & keluarga. • Rujukan kasus ke Puskesmas, dokter praktek/Rumah Sakit/Klinik. • Kelg dg bayi, balita, ibu hamil & ibu melahirkan terpantau. • Terpantaunya penyakit menular, tidak menular dan gizi. • Terbinanya keluarga rawan kesehatan. • Terbinanya kelompok masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan. • Terkoordinasinya upaya pengendalian penyakit menular, tidak menular dan gizi. • Terlaksananya pelayanan keperawatan yang bersifat promotif dan preventif pada keluarga dan masyarakat. • Terpantaunya status kesehatan keluarga baik saat sehat maupun pasca perawatan dari Rumah Sakit. Hubungan kerja 1 RW 1 perawat dengan Puskesmas, RS, Klinik & Masy Rumah Sakit Puskesmas Dokter praktek Tokoh masy Kader kesehatan Perawat Kelurahan Kelg Kelg Kelg Klinik Pera Perawat dala Institusi pendidikan nakes Posyandu Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 4 Yang dilakukan perawat dalam program 1 RW 1 perawat... 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Home visit; Mengunjungi keluarga rawan kesehatan, termasuk keluarga pasca rawat dari Rumah Sakit; Home health promotion; Memberikan informasi agar keluarga selalu menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat; Home education; Memberikan pendidikan kesehatan, konseling dan pendampingan pada anggota keluarga pasca rawat; Home care; Merawat anggota keluarga yang sakit termasuk dengan terapi komplementer (pemanfaatan keanekaragaman hayati), termasuk paliatif care. Home surveilance; Memantau penyakit menular & tidak menular pada keluarga dan kelompok khusus di masyarakat; Visiting doctor ; Kerjasama dengan dokter untuk keperluan sesuai kebutuhan keluarga, dalam konteks medis. Refferal; Melakukan rujukan kasus sesuai SOP; Siapa perawat RW itu ..? • Berdomisili sesuai tempat tinggalnya, bisa ... 1. 2. 3. 4. 5. Perawat yang bekerja di Puskesmas Perawat yang bekerja di Rumah Sakit Perawat yang bekerja di Klinik Perawat yang bekerja di Institusi Pendidikan Perawat yang bekerja di pelayanan home care Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 5 Distribusi perawat rw berdasarkan wilayah per Oktober 2015 No Kota Administrasi Jumlah perawat tiap RW Jumlah RW yang ada 1 2 3 Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Barat 45 38 35 393 443 581 4 5 6 Jakarta Selatan Jakarta Timur Kepulauan Seribu Jumlah 30 84 1 233 578 703 24 2.722 Standar Pelayanan Minimal (SPM) program 1 RW 1 perawat No Kegiatan Frek. 1 Home visit & home care 2 Penyuluhan & pembinaan kesehatan 3 Monev 3 kali seminggu 1 kali seminggu 4 Rujukan kasus & kerjasama dg tim kesehatan lain Pera Perawat dala 1 kali sebulan Sesuai kebutuhan atau 1 kali sebulan Sasaran Anggota keluarga sakit & pasca rawat RS Kelompok khusus seperti ibu pengajian, ibu hamil, lansia, & Posyandu Tokoh masy, kader, lintas sektor Dokter praktek, Puskesmas, RS & tim kes lainnya Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 6 Sasaran kerja prioritas Keluarga dengan anggota keluarganya yang pulang perawatan dari RS. 2. Keluarga rawan kesehatan seperti ada anggota keluarga dengan usia bayi, ibu hamil, ibu pasca melahirkan dan usia lanjut. 3. Keluarga dengan anggota keluarga yang menderita DM, pasca stroke, TB paru, hipertensi, penyakit jantung dan kanker. 1. Jadwal harian tentatif N o Waktu Jenis kegiatan 1 07.00 – 12.00 1. 2. 3. 4. 2 15.00 – 18.00 1. Home visit 2. Home care sesuai kebutuhan 3. Penyuluhan di kelompok khusus; pengajian, arisan, dll 4. Koordinasi dan advokasi terhadap tokoh masy tentang masalah kesehatan yang ada 5. Pembinaan PHBS pada keluarga rawan 3 19.00 – 21.00 1. Home visit 2. Home care 3. Penyuluhan di pengajian, arisan, dll Home visit Home care sesuai kebutuhan Penyuluhan di Posyandu Koordinasi dan advokasi terhadap tokoh masy tentang masalah kesehatan yang ada 5. Pembinaan PHBS pada keluarga rawan Pera Perawat dala Keterangan Dilakukan diluar jam kerja efektif, baik shift atau tidak Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 7 Peralatan yang dibutuhkan 1. 2. 3. 4. 5. Community Health Nursing (CHN) kit. Wound care kit. Berbagai media penyuluhan seperti leaflet, flyer, booklet, lembar balik, dll Seragam (putih-putih) dengan memakai sepatu, pin PPNI dan name tag). Papan berjalan & alat tulis secukupnya. Manfaat program 1 RW 1 perawat Bagi warga Jakarta 1. 2. Membantu pemulihan pasca rawat. Memperpanjang waktu kambuh penyakitnya Bagi Pemerintah Provinsi 1. 2. 3. Lebih peduli pada warganya. Model bagi Provinsi lainnya Mengurangi beban biaya pengobatan (kuratif) Bagi Rumah Sakit 1. 2. Mengurangi penumpukan pasien Mengurangi lama waktu perawatan di RS Bagi Puskesmas 1. 2. Membantu cakupan layanan promotif & preventif Memperkuat program kesehatan Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 8 Dukungan PPNI terhadap program 1 RW 1 perawat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Buku petunjuk teknis Hal yang harus dicatat dan dilaporkan Name tag Pin PPNI Papan nama ukuran 60 x 40 cm Surat tugas dari PPNI Provinsi DKI Jakarta yang diketahui oleh Pemprov c.q Dinas Kesehatan. Perawat yang bertugas mengisi formulir. Indikator keberhasilan 1 RW 1 perawat Indikator Key performance indicator (KPI) Penurun 1. Semua ibu hamil terpantau status kesehatannya. an angka 2. Semua ibu hamil terdeteksi sejak dini bahaya yang mungkin terjadi kematian 3. Semua ibu hamil mendapatkan pelayanan kehamilan minimal 4 kali selama kehamilannya. ibu 4. Semua ibu hamil mendapatkan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan dalam rangka menghadapi persalinannya. 5. Semua keluarga ibu hamil tertempel stiker P4K (program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi). 6. Ibu hamil resiko tinggi seperti menderita penyakit hipertensi, jantung atau diabetes terpantau status kesehatannya. 7. Semua ibu hamil terjamin tempat persalinannya di fasilitas kesehatan yang memadai. 8. Semua ibu melahirkan difasilitasi kesehatan yang memadai. 9. Ibu melahirkan yang disertai penyakit seperti hipertensi, jantung dan diabetes mendapatkan perawatan sesuai standar. 10. Semua ibu pasca melahirkan mendapatkan kunjungan rumah minimal 3 kali oleh perawat. 11. Semua ibu pasca melahirkan diberikan konseling kebutuhan KB pasca persalinan yang sesuai. 12. Keluarga dengan ibu melahirkan mendapatkan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan tentang tugas keluarga sesuai dengan perkembangan keluarganya. Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 9 Penurun 1. Semua janin terdeteksi secara dini dari ancaman yang mungkin terjadi. an angka kematian 2. Semua bayi baru lahir dilakukan pemberian air susu ibu yang pertama kali. bayi 3. Semua bayi baru lahir tidak mengalami infeksi tali pusat. 4. Semua bayi baru lahir diberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan 5. Bayi lahir prematur mendapatkan perawatan metode kanguru sesuai standar. 6. Semua bayi mendapatkan immunisasi sesuai standar. 7. Bayi yang dirawat di Rumah Sakit dilakukan perawatan oleh perawat kompeten dan sesuai standar. 8. Bayi pasca perawatan mendapatkan kunjungan rumah minimal 3 kali oleh perawat. 9. Keluarga bayi baru lahir mendapatkan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan tentang tata kelola bayi baru lahir yang sehat di rumah oleh perawat. 10. Bayi baru lahir terhindar dari tindak kekerasan orang terdekat. Penurunan 1. Penderita penyakit menular seperti TB paru, kusta, HIV/AIDS, dll mendapatkan konseling oleh perawat. angka 2. Semua penderita penyakit menular menjalankan program kejadian pengobatan sesuai standar. penyakit 3. Semua penderita penyakit menular terpantau status menular kesehatannya. 4. Penderita penyakit menular dan keluarganya mendapatkan kunjungan rumah oleh perawat minimal 1 kali per minggu sampai dinyatakan sembuh atau mandiri. 5. Keluarga penderita penyakit menular mendapatkan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan oleh perawat tentang tata kelola hidup sehat di rumah. 6. Penderita penyakit menular yang mengalami kecenderungan depresi mendapatkan konseling dan pendampingan oleh perawat. 7. Keluarga dan penderita penyakit menular yang mengalami stigma atau cenderung dikucilkan oleh masyarakat mendapatkan advokasi oleh perawat. 8. Tidak terjadi penularan kepada anggota keluarga lainnya. Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 10 Terkend 1. Penderita penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, alinya reumatik, dll mendapatkan konseling oleh perawat. angka 2. Semua penderita penyakit tidak menular menjalankan program kejadian pengobatan sesuai standar. penyakit 3. Semua penderita penyakit tidak menular terpantau status tidak kesehatannya. menular 4. Penderita penyakit tidak menular dan keluarganya mendapatkan kunjungan rumah oleh perawat minimal 1 kali per minggu sampai dinyatakan mandiri. 5. Keluarga penderita penyakit tidak menular mendapatkan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan oleh perawat tentang tata kelola hidup sehat di rumah. 6. Penderita penyakit tidak menular yang mengalami kecenderungan depresi mendapatkan konseling dan pendampingan oleh perawat. 7. Keluarga dan penderita penyakit tidak menular difasilitasi dalam kelompok swabantu (peer group) dan mendapatkan advokasi oleh perawat. 8. Tidak terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tidak menular secara signifikan. 9. Terbentuknya berbagai kelompok swabantu di berbagai tatanan masyarakat sesuai kebutuhan. 10. Terbentuknya jejaring komunikasi antara kelompok swabantu penderita penyakit tidak menular. Peningkatan 1. Semua usia lanjut terpantau status kesehatannya. kualitas 2. Usia lanjut dan keluarganya mendapatkan konseling dari hidup usia perawat. lanjut 3. Usia lanjut dan keluarganya mendapatkan kunjungan rutin minimal 1 kali dalam sebulan oleh perawat. 4. Terbentuknya wadah usia lanjut seperti Posyandu Lansia atau Posbindu di masyarakat. 5. Kelompok usia lanjut terfasilitasi berbagai hasil produktifitasnya yang digunakan oleh masyarakat seperti kerajinan tangan dll. 6. Tidak ada usia lanjut yang terlantar di masyarakat. 7. Adanya peringatan Hari Usia Lanjut setiap 29 Mei. 8. Adanya pembinaan rutin ke Panti Jompo oleh perawat. 9. Keluarga dengan usia lanjut mendapatkan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan tentang cara perawatan usia lanjut di rumah. 10. Rata-rata usia harapan hidup usia lanjut berumur 77 tahun. Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 11 Hal-hal yang perlu diperhatikan 1. Tugas ini merupakan tugas profesi perawat berkonstribusi terhadap warga Jakarta di tempat tinggalnya. 2. Bekerjasama dengan tokoh masy dan profesi kesehatan lain diwilayahnya. 3. Selalu melaporkan kondisi warganya ke Puskesmas dan Ketua PPNI Wilayah, setiap tgl 5 bulan berjalan. 4. Selalu meng-update data yang ada setiap minggunya. Data yang harus dimiliki perawat No 1 2 3 4 5 Jenis data Jumlah warga pasca rawat dengan stroke, peny jantung, kanker, DM & TB paru Jumlah ibu hamil Jumlah bayi Jumlah ibu pasca melahirkan Jumlah usia lanjut Pera Perawat dala Sumber data Kader, ketua RT/RW, Puskesmas Kader Kader Kader Kader Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 12 Yang dilaporkan ke Puskesmas dan PPNI Kabupaten/kota No Gol umur 1 Bayi 2 Balita 3 Anak sekolah 4 Ibu hamil, menyusui & nifas 5 Remaja 6 Dewasa 7 Lansia Jenis kasus Tindakan Hasil Tindak lanjut Kontak person Ketua PPNI Wilayah sebagai koordinator N o Wilayah Nama Ketua PPNI & No Hp Instansi tempat kerja 1 Jakarta Pusat Ners Nana S., M.Kep, Sp.Kom (0812 1222 3013) Univ. Muhammadiyah Jakarta 2 Jakarta Utara H. Maryanto, SKM (0852 1637 1644) AGD Dinkes 118 3 Jakarta Barat Ners Yuni Astuti, M.Kep (0812 1888 7657) AKPER RS Sumber Waras 4 Jakarta Selatan Ners Karsini., S.Kep (Sekretaris) (08170077644) RS Setia Mitra 5 Jakarta Timur Ners Jajang R., M.Kep, Sp.Kom (081511969883) Dinas Kesehatan Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 13 Evaluasi kuantitatif program 1rw1perawat Bulan Mei 2015 dari klien & keluarga No 1 2 3 4 5 Aspek yang dievaluasi Relevansi Progress Cost efficiency Effectiveness Outcome Rata-rata Skore 82,54 72,02 77,78 76,98 72,02 75,77 Evaluasi kuantitatif program 1rw1perawat Bulan Mei 2015 dari perawat pelaksana No 1 2 3 4 5 Aspek yang dievaluasi Relevansi Progress Cost efficiency Effectiveness Outcome Rata-rata Pera Perawat dala Skore 85,19 76,39 79,63 89,33 70,83 78,43 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 14 1. 2. 3. 4. Perawat dibekali obat-obatan sederhana agar dapat segera menangani saat kunjungan rumah. Diperbanyak perawat di RW lainnya. Ditambah jumlah perawatnya karena ..ada 17 RT..kasihan perawatnya. Puskesmas deket rumah tapi rame, mau berobat pusing duluan..untung ada program ini dg perawat yang memuaskan setiap ada keluhan langsung ditanggapi. Evaluasi kualitatif program 1rw1perawat Bulan Mei 2015 dari perawat pelaksana 1. 2. 3. 4. 5. 6. Saya kerja di swasta, dg ada surat persetujuan dari perusahaan agar meningkatkan yankesmas. Mohon difasilitasi home visit. Ada sharing/no telp perawat di RW lain Perlu fasilitas tempat untuk posbindu & posyandu. Perlu dukungan fasilitas untuk pemeriksaan gula darah, dll. Perlu fasilitas untuk home visit seperti alat kesehatan dll Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 15 Harapan dan dukungan yang diharapkan PPNI dari Pemprov DKI Jakarta..terus diperjuangkan.. Dua saja cukup ... No Aspek 1 Dana operasional melalui dana kapitasi/BPJS 2 Difasilitasi kemudahan mendapatkan SIPP Kemungkinan kendala Relatif “berliku”terkait bargaining dg BPJS,, Dinas Kesehatan, organisasi profesi, dll Tegasnya aturan administrasi perizinan khususnya aspek perda ttg zonasi (tidak boleh ada klinik di pemukiman) Bukti perawat RW di Jakut aktif dalam posyandu lansia Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 16 Action plan segera ...(on proses) 1. 2. 3. 4. 5. Bentuk satgas khusus tingkat Provinsi & Kota Adm, dg uraian tugasnya. Susun SOP uraian tugas utama perawat di RW. Buat indikator spesifik yang terintegrasi dg SPM sbg bahan advokasi ke Pemprov & BPJS. Advokasi SIPP untuk teman sejawat terpilih melalui PTSP. Siapkan tim advokasi untuk memperkuat aspek legal. Jenis tindakan keperawatan dalam konteks community public health nursing menurut NIC (2013) Intervention 1. Abuse protection support 2. Bioterrorism preparedness 3. Blood products administration 4. Case management 5. Community disaster preparedness 6. Community health development 7. Consultation 8. Culture brokerage 9. Environmental management; community 10. Entvironmental management; home preparation 11. Environmental management; worker safety 12. Environmental risk protection 13. Family planning; contraception 14. Fiscal resource management 15. Health care information exchange Pera Perawat dala Educational level Time required RN basic RN post basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic >1 jam >1 jam >1 jam >1 jam >1 jam >1 jam 46-60 menit 16-30 menit >1 jam >1 jam RN basic RN basic RN basic RN post basic RN basic >1 jam 46-60 menit 31-45 menit >1 jam 15 menit Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 17 Jenis tindakan keperawatan dalam konteks community public health nursing menurut NIC (2013) Intervention 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. Health education Health literacy enhancement Health policy monitoring Health screening Health system guidance Home maintenance assistance Immunization/vacination management Medication administration; subcutaneous Parenting promotion Program development Referral Risk identification Social marketing Surveillance; community Sustenance support Teaching; group Teaching; infant nutrition 0-3 months Educational level Time required RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN post basic RN basic RN basic RN post basic RN basic RN basic RN basic RN basic 16-30 menit 16-30 menit >1 jam 46-60 menit 16-30 menit 31-45 menit 16-30 menit 15 menit 31-45 menit >1 jam 16-30 menit 46-60 menit >1 jam >1 jam 31-45menit >1 jam 16-30 menit Jenis tindakan keperawatan dalam konteks community public health nursing menurut NIC (2013) Intervention 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. Teaching; infant nutrition 4-6 months Teaching; infant nutrition 7-9 months Teaching; infant nutrition 10-12 months Teaching; infant safety 0-3 months Teaching; infant safety 4-6 months Teaching; infant safety 7-9 months Teaching; infant safety 10-12 months Teaching; safe sex Teaching; toddler nutrition 13-18 months Teaching; toddler nutrition 19-24 months Teaching; toddler nutrition 25-36 months Teaching; toddler safety 13-18 months Teaching; toddler safety 19-24 months Teaching; toddler safety 25-36 months Vehicle safety promotion Pera Perawat dala Educational level Time required RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic RN basic 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit 16-30 menit >1 jam Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 18 THE OUTCOMES ... PREVENT OVERBURDEN Selamat berkarya memperkuat pelayanan kesehatan primer, melalui konstribusi profesi perawat bagi masy sekitar. Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er Me uju Masyarakat Eko o i A“EAN Semarang, 7 November 2015 19 Oral Presentation Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” Semarang, 7 November 2015 HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN TUGAS KESEHATAN KELUARGA DALAM PEMENUHAN NUTRISI DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH Dely Maria P1, Junaiti Sahar2, Sigit Mulyono3 1 Akademi Keperawatan RS Jakarta, Email: [email protected] Universitas Indonesia, Email: [email protected], Email: [email protected] 2,3 Abstrak Latar Belakang. Nutrisi yang baik berkontribusi pada tumbuh kembang anak usia sekolah, dikarenakan nutrisi tersebut untuk memenuhi kebutuhan secara fisik, perkembangan kognitif dan social anak usia sekolah. Tujuan. Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi dengan status gizi anak usia sekolah. Metoda. Desain penelitian cross sectional, menggunakan metode proportional random sampling, responden sebesar 276. Sampel penelitian siswa kelas 4-5 beserta orangtua siswa di SD wilayah kelurahan Pondokranggon. Uji statistik menggunakan chi-square dan regresi logistik. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan keluarga merawat baik berpeluang sebesar 6.3 kali (OR: 6.303) memiliki status gizi baik dibandingkan dengan kemampuan keluarga merawat yang tidak baik. Kesimpulan. Status gizi anak usia sekolah tidak terlepas dari kemampuan keluarga melakukan tugas kesehatan keluarga khususnya kemampuan keluarga merawat dan pentingnya meningkatkan kerjasama lintas sektor dan program dalam meningkatkan dan mengatasi masalah gizi pada anak usia sekolah. Kata kunci : kemampuan keluarga merawat, status gizi, anak usia sekolah Pendahuluan Periode usia sekolah selain mengalami pertumbuhan fisik juga mengalami perkembangan secara kognitif dan sosial. Seiring pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas anak usia sekolah semakin meningkat diperlukannya faktor yang mendukung untuk pemenuhan tersebut. Salah satu faktor yang mendukung yaitu pemenuhan kebutuhan nutrisi anak usia sekolah. Pemenuhan kebutuhan nutrisi anak sekolah dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Menurut Stanhope dan Lancaster (2010), faktor risiko meliputi usia dan biologi, lingkungan dan gaya hidup. Faktor risiko yaitu usia 6-12 tahun, merupakan kelompok umur yang berisiko terhadap masalah nutrisi dikarenakan pemasukan yang tidak seimbang (Allender,Rector &Warner, 2010). Faktor biologi yaitu genetik, merupakan salah satu penyebab terjadinya gizi lebih (Hitchock, 1999; Barlow, 2007;Kaakinen, 2010). Faktor lingkungan, meliputi lingkungan sosial dan lingkungan fisik (Stanhope&Lancaster, 2010). Lingkungan sosial meliputi faktor ekonomi, dimana terdapat hubungan antara sumber finansial dan kebutuhan. Keluarga yang memiliki sumber ekonomi yang adekuat memungkinkan keluarga dapat mengakomodasi kesehatannya. Hal ini juga diperjelas di dalam “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 20 Hitchock (1999), bahwa status ekonomi merupakan sumber kuat dalam menentukan status kesehatan dan nutrisi. Anak yang hidup dalam kemiskinan mengalami nutrisi kurang sampai dengan buruk (Benyamin, 1996 di dalam Hitchock, 1999; Allender,Rector&Warner, 2010). Gaya hidup juga dapat mempengaruhi kesehatan anggota keluarga lainnya. Kaakinen (2010) juga mempertegas, bahwa bila salah satu anggota keluarga berinisiatif merubah perilaku, anggota keluarga yang lain juga akan melakukan perubahan. Faktor lingkungan psikologis sangat mempengaruhi anak dalam pemenuhan nutrisi seperti menyediakan makanan yang bervariasi, membujuk saat anak tidak mau makan, memberikan pujian saat anak mengkonsumsi makanan yang sehat, memotivasi anak untuk mau makan makanan yang sehat. James dan Flores (2004), di dalam Kaakinen,Duff,Coehlo dan Hanson (2010), menyatakan bahwa perilaku hidup sehat sangat dipengaruhi oleh keluarga seperti konsumsi makan yang sehat Allender, Rector dan Warner (2010), menguraikan bahwa anak usia sekolah dalam tahap tumbuh kembangnya berisiko terhadap berbagai masalah kesehatan, antara lain masalah gizi. Masalah gizi yang dimaksud disini adalah gizi lebih dan gizi kurang. Gizi yang adekuat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan. Gizi kurang merupakan faktor risiko dari penyakit dan kematian di negara berkembang (Amare,et.all, 2012; Olosunya,2010) dan berdampak pada perkembangan kognitif dan performance anak (Cook,2002;Hall et.all,2001 dalam Allender, 2010; Hioui,Azzaoui,Ahami&Aboussaleh,2011). Penelitian Saifah (2011), didapatkan 65,39 % diantaranya tidak makan buah secara rutin, 28,85% tidak makan sayur secara rutin, dan 59,62% mempunyai kebiasaan jajan makanan berenergi tinggi. Gizi lebih bila tidak ditangani beresiko terhadap perkembangan penyakit kronik seperti hipertensi, DM tipe 2, hipercolesterolemia (Taylor, 2005; Juresa, 2012). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi nasional anak usia sekolah (6 - 12 tahun), kategori gizi kurang sebesar 11.2% sedangkan kelebihan gizi 18.8%. Salah satu faktor sosial yang mempengaruhi status gizi yaitu faktor keluarga (Stanhope&Lancaster, 2010). Faktor keluarga dalam hal ini meliputi kemampuan menyediakan makanan, pola asuh keluarga, jenis makanan yang disediakan keluarga, dan sosialisasi terhadap makanan (Taylor,2005). Perilaku keluarga dan praktik kesehatan di dalam keluarga sangat mempengaruhi kesehatan di dalam keluarga (Kaakinen,Duff,Coehlo&Hanson, 2010). Berdasarkan data Puskesmas kelurahan Pondokranggon I tahun 2013, dari hasil screening kelas satu di keenam sekolah, didapatkan data gizi kurang (0,78%), gizi baik (83,34%), gizi lebih (15,88%). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak puskesmas, anak usia sekolah sering didapatkan mengkonsumsi jajanan diluar pagar sekolah, walaupun ada beberapa sekolah yang sudah memiliki kantin sekolah. Jajanan yang dikonsumsi seperti cilok yang menggunakan saus. Hal ini dibenarkan dengan pernyataan dari guru sekolah yang mengatakan “walaupun anak anak membawa bekal dari rumah, namun tetap saja mereka membeli jajan”. Berdasarkan hal tersebut, perlunya perawat komunitas melakukan penelitian tentang “ Hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi dengan status gizi anak usia sekolah di wilayah kelurahan Pondok Ranggon” “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 21 Tujuan Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan karakteristik keluarga dan tugas kesehatan keluarga dalam pemenuhan nutrisi dengan status gizi anak usia sekolah. Metoda Desain penelitian menggunakan desain deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 753 siswa. Pengambilan sampel dengan menggunakan metode proportional random sampling, Berdasarkan perhitungan sampel setelah dikoreksi, jumlah sampel sebesar 291 responden Jumlah kuesioner yang terkumpul tidak sebesar 291 responden, namun 276 responden Hal tersebut dikarenakan 6 (enam) orangtua siswa tidak mengembalikan kuesioner, 4 (empat) orangtua tidak mengisi secara lengkap kuesioner dan 5 (lima) orangtua tidak mengisi kuesioner. Namun jumlah responden sebesar 276 sudah memenuhi syarat minimal dari perhitungan sampel. Waktu penelitian dimulai dari April minggu I – Mei minggu ke III. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan menggunakan alat ukur antropometri (timbangan, meteran/ microtoise, dan kuesioner untuk anak usia sekolah dan orangtua siswa. Hasil Analisis Univariat Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276) Status Gizi Jumlah Prosentase Baik 165 59.8% Tidak baik 111 40.2% Jumlah 276 100% Hasil analisis pada tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden memiliki status gizi baik(-2 SD sampai 1 SD) yaitu 59.8%. Analisis bivariat Tabel 2. Hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276) Pendapatan Status gizi pv OR (95% CI) Baik Tidak baik Total Tinggi 83 (61.9%) 51(38.1%) 134 (100%) Rendah 82 (57.7%) 60 (42.3%) 142 (100%) Jumlah 165(55.8%) 111(40.2%) 276(100%) “Pera Perawat dala 0.557 1.191 (0.735-1.929) Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 22 Hasil analisis menunjukkan pendapatan keluarga tinggi (UMR: ≥ 2.440.000) memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik 61.9%, sedangkan pendapatan yang rendah mengalami gizi baik sebesar 57.7%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.557). Tabel 3. Hubungan Pendidikan Bapak dengan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276) Pendidika n Bapak Tinggi Rendah Status Gizi Baik Tidak baik 103(57.5%) 76(42.5%) 62(63.9%) 35(36.1%) Total 179(100%) 97(100%) Pv OR (95% CI) 0.367 0.765(0.460-1.273) Hasil analisis menunjukkan pendidikan bapak tinggi memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik sebesar 57.5%, sedangkan pendidikan bapak yang rendah sebesar 63.9% juga mengalami status gizi baik. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan bapak dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.367). Tabel 4. Hubungan pendidikan Ibu dengan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n = 276) Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Jumlah Status Gizi Baik Tidak baik 96(60.8%) 62(39.2%) 69(58.5%) 49(41.5%) 111(40.2%) 165(59.8%) Total 158(100%) 118(100%) 276(100%) Pv 0.796 OR (95% CI) 1.1(0.676-1.787) Hasil analisis menunjukkan pendidikan ibu tinggi memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik 60.8%, sedangkan ibu yang pendidikan rendah memiliki anak usia sekolah yang berstatus gizi baik sebesar 58.5 %. Namun hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dalam keluarga dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.796). “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 23 Tabel 5. Hubungan jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276) Jumlah anak dalam klg Status Gizi Baik Tidak Baik Kecil (1-2 74 (53.2%) orang) Besar (> 2 91 (66.4%) orang) Jumlah 111(40.2%) 65 (46.8%) Total Pv OR (95% CI) 139 (100%) 0.035 46(33.6%) 137 (100%) 165(59.8%) 276(100%) 1.738(1.0682.827) Hasil analisis menunjukkan jumlah anak dalam keluarga besar (> 2 orang) memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik sebesar 66.4% sedangkan keluarga yang memiliki anak dalam jumlah kecil (1-2 orang) berstatus gizi baik 53.2%. Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan antara jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.035). Hasil analisis juga menunjukkan OR= 1.738, artinya jumlah anak dalam keluarga besar (> 2 orang) mempunyai peluang 1.7 kali memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik dibandingkan dengan jumlah anak dalam keluarga kecil. Tabel 6. Hubungan Tugas Kesehatan Keluarga (kemampuan keluarga merawat, memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan) dengan status gizi anak usia sekolah di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon bulan Mei tahun 2014 (n=276) Variabel Status Gizi Kemampuan keluarga merawat Baik Tidak baik Jumlah Memodifikasi lingkungan Baik Tidak baik Jumlah Memanfaatkan pelayanan kesehatan Baik Tidak baik Jumlah Tugas Kesehatan Keluarga Baik Tidak baik Jumlah “Pera Perawat dala Total Pv OR (95% CI) Baik Tidak baik 142(51.4%) 23(8.3%) 165 (59.8%) 9(3.3%) 102 (37%) 111(40.2%) 151(54.7%) 125(45.3%) 276(100%) 0.000 6.303(3.70310.730) 95(34.4%) 70(25.4%) 165(59.8%) 54(19.6%) 57(20.7%) 111(40.2%) 1489(54%) 127(46%) 276(100%) 0.216 1.397(0.862-2.266) 99(35.9%) 66(23.9%) 165(59.8%) 63(22.8%) 48(17.4%) 111(40.2%) 114(41.3%) 162(58.7%) 0.637 1.162(0.710-1.904) 116(42%) 49 (17.8%) 111(40.2%) 39(14.1%) 72 (26.1%) 165 (59.8%) 155 (56.2%) 121 (43.8%) 276(100%) 0.000 3.927(2.361-6.531) Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 24 Hasil analisis menunjukkan kemampuan keluarga merawat yang baik memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik sebesar 51.4% sedangkan keluarga dengan kemampuan merawat yang tidak baik memiliki status gizi baik hanya 33.8%. Tugas kesehatan keluarga baik menunjukkan status gizi baik sebesar 42%. Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan antara kemampuan keluarga merawat dengan status gizi anak usia sekolah (p=0.00). Hasil analisis juga menunjukkan OR= 6.303, artinya kemampuan keluarga merawat yang baik mempunyai peluang sebesar 6.3 kali memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik dibandingkan dengan kemampuan keluarga merawat yang tidak baik. Analisis Multivariat Tabel 8. Hasil pemodelan akhir multivariat status gizi anak usia sekolah di SD wilayah kelurahan Pondok ranggon (n=276) No Variabel 1 B P value OR (95% CI) 6.303 (3.703 – 10.730) Kemampuan keluarga 1.841 0.000 merawat Konstanta -0.550 0.003 0.577 Dapat disimpulkan dari seluruh proses analisis bahwa kemampuan keluarga merawat mempengaruhi status gizi pada anak usia sekolah karena memiliki OR paling besar yaitu 6.303. Kemampuan keluarga merawat baik berpeluang sebesar 6.3 kali (CI : 3.703 – 10.730) memiliki status gizi anak usia sekolah baik dibandingkan dengan kemampuan keluarga merawat yang tidak baik. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan tinggi dan rendah memiliki kontribusi yang sama dalam menentukan status gizi anak usia sekolah. Menurut analisis peneliti, yang mempengaruhi status gizi dari berbagai faktor dimana tidak hanya dari status pendapatan keluarga namun ditunjang dengan pengetahuan keluarga dalam mengolah makanan yang tepat untuk anak usia sekolah yang bisa didapatkan melalui informasi dari media cetak maupun elektronik terkait nutrisi yang seimbang untuk anak usia sekolah . Hasil penelitian tidak menunjukkan ada hubungan signifikan antara pendidikan dengan status gizi anak usia sekolah. Menurut analisis peneliti, pemenuhan nutrisi anak usia sekolah tidak hanya dikarenakan faktor pendidikan. Namun dapat dipengaruhi faktor observasi, meniru dan merubah perilaku sendiri. Juga dapat dipengaruhi oleh ketersediaan waktu ibu dalam memperhatikan kebutuhan nutrisi anak usia sekolah, dalam hal ini adalah ibu yang tidak bekerja. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 25 Hasil analisis didapatkan jumlah anak dalam keluarga besar (> 2 orang) sebagian besar memiliki anak usia sekolah dengan status gizi baik sebesar 66.4%. Hal ini bertolak belakang secara teori, di dalam Allender dan Spradley (2010) menyatakan semakin kecil jumlah anak dalam satu keluarga, maka semakin baik status gizi anak tersebut yang dikaitkan dengan ketersediaan makanan .Menurut analisis peneliti, jumlah anak dalam keluarga bukan faktor utama penentu status nutisi namun dipengaruhi oleh multifaktor seperti pendapatan, pekerjaan, pendidikan, pengalaman yang positif, pengaruh media massa. Hasil penelitian ini, kemampuan keluarga merawat merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi status gizi anak usia sekolah. Keadaan status gizi tidak terlepas dari kemampuan keluarga melakukan perawatan dimana tindakan perawatan dikaitkan dengan perilaku kesehatan keluarga. Perilaku disini berkaitan dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki oleh keluarga. Kurangnya pengetahuan cara merawat berarti kurangnya kemampuan keluarga melakukan pencegahan dan pemenuhan gizi seimbang. Secara teori keluarga juga menjadi role model pada anggota keluarga lainnya secara positif dan negatif (Friedman, Bowden&Jones, 2003 dalam Kaakinen, 2010). Perilaku dan praktik keluarga juga mempengaruhi kesehatan yang meliputi praktik pemberian makan, jenis makanan yang dikonsumsi (Kaakinen, 2010). Sosialisasi terkait makanan, perilaku keluarga makan juga mempengaruhi status gizi anak usia sekolah. Kesimpulan 1. Pendapatan keluarga yang rendah dan tinggi memiliki peran yang sama dalam status gizi anak usia sekolah. Status gizi tidak mutlak dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, dikarenakan tidak semua keluarga memanfaatkan pendapatan keluarganya secara bijak dalam pemenuhan nutrisi. Dengan pendapatan yang rendah namun bijak dalam manajemen keuangan, status nutrisi akan terpenuhi. 3. Sebagian besar pendidikan orangtua ( ibu dan bapak) memiliki pendidikan tinggi yaitu SMA. Hasil penelitian tidak ada hubungan pendidikan dengan status gizi anak usia sekolah. Status gizi anak usia sekolah tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan, namun dapat dipengaruhi oleh ketersediaan waktu ibu, keluarga mencari dan mendapatkan informasi tentang gizi melalui media. 4. Ada hubungan antara jumlah anggota keluarga > 2 dengan status gizi anak usia sekolah. Status gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini dapat disebabkan pengetahuan keluarga tentang gizi anak usia sekolah, pengaruh media massa dan pengalaman positif dari ibu. 5. Kemampuan keluarga merawat merupakan variabel yang dominan mempengaruhi status gizi anak usia sekolah. Status gizi anak usia sekolah dapat ditingkatkan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam menyediakan makanan seimbang pada anak usia sekolah. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 26 Daftar Pustaka Allender, Rector&Warner. (2010), Community health nursing: promoting and protecting the public health, seventh edition. Philadelphia: Lippincott Friedman,. M,. Bowden, V.R,. Jones, E.G. (2003). Family nursing : Research theory & Practice. Fifth edition. New Jersey. Person Education Inc. Friedman,.Bowden.(2010). Buku ajar keperawatan keluarga . Jakarta:EGC Gomes.(2013). Family and women decide child nutrition.Vo.5.No.7.SciRes Hittchock, J.E et al. (1999). Community health nursing.Caring in action. New York . Delmar Publisher Juresa.,Musil.,Majer.,(2012). Behavioral pattern of overweight and obese school children.Coll.Antropol.36 James.(2013). Nursing care of children :principles and practice.Fourth edition.St.Louis: Elsevier Laporan nasional Riskesdas tahun 2013. www.depkes.go.id. Diakses tanggal 25 Maret 2014 Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan masyarakat Ilmu dan seni. Jakarta:Rineka Cipta Olusanya.(2010).Assesment of the food habits and school feeding programme of pupils in a rural community in odogbolu local government area of ogun state,nigeria .Pakistan Journl of Nutrition Saifah,A., Sahar, J., (2011). Hubungan peran keluarga, guru, teman sebaya dan media massa dengan perilaku gizi anak usia sekolah darar wilayah kerja puskesmas Mabelopura Kota Palu. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Lancaster.S. (2010).Community publichealth nursing. 6th Ed..USA. Mosby Company Taylor.,Evers.,Kenna.(2005).Determinants of healthy eating in children nd youth .Canadian Journal of Public Health “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 27 EFEKTIFITAS PROGRAM PERAWATAN DIRI TERHADAP KEMAMPUAN PERAWATAN DIRI PASIEN GAGAL JANTUNG Fitri Suciana Stikes Muhammadiyah Klaten, email : [email protected] Abstrak Latar Belakang: Gagal jantung merupakan sekumpulan proses dari kegagalan jantung yang berlangsung kronis. Penyakit ini membutuhkan biaya perawatan yang tinggi karena seringnya pasien gagal jantung mengalami rehospitalisasi sehingga menyebabkan biaya perawatan yang tidak sedikit.Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup adalah dengan meningkatkan kemampuan perawatan diri pasien dengan program perawatan diri pasien gagal jantung.Program perawatan diri meliputi edukasi dan pemberian modul tentang mengenal gejala gagal jantung dan home monitoring yaitu kontrol tekanan darah, keteraturan minum obat, kontrol edema dan kontrol terjadinya rawat inap berulang yang dilakukan oleh perawat di rumah. Tujuan: diketahuinya efektifitas program perawatan diri terhadap kemampuan perawatan diri pada pasien gagal jantung yang meliputi self maintenance, self management dan self confidence. Metoda : Metoda yang digunakan adalah quasi eksperimen, pre-post with control group. Teknik sampling yang digunakan consecutive sampling,didapatkan 36 responden dengan pembagian 18 responden kelompok kontrol dan 18 reponden kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol dilakukan pretes serta home monitoring dan postest yang dilakukan setelah minggu keempat, sedangkan kelompok intervensi diberikan edukasi dan pemberian modul tentang cara mencegah gagal jantung serta pretest. Home monitoring pada kelompok intervensi dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Pengumpulan data kemampuan perawatan diri dengan Self Care Heart Failure Index sedangkan analisa data untuk mengetahui efektifitas kemampuan perawatan diri menggunakan paired t-test. Hasil : Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan perawatan diri self maintenance,self management dan self confidence pada kelompok kontrol dengan nilai p value 0,40;0,38;0,08 sedangkan pada kelompok intervensi self maintenance dan self management mengalami perbedaan yang signifikan dengan nilai P value yaitu 0,03 dan 0,00 sedangkan self confidence dengan P value 0,50. Pada penelitian ini ada beberapa responden yang mengalami penyakit penyerta dan hal tersebut dapat meyebabkan self confidence pada responden tidak ada perubahan yang signifikan. Kepercayaan diri responden diakibatkan karena kondisi kronis penyakit yang diderita oleh responden. Kesimpulan : program perawatan diri efektif digunakan untuk meningkatkan self maintenance dan self management. Kata kunci : edukasi, home monitoring, kemampuan perawatan diri Pendahuluan Penyakit kronis merupakan penyakit yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya perawatan yang tidak sedikit. Penyakit ini akan menimbulkan dampak bagi penderitanya “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 28 antara lain masalah fisik, sosial dan ekonomi sehingga dampak tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan hidup penderitanya. Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu dari 10 besar penyakit kronis yang ada di Indonesia (Yenny&Herwana ,2006). Di Indonesia, penyakit ini mulai diderita pada usia 30 tahun dan paling banyak terjadi pada usia diatas 50 tahun dengan jumlah penderita gagal jantung mencapai 13 % dari total jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2013. Di propinsi Jawa Tengah jumlahnya mencapai 18 % dari jumlah penduduk dan merupakan peringkat terbesar kedua setelah kota Yogyakarta (Riskesdas ,2013). Individu yang mengalami gagal jantung membutuhkan penanganan yang spesifik karena pada dasarnya penanganan pada gagal jantung membutuhkan perawatan jangka panjang. Perawatan dalam waktu lama di rumah sakit membutuhkan biaya yang banyak, mempengaruhi kondisi ekonomi dan kondisi psikologis pasien, menurunkan aktivitas fisik, membatasi kehidupan sosial sehingga menyebabkan menurunnya kualitas hidup (Buapan,A.,2008; Salehitali, SH et al, 2009 ;Shojaei 2008). Gagal jantung selain membutuhkan perawatan dalam jangka waktu lama juga menyebabkan rawat inap berulang. Faktor yang mempengaruhi kejadian rawat inap berulang antara lain adalah pasien tidak mampu mengenali tanda dan gejala seperti kelebihan cairan (edema), sesak nafas saat melakukan aktivitas ringan maupun berat, ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan diet. Ketidakmampuan pasien dalam mengenali tanda dan gejala inilah, maka sangat penting dilakukannya edukasi dan program perawatan diri. (Majid,A., 2010; Sadiati ,2014). Di Indonesia, program perawatan diri dan manajemen gejala termasuk di dalam program rehabilitasi pasca gagal jantung dan telah dilaksanakan di beberapa Rumah Sakit di Indonesia, seperti RSCM, RS Harapan Kita, RS Fatmawati, RS Hasan Sadikin Bandung dan RSUP Dr. Sardjito. Program rehabilitasi ini masih terpusat di rumah sakit karena kurangnya fasilitas penunjang seperti transportasi, kurangnya fasilitas rehabilitasi di luar klinik, maka perlu dikembangkan program rehabilitasi jantung ke arah group-base, homebase atau community-base (Radi, 2009). Salah satu kegiatan program perawatan diri adalah dengan edukasi dan home monitoring. Home monitoring dapat dilakukan dengan memantau perkembangan kesehatan pasien di rumah serta memantau manajemen gejala pasien. Manajemen tersebut meliputi ada atau tidaknya peningkatan berat badan , edema, dispnea, kelelahan pada aktivitas fisik ringan, keadaan pasien tidur kemudian tiba-tiba bangun dalam keadaan sesak nafas berat sambil duduk dan berusaha mencari udara segar (paroxysmal nocturnal dispnea) dan ortopnea (Black MJ & Hawk,2014). Edukasi dapat efektif jika pasien diberikan modul atau panduan dan check list. Check list yang digunakan dalam manajemen gejala meliputi check list jadwal minum obat serta check list dan diagram kontrol berat badan. Timbang berat badan dapat dilakukan setiap hari atau maksimal seminggu sekali untuk mengetahui perubahan berat badan karena penimbunan cairan. Program perawatan diri yang pernah dilakukan untuk pasien dengan gagal jantung yaitu program HFSC (Heart Failure of Self Care ) dari perhimpunan gagal jantung Amerika-Heart Failure Society of America. (HFSA ,2006). Program dari HFSA ini pernah dilakukan di dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang dkk pada tahun 2011 “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 29 untuk menilai efektifitas program self care terhadap gejala distress, status fungsional dan kulitas hidup. Dikembangkannya program perawatan diri tersebut berawal dari teori yang disampaikan oleh Orem bahwa perawatan diri merupakan pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai keadaan baik sehat maupun sakit. Tujuan dari melakukan perawatan diri secara mandiri adalah untuk meningkatkan kemandirian individu dalam memenuhi kebutuhan dirinya sehingga individu secara psikologis puas dengan keadaan umumnya sehingga diharapkan dapat mencegah terjadinya rawat inap berulang (Alligood,& Tomey, 2006). Tujuan 1. Tujuan Umum Diketahuinya efektifitas program perawatan diri terhadap kemampuan perawatan diri pada pasien gagal jantung. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui kemampuan perawatan diri pada pasien gagal jantung sebelum dan setelah program perawatan diri pada kelompok intervensi. b. Mengetahui kemampuan perawatan diri pada pasien gagal jantung sebelum dan setelah program perawatan diri pada kelompok kontrol. c. Mengetahui perbedaan kemampuan perawatan diri pada kelompok kontrol dan intervensi. Metoda Penelitian ini merupakan jenis penelitian Quasy Experiment dengan pre post test design. Sampel penelitian ini adalah pasien gagal jantung yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 36 responden dengan 18 responden kelompok intervensi dan 18 responden kelompok kontrol. Teknik sampling menggunakan consecutive sampling dengan waktu pengambilan data bulan Juni-Agustus 2015. Variabel penelitian ini meliputi program perawatan diri dan kemampuan perawatan diri. Kelompok intervensi mendapatkan program perawatan diri berupa edukasi tentang pengenalan gagal jantung serta mendapat modul. Instrument penelitian untuk mengukur kemampuan perawatan diri menggunakan kuesioner Self Care of Heart Failure Index. Teknis pelaksanaannya kelompok intervensi mendapatkan home monitoring setiap minggu sekali selama 4 minggu, sedangkan kelompok kontrol home visit dilakukan setelah 4 minggu pasien pulang ke rumah. Edukasi dan pemberian modul pada kelompok kontrol diberikan setelah home monitoring. Program perawatan diri meliputi edukasi tentang pengenalan gagal jantung dan home monitoring berupa monitor tekanan darah, monitor edema, monitor berat badan dan monitor minum obat. Analisa univariat untuk karakteristik responden menggunakan prosentase sedangkan analisis bivariat digunakan untuk mengetahui kemampuan perawatan diri pada kelompok kontrol maupun intervensi baik sebelum dan sesudah perlakuan dengan menggunakan paired t-test. Perbedaan kemampuan perawatan diri setelah perlakuan pada kelompok kontrol dan intervensi dengan menggunakan pooled t test. “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 30 Hasil Hasil Analisis Perbedaan Kualitas Hidup dan Kemampuan Perawatan Diri Sebelum dan Sesudah Program Perawatan Diri selama 4 minggu Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi di RSI Klaten bulan Juni-Agustus 2015 (n=36) Variabel Kelompok Waktu Perawatan Kontrol Diri Maintenance Pretest Postest Management Pretest Postest Confidence Pretest Postest Intervensi Maintenance Pretest Postest Management Pretest Postest Confidence Pretest Postest n Mean SD SE P Value 18 18 18 18 18 18 14,39 18,61 7,00 9,17 14,83 19,44 2,524 7,031 2,679 3,502 5,113 4,033 0,595 1,657 0,631 0,825 1,205 0,950 0,40 18 18 18 18 18 18 12,83 18,56 4,78 9,56 16,67 19,61 1,689 7,147 1,263 3,929 4,159 4,972 0,398 1,685 0,298 0,926 0,980 1,172 0,03 0,38 0,08 0,00 0,50 Skor kemampuan perawatan diri pada kelompok kontrol menunjukkan hasil tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada maintenance (p=0,40,α=0,05), management (p=0,38,α=0,05), confidence (p=0,08,α=0,05) sedangkan pada kelompok intervensi terdapat perbedaan yang signifikan pada skor maintenance (p=0,03,α=0,05), management (p=0,000,α=0,05), namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada skor confidence (p=0,50,α=0,05). Hasil Analisis Perbedaan Kualitas Hidup dan Kemampuan Perawatan Diri Antara Kelompok Kontrol Dengan Kelompok Intervensi Setelah Mendapatkan Program Perawatan Diri selama 4 Minggu di RSI Klaten bulan Juni-Agustus 2015 (n=36) Variabel Kelompok Perawatan Kontrol Diri Intervensi Mean 41,44 58,06 SD 14,001 9,619 SE 3,300 2,267 t Pvalue -4,193 0,01 n 18 18 Rata-rata skor kemampuan perawatan diri kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil uji statistik didapatkan hasil P value 0,01 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada alpha 0,05 terdapat perbedaan bermakna secara statistik rata-rata kemampuan perawatan diri setelah dilakukan program perawatan diri selama 4 minggu antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 31 Hasil Analisis Selisih Kemampuan Perawatan Diri Antara Kelompok Kontrol Dengan Kelompok Intervensi Sebelum dan Sesudah Perlakuan Program Perawatan Diri di RSI Klaten bulan Juni-Agustus 2015 (n=36) Variabel Kelompok Mean SD SE t P Value Perawatan Kontrol 11,33 14,463 3,409 -2,705 0,11 Diri Intervensi 24,06 13,752 3,241 n 18 18 Hasil uji statistik didapatkan P value 0,11 dan dapat disimpulkan bahwa pada alpha 0,05 tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik selisih rata-rata kemampuan perawatan diri setelah dilakukan program perawatan diri antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pembahasan Kegiatan home visit ini merupakan kegiatan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat terkait dengan tugasnya sebagai edukator. Hal ini sesuai dengan UU RI no. 38 tahun 2014 tentang keperawatan pasal 29 ayat 1,2 dan 3 yang menyampaikan bahwa perawat dalam menyelenggarakan praktik keperawatan salah satunya sebagai edukator dapat dilaksanakan secara bersama atau sendiri-sendiri. Pelaksanaan tugas perawat harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel (UU Keperawatan, 2014). Di dalam Undang-Undang mengatur tugas dan kewajiban seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan bagi pasien. Di dalam teori Orem disampaikan bahwa sebagian tindakan keperawatan dilakukan oleh perawat dan sebagian lagi dilakukan oleh pasien. Hal ini dilakukan dengan tujuan pasien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri (Alligood & Tomey,2006). Program perawatan diri yang dilakukan pada penelitian ini diawali dengan edukasi kepada pasien. Program edukasi pada perawatan gagal jantung meliputi pemahaman penyebab CHF, gejala, diet restriksi garam dan cairan, regimen terapeutik, kepatuhan, aktivitas fisik, perubahan gaya hidup. Pengenalan terhadap gejala perlu dipahami oleh pasien agar dapat segera berkonsultasi kepada dokter atau perawat (Sadiati, 2014). Penelitian ini dalam melakukan edukasi menggunakan buku panduan yang telah disusun sendiri oleh peneliti dengan menggunakan referensi dari HFSA dan melalui proses uji validitas pakar sebanyak 3 orang. Poin-poin yang disampaikan di dalam buku panduan ini adalah pengertian gagal jantung, gejala awal gagal jantung, cara mencegah agar tidak terjadi kekambuhan, jadwal minum obat, kontrol berat badan, kontrol edema, dan kontrol tekanan darah. Obat obatan sebaiknya dikonsumi secara teratur sesuai jadwal yang direkomendasikan oleh dokter, maka perlu dibuatkan jadwal minum obat. Penjadwalan minum obat dapat berupa buku diary atau check list yang ditempel di kotak obat (Albert, 2012;Eastwood,2007). Peneliti telah membuat format jadwal minum obat sehingga responden dapat melakukan penandaan jika telah minum obat. Namun hasilnya hanya 2 responden yang melakukan penandaan minum obat, hal ini bisa disebabkan karena kurangnya pemahaman dari responden untuk melakukan penandaan minum obat. Dari kegiatan home visit, 90 % responden mengatakan rutin minum obat terutama digoksin, antihipertensi dan diuretik. Manajemen cairan dan berat badan perlu dilakukan secara rutin oleh pasien gagal jantung maksimal 1 minggu sekali, sedangkan untuk manajemen cairan pasien perlu mebatasi konsumsi sodium yaitu sebanyak 2-3 gram per hari. Hal ini dilakukan untuk mencegah “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 32 kenaikan berat badan yang mendadak > 2 kg dalam satu minggu, karena perubahan mendadak dari berat badan dapat menyebabkan pasien sulit bernafas (Paul 2006, Bui et al, 2012). Pelaksanaan program perawatan diri dapat lebih efektif dengan pemberian buku panduan. Buku panduan yang telah disusun terdapat format kontrol edema dengan tujuan agar responden selalu kontrol berat badan untuk mencegah kenaikan berat mendadak sehingga dapat mengurangi terjadinya sulit bernafas. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan pasien dalam kontroling berat badan sudah baik, terbukti hanya satu pasien dalam kelompok intervensi yang mengalami kenaikan berat badan 2 kg dalam satu minggu. Minggu III dan IV program perawatan diri dijalankan merupakan satu minggu setelah lebaran, kemungkinan pada waktu lebaran responden tidak dapat mengontrol makan. Kontrol berat badan dan kontrol edema merupakan satu kesatuan strategi perawatan diri pasien gagal jantung untuk mencegah terjadinya sesak nafas. Sesak nafas karena pitting edema menyebabkan cairan keluar dari kapiler dan memasuki ruang interstitial (Black & Hawks, 2014). Strategi program perawatan diri lainnya yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pasien namun penting dilakukan minimal satu minggu sekali adalah kontrol tekanan darah. Kontrol tekanan darah perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan sistolik dan diastolik. Penyakit hipertensi telah terbukti meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung (Mariyono & Santoso, 2009). Hipertensi yang berlangsung lama dan tidak terkendali dapat menyebabkan perubahan struktur miokard, pembuluh darah dan system konduksi jantung. Perubahan ini menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit arteri koroner, disfungsi sistolik dan diastolik sehingga berakibat nyeri dada, infark miokard, aritmia jantung dan gagal jantung kongestif (Diamond,Philip, 2005). Responden yang dirawat dengan gagal jantung semuanya diberikan obat antihipertensi oleh dokter. Hasil kontrol tekanan darah menunjukkan ada 1 responden pada kelompok kontrol yang mengalami hipertensi, sedangkan pada kelompok intervensi setiap minggunya ada yang mengalami peningkatan tekanan darah maupun stabil tekanan darahnya. Responden yang mengalami peningkatan tekanan darah adalah pasien dengan gagal jantung dan gagal ginjal. Hasil penelitian ini menyampaikan bahwa kemampuan perawatan diri pasien pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan yang signifikan dikarenakan responden sebagian besar baru mengalami rawat inap yang pertama sehingga belum memperoleh edukasi. Faktor budaya di masayarakat kota klaten yang berasumsi bahwa sesorang yang menderita gagal jantung usianya tidak akan panjang, dan membutuhkan biaya yang sangat banyak untuk biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya sehari-hari selama di rumah sakit. Sedangkan dari segi pembiayaan, pasien sudah menggunakan BPJS sehingga menjadi terbantu dalam pembiayaan rumah sakit. Kondisi ekonomi yang sebagian besar responden tidak memiliki pendapatan dapat mempengaruhi kemampuan perawatan diri pasien dalam melakukan manajemen perawatan diri seperti diet nutrisi dan kontrol ke rumah sakit sehingga menyebabkan nilai confidence pada perawatan diri tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Teori Orem menyampaikan bahwa perawatan diri merupakan proses kognitif dan kemampuan individu dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan aktivitas dalam meningkatkan derajat kesehatan (Riegel,2008;Orem,2001). Dikaitkan dengan teori Orem tersebut, pada penelitian ini rata-rata pasien memiliki pendidikan yang rendah, namun “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 33 kemampuan responden untuk melakukan tindakan preventif dan manajemen gejala sudah bagus. Terlihat dari hasil penelitian self care maintenace dan self care management bahwa ada perbedaan yang signifikan pada kelompok intervensi. Yang termasuk di dalam dimensi self care maintenance adalah menjalankan terapi pengobatan, melakukan aktivitas fisik,menjalankan diet nutrisi serta monitor BB dan TD, sedangkan yang termasuk di dalam self care management adalah melakukan manajemen diri untuk melakukan perubahan, pengambilan keputusan, melakukan strategi pengobatan dan evaluasi dari tindakan yang dilakukan (Riegel & Dickson, 2004). Namun keyakinan responden untuk sembuh atau meningkat derajat kesehatannya masih rendah, terlihat dari hasil penelitian self care confidence tidak ada perbedaan yang signifikan.Hal ini mungkin terkait dengan faktor budaya masyarakat yang menganggap bahwa gagal jantung hanya membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak dapat dicegah gejalanya. Program perawatan diri dikatakan berhasil jika diiringi dengan self management yang baik dari pasien. Self management merupakan kemampuan individu dalam upaya untuk mengenal gejala dan perubahan yang terjadi sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat (Riegel & Dickson, 2004). Keberhasilan self management didukung oleh pemahaman individu terhadap edukasi yang diberikan serta monitoring yang teratur dari tenaga medis. Self management pada responden penelitian ini rata-rata baik dan dapat mengenali gejala gagal jantung. Hal ini bisa disebabkan responden pernah mendapatkan informasi sebelumnya, karena beberapa pasien pernah mengalami rawat inap sebelumnya dengan diagnosis yang sama. Monitoring pasien di rumah dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain adalah telemonitoring, telefon dan home visit (Bui et al, 2012). Strategi monitoring pada penelitian ini menggunakan kegiatan home visit. Alasan memilih home visit ini adalah agar pasien dapat terkontrol dengan benar tekanan darah, berat badan, edema dan kepatuhan minum obat, sehingga dapat diperoleh hasil yang sebenarnya. Kegiatan home visit yang dilakukan oleh perawat dapat memberikan psikologis yang positif bagi pasien karena pasien merasa nyaman dan mendapatkan dukungan yang positif dalam melakukan perawatan diri, sehingga diharapkan kemampuan perawatan diri pasien dapat meningkat (Greene, 2004). Sebagian besar pasien membutuhkan dukungan dari pasangan, keluarga dan teman untuk melaksanakan perawatan dirinya, sehingga diharapkan akan meningkat kualitas hidupnya (Fahlberg, 2010). Penelitian ini dukungan sosial muncul dari keluarga terdekat pasien, yaitu dari anak dan cucu. Yang termasuk dukungan sosial pada penelitian ini adalah dari segi dukungan psikologis maupun secara finansial, sehingga pasien memliki self maintenance dan self management yang baik. Kesimpulan 1. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan perawatan diri maintenance, management pada kelompok intervensi,namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan perawatan diri confidence setelah diberi program perawatan diri. 2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan perawatan diri maintenance, management dan confidence pada kelompok kontrol setelah dilakukan program perawatan diri. “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 34 Daftar Pustaka Albert .(2012). Fluid Management Strategies in Heart Failure, Critical Care Nurse, vol.32, no 2. Cleveland Alligood and Tomey .(2006). Nursing theoriest and their works (6th Ed.).St.Louis : Mosby Elsevier. Black MJ & Hawk (2014). Medical Surgical Nursing. Clinical Management for Positive Outcome 8th Ed Vol 2. Elsevier Pte Ltd Singapore Bui .(2012). Home Monitoring for Heart Failure Management, Journal of the American College of Cardiology, American College of Cardiology Foundation, Vol. 59 no. 2, 2012 Buapan,A. (2008). Factors influencing adaptation in heart failure patients, Thesis, School of Graduate Studies, Mahidol University, Bangkok Diamond JA, Phillips&RA. Hypertensive Heart Disease. Hypertens Res Vol. 28, No. 3 (2005). On International journal of obesity. from http://www.nature.com/hr/journal/v28/n3/abs/hr200525a.html akses 16 februari 2015 on Februari, 16 2015 Eastwood, et al .(2007). Weight and Symptom Diary for Self-monitoring in Heart Failure Clinic Patients vol. 22, No. 5, pp 382-389 on Journal of Cardiovascular Nursing Fahlberg .(2010). Dissertation quality of life and social support of older individuals with chronic heart failure, Dissertation, The Univesity of Winconsin-Milwaukee Greene .(2004). A Literature Review of Home Care Monitoring of Heart Failure Patients. University of Florida College of Pharmacy Majid,A., (2010). Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Rawat Inap Ulang Pasien Gagal Jantung Kongestif di RS Yogyakarta http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20281141-T%20Abdul%20Majid.pdf (akses tanggal 6 januari 2015) Mariyono&Santoso .(2009). Definisi,Klasifikasi,Diagnosis dan Penanganan Gagal Jantung. RSUP Sanglah, Denpasar http://download.portalgaruda.org/article.php?article=13160&val=927 akses 6 januari 2015 Orem, DE .(2001). Nursing Concept of Practice. The CV. Mosby Company. St. Louis Paul .(2006). Module 2nd Heart Failure Society of America. America http://www.hfsa.org/hfsa-wp/content/uploads/2014/10/module-2.pdf Radi.B. dkk .(2009). Rehabilitasi Kardiovaskuler di Indonesia. Jurnal Kardiologi Indonesia. Jakarta Riegel, B, et al .(2004). Psychometric testing of the self care of heart failure. Journal of Cardiac Failure, 10(4), 350-359 Riegel,B et al .(2009). An Update on the Self Care of Heart Failure Index, Journal Cardiovascular Nursing; 24(6); 485-497, University of Pennsylvania Riskesdas .(2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20201 3.pdf (10 januari 2015) Sadiati .(2014). Home Monitoring For Heart Failure Management, Departemen /SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RSUD Dr. Soetomo-FK Unair Surabaya http://rumahsakit.unair.ac.id/website/home-monitoring-for-heart-failuremanagement/ Salehitali, SH et al, (2009). The effect of continuous home visits and health education on the rate of readmissions, referrals, and health care costs among discharged patients with heart failure, 15(4):43-9, (Persian) “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 35 Shojaei .(2008). Quality of Life Patients with Heart Failure, 14(2): 5-13. (Persian) Wang .(2011). Effectiveness of a Self Care Program in Improving Symptom Distress and Quality of Life in Congestive Heart Failure Patients : A Preliminary study, Journal of Nursing Research, vol. 19, no 4, Taiwan Yenny&Herwana.(2006).Prevalensi penyakit kronis dan kualitas hidup pada lanjut usia di Jakarta selatan. Bagian Farmakologi FK Universitas Trisakti. __________________________ .(2014). Salinan UU RI tentang keperawatan http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/UU%20No.%2038%20Th%202014% 20ttg%20Keperawatan.pdf diakses tanggal 1 September 2015 “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 36 PENGARUH TERAPI BEKAM TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI Tut Wuri Prihatin1), Witri Hastuti2), Fitroh Suryaningsih3) 1) Stikes Karya Husada ([email protected]), 2) Stikes Karya Husada ([email protected]), 3) Stikes Karya Husada ([email protected]) Abstrak Latar Belakang. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan konsisten diatas 140/ 90 mmHg. Salah satu cara untuk menurunkan tekanan darah yaitu dengan metode bekam. Bekam dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik secara signifikan. Beberapa penelitian juga mendukung pernyataan diatas. Penelitian yang dilakukan oleh Akbar dan Mahati (2013) dengan judul pengaruh bekam basah terhadap kolesterol dan tekanan darah pada pasien hipertensi di Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekam dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik secara signifikan.Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 4 orang perawat di Puskesmas Kalongan, mereka mengatakan bahwa terapi bekam belum pernah dilakukan sama sekali di puskesmas tersebut, 10 pasien dengan hipertensi di Puskesmas Kalongan, hanya 1 orang yang pernah melakukan bekam, namun tidak dilakukan pengukuran tekanan darah baik sebelum dan sesudah dilakukan bekam. Data survei menunjukan masyarakat di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur yang merupakan bagian daerah binaan Puskesmas Kalongan, masyarakatnya masih belum mengetahui bahwa terapi bekam merupakan salah satu terapi alternatif untuk menurunkan hipertensi. Tujuan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi bekam terhadap perubahan tekanan darah pada pasien hipertensi di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur. Metoda. Dilakukan uji kenormalan data dengan Shapiro-Wilk, variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol setelah bekam dan variabel tekanan darah diastol setelah bekam tidak normal. Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji statistik menggunakan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney dan variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji statistik. menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test. Hasil. Hasil uji kenormalan data hanya satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol setelah bekam dengan nilai α = 0,208. Sedangkan pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam didapatkan nilai α = 0,002 (< 0,05). Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji statistik menggunakan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney, diperoleh p-value = 0.000 (< 0,05). Sedangkan Pada variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji statistik menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test, diperoleh p-value = 0.000 (< 0,05). Kesimpulan. Terdapat perbedaan tekanan darah pada pasien hipertensi antara yang tidak dilakukan bekam dengan yang dilakukan bekam. Kata Kunci : bekam, hipertensi Pendahuluan Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH) dalam Rahajeng & Tuminah (2009), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. Prevalensi kejadian hipertensi sebesar 25,8 persen dari total jumlah penyakit tidak menular di seluruh Indonesia. Selain itu hipertensi “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 37 menduduki urutan ke-6 penyakit tidak menular (PTM) setelah penyakit asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, DM, dan hipertiroid. Sedangkan prevalensi hipertensi di Jawa Tengah yang didiagnosis oleh dokter sebesar 26.4% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 prevalensi kejadian hipertensi tertinggi di Jawa Tengah berada di Kota Semarang yaitu sebanyak 77.104 orang. Kemudian diikuti Kota Surakarta sebanyak 57.977 orang dan Kabupaten Sukoharjo sebanyak 42.450 orang. Hasil pengambilan data yang dilakukan di Desa Susukan pada tanggal 9 Maret 2015, diperoleh jumlah pasien dengan hipertensi dari bulan Januari – Februari 2015 mengalami peningkatan, dari 26 pasien menjadi 44 pasien yang tersebar di desa tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Akbar dan Mahati (2013) dengan judul pengaruh bekam basah terhadap kolesterol dan tekanan darah pada pasien hipertensi di Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekam dapat menurunkan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik secara signifikan. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 4 orang perawat di Puskesmas Kalongan, mereka mengatakan bahwa terapi bekam belum pernah dilakukan sama sekali di puskesmas tersebut. Selain itu hasil wawancara dengan 10 pasien dengan hipertensi di Puskesmas Kalongan, hanya 1 orang yang pernah melakukan bekam, namun tidak dilakukan pengukuran tekanan darah baik sebelum dan sesudah dilakukan bekam. Data survei menunjukan masyarakat di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur yang merupakan bagian daerah binaan Puskesmas Kalongan, masyarakatnya masih belum mengetahui bahwa terapi bekam merupakan salah satu terapi alternatif untuk menurunkan hipertensi. Metodelogi Metode penelitian menggunaka quasi exsperiment, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan data dengan Shapiro-Wilk, variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol setelah bekam dan variabel tekanan darah diastol setelah bekam tidak normal. Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji statistik menggunakan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney dan variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji statistik. menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test. Bentuk rancangan penelitiannya adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Jenis dan rancangan penelitian Subjek Pra-tes Perlakuan K O1 K’ O1’ X Pasca-tes O2 O2’ Populasi sebanyak 40 orang, pada bulan Februari 2015 di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur, yaitu. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling (sampel jenuh), dimana semua populasi dijadikan sampel, sehingga sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 orang, 20 orang sebagai kelompok perlakuan dan 20 orang sebagai kelompok kontrol. “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 38 HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin pasien dengan hipertensi (n=40) Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) Laki-laki Perempuan Jumlah Tabel 2.1. menunjukkan bahwa perempuan 24 (60%). 16 24 40 jumlah laki – laki lebih 40,0 60,0 100,0 kecil 16 (40%) dibanding Tabel 2.2 Distribusi responden berdasarkan tekanan darah pada kelompok kontrol (n=20) Tekanan Darah Mean SD Min Max Pengukuran pertama TD sistol 155,5 9,72 140 170 TD diastole 94,5 3,94 90 100 Pengukuran kedua TD sistol 154,75 9,93 140 170 TD diastole 93,75 3,93 90 100 Berdasarkan Tabel 2.2 dapat diketahui bahwa rata-rata tekanan darah pada kelompok kontrol baik tekanan darah sistol maupun diastol cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pada pengukuran pertama rata-rata tekanan darah sistol 155,5 mmHg dan tekanan darah diastol rata-rata 94,5 mmHg. Sedangkan pada pengukuran kedua rata-rata tekanan darah sistol 154,75 mmHg dan tekanan darah diastol rata-rata 93,75 mmHg. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah responden pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan masuk dalam kategori tekanan darah stage I (mild), yaitu 155,5/ 94,5 mmHg (kelompok control) dan 152/ 93,25 mmHg (kelompok perlakuan). Tabel 2.3 Distribusi responden berdasarkan tekanan darah pada kelompok perlakuan (n=20) Tekanan Darah Mean SD Min Max TD sistol TD diastol TD sistol 152 93,25 139,5 9,38 4,06 11,46 140 90 120 170 100 160 TD diastol 84 4,17 80 90 Berdasarkan Tabel 2.3 dapat diketahui terjadi perubahan yang cukup signifikan nilai ratarata tekanan darah pada kelompok perlakuan baik tekanan darah sistol maupun diastol. Pada pengukuran sebelum dilakukan bekam nilai rata-rata tekanan darah sistol 152 mmHg dan tekanan darah diastol rata-rata 93,25 mmHg. Kemudian setelah dilakukan bekam tekanan darah mengalami penurunan, pada tekanan darah sistol menjadi rata-rata 139,5 mmHg dan tekanan darah diastol menjadi rata-rata 84 mmHg. Hasil penelitian menujukkan bahwa responden dengan hipertensi yang telah dilakukan bekam mengalami “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 39 penurunan tekanan darah yang cukup signifikan yaitu rata-rata sebesar 139,5/ 84 mmHg dari 152/ 93,25 mmHg. Hal tersebut menunjukkan bahwa bekam secara langsung dapat menurunkan tekanan darah seseorang, terutama pada pasien hipertensi. Tabel 2.4 Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok kontrol (n=20) Tests of Normality Tekanan Darah Kelompok Kontrol p-value Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Tekanan Darah Sistol Pertama 0.926 20 0.130 Wilcoxon= 0.083 Tekanan Darah Sistol Kedua 0.892 20 0.029 Tekanan Darah Diastol Pertama 0.809 20 0.001 Wilcoxon= 0.083 Tekanan Darah Sistol Kedua 0.784 20 0.001 Tabel 2.4. menunjukkan bahawa hasil uji kenormalan data dengan Shapiro-Wilk hanya satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol pertama dengan nilai α = 0,130, sedangkan variabel yang lain distribusi data tidak normal dengan nilai α < 0,05 (0.029, 0.001, dan 0.001). Sehingga untuk melakukan uji beda berpasangan menggunakan uji statistik non-parametrik Wilcoxon. Setelah dilakukan uji statistik non-parametrik Wilcoxon diperoleh hasil p-value = 0,083 dan 0,083 ( > 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan tekanan darah, baik pada pengukuran pertama maupun pengukuran yang kedua. Tabel 2.5 Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok perlakuan (n=20) Tekanan Darah Kelompok Kontrol Tekanan Bekam Tekanan Bekam Tekanan Bekam Tekanan Bekam Darah Sistol Sebelum Darah Sistol Setelah Darah Diastol Sebelum Darah Diastol Setelah Tests of Normality Shapiro-Wilk Statistic df Sig. 0.923 20 0.112 0.960 20 0.550 0.734 20 0.000 p-value Paired t-test = 0.000 Wilcoxon= 0.000 0.778 20 0.000 Berdasarkan Tabel 2.5 dapat diketahui bahwa setelah dilakukan uji kenormalan data hanya dua variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol sebelum dan setelah bekam dengan nilai α = 0,112 dan 0,550, sedangkan variabel yang lain nilai α < 0,05 (0.000 dan 0.000). Uji berpasangan pada tekanan darah sistol menggunakan Paired t-test diperoleh p-value = 0.000. Sedangkan Uji berpasangan pada tekanan darah diastol menggunakan Wilcoxon diperoleh p-value = 0.000. Jadi dapat disimpulkan, terdapat “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 40 perbedaan yang signifikan tekanan darah, sebelum dan setelah dilakukan bekam pada kelompok kontrol. Tabel 2.6 Uji kenormalan data dan analisis uji beda berpasangan pada kelompok perlakuan (n=40) Tekanan Darah Setelah Bekam Tekanan Darah Diastol Tekanan Darah Sistol Tests of Normality Shapiro-Wilk Statistic df Sig. 0.899 40 0.002 0.963 40 0.208 p-value Mann-Whitney = 0,000 Independent t-test = 0,000 Berdasarkan Tabel 2.6 dapat diketahui bahwa setelah dilakukan uji kenormalan data hanya satu variabel dengan distribusi data normal yaitu tekanan darah sistol setelah bekam dengan nilai α = 0,208. Sedangkan pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam didapatkan nilai α = 0,002 (< 0,05). Pada variabel tekanan darah diastol setelah bekam uji statistik menggunakan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney, diperoleh p-value = 0.000 (< 0,05). Sedangkan Pada variabel tekanan darah sistol setelah bekam uji statistik menggunakan uji statistik parametrik Independent t-test, diperoleh p-value = 0.000 (< 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah pada pasien hipertensi antara yang tidak dilakukan bekam dengan yang dilakukan bekam di Kelurahan Susukan Kecamatan Ungaran Timur. Bekam merupakan metode pengobatan dengan cara mengeluarkan darah yang terkontaminasi toksin atau oksidan dari dalam tubuh melalui permukaan kulit ari. Dalam istilah medis dikenal dengan istilah ‘Oxidant Release Therapy’ atau ‘Oxidant Drainage Therapy’ atau istilah yang lebih populer adalah ‘detoksifikasi’. Bertujuan untuk menetralkan oksidan di dalam tubuh sehingga kadarnya tidak makin tinggi (Asmui, 2014). Apabila dilakukan pembekaman pada satu poin, maka kulit (kutis), jaringan bawah kulit (sub kutis), fasia, dan otot akan terjadi kerusakan dari mast-cell atau lain-lain. Akibat dari kerusakan ini akan dilepaskan beberapa zat seperti serotonin, histamine, bradikinin, slow reacting substance (SRS). Zat-zat ini akan meyebabkan dilatasi kapiler dan arteriol serta flare reaction pada daerah yang dibekam. Dilatasi kapiler juga dapat terjadi ditempat yang jauh dari tempat pembekaman, ini menyebabkan terjadinya perbaikan mikrosirkulasi pembuluh darah. Akibatnya timbul efek relaksasi (pelemasan) otot-otot yang kaku serta akibat vasodilatasi umum akan menurunkan tekanan darah secara stabil. Proses ini akan terjadi pelepasan corticotrophin releasing faktor (CRF), serta releasing faktor lainnya oleh adenohipofise. CRF selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya adrenocorticotropic hormone (ACTH), corticotropihin, dan corticosteroid. Corticosteroid ini akan menyembuhkan peradangan dan menstabilkan permeabilitas sel (Kusyati, 2012). Golongan histamine yang ditimbulkan mempunyai manfaat dalam proses reparasi (perbaikan) sel dan jaringan yang rusak, serta memacu pembentukan reticulo endothelial cell, yang akan meninggikan daya resistensi (daya tahan) dan imunitas (kekebalan) tubuh. Sistem imun terjadi melalui pembentukan interleukin dari cell karena faktor neural, “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 41 penngkatan jumlah sel T karena peningkatan set-enkephalin dan endorphin yang merupakan mediator antara susunan saraf pusat dan sisem imun, substansi yang mempunyai fungsi parasimpatis dan sistem imun serta peranan kelenjar pituitary dan hypothalamus anterior yang memproduksi CRF (Kusyati, 2012). Pembekaman kulit akan menstimulasi kuat syaraf permukaan kulit yang akan dilanjutkan pada cornu posterior medulla spinalis melalui syaraf A-delta dan C serta traktus spinothalamicus kearah thalamus yang akan menghasilkan endorphin. Sedangkan sebagian rangsangan lainnya akan diteruskan melalui serabut aferen simpatik menuju ke motor neuron dan menimbulkan reflek intubasi nyeri, efek lainnya adalah dilatasi pembuluh darah kulit dan peningkatan kerja jantung (Kusyati, 2012). Sedangkan sistem endokrin terjadi pengaruh pada sistem sentral melalui hypothalamus dan pituitary sehingga menghasilkan ACTH, thyroid stimulating hormone (TSH), follicle stimulating hormone-luteinizing hormone (FSH-LH), antideuretik hormone (ADH), sedangkan melalui sistem perifer langsung berefek pada organ untuk menghasilkan hormon-hormon insulin, thyroxin, adrenalin, corticotropin, estrogen, progesterone, testoteron. Hormon-hormon inilah yang bekerja ditempat jauh dari yang dibekam (Kusyati, 2012). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Eka Etik Putri ebelumnya. Hasil dari penelitian hanya efektif buat penurunan sistol tapi tidak efektif untuk penurunan diastol. KESIMPULAN Terdapat perbedaan yang sigificant antara nilai tekanan darah sistole dam diastole sebelum dan sesudah dilakukan terpi bekam. DAFTAR PUSTAKA Akbar, N., & Mahati, E. (2013). Pengaruh Bekam Basah terhadap Kolesterol dan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Di Semarang. Semarang: UNDIP. Andari, R., & Mahati, E. (2014). Pengaruh Bekam Basah terhadap Kadar Gula Darah Puasa pada Pasien Diabetes Melitus Di Semarang. Semarang: UNDIP. Asmui. (2014). Materi Pelatihan: Bekam Pengobatan menurut Sunnah Nabi. Semarang. Baradero, M. (2008). Seri Asuhan Keperawatan: Klien Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta: EGC. Dinkes Jawa Tengah. (2012). Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Jawa Tengah: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Fahmy, A., & Gugun, A.,M. (2008). Pengaruh Bekam (Al Hijamah) terhadap Kadar Kolesterol LDL pada Pria Dewasa Normal. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Gunawan, L. (2007). Hipertensi. Yogyakarta: Kanisius. Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar RI 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Kusyati, E. (2012). Bekam: Sebagai Terapi Komplementer Keperawatan. Yogyakarta: Popup Design Yogyakarta. Rahajeng, E., & Tuminah, S. (2009). Majalah Kedokteran Indonesia: Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Jakarta: IDI. Ramayulis, R. (2010). Menu dan Resep untuk Penderita Hipertensi. Jakarta: Penebar plus. Suarsyaf, P. (2012). Pengaruh Terapi Bekam terhadap Perubahan Skala Nyeri pada Pasien Nyeri Punggung Bawah. Jakarta: UIN. “Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 42 LITERATUR EVIEW JENIS TERAPI KOMPLEMENTER YANG BERPENGARUH TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS Zahroh Ulil Fadhilah1), Wahyu Maha Nugraha2) 1) Mahasiswa Stikes Al Islam Yogyakarta Dukuh MJ1/1221 Yogyakarta (02743814892, [email protected]) 2) Stikes Al Islam Yogyakarta Abstrak Latar Belakang. Peningkatan penderita Diabetes Melitus (DM) terus terjadi tiap tahunnya, diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 8,2 juta. Harus ada penanganan yang tepat terutama upaya dalam pengembangan dan pemanfaatan terapi komplementer untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pasien dengan DM. Tujuan. Tujuan dari pembuatan literature review untuk mengetahui jenis terapi komplementer yang berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM. Metoda. Artikel terapi komplementer didapatkan dari berbagai macam pencarian yaitu medline, proquest, dan google search. Kriteria inklusi dan ekslusi yang dilakukan review literature adalah semua jenis-jenis terapi komplementer yang terbukti secara statistik mampu menurunkan kadar glukosa darah kemudian dilihat desainnya, desain yang diambil adalah RCT, Quasy eksperiment, case sontrol study dan cross sectional. Selain itu literatur yang diambil hanya berbatas pada tahun 2006-2014. Jenis kriteria sampel bebas, tidak dibatasi usia maupun jenis DM. Penelitian literatur menggunakan critical apraisal guidelines dan caps tools. Keterbatasan proses review adalah sulitnya menemukan penelitian yang khusus melihat outcome berupa kadar glukosa darah, kebanyakan outcome yang diukur adalah nyeri, relaksasi dan kualitas hidup. Kondisi ini yang menyebabkan literatur yang didapatkan hanya 7 buah. Hasil. Swedish massage, panax ginseng, yoga, terapi doa, aroma terapi, acupuncture dan acupressure terbukti secara signifikan dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM. Kesimpulan. Dari hasil review didapat bahwa jenis terapi komplementer yang dapat diaplikasikan di Indonesia adalah panax ginseng, swedish massage, terapi doa dan aroma terapi. Sedangkan acupuncture, acupressure,dan yoga sulit di aplikasikan. Kata kunci: terapi komplementer, acupressure, acupuncture, Swedish massage, aroma terapi,yoga. Pendahuluan Dengan adanya peningkatan ekonomi, peningkatan kesejahteraan diikuti pula oleh peningkatan penyakit degenerative, salah satunya adalah Diabetes Melitus (DM) yang terus berkembang tiap tahunnya (Soegondo dalam Mashudi, 2011). Kondisi peningkatannya dapat dilihat dari angka prevalensi yang dirilis oleh International Diabetes Federation (IDF) tahun 2006 bahwa USA mencapai angka 8,3%, sedangkan Cina mencapai 3,9%. Dari data Litbang Depkes 2008 sebesar 4,6% dan meningkat 1,1% menjadi 5,7% pada tahun 2008 (Soegondo dalam Mashudi 2011). Seiring dengan pertambahan penduduk seperti saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada jumlah 8,2 juta penderita DM di Indonesia (Soegondo, et al, 2007). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 43 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tindakan komplementer dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi untuk menurunkan kadar glokosa darah pada pasien DM. Penelitian yang dilakukan oleh (Jung,et al, 2011) menunjukkan bahwa panax ginseng supplementation signifikan dalam meningkatkan sensitivitas dari insulin. Penelitian yang dilakukan oleh (Jin, et al, 2012) menunjukkan bahwa acupressure therapy dapat mencegah pengembangan dari DM tipe 2. Penelitian yang dilakukan oleh (Ingle, et al, 2011) menunjukkan bahwa acupuncture therapy efektif untuk mengontrol kadar glukosa darah tetap dalam kondisi normal. Penelitian yang dilakukan oleh (Kashaninia, et al, 2011) menunjukkan bahwa swedish massage dapat mengontrol kadar glokusa darah pada pasien DM. Penelitian yang dilakukan oleh (Finch, et al, 2007) menunjukkan bahwa massage therapy berefek positif terhadap potensial pergerakan, menurunkan insiden ulcer neuropati pada DM. Hasil publikasi dari original article oleh (Fan, et al, 2013) menunjukkan bahwa yoga, massage, aroma terapi dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh (Garrow&Egede, 2006) menunjukkan bahwa terapi relaksasi dan berdoa dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DM. Dengan banyak manfaat yang dilaporkan mengenai terapi komplementer, maka penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai jenis terapi komplementer yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pada pasien DM. Tujuan Mengetahui jenis terapi komplementer yang berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DM. Metode Jenis design penelitian yang dimasukkan dalam literature review adalah RCT, quasi eksperiment, case control dan crosssesional. ITipe studi yang akan direview adalah semua jenis terapi komplementer yang terbukti signifikan menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DM. Semua jenis partisipan DM tipe I atau tipe II baik anak-anak, dewasa maupun lansia dimasukkan sebagai partisipan dalam review. Semua intervensi berupa terapi komplementer terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM. Tipe outcome yang diukur hanya berbatas pada keefektifan terapi dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DM. Literatur review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel penelitian yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Penelusuran dilakukan menggunakan Science direct, Medline, Google Search dan Pro-quest dengan kata kunci setiap variable. Artikel yang ditemukan dari masing-masing pencarian kemudian dilakukan pembacaan secara cermat. Pencarian dibatasi dari tahun 2006-2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Ekstraksi data penelitian dilakukan dengan membaca hasil dari penelitian kemudian mengambil intisari dari penelitian. Hasil akhir dari penelitian disertakan lengkap dengan nilai signifikansi P value, OR dan CI. Nilai tersebut dimasukkan dalam sebuah tabel untuk mempermudah pembahasan hasil ekstraksi. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 44 TABEL EKSTRAKSI DATA Study/ author Tempat penelitian Jumlah sampel Korea 18 res ponden, 9 kelom pok intervensi dan 9 kontrol Acupressure Theraphy Inhibits the Development of Diabetic Complication in Chinese Patients with Type 2 Diabetes Jin, et. Al.,(2009) Cina 80 res ponden, 40 inter vensi, 40 kon trol Application of acupuncture theraphy in type 2 Diabetes melitus patients. Ingle, et. Al., (2011) India 20 res ponden, 10 inter vensi dan 10 kon trol Effect of Panax ginseng Supplementatio n on Muscle Damage and Inflamation after Uphil Treadmill Running in Humans. Jung, et, al.,(2001) The Effect of Swedish Massage on Glycohemoglob in in Children with Diabetes Melitus. Khashaninia, et. Al.,(2011) Iran 36 res ponden , 18 inter vensi dan 18 kon trol Usia Kelompok Metode penelitian /Alat ukur Outcome Intervensi Kontrol 19-22 tahun Pada kelompok intervensi diberikan ekstrak ginseng dengan takaran 20 gr/hari. Pemberian diberikan selama 4 hari dengan dicampurkan air hangat sebanyak 200 ml. RCT/ Spectro photo meter Sensivisitas insulin meningkat, menurunkan resistensi terhadap insulin, menurunkan Kerusakan otot, menurun kan inflamasi dengan P value <0,05 Tidak dijelas kan menge nai rentang usia namun respon den adalah orang dewasa Tidak dijelas kan dengan rinci usia dari respon den Kelompok intervensi mendapatkan perlakuan acupresure selama 90 menit dengan durasi 4-6 kali perminggu untuk waktu 3 tahun Pada kelompok kontrol diberikan placebo dengan dilakukan blinding sehingga sampel tidak mengetahui siapa yang dapat ekstrak ginseng dan siapa yang mendapatkan placebo Tidak dijelaskan pada jurnal apa yang dilakukan pada kelompok kontrol RCT/ vacum column Chroma tography Acupressure dapat menurunkan resiko perkembangan diabetes melitus ke arah progesif dan komplikasi dengan P Value< 0,001 Diberikan intervensi acupuntur dengan simulasi dari elektrik dengan pranata jarum, jarum ditanamkan di tubuh pasien selama 2030 menit. Intervansi diberikan selama 3 kali dalam satu bulan. Tidak dijelaskan pada jurnal apa intervensi yang dilakukan pada kelompok kontrol Acupuncture theraphy evektif dalam mengontrol glukosa darah dan menurunkan resiko komplikasi dari diabetes melitus denga P value <0.001 6-12 tahun Diberikan intervensi Swedish massage selama 15 menit, dilakukan 3 kai dalam seminggu, pelaksanaan dilakukan selama 3 bulan Tidak dijelaskan pada jurnal apa intervensi yang dilakukan pada kelompok kontrol Quasi eks periment/ kuisioner dan peme riksaan laboratorium dgn melihat plasma glucose, postprandial plasma glucose, glycosylated hemo globin (HbA 1c), lipid pro file and body mass index (BMI) RCT/ Kuisioner, namun tidak dijelaskan secara rinci mengenai alat ukur yang digunakan untuk mengukur glycohemogl Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 Massage therapy secara signifikan mamou mengontrol kadar glukosa darah pada pasien anakanak dengan diabetes melitus dengan P value 45 Patterns of complementary and alternative medicine use among a group of patient with type 2 diabetes receiving out patient care in Singapore. Monica, et. Al., (2013) National Patterns and Correlates of Complementary and Alternative Medicine Use in Adults with Diabetes Garrow, et. Al.,(2006) How Effective is Swedish Massage on Blood Glucose Leel in Children with Diabetes Melitus Sajedi, et. Al.,(2011) obin, namun dari jurnal menunjukka n bahwa pengukuran dilakukan dengan pengukuran laboratorium Cross sectional / alat yang digunakan adalah kuisioner dan glukometer Singapura 304 res ponden 41-60 tahun - - Charles ton, SC 2474 Respon den 18-65 tahun - - Cross sectional/ alat Pengumpul an data mengguna kan kuisioner Iran 38 sampel 19 kelom pok kasus dan 19 kelomok kontrol Anakanak usia 6-12 tahun Diberikan intervensi Swedish massage 3 kali seminggu selama 15 menit. Intervensi diberikan selama 3 bulan Tidak diberikan intervensi Swedish massage hanya diberi kan intervensi yang bisa dilakukan pada umum nya. RCT (Random Control Trial) . Lembar observasi Swedish massage dan kuisioner Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 <0,0001 Yoga, Massage dan aroma terapi berkorelasi positif terhadap kadar glukosa darah dengan P value < 0,05 Terapi berdoa, yoga relaksasi, dan herbal berkorelasi positif terhadap penurunan kadar glukosa darah. Terapi doa dengan (OR 1.19, 95% Cl 1.05, 1.36. Yoga OR 0.56, 95% Cl 0.43, 0.72. herbal OR 0.82, 95% Cl 0.72, 0.93) Swedish massage efektif memberikan efek penurunan kadar glukosa darah pada anak dengan DM 46 Terdapat 7 artikel yang menjelaskan terapi komplementer mampu menurunkan kadar glukosa darah. Jenis terapi komplementer tersebut adalah Swedish massage, panax ginseng, acupressure theraphy, acupuncture, yoga, aroma terapi, relaksasi dan terapi doa. Dari literatur didapatkan hasil bahwa panax ginseng meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan resitensi terhadap insulin, menurunkan kerusakan otot, menurunkan inflamasi. Acupressure juga mampu menurunkan resiko perkembangan DM ke arah progresif dan komplikasi. Acupuncture theraphy efektif dalam mengontrol glukosa darah dan menurunkan resiko dan komplikasi dari DM. Massage therapy secara signifikan mampu mengontrol kadar glukosa darah pada pasien anak-anak dengan DM. Yoga, massage, aroma terapi dan doa berkorelasi positif terhadap kadar glukosa darah. Terapi komplementer yang mampu menurunkan kadar glukosa darah adalah panax ginseng P value <0,05, acupressure P value < 0,001, acupuncture P value < 0,001, massage P value <0,0001, yoga P value <0.05, doa P value <1,93. Artikel yang dimasukkan dirasa sudah mampu menggambarkan jelas CI 95% untuk setiap studi, heterogenitas yang dianalisis dengan perhitungan statistik dan P valuenya yang signifikan. Hasil Kualitas artikel dinilai menggunakan tools yang sesuai dengan desain penelitian. Hasil dari analisis didapatkan bahwa semua studi memenuhi kriteria baik. Berikut hasil analisis dari critical apraisal penelitian: a. Panax Ginseng Pada artikel jenis metode penelitian yang dipilih merupakan jenis metode yang baik, yaitu RCT. Dari hasil analisis menggunakan caps tools yang khusus digunakan untuk menganalisis RCT, didapatkan hasil bahwa treatment yang dilakukan sudah dirandom sehingga tingkat kepercayaan tinggi, hanya saja untuk mengontrol variabel pengganggu dalam artikel tidak dijelaskan. Ini menjadi hal yang dianggap menurunkan penilaian artikel meskipun bila dilakukan pembacaan pada artikel secara mendalam. Kemungkinan besar variabel pengganggu sudah dilakukan kontrol dengan baik agar menghindari bias, hanya saja tidak dituliskan. Proses blinding pada artikel sudah dilakukan, yaitu dengan tidak diketahuinya kelompok kontrol dan kasus, kedua kelompok sama-sama diberikan ekstrak yang salah satunya adalah placebo, kelompok kontrol dan kasus tidak mengetahui apakah mereka termasuk dalam kelompok kontrol maupun kelompok kasus. Jenis intervensi yang diberikan pada kelompok intervensi adalah pemberian ekstrak ginseng dengan takaran 20 gr/hari. Pemberian diberikan selama 4 hari dengan dicampurkan air hangat sebanyak 200 ml. Berikut merupakan gambaran intervensi pemberian panax ginseng terhadap outcome yang diharapkan. Hasil penelitian mampu menjawab outcome yang diharapkan dimana efek dari panax ginseng terbukti secara statistik mampu meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan resistensi terhadap insulin dan mampu menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus dengan P value <0,05. Penerapan dari hasil penelitian mudah dan murah, sehingga dapat direkomendasikan untuk diterapkan sebagai salah satu terapi kompementer yang digunakan perawat dalam memberikan intervensi pada pasien diabetes melitus untuk menurunkan kadar glukosa darah. b. Acupressure Metode yang digunakan dalam artikel sudah menggunakan metode yang baik, yaitu RCT, dimana dalam memberikan intervensi dilakukan random, sehingga tingkat kepercayaan tinggi. Proses blinding sudah dilakukan pada penelitian. Pada kelompok intervensi acupresssure dilakukan selama 90 menit dengan durasi 4-6 kali seminggu untuk waktu yang lama, yaitu 3 tahun. Hasil penelitian mampu menjawab outcome yang diharapkan yaitu acupresssure terbukti akurat dan kuat secara statistik dapat PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 47 menurunkan resiko perkembangan DM ke arah progresif dengan nilai P <0,001. Untuk penerapan di Indonesia, acupressure tidak familiar sehingga sulit dilaksanakan, proses pelatihan masih sedikit dan mahal. c. Acupuncture Pada penelitian yang menggunakan intervensi acupuncture terdapat beberapa sampel yang menolak di awal tidak dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian, partisipasi sampel yang setuju sekitar 60-79%. Jenis metode yang digunakan pada penelitian ini adalah quasi experiment. Proses kontrol variabel pengganggu dalam penelitian tidak dijelaskan dalam artikel. Hasil dari penelitian artikel adalah adanya kemungkinan bias, jenis study design, kontrol variabel pengganggu dan blinding memiliki rating moderate. Metode belum cukup kuat dan jumlah sampel masih sedikit. Untuk pelaksanaan di Indonesia intervensi ini masih dianggap tidak familiar sehingga sulit dilaksanakan, selain itu pola pelaksanaanya butuh keahlian, proses pelatihan masih sedikit dan mahal sehingga intervensi tidak begitu efektif untuk dilakukan di Indonesia. d. Massage Ada 2 artikel yang dianalisis tentang pemberian intervensi mengenai Swedish Imassage. Kedua artikel sudah menggunakan metode penelitian yang baik yaitu RCT. Pada dasarnya kualitas penelitian sama, hanya saja outcome yang ingin dicapai sedikit berbeda satu sama lain. Sampel pada kedua artikel sudah dilakukan randomisasi. Sampel yang diberikan massage adalah anak-anak dengan usia 6-12 tahun. Untuk outcome yang ingin melihat efektivitas swedish massage terhadap glycohemoglobin. Jumlah sampel adalah 36 pasien dengan 18 kelompok intervensi dan 18 kelompok kontrol. Sedangkan outcome artikel lainnya adalah untuk melihat efektivitas massage dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pasien anak dengan DM, sampel berjumlah 38 dengan 19 kontrol dan 19 intervensi. Hasil penelitian dari kedua artikel sudah mampu menjawab outcome yang menunjukkan bahwa swedish massage terbukti mampu secara signifikan menjaga kadar gula darah tetap normal dan mampu menurunkan kadar gula darah pasien yang menderita DM dengan nilai P value <0,0001. Berikut merupakan gambaran penurunan glukosa darah pada dua kelompok. Proses aplikasi dari hasil penelitian mudah dan dapat diterapkan di Indonesia karena pelaksanaanya cepat dan tidak dianggap sebagai hal yang tabuh. Pelatihan mengenai swedish massage sudah ada di Indonesia dengan sertifikasi yang baik. Pengaplikasian swedish massage terbukti menguntungkan secara finansial dan menguntungkan untuk meningkatkan kesehatan penderita DM dalam mengontrol dan menurunkan kadar glukosa darah. e. Yoga, Doa dan Aroma terapi Ada dua artikel yang membahas mengenai yoga dan aroma terapi. Kualitas dari kedua artikel dianggap baik dari hasil analisis. Kedua artikel ini menggunakan metode cross sectional, metode ini masih dirasa kurang kuat dalam pembuktian karena secara evidance penggunaan metode terbaik adalah RCT. Proses untuk mecegah bias dari kedua artikel sudah dilakukan, kontrol yaitu penetapan kriteriakriteria yang ketat mengenai usia sampel dan karakteristik sampel. Jumlah responden dalam artikel banyak, responden mengenai aroma terapi dan doa berjumlah 2474 sampel, sedangkan yoga sebanyak 304 sampel. Dari jumlah sampel ini sebenarnya sudah mampu menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari hasil penelitian. Hasil penelitian ini dapat menjadi pengembangan untuk penelitian eksperimen selanjutnya. Terbukti doa dan aroma terapi berkorelasi positif dengan kadar glukosa darah dengan P value<0,05 dan yoga terbukti berkorelasi positif erhadap penurunan kadar glukosa darah dengan nilai statistik OR 0.56, 95% CI 0.43, 0.72. PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 48 Kesimpulan Dari hasil review literature yang dilakukan secara sistematis membuktikan bahwa swedish massage, acupuncture, acuprussure, yoga, doa, panax ginseng dan aroma terapi terbukti dapat menurunkan kadar glukosa darah. Berbagai jenis terapi komplomenter tersebut meskipun terbukti secara evidance based mampu menurunkan kadar glukosa darah, namun tidak semuanya dapat diterapkan di Indonesia karena pertimbangan kemudahan, kelebihan, kekurangan dan cost yang dikeluarkan dari pelaksanaanya. Hasil critical apraisal dan pendalaman mengenai terapi komplementer dinilai bahwa jenis terapi yang direkomendasikan untuk diaplikasiksan di klinik adalah swedish massage, terapi doa, aroma terapi dan panax ginseng. Sedangkan acupuncture, acuprussure. dan yoga belum bisa direkomendasikan di Indonesia karena pertimbangan pada cost yang dikeluarkan terlalu besar, pelatihan profesional belum ada di Indonesia serta sulitnya dalam pengaplikasian karena dibutuhkan kejelian dan waktu yang lama dalam pelaksanaanya. Daftar pustaka Brown et al. (2005). Sudarshan Kriya Yogic Breathinh in the Treatment of Stress, Anxiety and Depression: Part 1 Neurophysiologic Model, (online), http://www. thevirafoundation.org/images/Trauma treatment_Breathwork_Part_I.p df, diakses : 10 Februari 2012 ). Garrow, D and Egade, LE., (2006). National Pattens and Corelates of Complementary and Alternative Medicine Use in Adult with Diabetes. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. Volume 12.895-902. Ingle, PV. Samdani, PV. Patil, PH. Pardeshi, MS, Surana. SJ., (2011). Application of acupuncture theraphy in type 2 diabetes mellitus patient . Pharma science monitor An international journal of pharmaceutical science.18-26. Jin, K.,Chen, L.Pan, JY. Li, JM. Wang, Y and Wang, FY., (2009). Acupressure Therapy inhibits the Development of Diabetic Complication in Chinese Patients with type 2 Diabetes. The Journal of Alternative and Aomplementary Medicine. 1027-1032. Jung, HL, Kwak, HE. Kim, SS. Kim, YC, Lee, CD. Byurnx, HK and Kang, Hy., (2011). Effect of Panac ginseng Supplementationnon on Mussle Damage and Inflammationn after Uphill Treadmill Running in Humans. The American Journal of Chinese Medicine, Vol 9, No.3,441-450 Kashaninia, Z. Abedinipoor, A. Hos.ainzadeh, S. Sajedi, F., (2011). The Effect of Swedish Massage on Glycohemoglobin in Children with Diabetes Mellitus. Iranian Rehabilitation Journal, Vol.9 Mashudi. (20011). Pengaruh Progresssive Muscle Relaxation Terhadap Kadar Glukosa Darah. Nita Fitriya. Teori Psikospiritual 2009. Diaksses pada tanggal 17 Juli 2009. URL: http://fikunpad.unpad.ac.id/?=191 Peijin Esther Msonica, PE. Chan, FM. Chan, YL. Koh, SL., (2013). Patterns of complementary and alternative medicine use among a group of patients with type 2 diabetes receiving outpatient care in Singapore. International Journal of Nursing Practice. 44-45 Sajedi, F. Khasaninia, Z. Hoseimsadeh, S & Abedenipoor, A.,(2011). How effect is Swedish Massage on Blood Glucose Level in Children with Diabete Mellitus. Department of Nursing, School of Nursing and Midwifery. Soegondo, S Soewondo, P.,& Subekti I, Ed. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (hlm 31-45), Jakarta: FKU. PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 49 LITERATURE REVIEW:FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMANDIRIAN KELUARGA DALAM PERAWATAN PASIEN TUBERCULOSIS PARU Ns. Kastuti Endang Trirahayu., S.Kep. Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Email : Fiida [email protected] Abstrak Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit kronis yang menjadi salah satu fokus permasalahan dalam bidang kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. Teori Orem dan beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa keluarga adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam perawatan pengobatan dan kesembuhan pasien Tuberkulosis Paru. Hasil survey menunjukkan bahwa kebanyakan pasien TB paru lebih memilih untuk dirawat di rumah bersama dengan keluarga mereka. Oleh karena itu, kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru adalah hal yang sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru. Metode: Metode yang digunakan tinjauan sistemik (systemic review) yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal publikasi yang berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru mulai tahun 2009-2015. Penelusuran dilakukan melalui media online seperti Googlesearch, Sciencedirect.com, Proquest.com, EBSCO, dll. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh. Hasil: Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang berbasis klinis (Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014). Selain edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan pasien TB (Palinggi dkk., 2013) dan teknik komunikasi yang tepat (KaulagekarNagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013) harus dimiliki oleh keluarga. Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga harus dihapuskan agar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien TB paru bisa meningkat (Anand dkk., 2013). Dan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru, keluarga dapat dilibatkan dalam proses medis seperti konsultasi dan pemeriksaan ke dokter, yang rutin berjalan pada pasien (Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004). Kesimpulan: Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara lain program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru, teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru. Keywords: Kemandirian Keluarga, Perawatan Pasien TB Paru Latar Belakang Secara global, Beban TB masih sangat besar, bahkan WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Pada tahun 2013, 9 juta jiwa terinfeksi penyakit ini, dan 1,5 juta diantaranya meninggal dunia. Berbagai upaya dikerahkan, meliputi diagnosa dan pengobatan yang efektif, untuk menurunkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit TB. Terbukti semenjak tahun 2000-2013, ada sebanyak 37 juta jiwa berhasil diselamatkan karena adanya diagnosa dan pengobatan dini (WHO, 2014). Indonesia sendiri, sejak tahun 2010 menempati urutan kelima Negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insiden berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 50 per tahunnya (Kemenkes RI, 2011). Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, berdasarkan laporan dari Kemenkes RI (2011), Indonesia merupakan Negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama. Salah satu wilayah di Indonesia yang berhasil dalam mendekati target deteksi kasus TB paru adalah Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, Kabupaten Banyumas menempati peringkat ke-4 jumlah penduduk terbanyak di Jawa Tengah dengan jumlah sebanyak 1.570.598 orang (BPS 2012). Penemuan penderita TB paru di kabupaten Banyumas tahun 2012 sebanyak 1.161 kasus case detection rate (CDR) sebesar 69,0% (target >70%) menempati urutan ke-10 kabupaten terbanyak di Jawa Tengah (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012). Penemuan penderita TB Paru anak tahun 2012 sebanyak 427 kasus dan tahun 2013 sebanyak 448 kasus dengan proporsi 14,1% . Case notification rate (CNR) tahun 2011 sebesar 176/100.000 penduduk, tahun 2012 sebesar 179/100.000 penduduk dan tahun 2013 sebesar 195/100.000 penduduk. CNR Nasional adalah sebesar 85/100.000 penduduk (Dinkes Kabupaten Banyumas, 2014). Kesuksesan dalam penyembuhan penderita TB Paru tentunya tidak terlepas dari pola perawatan yang sesuai. Orem menyebutkan bahwa faktor kondisi dasar yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam merawat dirinya sendiri diantaranya adalah usia, jenis kelamin, orientasi sosial-budaya, status kesehatan, dan sistem keluarga (Orem, 2001). Faktor kondisi dasar semacam ini dan partisipasi perawatan diri dari individu pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan individu tersebut, termasuk persepsi mengenai kualitas hidup personal dan pencapaian kontrol metabolisme. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yani (2012) diketahui bahwa kepatuhan pasien Tuberkulosis paru terhadap perilaku hidup sehat meningkat secara signifikan setelah menerima perawatan dengan dukungan keluarga berbasis program DOTS. Dari hasil survei prevalensi TB oleh Kemenkes pada tahun 2004 mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis. Agar proses penyembuhan pasien TB paru bisa berjalan dengan efektif dan efisien dalam perawatan keluarga, tentunya kemandirian serta kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru sangat dibutuhkan. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam melakukan perawatan pada pasien TB paru. Tujuan Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru. Memberikan rekomendasi tentang apa saja yang Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas 51 “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 bisa dilakukan untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru. Metoda Makalah ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan sistematik (systemic review). Tinjauan sistemik adalah sebuah sintesis dari studi-studi penelitian primer yang menyajikan topik yang terkait dengan formulasi pertanyaan dan tujuan penelitian. Metode tinjauan sistematik ini yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal publikasi yang berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru. Penelusuran jurnaljurnal yang berkaitan dengan topik penelitian dilakukan melalui Website publikasi jurnal penelitian resmi yaitu ProQuest, EBSCO, dan PubMed, dengan menggunakan kata kunci yang dipilih. Pencarian hanya dibatasi pada terbitan 2007-2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Jurnal yang terpilih kemudian ditelaah untuk kemudian dibahas dan ditarik kesimpulannya dalam makalah. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh. Hasil Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang berbasis klinis (Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014). Program DOTS berbasis keluarga terdiri dari tiga tahap yaitu: estimasi, transitif, dan operatif, yang melibatkan partisipasi keluarga. Faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan pengobatan salah satunya adalah adanya program pengarahan. Dalam rangka mengimplementasikan program DOTS yang baik, ada empat metode utama yaitu pengajaran, pengarahan, pemberian dukungan, dan penyediaan lingkungan. Selain itu, buku panduan juga dibutuhkan untuk mengembangkan kemandirian keluarga dalam perawatan pasien TB paru (Yani et al., 2012). Selain edukasi melalui program DOTS, hal lain yang juga berpengaruh terhadap kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru adalah adanya tujuan yang jelas. Ketika anggota keluarga memiliki tujuan atau target untuk terlibat dalam perawatan, maka keinginan mereka untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien akan berubah kedalam sebuah tindakan konkrit (Palinggi dkk., 2013). Faktor lainnya yang juga dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru adalah teknik komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memberikan rasa dukungan bagi pasien. Komunikasi yang terbuka dalam keluarga mengenai manajemen perawatan penyakit, respon keluarga yang sehat terhadap situasi penyakit yang membuat stress (terterkan), dan dukungan keluarga terhadap kemandirian pasien berhubungan dengan perilaku manajemen pribadi pasien yang lebih baik. Selain itu, komunikasi langsung antara tenaga medis dengan anggota keluarga dapat membantu menyelesaikan kekhawatiran keluarga tentang pasien dan membantu anggota keluarga untuk menyusun tujuan yang tepat dalam perawatan pasien (Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013). Dengan komunikasi yang baik, anggota keluarga juga akan bisa mengatasi permasalahan atau tekanan yang ada sehingga mereka menjadi lebih termotivasi untuk secara mandiri merawat pasien TB paru. Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga harus dihapuskan agar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien TB paru bias meningkat (Anand dkk., 2013) Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 52 Terakhir, melibatkan keluarga dalam proses perawatan klinis juga merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru. Perawatan penyakin kronis adalah hal yang kompleks dan sering kali dalam satu pertemuan klinis pasien akan mendapatkan banyak sekali informasi yang baru. Oleh karena itu, dengan melibatkan keluarga dalam proses perawatan klinis (ikut dalam proses pemeriksaan/konsultasi rutin ke dokter) akan dapat membantu pasien dalam menyerap dan memahami informasi yang didapat. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan kemampuan dan kemandirian keluarga dalam merawat pasien. Keluarga dapat membantu pasien untuk menjaga rutinitas pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter. Keluarga juga dapat memberikan informasi tambahan yang dibutuhkan kepada tenaga medis (dokter) tentang manajemen dan gejala penyakit yang dialami pasien di rumah. Keluarga dapat membantu mengkomunikasikan kekhawatiran pasien. Dan ketika di rumah pun keluarga dapat membantu perawatan pasien dengan lebih baik berdasarkan pada hasil pemeriksaan dan konsultasi yang telah dijalani (Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004). Diskusi Dari jurnal-jurnal penelitian yang dipilih, dapat diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru. Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh adalah edukasi tentang penyakit dan manajemennya; adanya tujuan yang jelas dan spesifik; pengembangan teknik komunikasi yang efektif dan mendukung; dan keterlibatan dalam proses perawatan klinis. Keseluruhan faktor tersebut tentunya tidak dapat dikembangkan sendiri oleh keluarga. Untuk dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru, tentunya keterlibatan dari lembaga-lembaga terkait diperlukan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan membuat sebuah rancangan program yang dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru. Sebagai catatan keterbatasan makalah ini adalah bahwa makalah ini disusun berdasarkan hasil penelitian pustaka-pustaka yang beragam dari sisi obyek penelitiannya dan tidak semuanya berkaitan langsung dengan tujuan makalah ini. Jurnal-jurnal terkait topik makalah masih sangat sedikit, namun di lain sisi ini adalah sebuah peluang penelitian yang berarti di masa mendatang akan sangat baik untuk bisa meneliti lebih mendalam tentang aplikasi perancangan program asuhan keperawatan keluarga untuk pasien TB paru dengan pengembangan berlandaskan pada penelitian-penelitian yang ada sebelumnya. Kesimpulan Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara lain program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru, teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru. Untuk dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien, lembaga terkait (lembaga keperawatan) atau tenaga medis harus bisa mengidentifikasi faktor yang berpengaruh, kemudian membuat sebuah rancangan, mengaplikasikan, dan terakhir melakukan evaluasi dan pengembangan. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 53 Daftar Pustaka Abreu, W., et.al. (2015). Promotion of Self-Care in Clinical Practice: Implications for Clinical Supervision in Nursing. International Journal of Information and Education Technology, 5(1). Anand T, D.Arun K, Nandini S, Renuka S, Laxmi K, S.V.Singh, GK Ingle. (2013). Perception on Stigma Towards TB Among Patients on Dots & Patients Attending General OPD in Delhi. Indian Journal of Tuberculosis. 61. Duangrithi D, Kampl P, Vipa T, Varunee D, Yuthichai K, Pasokarn J, Duangjai Sahassanada, Punnee Pitisuttithum. (2014). Family Based Directly Observed Therapy on Culture Conversion in Newly Diagnosed Pulmonary Tuberculosis Patients. American Journal of Public Health Research. 2(4). Howyida, S., et.al. (2012). Effect of Counseling on Self-Care Management among Adult Patients with Pulmonary Tuberculosis. Life Science Journal. 9(1). Kemenkes RI. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kardas P, Pawel L dan Michal M. (2013). Determinants of Patient Adherence: a Review of Systematic Reviews. Journal of frontiers in pharmacology. 4(91). Kaulagekar-Nagarkar A, Deepali D, dan Preeti J. (2012). Perspective of Tuberculosis Patients on Family Support and Care in Rural Maharashtra. Indian Journal of Tuberculosis. 5. Kaur S, D Behera, D Gupta, SK Verma. (2009). Evaluation of a Supprotive Educative Intervention on Self Care in Patients with Bronchial Asthma. Nursing and Midwifery Research Journal. 5(2). Munawaroh, S. (2012). Penerapan Teori Dorothea E. Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Nursasi AY. (2014). Peningkatan Kemandirian Perawatan Klien TB Paru Melalui Pemberdayaan Dalam Kelompok Keluarga Mandiri. Jurnal Universitas Indonesia. Orem, D. (2001). Nursing concepts of practice (6th edition). St. Louis: Mosby. Palinggi, Y., dkk. (2013). Hubungan Motivasi Keluarga Dengan Kepatuhan berobat Pada Pasien Tb Paru Rawat Jalandi RSU A. Makkasau Pare-Pare. Jurnal STIKES Nani Hasanuddin Makassar. 2(3). Rosado-Quiab U, Roberto MC, David AC, Alfredo V. (2014). Influence of Family System Characteristics on Adherence to Directly Observed Treatment, Short-Course (Dots) in Pulmonary Tuberculosis-A Cohort Study. J Mycobac Dis. 4(5). Shin S, Jennifer F, Jaime B, Kedar M, Jim YK, Paul F. (2004). Community-based Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis in Lima, Peru: 7 Years of Experience. Journal of Social Science & Medicine. 59. WHO. (2014). Global Tuberculosis Report Fact Sheet. Retrieved from http://www.who.int/tb/publications/factsheet_global.pdf. Yani DI, Sang-arun I, dan Charuwan K. (2012). Development of Family-Based DOTS Support Program for Enhancing Adherence to Health Behaviors of Patients With Pulmonary Tuberculosis. Journal of 4th International Conference on Humanities and Social Sciences. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 54 KOMPLEMENTER TERAPI: AROMATERAPI DALAM AUTIS Kartika Setia Purdani Mahasiswa Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Abstrak Latar belakang. Data tahun 2014 tentang angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68 kelahiran hidup anak. Dengan pemanfaatan caring perawat kepada pasien melalui konsep holistik, dan dengan perkembangan ilmu keperawatan, terapi komplementer bisa menjadi salah satu pilihan dalam merawat pasien. Berdasar pembagian NCCAM (National Center for Complementary and Alternative Medicine) terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi masuk pada terapi biologi, dengan cara kerja adalah memanfaatkan zat yang ditemukan di alam. Banyak terapi kesehatan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan peran anak dengan autisme, termasuk aromatrapi, kandungan essensial oil dalam aromaterapi terbukti dapat meningkatkan proses interaksi dan peningkatan pola tidur, sehingga beberapa gangguan yang mendominasi anak dengan autisme bisa terminimalisir dengan pemanfaatan aromaterapi. Tujuan. Paparan diatas menjadi dasar bagi penulis untuk melakukkan literature review terhadap salah satu aplikasi komplementari terapi yakni aromaterapi untuk penanganan autisme. Metoda. Metode yang dipilih ialah literature review, dengan 5 jurnal yang di peroleh, dengan penelusuran artikel publikasi PROQUEST menggunakan tahun 2005-2015 serta penelusuran manual menggunakan Google Search dengan kata kunci aromatherapy, autism, complementhary therapy. Pencarian hanya dibatasi pada jurnal yang dapat diakses fulltext dalam format pdf dan berbahasa Inggris. Hasil. Kelima artikel menggunakan desain penelitian qualitatif dengan responden sasaran primer dan sekunder anak dengan autisme, terapi dilakukan dengan membaui aromaterapi dan juga penggabungan dengan pijatan menggunakan minyak aromatherapi. Empat artikel memiliki kulaitas yang tinggi dan 1 artikel memiliki kualitas sedang. Kesimpulan. Hasil pembahasan bahwa dari 5 gangguan yang biasa terjadi pada anak autisme, hanya 4 gangguan autisme yang bisa ditangani dengan aromaterapi. Dan 1 jurnal menjelaskan bahwa tidak ada perubahan dalam pemanfaatan aromaterapi pada anak dengan autisme. Kata Kunci : Aromaterap, Autism, Complementhary Therapy Pendahuluan Anak adalah titipan Illahi dengan berbagai karakteristiknya, dan anak tentunya akan menjadi tumpuan masa depan orang tua, dengan harapan anak yang terlahir tidak memiliki kekurangan, baik secara fisik maupun psikis. Namun kita sebagai manusia tetap memiliki keterbatasan dalam perwujudan seorang anak, karena akan banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, misalnya saja dalam kesehatan anak, proses dari periode perinatal dan natal akan sangat berpengaruh pada kehidupannya kelak, konsumsi makanan, pskikis dan fisik ibu, kesehatan ibu dan pengetahuan ibu juga akan memiliki pengaruh dalam perwujudan buah hatinya kelak. Bila kita dihadapkan dengan pilihan mengenai anak, pasti kita akan berangan memiliki anak yang tidak memiliki kekurangan dalam hal apapun, tetapi pernahkah kita “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 55 membayangkan apabila kita dikaruniai anak dengan kemampuan minimal (difabel) atau kemampuan yang tidak selayaknya diperoleh anak disesuaikan dengan usia. World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10) mendefinisikan autisme khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang (World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10) (American Psychiatric Association, h. 75, 2000). Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan. Awal tahun1990-an, kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 : 2.000 kelahiran.(Synopsis of Psychiatry). Di Amerika Serikat pada th 2000 angka ini meningkat menjadi 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita autisme (Sutism Research Institute). Di Inggris, datanya lebih mengkhawatirkan. Data terakhir dari CDC (Center for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat pada tahun 2002 juga menunjukkan prevalensi autisme yang semakin membesar, sedikitnya 60 penderita dalam 10.000 kelahiran. Berdasarkan data International Congress on Autismem tahun 2006 tercatat 1 dari 150 anak punya kecenderungan autisme. Pada tahun yang sama data dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat menyebut, prevalensi penyandang autisme di beberapa negara bagian adalah 1 dari 88 anak usia 8 tahun. Sedangkan data tahun 2014 tentang angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68 kelahiran hidup anak.( Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network, 2014) Betty Neuman (dalam, Marriner-Tomey, 1994) mengubah istilah holistik menjadi holistik yang makna dan pengertiannya sama, yaitu memandang manusia (klien) sebagai suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling mempengaruhi dan berinteraksi secara dinamis. Bagian-bagian tersebut meliputi fisiologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual. Perubahan istilah tersebut untuk meningkatkan pemahaman terhadap manusia secara keseluruhan.( Marriner-Tommey, A., 1994) Kozier (1995), mengemukakan bahwa dalam holistik, memandang semua kehidupan organisme sebagai interaksi. Gangguan pada satu bagian akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Dengan kata lain adanya gangguan pada salah satu bagian akan menimbulkan dampak pada keseluruhan.( Kozier, E.B, Erb, G. L, et. All, 1995) Keperawatan dengan caring bio, psiko, sosio, kultural dan psikososial tentunya tidak terlepas dari konsep holistik, dengan tidak mengesampingkan keseluruhan sistem caring, maka perkembangan terbaru di sistem kesehatan dalam ranah keperawatan adalah pemanfaatan terapi komplementer. Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya (Snyder, M. & Lindquist, R., 2002). Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional (Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C., 2004). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Snyder, M. & Lindquist, R., 2002). Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson, P.H., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 56 menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan. Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C., 2004). Berdasar pembagian NCCAM (National Center for Complementary and Alternative Medicine) terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi yang nantinya akan peneliti manfaatkan untuk alternatif terapi autisme masuk pada ranah terapi biologi, dengan cara kerja adalah memanfaatkan zat yang ditemukan di alam.( Mariah Snyder, PhD, RN, & Ruth Lindquist, PhD, RN, ACNS-BC, FAAN, FAHA., 2010) Salah satu keuntungan menggunakan terapi ini adalah terdapat pengalaman sensorik dalam mencerna bau dan menggunakan sentuhan dalam penyampaian perawatan.( Libster, M., 2002) Aromaterapi bekerja melalui proses penghirupan aroma, selanjutnya berjalan ke olfaktori dan diteruskan ke sisitem limbik, dimana di dalam sisitem limbik dia bereaksi dengan korteks serebral yang punya peranan terhubung langsung ke bagian-bagian otak yang mengendalikan detak jantung, tekanan darah, pernapasan, tingkat stres, dan tingkat hormon.( Kiecolt-Glaser, J., Graham, J., Malarkey, W., Porter, K., Lemeshow, S., & Glaser, R., 2007) Sedangkan penyerapan melalui kulit adalah dengan difusi, epidermis dan lapisan lemak bertindak sebagai reservoir sebelum komponen minyak esensial mencapai dermis dan aliran darah. Secara topikal minyak esensial diserap dengan cepat melalui kulit; dalam beberapa aplikasinya telah digunakan untuk meningkatkan penetrasi dermal untuk obat-obatan.(Williams, A., & Barry, B., 1989). Paparan diatas menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan literature review apakah ada pengaruh aromaterapi dalam penanganan anak dengan autisme? Tujuan Archana Kumari, Sumeet Mansingh, and Prithvi Perepa, 2006., melakukan penelitian dengan judul “Effects of aromatherapy on the development of communication skills in children with autism” tujuannya yaitu mengetahui apakah aromaterapi bsa untuk mengatasi masalah komunikasi pada anak autis. Intervensi dilakukan dengan menggunakan diffuser aromaterapi lavender selama 15-20 menit 3x dalam satu minggu dan dilakukan dalam 4 bulan. Hasil yang peneliti dapatkan, sampel mempertahankan perhatian lebih dari waktu biasanya, tenang, interaksi dengan peneliti dengan kemauan mengulang tindakan peneliti, mengikuti petunjuk dan keinginan mengulang sesi aromaterapi. Selanjutnya penelitian Emily J. Laconic. 2014, “ Health Professionals’ Use of Aromatherapy with Children and Adolescents with Mental Illness”. Penelitian ini menggunakan sampel praktisi kesehatan yang menangani kesehatan mental pada anak dan remaja, diharapkan terjadi perubahan sikap pada anak autis, lebih tenang dan rileks dalam sesi pengajaran. Tim I. Williams. 2006, juga melakukan penelitian dengan judul “Evaluating Effects of Aromatherapy Massage on Sleep in Children with Autism: A Pilot Study”. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek aromaterapi dalam onset tidur stabil anak autis. Heather Godfrey BSc (Joint Hons), PGCE, MIFA. 2009, juga melakukan kajian serupa dengan judul “The Role of Essential Oils In The Treatment and Management of Aattention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD)”, tujuannya adalah mengurangi hiperaktifitas dan meningkatkan perhatian untuk anak dengan kebutuhan khusus ADHD. Terakhir adalah Cynthia C. Woo and Michael Leon. 2013, “Environmental Enrichment as “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 57 an Effective Treatment for Autism: A Randomized Controlled Trial ”, dengan harapan sensorimotor anak autis akan meningkat setelah diberikan perlakuan aromatherapi. Metoda Metode yang digunakan dalam penulisan dan pembahasan literature review ini adalah metode Evidence-Based Practice (EBP). EBN merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan pada evidence atau fakta hasil penelitian. EBN ini dilakukan dengan melakukan penelusuran jurnal, publikasi lembaga ahli, maupun hasil penelitian tesis ataupun disertasi yang berkaitan dengan topik pemanfaatan aromaterapi untuk anak autis. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Critical Apprasial Tools yang menyesuaikan apakah penelitian kualitatif atau kuantitatif dan ditemukan level evidence jurnla tersebut. Sintesis dilakukan pada artikel yang sejenis yang sudah dikelompokkan untuk dibahas dan memperoleh kesimpulan. Hasil Pemanfaatan aromaterapi untu anak autis dengan masalah utama komunikasi didapatkan hasil gangguan Asperger, terdapat perbaikan dalam mempertahankan perhatian, tetapi tidak konsisten. Gangguan Perkembangan Menurun, perhatian pada objek meningkat menjadi 30 detik. Sindrom Rett, terjadi peningkatan pehatian dan konsentrasi dan juga terdapat peningkatan dalam penggunaan kontak mata, dan hasil selanjutnya gangguan Disintegrasi Anak menjadikan anak tersebut menemiliki waktu yang lebih untuk fokus pada satu kegiatan. Berikutnya adalah masalah anak autis dengan gangguan mental, hasilnya yakni menjadikan klien lebih rileks dan tenang. Anak autis dengan gangguan tidur diperoleh hasil bahwa aromaterapi tidak memberikan efek pada pola tidur. Anak autis dengan karakteristik ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) terbukti dapat mengurangi hiperaktifitas dan meningkatkan perhatian setelah penggunaan aromaterapi. Juga untuk anak autis berusia 3-12 tahun didapatkan jikalau aromaterapi dapat meningkatkan senorimotor anak. Pembahasan Pemanfaatan aromaterapi dalam mengatasi 5 masalah utama pada anak autis yakni, Gangguan Autistik, Gangguan Asperger, Gangguan Perkembangan Menurun, Sindrom Rett, dan Gangguan Disintegrasi Anak terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan, meskipun dalam satu gangguan tidak bisa teratasi, mengenai hal ini anggapan peneliti adalah usia sampel yang diambil dalam penelitian, karena gangguan autistik timbul pada anak autis usia dibawah 3 tahun dan seluruh sampel pada penelitian ini adalah anak dengan usia 3 tahun atau lebih, selanjutnya adalah mengenai jenis essensial oil yang dimanfaatkan dalam aromaterapi untuk anak autis, sebagai contoh pemanafaatan essensial oil lavender, dengan harga yang relatif mahal perlu pengkajian ulang mengenai jenis essensial oil bumi Indonesia untuk pengganti lavender Kesimpulan Daya aromaterapi dalam penanganan autis didasarkan pada mekanisme alamiahnya bahwa terdapat pengalaman sensorik dalam mencerna bau dan menggunakan sentuhan dalam penyampaian perawatan. Aromaterapi bekerja melalui proses penghirupan aroma, selanjutnya berjalan ke olfaktori dan diteruskan ke sisitem limbik, dimana di dalam sisitem “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 58 limbik dia bereaksi dengan korteks serebral yang punya peranan terhubung langsung ke bagian-bagian otak yang mengendalikan detak jantung, tekanan darah, pernapasan, tingkat stres, dan tingkat hormon. Sedangkan penyerapan melalui kulit adalah dengan difusi, epidermis dan lapisan lemak bertindak sebagai reservoir sebelum komponen minyak esensial mencapai dermis dan aliran darah. Mengenai mekanisme penggunaanya dapat disesuaikan dengan kondisi klien, apakah cukup dengan membaui aromanya atau jiga perlakuan pijatan dengan menggunakan essensial oil aromaterapi, perlu juga untuk mengetahuikrakteristik klien, dan bisa dimulai dari usia berlanjut ke keluhan sehingga bisa optimal dalam bekerja, selanjutnya adalah jenis essensial oil yang akan digunakan dengan harapan harga terjangkau, efek maksimal. DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Association, h. 75, 2000. Diagnostic and Statictical Manual-IV Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., & Johnson, P.H. (1999). Nurse’s handbook of alternative and complementary therapies. Pennsylvania: Springhouse. Archana Kumari, Sumeet Mansingh, and Prithvi Perepa. Effects of aromatherapy on the development of communication skills in children with autism. Paper presented at „Unravelling autism: causes, diagnostics and intervention conference, New Delhi, India (2006) Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network. 2014. Community Report on Autism. National Center on Birth Defects and Developmental Disabilities. Division of Birth Defects and Developmental Disabilities. Cynthia C. Woo and Michael Leon. Environmental Enrichment as an Effective Treatment for Autism: A Randomized Controlled Trial. 2013 American Psychological Association Kiecolt-Glaser, J., Graham, J., Malarkey, W., Porter, K., Lemeshow, S., & Glaser, R. (2007). Olfactory influences on mood and autonomic, endocrine, and immune function. Psychoneuroendocrinology, 11(15), 765–772). Kozier, E.B, Erb, G. L, et. All. Fundamental of Nursing: Concept, Process and Practice. 5 th ed. California: Addison-Wesley Publ. 1995. Laconic, Emily J., "Health Professionals’ Use of Aromatherapy with Children and Adolescents with Mental Illness" (2014).Master of Social Work Clinical Research Papers. Paper 349. http://sophia.stkate.edu/msw_papers/349 Libster, M. (2002). Delmar’s integrative herb guide for nurses. Victoria, Australia: Delmar Thompson Learning. Mariah Snyder, PhD, RN, & Ruth Lindquist, PhD, RN, ACNS-BC, FAAN, FAHA. 2010. Complementary & Alternative Therapies in Nursing. Sixth Edition Springer. Publishing Company, LLC. New York. Marriner-Tommey, A. Nursing Theorist and Their Work, 3rd ed. St. Louis: Mosby Company. 1994. Publications (8) The Role of Essential oils in the Management of ADHD: Heather Godfrey©/2001 – revised 2009 / One Clinic© Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C. (2004). Clinical nursing skills: Basic to advanced skills. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Snyder, M. & Lindquist, R. (2002). Complementary/alternative therapies in nursing. 4th ed. New York: Springer. Tim I. Williams. Evaluating Effects of Aromatherapy Massage on Sleep in Children with Autism: A Pilot Study. Advance Access Publication 19 April 2006 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 59 Williams, A., & Barry, B. (1989). Essential oils as novel skin penetration enhancers. International Journal of Pharmaceutics, 57, R7–R9. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 60 FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEGAGALAN DAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN PADA PASIEN TUBERCULOSIS PARU Erika Dewi Noorratri Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro, Semarang. Email : [email protected] Abstrak Latar Belakang. TBC merupakan penyakit yang menular dan mematikan di dunia.Evaluasi WHO selama 3 tahun dari 2008,2009,2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria (WHO, 2009). Banyak faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan tbc di Indonesia. Diantaranya dilihat dari segi sosial ekonomi, gaya hidup, obat, jangkauan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan,dan lingkungan. Oleh karena itu , sistematik review ini akan mengulas tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis paru. Tujuan. Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru. Metode. Metode yang digunakan adalah metode sistematis review yang menggunakan beberapa jenis artikel ilmiah seperti jurnal penelitian kuantitatif dan kualitatif , terkait dengan tujuan dan pertanyaan penelitian. Kemudian artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil kemudian dianalisa. Hasil. Faktor yang paling dominan mempengaruhi ketidakpatuhan dengan obat antara pasien TB paru adalah pendidikan, sedangkan faktor yang tidak mempengaruhi ketidakpatuhan dengan obat adalah umur, jenis kelamin, kualitas layanan, dukungan dari obat mengambil pengawas dan jarak dari rumah ke pusat kesehatan (Erni Erawatyningsih, dkk, 2009). Pasien yang mempunyai keluhan efek samping OAT berisiko sebesar 4,07 kali untuk default dibandingkan pasienyang tidak mempunyai keluhan OAT.Diketahui juga terdapat beberapa faktor risiko lain yang berpengaruh sebagai konfounder terhadap hubungan antara efek samping OAT dengan terjadinya default tersebut yaitu penyakit penyerta, jenis obat dan carabayar.(Samsu Rian, 2010). Pasien 42% gagal yang diberikan regiman pengobatan.(Nagaraja SB, Srinath Satyanarayana, et al,2011),hasil yang paling banyak yaitu program yang didapatkan praktisi mandiri mendapatkan informasi tentang pengobatan yang diobservasi secara langsung short-course (DOTS) strategy. (Putra I W. Ni Wayan Utami. et al, 2013).dan pasien 93% diterima pada regimen standard kategori 2. (Dooley KE, Ouafae Lahlou, at al, 2011) Kesimpulan : Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis paru diantaranya pendidikan, adanya penyakit penyerta, jenis obat dan cara bayar. Kata Kunci : kegagalan, OAT, TBC paru “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 61 Pendahuluan TBC merupakan penyakit yang menular dan mematikan di dunia.Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis. Evaluasi WHO selama 3 tahun dari 2008,2009,2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Indonesia masih termasuk 10 besar negara dengan beban permasalahan TB terbesar dari 22 negara di dunia. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria (WHO, 2009). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia. Setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang.Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun.Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Adapun kendala yang dihadapi yaitu Komitmen dan kontribusi pemerintah daerah terhadap pengendalian TB, Masih ada populasi tidak terjangkau (wilayah Indonesia Timur, penjara, pendatang di kota besar, dan populasi dengan risiko tinggi HIV), Peningkatan jumlah jaringan laboratorium untuk biakan dan uji kepekaan di pulau lain selain Jawa dan EQA, Pengenalan metode diagnostik baru (LPA, Xpert MTB/RIF) dan integrasi ke dalam sistem, Pengembangan aktivitas kolaboratif mengenai TB/HIV untuk mencakup provinsi lain, Mencegah habisnya obat lini pertama dan lini kedua. Cakupan penemuan kasus TB baru BTA (+) atau Case Detection Rate (CDR) di Jawa Tengah tahun 2006 s/d 2010 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 100%. Meskipun masih dibawah target yang ditentukan, capaian CDR tahun 2010 sebesar 23.922 kasus (69,04%) meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 (48,15%). CDR tertinggi di Kota Tegal sebesar 111,58% dan yang terendah di Kota Salatiga sebesar 30,60%. Terdapat tiga kabupaten/kota yang sudah melampaui target 100% yaitu Kota Tegal (111,58%), Kota Pekalongan (105,96) dan Kabupaten Pekalongan (100,89%). Penyakit TBC masih banyak diderita oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Baik itu dari penderita maupun lingkungan di sekitarnya. Salahsatunya faktor dari bagaimana pengobatan penderita TBC. Sesuai dengan aturan dan petunjuk yang diberikan atau tidak, atau ada faktor yang lain yang mempengaruhi dan sampai sekarang ini diketahui belum berhasil dalam pengobatannya. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis paru”. Tujuan a. Tujuan Umum Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru. b. Tujuan Khusus 1) Mengidentifikasi karakteristik responden tentang umur , pendidikan, pekerjaan, pendapatan. 2) Mengidentifikasi kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan tbc paru. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 62 3) Menganalisa faktor-faktor yang paling dominan terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru. Metoda Dalam sistemik review ini , metode yang digunakan adalah campuran metode sistematis review, semacam tinjauan literatur yang menggunakan beberapa jenis artikel ilmiah seperti jurnal penelitian kuantitatif dan kualitatif , terkait dengan tujuan dan pertanyaan penelitian. Kemudian artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil kemudian dianalisa. Systematic review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi pada EBSCO, Googlesearch, proquest.com serta Sciencedirect.com dengan kata kunci yang dipilih. Artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil salah satunya dan dianalisa. Penelusuran literatur dibatasi pada terbitan 2005-2015 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf.Artikel yang dipilih adalah hasil penelitian yang berupa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pasien tuberculosis paru.Adapun topik yang dipilih adalah Artikel yang sesuai kriteria lalu dianalisis menggunakan critical appraisal tool yang sesuai untuk hasil penelitian kuantitatif untuk menilai kualitas penelitian.Data-data dari hasil temuan yang sudah dianalisis kemudian diekstraksi dan dikelompokkan yang sejenis kemudian data-data yang sudah diekstraksi tadi dilakukan triangulasi, dibahas dan disimpulkan untuk menjawab tujuan. Ada 6 artikel yang dilakukan sistematik review. Yaitu : 1. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas Antang Kecamatan Manggala kota Makassar. Pada tahun 2012 2. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian Default di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur Januari 2008- Mei 2010. Pada tahun 2010 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat pada Penderita Tuberculosis. Pada tahun 2009 4. Factors associated to referral of tuberculosis suspects by private practitionersto community health centres in Bali Province, Indonesia. Pada tahun 2013 5. How Do Patients Who Fail First-Line TB Treatment but Who Are Not Placed on an MDRTB Regimen Fare inSouth India? Pada tahun 2011 6. Risk factors for tuberculosis treatment failure,default, or relapse and outcomes of retreatment in Morocco. Pada tahun 2011 Hasil 1. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas Antang Kecamatan Manggala kota Makassar. Pengetahuan seseorang tentang suatu penyakit dapat dihubungkan dengan kegagalan dalam pengobatan.responden yang memiliki pengetahuan yang kurang lebih banyak mengalamikegagalan pengobatan dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan yang baik dan ternyata pasien yang banyak mengalami kegagalan dalam pengobatannya adalah mereka yang pengatahuannya kurang. Menurut Brunner, bahwa pengetahuan tentang kesehatan dapat membantu individuindividu tersebutuntuk beradaptasi dengan penyakitnya, mencegah komplikasi, dan belajar untuk memecahkan masalah ketika menghadapi situasi baru. Semakin rendah pendidikan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 63 seseorang maka semakin rendah pula pengetahuannya tentang penyakit tuberkulosis, akan tetapi gagal atau berhasilnya pengobatan seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor dukungan keluarga. Pengobatan pasientuberkulosis yang disertai dengan dukungan penuh dari keluarga maka besar kemungkinan pasien tersebut akan sembuh dari penyakitnya, begitupula sebaliknya akan kecil kemungkinan untuk sembuh jika pengobatan dari pasien tidak disertai dengan dukungan keluarga terutama dalam hal minum obat. Pengetahuan penderita tuberkulosis tentang penyakitnya jugamerupakan faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis sebab pengetahuan yang baik tentang penyakit yang diderita akan membuat penderita tahu apa-apa yang harus dilakukan dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan sehingga dapat membantu petugas kesehatan dalam memberantas. Penelitian oleh Sulianti (2001) menyatakan bahwa lamanya waktu pengobatan penyakit tuberkulosis yang harus dilakukan selama 6 bulan, mungkin saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Tetapi bagi penderita yang memiliki pengetahuan yang cukup akan terhindar dan sembuh dari penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur. 2. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian Default di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur Januari 2008- Mei 2010 Pengobatan yang tidak tuntas dapat mengakibatkan menurunnya sensitifitas kuman terhadap jenis obat yang telah diberikan (resisten). Hal ini merupakan faktor penyulit bagi proses penyembuhan pada tahap berikutnya selain tingginya biaya yang harus dikeluarkan sehingga banyak penderita TB tidak dapat disembuhkan dan berakhir dengan kematian. Berdasarkan kerangka teori yang ada, banyak sekali faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya default, namun pada penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada satu faktor risiko saja yaitu efek samping OAT Setelah dilakukan pengontrolan terhadap variabelvariabel umur, penyakit penyerta, jenis obat, cara ambil obat, keberadaan PMO, jenis PMO, pendidikan PMO, cara bayar dan penyuluhan kesehatan, pada model akhir dalam analisis multivariat ditemukan tiga variabel konfounding yang mempengaruhi hubungan antara efek samping OAT dengan terjadinya default, yaitu penyakit penyerta, jenis obat dan cara bayar. Hubungan antara efek samping OAT dengan default setelah mengontrol variabel lainnya tersebut di atas terlihat sangat bermakna artinya pasien yang mempunyai keluhan efek samping OAT berisiko 4,07 untuk mengalami default dibandingkan dengan pasien yang tidak mempunyai keluhan efek samping OAT setelah dikontrol oleh faktor penyakit penyerta, jenis obat dan cara bayar. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, misalnya pada penelitian Tekle et al di Ethiophia tahun 2002 didapatkan OR 4,20 (95%CI: 1,51 – 11,66), dan penelitian di India tahun 2000 yang dilakukan oleh Santha et al diketahui OR sebesar 4,3 (95%CI: 2,5 – 7,4), demikian halnya hasil penelitian di China tahun 2005 yang dilakukan oleh Xiangin eta al yang membagi efek samping OAT ke dalam tiga kategori yaitu ringan, sedang dan berat. Masing- masing OR untuk efek samping OAT tersebut pada derajat kepercayaan 95% adalah 2,32 (1,15-4,66) dan 4,47 (2,46-8,12) dan beberapa penelitian lainnya yang menyimpulkan bahwa efek samping OAT sebagai salah satu penyebab default dalam program pengobatan TB paru. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat pada Penderita Tuberculosis. a) Pengaruh jenis kelamin terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 64 Laki-laki lebih rentan terkena penyakit TB paru. Hal ini disebabkan karena beban kerja mereka yang berat, istirahat yang kurang, serta gaya hidup yang tidak sehat di antaranya adalah merokok dan minum alkohol. Beberapa penelitian mengkonfirmasikan bahwa tingkat kepatuhan tidak mempunyai hubungan bermakna dengan jenis kelamin, dan dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa mayoritas penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki (54,2%), jadi dapat dikemukakan bahwa hal ini disebabkan karena laki-laki kurang memperhatikan kesehatannya dan gaya hidup yang tidak sehat. Penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih patuh berobat dibandingkan dengan wanita.8 Menurut beberapa teori mengatakan bahwa wanita lebih banyak melaporkan gejala penyakitnya dan berkonsultasi dengan dokter karena wanita cenderung memiliki perilaku yang lebih tekun daripada laki-laki. b) Pengaruh umur terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru Faktor umur bukan merupakan faktor penentu ketidakpatuhan penderita dalam pengobatan karenamereka yang berusia muda maupun usia lanjut memiliki motivasi untuk hidup sehat dan selalumemperhatikan kesehatannya. Di samping itu, pekerjaan yang tidak terlalu sibuk membuatpenderita tetap dapat menjalankan pengobatan dan sebagian besar penderita bekerja sebagai petani.Beberapa penelitian mengkonfirmasikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umurdengan kepatuhan berobat. Umur tua kepatuhan berobatnya semakin tinggi karena usia tua tidakdisibukkan dengan pekerjaan sehingga dapat datang berobat secara teratur. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh beberapa peneliti yang menyatakan bahwa umur tidakberpengaruh terhadap tindakan seseorang karena adanya faktor perantara seperti sikap seseorang dan faktor lain yang mempengaruhi kehendak seseorang. c) Pengaruh pendidikan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru Semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tidak patuh penderita untuk berobat karena rendahnya pendidikan seseorang sangat mempengaruhi daya serap seseorang dalam menerima informasi sehingga dapat mempengaruhi tingkat pemahaman tentang penyakit TB paru, cara pengobatan, dan bahaya akibat minum obat tidak teratur. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh beberapa peneliti lain bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka makin besar kemampuan untuk menyerap, menerima atau mengadopsi informasi. Penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pendidikan penderita TB paru dengan kepatuhan berobat yang disebabkan karena kurangnya informasi yangditerima penderita, sehingga penderita tidak banyak mengetahui tentang bahaya penyakit TB tersebut. d) Pengaruh pengetahuan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru Ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan terhadap ketidakpatuhan berobat. Semakin rendah pengetahuan maka semakin tidak patuh penderita TB paru untuk datang berobat, hubungan ini memiliki nilai koefisien korelasi positif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fahruda yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang rendah akan berisiko lebih dari dua kali terjadi kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita yang memiliki pengetahuan tinggi. Ketidakpatuhan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 65 talaksana pengobatan ini meliputi keteraturan pengobatan, pemeriksaan dahak ulang pada akhir pengobatanfase awal dan satu bulan sebelum akhir pengobatanfase lanjutan.Begitu pula yang dijelaskan oleh penelitian lainnya, bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan penderita dengan kepatuhan pengobatan, menyatakan bahwa rendahnya pengetahuan penderita menyebabkanketidakpatuhan penderita dalam pengobatan karena penderita kurang mendapatkan penyuluhan dan informasi (KIE) yang adekuat baik dari petugas kesehatan maupun media komunikasi lainnya. e) Pengaruh pendapatan keluarga terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru Ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan keluarga terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru. Pendapatan keluarga yang sangat rendah dapat menentukan ketidakpatuhan penderita berobat dengan nilai p= 0,001 (p < 0,05). Penderita TB paru yang paling banyak terserang adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dalam pengobatan TB paru selain penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, mereka masih harus mengeluarkan biaya transport untuk berobat di Puskesmas. Hal ini yang menyebabkan penderita tidak patuh dalam pengobatan. Beberapa penelitian mengkonfirmasikan hasil yang sama dengan penelitian ini yangmemperlihatkan ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan penderita dengan pendapatankeluarga. f) Pengaruh lama sakit keluarga terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TBparu Ada pengaruh yang signifikan antara lama sakit terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif bermakna, artinya semakin lama keluhan yang diderita penderita maka akan semakin tidak patuh untuk datang berobat. Hal ini disebabkan karenakondisi kesehatan penderita yang lemah, gizi yang kurang dan keparahan penyakit yang diderita. Beberapa penelitian mengkonfirmasikan hasil yang sama dengan penelitian ini yang memperlihatkan ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan penderita dengan kondisi penyakit bahwa penderitamemutuskan menghentikan pengobatan secara sepihak meskipun belum terjadi konversi dahak. g) Pengaruh efek samping obat terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Ada pengaruh yang signifikan antara efek samping obat terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan hubungan negatif bermakna artinya semakin penderita memiliki banyak keluhan semakin tidak patuh penderita untuk berobat.Pada umumnya gejala efek samping obat yang ditemukan pada penderita adalah sakit kepala, mual-mual, muntah, serta sakit sendi tulang.Gejala efek samping obat dapat terjadi pada fase intensif atau awal pengobatan bahwa obat yang harus diminum penderita jumlah banyak sehingga membuat penderita malas untuk minum obat. h) Pengaruh kualitas pelayanan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kualitas pelayanan petugas pengobatan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru, dengan demikian bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru di antaranya pengetahuan, pendidikan, lama sakit, pendapatan keluarga, dan efek samping obat. Kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas terhadap penderita tidak mempengaruhi ketidakpatuhan berobat padapenderita TB paru.Hal ini disebabkan karena petugas kesehatan memberikan perhatian khususserta memberikan informasi “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 66 yang jelas sehingga dapat menyebabkan baiknya hubungan dengan setiap penderita TB paru yang datang ke Puskesmas. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh beberapa penelitian lain yang mengatakan bahwa sikap petugas tidak mempengaruhi kepatuhan penderita untuk berobat karena bahwa sikap dan perilaku petugas kesehatan sudah cukup baik dalam memberikan pelayanan pengobatan pada penderita, karena petugas telah mengikuti pelatihan teknis program dan penanggulangan penyakit TB paru. i) Pengaruh peran PMO terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru Tidak ada pengaruh yang signifikan peran PMO terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru. Dalam penelitian ini bahwa faktor peran PMO dalam pengobatan penderita tidak ada pengaruh yang signifikan, karena setiap penderita TB paru telah memiliki PMO dan peran PMO sudah maksimal dalam pengawasan pengobatan.Dalam pengawasan pengobatan, petugaskesehatan harus mengikutsertakan keluarga sebagai pengawas pengobatan agar penderita dapat berobat secara kontinyu.Dukungan masyarakat dan keluarga sebagai pengawas dan pemberi semangat kepada penderita mempunyai peran yang sangat besar dalam peningkatan pengobatan penderita.Beberapa penelitian mengatakan sumbangan terbesar dari seluruh variabel terhadap kepatuhanada pada dukungan keluarga. Beberapa penelitian juga mengkonfirmasikan bahwa penderita yang menjalani pengobatan secara tidak teratur 50% di antaranya tidak mempunyai PMO dan penderita TB paru yg berobat tidak teratur memiliki risiko tidak sembuh 6,91 kali. Hal ini menunjukkan bahwa peran PMO masih sangat rendah dalam pengawasan menelan obat dan kontrol secara teratur. j) Pengaruh jarak rumah terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru Tidak ada pengaruh yang signifikan antara jarak rumah terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak rumah untuk menjangkau fasilitas kesehatan atau puskesmas bukan merupakan faktor penentu ketidakpatuhan penderita dalam pengobatan. 4. Factors associated to referral of tuberculosis suspects by private practitionersto community health centres in Bali Province, Indonesia . Dari studi ini menunjukkan bahwa dari beberapa faktor yang diteliti didapatkan hasil yang paling banyak yaitu program yang didapatkan praktisi mandiri mendapatkan informasi tentang pengobatan yang diobservasi secara langsung short-course (DOTS) strategy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian informasi tentang strategi DOTS danrujukan dari penderita TB yang penting yaitu untuk meningkatkan rujukan dari penderita TB oleh praktisi swasta ke pusat-pusat kesehatan masyarakat.penderita TB yangtelah dikunjungi oleh petugas TB, telah menerima informasi tentang strategi DOTS, dan memiliki bentuk rujukan yang tersedia dari para praktisi yang tidak disebutkan oleh seorang penderita TB. Seorang petugas TB, ketika mengunjungi seorang praktisi swasta, diharapkan untuk mengingatkan praktisi tentang peran mereka dalam menemukan penderita TB dan tentang pentingnya mengirimkan penderita TB ke fasilitas kesehatan publik untuk evaluasi mikroskopis.Sebuah studi di Myanmar menyimpulkan bahwa faktor keberhasilan praktisi swasta ' kontribusi untuk pengendalian TB yang pelatihan dan pengawasannya oleh sektor publik dan penyediaan obat-obatan dan bahan habis pakai secara gratis oleh NTP. ( Probandari, 2011). Sebuah studi tentang proses kolaborasi antara NTP dan rumah sakit di Yogyakarta, Indonesia, mengungkapkan kemitraan yang dapatdibentuk jika dimulai dengan proses yang intensif interaksi termasuk perantara aktor (yaitu, orang mendekati “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 67 rumah sakit swasta dan advokasi program kemitraan) untuk mendekati NTP dan rumah sakit ( Chakaya, 2008). Penelitian lain dari berbagai negara dan pada benua yang berbeda menunjukkan bahwa keberhasilan proyek campuran publik-swasta sangat tergantung pada tingkat interaksi antara penyedia layanan kesehatan swasta dan publik ( Malborg, 2011; Maung, 2006). 5. How Do Patients Who Fail First-Line TB Treatment but Who Are Not Placed on an MDR-TB Regimen Fare inSouth India? Studi ini menunjukkan bahwa hasil pengobatan keseluruhan pasien yang gagal pengobatan anti-TB pada lini pertama dan yang tidak ditempatkan pada rejimen MDR-TB yang sangat buruk.Hasil terburuk terlihat di antara kategori I dan II kegagalan ditempatkan pada penafsiran suatu rejimen. Temuan memiliki program beserta implikasi. Pertama, hanya satu dari tiga pasien memiliki keberhasilan pengobatan pada saat RNTCP rejimen pengobatan ulang.Dengan demikian, terlepas dari obat pola sensitivitas, pasien yang gagal pada pengobatan lini pertama di India memiliki hasil pengobatan yang buruk jika terus pada 'pengobatan ulang rejimen '.Penelitian serupa telah didokumentasikan dari bagian lain dunia Kedua, dalam kondisi ideal, kegagalan dalam dikelola NTP harus jarang dengan tidak adanya MDR-TB. Terjadinya kegagalan umumnya terkait program faktor-faktor seperti kemiskinan, kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk. 6. Risk factors for tuberculosis treatment failure,default, or relapse and outcomes of retreatment in Morocco. Dalam penelitian ini dari 291 pasien yang menjalani pengobatan ulang TB, hasil berbeda jauh dengan kelompok - 74% pasien dengan kekambuhan, 48% pasien dengan gagal, dan 41% pasien dengan standar yang memiliki keberhasilan pengobatan, mirip dengan penelitian sebelumnya. Studi terbaru menunjukkan bahwa, di daerah perkotaan, kepatuhan terkait pengetahuan pasien tentang TB dan penyediaan pendidikan tentang penyakit yang khusus oleh penyedia perawatan kesehatan ke pasien(Mulenga C, 2010) Dalam klinik perkotaan yang padat, waktu untuk pendidikan bisa terbatas. Bawaan dari penafsiran itu yang paling sering di antara mereka yang telah gagal dari pengobatan awal, sedangkan kegagalan adalah yang paling umum di antara orang-orang dengan kegagalan sebelumnya. Meskipun pedoman penafsiran seringkali sama untuk pasien yang gagal, bawaan dari, atau kambuh setelah pengobatan awal. Hasil ini menunjukkan bahwa kelompok dapat mengambil manfaat dari strategi manajemen yang berbeda( Zignol, 2007) . Misalnya, kegagalan pengobatan umumnya karenaresistensi obat, sementara kekambuhan mungkin karena kurang kepatuhan, beban mikobakteri tinggi (seperti di cavitary penyakit), atau reinfeksi eksogen. Pembahasan Dari beberapa penelitian diatas, kita tahu bahwa faktor faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pasien tuberculosis ada beberapa faktor, diantaranya pengetahuan pasien, semakin tinggi pengetahuan akan pentingnya minum obat, maka semakin berhasilnya pengobatan tbc pada pasien tersebut. karena dia akan berobat secara teratur dan tuntas. Peran keluarga juga berpengaruh terhadap kepatuhana minum obat pasien tbc, semakin peduli dan memberikan dukungan yang penuh keluarga akan kesembuhan pasien , maka semakin sedikit prosentasi kegagalan pengobatannya. Pasien akan mengalami resistensi obat karena adanya sensitifitas kuman terhadap jenis obat tbc, apabila pasien melakukan pengobatan yang tidak penuh. Pasien malas untuk berobat selama 6 bulan pengobatan karena faktor biaya dan kejenuhan yang ada. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 68 Selain faktor diatas, ada beberapa faktor yang tidak akan ketinggalan, diantaranya jenis kelamin. Ternyata jenis kelamin juga mempengaruhi ketidakpatuhan minum obat seseorang. Dari penelitian diatas disebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki kurang memperhatikan kesehatannya dan gaya hidup yang tidak sehat.seperti merokok dan minum alkohol. Yang kedua yaitu faktor umur. Faktor umur bukan merupakan faktor penentu ketidakpatuhan penderita dalam pengobatan karenamereka yang berusia muda maupun usia lanjut memiliki motivasi untuk hidup sehat dan selalumemperhatikan kesehatannya. Ketiga faktor pendapatan keluarga, disebutkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah, cenderung untuk tidak patuh menjalani pengobatan, dikarenakan pendapatannya selain untuk kehidupan sehari-hari yang mungkin kurang, apalagi untuk berobat ke puskesmas misalnya. Itu perlu transportasi yang membutuhkan biaya. Selanjutnya faktor efek samping obat. Pasien yang menjalani pengobatan mengeluh adanya efek samping obat seperti mual, muntah, sakit sendi,dll Sehingga pasien malas untuk melanjutkan pengobatan, karena takut akan efek samping obat tersebut. Praktisi mandiri di pusat kesehatan masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam hal pengobatan pasien tbc. Di indonesia ada petugas khusus yang menangani masalah tbc. Di setiap puskesmas ada. Hal ini merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi angka kejadian penyakit tbc yang ada di masyarakat. Peran petugas kesehatan selain memberikan penyuluhan juga berperan sebagai PMO selain anggota keluarga pasien. Mengawasi minum obat pasien, meskipun tidak selalu disamping pasien. Di India, pasien dengan tbc ada yang berhasil dalam penyembuhan ada juga yang mengalami kegagalan. Terjadinya kegagalan umumnya terkait program faktor-faktor seperti kemiskinan, kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk.Faktor kemiskinan ini dimanamana ada, karena tidak ada biaya akan mempengaruhi dalam berbaga hal, seperti transportasi dan kepatuhan minum obat, kualitas obat yang buruk juga mempengaruhi kegagalan pengobatan tbc. Hal ini bisa membuat resisitensi obat. Kesimpulan Terjadinya kegagalan pengobatan tbc umumnya terkait dengan program faktor-faktor seperti kemiskinan, kepatuhan terhadap pengobatan atau kualitas obat yang buruk. Responden yang memiliki pengetahuan yang kurang lebih banyak mengalami kegagalan pengobatan dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan yang baik, pengobatan yang tidak tuntas dapat mengakibatkan menurunnya sensitifitas kuman terhadap jenis obat yang telah diberikan (resisten), Berdasarkan kerangka teori yang ada, banyak sekali faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya default,yaitu efek samping OAT, umur, penyakit penyerta, jenis obat, cara ambil obat, keberadaan PMO, jenis PMO, pendidikan PMO, cara bayar dan penyuluhan kesehatan, Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberculosis diantaranya pengaruh jenis kelamin, umur, pendidikan, pengetahuan, pendapatan keluarga, lama sakit, efek samping obat, kualitas pelayanan, peran PMO dan pengaruh jarak rumah terhadap ketidakpatuhan berobat. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 69 Daftar Pustaka WHO. Indonesia Tuberculosis Profile. 2011. Available on: https://extranet.who.int/sree/Reports?op=Replet&name=/WHO_HQ_Reports/G2/PROD/ EXT/TBCountryProfile&ISO2=ID&outtype=pdf Dinas Kesehatan Jawa Tengah.2010. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.Available on :http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/profil/2010/Profil2010.htm Erawatyningsih,Erna dkk. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada pasien tuberculosis. Berita kedokteran masyarakat vol.25 No 3 September 2009. Nusa Tenggara Barat Rian, Samsu. 2010. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian Default di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur Januari 2008- Mei 2010, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. Probandari A, Utarini A, Lindholm L, Hurtig A: Life of a partnership: the process ofcollaboration between the National Tuberculosis Program and the hospitals inYogyakarta, Indonesia.Soc Sci Med 2011, 73(9):1386–1394. Chakaya J, Uplekar M, Mansoer J, et al: Public-private mix for control of tuberculosisand TB-HIV in Nairobi, Kenya: outcomes, opportunities and obstacles. Int J TubercLung Dis 2008, 12(11):1274–1278. Malmborg R, Mann G, Squire SB: Systematic assessment of the concept and practiceof public-private mix for tuberculosis care and control. Int J Equity Health 2011, 10:49. Maung M, Kluge H, Aye T, et al: Private GPs contribute to TB control in Myanmar:evaluation of a PPM initiative in Mandalay Division. Int J Tuberc Lung Dis 2006,10(9):982–987. Xiangin Ai, et al. Factors associated with low cure rate of tuberculosis in remotepoor areas of shaanxi Province, China: a case control study. Biomedcentral,2010. Artikel asli dapat diakses pada http://www.biomedcentral.com/1471-2458/10/112 Rusadi, Matrisno dkk. 2012. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas Antang Kecamatan Manggala kota Makassar.Volume 1 Nomor 1 tahun 2012. ISSN : 2302-2531. Makassar Nagaraja SB, Srinath Satyanarayana, et al. (2011). How Do Patients Who Fail First-Line TB Treatment but Who Are NotPlaced on an MDR-TB Regimen Fare in South India? .PLoS ONE 6(10): e25698. doi:10.1371/journal.pone.0025698. Madhukar Pai, McGill University, Canada Putra I W. Ni Wayan Utami. et al. (2013). Factors associated to referral of tuberculosis suspects by private practitionersto community health centres in Bali Province, Indonesia. BMC Health Services Research. BioMed sentral.The open access publiser. doi:10.1186/1472-6963-13-445 Dooley KE, Ouafae Lahlou, at al. (2011). Risk factors for tuberculosis treatment failure,default, or relapse and outcomes of retreatmentin Morocco.Dooley et al. BMC Public Health 2011, 11:140.http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/140 . BMC Public Health Mulenga C, Mwakazanga D, Vereecken K, Khondowe S, Kapata NShamputa IC, Meulemans H, Rigouts L: Management of pulmonarytuberculosis patients in an urban setting in Zambia: a patient’sperspective. BMC Public Health 2010, 10:756 World Health Organization: Treatment of tuberculosis. Guidelines for nationalprogrammes. WHO/CDS/TB/2003.313. Geneva, Switzerland , 3 2003.Ottmani SE, Zignol M, Bencheikh N, Laasri L, Chaouki N, Mahjour J: Resultof cohort analysis by category of tuberculosis retreatment cases inMorocco from 1996 to 2003. Int J Tuberc Lung Dis 2006, 10(12):1367-1372. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 70 Mak A, Thomas A, Del Granado M, Zaleskis R, Mouzafarova N, Menzies D:Influence of multidrug resistance on tuberculosis treatment outcomeswith standardized regimens. Am J Respir Crit Care Med 2008,178(3):306-312. Zignol M, Wright A, Jaramillo E, Nunn P, Raviglione MC: Patients withpreviously treated tuberculosis no longer neglected. Clin Infect Dis 2007,44(1):61-64 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 71 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA Nurul Devi Ardian Mahasiswa Magister Keperawatan Komunitas Universitas Diponegoro Semarang. Email: [email protected] Abstrak Latar Belakang. Remaja merupakan tahapan dimana seseorang berada diantara fase anak dan dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan emosi. Remaja merupakan kelompok beresiko terhadap berbagai masalah kesehatan di masyarakat, salah satunya terkait dengan perilaku seksual. Proporsi penduduk berusia remaja menunjukkan angka yang cukup besar. lebih dari seperempat penduduk dunia adalah remaja berusia antara 10-24 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 500 responden mahasiswa di Semarang, 31 orang (6,2%) menyatakan pernah melakukan intercourse, 111 orang (22%) pernah melakukan petting. Penelitian lain menyebutkan bahwa kebiasaan pacaran mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di semarang yaitu kissing 43%, necking 17%, petting 15%, dan sebanyak 5% mengaku pernah melakukan intercourse (hubungan seksual) pranikah. Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja Metode. Penulis melakukan pencarian literature/ jurnal di google scholar terkait dengan tema perilaku seksual remaja dengan format pdf. Kata kunci yang digunakan adalah perilaku seksual remaja, perilaku seksual pranikah pada remaja, faktor perilaku seksual remaja dari tahun 2010-2014. Setelah mendapatkan jurnal yang sesuai dengan tema diatas kemudian dilakukan identifikasi sesuai dengan topik kemudian dilakukan review dan dilaporkan hasilnya pada makalah yang akan disusun. Hasil. Dari hasil studi literature didapatkan hasil bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi terjadinya perilaku seksual pada remaja. Faktor internal antara lain: aspek perkembangan alat seksual (biologis), religiusitas yang rendah, rasa percaya diri dan penghargaan diri yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang kurang, serta aspek motivasi, sedangkan dari faktor eksternal antara lain: aspek keharmonisan keluarga, tempat tinggal beresiko, aspek pergaulan, gaya hidup, dukungan sosial terhadap hubungan seksual pranikah yang beresiko KTD, dan aspek media massa. Kesimpulan. Remaja yang memiliki sikap lebih permisif terhadap masalah seksualitas akan cenderung melakukan hubungan seksual pranikah, hal ini dicegah dengan meningkatkan self efficacy pada diri remaja tersebut. Perlu adanya upaya khusus agar pengetahuan remaja meningkat tentang perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab, mengurangi "tabu" terhadap seksualitas, meningkatkan efikasi diri terhadap perilaku seksual pranikah yang pada akhirnya dapat mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab pada kehidupan seksualnya. Remaja hendaknya dapat menekan perilaku seksual pranikah dan menjauhi media pornografi sehingga bisa mengendalikan dorongan negative dan mengubah kearah positif. Kata Kunci: Perilaku Seksual, Remaja, faktor internal, faktor eksternal Pendahuluan Remaja indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya hidup mereka. Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya serta nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 72 industrialisasi yang cepat. Hal ini diikuti pula oleh adanya revolusi media yang terbuka bagi keragaman gaya hidup dan pilihan karir. Perilaku seksual pada remaja semakin meningkat frekuensinya seiring dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi sehingga diperlukan perhatian khusus dari semua pihak baik dari orang tua, lingkungan, sekolah serta teman dekat. Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang penting bagi tahap kehidupan selanjutnya. Pada umumnya remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi untuk mencoba sesuatu yang baru dan belum pernah dialaminya. Kurangnya informasi yang akurat tentang kesehatan reproduksi menjadikan remaja untuk mencaritahu mencari akses sendiri baik dari media cetak, media internet, pengalaman teman sebaya, dan yang lainnya. Remaja merupakan kelompok beresiko secara seksual maupun kesehatan reproduksi karena rasa keingintahuaanya yang tinggi untuk mencoba sesuatu yang baru. Perkembangan jaman saat ini sangat mempengaruhi perilaku seksual remaja dalam memandang seksualitas, mulai dari berpacaran yang dahulu dianggap tabu sekarang sudah banyak remaja yang tidak mempunyai rasa malu dalam menunjukkan sikap berpacaran di khalayak umum misal berpegangan tangan sampai anggapan bahwa pacaran itu sesuatu yang harus dilakukan pada masa remaja dengan alasan masa remaja tidak akan terulang dua kali, malu dengan teman jika tidak memiliki pacar, sebagai trend gaya hidup remaja sekarang. Dengan berubahnya stigma/ kepercayaaan tentang pacaran yang menjadi legal saat ini diperlukan pengawasan yang lebih pada remaja supaya tidak berakhir kepada tindakan yang tidak diinginkan seperti kehamilan diluar nikah, kebiasaan free sex,aborsi tidak aman yang berujung kematian, HIV/AIDS, Penyakit Menular Seksual, dan sebagainya. Keluarga mempunyai peranan penting dalam membentuk perkembangan dan kepribadian sebagai pengontrol bagi remaja dalam memberikan batasan di kehidupan sosial yang mulai terkikis dengan masuknya era modernisasi. Tujuan Penulisan review ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja Metoda Jurnal yang dilakukan review oleh penulis dicari di google scholar dengan memasukkan kata yang spesifik terkait dengan perilaku seksual pada remaja (perilaku seksual remaja, perilaku seksual pranikah, faktor perilaku seksual remaja) tahun 2010-2014 dan ditemukan beberapa literature yang terkait tetapi penulis hanya melakukan review terhadap 5 jurnal lebih detail, sedangkan jurnal yang lain dipakai sebagai penunjang dalam pembahasan di dalam artikel yang disusun. Dari masing-masing penelitian terdapat beberapa variable berbeda yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 73 Tabel 1 N Peneliti Judul o 1 Azinar, Perilaku M. (2013) Seksual Pranikah Beresiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) 2 B.Syamsul huda, Musthofa, Winarti.P. (2010) Metode Tujuan Variabel Cross section al Untuk mengetahui faktor yang mempengaru hi perilaku seksual pranikah beresiko KTD pada remaja 1. Perilau seksual pranikah 2. Kehamil an 3. Reprodu ksi Faktor yang Cross mempengar section uhi perilaku al seks pranikah Mahasiswa di pekalongan tahun 20092010 Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa beberapa variabel yang mempengaru hi perilaku seks Pranikah pada remaja 1. Remaja 2. Kesehata n reproduk si 3. Perilaku seks pranikah beresiko “Pera Perawat dala Hasil dan kesimpulan Terdapat 12,1% responden pernah memiliki perilaku seksual pranikah yang beresiko terhadap KTD. Dari hasil analisis ditemukan 5 variabel yang signifikan berhubungan dengan perilaku seksual pranikah yaitu religiusitas, sikap, akses dan kontak dengan media pornografi, sikap teman dekat, serta perilaku seksual teman dekat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11,9% melakukan perilaku seks pranikah bensiko. Adanya hubungan yang signifikan antara umur, jenis kelamin, religiusitas, sikap permisif terhadap seksualitas, efikasi diri, akses media pornografi dan kontrol orang tua dengan perilaku seks pranikah yang berisiko KTD Mahasiswa yang mempunyai sikap lebih permisif mempunva resiko berperilaku seks pranikah yang berisiko KTD sebesar 3,473 kali lebih besar dibandingkan dengan yang kurang permisif. Remaja yang mempunyai efikasi din tinggi mempunyai Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 74 3 Khairunni Hubungan Metode sa, A. religiusitas skala (2013) dan kontrol diri Dengan perilaku seksual pranikah remaja di MAN 1 samarinda Untukmenget ahui hubungan antara religiusitas dan control diri dengan perilaku seksual pranikah pada remaja. 1. Religiusi tas 2. Kontrol diri 3. Perilaku seksual 4 Hartono, RD. (2013) FaktorFaktor Yang Menyebabk an Remaja Berperilaku Menyimpan g “Pera Perawat dala Peneliti an deskript if untuk menganalisis dan mendeskripsi kan penyebab mahasiswa melakukan seks bebas 1. Mahasis wa 2. seks bebas 3. perilaku menyim pan 4. faktor internal 5. faktor eksternal proteksi din untuk tidak melakukan perilaku seks pranikah berisiko KTD sebesar 0,192 kali lebih bcsar daripada yang mempunyai efikasi diri rendah Terdapat hubungan antara religiusitas dan kontrol diri dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di MAN 1 Samarinda (F = 3.251, R2 = 0.066, dan p = 0.043) Terdapat hubungan antara religiusitas dan perilaku seksual pranikah dengan beta = - 0.235, t = -2.170, dan p = 0.033 Kemudian pada kontrol diri dengan perilaku seksual pranikah terdapat hubungan dengan beta = 0.221, t = 2.042, dan p = 0.044. Nilai signifikasi < 0.05 menjelaskan bahwa ada hubungan yang antara religiusitas dan kontrol diri dengan perilaku seksual pranikah adalah signifikan Mahasiswa melakukan seks bebas disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal Faktor internal dan faktor eksternal saling mempengaruhisatu sama lain. sehingga mengakibatkan informan pokok (remaja) melakukan hubungan seks Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 75 5 Banun, F & Setyorog o,S. (2013) FaktorCross Faktor section Yang al Berhubunga n Dengan Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa Semester V STIKes X Jakarta Timur 2012 Mengetahui 1. Perilaku faktor-faktor Seksual yang Pranikah berhubungan 2. Mahasis dengan w perilaku 3. Jakarta seksual Timur Pranikah Pada Mahasiswa Semester V STIKes X Jakarta Timur 2012 Dari hasil analisis, didapatkan perilaku seksual berisiko sebanyak 55,2%. Gaya hidup yang berisiko 77,4%,tempat tinggal berisiko 47,5%, keharmonisan keluarga, berisiko 65,2%. Pembahasan Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Pada remaja yang masih berada dalam masa peralihan dalam mencari jati diri sering terpengaruh dalam perilaku ini mulai dari yang ringan sekedar rasa tertarik sampai ke tindakan yang dilarang yaitu bersenggama. Orang tua mempunyai peran penting dalam proses sosialisasi anak. Dari orang tualah anak belajar tentang nilai-nilai dan sikap yang terdapat dan dianut masyarakat Menurut aliran psikoanalisis, orang – orang yang tidak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya dimasa kecil maka kemungkinan besar akan menjadi orang yang paling sering melanggar norma masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembang anak remaja. Secara ideal perkembangan anak remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarga yang harmonis, sehingga berbagai kebutuhan yang diperlukan dapat terpenuhi dan memiliki role model yang positif dari orang tuanya sendiri. Gaya hidup remaja pada era globalisasi juga merupakan salah satu faktor terjadinya perilaku seksual, dikarenakan gaya hidup remaja saat ini banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Pengaruh teknologi terutama media masa memberikan kontribusi pada perubahan gaya hidup remaja. Remaja yang memiliki aktivitas dan hobi dalam memanfaatkan media visual seperti menonton video dan film pornografi bisa saja tanpa mereka sadari akan mempengaruhi pengetahuan serta sikap dalam bertindak kearah gaya hidup yang berisiko melakukan perilaku seksual. Selain itu religiusitas juga menjadi faktor remaja dalam melakukan perilaku seksual. Religiusitas memberikan kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Religiusitas dapat menstabilkan tingkah laku, memberikan perlindungan rasa “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 76 aman terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensinya. Religiusitas adalah sikap batin pribadi setiap manusia dihadapan Tuhan yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, yang mencakup totalitas kedalam pribadi manusia. Diperlukan pengawasan dan perhatian khusus bagi remaja baik ketika di rumah, lingkungan, maupun di sekolah. Menciptakan lingkungan yang kondusif juga diperlukan bagi remaja dalam menemani masa tumbuh kembang dan transisi yang sedang dialami sehingga tidak terjerumus kepada perilaku seksual yang beresiko ke kejadian yang tidak diinginkan seperti seks pranikah, kehamilan diluar nikah, kebiasaan free sex, HIV AIDS, dan lainnya. Peran serta orang tua dan komunikasi yang efektif merupakan pondasi yang kuat dalam menciptakan susana keluarga yang nyaman sehingga remaja bertumbuh, berkembang, serta mempunyai kepribadian yang baik. Kesimpulan Dari hasil studi literature diketahui terdapar beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seksual pada remaja, antara lain: aspek perkembangan alat seksual (biologis), tingkat religiusitas, rasa percaya diri dan penghargaan diri yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang kurang, aspek motivasi, aspek keharmonisan keluarga, tempat tinggal beresiko, aspek pergaulan, gaya hidup, dukungan sosial terhadap hubungan seksual pranikah, sikap orang tua terhadap seksualitas, komunikasi dalam keluarga, perilaku seksual teman dekat dan aspek media massa. Daftar Pustaka Hartono & Ginawati. 2013. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Remaja Berperilaku Menyimpang. Artikel Ilmiah Penelitian Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember Azinar, M. 2013. Perilau Seksual Pranikah Beresiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan. Jurnal Kesehatan Masyarakat http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas Banum, F.OS & Setyogroho, S. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku seksual Pranik STIKes X Jakarta Timur. Jurnal Ilmiah Kesehatan 5 (1) Januari 2013 S1 Kesehatan MMasyarakat STIKes MH.Thamrin Khairunnisa, A. 2013. Hubungan Religiusitas Dan Kontrol Diri Dengan Perilaku Seksual Pranikah Remaja Di MAN 1 Samarinda. eJournal Psikologi, 2013, 1 (2): 220-229 ISSN 0000-0000, ejournal.psikologi.fisip-unmul.org © Copyright 2013 Suryoputro. A, dkk. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilau Seksual Remaja Di Jawa Tengah: Implikasinya Terhadap Kebijakan Dan Layanan Kesehatan Seksual Dan Reproduksi. Jurnal MAKARA, Kesehatan Vol 10, No 1, Juni 2006: 29-40 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 77 B. Syamsulhuda, dkk. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Mahasiswa Pekalongan Tahun 2009-2010. Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol 1 No.1 Desember 2010: 33-41 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Rothkopf, I & Turgeon, S. 2011. Sex Differences in College Students’ Free Drawings and Their Relationship to 2D:4D Ratio and Recalled Childhood Play Behavior . Arch Sex Behav (2014) 43:311–318 DOI 10.1007/s10508-013-0169-y. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 78 KOLABORASI PERAWAT KLIEN DALAM PENANGANAN KESEHATAN JIWA KOMUNITAS: LITERATURE REVIEW Candra Dewi Rahayu Mahasiswa Magister Keperawatan FK Universitas Diponegoro Email: [email protected] Abstrak Latar Belakang. Penting bagi perawat untuk mengikutsertakan klien dalam proses perawatannya, perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan fokus kepada klien sehingga meningkatkan kemamapuan dalam menentukan pilihan bantuan sesuai dengan kebutuhannya. Asuhan keperawatan harus memadukan antara proses pembelajaran dan pemeberian asuhan. Perawat komunitas harus mampu mengorganisir proses pengambilan keputusan karena hal ini meningkan pemahaman keluarga dan masyarakat sehingga meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. Tujuan. Meningkatkan kolaborasi perawat klien dalam penangan kesehatan jiwa komunitas Metoda. Literature review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah pada tahun 2010-2015 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan Google search. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “clinical decision making” and “mental heath” and “primary care”. Metodologi yang digunakan dalam publikasi ilmiah dengan metoda kuantitatif, kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat. Selanjutnya data direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dibahas dan disimpulkan. Hasil. Hasil penelusuran mendapat 4 publikasi ilmiah dengan kualitas baik. Hasil penelusuran literatur menunjukan bahwa keterlibatan klien dalam penangan kesehatan jiwa di komunitas akan menurunkan konflik dalam pengambilan keputusan. Lima komponen kunci dalam konsep hubungan perawat klien yaitu mendasari etos, ketenagaan, intervensi, indikator dan hasil. Ilustrasi hubungan perawat klien adalah pemberdayaan klien dan pengambilan keputusan bersama. Kesimpulan. Pengalaman dan tingkat pemahaman akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan oleh pengasuh (care giver). Akan tetapi yang terjadi di Indonesia asuhan keperawatan belum mencerminkan asuhan yang berfokus pada klien. Belum teridentifikasinya kasus kesehatan jiwa di komunitas serta deskriminasi terhadap klien dengan gangguan jiwa menunjukan kolaborasi perawat klien belum optimal. Kata Kunci: Kolaborasi, Kesehatan Jiwa Komunitas, Pengambilan Keputusan, Asuhan Keperawatan Pendahuluan Kesehatan jiwa masyarakat (community mental health) telah menjadi bagian masalah kesehatan masyarakat (public health) yang dihadapi semua negara. Salah satu pemicu terjadinya berbagai masalah dalam kesehatan jiwa adalah dampak moderenisasi dimana tidak semua orang siap untuk menghadapi cepatnya perubahan dan kemajuan teknologi baru yang secara tidak langsung akan berdampak terhadap daya emban ekonomi masyarakat. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa berat/skizofrenia di daerah pedesaan ternyata lebih tinggi dibanding daerah perkotaan di daerah pedesaan, proporsi Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 79 rumah tangga dengan minimal salah satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung mencapai 18,2 persen. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya mencapai 10,7 persen. Hal ini memberikan konfirmasi bahwa tekanan hidup yang dialami penduduk pedesaan lebih berat dibanding penduduk perkotaan. Salah satu bentuk tekanan hidup itu adalah kesulitan ekonomi. Masalah kesehatan jiwa hasil survei Riskesdas sampai tahun 2013 di Indonesia sangat besar. Diperkirakan 72.800 penyandang gangguan jiwa berat di Indonesia dan gangguan mental emosional 19,5 juta orang dengan 1 juta kasus gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, sekitar 18.000 kasus “ditangani” dengan dipasung. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat belum sepenuhnya memahi kebutuhan bagi keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Barry K.J 2007 menjelaskan bahwa penting bagi perawat untuk mengikutsertakan keluarga dalam proses perawatan, perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan yang fokus kepada keluarga sehingga keluarga mampu memilih bantuan sesuai dengan kebutuhan. Penelitian yang dilakuan oleh Elaine Haycock-Stuart tahun 2012 dalam memeberikan asuhan keperawatan yang berfokus pada pasien perawat harus mampu memadukan antara proses pembelajaran dan pemeberian asuhan, perawat komunitas harus mampu mengorganisir proses pengambilan keputusan karena hal ini meningkan pemahaman keluarga dan masyarakat sehingga meningkatkan kualitas asuhan keperawatan (Margaret M. Mahon, 2010) dalam penelitiannya juga disebutkan bahwa peran perawat komunitass adalah melakukan pendampingan proses pengambilan keputusan. Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun akan menyebabkan penderitaannya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga serta lingkungan masyarakat sekitarnya. Seperti yang diuangkapkan hasil survei oleh word bank bahwa beberapa negara menunjukan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau disability Ajusted Life Years (DALY’s) sebesar 8,1% dari global burden of Disease disebabkan oleh maslah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi pada dampak yang disebkan oleh penyakit TB (7,2%), Kanker (5,8%) maupun Penyakit Jantung (4.4%). Tingginya masalah tersebut menunjukan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar dibanding dengan massalah kesehtan lainnya di masyarakat. Rencana strategis Kemenkes 2010-2014 menjelaskan bahwa visi pembangunan kesehatan Indonesia adalah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, meningkatkan surveyor, monitoring dan informasi kesehatan serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat namun sampai pada saat visi tersebut belum tercapai. Peran serta masyarakat dalam penanganan kesehatan jiwa sangatlah penting untuk itu dibutuhkan kerjasama antara tim kesehatan dengan klien dalam hal ini adalah masyarakat. Keterlibatan klien akan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk mendapatkan pertolongan yang tepat sesuai dengan gangguan yang dialaminya (Claire Henderson at all 2012). Puskesmas merupakan fasilitas kesehatan tingakat I yang diharapkan mampu menjadi ujung tombak langkah keberhasilan visi kementrian kesehatan untuk memberikan akses pelayanan kesehatan yang berfokus pada keluarga (family centered care). Akan tetapi hal ini belum bisa dilakssanakan oleh pukesmas terbukti dari penelitian yang dilakuan Keliat dkk tahun 2011 menunjukan bahwa 46% pasien yang dirawat di lima rumah sakit jiwa di Pulau Jawa Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 80 mempunyai kemampuan tinggal di masyarakat, tetapi mereka tidak pulang karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat. Membukitikan bahwa sumberdaya Puskesmas belum malakukan peranannya sebagai sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pratama melalui fungsi rehabilitatif. Sejak tahun 2001, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan pelayanan kesehatan jiwa seharusnya dilakukan di masyarakat. Namun, program pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas belum menjadi program pelayanan pokok di Indonesia. Menyelesaikan masalah kesehatan jiwa bukan melalui pembangunan rumah sakit jiwa yang baru, melainkan mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, menggunakan komunikasi dialogis dalam penyelesaiannya serta reflektife learning bagi masyarakat (Barry K.J 2007). Dengan alasan ini penulis merasa penting untuk meningkatkan kolaborasi perawat-klien dalam hal ini adalah masyarakat sebagai upaya untuk menacapai masyarakat yang sehat jiwa Tujuan Secara umum meningkatkan kolaborasi perawat klien dalam penangan kesehatan jiwa komunitas. Secara khusus mengetahi peran perawat dalam penanganan kesehatan jiwa masyarakat. Selain itu mengetahui metoda efektif tenaga kesehatan dalam penanganan kesehatan jiwa masyarakat, mengetahui pentingnya keterlibatan klien dalam pengambilan keputusan penanganan kesehatan jiwa masyarakat, mengetahui manfaat pentingnya pengambilan keputusan klinis dengan melibatkan masyarakat. Metode 1. Kriretia Inklusi dan Eksklusi Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif, kuantitatif atau campuran pada tahun 2010-2015 dengan menggunakan bahasa ingris dan full teks. Pemilihan sampel pada artikel adalah perawat dan atau pasien dengan gangguan jiwa di komunitas. Asuhan keperawatan yang diberikan adalah asuhan keperawatan yang berfokus pada klien (pasien, klien dan komunitas) sehingga dalam pemberian asuhan keperawatan harus melibatkan klien termasuk dalam hal pengambilan kepetusan untuk menentukan pilihan bantuan yang tepat sesuai dengan masalah. 2. Strategi Pencarian Literatur Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah pada tahun 2010-2015 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American Journal Of Nursing (AJN). Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “clinical decision making” and “mental heath” and “primari care”. 3. Ekstraksi data dan motede pengkajian kualitas studi Data dari artikel direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dilakukan triangulasi untuk dilakukan pembahasan dan disimpulkan sehingga dikeahui kualitas jurnal. Penentuan kualitas jurnal dengan menggunakan prosentase hasil ekstraksi yaitu jurnal dikategorikan menjadi kualitas baik, sedang dan kulaitas tidak baik. Jurnal dikategorikan baik jika propsentase 80%-100%, cukup jika 65%-79% dan tidak baik jika prosentase <64%. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 81 Gambar 1 Diagram Prisma Identifikasi Clinical Decision Making & Mental Healt n=1.467 Clinical Decision Making & Mental Healt & primary care n=149 EBSCO ProQuest Clinical Decision Making & Mental Healt n= Clinical Decision Making & Mental Healt & primary care n= PubMed Clinical Decision Making & Mental Healt n=1.856 Clinical Decision Making & Mental Healt & primary care n=209 BMC Decision aid & Mental Healt n=414 Google search Skrening Kelayakan aya Analisis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. PDF Full Teks Bahasa Inggris Free Download Medeline Peer Review Tahun 2010-2015 1. Sampel adalah perawat dan klien (pasien dan keluarga) yang mengalami gangguan jiwa di komunitas. 2. Pengambilan keputusan melibatkan klien 3. Pengambilan keputusan dalam penangan gangguan jiwa 1. Kolaborasi perawat klien dalam penanganan kesehatan jiwa 1. 2. 3. 4. 5. EBSCO n=28 ProQuest n= Pub Med n=45 BMC PH n= 8 Google Search 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. EBSCO n= 10 ProQuest n= Pub Med n= 6 BMC n= 3 Google Search n=1 EBSCO n= 2 ProQuest n= 1 Pub Med n=1 BMC n=1 Google Search n=1 Sitematik Review n=4 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 82 4. Analisa Data Data dikumpulkan berdasarkan tujuan, sampel dan hasil yang sebanding kemudian dilakukan analisis (table 1) sehingga dapat pula dilihat heterogenitas dari hasil penelitian yang ditemukan dalam studi (publikasi ilmiah). Jika dalam temuan jurnal tidak sesuai dengan kirteria baik kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi ataupun hasil tidak sesuai yang telah ditetapkan maka jurnal tersebut tidak dilakukan sistematik review (dihapus). Sistematik review ini bertujuan untuk untuk memperkuat hasil dari studi/penelitian tersebut. Dalam review ini ada dua jurnal yang kemudian tidak dilakukan analissis (dihapus) Tabel 1 Karakteristik artikel yang didapatkan (N=4) No Penulis/Th Judul 1 Claire Henderson, Elaine Brohan, Sarah Clement, Paul at all Th. 2012 A decision aid to assist decisions on disclosure of mental health status to an employer: protocol for the CORAL exploratory randomised controlled trial Conceptualis ing patient empowerme nt: a mixed methods study 2 Paulina Bravo, Adrian Edwards, Paul James Barr, at all Th.2015 Jurnal/ Metode BMC Psychia try, 12:133 Singleblind RCT BMC Health Service s Researc h15:25 2 mixed method s study Magenta BSimmons, Sarah E Hetrick and Anthony F Jorm Th. 2011 Experiences of treatment decision making for young people diagnosed with depressive disorders: a qualitative BMC Psychia try 11:194 Qualita tive Tujuan Hasil Untuk menguji Bantuan pengambilan CORAL decision keputusan dengan CORAL aid tool dengan menunjukkan membantu menguji pengguna layanan kesehatan kemampuan jiwa serta memperjelas pengambilan kebutuhan dan nilai-nilai keputusan dalam tentang pengungkapan mencari masalah mereka dan pertolongan menyebabkan pengurangan sesuai dengan konflik dalam pengambilan masalah baik keputusan segera ataupun setelah tiga bulan pasca uji. Mengembangkan 1. Hubungan perawat klien konsep kolaborasi dapat dilakukan pada perawat-klien, semua level dengan tingkat dengan pemahaman klien. menggunakan 2. Level ini kan menentukan pendekatan penggunaan indikator yang pemberdayaan digunakan klien, self 3. Lima komponen kunci management, dalam konsep hubungan pengambilan perawat klien adalah keputusan mendasari etos, bersama ketenangan, intervensi , indikator dan hasil. 4. Ilustrasi hubungan perawat klien adalah pemberdayaan klien dan pengambilan keputusan bersama Mengeksplorasi 1. Pengalaman keterlibatan pengalaman dan klien bervariasi dan keinginan klien dipengaruhi oleh klien dan pengasuh sendiri serta tim kesehatan (caregivers) (dokter ataupun perawat). dalam 2. Untuk pengasuh keterlibatannya (caregivers), pengalaman pengambilan keterlibatan lebih homogen keputusan untuk . penanganan 3. Keinginan untuk terlibatan depresi bervariasi dari masing- Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 83 study in primary care and specialist mental health settings Sandra E Moll Th. 2014 The web of silence: a qualitative case study of early intervention and support for healthcare workers with mental ill-health BMC Public Health, 14:138 Qualita tive, case study massing klien pengasuh (caregivers) namun sebagian besar terlibat dalam pengambilan keputusan setidaknya. 4. Teridentikasi adanya hambatan dalam pengambilan keputusan baik dari klien ataupun pengasuh (caregivers). Untuk Hasil penelitian menunjukan mengeksplorasi bahwa beberapa penyebab kekuatan individu tenaga kesehatan memberikan dan organisasi, laporan secara lambat bahkan serta tidak melaporkan temuan mengidentifikasi gangguan jiwa dikernakan hambatan dan ketidakpastian dalam peluang untuk mengidentifikasi masalah berubah dalam kesehatan mental, stigma menentukan mengenai kesehatan mental intervensi petugas yang buruk, wacana kesehatan kompetensi profesional, dikomunitas ketegangan sosial , tekanan dalam menangani beban kerja , harapan masalah gangguan kerahasiaan dan kurangnya jiwa akses yang tepat untuk mendukung kesehatan mental. Hasil Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif, kuantitatif dan RCT pada empat jurnal yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan google search (gambar 1). Hasil penelitian kualitatif dengan mengidentifikasi beberapa tema, sedangkan hasil penelitian RCT dilakukan perlakuan untuk menguji CORAL decision aid tool penelitian ini dilakukan dengan single blind yang kemudian di lakukan follow up untuk mengetahui efektifitas dari perlakuan/tindakan. 1. Peran Kepemimpinan Keperawatan Komunitas Perawatan berkualitas dianggap sebagai komponen penting dari profesi keperawatan. Kebijakan baru-baru ini telah menekankan peran kepemimpinan dalam memenuhi agenda kualitas. Sebagai pergeseran keseimbangan perawatan dari rumah sakit kepada masyarakat ada keharusan untuk mengkonfirmasi lebih efektif kualitas perawatan pasien dan keluarga dalam menerima perawat yang bekerja di masyarakat (Elaine Haycock-Stuart, 2012). Penekanan kebijakan layanan kesehatan menekannya penawaran yang sama kepada semua perawat untuk membuat unsur-unsur praktik klinis mereka sehingga menunjukan perawatan yang berkualitas tinggi dan memverifikasi apa yang benar-benar penting untuk pasien dan keluarga. Pengembangan kapasitas kepemimpinan dikeperawatan komunitas dipandang sebagai instrumen dalam mencapai kualitas pelayanan sebagai pergeseran perawatan kesehatan ke masyarakat. Komponen sumberdaya manusia yang berperan dalam meningkatkan asuhan keperawatan komunitas yaitu perawat, pengunjung kesehatan, perawat sekolah, staf perawat dan asisten kesehatan yang bekerja dimasyarakat sehingga menurut Sandra E Moll tahun 2014 dibutuhkan kemampuan mengorganisasi serta self assesmen sehingga Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 84 pelaporan kegiatan asuhan keperawatan komunitas terstruktur dan terlapor cepat dan sesuai. Asuhan keperawatan yang berkualitas adalah asuhan keperawatan yang mengedepankan nilai-nilai profesional profesi, dengan biaya yang minimal, pasien dan keluarga puas dengan asuhan keperatana yang diberikan (Giordano 2010, Appleby et al. 2010). Keinginan pasien dan keluarga adalah dikutsertakan dalam proses asuhan dan pengambilan keputusan (Magenta B et all, 2011). Sehingga dibutuhkan strategi yang tepat untuk memenuhi standar asuhan keperawatan yang berkualitas. 2. Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas Perawat kesehatan jiwa masyarakat merupakan tenaga perawatan dari puskesmas yang bertanggung jawab memberikan pelayanan keparawatan diwilayah kerja puskesmas. Fokus pelayanan pada tahap awal adalah anggota masyrakat yang mengalami gangguan jiwa akan tetapi peran perawat belum optimal sepeti yang diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Sandra E Moll 2014 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa beberapa penyebab tenaga kesehatan memberikan laporan secara lambat bahkan tidak melaporkan temuan gangguan jiwa dikernakan ketidakpastian dalam mengidentifikasi masalah kesehatan mental, stigma mengenai kesehatan mental yang buruk, wacana kompetensi profesional, ketegangan sosial, tekanan beban kerja, harapan kerahasiaan dan kurangnya akses yang tepat untuk mendukung kesehatan mental. Magenta B el all 2011 Teridentikasi adanya hambatan dalam pengambilan keputusan baik dari klien ataupun pengasuh (caregivers) yaitu a system level, at a relationship level with clinicians and at a personal level. Hambatan A system level adalah kurangnya waktu dalam bertanya selama konsultasi, hambatan dalam relationship level adanya miskomunikasi antara klien dan perawat atau kurangnya komunikasi antara perawat dan klien serta adanya krisis kepercayaan (klien merasa tidak percaya dengan perawat dan tidak dipercayai oleh perawat). Personal level merupakan hambatan yang muncul dari diri klien dan caregivers sendiri keluarga menyangkal yang dialami klien adalah gangguan jiwa. 3. Asuhan Keperawatan Melibatkan Klien Hubungan perawat klien akan terjalin jika dalam memberikan asuhan keperawatan klien dilibatkan, klien memahami setiap proses keperawatan yang dilakukan pada diri maupun keluarganya. Magenta B el all 2011 menejelaskan bahwa klien ingin terlibat dalam proses asuhan keperawatan contoh keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Pengalaman keterlibatan klien bervariasi dan dipengaruhi oleh klien sendiri serta tim kesehatan (dokter ataupun perawat) sedangkan pengasuh (caregivers), mempunyai pengalaman keterlibatan lebih homogen. Hasil penelitian Paulina Bravo et all 2015 mengidentifikasi hubungan perawat klien dapat dilakukan pada semua level dengan tingkat pemahaman klien. Level ini akan menentukan penggunaan indikator yang digunakan. Lima komponen kunci dalam konsep hubungan perawat klien adalah mendasari etos, moderator, intervensi , indikator dan hasil. Ilustrasi hubungan perawat klien adalah pemberdayaan klien dan pengambilan keputusan bersama Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 85 Pembahasan Dari studi literatur didapatkan bahwa keterlibatan klien dalam asuhan keperawatan kurang optimal hal ini juga dalap dilihat dari sistem peleporan perawat yg dijelaskan dalam penelitian Sandra E Moll tahun 2014 yang menunjukan bahwa sistem pelaporan tidak optimal karena masalah dilaporkan secara lambat dan bahkan tidak dilaporkan hal ini akan menghambat proses identifikasi dan proses pengambilan kebijakan (regulasi) dari pemerintah. Regulasi mepunyai hubungan dalam keberhasilan dan peningkatan program/sistem kerja yang ada di komunitas dalam hal ini adalah masyarakat yang sehat jiwa (Lara Corr, 2014). Keinginan klien untuk terlibat dalam proses kepeerawatan, setidaknya dalam pengambilan keputusan hal ini menegaskan kembali penelitian yang telah dilakukan oleh Jan Flotin 2007 yang menejelaskan bahwa klien lebih menyukai jika berpartisipasi dalam pengambilan keputusan klinis keperawatan dan berharap diikutkan dalam asuhannya. Penelitian tersebut menegaskan bahwa klien lebih menyukai dalam hubungan kolaborasi bukan hubungan yang otonom. Hal ini akan bermanfaat untuk meneliti lebih lanjut terkait sejauh mana keterlibatan klien serta hubungan kolaborassi antara klien dan tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan terutama pada masalah ganggun jiwa. Claire Henderson tahun 2012 dengan penelitian tentang kemampuan pengambilan keputusan mentukan pilihan bantuan dengan Conceal Or ReveAL, or CORAL tools menjukan bahwa pengungkapan masalah menyebabkan pengurangan konflik dalam pengambilan keputusan, hal ini menegaskan penelitaian oleh Magenta B et all tahun 2011 menegaskan pengalaman dan keterlibatan klien dalan asuhan mempunyai efek positif terhadap kemampuan klien dalam pengambilan keputusan. Hubungan kolaborasi sangat dibutuhkan untuk itu kolaborasi perawat klien harus menunjukan hubungan yang saling menghormati, saling percaya, berbagi informasi, komunikassi terbuka, pengambilan keputusan bersama sehingga, intervensi keperawatan harus memperhatikan nilai, kepercayaaan dan pilihan pasien sebagai landasannya (Blue-Banning M, Summers J, Frankland H, et al 2004 dan Keen D, 2007). National Collaborating Centre For Method and Tools menjelaskan Kolaborasi perawat klien klien dalam komunitas sangatlah penting karena proses keperawatan komunitas akan tergantung pada keadaan tertentu, serta keterampilan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dan kelompok yang terlibat dalam proses. Pada akhirnya, kolaborasi perawat-klien harus menarik pengetahuan klien terkait kesehatan tenaga kesehatan dituntut mempunyai keahlian dalam menggabungkan semua yang relevan faktor yang mempengaruhi dalam hubungan, kesimpulan atau rekomendasi. Untuk mencapai kolaborasi yang otimal diperlukan perawat yang mempunyai kualifikasi sehingga dibutuhkan pendidikan berkelanjutan bagi perawat atau dengan dengan membangun mitra bestari antara puskesmas dengan intansi pendidikan yang mempunyai perawat spesial komunitas atau spesialis jiwa untuk memberikan mentoring kepada perawat, keluarga dan masyarakat sehingga tercipta hubungan kolaborasi antara perawat pendidik (perawat spesialis), perawat klinik (perawat vokasi), keluarga dan masyaarakat. Kesimpulan Penelusuran literatur menunjukan bahwa pentingnya melibatkan klien dalam asuhan keperawatan dan hal ini juga disepakati oleh klien bahwa klien ingin diikutkan dalam proses keperawatan, akan tetapi hal ini belem sepenuhnyadengan berbagai alasan. Hasil ini bisa Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 86 digunakan sebagai acuan bagi penelian selanjutnya untuk menggali lebih dalam bagaimana hubungan kolaborasi antara perawat klien serta strateginya dalam membangun hubungan yang efektif dan efisien sehingga kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan akan menjadi kebutuhan primer yang harus segera di penuhi. Daftar Pustaka Appleby J., Ham C., Imins C. & Jennings M. (2010) Improving NHS Productivity: More With the Same Not More of the Same.The King’s Fund, London. Barry K.J, 2007, Collective inquiry: understanding the essence of best practice construction in mental health, Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing, 2007, 14, 558–565 Blue-Banning M, Summers J, Frankland H, et al. Dimensions of family and professional partnerships: constructive guidelines for collaboration. Except Child 2004;70:167–85. Claire Henderson. Elaine Brohan. Sarah Clement, (2012), A decision aid to assist decisions on disclosure of mental health status to an employer: protocol for the CORAL exploratory randomised controlled trial, Henderson et al. BMC Psychiatry 2012, 12:133 Giordano R. (2010) Leadership Needs of Medical Directors and Clinical Directors. The King’s Fund, London. Elaine Haycock-Stuart. Susanne Kean, 2012, Does nursing leadership affect the quality of care in the community setting? Journal of Nursing Management, 2012, 20, 372–381 Claire Henderson, Elaine Brohan, Sarah Clement, et all. 2012. A Decision Aid To Assist Decisions On Disclosure Of Mental Health Status To An Employer: Protocol For The CORAL Exploratory Randomised Controlled Trial, BMC Psychiatry, 12:13 Jan Florin, 2007, Patient participation in clinical decision making in nursing – a collaborative effort between patients and nurses. Joanna Jansdotter [email protected] Keen D. Parents, families, and partnerships: issues and considerations Int J Disabil, Dev Educ 2007;54:339–49 Lara Corr, Elise Davis, Kay Cook, Elizabeth Waters and Anthony D LaMontagne, 2014, Fair relationships and policies to support family day care educators’ mental health: a qualitative study, BMC Public Health, 14:1214 Magenta B Simmons, Sarah E Hetrick and Anthony F Jorm, 2011, Experiences Of Treatment Decision Making For Young People Diagnosed With Depressive Disorders: A Qualitative Study In Primary Care And Specialist Mental Health Settings, BMC Psychiatry, 11:194 Margaret M. Mahon, 2010, Advanced Care Decision Making Asking the Right People the Right Questions. Journal of Psychosocial Nursing • Vol. 48, No. 7 National Collaborating Centre For Method and Tools. A Model for Evidence-Informed Decision Making in Public Health. www.conmo.ca/[email protected] Paulina Bravo, Adrian Edwards, Paul James Barr, Isabelle Scholl, Glyn Elwyn, Marion McAllister, 2015, Conceptualising Patient Empowerment: A Mixed Methods Study. Health Services Research 15:252. Sandra E Moll, 2014, The Web Of Silence: A Qualitative Case Study Of Early Intervention And Support For Healthcare Workers With Mental Ill-Health. BMC Public Health, 14:138 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 87 EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana ) TERHADAP BERAT BADAN PADA PENDERITA HIV DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RSUD GUNUNG JATI, CIREBON Maria Dyah Kurniasari1, Edi Dharmana2, Hussein Gasem3 1 Staff Akademik Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2 Bagian Parasitologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 3 Bagian Penyakit Dalam, Rumah Sakit dr. Kariadi. [email protected]. Abstrak Latar Belakang. Peringkat ke-4 Provinsi dengan penderita HIV tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kumulatif kasus HIV: 9.340 penderita, sedangkan jumlah penderita AIDS berjumlah 4131 penderita (Spiritia Y & KPA Jawa Tengah. 2014). Terapi yang diaplikasikan selama ini adalah onat antiretroviral/ARV dengan efek samping yang menyertai (Abbas AK, 2007). Kulit Buah manggis mengandung xanthone sebagai antioksidan yang, sangat dibutuhkan dalam tubuh sebagai penyeimbang prooxidant (reduxing radicals, oxidizing radicals, carbondentered, sinar UV, metal, dll) yang ada dilingkungan manusia yang dapat menghambat replikasi virus HIV dan aktivitasnya dilihat dari berat badan penderita, karena penurunan berat badan dapat memicu penurunan sistem imun dan merangsang oxidative stress (Planta Med, 1996). Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana) terhadap berat badan pada penderita HIV dengan terapi antiretroviral (ARV). Metoda. Dilakukan penelitian eksperimental pada manusia, dengan design Randomized Control Group Pretest-Post Test Design, sampel sebanyak 20 pada masing-masing kelompok. Kelompok 1: Penderita HIV dengan terapi ARV diberikan ekstrak kulit manggis, 2: Penderita HIV dengan terapi ARV diberikan kapsul placebo. Perlakuan selama 30 hari, dilakukan pemeriksaan berat badan sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Penelitian ini menggunakan statistik non-parametik oleh karena inferensi statistik (pengambilan keputusan) tidak membahas parameter-parameter populasi sehingga distribusi data (populasinya) menjadi tidak normal. Untuk dapat mengetahui uji beda antar kelompok (pre test dan post test) maka digunakan uji Paired T Test. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan kelompok perlakuan dan placebo maka digunakan uji beda Mann Whitney. Hasil. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna berat badan (p: 0.701 ) pada penderita HIV antara pemeriksaan sebelum dan sesudah diberikan ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana ). Terdapat perbedaan bermakna yang bermakna berat badan (p: 0.008) pada penderita HIV antara pemeriksaan kelompok yang diberikan ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana ) dan placebo. Pembahasan. Antioxidan yang terkandung dalam ekstrak kulit manggis ini tidak menunjukan efeknya dalam mengurangi terjadi induksi oxidative stress. Banyak faktor yang mempengaruhi berat badan pada manusia, dimana kita ketahui bahwa manusia memiliki banyak sekali faktor yang berpengaruh pada berat badan. Kesimpulan. Pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana) tidak efektif terhadap berat badan pada penderita HIV dengan terapi ARV. Kata Kunci: Ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana ), Berat badan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 88 Pendahuluan Berdasarkan jumlah kumulatif dari laporan Kasus HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan Desember 2013, Provinsi Jawa Barat menempati urutan ke empat tertinggi. Jumlah kumulatif kasus HIV untuk Provinsi Jawa Barat sendiri, berjumlah 9.340 penderita, sedangkan jumlah penderita AIDS berjumlah 4131 penderita (Spiritia Y & KPA Jawa Tengah, 2014). Terapi yang selama ini sudah diaplikasikan kepada penderita yang terinfeksi HIV adalah obat antiretroviral/ARV (Abbas AK, 2007). Obat ARV bekerja sebagai kompetitor enzyme reverse transcriptase pada pembentukan DNA virus, menutup rantai enzyme sehingga pembentukan DNA virus terganggu, dan menghambat pembentukan kapsul virus (Karnen B, 2004). Terlepas dari manfaat positif ARV, penurunan berat badan merupakan bagian dari masalah keperawatan dan prediktor independen dari perkembangan penyakit dan kematian terkait HIV (Spiritia Y, 2013). Mengingat obat ini memiliki keterbatasan seperti salah satunya adalah efek samping mengkonsumsi obat ARV, maka para peneliti tertantang untuk melakukan penelitian tentang pengobatan penyakit ini. Salah satu bukti efek samping obat ARV tercantum pada laporan dari penelitian terbaru yang menunjukan bahwa penderita HIV mengalami penurunan berat badan yang bermakna (10%) dalam tiga bulan pertama setelah memulai ARV (Carole, 2012). Gejala awal seperti nafsu makan menurun, mual dan/ muntah. Faktor lain yang juga berkontribusi terhadap penurunan berat badan adalah terjadinya infeksi yang menyertai pada penderita HIV seperti malabsorpsi gastrointestinal yang disebabkan oleh infeksi bakteri, contohnya diare. Selain itu, faktor masalah neurologis dan/atau kejiwaan yang membuat penderita mengalami perburukan nafsu makan dan mengalami malabsorpbsi. Sedangkan, status nutrisi yang dapat mengacu pada berat badan yang baik pada penderita HIV sendiri penting untuk mempertahankan daya tahan tubuh melawan infeksi penyerta, sehingga selanjutnya akan berimplikasi pada kemampuan penderita HIV tetap dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, aktif dan produktif (Nursalam, dkk., 2007). Salah satu dari keanekaragaman tanaman di Indonesia, dapat menjadi potensi menjadi tanaman obat. Kulit Buah manggis mengandung xanthone sebagai antioksidan yang, sangat dibutuhkan dalam tubuh sebagai penyeimbang prooxidant (reduxing radicals, oxidizing radicals, carbondentered , sinar UV, metal, dll) yang ada dilingkungan manusia yang dapat menghambat replikasi virus HIV dan aktivitasnya dilihat dari berat badan penderita, karena penurunan berat badan dapat memicu penurunan sistem imun dan merangsang oxidative stress (Plant Med, 1996). Tanaman obat tersebut dapat menjadi pengobatan adjuvant. Peneliti ingin menggunakan ekstrak kulit manggis sebagai antioksidan yang harapannya dapat digunakan sebagai obat komplemen, bersamaan dengan pemberian obat antiretroviral/ ARV. Harapan dari penelitian ini, terdapat efektivitas ekstrak kulit manggis terhadap berat badan penderita HIV dengan terapi ARV, sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan komunitas khususnya sebagai perawat komplementer serta memenurunkan terjadinya koinfeksi pada penderita HIV. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana) terhadap berat badan pada penderita HIV dengan terapi antiretroviral (ARV). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 89 Metoda Penelitian eksperimental dengan Double Blind Randomized Pretest-Post Test Control Group Design pada manusia (penderita HIV rawat jalan dengan terapi ARV). Pengukuran variabel dilakukan pada group sebelum dan setelah perlakuan. Penderita HIV rawat jalan dengan terapi ARV sejumlah 40 penderita sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Kelompok dibagi menjadi dua, yaitu perlakuan (mendapatkan kapsul ekstrak kulit manggis) dan mendapatkan kapsul placebo, masing-masing kelompok 20 penderita. Pengelompokkan dilakukan secara randomisasi menggunakan teknik simple randomized sampling. Pemeriksaan fisik untuk mengatahui berat badan 2 kali yaitu sebelum dan sesudah diberi perlakuan selama 30 hari sesuai kelompok, serta perbedaan berat badan kelompok perlakuan dan kelompok placebo. Hasil dari analisa deskriptif tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel. Analisis statistik menggunakan Paired T Test bila distribusi normal dan uji Wilcoxcon Smith bila distribusi tidak normal. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan kelompok perlakuan dan placebo maka digunakan uji beda Mann Whitney. Data dianggap berbeda secara bermakna bila nilai (p<0,05) dengan derajat kepercayaan 95%. Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan RSUP dr. Kariadi Semarang. Hasil Karakteristik dasar subjek penelilian memiliki karakteristik yang sama, yang ditunjukan pada Tabel 1. Table 01. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian Karakteristik Umur (+SD) Jenis Kelamin (%) Jumlah Subjek Penelitian (n=40) 34,10+5,93 Perlakuan (n=20) Placebo (n=20) Uji Beda (p) 0,464 33,25+5,17 34,95+6,63 62,5 37,5 406+148 60 40 373 + 28 65 35 438 + 36 0,172 3,55+2,3 3,1+2,31 4,0+2,27 0,135 58,23+11,11 58,3+10,6 0,828 2066+728 1958+591 58,15+11,8 7 2175+844 0,744 Laki-Laki Perempuan Rerata Jumlah Sel sel T CD4 (mm3) ( +SD) Lama penggunaan ARV (tahun) (+SD) Berat Badan (kg) Jumlah Limfosit Total (cells/mm3) Subjek penelitian yang digunakan memiliki karakteristik data yang setara, sehingga memulai dengan start point yang sama dalam masing-masing kelompok. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 90 Table 02. Deskripsi Data Berat Badan Berat Badan Kelompok perlakuan Pre test Kelompok placebo Post test Pre test Post test n Mean (kg) Min Max 20 20 58,30 58,05 42 77 39 76 20 20 58,15 57,15 33 85 32 83 Tabel 03. Tes Normalitas Berat Badan Kelompok Kelompok Perlakuan Pre test Statistik (kg) df Sig. .951 .963 .886 .882 20 20 20 20 .383 .601 .023 .019 Post test Kelompok Placebo Pre test Post test Tabel 04. Uji Paired T Test ( Kelompok perlakuan dan placebo pre test dan postest) Kelompok n 20 20 20 20 Perlakuan Pre Test Placebo Post Test Pre Test Post Test 90 0.701 0.008 90 2 2 80 80 5 70 5 60 7 50 9 40 10 30 11 20 12 20 10 17 10 0 18 0 pre post PLACEBO 70 BERAT BADAN BERAT BADAN p 7 60 9 50 10 40 11 30 12 17 18 pre 20 20 post 22 PERLAKUAN Grafik 01. Grafik Berat Badan Individu Kelompok Perlakuan dan Placebo pada Pre dan Post test Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 91 Tabel 05. Uji Beda Mann Whitney (Kelompok Perlakuan dan Placebo) Kelompok Pretest Posttest Perlakuan Placebo Perlakuan Placebo n Median (BB) (minimum-maximum) 20 20 20 20 p 0.217 0.514 Pembahasan Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis Terhadap Berat Badan Berat badan pada pemeriksaan pretest dan posttest dalam kelompok perlakuan tidak memiliki perbedaan yang signifikan, yang dibuktikan dengan hasil uji beda non parametik Paired T Test dengan nilai p = 0.701 (p> 0.05). Namun pada kelompok placebo, terdapat perbedaaan yang signifikan antara pemeriksaan pretest dan posttest, dibuktikan dengan nilai p = 0.008 (p<0.005). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok: kelompok perlakuan dan placebo, baik pada pemeriksaan pretest maupun posttest. Hasil ini telah ditunjukan pada tabel analisa Mann Whitney pada bab sebelumnya (Tabel 05). Selain faktor ARV, banyak faktor lain yang dapat menjadi prediktor penurunan berat badan seperti kondisi sosioekonomi, tingkat hemoglobin (Spiritia Y, 2013). Keadaan sosioekonomi jelas mempengaruhi berat badan, khususnya status nutrisi penderita. Status sosioekonomi yang lebih rendah dikaitkan dengan resiko lebih tinggi dari penurunan berat badan jangka panjang. Sementara, dari hasil observasi saat penelitian, para penderita termasuk dalam kelompok sosioekonomi menengah kebawah, yang dibuktikan dengan data rekam medis yang mengemukakan tentang riwayat kesehatan terdahulu pasien. Faktor lain seperti tingkat hemoglobin ini terkait dengan IMT penderita, karena dengan IMT penderita yang lebih rendah dapat berarti bahwa kemungkinan penderita tersebut terdapat infeksi atau penyakit lain yang menyertai. Pada penderita HIV dengan ko-infeksi tuberculosis dan gangguan sistem gastrointestinal dapat bermanifetsasi anemia (yang mempunyai indikator hemoglobin). Proses patofisiologi penyakit yang menyertai ini yang menyebabkan terjadinya proses penurunan hemoglobin. Sehingga jika seorang penderita ditemukan hemoglobin yang rendah maka kemungkkinan mendapatkan ko-infeksi yang secara tidak langsung menyebabkan penurunan berat badan. Menurut penelitian terbaru, jika kita kaitkan dengan sel CD4, dimana sel ini adalah sel imun yang diserang oleh virus HIV, maka tidak terdapat hubungan dengan IMT (Swity, 2013). Sehingga berat badan yang terkait dengan IMT tidak secara langsung berefek pada status imun penderita HIV, dimana dapat menjadi indikator prognosa kesehatan penderita, namun pemeriksaan berat badan dapat menjadi pemeriksaan yang penting bagi status nutrisi penderita. Status nutrisi yang baik pada penderita HIV sendiri guna untuk mempertahankan kekuatan dan yang lebih penting lagi untuk meningkatkan fungsi imun, sehingga dapat meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Pada seseorang dengan intake protein, mikronutrisi seperti iron, zinc, vitamin B12, dan folat yang tidak adekuat dapat menyebabkan penurunan sel monosit dan aktivitas makrofag, defisiensi Ig, dan penurunan konsentrasi serum sitokin dan komponen sel komplemen, serta terjadi induksi oxidative stress Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 92 (Yu Ping Tan, 2009). Jika penderita HIV dapat mempertahankan ketahanan tubuhnya, maka dapat juga menjaga penderita HIV tetap dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, aktif dan produktif (Nursalam, dkk., 2007). Jika dilihat dari respon subjektif yang mereka tuliskan pada form yang sudah disediakan oleh peneliti, beberapa subjek penelitian mengemukakan perubahan atau efek yang mereka rasakan secara subjektif. Beberapa efek posistif yang mereka rasakan seperti nafsu makan bertambah, dan badan terasa lebih fit. Hal tersebut menunjukan bahwa motivasi, dukungan dan perhatian dari orang lain dapat berpengaruh pola pikir, perasaan dan tindakan penderita HIV. Namun, hasil dari penelitian ini, kerja dari antioxidan yang terkandung dalam ekstrak kulit manggis tidak menunjukan perbedaan yang signifikan setelah diberikan. Hasil penelitian ini tentunya akan mendapatkan hasil yang jauh lebih bagus dengan jangka waktu perlakuan yang lebih lama dan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak, dengan meminimalkan faktorfaktor lain yang berpengaruh pada berat badan penderita. Banyak faktor yang mempengaruhi berat badan karena, dalam penelitian ini subjek yang digunakan adalah manusia, dimana kita ketahui bahwa manusia memiliki banyak sekali faktor yang berpengaruh pada berat badan. Subjek penelitian penelitian ini, memiliki kesetaraan karakteristik dasar/ srtarting point yang sama menurut statistik. Namun, banyak faktor lain seperti makan yang dikonsumsi seharihari, aktivitas keseharian subjek penelitian yang berbeda-beda. Hal ini akan mempengaruhi keadaan umum penderita. Sehingga, dapat mempengaruhi hasil penilaian berat badan. Berbeda jika penelitian ini dilakukan pada mencit yang dapat dikontrol secara keseluruhan. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut dengan intensitas kontrol yang lebih menyeluruh, sehingga tidak banyak faktor yang mempengaruhi hasil penilaian variabel penelitian. Kesimpulan Pemberian ekstrak kulit manggis (Garciana mangostana ) tidak efektif terhadap jumlah sel berat badan dalam kelompok perlakuan penderita HIV dengan terapi ARV. Diperlukan penelitian selanjutnya dengan pengembangan kajian pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana ), khususnya kandungan ektrak kulit manggis, apakah terdapat interaksi yang menimbulkan efek negative antara ekstrak kulit manggis dengan terapi ARV. Penelitian dengan jangka waktu agar mendapatkan hasil penelitian yang jauh lebih baik. Selain itu, diperlukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan orang sehat sebagai kelompok kontrol dengan kontrol penuh pada seluruh faktor-faktor yang berpengaruh pada berat badan. Diperlukan pemeriksaan darah lengkap yang berpengaruh pada berat badan serta lebih lengkap dan pemeriksaan viral load. Juga dibutuhkan penelitian efektivitas pemberian motivasi, dukungan, dan perhatian terhadap pola pikir, perasaan dan tindakan penderita HIV, terkait dengan data hasil pengakuan subjektif responden penelitian ini. Daftar Pustaka Abbas AK, Lichtman AH PS. 2007. Celluer and Molecular Immunology. 6th ed. Philadelpia, WB Saunders. Karnen B. 2004. Imunologi Dasar. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 93 Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jawa Tengah. 2014. Rencana Strategis Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Jawa Tengah. Nursalam, Kurniawati D. Nunuk. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Edisi I. Jakarta: Salemba Medika. Planta Med. 1996. Aug;62(4):381-2. Chen SX, Wan M, Loh BN. Active constituents against HIV-1 protease from Garcinia mangostana. Journal of pubmed.gov. Spiritia Y. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Sampai Desember. 2013. p. http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf. UNAIDS. AIDS Epidemic. 2013. p. http://www.unaids.org/en/dataanalysis/epidemiology. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 94 LITERATUR REVIEW : DUKUNGAN KELUARGA, EFIKASI DIRI DAN KUALITAS HIDUP LANSIA DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 Dwi Yuniar Ramadhani Mahasiswa Magister Keperawatan, Fakultas Kedokteran,Universitas Diponegoro Email : [email protected] Abstrak Latar Belakang : Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang dihasilkan dari kerusakan pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya. Perawatan penderita dengan diabetes melitus membutuhkan waktu yang lama sehingga berpengaruh pada kualitas hidup penderita. Penderita yang tinggal dengan keluarga dapat memberikan dukungan sehingga berpengaruh pada kualitas hidup. Efikasi diri pasien DM dapat ditunjukkan dari sebuah perilaku tertentu dan mengubah pola pikir tertentu sehingga dapat mengelola dan meminimalkan gejala yang mereka alami dan meningkatkan kualitas hidup. Metode: Literatur review dengan mengumpulkan jurnal dengan cara melakukan penelusuran jurnal yang telah terpublikasi pada ProQuest, Ebsco, Google Search, Google Scholar dengan menggunakan kata kunci Dukungan Keluarga, Self Efficacy, Kualitas Hidup, Lansia dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal yang diambil mempunyai kemiripan kemudian dianalisis. Penelusuran dibatasi terbitan tahun 2005-2015 dengan format Fulltext PDF. Hasil: Dari hasil penelusuran didapatkan 167 abstrak dan diambil 8 jurnal yang sesuai untuk dilakukan review. Diskusi: Diabetes mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Beberapa hal yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita diabetes melitus diantaranya adalah dukungan keluarga dan efikasi diri. Dengan adanya hubungan dukungan keluarga dan efikasi diri maka penderita dapat melakukan perawatan diri, meningkatkan kemampuan dan merubah pola pikir sehingga dapat mengelola dan meningkatkan kualitas hidup. Kesimpulan : Dukungan keluarga, efikasi diri, dan kualitas hidup penting bagi lansia dengan diabetes melitus tipe 2, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan dari ketiga komponen tersebut. Kata Kunci: Dukungan Keluarga, Efikasi Diri, Kualitas Hidup, Lansia denganan DM Tipe 2 Pendahuluan Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang dihasilkan dari kerusakan pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel-sel beta pankreas, yang diperlukan untuk memanfaatkan glukosa dari makanan yang dicerna sebagai sumber energi (Loghmani, 2005). Diabetes tipe 2 adalah tipe diabetes yang banyak terjadi, biasa terjadi pada usia dewasa, tetapi banyak juga pada anak-anak dan remaja (International Diabetes Federation, 2013, p.23). Faktor yang beresiko berpengaruh pada pathogenesis diabetes diantaranya adalah penuaan, obesitas, peminum alkohol, perokok, faktor genetik, dan lain-lain (Ozougwu et al, 2013). Banyak orang dengan diabetes tipe 2 tidak menyadari penyakitnya, karena butuh waktu bertahun-tahun gejala dari penyakit tersebut muncul. Mereka didiagnosa ketika telah terjadi komplikasi diabetes (International Diabetes Federation, 2013, p.23). Komplikasi diabetes berhubungan dengan mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi mikrovaskular seperti retinopati, nefropati, neuropati. Komplikasi makrovaskular seperti Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 95 penyakit arteri koroner, stroke, penyakit peripheral vascular, adanya ulserasi dan anggota badan yang diamputasi (CDC, 2002). Penderita DM yang sudah terdiagnosa harus mengubah gaya hidup mereka. Mereka mengalami banyak emosi negatif yang menyebabkan kesulitan beradaptasi sosial, mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dan menyebabkan kecacatan. Hasil penelitian didapatkan berbagai faktor (misalnya, penyakit, durasi, faktor sosial, komplikasi, metode pengobatan, dan keadaan emosi) berpengaruh pada keadaan emosional dan kualitas hidup pasien DM (Mikailiūkštienė et al, 2013). Kualitas hidup penderita Diabetes Melitus merupakan perasaan puas dan bahagia akan hidup secara umum. Kualitas hidup telah digambarkan oleh WHO (1994) sebagai sebuah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan pada konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal hidup, harapan, standar dan fokus hidup mereka. Meningkatkan kualitas hidup penderita DM dibutuhkan pengelolaan yang baik. Pengelolaan DM tipe 2 membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan perhatian jangka panjang untuk perawatan diri dan perilaku preventif (Hunt, Caralise W, et al. 2012). Perawatan pada DM membutuhkan waktu yang lama karena penyakit tersebut merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup dan memiliki permasalah yang sangat kompleks. Penderita harus memiliki kemampuan dan keyakinan diri untuk dapat melakukan perawatan diri serta membutuhkan dukungan keluarga terdekat. Dukungan sosial dan anggota keluarga dianggap sebagai sumber yang berpengaruh pada dukungan sosial untuk penderita diabetes. Anggota keluarga dapat memberikan dampak positif dan atau negatif pada kesehatan penderita diabetes, mengganggu atau memfasilitasi aktivitas perawatan diri dan berkontribusi atau menpengaruhi stress pada kontrol glikemik (Mayberry et al, 2012). Berdasarkan social cognitive theor y Bandura (1994) menyatakan bahwa salah satu bentuk dukungan sosial berasal dari keluarga yang merupakan salah satu sumber informasi yang mendukung peningkatan efikasi diri. Efikasi diripada lanjut usia berfokus pada penerimaan dan penolakan terhadap kemampuannya seiring dengan kemunduran fisik dan intelektual yang dialami (Bandura, 1994). Tujuan Untuk menggambarkan dukungan keluarga, efikasi diri dan kualitas hidup lansia dengan diabetes melitus tipe 2. Metoda Literatur review dengan mengumpulkan jurnal dengan cara melakukan penelusuran jurnal yang telah terpublikasi pada ProQuest, Ebsco, Google Search, Google Scholar dengan menggunakan kata kunci Dukungan Keluarga, Self Efficacy, Kualitas Hidup, Lansia dengan Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal yang diambil mempunyai kemiripan kemudian analisis. Penelusuran dibatasi terbitan tahun 2005-2015 denga format Fulltext PDF. Hasil Hasil penelitian Ariani (2012), didapatkan hubungan dukungan keluarga dengan efikasi diri (p = 0,010; α = 0,05; 95% CI ; 1,152; 16,286). Menggambarkan bahwa responden yang mendapatkan dukungan keluarga memiliki peluang 4,97 kali menunjukkan efikasi diri yang baik dibandingkan responden yang kurang mendapatkan dukungan keluarga. Hasil Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 96 penelitian Wahyuni (2014), menunjukkan responden yang memiliki nilai kualitas hidup tinggi adalah responden dengan kelompok umur lansia (65,9%). Tingginya kualitas hidup pada lansia disebabkan oleh lansia sudah menjalani kehidupan lebih lama dan mengalami berbagai perubahan sehingga mereka mampu mengevaluasi hidupnya lebih positif. Hasil penelitian Yusra (2011), menunjukkan analisis hubungan dukungan keluarga (dimensi emosional, penghargaan, instrumen dan informasi) dengan kualitas hidup responden menunjukkan pola positif, hubungan terkuat (r = 0.703). Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup responden (p value = 0.001). Hasil penelitian Rahmawati (2015), didapatkan rata-rata usia responden adalah 55,6 tahun dengan usia termuda 29 tahun dan tertua 81 tahun, dengan jumlah responden 50 orang. Nilai R2 adalah 0,403 yang berarti bahwa dukungan keluarga memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup sebesar 40,3% sedangkan sisanya 59,7% merupakan pengaruh dari variabel lain yang tidak diteliti. t value untuk dukungan keluarga terhadap kualitas hidup diperoleh 15,366. Nilai ini lebih besar dari titik kritis 1,96 (nilai t-tabel pada α = 5%) sehingga dapat disimpulkan dukungan keluarga terbukti berpengaruh signifikan terhadap kualitas hidup dengan kontribusi pengaruh sebesar 40,3%. Hasil penelitian Nursari (2014) didapatkan efikasi diri sedang dengan kualitas hidup sedang sebanyak 18 orang (31%). Hasil analisis menggunakan korelasi Spearman Rank menunjukkan ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pada peasien DM dengan p value sebesar 0,000 dan r hitung sebesar 0,678, sehingga dapat diartikan semakin tinggi efikasi diri pasien DM maka semakin baik kualitas hidupnya. Hasil penelitian Rini (2011) didapatkan ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien PPOK di RS Paru Batu (p value: 0,022 ; α: 0,10). Berdasarkan nilai OR dapat disimpulkan bahwa responden dengan efikasi diri baik memiliki peluang 3,417 kali menunjukkan kualitas hidup baik dibandingkan dengan responden yang memiliki efikasi diri tidak baik (CI 95% ; OR: 1,291-9,043). Hasil penelitian Caralise W, et al (2012) didapatkan Self-efficacy secara signifikan berkorelasi positif dengan pengelolaan diri diabetes [r (150) = 0,40], dukungan sosial [r (150) = 0,28], dan pemecahkan masalah sosial [r (150) = 0,36] pada p, 0,01. Diabetes manajemen diri tidak signifikan berkorelasi dengan dukungan sosial atau pemecahan masalah sosial dalam sampel ini. Hasil penelitian Permatasari (2014) didapatkan terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan perawatan diri lansia hipertensi (ρ< 0,02), terdapat hubungan antara efikasi diri dan perawatan diri lansia hipertensi (ρ< 0,00), terdapat hubungan antara dukungan keluarga dan efikasi diri (ρ< 0,00). Efikasi diri merupakan faktor yang paling dominan berkontribusi terhadap perawatan diri dengan nilai (beta 0,28). Terdapat koefisien regresi negatif antara dukungan keluarga dengan perawatan diri lansia hipertensi -0,02. Dukungan keluarga dan efikasi diri memiliki pengaruh sebesar 20% terhadap perawatan diri lansia hipertensi. Pembahasan American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 menyatakan diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2011). Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas yang membebaskan glukosa dari makanan untuk masuk kedalam sel dimana akan diubah menjadi energi yang dibutuhkan oleh otot dan jaringan. Seseorang dengan diabetes tidak mampu menyerap glukosa dengan baik dan sisa glukosa beredar dalam darah sehingga merusak jaringan dari waktu ke waktu. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 97 Kerusakan ini menyebabkan gangguan dan komplikasi kesehatan sehingga mengancam jiwa (International Diabetes Federation, 2013, p.22). Banyak orang dengan diabetes tipe 2 tidak menyadari penyakitnya, karena butuh waktu bertahun-tahun gejala dari penyakit tersebut muncul. Mereka didiagnosa ketika telah terjadi komplikasi diabetes. Orang dengan diabetes tipe 2 semakin berkembang pesat di seluruh dunia. Peningkatan ini berhubungan dengan perkembangan ekonomi, populasi usia lanjut, peningkatan urbanisasi, perubahan pola makan, kurangnya aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup (International Diabetes Federation, 2013, p.23). Diabetes mempengaruhi kualitas hidup penderita. Kualitas hidup merupakan gabungan persepsi individu tentang kesejahteraan, kepuasan, dan kebahagiaan, dipengaruhi oleh jenis, jumlah, dan frekuensi komplikasi metabolik. Penderita dengan diabetes merasa terbebani oleh emosi negatif, dengan pembatasan disebabkan oleh penyakit, dan oleh tekanan dan perencanaan diperlukan untuk pengelolaan penyakit. Beban penyakit yang juga membatasi produktivitas kerja, kehidupan sosial, hubungan keluarga, dan kepentingan rekreasi (Misra, et al, 2008). Dukungan keluarga sangat berpengaruh pada penderita DM tipe 2 dimana dapat meningkatkan keyakinan akan kemampuannya melakukan tindakan perawatan diri, meningkatkan kemampuan adaptasi dari kognitif sehingga meningkatkan optimisme penderita DM tipe 2, mengurangi kesepian. Penderita DM tipe 2 tinggal bersama keluarga akan merasakan perasaan nyaman dan aman sehingga dapat menumbuhkan perhatian terhadap diri sendiri dan meningkatkan motivasi untuk melakukan perawatan diri serta menurunkan resiko komplikasi dan meningkatkan kualitas hidupnya. Adanya rasa nyaman pada diri penderita DM tipe 2 adalah karena adanya dukungan emosional, penghargaan, instrumental dan informasi dari keluarga, sehingga dapat mencegah terjadinya stress pada penderita DM tipe 2 (Yusra, 2011; Rahmawati, 2015). Bentuk dukungan keluarga pada penderita DM usia lanjut merupakan bentuk bakti anak kepada orang tua. Bentuk bakti anak kepada orang tua adalah untuk memuja, merawat dan memenuhi kebutuhan mereka dimasa tua. Hubungan yang saling mendukung adalah dengan menyediakan sumber daya dan memfasilitasi manajemen diabetes (Liu, 2012). Berdasarkan social cognitive theor y Bandura (1994) menyatakan bahwa salah satu bentuk dukungan sosial berasal dari keluarga yang merupakan salah satu sumber informasi yang mendukung peningkatan efikasi diri. Efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi dirinya dan berperilaku (Bandura, 1994). Efikasi diri yang dimiliki oleh penderita DM baik atau kurang dapat dibentuk oleh individu itu sendiri. Adanya keyakinan pada diri pasien DM dapat ditunjukkan dari sebuah perilaku tertentu dan mengubah pola pikir tertentu sehingga dapat mengelola dan meminimalkan gejala yang mereka alami dan meningkatkan kualitas hidup. Kesimpulan Dukungan keluarga, self efficacy, dan kualitas hidup penting bagi lansia dengan diabtes melitus tipe 2, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan dari ketiga komponen tersebut. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 98 Daftar Pustaka Depkes RI. 2005. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Tenaga Kesehatan. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. P. 1 Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Semester I. Jakarta. Kementrerian Kesehatan RI. P. 9 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Diakses dari http://labcito.co.id. pada tanggal 19 Agustus 2015 jam 12.07 wib. International diabetes Federation. 2013. IDF Diabetes Atlas. Sixth Edition. P. 22. Diakses dari www.idf.org. pada tanggal 27 Agustus 2015 jam 15.22 wib. International diabetes Federation. 2014. IDF Diabetes Atlas. Sixth Edition. 2014 Update. P. 14. Diakses dari www.idf.org/regions/wetern-pacific. pada tanggal 27 Agustus 2015 jam 15.25 wib. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS 2013. Kementerian Kesehatan RI. P 88-90. Diakses dari http://www.litbang.depkes.go.id. pada tanggal 27 Agustus 2015 jam 8.12 wib. Hunt, Caralise W, et al. 2012. Relationships Among Self-Efficacy, Social Support, Social Problem Solving, and Self-Management in Rural Sample Living With Type 2 Diabetes Mellitus. Springer Publishing Company. P. 127. Diakses dari www.search.proquest.com. pada tanggal 25 Agustus 2015 jam 16.09 wib. Ariani.Yesi, Ratna Sitorus dan Dewi Gayatri. 2012. Motivasi Dan Efikasi Diri Pasien Diabtes Melitus Tipe 2 Dalam Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume 15. No. 1. Hal. 29-38. Wahyuni. Yuli, Nursiswati dan Anastasia Anna. 2014. Kualitas Hidup Berdasarkan Karakteristik Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Volume 2. No. 1. Hal 25-34. Yusra, Aini. 2010. Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Tesis. Rahmawati. Fuji, Elsa Pudji Setiawati dan Tetti Solehati. 2015. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Liu, Tingting & Nell Hodgson Woodruff. 2012. A Concept Analysis of Self Efficacy Among Chinese Elderly with Diabetes Mellitus. Wiley Periodicals, Inc. Nursing Forum. Volume 47. No. 4. P. 226-235. Tanggal 07-08-2015 jam 14.39 wib. Stipanovic. 2003. The effects of diabetes education on self-efficacy and self care (Thesis master, Unversity of Manitoba) University of Manitoba, Canada. Misra, Ranjit & Julie Lager. 2008. Predictors of Quality of Life Among Adults with Type 2 Diabtes Mellitus. Elsevier. Journal od Diabtes and Its Complication 22. P. 217-223. Tanggal 28-08-2015 jam 12.54 wib. Nursari, Made, Dkk. 2014. Hubungan Efikasi Diri Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien Diabtes Melitus di Poliklinik Interna BLUD RSUD Sanjiwani Gianyar. Keperawatan Jiwa, Komunitas dan Manajemen. Desember Vo. 1 No. 2. P. 186-192. Mayberry, Lindsay S, Chandra Y. Osborn. 2012. Family Support, Medication Adherence, and Glycemic Control Among Adults With Type 2 Diabetes. Clinical Care/Education/Nutrition/Psyhosocial Research. Diabtes Care Vol. 35. P. 1239-1245. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 99 J. C, Ozougwu, et al. 2013. The Pathogenesis and Pathophysiology of Type 1 and Type 2 Diabetes Mellitus. Journal of Physiology and Pathophysiology. Academic Journal Vol 4(4). P. 46-57. Loghmani, Emily. 2005. Guidelines for Adolescent Nutrition Services. P. 167-182. Permatasari, Leya Indah, dkk. (2014). Hubungan Dukungan Keluarga dan Self Efficacy Dengan Perawatan Diri Lansia Hipertensi. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 10. No. 2. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 100 KEEFEKTIFAN STRATEGI PROMOSI KESEHATAN DI NEGARA BERKEMBANG DENGAN LINGKUNGAN YANG KURANG MENGUNTUNGKAN PERJALANAN MENUJU STRATEGI PROMOSI KESEHATAN YANG SESUAI DENGAN KONTEKS INDONESIA Treesia Sujana Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Indonesia Abstrak Latar Belakang. Kesehatan maternal dan neonatal merupakan dua masalah kesehatan yang besaran masalahnya telah mendesak untuk diatasi. Walaupun angka kematian ibu telah menurun sebanyak 47% dalam sepuluh tahun, tetapi masih ada kurang lebih 287.000 ibu yang meninggal pada masa ante dan post natal pada tahun 2010. Tujuan. Tujuan dari kajian literature ini adalah untuk mempelajari strategi promosi kesehatan dari konteks yang nyata dan melihat faktor faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari program program yang telah dicanangkan. Metoda. Studi ini menggunakan metoda strategy literature review dari 20 artikel yang membahas strategi promosi kesehatan. Sample menggunakan purposive sampling dengan populasi artikel akademik yang telah melalui proses peer reviewed. Artikel dipilih melalui database artikel penelitian ProQuest dan melalui proses seleksi dengan penelusuran abstrak dan full text. Sample dipilih dengan kriteria: memiliki strategi promosi kesehatan; mendeskripsikan evaluasi dari strategi promosi kesehatan yang diteliti dan ditulis; dan mengimplementasikan strategi promosi kesehatan di negara negara berkembang dengan pendapatan rendah dan menengah sebagai konteks. Hasil. Dari ke-20 penelitian intervensi promosi kesehatan didapatkan adanya 4 tujuan besar dari strategi promosi kesehatan. Penigkatan kesadaran terhadap kesehatan, peningkatan terhadap akses dan layanan kesehatan Ibu dan anak, mengurangi angka kematian anak, serta analisis pihak pihak yang berkepentingan dalam kesehatan Ibu dan anak. 13 dari 20 artikel yang diteliti ditemukan berfokus pada the Ottawa Charter action area yang kedua yaitu promosi kesehatan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi peningkatan kesehatan. Kesimpulan. Ada duaj hal penting yang teridentifikasi dari studi ini.pertama adalah bahwa mengerti konteks dan lokasi pemberian promosi kesehatan itu penting; memiliki pengetahuan dasar mengenai tahapan perilaku di masyarakat akan memperkaya peneliti dalam menyusun tujuan dan prioritas. Kedua, memliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mendekati pemegang kebijakan akan sangat diperlukan dalam pemberian strategi promosi kesehatan the Ottawa Charter action area yang pertama. Kata Kunci: kesehatan komunitas, strategi promosi kesehatan, ibu dan anak. Pendahuluan Kesehatan maternal dan neonatal merupakan dua masalah kesehatan yang besaran masalahnya telah mendesak untuk diatasi. Oleh karena itu PBB telah mengembangkan 8 Millenium Development Goals (MDGs) dimana menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu menjadi dua fokus pengembangannya (PBB, 2013). Walaupun angka kematian ibu telah menurun sebanyak 47% dalam sepuluh tahun, tetapi masih ada kurang lebih 287.000 ibu yang meninggal pada masa ante dan post natal pada “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 101 tahun 2010 (WHO, 2013). WHO pada tahun 2013 juga menekankan bahwa penyebab paling besar dari kematian ibu dapat dihindari, dimana akses untuk mendapatkan layanan kesehatan maternal dan tidak adanya kesadaran terhadap bahaya bahaya terkait kesehatan maternal merupakan penyebab kematian yang paling utama. Selain itu angka kematian anak di dunia juga belum mencapai target yang ditetapkan oleh MDGs yaitu menurunkan angka kematian anak hingga dua pertiga dalam periode 15 tahun dari 93 anak menjadi 31 anak di setiap 1000 kelahiran pada 2015 (PBB, 2012). Kesehatan neonatal sendiri sangat tergantung pada kesehatan ibu. Kematian dan kesakitan neonatal seringkali terkait dengan kesehatan ibu ketika masa kehamilan dan juga terkait dengan ketrampilan Ibu pada masa neonatal. Apabila kita melihat dari paradigma sehat (Greg & O'Hara, 2007) kesehatan Ibu merupakan sesuatu yang rumit, semua dimensi kesehatan Ibu akan mempengaruhi pengetahuan dan ketrampilan Ibu. Oleh demikian, layanan kesehatan maternal dan neonatal yang terintegrasi akan meningkatkan kemungkinan menurunnya angka kematian ibu dan anak. Konteks yang dipilih dari kajian literature terhadap strategi promosi kesehatan ini adalah negara negara berkembang yang terindikasi memiliki berbagai faktor penentu kesehatan yang diakibatkan oleh situasi yang kurang menguntungkan. Terlebih lagi infrastruktur yang kurang dan kondisi sosial ekonomi di negara negara berkembang terindikasi sebagai kontributor paling besar terhadap angka kematian ibu dan neonatal. Laporan MDGs membuktikan bahwa negara negara Sub-Sahara Afrika dan wilayah Asia Tenggara terdata sebagai negara dengan angka kematian maternal dan anak dibawah lima tahun yang tinggi di dunia (PBB Laporan MDGs, 2012). Struktur dari kajian literature ini dimulai dengan penjelasan singkat dari hasil analisa dari 20 artikel hasil penelitian yang disajikan di dalam bagan. Penemuan dari analisa kemudian dikembangkan dan didukung dengan literature pendukung pada bagian diskusi. Akhirnya penekanan kembali dari tujuan dan keuntungan dari studi ini akan dijelaskan di kesimpulan. Tujuan Studi ini akan menganalisa strategi promosi kesehatan yang telah dilakukan di area kesehatan maternal dan neonatal. Tujuan dari kajian literature ini adalah untuk mempelajari strategi promosi kesehatan dari konteks yang nyata dan melihat faktor faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari program program yang telah dicanangkan. Kajian literature ini juga akan melihat kemungkinan dari adanya proses adaptasi dan pengembangan strategi strategi promosi kesehatan baru. Metoda Studi ini menggunakan metoda strategy literature review dari 20 artikel yang membahas strategi promosi kesehatan. Sample pada studi ini menggunakan purposive sampling dengan populasi artikel artikel akademik yang telah melalui proses peer reviewed. Artikel dipilih melalui database artikel penelitian ProQuest dan melalui proses seleksi dengan penelusuran abstrak dan full text. Sample kemudian dipilih dengan kriteria : memiliki strategi promosi kesehatan; mendeskripsikan evaluasi dari strategi promosi kesehatan yang diteliti dan ditulis; dan mengimplementasikan strategi promosi kesehatan di negara negara berkembang dengan pendapatan rendah dan menengah sebagai konteks. Setelah proses seleksi maka 20 artikel penelitian pengkajian strategi promosi kesehatan dengan konteks “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 102 negara Bangladesh, India, Malawi, Nepal, Sub Sahara Afrika, Pakistan, Burma, Kenya, Lesotho, Mesir rural dan Ghana terpilih menjadi sample. Ke-20 artikel yang terpilih kemudian di analisa dengan metoda pengkategorian yang memilah informasi pada setiap artikel. Pengkategorian pada studi ini ditentukan sesuai dengan ide ide penting yang kemudian muncul pada proses awal analisa yang kemudian dikaitkan dengan the Ottawa Chatter action area, yang merupakan area fokus promosi kesehatan dunia yang ditetapkan pada tahun 1986 di Konferensi Internasional Promosi Kesehatan yang pertama di Ottawa. Hasil Dari tahap membaca dan menyeleksi awal dari setiap artikel yang diteliti, pengkategorian mengarah kepada beberapa kategori besar yaitu: tujuan promosi kesehatan; konteks dari lokasi promosi kesehatan; pertanyaan penelitian dan hipotesa; strategi promosi kesehatan dan teori yang mendukung; fokus pada the Ottawa Charter action area, hasil dan metoda evaluasi; serta kekuatan dan kelemahan dari strategi promosi kesehatan yang digunakan. Bentuk dan tujuan dari intervensi promosi kesehatan Dari ke-20 penelitian intervensi promosi kesehatan didapatkan adanya 4 tujuan besar dari strategi promosi kesehatan. Penigkatan kesadaran terhadap kesehatan, peningkatan terhadap akses dan layanan kesehatan Ibu dan anak, mengurangi angka kematian anak, serta analisis pihak pihak yang berkepentingan dalam kesehatan Ibu dan anak adalah tujuan tujuan strategi promosi kesehatan yang ditemukan dalam studi ini. Terdapat delapan penelitian yang menggunakan grup pekerja kesehatan masyarakat, dimana anggota masyarakat yang pada umumnya wanita dilatih dan diberi pengetahuan mengenai kesehatan ibu dan anak. Enam diantaranya teridentifikasi berhasil menurunkan angka kematian ibu di area kontrol, meningkatkan angka ibu dengan peningkatan kesadaran terhadap kesehatan Ibu dan anak serta meningkatnya akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak. Selain menggunakan pekerja kesehatan komunitas, tiga penelitian menggunakan strategi penggunaan dukun bersalin terlatih untuk membantu menekan determinan kesehatan maternal di masyarakat. Dari hasil analisa didapatkan bahwa dalam ketiga pemberian intervensi strategi ini membuktikan adanya perbedaan antara grup wanita dengan dukun bersalin terlatih dan grup kontrol, dimana terdapat peningkatan angka pemberian layanan kesehatan terhadap ibu dan anak, serta adanya peningkatan angka ibu bersalin di tempat layanan kesehatan. Beberapa strategi lain seperti kunjungan rumah oleh perawat, adanya koperasi simpan pinjam bagi keperluan persalinan, serta intervensi dengan program Nasional yang dicanangkan pemerintah merupakan strategi promosi kesehatan lain yang teridentifikasi dalam studi ini. Strategi strategi tersebut tidak tercatat sebagai strategi yang berdampak signifikan terhadap kesehatan ibu dan anak. Program nasional yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak ditemukan memberikan perubahan pada perilaku kesehatan ibu, tetapi tidak teridentifikasi menurunkan angka kematian ibu dan bayi secara langsung dalam periode tertentu. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 103 Keterkaitan dengan area promosi kesehatan berdasarkan the Ottawa Charter action area 13 dari 20 artikel yang diteliti ditemukan berfokus pada the Ottawa Charter action area yang kedua yaitu promosi kesehatan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi peningkatan kesehatan, 5 artikel berfokus pada action area yang ke 1 yaitu membangun kebijakan yang sehaT. 1 artikel berfokus pada the Ottawa Charter action area 5 yaitu mengalihkan kembali layanan kesehatan yang berfokus ke klinis menjadi ke komunitas dan action area 3 yaitu memperkuat intervensi dalam skala komunitas. Analisa data mendapatkan bahwa kegiatan promosi kesehatan dengan menggunakan pekerja kesehatan masyarakat pada beberapa artikel tidak diketahui dengan jelas apakah faktor faktor yang mempengaruhi kesehatan ibu dan anak lain turut diteliti. Selain itu terdapat beberapa intervensi promosi kesehatan yang tidak tercatat dilakukan proses evaluasi. Di sisi lain, strategi ini diidentifikasi sebagai strategi kesehatan ibu dan anak yang mudah diadaptasi oleh ibu di komunitas karena memanfaatkan ibu ibu yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Selain pemanfaatan ibu ibu dalam masyarakat sebagai tenaga kesehatan komunitas, pelatihan terhadap dukun bersalin juga terbukti efektif dalam memberikan akses terhadap informasi dan layanan kesehatan bagi para ibu di komunitas. Meskipun demikian, terdapat keterbatasan dalam evaluasi program, dimana faktor penentu kesehatan lain tidak dipertimbangkan dalam proses evaluasi strategi ini. Terdapat lima buah artikel yang menekankan terhadap strategi promosi kesehatan dari sudut pandang pengambil kebijakan, dimana terdapat program program Nasional yang dicanangkan di masing masing lokasi penelitian dan mengkaji keberhasilan program program tersebut dengan provinsi lain sebagai kontrol. Semua strategi promosi kesehatan yang dilakukan teridentifikasi memiliki framework yang kuat sebagai landasan dalam melakukan intervensi di masyarakat. Tetapi terdapat adanya keterbatasan dalam implementasi strategi dan diperlukan tindakan lanjutan bagi keefektifan strategi ini. Pembahasan Hasil analisa dari 20 strategi promosi kesehatan yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa semua strategi promosi kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran individu; meningkatkan akses dan layanan kesehatan maternal dan neonatal yang menurunkan angka mortalitas dan memperkuat analisa pihak pihak yang berkepentingan dalam memberi keputusan pencanangan strategi. Sebagian besar strategi promosi kesehatan yang muncul dilakukan berdasarkan evaluasi dari implementasi promosi kesehatan sebelumnya atau strategi yang diadaptasi dari setting yang lain. Meskipun sebagian strategi promosi kesehatan dilakukan berdasarkan hasil evaluasi program sebelumnya, proses analisa mendapatkan bahwa pengkajian awal terhadap populasi target tetap dilakukan sebelum perencanaan intervensi dilakukan. Teridentifikasi beberapa faktor penting yang mempengaruhi proses adaptasi dari intervensi seperti: karakter populasi, jumlah partisipan, adanya faktor lingkungan dan sumber daya potensial dari komunitas. Faktor faktor inilah yang menurut teori promosi kesehatan dapat mempengaruhi keefektifan dari strategi promosi kesehatan di komunitas (Nutbeam, Harris & Wise, 2010) “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 104 Strategi strategi promosi kesehatan ditemukan berkaitan dengan the Ottawa Chatter action area yang kedua yaitu menciptakan lingkungan yang mendukung. Proses diskusi dalam menentukan area aksi promosi kesehatan global the Ottawa Chatter menyimpulkan bahwa menciptakan lingkungan yang mendukung berarti mengawasi dan mendukung satu dengan yang lainnya di dalam komunitas dan mengembangkan lingkungan berdasarkan potensi yang ada pada populasi atau lingkungan (WHO, 2009). Dalam studi ini pengembangan petugas kesehatan masyarakat, yang di Indonesia dikenal dengan kader, terbukti dapat merubah prilaku kesehatan ibu di masyarakat. Sebagai warga masyarakat, kader memiliki kemampuan untuk mendekati dan memberikan informasi kesehatan bagi para ibu di komunitas tanpa adanya hambatan budaya. Selain itu pemberdayaan dukun bersalin, kader dan pekerja kesehatan dalam komunitas bersama dengan para pemegang kepentingan dan juga organisasi kesehatan yang berperan dalam membangun lingkungan yang mendukung bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak. Seperti yang ditekankan dalam the ecological of human behaviour theory bahwa interaksi antara individu dengan lingkungannya pada akhirnya akan berdampak pada perubahan tingkah laku (Bronfenbrenner, 1994). Beberapa strategi terkait dengan the Ottawa Charter action area 1, yaitu membangun kebijakan yang sehat. Hampir semua strategi strategi yang terkait dengan the Otthawa Charter area 1 ini menganalisa kebijakan ibu dan anak dan mendokumentasijan efek dari strategi maternal dan neonatal. Untuk dapat mengkomunikasikan kebijakan dengan pemerintah, kita harus mampu membangun ulang permasalahan dan memiliki pengetahuan yang akan membawa kita terhadap pemecahan masalah. Akan tetapi beberapa strategi tidak menyertakan theoritical framework untuk startegi promosi kesehatan yang dicanangkan sehingga seringkali tidak mencapai tujuan spesifik dan tidak mendalam. Proses evaluasi seringkali hanya dihitung dari satu faktor dan memiliki hasil yang bias. Kesimpulan Kajian literatur ini telah memberikan gambaran akan beberapa pengembangan strategi promosi kesehatan ibu dan anak di negara berkembang seperti Indonesia. Evaluasi dari setiap strategi mendeskripsikan kebehrasilan dari setiap strategi dan intervensi yang diimplementasikan di masyarakat. Beberapa hal yang sangat penting dari kajian ini adalah bahwa: mengerti konteks dan lokasi pemberian promosi kesehatan itu penting; memiliki pengetahuan dasar mengenai tahapan perilaku di masyarakat akan memperkaya peneliti dalam menyusun tujuan dan prioritas. Kedua, memliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mendekati pemegang kebijakan akan sangat diperlukan dalam pemberian strategi promosi kesehatan the Ottawa Charter action area yang pertama. Keberlanjutan dari pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan dan dikembangkan dalam pengembangan konsep intervensi aksi promosi kesehatan. Ketiga, memiliki theoritical framework yang dapat memfokuskan intervensi pada tujuan dan akan memntukan bentuk intervensi yang akan dilakukan. Dengan mempertimbangkan hal hal ini penetapan tujuan yang mendalam dan sesuai dengan konteks serta intervensi yang nyata dapat dilakukan di masyarakat. Hal ini akan mengarah kepada tujuan yang paling utama yaitu menurunkan angka kematian ibu dan anak di komunitas. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 105 Daftar Pustaka Ahmed SM, Hossain A, Khan MA, Mridha MK, Alam A, Choudhury N, et al. (2010). Using formative research to develop MNCH programme in urban slums in Bangladesh: experiences from MANOSHI , BRAC. BMC Public Health ;10(1):663. Baqui AH, El-Arifeen S, Darmstadt GL, Ahmed S, Williams EK, Seraji HR, et al. (2008). Effect of community-based newborn-care intervention package implemented through two service-delivery strategies in Sylhet district,Bangladesh: a clusterrandomised controlled trial. The Lancet Jun;371(9628):1936-44. Bhutta ZA, Soofi S, Cousens S, Mohammad S, Memon ZA, Ali I, et al. (2011). Improvement of perinatal and newborn care in rural Pakistan through communitybased strategies: a cluster-randomised effectiveness trial. The Lancet. Jan;377(9763):403-12. Bhutta ZA, Soofi S, Cousens S, Mohammad S, Memon ZA, Ali I, et al. (2011). Improvement of perinatal and newborn care in rural Pakistan through communitybased strategies: a cluster-randomised effectiveness trial. The Lancet Jan;377(9763):403-12. Bronfenbrenner U.(1994). Ecological Models of Human Development. International Encyclopedia of Education Vol3. Oxford: Elesivier. Gregg J, O’Hara L. (2007).The Red Lotus Health Promotion Model: a new model for holistic, ecological, salutogenic health promotion practice. Health Promotion Journal of Australia (18): 12-19 Haider R, Ashworth A, Kabir I, Huttly SRA. (2000). Effect of community-based peer counsellors on exclusive breastfeeding practices in Dhaka, Bangladesh: A randomised controlled trial. The Lancet Nov 11;356(9242):1643-7. Huntington D, Banzon E, Recidoro ZD.(2012). A systems approach to improving maternal health in the Philippines. World Health Organization. Bulletin of the World Health Organization 02;90(2):104-10. Hussein J, Kanguru L, Astin M, Munjanja S. (2012). The Effectiveness of Emergency Obstetric Referral Interventions in Developing Country Settings: A Systematic Review. PLoS Medicine 07;9(7):e1001264. Jokhio AH, Winter HR, Cheng KK. (2005). An Intervention Involving Traditional Birth Attendants and Perinatal and Maternal Mortality in Pakistan. N Engl J Med .May 19;352(20):2091-9. Kalter HD, Mohan P, Mishra A, Gaonkar N, Biswas AB, Balakrishnan S, et al. (2011). Maternal death inquiry and response in India - the impact of contextual factors on defining an optimal model to help meet critical maternal health policy objectives. Health Research Policy and Systems ;9(1):41. Kasem E, Habib F, Delal KE, Neff-Smith M, O'Donnell C. (2011). The effect of home visitation on Egyptian maternal health and health behavior: A pilot study. Journal of Multicultural Nursing & Health. Winter;7(1):11-16. Khan et.al. (2013). Interventions to reduce neonatal mortality from neonatal tetanus in low and middle income countries-a systematic review. BMC Public Health13:322 Kirkwood BR, Manu A, ten Asbroek A,H.A., Soremekun S, Weobong B, Gyan T, et al. (2013). Effect of the Newhints home-visits intervention on neonatal mortality rate and care practices in Ghana: a cluster randomised controlled trial. The LancetJun 22;381(9884):2184-92. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 106 Kruk ME, Jakubowski A, Rabkin M, Elul B, Friedman M, El-Sadr W. (2012). PEPFAR Programs Linked To More Deliveries In Health Facilities By African Women Who Are Not Infected with HIV. Health Aff . 07;31(7):1478-88. More NS, Bapat U, Das S, Alcock G, Patil S, Porel M, et al. (2012). Community Mobilization in Mumbai Slums to Improve Perinatal Care and Outcomes: A Cluster Randomized Controlled Trial. PLoS Medicine 07;9(7):e1001257. Mullany LC, Lee TJ, Yone L, Lee CI, Teela KC, Paw P, et al. (2010)Impact of Community-Based Maternal Health Workers on Coverage of Essential Maternal Health Interventions among Internally Displaced Communities in Eastern Burma: The MOM Project. PLoS Medicine 08;7(8):e1000317. Nutbeam D, Harris E, Wise M. (2010). Theory in a Nutshell: a practical guide to health promotion theories. 3rd edn. NSW: McGraw-Hill, Ouma PO, van Eijk A,M., Hamel MJ, Sikuku ES, Odhiambo FO, Munguti KM, et al.(2010). Antenatal and delivery care in rural western Kenya: the effect of training health care workers to provide "focused antenatal care". Reproductive Health;7(1):1. Prost A, Colbourn T, Seward N, Azad K, Coomarasamy A, Copas A, et al. (2013). Women's groups practicing participatory learning and action to improve maternal and newborn health in low-resource settings: a systematic review and metaanalysis. The Lancet May 18;381(9879):1736-46. Saha S, Annear PL, Pathak S. (2013). The effect of Self-Help Groups on access to maternal health services: evidence from rural India. International Journal for Equity in Health;12(1):36. Satti H, Motsamai S, Chetane P, Marumo L, Barry DJ, Riley J, et al. (2012). Comprehensive Approach to Improving Maternal Health and Achieving MDG 5: Report from the Mountains of Lesotho. PLoS One 08;7(8). Tylleskär T, Jackson D, Meda N, Engebretsen IMS, Chopra M, Diallo AH, et al. (2011) Exclusive breastfeeding promotion by peer counsellors in sub-Saharan Africa (PROMISE-EBF): a cluster-randomised trial. The LancetJul;378(9789):420-7. United Nation Development Programme. The Millenium Development Goals, Eight Goals for 2015. [homepage on the internet] [cited 2013 Sept 4] available on http://www.undp.org/content/undp/en/home/mdgoverview/ United Nation. The Millenium Development Goals Report .(2012). New York : United Nation United Nation. The Millenium Development Goals Report. (2013). New York : United Nation World Health Organizations. (2013). MDG 5: Improve Maternal Health [homepage on the internet] [cited 2013 Sept 4] available on http://www.who.int/topics/millennium _development_goals/maternal_health/en/index.html World Health Organizations. (2009). Milestones in Health Promotion, Statements from Global Conferences [cited 2013 Sept 4] available on www.who.int/ health promotion “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 107 PENGARUH PENGGUNAAN SMS DAN TELPON PENGINGAT TERHADAP KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS PARU : LITERATUR REVIEW Domianus Namuwali Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Email : [email protected] Abstrak Latar Belakang. Pada tahun 2014 ada sekitar 8,6 kasus TB paru di seluruh dunia. Pengobatan TB paru selama 6 bulan. Kemungkinan penderita tidak patuh minum obat sangat besar karena waktu pengobatan lama, jumlah obat yang banyak, efek samping, kurang kesadaran penderita akan penyakitnya dan pasien tidak mengambil obat karena lupa. penggunaan sms dan telepon pengingat memiliki potensi untuk membantu mempromosikan kapatuhan pengobatan Tuberkulosis. Tujuan. untuk mengetahui pengaruh penggunaan SMS dan telepon pengingat terhadap kepatuhan pasien minum obat anti Tuberkulosis paru. Metode. Metode penelitian yang digunakan adalah literatur review terhadap hasil penelitian yang berkaitan dengan pengaruh penggunaan sms dan telepon terhadap kepatuhan pasien minum obat tuberkulosis yang dipublikasi pada pangkalan data (data base) EBSCO, dan PubMed, artikel yang dipilih merupakan artikel bahasa Inggris yang terbit sejak tahun 2011 sampai tahun 2014. Hasil. Hasil pencarian pada pangkalan data, artikel yang ditemukan sebanyak 16 dan hanya 5 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil dari artikel yang ditemukan adalah pengaruh penggunaan sms terhadap kepatuhan minum obat anti tuberkulosis berkisar 72,94 % - 100% dan pengaruh penggunaan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat berkisar 66 % 100%. Kesimpulan. Penggunaan sms dan telepon pengingat efektif untuk meningkatkan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis Kata Kunci: Sms, telpon, kepatuhan, Tuberkulosis Pendahuluan Tuberkulosis adalah Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis(Depkes RI, 2005).penyakit Tuberculosis ditularkan ke orang lain melalui inhalasi. (Liu et al., 2014) Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia. Pada laporan WHO tahun 2014 menyebutkan bahwa penduduk diseluruh dunia yang menderita TB Paru sebanyak 6.1 juta kasus TB dan terdapat 5.7 juta kasus baru dan kasus TB kambuh. India dan Cina menyumbang 37 % dari 5,7 juta dan sisanya terdapat di beberapa negara seperti Negara-negara Afrika, Eropa, Amerika Dan Asia Tenggara (WHO, 2014). Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dilaporkan pada tahun 2014 penduduknya berjumlah 252.124.458 jiwa dan dari jumlah tersebut yang menderita TB Paru sebanyak 285.254 jiwa dan terdapat 176.677 kasus baru TB Paru BTA Pisitif 176.677. Pada tahun 2014 cakupan angka kesembuhan penderita TB Paru sebanyak 74,2%. (Kemenkes RI, 2015). Pengobatan TB berlangsung enam sampai delapan bulan dan dapat mengakibatkan efek samping yang sulit seperti mual, pusing, ruam kulit, dan gejala seperti flu. Kepatuhan terhadap rejimen pengobatan sangat penting untuk pengendalian TB. Kegagalan dalam mematuhi pengobatan dapat mengakibatkan pasien terus menularkan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 108 penyakit dan dapat mengarah pada pengembangan TB yang resistan terhadap obat multi (MDR-TB). MDR-TB lebih sulit disembuhkan dan membutuhkan rejimen pengobatan yang lebih lama hingga dua tahun. Organisasi kesehatan dunia WHO merekomendasika pendobatan TB yang diawasi secara langsung yang disebut (DOTS). Sebagai strategi untuk memantau kepatuhan pasien minum obat. (Nglazi, Bekker, Wood, Hussey, & Wiysonge, 2013). Salah satu kunci keberhasilan pengobatan TB adalah Kepatuhan (adherence) penderita terhadap farmakoterapi. Bentuk intervensi untuk meningkatkan adherence Pemberian informasi sesuai kebutuhan penderita sehingga penderita memahami kondisi dan risiko kesehatannya memahami risiko kalau tidak adherence. Bentuk Reminder (alat pengingat) yang dapat dipakai dan dianjurkan adalah :Kalender, Instruksi yang jelas, dengan huruf yang besar dan menyolok, Surat, Pamflet Telpon dll(Depkes RI, 2005) Beberapa strategi mempromosikan keptuhan pengobatan TB telah dilakukan penelitian. Penyedian komunikasi tentang kepatuhan; mengembangkan atau meningkatkan dukungan layanan kepatuhan pengobatan yang ditawarkan oleh tim (perawat, dokter, apotek, pasien dan lain-lain) terapy yang diamati secara langsung (melibatkan seorang pekerja perawatan kesehatan, perawatan komunitas, atau anggota keluarga langsung memantau pasien waktu menelan obat TB) (Nglazi et al., 2013). Penggunaan pesan singkat (layanan sms) telah diusulkan sebagai sarana untuk mempromosikan kepatuhan pengobatan TB. pesan teks dikirim setiap hari atau mingguan pada pasien mengingatkan untuk ambil obat. (Nglazi et al., 2013). Pasar ponsel global seluler saat ini sekitar 1,8 milyar pelanggan dan diperkirang 3 milyar pada akhir tahun 2010 (Reid dan Reid dalam Liliweri Alo, 2015). Ponsel mengambil alih semua usaha untuk menjawab pikiran perasaan dan tindakan pengguna pada tingkat regional dan internasional. Ponsel telah mengubah cara dimana semua interaksi antarpersonal dapat terjadi dalam suatu masyarakat, karena itu pandangan sosiologis kehadiran ponsel sangat relevan.(Liliweri Alo, 2015). Berdasarkan fenomena diatas maka dirumuskan pertanyaan klinis dalam bentuk PICO (Patients/Problem, Intervention, Comparison, Outcome). Dalam jurnal ini, P: pasien TB Paru, I: DOTS dengan SMS dan telepon pengingat, C: DOTS Standar tanpa pengingat O: Kepatuhan minum obat anti tuberkulosis paru. Dari PICO dapat diformulasikan pertanyaan klinis menjadi “apakah ada pengaruh penggunaan SMS dan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat antit tuberkulosis ?“. Untuk mendapatkan bukti terbaik tentang penggunaan ponsel (telpon seluler) dalam bentuk sms dan telpon sebagai salah satu intervensi untuk mempromosikan kepatuhan pengobatan TB peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan sistimatic review. . Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan SMS dan telepon pengingat terhadap kepatuhan pasien minum obat anti Tuberkulosis paru. Metode Metode penelitian yang digunakan adalah Systematic/literatur review, studi evaluasi, Random Control Trial terhadap artikel tentang penggunaan pesan singkat (SMS) dan telpon pengingat terhadap kepatuhan pasien minum obat Tuberkulosis. Pencarian jurnal penelitian dilakukan dengan menggunakan pencarian literatur pada pangkalan data (data base) EBSCO dan PubMed. Jurnal yang dipilih adalah jurnal berbahasa Inggris yang Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 109 dipublikasikan pada tahun 2011 sampai dengan 2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Adapun kriteria inklusi artikel yang sebagai berikut : 1. Jenis penelitian : Sistimatic Review, 2. Peserta/partisipan : pasien usia dewasa dan anak yang sedang menerima pengobatan TB. 3. Jenis intevensi : penggunaan pesan singkat (sms) dan telpon pengingat untuk mempromosikan kepatuhan minum obat tuberkulosis paru. Kriteria eksklusi artikel adalah : 1. Jenis penelitian : penelitian kualitatif. 2. Jenis intervensi : penggunaan layanan media, penggunaan kalender, penggunaan kartu monitoring. Hasil Artikel yang ditemukan melalui pencarian data pada pangkalan data ESBCO dan PubMed sebanyak 5 artikel yang terdiri 2 artikel dengan jenis penelitian sistimatic review dan 1 artikel dengan jenis penelitian study evaluasi dan 2 artikel dengan jenis penelitian Random Control Trial (RCT). Hasil dari artikel yang ditemukan adalah pengaruh penggunaan sms terhadap kepatuhan minum obat anti tuberkulosis berkisar 72,94 % 100% dan pengaruh penggunaan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat berkisar 66 % 100%. Hasil lengkap dari lima artikel dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Penggunaan sms dan telepon pengingat terhadap kepatuhan minum obat anti tubekulosis No Judul Mobile phone text messaging for promoting adherence to antituberculosis treatment: a systematic review protocol Tahun: 2013 Penulis Mweete D Nglazi Linda Gail Bekker, Robin Wood, Gregory D Hussey Charles S Wiysonge Desain, Sampel, Cara menganalisa data Desain: Sistimatic review Sampel: 4 artikel dengan 565 responden Analisa data dengan menggunakan Cochrane Collaboration Review Manager version 5.1 Hasil Hasil dari 4 artikel akan diuraikan sebagai berikut : 1. Bridges.org: Evaluation of the On Cue Compliance Service pilot: Testing the Use of SMS Reminders in the Treatment of Tuberculosis in Cape Town, South Africa . Cape Town. Cape Town: Bridges.org; 2005. Hasil dari penelitian ini keberhasilan pengobatan pada kelompok yang di invensi SMS sebesar 72,94% dan kelompok DOTS 69,4% dan tingkat tingkat penyelesaian pengobatan TB lebih tinggi pada kelompok intervensi SMS sebesar 10,59 % dibandingkan dengan DOTS 3,0%. 2. Broomhead S, Mars M: Retrospective return on investment analysis of an electronic treatment adherence device piloted in the Northern Cape Province. Hasil dari penelitian adalah tingkat kesembuhan TB secara signifikan lebih tinggi pada kelompok SIMpill® - Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 110 3. 4. Reminder systems to improve patient adherence to tuberculosis clinic appointments for diagnosis and treatment Tahun: 2014 Liu Q, Abba K, Alejandria MM, Sinclair D, Balanag VM, Lansang MAD Desain Sistimatic review Sampel : 4654 Analisa data dilakukan dengan menggunakan review manager kelompok DOTS (RR 2,32, 95% CI 1,60-3,36). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkatkan kepatuhan pengobatan lebih tinggi pada kelompok yang menggunakan SIMpill® dengan kombinasi DOTS standar daripada krlompok yang menggunakan DOTS standar saja. Owiti P, Gardner A, Szkwarko D, Diero L, Carter EJ: Mobile phone text messaging reminders to aid adherence to tuberculosis care in Eldoret, Kenya. 43rd World Conference on Lung Health of The Union, Kuala Lumpur, Malaysia 2012. Hasil penelitian ini adalah kelompok yang menerima sms pengingat mempunyai kecenderungan 1,6 kali lebih tinggi untuk mematuhi jadwal klinik dibandingkan dengan mereka yang tidak (95% CI 1,06-2,29) Iribarren S, Chirico C, Echevarrria M, Cardinali D: TextTB: a parallel design randomized control pilot study to evaluate acceptance and feasibility of a patient-driven mobile phone based intervention to support adherence to TB treatment. Hasil penelitian ini adalah Pada 60 hari setelah dilakukan intervensi di peroleh hasil, pada kelompok yang di intervensi memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol, tetapi perbedaan ini secara statistik tidak signifikan (RR 1,49, 95% CI 0,90-2,42) Hasil dari penelitian ini adalah kelompok (penderita) yang dirawat dengan TB aktif meningkatkan kehadiran ke klinik dan pengobatan sampai selesai lebih tinggi pada kelompok yang menerima telpon pengingat sebelum perjanjian (kehadiran ke klinik dari 66% berbanding 50%; RR 1,32, 95% CI 1,10-1,59, satu percobaan (USA), 615 peserta, bukti kualitas rendah, Pengobatan TB selesai: 100% berbanding 88%; RR 1,14, 95% CI 1,02-1,27, satu percobaan (Thailand), 92 peserta, bukti kualitas rendah). Kehadiran ke Klinik dan pengobatan TB selesai juga lebih tinggi dengan menggunakan pengingat kegagalan (huruf atau kunjungan rumah) (klinik kehadiran: 52% vs 10%; RR 5,04, 95% CI 1,61-15,78, satu percobaan (India), 52 peserta, bukti kualitas rendah; pengobatan penyelesaian: RR 1,17, 95% CI 1,11-1,24, dua uji coba (Irak dan India), 680 peserta, bukti kualitas sedang). Untuk orang-orang profilaksis TB, Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 111 Tuberculosis treatment with mobile-phone medication reminders in northern thailand Piyada Kunawararak, Sathirakorn Pongpanich, Sakarin Chantawong, Pattana Pokaew, Patrinee Traisathit, Kriengkrai Srithanaviboonchai and Tanarak Plipat Desain: Study evaluasi Tahun: 2013 HSiu-Ling Huang, Yu-Chuan Jack Li, Yueh-Ching Chou4, Yow-Wen Hsieh, Frank Kuo, Wen-Chen Tsai1, Sinkuo Daniel Chai1, Blossom Yen-Ju Lin, Pei-Tseng Kung and ChiaJung Chuang TextTB: A Mixed Method Pilot Sarah Iribarren Susan Beck Desain: RCT Sampel: Kelompok intervensi 763 dan kelompok kontrol 435 Analisa data dilakukan dengan uji chi-sguare utk mengidentifikasi perbedaan antara klpk intervensi dan kelompok kontrol. Desain: RCT Tahun : 2011 Effects of and satisfaction with short message service reminders for patient medication adherence: a randomized controlled study Sampel: 3,993 Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah STATA (versi 10.1.) dan Epi Info (versi 6.0). kehadiran ke klinik lebih tinggi dengan kebijakan penggunaan telpon pengingat sebelum perjanjian (63% berbanding 48%; RR 1,30, 95% CI 1,07-1,59, satu percobaan (USA), 536 peserta); dan kehadiran di klinik akhir lebih tinggi dengan rutin tiga bulanan telepon-telepon atau kunjungan perawat (93% berbanding 65%, satu percobaan (Spanyol), 318 peserta). Bagi orang-orang yang menjalani skrining untuk TB, tiga uji coba Telpon pengingat sebelum perjanjian menemukan sedikit atau tidak berpengaruh pada proporsi orang yang kembali ke klinik untuk hasil uji kulit mereka (tiga percobaan, 1189 peserta, bukti kualitas rendah), dan dua percobaan menemukan sedikit atau tidak berpengaruh dengan kartu take home pengingat (dua percobaan, 711 peserta). Hasil dari penelitian ini adalah 1. Pada kelompok TB-MDR yang diobati selama 18 bulan dengan Model 2 (pengobatan dengan DOTS ditambah dengan penggunaan telpon pengingat) dan non TB-MDR kelompok perlakuan selama 6 bulan dengan Model 2, diperoleh tingkat keberhasilan 100%. 2. Pada kelompok TB-MDR yang dirawat menggunakan Model 1 (Penggunaan DOTs tanpa telpon pengingat) diperoleh tingkat keberhasilan adalah 73,7% dan pada kelompok Kelompok Non TB-MDR yang diobati dengan Model 1 diperoleh tingkat keberhasilan 96,7%. Perbedaan yang signifikan untuk kedua TB-MDR kelompok (p=0,0001) dan non TB-MDR kelompok (p=0,047) antara kedua model Hasil dari penelitian adalah : Pada kelompok kontrol mengalami penurunan insiden dosis tertunda pada sebesar 46,4% pada kelompok kontrol dan sebesar 78,8 % pada kelompok intervensi, dosis yang terlewatkan mengalami penurunan sebesar 90,1% untuk pada kelompok intervensi dan 61,1% pada kelompok kontrol. Pada analisis regresi logistik kelompok intervensi memiliki probabilitas 3,2 kali lipat lebih tinggi mengalami penurunan dosis tertunda dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan: Penggunaan SMS secara signifikan mempengaruhi tingkat minum obat sesuai jadwal. Analisis statistik menggunakan IBM SPSS, versi 20 dengan uji Independent-sample - Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 112 Study Evaluating Acceptance, Feasibility, and Exploring Initial Efficacy of a Text Messaging Intervention to Support TB Treatment Adherence Patricia F. Pearce, Cristina Chirico, Mirta Etchevarria Daniel Cardinale, and Fernando Rubinstein Tahun : 2013 Sampel: 19 responden kelompok kalender dan 18 responden untuk kelompok intervensi pesan teks tes dan uji chi-square untuk variabel kategori dikotomis. Hasil dari penelitian ini adalah kepatuhan pengobatan pada kelompok intervensi pesan singkat sebanyak 77 % dan pada kelompok kalender sebenayak 53 %. Pembahasan Kunci keberhasilan pengobatan TB adalah Kepatuhan (adherence) penderita terhadap farmakoterapi. Kemungkinan penderita TB tidak adherence sangat besar, karena pemakaian obat jangka panjang, jumlah obat yang diminum perhari, efek samping yang mungkin timbul dan kurangnya kesadaran penderita akan penyakitnya. Bentuk-bentuk non adherence terhadap farmakoterapi bagi penderita TB diantaranya : Tidak mengambil obatnya, Minum obat dengan dosis yang salah, Minum obat pada waktu yang salah, Lupa minum obat, Berhenti minum obat sebelum waktunya. (Depkes RI, 2005) Bentuk intervensi untuk meningkatkan adherence Pemberian informasi sesuai kebutuhan penderita sehingga penderita memahami kondisi dan risiko kesehatannya memahami risiko kalau tidak adherence. Bentuk Reminder (alat pengingat) yang dapat dipakai dan dianjurkan adalah : Pesan teks Kalender, Instruksi yang jelas, dengan huruf yang besar dan menyolok, Surat, Pamflet Telpon.(Depkes RI, 2005). Penggunaan pesan teks (SMS) dan telepon untuk promosi kepatuhan pengobatatan telah dilakukan penelitian pada berbagai penyakit antara lain : hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarah Iribarren tahun et al tahun 2013 menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan lebih pada pasien yang menggunakan pesan teks dibandingkan dengan pasien yang menggunakan buku harian obat.(Iribarren et al., 2013). Penelitian lain yang berkaitan dengan penggunaan ponsel dilakukan oleh (Elangovan & Arulchelvan, 2013), S Arulchelvan tahun 2013 menyebutkan mayoritas pasien menggunakan untuk memanggil petugas kesehatan untuk memperjelas keraguan mereka pada efek samping, makanan, dan gejala penyakit. Supervisor pengobatan TB efektif menggunakan ponsel untuk menasihati pasien agar mematuhi rejimen pengobatan.(Elangovan & Arulchelvan, 2013) Promosi kepatuhan pengobatan TB paru melalui pesan teks (SMS) dapat dikirim mingguan atau harian pada pasien untuk mengingatkan mereka minum obat, komunikasi satu arah atau komunikasi interaktif dua arah yaitu pasien dapat menerima dan membalas pesan. Pesan teks /sms dapat digunakan untuk memberitahukan penyedia layanan kesehatan bahwa pasien telah mengambil obat (Nglazi et al., 2013). Hasil dari literatur review ini memberikan bukti pada pembuat kebijakan agar mengadopsi intervensi penggunaan SMS dan telpon pengingat terhadap kepatuhan minum obat anti tuberkulosis. Penggunaan intervensi ini dapat dikombinasikan dengan intervensi lain yang mempunyai bukti dari hasil penelitian. Review literatur ini perlu dikembangan dengan melakukan penelitian lebih lanjut diwaktu yang akan datang dengan mempertimbangkan lokasi penelitian, konten(isi) waktu pesan, pesan perlu dibalas atau tidak, pesan dikirim secara otomatis atau manual dan ukuran sampel. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 113 Kesimpulan Penggunaan sms dan telepon pengingat efektif untuk meningkatkan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis. Daftar Pustaka Depkes RI. (2005). Pharmaceutical care Untuk Penyakit Tuberkulosis (pp. 1–110). Jakarta. Elangovan, R., & Arulchelvan, S. (2013). Original Article A Study on the Role of Mobile Phone Communication in Tuberculosis DOTS Treatment, 38(4). http://doi.org/ 10.4103/0970-0218.120158 Iribarren, S., Beck, S., Pearce, P. F., Chirico, C., Etchevarria, M., Cardinale, D., & Rubinstein, F. (2013). TextTB : A Mixed Method Pilot Study Evaluating Acceptance, Feasibility , and Exploring Initial Efficacy of a Text Messaging Intervention to Support TB Treatment Adherence, 2013. Kemenkes RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta. Kemenkes RI. (2015). Data dan Informasi Tahun 2014 (Profil Kesehatan). Retrieved September 3, 2015, from http://www.depkes.go.id/resources/download/ pusdatin/ profil-kesehatan-indonesia/data-dan-informasi-2014.pdf Liliweri Alo. (2015). Komunikasi Antar Personal (Edisi Pert, pp. 331–336). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Liu, Q., Abba, K., Mm, A., Sinclair, D., Vm, B., & Mad, L. (2014). Reminder systems to improve patient adherence to tuberculosis clinic appointments for diagnosis and treatment (Review) SUMMARY OF FINDINGS FOR THE MAIN COMPARISON, (11). Mbuagbaw, L., Kop, M. L. Van Der, Lester, R. T., Thirumurthy, H., Pop-eleches, C., Ye, C., & Smieja, M. (2013). Mobile phone text messages for improving adherence to antiretroviral therapy ( ART ): an individual patient data meta-analysis of randomised trials. http://doi.org/10.1136/bmjopen-2013-003950 Nglazi, M. D., Bekker, L., Wood, R., Hussey, G. D., & Wiysonge, C. S. (2013). Mobile phone text messaging for promoting adherence to anti-tuberculosis treatment : a systematic review protocol. http://doi.org/10.1186/2046-4053-2-6 WHO. (2014). Global Tuberculosis Report. Retrieved from http://apps.who.int/ iris/bitstream/10665/137094/1/9789241564809_eng.pdf Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 114 HUBUNGAN PERAN DAN FUNGSI KELUARGA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRA NIKAH REMAJA Umi Setyoningrum Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Fakultas Kedokteran Email : [email protected] Abstrak Latar belakang : Perilaku seksual pra nikah pada remaja semakin meningkat dan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan remaja. Hal tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah peran dan fungsi keluarga yang tidak berfungsi secara maksimal. Sehingga remaja mencari pemenuhan peran dan fungsi keluarga di luar. Berdasarkan data dari Badan KBPP tahun 2010 angka pernikahan dini d bawah usia 19 tahun mencapai angka 46%. Hal ini membutuhkan perhatian khusus berkaitan dengan beberapa ancaman permsalahan pada remaja. Tujuan : Untuk mengetahui hubungan peran dan fungsi keluarga terhadap perilaku Seksual Pra Nikah pada remaja. Metode : systematik review dengan cara melakukan penelusuran artikel publikasi pada Google scholar, dengan kata kunci yang dipilih, Penelusuran dibatasi pada terbitan tahun 2000-2014 dengan format fulltext PDF. Kriteria inklusi : Remaja dengan perilaku seks dan kriteria eksklusi : peran dan fungsi keluarga. Artikel yang sesuai kemudian dianalisis menggunakan critical appraisal tool yang sesuai untuk hasil penelitian RCT untuk menilai kualitas penelitian. Data diekstraksi dari artikel lalu dikelompokkan untuk dibahas dan disimpulkan. Hasil : Temuan berupa 4 buah artikel dengan rincian 4 artikel memiliki kualitas tinggi. Didapatkan adanya hubungan peran dan fungsi keluarga terhadap perilaku seksual pra nikah pada remaja. Diantaranya fungsi afektif, fungsi sosial, fungsi reproduksi, fungsi perlindungan. Kesimpulan : Diantara beberapa fungsi keluarga yang tidak optimal akan memberikan dampak pada perilaku seks bebas pada remaja. Kata Kunci : Peran dan Fungsi Keluarga, Perilaku Seksual Pra Nikah, Remaja Pendahuluan Perkembangan usia remaja semakin meningkat, hal ini beresiko terhadap munculnya permasalahan terhadap remaja salah satunya yaitu perilaku seks pra nikah. Pemasalah ini bisa disebabkan karena faktor keluarga yaitu terkait dengan peran dan fungsi keluarga. Berdasarkan PP No 21 tahun 20 tahun 1994 yang sedang digalakkan oleh BKKBN terdapat delapan fungsi keluarga yaitu : fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pembinaan sosial. Keluarga merupakan lembaga yang paling utama dalam pembentukan nilai dan norma sebelum remaja masuk dalam lingkungan masyarakat. Masa remaja merupakan masa dimana mereka bersikap sesuka hati selama itu membuat mereka merasa senang tanpa memikirkan dampak terburuk dari kejadian atau peristiwa yang mereka alami. Menurut Supriyatna (2009), perubahan yang terjadi pada masa remaja berlangsung sesuai kodrat manusia yang mana masih membutuhkan bantuan, bimbingan dan pertimbangan dari orang sekelilingnya. Menurut Ramonasari dalam (Al-Ghifari Abu, 2003) mengungkapkan bahwa hampir 80 % remaja melakukan hubungan seks sebelum nikah dengan pacarnya, dalam jangka waktu pacaran kurang dari satu tahun. Perilaku pacaran biasanya disertai dengan pola perilaku seksual mulai dari berciuman, bercumbu, hingga bersenggama (Hurlock, 1993). Saat ini pacaran menjadi suatu kebiasaan di kalangan remaja, remaja yang tidak memiliki pacar akan dikatakan kuno oleh teman sebayanya (Hermawan, 2003). Berbagai faktor mempengaruhi perilaku tersebut salah satunya disebabkan remaja mempunyai persepsi bahwa hubungan seks merupakan cara mengungkapkan cinta, sehingga demi cinta, seseorang merelakan hubungan seksual dengan pacar sebelum nikah (Setyawan 2004), faktor lingkungan, pergaulan, kurangnya bimbingan orang tua terutama ajaran agama baik di rumah maupun di sekolah. Tujuan Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara peran dan fungsi keluarga tehadap perilaku seks pranikah pada remaja. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 115 Metoda Metoda yang digunakan adalah systematic review dengan cara melakukan penelusuran artikel publikasi dengan kata kunci yaitu peran dan fungsi keluarga, perilaku seks bebas pada remaja dengan format full text PDF. Kemudian kita kelompokkan dan dibahas serta disimpulkan. Hasil Perilaku menyimpang pada remaja ada kaitannya dengan peran dan fungsi keluarga, karena di dalam keluarga orang tua sangat menentukan perilaku remaja saat ini. Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan di peroleh beberapa fungsi yang dominan mempengaruhi perilaku seks pra nikah pada remaja yaitu : fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi seksual, Pembahasan Terjadinya perilaku seks pra nikah pada remaja merupakan gejolak kehidupan yang disebabkan karena perubahan sosial di masyarakat. Perubahan tersebut bisa berawal dari tidak optimalnya peran dan fungsi keluarga. Keluarga mempunyai pengaruh terhadap kejadian perilaku seks bebas pada remaja, untuk itu perlu adanya peningkatan komunikasi dan keharmonisan dalam lingkungan keluarga. Serta adanya pengoptimalan fungsi keluarga. Pada fungsi afeksi, keluarga mempunyai kewajiban memberikan kasih sayang pada semua anggota keluarganya. Sehingga masing-masing anggota keluarga merasa dihargai dan dicintai. Apabila hal tersebut tidak terbentuk dalam keluarga maka anak cenderung mencari fungsi afeksi di luar. Fungsi sosialisasi, berperan mendidik anak dari awal pertumbuhan dan perkembangan sampai terbentuk kepribadian. Anak mendapatkan pengetahuan dari orang tua tentang sosialisasi sesuatu itu boleh dilakukan atau tidak, pantas atau tidak pantas, baik atau tidak baik, karena faktor kesibukan orang tua hal tersebut sering terabaikan. Sehingga membuat orangtua kadang lebih mempercayakan pada lembaga pendidikan sekolah. Fungsi perlindungan, berkewajiban melindungi seluruh anggota keluarga antara satu dengan yang lainnya. seluruh anggota keluarga saling bekerja sama melindungi sehingga tercipta kenyamanan dalam keluarga. Fungsi seksual, perlu adanya pendidikan atau pengetahuan seksual sejak dini sehingga anak akan memahami setiap perubahan secara fisik selama proses pertumbuhan dan perkembangannya. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian mengenai disfungsi keluarga perlu adanya komunikasi dan hubungan yang efektif antara orang tua dan anak-anaknya, sehingga akan tercipta keharmonisan dalam keluarga. Hal tersebut untuk meminimalkan kenakalan remaja di luar rumah yang tidak bisa terpantau secara maksimal oleh orang tua. Akan tetapi hal tersebut bisa diantisipasi dengan adanya pelaksanaan fungsi keluarga yang baik serta peran orang tua yang sesuai. Saran Sebaiknya para orang tua membekali anak-anak mereka terutama yang telah beranjak dewasa dengan ajaran-ajaran agama, nilai dan norma serta memberikan edukasi dampak negatif dari perilaku seks bebas terutama pada anak usia karena pada masa itu mereka memilki rasa ingin tahu yang berlebih. Orang tua juga harus menjalankan fungsi keluarga (afeksi) seperti memberikan kasih sayang yang penuh terhadap anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka terlebih yang telah berusia remaja merasa bahagia dengan keluarga merasa nyaman dengan suasana rumah daripada di lingkungan luar rumah. Menjadikan anak-anak mereka terutama para remaja tidak terjerumus ke dalam bahaya pergaulan bebas seperti seks pranikah. Daftar Pustaka Mellyanika Dita, 2014. Disfungsi Keluarga Dalam Perilaku Hubungan Seks Pra Nikah Remaja Di Kota Samarinda Kalimantan Timur . eJournal Sosiatri, 2014, 2(1): 22-34. Rochaniningsih Sri N, 2014. Dampak Pergeseran Peran Dan Fungsi Keluarga Pada Perilaku Menyimpang Remaja. Jurnal Pembangunan Pendidikan : Fondasi dan Aplikasi : 59-71. Irmawaty Lenny, 2013. Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa . Jurnal Kemas 9 (1) (2013) 44-52. Ahmad Taufik, 2013. Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seks Pranikah (Studi Kasus SMK Negeri 5 Samarinda). eJournal Sosiatri-Sosiologi, 2013, 1 (1): 31-44. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 116 Faturochman, 2001. Revitalisasi Peran Keluarga . Buletin Psikologi, Tahun IX, No. 2, Desember 2001, 39-47 Setyawan. A, 2004. Seks Gadis? Memahami Seks Membuktikan Cinta. Yogyakarta : Galang Press. Hurlock, Elizabeth B,1991. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 117 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG HIV/AIDS TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA DI SMA SETIABUDI SEMARANG Yuni Dwi Hastuti1, Sidik Awaludin2 1) Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNDIP Email: [email protected] Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNSOED Email : [email protected] 2) Abstrak Latar Belakang. Peningkatan angka HIV/AIDS tidak hanya disebabkan oleh perilaku seksual tetapi juga penggunaan narkoba suntik bersama-sama. Di Indonesia, jumlah pengguna narkoba sekitar 35% adalah siswa SMA dan 30% siswa SMP, sehingga siswa merupakan salah satu kelompok beresiko. Kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab tingginya angka HIV/AIDS. Pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS merupakan salah satu metode yang diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa. Metoda. Penelitian ini merupakan eksperimen semu (quasi eksperiment) dengan desain non equivalent control group atau non random control group pretest posttest. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Sampel penelitian meliputi 84 siswa di SMA Setiabudi Semarang dengan menggunakan purposive sampling sebagai teknik pengambilan sampel. Analisa data yang digunakan adalah analisa bivariat, Wilcoxon Match Pair Test. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesudah pemberian pendidikan kesehatan, jumlah responden yang memiliki pengetahuan tinggi meningkat sebesar 83,6% dengan p value 0,000 dan jumlah responden yang memiliki sikap baik meningkat sebesar 4,7% dengan p value 0,000. Kesimpulan. Hasil tersebut menunjukkan terdapat pengaruh pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan supaya dilakukan penelitian lain tentang metode yang lebih mempengaruhi sikap siswa terhadap HIV/AIDS. Kata Kunci : pendidikan kesehatan, pengetahuan, sikap Pendahuluan HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit mematikan yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV/AIDS menyerang sistem kekebalan manusia dan menghancurkannya (Kurniawati, 2007). HIV/AIDS tidak hanya menular melalui hubungan seksual, tetapi juga melalui penggunaan narkoba suntik bersama-sama. Sekitar 5-10 % penularan HIV/AIDS melalui alat suntik yang tercemar (terutama pada pemakai narkotika suntik) (Sasongko, 2009). Di Indonesia, jumlah pengguna narkoba sekitar 35% adalah siswa SMA dan 30% siswa SMP (Badan Narkotika Nasional, 2003). Pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS merupakan salah satu metode yang diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa. Pendidikan kesehatan merupakan usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok, dan masyarakat meningkatkan kemampuan baik pengetahuan, sikap maupun keterampilan untuk mencapai hidup sehat secara optimal (Herawani, 2001). Kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab tingginya angka Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 118 HIV/AIDS. Pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS merupakan salah satu metode yang diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa di SMA Setiabudi Semarang. Metoda Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment) dengan menggunakan desain non equivalent control group atau non random control group pretest posttest. Dalam desain ini sebelum diberikan pendidikan kesehatan terlebih dahulu dilakukan pembagian sampel menjadi 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kemudian dilakukan pretest, setelah itu untuk kelompok eksperimen diberi intervensi yaitu pemberian pendidikan kesehatan sedangkan kelompok kontrol tidak. Setelah program pemberian pendidikan kesehatan selesai, dilakukan post-test pada kedua kelompok karakteristik sampel dengan jangka waktu kurang lebih 1 bulan. Populasi penelitian ini adalah siswa SMA Setiabudi Semarang yang berjumlah 514 orang. Kemudian dari jumlah subjek ini dilakukan pemilihan calon responden dengan menggunakan purposive sampling dengan kriteria : (1) Siswa kelas X SMA Setiabudi Semarang; (2) Siswa yang belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS selama 1 tahun terakhir; (3) Siswa yang bertempat tinggal atau bersekolah di sekitar lingkungan prostitusi; (4) Siswa yang tidak pernah atau jarang mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS dari berbagai sumber informasi. Sampel yang digunakan adalah 84 orang. Peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat menggunakan Wilcoxon Match Pair Test. Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen terdiri dari 17 laki-laki dan 25 perempuan, sedangkan pada kelompok kontrol terdiri dari 22 laki-laki dan 20 perempuan. Umur responden berkisar antara 15-18 tahun dan mayoritas berumur 16 tahun baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang HIV/AIDS pada Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009 Kelompok Pengetahuan Ekperimen (n=42) Kontrol (n=42) Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah f (%) f (%) f (%) f (%) Tinggi 6 (14,3%) 41 (97,6%) 3 (7,1%) 4 (9,5%) Sedang 36 (85,7%) 1 (2,4%) 39 (92,9%) 37 (88,1%) Rendah 1 (2,4%) Total 42 (100%) 42 (100%) 42 (100%) 42 (100%) Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 119 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen, sesudah pemberian pendidikan kesehatan, responden yang memiliki pengetahuan tinggi mengalami peningkatan dari 6 responden (14,3%) menjadi 41 responden (97,6%) dan pada kelompok kontrol, sesudah pemberian pendidikan kesehatan, responden yang memiliki pengetahuan tinggi meningkat dari 3 responden (7,1%) menjadi 4 responden (9,5%). Sikap Siswa Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap terhadap HIV/AIDS pada Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009 Kelompok Sikap Ekperimen (n=42) Kontrol (n=42) Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah f (%) f (%) f (%) f (%) Baik 22 (52,4%) 24 (57,1%) 23 (54,8%) 26 (61,9%) Buruk 20 (47,6%) 18 (42,9%) 19 (45,2%) 16 (38,1%) Total 42 (100%) 42 (100%) 42 (100%) 42 (100%) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen, sesudah pemberian pendidikan kesehatan, responden yang memiliki sikap baik meningkat dari 22 responden (52,4%) menjadi 24 responden (57,1%) dan pada kelompok kontrol, sesudah pemberian pendidikan kesehatan, responden yang memiliki sikap baik meningkat dari 23 responden (54,8%) menjadi 26 responden (61,9%). Perbedaan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan Tabel 3. Perbedaan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan Tentang HIV/AIDS pada Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009 Asymp.sig (2.tailed) Kelompok Eksprerimen .000 Kelompok Kontrol .009 Uji analisa statistik pada pengetahuan kelompok eksperimen menggunakan uji Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,000 (p=0,000) yang berarti ada perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada kelompok eksperimen. Uji analisa statistik pada pengetahuan kelompok kontrol menggunakan uji Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,009 (p=0,009) yang berarti ada perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada kelompok kontrol. Perbedaan Sikap Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan Tabel 4. Perbedaan Sikap Sebelum dan Sesudah Pendidikan Kesehatan Tentang HIV/AIDS pada Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009 Asymp.sig (2.tailed) Kelompok Eksprerimen .000 Kelompok Kontrol .032 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 120 Uji analisa statistik pada sikap kelompok eksperimen menggunakan uji Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,000 (p=0,000) yang berarti ada perbedaan sikap sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada kelompok eksperimen. Uji analisa statistik pada sikap kelompok kontrol menggunakan uji Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,032 (p=0,032) yang berarti ada perbedaan sikap sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada kelompok kontrol. Perbedaan Tingkat Pengetahuan sesudah Pendidikan Kesehatan tentang HIV/AIDS antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Tabel 5. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Sesudah Pendidikan Kesehatan tentang HIV/AIDS antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009 Pemberian Pendidikan N Mean Sum of Asymp.sig Kesehatan Rank Ranks (2.tailed) Pengetahuan tidak 42 21.71 912.00 0.000 Sesudah mendapat pendidikan kesehatan 42 63.29 2658.00 mendapat pendidikan kesehatan Total 84 Uji analisa statistik pada pengetahuan menggunakan uji Mann-Whitney dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,000 (p=0,000) yang berarti ada perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Perbedaan Sikap sesudah Pendidikan Kesehatan tentang HIV/AIDS antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Tabel 6. Perbedaan Sikap Sesudah Pendidikan Kesehatan tentang HIV/AIDS antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Siswa SMA Setiabudi Semarang, Maret-Mei 2009 Pemberian Pendidikan N Mean Sum of Asymp.sig Kesehatan Rank Ranks (2.tailed) Sikap tidak mendapat 42 42.56 1787.50 0.982 Sesudah pendidikan kesehatan mendapat pendidikan kesehatan Total 42 42.44 1782.50 84 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 121 Uji analisa statistik pada sikap menggunakan uji Mann-Whitney dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,1 dan didapatkan hasil signifikansi 0,982 (p=0,982) yang berarti tidak ada perbedaan sikap sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pembahasan Karakteristik Responden Proporsi jenis kelamin responden antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, karena proporsi siswa menurut jenis kelamin di SMA Setiabudi Semarang sendiri tidak terlalu jauh berbeda dan pihak sekolah lebih cenderung menyeimbangkan jumlah siswa laki-laki dan perempuan di setiap kelas dengan cara mengatur pembagian siswa pada saat kenaikan kelas dengan jumlah siswa laki-laki dan perempuan yang cukup seimbang di setiap kelas dan hal ini dilakukan oleh bagian kesiswaan. Sebagian besar responden berumur 16 tahun. Umur sekitar 16 tahun adalah masa dimana siswa sebagai remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar akan sesuatu hal yang baru. Dengan demikian, diharapkan bahwa proses belajar siswa menjadi lebih mudah dan efektif, karena siswa akan berusaha memuaskan rasa keingintahuannya itu dengan memperhatikan informasi yang diberikan pada saat pendidikan kesehatan dan berusaha bertanya tentang hal-hal yang memancing keingintahuan. Namun, di samping itu rasa keingintahuan yang besar dapat pula memancing remaja untuk mencoba sesuatu hal yang baru, sekalipun hal tersebut adalah perilaku yang buruk, misalnya penyalahgunaan narkoba atau bahkan perilaku seks bebas yang merupakan salah satu cara yang beresiko menularkan HIV/AIDS. Perbedaan Pengetahuan Siswa tentang HIV/AIDS Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan dapat dijadikan sebagai salah satu usaha untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan dalam hal pengetahuan. Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan, sosial ekonomi, lingkungan dan sumber informasi (Notoatmodjo, 2003). Peningkatan pengetahuan ini terjadi karena adanya pemberian pendidikan kesehatan, dimana didalamnya terdapat proses belajar. Melalui proses belajar, siswa diharapkan mampu memperoleh pengetahuan baru atau meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Peningkatan pengetahuan responden tentang HIV/AIDS pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh faktor individu, dimana responden adalah siswa SMA yang masih dalam masa remaja yang mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi sehingga masih bersemangat untuk belajar untuk menjawab rasa keingintahuannya tersebut. Hal inilah yang ternyata juga menyebabkan peningkatan pengetahuan yang tidak terlalu signifikan dari kelompol kontrol meskipun tanpa pendidikan kesehatan. Hal ini berkaitan dengan keingintahuan remaja terhadap sesuatu yang belum mereka ketahui jawabannya. Perbedaan Sikap Siswa terhadap HIV/AIDS Sesuai dengan hasil penelitian, pendidikan kesehatan ternyata berperan dalam perubahan sikap individu, meskipun tidak terlalu signifikan, karena didalam pendidikan kesehatan terkandung unsur-unsur komunikasi dalam upaya mengubah sikap individu dan strategi yang dapat digunakan adalah strategi persuasif. Sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi, dan diubah. Sikap berbeda dari sifat (trait) yang lebih merupakan bawaan dan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 122 sulit diubah (Sarwono, 1999). Oleh karena itu, melalui pendidikan kesehatan diharapkan sikap remaja dapat dikembangkan atau dipengaruhi menjadi lebih baik. Pendidikan kesehatan sebenarnya bertujuan untuk mempengaruhi sikap remaja dengan cara memberikan pengetahuan dalam hal ini adalah fakta-fakta tentang HIV/AIDS, karena pendidikan kesehatan merupakan landasan kognitif bagi terbentuknya suatu sikap. Namun, tidak hanya pengetahuan saja yang membentuk sikap seseorang. Pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi juga ikut berperan dalam menentukan sikap yang utuh (Notoatmodjo, 2003). Sikap memiliki beberapa tingkatan yaitu menerima (receiving) yaitu seseorang mau dan memperhatikan stimulus, merespon (responding) yaitu seseorang memberikan jawaban ketika ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah indikator level ini, menghargai (valuing) yaitu seseorang mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah, bertanggung jawab (responsible) yaitu seseorang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilih dengan segala risiko yang merupakan sikap yang paling tinggi. Pendidikan kesehatan mampu mempengaruhi sikap seseorang sampai pada tingkatan menerima (receiving) yaitu mau dan memperhatikan stimulus dan merespon (responding) dengan memberikan jawaban ketika ditanya walaupun belum sampai pada tahapan menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu objek ataupun bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang dipilih dengan segala risiko yang merupakan tingkatan sikap tertinggi (11). Perbedaan Pengetahuan dan Sikap sesudah Pendidikan Kesehatan antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disebabkan oleh peningkatan pengetahuan kelompok eksperimen sesudah pendidikan kesehatan yang sangat signifikan dan cukup untuk menyebabkan perbedaan pengetahuan antara kelompok eksperimen dan kontrol. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan sikap sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Tidak adanya perbedaan sikap sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disebabkan oleh perubahan sikap kelompok eksperimen sesudah pendidikan kesehatan yang tidak terlalu signifikan. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, pada kelompok eksperimen, terdapat lebih banyak responden perempuan, sedangkan pada kelompok kontrol, terdapat lebih banyak responden berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa berdasarkan umur, pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, responden paling banyak berumur 16 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai salah satu usaha untuk membantu individu meningkatkan kemampuan dalam hal pengetahuan. Pendidikan kesehatan juga dapat mempengaruhi sikap individu dan dapat dijadikan sebagai salah satu usaha untuk membantu individu mengubah sikap dengan tetap memperhatikan faktor-faktor eksternal lain yang membentuk sikap secara utuh. Selain itu dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada perbedaan pengetahuan sesudah pendidikan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 123 kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan sangat mempengaruhi timbulnya perbedaan pengetahuan antara individu yang memperoleh pendidikan kesehatan dengan individu yang tidak memperoleh pendidikan kesehatan. Namun, tidak ada perbedaan sikap sesudah pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan tidak mempengaruhi timbulnya perbedaan sikap antara individu yang memperoleh pendidikan kesehatan dengan individu yang tidak memperoleh pendidikan kesehatan. Bagi pihak sekolah hendaknya membekali siswa tentang pengetahuan HIV/AIDS dan meningkatkan pembinaan sikap siswa agar terhindar dari perilaku yang beresiko menularkan HIV/AIDS serta meningkatkan pembinaan sikap siswa terhadap penderita HIV/AIDS dan orang terdekat penderita HIV/AIDS. Bagi institusi kesehatan agar membuat dan melaksanakan program pencegahan meningkatnya perilaku yang beresiko menularkan HIV/AIDS seperti penyalahgunaan narkoba dan seks bebas dengan melakukan pendidikan kesehatan di sekolah-sekolah dengan materi dan metode yang bervariasi seputar HIV/AIDS. Untuk penelitian selanjutnya perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam tentang bagaimana cara untuk meningkatkan sikap remaja terhadap HIV/AIDS selain dengan pendidikan kesehatan, misalnya dengan metode diskusi kelompok atau bermain peran dan mengambil responden dengan jumlah yang lebih banyak dan apabila menggunakan responden kontrol, akan lebih baik bila menggunakan responden kontrol yang berada dilokasi yang berbeda dengan responden eksperimen, tetapi memiliki karakteristik yang hampir sama. Daftar Pustaka Badan Narkotika Nasional. Narkoba Suntik pada Remaja SMA di Bandung . Jakarta : BNN-IASTP. 2003. Herawani. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan . Jakarta : EGC. 2001. Kurniawati, N.D, S.Kep, Ns. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika. 2007. Notoatmodjo, S. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Prinsip-Prinsip Dasar . Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2003. Notoatmojo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2003. Sarwono, S.W. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Balai pustaka. 1999. Sasongko, Adi, dr. Acquired Immunodeficiency Syndrome. Petra.ac.id. Diakses tanggal 9 Januari 2009. http://www.petra.ac.id/science/aids/aids2.htm Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 124 HUBUNGAN PELAKSANAAN TUGAS KESEHATAN KELUARGA DENGAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DESA WONOSARI KECAMATAN TRUCUK Istianna Nurhidayati1), Efy Kusumawati2), Ekki Suprihatin3) 1,2,3 Stikes Muhammadiyah Klaten, [email protected], Abstrak Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue(DBD) merupakan satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama Negara berkembang. Kejadian DBD di Indonesia terjadi peningkatan setiap tahun yang menimbulkan Kejadian Luar Biasa dan dampak sosial dan ekonomi dimasyarakat.Pencegahan DBD diperlukan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.Pencegahan DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya pelaksanaan tugas kesehatan keluarga. Tujuan. Mengetahui hubungan pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan pencegahan DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk Metode penelitian. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi. Populasi penelitian ini adalah semua jumlah KK yang ada di Desa Wonosari. Sampel sebanyak 81 KK dengan teknik cluster random sampling. Analisa data menggunakan Kendal Tau. Hasil.. Hasil penelitian diperoleh 79% keluarga mengenal masalah dengan baik tentang DBD, 87% keluarga mengambil keputusan dengan baik, 50,6% keluarga dalam kategori baik melakukan perawatan penegahan DBD, 84% kategori baik dalam memodifikasi lingkungan sesuai syarat kesehatan, dan 77,8% kategori baik dalam memanfaatkan pelayanan. 85,2% responden kategori baik dalam pencegahan DBD. Kesimpulan. Terdapat hubungan pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga dengan pencegahan DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk dengan arah hubungan positif dan p value = 0,027 atau p< 0,05. Kata kunci : Pencegahan DBD, Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Pendahuluan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang.Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia.Insidensi DBD meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir ini.Populasi DBD di dunia meningkat lebih dari 40%. World Health Organization (WHO, 2013) menjelaskan, sekitar 2,5 milyar orang, atau 40% merupakan population at risk DBD. WHO memperkirakan 50 sampai 100 juta terinfeksi virus DBD setiap tahunnya, ditemukan 500.000 kasus DBD dan 22.000 kematian, sebagian besar di antara anak-anak. Anomali iklim dan buruknya penanganan lingkungan yang menyebabkan kasus DBD meningkat di masyarakat.Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama jumlah penderita DBD setiap tahunnya. WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD pada urutan keempat tertinggi di Asia Tenggara (WHO, 2011). “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 125 Peningkatan kasus DBD di Indonesia di tunjukkan dengan insiden DBD. Demam Berdarah Dengue di Indonesia pada tahun 2011 sebesar Incidence rate (IR)= 27.67 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2012 meningkat menjadi sebesar (IR)= 37,27%, dan pada tahun 2013 sebasar (IR) = 45,85 % per 100.000 penduduk. Data diatas menunjukkan bahwa angka kejadian DBD di Indonesia masih terjadi peningkatan setiap tahunnya. Penyakit DBD di Provinsi Jawa Tengah juga menjadi permasalahan serius, terbukti 35 Kabupaten/Kota sudah pernah terjangkit penyakit DBD. Angka insiden DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar IR=15,27 per 100.000 penduduk, tahun 2012 sebesar IR=19,29 per 100.000 penduduk. Peningkatan IR DBD di Jawa Tengah akan berdampak pada penurunan angka derajat kesehatan. Di kalangan masyarakat akan berdampak pada ekonomi dan sosial (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012). Kasus penderita DBD di Kabupaten Klaten pada tahun 2012 sebanyak 82 orang dengan IR sebesar 6,2 per 100.000 penduduk. Tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi sebanyak 336 kasus, dengan IR= 25,5 per 100.000 penduduk. Data diatas menunjukkan bahwa, Kabupaten Klaten termasuk daerah yang setiap tahunnya terkena penyakit DBD (Dinas Kesehatan Kab.Klaten, 2013). Peningkatan IR DBD yang terjadi setiap tahun menimbulkan dampak sosial dan ekonomi di masyarakat. Kerugian sosial yang terjadi antara lain kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga, dan berkurangnya usia harapan hidup. Dampak ekonomi yang langsung dirasakan oleh penderita DBD adalah biaya pengobatan. Dampak yang tidak langsung adalah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain dikeluarkan seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita (Kemenkes RI, 2013). Untuk mengurangi dampak tersebut diperukan upaya pengendalian masalah DBD. Pengembangan kebijakan nasional penanggulangan DBD dilakukan dengan berbagi cara: mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) di berbagai tingkat administrasi, penanggulangan DBD masuk dalam standar pencapaian minimum (SPM) bidang kesehatan di kabupaten kota sehingga upaya pengendalian operasional dan nonoperasional menjadi tanggung jawab kabupaten kota sesuai dengan peranturan menteri kesehatan RI Nomor. 174 Tahun 2008.Hasil dari program di atas belum dapat dilaksanakan secara maksimal, karena keluarga maupun masyarakat hanya mengaplikasikan program 3M saja, dan itupun belum dilakukan semua keluarga (Dirjen P2P Kemenkes RI, 2012). Upaya pemberantasan DBD dapat berhasil apabila seluruh masyarakat berperan secara aktif dalam PSN DBD. Gerakan PSN DBD merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan upaya pemberantasan DBD oleh keluarga/masyarakat. Hasil dari PSN menunjukkan bahwa pemberantasan jentik melalui kegiatan PSN DBD dapat mengendalikan populasi nyamuk aedes aegypti sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi.Dari gerakan sederhana itu, angka penderita dan kematian DBD bisa ditekan. Hasil studi pendahuluan di Desa Wonosari, Kecamatan Trucuk yang merupakan daearah endemis DBD didapatkan fenomena masih banyak ditemukan jentik-jentik nyamuk aides aaigepti di rumah warga, masih menggantung baju kotor lebih dari 3 hari. Sinar matahari jarang masuk di dalam rumah karena jendela tidak pernah di buka.Di sekeliling rumah masih ada sampah yang masih bisa menampung air. Keluarga belum mampu memahami cara pencegahan DBD dan perilaku 3M tidak dilakukan di keluarga. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 126 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan pencegahan demam berdarah dengue (DBD) di desa Wonosari, kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten Metoda Dengan desain penelitian deskriptif korelasi.Pengambilan data dilakukan dengan metode cluter random sampling.Populasi dalam penelitian ini adalah semua KK yang ada di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk sebanyak 1300 KK.Sampel yang diambil pada penelitian semuanya memenuhi syarat inklusi sebanyak 81 responden.Instrumen A digunakan untuk mengukur variabel pelasanaan tugas kesehatan keluarg, Instrumen B lembar observasi pelaksananaan pencegahan DBD di rumah. Analisa bivariat yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan pencegahan DBD menggunakan uji statistik Kendall-Tau Hasil Karakteristik Responden Tabel 1.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Desa Wonosari Tahun 2015 (n=81) variabel Frekuensi (f) Prosentase(%) Umur Masa remaja akhir (17-24tahun) 1 1.2 Masa Dewasa Awal (26- 35 Tahun) 19 23.5 Masa Dewasa Akhir (36- 45 Tahun) 26 32.1 Masa Lansia Awal (46 - 55 Tahun) 22 27.2 Masa Lansia Akhir (56 - 65 Tahun) 12 14.8 Masa Manula(> 65tahun) 1 1.2 81 100 Jenis Kelamin 77 95.1 Laki-Laki 4 4.9 Perempuan 81 100 Tingkat Pendidikan 14 17.3 SD 18 22.2 SMP 37 45.7 SMA 12 14.8 PT 81 100 Pekerjaan Tukang Kayu 3 3.7 Buruh 26 32.1 Wiraswasta 28 34.6 Tani 6 7.4 PNS 11 13.6 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 127 Pensiun Pedagang Pendapatan < UMR >UMR 2 5 2.5 6.2 81 100 22 59 81 27.2 72.8 100 Tabel 1.1.menunjukan karakteristik responden penelitian terbanyak berumur 36-45 tahun atau pada masa dewasa akhir yaitu sebesar 32,1% dan sebagian besar responsen berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 95,1%. berdasarkan tingkat pendidikan SMA sebesar 45,7%. Jenis pekerjaan terbanyak wiraswasta sebesar 34,6% dengan pendapatan terbanyak yaitu pendapatan lebih dari UMR sebesar 72.8%. Pelaksanaan tugas kesehatan keluarga Table 1.2. Distrubusi Frekuensi Pelaksanaan tugas Kesehatan Keluarga di Desa WonosariTahun 2015 (n=81) Variabel Mengenal masalah Baik Kurang Memutuskan masalah Baik Kurang Merawat angota keluarga Baik Kurang Modifikasi lingkungan Baik Kurang Memanfaatkan Yankes Baik Kurang Pelaksanaan tugas kesehatan keluarga Baik Kurang Total Frekuensi (f) Prosentas e (%) 64 17 79.0 21.0 71 10 87.7 12.3 41 40 50.6 49.4 68 13 84.0 16.0 63 18 77.8 22.2 60 21 81 74.1 25.9 100.0 Tabel 1.2. Menunjukan distribusi frekeunsi pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga di Desa Wonosari tertinggi dengan kategori baik adalah keluarga dalam memutuskan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 128 masalah (87,7%) dan terendah pada keluarga dalam merawat anggota keluarganya (50,6%). Tabel 1.3 Distrubusi Frekuensi Pencegahan DBD dalam Keluarga di Desa WonosariTahun 2015 (n=81) Pencegahan DBD Frekuensi Prosentase % Baik 69 85.2 Kurang baik 12 14.8 Total 81 100 Tabel 1.3 menunjukkan distribusi frekuensi Pencegahan DBD dalam keluarga menunjukkan Proporsi keluarga dalam pencegahan DBD dengan kategori baik sebesar 85,2%, lebih besar dari pada keluarga dalam pencegahan DBD dengan kategori kurang baik. Tabel 1.4 Hubungan pelaksanaan Tugas Kesehatan Kleuarga dengan Pencegahan DBD di desa Wonosari tahun 2015 Pencegahan DBD Total p Baik Kurang f % f % f % Tugas Baik 55 67.9 14 17.3 69 85.2 0.027 Kes Kurang 5 6.2 7 8,6 12 14.8 Kel Jumlah 60 74.1 21 25.9 81 100 Tabel 1.4 Menunjukan tugas kesehatan keluarga terkait pencegahan DBD dengan kategori baik 67.9%, lebih besar dibandingkan dengan kategori kurang baik 6,2%. Hasil uji statistik Kendall-Tau menunjukan ada hubungan antara tugas kesehatan keluarga dengan pencegahan DBD p< 0,05, dengan r =0,54. Pembahasan Maglaya (2009) menjelaskan tugas kesehatan keluarga dalam pencegahan DBD meliputi 5 indikator yaitu keluarga dalam mengenal masalah kesehatan terkait pencegahan DBD, keluarga dalam memutuskan masalah, keluarga dalam merawat anggotanya, keluarga dalam memodifikasi lingkungan, keluarga dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Hasil penelitian menunjukkan proporsi pelaksanan lima tugas kesehatan keluarga dalam pencegahan DBD dengan kategori baik 67.9%. Hasil secara keseluruhan penatalaksanaan tugas kesehatan keluarga didapatkan mayoritas dalam kategori baik dimana keluarga melaksanakan tugas kesehatan dalam pencegahan DBD dengan baik. Friedman (2010) menjelaskan keluarga merupakan sebuah system yang erat hubungannya yang saling mempengaruhi antar anggota keluarga. Hal ini sejalan dengan Ramlah (2011) menjelaskan peran dan pelaksanaan tanggung jawab keluarga sangat mempengaruhi kondisi anggota keluarga dalam berinteraksi, ataupun dalam memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga, sesuai dengan tumbuh kembang semua anggota keluarga, termasuk pemenuhan kebutuhan kesehatan. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 129 Hasil observasi pelaksanaan tugas kesehatan keluarga kurang baik sebesar 6,2%. Kebiasaan yang menunjukkan kurangnya pencegahan DBD di keluarga adalah menggantung baju lebih dari 2 hari. Hasil ini sejalan dengan peneliatian Sitio(2008) yang memaparkan kebiasaan menggantung baju berhubungan signifikan dengan kejadian DBD dengan p=0,018 dengan 95% confidence interval. Hasil uji statistik Kendall-Tau menunjukan ada hubungan antara Tugas Kesehatan keluarga dengan Pencegahan DBD. Hasil penelitian ini sejalan dengan Manalu (2009) memaparkan faktor perilaku keluarga yang dioptimalkan untuk mengatasi penyakit DBD yaitu partisipasi keluarga dalam melakukan 3M. Kusyogo (2006), menjelaskan Pendidikan yang dimiliki responden dan tingkat pengetahuan responden mengenai penyakit DBD merupakan faktor yang menghalangi responden dalam upaya melakukan pencegahan DBD, tingkat pengetahuan responden mengenai DBD, faktor kerentanan yang dirasakan, keseriusan responden yang dirasakan terhadap DBD mempengaruhi praktik pencegahan DBD. Factor kepercayaan, sikap dan potensi masyarakat merupakan faktor pendukung/ penghalang dalam upaya pencegahan DBD. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pelaksanaan lima tugas kesehatan keluarga dengan pencegahan DBD di Desa Wonosari Kecamatan Trucuk dengan arah hubungan positif dan p value =0,027 (p<0.05). Daftar Pustaka Dirjen P2P Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pengertian Demam Berdarah Dengue Kementerian Kesehatan Indonesia. 2013. Program Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Data penyakit menular Kusyogo, Cahyo. 2006. Kajian Faktor-faktor Perilaku dalam Keluarga yang mempengaruhi Pencegahan Penyakit DBD di Kelurahan Meteseh, Kota Semarang. Media Litbang Kesehatan XVI, Nomor 4 tahun 2006. Maglaya. 2009. Family Health Nursing: The Proses. Argonauta Corporation: Nangka Marikina City Manalu Emmylia. 2009. Determinan Partisipasi Keluarga dalam Tindakan Pencegahan Demam Berdarah Denguedi Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekan Baru.USU Sitio, Anton. 2008. Hubungan Perilaku tentang PSN dan Kebiasaan Keluarga dengan Kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan. World Health Organization (WHO). 2013. Prevalensi penyakit menular di dunia “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 130 LITERATUR REVIEW FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK Budi Kristanto Mahasiswa Prodi Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Abstrak Latar belakang. Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Semakin hari gangguan ini tampak semakin meningkat dengan pesat. Beberapa laporan menyebutkan angka kejadian gangguan bicara dan bahasa berkisar 5 – 10% pada anak sekolah. Tujuan. Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengetahui fakor yang berhubungan dengan perkembangan bahasa anak Metode. Literatur review dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi melalui Gogle search dengan dengan kata kunci yang dipilih yaitu “faktor yang mempengaruhi perkembangan baahasa anak pra sekolah”. Penelusuran dibatasi terbitan 2004-2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf yang merupakan penelitian di dalam negeri. Dari hasil penelusuran didapatkan 3 jurnal penelitian yang sesuai. Hasil. Pada penelitian dari studi ini di dapatkan prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%. Didapatkan bahwa terdapat faktor yang berhubungan dari perkembangan bahasa anak adalah pola asuh orang tua. Pada penelitian yang lain didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak usia 1-3 tahun. Pembahasan. Faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa dibagi menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari anak. Faktor yang diteliti dan berkontribusi pada perkembangan bahasa anak pada penelitian ini adalah pola asuh orang tua, pengetahuan dan sikap orang tua terkait stimulasi anak. Kesimpulan. Prevalensi gangguan perkembangan bahasa masih cukup tinggi, pada penelitian yang dibahas ini di dapatkan prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%.. Dari berbagai sumber dipaparkan terkait faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa dibagi menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari anak. Pada studi dari penelitian ini didapatkan bahwa salah satu faktor eksternal yang disimpulkan memberikan pengaruh yang signifikan adalah factor pola asuh dari orang tua anak. Sedangkan pada penelitian berikutnya dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak. Kata Kunci : Perkembangan bahasa, anak, pengetahuan, sikap, pola asuh Pendahuluan Perkembangan merupakan bertambah atau meningkatnya kemampuan dalam struktur serta fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Hal tersebut menyangkut proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang semakin berkembang sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.1 Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Semakin hari gangguan ini tampak semakin meningkat dengan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 131 pesat. Beberapa laporan menyebutkan angka kejadian gangguan bicara dan bahasa berkisar 5 – 10% pada anak sekolah. Kemampuan motorik dan kognisi berkembang sesuai tingkat usia anak. Perolehan bahasa bertambah melalui proses perkembangan mulai dari bahasa pertama, usia pra sekolah dan usia sekolah di mana bahasa berperan sangat penting dalam pencapaian akademik dari anak yang bersangkutan.2,3 Perkembangan bahasa, khususnya pada usia dibawah lima tahun (balita) akan berkembang sangat aktif serta pesat. Keterlambatan bahasa pada periode atau masa ini perlu bahkan harus mendapatkan perhatian karena dapat menimbulkan berbagai masalah dalam proses belajar di usia sekolah nantinya.4 Anak yang mengalami keterlambatan berbicara dan berbahasa beresiko mengalami kesulitan dalam belajar, kesulitan untuk membaca dan menulis dan akan menyebabkan pencapaian prestasi akademik yang kurang secara menyeluruh, hal ini dapat berlanjut sampai usia dewasa muda. Selanjutnya orang dewasa dengan pencapaian akademik yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa, akan mengalami masalah perilaku dan penyesuaian psikososial.5 Dari paparan tersebut terlihat bahwa sangat besar akibat yang diimbulkan oleh karena keterlambatan bahasa pada anak usia pra sekolah, maka sangatlah penting untuk optimalisasi proses perkembangan bahasa pada masa ini. Deteksi dini keterlambatan dan gangguan bicara usia prasekolah adalah tindakan yang terpenting untuk menilai tingkat perkembangan bahasa anak, sehingga dapat meminimalkan kesulitan dalam proses belajar anak tersebut saat memasuki usia sekolah nantinya. Profesi perawat khususnya perawat komunitas sesuai dengan salah satu peran dan fungsinya sebagai penemu kasus sangat strategis. Kegiatan skrining dapat dilakukan dengan lebih awal, sehingga factor resiko dari gangguan perkembangan bahasa lebih awal dapat dikomunikasikan dengan orang tua anak dan tindakan dapat segera dilakukan. Tujuan Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengetahui fakor yang berhubungan dengan perkembangan bahasa anak. Metode Literatur review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi melalui Gogle search dengan dengan kata kunci yang dipilih yaitu “faktor yang mempengaruhi perkembangan baahasa anak pra sekolah”. Penelusuran dibatasi terbitan 2004-2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf yang merupakan penelitian di dalam negeri. Dari hasil penelusuran didapatkan 3 jurnal penelitian yang sesuai. Penelitian tersebut berjudul : 1. Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara pada Anak Prasekolah di TPA Werdhi Kumara I dengan Early Language Milestone Scale-2. Penelitian dilakukan oleh: Rosalia Beyeng, Soetjiningsih dan Trisna Windiani. Tahun 2012. 2. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak Usia toodler (1-3 Tahun) di Desa Sambiroto Demak. Penelitian dilakukan oleh Misbakhul Munir, Vivi Yosafianti dan Shobirun. Tahun 2012. 3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa dengan Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta. Penelitian dilakukan oleh Dewi Listyowati, Listyana Natalia Retnaningsih dan Lala Budi Fitriana. Tahun 2012. Hasil “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 132 1. Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara pada Anak Prasekolah di TPA Werdhi Kumara I dengan Early Language Milestone Scale-2. Jumlah anak yang berada di TPA Werdhi Kumara I adalah 148 anak, dengan kisaran usia dari 3 bulan-7 tahun. Dari 148 anak yang berada di TPA, yang berusia 3 bulan sampai 36 bulan ada 58 anak (39.1). Pada penelitian ini di dapatkan prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6% Tabel 1. Karakteristik keterlambatan bicara pada anak di TPA Werdhi Kumara I Variabel Jenis Kelamin - laki-laki - perempuan Usia - 0-12 bulan - 13-24 bulan Frekuensi P 4 1 0.40 1 2 0.66 2. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak Usia toodler (1-3 Tahun) di Desa Sambiroto Demak. Penelitian dilakukan dengan crossectional terhadap ibu dan anak usia toodler sebanyak 63 responden dengan total sampling di Desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupaten Demak. Instrumen yang digunakan adalah kwesioner dan lembar DDST. Hasil pada penelitian ini adalah : No 1. 2. 3. 4. No 1. 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tipe Pola Asuh Ibu Tipe Frekwensi Demokratis 39 Otoriter 7 Permisif 8 Laissez faire 9 Jumlah 63 Tabel 3. Distribusi Frekwensi Perkembangan Bahasa Perkembangan bahasa Frekwensi Baik 48 Kurang baik 15 Jumlah 63 % 61.9 11.1 12.7 14.3 100 % 76.2 23.8 100 Berdasarkan hasil analisis statistik hubungan pola asuh dengan perkembangan bahasa anak usia toodler didapatka hasil : sebagian besar responden perkembangan bahasanya baik, yaitu 48 responden (76.2%) sedangkan sisanya 25 responden (23.8%) perkembangan bahasanya kurang baik. Berdasarkan uji statistic dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p value sebesar 0.000 dengan nilai signifikan <0.05 yang berarti ada hubungan antara pola asuh ibu dengan perkembangan bahasa anak usia toddler (0-3tahun). Berdasarkan analisis hubungan pola asuh ibu dengan perkembangan bahasa anak usia toddler didapatkan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 133 data responden dengan perkembangan bahasa baik dengan pola asuh demokratis sebanyak 36 (75%), otoriter sebanyak 6 (12.5%), permisif 2 (4.2%), laissez faire sebanyak 4 (8.4%). Responden dengan perkembangan bahasa kurang baik dengan pola asuh demokratis sebanyak 3 (20%), otoriter sebanyak 1 (6.7%), permisif 6 (40%), laissez faire sebanyak 5 (33.3%). 3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa dengan Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta Desain penelitian ini adalah kuantitatif yang dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif korelasi (correlasion study) menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah 34 orang tua dan 34 anak usia 1-3 tahun yang sekolah di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman, Yogyakarta. Teknik sampling dilakukan secara total sampling yaitu 34 ibu dan 34 anak usia 1-3 tahun. Tehnik Pengumpulan Data menggunakan kuesioner tertutup dan dengan metode dokumentasi. Analisis data penelitian menggunakan analisis univariat dan analisa bivariat menggunakan uji korelasi Spearman Rank (Rho) uji ini digunakan untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta Juni 2012 No Perkembangan bahasa Frekwensi % 1. Normal 17 50 2. Suspek 17 50 Jumlah 34 100 Sumber: Data Primer, 2012 Berdasarkan tabel diketahui bahwa perkembangan bahasa anak yang normal dan suspek adalah sebanyak 17 (50%). Tabel 5 Hubungan antara tingkat pengetahuan tentang stimulasi bahasa dengan Perkembangan bahasa anak usia 1-3 tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta Juni 2012 Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan ibu baik dan perkembangan bahasa dikategorikan normal yaitu 11 (64,7%). “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 134 Tabel 6. Hubungan Antara Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa Dengan Perkembangan Bahasa Anak Usia 1-3 Tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta Juni 2012 Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebagian besar sikap ibu tentang stimulasi bahasa kurang dan perkembangan bahasa anak dikategorikan suspek yaitu 8 (53,3%). Pembahasan Prevalensi dan Karakteristik Keterlambatan Bicara Studi Cochrane terakhir telah melaporkan data keterlambatan bicara, bahasa dan gabungan keduanya pada anak usia prasekolah dan usia sekolah. Prevalensi keterlambatan bicara dan bahasa pada anak usia 2-4.5 tahun adalah 58%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah 2.3-19%. 6 Pada penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi keterlambatanbicara pada anak di TPA Werdhi Kumara I sebesar 8.62%. Pada penelitian ini keterlambatan bicara yang terdeteksi dengan pemeriksaan ELMS 2 terbanyak pada rerata usia di atas 13 bulan. Penelitian yang dilakukan oleh Campbell.7 mendapatkan adanya factor resiko terjadinya keterlambatan bicara pada anak apabila terdapat riwayat keluarga yang mengalami keterlambatan bicara. Penelitian lain menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu yang rendah, jumlah anggota keluarga, social ekonomi dan usia ibu yang muda dengan resiko terjadinya keterlambatan bicara.Pada penelitian ini, pendidikan orang tua yang terdiri dari pendidikan menenganh dan pendidikan tinggi tidak beda bermakna dalam mempengaruhi frekuensi keterlambatan bicara pada anak, sedangkan faktor resiko lain tidak dicari pada penelitian ini. Yliherva, dkk.8 melakukan penelitian pada lebih dari 8000 anak di Finlandia menemukan adanya hubungan prematuritas, asfiksia, berat badan lahir rendah dengan terjadinya keterlambatan bicara pada anak. Keterlambatan bicara pada penelitian ini lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki, status gizi baik, usia kehamilan cukup bulan, tidak asfiksia namun tidak bermakna secara statistic (p>0.05). Kelemahan penellitian ini adalah tidak mencari factor resiko lain yang mungkin mempengaruhi terjadinya keterlambatan bicara pada subyek penelitian. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua Dalam Kemampuan Bahasa Anak Berdasarkan hasil penelitian, data karakteristik responden menunjukkan persentase terbesar umur responden (ibu) berumur antara 20-35 tahun sebanyak 55 responden (87.3%) dan pada responden anak sebagian besar berumur 25-36 bulan sebanyak 33 responden (52.4%). Menurut Notoatmodjo9, seseorang yang umurnya lebih tua akan lebih banyak pengalamannya sehingga mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki, maka ibu semakin cukup umur akan semakin berpikir matang dan ligis. Sejak lahir sampai usia 3 tahun anak memiliki kepekaan sensoris dan daya piker yang sudah mulai dapat menyerap pengalaman-pengalaman melalui sensorisnya, usia satu setengah sampai kira-kira tiga “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 135 tahun mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat bahasanya (berbicara atau bercakap-cakap).10 Berdasarkan karakteristik data dari hasil penelitian untuk tigkat pendidikan responden (ibu) yaitu SMP atau sederajad sebanyak 34 responden (54.0%). Hal ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pendidikan tersebut responden lebih mudah menerima informasi yang diberikan oleh peneliti. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikaan semakin tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa orang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula11. Berdasarkan hasil penelitian pola asuh yang dilakukan oleh ibu terhadap perkembangan bahasa anak usia toddler (1-3 tahun) di desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupaten Demak tergolong baik yaitu 39 responden (61.9%) menerapkan pola asuh demokratis dan sisanya ibu menerapkan pola asuh otoriter 7 responden (11,1%), permisif 8 responden (12.7%), dan laissez faire 9 responden (14.3%). Hal tersebut dikarenakan rata-rata ibu yang memiliki anak usia toddler sudah melatih anak untuk belajar bicara melalui aktivitas bermain, mengajarkan anak bernyanyi untuk melatih kemampuan mengucapkan kata-kata, melatih anak berbicara sampai lancar untuk secara berulang-ulang sampai anak dapat berbicara sesuai tahap perkembangannya. Hasilnya pola asuh ini mendorong anak untuk mandiri, namun masih menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal member dan menerima dimungkinkan, dan ibu bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. 12 Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara pola asuh ibu terhadap perkembangan bahasa anak usia toddler hasilnya nilai p= 0.000 (p<0.05), maka dapat disimpulkan ada hubungan antara pola asuh ibu terhadap perkembangan bahasa anak usia toddler (1-3 tahun) di Desa Sambiroto Kecamatan Gajah Kabupeten Demak. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Stimulasi Bahasa dengan Perkembangan Bahasa Anak Pengetahuan adalah merupakan hasil mengingat sesuatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Berdasarkan tabel diketahui bahwa mayoritas pengetahuan ibu tentang stimulasi bahasa di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta adalah baik. Pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berpola dari keyakinan tersebut. Dengan baiknya pengetahuan merupakan faktor terpenting karena sangat mempengaruhi tingkat kemampuan atau intelektual yang dimiliki seseorang dalam melakukan stimulasi bahasa13 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah faktor internal seperti jasmani dan rohani serta faktor eksternal seperti pendidikan, paparan media massa, ekonomi, hubungan sosial, dan pengalaman. Faktor internal seperti faktor jasmani khususnya panca indra, dan faktor rohani khususnya kesehatan psikis, intelektual, psikomotor serta kondisi efektif atau konatif individu akan sangat berpengaruh pada proses penerimaan terhadap informasi dari luar, karena apabila terjadi kerusakan pada salah satu panca indra maka akan terjadi kesalahan pada penerimaan informasi.14 Pada saat peneliti melakukan observasi pada responden di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta, semua responden (ibu) dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Selain itu, faktor eksternal seperti pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap pengetahuan. Pada penelitian ini pendidikan ibu mayoritas adalah SMP dan SMA, semakin “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 136 tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik juga pengetahuannya 14. Sikap merupakan respon evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif15. Berdasarkan penelitian sikap ibu tentang stimulasi bahasa anak di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta mayoritas adalah kurang. Sikap ibu tentang stimulasi bahasa yang kurang berarti keinginan ibu untuk melakukan stimulasi bahasa masih kurang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan sikap ibu tentang stimulasi bahasa diantaranya pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media masa, lembaga pendidikan, agama dan faktor emosional. Hal lain yang mempengaruhi sikap ibu tentang stimulasi bahasa adalah pengaruh orang lain. Biasanya orang yang memiliki pengaruh besar adalah keluarga, bisa dari suami, orangtua bahkan mertua. Seringkali ibu melakukan stimulasi bahasa belajar dari orangtua karena dianggap sudah banyak pengalaman. Hal ini didukung oleh Azwar15 pada umumnya individu cenderung memiliki sikap yang konfromis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Sikap seseorang adalah komponen yang sangat penting dalam perilaku kesehatannya, yang kemudian diasumsikan bahwa adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku seseorang. Sikap positif seseorang terhadap kesehatan kemungkinan tidak otomatis berdampak pada perilaku seorang menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap kesehatan hampir pasti dapat berdampak negatif pada perilakunya. Berdasarkan tabel diketahui bahwa tidak ada hubungan antara sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak usia 1-3 tahun di PAUD Mekar Sejati Janti Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta. Sikap ibu yang kurang tentang stimulasi bahasa tidak selalu menyebabkan perkembangan bahasa anak terganggu, hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa sikap ibu yang kurang tentang stimulasi bahasa menyebabkan perkembangan bahasa anak antara normal dan suspek sama. Sikap ibu dalam penelitian ini masih suatu keinginan untuk melakukan sesuatu dan bukan tindakan untuk melakukan sesuatu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti juga didukung oleh teori Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo16, menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Perkembangan bahasa anak sangat dipengaruhi oleh sikap ibu dalam memberikan stimulasi bahasa pada anak, dimana pemberian stimulasi tersebut tergantung keinginan ibu dalam melakukan stimulasi pada anak. Hal ini didukung oleh Moersintowarti16, bahwa stimulasi adalah perangsangan dan latihan-latihan terhadap kepandaian anak yang datangnya dari lingkungan di luar anak. Stimulasi ini dapat dilakukan oleh orang tua anggota keluarga, atau orang dewasa lain disekitar anak. Kesimpulan Dari studi 3 penelitian yang telah dilakukan terkait dengan perkembanganbahasa anak ini, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Prevalensi gangguan perkembangan bahasa masih cukup tinggi, pada penelitian yang dibahas ini di dapatkan prevalensi keterlambatan bicara sebesar 8.6%. 2) Dari berbagai sumber dipaparkan terkait faktor yang berpengaruh atau faktor resiko keterlambatan perkembangan bahasa dibagi “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 137 menjadi 2 yaitu factor internal dan factor eksternal dari anak. 3) Pada studi dari penelitian ini didapatkan bahwa salah satu factor eksternal yang disimpulkan memberikan pengaruh yang signifikan adalah factor pola asuh daro orang tua anak. 4) Sedangkan pada penelitian berikutnya dapat dibuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan sikap ibu tentang stimulasi bahasa dengan perkembangan bahasa anak. Daftar Pustaka Soetjiningsih. Perkembangan anak dan permasalahannya . Dalam:Narendra MB,Sularyo T S, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IG, penyunting. Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja; Edisi I. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, Sagung Seto, 2002; 91 Busari JO, Weggelaar NM. How to investigate and manage the child who is slow to speak. BMJ 2004; 328:272 276 Parker S, Zuckerman B, Augustyn M. Developmental and behavioral Pediatrics (2nd ed): Language Delays. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005 Owens RE. Language Development an Introduction, 5th edition. New York:Allyn and Bacon; 2001. Smith C, Hill J, Language Development and Disorders of Communication and Oral Motor Function. In : Molnar GE, Alexander MA,editors. Pediatric Rehabilitation. Philadelphia: Hanley and Belfus;1999.p. 57-79. US Preventives Services Task Force. Screening for speech ang language delay in preschool children : Recommendation statement. Pediatrics. 2006; 117:497-501. Law J, Boyle J, Harkness a. Screening for speech and language delay : systematic review of literature. Health Technol Asses. 1998;2:1-184. Tomblin JB, Hardy JC, Hein HA. Predicting poor-communication status in preschool children using risk factors present at birth. J Speech Hear Res. 1991: 34: 1096105. Theo, R., & Martin, H. Pendidikan Anak Usia Dini: tuntunan psikologis dan pedagogis bai pendidik dan orang tua . Jakarta : PT Gramedia Widiasarana, 2004. Admin.(2011). Definisi pengetahuan dan serta factor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan.http//dunia baca.com. Santrock, J.W. (2007). Perkembangan remaja . Edisi 11. Jakarta: Erlangga. Mubarak, et al. (2007). Promosi Kesehatan. Sebuah Pengantar proses belajar mengajar dalam pendidikan. Edisi I. Yogyakarta: Graha Ilmu Sukmadinata, N. (2003). landasan psikologi proses pendidikan. Bandung: Alfabeta Azwar, S. (2011). sikap manusia teori dan pengukurannya . Jakarta: Pustaka Pelajar Departemen Rehabilitasi Medik RSCM. (2006). Internet. prevalensi keterlambatan perkembangan berbahas a di Indonesia . http://speechclinic.wordpress.com/2009/12/13/faktor-risiko-gangguan-berbahasapada-anak. 12 desember 2011 Notoatmodjo, S. (2011). pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Moersintowarti, B. (2002). telat bicara akibat kurang stimulasi. Jakarta: EGC. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 138 HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SUAMI DAN SELF EFFICACY DENGAN TINGKAT STRES PADA WANITA YANG BERPERAN GANDA Lusia Lilik K. M1, Vivi Retno I. S2 STIKES Bethesda Yakkum Yogyakarta, Email: [email protected] Email: [email protected]) Abstrak Latar Belakang: Wanita berperan ganda yaitu wanita yang berperan sebagai ibu rumah tangga (isteri dan ibu dari anaknya) dan juga sebagai pekerja. Maka diperlukan dukungan suami dan adanya kemampuan diri (self efficacy). Wanita yang berperan ganda lebih potensial mengalami banyak stresor daripada wanita berperan tunggal. Karena setiap peran yang melekat menimbulkan berbagai stresor. Tujuan: Mengetahui hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda pada bulan September 2015. Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif korelasional. Sampel penelitian 30 orang dengan purposive sampling. Analisis data menggunakan uji Chi Square Yate’s Correction dengan tingkat kepercayaan 95 %. Hasil: Hasil uji statistik Chi Square Yate’s Correction: Diperoleh p-value = 3,281 > α = 0,05, artinya tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres, diperoleh p-value = 0,201 > α = 0,05, artinya tidak ada hubungan antara self efficacy dengan tingkat stres. Pembahasan: Dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat stres pada wanita dengan berperan ganda tidak hanya dapat dihubungkan dengan dukungan suami. Faktor lain seperti: kepribadian, persepsi, tingkat pendidikan, status keluarga, usia pernikahan, jenis pekerjaan, jumlah anak dan tempat tinggal turut berperan dalam perubahan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda. Self efficacy tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat stres, hasil yang dicapai manusia dan kesejahteraan pribadi yang positif membutuhkan penghayatan yang optimis akan self-efficacy. Kesimpulan: Tidak ada hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda di Dusun Puluhan Jerukan, Sumberarum, Moyudan, Sleman, Yogyakarta September 2015. Kata Kunci : dukungan suami – self efficacy – wanita berperan ganda Pendahuluan Perkembangan ekonomi di Indonesia yang semakin pesat membuat kebutuhan rumah tangga juga mengalami peningkatan. Kurangnya pendapatan yang dihasilkan suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut serta bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan latar pendidikan yang berbeda-beda, membuat sejumlah wanita mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam sektor industri domestik banyak dijumpai wanita bekerja sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga, maupun buruh cuci (Anoraga, 2005). Peran wanita saat ini sudah bergeser dari peran tradisional menjadi modern, dari sekedar memiliki peran tradisional untuk melahirkan anak dan mengurus rumah tangga, sekarang ini wanita memiliki peran sosial dimana dapat berkarir dalam bidang kesehatan, ekonomi, sosial, maupun politik. Idealnya memang setiap wanita bisa menjalani semua peran dengan baik dan sempurna, namun ini bukanlah hal mudah. Peran ganda yang dimaksud adalah wanita yang berkerja dan berumahtangga mengakibatkan tuntutan yang lebih dari biasanya “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 139 terhadap wanita, karena terkadang wanita menghabiskan waktu untuk mengurus rumah tangga dibandingkan dengan pasangannya yang berkerja (Triaryati, 2006). Perempuan yang berkerja, dapat mengalami ketegangan (stres) yang berkaitan dengan pemenuhan tuntutan peran antara pekerjaan dan rumah tangga. Dari semua tuntutan yang ada tersebut maka diperlukan adanya kerja sama antara kedua belah pihak, disini suami yang berperan untuk menyelesaikan persoalan stres tersebut. Hasil wawancara yang sudah dilakukan ditemukan permasalahan yaitu para ibu rumah tangga yang juga bekerja di luar rumah merasa sangat sulit untuk membagi waktu antara urusan rumah tangga dan urusan pekerjaan. Setelah bekerja para ibu biasanya sudah merasa lelah, sedangkan masih harus mengurus rumah, belum juga ibu yang mempunyai anak kecil dan anak tersebut ”rewel”, semua permasalah ini membuat ibu stres sehingga tidak dapat memenuhi tanggungjawabnya dengan baik. Para ibu juga sangat membutuhkan dukungan dari keluarga terutama suami, pada kenyataannya ada juga suami yang kurang memberikan dukungan kepada isteri. Tujuan Secara Umum mengetahui hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda pada September 2015. Secara khusus mengetahui karakteristik responden, mengetahui dukungan suami pada wanita yang berperan ganda, mengetahui self efficacy pada wanita yang berperan ganda, mengetahui tingkat stres pada wanita yang mempunyai peran ganda, mengetahui hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda apabila diketahui ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda, dan mengetahui hubungan antara self efficacy dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda apabila diketahui ada hubungan antara self efficacy dengan tingkat stres pada wanita yang berperan ganda. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan deskriptif correlation dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2015 dengan 30 responden sebagai sampel yang digunakan menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria wanita yang berperan sebagai kepala keluarga dan sebagai ibu untuk anaknya. Alat pengumpulan data untuk mengukur dukungan suami, self efficacy dan tingkat stres adalah kuesioner. Hasil dan Pembahasan Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia September 2015 Usia Frekuensi Persentase 18 - 40 tahun 41 - 60 tahun 24 6 80,00 % 20,00 % Total 30 100,00 % Sumber : Primer terolah 2015 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 140 Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Pernikahan September 2015 Usia perkawinan Frekuensi Persentase < 10 tahun ≥ 10 tahun Total 9 21 30,00 % 70,00 % 30 100,00 % Sumber : Primer terolah 2015 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan September 2015 Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase Dasar Menengah Tinggi Total 0 21 9 0,00 % 70,00 % 30,00 % 30 100,00 % Sumber : Primer terolah 2015 Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan September 2015 Pekejaan Frekuensi Persentase Tidak Bekerja (IRT) 0 0,00 % PNS 5 16,67 % Pegawai Swasta 15 50,00 % Wiraswasta 10 33,33 % Total 30 100,00 % Sumber : Primer terolah 2015 Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Suami September 2015 Dukungan Suami Frekuensi Persentase Baik 20 66,67 % Kurang 10 33,33 % Total 30 100,00 % Sumber : Primer terolah 2015 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 141 Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Self Efficacy September 2015 Self Efficacy Frekuensi Persentase Tinggi 16 53,33 % Rendah 14 46,67 % Total 30 100,00 % Sumber : Primer terolah 2015 Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Stres Wanita September 2015 Tingkat Stres Frekuensi Persentase Ringan 12 40,00 % Sedang 16 53,33 % Berat 2 6,67 % Total 30 100,00 % Sumber : Primer terolah 2015 Tabel 8 Hubungan Antara Dukungan Suami Dengan Tingkat Stres Pada Wanita Yang Berperan Ganda September 2015 Dukungan Suami Koefisien Total p-value Tingkat Stres Dukungan Dukungan Kontingensi Baik Kurang Stres Ringan 6 6 12 Stres Sedang 13 3 16 3.281 0.194 Stres Berat 1 1 2 Total 20 10 30 Sumber : Primer terolah 2015 Tabel 9 Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Tingkat Stres Pada Wanita Yang Berperan Ganda September 2015 Self Efficacy Koefisien Self Self Efficacy Efficacy Tinggi Rendah Stres Ringan 7 5 Stres Sedang 8 8 Stres Berat 1 1 Total 16 14 Sumber : Primer terolah 2015 Tingkat Stres “Pera Perawat dala Total p-value 12 16 2 30 0.201 Kontingensi 0.904 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 142 Pembahasan Tabel karakteristik responden menunjukkan usia responden terbanyak dalam penelitian ini adalah usia 14-40 tahun, sedangkan paling sedikit yaitu usia 41-60 tahun sebanyak 6 responden. Perempuan yang berusia lebih tua cenderung lebih mempunyai rasa keterikatan atau komitmen pada organisasi dibandingkan dengan yang berusia muda sehingga meningkatkan loyalitas mereka pada organisasi. Sama halnya yang terjadi di tempat penelitian, perempuan yang lebih tua juga lebih banyak mengikuti acara yang ada di Dusun, seperti senam, arisan RT dan RW. Tidak sedikit juga jika dikaitkan dengan tingkat stres pada perempuan, pada usia muda, mereka lebih mudah mengalami stres dibanding usia tua karena pada usia tua sudah terdapat sumber fisik dan mental serta pengalaman, sehingga berpengaruh terhadap mekanisme kopingnya. Hasil penelitian berdasarkan usia pernikahan juga menjadi pendukung dalam keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan dari tingkat stres. Hasil penelitian menujukkan terdapat 9 responden yang usia perkawinan kurang dari 10 tahun dan 21 responden dengan usia lebih dari 10 tahun. Dari data yang didapatkan tersebut bahwa usia pernikahan yang masih muda lebih rentan mengalami stres yang disebabkan karena konflik dibandingkan usia pernikahan yang sudah lama karena isteri lebih bisa mengontrol dan berkomunikasi serta berfikir lebih bijak yang dikaitkan dengan tingkat emosional setiap individu. Selain dari usia pernikahan peneliti juga melihat dari tingkat pendidikan, pendidikan merupakan suatu proses belajar dan dilalui oleh sebagian besar orang. Hasil penelitian berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan 21 responden dengan tingkat pendidikan menengah dan 9 responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Notoatmodjo (2007) menyatakan secara umum seseorang yang memiliki pendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibanding dengan seseorang berpendidikan rendah. Pendidikan tinggi mampu mempengaruhi pola pikir seseorang. Pola pikir dimaksud sebagai sikap seseorang dalam menentukan pilihan. Peneliti juga mendapatkan beberapa responden dengan pendidikan menengah mengatakan bahwa responden juga belum bisa mengontrol stres dalam keluarga. Hal ini menyatakan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi seseorang dalam mengontrol emosi setiap individu. Pekerjaan dalam keluarga juga mempunyai peran demi keharmonisan keluarga itu sendiri. Hasil penelitian berdasarkan pekerjaan didapatkan sebanyak 5 responden dengan pekerjaan sebagai PNS, 15 responden dengan pekerjaan sebagai pegawai swasta, 10 responden dengan pekerjaan sebagai wiraswasta, dan tidak ada responden yang tidak bekerja. Tidak memiliki pekerjaan akan membuat seseorang lebih mudah mengalami stres karena kehilangan status sosialnya. Selain dari pekerjaan, penghasilan seorang isteri yang lebih tinggi dari suami, juga bisa memunculkan potensi masalah dalam kehidupan rumah tangga apabila tidak disikapi secara bijak oleh kedua pihak. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 30 responden didapatkan 20 responden mendapatkan dukungan suami baik dan 10 responden mendapatkan dukungan suami kurang. dukungan adalah adanya bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang lain dalam kehidupannya sehingga individu tersebut merasa bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Sarafino, 2006). Bentuk dukungan sendiri ada beberapa diantaranya yaitu emosional, instrumental, infomasi dan persahabatan. Hasil dari uji hipotesisi juga menunjukkan tidak ada hubungan antara dukungan suami dengan tingkat stres, jadi wanita menjadi stres dikarenakan oleh hal-hal selain dukungan suami. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 143 Self efficacy merupakan kepercayaan mengenai kompetensi personal dalam sebuah situasi khusus. Hasil yang didapatkan dalam penelitian dari 30 responden terdapat 16 responden dengan self efficacy tinggi dan 14 responden dengan self efficacy rendah. Self efficacy ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pencapaian kinerja, pengalaman, persuai verbal, emosional dan reaksi fisiologis. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi atau belief yang kuat dalam kemampuan mereka (Bandura, 2005). Self efficacy yang tinggi juga mempengaruhi individu dalam penyelesaian tugas, mengurangi stres, dan mengurangi kerentanan untuk mengalami depresi. Setelah diuji, self efficacy juga tidak mempengaruhi tingkat stres pada wanita. Hasil analisis dari 30 responden didapatkan 12 responden dengan tingkat stres ringan, 16 responden dengan tingkat stres sedang dan 2 responden dengan tingkat stres berat. Dimana stres sendiri dapat muncul karena beberapa faktor yang meliputi stresor fisik, sosial dan psikologis (Priyoto, 2014). Dalam penelitian ini sebagian besar responden mengalami stres sedang, tetapi setiap individu masih bisa mengontrol emosi dan menguranga stres dengan koping masing-masing. Sebagian besar wanita di Dusun Puluhan Jerukan, Sumberarum, Moyudan, Sleman, Yogyakarta sudah bisa mengatasi stres dengan cukup baik, disamping dukungan dari keluarga dan relasi, masyarakat sekitar juga saling berhubungan baik satu sama lain, ini semua mendukung setiap individu dari stres. Uji statistik dengan Chi Square diperoleh p-value = 3,281 > α = 0,05, artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat stres. Adapun variabel pengganggu antara lain kepribadian, persepsi, tingkat pendidikan, status keluarga, usia pernikahan, jenis pekerjaan, jumlah anak dan tempat tinggal, dari semua variabel pengganggu tersebut tidak ada yang berpengaruh secara langsung untuk mempengaruhi tingkat stres.Uji statistik dengan Chi Square diperoleh p-value = 0,201 > α = 0,05, artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat stres. Hasil yang dicapai manusia dan kesejahteraan pribadi yang positif membutuhkan penghayatan yang optimis akan self-efficacy. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya kehidupan sosial sehari-hari penuh dengan kesulitan. Kesimpulan Karakteristik berdasarkan usia responden terbanyak yaitu usia 18-40 tahun sebanyak 24 responden. Karakteristik berdasarkan usia perkawinan terbanyak yaitu usia > 10 tahun sebanyak 21 responden. Karakteristik berdasarkan pendidikan responden terbanyak yaitu pendidikan menengah sebanyak 21 responden. Karakteristik berdasarkan jenis pekerjaan terbanyak yaitu pegawai swasta sebanyak 15 responden. Dari variabel dukungan suami terdapat 66,67% dengan kategori baik. Dari variabel self efficacy terdapat 53,33% dengan kategori tinggi. Dari variabel tingkat stres terdapat 53,33% dengan kategori sedang. Tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan tingkat stres. Tidak ada hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan tingkat stres. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 144 Tidak ada hubungan antara dukungan suami dan self efficacy dengan tingkat stres September 2015. Daftar Pustaka A’at, Sriati. (2008). Tinjauan Tentang Stres. Retrieved January 03, 2009, from Http://www.recaucesunpad.ac.id. Ali, Z. (2009). Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC Anoraga, P. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Astria, Tita. (2006). Hubungan antara Self Efficacy dengan Minat Melanjutkan Studi ke Perguruan Tinggi pada Siswa SMA Negeri 2 Ciamis . Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan. Bandura. A. (2006). Self-Efficacy Belief of Adolescence: Guide for Constructing SelfEfficacy Scale.New York: by Information Age Publishing,(Http://www.ravansanji.ir/files/ravansanjiir/21655425BanduraGuide200 6.pdf, diakses tanggal 16 Mei 2012). Chasanah, Nur. (2008). Analisis Pengaruh Empowerment, Self-Efficacy Dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan . Tesis Magister Manajemen Universitas Negeri Diponegoro. Foucault, Michel, (2007), Space, Knowledge and Power , dalam Rethiking Architecture: A Reader in Cultural Theory. London: Neil Leach, Roudledge. Hawari, Dadang. (2011). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: FKUI. Rini, Harfiahana Puspa. (2013). Self Efficacy dengan Kecemasan dalam Menghadapi Ujian Nasional. Jurnal Online Psikologi, Vol. 01, No. 01. Santrock, John. 2009. Safitri, Nurliana. (2008). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Tingkat Disclosure Laporan Tahunan pada Sektor Property dan Real Estate di Buras Efek Indonesia (BEI)Periode 2003-2007. th Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 5 . New York: John Wiley & Sons, Inc. Sulistyawati, Ika. (2010). Jurnal psikologi sosial : Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Self-Efficacy Mahasiswa Dalam Menyusun Skripsi. Fakultas Psikolosi Universitas Gunadarma. Triaryati, N. (2006). Pengaruh adaptasi kebijakan mengenai work family issue terhadap absen dan turnover . Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. 5 (1), 85-96. McGraw-Hill, Poerwandari, E,Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Perilaku Manusia . Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Woolfolk, Anita. (2005). Educational psychology.Boston: Pearson Education. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 145 EFEKTIVITAS PENDAMPINGAN PEER GROUP TENTANG BAHAYA ROKOK TERHADAP FREKUENSI MEROKOK SISWA SMAN 14 SEMARANG Asti Nuraeni1, Susana Agustina2, Mamat Supriyono3 1.2 STIKES Telogorejo Semarang, Email: [email protected], Email: [email protected] Dinas Kesehatan Kota Semarang, Email : [email protected] Abstrak Pendahuluan: Merokok adalah permasalahan remaja yang dari tahun ke tahun semakin mengkhawatirkan. Prevalensi perokok remaja Indonesia pada tahun 2010 adalah 38,4% dan menurun pada tahun 2013 menjadi 37,3%. Penurunan ini belum mencapai target yang diharapkan (5% per tahun). Peningkatan jumlah perokok tentu meningkatkan masalah kesehatan yang terjadi. Salah satu cara untuk mengurangi frekuensi merokok adalah pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa efektivitas pendampingan peer group tentang bahaya rokok terhadap frekuensi merokok siswa SMAN 14 Semarang. Metode: Desain penelitian ini adalah the one group pre test-post test design dengan teknik total sampling. Instrumen yang digunakan adalah lembar instrumen pendampingan peer group. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara. Peneliti menggunakan uji normalitas shapirowilk dan uji hipotesis dependent T test. P-value yang didapatkan adalah 0,0001 (≤ 0,05). Hasil: Hasil penelitian ini terdapat perbedaan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sebelum dan sesudah pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Responden berada pada rentang usia 16-18 tahun dengan mayoritas berusia 17 tahun (63,3%). Kategori perokok terbesar sebelum dilakukan intervensi adalah perokok berat (50%) dan kategori ini tetap menjadi kategori perokok terbesar sesudah dilakukan intervensi, tetapi frekuensinya menurun (46,7%). Rata-rata penurunan frekuensi merokok sebelum dan sesudah dilakukan intervensi adalah 2,26. Peneliti memiliki harapan agar peneliti selanjutnya menggunakan kelompok kontrol. Kata kunci: Pendampingan peer group tentang bahaya rokok, frekuensi merokok Pendahuluan Keperawatan kesehatan komunitas adalah sebuah spesialisasi yang membawa secara bersamaan pengetahuan dari ilmu kesehatan masyarakat dan keperawatan untuk meningkatkan kesehatan komunitas (American Public Health Association, 1996 dalam Stanhope & Lancaster, 2014, hlm. 6). Sasaran keperawatan kesehatan komunitas menurut Depkes (2006, dalam Efendi & Makhfudli, 2009, hlm. 8-9) adalah individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sasaran kelompok adalah kelompok yang rentan terhadap timbulnya masalah kesehatan. Sasaran kelompok terbagi menjadi 2 macam, yaitu kelompok masyarakat khusus yang tidak terikat dalam suatu institusi dan kelompok masyarakat khusus yang terikat dalam suatu institusi. Remaja merupakan salah satu bagian dari kelompok masyarakat khusus yang terikat dalam suatu institusi, salah 1 institusi yang dimaksud adalah sekolah. Masa remaja atau usia muda adalah usia yang paling rawan dalam kehidupan. Masa ini dipenuhi dengan pertentangan dan perlawanan, bertolak belakang dari masa kecil yang lebih aman dan lebih mudah diatur (Agustin, dalam Bali Post, 2009, ¶5-7). Masa remaja memang masa yang menyenangkan, akan tetapi tidak “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 146 jarang masa ini menjadi masa yang berat karena para remaja biasanya menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain cyber bullying and stalking, seks bebas, alkohol dan narkoba, grades, masalah keluarga, eating disorder, depresi, dan merokok (Iif, 2014, ¶2, 4, 6-8,10-12). Permasalahan remaja yang dari tahun ke tahun semakin mengkhawatirkan adalah permasalahan merokok. Merokok adalah menghirup asap pembakaran tembakau yang digunakan (Encyclopedia of Children’s Health, 2014, ¶1). Remaja umumnya merokok karena sekedar mengikuti orang yang lebih dewasa darinya, mengikuti trend, dan memiliki teman perokok berat (Husaini, 2006, hlm. 27-28). Peningkatan jumlah perokok tentu meningkatkan masalah kesehatan yang terjadi. Akibat merokok antara lain kanker, terganggunya perbaikan DNA, penyakit dan serangan jantung, stroke, katarak, diabetes melitus tipe 2, dan kerusakan paru-paru, lambung, dan pembuluh darah (Dharma, 2014, ¶2). Perawat komunitas seharusnya turut berpartisipasi dalam membantu perokok mengurangi frekuensi rokok yang dikonsumsi bahkan membantunya berhenti merokok. Peran perawat komunitas ada bermacam-macam, yaitu sebagai pemberi asuhan keperawatan, perencana, pendidik, konselor, advokat, dan pemimpin. Peran-peran tersebut dapat diterapkan pada masyarakat, rumah, tempat kerja, sekolah, tempat bermain, dalam sebuah organisasi, dan dalam sebuah pemerintahan (Stanhope & Lancaster, 2014, hlm. 3). Peran dan fungsi perawat sekolah akan lebih berhasil jika para siswa turut berpartisipasi. Partisipasi siswa dibutuhkan karena pengaruh teman sebaya (peer group) bagi remaja turut menjadi andil untuk pertumbuhan perokok baru. Teman sebaya sangat berpengaruh karena pada masa remaja, seseorang akan mulai mengembangkan persahabatan yang lebih intim, eksklusif dan konstan. Remaja bahkan terkadang lebih terbuka dengan teman sebayanya dibandingkan dengan keluarganya. Layanan peer group adalah layanan yang dilakukan dimana beberapa anggota teman sebaya berkumpul (Moro, Bergamaschi, & Aberer, 2005, hlm. 169). Peer group dapat menurunkan frekuensi merokok karena kebanyakan murid merasa lebih nyaman berbicara mengenai isu sosial dan personal dengan peer leaders (Media Smarts, 2013, hlm. 15). Teknik ini juga memberikan dukungan emosional, informasi, dan dukungan sosial dengan memberikan pendidikan kesehatan, manajemen stres dan teknik mengubah tingkah laku, dukungan emosional mengenai pembaruan bebas rokok, dan membuat klien membangun jaringan sosial bebas rokok (University of Colorado, hlm. 1). Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisa efektivitas pendampingan peer group tentang bahaya rokok terhadap frekuensi merokok siswa SMAN 14 Semarang. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasy Experiment karena pada desain ini semua persyaratan yang dibutuhkan untuk mengendalikan pengaruh dari variabel eksternal tidak dipenuhi, khususnya saat menentukan partisipan yang akan berpartisipasi dalam sebuah eksperimen (Santoso, 2010, hlm. 25). Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan the one group pre test-post test design. Pada rancangan ini dilakukan pre test, pendampingan peer group dan post test (Harris et al., 2006, ¶24). “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 147 Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI SMAN 14 Semarang yang merokok dimana jumlahnya 30 siswa. Peneliti menggunakan metode total sampling karena populasi dalam penelitian ini relatif kecil. Sampel yang diambil meliputi keseluruhan unsur populasi yaitu berjumlah 30 responden. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 14 Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia menjadi responden yaitu 30 responden. Kriteria inklusi penelitian ini adalah siswa putra SMAN 14 Semarang tahun ajaran 2014/2015, berada pada kelas XI dan merupakan seorang perokok aktif, keadaan umum sadar dan kooperatif, bersedia menjadi responden penelitian dan menandatangani informed consent, bersedia hadir dalam setiap pertemuan pada saat pengambilan data. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah siswa yang sedang sakit dan siswa tidak selalu menghadiri pertemuan. Penelitian ini dilakukan di SMAN 14 Semarang pada 03 Maret sampai 02 April 2015. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah lembar observasi yang digunakan untuk mencatat frekuensi merokok responden sebelum dan sesudah pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Peralatan yang dibutuhkan untuk pertemuan pertama adalah mangkok, papan tulis, dan spidol. Pertemuan ke-2 membutuhkan LCD dan pertemuan ke-3 membutuhkan mangkok Penelitian ini juga dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2012, hlm. 182-183). Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan usia dan frekuensi merokok responden. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendampingan peer group tentang bahaya rokok, sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah frekuensi merokok. Hasil analisis data menggunakan uji statistik paired T-test karena distribusinya normal (p-value ≥ 0,05). Uji paired T test digunakan untuk membandingkan mean dari 2 set nilai yang berhubungan secara langsung satu sama lain. (Social Science Statistics, 2014, ¶1). Hasil Penelitian ini dilakukan di SMAN 14 Semarang yang berada di Kecamatan Semarang Utara, Propinsi Jawa Tengah. Sekolah ini didirikan pada tahun 1988 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 52/6/1988. Jenis bangunan SMAN 14 Semarang sebagian besar berlantai 2. Fasilitas yang terdapat di sekolah ini antara lain perpustakaan, lapangan olahraga, UKS, laboratorium dan musholla. Jumlah keseluruhan siswa adalah 930 siswa yang terbagi menjadi 503 siswa putra dan 427 siswa putri. 1. Analisis univariat Tabel 1 Distribusi Frekuensi Usia Siswa SMAN 14 Semarang, Maret 2015 (n=30) Usia Jumlah Persentase (tahun) (f) (%) 16 9 30,0 17 19 63,3 18 2 6,7 Jumlah 30 100,0 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 148 Tabel 1 menggambarkan sebagian besar siswa terbanyak berada pada usia 17 tahun dengan jumlah 19 siswa (63,3%). Tabel 2 Distribusi Frekuensi Merokok Siswa SMAN 14 Semarang Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok, Maret 2015 (n=30) Frekuensi Merokok Perokok ringan Perokok sedang Perokok berat Total Sebelum Intervensi Persentase Jumlah (f) (%) 10 33,3 5 16,7 15 30 50,0 100,0 Sesudah Intervensi Jumlah Persentase (%) (f) 12 40 4 13,3 14 30 46,7 100,0 Tabel 2 menggambarkan bahwa frekuensi merokok siswa terbanyak sebelum intervensi adalah kategori perokok berat yaitu 15 siswa (50%). Kategori ini tetap menjadi kategori frekuensi merokok siswa terbanyak sesudah intervensi tetapi frekuensinya menurun menjadi 14 siswa (46,7%). 2. Analisis bivariat Tabel 3 Analisis Efektivitas Pendampingan Peer Group Tentang Bahaya Rokok Terhadap Frekuensi Merokok Siswa SMAN 14 Semarang,Maret 2015 (n=30) Std. Kelompok Mean P-value Deviasi Frekuensi merokok sebelum 0,0001 dilakukan intervensi 26,53 17,06 Frekuensi merokok sesudah 24,27 16,19 dilakukan intervensi Tabel 3 menggambarkan hasil uji paired T test. Nilai significancy yang didapatkan adalah 0,0001 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam menurunkan frekuensi merokok siswa SMAN 14 Semarang. Pembahasan Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa kelas XI berada pada rentang usia 16 sampai 18 tahun. Frekuensi setiap usia berbeda-beda karena selisih antar usia cukup besar. Responden yang berusia 16 tahun ada 9 siswa, yang berusia 17 tahun berjumlah 19 siswa, dan ada 2 siswa yang berusia 18 tahun. Penelitian ini didukung oleh penelitian Smet (1994, dalam Riadi, 2013, ¶2) yang menyatakan bahwa 85%-95% perokok mulai merokok sebelum umur 18 tahun. Penelitian lain juga dikemukakan oleh Nasution (2007, hlm. 2) yang menyatakan bahwa merokok pada umumnya dimulai pada usia remaja (diatas 13 tahun). “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 149 Usia responden yang merupakan kategori remaja adalah usia paling rentan seseorang menjadi perokok. Hal ini terjadi karena pada usia ini ada berbagai hal yang melatarbelakangi seorang menjadi perokok. Remaja menganggap merokok adalah “penopang” dalam bermasyarakat, tanda kejantanan dan lambang kematangan, serta bentuk konformitas kelompok (Armstrong, 1995; Hurlock, 1980; Mons et al., 2001, dalam Psikologi, 2013, ¶7). Hal ini ditunjang juga karena merokok adalah cara untuk diterima dan tidak dikucilkan dari kelompok teman sebaya (Kobus, 2003; Walsh & Tzelepis, 2007, dalam The Cancer Council, 2014, ¶6). Hasil analisis menyimpulkan bahwa sebagian besar perokok adalah remaja. Responden merokok karena ingin mencoba bagaimana rasa rokok dan karena bujukan teman. Responden memiliki persepsi bahwa hampir semua teman mereka merokok sehingga responden merasa aneh jika tidak merokok sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian terkait dan juga teori yang menunjukkan bahwa sebagian besar perokok adalah remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok, 10 siswa (33,3%) berstatus perokok ringan, 5 siswa (16,7%) termasuk dalam kategori perokok sedang, dan 15 orang (50%) merupakan perokok berat. Hasil post test yang dilakukan sesudah pemberian intervensi selama 3 minggu menunjukkan bahwa jumlah perokok ringan bertambah menjadi 12 siswa (40%), perokok sedang jumlahnya menurun menjadi 4 siswa (13,3%), dan jumlah perokok berat juga menurun menjadi 14 siswa (46,7%). Kategori perokok ada 3 yaitu perokok ringan, sedang, dan berat (The Cancer Council, 2015, ¶13). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan frekuensi merokok sesudah dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok. Uji paired T test menyimpulkan pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam menurunkan frekuensi merokok siswa (p=0,0001 < α 0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Campbell et al. pada tahun 2008 (¶2, 4, 13) dengan judul Sebuah Intervensi Informal yang Dipimpin Teman Sebaya Untuk Pencegahan Merokok Pada Remaja (ASSIST (A Stop Smoking In Schools Trial)): Percobaan Randomisasi Rumpun. Penelitian ini menggunakan teknik sampel acak berstrata dimana jumlah respondennya adalah 10.730 siswa. Dua puluh sembilan sekolah menjadi kelompok kontrol dan 30 sekolah menjadi kelompok intervensi. Intervensi yang diberikan berupa percakapan informal mengenai merokok yang dilakukan saat berangkat ke sekolah, pulang sekolah, istirahat, dan makan siang. Perlakuan ini berlangsung selama 10 minggu dan hasilnya adalah prevalensi merokok remaja menurun. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lotrean et al. pada tahun 2010 (¶1) dengan judul Evaluasi Program Pencegahan Merokok yang Dipimpin Oleh Teman Sebaya pada Remaja Roma. Responden dalam penelitian ini berjumlah 1.071 siswa yang berasal dari 20 SMP. Responden dibagi menjadi 28 kelompok yang berfungsi ebagai kontrol dan 27 kelompok yang mendapat perlakuan. Intervensi yang dilakukan berupa menonton video dan berdiskusi dalam kelompok yang dipimpin oleh teman sebaya. Lotrean et al. lalu melakukan follow up selama 9 bulan. Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan efek yang signifikan dari program merokok pada remaja sehingga kesimpulan dari penelitian ini adalah efek jangka pendek program pencegahan merokok dapat direalisasikan di Roma. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 150 Pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam menurunkan frekuensi merokok karena komponen pendampingan peer group terdiri dari sharing dan pemberian pendidikan kesehatan. Sharing dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik dan cara terbaik untuk mengatasi suatu masalah (BC Partners For Mental Health And Addictions Information, 2011, ¶6). Pendidikan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap, dan mengarahkan perilaku seseorang menjadi lebih baik (Maulana, 2009, hlm. 153). Penurunan frekuensi merokok juga dapat disebabkan karena responden mendapatkan manfaat dari peer group. Peer group bermanfaat untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian, meningkatkan harapan hidup, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan status kesehatan dan perawatan diri, dan mengurangi penggunaan layanan darurat (American Academy Of Family Physicians Foundation, 2015, ¶2). Pendampingan peer group tentang bahaya rokok bermanfaat dalam menumbuhkan kemauan responden untuk menurunkan frekuensi merokoknya. Apabila responden tidak memiliki kemauan tersebut maka tentu hasilnya tidak maksimal. Penurunan frekuensi merokok yang dialami hampir sebagian besar responden disebabkan adanya dukungan dari teman sebaya dan pemberian pendidikan kesehatan sehingga pengetahuan, sikap, dan perilaku responden berubah. Proses sharing membuat responden belajar dari pengalaman orang lain dan mempraktikkan cara berhenti merokok yang dilakukan oleh temannya. Hasil penelitian ini dan hasil penelitian terkait menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sebelum dan sesudah dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok maka pendampingan peer group tentang bahaya rokok memungkinkan untuk diterapkan dalam menurunkan frekuensi merokok siswa. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut: Tiga puluh siswa yang merokok berada pada kelas XI IPA dan IPS dimana rentang usianya 16-18 tahun. Mayoritas responden berusia 17 tahun (19 siswa). Kategori perokok terbesar sebelum dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok adalah perokok berat (15 siswa atau 50%). Perokok berat tetap menjadi kategori perokok terbesar sesudah dilakukan intervensi, tetapi frekuensinya menurun menjadi 14 siswa (46,7%). Hasil analisis data menyimpulkan pendampingan peer group tentang bahaya rokok efektif dalam menurunkan frekuensi merokok siswa. Rata-rata penurunan frekuensi merokok sebelum dan sesudah dilakukan pendampingan peer group tentang bahaya rokok adalah 2,26. Uji paired T test menujukkan nilai significancy 0,0001 (p<0,05), maka hipotesis terdapat perbedaan rerata jumlah batang rokok yang dihisap sebelum dan sesudah pendampingan peer group tentang bahaya rokok dapat diterima. Daftar Pustaka Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Encyclopedia Of Children’s Health. (2014). Smoking. http://www.healthofchildren. com/S/Smoking.html, diperoleh tanggal 03 Desember 2014 Harris, et al. (2006). The Use And Interpretation Of Quasi-Experimental Studies In Medical Informatics. http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1380192/, diperoleh tanggal 31 Januari 2015 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 151 Husaini, A. (2006). Tobat Merokok Rahasia & Cara Empatik Berhenti Merokok. Jakarta: Pustaka IIMaN Iif. (2014). Delapan Masalah Utama yang Sering Dihadapi Remaja . http://www. kawankumagz.com/read/8-masalah-utama-yang-sering-dihadapi-remaja, diperoleh tanggal 08 Desember 2014 Lotrean, L. M., Dijk, F., Mesters, I., Ionut, C., De Vries, H. (2010). Evaluation Of A PeerLed Smoking Prevention Programme For Romanian Adolescents . http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20601383, diperoleh tanggal 23 April 2015 Maulana, H. D. J. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC Media Smarts. (2013). Gender And Tobacco. http://mediasmarts.ca/sites/mediasmarts/ files/pdfs/lesson-plan/Lesson_Gender_ Tobacco.pdf, diperoleh tanggal 08 Januari 2015 Moro, G., Bergamaschi, S., & Aberer, K. (2005). Agents And Peer-to-Peer Computing. Jerman: Springer-Verlag Berlin Heidelberg Nasution, I. K. (2007). Perilaku Merokok Pada Remaja . http://library.usu.ac.id/ download/fk/132316815.pdf, diperoleh tanggal 28 April 2015 Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta Psikologi. (2013). Remaja dan Perilaku Merokok. http://psikologi.net/remaja-danperilaku-merokok/, diperoleh tanggal 23 April 2015 Riadi, M. (2013). Tahapan, Tipe dan Faktor Perilaku Merokok. http://www. kajianpustaka.com/2013/09/tahapan-tipe-dan-faktor-perilaku-merokok.-html, diperoleh tanggal 28 April 2015 Santoso, S. (2010). Kupas Tuntas Riset EKSPERIMEN dengan Excel 2007 dan Minitab 15. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Social Science Statistics. (2014). T Test Calculator for 2 Dependent Means. www.socscistatistics.com/tests/ttestdependent, diperoleh tanggal 31 Januari 2015 Stanhope, M., & Lancaster, J. (2014). Foundations Of Nursing In The Community: Community-Oriented Practice. Edisi 4. Missouri: Elsevier Mosby The Cancer Council. (2014). The Smoking Behaviour Of Peers, And Peer Attitudes And Norms. http://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web& cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0CDEQFjAC&url=http%3A%2F%2Fwww.tobaccoi naustralia.org.au%2F5-8-the-smoking-behaviour-of-peers-and-peer-attitu&ei= wry-VjiBMeKOmwXMq4DoAw&usg=-AFQjCNHlU9-MY7OWtWULrJ5aufv mUa9og&sig2=8bCXXHiJi-ji_H5gpQ5IN- g&bvm=bv.83829542,d.dGY, diperoleh tanggal 24 April 2015 . (2015). Self Reported Measures Of Tobacco Consumption. http://www.tobaccoinaustralia.org.au/2-3-self-reported-measures-of-tobaccoconsumption, diperoleh tanggal 29 April 2015 University Of Colorado. Behavioral Health And Wellness Program. http://www. integration.samhsa.gov/Peer_to_Peer_Tobacco_Recovery_Program.pdf, diperoleh tanggal 08 Januari 2015 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 152 HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DALAM PENCEGAHAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH PADA ANGGOTA KELUARGA DI KABUPATEN KENDAL Yulia Susanti1, Junaiti Sahar², Poppy Fitriyani³ 1 Staf STIKES Kendal, [email protected] 1,2 FIK UI, Depok, Jawa Barat Abstrak Latar Belakang. Penyakit menular merupakan masalah kesehatan yang diprioritaskan dalam pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus penyakit demam berdarah sampai saat ini belum ada, sehingga mengakibatkan kasus demam masih tinggi di berbagai belahan dunia. Standar pelayanan Minimum (SPM) penanggulangan penyakit menular wajib dilaksanakan oleh masing- masing daerah. Penyakit menular yang menjadi prioritas pembangunan nasional jangka panjang 2005-2025 salah satunya adalah demam berdarah. Penyakit demam berdarah telah menjadi wabah tahunan yang telah menghilangkan ratusan jiwa orang setiap tahunnya Di kabupaten Kendal terdapat 18 desa endemis demam berdarah dari 286 kelurahan/desa, pada tahun 2013 terdapat 322 pasien dan bulan Februari 2014 terdapat 59 pasien yang dirawat di rumah sakit umum. Pencegahan dan pengendalian laju penularan virus dengue merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh keluarga dalam upaya pengendalian kejadian penyakit pada anggota keluarganya. Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga di Kabupaten Kendal. Metoda. Desain penelitian deskriptif korelasi, pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel secara probability sampling yaitu cluster sampling, responden berjumlah 108. Kriteria sampel yaitu orang dewasa yang tinggal bersama keluarga di Kelurahan Langenharjo. Uji statistik yang digunakan chi square. Hasil. Hasil penelitian menyatakan ada hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Kasimpulan. Disimpulkan bahwa anggota keluarga membutuhkan dukungan dari seluruh anggota keluarga dalam pencegahan penyakit. Dukungan keluarga diberikan berupa dukungan informasi, emosional, penghargaan dan instrumental sehingga dapat terhindar anggota keluarga dapat terhindar dari penyakit demam berdarah. Kata kunci: Dukungan keluarga, kejadian demam berdarah pada anggota keluarga Pendahuluan Penyakit menular merupakan masalah kesehatan yang diprioritaskan dalam pembangunan kesehatan masyarakat di Indonesia. Standar pelayanan Minimum (SPM) penanggulangan penyakit menular wajib dilaksanakan oleh masing-masing daerah, kecuali apabila daerah tersebut bebas dari masalah penyakit menular. Penyakit menular yang menjadi prioritas pembangunan nasional jangka panjang 2005-2025 adalah demam berdarah, malaria, diare, polio, filaria, kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, penumonia, dan penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit demam berdarah saat ini harus segera untuk diberantas, karena telah menjadi wabah tahunan yang telah menghilangkan ratusan jiwa orang setiap tahunnya (Dinkes Jateng, 2010). Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat penyakit demam berdarah sampai saat ini Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 153 belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga mengakibatkan kasus demam masih tinggi di berbagai belahan dunia (WHO, 2009). Kasus penyakit demam berdarah di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia, pada tahun 2007 terdapat 158.115 kasus dan tahun 2008 sampai turun menjadi 137.469 (Inciden Rate = 59,02 per 100.000 penduduk), namun meningkat lagi di tahun 2009 menjadi 154.855 kasus tahun 2011 s.d oktober terdapat 49.486 kasus (Soedarto, 2012). Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah angka kesakitan/Incidence Rate demam berdarah tahun 2011 sebesar 15,27/100.000 penduduk, dengan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) di tahun 2011 sebesar 0.93%. sedangkan di tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi 19,29/100.000 penduduk (Dinkes Jateng 2013). Kabupaten Kendal termasuk kabupaten endemis demam berdarah di Jawa Tengah, dimana terdapat 18 desa endemis dari 286 desa. Jumlah kasus tahun 2010 terdapat 501 dengan 2 korban jiwa, tahun 2011 terdapat 84, tidak ada korban jiwa. Sedangkan akhir Oktober 2012 terdapat 108 kasus dengan tidak ada korban jiwa (Dinkes Kendal, 2012). Sedangkan jumlah pasien demam berdarah yang dirawat di RSUD Dr. H. Soewondo Kendal pada tahun 2013 terdapat 322 orang dan 2014 sampai dengan bulan Februari 2014 terdapat 59 orang (RSUD Kendal, 2014). Meskipun kasus demam berdarah menurun dengan tidak adanya korban jiwa, namun kejadian demam berdarah ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di wilayah kabupaten Kendal. Hal ini dimungkinkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya antara faktor manusia, penyakit dan lingkungan wilayahnya. Pencegahan dan pengendalian laju penularan virus dengue merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh keluarga dalam upaya pengendalian kejadian penyakit pada anggota keluarganya. Dengan melakukan pencegahan secara mandiri dengan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M plus (Misnadiarly, 2009). Terbentuknya perilaku hidup sehat pada anggota keluarga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan sosial yang luas. Keluarga akan berada pada kondisi berisiko (family at risk) terhadap masalah kesehatan, apabila individu dalam keluarga atau anggota keluarga memiliki faktor risiko yang tersebut diatas. Karena perilaku yang tidak sehat akan berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian dalam keluarga atau masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2010). Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan oleh keluarga. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan perilaku dari anggota keluarga, kelompok dan masyarakat (Setiadi, 2010). Upaya pencegahan kejadian penyakit demam berdarah keluarga selain harus ada didukung oleh peran masing- masing anggota keluarga juga memperlukan dukungan sosial keluarga. Menurut Friedman, Bowden, & Jones (2003), dukungan sosial keluarga merupakan sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dan lingkungan sosial. Dukungan sosial berdasarkan Peterson dan Bredow (2004), dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adapatasi mereka dalam kehidupan. Dukungan keluarga yang dapat diberikan antara lain: dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan penghargaan, dan dukungan emosional. Dalam upaya tersebut Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 154 perawat komunitas dapat melakukan pemberdayaan keluarga sebagai bagian anggota masyarakat untuk melakukan strategi intervensi keperawatan yang tepat pada keluarga pada level pencegahan penyakit ditatanan keluarga. Faktor dukungan keluarga dalam upaya pencegahan penyakit demam berdarah ini dilakukan untuk melihat kejadian penyakit demam berdarah dalam keluarga. Berdasarkan kondisi tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan dukungan keluarga dalam upaya pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga di kabupaten Kendal. Tujuan Mengetahui hubungan dukungan keluarga dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga di Kabupaten Kendal. Metode Rancangan deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional yang digunakan pada penelitian ini. Populasi adalah seluruh anggota keluarga yang tinggal di daerah endemis demam berdarah Kelurahan Langenharjo Kabupaten Kendal sebanyak 1956 kepala keluarga. Sampel penelitian ini adalah orang dewasa yang tinggal bersama keluarga di kelurahan Langenharjo dengan sampel sebanyak 108 orang. Responden diharapkan adalah ibu di keluarga sebagai primary care giver/pemberi perawatan utama dalam keluarga. Adapun kriteria inklusi sampel meliputi: seorang dewasa berusia 18-55 tahun, bersedia menjadi responden, dapat membaca dan menulis, serta berkomunikasi dengan baik. Hasil penelitian Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden mayoritas berusia 36 – 55 tahun sebanyak 65,7%, berjenis kelamin perempuan sebanyak 78,7%, berpendidikan tinggi sebanyak 72,2%, status pekerjaan bekerja sebanyak 75%, berpendapatan tinggi diatas Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebanyak 60,2% , dan memiliki tipe keluarga keluarga inti sebanyak 75,9%. Berdasarkan hasil analisis univariat kejadian demam berdarah pada anggota keluarga menunjukkan bahwa dari 108 keluarga yang diteliti, didapatkan 15 keluarga (13,9%) sedang atau pernah menderita demam berdarah, sebagian besar usia dewasa muda antara 18-35 tahun sebanyak 80%, dan berjenis kelamin laki-laki benyak 66,7%. Hasil analisis univariat tentang dukungan keluarga menunjukkan bahwa dukungan informasi baik sebesar 69,4%, dukungan emosional baik sebesar 71,3%, dukungan penghargaan dan instrumental keluarga baik sebesar 59,3%. Disimpulkan bahwa presentase dukungan keluarga yang meliputi dukungan informasi, dukungan emosional, dukungan penghargaan dan dukungan instrumental dalam kategori baik. Tabel 5.4 Hubungan Dukungan Keluarga Dalam Pencegahan Dengan Kejadian Demam Berdarah Di Kabupaten Kendal Bulan Juni Tahun 2014 (n=108) No 1 2 Dukungan Keluarga Informasi Baik Kurang Emosional Baik Kurang Kejadian Demam Berdarah Tdk Terjadi Terjadi n % n % Total n % 73 20 97,3 60,6 2 13 2,7 39,4 75 33 100 100 70 23 90,9 74,2 7 8 9,1 25,8 77 31 100 100 OR 95% CI P Value 23,725 4,942-113,893 0,000 3,478 1,137-10,644 0,049 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 155 3 4 Penghargaan Baik Kurang Instrumental Baik Kurang 61 32 95,3 72,7 3 12 4,7 27,3 64 44 100 100 7,625 2,006-28,990 0,002 67 26 91,8 74,3 6 9 82 25,7 73 35 100 100 3,865 1,251-11,941 0,031 Berdasarkan hasil analisis bivariat tabel diatas didapat hubungan antara dukungan informasi keluarga dengan kejadian demam berdarah (p value = 0,000), adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga dengan nilai p value 0,049, ada hubungan antara dukungan penghargaan keluarga dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga p value = 0,002, ada hubungan antara dukungan instrumental keluarga dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga p value = 0,031. Berdasarkan analisis bivariat hubungan antara dukungan keluarga: dukungan informasi, dukungan emosional, dukungan penghargaan dan dukungan instrumental memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value < 0,05. Pembahasan Hasil analisis univariat tentang distribusi kejadian demam berdarah pada anggota keluarga di Kelurahan Langenharjo Kabupaten Kendal didapatkan dari 108 kepala keluarga yang menjadi responden, terdapat 15 orang kepala keluarga yang anggota keluarganya yang berusia dewasa sedang atau pernah menderita demam berdarah dalam 1 tahun terakhir. Ini berarti ada sebagian besar dari anggota keluarga yang mengalami demam berdarah yang berusia dewasa. Berdasarkan hasil penelitian ini, angka ini lebih banyak dari laporan rekam medik pasien yang dirawat di RSUD Kendal pada 1 tahun terakhir sampai dengan bulan Februari 2014 sejumlah 10 orang dewasa. Jumlah ini berbeda karena peneliti melakukan penelitian pada minggu keempat bulan Mei sampai dengan minggu pertama bulan Juni 2014. Berdasarkan data tersebut jumlah penderita berisiko tinggi terjadinya kejadian luar biasa demam berdarah, oleh karena itu perlu diwaspadai oleh masyarakat atau keluarga yang tinggal didaerah endemis demam berdarah. Hal ini dukung oleh penelitian Ali, Rehman, Nisar, Rafique, Hussain, dan Nausheen (2013), pasien yang memilki riwayat perjalanan ke daerah endemis demam berdarah lebih tinggi berisiko dibandingkan mereka yang tidak. Riwayat perjalanan ke daerah endemik secara bermakna berkaitan positif terhadap kejadian demam berdarah. Anggota keluarga berusia dewasa yang tinggal di wilayah endemis demam berdarah kelurahan Langenharjo berisiko tinggi untuk menderita demam berdarah. Selain faktor daerah atau lokasi tempat tinggal, faktor usia dapat mempengaruhi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Soedarto (2012), bahwa demam berdarah dapat menyerang semua kelompok umur, sejak tahun 2001 sebagian besar terjadi pada kelompok usia dewasa. Hal ini didukung juga oleh penelitian Ali, Rehman, Nisar, Rafique, Hussain dan Nausheen (2013), yang menunjukkan angka kejadian demam berdarah di Pakistan lebih tinggi ditemukan pada kelompok usia 21 - 30 tahun dibandingkan dengan usia anakanak dan usia tua. Sementara hasil penelitian lain di Malaysia menunjukkan bahwa orang dewasa lebih rentan terhadap demam berdarah dibandingkan dengan anak-anak penderita usia rata-rata 32 tahun (Sam, et.all, 2013). Hasil penelitian yang serupa oleh Pang, Salim, Lee, Hibberd dan Chia (2012) membuktikan bahwa pasien dengue di Singapura sebagian besar diderita oleh orang dewasa kelompok umur 30-39 tahun dibandingkan pada kelompok umur 40-49 tahun. Ini berarti bahwa usia dewasa antara 21 – 39 tahun sangat berisiko tinggi untuk menderita demam berdarah. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 156 Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa kejadian demam berdarah pada anggota keluarga cenderung terjadi peningkatan yang disebabkan oleh adanya pemeliharan lingkungan rumah yang kurang efektif oleh keluarga. Lingkungan yang tidak sehat akan mempengaruhi kesehatan anggota keluarga tersebut. Risiko kejadian penyakit disebabkan oleh lingkungan, seperti tidak adekuatnya kondisi tempat tinggal atau perumahan, kondisi lingkungan tempat bekerja di luar rumah dengan kondisi pekerjaan yang berisiko untuk kesehatan (Mc. Murray, 2003). Sedangkan berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia/WHO (2009), tindakan untuk mencegah dan mengendalikan demam berdarah antara lain dengan manajeman lingkungan. Tujuannya yaitu mengubah lingkungan menjadi tidak sesuai dan cocok untuk perkembangan nyamuk. Menurut Soedarto (2012), menyatakan bahwa kegiatan menjaga lingkungan rumah yang sehat, dengan melakukan kegiatan pencegahan demam berdarah yang efektif bisa dilakukan keluarga yaitu pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M Plus (menguras, menutup, mengubur) dan menggunakan repelen yang dioleskan ke kulit atau disemprotkan, penggunaan obat nyamuk bakar, memasang kassa nyamuk pada jendela dan pintu serta penggunaan AC dirumah. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berpendapat bahwa terjadinya demam berdarah pada anggota keluarganya dapat juga disebabkan oleh kurang pedulinya keluarga dalam menjaga lingkungan tempat tinggal yang sehat, keluarga tidak melakukan pencegahan demam berdarah sehingga terdapat anggota keluarga yang menderita demam berdarah. Hal ini sudah dibuktikan dengan penelitian Hasan dan Ayubi (2007), menunjukkan bahwa individu yang tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M Plus berisiko 5,85 kali lebih besar mengalami demam berdarah daripada individu yang melakukan 2M atau 3M. Hasil penelitian ini dari analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan informasi dengan kejadian demam berdarah. Hasil penelitian ini mempunyai kesamaan dengan Herlinah (2011), menemukan ada hubungan yang kuat antara dukungan informasi dengan perilaku lansia hipertensi dalam pengendalian hipertensi. Hasil penelitian lain yang sama Yenni (2011), juga menemukan adanya hubungan antara dukungan informasi yang diberikan keluarga dengan kejadian stroke pada lansia hipertensi. Menurut Peterson dan Bredow (2004), dukungan informasi meliputi pemberian nasihat, saran, pengetahuan dan informasi serta petunjuk. Menurut analisis peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan informasi dari keluarga berupa nasihat, pengarahan atau masukan terkait dengan pencegahan penyakit, akan termotivasi untuk melakukan tindakan pencegahan yang lebih baik. Seperti apabila didalam keluarga terdapat kegiatan saling bertukar pikiran atau sharing informasi terkait penyakit pencegahan demam berdarah, maka akan terpenuhinya kebutuhan informasi didalam keluarga. Anggota keluarga yang mendapatkan informasi yang cukup dari keluarga akan memahami apa yang harus dilakukan supaya terhindar dari demam berdarah. Apabila anggota keluarga selalu melakukan tindakan pencegahan penyakit demam berdarah secara rutin dan teratur akan mengurangi risiko untuk menderita demam berdarah. Hasil penelitian dari analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan emosional dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value = 0,049. Hasil penelitian ini mempunyai kesamaan dengan hasil penelitian Herlinah (2011), menemukan ada hubungan yang kuat antara dukungan emosional dengan perilaku lansia hipertensi dalam pengendalian hipertensi. Hasil penelitian ini juga ditunjang dengan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 157 hasil penelitian Yenni (2011), menemukan adanya hubungan antara dukungan emosional keluarga dengan kejadian stroke pada lansia. Dukungan emosional merupakan bentuk bantuan yang diberikan oleh keluarga seperti mendengarkan, memberikan pujian, dan kehadiran (Kaakinen, Duff, Coehlo & Hanson, 2010). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dukungan emosioanal keluarga sangat berperan penting dalam memberikan dukungan perawatan dan pengobatan penyakit menular atau kronis sehingga membantu meningkatkan kesehatannya (Amiya, 2014; Miller, 2013). Menurut analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan emosioanl dari keluarga berupa mendengarkan keluhan, memberikan pujian atau reinforcement, dan perhatian yang cukup terkait dengan cara pencegahan penyakit demam berdarah. Dengan terpenuhinya dukungan emosional dalam keluarga dalam pencegahan maka akan meningkatkan kesehatan dan perilaku pencegahan demam berdarah sehingga akan terhindar dari penyakit demam berdarah. Berdasarkan analisis bivariat penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan penghargaan dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value = 0,002. Hasil penelitian ini sda kesamaan dengan hasi penelitian Handayani (2013), menemukan ada hubungan yang bermakna antara dukungan penghargaan dengan penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Menurut Kaakinen, Duff, Coehlo dan Hanson (2010), dukungan penghargaan berupa umpan balik yang diberikan kepada individu untuk membantu dalam mengevaluasi dirinya dalam menilai situasi. Menurut analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan penghargaan dari keluarga berupa umpan balik dalam mengevaluasi dirinya dalam menilai situasi yang cukup terkait dengan pencegahan demam berdarah, akan mengurangi atau terhindar dari penyakit demam berdarah dan akan merubah perilakunya supaya menjadi lebih sehat. Semakin baik dukungan penghargaan keluarga terhadap anggota keluarganya akan semaikin baik perilaku anggota keluarga untuk melakukan pencegahan demam berdarah. Oleh sebab itu, keluarga harus memberikan dukungan penghargaan berupa memberikan umpan balik, dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah pencegahan yang dihadapi anggota keluarga sehingga angka kejadian demam berdarah dapat diturunkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan instrumental dengan kejadian demam berdarah dengan nilai p value = 0,031. Hasil penelitian ini mempunyai kesamaan dengan Herlinah (2011), menemukan terdapat hubungan antara dukungan instrumental dengan perilaku lansia hipertensi. Bentuk dukungan instrumental dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan dan lain-lain (Setiadi, 2010). Menurut analisa peneliti, anggota keluarga yang mendapatkan dukungan instrumental yang baik seperti tenaga, peralatan, dana dan waktu dari keluarganya akan mempermudah melakukan kegiatan pencegahan penyakit demam berdarah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa anggota keluarga yang mendapatkan dukungan instrumental yang baik dari keluarga akan mendapat melakukan pencegahan dan mengontrol kesehatannya dengan baik sehingga dapat meningkatkan status kesehatannya dan menurunkan risiko untuk mengalami demam berdarah. Kesimpulan Karakteristik keluarga sebagian besar dalam kategori usia dewasa menengah, perempuan, berpendidikan tinggi, bekerja, pendapatan keluarga tinggi, tipe keluarga inti. Terdapat 13,9% anggota keluarga mengalami kejadian demam berdarah berusia Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 158 dewasa dan laki-laki. Dukungan keluarga (dukungan informasi, emosional, penghargaan dan instrumental) dalam pencegahan demam berdarah sebagian besar kategori baik. Ada hubungan antara dukungan informasi dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan emosional dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan penghargaan dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan instrumental dalam pencegahan dengan kejadian demam berdarah pada anggota keluarga. Ada hubungan antara dukungan keluarga (dukungan informasi, emosional, penghargaan dan instrumental) dalam pencegahan demam berdarah dengan kejadian demam berdarah. Referensi Ali, A. Rehman, Nisar, Rafique, Hussain, & Nausheen. (2013). Seroepidemiology of dengue fever in Khyber Pakhtunkhawa, Pakistan. International Journal Of Infectious Diseases: IJID: Official Publication Of The International Society For Infectious Diseases [Int J Infect Dis] 2013 Jul; Vol. 17 (7), pp. e518-23. Date of Electronic Publication: 2013 Mar 21. Amiya, RM., et.al. (2014). Perceived Family Support, Depression, and Suicidal Ideation among People Living with HIV/AIDS: A Cross-Sectional Study in the Kathmandu Valley, Nepal. Dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2013). Laporan Penyelenggaran Rakerkesda 2013. Semarang: Dinas kesehatan provinsi Jawa Tengah Handayani, D.Y. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Penerapan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Di Kelurahan Cisalak Pasar Kecamatan Cimanggis Kota Depok. Tesis. Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI. Depok. Hasan, A. & Ayubi, D. (2007). Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kejadian Demam Berdarah Di Kota Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Volume 2. Nomor 2. Oktober. 2007. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok. Herlinah, L(2011). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Lansia Dalam Pengendalian Hipertensi Di Wilayah Kec. Koja Jakarta Utara . Tesis. Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI. Depok Kaakinen, J.R., Duff, V.G., Coehlo, D.P., & Hanson, S.M.H. (2010). Family health care nursing : Theory, practice and research. 4th edition. Philadelphia: F.A. davis Company. Miller & Dimatteo. (2013). Importance of family/social support and impact on adherence to diabetic therapy. Diabetes, Metabolic Syndrome And Obesity: Targets And Therapy [Diabetes Metab Syndr Obes] 2013 Nov 06; Vol. 6, pp. 421-426. Date of Electronic Publication: 2013 Nov 06. Pang, J., Salim, A., Lee, V.J., Hibberd, M.L., & Chia, K.S. (2012). Diabetes with Hypertension as Risk Factors For Adult Dengue Hemorrhagic Fever In A Predominantly Dengue Serotype 2 Epidemic: A Case Control Study. PLoS Neglected Tropical Diseases Vol. 6.Edisi 5. 2002 May. RSUD Kendal. (2014). Laporan tahunan pasien. Kendal: RSUD Kendal. Sam, SS., Omar, S.E., Teoh, B.T., Abdul, J.J., & Abu, B.S. (2013). Review of Dengue hemorrhagic fever fatal cases seen among adults: a retrospective study. Plos Neglected Tropical Diseases [PLoS Negl Trop Dis] 2013 May 02; Vol. 7 (5), pp. e2194. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 159 Setiadi (2010). Konsep dan proses keperawatan keluarga . Edisi pertama. Yogyakarta: Graha ilmu. Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue Dengue Haemorrhagic Fever. Jakarta: Sagung Seto. Stanhope & Lancaster. (2010). Community & Public Health Nursing. St. Louis: Mosby WHO. (2009). Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control . New Edition. Geneva. WHO Press. Yenni (2011). Hubungan Dukungan Keluarga Dan Karakteristik Lansia Dengan Kejadian Stoke Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Perkotaan Bukittinggi. Tesis. Program Magister Ilmu Keperawatan FIK-UI. Depok. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 160 HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PERILAKU LANSIA MEMERIKSAKAN KESEHATAN DI POSYANDU LANSIA DI DESA SAWAHJOHO KECAMATAN WARUNGASEM KABUPATEN BATANG Dwi Roma Yogi1, Riani Pradara jati2 1,2 Stikes kendal, Email:[email protected] Email: [email protected]) Abstrak Latar Belakang. Keluarga sebagai suatu kelompok individu di dalam keluarga dapat menimbulkan mencegah, mengabaikan, atau memperbaiki masalah kesehatan dalam kelompok sendiri. Hampir setiap masalah kelompok kesehatan individu di pengaruhi oleh keperawatan keluarga mempunyai peran utama dalam pemeliharaan kesehatan seluruh anggota keluarganya dan bukan individu itu sendiri yang mengusahakan tercapainya tingkat kesehatan yang di inginkan. Kesehatan pada usia lanjut harus sangat di perhatikan, karena lansia sering di ikuti dengan penurunan kualitas hidup sehingga status lansia dalam kondisi sehat ataupun sakit. Penuaan dapat terjadi secara alamiah / fisiologis atau patologis. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu lansia. Metoda. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif dengan rancangan Cross sectional. Tekhnik sampling yang digunakan proporsional random sampling sebanyak 70 lansia yang dilaksanakan di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada bulan januari 2015. Analisa data menggunakan univariat dan bivariat dengan Chi Square. Karena syarat chi-square tidak terpenuhi maka membaca uji statistik dengan menggunakan continuity correction, berdasarkan uji tersebut didapatkan hasil p = 0,006 (0,006 < 0,05). Hasil. sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu lansia. Kesimpulan. Menurut hasil penelitian ini, keluarga disarankan agar selalu memberikan dukungan kepada keluarga terutama lansia sehingga lansia mengujungi posyandu lansia. Kata kunci: Dukungan Keluarga, Perilaku Lansia Pendahuluan Lansia adalah bagian dari suatu proses tumbuh kembang manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang menjadi bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia, suatu proses menjadi lebih tua dengan umur mencapai umur 60 tahun ke atas. Pada lansia akan mengalami masalah fisik, mental dan sosial kemunduran fungsi yang di miliki seorang lansia (Hidayanti, 2009). Menurut data WHO tahun (2012) terjadi peningkatan jumlah lansia yang cenderung cepat, dengan jumlah penduduk lansia yang diseluruh dunia mencapai 426 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 161 juta atau sekitar 6,8% dari total populasi. Penduduk Indonesia berdasarkan profil kesehatan lansia (2009) Jumlah penduduk lansia di Indonesia telah mengalami peningkatan secara cepat setiap tahunnya, jumlah penduduk lansia indonesia mencapai 109,32 juta orang tua 8,37 persen dari total penduduk indonesia, jumlah ini semakin bertambah dimana pada tahun 2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang, angka ini naik menjadi 28,96 juta orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2008. Menurut data profil Kesehatan Jawa Tengah tahun 2009, jumlah penduduk Jawa Tengah sebesar 1.506924 jiwa, terdiri dari 748.515 jiwa penduduk laki-laki dan 758.409 jiwa penduduk perempuan perkembangan penduduk memiliki hasil yang bervariasi dan mengalami peningkatan 1399,133-1.506.924 jiwa, dengan peningkatan jumlah penduduk menujukan jumlah usia lansia. Dari data tersebut telah didapat usia pra usila (45-59) tahun sebanyak 48.055 orang dan lansia (≥60) tahun, menurut data profil kabupaten Batang sebanyak 42.787 orang kabubaten Batang, tahun 2013 berpenduduk 57.684 jiwa terdiri dari pria 28.334 jiwa dan wanita 29.350 jiwa. Seiring dengan meningkatnya populasi lansia, pemerintah telah berusaha merumuskan berbagai kebijakan untuk usia lanjut tersebut, terutamanya pelayanan dibidang kesehatan posyandu lansia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya (Latifah, 2010). Pelaksanaan kegiatan posyandu lansia merupakan salah satu usaha pendekatan pelayanan masyarakat secara primer, semakin tinggi masyarakat untuk mendapatkan suatu pelayanan kesehatan yang optimal khusunya lansia, semakin meningkatkan derajat kesehatan lansia yang semakin bertambah jumlahya, salah satu keberhasilan dalam rangka pelaksanaan posyandu adalah memperbaiki atau meningkatakan derajat kesehatan di masyarakat (Nugroho, 2008). Seiring dengan pelaksanaan program posyandu lansia di harapkan lansia semakin berperan dalam meningkatkan derajat kesehatanya pelayanaan yang bisa diberikan di posyandu lansia yaitu pemeriksaan aktifitas sehari-hari, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status gizi dengan pemeriksaan berat badan, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan gula darah dan kunjungan rumah yang dilakukan oleh kader dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat (Yuni, 2009). Namun hal yang terjadi adalah rendahnya perilaku lansia untuk memeriksakan kesehatannya ke posyandu dikarenakan tidak semuanya rumah tangga mengetahui keberadaan posyandu lansia (Kemenkes, 2013). Berdasarkan survey Riset Kesehatan Dasar (2013) hanya 65,2% rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu. di jawa tengah hanya 66% (Kemenkes, 2013). berdasarkan profil jateng prosentase ke datangan ke pelayanan kesehatan posyandu terjadi penurunan yaitu pada tahun 2011 (17.417 atau 36,84) menjadi 17.184 (35,22%) pada tahun 2012 (Dinkes jateng,2012). Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat berkunjung ke posyandu. Faktor tersebut bisa berasal dari dalam dan luar diri sendiri, dukungan informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional, ini merupaka strategi preventif yang paling baik untuk meningkatkan dukungan keluarga yang adekuat dalam membantu anggota keluarga dalam mempertahankan kesehatan, keluarga yang baik akan selalu memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan lansia dan sebalikya apabila keluarga kurang meberikan dukungan khususnya kesehatan makaakan memberikan pengaruh yang kurang baik (Handayani dan Wahyuni,2012). Pentingnya lansia dalan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 162 memeriksakan kesehatan di posyandu untuk meningkatakan pelayanan kesehatan maupun kesejahteraan sosial dimasyarakat diaharapkan terciptanya lansia mandiri dalam proses penuaan, proses penuaan hendakya diiringi dengan kemampuan dan kesadaran lansia dalam menampikan peranan secara aktif dalam pelayanan posyandu, masalah lansia dalam memeriksakan kesehatan diposyandu lansia dipengaruhi antara tindakan partisipasi lansia, jarak rumak ke posyandu, pelayanan, biaya yang dikeluarkan dan efektifitas pelayanan yang diberikn di posyandu lansia (sudaryanto, 2008) Pelayanan kesehatan di posyandu lanjut usia meliputi kesehatan fisik dan mental emosional. Hasil pemeriksan kesehatan fisik dicatat dan dipantau ,dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengethui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau anacaman masalah kesehtan yang dihadapi, dengan memperhatikan aspek kesehatan kegiatan olahraga senam lansia lanjut usia, gerak jalan santai untuk meningkatkan kebugaran (DepKes RI, 2008). Frans juniardi (2010) dalam penelitianya faktor-faktor yang mempengaruhi dengan rendahya kunjungan lansia ke posyandu lansia di puskesmas, telah membuktikan bahwa dukungan keluarga yang merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi perilaku lansia dalam memeriksakan kesehatan di posyandu lansia, penelitian yang dilakukan Herdini (2013) Faktor-faktor yang berhubungan dengan angka kehadiran lanjut usia di posyandu lansia, juga membuktikan pengaruh kehadiran lansia yang aktif menghadiri posyandu lansia, dukungan keluarga yang memiliki pengaruh tinggi selain dari pengetahuan lansia terhadap posyandu serta pendidikan lansia. Menurut kader posyandu lansia mengatakan tidak semua lansia memeriksakan kesehatan dan aktif di posyandu tiap bulan, dan itu disebabkaan tidak ada yang mengantar, dan selain fisiknya yang lemah sedangan keluarga kalau pagi pada bekerja dan tetangga puya aktifitas sendiri, lansia yang aktif ke posyandu lansia biansanya kalau ada temanya dan kalau ada keluhan, sedangkan lansia yang tidak aktif keposyandu mengatakan karena tidak ada yang mengantar dan tidak bisa dimintai tolong kondisi fisik yang tidak memungkinkan karena sering pusing, badan lemas, susah makan. Hasil survey pendahuluan pada bulan 16 September 2014, Pada Desa Sawahjoho dari 214 lansia hanya 70 orang lansia yang memeriksakan kesehatan ke posyandu atau hanya 32% , yang telah berumur 60 tahun dan hidup bersama keluarga, Dari 6 sampel diambil terdapat 3 responden yang tidak memeriksakan kesehatan di posyandu lansia, mengontrol keadaan kesehatanya bila ada teman dan kalo ada keluhan, sedangkan 3 tidak datang ke posyandu mengatakan karena tidak ada yang mengatar dan tidak ada yang bisa dimintai tolong menggingat kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Fenomena tersebut membuat peneliti tertarik melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku memeriksakan kesehatan di posyandu lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang Tujuan Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia dalam pemeriksakan kesehatan pada posyandu lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Metode Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitiannya (Karjono & Yasril, 2009). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi, yaitu melihat “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 163 hubungan antara dua variabel satu dengan lainnya, dalam penelitian ini peneliti ingin mencari hubungan dukungan keluarga dengan perilaku memeriksakan kesehaatan pada lansia di Desa Sawahjoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian non eksperimental untuk mengetahui dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada saat itu (point time approuch). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali dan faktor resiko serta efek diukur menurut keadaan atau status saat diobservasi. (Sumantri, 2011). Populasi penelitian ini adalah semua lansia yang berumur ≥ 60 tahun di Desa Sawahjoho yang berjumlah 70 orang, Sampel dalam penelitian ini adalah semua lansia yang berusia berumur ≥ 60 tahun ke atas memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Total Sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara menggunakan semua populasi sebagai sampel untuk menggambarkan kondisi dari keseluruhan objek yang diteliti (Hidayat, 2007). Analisis univariate Variabel yang dianalisis adalah dukungan keluarga dan perilaku memeriksakan kesehatan di posyandu lansia, Analisis Bivariate Pada penelitian ini untuk mengetahui dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu lansia menggunakan rumus chi-Square Karena data yang digunakan merupakan data kategorik dihubungkan dengan skala kategorik. Hasil Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur lansia di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015. Variabel Umur Mean 65.84 Median 65.50 Modus 60 Stadar deviasi 4.207 Min 60 Maks 75 Berdasarkan Tabel 4.1 di atas diketahui bahwa rata-rata umur lansia yang memeriksakan kesehatan di posyandu lansia di desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang dari 70 responden adalah yang berumur 60 tahun, umur yang paling muncul 60 tahun sebanyak 9 responden dan umur terendah 60, umur tertinggi responden 75 tahun Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin lansia di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015. Jenis kelamin Laki-Laki Perempuan Total Frekuensi 31 39 70 Persentase 44.3 55.7 100,0 Tabel 4.2 menunjukkan bahwa proporsi responden berdasarkan Jenis Kelamin Lansia yang memeriksakan kesehatan di posyandu lansia Di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang. Mayoritas lansia perempuan yaitu sebanyak 39 (55.7%) responden dan responden laki-laki sebanyak 31 ( 44.3%). “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 164 Dukungan keluarga Tabel 4.3 Distribusi frekuensi dukungan keluarga di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015 Dukungan Keluarga Jumlah Prosentase ( % ) Baik 39 55.7% Kurang 31 44.3% Total 70 100 Dari tabel 4.3 diatas didapatkan data bahwa lansia di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang sebagian besar mendapatkan dukungan keluarga dengan baik sebanyak 39 orang (55.7%) dan hanya sebagian kecil lansia yang mendapatkan dukungan keluarga kurang sebanyak 31 orang (44.3%) Perilaku lansia Tabel 4.4 Distribusi frekuensi Perilaku Lansia di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang pada tahun 2015 Perilaku Lansia Jumlah Prosentase ( % ) Baik 41 58.6% Kurang 29 41.4% Total 70 100 Dari tabel 4.4 diatas didapatkan data bahwa lansia di Desa Sawah Joho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang mayoritas perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu lansia baik sebanyak 41 orang (58.6%) dan hanya sebagian kecil saja yang kurang sebanyak 29 orang (41.4%). Diskusi Tabel 4.5 Hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu lansia di Desa Sawah Joho Perilaku lansia Dukungan p Baik Kurang Total OR keluarga value n % n % n % Baik 29 74.4 10 25 39 100 Kurang 12 38.7 19 61.5 31 100 0.003 4.59 Jumlah 41 58.6 29 41.4 70 100 Tabel 4.8 Menunjukkan frekuensi dukungan keluarga dari masing-masing kategori dari 70 responden. dari 39 responden yang memiliki dukungan keluarga baik, ada 29 (74,4%) memiliki perilaku yang baik dan 10 (25,0%) sedangkan 31 reponden yang memiliki “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 165 dukungan keluarga baik ada 12 (38.7%) perilaku yang baik dan 19 (61.5%) memiliki dukungan yang kurang Berdasarkan hasil analisa bivariat merupakan analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang saling berhubungan, yaitu untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehan di posyandu. Jenis analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chi-Square dengan tingkat signifikansi 0,05.Uji statistic alternatife Continuity Correction diperoleh nilai ρvalue 0,006 (0,006 < 0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia yang memeriksakan kesehatan di posyandu lansia. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=4,59, artinya lansia yang memliki dukungan keluarga yang baik mempunyai peluang 4,59 kali perilaku baik. Kesimpulan Hasil penelitian yang dilaksanakan di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Dukungan keluarga pada lansia di Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang, dukungan keluarga dengan baik sebanyak 39 responden (55.7%). 2. Perilaku lansia dalam memeriksakan kesehatan di posyandu lansia Desa SawahJoho Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang bahwa mayoritas baik 41 responden (58.6%). 3. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku lansia memeriksakan kesehatan di posyandu lansia nilai ρvalue 0,006 (0,006 < 0,05). Daftar Pustaka Anonim. 2008. Kesehatan lansia di Indonesia .http://subhankadir.files.wordpress.com Arikunto, S (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Azizah, L.M 2011, Keperawatan lanjut usia, Graha Ilmu, Yogyakarta Balitbangkes, Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007: Prevalensi Penduduk lansia Jakarta: Departemen Kesehatan RI Balitbangkes, Depkes RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007: Prevalensi Penduduk. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Bomar, P.J.( 2007) promotion health in families : applyimg research and theory to nursing practice. Philadelphia : W.B Saunders Company Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan. Semarang. 2009 Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta Depkes RI. (2006). pelayanan posyandu lansia. Jakarta: Depkes RI. Friedman, M. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga “riset, teori dan praktik. Jakarta : EGC. Hayani Hasugia Fitri 2012, “Hubungan perilaku lansia dan dukungan keluarga terhadap pemanfaatan posyandu lansia di wilayah kerja darussalan tahun 2012”. Diakses pada tanggal 14 September 2014 jam 13.00 WIB. Hidayat, A. (2008). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. Kasjono, H & Yasril. (2009). Teknik Sampling Untuk Penelitian Kesehatan.Yogyakarta: Graha Ilmu. Latifah, Nurul. 2010. Urgensi Posyandu Lansia. http://bataviase.co.id “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 166 Makhfudli & Efendi, F. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Maryam S R, Ekasari. F M, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatan. Jakarta. Penerbit Salemba Medika. 2008 Notoatmodjo, S. (2005). Promosi kesehatan: Teori dan aplikasi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Nugroho, W. (2008). Keperawatan gerontik dan geriatrik. (3th ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam. (2008). Konsep & Penarapan Metodologi penelitian Ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Notoadmojo, 2007, Kesehatan masyarakat: ilmu dan seni, Rineka Cipta, Jakarta. Nugroho, W 2008, Keperawatan gerontik, edk 3, EGC, Jakarta. Riyanto, Agus, 2010. Pengolahan dan analisis data kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta. Sudaryanto, Agus Indrawati. 2008. Persepsi Lansia terhadap Kegiatan Pembinaan Kesehatan Lansia di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Prambanan Yogyakarta. Jurnal Kesehatan, Vol. Diakses pada tanggal 14 September 2014 jam 13.00 WIB. Setiadi (2008) Konsep & proses : keperawatan keluarga, Yogyakarta : Graha ilmu Sumantri, A. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana. Sugiyono. (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Widyaning Pertiwi Herdini 2013, ” Faktor-faktor yang berhubungan dengan angka kehadiran lanjut usia di posyandu lansia”.Diakses pada tanggal 15 September 2014 jam 22.00 WIB. Yuni, 2009. jurnal kesehatan bidan desa (posyandu lansia) Diakses pada tanggal 16 September 2014 jam 11.00WIB. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 167 EFEKTIVITAS SENAM DIABET TERHADAP AKTIVITAS DAN KEPUASAN DALAM BERHUBUNGAN SEKSUAL PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI PUSKESMAS KECAMATAN UNGARAN BARAT Dwi Susilawati1Reni Sulung Utami2 1,2 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, [email protected] Abstrak Latar Belakang. Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia. Diabetes mellitus memberikan dampak baik dampak fisik dan psikologis pada penderitanya. Adanya dampak fisik dan psikologis akan menimbulkan perubahan saat melakukan hubungan sexual. Hubungan seksual atau coitus adalah masuknya penis ke vagina yang kemudian memberikan rangsangan sehingga keduanya mencapai orgasme. Tujuan. Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang efektivitas senam diabet terhadap aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM di wilayah kerja Puskesmas Ungaran Barat. Metoda. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan metode triangulation yang menggunakan rancangan “Pretest-Posttest with control Group” yang berguna untuk mengukur tingkat aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM sebelum (pre-test) dan sesudah (post – test) diberi intervensi. Populasi dalam penelitian ini adalah pria DM sejumlah sampel 30 orang. Pengambilan sampel dengan menggunakan total sampel, kemudian diambil dengan tehnik simple random sampling untuk mendapatkan data kualitatif yaitu sebanyak 5 orang. Analisis efektivitas senam diabet terhadap aktivitas dan kepuasan sexual pada penderita DM menggunakan chi-square. Hasil. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya Sebagian besar karakteristik umur responden berada pada rentang lansia awal sebanyak 14 orang (46,7 %), karakteristik pekerjaan responden adalah wiraswasta sebanyak 18 orang (60 %), kategori pendidikan responden paling banyak adalah SMA yaitu sebanyak 12 orang (40 %). Kesimpulan. Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet dengan tingkat aktivitas dan kepuasan sexual sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM. Kata Kunci : Diabet Melitus, Senam diabet, Kepuasan dan aktivitas sexual Pendahuluan Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius. Menurut kriteria diagnostik Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) pada tahun 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan pada tes sewaktu >200 mg/dL. Prevalensi penyakit DM semakin meningkat jumlah penderitanya setiap tahun di seluruh dunia.Jumlah penderita DM tersebut sekitar 60 % berada di benua Asia.Indonesia berada di posisi ke-empat dunia setelah India, China, dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes mellitus di Provinsi Jawa Tengah terus meningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi diabetes mellitus di Jawa Tengah tahun 2007 sebesar 1,3%, meningkat menjadi 1,41% pada tahun 2008, dan 1,43% pada tahun 2009. Prevalensi diabetes mellitus tergantung insulin tahun 2008 sebesar 0,16% dan meningkat “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 168 menjadi 0,81% pada tahun 2009. Prevalensi diabetes mellitus tidak tergantung insulin pada tahun 2008 sebesar 1,25%, mengalami penurunan menjadi 0,62% pada tahun 2009. Diabetes mellitus memberikan dampak baik dampak fisik dan psikologis pada penderitanya.Dampak fisik yang terjadi adalah adanya komplikasi yang dialami penderita diabetes mellitus.Komplikasi tersebut dapat berupa angiopati atau kelainan pada pembuluh darah, neuropati pada sistem saraf, ataupun campuran dari keduanya.Dampak psikologis yang umumnya dialami penderita diabetes mellitus adalah penolakan, ketakutan, ketidakpatuhan dan tertekan.Penolakan dan ketakutan terjadi ketika pertama kali didiagnosis menderita diabetes mellitus.Kebanyakan penderita tidak percaya bahwa mereka memiliki diabetes mellitus. Adanya dampak fisik dan psikologis akan menimbulkan perubahan saat melakukan hubungan sexual. Hubungan seksual atau coitus adalah masuknya penis ke vagina yang kemudian memberikan rangsangan sehingga keduanya mencapai orgasme. Menurut Bangun ( 2013) perubahan dalam hubungan sexual pada penderita pria diabet melitus yang terjadi adalah perubahan frekuensi dalam berhubungan sexual, perubahan hasrat, perubahan fisik, perubahan ereksi dan perubahan ejakulasi.Penelitian yang dilakukan oleh Rahmadi di Martapura pada tahun 2008, menyebutkan bahwa dari 40 penderita diabetes mellitus dengan rentang usia 20-50 tahun terdapat 80 % yang mengalami gangguan ereksi, 85,3 % mengalami hambatan libido. Kemampuan ereksi 0,536 dengan p = 0,000, sedangkan pada hambatan libido r = 0,462 dengan p = 0,003 21. Penyebab perubahan dalam hubungan sexual adalah karena rendahnya kadar gula dalam darah. Kadar gula yang sangat rendah dapat mengakibatkan gangguan pada beberapa fungsi saraf.Kerusakan saraf dan penyakit arteri yang mengakibatkan hilangnya potensi seksual atau disfungsi ereksi pada pria penderita diabetes mellitus. Kondisi tersebut akan memberikan respon yang berbeda saat melakukan hubungan sexual(Bhasin,2007). Respon yang dialami pria penderita DM karena adanya perubahan dalam hubungan sexual adalah kecewa, jengkel, menyesal dan putus asa. Menurut Bangun (2013) Rasa kecewa dan jengkel disebabkan karena ketidakmampuan penderita DM dalam melakukan atau memenuhi kebutuhan sexual dengan pasangannya. Perasaan menyesal disebabkan tidak mampu memberikan nafkah batin pada isterinya. Adanya perasaan putus asa disebabkan karena penyakitnya yang tidak bisa sembuh. Adanya perubahan dan respon dalam hubungan sexual yang terjadi pada pria penderita DM akan berpengaruh pada aktivitas dan kepuasan seseorang pria penderita DM saat berhubungan sexual. Hal ini disebabkan karena adanya disfungsi seksual. Disfungsi seksual merupakan salah satu penyebab ketidak harmonisan kehidupan seksual setiap pasangan. Pria penderita disfungsi seksual akan merasa kecewa dan tidak puas dengan hubungan seksual. Disfungsi seksual yang berkepanjangan akan membuat pria merasa malu kepada pasangannya, bahkan dapat terjadi penolakan terhadap aktivitas seksual. Hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan perceraian dalam rumahtangga. Oleh karena itu diperlukan peran perawat untuk meminimalkan disfungsi sexual pada penderita DM.Salah satu peran perawat adalah memberikan pendidikan kesehatan yang berupa senam diabet pada pria DM. Senam diabet adalah suatu latihan yang dilakukan oleh penderita diabet melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki. Menurut Widianti (2010) senam diabet dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot –otot kecil kaki dan mencegah terjadinay kelainan bentuk kaki. Senam diabet akan memberikan manfaat bagi penderita “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 169 DM. Puskesmas di wilayah Kecamatan Ungaran barat terdiri dari Puskesmas Ungaran dan Puskesmas Lerep. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Puskesmas Ungaran didapatkan data bahwa jumlah penderita DM meningkat dari tahun ke tahaun. Jumlah penderita DM di Puskesmas Lerep pada 2012 sejumlah 231 orang,dan pada tahun 2013 jumlah penderita DM naik menjadi 300 orang. Jumlah penderita DM pada bulan Maret tahun 2014 sebanyak 55 orang. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap 3 informan dengan DM di wilayah di Puskesmas wilayah kerja kecamatan Ungaran barat, didapatkan data bahwa penderita DM mengalami gangguan dalam berhubungan seksual dengan pasangannya. Menurut penderita, gangguan tersebut disebabkan oleh penurunan keinginan untuk melakukan hubungan seksual. Penderita juga menyampaikan bahwa ada perubahan kepuasan dalam melakukan hubungan seksual. Selain itu juga penderita DM masih minim pengetahuan tentang senam diabet. Metode penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan metode triangulation yang menggunakan rancangan “Pretest-Posttest without control Group”. Populasi pada penelitian ini adalah pria penderita diabet di wilayah kerja Puskesmas Ungaran barat.Peneliti menggunakan batas minimal sampel dalam penelitian quasi eksperimen yaitu 30 orang. Sampel ditetapkan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalahPria DM yang sudah 1 tahun mendertia DM dan Aktif melakukan hubungan sexual. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan kuesioner untuk mengukur kepuasan hubungan sexual.Peneliti bekerja sama dengan perawat dan enumerator yang sebelumnya dilakukan persamaaan persepsi dengan memberi pengarahan kepada enumerator yaitu menjelaskan tujuan dari penelitian. Penelitian mengkategorikan aktivitas dan kepuasan penderita DM sebelum dilakukan pemberian pelatihan senam diabet. Skala pengukuran data yang digunakan adalah skala ordinal dan nominal. Pengumpulan datadilakukan pada penderita DM dengan mendatangi rumah penderita. Pelaksanaan dan pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh enumerator (mahasiswa). Pengumpulan data dilaksanakan bulan Mei – Oktober 2014. Hasil Hasil penelitian analisa data yang dikumpulkan sejak bulanApril sampai dengan November 2014. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Ungaran Barat. 1. Analisis kuantitatif a. Tingkat aktivitas dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Tabel 1. Perbedaan tingkat aktivitas dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus padapre dan post test kelompok intervensi di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Kategori aktivitas Hubungan sexual Tidak pernah Jarang Sering Total P value “Pera Perawat dala Frek 0 15 15 30 Kelompok Intervensi Pre Post % frek % 0 0 0 50 11 36,7 50 19 63,3 100 30 100 0,001 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 170 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan katerogi sering saat pre test sebanyak 15 orang (50%). Sedangkan jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan katerogi sering saat post test sebanyak 50 orang (50%). Hasil uji statisitk didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut adalah 0,001. Jadi ada perbedaan yang bermakna antara aktivitas hubungan sexual pada saat pre dan post test pada kelompok intervensi. b. Tingkat kepuasan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Tabel 2. Perbedaan tingkat kepuasaan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus padapre dan post test kelompok intervensi di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Kategori kepuasan Hubungan sexual Frek 19 11 30 Puas Tidak puas Total Pvalue Kelompok Intervensi Pre Post % Frek % 63,3 14 46,7 36,7 16 53,3 100 30 100 0,017 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden yang mengalami ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat pre test sebanyak 11 orang (36,7%). Sedangkan jumlah responden yang mengalami ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat post test sebanyak 16 orang (53,3). Hasil uji statisitk didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut adalah 0,017. Jadi ada perbedaan yang bermakna antara kepuasan dalam melakukan hubungan sexual pada saat pre dan post test pada kelompok intervensi. 2. Analisis kualitatif a. Karakteristik partisipan Tabel 3. Karakteristik partisipan yang dilakukan wawancara mendalam tentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus padapre dan post test pada kelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Parisipan P1 P2 P3 P4 P5 Umur (tahun) 60 52 46 52 51 Pendidikan Pekerjaan Kelompok SMP SI SMP SMP SMP Wiraswasta PNS BURUH Wiraswasta PNS Intervensi Intervensi Intervensi Intervensi Intervensi Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sampel pada kelompok intervensi, partisipannya yang berumur 44 tahun sebanyak 2 orang, partisipan yang mempunyai pendidikan SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebagai IRT sebanyak “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 171 2 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol partisipan yang mempunyai pendidikan SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebanyak IRT sebanyak 3 orang. Perbedaan kepuasan yang dirasakan oleh penderita Diabet Melitus padapre dan posttest kelompok intervensi diperkuat dengan hasil kualitatif yang diperoleh bahwa kelompok yang mendapat perlakuan, kepuasan yang dirasakan oleh penderita Diabet Melitus mengalami peningkatan ditunjukkan dengan kenikmatan setelah mengakhir hubungan sexual. Hasil analisis indepth interviewterlihat dalam table dibawah ini, Tabel 4. Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus padapre test pada kelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Kata kunci Jengkel Kecewa Ereksi ora tegang banget Ereksi ora kenceng Kurang tegang Ejakulasi sedikit Susah keluar Metune susah Sub Kategori Perasaan pada hubungan sexual Ereksi tidak maksimal Tema Perasaan pada hubungan sexual Disfungsi ereksi Gangguan ejakulasi Disfungsi ejakuasi Tabel 5. Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus padapost test padakelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Kata kunci Puas Rasane senang Nikmat Ereksi tegang Ereksi kenceng Tegang Ejakulasi banyak Keluarnya normal Keluar banyak Sub Kategori Tema Perasaan pada hubungan Perasaan pada hubungan sexual sexual Ereksi normal Tidak ada disfungsi ereksi Ejakulasi normal Tidak ejakuasi ada disfungsi Pembahasan Tingkat aktivitas penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada perbedaan yang bermakna (p value 0,001). Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas hubungan sexual. Salah satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang senam diabet. Hasil penelitian ini sesuai dengan Smith (1995) dan Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan senam diabet adalah kegiatan belajar mengajar yang disesuaikan dengan kondisi penderita DM dan diberikan oleh perawat.Pendidikan kesehatan menurut WHO merupakan berbagai kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk membantu individu dan komunitas meningkatkan kesehatannya dengan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 172 meningkatkan pengetahuan yang mempengaruhi perilaku.Oleh karena itu ada perbedaan bermakna tingkat aktivitas saat melakukan hubungan sexual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet efektif meningkatan aktivitas hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat pre intervensi sebanyak 15 orang (50%). Sedangkan jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat post intervensi sebanyak 11 orang ( 36,7 %). Penurunan frekuensi hubungan sexual kategori jarang pada saat post terjadi sebanyak 12%. Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat pre intervensi sebanyak 15 orang ( 50 %). Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya perubahan aktivitas dalam hubungan sexual. Kaplan menyebutkan bahwa adanya diabetes pada pria dapat berdampak pada kemampuan seks dimana neuropati dapat menyebabkan kerusakan syaraf (Duning, 2003). Hal ini senada dalam penelitian Bangun (2013) didapatkan bahwa dalam hubungan sexual penderita DM mengalami penurunan frekuensi hubungan sexual. Berdasarkan penelitian Bangun secara kualitatif (2013) didapatkan hasil bahwa pria DM melakukan hubungan sexual sebanyak 3 atau 4 kali sebulan, ada juga yang hanya sebulan sekali. Adanya perubahan aktifitas hubungan sexual pada responden tercermin melalui penuruan frekuensi hubungan sexual dan penurunan hasrat dalam sexual. Perubahan frekuensi ini terjadi karena adanya penurunan kadar testoteron yang berkaitan dengan keseluruhan aktivitas sexual dan rendahnya hasrat sexual. Nilai total dan bebas dari testoteron umumnya akan rendah pada pasien DM. Diabetes Melitus dapat menyebabkan gangguan pada pembuluh darah akibat aterosklerosis berupa kelainan mikrovaskular dan makrovaskular yang dihubungkan dengan berbagai faktor aterogenik seperti kelainan metabolisme lemak, perubahan adhesi trombosis. Gangguan pembuluh darah terkait dengan disfungsi endotelial karena aktivasi protein kinase C (PKC), ekspresi berlebihan growth factors/cytokines dan stress oxidasi. Peningkatan glukosa di jalur poliol mengeluarkan co-faktor aldose reductase (nicotinamide adenine dinucleotidephosphate / NADPH) dan sorbitol dehydrogenase (nikotinamid adenin dinukleotida / NAD+), menyebabkan berkurangnya NADPH yang berdampak menurunnya aktifitas glutathione reductase dan sintesis nitric oxide (NO) sehingga terjadi gangguan mikrovaskular dan melambatnya konduksi saraf, kegagalan neurogenik dan menurunnya NO menyebabkan akumulasi advanced glycation end products (AGEs) (22). Selain itu hiperglikemia dengan melewati jalur glycolytic meningkatkan sintesis de novu deacylglyceral (DAG) yang meningkatkan aktifitas PKC yang gilirannya meningkatkan aktifitas sodium-proton antiport yang mengatur pH intrasel, pertumbuhan dan difrensiasi sel juga menambah ekspresi protein matriks seperti fibronectin, kolagen tipe IV dan laminin yang menyebabkan disfungsi vaskular. Hiperglikemia kronis juga menyebabkan peningkatan nonenzimglucation yang berlaku sebagai antigen bagi protein dan DNA sehingga terjadi kelainan struktur dan fungsi makromolekul jaringan yang menyebabkan gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta saraf perifer. Pada penderita diabetes juga terjadi peningkatan very low densiy lipoprotein (VLDL) yang memudahkan agregasi platelet, peningkatan tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan penurunan insulin-like growth factor-1 (IGF-1) yang mengakibatkan disfungsi saraf simpatis sehingga terjadi penurunan aliran darah proksimal dan vasokonstriksi paradoksal. Peningkatan jalur poliol, akumulasi AGEs intrasel, aktifitas PKC menyebabkan komplikasi endotelium pembuluh darah, saraf perifer berupa mikroangiopati dan neuropati yang mengakibatkan “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 173 terganggunya aliran darah, iskemia, terganggunya perfusi jaringan yang dapat berakibat gagalnya ereksi. Gangguan aktifitas hubungan sexual pada penderita didukung dengan hasil wawancara dengan informan. Masalah dalam hubungan seksual lain yang terjadi pada informan adalah disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi tersebut meliputi kemampuan ereksi selama aktifitas sexual, kemampuan ereksi maksimal untuk penetrasi, frekuensi memasukkan alat kelamain, kemampaun penetrasi, kemampuan mempaertahanakn ereksi saat penetrasi dan kemampuan memepertahankan ereksi sampai coitu selesai. satu informan mengatakan susah untuk ereksi sehingga tidak bisa memulai hubungan sexual dengan pasangan. Empat informan mengatakan ketika sedang ereksi tidak bisa optimal sehingga kurang puas dalam melakukan hubungan sexual.Selain itu juga terjadi perubahan ejakulasi dengan penurunan produksi sperma dan gangguan ejakulasi.Adanya disfungsi ereksi ini menurunkan frekuensi hubungan sexual pada penderita DM.Hasil wawancara dengan informan juga didapatkan adanya perubahan fungsi orgasme. Tiga orang informan mengatakan kemampuan ejakulasi setelah adanya stimulasi atau intercouse dan merasakan orgasme atau klimaks saat diberikan stimulasi menurun dengan adanya Diabet melitus. Adanya disfungsi ereksi pada penderita diabetes mellitus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain neurogenik, vaskulogenik, kerusakan endotel, dan miogenik.Pada penyakit diabetes yang telah mengalami neuropati, terjadi kerusakan saraf perifer menuju corpora yang dapat mengurangi sensasi penis. Pada vaskulogenik terjadi gangguan yang mempengaruhi aliran darah arteri perifer yang berkaitan erat dengan disfungsi ereksi. System perdarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang kemudian menjadi arteri penis komunis dan bercabang menjadi arteri kavernosa, arteri dorsalis penis, dan arteri bulbo uretralis. Penyempitan arteri pudenda interna mengurangi penekanan perfusi ke corpora yang mengakibatkan kegagalan untuk mencapai kekakuan penuh sehingga ereksi menjadi lemas (flaccid). Disfungsi endotel merupakan awal terjadinya lesi aterosklerosis pada penderita diabetes. Kerusakan endotel menyebabkan gangguan relaksasi otot polos, sedangkan pada kerusakan miogenik terjadi gangguan fungsi otot polos. Endotel mempunyai peranan penentu dalam mengatur kontraktilitas dinding pembuluh darah. Sel-sel endotel yang rusak dapat mengurangi pelepasan neurotransmitter yang menyebabkan vasorelaksasi terutama sintesis nitric oxide (NO) . Menurunnya NO dapat mengakibatkan gangguan mikrovaskular dan konduksi saraf juga akan melambat. Nitric oxide merupakan mediator neural pada proses terjadinya ereksi yang prinsipnya dapat menyebabkan relaksasi otototot halus kavernosum penis dan pembuluh darah penis. Sebelum NO berperan dalam mekanisme ereksi, terlebih dahulu terjadi ereksi refleksogenik. Ereksi refleksogenik hasil dari stimulus reseptor sensori pada penis, hubungan dengan tulang belakang, aksi saraf somatik dan saraf eferen parasimpatis. Aktifitas saraf parasimpatis memicu rangkaian peristiwa melalui neurotransmiter acetylcholine dan merangsang neurefektor nonadrenergic-noncholinergic (NANC) melepaskan NO yang menyebabkan relaksasi otot halus trabekular dan pembuluh darah penis. Aliran darah masuk ke dalam korpus kavernosum menekan vena sehingga terjadi penurunan aliran balik vena (mekanisme penutupan venocorporal). Peningkatan inflow dan penurunan outflow secara cepat mengakibatkan tekanan intrakavernosa meningkatkan sehingga menyebabkan kekakuan pada penis yang progresif dan terjadi ereksi penuh. eksogen merupakan komponen penting dari seksualitas yang dapat meningkatkan libido. Rendah tingkat testosteron mengakibatkan penurunan libido. Disfungsi ereksi dilaporkan sekitar 50 % terjadi pada “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 174 laki-laki diabetes dan frekuensi disfungsi ereksi pada penderita diabetes meningkat 25 % di atas usia 35 tahun dan 70 % sesudah usia 60 tahun, serta 30 % penderita diabetes mengalami penurunan libido. Dalam penelitian Hafna Ilmy Muhalla (2011) menyebutkan bahwa disfungsi ereksi adalah komplikasi yang sering terjadi dan 3 kali lebih sering terjadi pada pri DM dibanding non-DM. Lebih dari separuh (tepatnya 35%-75%) pria DM mengalami disfungsi ereksi dengan berbagai tingkatan dan sayangnya hanya 10% yang mencari pengobatan. Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat post intervensi sebanyak 11 orang ( 36,7 %). Hal ini berarti ada peningkatan frekuensi hubungan sexual setelah responden diajarkan senam diabet. Adanya gerakan dalam senam diabet memberikan manfaat bagi responden yaitu menurunkan kadar glukosa darah dan dapat membantu mengatasi terjadinya komplikasi (gangguan lipid darah atau pengendapan lemak didalam darah, peningkatan tekanan darah, hipertensi, koagulasi darah atau penggumpalan darah). Adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita akan berpengaruh pada hubungan sexual. Tingkat kepuasan penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada perbedaan yang bermakna (p value 0,017). Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepuasan hubungan sexual. Salah satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang senam diabet.Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet tidak efektif dalam meningkatkan kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang (36,7%). Sedangkan jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat post intervensi sebanyak 16 orang (53,3%). Demon dan Byers (1999) menyatakan kepuasan seksual adalah suatu bentuk kedekatan seksual yang dirasakan oleh pasangan suami istri dalam wilayah interpersonal, yaitu dalam kualitas komunikasi seksual, penyingkapan hubungan seksual dan keseimbangan hubungan seksual. Kepuasan seksual merupakan suatu bentuk perasaan yang dirasakan oleh pasangan atas kualitas hubungan seksual mereka yang dapat berupa sentuhan fisik dan psikis. Hubungan seksual ini bukanlah semata-mata bertemunya secara keadaan fisiologik antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga bertemunya keadaan psikologik dari kedua individu itu.semua curahan hatinya,curahan perasaannya dinyatakan pada waktu hubungan seksual tersebut (Walgito, 1984). Pusat pengaturan prilaku seksual termasuk libido terdapat pada otak di bagian hipotalamus dan korteks serebri. Fungsi bagian ini salah satunya dipengaruhi keberadaan hormon testosteron yang berfungsi sebagi faktor tropik. Akibat hiperglikemia berkepanjangan menyebabkan gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta sistem saraf perifer karena peningkatan aktifitas PKC dan TNF α , Selain itu pula juga dapat terjadi penurunan ekspresi IGF-I akibat tidak cukupnya atau tidak sensitifnya insulin, gangguan replikasi sel Leydig karena penurunan signalling SCF akibat sesistensinya insulin pada testis menyebabkan menurunnya produksi hormon testosteron, selain itu juga menyebabkan berkurangnya reseptor androgen pada sel Leydig sehingga juga akan mempengaruhi kadar hormon testosteron. Testosteron diperlukan untuk terjadinya bangkitan libido, testosteron dapat meningkatkan rangsang seksual (sexual erotism) dan kesadaran seksual (sexual awareness).Menurunnya jumlah testosteron “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 175 menyebabkan berkurangnya akumulasi testosteron pada daerah hipotalamus dan korteks serebri, akibatnya bagian yang mengaktifkan metabolisme otak dan mengatur libido ini menjadi kurang aktif sehingga terjadi hambatan atau penurunan libido. Selain menyebab hormonal, hambatan libido dapat pula dikarenakan dampak pengobatan, rasa tidak puas terhadap pengobatan, ini dapat dilihat dari lebih banyaknya hambatan libido terdapat pada penderita diabetes melitus dengan waktu lama menderita di atas 1 tahun baik 1-5 tahun atau diatas 5 tahun, yaitu 1,6 x (27,5%) cenderung lebih besar dibandingkan penderita yang lama menderitanya dibawah 1 tahun (17,5%) Jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang (36,7%). Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya ketidakpuasan penderita dalam melakukan hubungan sexual. Hal ini dikarenakan karena adanya perubahan disfungsi ereksi yang terjadi pada responden. Adanya disfungsi ereksi tersebut akan berpengaruh terhadap kepuasan dalam hubungan sexual. Ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita DM akan memberikan adanya emosi negatif pada responden. Berdasarkan wawancara dengan informan didapatkan emosi negatif yang muncul dari informan sebelum dilakukan pelatihan senam diabet diantaranya adalah kecewa dan jengkel. Kecewa merupakan respon yang dialami oleh informan dalam penelitian ini. Kecewa merupakan perasaan kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya dan harapan). Satu dari informan yang berperan serta dalam penelitian ini menyatakan bahwa informan merasa kecewa akibat dari ketidakmampuan atau kegagalannya memenuhi kewajibanya sebagai suami. Dalam penelitian ini hal ini terjadi sebagai akibat dari ketidak mampuan informan dalam melakukan atau memenuhi kebutuhan seksualitas yang diakibatkan oleh perubahan seksualitas yang terjadi. Menurut Bangun (2013) Harapan atau keinginan informan adalah mampu menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami untuk memenuhi kebutuhan bathin dari istrinya. Dimana sebagai seorang laki – laki secara umum menginginkan menjadi the real men atau pria sejati, yang mempunyai pekerjaan baik, stress yang tertata, hidup yang baik bersama perempuan yang benar dan baik, dan bahkan mendapatkan keberhasilan dan kegagalan yang nyata dan baik pula. Namun diabetes yang dideritanya mengakibatkan disfungsi atau tidak berfungsi secara normal dari organ seksualnya akan menyebabkan seorang lelaki tersebut akan merasa sudah tidak bisa menjadi pria sejati lagi dan akhirnya kesejahteraan hidup terganggu. Emosi negatif lain yang muncul dari informan yang diteliti adalah munculnya perasaan jengkel terhadap kondisi perubahan seksual yang terjadi saat dilakukan penelitian. Salah satu informan mengatakan jengkel terhadap kondisinya saat ini sebagai dampak akibat perubahan seksual yang dialaminya. Rasa jengkel informan dikarenakan adanya perubahan dalam ereksi sehingga mempengaruhi kepuasan dan kenikmatan dalam hubungan sexual. Jumlah responden yang merasakan tidak puas pada saat post intervensi sebanyak 16 orang (53,3%). Apabila dibandingkan dengan jumlah responden pada saat pre Intervensi memang meningkat peningkatan 16,6 %. Kondisi ini disebabkan ada beberapa responden yang tidak rutin melakukan senam diabet. Responden yang melakukan senam rutin dalam 4 kali dalam seminggu hanya 40 %. Responden tidak melakukan senam diabet secara rutin karena responden kurang menyadari akan dampak perubahan sexual akibat adanya penyakit diabet mellitus. Senam diabet apabila dilakukan rutin oleh penderita diabet akan memberikan manfaat bagi penderita terkait hubungan sexual. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 176 Senam diabetes adalah senam fisik yang dirancang menurut usia dan status fisik dan merupakan bagian dari pengobatan diabetes mellitus (Persadia, 2000).Senam diabet adalah suatu latihan yang dilakukan oleh penderita diabet melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki. Manfaat senam diabet adalah menurunkan kadar glukosa darah. Adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita akan berpengaruh pada hubungan sexual. Latihan rutin senam diabet pada penderita diabet melitus menyebabkan hubungan sexual dengan pasangannya menjadi lebih berkwalitas. Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan informan yang menyatakan bahwa mereka merasa nikmat dan puas setelah melakukan senam diabet 4 kali dalam seminggu. Kesimpulan Sebagian besar karakteristik umur responden berada pada rentang lansia awal sebanyak 14 orang ( 46,7 %), karakteristik pekerjaan responden adalah wiraswasta sebanyak 18 orang ( 60 %), kategori pendidikan responden paling banyak adalah SMA yaitu sebanyak 12 orang (40 %), Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet dengan tingkat aktivitas sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM, Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet tingkat dan kepuasan sexual sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM untuk kelompok intervensi. Saran diperuntukkan bagi pria penderit a DM yaitu Penderit a DM disarankan untuk lebih rajin melakukan senam diabet sehingga bermanfaat untuk dirinya dan pasanganya. Daftar Pustaka Arikunto. (2008). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Atul Lutha. (2013). Erectile Dysfunction In Diabetic Male : Plausible Mechanism And Management Strategies. Diaskes melalui http://diabetesindia.com tanggal 29 Agustus 2013. Bhasin S, et al. (2007). Sexual Dysfunction In Men And Women With Endocrine Disorders. Diakses melalui http://www.thelancet.com tanggal 28 Agustus 2013. Bangun. (2013). Pengalaman hubungan seksual pada penderita Diabet Mellitus Di Puskesmas Bergas, Skripsi, tidak dipublikasikan. Hafna Ilmy Muhala ( 2011). Pengalaman Disfungsi Seksual pada Klien Pria Diabetes di RSUPN Dr. Cipto. Diambil dari http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id= 20281063&lokasi= lokal pada tanggal 12 Januari 2013 Jacobs LI.(2005). Impotensi Yang Perlu Diketahui Setiap Suami Istri. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Misnadiarly.(2006).Diabetes Mellitus Ulcer, Gangren, Infeksi. Jakarta : Pustaka populer Obor. Moelong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. .Bandung : PT. Rosdakarya Notoatmodjo S. (2002). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Sustrani L.(2006). Diabetes. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Tjokronegoro A, Murtiani AS.(2003). Rahasia Dibalik Keperkasaan Pria. Jakarta : FKUI Pangkahila W.(2005). Menguak Disfungsi Ereksi:Menyimak Masalah Pria,Keluhan Wanita. Jakarta : PT Gramedia. Profil Kesehatan Jawa Tengah.(2013) Diakses melaui www.dinkesjatengprov.go.id tanggal 25 Juli 2013. Widhyastuti. (2012). Senam Diabet. Jakarta : Rineka Cipta. “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 177 Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di Rw 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah Yunitia Aulianita1, Sari Sudarmiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat2 Mahasiswa Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: [email protected] Staf Pengajar Departemen Keperawatan Maternitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: sarisudarmiati@gmail. com. Abstrak Kecemasan wanita klimakterium terjadi akibat adanya sindrom klimakterium dan ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. SEFT sebagai salah satu terapi non farmakologis untuk mengatasi kecemasan. SEFT adalah terapi yang menggabungkan sistem energi tubuh dan spiritualitas dengan metode tapping pada 18 titik kunci di sepanjang 12 jalur energi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh spiritual emotional freedom technique terhadap kecemasan wanita klimakterium. Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan quasi eksperiment tanpa kelompok kontrol. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 30 wanita klimakterium. Kecemasan pre-test dan post-test diukur dengan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan sebanyak 30 responden (100%), setelah dilakukan terapi SEFT adalah tidak ada kecemasan sebanyak 4 responden (13,3%). Rata-rata skor kecemasan (pre-test) sebesar 21,50 dan rata-rata skor kecemasan (post-test) sebesar 19,43. Hasil uji statistik dengan Wilcoxon signed rank test diperoleh value = 0,000, dengan value < (0,05) H0 ditolak, hal ini menunjukkan ada pengaruh SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah. Saran bagi wanita klimakterium adalah terapi SEFT dapat direkomendasikan sebagai terapi alternatif untuk mengatasi kecemasan wanita klimakterium. Kata kunci : Kecemasan, Klimakterium, SEFT Pendahuluan Klimakterium adalah fase proses penuaan wanita dari masa reproduktif menuju masa tidak reproduktif (Andrews, 2009). Pada tahun 2014 di Jawa Tengah, jumlah wanita klimakterium dengan kelompok usia 45-59 tahun mencapai 2.794.706 jiwa (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Jumlah wanita diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan peningkatan angka harapan hidup (AHH). Pada tahun 2010, AHH perempuan di Jawa Tengah sebesar 74,8 tahun dan diperkirakan pada tahun 2015 mencapai 75,6 tahun (BPS, 2010). Peningkatan AHH wanita akan membawa konsekuensi terhadap kesehatan wanita klimakterium (Aziz, 2010). “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 178 Wanita klimakterium akan mengalami kecemasan sebagai salah satu dampak psikologis dari sindrom klimakterik. Kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada masa perimenopause dengan rentang usia 45-55 tahun (Chontessa et al., 2012). Kecemasan wanita klimakterium disebabkan oleh fluktuasi hormon estrogen dan progesteron, ketidakmampuan mengandung anak, perasaan tidak berharga lagi, kebutuhan seksual terganggu, perceraian, kematian suami atau anak, masalah keluarga, masalah pekerjaan, masa pensiun, masalah ekonomi, gangguan tidur, kecantikan memudar, daya tarik menurun, kelebihan berat badan, serta perubahan fisik akibat penuaan lainnya (Kozier, 2010). Terapi untuk mengatasi kecemasan dapat dilakukan dengan terapi psikologis. Salah satu terapi psikologis yang digunakan adalah spiritual emotional freedom technique (SEFT). SEFT merupakan kombinasi antara Spiritual Power dengan Energy Psychology yang memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku manusia. Prinsip SEFT adalah mengatasi masalah kesehatan dengan cara merangsang titiktitik kunci di sepanjang 12 jalur energi meridian tubuh. SEFT tidak menggunakan alat bantu terapi dan cara penggunaan SEFT mudah dipelajari. SEFT menggunakan teknik ketukan ringan (tapping) dengan ujung jari telunjuk dan jari tengah pada 18 titik kunci di sepanjang 12 energi meridian tubuh (Zainuddin, 2006). Telah banyak penelitian tentang SEFT berguna untuk mengatasi masalah emosi, diantaranya adalah penelitian oleh Zakiyyah yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan nyeri dismenorea pada remaja putrid (Zakiyyah, 2013). Penelitian yang sama telah dilakukan oleh Yuliani dan Purwanti yang melaporkan bahwa setelah dilakukan spiritual healing kecemasan wanita menopause sudah tidak ada lagi (Yuliani & Purwanti, 2013). Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Faridah membuktikan bahwa terapi SEFT dapat menurunkan tekanan darah tinggi (Faridah, 2012). Penelitian oleh Dhianto juga melaporkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Pekalongan (Dhianto et al., 2014). Hasil studi pendahuluan kepada 12 wanita klimakterium, peneliti memperoleh data sebagai berikut: 9 dari 12 orang mengalami kecemasan dengan kecemasan ringan sebanyak 5 orang, kecemasan sedang 3 orang dan kecemasan berat 1 orang. Kegiatan posyandu lansia di Kelurahan Pedalangan belum ada yang berkaitan dengan penatalaksanaan kecemasan wanita klimakterium dengan menggunakan terapi SEFT. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah”. Metode Metode penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain penelitian quasi eksperiment tanpa kelompok kontrol dengan pendekatan one group pre-test-post-test design. Populasi penelitian ini adalah wanita klimakterium berusia 45-55 tahun di RW 6 Kelurahan Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah sebanyak 52 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah sampel penelitian 30 orang. Sebelum dilakukan pengambilan data, dilakukan skrining tingkat kecemasan dengan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 179 (HRS-A). Responden yang memenuhi kriteria inklusi (skor HRS-A > 13), diberikan terapi SEFT sebanyak dua kali selama 5-10 menit. Jarak terapi SEFT pertama dan kedua yaitu 24 jam. Pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 28 Mei-11 Juni 2015. Peneliti menggunakan kuesioner HRS-A untuk mengukur kecemasan responden saat pre-test dan post-test. Hasil Penelitian 1. Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan, Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Tabel 1 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan, Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei – 11 Juni 2015 (n: 30) Data Demografi Tidak ada kecemas an F % Tingkat Kecemasan Kecemasan Kecemasan Kecemasan ringan sedang berat F % F % F Usia 46,2 3 23,0 4 47,0 7 41,2 2 Status Pernikahan 50,0 1 50,0 0 Jumlah Kecema san berat sekali/pa nik F % F % 30,8 11,8 0 0 0,0 0,0 13 17 100 100 0,0 0 0,0 2 100 18,2 33,3 0 0 0,0 0,0 22 6 100 100 0,0 0 0,0 0 0,0 % 45-50 tahun 51-55 tahun 0 0 0,0 0,0 6 8 Belum Menikah Menikah Janda 0 0,0 1 0 0 0,0 0,0 12 1 Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD SMP SMA Akademika /Universitas 0 0,0 0 54,6 6 27,2 4 16,7 3 50 2 Pendidikan Terakhir 0,0 0 0,0 0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 0 2 9 3 0,0 33,3 60,0 42,9 0 2 5 3 0,0 33,3 33,3 42,9 2 2 1 1 100 33,3 6,7 14,2 0 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 2 6 15 7 100 100 100 100 “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 180 Data Demografi Ibu Rumah Tangga Pensiunan Wiraswasta Pegawai Negeri Pegawai Swasta Lain-lain Ibu Rumah Tangga Pensiunan Wiraswasta Pegawai Negeri Data Demografi Jumlah Tidak ada Kecemasan Kecemasan Kecemasan Kecemasan kecemasan ringan sedang berat berat sekali /panik F % F % F % F % F % F % Pekerjaan 0 0,0 8 57,2 1 7,1 5 35,7 0 0,0 14 10 0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 5 100 0 0,0 0 0,0 5 10 0 0 0,0 3 60,0 2 40,0 0 0,0 0 0,0 5 10 0 0 0,0 2 40,0 2 40,0 1 20,0 0 0,0 5 10 0 0 0,0 1 100 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 10 0 0 0,0 8 57,2 1 7,1 5 35,7 0 0,0 14 10 0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 5 100 0 0,0 0 0,0 5 10 0 0 0,0 3 60,0 2 40,0 0 0,0 0 0,0 5 10 0 Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan tertinggi berdasarkan usia adalah 5155 tahun sebesar 47,0%, status pernikahan adalah menikah sebesar 54,6%, pendidikan terakhir adalah SD sebesar 100%, dan pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar 35,7%. 2. Distribusi Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi SEFT Tabel 2 Kategori Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi SEFT di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 (n: 30) Kecemasan Responden Tingkat Kecemasan Tidak ada Kecemasan Kecemasan Kecemasan kecemasan ringan sedang berat “Pera Perawat dala Jumlah Kecemasan berat sekali/panik Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 181 Sebelum SEFT Sesudah SEFT F 0 % 0,0 F 14 % 46,7 F 10 % 33,3 F 6 % 20,0 F 0 % 0,0 F % 30 100 4 13,3 13 43,3 11 36,7 2 6,7 0 0,0 30 100 Tabel 2 menunjukkan sebelum dilakukan SEFT, diperoleh data kecemasan ringan 14 wanita (46,7%), kecemasan sedang 10 wanita (33,3%), dan kecemasan berat 6 wanita (20,0%). Sesudah dilakukan SEFT, diperoleh data tidak ada kecemasan 4 wanita (13,3%), kecemasan ringan 13 wanita (43,3%), kecemasan sedang 11 wanita (36,7%), dan kecemasan berat 2 wanita (6,7%). 3. Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah Tabel 3 Hasil Uji Wilcoxon Signed Rank Test Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 (n: 30) Mea Median Std. Skor Skor Z P n Deviatio Terendah Tertinggi Value n Sebelum 21,5 23,00 5,23 14,00 31,00 SEFT 0 - 4,593a 0,000 0,05 Sesudah 19,4 20,00 5,09 13,00 28,00 SEFT 3 Tabel 3 menunjukkan sebelum SEFT, mean 21,50, median 23,00, standar deviasi 5,23, skor terendah 14,00 dan tertinggi 31,00. Sesudah SEFT, mean 19,43, median 20,00, standar deviasi 5,09, skor terendah 13,00 dan tertinggi 28,00. Uji Wilcoxon Signed Rank Test menunjukkan penurunan rata-rata skor kecemasan sebelum dan sesudah SEFT sebesar 2,07. Diperoleh nilai (p < 0,05) dan nilai Z (-4,593a) berada diluar rentang -/+1,95, artinya menunjukkan bahwa dengan p-value= 0,000 terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium. Pembahasan 1. Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum Diberikan Terapi SEFT Tabel 3 menunjukkan kecemasan sebelum SEFT dengan mean 21,50, skor terendah 14 dan tertinggi 31. Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh wanita mengalami kecemasan. Tingkat kecemasan sebelum SEFT, yaitu kecemasan ringan 14 wanita (46,7%), kecemasan sedang 10 wanita (33,3%), dan kecemasan berat 6 wanita (20,0%). Responden berusia 51-55 tahun mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 47,0% mengalami kecemasan ringan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Afuanti yang mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada usia 51-55 tahun. Semakin bertambah usia wanita klimakterium, maka berbagai keluhan juga akan bertambah dan kecemasan akan semakin meningkat (Afuanti et al., 2010). “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 182 Responden yang menikah mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 54,6% mengalami kecemasan ringan. Mayoritas wanita klimakterium yang mengalami kecemasan adalah wanita klimakterium yang menikah. Wanita yang menikah memiliki kecemasan lebih berat karena perselisihan dalam perkawinan, tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat dengan anggota keluarga, kurangnya otonomi, serta perbedaan pendapat dengan suami dan anak-anak (Afuanti et al., 2010). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden berpendidikan SD mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 100% mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian Apriyanti mengatakan kecemasan tertinggi berada pada wanita klimakterium yang berpendidikan rendah. Pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan sikap wanita menjadi lebih baik dalam mengahadapi perubahan selama masa klimakterium, sehingga meminimalisir timbulnya kecemasan (Apriyanti et al., 2012). Responden ibu rumah tangga mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 35,7% mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fitriah mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium adalah ibu rumah tangga. Ibu yang bekerja memiliki lebih banyak bersosialisasi, sehingga dapat mempengaruhi informasi yang didapat. Ibu rumah tangga lebih merasakan kehilangan gairah seksual sehingga takut tidak dapat memuaskan suami, ketakutan suami mencari wanita lain, berkurangnya peran dalam keluarga, ketakutan berkurangnya penghasilan karena tidak bekerja (Fitriah & Susilowati, 2010). 2. Kecemasan Wanita Klimakterium Sesudah Diberikan Terapi SEFT Pada tabel 3 menunjukkan kecemasan sesudah SEFT dengan mean 19,43, skor terendah 13 dan skor tertinggi 28. Kecemasan sesudah SEFT menurun dengan hasil tidak ada kecemasan 4 wanita (13,3%), kecemasan ringan 13 wanita (43,3%), kecemasan sedang 11 wanita (36,7%), dan kecemasan berat 2 wanita (6,7%). Penurunan kecemasan terlihat dari peningkatan jumlah wanita yang tidak mengalami kecemasan, yaitu sebelum SEFT seluruh responden mengalami kecemasan dan sesudah SEFT terdapat 4 wanita yang tidak mengalami kecemasan. Tingkat kecemasan berat juga menurun dari 6 wanita menjadi 2 wanita sesudah diberikan SEFT. Hasil ini menunjukkan bahwa kecemasan wanita klimakterium mengalami penurunan sesudah diberikan SEFT. SEFT memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku manusia dengan menggunakan teknik tapping pada 18 titik kunci di sepanjang 12 energi meridian tubuh. SEFT menetralisir perlawanan psikologis berupa pikiran-pikiran negatif selama masa klimakterium. Pikiran-pikiran negatif tersebut diubah menjadi pikiran-pikiran positif dengan cara dinetralisir dengan doa kepasrahan. Kekuatan doa yang disertai keikhlasan dan kepasrahan dapat memperkuat efek terapi SEFT (Zainuddin, 2006). 3. Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Hasil uji Wilcoxon signed rank test pada tabel 3 diperoleh nilai p-value = 0,000 < 0,05. P-value = 0,000, nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan (0,05). Hal ini berarti H0 ditolak dan Ha diterima sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium sebelum dan sesudah dilakukan terapi SEFT. Adanya pengaruh yang signifikan antara terapi spiritual healing (SEFT) terhadap penurunan kecemasan wanita menopause di kelompok pengajian Majelis “Pera Perawat dala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 183 Taklim Nurul Hikmah Desa Purbadana Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas (Yuliani & Purwanti, 2013). SEFT menurunkan adrenalin dan kortisol, sehingga denyut jantung, tekanan darah tinggi dan ketegangan otot menurun (Hart, 2003). Hal ini diperkuat dengan penelitian Faridah yang menyatakan bahwa terdapat penurunan tekanan darah systole dan diastole pada penderita hipertensi usia 45-59 tahun di RSUD dr. Soegiri Lamongan (Faridah, 2012). Penelitian di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan diperoleh hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan antara terapi SEFT terhadap penurunan kecemasan pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan setelah diberikan terapi SEFT. Hasil uji paired sample T-Test diperoleh nilai p value= 0,000 < aplha (0,05) dengan rata-rata skor kecemasan saat pre-test 52,82 dan turun saat post-test menjadi 43,47 (Dhianto et al., 2014). Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan: 1) Kecemasan wanita klimakterium sebelum diberikan SEFT berada pada rentang 14 sampai 31 dengan rata-rata skor 21,50; 2) Kecemasan wanita klimakterium sesudah diberikan SEFT berada pada rentang 13 sampai 28 dengan rata-rata skor 19,43; 3) Ada pengaruh SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah dengan nilai p-value = 0,000 < 0,05). Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan, yaitu: 1) Wanita klimakterium mampu menerapkan terapi SEFT untuk menurunkan kecemasan wanita klimakterium; 2) Bagi profesi keperawatan diharapkan mampu menambah wawasan keilmuan perawat tentang cara mengatasi kecemasan wanita klimakterium; 3) Penelitian selanjutnya mampu mengembangkan SEFT dengan mencari pengaruh pada aspek selain kecemasan wanita klimakterium. Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kader lansia dan wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Afuanti, V., Widajati, S., & Usnawati, N. (2010). Gambaran tingkat kecemasan ibu dalam masa klimakterium. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 1(1), 58–63. Retrieved from http://static.schoolrack.com/files/100398/295411/volume1_nomor1.pdf Andrews, G. (2009). Buku ajar kesehatan reproduksi wanita . Jakarta: EGC. Apriyanti Emi, Sumantri, A. S. T. (2012). Attitudes of Klimakterium’s Women in Dealing Menopause Period at Jimus Village Polanharjo District Klaten Regency. Jurnal Ilmu Kesehatan, IV(2), 1–9. Aziz, I. J. (2010). Pembangunan berkelanjutan: peran dan kontribusi Emil Salim. Jakarta: Gramedia. BPS. (2010). Angka harapan hidup (Eo) menurut provinsi, kabupaten/kota dan jenis kelamin. Retrieved from http://www.datastatistik-indonesia.com/ Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekono i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 184 Chontessa, T. J., Singara, T., & Idrus, H. M. F. (2012). Hubungan beratnya gejala ansietas dengan masa klimakterium wanita di Rumah Sakit Pendidikan Makassar. Universitas Hasanuddin, 1–13. Retrieved from http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/e94f2a6d70d39a82cfd214750374ed.pdf Dhianto, H. M., Irwansyah, R., Rusmariana, A., & Aktifah, N. (2014). Pengaruh terapi spiritual emosional freedom technique (SEFT) terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Jurnal Stikes Pekajangan Pekalongan, (8). Retrieved from http://www.e-skripsi.stikesmuhpkj.ac.id/e-skripsi/index.php?p=fstream Faridah, V. N. (2012). Pengaruh keperawatan spiritual emotional freedom technique (SEFT) Islami terhadap tekanan darah penderita hipertensi, 02(Xii). Retrieved from http://stikesmuhla.ac.id/v2/wp-content/uploads/jurnalsurya/noXII/0.pdf Fitriah, & Susilowati, E. (2010). Hubungan antara tipe kepribadian dengan tingkat kecemasan pada wanita menopause di Desa Bangkal wilayah kerja Puskesmas Pamolokan Kabupaten Sumenep tahun 2010. Jurnal Kesehatan Wiraraja Medika , 9–15. Retrieved from http://wiraraja.ac.id/wp-content/uploads/2013/02/JURNALVOL-1-EDISI-1.pdf Kementrian Kesehatan RI. (2011). Data penduduk sasaran program pembangunan kesehatan 2011-2014. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Indonesia. Retrieved from http://www.depkes.go.id/ Kozier, B. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan (7th ed.). Jakarta: EGC. Yuliani, U. D., & Purwanti, S. (2013). Efektivitas spiritual healing terhadap penurunan tingkat kecemasan pada wanita menopause. Jurnal Kebidanan, V(02). Retrieved from http://journal.akbideub.ac.id/index.php/jkeb/article/view/120/119 Zainuddin, A. F. (2006). Spiritual emotional freedom technique (SEFT) for healing + success and happinee + greatness. Jakarta: Afzan Publishing. Zakiyyah, M. (2013). Pengaruh terapi spiritual emosional freedom technique ( SEFT ) terhadap penanganan nyeri dismenorea. Jurnal Sain Med, 5(2), 66–71. Retrieved from:http://www.kopertis7.go.id/uploadjurnal/Muthmainnah_Zakiyyah.pdf Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekono i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 185 KAJIAN LITERATUR : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKTIFITAS FISIK DAN PERILAKU SEDENTARY PADA ANAK Ns. Puji Purwaningsih, S.Kep Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Semarang Abstrak Latar Belakang. Aktifitas fisik dan perilaku sedentary seringkali dihubungkan dengan kasuskasus penyakit tidak menular. Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007 – 2013 mempunyai pola cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia Sehat 2015-2019. Prevalensi ini didapat melalui wawancara dan pemeriksaan dimulai usia ≥ 15 tahun. Temuan ini menunjukkan usia temuan diagnosis adalah usia 15 tahun sehingga upaya penelitian faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary anak usia 0-< 15 sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular merupakan penyakit yang berkembang lambat dengan durasi yang lama. Upaya preventif diperlukan sebagai upaya mengurangi angka kejadian penyakit menular maka sebagai awal pijakan penelitian perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak Tujuan. Kajian literature ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak Metoda. Kajian literatur ini dengan menggunakan pencarian komprehensif dengan melibatkan semua database Ebscho, Science Direct yang dibatasi pada tahun 2005-2015 dengan format full PDF. Kata kunci pencarian menggunakan kata influence factor, physical activity, sedentary behavior, children. Kajian ini untuk mengetahui faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak .. Hasil. Hasil penilaian literature menunjukkan kualitas sedang dan baik. Lima kajian literature ini menunjukkan beragam faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak . Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan jumlah penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua , Perjalanan akhir pekan Kesimpulan. Ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan jumlah penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua , Perjalanan akhir pecan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak . Berbagai faktor ini sebagai pencetus penyakit-penyakit tidak menular diusia dewasa anak tersebut. Kata Kunci : Faktor berpengaruh, aktifitas fisik, perilaku sedentary, anak Pendahuluan Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang berkembang lambat dengan durasi yang panjang serta tidak menular. Menurut WHO yang termasuk penyakit tidak menular adalah Penyakit kardivaskuler, kanker, diabetes dan penyakit pernapasan ( asma) . Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007 – 2013 mempunyai pola cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia Sehat 20152019 (Penelitian, Pengembangan, & Pengantar, 2013) . Prevalensi hipertensi, penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 186 jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke di Indonesia cenderung meningkat. Data ini didapatkan melalui wawancara dan pemeriksaan dimulai usia ≥15 tahun (Penelitian et al., 2013). Healthy people 2020 merefleksikan bahwa aktifitas fisik dianjurkan dan agar dapat menjadi kebijakan kesehatan khususnya bagi anak-anak sampai dengan usia lanjut. Target Kebijakan yang berkaitan dengan aktifitas fisik bagi anak dan remaja adalah terfasilitasinya aktifitas fisik dengan setting sesuai usia anak, terpantaunya jam untuk menonton tv dan penggunaan computer atau layar, terfasilitasi program aktifitas fisik di sekolah dasar. Prevalensi tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Diana Herrmaan Et All tahun 2015 bahwa penyakit sendi dipicu oleh aktivitas fisik yang kurang, hal ini sedentary time berperan penting dalam demineralisasi tulang sehingga berpengaruh pada kekuatan tulang (Herrmann et al., 2015), penelitian oleh Travis J Saunders Et All tahun 2014 bahwa perilaku sendentary menjadi faktor resiko penyakit cardiometabolik pada anak dan remaja (Saunders, Chaput, & Tremblay, 2014), hasil kajian literatur oleh Valerie Carson Et All tahun 2015 bahwa tipe perilaku sedentary berdampak pada perkembangan aspek kognitif pada anak usia 0-5 tahun (Carson et al., 2015). Penelitian prevalensi penyakit tidak menular tersebut dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia pada umumnya, gaya hidup traditional lifestyle berubah menjadi sedentary lifestyle (Remaja, Sma, & Cendrawasih, n.d.). Hal ini diperkuat oleh catatan Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, DTCE bahwa salah satu faktor timbulnya penyakit di Indonesia adalah perilaku sedentary merupakan perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi usia harapan hidup. Perilaku sedentary adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur(Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, n.d.). Penelitian menunjukkan bahwa pengurangan aktivitas sedentari sampai dengan <3 jam per hari dapat meningkatkan umur harapan hidup se esar tahun ata dari alit an kes iskesdas 1 menun ukkan ahwa 1 persen penduduk kita ter l n kuran akti secara isik Data Balitbangkes juga menunjukkan proporsi penduduk kelompok umur ≥1 tahun den an perilaku akti itas sedentari < am aru penduduk sedan kan sedentari ≥ am per hari adalah 1 hampir satu dari empat penduduk Artinya, masih terlalu banyak penduduk kita yang relatif terlalu banyak bersantai dan tidak beraktifitas fisik (Penelitian et al., 2013). Salah satu program Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah meningkatnya pengendalian penyakit tidak menular dengan melaksanakan pilar paradigma sehat dengan strategi pengutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan promotif, preventif dan pemberdayaan masyarakat (Kementerian-Kesehatan, 2008). Upaya promotif dan preventif perilaku sedentary untuk menekan atau mengurangi prevalensi penyakit tidak menular sangatlah diperlukan. Temuan diatas menunjukkan usia temuan diagnosis adalah usia 15 tahun sehingga upaya penelitian faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary anak sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular merupakan penyakit yang berkembang lambat dengan durasi yang lama (Penelitian et al., 2013). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 187 Tujuan Tujuan dilakukannya kajian literature adalah mengumpulkan semua hasil penelitian yang berhubungan dengan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentari pada anak Metoda Ka ian literature ini diawali den an men identi ikasi kata kunci “In luence act r” “physical activity” “sedentary” “pediatric” yan di unakan dalam data ase elektr nik Pencarian artikel dibatasi dari tahun 2005 – 2015 dengan menggunakan data base EBSCHO dan PubMed. Skrinning dilakukan untuk mencari artikel sesuai kata kunci.. Hasil ekstraksi dengan total artikel 5 literatur. Hasil Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik ( jumlah dan jenis), lokasi dan jumlah penempatan TV ( n = 1), pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua ( n = 2 ), Sosio ekonomi dan etnis ( n = 3), Dukungan orang tua ( n=4), Perjalanan akhir pecan ( n=5). Tabel 1 Penelitian Metode Tujuan Kaushal, et al (2014) Systematic review Untuk mengetahui lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan physical aktivitas dan perilaku sedentari Crawford, et al ( 2010) The CLAN Study Untuk mengetahui Catatan orangtua tentang lingkungan rumah ( dukungan social, model peran, Peaturan, ling, Variabel utama 1. 2. 1. 2. 3. 4. 5. Alat untuk aktifitas fisik dan penunjang perilous sedentary Aktifitas fisik dan perilous sedentari Keluarga Lingkungan sekitar Aktifitas fisik Berat badan Lingkungan Hasil penelitian/ temuan penelitian 1. Intervensi untuk mengurangi perilaku sedentary dengan membatasi jumlah TV memperlihatkan efektif pada anak dan orang dewasa 2. Ketersediaan peralatan aktifitas fisik terlihat efektif 3. Studi observasi : Lokasi dan jumlah penempatan TV dihubungan perilous sedentary pada anak perempuan 4. Jumlah dan jenis peralatan fisik berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary pada laki-laki 1. Pada laki laki berhubungan : pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 188 karakteristik lingkungan sekitar ( Tanda lalu lintas, keamanan jalan, transportasi umum), informasi geografi untuk memetakan lingkungan ( tempat tujuan aktifitas fisik , hubungan antar jalan raya) Rossem et al ( 2012) Observasio nal Study Untuk mengetahui dampak social dan indicator aktivitas fisik dan perilous sedentary pada usia preschool Tandon, et al (2014) Observasio nal kohort study Mengetahui faktor yang dihubungkan aktifitas fisik dan perilous sedentary di rumah Crosssectional studi Mengetahui hubungan perjalanan ke sekolah dan akhir pekan pada perbedaan aktifitas fisi dan perilous sedentary, yang diidentifikasi melalui jenis kelamin Schoeppe, et al (2015) 1. 2. 1. 2. Sosial Ekonomi Etnis Aktifitas fisik dan lingkungan social Interaksi faktor social dan lingkungan Alat Perjalanan ke sekolah dan akhir pekan orangtua, perilous sedentary berhubungan dengan BMI z-score 2. Pada perempuan : saudara, peran ayah, peraturan, aktifitas fisik orangtua berhubungan posistif dengan tingakt aktifitas fisik. Status petkawinan orangtua dan model peran sedentary ibu berhubungan dengan BMI z score Anak dengan ibu berpendidikan rendah ( OR : 3.27, 95 % CI 2.12 – 5.05), Suka nonton TV kurang lebih 2 jam perhari ( OR 2.67, 95 % CI 2.04 – 3.49), Hasil yang sama pada aktifitas duduk kurang lebih 0,5 jam perhari dan bermain kurang dari 3 jam perhari ( OR ; 1.95, 95 % CI : 1.39 – 2.73). Sosio ekonomi dan etnis sebagai indicator yang berhubungan dengan perilous sedentary 47, 2 % rata-rata waktu anak tinggal di rumah, 43,6 dan 46.4 % terlibat dalam aktifitas fisik dan perilous sedentary. Dukungan orang tua positif dihubungkan dengan aktifitas fisik dan negative dengan perilous sedentary. Perjalanan akhir pecan mempunyai hubungan positif dengan aktifitas fisik Pembahasan Faktor – faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan prilaku sedentary adalah lingkungan rumah dimana terdapat peralatan atau media yang mendukung pada aktifitas fisik dan perilous sedentari. Ketersediaan sarana seperti adanya videogame, alat untuk aktifitas fisik merupakan faktor pendukung yang paling kuat untuk membentuk perilous atau kebiasaan . Peraturan akan Pembatasan aktifitas menonton TV bermain game merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kejadian pelaku sedentary. Alat aktifitas Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 189 fisik didesign untuk wanita sehingga memungkinan untuk memfasilitasi aktifitas fisik di rumah. (Kaushal & Rhodes, 2014). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Tandon, et al ( 2014) bahwa Lingkungan social dan aktifitas yang spesifik merupakan variable yang kuat berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary. Dukungan orangtua merupakan faktor terbesar dalam penyediaan sarana aktifitas fisik. Peraturan –peraturan yang dibuat oleh orangtua juga sebagai faktor yang berhubungan dengan perilous sedentary. Proporsi waktu luang anak adalah rumah(tempat tinggal) sehingga aktifitas fisik dan perilous sedentary cenderung terjadi di rumah. Upaya – upaya modifikasi fisik rumah dan lingkungan social merupakan intervensi untuk mengurangi kejadian perilous sedentary ((Tandon et al., 2014). Faktor sosioekonomi dan perbedaan budaya dalam menonton TV dan penggunaan waktu libur merupakan faktor yang berkontribusi dalam aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak. Pekerjaan ibu merupakan faktor utama dalam perilous menonton TV. Pendidikan rendah merupakan penyebab utama kerusakan fungsi social dan menjadi penyebab adanya masalah stresst keluarga. Ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu lebih unuk melihat TV (Van Rossem et al., 2012). Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa pendidikan ibu, status pekerjaan ibu (Crawford et al., 2010). Faktor lingkungan dalam rumah yang mempengaruhi aktifitas fisik dan perilous sedentary adalah adanya saudara kandung, model peran orangtua dan saudara, keikutsertaan orangtua dalam aktifitas fisik. Keikutsertaan orangtua mempunyai hubungan yang positif dalam perubahan aktifitas fisik anak ((Crawford et al., 2010). Hal ini diperkuat oleh penelitian Salmon et al, 2013 bahwa karakteristik lingkungan mempunyai nilai signifikan. Tujuan perjalanan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary. Tujuan perjalanan diluar perjalanan kesekolah merupakan faktor yang paling berhubungan dengan aktifitas fisik. Perjalanan menggunakan mobil merupakan faktor yang paling berkontribusi untuk waktu sedentary pada anak. Anak yang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau bersepeda mendukung pada tingkat aktifitas anak (Schoeppe, Duncan, Badland, Oliver, & Browne, 2015). Kesimpulan Aktifitas fisik dan perilous sedentary anak dipengaruhi dari berbagai faktor yaitu lingkungan rumah ( ketersediaan sarana dan prasana, jumlah dan lokasi penempatan), peraturan dalam keluarga , lingkungan social keluarga ( model peran orangtua, dukungan orangtua, perilous orangtua), social, ekonomi budaya, tingkat pendidikan orangtua, usia orangtua, status perkawinan. Pekerjaan orangtua, budaya keluarga, peran model saudara kandung, tujuan perjalanan, alat transportasi. Faktor – faktor aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak sangat penting diketahui sebagai upaya promotif terhadap pencegahan penyakit yang timbul akibat perilous sedentary. Peran perawat komunitas sangatlah penting untuk survey tentang aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak, sebagai temuan awal temuan kasus perilous sedentary pada anak. Daftar Pustaka Cars n V Kuzik N Hunter S Wie e S a Spence J C Friedman A … Hinkley T (2015). Systematic review of sedentary behavior and cognitive development in early childhood. Preventive Medicine, 78, 115–122. doi:10.1016/j.ypmed. 2015.07.016 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 190 Craw rd Cleland V Timperi A Salm n J Andrian p ul s N erts … Ball, K. (2010). PEDIATRIC HIGHLIGHT The longitudinal influence of home and nei h urh d envir nments n children ’ s dy mass index and physical activity ver 5 years : the CLAN study (March) 1177–1187. doi:10.1038/ ijo.2010.57 Herrmann P hla eln H Gian a na F K nsta el K Lissner L Mårild S … Ahrens, W. (2015). Association between bone stiffness and nutritional biomarkers combined with weight-bearing exercise, physical activity, and sedentary time in preadolescent children. A case–control study. Bone, 78, 142–149. doi:10.1016/j.bone.2015.04.043 Kaushal, N., & Rhodes, R. E. (2014). The home physical environment and its relationship with physical activity and sedentary behavior: A systematic review. Preventive Medicine, 67, 221–237. doi:10.1016/j.ypmed.2014.07.026 Kementerian-Kesehatan. (2008). Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penelitian, B., Pengembangan, D. A. N., & Pengantar, K. (2013). RISET KESEHATAN DASAR. Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) , MARS, DTM&H, D. No Title. Retrieved from http://www.litbang.depkes.go.id/content/bagaimana-hidup-sehat-untuk-mencegahfaktor-risiko-penyakit . Saunders, T. J., Chaput, J. P., & Tremblay, M. S. (2014). Sedentary behaviour as an emerging risk factor for cardiometabolic diseases in children and youth. Canadian Journal of Diabetes, 38(1), 53–61. doi:10.1016/j.jcjd.2013.08.266 Schoeppe, S., Duncan, M. J., Badland, H. M., Oliver, M., & Browne, M. (2015). Associations between children׳s active travel and levels of physical activity and sedentary behavior. Journal of Transport & Health, 2(3), 336–342. doi:10.1016/j.jth.2015.05.001 Tandon, P., Grow, H. M., Couch, S., Glanz, K., Sallis, J. F., Frank, L. D., & Saelens, B. E. ( 1 ) Physical and s cial h me envir nment in relati n t children’s verall and home-based physical activity and sedentary time. Preventive Medicine, 66, 39–44. doi:10.1016/j.ypmed.2014.05.019 Van Rossem, L., Vogel, I., Moll, H. a., Jaddoe, V. W., Hofman, A., Mackenbach, J. P., & Raat, H. (2012). An observational study on socio-economic and ethnic differences in indicators of sedentary behavior and physical activity in preschool children. Preventive Medicine, 54(1), 55–60. doi:10.1016/j.ypmed.2011.10.016 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 191 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF EFFICACY DALAM ACTIVITY DAILY LIVING (ADL) PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF) EKSTREMITAS BAWAH DI KOTA SEMARANG Chandra Bagus Ropyanto, Muhamad Rofi’i Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, E-mail : [email protected] Abstrak Latar Be;akang. Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus sentral program rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan Activity Daily Living (ADL) secara mandiri merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional. Self efficacy merupakan aspek yang berperan terhadap perubahan perilaku. Self efficacy merupakan keyakinan diri pada seseorang yang mampu membantu menginisiasi determinasi perilaku. Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy pasien pasca ORIF ekstremitas bawah. Metoda. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan 35 responden dan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Variabel independen adalah usia, lama hari pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan persepsi; sementara variabel dependen adalah self efficacy. Uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta korelasi pearson dan spearman rho untuk data numerik. Hasil. Hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi (r = 0,515 dan nilai p=0,002) dan usia (-0,464 dan nilai p=0,005) merupakan faktor yang berhubungan. Model multivariat memiliki nilai p=0,001 dan persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4 % self efficacy dengan nyeri sebagai faktor yang paling besar untuk memprediksi self efficacy setelah dikontrol usia, pengetahuan, dan persepsi. Kesimpulan. Penelitian ini merekomendasikan melakukan manajemen nyeri non farmakologis untuk meningkatkan self efficacy terintegrasi dengan peningkatan pengetahuan dan memperhatikan aspek psikologis. Kata kunci: Self efficacy, pasca ORIF, dan activity daily living. Pendahuluan Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang dikategorikan berdasarkan jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2006). ORIF merupakan salah satu prosedur pembedahan untuk mereduksi patah tulang yang paling banyak keunggulannya (Price & Wilson, 2003). ORIF sebagai bagian dari bedah ortopedi menimbulkan yang berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri (Bare & Smeltzer, 2006). Permasalahan pasca ORIF baik yang bersifat fisik maupun psikologis akan menimbulkan dampak pada kualitas hidup pasien. Kualitas hidup pasien ditentukan salah satunya pada kemampuan fungsional. Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama dari penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011). Perawat selama ini kurang memperhatikan perubahan kemampuan fungsional pada pasien pasca ORIF. Status fungsional pada pasca ORIF merupakan fase dimana kemampuan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 192 fungsional berada pada tahap paling rendah dibandingkan prehabilitasi dan paska rehabilitasi dimana status fungsional berada di bawah level minimal (Ditmyer et al (2002); dikutip dari Topp et al, 2002). Fase restoratif (fase rehabilitasi) mendukung pasien dengan gangguan sebagai dampak suatu penyakit untuk meningkatkan kemampuan melakukan perawatan diri sampai mampu berfungsi dalam level maksimal yang memungkinkan (DeLaune & Ladner, 2002). Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus sentral program rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan Activity Daily Living (ADL) secara mandiri merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional. Peran perawat perlu ditingkatkan untuk memandirikan secara komprehensif. Aspek psikologis perlu mendapatkan perhatian lebih besar karena sering terlupakan dalam meningkatkan kemandirian pasien sebagai perubahan perilaku. Self efficacy merupakan aspek yang berperan terhadap perubahan perilaku. Self efficacy merupakan keyakinan diri pada seseorang yang mampu membantu menginisiasi determinasi perilaku (Pajares, 2002; dalam Werrel, 2011). Self efficacy merupakan persepsi individu untuk menunjukan kemampuan terhadap kepastian dirinya untuk mencapai tujuan (Bandura, 1997; dalam Cardoza, 2011). Penelitian-penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy dalam melakukan ADL pada area klinik masih sedikit daripada area komunitas. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy maka perawat pada area klinik mampu meningkatkan kemampuan fungsional pasien sebagai bagian optimalisasi discharge planning. Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan teori baru berbasis penelitian. Penelitian bertujuan sebagai upaya untuk meningkatkan self efficacy dalam melakukan ADL dengan memprediksi faktor-faktor yang berhubungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy pada ADL pasien pasca ORIF perlu dilakukan analisa lebih lanjut. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap self efficacy ADL pasien pasca ORIF diadaptasi dari Teori Sosial Kognitif Bandura yang terdiri dari tiga aspek personal, yaitu : kognitif, persepsi, dan kejadian biologis (Bandura 1977, diadaptasi dari Cardoza 2011). Faktor personal kognitif berupa pengetahuan pasien mengenai ADL pasca operasi. Faktor persepsi merupakan persepsi dan motivasi pasien mengenai keyakinan dalam melakukan ADL. Faktor kejadian biologis terdiri dari usia, jenis fraktur, lama hari rawat pasca ORIF, nyeri, dan kelelahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy melakukan ADL pasien pasca ORIF ekstremitas bawah di Semarang. Metode Penelitian cross-sectional mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, tentunya tidak semua subyek harus diukur pada hari ataupun saat yang sama jadi desain cross-sectional tidak ada tindak lanjut atau follow-up (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Variabel independen adalah variabel independen dalam penelitian ini adalah usia, lama hari rawat pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan persepsi, sementara variabel dependen adalah self efficacy. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien paska ORIF pada fraktur ekstremitas bawah yang menjalani rawat inap di lima rumah sakit di Kota Semarang pada saat dilakukan penelitian. Metode penarikan sampel dengan menggunakan consecutive sampling, dimanan semua subjek yang datang harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi sampel adalah : pasien paska ORIF pada ekstremitas bawah (femur, tibia, dan fibula, patella, hindfoot, Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 193 midfoot, dan fore foot), berusia 15 – 65 tahun, kemampuan kognitif baik, bersedia menjadi responden penelitian. Kriteria eksklusi sampel adalah : pasien mengalami fraktur pada kedua sisi ekstremitas bawah, pasien yang mengalami fraktur pada area selain ekstremitas bawah, mengalami komplikasi akut seperti infeksi, perdarahan, sindrom kompartemen, emboli lemak, dan DVT, mempunyai riwayat penyakit stroke, jantung, dan paru-paru. Berdasarkan hasil perhitungan dengan remus koefisien korelasi jumlah sampel yang terkumpul adalah 35 responden. Instrumen Pengetahuan diukur dengan menggunakan pertanyaan dengan nilai alpha cronbach’s = 0,450, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,11 – 0,733. nilai alpha cronbach’s = 0,824, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 – 0,854. Persepsi diukur dengan dengan mengadaptasi instrumen perceived general self efficacy dengan nilai alpha cronbach’s = 0,851, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,477 – 0,906. Nyeri pada area fraktur diukur dengan menggunakan Numeric Rating Scale dengan rentang 0 sebagai rentang terendah sampai 10 sebagai yang tertinggi. Numeric Rating Scale reliabel dan valid untuk mengkaji nyeri dengan rentang pada kondisi medis dan area klinis (Loretz, 2005). Kelelahan diukur dengan menggunakan Fatigue Severity Scale (NWRC, 2011) yang telah dimodifikasi. Pertanyaan awal terdiri dari 9 pernyataan yang mengukur kelelahan responden selama berada di RS. Instrumen memiliki nilai koefisien alpha 0,91 dan internal konsistensi 0,81 – 0,89 (Folden & Tappen, 2007). Hasil uji validitaas dan reliabilitas menunjukan nilai alpha cronbach’s = 0,824, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 – 0,854. Motivasi diukur dengan menggunakan modifikasi Health Motivation Scale in Physical yang dikutip dari Xiaoyan (2009). Hasil uji validitaas dan reliabilitas menunjukan nilai alpha cronbach’s = 0,755, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,279 – 0,820. Self efficacy diukur dengan menggunakan modifikasi dari Fall-Efficacy Scale (Tinetti et al, 1990). Instrumen memiliki nilai reliabilitas alpha 0,94 (Folden & Tappen, 2007). Uji reliabilitas instrumen self efficacy didapatkan nilai alpha cronbach’s = 0,747, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,299 – 0,918. Hasil Hasil analisa karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1. Hasil analisis menunjukan bahwa hampir seluruhnya responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 27 responden (77,1 %). Tingkat pendidikan responden hampir seluruhnya SMA sebanyak 25 responden (71,4 %). Pekerjaan responden paling banyak adalah pegawai swasta sebanyak 8 responden (22,9 %). Lebih dari setengahnya status perkawinan responden adalah belum menikah sebanyak 18 responden (51,4 %). Jenis fraktur paling banyak adalah fraktur femur dimana lebih dari setengahnya sebanyak 21 responden (60,0 %). Tindakan operasi responden lebih dari setengahnya adalah ORIF sebanyak 23 responden (65,7 %). Jenis anastesi responden seluruhnya Regional Anastesi (RA)/Spinal Anastesi Block (SAB) sebanyak 35 responden (100,0 %). Tabel 1. Distribusi karakteristik responden di RS Kota Semarang 2014 (n=35) Karakteristik Responden Frekuensi % Jenis Kelamin Laki-laki 27 77,1 Perempuan 8 22,9 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 194 Karakteristik Responden Total Pendidikan SD SMP SMA Pendidikan Tinggi Total Pekerjaan Wiraswasta Pegawai Swasta TNI Pelajar Tidak Bekerja Total Status Perkawinan Belum Menikah Menikah Total Jenis Fraktur Femur Tibia dan Fibula Hindfoot Total Tindakan Operasi ORIF ORIF dan Debridemen Total Jenis Anastesi Regional Anastesi/Spinal Anastesi Block General Anastesi Total Frekuensi 35 % 100 6 2 25 2 35 17,2 5,7 71,4 5,7 100 8 12 5 7 3 35 22,9 34,3 14,2 20,0 8,6 100 18 17 35 51,4 48,6 100 21 8 6 35 60,0 22,9 17,1 100 23 12 35 65,7 34,3 100 35 100,0 0 35 0,0 100 Tabel 2 Distribusi Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi, Motivasi, dan Self Efficacy Responden di Kota Semarang (n=35) Minimal Variabel Mean SD 95 % CI Maksimal Usia 36,06 17,12 15 – 63 30,17 – 41,94 Lama Hari Pasca ORIF 2,34 1,39 1-6 1,86 – 2,82 Nyeri 4,57 2,05 0-8 3,87 – 5,27 Kelelahan 24,46 8,60 7 – 42 21,50 – 27,41 Pengetahuan 11,69 2,40 6 – 16 10,86 – 12,51 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 195 Variabel Persepsi Motivasi Self-Efficacy Mean SD 19,86 35,91 21,83 5,84 5,01 5,23 Minimal Maksimal 6 - 27 25 - 44 10 - 30 95 % CI 17,85 – 21,86 34,19 – 37,63 20,03 – 23,63 Tabel 3 Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi, dan Motivasi kaitannya dengan Self Efficacy Melakukan ADL di RS Kota semarang (n=35) No. Variabel Independen r R2 p-value 1. Usia -0,464 0,215 0,005 2. Lama Hari Pasca ORIF 0,012 0,001 0,945 3. Nyeri -0,120 0,014 0,494 4. Kelelahan -0,135 0,018 0,440 5. Pengetahuan 0,107 0,011 0,540 6. Motivasi 0,515 0,265 0,002 7. Persepsi -0,225 0,051 0,193 Tabel 4 Jenis Fraktur berdasarkan Self Efficacy Pasien Pasca ORIF Ekstremitas Bawah di Kota Semarang (n=35) Minimal maksimal Variabel Independen Mean SD P-value Jenis Fraktur : 1. Fraktur Femur 2. Fraktur Tibia dan Fibula 3. Fraktur hindfoot, midfoot, dan forefoot 21,10 23,13 22,67 5,08 6,22 4,8 12 – 30 10 – 30 16 - 26 0,603 Tabel 5 Persepsi, Kelelahan, dan Motivasi Kaitannya dengan Self Efficacy Responden di Kota Semarang (n=35) Kefisien B P-value Koefisien B Variabel R2 P-value Variabel variabel (Constant) Persepsi -0,272 0,025 Kelelahan -0,257 0,085 Motivasi 0,748 0,000 0,494 6,64 0,001 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 196 Hasil analisa multivariat menunjukan nilai koefisien determinasi (R square) adalah 0,494 berarti variabel persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4 % self efficacy sisanya faktor lain, dengan nilai p 0,001. Persamaan regresi yang diperoleh adalah : Self Efficacy = 6,64 + 0,748 (M) – 0,272 (Per) – 0,257 (K) Interprestasi persamaan regresi, setiap kenaikan motivasi 1 point, akan meningkatkan self efficacy sebesar 0,748 setelah dikontrol variabel persepsi dan kelelahan. Setiap kenaikan persepsi 1 point, akan mengakibatkan penurunan self efficacy sebesar 0,272 setelah dikontrol variabel motivasi dan kelelahan. Setiap kenaikan kelelahan 1 point akan mengakibatkan penurunan self efficacy sebesar 0,257 setelah dikontrol variabel motivasi dan persepsi. Hasil analisa menunjukan bahwa variabel motivasi merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap self efficacy. Pembahasan Aspek fisik yang terdiri dari lama hari pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, dan kelelahan menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap self efficacy pasien paca ORIF ekstremitas bawah Aspek fisik lain yaitu usia menunjukan hubungan yang dengan tingkat signifikansi sedang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlunya dibahas mengenai variebel-variabel dalam aspek fisik secara spesifik. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa terdapat hubungan dengan tingkat signifikan sedang yang bersifat negatif dan rata-rata usia responden berada pada dewasa muda. Kesesuaian perbandingan hasil penelitian dengan melihat pada aspek fisiologis dan psikologis berdasarkan dengan tumbuh kembang kaitannya dengan kondisi pasca ORIF yang membuat variabel usia lebih berhubungan dibanding variabel dalam aspek fisik lainnya. Usia dewasa muda merupakan usia ideal dimana mencapai puncak efisiensi muskuloskeletal dan akan mengalami penurunan massa otot, kekuatan, dan ketangkasan pada dewasa menengah (DeLaune & Ladner, 2002). Perkembangan muskuloskeletal yang maksimal akan membantu kemampuan beraktivitas tidak hanya pada area yang fraktur, sehingga self efficacy pada pasca ORIF akan lebih cepat untuk optimal. Usia juga berkaitan dengan tumbuh kembang yang mempengaruhi kematangan mekanisme koping seseorang. Mekanisme koping yang positif akan meningkatkan self efficacy seseorang. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama hari pasca ORIF dengan self efficacy yang berkaitan dengan kondisi perkembangan pada fase inflamasi didukung dengan latihan untuk rehabilitasi yang didapatkan saat tahap paska operasi. Lama hari pasca ORIF saat diukur self efficacy adalah 2,34 menunjukan bahwa semua responden masih berada pada fase inflamasi. Lama hari rawat pasca ORIF berkaitan dengan tahap perkembangan status fungsional, fase penyembuhan fraktur dan program rehabilitasi yang dilakukan sebagai variabel confounding yang berperan mempengaruhi self efficacy. Rata-rata lama hari rawat 2,34 hari hampir mencapai setengah dari kemampuan fungsional pada fase rehabilitasi. Peningkatannya dengan melihat perbandingan hari sebelumnya pada responden yang sama terdapat peningkatan tetapi tidak terlalu jauh pada hari selanjutnya dan didukung dengan melihat kemampuan pada responden dengan lama hari rawat yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 197 Nyeri paska pembedahan ekstremitas bawah memiliki intensitas nyeri hebat dengan kejadian sampai 70 % dengan durasi 3 hari (Smeltzer & Bare, 2005). Nyeri paska bedah ortopedi saat berada diruang perawatan adalah 4,7 dengan menggunakan skala 0 sampai 10. Nyeri berkontribusi terhadap aktivitas pasca operasi (Morris et al, 2010). Nyeri ringan dapat berlangsung sampai beberapa bulan pada kasus bedah ortopedi (Hoffenfeld & Murthy, 2011). Nyeri berhubungan secara negatif terhadap self efficacy karena berkaitan dengan ambang nyeri (Miro, Matinez, Sanchez, Prados, Medina, 2011). Nyeri merupakan pengalaman universal individu, yang didefinisikan sebagai pengalaman individu dan melaporkan adanya sensasi rasa nyaman dan tidak nyaman yang bersifat subjektif tergantung persepsi individu (DeLaune & Ladner, 2002). Nyeri paska ORIF mempertimbangkan jenis fraktur, tindakan operasi, dan respon terhadap nyeri yang mempengaruhi rentang gerak sendi, kekuatan otot, serta kemampuan mobilisasi dan ambulasi. Kemampuan mengontrol nyeri mendukung penggunaan analgetik untuk meningkatkan kemampuan aktivitas. Tingkat nyeri tidak hanya ditentukan berdasarkan aspek fisiologis tetapi aspek psikologis berperan penting karena nyeri bersifat subjektif. Gate control pain theory menjelaskan bahwa persepsi individu menentukan kemampuan mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional individu (DeLaune & Ladner, 2002). Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu meningkatkan self efficacy (Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram, Kashdan, Kasle, Zautra, 2010). Trauma yang mengakibatkan fraktur dan tindakan pembedahan merupakan stimulus fisiologis terjadinya kelelahan karena penurunan perfusi jaringan akibat perdarahan. Operasi merupakan trigger yang menyebabkan beberapa gejala kelelahan (Goedendorp, 2009). Kelelahan tidak mengganggu secara signifikan atau menghambat self efficacy dalam fungsi fisik normal dan aktivitas sehari-hari dengan melihat karakteristik dari kelelahan pasca ORIF. Kelelahan pada sistem muskuloskeletal mengakibatkan gejala berupa nyeri otot, nyeri beberapa sendi, sakit kepala, dan kelemahan yang merupakan tanda klinis yang sering terlihat pada kondisi paska ORIF. Kelelahan secara langsung berhubungan dengan penurunan kapasitas fisik dalam pemenuhan ADL (Tiesinga et al, 2001). Kelelahan pada pasca ORIF fraktur ekstremitas bawah merupakan kelelahan sebagai suatu sensasi. Kelelahan sebagai suatu sensasi merupakan bagian dari rentang kehidupan normal. (Connell & Stoke, 2007). Kelelahan bersifat alamiah dimana berlangsung secara singkat dan dapat dieliminasi dengan istirahat yang cukup. Self-efficacy ditentukan beberapa komponen dari penyebab personal terdiri dari fungsi dari kemauan, perasaan (suatu rasa terhadap kapasitas dan efektivitas), nilai, dan ketertarikan (Peterson et al, 2009). Penelitian yang dilakukan Peterson et al (2009) menjelaskan bahwa self efficacy didasari oleh penerimaan personal penyakit, penerimaan terhadap perubahan kapasitas, fokus dalam kontrol, kemampuan belajar dan melakukan, kewaspadaan, dan tanggung jawab personal. Peningkatan komponen dasar self efficacy ditunjukan pada pasca ORIF seiring dengan perbaikan kondisi umum sehingga meningkatkan efikasi untuk mandiri. Pengetahuan seseorang tidak mendukung peningkatan self efficacy, karena ada aspek psikologis lain seperti motivasi yang sangat mempengaruhi kepercayaan diri dalam Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 198 kehidupan nyata (Mancuso, Sayles, Allegrante, 2010). Pasien pasca ORIF ekstremitas bawah kemampuan seseorang untuk menerima aspek negatif sehingga meningkatkan motivasi dan berakibat tingkat pengetahuan responden kurang berpengaruh terhadap self efficacy. Pengetahuan merupakan bagian dari aspek kognitif yang membentuk tujuan personal seseorang yang mempengaruhi kemampuan aprasial seseorang. Pengetahuan yang tinggi akan mendorong seseorang untuk memvisulisasikan tujuan dengan melihat aspekaspek negatif. Hal tersebut merupakan fungsi utama untuk memprediksi kemampuan seseorang untuk mengontrol aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan komponen utama dari self efficacy (Zulkosky, 2009). Motivasi menentukan kemampuan individu untuk berperilaku secara sehat dengan memperhatikan aspek lain. Kesiapan individu mempengaruhi kemampuan untuk berperilaku walaupun motivasi menunjukan kategori baik. Kesiapan berperilaku berkaitan dengan keamanan melakukan aktivitas yang dipengaruhi oleh persepsi individu yang salah satunya ditentukan tingkat pengetahuan. Tingkat pengetahuan individu berkaitan dengan keadaan penyakitnya dan tingkat pendidikan. Responden rata-rata kurang mengetahui sebenarnya dengan kondisi frakturnya dapat meningkatkan kemandirian melalui beberapa aktivitas sesuai batas-batas yang diperbolehkan. Motivasi self-care status fungsional pada pola kesehatan dilihat dari perhatian melakukan aktivitas fisik. Kesediaan mencari dan menerima arahan berkaitan dengan kesediaan pasien dalam melakukan aktivitas fisik. Status fungsional merupakan gambaran dari kemampuan aktivitas kesehatan yang positif dilihat dari kemampuan klien untuk mandiri dalam hal melakukan aktivitas fisik. Pemahaman akan kondisi penyakit dan kurangnya peran individu berperan terhadap perbedaan motivasi dengan tindakan yang dilakukan untuk mencapai kemandirian (Siegert & Taylor, 2004). Dampak yang timbul adalah ketidaktertarikan dan ketakutan untuk gagal sebagai penghambat. Kesiapan untuk meningkatkan kemandirian berkaitan dengan perilaku tidak maksimal pada tahap action dan maintenance. Persepsi merupakan bagian dari aspek afektif yang merupakan kepercayaan dalam kemampuan untuk bersikap menghadapi berbagai situasi yang mengancam. Kemampuan seseorang dalam melakukan mekanisme koping akan membuat perubahan level kepercayaan diri seserang dalam mengelola hal yang mengganggu dan merupakan komponen kunci dari self efficacy (Zulkosky, 2009). Kemampuan koping seseorang lebih mampu mengontrol pasien pasca ORIF ekstremitas bawah dalam melakukan aktivitas dibandingkan aspek persepsi. Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu meningkatkan self efficacy (Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram, Kashdan, Kasle, Zautra, 2010). Kesimpulan Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan intervensi keperawatan berupa pendidikan kesehatan, latihan aktivitas seperti makan, perawatan diri, mandi, menggunaan toilet dengan mengintegrasikan manajemen nyeri pada fase rehabilitasi paska ORIF fraktur ekstremitas bawah yang lebih lanjut sebagai pengembangan SOP. Perlunya peningkatan kemampuan perawat dalam latihan aktivitas terintegrasi manajemen nyeri pada fase rehabilitasi paska ORIF fraktur ekstremitas bawah melalui pelatihan atau Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 199 seminar. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel lebih besar dengan karakteristik fraktur lebih spesifik dengan rentang waktu yang lebih lama. Penelitian lebih lanjut bersifat eksperimental mengenai pengaruh latihan aktivitas terintegrasi dengan manajemen nyeri terhadap self-efficacy pada pasca ORIF fraktur ekstremitas bawah. Daftar Pustaka Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009). Medical Surgical Nursing : Clinical management for positive outcome, 8thed. St Louis Missouri : Elsevier Saunders. Cardoza, M.P. (2011). A Study of self-efficacy and functional ability in pre-operative and post-operative patients with primary elective total hip replacements. Proquest LLC. Dahlen, L., Zimmerman, L., & Barron, C. (2006). Pain perception and its relation to functional status post total knee arthroplasty : a pilot study. Orthopaedic Nursing, July-August 2006, 25 (4). Academic Research Library. Depkes R.I. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 20 Oktober 2010. http://www.depkes co.id. Folden, S., & Tappen, R. (2007). Factors influencing function and recovery following hip repair surgery. Orthopaedic Nursing, July-August 2007, 26 (4). Academic Research Library. Halstead J.A. (2004). Orthopaedic Nursing : Caring for patients with musculoskeletal disorders. Brockton : Westren Schools. Loretz, L. (2005). Primary Care Tools for Clinicians : A Compendium of forms, quistionnares, and rating scales for everyday Practice. Philadelphia : MosbyElseviers. Mancuso, C.A., Sayles W., & Allegrante J.P., (2010). Knowledge, attitude, and self sfficacy in asthma self sanagement and quality of life. Journal of Asthma : 2010, 47:883-888. Taylor & Francis Ltd. McKnight, P.E., Afram A., Kashdan, T.B., Kasle S., & Zautra A., (2010). Coping Self Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning : Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science & Business Media B.V. Miro, E., Matinez, M.P., Sanchez, A.I., Prados, G., & Medina A., (2011). Coping Self Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning : Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science & Business Media B.V. Polit, D.F., & Beck, C.T. (2005). Nursing Research : Priciples and methods, 7th edition. Philadelphia : Lippinscott Williams & Wilkins. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of Nursing: Study guide and skills performance checklists, 6th ed, Australia, Elseiver-Mosby. Ridge, R.A., & Goodson, A.S. (2000). The Relationships between multidisciplinary discharge outcomes and functional status after total hip replacement. Ortopaedic Nursing : Jan/Feb 2000, 19 (1). Academic Research Library. Ropyanto, C.B., Sitorus, R., & Eryando, T. (2011). Analisis faktor-faktor yang berhubungan terhadap status fungsional pasien pasca ORIF fraktur ekstremita bawah. Saltzman, S. (2010), Functional Status Assesment. Diunduh 3 Maret 2011 www.galter.northwestern.edu/functional_status_assesment.cfm. Smeltzer, S., & Bare, B. (2009). Brunner and Suddarth’s : Text book medical surgical nursing. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 200 Wrong Diagnosis (2011). Prevelence and Incidence Statistic for Fractures. Diunduh 25 Mei 2011 www.wrong diagnosiswho.com. William, L.S, & Hopper, P.D. (2009). Understanding Medical Surgical Nursing, 3rd ed. Philadelphia : F.A. Davis Company. Wilkinson, A. (2010), Functional Status. Diunduh 3 Maret 2011 www.uic.edu/nursing/ ccrv/pdf. Wood, G.L., & Haber, H. (2010). Nursing Research : Methods and critical apprasial for evidence based practice 7thedition. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders. Zulkosky, K. (2009). Self Efficacy : Concept Analysis. Journal Compilation Nursing Forum. Volume 44, No. 2, April-June 2009.. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 201 PEMBERDAYAAN KADER POSYANDU LANSIA DI SEMARANG Elis Hartati1, Diyan Yuli Wijayanti2 1,2 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: [email protected], email: [email protected] Abstrak Latar Belakang. Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di RW 01 Kelurahan Tembalang dan RW 09 Keluarahan Kalisidi. Peningkatan kesehatan lansia dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya yang tersedia di masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah dengan memfasilitasi pelayanan kesehatan dalam suatu wadah seperti posyandu lansia. Tujuan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membentuk posyandu lansia, membentuk kepengurusan posyandu lansia, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader, melaksanakan program posyandu lansia dan meningkatkan kemandirian lansia. Metoda yang digunakan adalah koordinasi, rekruitment, pendidikan kesehatan, sosialisasi, implementasi dan rencana tindak lanjut program posyandu lansia. Hasil. Hasil kegiatan adalah terbentuknya posyandu lansia di RW 01 “Mahardika” dan RW 09 “Melati”, terbentuknya kepengurusan posyandu lansia berjumlah 24 orang, peningkatan pengetahuan kader tentang penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus, dan peningkatan keterampilan kader tentang pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah, asam urat dan kolesterol. Kesimpulan. Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai 100% dari target luaran secara keseluruhan Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan Tembalang bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama posyandu lansia “Mahardika” Kata kunci: pemberdayaan, kader, posyandu lansia Pendahuluan Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi. Peningkatan kualitas hidup bagi lansia dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya yang tersedia di masyarakat. Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewajiban membina lansia sesuai dengan peraturan Undang- Undang RI No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lansia, upaya penyuluhan, penyembuhan dan meningkatkan pengembangan lembaga. Kelurahan Tembalang yang berada dekat lingkungan Universitas Diponegoro menjadi pilot project daerah binaan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro sampai saat ini. Tidak adanya wadah dalam memberdayakan masyarakat lansia khususnya di RW 01 Kelurahan Tembalang di bidang kesehatan lansia, akan berdampak negatif terhadap derajat kesehatan lansia. Pemberdayaan masyarakat sangat menunjang terhadap keberhasilan program yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 202 Puskesmas menjadi sarana untuk memeriksakan kesehatan lansia secara rutin, akan tetapi dalam meningkatkan promotif dan preventif serta rehabilitatif kesehatan lansia perlu adanya fasilitas khusus bagi lansia, seperti posyandu lansia. Kelurahan Kalisidi Dusun Gebug Kecamatan Ungaran Barat memiliki permasalahan yang serupa dengan kelurahan Tembalang. Kelurahan Kalisidi walaupun tidak dijadikan daerah binaan Universitas Diponegoro, akan tetapi pemerataan pembangunan sumber daya masyarakat seyogyanya difalisitasi oleh pemerintah dengan memberdayakan masyarakat. Letak geografis dari Dusun Gebug Kelurahan kalisidi, berada di daerah pegunungan dan cukup jauh dari Pusat pelayanan kesehatan. Selain itu, tidak adanya angkutan umum sebagai fasilitas bagi masyarakat menjadi penghambat lansia datang secara rutin ke puskesmas untuk memeriksakan kesehatannya. Pembinaan yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro sebagai pengabdian kepada masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi akan lebih efektif dan optimal jika dibentuk Posyandu Lansia. Metoda Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini adalah koordinasi dengan jajaran pemerintahan untuk penentuan tempat posyandu lansia, penyusunan kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan, rekruitment calon kader, penyusunan struktur pengelolaan, pengurusan ijin pembentukan posyandu, perencanaan anggaran pembentukan posyandu dan anggaran operasional, sosialisasi posyandu lansia di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi. Ruang lingkup kegiatan adalah kader berjumlah 24 orang, yang terdiri dari 12 kader dari kelurahan Tembalang dan 12 kader dari Kelurahan Kalisidi. Bahan dan alat yang digunakan adalah panduan buku pantau lansia, panduan posyandu lansia, buku penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Alat yang digunakan untuk kegiatan posyandu lansia adalah alat untuk pemeriksaan tekanan darah : spigmomanometer dan stetoskop, alat untuk pemeriksaan :asam urat ; kadar gula darah; kolesterol, stik : asam urat ; kadar gula darah ; kolesterol, alkohol, kapas. Selain itu meja berjumlah 10 buah, kursi 10 buah, 5 Buku Form pengisian dari masing-masing fungsi meja posyandu lansia, timbangan berat badan, dan alat pengukur tinggi badan. Tempat kegiatan pengabdian dilaksanakan di rumah kader ibu Roisatun untuk kelurahan Kalisidi dan rumah kader ibu Yuliarti untuk kelurahan Tembalang. Teknik pengumpulan data adalah dengan pre-post test bagi kader yang mengikuti pelatihan. Hasil Hasil yang dicapai untuk Mitra I (RW 01 Kelurahan Tembalang) : Terbentuknya pos yandu lansia Melati : Hasil rapat koordinasi dengan calon kader di 5 RT yang ada di RW 01 Kelurahan Tembalang Kecamatan Tembalang ditentukan rumah Ibu Yuliarti sebagai tempat kegiatan posyandu lansia yang beralamat di RT 02 RW 01 Kelurahan Tembalang. Kader dan tim pengabdian telah melakukan identifikasi keperluan untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat kesehatan : spigmomanometer, stetoskop, mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat, kolesterol, timbangan berat badan. Selain itu alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter, meja 5 buah, kursi 5 buah, buku pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30 buah, buku panduan penyakit hipertensi 30 buah, buku panduan penyakit reumatik 30 buah, buku panduan penyakit diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbangan/pengukuran tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, KMS (Kartu Menuju Sehat) bagi lansia, buku tamu dan alat tulis lain yang menunjang keperluan posyandu lansia. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 203 Tim pengabdian telah melakukan identifikasi sumber daya manusia sebagai calon kader, didapatkan sebanyak 12 calon kader bersedia untuk menjadi kader posyandu lansia di RW 01 Kelurahan Tembalang. Calon kader yang telah direkruit berasal dari 5 RT yang semuanya telah terwakili dari masing-masing RT tersebut. Kader telah diberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang sering terjadi pada lansia, seperti : penyakit hipertensi, reumatik, dan diabetes melitus. Hasil pendidikan kesehatan didapatkan peningkatan pengetahuan pada kader mengenai penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Tabel 1. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Hipertensi di RW 01 Kelurahan Tembalang Items Pre Test Post Test Pengertian 15,38 69,23 Faktor resiko 84,61 92,3 Tanda dan gejala 53,84 92,3 Dampak 7,69 20 Tindakan psikologis 53,84 76,92 Tabel 1 menunjukkan bahwa kader kurang memahami tentang dampak dari terjadinya hipertensi sebanyak 20% Tabel 2. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Reumatik di RW 01 Kelurahan Tembalang Items Pre Test Post Test Pengertian 69,23 84,61 Tanda dan gejala 61,53 69,23 Pengaturan diet 38,48 76,92 Jenis makanan 69,23 79 Jenis herbal 23,07 84,61 Tabel 2 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan jenis herbal yang digunakan pada klien dengan penyakit reumatik sebanyak 84,61% Tabel 3. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Diabetes Melitus di RW 01 Kelurahan Tembalang Items Pre Test Post Test Pengertian 23,07 92,3 Tanda dan gejala 15,38 84,61 Jenis diabetes 46,15 84,61 Dampak diabetes 46,15 76,92 Langkah preventif 61,53 92,3 Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah preventif terjadinya penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3%. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 204 Hasil yang dicapai untuk Mitra II (RW 09 Desa Kalisidi) : Terbentuknya posyandu lansia Mahardika. Berdasarkan hasil kesepakatan rapat koordinasi disepakati untuk tempat posyandu lansia di rumah Kader Ibu Roisatun RT 02 RW 09 Desa Kalisidi Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Kader dan tim pengabdian telah melakukan identifikasi keperluan untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat kesehatan : spigmomanometer, stetoskop, mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat, kolesterol, timbangan berat badan. Alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter, meja 5 buah, kursi 5 buah, buku pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30 buah, buku penyakit hipertensi 30 buah, buku penyakit reumatik 30 buah, buku penyakit diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbangan/pengukuran tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, lembaran KMS (Kartu Menuju Sehat) bagi lansia, buku batik besar 5 buah dan alat tulis lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan posyandu. Terbentuknya kepengurusan posyandu lansia Mahardika : jumlah kader 12 orang yang terwakili dari seluruh RT (9 RT) yang ada di RW 09 Desa Kalisidi. Kader telah diberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang sering terjadi pada lansia. Pendidikan kesehatan yang dilakukan kepada 12 kader adalah penyakit hipertensi, penyakit reumatik, penyakit diabetes melitus. Terjadi peningkatan pengetahuan pada kader mengenai penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Tabel 1. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Hipertensi di RW 09 Kelurahan Kalisidi Items Pre Test Post Test Pengertian 23,07 84,61 Faktor resiko 69,23 84,61 Tanda dan gejala 23,07 84,61 Dampak 15,38 46,15 Tindakan psikologis 38,46 61,53 Tabel 1 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian, faktor resiko serta danda dan gejala penyakit hipertensi sebanyak 84,61%. Tabel 2. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Reumatik di RW 09 Kelurahan Kalisidi Items Pre Test Post Test Pengertian Tanda dan gejala Pengaturan diet Jenis makanan Jenis herbal 69,23 46,15 30,76 30,76 15,38 84,61 76,92 76,92 69,23 76,92 Tabel 2 menunjukkan bahwa mampu memahami tentang pengertian penyakit reumatik sebanyak 84,61%. Tabel 3. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Diabetes Melitus di RW 09 Kelurahan Kalisidi Items Pre Test Post Test Pengertian 23,07 92,3 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 205 Tanda dan gejala Jenis diabetes Dampak diabetes Langkah preventif 30,76 30,76 30,76 53,84 84,61 76,92 76,92 92,3 Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah preventif penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3%. Pembahasan Terbentuknya posyandu lansia Posyandu lansia dibentuk di dua tempat yaitu posyandu lansia Mahardika dan Melati. Keberhasilan pengabdian terjadi karena adanya dukungan dari kelurahan setempat dan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah proses kegiatan sosial dalam meningkatkan partisipasi orang, organisasi dan masyarakat terhadap tujuan individu dan masyarakat, pengaruh politik, peningkatan kualitas hidup masyarakat dan keadilan sosial (Wallerstein,1992 dalam Helvie,1998). Hubungan saling percaya dapat terbina dengan kelurahan dan jajarannya merupakan langkah awal dalam mencapai tujuan posyandu lansia ini. Koordinasi dengan ketua FKK (Forum Kesehatan Keluarga) tidak mengalami hambatan. Koordinasi dan komunikasi dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan gambaran posyandu lansia, tujuan, ruang lingkup, sasaran, sarana dan prasarana serta perlunya keterlibatan kader sebagai penggerak memandirikan lansia. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lanjut Usia adalah suatu wadah pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat, yang proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Eng dan Parker (1994) dalam Helvie (1998) menyebutkan 2 dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh masyarakat atau calon kader adalah kemampuan komunikasi dan artikulasi dalam memberikan support sosial kepada masyarakat. Interaksi merupakan suatu proses persepsi dan komunikasi antara individu dengan lingkungan dan antara individu yang satu dengan individu yang lain, diwujudkan dengan perilaku verbal dan diarahkan untuk mencapai tujuan. Setiap individu yang berinteraksi dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dalam pengetahuan, tujuan, pengalaman terdahulu dan persepsi (King dalam Tomey, A.M. & Alligod, M.R. (2006). Pengetahuan tentang posyandu dan masalah kesehatan lansia Pengetahuan kader di RW 01 Kelurahan Tembalang tentang penyakit hipertensi mengalami peningkatan : pengertian 53,85%, faktor resiko 7,09%, tanda dan gejala 38,46%, dampak 12,31%, serta tindakan psikologis yang dilakukan pada hipertensi mencapai 23,08%. Pengetahuan tentang penyakit reumatik mengalami peningkatan : pengertian 15,38%, tanda dan gejala 7,7%, pengaturan makanan 38,44%, Jenis makanan yang dianjurkan 9,77%, serta jenis herbal dalam mengatasi reumatik 61,54%. pengetahuan kader tentang penyakit diabetes melitus mengalami peningkatan : pengertian 69,23%, tanda dan gejala 69,23%, jenis diabetes meiltus 38,46%, komplikasi 30,77%, serta cara pencegahan diabetes 30,77%. Pengetahuan kader di RW 09 Kelurahan Kalisidi tentang penyakit hipertensi mengalami peningkatan : pengertian 61,54%, faktor resiko 15,38%, tanda dan gejala 61,54%, dampak Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 206 30,77%, serta tindakan psikologis yang dilakukan pada hipertensi mencapai 23,07%. Pengetahuan kader tentang penyakit reumatik mengalami peningkatan : pengertian 15,38%, tanda dan gejala 30,77%, pengaturan makanan 46,16%, Jenis makanan yang dianjurkan 38,47%, serta jenis herbal dalam mengatasi reumatik 61,54%. Pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh Tim pengabdian kepada kader telah berhasil sehingga kader memperoleh pengetahuan yang baru tentang masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia. Pengetahuan menurut WHO adalah suatu pengalaman yang didapatkan oleh seseorang dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman orang lain (Mubarok,W.I., 2009). Tingkat pengetahuan yang telah dicapai oleh kader adalah tahap tahu, memahami, penerapan, analisis, sintesis sampai dengan evaluasi. Pendidikan kesehatan ini bertujuan agar kader mempunyai kompetensi dalam menghadapi masalah-masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia, seperti masalah hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dalam perubahan perilaku seseorang. Pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan kepercayaan diri merupakan faktor prediposisi yang mempengaruhi perilaku (Green, L.W, Kreuter, M.W, 2000). Keterampilan tentang penggunaan alat pemeriksaan kesehatan Tim pengabdian terlebih dahulu mengenalkan satu persatu alat yang akan digunakan dan fungsi dari masing-masing alat tersebut.Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pemeriksaan juga diterangkan sampai kader siap melakukan demonstrasi mandiri. Pelatihan terhadap kader mengenai cara melakukan pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah, asam urat dan kolesterol adalah sesuatu yang baru bagi kader. Hal ini tidak pernah dilakukan sebelumnya sehingga kader bersemangat dan antusias untuk mengikuti pelatihan/demonstrasi yang menunjang terhadap implementasi posyandu lansia ini. Perilaku kader mengalami readiness to change, dimana kesediaan untuk berubah dapat dilihat jika ada suatu inovasi atau program kesehatan di dalam masyarakat. Sebagain kader ada yang menerima inovasi dengan cepat dan sebagian kader lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Kader telah melalui tahapan perilaku terjadi secara berurutan, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan akan berubah menjadi sikap dan sikap akan menjadi sebuah tindakan. Tim pengabdian melakukan evaluasi terhadap praktek yang dilakukan kader, sehingga jika hasil dari praktek tersebut kurang tepat, maka latihan dilakukan berulang-ulang samapai kader mampu melakukan praktek sendiri dan mampu melakukan pemeriksaan dengan tepat secara langsung pada lansia saat kegiatan posyandu lansia. Alat pemeriksaan tekanan darah menggunakan stetoskop teaching, sehingga saat dilakukan demontrasi, tim pengabdian juga mengetahui secara akurat sejauhmana kemampuan latihan kader. Terbentuknya kepengurusan posyandu lansia Kepengurusan kader dilakukan dengan menggunakan gerakan pemberdayaan (empowerment) masyarakat. Gerakan pemberdayaan masyarakat adalah gerakan dari, oleh dan untuk mengenali dan mengatasi masalah kesehatan serta memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat secara mandiri. Pemberdayaan yang dilakukan dalam hal ini adalah pemberdayaan perempuan yang menjadi kader posyandu lansia. Kepengurusan posyandu lansia dibina oleh Lurah dengan penanggung jawab Ketua RW. Proses pembentukan tidak mengalami hambatan karena kader mempunyai kesediaan untuk berubah ke arah yang lebih baik, sehingga pesan yang disampaikan oleh tim pengabdian kepada kader diterima secara utuh. Komunikasi dapat dilakukan dua arah antara kader dengan tim. Komunikasi adalah penyampaian pesan dari seseorang kepada Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 207 orang lain melalui media agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh sasaran sesuai dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan (Sudiharto, 2007). Tersusunnya program posyandu lansia Program posyandu lansia yang telah tersusun merupakan hasil dari pemberdayaan sumber daya manusia khususnya kader. Kader memfasilitasi kegiatan lansia yang disusun dalam program posyandu lansia. Kader dalam hal ini merencanakan, memutuskan dan mengelola tim (12 kader setiap keluhan) melalui collective action dan networking sehingga lansia memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi dan sosial. Program posyandu lansia tersusun berdasarkan identifikasi data selama proses pengabdian. Identifikasi dilakukan oleh kader dan diarahkan sesuai dengan data fokus lansia dengan menggunakan teknik fishbonding. Fisbonding merupakan teknik identifikasi masalah yang cepat dan merupakan metode yang mudah digunakan (Ervin, N.E., 2002) Peningkatan kesehatan dan kemandirian lansia Kesehatan dan kemandirian lansia di Rw 01 dan RW 09 dmeningkat dengan adanya kunjungan lansia ke posyandu. Pendekatan yang dilakukan Tim pengabdian sebagai perawat komunitas adalah pendekatan pelayanan kesehatan, merupakan pendekatan yang dilakukan oleh perawat untuk menggerakkan masyarakat berperan aktif dalam pelayanan berdasarkan modifikasi perilaku tak sehat. Pendekatan kedua adalah pengembangan komunitas, yaitu melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk meningkatkan kesehatan (Rifkin, 1986 dalam Anderson & McFarlane, 2001). Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan medis dengan cara koordinasi dan kolaborasi dengan pihak puskesmas Rowosari. Rencana tindak lanjut dengan Pihak Puskesmas adalah keberlangsungan posyandu lansia setiap bulannya yang disepakati setiap tanggal 15 akan dilaksanakan kegiatan posyandu lansia. Monitoring kegiatan akan dilakukan oleh Puskesmas dan pemantauan dari pihak Kelurahan juga dilakukan sebagai reward atas keberhasilan kader dalam melaksanakan program posyandu lansia. Reward merupakan faktor reinforcing yang mempengaruhi perilaku (Green, L.W, Kreuter, M.W, 2000). Kesimpulan Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai 100% dari target luaran secara keseluruhan. Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan Tembalang bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama posyandu lansia “Mahardika”. Posyandu memiliki kepengurusan dengan pembina dari Lurah, penanggung jawab Ketua RW dan jumlah keseluruhan kader 24 orang . Pengurus telah memiliki rencana program kedepan bagi kegiatan lansia dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemandirian lansia. Daftar Pustaka Anderson & McFarlane. (2001).Community as Partner Theory and Practice in Nursing. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia Ervin, N.E. (2002). Advanced Community Health Nursing Practice.Population FocucedCare. Michigan.Frentice Hall Green, L.W, Kreuter, M.W. (2000). Health Promotion Planning an Educational and Environmental Approach., second edition. Toronto. Mayfield Publishing Company Helvie, Carl O. (1998). Advanced Practice Nursing in The Community. Sage Publications Thousand Oaks.London Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 208 Mubarok, W.I, dkk (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi. Jakarta.Salemba Medika. Sudiharto (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultural. Hal 45-47. Jakarta. EGC. Tomey, A.M. & Alligod, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Works. Sixt Ed. St.Louis; Mosby Elsevier Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 209 STUDI LITERATURE : EFEKTIVITAS PSIKOEDUKASI TERHADAP TINGKAT DEPRESI PASIEN DIABETES MELLITUS Wachidah Yuniartika Mahasiswa Magister Keperawatan Undip Peminatan Komunitas Email: [email protected] Abstrak Pendahuluan. Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan penanganan mandiri seumur hidup. Diet, aktivitas fisik dan stress fisik dapat mengakibatkan depresi sehingga berakibat juga kualitas hidup menurun, karena itu pasien kesulitan dalam mengatur kadar glukosa darah mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak psikososial yang dialami pasien adalah psikoedukasi. Tujuan. untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus. Metode. Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun 2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai berikut psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication Index dengan kata kunci pencarian nursing. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, menggunakan Intervensi psikoedukasi, outcome yang diukur : ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau diabetes mellitus. Hasil. Sesuai criteria dan metode didapatkan 7 jurnal yang bisa dilakukan dalam studi ini. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh PMR secara signifikan dalam menurunkan kadar glukosa darah pasien diabetes Mellitus (mashudi), intervensi psikoedukasi efektif secara bermakna mencegah terjadinya depresi pascasalin (Yafeti), psikoedukasi SWEEP lebih efektif dari daripada UC untuk mengobati wanita depresi dengan diabetes tipe 2 (Sue M, et al), pelatihan kognitif dikombinasikan dengan intervensi psikoedukasi pada lanjut usia dengan diabetes efektif dalam menghasilkan keuntungan kognitif serta sikap dan peningkatan pengetahuan tentang diabetes mellitus (De’bora, et al), pasien dengan terapi psikoedukasi kelompok lebih baik dibandingkan kelompok pendidikan diabetes konvensional dalam mencapai tujuan pengendalian diabetes, program ini efisien pada pasien diabetes dalam perawatan primer (Miguel et al), psikoedukasi efektif dalam penanganan jangka panjang dan pendek untuk pasien depresi ringan, tetapi untuk pasien depresi sedang efektif dalam jangka pendek (Rocio et al). Kesimpulan. Semua studi melaporkan efektivitas intervensi psikoedukasi dalam hal mengurangi depresi dan pengendalian diabetes. Kata Kunci : Psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus Pendahuluan Diabetes adalah penyakit kronis yang mempengaruhi sekitar 346 juta orang di seluruh dunia, 1 dengan tambahan 7 juta orang terkena diabetes setiap tahun. Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Hasil penelitian dari International Diabetes Federation (2005) menunjukkan prevalensinya 60% penderita diabetes mellitus mengalami depresi dan juga menunjukkan 15% penderita diabetes mellitus mengalami depresi sedang. Menurut penelitian penckofer,et al, prevalensi depresi di antara pasien dengan diabetes tipe 2 adalah 9,8%, 5,2% untuk laki-laki dan 15,1% untuk perempuan. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 210 Studi menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes yang tinggal di negara-negara berkembang memiliki prevalensi lebih tinggi mengalami gangguan kejiwaan. Masalah Ekonomi yang berat dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan, terutama depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat, sehingga pasien mengalami kesulitan dalam mengatur kadar glukosa darah mereka. 1 Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengalami dampak psikososial yang dialami pasien adalah psikoedukasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut.2 Tujuan Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus. Metoda Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun 2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai berikut psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication Index dengan kata kunci pencarian nursing, diabetes mellitus, psikoedukasi. a. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, Menggunakan Intervensi psikoedukasi, b. Kriteria Eksklusi: tidak secara khusus melaporkan diabetes atau depresi, tidak melaporkan intervensi psikoedukasi c. outcome yang diukur : Ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau diabetes mellitus. d. Penilaian Kualitas: pedoman untuk melakukan penilaian kritis dalam literature review ini melibatkan proses lima langkah secara berurutan: Pemahaman: Membaca melalui artikel untuk memahami ide-ide kunci dan konten. Perbandingan: membaca setiap artikel yang dipilih untuk memahami masalah penelitian, tujuan, desain, ukuran sampel, prosedur pengumpulan data dan temuan kunci. Analisis: memeriksa dan menghubungkan dengan review ini sesuai tujuan dan kriteria inklusi/eksklusi. Evaluasi: menentukan arti, makna, dan validitas dengan memeriksa jurnal antara proses studi, dan temuan. Hasil Sebanyak 20 abstrak diidentifikasi sebagai potensi masuknya review. Setelah duplikat abstrak dihapus dan diperiksa sesuai kriteria inklusi, 10 abstrak yang diidentifikasi relevan tetapi tidak cocok semua kriteria inklusi dan 7 yang memenuhi kriteria inklusi. Sebuah studi tambahan diidentifikasi selama proses review. Gambaran dari 7 studi secara rinci ditampilkan dalam Tabel 1 dibawah ini: Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 211 Tabel 1. Ringkasan dari pemilihan artikel Penulis dan tahun Negara Sampel Intervensi psikoedukasi Outcame yang diukur Depresi DM √ Mashudi (2012) Indonesia 15 kontrol 15 perlakuan Progressive muscle relaxation Yafeti Nazara (2009) Indonesia Media booklet √ Penckofer sue, et al (2012) Debora Lee & Monica (2012) Mirjana P, et al (2015) USA Miguel angel, et al (2013) Rocio Casanas, et al (2012) Spain 72 DM tipe 2 SWEEP (Wo e ’s E otio s a d Evaluation of a Psycoeducational) Pelatihan kognitif dan program pendidikan pd orang tua 6 sesi mingguan dibagi dlm. Psikoedukasi (A), Latihan Fisik (B) Perawatan Biasa (C) Psikoedukasi terapi kelompok √ Croatia 40 perlakuan 45 kontrol 38 SWEEP 36 UC (biasa) 19 Perlakuan (EG) 15 kontrol (CG) 209 perlakuan Spain 119 intervensi 112 kontrol Psikoedukasi yang meliputi perawatan diri dan gaya hidup sehat (diet,latihan fisik,tidur) √ Brazil √ √ √ √ √ Tabel 2. Rincian Metodologis studi Literature: efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus. Penulis dan tahun Mashudi (2012) Judul Artikel Yafeti Nazara (2009) Efektivitas psikoedukasi terhadap pencegahan depresi pascasalin (penelitian di pelayanan kesehatan Kabupaten Nias, Sumatera Utara) Pengaruh PMR terhadap kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus Tipe 2 di RSUD Jambi. Desain penelitian Tujuan dan metode Hasil kuasi eksperimen dengan pre and post with control group, Teridentifikasikannya pengaruh progressive muscle relaxation(PMR) terhadap penurunan kadar glukosa darah (KGD) pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) di RSUD Raden Mattaher Jambi. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling. Data dianalisis secara univariat dan bivariat untuk menilai efektivitas intervensi psikoedukasi yang diberikan kepada ibu-ibu postpartum dalam pencegahan terjadinya depresi. Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Gunung Sitoli dan di lima Puskesmas yang diambil secara random di Kab. Nias pada bulan Mei - Juli Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh PMR secara signifikan dalam menurunkan KGD pasien DMT2 di RSUD Raden Mattaher Jambi. Sedangkan variabel umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama menderita DMT2 tidak mempunyai hubungan dengan rata-rata penurunan kadar glukosa darah setelah intervensi. kuasi eksperimental dengan post test only design Dari hasil penelitian didapatkan bahwa intervensi psikoedukasi secara signifikan (p= 0,001), Odds Ratio (OR) : 5,924 (95 % CI : 2,081-16,868) efektif mencegah terjadinya depresi pascasalin. Faktor dominan yang berpengaruh pada efektivitas intervensi psikoedukasi adalah Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 212 2006. Sampel adalah ibu yang melahirkan normal di Rumah Sakit dan di Puskesmas, didampingi suami, ibu dan bayi dalam kondisi sehat tanpa komplikasi sebanyak 85 orang. Instrumen yang digunakan untuk mengukur depresi adalah kuesioner Edinburg Postpartum Depression Scale (EPDS). dukungan keluarga nilai (p =0,001, OR : 80 (95 % CI : 6,0691054,570). Penckofer sue, et al (2012) A Psychoeducational Intervention (SWEEP) for Depressed Women with Diabetes. Secara random, desain eksperimen menggunakan kelompok control dan kelompok intervensi. Tujuan Untuk mengetahui efektivitas Studi Emosi perempuan dan Evaluasi dari PSYCHOEDUCATIONAL (SWEEP), terapi kelompok untuk pengobatan depresi berdasarkan prinsip terapi perilaku kognitif yang dikembangkan untuk wanita dengan diabetes tipe 2. Wanita dengan gejala depresi meningkat secara signifikan (Pusat Studi Epidemiologi dg Depresi Skala ≥16) metode SWEEP dengan random (n=38), dan metode biasa UC (n=36) Model multilevel menunjukkan bahwa SWEEP adalah lebih efektif daripada UC dalam mengurangi depresi (perbedaan berarti -15 vs -7, p <0,01), penurunan sifat kecemasan (perbedaan berarti -15 vs -5, p <0,01), dan meningkatkan ekspresi kemarahan (perbedaan berarti -12 vs -5, p <0,05). Meskipun SWEEP dan UC memiliki perbaikan dalam glukosa puasa (perbedaan berarti -24 vs -1 mg / dl) dan HbA1c (perbedaan berarti -0,4 vs 0.1%), tidak ada statistik perbedaan yang signifikan antara kelompok. Debora Lee & Monica (2012) Elderly Individuals with Diabetes: Adding Cognitive Training to Psychoeducational Intervention Desain eksperimen menggunakan kelompok perlakuan (EG) dan kelompok control (CG) Bertujuan untuk menilai efek dari pelatihan kognitif delapan sesi dan program pendidikan pada orang tua diabetes dan mengetahui perubahan kesadaran mereka tentang aspek-aspek tertentu dari diabetes. Protokol pertanyaan klinis dan sosiodemografi: dengan menggunakan instrument (ATT-19); (DKN-A); (MMSE); (GDS); (SKT); dan (RBMT) Hasil menunjuk perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk ATT-19, DKN, dan memori SKT- dan SKT-total, dan perbedaan sedikit signifikan bagi sejarah RBMT di posttest. Adapun variabel kognitif yang tersisa, tidak ada perubahan yang diamati. Efek tes ulang tidak diamati dalam CG. Kami menyimpulkan bahwa pelatihan kognitif dikombinasikan dengan intervensi psychoeducational pada lanjut usia dengan diabetes efektif dalam menghasilkan keuntungan kognitif serta sikap dan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 213 Mirjana P, et al (2015) Does treatment of subsyndromal depression improve depression-related and diabetes-related outcomes? A randomised controlled comparison of psychoeducation, physical exercise and enhanced treatment as usual. Miguel angel, et al (2013) Psychoeducative groups help control type 2 diabetes in a primary care setting. Studi kuasieksperimental (pra / pascaintervensi) dengan kelompok kontrol non-ekuivalen. Dewasa pasien diabetes tipe 2 yang positif mengalami depresi dan menyatakan kebutuhan untuk bantuan profesional dengan masalah hati yang memenuhi syarat. Kriteria adalah depresi klinis, saat ini perawatan psikiatris dan komplikasi diabetes. Dari 365 pasien yang memenuhi syarat 209 yang bisa dilakukan intervensi selama 6 sesi.psikoedukasi (A) dan latihan fisik (B), atau untuk meningkatkan perawatan seperti biasa (C). Pengacakan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin.gejala depresi (hasil primer) dan diabetes, perawatan diri diabetes, kontrol metabolik dan kualitas kesehatan yang berhubungan dengan kehidupan(hasil sekunder) dianalisis pada 6 bulan dan 12 bulan follow-up. Menggunakan uji statistic ANOVA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur dampak dari intervensi kelompok psychoeducational pada diabetes menggunakan hemoglobin glikosilasi (HbAlc), indeks massa tubuh (BMI) dan risiko kardiovaskular faktor (CVRF) dibandingkan dengan cara pendidikan konvensional. kelompok psychoeducational terapi dalam kelompok studi (PGT) dibandingkan dengan pendidikan diabetes konvensional di kelompok kontrol (CG). peningkatan pengetahuan tentang diabetes mellitus. Pasien yang diacak ke dalam kelompok A 74, 66 B dan 69 ke dalam kelompok C, 203 menyelesaikan intervensi, dan 179 pasien dengan semua 3 penilaian dianalisis. Gejala depresi peserta dari psychoeducational, latihan fisik dan ditingkatkan perawatan sebagai kelompok biasa membaik sama dari waktu 12 bulan follow-up (waktu terhadap waktu efek x kelompok; seperti yang dilakukan diabetes dan kualitas hidup, perawatan diri diabetes, trigliserida, dan kolesterol total dan LDLkolesterol. Intervensi yang digunakan memiliki efek positif setelah dilakukan intervensi 12-bulan psikologis dan hasil terkait diabetes menunjukkan bahwa intervensi minimal menangani pasien diabetes terkait masalah klinis yang menguntungkan dan cukup untuk mengobati subsyndromal depresi. Pasien PGT mencapai signifikan peningkatan HbAlC, BMI dan CVRF, dibandingkan kelompok pendidikan diabetes konvensional dlm mencapai tujuan pengendalian diabetes yang optimal. struktur perubahan dalam program ini adalah terapi yang lebih efisien untuk pendidikan diabetes dalam perawatan primer. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 214 Rocio Casanas, et al (2012) Effectiveness of a psychoeducational group program for major depression in primary care: a randomized controlled Studi percobaan acak terkontrol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas program psychoeducational, yang meliputi aspek perawatan pribadi dan gaya hidup sehat, pada pasien dengan gejala depresi ringan/sedang dalam Perawatan Primer (PC). sampel 246 responden berusia lebih dari 20 tahun yang diukur melalui perawat / dokter umum primary care (PCCs) di 12 Pusat perkotaan Barcelona. kelompok intervensi (IG) (n = 119) menerima program psychoeducational (12 minggu, sesi 1,5 jam dipimpin oleh dua perawat) dan kelompok kontrol (CG) (n = 112) menerima perawatan biasa. Pasien dinilai pada awal di 3, 6 dan 9 bulan. Ukuran hasil utama adalah BDI, EQ-5D dan remisi berdasarkan BDI. 231 pasien acak dimasukkan, di antaranya 85 memiliki depresi ringan dan 146 depresi sedang. Analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok dalam kaitannya dengan tanda gejala, terutama di Kelompok depresi ringan dengan tingkat tinggi 57% (p = 0,009) dan 65% (p = 0,006) pada pasca perawatan pada 9 bulan follow up, dan hanya menunjukkan perbedaan yang signifikan pada BDI di pasca perawatan dan pada 6 dan 9 bulan tindak lanjut (p = 0,048; d '= 44.). Dalam sampel secara keseluruhan, analisis hanya menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok pada BDI di pasca perawatan, masingmasing. Kelompok psikoedukasi meningkat secara signifikan pada EQ-5D di jangka pendek dan panjang. Intervensi psychoeducational ini adalah pengobatan yang efektif jangka pendek dan panjang untuk pasien dengan gejala depresi ringan. Ini menghasilkan hasil signifikan, dianjurkan dalam PC dan dapat dilakukan oleh perawat dengan pelatihan sebelumnya. Pada pasien yang depresi sedang, kelompok psychoeducation efektif dalam jangka pendek. Pembahasan Kami mengidentifikasi tujuh artikel kuantitatif studi yang meneliti tentang intervensi psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau terkait Diabetes Mellitus. studi menemukan bahwa intervensi psikoedukasi efektif dalam mencegah dan mengurangi depresi walaupun dalam studi tersebut dijelaskan model intervensinya dilakukan berbeda-beda. Intervensi psikoedukasi efektif secara bermakna mencegah terjadinya depresi dengan cara dukungan keluarga (Yafeti, 2009), terapi kelompok dengan prinsip terapi perilaku kognitif dalam pengembangannya (Penckofer, et al, 2012), dibuat dalam 6 sesi kegiatan dimana dalam tindakan psikoedukasi tersebut dimasukkan juga tindakan dalam perawatan diri diabetes, kontrol metabolic dan kualitas kesehatan yag berhubungan dengan kehidupan, kegiatan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 215 dianalisis pada 6 bulan dan follow-up 12 bulan (mirjana, 2015). Pasien dengan depresi ringan psikoedukasi efektif untuk pengobatan jangka pendek dan panjang, tetapi jika pasien depresi sedang pengobatan efektif untuk jangka pendek saja (Rocio, et al, 2012). Pasien dengan penyakit kronis salah satunya Diabetes Mellitus dua kali mengalami gangguan kecemasan dan depresi dari seluruh populasi. Studi terbaru telah menunjukkan bahwa secara umum kadar glukosa yang tinggi dapat berkontribusi untuk pengembangan kecemasan dan depresi. 3 Untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita Diabetes Mellitus tipe 2 bisa melakukan Progressive muscle relaxation (PMR) (mashudi, 2012), pelatihan kognitif dan program pendidikan diabetes khususnya pada pasien lanjut usia (Debora,et al, 2012). cara mengontrol Diabetes Mellitus tipe 2 dengan intervensi psikoedukasi kelompok dan pengukuran kadar glukosa, berat badan dan pemeriksaan faktor resiko kardiovaskuler (Miguel, et al, 2013) Kesimpulan Berdasarkan hasil review dari tujuh artikel dapat disimpulkan bahwa Intervensi psikoedukasi efektif dalam menurunkan depresi pada pasien dengan Diabetes Mellitus. Daftar Pustaka Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. 2010. Psychoeducation for Bipolar Mood Disorder . Jurnal: Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective Disorders. Casanas Rocio, et,al, 2012, Effectiveness of a psycho-educational group program for major depression in primary care: a randomized controlled trial . Research Article, BMC Psychiatry. Debora lee, et al, 2012, Elderly Individuals with Diabetes: Adding Cognitive Training to Psychoeducational Intervention, educational gerontology. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013 Maria Augusta,et al,2014, Anxiety disorders are associated with quality of life impairment in patients with insulin-dependent type 2 diabetes: a case-control study, Revista Brasileira de Psiquiatria. Original Article Mashudi, 2012, Pengaruh Progressive muscle relaxation terhadap kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi, jurnal health & sport volume 5. Miguel, et al, 2012, Psychoeducative groups help control type 2 diabetes in a primary care setting. Original Article, Nutricion Hospitalaria. Mirjana, et,al, 2015, Does treatment of subsyndromal depression improve depression related and diabetes-related outcomes? A randomized controlled comparison of psychoeducation, physical exercise and enhanced treatment as usual. Research, Trials. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 216 Penckofer Sue M, et,al, 2012, A Psychoeducational Intervention (SWEEP) for Depressed Women with Diabetes. Original Article, The Society of Behavioral Medicine. Yafeti, 2009, Efektivitas psikoedukasi terhadap pencegahan depresi pascasalin (penelitian di pelayanan kesehatan Kabupaten Nias, Sumatera Utara), jurnal Obstetric Indonesia volume 33. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 217 PROFESI DOULA DALAM PENDAMPINGAN PERSALINAN DENGAN NILAI-NILAI ISLAMI Diah Indriastuti Mahasiswa Magister Keperawatan Konsentrasi Komunitas UNDIP, Email: [email protected] Abstrak Pendahuluan. Doula berperan dalam proses caring untuk ibu selama awal kehamilan hingga masa peralihan menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk persiapan persalinan dan menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan doula post partum. Konsep islam berkaitan dengan konsep caring pada proses keperawatan dan pemenuhan kebutuhan. Doula memiliki konsep caring yang selaras dengan konsep caring dalam Islam. Keduanya berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan seorang pasien secara terus menerus. Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami.. Metoda. Literatur review disusun menggunakan metode campuran, yang mengintegrasikan temuan dari penelitian kualitatif dan kuantitatif. 3 artikel digunakan dengan komposisi 1 junarl systematic review dan 2 artikel penelitian Qualitatif. Hasil. Doula mampu meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses perawatan di rumah sakit, memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan bayinya dan mengurangi kejadian post partum depresi. Keperawatan dalam Islam memiliki sifat kesucian terkait dengan ibadah, kemurahan hati dan mendahulukan orang lain, tanggungjawab dan komitmen social, mengutamakan kebajikkan. Keperawatan memiliki simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian pertolongan pada sesama. Menurut Al Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut dari belas kasih dan Allah mencintai orang yang bersifat demikian. Pembahasan. Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin membutuhkan pendampingan secara terus menerus, doula memberikan dukungan secara bermakna pada ibu. Keperawatan menurut budaya islam membimbing seseorang untuk mencari solusi atas permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses pengasuhan ibu pada anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar untuk memandirikan diri mereka sendiri. Kesimpulan. Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek doula yang professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak. Sementara dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan kesehatan sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim pada masa awal kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula yang menerapkan konsep Islami. Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep mengenai manfaat dukungan doula dan konsep keperawatan Islami secara terpisah. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 218 Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai profesi doula menurut perspektf kajian Islam. Kata Kunci : doula, islami, kehamilan, kelahiran, keperawatan, pendampingan. Pendahuluan Kelahiran adalah proses yang kompleks, timbal balik dan terintegrasi dengan sosiokultural (Fulton, 1999). Asal kata doula adalah dari bahasa Yunani yang berpengalaman dan melalui pelatihan sebelumnya sebagai seorang pendamping persalinan. Doula memberikan dukungan terus menerus kepada ibu hamil dan pasangannya secara fisik, emosi, social, serta pemberian informasi selama kehamilan hingga persalinan (Indriastuti & Namuwali, 2015). Tugas doula adalah merawat dan menemani ibu hamil.(Arnold, 2001) Doula menjalankan tugasnya secara holistic, biological, psychological, social, cultural, dan spiritual selama masa kehamilan dan persalinan Doula berperan dalam proses caring untuk ibu selama awal kehamilan hingga masa peralihan menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk persiapan persalinan dan menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan doula post partum (Arat, 2013). Peran doula terdiri dari : a. Menyediakan dukungan emosional yang berkelanjutan, seperti berbicara dengan ibu dan memberikan dukungan dengan tetap menjaga kontak mata b. Memberikan informasi pada ibu mengenai kemajuan persalinan dan menjelaskan kemungkinan intervensi medis yang perlu dilakukan c. Membantu ibu mendapatkan posisi bersalin yang baik, ibu mendapatkan kenyamanan dan kemajuan persalinan terfasilitasi d. Komunikasi terus menerus dengan ibu baik verbal maupun nonverbal untuk meyakinkan ibu bahwa dia tidak sendirian. e. Memfasilitasi ibu untuk melakukan kontak skin to skin dengan bayinya segera setelah lahir dan berusaha melakukan IMD(Fulton, 1999) Dalam Islam, ucapan Nabi (SAW) merupakan hadis yang menekankan pada pekerjaan merawat dan melayani pasien. Tinjauan dalam Al Qur’an mengenai caring adalah perawatan dari istri Nabi ayub yang menderita penyakit kulit sehingga penampilannya buruk dan berbau. Pada kisah Mariam dan Zakaria terlihat perawatan orang tua kepada seorang anak. Nabi Yusuf memperlihatkan caring pada para tahanan dengan memenuhi kebutuhan mereka. Kewajiban seorang ibu yang diatur dalam Al Qur’an adalah caring pada anak selama masa pengasuhan(Sadat, Hoseini, & Alhani, 2013). Konsep islam berkaitan dengan konsep caring pada proses keperawatan dan pemenuhan kebutuhan. a. Caring dianggap sebagai sebuah symbol dalam Islam, bahwa caring bukan hanya untuk manusia tetapi untuk semua makhluk. Kepedulian caring Islami adalah sebuah bentuk pelayanan pada Tuhan(Alimohammadi et al., 2013). Caring dalam Islam berarti keinginan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 219 untuk bertanggung jawab, sensitif, memotivasi dan berkomitmen untuk bertindak benar demi kesempurnaan(Rassool, 2000). b. Pemenuhan kebutuhan Definisi dalam Islam mengenai pemenuhan kebutuhan pasien adalah “siapa pun yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan pasien akan diberikan hadiah pengampunan untuk semuanya / dosanya bahkan jika kebutuhan tidak terpenuhi(Alimohammadi et al., 2013). Doula memiliki konsep caring yang selaras dengan konsep caring dalam Islam. Keduanya berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan seorang pasien secara terus menerus. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami. Metoda Design penelitian yang digunakan adalah sistematik review mix metode atau metode campuran. Artikel dipilih berdasarkan criteria inklusi sebagai berikut : a. Profesi Doula b. Konsep perawatan kesehatan dalam Islam. c. Caring Kriteria eksklusinya adalah artikel yang tidak membahas mengenai doula dan konsep perawatan kesehatan dalam Islam. CASP yang digunakan adalah Evaluative Tool for Mixed Method Studies (USIR, 2005). Penelusuran dilakukan melalui EBSCO, Proquest dan Google search dengan keyword, doula, Islamic dan konsep. Boolean operator yang digunakan adalah “And” agar pencarian data lebih fokus. Ekstraksi data, adalah mengelompokkan data menurut variabel yang ingin dikaji. Data sinthesis dilaksanakan untuk melihat konsep doula dama pandangan Islam. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 220 Peneliti Diah indriastuti, et al. (2015) Design Sample /subject RCT Data Systematic dikumpulkan review dari 3 artikel jurnal yang menunjukkan manfaat peran doula Table 1. ekstraksi Data Intervensi memberikan konseling non medis pada satu kelompok dan membandingkan pada kelompok lain yang tidak menerima konseling. Fariba Thalegani et al. (2000) Analisis kritis literature Morse (Kualitatif design) Konseptual keperawatan berdasarkan pemikiran Islam Mengulas 4 pinsip filosofi dalam mengkaji, mengelompokkan dan mengecaluasi keilmuan kosep kerepawatan dalam pemikiran Islami Akram Sadat et al. (2013) Analisis konsep Walker dan Avant (Kualitatif design) Konsep keperawatan melalui analisis sumber Islami Melakukan analisa konsep keperawatan menggunakan 8 tahapan dari Walker dan Avant Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 Hasil Para peserta menunjukkan peningkatan persepsi ibu yang positif baik untuk diri mereka sendiri tentang persalinan, kelahiran dan bayi mereka (pengalaman memberikan ASI eksklusif dan inisiasi menyusui). Intervens imedis berkurang; dan depresi post partum menurun Definisi dan deskripsi keperawatan dalam Islam jelas memfasilitasi dan dapat dipraktekkan secara operasional Keperawatan dianggap mirip dengan pengasuhan ibu dan memilki sifat feminism. Namun dalam Islam digambarkan seorang perawat sebagai seseorang yang berusaha untuk memperbaiki keadaan pasien. 221 Hasil Penelusuran artikel jurnal dilakukan melalui EBSCO didapatkan opsi sebanyak 358 artikel untuk Konsep keperawatan Islam, 227 artikel doula. 500.000 artikel didapatkan mengenai konsep keperawatan Islami dan 2,830 artikel doula hasil dari google search engine. Dari Proquest sebanyak 20 artikel keperawatan Islam dan 20 artikel doula. Pentapisan artikel untuk mendapatkan sesuai criteria inklusi dan 3 artikel tersebut adalah artikel yang paling sesuai dengan tujuan sustematic review tentang Profesi Doula dalam Pendampingan Persalinan dengan Nilai-Nilai Islami. a. Peran pendampingan persalinan oleh doula Dalam sistematik review mengenai keuntungan dukungan persalinan yang diberikan oleh doula(Indriastuti & Namuwali, 2015), dijelaskan bahwa persalinan menjadi lebih mudah (28%), mampu mengatasi persalinan dengan baik (37%), memiliki pengalaman melahirkan yang menyenangkan (59%)(Campbell, Scott, Klaus, & Falk, 2007), dan mampu memberikan ASI dengan mudah(Campbell et al., 2007). Selain itu terjadi penurunan intervensi obstetric secara signifikan. Penurunan penggunaan analgetik (36%), penurunan penggunaan oksit osin (71%), pengurangan penggunaan forcep (56%) dan penurunan persalinan secara SC (52%)(Campbell et al., 2007). Penurunan depresi pasca persalinan dengan pengukuran menggunakan EPDS menyebutkan bahawa ibu dengan dukungan doula memiliki resiko lebih rendah untuk mengalami depresi pasca persalinan. Pengkajian pada skor EPDS >13 (depresi berat) sebanyak 14,39% ibu dengan dukungan doula mengalami depresi sedangkan ibu tanpa pendampingan doula memiliki prevalensi lebih tingi yaitu 21,25% (Lumley, Austin, & Mitchell, 2004) b. Karakteristik dalam keperawatan Islami Karakteristik atau sifat dalam keperawatan Islami memiliki sifat sebagai berikut : 1) Kesucian terkait dengan ibadah Dalam sudut pandang Islam, keperawatan adalah pekerjaan suci yang memiliki keterkatian dengan tingkatan ibadah tertinggi karena merujuk pada literatur Islam berupa Hadis Nabi (SAW) 2) Kemurahan hati dan mendahulukan orang lain Moral baik, kebajikan dan mengutamakan orang lain adalah wujud dari prinsip keadilan, karena individu yang adil tidak akan melanggar hak orang lain. Sementara orang yang murah hati dan mengutamakan orang lain bukan hanya akan menjaga hak orang lain tetapi juga memnganugerahkan miliknya untuk orang lain. 3) Tanggungjawab dan komitmen social Karunia’ yang didapatkan oleh seseorang diharapkan dapat diabdikan dengan pelayanan kesehatan dan keperawatan. salah satu contohnya dalah dengan mendirikan lembaga kesehatan. 4) Mengutamakan kebajikkan Keperawatan memiliki simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian pertolongan pada sesama. Menurut Al Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut dari belas kasih dan Allah mencintai orang yang bersifat demikian(Alimohammadi et al., 2013). Implementasi nilai baik tersebut berada dalam Al Qur’an pada kisah nabi Yusuf yang merawat tahanan di penjara ketika dia dihukum karena difitnah telah melakukan zina dengan zulaikhah (Qs Yusuf: 25). Dalam penjara, Yusuf dikenal sebagai orang yang Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 222 pemurah dan suka membantu . setelah yusuf meninggalkan penjara, dia masih memperhatikan para tahanan. Yusuf membersihkan penjara, meminta penjaga untuk memperbaiki kondisi penjara, merawat yang sakit dan menghibur mereka. Hasilnya penjara menjadi bersih, kondisi tahanan lebih baik, secara spiritual dan mental lebih tenang sehingga yusuf mendapatkan kepercayaan dan penghormatan dari mereka (Sadat et al., 2013). Dalam kisah nabi musa (Qs Al-Qashah:7), ketika ibu nabi musa menghanyutkannya di sungai untuk keselamatannya dari Fir’aun. Kemudian, saat diasuh oleh istri Fri’aun, Musa tidak mau meminum susu dari ibu susu manapun. Ibu susu yang bisa menyusui Musa adalah ibu kandungnya sendiri. Hal ini menyebabkan pengasuhan dan perawatan anak pada Musa bayi ditangani langsung oleh ibunya sendiri. Pembahasan Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin membutuhkan pendampingan secara terus menerus. Pendampingan yang dibutuhkan memnbutuhkan perhatian penuh secara emosional, informatif, dukungan fisik dan bantuan untuk melakukan perawatan pada bayi untuk pertama kali (Fulton, 1999). Keuntungan dari dukungan doula secara keseluruhan pada 1 artikel sistemati review mengenai manfaat dukungan doula baik saat kehamilan, persalinan dan pasca bersalin (Indriastuti & Namuwali, 2015). Doula mampu meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses perawatan di rumah sakit (Kathryn D. Scoot, 1999), memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan bayinya(Campbell et al., 2007) dan mengurangi kejadian post partum depresi (Lumley et al., 2004). Keperawatan menurut budaya islam adalah membimbing seseorang untuk mencari solusi atas permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses pengasuhan ibu pada anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar untuk memandirikan diri mereka sendiri, sebagaimana Musa diasuh oleh ibu kandungnya. Meski begitu seorang lakilaki seperti Nabi Yusuf juga mampu untuk berperan dalam keperawatan yang memiliki sifat feminism keibuan. Kemampuan Yusuf ini berkat kemurahan hati dan sikapnya yang suka membantu orang lain serta kemampuannya memberikan perawatan dalam semua aspek kehidupan. Dukungan yang diberikan oleh doula memiliki nilai-nilai moral baik yang sesuai dengan kajian Islam, Kemurahan hati , altruism, tanggungjawab, komitmen social, simpati, kasih sayang, dan memberikan pertolongan pada sesama. (Alimohammadi et al., 2013). Kesimpulan Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek doula yang professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak. Sementara dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan kesehatan sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim pada masa awal kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula yang menerapkan konsep Islami. Pendekatan secara spiritual keagamaan memiliki cakupan yang menyeluruh. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 223 Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep mengenai manfaat dukungan doula dan konsep keperawatan Islami secara terpisah. Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai profesi doula menurut perspektf kajian Islam. Daftar Pustaka Alimohammadi, N., Taleghani, F., Mohammadi, E., & Akbarian, R. (2013). Nursing in Islamic thought: Reflection on application nursing metaparadigm concept: A philosophical inquiry. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research , 18(4), 272–9. Retrieved from http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3872860&tool=pmcentre z&rendertype=abstract Arat, G. (2013). Doulas’ perceptions on single mothers' risk and protective factors, and aspirations relative to child-birth. The Qualitative Report, 18(4), 1–11. Campbell, D., Scott, K. D., Klaus, M. H., & Falk, M. (2007). Female relatives or friends trained as labor doulas: Outcomes at 6 to 8 weeks postpartum. Birth, 34(3), 220–227. doi:10.1111/j.1523-536X.2007.00174.x Fulton, J. M. (1999). Doula Supported Childbirth : An Exploration of Maternal Sensitivity , Self-Efficacy , Responsivity , and Parental Attunement Diploma ( Mountainside Hospital School of Nursing ) 1976 Approved : Indriastuti, D., & Namuwali, D. (2015). Beneficial effects of doula support on pregnancy. In Java International Conference. Kathryn D. Scoot. (1999). the obstetrical and post partum benefits of continuous support during childbirth. JOOURNAL OF WOMEN’S HEALTH & GENDERBASED MEDICINE, 8. Lumley, J., Austin, M.-P., & Mitchell, C. (2004). Intervening to reduce depression after birth: a systematic review of the randomized trials. International Journal of Technology Assessment in Health Care, 20(2), 128–144. doi:10.1017/S0266462304000911 Rassool, G. H. (2000). The crescent and Islam: healing, nursing and the spiritual dimension. Some considerations towards an understanding of the Islamic perspectives on caring. Journal of Advanced Nursing, 32(6), 1476–1484. doi:10.1046/j.13652648.2000.01614.x Sadat, A., Hoseini, S., & Alhani, F. (2013). Sources : Seeking Remedy Search terms : Author contact :, 24(3). USIR. (2005). Evaluation Tool for “Mixed Methods” Study Designs The “mixed method” evaluation tool was developed from the evaluation tools for “quantitative” and “qualitative” studies,. Policy. Salford, Greater Manchester: University of Salford Manchester. Retrieved from http://usir.salford.ac.uk/13070/ Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 224 EFISIENSI BIAYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE ASSERTIVE COMMUNITY TREATMENT PADA PASIEN DENGAN SKIZOFRENIA DI PUSKESMAS : LITERATURE REVIEW Diah Fitri Purwaningsih Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Email : [email protected] Abstrak Latar Belakang. Skizofrenia adalah penyakit kejiwaan yang sangat rentan untuk kambuh. Hal yang paling sering menyebabkan kekambuhan adalah kurangnya dukungan dari keluarga, masyarakat sekitar, dan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mengurangi kekambuhan pasien skizofrenia adalah dengan melakukan assertive community treatment dimana tim multidisiplin memberikan pelayanan secara komprehensif dan fleksibel dengan pelayanan diberikan di tempat tinggal pasien. Assertive community treatment dilakukan di masyarakat binaan dengan ratio paling banyak 1 perawat 10 pasien. Tujuan.meningkatkan efisiesi biaya dengan menggunakan metode assertive community treatment pada pasien skizofrenia dengan melibatkan tim interdisiplin. Metodologi.Literature review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan Google search. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “Skizofrenia” and “ Assertive Community Treatment” and “Cost”.Metodologi yang digunakan dalam publikasi ilmiah dengan metoda kuantitatif, kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat. Hasil. Hasil penelusuran literatur menunjukan bahwa keterlibatan tim interdisiplin dalam mengurangi kekambuhan pasien sangat besar. Assertive community treatment dapat menurukan biaya $ 4.529 rawat inap dan menurunkan 37% kekambuhan. Assertive community treatment dapat memberikan perawatan komprehensif pada perawatan rawat jalan. Assertive community treatment memiliki rata-rata biaya per-orang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding. Kesimpulan. Dimana dengan menggunakan metode assertive community treatment tim interdisiplin (dokter, psikiatri, perawat) untuk memberikan dukungan pada pasien dalam minum obar secara rutin dan memberikan aktifitas positif pada pasien skizofrenia agar tetap dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang lainnya. Kata Kunci. efesiensi biaya, assertive community treatment, skizofrenia Pendahuluan Kesehatan merupakan keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Seseorang dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh, psikis, maupun sosial (Stuart & Laraia, 2005). Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 225 dalam arti ketidak mampuan serta invalisasi baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efisien. Didalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dari definisi tersebut juga tersirat bahwa “Kesehatan Jiwa” merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari “Kesehatan” dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. (UU No 36 Tahun 2009) Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa skizofrenia. seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality). Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994). Penderita Skizofrenia sering mengalami kekambuhan sehingga ia harus menjalani perawatan dan pengobatan yang berulang/ keluar masuk rumah sakit jiwa. Banyak faktor yang memicu terjadinya kekambuhan yaitu faktor lingkungan, keluarga, penyakit fisik, maupun faktor dari dalam individu itu sendiri. Lingkungan dan keluarga mempunyai andil yang besar dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita dengan gangguan jiwa, oleh karena itu pemahaman keluarga mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan lingkungan menerima penderita apa adanya dan memperlakukannya secara manusiawi dan wajar merupakan hal yang mendasar dalam mencegah kekambuhan penderita. Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan kemempuan tenaga kesehatan di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk melakukan assertive community treatmen dengan strategi turun langsung ke masyarakat dengan gangguan jiwa skizofrenia untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah satunya untuk rutin mengkonsumsi obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat meningkatkan efisiensi biaya. (Bramesfeld et al., 2013). ACT dianggap sebagai salah satu pendekatan yang paling efektif untuk memberikan layanan untuk orang dengan penyakit mental parah dan persisten (Rosenheck dan Neale 1998a, b; Latimer 1999; Phillips et al. 2001) Tujuan a. Tujuan umum Melakukan review efisiensi biaya dengan menggunakan metode assertive community treatment pada pasien skizofrenia. b. Tujuan khusus 1) Mengetahi peran tim interdisiplin dalam penanganan skizofrenia di masyarakat 2) Mengetahui pentingnya dukungan keluarga dalam meningkatkan kemandirian pasien skizofrenia. Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 226 3) Mengetahui pentingnya dukungan masyarakat dalam meningkatkan kemandirian pasien skizofrenia 4) Mengetahui pentingnya metode assertive community treatment dalam efisiensi biaya pada pasien skizotrenia. Metoda 1. Kriteria inklusi Kriteria inklusi : Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif, kuantitatif atau campuran pada tahun 2010-2015 dengan menggunakan bahasa ingris dan full teks. Pemilihan sampel pada artikel adalah perawat dan atau pasien dengan skizofrenia di masyarakat. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan assertive community treatment. Dengan dampak yang ditimbulkan dari assertive community treatment adalah efisiensi biaya. 2. Strategi Pencarian Literatur Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American Journal Of Nursing (AJN). Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “assertive community treatment” and “cost” and “skizofrenia”. Hasil Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif dan kuantitatif pada tiga jurnal yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan google search. 1. Kontribusi perawat dalam kesehatan jiwa di puskesmas Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif. Kualitas hidup pasien dengan skizofrenia perlu ditingkatkan dengan cara mentoring dari petugas kesehatan. (Zavradashvili et al., 2010) 2. Efisiensi biaya pada penggunaan metode assertive community treatment pada pasien skizofrenia Dalam penelitian oleh Erick dengan studi observasional menyebutkan bahwa perkiraan fiscal pada tahun 2001 sampai denga 2004 terjadi peningkatan $ 4.529 dalam biaya VA tren dalam penggunaan rawat inap, kemudian efek assertive community treatment tetap stabil setelah tahun 2004 dimana dengan menggunakan assertive community treatment menurun 37%, karena lebih sedikit pasien dirawat dirumah sakit. (Slade, McCarthy, Valenstein, Visnic, & Dixon, 2013). Timbal balik yang sama antara efektivitas biaya dan akses mungkin terjadi dengan program perawatan kesehatan lainnya sumber daya intensif dan hemat biaya, seperti Program All-In Perawatan untuk Lansia (PACE) (Eng et al 1997;. Greenberg 2010; Gross et al. 2004). Studi ini menunjukkan bagaimana pengorbanan ini dapat sistematis model yang mendukung dalam pengambilan keputusan antara keluarga Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 227 pasien. penggunaan ACT dapat meingkatkan efektifitas biaya dalam pengobatan rawat inal pasien, sehingga dapat digunakan dalam jangka panjang. Para peneliti meneliti efisiensi dalam menggunakan model ACT layanan tanpa batas pada tingkat tinggi intensitas ditetapkan dalam ACT Model. Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya perorang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding. Biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya bersih kelompok pembanding. Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001 sampai 2004, masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari $ 4.529 dalam VA cost. (Slade et al., 2013). ACT dapat menurunkan efektifitas biaya 20% lebih rendah, karena ACT melibatkan tim interdisiplin. (Rosen, Mueser, & Teesson, 2007). ACT untuk pasien usia lanjut juga memiliki putus sekolah lebih sedikit dari pengobatan (18,8% dari asertif pengobatan masyarakat untuk pasien usia lanjut dibandingkan 50% pasien TAU; x 2 (df = 1) = 6.75, p = 0,009). (Stobbe et al., 2014) Dengan ACT kepuasan pasien meningkat, penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per-orang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding. Dengan demikian, biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya bersih kelompok pembanding.(William, 2011) Pembahasan Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir dengan nalar dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari anggota tim. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan. Psikososial adalah bentuk praktek psiko-therapeutik dimana pengetahuan tentang bio-psiko-sosial. Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa antara lain: a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional untuk pasien sakit jiwa b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 228 f. Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang lain. Assertive community treatment adalah suatu program pelayanan kesehatan dengan pendekatan tim multidisiplin yang memberikan pelayanan yang komprehensif dan fleksibel, dukungan dan pelayanan rehabilitasi untuk individu dengan gangguan jiwa berat, dimana pelayanan diberikan di lingkungan natural pasien, bukan dalam setting Rumah Sakit. (ACT Tools Kit, 2008) Dalam Assertive Community Treatment tim multidisiplin bekerja bersama dalam suatu tim. Tim Assertive Community Treatment berkolaborasi dalam memberikan terapi, rehabilitasi, dan dukungan bagi tiap-tiap klien untuk menjalani kehidupan di masyarakat. Konsumen adalah klien dari suatu tim, bukan klien dari salah satu anggota tim secara individual. Individu dengan gangguan jiwa berat biasanya tidak mengalami perbaikan yang bermakna bila hanya ditangani dengan pelayanan rawat jalan yang biasa. Tim Assertive Community Treatment memberikan pelayanan kapanpun dan dimanapun dibutuhkan. Konsumen tidak perlu mengikuti Gambaran penting dari Assertive Community Treatment a. Staf multidisiplin Tim yang memberikan layanan Assertive Community Treatment terdiri dari berbagai profesi yang saling bekerjasama memberikan layanan komprehensif untuk pasien dengan gangguan jiwa berat. b. Pelayanan yang terintegrasi Pelayanan dalam Assertive Community Treatment dilakukan secara terintegrasi oleh sebuah tim, yang terdiri dari: - Terapi : terapi obat/medikasi, perawatan kesehatan fisik, kontrol gejala - layanan rehabilitasi : aktivitas sehari-hari, hubungan interpersonal - terapi penyalahgunaan zat - bantuan-bantuan praktis - layanan sosial - layanan terhadap keluarga - layanan yang lain yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. c. Pendekatan tim Anggota Tim Assertive Community Treatment adalah para profesional di bidang kesehatan jiwa dari berbagai profesi yang bekerja bersama-sama secara kolaboratif. Masing-masing anggota tim mempunyai klien tetap yang ditangani, akan tetapi anggota tim yang lain juga mengenal klien dari anggota tim yang lain dan siap d. Rasio staf-klien rendah (1:10) Rasio staf dengan klien relatif kecil untuk menjamin layanan yang adekuat untuk masing-masing klien. Rasio yang ideal adalah satu tenaga kesehatan melayani 10 klien. e. Tempat kontak di lingkungan pasien dengan kunjungan rumah (home visit) Semua anggota tim Assertive Community Treatment melakukan kunjungan rumah terhadap klien. Kunjungan dilakukan di lingkungan tempat tinggal pasien atau lingkungannya, seperti di tempat kerja klien, bukan pertemuan di tempat pelayanan kesehatan. Penilaian yang dilakukan di lingkungan kehidupan pasien sehari-hari akan memberikan hasil yang lebih akurat tentang keadaan dan masalah yang dihadapi klien. f. Medication management Prioritas utama dari Assertive Community Treatment adalah pemberian pengobatan yang efektif, dengan penilaian yang adekuat tentang gejala yang Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 229 g. h. i. j. k. dialami pasien dan diagnosisnya, pemilihan obat yang rasional, dosis dan durasi terapi yang adekuat, dan penatalaksanaan efek samping yang kemungkinan dialami. Fokus pada masalah kehidupan sehari-hari Tim Assertive Community Treatment berfokus pada aktivitas sehari-hari klien, tergantung dari kebutuhan pasien, seperti; rumah yang aman, membuat rencana pertemuan, melakukan pembayaran dan berbelanja. Tim Assertive Community Treatment juga membantu klien mendapatkan ketrampilan dalam lingkungan tempat tinggalnya. Akses yang cepat Tim Assertive Community Treatment memberikan respons yang cepat terhadap masalah emergency yang dihadapi klien, sehingga bisa dikatakan bahwa tim Assertive Community Treatment bekerja 24 jam sehari. Assertive outreach Tim Assertive Community Treatment melakukan pendekatan pada klien yang menolak untuk bekerjasama, dan tidak secara otomatis menghentikan pelayanan terhadap klien yang menolak untuk bekerjasama. Pelayanan bersifat individual Pelayanan dan dukungan yang diberikan kepada klien bersifat individual untuk mengakomodasi kebutuhan dari klien dengan gangguan jiwa berat, yang berada pada populasi yang heterogen. Pelayanan tidak berbatas waktu Layanan yang diberikan kepada klien tetap diberikan walaupun klien telah mengalami stabilisasi dari permasalahan yang dihadapi, baik stabilisasi pengobatan, gejala, dan masalah dengan keluarga/lingkungannya Menurut paham kesehatan jiwa seseorang dikatakan sakit apabila ia tidak mampu berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam penaganannya keikutsertaan peran pekerja sosial medis di Rumah Sakit dan Puskesmas sangat berpengaruh terhadap proses pengobatan yang harus dijalani pasien dan pembiayaan yang harus ditanggung keluarganya. Secara garis besar peran pekerja sosial medis dalam penanganan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit dan Puskesmas adalah sebagai berikut: a. Inisiator; membantu seorang klien/pasien gangguan jiwa menyelesaikan persoalan karena tidak dapat menerima keterbatasan yang disebabkan oleh penyakitnya. b. Negosiator; membantu keluarga pasien/klien dalam hal pembiayaan pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit atau Puskemas. c. Advokasi; membantu mengemukakan persoalan yang dihadapi pasien/klien. d. Pembicara; membantu keluarga pasien/klien dalam menyampaikan permasalahan kepada pihak Rumah Sakit atau Puskesmas. e. Organisator; mengorganisir tim penanganan secara psiko-sosial Tim interdisiplin yang ada di Puskesmas diharapkan dapat mengatasi masalah kekambuhan pasa pasien skizofrenia. Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan kemempuan tenaga kesehatan di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk melakukan assertive community treatmen dengan strategi turun langsung ke masyarakat dengan gangguan jiwa skizofrenia untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah satunya untuk rutin mengkonsumsi obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat meningkatkan efisiensi biaya. Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 230 Judul Cost Savings from Assertive Community Treatment Services in an Era of Declining Psychiatric Inpatient Use (Eric P. Slade, John F. McCarthy, Marcia Valenstein, Stephanie Visnic, and Lisa B. Dixon 2013) The effectiveness of assertive community treatment for elderly patients with severe mental illness: a randomized controlled trial (Jolanda Stobbe ([email protected]) André I Wierdsma ([email protected]) Rob M Kok ([email protected]) Hans Kroon ([email protected]) Bert-Jan Roosenschoon ([email protected]) Marja Depla ([email protected]) Cornelis L Mulder ([email protected]) Cost-Effectiveness Of A Capitated Assertive Community Treatment Program (Chandler, Daniel, Spicer, Gary, Wagner, Marti, Hargreaves, William 2011) Pera Perawat sala Hasil Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001 sampai 2004, masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari $ 4.529.Tren penggunaan rawat inap yang akan datang menyarankan untuk menggunakan assertive community treatment (ACT). Efek rogram ini tetap stabil setelah 2004. Dimana kelayakan untuk assertive community treatment (ACT) menurun 37 persen, karena lebih sedikit pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dari 62 pasien yang diacak, 26 hilang untuk menindaklanjuti (10 pasien di ACT untuk pasien lansia dan 16 di TAU). Sehubungan dengan pasien dengan TAU, lebih banyak pasien yang dialokasikan untuk ACT memiliki kontak pertama dalam waktu tiga bulan (96,9 vs 66,7%; X 2 (df = 1) = 9,68, p = 0,002). ACT untuk pasien usia lanjut juga memiliki putus sekolah lebih sedikit dari pengobatan (18,8% dari asertif pengobatan masyarakat untuk pasien usia lanjut dibandingkan 50% pasien TAU; x 2 (df = 1) = 6.75, p = 0,009). Tidak ada perbedaan dalam variabel hasil primer dan sekunder lainnya. Kesimpulan bahwa ada dampak positing dalam menerapkan metode assertive community treatment (ACT) terhadap perawatan lansia dengan gangguan mental berat Hipotesis penelitian adalah bahwa dengan langkah tim mendukung orang-orang yang dinyatakan akan di fasilitas subakut jangka panjang dapat dipertahankan dalam masyarakat. Skor pada skala kepuasan klien berkisar dari 1,0 (paling puas) untuk 4.0. Kelompok pembanding yang non-signifikan lebih puas (perbandingan rata-rata = 2.19, SD = 0,839; demonstrasi berarti = 2,34, SD = 0,847; t = -0,647, df = 52, p </ = 0,521; efek ukuran = 0,179 ) Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya perorang dari $ 13.041 kontras dengan $ 39.396 dari kelompok pembanding. Dengan demikian, biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33% dari biaya bersih kelompok pembanding. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 231 Kesimpulan Penelusuran literatur menunjukan pentingnya interdisiplin dalam memberikan assertive community treatment dalam meminimalkan biaya yang dikeluarkan dalam perawatan di Rumah Sakit pada pasien skizofrenia. Karena dengan melakukan assertive community treatment tim interdisiplin berhubungan langsung dengan keluarga pasien dan masyarakat untuk memberiukan dukungan pada pasien agar tetap dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang lainnya. Hal ini bisa digunakan untuk acuan penelitian yang lainnya dalam hal efektifitas biaya yang ditimbulkan dari assertive community treatment tetapi tidak hanya pada pasien skizofrenia melainkan pada pasien gangguan mental yang lainnya. Daftar Pustaka Bramesfeld, A., Moock, J., Kopke, K., Büchtemann, D., Kästner, D., Radisch, J., & Rössler, W. (2013). Effectiveness and efficiency of assertive outreach for Schizophrenia in Germany: study protocol on a pragmatic quasi-experimental controlled trial. BMC Psychiatry, 13, 56. http://doi.org/10.1186/1471-244X-13-56 Eng, C., J. Pedulla, G. P. Eleazer, R. McCann, and N. Fox. 1997. “Program of Allinclusive Care for the Elderly (PACE): An Innovative Model of Integrated Geriatric Care and Financing.” Journal of the American Geriatrics Society 45 (2): 223. Greenberg, G., and R. Rosenheck. 2010. Department of Veterans Affairs National Mental Health Program Performance Monitoring System: Fiscal Year 2009 Report.West Haven, CT: Northeast ProgramEvaluation Center, VA ConnecticutHealthcare System. Gross, D. L., H. Temkin-Greener, S. Kunitz, and D. B. Mukamel. 2004. “The Growing Pains of Integrated Health Care for the Elderly: Lessons from the Expansion of PACE.” Milbank Quarterly June 82 (2): 257–82. Maramis, W.F. (1994). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press Phillips, S. D., B. J. Burns, E. R. Edgar, K. T. Mueser, K.W. Linkins, R. A. Rosenheck, R. E. Drake, and E. C. McDonel Herr. 2001. “Moving Assertive Community Treatment into Standard Practice.” Psychiatric Services 52 (6): 771–9. Rosenheck, R., and M. Neale. 1998a. “Intersite Variation in the Impact of Intensive Psychiatric Community Care on Hospital Use.” American Journal of Orthopsychiatry 68 (2): 191–200. Rosenheck, R. A., and M. S. Neale. 1998b. “Cost-Effectiveness of Intensive Psychiatric Community Care for High Users of Inpatient Services.” Archives of General Psychiatry 55: 459–66. Stuart & Laraia. (2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5 . Jakarta: EGC Latimer, E.A. 1999. “Economic Impacts of Assertive Community Treatment: A Review of the Literature.” Canadian Journal of Psychiatry 44 (5): 443–54. Rosen, A., Mueser, K. T., & Teesson, M. (2007). Assertive community treatmentIssues from scientific and clinical literature with implications for practice. The Journal of Rehabilitation Research and Development, 44(6), 813. http://doi.org/10.1682/JRRD.2006.09.0110 Slade, E. P., McCarthy, J. F., Valenstein, M., Visnic, S., & Dixon, L. B. (2013). Cost Savings from Assertive Community Treatment Services in an Era of Declining Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 232 Psychiatric Inpatient Use. Health Services Research, 48(1), 195–217. http://doi.org/10.1111/j.1475-6773.2012.01420.x Slade M, Beck A, Bindman J, Thornicroft G, Wright S: Routine clinical outcome measures for patients with severe mental illness: CANSAS and HONOS. Br J Psychiatry 1999, 174:404–408 Stobbe, J., Wierdsma, A. I., Kok, R. M., Kroon, H., Roosenschoon, B.-J., Depla, M., & Mulder, C. L. (2014). The effectiveness of assertive community treatment for elderly patients with severe mental illness: a randomized controlled trial. BMC Psychiatry, 14, 42. http://doi.org/10.1186/1471-244X-14-42 UU No 36 Tahun 2009 Zavradashvili, N., Donisi, V., Grigoletti, L., Pertile, R., Gelashvili, K., Eliashvili, M., & Amaddeo, F. (2010). Is the implementation of assertive community treatment in a low-income country feasible? The experience of Tbilisi, Georgia. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 45(8), 779–83. http://doi.org/10.1007/s00127-0090125-2 Pera Perawat sala Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 233 GAMBARAN TINGKAT RISIKO JATUH PADA LANSIA DI PANTI WREDHA Rinda Winandita 1, Rita Hadi Widyastuti2 1 Mahasiswa Jurusan Keperawatan, fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: [email protected] 2 Staf Pengajar Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email : [email protected] Abstract Latar Belakang. Jatuh merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia dan dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Risiko jatuh dapat dinilai berdasarkan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik seperti usia, penyakit yang diderita, psikologis dan pengobatan sedangkan, faktor ekstrinsik seperti tersandung, lantai licin dan penerangan kurang. Jatuh pada lansia dapat mengakibatkan cedera fisik ringan, berat bahkan komplikasi yang mengakibatkan kematian, rasa takut jatuh kembali, tidak percaya diri dan pengeluaran biaya untuk berobat. Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti Wredha. Metoda. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif dengan pendekatan survei. Pengambilan sampel menggunakan teknik Total Sampling dengan responden sebanyak 177 lansia. Pengambilan data menggunakan pengkajian Morse Fall Scale. Hasil. Hasil penelitian menunjukan 77 lansia (43,5%) memiliki risiko jatuh yang tinggi, 60 lansia (33,9%) risiko rendah dan 40 lansia (22,6%) tidak berisiko. Kesimpulan. Identifikasi terhadap tingkat risiko jatuh pada lansia perlu dilakukan agar kejadian jatuh dapat diantisipasi. Saran dari penelitian ini diharapkan pengasuh lansia dapat lebih memperhatikan kondisi biologis dan psikologis dari lansia yang menyebabkan jatuh. Kata kunci : Risiko Jatuh, Lansia, Morse Fall Scale Pendahuluan Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terusmenerus dan berkesinambungan. Selanjutnya, akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologi dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi tubuh dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Michael and Mehmet, 2009). Pada UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa batasan umur yang masuk dalam kategori lansia adalah seorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Di Indonesia hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yaitu 18,1 juta pada tahun 2010. Daerah Kota Semarang berdasarkan data BPS Kota Semarang tahun 2013, penduduk lansia laki-laki dan perempuan berjumlah 111.103 lansia dari total seluruh penduduk di Kota Semarang (BPS, 2013) Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2 015 234 Banyaknya jumlah lansia di satu sisi dapat menunjukkan meningkatnya harapan hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun di sisi lain, hal tersebut menjadi suatu permasalahan mengingat lansia mengalami proses penuaan seperti perubahan anatomi/fisiologi, berbagai penyakit sebagai akibat penuaan, serta pengaruh psikologis pada fungsi organ (Kris dan Hadi, 2009). Masalah kesehatan utama yang timbul pada lansia diantaranya yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau jatuh), intellectual impairment (gangguan intelektual atau demensia), impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalesscence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan dan kulit), isolation (depresi), incontinence (beser buang air kecil atau buang air besar), infection (infeksi), impaction (sulit buang air besar), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh menurun), impotence (impotensi), inanition (kurang gizi), impecunity (tidak punya uang) dan iatrogenesis (penyakit akibat obat-obatan) (Nugroho, 2008). Instability yaitu masalah yang terjadi pada lansia berupa berdiri dan berjalan tidak stabil atau jatuh. Sedangkan, jatuh adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang menyebabkan seseorang berada di tempat lebih rendah seperti lantai atau tanah (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Sekitar 30-50% dari populasi lanjut usia yang berusia 65 tahun ke atas mengalami jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Pada lanjut usia di atas 80 tahun, sekitar 50% pernah mengalami jatuh. Walaupun tidak semua kejadian jatuh mengakibatkan luka atau memerlukan perawatan, tetapi kejadian luka akibat jatuh pun juga meningkat terutama pada usia diatas 85 tahun (Pangkahila, 2007). Dampak terjadinya jatuh pada lansia dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek biologis beberapa lansia yang pernah jatuh sekitar 5% mengalami perlukaan jaringan lunak dan sekitar 5% mengalami fraktur. Kemudian, dari aspek psikologis pada lansia yang mengalami jatuh akan muncul rasa tidak percaya diri dan takut mengalami kejadian jatuh kembali. Rasa takut jatuh sering juga dikaitkan dengan depresi dan isolasi sosial. Dari aspek ekonomi, lansia yang mengalami jatuh maupun keluarga lansia membutuhkan biaya untuk pengobatan apabila kejadian jatuh pada lansia menimbulkan masalah yang serius pada kesehatan lansia (Miller, 1995). Salah satu upaya untuk mengidentifikasi risiko jatuh pada lansia adalah dengan cara melakukan pengkajian dan penilaian terhadap gaya berjalan, riwayat jatuh maupun riwayat penyakit yang diderita. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia yang dikarenakan berbagai faktor (Tamher dan Noorkasani, 2009). Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti Wredha. Tujuan Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti Wredha. Metoda Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif non eksperimental dengan jenis penelitian deskriptif dan menggunakan metode survei. Populasi dalam penelitian ini seluruh lansia yang tinggal di Panti Wredha Pucang Gading, PELKRIS (Elim) dan Harapan Ibu Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Sampel pada penelitian ini berjumlah 177 lansia. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2 015 235 Hasil 1. Data Karakteristik Responden Diagram 1 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan Jenis Kelamin, Mei 2015 (n=177) 200 146 100 Jenis Kelamin 31 0 Laki-laki Perempuan Diagram 1 menunjukan bahwa lebih dari setengah responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 146 lansia (82,5%). Diagram 2 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan Usia, Mei 2015 (n=177) 150 100 50 0 110 57 10 Usia Lanjut Usia Lanjut Usia Tua Lanjut Usia Sangat Tua Diagram 2 menunjukan data terbanyak responden penelitian tergolong pada lanjut usia tua yaitu sebanyak 110 responden (62,1%) dengan kisaran umur 75-90 tahun. Diagram 3 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan Lama Tinggal, Mei 2015 (n=177) 30 24 22 16 13 12 6 6 3 4 3 2 4 8 4 4 7 1 2 1 1 2 Lama Tinggal 1 1 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan 7 bulan 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun 10 tahun 12 tahun 13 tahun 14 tahun 15 tahun 16 tahun 20 tahun 29 tahun 30 tahun 35 30 25 20 15 10 5 0 Diagram 3 menunjukan data lama tinggal responden sebanyak 30 lansia (16,9%) telah tinggal di panti selama 2 tahun. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2 015 236 Diagram 4 Karakteristik Responden di Panti Wredha Kota Semarang Berdasarkan Riwayat Penyakit, Mei 2015 (n=177) 80 60 40 20 0 72 47 27 21 6 3 5 3 10 1 5 Riwayat Penyakit Diagram 4 menunjukan riwayat penyakit yang paling banyak responden yaitu hipertensi dengan penderita sebanyak 47 lansia (26,6%). 2. Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat Risiko Jatuh Responden di Panti Wredha Kota Semarang, Mei 2015 (n=177) Tingkat Risiko Jatuh Frekuensi Prosentase (%) Tidak Berisiko 40 22,6 Risiko Rendah 60 33,9 Risiko Tinggi 77 43,5 Jumlah 177 100 Berdasarkan tabel 5 menunjukan bahwa mayoritas responden memiliki risiko jatuh tinggi yaitu sebanyak 77 lansia (43,5%). Pembahasan 1. Karakteristik Responden Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 146 lansia (82,5%). Jumlah lansia perempuan yang lebih tinggi daripada jumlah lansia laki-laki sesuai dengan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kementrian Kesehatan menyatakan pada tahun 2013 rata-rata usia harapan hidup yaitu 72,7 tahun untuk perempuan dan 68,4 tahun untuk laki-laki (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Hasil penelitian ini juga menunjukan risiko jatuh tinggi sebesar 37,3 % atau 66 lansia perempuan dan 6,2% atau 11 lansia laki-laki. Kejadian jatuh lebih banyak terjadi pada lansia perempuan juga disebabkan karena penurunan hormon estrogen pada lansia post menopouse. Berkurangnya hormon estrogen dapat menyebabkan tulang kehilangan kalsium dan metabolisme serta absorbsi nutrien menjadi kurang efektif (Mauk, 2010). Kejadian jatuh pada lansia perempuan lebih banyak terjadi juga dikarenakan berkurangnya kekuatan otot pada ekstremitas bawah pada lansia perempuan dan kurangnya Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2 015 237 kemampuan lansia perempuan dalam mengembalikan stabilitas tubuh (Lord, 2007). Hal tersebut didukung oleh penelitian Yuna Ariawan (2011) menunjukan dari 52 responden lansia terdapat prevalensi kejadian jatuh sebesar 17,3% atau 9 lansia dan 6 lansia (67%) diantaranya wanita dan 3 lansia (33%) sisanya laki-laki (Ariawan, 2011). Data usia responden menunjukan hasil bahwa sebagian besar responden masuk dalam kategori lanjut usia tua yaitu usia 75-90 tahun sebanyak 110 lansia (62,1%). Keseimbangan berkurang seiring bertambahya usia karena perubahan yang terjadi pada lansia. Semakin tinggi usia seseorang akan lebih berisiko mengalami masalah kesehatan karena adanya faktor-faktor penuaan lansia dan akan mengalami perubahan baik dari segi fisik, ekonomi, psikososial, kognitif dan spiritual (Sihvonen,2004). Risiko jatuh juga meningkat dari 25% pada usia 70 tahun menjadi 35% setelah berusia lebih dari 75 tahun (Stanley, 2006). Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Setyo Harsoyo (2012) menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat usia dengan risiko jatuh pada lansia dengan p-value 0,00 (Harsoyo, 2012). Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden telah tinggal di panti selama lebih dari 1 tahun. Lansia yang tinggal di panti selama kurang lebih 1 tahun sebanyak 24 lansia (13,6%), 2 tahun sebanyak 30 lansia (16,9%) dan 3 tahun sebanyak 22 lansia (12,4%). Peneliti mengobservasi bahwa lansia yang telah lama tinggal di panti telah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta mereka mampu beradaptasi dengan tenaga caregiver di panti. Lansia yang telah mampu beradaptasi dengan lingkungan maupun sosial di panti lebih dapat menempatkan dirinya agar lebih berhati-hati dalam beraktivitas (Hana dan Ismail, 2009). Hasil penelitian menunjukan dari keseluruhan lansia yang menderita hipertensi yaitu sebanyak 47 lansia (40,7%). Riwayat penyakit yang diderita lansia dapat meningkatkan risiko jatuh pada lansia seperti gangguan kardiovaskuler, persarafan, penglihatan, psikologi, muskuloskeletal dan lain-lain (Stanley, 2006). Prevalensi hipertensi akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Terjadinya hipertensi pada lansia disebabkan oleh menurunya elastisitas dinding aorta, katub jantung menebal dan menjadi kaku dan kemampuan jantung untuk memompa darah menurun 1% setiap tahun setelah berumur 20 tahun (Xiaohua, 2012). Hasil penelitian Anne Ambrose (2013) menyatakan bahwa keseimbangan dan gaya berjalan berhubungan dengan tekanan darah dan detak jantung. Hal tersebut sejalan dengan dengan penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat risiko jatuh tinggi dimiliki oleh penderita hipertensi sebanyak 11,9% atau 21 lansia. 2. Tingkat Risiko Jatuh Penelitian ini menunjukan bahwa tingkat risiko jatuh responden mayoritas menggambarkan tingkat risiko jatuh tinggi yaitu sebanyak 77 lansia (43,5%) sedangkan, sebesar 33,9% atau 60 lansia memiliki tingkat risiko jatuh rendah dan sebanyak 40 lansia (22,6%) tidak memiliki risiko jatuh. Jatuh yang terjadi pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik adalah faktor penyebab jatuh yang berasal dari diri lansia sendiri seperti penglihatan buram, kekuatan otot ekstrmitas berkurang dan lain-lain sedangkan, faktor ekstrinsik adalah faktor lingkungan (Nugroho, 2008). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2 015 238 Pada penelitian ini sebagaian besar lansia yang tinggal di panti memiliki gangguan kesehatan dan beberapa diantaranya menggunakan alat bantu berjalan seperti tongkat, walker, kursi roda maupun berpegangan pada benda di sekitar untuk membantu para lansia ketika beraktivitas. Penggunaan alat bantu dapat menjadi faktor risiko jatuh yang berbeda pada lansia. Hasil penelitian menunjukan sebanyak 42 lansia (23,7%) menggunakan alat bantu kruk/tongkat/walker dan sebanyak 78 lansia (44,1%) memilih untuk berpegangan pada benda sekitar saat berjalan. Risiko jatuh lebih tinggi dimiliki oleh lansia yang berpegangan pada benda disekitar saat berjalan dibanding dengan lansia yang menggunakan alat bantu. Berdasarkan observasi peneliti lansia yang memilih untuk berpegangan dengan benda disekitar lebih memiliki risiko jatuh karena ada beberapa benda yang belum diketahui tingkat keamanannya bagi lansia. Selain kondisi lingkungan, status mental pada lansia juga perlu diperhatikan karena lansia rentan mengalami depresi. Depresi dapat membuat lansia kurang aktif bersosialisasi sehingga kurang beraktivitas. Aktivitas yang kurang dapat mengakibatkan otot menjadi kaku (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Status mental dan emosional pada lansia mempengaruhi kesadaran, penilaian gaya berjalan, keseimbangan dan proses informasi yang diperlukan untuk mobilisasi atau berpindah secara aman. Perilaku dan kemampuan kognitif juga dapat mempengaruhi risiko jatuh seseorang dan kemungkinan penyebab jatuh (Stanley, 2006). Berdasarkan penelitian ini dari 177 responden terdapat 38 lansia (21,5%) mengalami keterbatasan daya ingat atau tidak dapat mengungkapkan tentang kondisi dirinya dan beberapa diantaranya pernah mengalami jatuh. Hasil penelitian dari Nasution Zulkarnaen (2014) menyatakan bahwa adanya hubungan antara keadaan status mental dengan meningkatnya risiko jatuh (p=0,002). Seiring lanjutnya usia seseorang didapatkan penurunan yang kontinyu dalam kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi baru serta kecepatan bereaksi terhadap stimuls sederhana maupun kompleks . Perubahan status mental pada lansia yang berupa berkurangnya kontrol sistem saraf pusat dapat menurunkan persepsi dan sensori, kesadaran atau perhatian yang mengakibatkan lansia kesulitan terlambat dalam mengantisipasi kejadian yang tibatiba, yang akan memudahkan lansia terjatuh (Zulkarnaen, 2014). Kesimpulan Hasil peneitian didapatkan jenis kelamin responden dalam penelitian ini yaitu sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 146 lansia (82,5%), usia responden sebagian besar masuk dalam kategori lanjut usia tua kisaran umur 75-90 tahun sebanyak 110 lansia (62,1%), riwayat penyakit hipertensi adalah salah satu penyakit yang diderita oleh mayoritas responden yaitu sebanyak 47 lansia (40,7%) dan mayoritas responden tinggal di panti selama kurang lebih 2 tahun yaitu sebanyak 30 lansia (16,9%). Gambaran tingkat risiko jatuh responden yakni sebagian besar menggambarkan tingkat risiko jatuh tinggi sebanyak 77 lansia (43,5%) sedangkan, sebesar 33,9% atau 60 lansia memiliki tingkat risiko jatuh rendah dan 40 lansia (22,6%) tidak berisiko. Kejadian jatuh memiliki dampak negatif dan serius bagi lansia baik untuk kesehatan dan kualitas hidup lansia. Pihak Panti Wredha perlu menginstrusikan kepada para pengasuh lansia untuk melakukan langkah-langkah pencegahan jatuh. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi Panti Wredha dalam menilai risiko jatuh dan mengurangi kejadian jatuh serta cedera pada lansia. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2 015 239 Daftar Pustaka Ambrose AF. Risk Factors for Falls Among Older Adults: A riview of the literature. Elsevier Matur. 2013;75(1):51–61. Ariawan Y et al. Hubungan Antara Activities Specific Balance Confidence Scale Dengan Umur Dan Falls Pada Lansia Di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah Denpasar. J Penyakit Dalam. 2011;12(1). Badan Pusat Statistik Kota Semarang . 2013 . Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kota Semarang. Diakses pada 15 Maret 2015 di http://semarangkota.bps.go.id/ Hadi dan Kris . 2009 . Buku Ajar Boedhi - Darmojo Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Hana dan Ismail . 2009 . Memahami Krisis Lanjut Usia: Uraian Medis dan PedagogisPastoral. Jakarta: Gunung Mulia Kementrian Kesehatan RI . 2013 . Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta: Bakti Husada Lord et al. Epidemiology of Falls and Fall-Related Injuries in: fall in Older People: Risk Factors and Strategies for Prevention. Cambridge Univ Press. 2007;3–5. Mauk K . 2010 . Gerontological Nursing: Competencies for Care. 2nd ed. Sudbury, Masschusetts: Jones and Bartlett Publisher Michael and Mehmet. 2009. Staying Young : Jurus Menyiasati Kerja Gen Agar Muda Sepanjang Hidup. Bandung: Qanita Miller CA . 1995 . Nursing Care Of Older Adult . : Philadelphia: J.B. Lippincott Company Zulkarnaen, N . 2014. Hubungan Status Mental Dengan Risiko Jatuh Pada Lansia. Universitas Darma Agung Nugroho, W. 2008 . Keperawatan Gerontik dan Geriatik Ed.3 . Jakarta: EGC Pangkahila W. 2007 . Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Jakarta: Kompas Setyo H. Hubungan antara Usia dan Resiko Jatuh Pada Lansia di Posyandu Lansia RW 09 Kalirejo Wilayah Kerja Puskesmas Lawang. Poltekes Kemenkes Malang; 2012. Sihvonen S. 2004. Postural Balance and Aging. Finland: University Of Jyvaskyla Stanley M. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Ed. 2. Jakarta: EGC Tamher dan Noorkasani . 2009 . Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Xiaohua . 2012 . Risk Factors For Accidential Falls in the Elderly and Intervention Strategy. J Med Coll PLA 27. 299–305. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2 015 240 PELAKSANAAN PROGRAM ANTENATAL CARE OLEH PERAWAT PADA IBU HAMIL Muchammad Nurkharistna Al Jihad [email protected] Abstrak Latar Belakang. Kualitas pelayanan antenatal merupakan faktor penentu penting dari kesehatan ibu. Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui Antenatal Care antara petugas kesehatan yaitu perawat yang baik berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan ibu hamil. Metoda. Desain artikel ilmiah ini menggunakan sistematik review. Tipe study dalam artikel ini adalah deskriptif yang berusaha menggambarkan, menjelaskan dan menafsirkan kondisi saat ini. Data yang didapatkan dari kebiasaan atau perilaku seseorang untuk memahami mengapa dan bagaimana keputusan dibuat. Hasil. Hasil kajian perempuan yang menghadiri layanan perawatan antenatal Usia rata-rata perempuan adalah 25 tahun penelitian, 9% di bawah 18 tahun, dan 8% lebih dari 33 tahun. Perawat perlu melakukan berbagai kegiatan penyediaan pelayanan antenatal termasuk anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penyelidikan laboratorium.Ibu hamil yang memanfaatkan palayanan antenatal care masih belum maksimal. Kesimpulan. Temuan penelitian ini berkelanjutan dari standar perawatan kualitas dan perbaikan lebih lanjut yang ada dalam profesi keperawatan dan pelayanan keperawatan.Penelitian ini mungkin memiliki implikasi untuk beberapa bidang program keperawatan termasuk: praktik keperawatan, pendidikan keperawatan, dan penelitian keperawatan untuk perbaikan lebih lanjut layanan perawatan antenatal. Kata kunci: antenatal care, ibu hamil, perawat Pendahuluan Indonesia berkomitmen untuk mencapai tujuan MDGs, khususnya menurunkan AKI dari 359 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup, tujuan ini diharapkan tercapai di tahun menurun di tahun 2015. Kota Semarang sebagai Ibu Kota Jawa Tengah menjadi kota yang ikut serta menyumbangkan angka kematian ibu sebanyak 29 kasus pada tahun 2013 (Sumber: DKK Kota Semarang). Data deskriptif dari 2007 Indonesia Demografis dan Survei Kesehatan (SDKI) telah menunjukkan bahwa, seperti di lain negara-negara berkembang, pelayanan antenatal di Indonesia masih kurang dimanfaatkan. Sekitar 95% dari ibu hamil di Indonesia sekurang-kurangnya satu kunjungan pemeriksaan kehamilan, namun hanya 66% dari perempuan memiliki empat kunjungan antenatal seperti yang direkomendasikan, yang lebih rendah dari target nasional dari 90% wanita memiliki setidaknya empat kunjungan antenatal care. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah salah satu pointnya adalah dalam peningkatan kualitas antenatalcare yaitu penggunaan Buku KIA pada ibu hamil, pelayanan antenatal terpadu di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat dasar dan rujukan, pencegahan dan penanganan malaria pada kehamilan, pencegahan dan penanganan anemia pada kehamilan, pencegahan dan penanganan Kurang Energi Kronis (KEK) pada kehamilan, pelaksanaan Kelas Ibu Hamil, prevention of Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 241 Pelayanan antenatal care penting bagi ibu hamil untuk mempersiapkan kelahiran dengan baik. Menurut Depkes RI (2010), pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan. Pengertian antenatal care adalah perawatan kehamilan.Pelayanan perawatan kehamilan merupakan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal care yang sudah ditetapkan. Sedangkan tujuan pelaksanaan pelayanan antenatal antara lain memantau kemajuan kehamilan serta memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi, meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial ibu serta janin, mengenali secara dini kelainan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil, mempersiapkan persalinan cukup bulan; melahirkan dengan selamat dan mengurangi sekecil mungkin terjadinya trauma pada ibu dan bayi, mempersiapkan ibu untuk menjalani masa nifas dan mempersiapkan pemberian asi eksklusif, mempersiapkan peran ibu dan keluarga untuk menerima kelahiran dan tumbuh kembang bayi. Pelayanan antenatal yang berkualitas dapat mandeteksi terjadinya risiko pada kehamilan yaitu mendapatkan akses perawatan kehamilan berkualitas, memperoleh kesempatan dalam deteksi secara dini terhadap komplikasi yang mungkin timbul sehingga kematian maternal dapat dihindari (Mufdlilah, 2009).Dari sini kita perlu mengetahui bagaimana kualitas antenatal care yang dilakukan, terutama peran perawat dalam melakukan pelayanan antenatal care.Kualitas pelayanan antenatal diberikan selama masa hamil secara berkala sesuai dengan pedoman pelayanan antenatal yang telah ditentukan untuk memelihara serta meningkatkan kesehatan ibu selama hamil jika sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat menyelesaikan kehamilan dengan baik dan melahirkan bayi yang sehat.Apakah kualitas pelayanan antenatalcare yang dilakukan oleh perawat berhubungan dengan kunjungan pemeriksaan ibu hamil. Tujuan Tujuan Umum Mengetahui Antenatal Care antara petugas kesehatan yaitu perawat yang baik berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan ibu hamil Tujuan Khusus 1. 2. 3. 4. Memahami karakteristik dan hambatan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan Antenatal Care Mengetahui tindakan keperawatan terkait pemeriksaan Antenatal Care Mengetahui kualitas fasilitas kesehatan terkait layanan Antenatal Care Mengetahui hasil ibu hamil yang memanfaatkan layanan Antenatal Care Metoda Design artikel ilmiah ini menggunakan sistematik review. Review sistematik adalah sebuah sintesis dari studi-studi penelitian primer yang menyajikan suatu topik tertentu dengan formulasi pertanyaan klinis yang spesifik dan jelas, metode pencarian yang eksplisit dan reprodusibel, melibatkan proses telaah kritis dalam pemilihan studi, serta mengkomunikasikan hasil dan implikasinya1. Tipe study dalam artikel ini adalah deskriptif. descriptive study : Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan, menjelaskan dan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 242 menafsirkan kondisi saat ini. Data yang didapatkan dari kebiasaan atau perilaku seseorang untuk memahami kenapa dan bagaimana keputusan dibuat. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk menguji fenomena yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu. Sebuah penelitian deskriptif berkaitan dengan kondisi, praktik, struktur, perbedaan atau hubungan yang ada, pendapat diadakan, proses yang terjadi atau kecenderungan yang jelas sedangkan tujuan Penelitian kualitatif untuk meningkatkan pengetahuan melalui pemahaman dan penemuan untuk mengidentifikasi hubungan satu variabel dengan variabel lain serta untuk menjelaskan atau menginterpretasikan fenomena yang dikaji. Kriteria inklusi untuk mengontrol mengacaukan variabel yang dapat menyebabkan persepsi yang berbeda untuk perawat adalah: (1) paling sedikit diploma dalam kebidanan, (2) bekerja minimal 3 bulan di perawatan antenatal, dan (3) bekerja di antenatal peduli keluar departemen pasien untuk memberikan teknis dan perawatan interpersonal, dan tugas ini menjabat di lingkungan lain dalam tahun ini. Kriteria inklusi untuk hamil perempuan: (1) kehamilan normal, (2) usia kehamilan ≥ 28 minggu, dan (3) kunjungan ke klinik antenatal setidaknya sekali. Pada beberapa jurnal yang diambil diukur persepsi perawat dan ibu hamil.kualitas layanan Antenatal care yang dinilai melalui checklist, dan proses atribut, termasuk interpersonal dan aspek teknis, melalui observasi dan wawancara langsung. Pengambilan jurnal yang ada menggunakan critical appraisal. Telaah kritis (critical appraisal) adalah suatu proses yang secara teliti dan sistematis mengevaluasi penelitian untuk memutuskan tingkat kepercayaan, nilai, serta relevansinya dalam suatu konteks tertentu2. Dengan kata lain, telaah kritis merupakan suatu proses mengevaluasi dan menginterpretasikan suatu evidence secara sistematis dengan mempertimbangkan validitas, hasil, dan relevansinya. Sedangkan, praktik berbasis bukti merupakan integrasi dari bukti penelitian terbaik (best research evidence) dengan keahlian klinis (clinical expertise) dan nilai-nilai serta preferensi pasien (patient values and preferences)3. Hasil 1. Memahami karakteristik dan hambatan ibu hamil yang melakukan pemeriksaan Antenatal Care Perempuan yang mengunjungi layanan perawatan antenatal 9% berusia di bawah 18 tahun, dan 8% lebih dari 33 tahun. Untuk 31% dari perempuan itu kehamilan pertama mereka. Untuk 12% dari wanita yang observasi dan wawancara keluar dilakukan selama mereka kunjungan pertama ke layanan kesehatan, dan 17% selama kedua kunjungi. Para wanita yang tersisa menghadiri untuk ketiga atau Kunjungan lanjut. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kandungan Karakteristik yang ditemukan antara womenattending publik atau penyedia layanan swasta.Kondisi sosial ekonomi rumah tangga mungkin juga mempengaruhi perilaku kesehatan mencari (19, 20). Hasil menunjukkan bahwa penggunaan pelayanan antenatal oleh hamil Wanita ini terkait dengan status sosial ekonomi-nya rumah tangga: perempuan yang hidup dalam kondisi yang lebih buruk berkonsultas pelayanan kesehatan swasta kurang sering dan mengandalkan lebih sering pada pelayanan kesehatan pemerintah daripada mereka yang tinggal di lebih baik keadaan. Wanita menghadiri fasilitas sektor publik memiliki skor sosial ekonomi rata-rata 11 (kisaran, 5-25). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 243 Wanita yang menghadiri konsultasi di sektor swasta memiliki skor median dari 13 (kisaran 7-26) dari maksimum 31 poin. Perbedaan yang signifikan (H = 20,6; P <0,001). Biaya yang dikenakan untuk perawatan antenatal Besi (II) sulfat dan asam folat (Fefo) untuk profilaksis anemia disediakan gratis untuk 72% dari wanita yang hadir jasa pemerintah. Di sektor swasta hanya 12% dari perempuan menerima Fefo gratis. 2. Mengetahui tindakan keperawatan terkait pemeriksaan Antenatal Care Perawat perlu melakukan berbagai kegiatan penyediaan pelayanan antenatal termasuk anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penyelidikan laboratorium. 1) Riwayat pengkajian: Untuk menilai faktor risiko dalam kehamilan, perawat harus mengambil sejarah dari ibu hamil tentang keluarga mereka kronis dan penyakit bawaan, penyakit masa lalu dan sekarang medis dan bedah, menstruasi, masa lalu dan kehamilan ini, dan sejarah perawatan prakonsepsi 2) Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik adalah salah satu yang paling komponen penting dari perawatan antenatal. Dalam pemeriksaan fisik, perawat menilai anemia, sianosis, edema dan ikterus; memeriksa gigi dan gusi infeksi dan karies gigi, mengukur tekanan darah, berat badan dan tinggi badan; melakukan pemeriksaan abdomen dengan mengukur tinggi fundus, posisi janin, menghitung suara jantung janin; dan mengevaluasi status kehamilan saat ini. 3) Investigasi: Perawat perlu melakukan laboratorium penyelidikan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang memerlukan tindakan cepat. Ini mungkin termasuk analisis urin untuk mengetahui kadar albumin dan gula, dan infeksi saluran kemih; skrining darah untuk mengukur hemoglobin atau hematokrit tingkat ibu hamil untuk mengukur status gizi dan kebutuhan suplemen zat besi 4. Penyedia layanan kesehatan harus memberikan informasi kesehatan kepada ibu hamil untuk meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraan, seperti pendidikan kesehatan umum tentang nutrisi yang tepat; jarak kelahiran dan keluarga berencana.Informasi saran untuk ibu hamil tentang tanda-tanda bahaya kehamilan, menyusui; dan persiapan untuk bayi baru lahir dan perawatan postnatal setelah melahirkan.Medis dan psikososial intervensi. Dalam pelayanan antenatal kesehatan penyedia layanan harus memberikan perawatan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan mengukur kemajuan status kesehatan ibu dan pertumbuhan janin. Ini termasuk: pemantauan berat badan, mengukur tekanan darah, rekaman ukuran uterus, memperkirakan usia kehamilan dari janin, mencatat waktu gerakan pertama janin, presentasi janin dan auskultasi denyut jantung janin; dan memberikan janji antenatal4. Selain itu, Intervensi farmakologis atau non farmakologis mungkin diperlukan untuk mengelola ketidaknyamanan umum karena kehamilan sebagai berikut: 1) Pengelolaan ketidaknyamanan umum kehamilan. Beberapa ketidaknyamanan biasanya muncul selama kehamilan yang meliputi perasaan gelisah.Perawat perawatan antenatal harus tahu ketidaknyamanan ini dan manajemen mereka. Ituyang paling umum yang menyebabkan ketidaknyamanan kecemasan ibu adalah: kelelahan, mual danmuntah, sembelit, mulas, keputihan, varises, sakit pinggang danwasir. Untuk menghilangkan kecemasan, perawat perlu memberikan intervensi keperawatan untukmeringankan ketidaknyamanan mereka .Kesimpulannya, komponen perawatan antenatal adalah urutan pentingkegiatan yang diperlukan untuk memantau kondisi ibu dan perkembangan janin selamakehamilan. Untuk memantau kemajuan ini, perawat perlu Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 244 melakukan awal dan terus meneruskajian untuk meningkatkan kesehatan ibu dan janin. Medis dan psikologisintervensi yang dibutuhkan oleh layanan perawatan antenatal untuk mengelola ketidaknyamanan umumselama kehamilan dan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu. Perawat memainkan peran penting dalam menyediakan layanan berkualitas tinggi ibu selama periode antenatal dan persalinan yang berkontribusi untuk mengurangi ibu dankematian perinatal (Lavender & Chapple, 2004). Trinh dan rekan (2007) menyatakan bahwapenyedia pelayanan antenatal seperti perawat memiliki dampak yang besar pada kualitas perawatan. Perawat harus memiliki tanggung jawab moral, etika dan profesional untuk memberikan perawatan kepada ibu hamil (Viccars, 2003). Mereka bertanggung jawab untuk pemberian perawatan, memberikanpendidikan kesehatan saat ini dan mendengarkan klien "saran tentang layananyang wanita butuhkan (Kritcharoen et al., 2005). Untuk mengidentifikasi kebutuhan tersebut, keperawatanProses adalah kerangka diterima digunakan untuk menilai, menganalisis, perencanaan,melaksanakan dan mengevaluasi asuhan keperawatan (Murray et al., 2002). Perawat dapat mengambilriwayat kesehatan yang lengkap, melakukan pemeriksaan fisik, ketertiban dan menafsirkan laboratoriuminvestigasi, dan menyediakan perawatan primer untuk pemeliharaan kesehatan dan promosi. Berdasarkankerangka ini, perawat "peran dalam perawatan antenatal adalah: (1) penilaian, (2) analisis,(3) perencanaan, (4) pelaksanaan dan (5) evaluasi. Penilaian harus sistematis dan terencana; dan pengumpulan data dan informasi fisiologis yang berkaitan dengan psikologis, sosial danpertimbangan budaya harus dilakukan secara efektif. Perawat mengumpulkan informasiyang membantu untuk mendiagnosa kelainan pada tahap awal. Perawat harus menggunakanpenilaian penilaian awal dan lanjut untuk wanita hamil di klinik antenatal. 1. Penilaian awal. Di klinik antenatal, selama kunjungan pertama wanita hamil perawat harus mengkaji status kesehatan dengan mengambil sejarah,melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan menilai faktor risikoberikut. a. Mengambil sejarah. Perawat mengambil sejarah sebelumnya dan kehamilan sekarang dan riwayat menstruasi dalam rangka membangun perkiraan tanggalpengiriman (Kirkham, Harris, & Grzybowski 2005). Juga, ia mengambil medis dansejarah bedah, termasuk kondisi kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi,penyakit ginjal, atau operasi yang dapat mempengaruhi kehamilan; riwayat keluarga, dan kronispenyakit anggota keluarga yang dapat mengungkapkan pola kelainan genetik. ASejarah psikososial juga harus diambil dalam rangka membangun perasaan ibudan kondisi sosial-ekonomi ibu (Boller et al, 2003;. Donabedian, 1980;Murray et al., 2002; Rani et al., 2008; Trinh et al., 2007). b. Pemeriksaan fisik. Perawat harus melakukanpemeriksaan fisik untuk mendeteksi masalah sebelumnya tidak terdiagnosis yang dapat mempengaruhihasil kehamilan. Pemeriksaan ini meliputi: memeriksa tanda-tanda vital seperti darahtekanan, nadi, respirasi, suhu; mengamati kongesti vena dan edema;tinggi mengukur dan berat, diameter panggul, tinggi fundus; dan mendengar jantung janinsuara; memeriksa warna kulit untuk mendeteksi penyakit kuning dan anemia, memeriksa kelenjar tiroiduntuk kebersihan pembesaran dan oral untuk infeksi, memeriksa payudara untuk mendeteksi tanda-tanda abnormal 4. Puting datar atau terbalik dapat mempengaruhi bayi yang baru lahir untuk menyusui; Oleh karena itu, Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 245 selamayang antenatal check up perawat harus memeriksa payudara untuk mempersiapkan wanitauntuk menyusui efektif setelah melahirkan dia. c. Uji Laboratorium. Tes laboratorium yang umum digunakanselama kehamilan adalah: pengelompokan darah; tes darah untuk hemoglobin dan hematokrit;hitung darah lengkap; Rh factor dan antibodi layar; uji laboratorium penyakit kelamin(VDRL); titer rubela; tes kulit untuk TBC layar; hemoglobin elektroforesis untuklayar untuk sifat sel sabit; Layar hepatitis B; HIV (Human Immunodeficiency Virus) layar; urine analisis tes urin untuk memeriksa jumlah protein, glukosa,keton; dan bakteri papnicolaou (Pap) smear untuk menyaring neoplasia serviks; danTes glukosa darah ibu untuk menyaring diabetes mellitus gestasional. Selain itu, selama kunjungan awal, perawat harus mengkaji beberapa faktor risikoyang dapat menyebabkan komplikasi ibu dan janin. Ini adalah: usia ibu di bawah 16tahun atau lebih dari 35 tahun; multigravida; berat di bawah 45 kg atau lebih dari 90 kg;ketinggian di bawah 154 cm; merokok; kecanduan narkoba; Sejarah abnormal kelahiran sebelumnya;penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung, ginjal. Penyakit, gangguan tiroid dan infeksi bersamaan.Dengan demikian,perawat dapat berkontribusi untuk diagnosis dan memberikan pengobatan tepat waktu selama risiko 2. Analisis Perawat harus melakukan analisis kritis terhadap data ibu hamil sebelum diagnosis. Asumsi teruji dapat menyebabkan tidak relevan atau kesalahan diagnosis masalah yang sebenarnya. Berdasarkan analisis tersebut,Perawat dapat mendiagnosa wanita hamil dan berencana untuk menerapkan perawatan untukkasus yang dipilihmenyebutkan kemungkinan diagnosa keperawatan untukwanita hamil misalnya: (1) kecemasan yang berhubungan dengan ragu-ragu tentang kehamilan dan tidak tahu apa yang diharapkan selama kunjungan kantor, (2) perilaku kesehatan terkait dengan mempertahankan kehamilan yang sehat dan kekhawatiran mengenai umumketidaknyamanan kehamilan, (3) pengetahuan kekurangan perawatan diri selama kehamilan,(4) ketakutan terkait dengan tidak diketahui melahirkan. Theses ketakutan mungkin termasuk kekhawatirantentang perjalanan yang aman diri dan bayi melalui pengalaman pengiriman, dan kekhawatiran terkait dengan mengasumsikan peran orangtua. 3. Perencanaan. Berdasarkan diagnosis keperawatan, perawat berencana untuk menerapkankesehatan terkait pengetahuan dan keperawatan intervensi melalui pendidikan kesehatanProgram. Sebagai contoh, perawat dapat merencanakan untuk memberikan informasi nutrisi untukmeningkatkan kesehatan ibu dan pertumbuhan janin yang bisa memfasilitasi ibu hamil untukmeningkatkan protein dan asupan zat besi; mengurangi komplikasi dari status kesehatan mereka yang buruk. Selain itu, kelas antenatal mempersiapkan peran keibuan, danmenyusui, dan mengingatkan mereka untuk menerima perawatan postnatal setelah melahirkan. Sebagai akibatwanita hamil akan dapat mempromosikan dan melindungi diri mereka sendiri dan bayi yang dikandungnyaselama kehamilan. Perawat harus merencanakan untuk memberikan informasi kepadaibu hamil untuk meredakan ketidaknyamanan umum selama kehamilan. Maka perawat harusjuga merekomendasikan cara-cara untuk memodifikasi perilaku yang mungkin memiliki efek yang merugikan pada ibudan janin seperti perasaan stres, beristirahat kurang dan melakukan kerja keras. 4. Implementasi. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 246 Perawat klinik antenatal harus menerapkan direncanakanasuhan keperawatan pada ibu hamil di klinik antenatal. Dia harus meminta wanitatentang ketidaknyamanan mereka, memberikan perawatan untuk meringankan itu, mempertahankan tenang dan percaya diricara selama aksi, melindungi privasi selama pemeriksaan fisik, menggunakan aktifmendengarkan dan memberikan informasi faktual mengenai rencana perawatannya. Perawat perlu memberikan informasi kesehatantentang gizi, perawatan bayi baru lahir, manfaat menyusui dan teknik, dan kelahirandi kelas pendidikan kesehatan antenatal. Selain itu, perawat mengetahui tanda-tanda bahaya kehamilan termasuk perdarahan vagina, pecahnyamembran, pembengkakan jari atau bengkak wajah, penglihatan kabur, perutnyeri, nyeri buang air kecil, muntah dan penurunan gerakan janin, dan rencanauntuk tindakan segera membungkus tanda-tanda bahaya 5. Evaluasi. Evaluasi adalah hasil perawatan. Perawat perlu mengevaluasidiimplementasikan informasi kesehatan terkait dan intervensi keperawatan lainnya yang efektif untukibu hamil berdasarkan pemahaman mereka. Evaluasi mempromosikan keselamatan dan kesejahteraanmenjadi ibu hamil dan janin mereka selama kehamilan. Dalam mengevaluasifase, wanita hamil verbalisasi pemahaman mereka tentang pengetahuan kesehatan terkaitdan metode yang membantu mereka untuk mempromosikan status kesehatan mereka dan meringankan ketidaknyamanankehamilan. Perawat harus meminta ibu hamil tentang rencana mereka untuk memodifikasikebiasaan yang dapat merugikan kesehatan mereka. Setelah mengevaluasi, jika perawat merasa bahwa dirinyaimplementasi efektif dalam klinik antenatal, dia dapat berkolaborasi dengan keluargauntuk menentukan rencana baru untuk pelaksanaan. 3. Mengetahui kualitas fasilitas kesehatan terkait layanan Antenatal Care Kualitas pelayanan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakses layanan yang efisien dengan maksud memaksimalkan manfaat kesehatan dalam kaitannya dengan kebutuhan klien.Kualitas didefinisikan sebagai refleksi dari nilai-nilai dan tujuan saat ini digunakan dalam sistem perawatan medis dan dalam masyarakat yang lebih besar. Selain itu, Campbell et al. (2000) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai model sistem berbasis terdiri dari struktur dan proses. Berdasarkan ini, Donabedian (1966) didefinisikan kualitas pelayanan sebagai sejauh mana pelayanan yang sebenarnya konsisten dengan kriteria hadir untuk perawatan yang baik. Blumenthal (1996) menyebutkan empat perspektif utama mengenai kualitas pelayanan: perspektif kesehatan profesional, pasien, rencana perawatan kesehatan dan organisasi, dan pembeli. Semua ini menentukan kualitas perawatan yang berbeda. Terlebih Dahulu, profesional perawatan kesehatan mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai atribut dan hasil perawatan disediakan oleh praktisi untuk merawat penerima, menekankan keunggulan teknis dan interaksi. Kedua, perspektif kualitas pelayanan didefinisikan sebagai pandangan tentang perawatan yang mereka terima dengan kepuasan dan hasilnya tingkat dari pasien berpusat perawatan". Ketiga, rencana perawatan kesehatan dan kualitas organisasi didefinisikan peduli karena penekanan pada kesehatan populasi yang terdaftar dan atribut perawatan yang merefleksikan metode pelaksanaan organisasi. Akhirnya, kualitas pelayanan dari perspektif pelanggan melibatkan efektivitas dan biaya perawatan. Dalam penelitian ini, kualitas perawatan terutama difokuskan pada kualitas pelayanan kesehatan dan kualitas pelayanan keperawatan. 4. Mengetahui hasil ibu hamil yang memanfaatkan layanan Antenatal Care Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 247 Ibu hamil yang memanfaatkan palayanan antenatal care masih belum maksimal.Faktor sangat terkait dengan layanan perawatan antenatal adalah bayi dari daerah pedesaan dan dari luar wilayah Jawa-Bali, bayi dari indeks kekayaan rumah tangga rendah dan dengan tingkat pendidikan ibu rendah,dan kelahiran yang tinggi peringkat bayi dengan kelahiran pendek interval kurang dari dua tahun. Faktor yang terkait lainnya diidentifikasiibu termasuk melaporkan jarak ke fasilitas kesehatan sebagai masalah besar, ibu yang kurang terkena media massa,dan ibu melaporkan tidak ada komplikasi obstetri selama kehamilan. PAR menunjukkan bahwa 55% dari total risikountuk underutilization layanan perawatan antenatal yang disebabkan indeks kekayaan rumah tangga yang rendah dikombinasikan dantingkat pendidikan ibu yang rendah. Pembahasan Ada dua kelompok subjek dalam penelitian ini: perawat dan wanita hamil. Mereka memiliki informasi demografis yang berbeda dan berbagai jenis tingkat persepsi mengenai kualitas pelayanan antenatal di Bangladesh. Dalam hal perawat, sebagian besar perawat yang lebih dari 35 tahun (87.50%) dengan rata-rata usia 42,5 tahun. Kebanyakan menikah (98,20%) dan Diploma pemegang Keperawatan (80.40%). Kebanyakan perawat telah bekerja selama lebih dari 10 tahun (80.40%); dan memiliki lebih banyak dari 6 bulan "pengalaman dalam pelayanan antenatal (91,10%) bekerja. Di sisi lain kelompok, sebagian besar wanita hamil adalah 20-35 tahun (94,60%) dengan rata-rata usia 25,27 tahun. Sebagian besar wanita hamil memiliki baik pendidikan formal atau kehadiran di sekolah dasar atau menengah (89,30%); hampir semua ibu rumah tangga (96,40%); 62.50% dari perempuan memiliki usia kehamilan 32 minggu atau lebih; dan 82.10% perempuan telah membuat setidaknya tiga kunjungan antenatal. Total skala perawat "persepsi mengenai kualitas pelayanan antenatal adalah tinggi (M = 176,95, SD = 16,07). Demikian pula, perawatan teknis dan perawatan antar pribadi ditemukan untuk menjadi tinggi (M = 116,18, SD = 14,74; M = 60,77, SD = 2.58). Hanya Beberapa alasan termasuk struktur rumah sakit, durasi pengalaman kerja, Pengalaman di unit perawatan antenatal, tingkat pendidikan mereka, dan program pelatihan mungkin pengaruh untuk melihat di tinggi. Di sisi lain, skala total ibu hamil persepsi mengenai kualitas pelayanan antenatal juga pada tingkat tinggi (M = 162,71,SD = 24,70); dan perawatan teknis subskala dan perawatan interpersonal yang juga ditemukan tinggi (M = 106,55, SD = 18,74; M = 56,16, SD = 7,25). Selain itu, teknis merawat subskala untuk penilaian dan pendidikan kesehatan, dan hasil perawat dan wanita hamil juga ditemukan pada tingkat tinggi. Meskipun temuan perawat dan persepsi ibu hamil mengenai kualitas pelayanan antenatal berada di tingkat tinggi, persepsi perawat secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan wanita hamil (M = 179,45 vs M = 164,49 t = 4,50,p <.001). Selain itu, dalam sub-skala untuk perawatan teknis dan perawatan interpersonal, yang persepsi perawat secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil(M = 118,49 vs M = 107,82, t = 3,97, p < .001); (M = 68,07 vs M = 41,43, Z = 4,47, p <.001). Dalam hal persepsi yang berbeda dari perawat dan wanita hamil antara rumah sakit dalam dan di luar Dhaka, ditemukan bahwa perawat "persepsi dalam Dhaka tidak berbeda nyata (M = 181,48 vs M = 178,13, t = 0,973, p > .05); dan persepsi wanita hamil di luar Dhaka secara signifikan lebih tinggi daripada mereka untuk rumah sakit di Dhaka (M = 171,85, vs M = 152,57, t = 3.67, p <.01). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 248 Temuan penelitian ini dapat diartikan dan merekomendasikan kelanjutan dari standar perawatan kualitas dan perbaikan lebih lanjut yang ada dalam profesi keperawatan dan pelayanan keperawatan.Penelitian ini mungkin memiliki implikasi untuk beberapa bidang program keperawatan termasuk: (1) praktik keperawatan, (2) pendidikan keperawatan, dan (3) penelitian keperawatan untuk perbaikan lebih lanjut layanan perawatan antenatal. Praktik keperawatan . Temuan penelitian ini dapat digunakan dalam keperawatan praktek. Melalui penyebaran temuan seperti memanggil rapat umum antara perawat yang bekerja di klinik antenatal, mengatur lokakarya dengan keperawatan pemimpin dan pembuat kebijakan, dan penerbitan dalam newsletter keperawatan atau jurnal, yang.Peneliti ingin menunjukkan daerah untuk meningkatkan praktik keperawatan yang ada di pelayanan antenatal. Keperawatan pendidikan. Temuan penelitian ini mungkin memiliki implikasi untuk kurikulum keperawatan keperawatan kesehatan ibu dan anak. Peneliti akan ingin menunjukkan daerah yang siswa menyusui perlu mempersiapkan diri dalam yang modern pendidikan keperawatan dan teknologi untuk memberikan layanan berkualitas dalam pelayanan perawatan antenatal komparatif dengan negara-negara lain. Selain itu, melalui inservice perawat pendidikan mungkin memperluas pengetahuan dan keterampilan mereka untuk meningkatkan pelayanan antenatal. Kesimpulan Ringkasan dan analisis hasil penemuan yang didapatkan termasuk didalamnya kekuatan dan keterbatasan yang dimiliki. Serta jelaskan implikasi dari hasil review tersebut bagi pelayanan, pembuat kebijakan dsb. Dalam kesimpulan, perawat memainkan peran kunci di klinik antenatal dengan mengidentifikasi kondisi fisik dan psikologis melalui awal dan selanjutnya penilaian. Melalui proses keperawatan, analisis data untuk diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, membuat pedoman yang tepat untuk memberikan keperawatan merawat wanita hamil di klinik antenatal. Daftar Pustaka Akobeng AK. Principles of evidence based medicine. Arch Dis Child 2005;90:837-40. Burls A. What is critical appraisal? What is…? series of evidence-based medicine 2nd ed. Hayward Group Ltd, Hayward Medical Communications Division; 2009 Feb[cited 2012 August 12]. Supported by Sanofi Aventis. Available from URL:HYPERLINK http://www.medicine.oc.ac.uk/bandolier/painres/download/whatis/what_is_critical_a ppraisal.pdf Donabedian, A. (2005). Mengevaluasi kualitas perawatan medis. The Milbank Quarterly, 83 , 691-729. Green S. Systematic reviews and meta-analysis. Singapore Med J 2005;46(6):270-4. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 249 Poster Presentation Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran perawat dalam pelayanan kesehatan primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN” Semarang, 7 November 2015 Karakteristik Perawat yang Dibutuhkan Masyarakat sebagai Pemberi Pelayanan Keperawatan pada Klien Stroke dalam Menyikapi Tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA): Literature Review Herry Setiawan Mahasiswa Program Studi Magister Keperawatan, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang Email: [email protected] Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara maju dan berkembang. Di negara ASEAN, stroke menjadi penyebab utama keempat kematian sejak tahun 1992, nomor satu di Indonesia. Klien stroke membutuhkan fasilitas perawatan jangka panjang di rumah sakit, pusat rehabilitasi dan di rumah. Mereka bisa mendapatkan kembali kualitas hidup dengan perawatan jangka panjang yang tepat dan dukungan dari keluarga atau pengasuh. Pengasuh membutuhkan dukungan dan motivasi dari perawat dalam pelaksanaannya. Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadikan persaingan perawat Indonesia dan perawat asing semakin nyata. Keadaan ini memberikan kesempatan klien dan keluarga memilih dirawat oleh profesional keperawatan. Tujuan: mengidentifikasi karakteristik perawat yang dibutuhkan masyarakat sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada klien stroke. Metodologi: Literature review dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi tahun 20012014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed dan Google search. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, dengan kata kunci “stroke patients” and “nurse” and “caregiver”. Metodologi yang digunakan dalam publikasi dengan metoda kuantitatif, nonRCTdan RCT dilakukan oleh perawat kepada keluarga klien dengan Stroke. Selanjutnya data di-review dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dibahas dan disimpulkan. Hasil: Penelusuran mendapat 4 publikasi ilmiah dengan kualitas baik yang menunjukan bahwa pengasuh klien stroke membutuhkan keberadaan perawat dalam mendengarkan, mendukung, memotivasi, menginformasikan hal terkait pelaksanaan perawatan. Diskusi: Perawat Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan perawat asing yang terasosiasi dalam Points-of-Difference (POD) dan Points-of-Parity (POP) membuat masyarakat memilihnya. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan. Kesimpulan: Perawat yang memiliki karakteristik yang diinginkan klien akan membuat masyarakat memilih perawat Indonesia diantara himpitan perawat asing yang berdatangan dalam perawatan klien Stroke di era MEA. Kata Kunci: Stroke, Karakteristik Perawat, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 250 LATAR BELAKANG Memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, harapan akan pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik, daya beli masyarakat yang semakin tinggi, sebenarnya mempunyai dampak yang menyita perhatian. Perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi menjadi penyakit degeneratif semakin meningkat. Cerebral Vascular Accident (CVA) atau lebih dikenal dengan Stroke, salah satu contoh penyakit degeneratif yang merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara maju dan berkembang (Murray & Lopez, 1997). Di Amerika Serikat, stroke adalah penyebab utama ketiga kematian (Hinkle & Guanci, 2007). Di negara ASEAN, data kematian lebih bervariasi, stroke telah menjadi penyebab utama ke-empat kematian sejak tahun 1992; nomor satu di Indonesia (Venketasubramanian, 1998). Stroke dapat dicegah dan diobati sehingga penderita stroke dapat memperoleh kembali kualitas hidup mereka dengan perawatan jangka panjang yang tepat dan dukungan dari keluarga atau pengasuh (Depkes RI, 2011). Penderita stroke membutuhkan fasilitas perawatan jangka panjang di rumah sakit, pusat rehabilitasi dan di rumah (Mohn-Brown, 2007). Manajemen stroke diperlukan untuk mencegah komplikasi dan kematian akibat stroke dalam perawatan jangka panjang. Klien yang mengalami stroke dapat sepenuhnya pulih atau mungkin memiliki beberapa efek residual dari penyakit mereka. Klien stroke memiliki risiko tinggi komplikasi; komplikasi ini hambatan potensi untuk pemulihan yang optimal (Kuptniratsaikul, 2008). Peran perawat sebagai tenaga kesehatan sangat diperlukan dalam memfasilitasi klien dan keluarga dalam masa penyembuhan pascastroke. Keluarga dan pengasuh menjadi pengambil keputusan perawatan klien stroke di fasilitas perawatan jangka panjang (Mohn-Brown, 2007). Pengasuh adalah orang yang harus peduli karena kekerabatan dekat mereka atau ikatan emosional dengan penerima pelayanan (Schofield et al, 1998). Persyaratan terus-menerus dan perawatan jangka panjang klien stroke dengan sumber daya yang terbatas adalah kenyataan pahit bagi banyak pengasuh (Dorsey & Vaca, 1998). Tim kesehatan mengidentifikasi caregiver klien stroke sebagai anggota kunci dari tim. Meskipun keterlibatan seara aktif dari caregiver dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam perawatan akut sering hilang (Maclsaac et al, 2011). Caregiver akan membahas dasar-dasar mengelola kegiatan hidup sehari-hari dan strategi pemecahan masalah. Jadi, caregiver perlu belajar tetang peran mereka dengan jelas (Thompson et al, 2004). Peran caregiver adalah membantu klien stroke tetang cara makan, melakukan aktivitas (kegiatan hidup sehari-hari) dan rehabilitasi (Dewit, 2009). Fase perawatan akut dari manajemen stroke adalah singkat, dan caregiver membutuhkan bantuan dalam membuat keputusan tentang tahap berikutnya tentang perawatan untuk klien stroke (Phipps et al, 2003). Caregiver juga memiliki peran penting dalam fase ketiga dari stroke yaitu perencanaan pulang dari rumah sakit, yang akan membantu klien dan perawat menyesuaikan diri dengan cara hidup mereka yang baru (Dewit, 2009). Jadi, perawat perlu mengidentifikasi caregiver sebagai penerima peduli dan mendampingi Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 251 klien selama di rumah sakit dan di rumah; sehingga mendukung mereka saat mereka menyesuaikan diri dengan peran mereka nantinya (Thompson et al, 2004). Menurut UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. Akhir tahun 2015 akan diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), perawat asing akan bebas masuk ke Indonesia. Di Era globalisasi sekarang ini mengharuskan tenaga kesehatan berbenah diri. Peluang dan tantangan yang menghadang harus diterobos baik itu dengan peningkatan daya jual, mutu dan profesionalisme tenaga kesehatan Indonesia. Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang telah berada dipelupuk mata dan sudah menjadi keharusan bagi masyarakat Indonesia guna menyiapkan diri untuk menghadapinya. Hal ini sangat mungkin membawa Indonesia pada kondisi terpuruk jika tidak ada kesiapan yang matang pada segala bidang (Beritajatim, 2015). Kesiapan dalam hal ini juga dilakukan oleh perawat Indonesia. Kesiapan bukan hanya untuk menerima kedatangan perawat asing yang mencari nafkah di Negara tercinta. Namun, kesiapan dalam mengirim perawat berkualitas dan profesional ke luar negeri. Amanat UU 38 tahun 2014 pasal 2 poin (d) menekankan bahwa dalam pelaksanaan pemberian praktik keperawatan seorang perawat harus memperhatikan etka dan profesionalitas. Disebutkan juga dalam Kerangka Kompetensi Perawat Indonesia yaitu praktik keperawatan berbentuk praktik profesional, etik, legal dan peka budaya. Semua ini akan mendukung pencapaian perawat Indonesia dalam menghadapi MEA dengan menganut karakteristik khusus dan nilai marketing yang menjadikan perawat Indonesia dipilih oleh masyarakat selaku klien. Nilai ini juga yang membuat perawat Indonesia dipilih oleh klien sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). TUJUAN 1. Tujuan Umum Mengidentifikasi karakteristik perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui peran perawat dalam pemberi pelayanan keperawatan pada klien stroke b. Mengetahui pentingnya nilai marketing perawat sebagai pemberi pelayanan dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) c. Mengetahui pentingnya pembentukan karakteristik perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan pada klien Stroke dalam menyikapi tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). METODE 1. Kriretia Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi yaitu artikel dengan metoda penelitian metoda kuantitatif, nonRCTdan RCT dilakukan oleh perawat kepada keluarga klien Stroke yang dilakukan tahun 2011-2014 dengan menggunakan bahasa inggris dan full teks. Pemilihan sampel Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 252 pada artikel adalah pemberian pelayanan perawat kepada pasien dan keluarga pasien dengan penyakit Stroke. 2. Strategi Pencarian Literatur Literature review dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi pada tahun 20012014 dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed dan Google search. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “stroke patients” and “nurse” and “caregiver”. Diagram Pencarian Literatur: EBSCO Stroke patients, n= 117.234 Stroke patients and nurse, n= 541 Stroke patients and nurse and caregiver, n=25 Pro-Quest Stroke patients, n= 87.443 Stroke patients and nurse, n= 321 Stroke patients and nurse and caregiver, n=11 PubMed Stroke patients, n= 7.211 Stroke patients and nurse, n= 55 Stroke patients and nurse and caregiver, n=6 Identifikasi Google search Skrening Kelayakan 1. 2. 3. 4. 5. PDF Full Teks Bahasa Inggris Free Download Tahun 2001-2014 1. Sampel adalah perawat dan klien (pasien dan keluarga) yang mengalami penyakit Stroke Perawatan dilakukan oleh keluarga/pasangan dan perawat Perawatan lanjutan pasca stroke aya 2. 3. Analisis Stroke patients, n= 152.000.000 Stroke patients and nurse, n= 43.400.000 Stroke patients and nurse and caregiver, n=10.800.000 1. 2. 3. 4. EBSCO Pub Med Pro-Quest Google Search Pemberi pelayanan keperawatan pada klien Stroke 1. 2. 3. 4. n= 14 n= 5 n= 3 n = 15 EBSCO n= 4 Pub Med n= 2 Pro-Quest n= 1 Google Search n = 3 1. 2. 3. 4. EBSCO n= 4 Pub Med n= 1 Pro-Quest n= 1 Google Search n= 2 Literature Review, n=4 3. Ekstraksi Data dan Motede Pengkajian Kualitas Studi Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 253 Data dari artikel direview dengan penggunakan CASP tools dan diekstraksi kemudian dikelompokkan untuk dilakukan triangulasi untuk dilakukan pembahasan dan disimpulkan sehingga dikeahui kualitas jurnal. Penentuan kualitas jurnal dengan menggunakan prosentase hasil ekstraksi yaitu jurnal dikategorikan menjadi kualitas baik, sedang dan kulaitas tidak baik. Jurnal dikategorikan baik jika propsentase 80%100%, cukup jika 65%-79% dan tidak baik jika prosentase <64%. 4. Analisa Data Data dikumpulkan berdasarkan tujuan, sampel dan hasil yang sebanding kemudian dilakukan analisis (table 1) sehingga dapat pula dilihat heterogenitas dari hasil penelitian yang ditemukan dalam studi (publikasi ilmiah). Jika dalam temuan jurnal tidak sesuai dengan kirteria baik kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi ataupun hasil tidak sesuai yang telah ditetapkan maka jurnal tersebut tidak dilakukan sistematik review (dihapus). Literature review ini bertujuan untuk memperkuat hasil dari studi/penelitian tersebut. HASIL Dari ekstraksi data dapat dilakukan beberapa sintesa guna memberikan gambaran mengenai keadaan klien, keluarga, pengasuh pada penyakit Stroke. Penelitian Han Boter, et al (2004), dari 173 pasien, 166 (96%) menyebutkan total 1.419 masalah. Masalah fisik (92%; 153/166), masalah emosional (60%; 99/166). Proporsi pasien dengan masalah menurun dari 94% (142/151) di kontak pertama, 74% (108/145) di kontak terakhir. Dari 148 penjaga, 118 (80%) dihubungi dan 84 disebutkan 266 masalah 'beban psikososial' paling sering disebutkan (45%; 53/118). Proporsi wali dengan masalah adalah 56% (54/96) pada kontak pertama dan 37% (26/70) pada kontak terakhir. Dari 864 intervensi untuk pasien, perawatan stroke yang paling sering diterapkan 'mendengarkan mendukung' (55%; 471/864) dan 'meyakinkan atau mendorong' (12%; 107/864), dan dari 258 intervensi untuk penjaga 45% (115/258 ) adalah 'mendengarkan mendukung' dan 17% (43/258) 'menginformasikan'. Penelitian Visser-Meily, et al (2005), kepuasan rata-rata adalah 7, dan 44% dari semua pasangan ‡ 8 (sangat puas) tapi 23% tidak puas. Karakteristik ‘pasangan dan pasien' dan skor kepuasan tidak terkait. Karakteristik dukungan jumlah hari pertemuan (p ¼ 0,02), partisipasi dalam kelompok pengasuh (p ¼ 0,006) dan dukungan dari anggota tim (p ¼ 0,000) terkait dengan kepuasan. Tidak ada perbedaan dalam skor kepuasan pasangan ditemukan antara pusat rehabilitasi yang berpartisipasi. Hanya 39% dari pasangan berpartisipasi dalam kelompok pengasuh. Alasan penting untuk tidak berpartisipasi dalam kelompok tersebut tidak menyadari kesempatan untuk mengambil bagian dalam kelompok (49%). Pasangan berpartisipasi dalam kelompok menunjukkan gejala depresi lebih dan memiliki lebih mitra sangat cacat. Dukungan Pengasuh terutama diberikan oleh perawat dan pekerja sosial. Satu dari lima pasangan menunjukkan tidak terindikasi setelah didukung oleh tim rehabilitasi. Penelitian R. Oupra, el at (2010), sebanyak 140 penderita stroke dan pengasuh; 70 pasien/pasangan pengasuh di masing-masing kelompok. Pengasuh pasien dirawat di rumah sakit intervensi menyusul stroke akut sebagai penerima intervensi, sementara pengasuh pasien dirawat di rumah sakit pembanding menerima perawatan biasa di rumah sakit. Keluarga pengasuh pada kelompok intervensi memiliki kualitas hidup lebih baik secara signifikan daripada kelompok pembanding (GHQ - 28 di debit t=2,82, d.f.=138, P=0,006; dan pada 3 bulan t=6.80, d.f.=135, P < 0,001) dan mereka juga melaporkan berkurang ketegangan. Indeks pada t= 6.73 debit, d.f.=138, P < 0,001; dan pada 3 bulan t =7.67, d.f.=135, P < 0,001). Penelitian ini menunjukkan bahwa memberikan pendidikan dan dukungan kepada keluarga pengasuh penderita stroke dapat mengurangi ketegangan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 254 pengasuh dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Penelitian Franze´n-Dahlin, et al (2008), tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara kelompok intervensi dan kontrol mengenai kesehatan psikologis secara keseluruhan. Namun, subanalysis mengungkapkan bahwa mereka yang berpartisipasi lebih sering dalam pertemuan kelompok (lima atau enam kali) memiliki kesehatan psikologis signifikan lebih kuat (P50.05). Pengetahuan tentang stroke meningkat dari waktu ke waktu pada kedua kelompok, tetapi peserta dalam kelompok intervensi belajar lebih (P ¼ 0,041). DISKUSI Pada pelaksanaannya perawat memegang peranan penting karena wajib memilih pengasuh terbaik untuk perawatan lanjutan. Kebutuhan informasi terkait perawatan lanjutan, motivasi, dorongan dan dukungan untuk merawat klien stroke menjadikan penguat bagi mereka yang bertindak sebagai pengasuh atau caregiver . Caregiver adalah orang yang memiliki kewajiban untuk peduli karena adanya hubungan kekerabatan dekat atau ikatan emosional dengan penerima pelayanan (Schofield et al., 1998). Caregiver utama biasanya adalah anggota keluarga, teman yang rela mengorbankan waktu, tenaga dan dalam beberapa kasus, seluruh diri mereka cenderung untuk kebutuhan penerima pelayanan (Robcares, 2013). Keluarga atau caregiver akan menjadi care-taker untuk penderita stroke dalam perawatan jangka panjang (Burke et al., 2007). Peran caregiver adalah menyediakan kebutuhan dasar pangan, sandang, kebersihan dan tempat tinggal. Mereka juga harus tahu bagaimana untuk memenuhi kebutuhan emosional seseorang tanpa menciptakan ketergantungan. Terlebih lagi, mereka tidak boleh melupakan kebutuhan mereka sendiri dan memahami bahwa untuk merawat orang yang dicintai, mereka juga harus merawat dirinya sendiri (Robcares, 2013). Di Indonesia, istilah "caregiver" masih langka di masyarakat karena profesi ini masih relatif jarang. Istilah lain caregiver adalah "pekerja perawatan", "pengasuh lanjut usia", atau di Jepang disebut "kaigofukushishi". Selain itu, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjaga keluarga mereka. Dengan demikian caregiver di Indonesia adalah pengasuh keluarga (primary caregiver). Tim kesehatan mengidentifikasi caregiver pasien stroke sebagai salah satu kunci dari tim kesehatan. Namun, terlibatnya caregiver secara aktif dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam perawatan akut sering tidak ada (Maclsaac et al., 2011). Caregiver membahas dasar-dasar mengelola aktivitas sehari-hari dan strategi pemecahan masalah. Jadi, caregiver juga perlu belajar tentang peran mereka secara koheren (Thompson et al., 2004). Peran caregiver adalah membantu penderita stroke dalam hal makan, melakukan ADL dan rehabilitasi (Dewit, 2009). Caregiver juga berkontribusi terhadap kebutuhan informasi dan psikologi (Dorsey & Vaca, 1998). Pada pelaksanaan pelayanan keperawatan klien dengan Stroke, mungkinkah perawat Indonesia bisa bersaing dengan Negara Asia Tenggara lainnya? inilah yang akan menjadi tugas besar untuk setiap individu perawat Indonesia dan organisasi profesi tentunya akan mendukung perawat Indonesia dalam membenahi kompetensi, keahlian dan profesionalisme dalam pelaksanaan keperawatan. Perawat profesional adalah perawat yang dapat memberikan pelayanan keperawatan dengan menerapkan etika profesional keperawatan serta memiliki kemampuan secara keilmuan. Jadi tidak hanya pintar secara keilmuan tetapi juga memiliki prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan dan naluri pengembangan secara mandiri maupun bekerjasama. Menyikapi persaingan era pasar bebas bukan hanya perawat asing yang akan berdatangan. Namun, klien asing juga akan banyak dirawat di Indonesia. Kemampuan berbahasa asing akan memudahkan komunikasi perawat klien. Kaitannya dengan klien Stroke jelas karena kejadian Stroke baik di dalam maupun di luar negeri sama besarnya. Di Amerika Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 255 Serikat, stroke adalah penyebab utama ketiga kematian (Hinkle & Guanci, 2007). Di negara ASEAN, data kematian lebih bervariasi, stroke telah menjadi penyebab utama ke-empat kematian sejak tahun 1992. Era MEA 2015, antisipasi arus tenaga kerja asing tidak hanya dikelola oleh negara, setiap Individu dan profesi masyarakat Indonesia pun harus mampu melakukan antisipasi arus tersebut. Hal utama yang dapat dilakukan oleh individu adalah dengan memiliki kompetensi dan kemampuan yang dapat menandingi tenaga kerja asing, hal yang dapat menandingi kemampuan tenaga asing adalah dengan memiliki etos kerja profesional yang tentunya tidak akan mudah ditiru oleh tenaga asing. Persaingan dalam hal harga dan kualitas akan mudah ditiru oleh kompetitor tetapi persaingan dalam hal etika, perilaku tentunya bukanlah hal mudah untuk ditiru khususnya perilaku yang berasal dari hati nurani perawat Indonesia. Perawat Indonesia haruslah mencari arti pentingnya positioning yang otentik dalam pelayanan keperawatan. Hal ini akan menjadi Point of Difference (POD) yang sangat efektif. Positioning seperti ini tentunya perlu didukung oleh banyak hal yang bersumber dari karakter dan perilaku perawat itu sendiri. Semakin cerdasnya masyarakat dan adanya ledakan informasi, maka strategi positioning yang mengaitkan dengan authenticity sungguh efektif untuk menciptakan citra perawat Indonesia yang akan dipilih oleh masyarakat selaku klien yang memerlukan pelayanan keperawatan. Perawat secara personal dan tim perawatan memiliki beberapa POD yang sangat kuat dan menancap dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Perawat adalah tenaga kesehatan yang mendengarkan dan melayani klien saat sakit. Bagaimana terkait perihal caring dalam tata klinis. Jawaban yang lugas dan sederhana harus diberikan, yaitu mendengarkan keluhan klien terkait penyakitnya. Perawat memposisikan seperti ini pada saat klien melihat banyak perawat tidak mendengarkan dan melayani klien saat sakit. Jadi, POD yang efektif adalah atribut atau karakter yang memiliki oposisi atau sisi kontras yang kuat. Selain itu, sudah pasti bahwa POD yang kuat juga harus didukung oleh banyak elemen merek. Dalam hal ini, sosok perawat yang sederhana, ramah, dekat dengan klien melalui waktu panjang yang disediakan. Hal ini memberi kekuatan yang besar sehingga POD ini menjadi kuat, unik, dan dapat dipercaya oleh masyarakat selaku klien. Points of Parity (POP) diibaratkan sebuah merek tidak boleh hanya unik dan berbeda, tapi juga harus memiliki citra yang menetralisir keunggulan dari pesaing dalam hal ini perawat dari Negara asing. Inilah yang disebut dengan POP. Misal. Perawat Indonesia ternyata, tidak tangguh dalam hal daya tahan tubuh dalam bekerja, kalah jauh dari pesaing yaitu perawat asing. Ini yang megakibatkan beberapa kelompok masyarakat selaku klien mulai meragukan kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan. Jadi, sebagian yang mulai beralih adalah mereka yang melihat bahwa perawat Indonesia tidak memiliki sesuatu yang dipunyai oleh perawat asing. Misalnya, sebagai pengambil keputusan klinis yang tegas. POP harus mulai dibentuk sehingga menetralisir keunggulan perawat asing. Perawat Indonesia juga bisa tegas, pelaksana keperawatan yang mampu berpikir kritis. Inilah yang disebut Points of Parity (POP), yaitu citra yang mampu menetralisir keunggulan pesaing, walau tidak perlu lebih unggul. Kotler dan Keller (2006), menyebutkan bahwa POP merupakan asosiasi-asosiasi yang tak perlu unik pada merek tetapi mungkin terbagi dengan merek-merek lain. Hal ini juga ada pada diri perawat, aspek kompetensi dasar, pintar, lulusan terbaik tidak hanya milik perawat Indonesia tapi juga perawat asing. Soal keramahan, tulus, kenyamanan, dan kecepatan dalam pelayanan juga telah menjadi standar umum seorang perawat. Bukan hal yang khusus. Namun, justru bila aspek tersebut tidak terpenuhi, klien tidak akan memandang perawat Indonesia tersebut sebagai tenaga keperawatan yang layak untuk dipilih. Perawat bukanlah Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 256 tenaga profesional yang sesungguhnya jika tidak empati, sopan, rendah hati, care dan sebagainya. Kotler dan Keller (2006), menyebutkan bahwa ada dua bentuk dasar dari POP yaitu kategori dan kompetitif. Bentuk pertama yaitu kategori merupakan hal yang esensial bagi sebuah produk agar dipandang legitimate dan kredibel sebagai produk di satu kategori tertentu. Hal yang telah menjadi standar umum itulah yang diterima. Apalah artinya seorang perawat jika tidak empati, sopan, rendah hati, care? Klien selaku konsumen akan merasa bahwa perawat tersebut tidak kredibel dan tidak pantas disebut perawat profesional. Bentuk kedua (kompetitif) merupakan asosiasi yang didesain untuk mengurangi Points-of-Difference (POD) dari pesaing. POD adalah atribut di mana konsumen secara kuat mengasosiasikan atau mengaitkan dengan sebuah merek, mengevaluasi secara positif dan mempercayai bahwa mereka tidak dapat menemukan pada tingkat yang sama dengan sebuah merek lain yang kompetitif. Jadi POD merupakan pembeda di satu merek yang tidak dapat ditemukan pada merek lain. Ketika POD menjadi kekuatan sebuah merek untuk bersaing, merek lain mencoba meredam dengan menyetarakannya sebagai POP. Saat perawat Indonesia mengkampanyekan bahwa tenaga keperawatan dididik melalui serangkaian langkah yang terjamin kualitas peserta didiknya. Pesaing dari Negara asing juga melakukan hal serupa. Manakala di setiap intitusi pendidikan asing disediakan fasilitas yang serupa, melakukan hal yang sama dengan di Indonesia. Sesuatu yang berbeda pun menjadi hal yang biasa dan menjadi standar yang diterima sebagai keharusan. Keadaan ini menuntut perawat agar dapat mengaktualisasikan POP dan POD secara nyata dengan berbagai aktivitas pelayanan keperawatan yang mendukung. Dapat dikomunikasikan menuntut perawat untuk merancang aktivitas promosi dengan berbagai asosiasi yang sesuai dengan pengetahuan klien yang telah ada. Sebagai contoh menambah pelayanan di luar rumah sakit seperti home care ketika klien memutuskan untuk dirawat di rumah. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan. KESIMPULAN Pengasuh klien stroke membutuhkan keberadaan perawat dalam mendengarkan, mendukung, memotivasi, menginformasikan hal terkait pelaksanaan perawatan. Perawat Indonesia yang mempunyai karakteristik berbeda dengan perawat asing yang terasosiasi dalam Points-of-Difference (POD) dan Points-of-Parity (POP) membuat masyarakat memilihnya. Kehadiran perawat dalam pelaksanaan perawatan meningkatkan kesehatan psikologis pasangan, menurunkan depresi, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan ketegangan pengasuh. Kehadiran perawat yang mempunyai kemampuan sesuai harapan klien dan keluarga akan menjadi pilihan diantara perawat asing yang berdatangan. Perawat yang memiliki karakteristik yang diinginkan klien akan membuat masyarakat memilih perawat Indonesia diantara himpitan perawat asing yang berdatangan dalam perawatan klien Stroke di era MEA. Point of Difference (POD) dan Point a it ( ) adalah suatu keniscayaan dalam dunia pemasaran profesi keperawatan. Menjadi serupa dengan pesaing adalah suatu standar yang harus dipenuhi agar jasa pelayanan memperoleh legitimasi dan dipandang kredibel oleh klien selaku konsumen. Tetapi menjadi yang berbeda dalam benak klien relatif terhadap perawat pesaing adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Majulah Perawat Indonesia, saatnya perawat Indonesia muncul dipermukaan dengan langkah penuh percaya Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 257 diri karena sudah dilengkapi dengan bekal keilmuan dan hati yang siap melayani dengan penuh kasih. DAFTAR PUSTAKA A˚ F anze´n-Dahlin et al. 2008. A randomized controlled trial evaluating the effect of a support and education programme for spouses of people affected by stroke. Clinical Rehabilitation 2008; 22: 722–730. Berita Jatim. Perawat Dituntut lebih Profesional, Menyambut MEA. http://wartakesehatan.com/54664/perawat-dituntut-lebih-profesional-menyambut-mea. Diakses, 02 Oktober 2015 Carlsson C and Linander K. 2012. Positioning of a brand point of parity- a study of a possible approach for taking position of a point of parity in a mature business to business market. Master of Science Thesis INDEK 2012:08 Depkes RI. Delapan dari 1000 orang di Indonesia terkena stroke. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/pressrelease/ 1703-8-dari-1000-orang-diindonesia-terkena-stroke.html. Retrieved November 1, 2015 Dewit SC. Medical-surgical nursing concepts & practice. St Louis, Missouri: Saunders Elsevier; 2009. Dorsey MK & Vaca KJ. The stroke patient and assessment of caregiver needs. Journal of Vascular Nursing 1998; 16: 62 – 67. Ghodeswar. 2008. Building brand identity in competitive markets: a conceptual model. Journal of Product & Brand Management 17/1 (2008) 4–12 Han Boter, et al. 2004. ut each nu se supp t a te st ke: a desc iptive stud n patients’ and care s’ needs, and applied nu sing inte venti ns. Clinical Rehabilitati n 2004; 18: 156–163. Hinkle JL & Guanci MM. 2007. Acute ischemic stroke review. Journal Neuroscience Nurse; 39: 285 – 293. Hunt LA et al. 2011. Assessment of student nurses in practice: A comparison of theoretical and practical: assessment results in England. Nurse Education Today Janiszewska K. 2012. The strategic importance of brand positioning in the place brand concept: elements, structure and application capabilities. Journal of International Studies, Vol. 5, No 1, pp. 9-19 J.M. Anne Visser-Meil et al. 2005. Sp uses’ satis acti n with ca egive supp t in st ke rehabilitation. Scand J Caring Sci; 2005; 19; 310–316. Kuptniratsaikul V, et al.. Complications during the rehabilitation period in Thai patients with stroke. American Journal of Physical Medicine & Rehabilitation 2008; 88 (2): 92 – 99. Mohn-Brown et al. 2007. Medical-surgical nursing. 2nd ed. New Jersey: Pearson. Murray CJL & Lopez AD. 1997. Mortality by cause for eight regions of the world: Global burden of disease study. The Lancet; 349: 1269 – 1276. Phipps WJ, et al. 2003. Medical-surgical nursing health and illness perspectives. USA: Seventh edition. Mosby; 2003. R. Oupra; et al. 2010. Effectiveness of Supportive Educative Learning programme on the level of strain experienced by caregivers of stroke patients in Thailand. Health and Social Care in the Community 18(1), 10–20. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 258 Schofield H, et al. 1998. Family caregivers disablity, illness and ageing. Australia: Allen & Unwin. Thompson TC, Pierce LL, Steiner V, Govoni AL, Hicks B, Griedemann M. 2004. What happened to normal? Learning the role of caregiver. On-Line Journal of Nursing Informatics; 8(2): 13. Undang-undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan Venketasubramanian N. 1998. The epidemiology of stroke in ASEAN countries – a review. Neuro Journal Southeast Asia; 3: 9 – 14. Walker L. 2013. Marketing Yourself and Your Profession: A guide for primary care nurses. Australian Medicare Local Alliance. ISBN: 978-0-9873577-1-7. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 259 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN PERAWAT DALAM BERADAPTASI DALAM KONTEKS LINTAS BUDAYA Arwyn Weynand Nusawakan Staff Pengajar di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Abstrak Latar Belakang. Keberagaman bangsa Indonesia dari segi suku dan budaya akan berimplikasi pada perilaku kesehatan masyarakat yang juga beragam. Perawat yang berada dan bekerja pada layanan kesehatan primer dimana pusta layanan yang akan diberikan adalah kepada individu atau keluarga yang tentu memiliki keberagaman, sangat diharapkan memiliki kompetensi kultural yang akan sangat membantunya beradaptasi dan memahami faktor sosial budaya yang dapat berpengaruh pada kesehatan masyarakat dan sikap mereka terhadap penyakit. Tujuan. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya ( crosscultural adaptation). Metoda. studi ini merupakan sebuah studi literatur dimana jurnal-jurnal terpublikasi pada Ebsco Host yang berhubugan dengan adaptasi kultural pada perawat maupun calon perawat di ringkas dan kemudian disintesa hasil-hasilnya. Hasil. Berdasarkan analisis 14 jurnal terpublikasi didapatkan beberapa faktor yang berhubungan dengan adaptasi dalam konteks perawatan lintas budaya adalah pendidikan, komunikasi, pengalaman dan pelatihan. Hasil penelitian menemukan bahwa tingkat pendidikan perawat berpengaruh pada kemampuan beradaptasi lintas budaya yang mana, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi kemampuan beradaptasinya. Tidak hanya itu, Kominikasi (verbal dan non verbal) merupakan salah satu hal penting yang bisa berpengaruh dalam hal kompetensi kultural. Hal lainnya adalah pengalaman terpapar dengan lingkungan lintas budaya juga membuat seorang perawat atau mahasiswa keperawatan mampu belajar beradaptasi. Sejumlah pelatihan intensif berkaitan dengan kompetensi kultural kepada perawat terbukti bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan, skill, dan sensitifitas kultural. Kesimpulan: Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi dalam konteks lintas budaya adalah tingkat pendidikan, kemampuan berkomunikasi, pengalaman, dan pelatihan mengenai kompetensi kultural kepada perawat. Kata Kunci: Kompetensi Kultural, Tingkat Pendidikan, Komunikasi, Pengalaman, Pelatihan Pendahuluan Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia sudah sangat dikenal sebagai negara yang memiliki latar belakang suku budaya yang beragam. Hal ini bisa terlihat dari berbagai suku bangsa yang terdapat di negara ini. Badan Pusat Statistik (2015) mencatat bahwa Indonesia yang didalamnya terdapat 34 provinsi, memiliki ± 17.504 pulau yang tersebar luas dari barat hingga timur. Keberagamaan suku dan bangsa ini bisa menjadi sebuah kekayaan yang besar berdampak baik bagi negara ini, tetapi juga bisa menjadi masalah jika tidak di kelola dengan baik. Salah satu bidang yang berhubungan dengan keberagaman ini adalah bidang kesehatan. Kebiasaan, sistem kepercayaan, dan perilaku masyarakat yang beragam akan berdampak pada cara pandang mereka terhadap kesehatan itu sendiri. Sebagai sebuah harmony dari tubuh, jiwa, dan roh (Watson 1985), kesehatan dimaknai berbeda pada setiap budaya, yang bergantung pada nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan kemampuan untuk memenuhi setiap kebutuhan dasar manusia (Ray, 2010). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 260 Kleinman (1998) mengatakan bahwa kesehatan dapat dimaknai pada budaya yang berbeda-beda berdasarkan health-belief model, bentuk-bentuk koping, perilaku mencari pertolongan, dan parameter sosiospiritual. Kleinman melanjutkan beberapa penyakit memiliki keterkaitan dengan budaya seperti penyakit yang dimaknai berhubungan dengan kemiripan dengan anggora keluarga yang lain, ritual-ritual tertentu dalam budaya, keterkaitan antara rasa malu dengan sejumlah penyakit psikologis, dan lain-lain. Hal ini berimplikasi pada perlunya pehaman dari tenaga kesehatan yang melaksanakan layanan kesehatan, kususnya ketika melakukan pelayanan transkultur. Perawat sebagai salah satu bagian dari petugas kesehatan yang berperan penting dalam melakukan proses caring pada pasien diperhadapkan dengan kompleksitas yang dimiliki individu maupun komunitas tertentu. Kompleksitas tersebut terkait dengan essensi dari manusia itu sendiri yang unik dan holistik dimana sakit bukan hanya persoalan fisik melainkan psikis, sosialspiritual maupun budaya. Dalam hal budaya, Ray (2010) mengatakan bahwa dalam proses merawat para pasien perawat harus berhadapan dengan latar belakang budayanya sendiri, keberagaman budaya pasien, pengetahuannya terhadap keberagaman budaya tersebut, dan kemampuan perawat tersebut untuk menghubungkan hal-hal tersebut atau beradaptasi dengan hal-hal tersebut. Dengan kata lain, dibutuhkan kemampuan perawat dalam melakukan dapatasi terhadap budaya para pasien yang beragam tersebut. Adaptasi kultural dapat dipandang sebagai sebuah proses seseorang dalam menyesuaikan dirinya yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda dengan budaya orang lain. Dengan kata lain, adaptasi budaya adalah kemampuan seseorang dalam melakukan penyesuaian terhadap norma, nilai, kepercayaan, perilaku dan kebiasan dari orang lain. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya. Hal ini diangkat dengan asumsi bahwa perawat yang mampu beradaptasi dengan budaya pasien dapat memberikan layanan yang lebih baik. Leininger (1991) dalm bukunya mengatakan bahwa perawatan yang total kepada pasien hanya mungkin dilakukan ketika perawat mampu memandang klien dari desain kerangka berpikir budayanya. Tujuan Tujuan dari peelitian ini adalah untuk Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi dalam konteks lintas budaya. Metode Studi ini adalah sebuah studi literatur untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi lintas budaya. Hal ini dilakukan dengan cara mereview jurnal-jurnal yang telah terpublikasi mengenai adaptasi kultural pada perawat maupun calon perawat. Jurnal-jurnal tersebut diringkas kemudian disintesa hasil-hasilnya. Jurnal-jurnal tersebut diidentifikasi melalui artikel-artikel yang telah dipublikasikan yang diunduh melalui Ebsco Host sebagai pangkalan data jurnal-jurnal antara tahun 2002-2015 dengan menggunakan kata kunci seperti Hasil Berdasarkan hasil sintesis dari 14 jurnal yang berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam melakukan adaptasi lintas budaya, didapati Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 261 paling tidak ada 4 hal yang berkaitan dengan kamampuan adaptasi perawat dalam lintas budaya: Pendidikan. Faktor yang pertama adalah tentang latar belakang pendidikan perawat itu sendiri. Pendidikan sangat berkaitan dengan kemampuan perawat memahami budaya orang lain. Melalu proses pendidikan keperawatan baik dalam tahap akademik maupun praktik, perawat maupun calon perawat diarahkan baik secara kognitif maupun sikapnya untuk mampu memahami budaya lain disekitarnya. Semakin tinggi pendidikan yang didapat perawat diharapkan semakin baik kemampuan beradaptasinya. Selain itu dunia pendidikan keperawatan memegang peranan penting dalam mencetak calon perawat yang mampu beradaptasi lintas budaya. Institusi pendidikan yang mengatur kurikulum berbasis lintas budaya maupun memasukannya kedalam proses belajar mahasiswa serta program-program lintas budaya membuat calon perawat memiliki bekal yang cukup dalam layanan keperawatan kedepan. Pendapat ini didukung oleh Purnell (2013) dalam bukunya Transcultural Health Care yang mengatakan bahwa memasukan materi mengenai kopetensi kultural akan membuat perawat diajarkan sejak dunia pendidikan untuk mampu memahami kebudayaan pasien. Hal ini akan membuat mahasiswa calon perawat lebih mampu ketika melakukan layanan kesehatan sebagai seorang perawat. Ruth, Cantrell dan Reynolds (2014) yang melakukan penelitian mengenai promoting cultural understanding through pediatric clinical dyads menemukan bahwa keenam riset partisipan yang merupakan mahasiswa keperawatan dari Amerika dan Oman ini mampu memahami mitos-mitos, mengatasi rintangan-rintangan budaya, dan terjadi peningkatan pemahaman terhadap pandangan budaya lain. Ruddock dan Turner (2007) dalam studiny mengenai membangung sensitifitas budaya pada mahasiswa keperawatan melalui program internasionalisasi dan mendapatkan hasil bahwa program ini berhasil mengembangkan sensitifitas budaya mahasiswa seperti mampu membuat penyesuaian terhadap perbedaan budaya. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Mareno dan Hart (2014) tentang perbandingan kompetensi kultural antara perawat lulusan sarjana dan pasca sarja dimana 365 perawat yang berpartisipan dalam survey ini mendapatkan hasil bahwa meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan dari segi kesadatan, skill, kenyamanan dengan pasien perawat lulusan pasca sarjana memiliki pengetahuan tentang budaya yang lebih tinggi dibandingkan perawat sarjana. Penelitian ini memunculkan kesimpulan bahwa pendidikan keperawatan baik sarjana maupun pasca sarjana perlu memasukan aspek kecakapan kultural kedalam kurikulum perkuliahan sejak mahasiswa bisa dipersiapkan sejak awal. Duffy (2002) dalam tulisannya mengenai sebuah kritik pada pendidikan budaya dalam keperawatan bahkan mengatakan bahwa pendidikan yang transformatif diperlukan sebagai alternatif untuk mempelajari pendidikan budaya karena pendekatan ini memfokuskan pada perkembangan kepribadian dan sepertihalnya meningkatkan kemampuan merawat orang lain dalam hal ini adalah pasien. Komunikasi Komunikasi merupakan elemen penting dalam melakukan interaksi umat manusia. Baik komunikasi verbal maupun non verbal harus mampu dimaknai secara kultural sehingga Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 262 proses penyampaian pesan dapat berlangsung dengan baik. Perawat dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya menjadikan komunikasi sebagai alat yang paling vital dalam membangun interaksi dengan pasien yang datang dengan latar belakang budaya yang beragam. Dengan kata lain, kemampuan perawat dalam beradaptasi dengan pasien-pasien lintas budaya sangat dipengaruhi oleh kemampuannya membangun komunikasi dengan pasien-pasien tersebut. Sebuah penelitian kualitatif oleh Jirwe, Gerrish, and Emami (2009) mengenai pengalaman komunikasi mahasiswa keperawatan (5 mahasiswa berkewarganegaraan swedia dan 5 mahasiswa berkewarganegaraan non swedia) dalam pertemuan perawatan lintas budaya dan menemukan beberapa tema seperti para mahasiswa keperwatan ini menyadari bahwa komunikasi yang efektif menjadi hal yang penting dalam melakukan pertemuan lintas budaya mengenai perawatan pasien, hal ini terlihat dari kesulitan yang mereka alami dalam berkomunikasi dengan patient yang memiliki komunikasi verbal yang berbeda, mengembangkan strategi dalam berkomunikasi dengan pasien yang berbeda, dan keterbatasan itu berdampak pada ketidakpuasan layanan yang diterima oleh pasien-pasien yang mereka rawat. Ho (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa peningkatan kemampuan berbahasa sebagai bagian dari berkomunikasi dan memahami pasien lintas budaya sangat diperlukan dalam meningkatkan layanan keperawatan pada lingkungan internasional. Disisi lain Meuter dkk (2015) mengatakan bahwa memahami bahasa asing dalam konteks kesehatan sangatlah penting karena komunikasi yang memadai akan berdampak negative seperti peningkatan stress psikis pada pasien, kesalahan komunikasi atau kesalahpahaman pada potensi resiko kesehatan. Penelitian serupa dilakukan Tavallali, Kabir, Jirwe (2014) menemukan bahwa ketidak mampuan perawat dalam beradaptasi dengan budaya pasien dalam hal melakukan komunikasi lintas budaya akan menimbulkan ketidak puasan layana pada pasien. Pengalaman Proses peningkatan kompetensi layanan keperawatan berbasis lintas budaya akan terus berkembang seiring terpapar dengan berbagai pengalaman merawat pasien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Penelitian Gabriel dkk (2014) mengatakan bahwa proses mendapatkan penerimaan dan adaptasi dengan lingkungan profesional adalah contoh pengalaman-pengalaman perawat dalam mencapai kompetensi budaya. Studi serupa dilakukan oleh Hung dkk (2013) tentang pengalaman perawat jiwa pemula yang bekerja pada latar belakang budaya Taiwan menemukan bahwa pengalaman perawat berproses mulai dari berjuang dengan keterbatasan yang ada, belajar dari interaksi dengan perawat senior maupun pasien dan keluarga, mulai mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut hingga perawat memliki perasaan memiliki untuk bekerja di unit itu dan mampu beradaptasi dengan pasien maupun dengan perawat senior. Penelitian serupa tentang pengalaman perawat asal Cina yang bekerja di Australia oleh Zhou (2014) menemukan bahwa pengalaman bekerja dengan budaya yang berbeda ini melewati paling tidak 3 proses yaitu berjuang dengan susah payah, melakukan refleksi, dan menyadari adanya perbedaan budaya yang harus dikelola dalam proses pelayanan perawat tersebur. Pelatihan Guna memperlengkapi perawat dengan kemampuan memahami budaya pasien yang majemuk, diperlukan pelatihan-pelatihan yang memungkinkan perawat meningkatkan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 263 kompetensi budaya mereka. Penelitian tersebut memberikan tambahan baik secara pemikiran maupun sikap perawat dalam meningkatkan layanan mereka pada pasien lintas etnis. Penelitian dari Berlin dkk (2010) menemukan bahwa pelatihan kepada perawat berdampak positif terhadap pada kemampuan berbudaya mereka pada layanan kesehatan. Hal ini senada dengan penelitian Majunder, (2003) yang meneliti tentang efek dari program pelatihan sensitif budaya pada 114 perawat dan 133 pasien dan terbukti bahwa pelatihan tersebut dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap perawat dan pekerja kesehatan lainnya. Selain itu, pelatihan itu juga memberikan dampak positif terhadap kesehatan pasien. Elminowski (2015) dalam penelitiannya tentang efektifitas 3 jam pelatihan pendidikan budaya menemukan bahwa pelatihan tersebut merupakan hal yang esesnsial dan efektif untuk menyampaikan pentingnya pendidikan budaya dan pelatihan kepada perawat. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelusuran jurnal-jurnal hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat dalam beradaptasi ketika melakukan perawat lintas budaya adalah faktor pendidikan, komunikasi, pengalaman, dan pelatihan-pelatihan yang di dapat. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Indonesia 2015. Badan Pusat Statistik; Indonesia Watson, J. (1985). Nursing: Human Science and Human Care. Norwalk, CT: Appleton-Century-Crofts. Berlin, Anita et.al. (2010). Cultural competence among Swedish child health nurses after specific training: A randomized trial. Blackwell Publishing Asia Pty Ltd. (12). 381–391. DOI: 10.1111/j.1442-2018.2010.00542.x Elminowski, Nerfis S. (2015). Developing and Implementing a Cultural Awareness Workshop for Nurse Practitioners. Journal of Cultural Diversity. (22)3. Duffy Mary . (2002). A Critique of Cultural Education in Nursing. Journal of Advanced Nurrsing. (36)4, 487-495. DOI: 10.1046/j.1365-2648.2001.02000.x Gabriel, Rodriguez.,et.al. (2014). Cultural experiences of immigrant nurses at two hospitals in Chile. Revista Latino-Americana de Enfermagem. (22)2. 187-196. DOI: 10.1590/0104-1169.2980.2401. Ho, Ya-Yu Cloudia. (2015). Investigating Internationally Educated Taiwanese Nurses' Training and Communication Experiences in the United States. Journal of Continuing Education in Nursing. (46)5. 218-277. DOI: 10.3928/00220124-20150420-02 Hung B.J et.al. (2014). The working experiences of novice psychiatric nurses in Taiwanese culture: a phenomenological study. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing. (21). 536–543. DOI: 10.1111/jpm.12121 Jirwe M., Kate G & Azita E. (2010). Student nurses’ experiences of communication in cross-cultural care encounters. Nordic College of Caring Science Journal. (24). 436-444. doi: 10.1111/j.1471-6712.2009.00733.x Kleinman, A. (1998). Do Psychiatric disorders differ in defferent cultures? In P Brown (Ed). Mayfield Publishing Company: CA Leininger, M. (1991). Culture Care Diversity and Universality: A theory of nursing . New York: National League fo Nursing Press. Majundar, B. Browne, et. Al. (2003). Effects of Cultural Sensitivity Training on Health Care Provider Attitudes and Patient Outcomes. Journal of Advanced Nursing, 53(4), 470-479. DOI: 10.1111/j.1547-5069.2004.04029.x Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 264 Moreno. Nicole & Patricia L. Hart. (2014). Cultural Competency among Nurses with Undergraduate and Graduate Degrees: Implications for nursing education. Nurse Education Perspective. 35 (2), 83-88). DOI: 10.5480/12-834.1 Meuter, F I Renata et.al. (2015). Overcoming language barriers in healthcare: A protocol for investigating safe and effective communication when patients or clinicians use a second language. BMC Health Services Research. (15)371. DOI 10.1186/s12913-015-1024-8 Purnell, L D. (2013). Transcultural Health Care: A Culturally Competent Approach. (4th Ed) F.A David Company: Philadelphia Ray, M A. (2010) Transcultural Caring Dynamic in Nursing and Health Care. F.A David Company: Philadelphia. Ruddock H.C. & Turner de S. (2007) Developing cultural sensitivity: nursing students’ experiences of a study abroad programme. Journal of Advanced Nursing. 59(4), 361–369. DOI: 10.1111/j.1365-2648.2007.04312.x Ruth. McDermott L., Cantrell M N., Reynolds. K. (2014) Promoting cultural understanding through pediatric clinical dyads: An education research project. Nurse Education Today. Nov2014, Vol. 34 Issue 11, p1346-1351. 6p. 10.1016/j.nedt.2014.03.012. Travalalli, A G., Zarina, N K., Maria, J. (2014). Ethnic Swedish Parents’ Experiences of Minority Ethnic Nurses’ Cultural Competence in Swedish Pediatric Care. Nordic College of Caring Science Journal. (28). 255-263. doi: 10.1111/scs.12051 Zhou, Yunxian. (2014). The Experience of China-Educated Nurses Working in Australia: A Symbolic Interactionist Perspective. .PLoS ONE. (9)9. e08143. DOI:10.1371/journal.pone.0108143 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 265 TINGKAT DEPRESI PADA LANJUT USIA : STUDI EKSPORATIF PADA LANSIA DI KELURAHAN PADANGSARI KOTA SEMARANG Azka Fathiyatir Rizqillah1), Diyan Yuli Wijayanti2) Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 1,2 Abstrak Latar Belakang. Depresi adalah masalah psikriatrik yang paling sering terjadi di dunia dan menyerang lebih dari 300 juta jiwa di dunia (National Mental Health Strategy Australia , 2001). Umumnya, prevalensi depresi pada wanita sekitar 5% - 12% yang jauh lebih besar daripada prevalensi depresi pada laki-laki yaitu sekitar 2% - 3% (American Psychiatric Association, 1994). Tahun 2009, prevalensi depresi pada lansia di dunia kurang lebih 8-15%. Hasil meta analisis didapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita-pria 14,1 : 8,6. WHO memperkirakan pada tahun 2020 depresi akan menduduki peringkat teratas penyakit yang dialami lanjut usia di negara berkembang termasuk Indonesia (Dharmono, 2008).. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari. Metoda. Metode yang dipakai adalah observasi dan structured interview. Penelitian ini melibatkan 88 lansia di Kelurahan Padangsari Kota Semarang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner Geriatric Depression Scale Short Form. Hasil. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi pada lansia cukup bervariasi yaitu 40,9% (36 orang) lansia tidak mengalami depresi, 40,9% (36 orang) lansia mengalami depresi ringan dan 18,2% (16 orang) lansia mengalami depresi sedang. Kesimpulan. Masih minimnya pemeriksaan akan depresi pada posyandu lansia menjadi salah satu faktor penyebab cukup tingginya prevalensi depresi di Kelurahan Padangsari. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan tenaga kesehatan di Indonesia untuk semakin memberikan perhatian terhadap masalah psikososial pada lansia dan tidak hanya berfokus pada masalah-masalah fisik lansia. Kata kunci: tingkat depresi, lansia Pendahuluan Keberhasilan suatu program kesehatan dan program pembangunan suatu negara pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduknya (Badan Pusat Statistik, 2010). Angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan perempuan) diproyeksikan naik dari 67,8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73,6 tahun pada periode 2020-2025 sebagai akibat dari adanya transisi demografi (Badan Pusat Statistik, 2010). Peningkatan usia harapan hidup penduduk menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2002 di Indonesia terdapat 14.439.967 jiwa (7,18%) lansia dan tahun 2009 jumlah lansia di Indonesia mencapai kurang lebih 23,9 juta jiwa (9,77%). Diperkirakan tahun 2020 jumlah lansia yang ada di Indonesia akan mencapai 11,34% atau 28,8 juta jiwa (Menkokesra, 2010; Ronawulan, 2009). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 266 Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yang terus meningkat menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan khususnya pada lansia dimana masa lanjut usia adalah masa terdapat beberapa perubahan baik biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Perubahan biologis yang terjadi pada lansia dimulai dari perubahan tingkat sel hingga organ. Tingkat sel terjadi penurunan kemampuan untuk replikasi (membelah) sehingga sel menjadi tetap dan dapat mengalami nekrosis dan apoptosis akibat fisik maupun kimiawi (Ham, 2007). Perubahan secara psikologis pada lansia erat kaitannya dengan perubahan biologis dan perubahan sosial yang dialaminya. Perubahan biologis pada lansia akan berdampak pada kemampuan sensasi, persepsi dan penampilan psikomotor yang sangat penting bagi fungsi individu sehari-hari (Atchley&Barusch, 2004; Stuart, 2005). Shives mengatakan bahwa perubahan biologis tersebut umumnya akan mengakibatkan lansia merasa cemas, kesepian, rasa bersalah, keluhan somatik, demensia dan depresi (Shives, 2005). Depresi adalah masalah psikriatrik yang paling sering terjadi di dunia dan menyerang lebih dari 300 juta jiwa di dunia (National Mental Health Strategy Australia , 2001). Umumnya, prevalensi depresi pada wanita sekitar 5% - 12% yang jauh lebih besar daripada prevalensi depresi pada laki-laki yaitu sekitar 2% 3% di salah satu komunitas di Amerika Serikat (American Psychiatric Association, 1994). Tahun 2009, prevalensi depresi pada lansia di dunia kurang lebih 8-15%. Hasil meta analisis dari laporan negara-negara di dunia didapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita-pria 14,1 : 8,6. WHO memperkirakan pada tahun 2020 depresi akan menduduki peringkat teratas penyakit yang dialami lanjut usia di negara berkembang termasuk Indonesia (Dharmono, 2008). Depresi yang tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan penurunan produktifitas kerja, gangguan pola tidur, perubahan nafsu makan, putus asa dan gagasan bunuh diri (Kaplan, 2010). Depresi adalah penyakit yang dapat disembuhkan apabila ditangani dengan baik. Menurut Landreville (2001, dalam Wheeler, 2008) psikoterapi dapat menjadi intervensi yang sehat bagi lansia. Mackin dan Arean (2005, dalam Wheeler, 2008) menyatakan bahwa Cognitiv Behavior Therapy (CBT), Reminiscence Therapy (RT), Psychodynamic Therapy yang ringkas, dan kombinasi Interpersonal Therapy (IPT) dan obat-obatan telah mendukung intervensi untuk depresi ringan sampai sedang pada depresi mayor. Videbeck (2008) menyatakan bahwa pada individu yang mengalami depresi dapat diberikan intervensi psikoterapi Terapi Interpersonal, Terapi Kognitif dan Perilaku, Terapi Psikoanalitis dan Terapi Keluarga. Tidak semua penanganan depresi di atas dapat dilaksanakan di lapangan dengan baik, karena masih minimnya pemeriksaan untuk depresi pada lansia khususnya di komunitas. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia sebenarnya sudah mengatur kebutuhan akan kesehatan lanjut usia dalam tugas pokok dan fungsi Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 267 perawat komunitas dan dijabarkan lebih lanjut dalam buku Pedoman Pengelolaan Kesehatan di Kelompok Usia Lanjut. Salah satu tugas pokok dan fungsi perawat di puskesmas adalah “mengelola pelaksanaan posyandu lansia”. Depkes RI (2003) mengatakan bahwa posyandu lansia adalah pelayanan kesehatan di kelompok usia lanjut meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional. Kelurahan Padangsari adalah salah satu Kelurahan di Kota Semarang yang memiliki proposi penduduk lanjut usia yang tinggi, berdasarkan data monografi bulan Febuari 2013 terdapat 600 lanjut usia yang mendiami 16 Rukun Warga (RW) di wilayah Kelurahan Padangsari. Terdapat 10 posyandu lansia di 10 Rukun Warga (RW) di wilayah kerja Kelurahan Padangsari dan dibawah penanganan Puskesmas Padangsari. Posyandu lansia di Kelurahan ini dilakukan sebulan sekali dengan diisi berbagai kegiatan, akan tetapi berdasarkan observasi peneliti dan hasil wawancara dari salah satu warga anggota posyandu lansia kegiatan posyandu biasanya diisi dengan pemeriksaan kesehatan, penyuluhan, senam dan juga informasi-informasi dari anggota RW. Sangat jarang sekali kegiatan posyandu yang dilakukan untuk mengukur keadaan emosional lansia, khususnya pada masalah depresi. Sebagian besar kegiatan posyandu diisi dengan masalah-masalah kesehatan fisik seperti hipertensi, diabetes mellitus, asam urat dan sebagainya. Masyarakat lanjut usia di Kelurahan Padangsari juga terlihat masih jarang terpapar dengan informasi mengenai depresi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lansia yang pada awalnya keberatan menjadi responden dalam penelitian ini karena merasa dirinya tidak depresi namun setelah dilakukan pendekatan dan diwawancara berdasarkan Geriatric Depression Scale Short Form ternyata mengalami depresi ringan atau sedang. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi angka kejadian depresi. Salah satunya adalah faktor lingkungan tempat tinggal. Sebagian besar lanjut usia di Indonesia bertempat tinggal dengan keluarganya (Darmojo, 2009). Namun di Indonesia juga terdapat panti wredha atau Unit Rehabilitasi Sosial yang merupakan institusi tempat tinggal dari kumpulan para lanjut usia dan berada dibawah koordinasi Dinas Sosial. Perbedaan tempat tinggal ini memunculkan perbedaan lingkungan fisik, sosial, ekonomi, psikologis dan spiritual. Perbedaan jenis tempat tinggal disebutkan sebagai faktor prediktor independen untuk terjadinya depresi pada lanjut usia (Chung, 2008; Karakaya et al, 2009; Thompson & Borson, 2006). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pengaruh factor lingkungan terhadap insidensi depresi pada lansia. Salah satunya adalah Penelitian Ayu Fitri (2011) tentang studi perbandingan kejadian dan tingkat depresi pada lansia di panti wreda dan komunitas Kota Semarang. Penelitian ini melibatkan 52 lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang dan 50 lansia di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Hasil dari penelitian Ayu Fitri ini menunjukkan bahwa kejadian depresi lebih tinggi terjadi di komunitas daripada di panti wredha atau unit rehabilitasi sosial. Dimana 60% lansia di komunitas mengalami depresi dan hanya 38,5% lansia di unit rehabilitasi Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 268 sosial yang mengalami depresi. Persebaran tingkat depresi lansia di panti wreda cukup bervariasi yaitu 26,9% mengalami depresi ringan, 9,6% mengalami depresi sedang dan 1,9% mengalami depresi berat. Persebaran tingkat depresi lansia di komunitas cukup tinggi dimana lansia dengan depresi ringan sejumlah 40% dan depresi sedang 20% (Ayu Fitri, 2011). Masih minimnya penelitian tentang tingkat depresi di komunitas, khususnya di Kelurahan Padangsari dan masih minimnya pemeriksaan awal untuk mengetahui prevalensi depresi di wilayah ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti tingkat depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain cross sectional. Data merupakan data primer yang diambil pada bulan April – Mei 2013. Subjek dari penelitian ini adalah lansia yang tinggal di wilayah Kelurahan Padangsari, berusia lebih dari sama dengan 60 tahun dan kurang dari 70 tahun dan tidak mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan hambatan komunikasi seperti gangguan pendengaran, gangguan berbicara, demensia dan delirium. Kriteria eksklusi ditetapkan untuk mengeliminasi subjek yaitu lanjut usia yang mengalami gangguan persepsi dan sensori atau mengalami kondisi sakit yang menyebabkan gangguan komunikasi seperti stroke. Jumlah sampel dari penelitian ini adalah 88 lansia dari populasi lansia yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 189 lansia. Subyek dipilih dengan menggunakan teknik random sampling. Penentuan sampel dilapangan menggunakan metode Tabel Angka Random (TAR). Lansia yang memenuhi kriteria inklusi kemudian dijelaskan tentang tujuan dan manfaat dari penelitian ini dan diminta untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden (informed consent). Responden kemudian diukur tingkat depresi dengan menggunakan kuesioner Geriatric Depression Scale Short Form, dimana nilai 04 menunjukkan tidak depresi, nilai 5-9 menunjukkan depresi ringan, nilai 10-12 depresi sedang dan nilai 13-15 depresi berat. Peneliti mengumpulkan data dengan mengikuti kegiatan posyaandu lansia dan mendatangi rumah lansia satu per satu sesuai data yang ada. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisa univariat dimana data akan disajikan dalam distribusi frekuensi melalui grafik atau tabel. Hasil Penelitian Sebanyak 88 responden ikut serta dalam penelitian ini dengan mengisi kuesioner GDS Short Form dan kuesioner data demografi. Adapun karakteristik dari responden penelitian ini dapat dilihat melalui tabel dibawah ini : Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 269 Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik di Kelurahan Padangsari bulan April-Mei 2012, (n=88) Karakteristik F % Jenis Kelamin 39 44,3 Laki laki 49 55,7 Perempuan Umur 60-62 tahun 41 46,6 63-64 tahun 29 32,9 65-68 tahun 18 20,5 Agama 53 60,2 Islam Katolik 18 20,5 Kristen 17 19,3 88 100 TOTAL Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Depresi di Wilayah Kerja Kelurahan Padangsari, bulan April-Mei 2012 (n=88) Tingkat Depresi F % Tidak Depresi Depresi Ringan Depresi Sedang Depresi Berat TOTAL 36 36 16 0 88 40,9 40,9 18,2 0 100 Pembahasan Depresi pada lansia dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah, kerusakan fungsional dan kematian (Whooley and Jonathan, 2008). Masih tingginya prevalensi depresi pada lansia di dunia membutuhkan perhatian yang cukup besar dari tenaga kesehatan. Prevalensi depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari cukup sedikit. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar lansia yang tinggal di wilayah Kelurahan Padangsari tidak mengalami depresi yaitu 36 orang (n=88) serta cukup banyak yang mengalami depresi ringan yaitu sebanyak 36 orang (n=88) dan lansia yang mengalami depresi sedang adalah sebanyak 16 orang (n=88). Lansia di Kelurahan Padangsari juga baik secara secara mental, hal itu dibuktikan dengan tidak adanya lansia yang mengalami depresi berat (0%). Observasi peneliti menunjukkan bahwa sebagian besar lansia yang tidak mengalami depresi di Kelurahan Padangsari menyatakan bahwa dirinya puas dengan kehidupannya sekarang. Lansia yang tidak mengalami depresi ini terlihat sangat terbuka dan memiliki empati yang tinggi. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa mereka senang membantu mahasiswa dalam melakukan penelitian karena anak-anak mereka juga pernah melakukan penelitian sebagai Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 270 syarat wisuda sarjana. Mereka juga sangat ramah dan hangat. Lansia dengan depresi ringan sebagian besar mengatakan belum puas dengan kehidupannya sekarang, masih banyak hal yang ingin dicapainya tapi belum tercapai.Responden dengan kriteria ini juga mengatakan bahwa dirinya sering merasa jenuh dan bosan terhadap kehidupannya sekarang dan yakin bahwa banyak sekali orang yang lebih baik dari diri mereka serta sering mengalami masalah dengan ingatan akhir-akhir ini. Depresi ringan ditandai afek depresif (suasana hati tertekan), kehilangan minat terhadap kesenangan dan merasa lelah. Depresi ringan ditunjukkan dengan sedikitnya ada 2 gejala yang ditemukan selama kurun waktu minimal 2 minggu. Kriteria depresi sedang adalah sedikitnya ada dua dari tiga gejala-gejala utama depresi, ditambah minimal 3 gejala lain dari depresi dan dalam kurun waktu minimal 2 minggu (WHO, 2008). Hal ini sesuai dengan validasi yang dilakukan oleh peneliti.Sebagian besar lansia dengan depresi ringan tidak dalam suasana hati yang menyenangkan saat bertemu dengan peneliti. Bahkan beberapa responden terlihat setengah hati menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bayu Rizky A (2011) tentang gambaran tingkat depresi pada lansia di Kelurahan Babakan Sari Wilayah Kerja Puskesmas Babakan Sari Kota Bandung. Penelitian Bayu ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan 95 responden lansia dan diukur tingkat depresi dengan kuesioner yang sama dengan penelitian peneliti yaitu kuesioner GDS 15-item. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 58% responden tidak mengalami depresi dan 42% responden (n=95) mengalami depresi dengan rincian 24% mengalami depresi ringan, 11% mengalami depresi sedang dan 7% mengalami depresi berat (Rizky Bayu, 2011). Hal ini cukup sesuai dengan keadaan lansia di lingkungan Kelurahan Padangsari. Berdasarkan hasil observasi peneliti sebagian besar lansia yang terlihat memiliki suasana hati yang buruk dan sudah meninggalkan aktivitas yang disukainya selama lebih dari 2 minggu adalah lansia berjenis kelamin wanita. Peneliti lebih sering menemukan lansia wanita yang tidak puas dengan kehidupannya dan memiliki suasana hati yang buruk saat dilakukan wawancara berdasarkan kuesioner GDS-SF. Terdapat juga beberapa lansia yang mengalami depresi sedang di Kelurahan Padangsari meskipun prevalensinya sedikit yaitu 16 dari n=88 (18,2%). Lansia dengan depresi sedang ini merasa bahwa banyak hal yang disesali dalam hidupnya, mereka sering merasa hidupnya kosong dan sering merasa jenuh dan bosan. Sebagian responden juga sudah meninggalkan aktivitas yang mereka sukai karena terhalang oleh penyakit seperti ulcus diabetes dan penyakit jantung. Mereka juga merasa bahwa dirinya sudah tidak berguna lagi dan banyak orang yang jauh lebih baik daripada diri mereka sekarang. Lansia dengan karakteristik ini semuanya mengeluhkan bahwa diri mereka sedang mengalami penyakit yang kronis seperti ulkus diabetikum, memiliki penyakit jantung atau penyakit tumor. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 271 Hal ini sesuai dengan penelitian Patten S (2001) di Kanada bahwa pasien dengan penyakit kronis memiliki resiko mengalami depresi lebih tinggi daripada pasien yang tidak memiliki penyakit kronis. Sejumlah 4% dari pasien dengan satu atau lebih penyakit kronis di Kanada mengalami depresi dan hanya 2,3% pasien tanpa penyakit kronis di Kanada mengalami depresi dalam kurun waktu dua tahun terakhir (Patten, 2001). Ali S et al (2006) juga mengemukakan bahwa pasien dengan penyakit kronis memiliki resiko 66, 67% lebih tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan pasien lainnya. Secara umum, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian tentang prevalensi depresi pada lansia di Seoul, Korea Selatan. Penelitian Lee, Choi, Jung & Kwak (2000) melaporkan bahwa prevalensi depresi pada lansia di Seoul adalah 44% dari seluruh lansia yang ada di Seoul dan 18,8% nya mengalami depresi ringan, 7,4% mengalami depresi sedang dan 17,8% mengalami depresi berat (Lee, Choi, Jung & Kwak, 2000). Secara angka terdapat jumlah yang jauh berbeda tentang prevalensi depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari dan data dari penelitian Lee, Choi, Jung & Kwak. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan jumlah populasi dan responden yang signifikan antara penelitian ini dan data tersebut. Data tersebut dapat menunjang bahwa prevalensi depresi pada lansia memang cukup banyak terjadi. Fenomena lain yang cukup menarik dari hasil sebaran tingkat depresi lansia di Kelurahan Padangsari adalah jumlah lansia yang tidak mengalami depresi sama dengan jumlah lansia yang mengalami depresi ringan (40,9%). Hasil observasi peneliti di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar lansia dengan depresi ringan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami depresi dan tidak mau percaya bahwa dirinya mengalami depresi ringan. Hal ini dapat menjadi faktor banyaknya depresi yang tidak terdiagnosa secara dini (underdiagnosed). Hal ini sejalan dengan data dari The Behavioral Risk Factor Surveillance System 2006 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensi pasien dengan depresi yang terlambat didiagnosa di Amerika Serikat mencapai 8.7%-9.2% (Strine TW et al, 2008). Serta membuktikan bahwa di masyarakat masih beredar stigma negatif pada pasien dengan mental dissoder termasuk depresi.Stigma adalah ketika orang dan masyarakat yakin bahwa seseorang itu buruk dan harus dijauhkan dari pergaulan di lingkungan sekitar dan di masyarakat (Champbell, 2005). Hal ini sesuai ketika ada beberapa responden yang terlihat tidak senang ketika peneliti berusaha untuk mengetahui tingkat depresi lansia tersebut dan mengatakan bahwa tidak ada lansia yang depresi di Kelurahan Padangsari ini. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi pada lansia di Kelurahan Padangsari cukup bervariasi dimana jumlah lansia yang tidak mengalami depresi sama dengan jumlah lansia yang mengalami depresi ringan dan tidak ada lansia Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 272 yang mengalami depresi berat di Kelurahan Padangsari. Adapun beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan adalah petugas kesehatan khususnya perawat komunitas di puskesmas diharapkan dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara holistik, tidak hanya fokus pada masalah fisik tetapi juga masalah mental lansia khususnya masalah depresi pada lansia. Daftar Pustaka American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-IV. 4th ed. Washington: American Psychiatric Association; 1994. Campbell, Maimane & Sibiya, 2005. Understanding and Challenging HIV/AIDS Stigma. Chung S. Residential status and depression among Korean elderly people:a comparison between residents of nursing home and those based in the community. Health Soc Care Community. 2008 Jul; 16(4): 370-7. Darmojo RB. Gerontologi dan geriatri di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibarata MK, Setiyati S (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V, Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009:halaman 924-33. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengelolaan Kesehatan di Kelompok Usia Lanjut. 2003 Dharmono. S. Waspadai Terhadap Lansia . Available from:http//www.infogue.com. 2008. diakses pada 21Desember 2012. National Mental Health Strategy (Australia), Australia. Departmentof Health and Aged Care. Mental Health and SpecialPrograms Branch. National action plan for depression : under the National Mental Health Plan: 1998–2003. Canberra: Mental Health and Special Programs Branch, Commonwealth Department of Health and Aged Care, 2001. Strine TW et al. Depression and anxiety in the United States: findings from the 2006 Behavioral Risk Factor Surveillance System. Psychiatr Serv. 2008 Dec;59(12):1383-90. Stuart, G. W. & Laraia, M.T. Principle and practice of psychiatric nursing. (8th ed.). Philadelphia, USA: Mosby, Inc. 2005. Thompson DJ, Borson S. Major depression and related disorders in late life. Dalam: Agronin ME, Maletta GJ. Principles and practice of geriatric psychiatry. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins; 2006: 349-68. Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa . Edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa : Renata Komalasari dan Afrina Hany. Jakarta: EGC. Wheeler, K. (2008). Psychotherapy for the advanced practice psychiatric nurse. USA: Mosby, Inc. World Health Organization. 2008. Depression. Retrieved April 18, 2008, from http://www.who.int/mental_health/management/depression/definition/en/. diakses pada 18 Juni 2013 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 273 DETEKSI POSTNATAL DEPRESSION MENGGUNAKAN EDINBURG POSTNATAL DEPRESSION SCALE (EPDS) PADA KUNJUNGAN RUMAH IBU POST PARTUM Diah Indriastuti, Tahiruddin Universitas Cendrawasih Jayapura-Papua, Email: [email protected], Email: [email protected] Abstrak Pendahuluan. Gambaran buruk setelah nifas dan kecemasan yang tidak dapat dikontrol oleh ibu pasca melahirkan merupakan tanda terjadinya depresi post partum atau Post natal depression (PND) yang tidak hanya membahayakan ibu tetapi juga bayinya. Gejala depresi yang tidak dikenali dan ditangani dengan baik dapat menyebabkan gangguan social, psikologi dan pekerjaan bagi ibu dan menempatkan bayi pada posisi beresiko mengalami masalah perkembangan, perilaku dan emosional. Hubungan antara PND dan kesehatan mental bayi telah menjadi fokus utama intervensi pada kunjungan rumah. Edinburg Postpartum Depression Scale (EPDS) sebagai alat pengkajian suasana hati sangat penting bagi ibu dengan resiko PND. EPDS adalah skala laporan diri berisi 10 item pertanyaan mengenai gejala depresi selama 1 minggu yang lalu. Nilai dari pengukuran skala dalah 030, setiap item memiliki skala empat poin (0-3). Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kejadian PND pada ibu postnatal melalui kunjungan rumah. Metoda. Penelitian ini menggunakan mix methods atau metode campuran dengan sampel ibu postnatal. Data dikumpulkan dari 3 jurnal, pengukuran skala depresi posnatal dilakukan menggunakan EPDS. Hasil. Kunjungan pertama pada ibu Post Partum ditemukan kejadian PND, 9 dari 17 ibu (47%) memiliki skor EPDS ≥9. 5 dari 7 kasus yang dikunjungi (71%), ditemukan ibu post partum telah mengalami selama episode depresi dengan skor EPDS ≥9. 2 ibu tidak terindentifikasi memiliki potensi depresi menurut pengukuran EPDS. Setelah melahirkan pada bulan ketiga, 69 ibu pada kelompok kontrol (37.7%) dan 65 ibu pada kelompok intervensi (35.3%) memiliki skor postpartum sebesar 10.1 tahun setelah post partum, 174 wanita (25,6%) mengalami depresi dengan skala EPDS ≥ 12. Pembahasan. Lima puluh persen episode depresi terjadi diantara 5 minggu pertama setelah melahirkan bahkan selbih singkat yaitu 1 minggu. Akibat terlalu cepat dan pendeknya waktu kejadian depresi dan ketrlambatan kunjungan rumah dilaksanakan, skor EDPS seringkali menunjukkan level rendah cenderung tidak dapat teridentifikasi. Keterlambatan kunjungan, pada bulan ketiga setelah persalinan tidak memberikan efek yang dignifikan pada kejadian PND. Intervensi yang berguna untuk mengatasi depresi adalah kunjungan rumah khusus untuk pengelolaan PND untuk perawatan depresi bukan untuk pencegahan. Sedangkan untuk kunjungan rumah yang ditujukan pada neonatal dilaksanakan secara terpisah. Wanita dengan Ekonomi status rendah, riwayat keluarga memiliki penyakit kejiwaan, pernah mengalami penyakit somatic, tidak merencanakan kehamilan, tidak puas terhadap body image selama kehamilan, paritas > 3, persalinan SC, tidak dapat menyusui, riwayat kehilangan bayi, tidak mendapatkan dukungan suami dan memiliki riwayat sakit Jiwa dapat menjadi sasaran utama untuk pemeriksaan EPDS. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 274 Kesimpulan. PND dapat meningkat setiap saat. EPDS berperan dalam mendeteksi keberadaan depresi ibu post partum. Pengembangan skill dan pengetahuan tenaga kesehatan dalam deteksi PND dan edukasi masyrakat untuk pemanfaat EPDS sangat dibutuhkan. Kunjungan rumah yang paling tepat dilaksanakan pada 2 minggu setelah persalinan. Keyword: Deteksi, Postnatal Depression, EPDS, Kunjungan Rumah Pendahuluan Gambaran buruk setelah nifas dan kecemasan yang tidak dapat dikontrol oleh ibu pasca melahirkan merupakan tanda terjadinya depresi post partum atau Post natal depression (PND) yang tidak hanya membahayakan ibu tetapi juga bayinya. Meskipun kehamilan dan melahirkan adalah proses alami untuk wanita, namun dapat menyebabkan ketidakseimbangan emosional terutama setelah bersalin. Pada tahun 1996 dilakukan penelitian mengenai depresi post natal oleh O’Hara dan Swain yang menunjukkan bahwa depresi terjadi pada ibu primipara sebesar 13%(Soep, 2000). Gejala depresi yang tidak dikenali dan ditangani dengan baik dapat menyebabkan gangguan social, psikologi dan pekerjaan bagi ibu dan menempatkan bayi pada posisi beresiko mengalami masalah perkembangan, perilaku dan emosional(Ueda et al., 2006). Tingkat kejadian PND terendah terjadi di Eropa Barat dan Australia, tingkat menengah terjadi di Amerika, tingkat tertinggi di Amerika Selatan dan Asia. Negara di Asia yang memiliki prevalensi PND tinggi diataranya India (32%), korea (36%), Guyana dan Taiwan (61%), namun sebagian penderita menolak untuk dikatakan mengalami depresi, tidak memperdulikan tanda dan gejala depresi dan cenraderung untuk tidak mencari bantuan profesiona l(Dindar & Erdogan, 2007). Penderita PND akan merasa malu jika diketahui mengalami depresi dan takut dianggap tidak mampu berperan sebagai ibu(Soep, 2000). Terjadinya peningkatan prevalensi PND pada wanita dengan riwayat depresi atau memiliki factor resiko gangguan psikososial seperti pendapatan rendah atau stress semasa kehamilan(Dugravier et al., 2013). Rusaknya tali kasih antara ibu dan anak dapat menyebabkan gangguan dalam pengasuhan sehingga menyebabkan gangguan perkembangan pada anak sejak bayi hingga dewasa. (Soep, 2000). Sehingga PND menjadi permasalahan penting dalam masyarakat umum yang berpengaruh buruk pada kesehatan ibu, bayi, dan anggota keluarga lainnya yang terjadi dalam rentang waktu 2 minggu sampai 1 tahun (Dindar & Erdogan, 2007). PND merupakan factor resiko untuk kesehatan mental anak dan dikaitkan dengan gangguan mental lanjutan pada anak pra sekolah terutama persaan aman, dan gangguan perkembangan kognitif, sosial dan emosional. Pengaruh PND diperkirakan menjadi sebab anak pada usia 11 tahun beresiko 4 kali mengalami gangguan kejiwaan(Dugravier et al., 2013) Hubungan antara PND dan kesehatan mental bayi telah menjadi fokus utama intervensi pada kunjungan rumah(Dugravier et al., 2013). Ibu yang meminta diberikan kunjungan rumah disebabkan oleh kesulitan dalam perawatan bayi dan pengasuhan. Pada minggu ke 6-10, kunjungan rumah dilaksanakan(Ueda et al., 2006), Pada kunjungan rumah ini, tenaga kesehatan dapat melakukan pengkajian pada ibu untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya depresi. Sebagai contoh program kunjungan rumah yang disertai dengan pengkajian PND Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 275 adalah Program Keluarga Sehat di Amerika atau Kemitraan Perawat dan Keluarga. Tim kesehatan dalam kunjungan rumahnya bekerjasama dengan ibu mengakan stategi promosi kesehatan mental seperti cara mengatasi stress di waktu sulit, mengajarkan kemapuan menyelesaikan masalah pada ibu yang meningkatkan self efficacy, menyediakan bantuan dan bekerja sama dengan ibu untuk meningkatkan dukungan social. Kemampuan pengasuhan dan kasih sayang pada awal pengasuhan anak dapat mengurangi resiko gangguan mental(Dugravier et al., 2013). Penggunaan Edinburg Postpartum Depression Scale (EPDS) sebagai alat pengkajian suasana hati sangat penting bagi ibu dengan resiko PND. Skala ini dikembangkan oleh COX pada tahun 1987 (Dindar & Erdogan, 2007). EPDS adalah skala laporan diri berisi 10 item pertanyaan mengenai gejala depresi selama 1 minggu yang lalu. Nilai dari pengukuran skala dalah 0-30, setiap item memiliki skala empat poin (0-3) (Ueda et al., 2006). Penilaiannya adalah sebagai berikut: a. b. c. d. Nilai 1-8 tidak menunjukkan kejadian depresi Nilai 9-11 menunjukkan nilai depresi yang rendah Nilai 12-30 menunjukkan nilai depresi rendah meningkat ke tinggi. Nilai 0 dicatat sebagai kemungkinan terjadinya depresi karena beberapa wanita cenderung menutupi gejala depresinya(Dindar & Erdogan, 2007). Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kejadian PND menggunakan EPDS pada ibu postnatal melalui kunjungan rumah. Metoda Design penelitian ini adalah sistematik review dengan metode campuran (mix metode). Artikel dikumpulkan dengan menelusuri jurnal yang melaksanakan pengukuran Postnatal depression menggunakan EPDS. Criteria inklusi yang digunakan adalah : a. Artikel pengukuran PND menggunakan EPDS b. Populasinya meliputi ibu post natal, baik nulipara maupun multipara. c. Menerima kunjungan rumah dari tenaga kesehatan. d. Hasil akhir yang diukur adalah prevalensi kejadian PND yang terdeteksi menggunakan EPDS pada kunjungan rumah Kriteria eksklusinya adalah artikel yang tidak menggunakan EPDS dan tidak menerima kunjungan rumah dari tenaga kesehatan. CASP menggunakan Evaluative Tool for Mixed Method Studies (USIR, 2005). Artikel dikumpulkan dengan melakukan penelusuran di EBSCO, Proquest dan Google search dengan keyword, Postnatal depression, post partum depression, dan EPDS. Boolean operator yang digunakan adalah “And” untuk memfokuskan pencarian data. Ekstraksi data, mengelompokkan data menurut variabel yang ingin dikaji. Data synthesis digunakan untuk prevalensi kejadian PND menggunakan EPDS pada kunjungan rumah. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 276 Table 1. ekstraksi Data Peneliti Design Ilknur Decriptive Dindat, et design and al. random (2007) survey method Romain PROBE Dugravier, (Prospective et al. Randomized (2013) Open Blinded Endpoint) Matoko Diagostic Ueda et al. test Study (2006) Populasi Sample ibu post 679 ibu partum di 9 partum puskesmas di Turki. Semua ibu primipara pada trimester 2 yang memeriksakan diri ke 10 klinik maternitas di Paris Ibu dan bayi dengan kunjungan rumah Intervensi post Pengukuran PND menggunakan EPDS 1. 183 wanita Pengawasan selama 27 bulan pada ibu sebagai yang memiliki anak beresiko mengalami kontrol gangguan kesehatan mental 2. 184 wanita mendapatk an intervensi Hasil Penelitian menunjukkan 25,6% kejadian PND pada level tinggi dan 16,7% pada level rendah PND Nilai mean (SD) EPDS untuk grup control adalah 9.4 (5.4) dan 8.6 (5.4) untuk grup intervensi (p = 0.18). 70 wanita Gangguan suasana hati pada ibu dikaji 19 ibu (27% dikategorikan wanita jepang dengan 2 modalitas diagnostic (EPDS & mengalami onset baru depresi. yang menerima SCID IV). kunjungan rumah neonatal Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 277 Hasil Pada proses penelusuran artikel jurnal melalui EBSCO didapatkan opsi sebanyak 13,990 artikel dan 163.000 hasil dari google search engine. Kemudian setelah dilakukan screening awal didapatkan 3 artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Artikel tersebut adalah artikel yang paling eligible dengan tujuan sustematic review tentang Deteksi Postnatal Depression menggunakan EPDS (Edinburg Postnatal Depression Scale) pada Kunjungan Rumah Ibu Post Partum. Post Natal Depression kunjungan rumah pertama kali a. NO Peneliti 1 Motoku Ueda (2006) 2 Roamin Dugravier (2013) 3 Ilnur Dindar (2007) b. Skala EPDS EPDS ≥9 EPDS ≥ 9 EPDS >11 EPDS 10 EPDS ≥ 12 EPDS 9-11 EPDS ≥ 9 EPDS 0 Periode n % Awal 9/17 47% Depresi 5/7 71% Prepartum 164 44,7% 3 bulan Postpartum 1 year postpartum 174 25,6% 114 16,8% 362 53,3% 29 4,3% Kelompok Kontrol N % Intervensi n % 86 47,0% 78 42,4% 69 37.7% 65 35.3% Penyebab PND dengan pengukuran EPDS Pada saat kunjungan rumah diketahui penyebab depresi pada ibu post partum dari skor terendah ke tinggi adalah (Dindar & Erdogan, 2007): Variabel N % EPDS score mean ± SD Ekonomi status rendah Riwayat keluarga : sakit kejiwaan Pernah mengalami penyakit somatic Tidak merencanakan kehamilan Tidak puas terhadap body image selama kehamilan 111 48 16,4 13,2 11,78±6,26 10,83±5,92 Nilai depresi Rendah Rendah 72 14,4 10,71±5,45 Rendah 239 53,4 9,86±5,77 Rendah 159 23,4 11,18±5,94 Rendah Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 278 Paritas > 3 Persalinan SC Tidak dapat menyusui Riwayat kehilangan bayi Tidak mendapatkan dukungan suami Riwayat sakit Jiwa 60 394 220 27 161 8,8 58,0 32,0 4 23,7 11,68± 6,62 9,07± 5,73 9,08±6,16 10,26 10,14± 6,06 Rendah Rendah Rendah Rendah 132 52,3 13,42±6,17 Tinggi Pembahasan Kejadian PND terjadi pada masa awal post partum. Para ibu yang mengalami depresi adalah mereka yang membutuhkan dukungan kunjungan rumah selama periode postnatal atau post partum. 50% episode depresi terjadi diantara 5 minggu pertama setelah melahirkan bahkan selbih singkat yaitu 1 minggu. Akibat terlalu cepat dan pendeknya waktu kejadian depresi dan ketrlambatan kunjungan rumah dilaksanakan, skor EDPS seringkali menunjukkan level rendah cenderung tidak dapat teridentifikasi(Ueda et al., 2006). Keterlambatan kunjungan, yaitu pada bulan ketiga setelah persalinan tidak akan memberikan efek yang dignifikan pada kejadian PND. Intervensi yang terbukti berguna untuk mengatasi depresi adalah kunjungan rumah yang hanya ditujukan pada pengelolaan PND. Fokus utama kunjungan rumah pada ibu post partum adalah untuk perawatan depresi bukan untuk pencegahan. Sedangkan untuk kunjungan rumah yang ditujukan pada neonatal dilaksanakan secara terpisah(Dugravier et al., 2013). Wanita dengan Ekonomi status rendah, riwayat keluarga memiliki penyakit kejiwaan, pernah mengalami penyakit somatic, tidak merencanakan kehamilan, tidak puas terhadap body image selama kehamilan, paritas > 3, persalinan SC, tidak dapat menyusui, riwayat kehilangan bayi, tidak mendapatkan dukungan suami dan memiliki riwayat sakit Jiwa dapat menjadi sasarn utama untuk pemeriksaan EPDS(Dindar & Erdogan, 2007). Kesimpulan Postnatal Depression dapat meningkat setiap saat selama tahun-tahun kelahiran. Penelitian menunjukkan bahwa EPDS sang berperan dalam mendeteksi keberadaan depresi pada ibu post partum. Pengembangan skill dan pengetahuan tenaga kesehatan dalam deteksi PND dan Edukasi masyrakat untuk pemanfaat EPDS sangat dibutuhkan(Dindar & Erdogan, 2007). Akibat keterlambatan kunjungan rumah, PND seringkali tidak terdeteksi. Kunjungan rumah yang paling tepat dilaksanakan pada 2 minggu setelah persalinan(Dugravier et al., 2013). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 279 Daftar Pustaka Dindar, I., & Erdogan, S. (2007). Screening of Turkish Women for Postpartum Depression Within the First Postpartum Year : The Risk Profile of a Community Sample, 24(2), 176– 183. Dugravier, R., Tubach, F., Saias, T., Guedeney, N., Pasquet, B., Purper-ouakil, D., … Matos, J. (2013). Impact of a Manualized Multifocal Perinatal Home- Visiting Program Using Psychologists on Postnatal Depression : The CAPEDP Randomized Controlled Trial, 8(8), 1–11. doi:10.1371/journal.pone.0072216 Soep. (2000). PENERAPAN EDINBURGH POST-PARTUM DEPRESSION SCALE SEBAGAI ALAT DETEKSI RISIKO DEPRESI NIFAS PADA PRIMIPARA DAN MULTIPARA. Ueda, M., Yamashita, H., & Yoshida, K. (2006). Impact of infant health problems on postnatal depression : Pilot study to evaluate a health visiting system, 182–189. USIR. (2005). Evaluation Tool for “Mixed Methods” Study Designs The “mixed method” evaluation tool was developed from the evaluation tools for “quantitative” and “qualitative” studies,. Policy. Salford, Greater Manchester: University of Salford Manchester. Retrieved from http://usir.salford.ac.uk/13070/ Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Pera at dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Se ara g, 7 No e ber 5 280 PENGARUH TERAPI HIPNOTIS LIMA JARI UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN PADA MAHASISWA YANG SEDANG MENYUSUN SKRIPSI DI STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN Retno Yuli Hastuti1, Sutaryono2, Ayu Arumsari3 E-mail : [email protected] Abstrak Pendahuluan: Mahasiswa yang sedang menyusun skripsi banyak mengalami kendala salah satunya kecemasan. Untuk mengatasi kecemasan yang dialami mahasiswa yang sedang menyusun skripsi diberikan terapi hipnotis lima jari. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk menurunkan kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen dengan pendekatan rancangan penelitian One group Pre test-Post test yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk menurunkan kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi Hasil : Responden sebanyak 18 orang, setelah dilakukan pengukuran sebelum perlakuan didapatkan hasil cemas sedang sebnyak 18 orang (100%) dan setelah mendapat perlakuan menjadi 15 orang (83,3%) mengalami cemas ringan dan 3 orang (16,7%) mengalami cemas sedang. Adapun hasil uji statistik didapatkan hasil p=0,000 (p<0,05). Kesimpulan : bahwa dalam penelitian ini ada hubungan atau pengaruh yang kuat dari perilaku sebelum terapi hipnotis lima jari dan sesudah terapi hipnotis lima jari (p < 0,05). Kata kunci : kecemasan, hipnotis lima jari Pendahuluan Kecemasan (ansietas) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan (ansietas) berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. kecemasan (anisietas) adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut (Stuart, 2006). Menurut Kliat dkk (2011) Kecemasan (ansietas) adalah suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan terjadi dan merasa tidak nyaman seakan ada ancaman yang disertai gejala-gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan tangan gemetar. Riskesdas (2013) menyebutkan prevalensi kecemasan pada penduduk Indonesia diperkirakan 20% dari populasi dunia dan sebanyak 47,7% remaja merasa cemas. Saat ini lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Terjadi penurunan prevalensi gangguan emosional seperti gangguan kecemasan dari 11,6% tahun 2007 menjadi 6,0% tahun 2013 dari populasi orang dewasa. Peserta didik termasuk di dalamnya mahasiswa banyak mengalami peristiwa yang mungkin menimbulkan kecemasan, misalnya dalam penyusunan skripsi (Fausiah, 2008). Banyak mahasiswa tingkat akhir yang mengalami kesulitan bagaimana harus menulis tulisan ilmiahnya dalam bentuk skripsi atau tesis. Kesulitan yang seringkali dihadapi, diantaranya menemukan dan merumuskan masalah, mencari judul yang efektif, sistematika proposal, sistematika skripsi, kesulitan mencari literatur, bahan bacaan, kesulitan dengan standar tata tulis ilmiah, serta dana dan waktu yang terbatas. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 281 Kesulitan-kesulitan tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan cemas (ansietas) sehingga mahasiswa kehilangan motivasi, menunda skripsi, bahkan ada yang memutuskan untuk tidak menyelesaikan skripsi. Hal ini tentu sangat merugikan mahasiswa yang bersangkutan mengingat bahwa skripsi merupakan tahap yang paling menentukan dalam mencapai gelar akademik. Selain itu usaha dan kerja keras yang telah dilakukan bertahun-tahun sebelumnya akan menjadi sia-sia jika mahasiswa gagal menyelesaikan skripsi (Hariwijaya & Triton, 2006). Kaplan (2006) menyatakan bahwa faktor penyebab kecemasan (ansietas) yaitu faktor internal (individu) dan eksternal (lingkungan). Faktor internal berkaitan dengan individu termasuk sikap dan ciri kepribadian misalnya jenis kelamin, usia, kurang memahami dan menguasai materi yang ditulis sedangkan faktor eksternal dimana faktor ini berasal dari luar individu, misalnya seperti tuntutan pekerjaan atau tugas akademik (skripsi), hubungan mahasiswa dengan lingkungan, dosen pembimbing, IQ, orang tua dan keluarga. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosma (2008) pada mahasiswa tingkat akhir di Universitas Ahmad Dahlan menunjukan bahwa dari 10 mahasiswa didapatkan 5 mahasiswa (50%) mengalami kecemasan tingkat sedang dan 5 mahasiswa (50%) mengalami tingkat kecemasan rendah. Kecemasan (ansietas) ini dapat diatasi dengan beberapa cara, antara lain terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi farmakologi seperti obat anti cemas (anxiolytic) dapat membantu menurunkan cemas tetapi memiliki efek ketergantungan, sedangkan terapi non farmakologi seperti psikoterapi, terapi tertawa, terapi kognitif, relaksasi dan salah satunya dengan hipnotis lima jari (Suyatmo, 2009). Hipnotis lima jari adalah pemberian perlakuan pada mahasiswa dalam keadaan rileks, kemudian memusatkan pikiran pada bayangan atau kenangan yang diciptakan sambil menyentuhkan lima jari secara berurutan dengan membayangkan kenangan saat menikmati (Jenita D.T. Donsu dkk, 2008). Hipnotis lima jari merupakan salah satu bentuk self hipnosis yang dapat menimbulkan efek relaksasi yang tinggi, sehingga akan mengurangi ketegangan dan stress dari pikiran seseorang. Hipnotis lima jari mempengaruhi system limbik seseorang sehingga berpengaruh pada pengeluaran hormone-hormone yang dapat memacu timbulnya stress. Mahasiswa yang diberikan hipnotis lima jari akan mengalami relaksasi sehingga berpengaruh terhadap system tubuh dan menciptakan rasa nyaman serta perasaan tenang (Mahoney, 2007). Hipnotis lima jari juga dapat mempengaruhi pernafasan, denyut jantung, denyut nadi, tekanan darah, mengurangi ketengangan otot dan kordinasi tubuh, memperkuat ingatan, meningkatkan produktivitas suhu tubuh dan mengatur hormonhormon yang berkaitan dengan stress. Hasil penelitian Mu’afiro Adin (2007) pada 45 pasien Ca Servik (kanker leher rahim) di Ruang Kandungan RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan 26 pasien (57,77%) mengalami penurunan kecemasan setelah diberikan hipnotis lima jari. Metode hipnotis lima jari dapat dilakukan ±10 menit dengan konsentrasi dan rileks pertama menyentuh ibu jari dengan telunjuk dan mengenang saat mahasiswa merasa sehat, kedua menyentuh ibu jari dengan jari tengah dan mengenang saat mahasiswa pertama kali mengalami kemesraan, ketiga menyentuh ibu jari dengan jari manis dan mengenang saat mahasiswa mendapat pujian dan terakhir menyentuh ibu jari dengan kelingking dan mengenang tempat yang paling indah yang pernah dikunjungi (Keliat dkk, 2011). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 282 Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada 10 mahasiswa yang sedang menyusun skripsi pada bulan Maret 2015 di STIKES Muhammadiyah Klaten didapatkan 8 mahasiswa (80%) mengalami tingkat kecemasan disebabkan kesulitan dalam berhubungan dengan dosen pembimbing, khawatir dalam menentukan judul, kemampuan dalam membuat tulisan, kurang menguasai metodelogi penelitian atau konsep, kemampuan mengoperasikan komputer, kesehatan, orang tua dan keluarga sedangkan 2 (20%) mahasiswa tidak mengalami kecemasan disebabkan siap mengahadapi skripsi dan tidak mengalami kesulitan mencari literature. Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk Menurunkan kecemasan Pada Mahasiswa Yang Sedang Menyusun Skripsi di STIKES Muhammadiyah Klaten”. Metode Lokasi, populasi dan sampel penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah Pra eksperiment dalam satu kelompok (One group Pre Test Post Test Design), di mana responden dilakukan pre test sebelum diberikan perlakuan dan responden dilakukan post test setelah diberikan perlakuan (Notoatmodjo, 2012). Perlakuan pada mahasiswa berupa Hipnotis Lima Jari oleh peneliti kurang lebih 10 menit sebanyak 1x pertemuan Penelitian ini dilaksanakan di STIKES Muhammadiyah Klaten pada tanggal 01 juli - 02 juli 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat IV di STIKES Muhammadiyah Klaten tahun 2015, laki-laki maupun perempuan yang berjumlah 92 mahasiswa. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode non-probability, jenis porposive sampling berdasarkan penghitungan besar sampel, dibutuhkan 18 responden. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah mahasiswa tingkat IV yang sudah terdaftar mengikuti skripsi, mahasiswa yang bersedia menjadi responden, mahasiswa yang belum menikah, mahasiswa yang mengalami kecemasan sedang. Pada penelitian ini jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 32 responden kemudian peneliti membagikan nomer undian 1-18. Bagi responden yang mendapat nomor undian maka yang akan menjadi respondenya Pengumpulan data Pengumpulan data dengan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dengan membagikan kuisoner (HRS-A) Hamilton Ranting Scale for Anxietas. Alat ukur ini terdiri dari 14 pertanyaan gejala yang masing-masing pertanyaan gejala diberi penilaian antara 0-4, yang artinya 0 = tidak ada (tidak ada gejala), 1 = gejala ringan (satu gejala dari pilihan yang ada), 2 = gejala sedang (terdapat separuh dari gejala yang ada), 3 = gejala berat (lebih dari separuh gejala yang ada), 4 = gejala berat sekali (semua gejala ada). Masing-masing nilai dari ke 14 kelompok gejala dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan, yaitu : Total nilai 0-13 = tidak ada kecemasan, 14-20 = kecemasan ringan dan 21-27 = kecemasan sedang Analisis data Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik. Analisia univariat dilakukan dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi. Analisia bivariat untuk mengetahui pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk menurunkan kecemasan mahasiswa yang sedang menyusun skripsi menggunakan uji statistik parametrik yang bertujuan untuk uji kemaknaan dengan paried t test. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 283 Hasil Analisa Univariat 1. Karakteristik Responden a. Umur Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Umur Prodi S1 di STIKES Muhammadiyah Klaten Tahun 2015 (n=18). Umur frekuensi % 21 7 38,9 22 7 38,9 23 4 22,2 Jumlah 18 100 Minimum 21 Maksimum 23 Mean 21,83 SD 0,786 Sumber : Data primer Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukan bahwa paling banyak mahasiswa yang mengalami kecemasan adalah mahasiswa usia 21 dan 22 dengan frekuensi 7 orang (38,9%) dengan rata-rata 21,83 ± 0,786. b. Jenis Kelamin Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin di STIKES Muhammadiyah Klaten Tahun 2015 (n=18). Jenis Kelamin Frekuensi Laki-laki 4 Perempuan 14 Jumlah 18 Sumber : Data primer % 22,2 77,8 100 Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa karakteristik jenis kelamin paling banyak adalah perempuan sebanyak 14 responden (77,8%). 2. Disribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Sebelum dan sesudah di Hipnotis Lima Jari. a. Tingkat kecemasan Sebelum Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi tingkat kecemasan sebelum diberikan hipnotis lima jari pada mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten. Tingkat frekuensi % kecemasan Tidak ada 0 0 kecemasan 0 0 Ringan 18 100 Sedang Jumlah 18 100 Sumber : Data primer Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 284 Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan sebelum pengukuran terapi hipnotis lima jari diperoleh cemas sedang 18 (100%). b. Tingkat Kecemasan Sesudah Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi tingkat kecemasan sesudah diberikan hipnotis lima jari pada mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten. Tingkat frekuensi % kecemasan Tidak ada 0 0 kecemasan 15 83,3 Ringan 3 16,7 Sedang Jumlah 18 100 Sumber : Data primer Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan sesudah pengukuran terapi hipnotis lima jari diperoleh cemas ringan 15 (83,3%) dan cemas sedang 3 (16,7%). Analisis Bivariat 1. Uji Normalitas Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan sebelum melakukan uji statistik menggunakan Uji Shapiro Wilk. Uji normalitas pada penelitian ini yaitu: Tabel 4.5 Uji Normalitas Kecemasan sebelum dan sesudah diberikan hipnotis lima jari pada mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten. No 1. 2. Perelaku P value an Pretest 0,399 Posttest 0,728 Sumber : Data sekunder Berdasarkan Tabel 4.5 menunjukkan hasil normalitas untuk variabel kecemasan diperoleh nilai (P value > α [0,05]) sehingga dapat disimpulkan data pada variabel kecemasan berdistribusi normal. 2. Uji Paired t Test Uji Paired t Test digunakan untuk mengetahui perbedaan nilai pretest dan posttest untuk masing-masing kelompok. Tabel 4.6 Perbedaan Pretest dan Posttest Kecemasan sebelum dan sesudah diberikan hipnotis lima jari pada mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten. Pretest Posttest N 18 Mean SD t hitung 23,06 2,287 10,269 18,11 2,246 Sumber : Data sekunder Sig (2-tailed) 0,000 Berdasarkan Tabel 4.6 diketahui rata-rata kecemasan pada mahasiswa sebelum perlakuan adalah 23,06 dan pada tahap post test setelah diberi perlakuan menurun Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 285 menjadi 18,11 sedangkan t hitung diperoleh 10,269 dengan t tabel sebesar 1,729 (t hitung > t tabel) hasil p value diperoleh sebesar 0.000 (p> 0,05) hal ini berati bahwa terdapat perbedaan kecemasan pada mahasiswa sebelum dan sesudah perlakuan. Pembahasan 1. Karakteristik Responden Berdasarkan tabel 4.1 distribusi frekuensi responden berdasarkan umur, mahasiswa yang mengalami kecemasan adalah mahasiswa usia 21 dan 22 dengan frekuensi 7 orang (38,9%) dengan rata-rata 21,83 ± 0,786. Prawirohusodo (2006) menyatakan umur muda lebih banyak mengalami stress dan cemas dikarenakan pada usia ini mekanisme koping belum terbentuk secara utuh sehingga kesulitan dalam mengambil keputusan berlanjut kecemasan. Berdasarkan tabel 4.2 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 14 responden (77,8%) dan kelamin berjenis laki-laki sebanyak 4 responden (22,2%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadibroto (2010) menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kecemasan atau stress yang lebih tinggi dari laki-laki. Stress dapat menstimulus organ endokrin untuk mengeluarkan hormone epineprin yang mempunyai efek dalam glikolisis di hati. Kaplan & Saddock (2006) menyatakan bahwa kecemasan (ansietas) adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, perubahan dan pengalaman terhadap sesuatu yang baru dan belum dicoba. Perubahan dalam kehidupan seseorang merupakan stress yang bagi individual tertentu mengakibatkan timbulnya kecemasan (ansietas). Kecemasan (ansietas) menurut Prawirohusodo (2006) adalah perasaan yang dialami manusia sepanjang hidupnya, yang dapat muncul sebagai gejala normal tetapi dapat jugasebagai gejala gangguan jiwa. Semua perilaku ditunjukan untuk mengurangi ketegangan . Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Indah (2013) menyatakan ada pengaruh hipnotis lima jari terhadap penurunan kecemasan lansia di desa beteng dengan nilai signifikansi p value < 0,05. 2. Pengaruh terapi hipnotis lima jari untuk menurunkan kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai P value = 0,000 dimana nilai p < (α=0,05), sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan nilai pengukuran perilaku pretest dan posttest. Dengan hasil tersebut berati Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh secara signifikan dari pemberian terapi hipnotis lima jari. Kecemasan (ansietas) adalah suatu perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan terjadi dan merasa tidak nyaman seakan ada ancaman yang disertai gejalagejala fisik seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan tangan gemetar (Kliat dkk, 2011). Kecemasan (ansietas) pada mahasiswa sering kali muncul sebagai hal yang bisa karena adanya kebutuhan tertentu yang harus dilewati oleh seseorang mahasiswa untuk dapat masuk ke tahap selanjutnya seperti skripsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa yang menyusun skripsi adalah tugas akademik (skripsi) yaitu tugas akademik (skripsi) yang dianggap berat dan tidak sesuai dengan kemampuan individu dapat menyebabkan terjadinya kecemasan (ansietas) Kaplan (2006). Hasil ini sejalan dengan penelitian Ibnu dan Yoga (2008) menyatakan bahwa faktor yang menghambat penyusunan skripsi adalah kesulitan menemukan permasalahan, tidak rutin bimbingan dengan dosen dan kesulitan menulis karya tulis ilmiah. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 286 Penatalaksanaan pada kecemasan (ansietas) dapat dilakukan dengan menggunakan terapi farmakologis dan non terapi farmakologis. Terapi farmakologi seperti obat anti cemas (anxiolytic) sedangkan terapi non farmakologi dengan psikoterapi, terapi kognitif, terapi tertawa, relaksasi dan hipnotis lima jari. Salah satu cara yang dapat menurunkan kecemasan yaitu Hipnotis lima jari (Keliat dkk, 2011). Hipnotis lima jari adalah pemberian perlakuan dalam keadaan rileks, kemudian memusatkan pikiran pada bayangan atau kenangan yang diciptakan sambil menyentuhkan lima jari tangan secara berurutan dengan membayangkan kenangan. Manfaat hipnotis lima jari adalah dapat meningkatkan semangat, menimbulkan kedamaian di hati dan mengurangi ketegangan (Keliat dkk, 2011). Kecemasan (ansietas) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar sifatnya tidak spesifik dan di gambarkan sebagai GAS/General Adaptation Syndrome. GAS/General Adaptation Syndrome adalah respon pertahanan terhadap stress dari keseluruhan tubuh (Potter et.al., 2005). Tiga fase reaksi stress yaitu tahap pertama fase alarm reaction (waspada) adalah respons tahap awal tubuh bereaksi terhadap stress dengan mengatifkan sistem syaraf simpatis dan sistem hormon tubuh seperti kotekolamin, epinefrin, nerepinefrint, glukokortikoid, koetisol dan kortison. Tahap kedua resistance (reaksi pertahanan) adalah respon tubuh terhadap stressor dengan menggunakan kemampuan tubuh sehingga timbul gejala psikis dan somatik. Tahap ketiga exhaustion (kelelahan/keletihan) adalah respon atau gejala yang timbul akibat stressor seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, hipertensi, dispepsia (keluhan pada gastrointestinal), depresi, kecemasan (ansietas), frigiditas, impotensia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kumalasari (2013) menyatakan bahwa mahasiswa yang diberikan hipnotis, gelombang pikirannya masuk ke gelombang alfa frekuensinya 7-14 hertz atau lebih dalam lagi ke gelombang theta frekuensinya 4-7 hertz. Ketika pikiran masuk ke gelombang ini, mahasiswa menghasilkan zat endorphin alami yang menghasilkan sensasi nyaman dan dalam hipnotis state ini, sistem metabolisme tubuh menjadi jauh lebih baik dan tubuh bebas dari ketegangan Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka kesimpulan yang dapat diambil adalah umur responden yang paling banyak mengalami kecemasan usia 21 dan 22 dengan frekuensi 7 orang (38,9%) dengan rata-rata 21,83 ± 0,786. Tingkat kecemasan (ansietas) mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten sebelum memperoleh hipnotis lima jari menunjukan 18 (100%) responden mengalami kecemasan (ansietas) sedang. Tingkat kecemasan (ansietas) mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten sesudah memperoleh hipnotis lima jari menunjukan 15 responden (83,3%) mengalami kecemasan ringan dan 3 responden (16,7%) mengalami kecemasan (ansietas) sedang. Ada pengaruh hipnotis lima jari terhadap penurunan kecemasan (ansietas) mahasiswa di STIKES Muhammadiyah Klaten sebelum diberikan terapi hipnotis lima jari dan setelah diberikan terapi hipnotis lima jari dengan p value =0, 000 (p<0,05). SARAN Terapi hipnotis lima jari dapat dijadikan salah satu terapi untuk meningkatkan asuhan keperawatan khususnya individu yang mengalami kecemasan (ansietas). Bagi institusi Stikes Muhammadiyah Klaten dapat dijadikan bahan masukan dalam upaya menurunkan kecemasan (ansietas) dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dengan cara Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 287 memberikan terapi hipnotis lima jari. Bagi mahasiswa sebaiknya aktif dalam menjalankan terapi hipnotis lima jari dalam menangani masalah kecemasan (ansietas) secara mandiri dengan keadaan rileks demi menjaga kesehatan. Dalam melakukan penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan penelitian dengan variabel lain yang lebih variatif, menggunakan kelompok kontrol dalam desain penelitian . Daftar Pustaka Fausiah. 2008. Gangguan Cemas. Dalam Psokologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI Press. Hadibroto. 2010. Pedoman Diabetes Melitus. Jakarta: Trubus Agriwidya. Hariwijaya & Triton.2006. Pedoman Penulisan Ilmiah Sripsi dan Tesis. Yogyakarta: Tugu Publisher. Indah Kumalasari. 2013. Pengaruh Terapi Hipnotis Lima Jari Terhadap Penurunan Kecemasan Lansia di Desa Beteng. Jenita D.T. Donsu, Rosa D. Ekwantini, Sri Arini Rinawati. 2008. Five Fingers On The Effect Of Hypnosis Anxiety Reduction In Breast Cancer Patients. Kaplan & Saduck. 2006. Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Edisi Ketujuh Jilid Dua. Newyork : Newyork Univercity Medical Center. Keliat,B.A., dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Intermediete Course). EGC : Jakarta. Lanjar Sri Lestari. 2011. Pengaruh terapi tertawa terhadap tingkat kecemasan lansia di desa Keden Pedan Klaten. Mahoney Michael, 2007, Winning Hypnotherapy Program, http:www. Healthy audio.co.uk. Mu’aforo Adin.2007. pengaruh hypnosis lima jari terhadap penurunan kecemasan pasien kanker leher rahim. Skripsi .tidak diterbitkan. Fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta Nursalam, (2009) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan . Edisi 2. Salemba Medika. Jakarta. Prabowo, H. And Regina, H.S. 2007. Tritmen Untuk Menurunkan Stress. Available online http:///repository. Gunadarma. Ac. Id. Prawirohusodo, S. 2006. Stress dan Kecemasan, Kumpulan makalah Simposium Stress dan Kecemasan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Available from: http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/materi_pertemuan/launch_riskesda s/Riskesdas%20Launching%20Kabadan.pdf [diaccessed 3 Maret 2015 jam 7:35]. Sonya Rosma. 2008. Pengaruh Pelatihan Berfikir Positif Untuk Menurunkan Kecemasan Pada Mahasiswa Yang Sedang Menempuh Skripsi. Jurnal. Universitas Ahmad Dahlan. Stuart, G.W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC. Suyatmo, Yeyi, S.P., Carla, R.M. 2009. Pengaruh Relaksasi Otot Dalam Menurunkan Skor Kecemasan T-Tmas Mahasiswa Menjelang Ujian Akhir Program di Akademi Keperawatan Notokusumo Yogyakarta . Tersedia dalam berita kedokteran masyarakat vol. 25. No. 3 di http://berita-kedokteran masyarakat.org/index.php/bkm/article/view/173/97. [Diakses tanggal 02 Maret 2015 jam 7:01 PM]. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 288 SPIRITUALITAS DAN KUALITAS HIDUP PENDERITA DIABETES MELLITUS Muhammad Mu’in1, Dyan Yuli Wijayanti2 1 Staf Pengajar Bagian Keperawatan Komunitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Email: [email protected] 2 Staf Pengajar Bagian Keperawatan Jiwa, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Email:[email protected] Abstrak Latar Belakang. DM dan komplikasinya berdampak pada penurunan kualitas hidup penderita. Upaya mempertahankan kualitas hidup dilakukan dengan menginternalisasi, menerima kondisi serta melaksanakan perawatan DM secara disiplin. Spiritualitas yang adekuat menunjang manajemen perawatan yang adekuat yang akan berdampak pada kualitas hidup yang baik. Tujuan. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan antara spiritua;itas dengan kualitas hidup penderita DM. Metoda. Desain penelitian adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan mengetahui hubungan spiritualitas dengan kualitas hidup pada penderita DM. Penelitian dilakukan pada 51 penderita DM di wilayah kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor spiritualitas 76,43, rata-rata skor kualitas hidup dimensi fisik 22.23, dimensi psikologis 19.52, dimensi sosial 10.21, dan dimensi lingkungan 27.64. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan ada hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM, dengan arah hubungan yang positif (nilai P 0,025). Pembahasan. DM menurunkan kualitas hidup penderitanya dengan menurunkan semua dimensi kesehatan secara umum. Agama dan spiritualitas membentuk dasar makna dan tujuan serta memberikan bekal bagi penderita DM untuk memaknai penyakit yang mereka alami sebagai suatu peristiwa hidup yang positif. Pasien DM yang sehat secara spiritual dapat mendayagunakan kepercayaan mereka dalam melakukan koping terhadap penyakit, nyeri, dan tekanan hidup. Mereka mempunyai perasaan eksistensi pribadi yang bermakna, pemenuhan tujuan hidup, serta perasaan hidup sampai pada suatu tahap adalah berharga serta cenderung mempunyai pandangan yang lebih positif dan kualitas hidup yang lebih baik. Kualitas hidup yang baik pada penderita berdampak positif terhadap kepatuhan terhadap manajemen terapi DM. Kesimpulan. Aspek spiritual pada penderita DM mutlak diperhatikan dalam asuhan keperawatan untuk mempertahankan kualitas hidup mereka. Kata Kunci : spiritualitas, kualitas hidup, DM Pendahuluan Prevalensi penderita Diabetes Melitus (DM) di Indonesia cukup tinggi, mencapai 0,7 % sampai 1,6 %. (Litbangkes Depkes, 2008, Suyono dalam Sudoyo et al, (2006). Secara global Indonesia menempati ranking ke-empat setelah India, Cina dan Amerika Serikat. DM dan komplikasinya dapat menyebabkan perubahan kualitas hidup penderita DM yang dimanifestasikan oleh penurunan kesejahteraan baik fisik, psikososial, maupun spiritual. Secara fisik DM dapat menyebabkan berbagai komplikasi lanjut yang meliputi komplikasi akut maupun komplikasi kronis sampai dengan kematian (Kariadi, 2009), dengan prevalensi yang cukup tinggi Ramsey et al, (1999) (Litbangkes Depkes, 2008). Secara Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 289 psikososial DM dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan meliputi depresi dengan prevalensi yang cukup tinggi (Isworo, 2008), ansietas, kelainan makan, ketergantungan zat serta, gangguan psikotik atau bipolar (Gonzales et al, 2011). Secara spiritual kondisi kronis seperti DM dapat mengalami distres spiritual yang dicirikan dengan berbagai cara seperti mempertanyakan makna penderitaan, makna eksistensi diri, atau implikasi moral dan etis dari rejimen terapi Hymovich dan Hagopian (1992). Penurunan kualitas hidup penderita DM berbanding lurus dengan komplikasi DM yang terjadi. Penderita DM tanpa komplikasi cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan penderita DM dengan komplikasi (OR 3,939) (Tyas, 2008). Kemampuan penderita DM dalam menginternalisasi kondisi sakit dan mengintegrasikan manajemen perawatan DM ke dalam pola hidup sehari-hari sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan penatalaksanaan DM. Hasil penelitian Yanti, 2009 menunjukkan adanya keterkaitan antara kesadaran diri penderita DM terkait penyakit dan perawatannya dengan kejadian komplikasi DM dengan odd ratio sebesar 11,176 kali. Persepsi sakit penderita DM yang positif juga berkaitan dengan kualitas hidup penderita yang baik (OR 14) (Tyas, 2008). Sumber-sumber spiritual ditemukan dapat membantu penderita DM mengelola penyakit DM secara lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Phelps, 2010). Penderita penyakit seperti DM yang sejahtera secara spiritual dapat menggunakan kepercayaannya dalam berkoping terhadap penyakit, nyeri, dan tekanan hidup (Puchalski, 2010). Tujuan Penelitian bertujuan mengetahui hubungan spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM. Metoda Penelitian ini menggunakan rancangan kuantitatif deskriptif korelasi bertujuan mengetahui hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM. Strategi penelitian dengan pengambilan data melalui penyebaran kuesioner yang dilakukan satu waktu (cross sectional). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien DM di wilayah kerja Puskesmas Padangsari. Data penderita DM di Posyandu tidak mencakup semua penderita, sehingga digunakan teknik sampling dengan snow ball, penderita DM yang menjadi responden diminta untuk menunjukkan responden lain yang ada di wilayah setempat. Tempat penelitian dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Daily Spiritual Experience Scale untuk mengukur spiritualitas dan kuesioner WHOQoLBREF versi Indonesia untuk mengukur kualitas hidup. Dari 60 kuesioner yang disebar hanya 51 yang dikembalikan dan diisi lengkap oleh responden. Analisis univariat dalam bentuk distribusi frekuensi dan prosentase mendeskripsikan karakteristik setiap variabel meliputi jenis kelamin, umur, agama, pekerjaan, lama mengalami DM; serta rata-rata skor spiritualitas dan kualitas hidup penderita DM. Analisis bivariat uji Pearson Product Moment untuk mengidentifikasi hubungan antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 290 Hasil Data demografi penderita DM diwilayah kerja Puskesmas Padangsari disajikan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Demografi Penderita DM di Wilayah Kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang (n:51) Usia Frekuensi 1 26 24 Prosentase (%) 2 51 47,1 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 25 26 49 51 Pekerjaan Swasta Ibu rumah tangga Wiraswasta Pensiunan Dagang PNS Tidak bekerja 2 16 5 24 1 1 2 3,9 31,4 9,8 47,1 2 2 3,9 Islam Kristen Katolik Hindu 45 2 3 1 88,2 3,9 5,9 2 Lama mengalami DM 1-5 thn > 5 thn Total 23 28 51 45,1 54,9 100 30-45 thn 46-60 thn > 60 thn Agama Data skor spiritualitas penderita DM di Wilayah Kerja Puskesmas Padangsari disajikan dalam Tabel. 2 berikut. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 291 Tabel. 2 Distribusi Nilai Statistik Spiritualitas Penderita DM di Wilayah Kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang (n=51) Rata-rata SD Minimum Maksimum N 76,4314 7,98813 62,00 90,00 51 Spiritualitas Data Skor kualitas hidup setiap dimensi penderita DM di wilayah kerja Puskesmas Padangsari disajikan dalam Tabel. 3 berikut. Tabel. 3 Distribusi Frekuensi Skor Nilai Rata-rata Setiap DomainKualitas Hidup Penderita DM di Wilayah Kerja Puskesmas Padangsari Kota Semarang (n=51) No 1 2 3 4 Domain Kualitas Hidup Fisik Psikologis Sosial Lingkungan Nilai Rata-rata 22.23 19.52 10.21 27.64 Standar Deviasi 2.8 2.5 1.62 4.21 Hasil uji Pearson Product Moment menunjukkan ada hubungan positif antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM (r : 0,313 nilai P : 0,025). Semakin tinggi spiritualitas akan semakin baik kualitas hidup penderita. Pembahasan Usia responden terbanyak pada penelitian ini adalah 46 tahun ke atas. Jumlah penderita penyakit degeneratif semakin tinggi dengan meningkatnya usia, termasuk di Indonesia (Litbangkes Depkes, 2008). Upaya pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya DM lebih dini. Jenis kelamin responden dalam penelitian ini hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Prevalensi DM di Indonesia antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi yang sama antara penderita DM laki-laki (0.7 %) dan perempuan (0.7 %) (Litbangkes Depkes, 2008). Semua responden memeluk agama yang resmi dan diakui di Indonesia. Mayoritas warga Indonesia mempunyai agama sebagai panutan dalam menjalani kehidupan. Agama juga merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan spiritual (Zohar dan Marshal, 2000), termasuk pada penderita DM. Sebagian responden sudah tidak bekerja karena memasuki usia pensiun. Krisis kehidupan seperti kehilangan pekerjaan karena pensiun akan berdampak pada spiritualitas seseorang (Zohar & Marshal, 2000). Sebagian responden sudah mengalami DM selama lebih dari 5 tahun. Kondisi kronis seperti DM dapat menyebabkan distres spiritual yang dicirikan dengan berbagai cara seperti mempertanyakan makna penderitaan, makna eksistensi diri, atau implikasi moral dan etis dari rejimen terapi (Hymovich dan Hagopian, 1992). DM dan kondisi kronis lain menurunkan kualitas hidup penderitanya. DM mengganggu semua dimensi kesehatan kecuali kesehatan mental dan nyeri (Stewart AL, et al dalam Wee, HL; Cheung, YB; Li, SC; Fong, KY; Thumboo, J; 2005). DM juga berdampak signifikan pada kesehatan umum (Alonso J et al dalam Wee, HL; Cheung, YB; Li, SC; Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 292 Fong, KY; Thumboo, J; 2005)). Penurunan kualitas hidup membutuhkan kemampuan koping yang efektif pada penderita DM Agama dan spiritualitas membentuk dasar makna dan tujuan bagi banyak orang Foglio, JP & Brody, H, dalam Puchalski, 2001). Spiritualitas memberikan bekal bagi penderita DM untuk memaknai penyakit yang mereka alami sebagai suatu peristiwa hidup yang positif. Pasien yang sehat secara spiritual dapat mendayagunakan kepercayaan mereka dalam melakukan koping terhadap penyakit, nyeri, dan tekanan hidup. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mereka yang sehat secara spiritual cenderung mempunyai pandangan yang lebih positif dan kualitas hidup yang lebih baik (Puchalski, 2001). Penderita DM membutuhkan strategi koping yang efektif menghadapi vonis penyakit dan prognosisnya, perubahan perilaku hidup berupa pembatasan maupun pengobatan, serta kejadian komplikasi DM. Spiritualitas memberikan kekuatan bagi penderita menghadapi stressor fisik dan psikologis akibat penyakit DM. Pasien dengan penyakit lanjut, seperti DM yang sehat secara spiritual mempunyai perasaan eksistensi pribadi yang bermakna, pemenuhan tujuan hidup, serta perasaan hidup sampai pada suatu tahap adalah berharga yang berkaitan dengan kualitas hidup yang baik (Cohen SR, Mount BM, Strobel MG, Bui F, dalam Puchalski, 2001). Spiritualitas memungkinkan penderita DM memaknai kejadian sakit sebagai pengalaman positif yang bermakna baginya. Kualitas hidup yang baik pada penderita berhubungan dengan kepatuhan terhadap manejemen terapi DM (Chaveepojnkamjorn, W; Pichainarong, N; Schelp, FP; & Mahaweerawat, U; 2008). Asuhan keperawatan yang ditujukan untuk mempertahankan atau meningkatkan spiritualitas penting dilakukan untuk mempertahankan kualitas hidup penderita DM sekaligus meningkatkan kepatuhan terhadap manajemen terapi. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif antara spiritualitas dengan kualitas hidup penderita DM. Semakin baik spiritualitas maka akan semakin baik kualitas hidup penderita DM. Penderita dengan kualitas hidup yang baik lebih patuh terhadap manajemen terapi DM Daftar Pustaka Chaveepojnkamjorn, W; Pichainarong, N; Schelp, FP; & Mahaweerawat, U (2008). Quality of Life among Type 2 Diabetic Patients. South East Asian Journal Trop Med Public Health. Vol 39 No. 2 Maret 2008 329 Gonzales, J.S; Esbitt, S.A; Schneider, H.E; Osborne, P.J; Kupperma, E.G (2011) Psychological Isuues in Adults with Type 2 Diabetes. Available from http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9781 Isworo, A (2008) Hubungan Depresi dan Dukungan Keluarga Terhadap Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Sragen. Tesis: FIK UI: Tidak dipublikasikan Kariadi, SHKS., 2009. Diabetes? Siapa Takut!!. Panduan lengkap untuk Diabetisi, Keluarganya, dan Profesional Medis. Bandung: Mizan Media Pustaka. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 293 Litbangkes Depkes (2008) Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007. Depkes RI: Jakarta Phelps, Kenneth W. (2010) Satisfaction with Life and Biopsycosocial-Spiritual Health Among Underserved Patients with Diabetes. Dissertation Puchalski, C.M (2001) The Role of Spirituality in Health Care. Diperoleh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305900/. Ramsey, S.D. (1999) Incidence, Outcomes, and Cost of Foot Ulcers in Patients with Diabetes. http://care.diabetes journals.org. Sudoyo et al (2006) Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid III edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakitd Dalam FK UI Tyas, MDC. (2008) Hubungan Perawatan Diri dan Persepsi Sakit Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di Kota Blitar. Tesis. FIKUI. Tidak dipublikasikan Yanti, S (2009) Analisis Hubungan Kesadara Diri Pasien dengan Kejadian Komplikasi Diabetes Melitus Dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUD Dr AdnanW.D. Payakumbuh. Tesis. FIK UI. Tidak dipublikasikan. Wee, HL; Cheung, YB; Li, SC; Fong, KY; Thumboo, J (2005) The Impact of Diabetes Mellitus and Other Chronic Medical Conditions on Health-related Quality of Life: Is the Whole Greater than the Sum of its Parts? http://www.hqlo.com/content/3/1/2. Zohar, D & Marshal, Ian (2000) SQ, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London 2000 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 294 PENGARUH TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP TINGKAT STRES KELUARGA SEBAGAI AKIBAT BEBAN MERAWAT LANSIA DEMENSIA DI CIWARINGIN BOGOR Yossie Susanti Eka Putri1, Livana PH2 1 Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu keperawatan Universitas Indonesia, Email: [email protected]; 2 Program Studi Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal Abstrak Latar Belakang. Stres merupakan respon individu terhadap rangsangan atau tekanan yang mengancam dan mengganggu individu serta berdampak pada kejiwaan yang lebih didominasi oleh keluhan-keluhan somatik atau fisik. Stres terjadi pada keluarga yang merawat lansia dengan demensia. Prevalensi keluarga yang mengalami stres sedang akibat beban merawat lansia demensia sebesar 69% sehingga perlu tindakan keperawatan untuk mengatasi stres tersebut. Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot progesif terhadap tingkat stres keluarga sebagai akibat beban merawat lansia demensia di Ciwaringin Bogor. Metoda. Desain penilitian quasi eksperiment dengan pre-post test without control group. Teknik pengambilan sampel delakukan secara purposive sampling dengan jumlah sampel 26 orang. Hasil. Hasil penelitian menggunakan uji chi square menunjukkan penurunan tingkat stres keluarga setelah mendapat terapi relaksasi otot progresif (P Value= 0,001). Rekomendasi penelitian ini bahwa stres sebagai akibat beban merawat lansia demensia dapat diatasi dengan terapi relaksasi otot progresif. Kata Kunci : Stres, Relaksasi otot progresif, keluarga klien demensia Pendahuluan Lanjut usia merupakan individu yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (UndangUndang Nomer 13 tahun 1998). Lansia mengalami beberapa perubahan baik fisik, kognitif, psikologis, dan sosial. Perubahan yang terjadi secara fisik pada lansia antara lain kulit menjadi keriput, mata mengalami kerabunan, penurunan pendengaran, penurunan indra pengecap, gigi banyak yang tanggal, penurunan kepadatan tulang, perubahan fungsi organ tubuh yang mengakibatkan daya tahan tubuh lansia cendrung menurun sehingga mudah terkena penyakit. Lansia juga mengalami perlambatan tingkah laku dimana lansia lebih membutuhkan waktu yang cukup ama untuk menerima, memproses, dan bereaksi terhadap suatu perintah. Lansia juga mengalami penurunan kemampuan kognitif. Penurunan kemampuan kognitif tersebut dapat berupa penurunan kemampuan berhitung, mengeja, dan mengingat. Salah satu bentuk penurunan fungsi kognitif adalah demensia (Stanley, 2006). Demensia merupakan gangguan mental yang berlangsung progresif dan bersifat irreversibel yang disebabkan oleh kerusakan organik jaringan otak (Maryam; Ekasari; Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008). Demensia akan menimbulkan dampak pada memori masa lalu dan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang. Kondisi ini cukup berbahaya sehingga kemampuan berpikir, berkomunikasi menjadi terganggu. Lansia demensia juga tidak mampu menerima informasi yang baru, sehingga suasana hati dan perilaku akan mengalami penurunan dalam kehidupan sehari-hari. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 295 Lansia yang mengalami demensia mengalami penurunan Kemampuan intelektual sehingga mengganggu pekerjaan dan lingkungan. Gangguan berpikir secara nyata dan menganalisis masalah, memberi pertimbangan, serta tidak mampu melakukkan gerakan bertujuan, meskipun tidak ada kelumpuhan, sulit mengartikan rangsangan luar seperti suara, sentuhan, sehingga penderita mengalami kesulitan menunjukkkan dan mengenal objek, memperkirakan lamanya kejadian, dan menggambarkan objek yang dilihat meskipun kesadaraan tetap baik. Lansia yang mengalami demensia memiliki beberapa gejala yaitu, meningkatnya kesulitan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, mengabaikan kebersihan diri, sering lupa akan kejadian-kejadian yang dialami dalam keadaan yang makin berat, nama orang atau keluarga dapat dilupakan, pertanyaan atau kata-kata sering diulang ulang, tidak mengenal dimensia waktu, misalnya bangun dan berpakaian pada malam hari, tidak dapat mengenal demensia ruang dan tempat, sifat dan perilaku berubah menjadi keras kepala dan cepat marah, menjadi depresi dan menangis tanpa alasan yang jelas (Maryam; Ekasari; Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008). Lansia yang mengalami demensia dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan keadaan mental lansia yaiitu dengan melakukan pemeriksaan orientasi, regristasi (menyuruh dan menyebutkan beberapa nama benda dalam waktu singkat), perhitungan (menambahkan dan mengurangi), mengingat kembali (mengulangi nama benda yang sudah disebut sebelumnya), dan tes bahasa (menyebutkan nama benda yang ditunjuk) (Yatim, DTM & H, 2003). Keluarga sebagai orang terdekat lansia hendaknya mampu memahami perilaku lansia demensia tersebut. Tindakan yang dapat dilakukan keluarga dalam merawat lansia dengan demensia antara lain melakukan evaluasi secara cermat kemampuan yang maksimal dari lansia dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari kemudian dapat ditentukan jenis perawatan yang dibutuhkan, memperbaiki lingkungan tempat tinggal untuk menghindari kecelakaan yang tidak diinginkan, mengupayakan lansia tersebut dapat mempertahankan kegiatan sehari-hari secara optimal, membantu daya pengenalan terhadap waktu, tempat, dan orang dengan sering mengingat kembali hal-hal yang berhubungan dengan kejadian yang pernah terjadi.(Maryam; Ekasari; Rosidawati; Jubaedi; Batubara, 2008). Keluarga yang merawat lansia demensia juga mengalami beberapa masalah yang dialami selama merawat lansia dengan dementia sehingga berisiko tinggi mengalami tekanan beban dalam menjaga lansia seperti stres, cemas, depresi, dan bebagai masalah kesehatan lainnya. Secara sosial, keluarga lansia dengan demensia umumnya mengalami masalah dalam interaksi sosial, karena cenderung mengorbankan waktu luangnya untuk mengurus lansia. Secara Finansial, Biaya untuk merawat lansia dengan demensia cukup tinggi. Secara fisik dan mental, keluarga yang merawat lansia dengan demensia berisiko mengalami masalah pada kesehatan seperti menurunnya imun, penyembuhan luka yang lambat, meningkatnya resiko penyakit jantung (Brodaty & Donkin, 2009). Tingkat stres keluarga lansia dengan demensia lebih tinggi dibandingkan keluarga lansia lainnya. keluarga memiliki peran penting dalam merawat lansia dengan dementia. Seringkali pelaku rawat mengalami beban dalam merawat lansia, baik secara fisik dan psikologis. Profesional kesehatan, salah satunya perawat perlu memperhatikan kondisi keluarga lansia demensia dengan membantu mengurangi beban yang dialami. Seorang perawat memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung keluarga yang merawat Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 296 lansia dengan demensia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pelaku rawat, memperbaiki mood, menurunkan stres dan depresi. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dalam mengidentifikasi masalah psikologis berupa stres pada keluarga lansia dengan demensia didapatkan hasil bahwa dari 26 keluarga lansia demensia mengalami stres sedang sebesar 69% yang ditandai dengan sering sakit kepala, otot terasa tegang dan pegal, mudah lelah, tidur tidak nyenyak dan sering terbangun. Respons stres yang terjadi pada keluarga lansia dengan demensia tersebut perlu segera diatasi agar masalah stres yang ada dapat berkurang atau teratasi sehingga perlu tindakan keperawatan. Ada beberapa cara untuk menurunkan beban, stres, depresi, dan memperbaiki mood keluarga yang merawat lansia demensia yang dapat dilakukan secara berkelompok maupun seara individu. Terapi kelompok dapat dilakukan perawat berupa Supportive psychotherapy dan Interpersonal psychotherapy sedangkan terapi individu dapat berupa Tarik Napas Dalam, terapi musik, teknik koping efektif, dan terapi relaksasi otot progresif (Tracy & Chlan, 1999). Relaksasi Otot progresif merupakan salah satu cara relaksasi yang sederhana dan mudah untuk dilakukan dengan menegangkan dan merilekkan otot-otot tubuh (Richmond, 2013). Terapi relaksasi otot progresif yang dilakukan bertujuan untuk mengenali perbedaan saat otot ditegangkan dan saat otot dilemaskan selama 10-15 detik yang dilakukan sebanyak dua hingga tiga kali pada setiap gerakannya (Nay,2007). Relaksasi otot progresif dapat digunakan untuk mengurangi beberapa respons stres, misalnya nyeri, kaku leher, perubahan tekanan darah, sakit kepala, gangguan tidur, dan nyeri punggung bawah (Nasional Safety Council, 2004). Penelitian yang pernah dilakukan Livana, Helena, dan Mustikasari (2014) menunjukkan bahwaa relaksasi otot progresif yang diberikan selama 4 hari pada keluarga klien gangguan jiwa mampu menurunkan tingkat stres sebesar 78%, sedangkan hasil penelitian Livana dan Wardani (2015) menunjukkan bahwa relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat ansietas sebesar 87% setelah diberikan kepada keluarga klien hemodialisis selama 4 hari. Penelitian yang pernah dilakukan Kanender, Palandeng, dan Kallo (2015) menunjukkan bahwa terapirlaksasi otot progresif mampu mengatasi insomnia. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya tersebut peneliti simpulkan bahwa terapi relaksasi otot progresif dapat diberikan pada keluarga lansia dengan demensia yang mengalami stres selama 5- 6 hari berturut-turut untuk mencapai hasil yang maksimal. Berdasarkan latarbelakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat stres keluarga dengan demensia di iwaringin Bogor. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh terapirelaksasi otot progresif terhadap tingkat stres keluargalansia dengan demensia sebagai akibat beban merawat lansia demensia. Metode Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi eksperiment dengan Pre-post test without control group. Penelitian ini dilaksanakan di Ciwaringin Bogor pada bulan AgustusSeptember 2015. Populasi penelitian ini adalah semua keluarga lansia demensia di Ciwaringin Bogor yang memenuhi kriteria inklusi yang berjumlah 26 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pengukuran tingkat stres pada saat pre dan post test menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) yang berisikan 14 pertanyaan terkait stres dan buku kerja. Pre test dilakukan pada Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 297 masing-masing keluarga lansia dengan demensia setelah menandatangani Imformed consent dan selanjutnya diberikan terapi relaksasi otot progresif hingga masing-masing keluarga lansia dengan demensia dianggap paham dan mampu mengikuti 15 gerakan secara berurutan sesuai dengan petunjuk dalam panduan yang tersedia. Tahap selanjutnya masing-masing keluarga lansia dengan demensia diminta untuk melakukan terapi relaksasi otot progresif secara mandiri dirumah masing-masing selama 6 hari berturut-turut yang dilakukan pada malam hari sebelum tidur dan pagi hari setelah bangun tidur. Tahap selanjutnya keluarga lansia dengan demensia dievaluasi dengan menanyakan kembali perasaannya dan menjelaskan bahwa intervensi telah selesai dilakukan, kemudian masingmasing keluarga lansia demensia diminta untuk mengumpulkan buku kerja yang telah diisi selama latihan terapi relaksasi otot progresif dan dilakukan post test pada semua keluarga lansia dengan demensia yang telah memenuhi kriteria inklusi tersebut. Tahap terakhir yaitu dilakukan pengolahan dan analisis data dengan bantuan perangkat lunak komputer yang menggunakan analisis statistik uji Chi-Square. Hasil Tabel 1 Distribusi karakteristik jenis kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, penghasilan, hubungan keluarga dengan lansia (n = 26) No Variabel 1 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 2 Umur Dewasa muda (18-25 tahun) Dewasa (25-60 tahun) Lansia (> 60 tahun) 3 Pendidikan Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA 4 Status Perkawinan Belum menikah Menikah Janda atau duda f % 0 26 0 100 1 4 24 92 1 4 7 7 12 27 27 46 0 25 1 0 96 4 No Variabel F % 5 Pekerjaan Tidak Bekerja 19 73 Bekerja 7 27 Pensiunan 0 0 6 Penghasilan < UMK Bogor 7 27 > UMK Bogor 0 0 Tidak ada 19 73 penghasilan 7 Hubungan keluarga dengan klien Suami/Istri 3 12 Kakak/ Adik 1 4 Anak 20 76 Cucu 2 8 Tabel 2 Perubahan tingkat stres keluarga lansia dengan demensia sebelum dan sesudah pemberian terapi relaksasi otot progresif (n = 26) No Tingkat Ansietas P-Value Normal Ringan Sedang Berat f % f % f % f % 1 Sebelum pemberian terapi relaksasi otot progresif 0 0 1 4 18 69 7 27 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 298 2 Sesudah pemberian terapi relaksasi otot progresif 4 15 19 73 3 12 0 0 0,001 Pembahasan Distribusi keluarga lansia dengan demensia semuanya berjenis kelamin perempuan (100%). Hasil ini jika dikaitkan dengan hasil ukur tingkat stres, maka dapat disimpulkan bahwa perempuan cenderung mudah terkena stres. Hasil ini sesuai dengan pendapat Black & Halwk (2005) yang menyatakan bahwa perempuan itu emosional, dan pasif. Penelitian Isnarti dan Ritandiyah (2006) juga mendukung hasil penelitian ini yaitu bahwa perempuan mengalami tingkat stres lebih tinggi dibanding laki-laki. Thompson (2007) berpendapat bahwa stres yang dirasakan keluarga dipengaruhi oleh beban biaya yang dihabiskan lansia dalam memenuhi perawatan diri, selain itu karakteristik dari care giver seperti jenis kelamin, orang tua, dukungan sosial juga mempengaruhi tingkat stres keluarga sebagai care giver. Berdasarkan hasil penelitian dan teori, peneliti berpendapat bahwa jenis kelamin mempengaruhi tingkat stres. Karakteristik umur keluarga yang merawat lansia dengan demensia mayoritas berumur dewasa (25-60 tahun) (92%), Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Tobing, Keliat, & Wardhani (2012) yang menunjukkan bahwa umur berkaitan erat terhadap perubahan ansietas dan depresi sebesar 36,5%, dimana tingkat stres berada diantara ansietas dan depresi (Crawford & Henry, 2003). Hasil penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian Sutejo (2009) yang berpendapat bahwa tahapan umur dewasa berkonstribusi terhadap terjadinya stres terkait dengan tugas perkembangan yang kompleks. Pada tahap masa dewasa, individu mempunyai tanggung jawab kemandirian yang tinggi terhadap sosial ekonomi dan kemampuan mengatasi masalah dalam menghadapi stres kehidupan dibanding dengan tahap kehidupan yang lain. Pendapat lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini adalah pendapat Tarwoto dan Wartonah (2003) yang menyatakan bahwa maturitas individu juga mempengaruhi tingkat stres seseorang. Individu yang memiliki kepribadian matang akan lebih sulit mengalami stres dibanding dengan individu yang tidak berkepribadian matang, hal ini dikarenakan individi yang mempunyai kepribadian matang mempunyai daya adaptasi yang besar terhadap stresor yang timbul, sehingga individu yang berkepribadian tidak matang akan sangat mudah mengalami stres. Individu yang tidak mempunyai kepribadian matang merupakan individu yang tergantung dan tidak peka terhadap rangsangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27% keluarga lansia dengan demensia berpendidikan tamat SD, 27% tamat SMP, dan 46% tamat SMA. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoadmojo (2007) yang berpendapat bahwa pengetahuan berkaitan dengan segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh melalui proses pembelajaran, pendidikan, dan pengalaman hidup lainnya, sehingga peneliti berpendapat bahwa apabila keluarga lansia dengan demensia mampu mengenal masalah yang terjadi pada demensia, maka lansia dengan demensia juga akan mendapatkan perawatan yang maksimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan keluarga lansia dengan demensia mayoritas (96%) sudah menikah, dan 4% janda. Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan tingkat stres yang dialami keluarga lansia dengan demensia, maka sependapat dengan penelitian Adams (2008) di Amerika yang menyatakan bahwa keluarga yang sudah Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 299 menikah sebagai pelaku rawat secara signifikan lebih banyak mengalami stres dibandingkan dengan pasangan yang tidak sebagai pelaku rawat, hal ini dikarenakan beban yang ditanggung keluarga individu tersebut dan ditambah lagi beban merawat lansia dengan demensia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas keluarga lansia dengan demensia tidak bekerja (73%) dan 23% keluarga lansia dengan demensia bekerja. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Thoits (2010) yang menyatakan bahwa dampak stres dapat dicegah dengan merencanakan kegiatan yang bermanfaat yaitu dengan bekerja. Berdasarkan hasil penelitian dan teori tersebut, peneliti berpendapat bahwa mayoritas keluarga lansia demensia mengalami stres karena tidak bekerja sedangkan beban biaya yang harus ditanggung dalam merawat lansia cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas (73%) keluarga lansia dengan demensia tidak memiliki penghasilan. Hasil penelitian ini tidak mendukung teori fungsi keluarga yang dikemukakan oleh Friedman (2010) yang menyatakan bahwa satu dari lima fungsi pokok keluarga adalah fungsi ekonomi yang merupakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi seperti makanan, pakaian, perumahan, dll. Hasil penelitian dan teori yang ada, jika dikaitkan dengan tingkat stres yang terjadi pada keluarga lansia dengan demensia maka peneliti berpendapat bahwa keluarga lansia dengan demensia mengalami stres disebabkan karena tidak memiliki penghasilan sehingga fungsi ekonomi dalam keluarga tidak terpenuhi secara maksimal sehingga beban biaya dalam merawat lansia dengan demensiapun akan menjadi salah satu penyebab stres yang dialami keluarga. Karakteristik hubungan keluarga dengan lansia dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas dari resonden memiliki hubungan anak (76%). Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan tingkat stres yang terjadi pada keluarga menunjukkan bahwa mayoritas keluarga lansia dengan demensia yang merawat lansia dengan demensia karena hubungan yang sangat dekat yaitu hubungan antara anak dan orangtua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres keluarga lansia dengan demensia sebelum pemberian terapi relaksasi otot progresif mayoritas (69`%) mengalami stres tingkat sedang dan 27% mengalami stres tingkat berat, sedangkan setelah pemberian terapi relaksasi otot progresif menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami tingkat stres ringan (73%) dan 12% mengalami stres sedang. Hasil analisis diketahui bahwa pemberian terapi relaksasi otot progresif selama enam hari secara rutin mampu menurunkan tingkat stres sebesar 85%. Hasil Uji statistik didapatkan nilai p = 0,001 (p Value < 0,005) maka dapat diartikan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara tingkat stres sebelum dan setelah latihan terapi relaksasi otot progresif selama enam hari secara rutin. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Ramdhani (2009) bahwa relaksasi otot progresif dapat membantu merilekskan ketegangan otot tubu. Relaksasi otot progresif bertujuan menurunkan respons fisiologis ansietas dan stres seperti pegal-pegal akibat ketegangan otot tubuh dan gangguan tidur, hal ini membantu keadaan tubuh untuk mengabaikan otototot tubuh yang sedang tegang sehingga pikiran menjadi rileks. Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat beberapa peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa relaksasi otot progresif mampu menurunkan respons fisiologis dan psikologis dari ansietas dan stres (Smeltzer & Bare, 2002); relaksasi otot progresif selama enam hari secara bermakna dapat Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 300 menurunkan tekanan darah sistolik (Hamarno, Nurachmah, & Widyastuti, 2010); relaksasi otot progresif dapat menghilangkan gejala-gejala fisik akibat stres (Brooker, 2009); relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat ansietas dan depresi secara bermakna pada klien kanker (Tobing; Keliat; & Wardhani, 2012); efektifitas relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat stres (Scheufele, 2013); relaksasi otot progresif secara rutin mampu menurunkan berbagai situasi stres (Chen, et al, 2009); relaksasi otot progresif mampu mengurangi efek psikolosis seperti stres dan ketegangan mental (Shinde, 2013), relaksasi otot progresif mampu menurunkan tingkat stres, tekanan darah dan denyut jantung pada pasien rehabilitasi jantung (Wilk, 2012); relaksasi otot progresif yang dilakukan selama 4 hari pada pasien gangguan fisik menunjukkan ada penurunan tingkat ansietas setelah pemberian terapi relaksasi otot progresif (Supriati, 2010); relaksasi otot progresif menginduksi respons suasana hati dalam mengatasi kebingungan, depresi, dan kelelahan (Hashim, 2011); relaksasi otot progresif juga dapat menurunkan tingkat stres biologis pada pengasuh lanjut usia (Oktavianis, 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Edmund Jacobson pada tahun 1930-an yang menyatakan bahwa relaksasi otot progresif efektif untuk mengurangi ketegangan otot dan meningkatkan relaksasi mental atau pikiran. Pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif dilakukan untuk membedakan perasaan yang dialami saat bagian otot tegang dan saat bagian otot dirilekskan sehingga saat otot ditegangkan maka akan diikuti dengan relaksasi dari 15 kelompok otot tubuh (Berstein & Borkovec, 1973; dalam Kwekkeboom & Gretarsdottir, 2006; conrad & Roth, 2007; Supriati, 2010; Alini, 2012). Keberhasilan pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif pada penelitian ini, yaitu karena peneliti mempraktekkan terlebih dahulu setiap gerakan yang akan dilatih, selanjutnya keluarga lansia dengan demensia diminta untuk mengulang setiap gerakan yang sudah dilatih.keluarga lansia dengan demensia yang telah mampu mempraktekan kembali setiap gerakan hingga 15 gerakan secara berurutan, maka peneliti melakukan evaluasi dengan menanyakan kembali perasaan keluarga lansia setelah latihan relaksasi otot progresif. Keluarga lansia dengan demensia selanjutnya diminta untuk melakukannya secara mandiri dirumah secara rutin selama 6 hari dan keluarga lansia diminta untuk mendokumentasikan setiap latihan gerakan relaksasi otot progresif pada malam sebelum tidur dan pagi setelah bangun tidur di buku kerja yang telah tersedia. Berdasarkan teori, hasil penelitian, dan hasil penelitian sebelumnya, peneliti berpendapat bahwa terapi relaksasi otot progresif yang diberikan pada keluarga lansia dengan demensia secara rutin selama enam hari pada malam sebelum tidur dan pagi setelah bangun tidur, mampu menurunkan tingkat stres dibandingkan dengan sebelum melakukan latihan relaksasi otot progresif. Hal ini dikarenakan komitmen keluarga lansia dengan demensia dalam melakukan latihan relaksasi otot progresif tersebut. Hasil penelitian ini sejalan dengan rekomendasi penelitian Livana, Helena, dan Mustikasari (2014) tentang pelaksanaan terapi relaksasi otot progresif selama 6 hari diharapkan mampu menurunkan tingkat stres secara maksimal. Hal ini terbukti bahwa pelaksanaan latihan relaksasi otot progresif yang dilakukan selama enam hari mampu menurunkan tingkat stres sebesar 85% dibandingkan dengan latihan yang hanya dilakukan selama empat hari dan mampu menurunkan tingkat stres hanya sebesar 78%, sehingga untuk mencapai hasil yang lebih maksimal (100%) maka direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya, pemberian terapi relaksasi otot progresif sebaiknya diberikan selama 7-8 hari secara rutin. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 301 Kesimpulan Terapi relaksasi otot progresif yang diberikan pada keluarga lansia dengan demensia mampu menurunkan tingkat stres sebagai akibat beban merawat lansia demensia sebesar 85%. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi evidence based practice bagi perawat khususnya perawat spesialis keperawatan jiwa dalam memberikan alternatif terapi dalam mengatasi stres keluarga sebagai akibat beban merawat lansia demensia. Penelitian lanjut dengan metode kualitatif diharapkan dapat dilakukan agar efektifitas terapi relaksasi otot progresif dapat diketahui. Daftar Pustaka Adams, K.B. (2008). Specific effects of caring for a spouse with dementia: differences in depressive symptoms between caregiver and non-caregiver spouses. USA: University, Cleveland, Ohio, U.S.A. International Psychogeriatrics 20.3 : 508-20. Chen, et all. (2008). Efficacy of progressive muscle relaxation training in reducing anxiety in patients with acute schizophrenia. China: Taipei Medical University. Journal of Clinical Nursing: Complementary & Alternative Medicine 18.15; 2187-2196. Crawford, J.R & Henry, J.D. (2003). The depression anxiety stress scales (DASS): normative data and latent structure in a large non-clinical sample. British journal of clinical psychology 42: 111-113. Hashim, HA., & Hanafi, AYH. (2011). The effects of progressive muscle relaxation and autogenic relaxation on young soccer players' mood states. Malaysia: Tehran University of Medical Sciences Press. Asian Journal Of Sports Medicine 2.2: 99105. Isnarti & Ritandiyah. (2006). Perbedaan tingkat stres kerja ditinjau dari jenis kelamin. Diambil dari http://library gunadarma.ac.id Livana, Helena, Mustikasari (2014). Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat stres keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa di RSUD Dr.H. Soewondo Kendal. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Maryam;ekasari; Rosidawati;Jubaedi; Batubara. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya.Jakarta: salemba Medika Ramdhani, N., & Putra, A.A. (2008). Pengembangan multimedia relaksasi. Jogjakarta : Bagian Psikologi klinis Fakultas psikologi UGM Scheufele, P.M. (2013). Effects of Progressive Relaxation and Classical Music on Measurements of Attention, Relaxation, and Stress Responses”. Netherlands: Springer Science & Business Media. Journal of Behavioral Medicine 23.2 : 207-28. Scott, J.R. (2013). “Stress Management”. New York 3 Mei 2013. Stanley Mickey. 2006. Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. Supriati, L. Keliat, B.A., Nuraini, T. (2010). Pengaruh terapi tought stopping dan progressive muscle relaxation terhadap ansietas pada klien dengan gangguan fisik di RSUD Dr. Soewondo Madiun. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Sutejo. (2009).Pengaruh Logoterapi kelompok terhadap ansietas pada penduduk pasca gemba di kabupaten klaten propinsi Jawa Tengah. Tesis. Tidak dipublikasikan. Thoits, P.A. (2010). Stress and health major finding and policy implications. Journal of health and social behavior 51.1: S541-S53. Bloomington: Indiana University Tobing, D.L., Keliat, B.A., Wardhani, I.Y. (2012). Pengaruh Progresive Muscle Relaxation dan Logoterapi terhadap Perubahan Ansietas, Depresi, Kemampuan Relaksasi, dan Kemampuan Memaknai Hidup Pasien Kanker di RS Dharmais Jakarta. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 302 Wilk, C., and Turkoski, B. (2012). Progressive Muscle Relaxation in Cardiac Rehabilitation: A Pilot Study. Rehabilitation Nursing, 26: 238–242. Yatim, DTM & H. 2003. Pikun (demensia), penyakit Alzheimer dan sejenisnya, bagaimana cara mengatasinya/dr. Faisal yatim DTM&H, MPH, edisi 1; cetakan pertama. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 303 LITERATURE REVIEW: PENGARUH TERAPI PIJAT TERHADAP TINGKAT KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS Satriya Pranata, Aini Hidayati Stikes Al Islam Yogyakarta, E-mail: [email protected] Abstrak Latar belakang. penderita diabetes melitus terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Laporan menunjukkan bahwa terapi pijat merupakan terapi komplementer yang digemari di indonesia serta memiliki banyak fungsi. Perlu digali lebih dalam mengenai pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus. Tujuan. Mengetahui pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus. Metoda. Pencarian artikel dilakukan menggunakan Science Direct, Medline, Google Search dan Pro Quest untuk menemukan artikel sesuai kriteria inklusi dan ekslusi kemudian dilakukan review. Hasil. terapi pijat secara signifikan mampu mengontrol kadar glukosa darah pada pasien anakanak dengan diabetes melitus P value < 0,0001. Faktor yang mempengaruhi pasien menggunakan pengobatan komplementer adalah gender dengan P value = 0.049, pemasukan rumah tangga P= 0.048 dan frekuensi kontrol gula darah P= 0.036. Swedish massage terbukti efektif memberikan efek penurunan kadar glukosa darah pada anak dengan DM nilai P =0.00. sampel menggunakan pengobatan herbal mencapai 100%. Intervensi mind body 94,2%. 100%. Sampel mempercayai bahwa obat herbal dapat menurunkan kadar glukosa darah dan dapat mengatasi gejala DM 35,7%. Terdapat signifikansi kadar glukosa darah dan laktat sebelum dan sesudah pijat dengan nilai P<0.05. Terdapat penurunan level ansietas dan glukosa darah sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pijat dengan nilai P 0.00. Kesimpulan. terapi pijat merupakan terapi komplementer yang digemari. Hasil penelitian belum dapat digeneralisasi. Perlu dilakukan penelitian lanjutan Kata kunci: Diabetes Melitus, Terapi Pijat, Glukosa Darah Pendahuluan Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang melanda seluruh belahan dunia hingga saat ini. Data dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014 menunjukkan bahwa 1 dari 12 orang di dunia menderita DM. Jumlah penderita Diabetes Mellitus (DM) di seluruh dunia saat ini berjumlah 387 Juta jiwa dengan prevalensi 8,3%. setiap 7 detik 1 orang di dunia meninggal akibat DM, total jumlah penderita DM yang meninggal mencapai 4,9 juta jiwa. Diprediksi pada tahun 2035 jumlah penderita DM akan mengalami penambahan jumlah penderita hingga 205 juta jiwa (IDF, 2014). Jumlah penderita DM di Indonesia terus mengalamai peningkatan. tahun 2014 penderita DM mencapai angka 9,1 juta dengan prevalensi 5.81 %. DM yang tidak terdiagnosis berjumlah 4,8 juta, penderita yang meninggal akibat DM berjumlah 175.836 jiwa, rata-rata jumlah biaya yang di keluarkan oleh setiap pasien DM di tahun 2014 berjumlah 174.71 USD atau setara dengan 2,3 juta rupiah. Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang menderita DM di tahun 2035 mencapai angka 14,1 juta (IDF, 2014). Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 304 Dengan bertambahnya jumlah penderita DM setiap tahunnya, tantangan tenaga kesehatan khususnya perawat untuk mensikapi kondisi ini tentunya semakin besar karena masalah yang timbul berdasarkan respon tubuh juga akan semakin kompleks. Selama ini penanganan pasien DM masih dilakukan berdasarkan konteks kolaborasi farmakologi, padahal perawat memiliki intervensi mandiri yaitu terapi komplementer yang diharapkan menjadi salah satu solusi penanganan peningkatan glukosa darah pasien DM. Salah satu terapi komplementer yang sedang berkembang saat ini adalah terapi pijat (massage therapy). Penelitian menunjukkan bahwa tindakan komplementer seperti terapi pijat memiliki banyak manfaat, terapi pijat dapat meningkatkan mood pasien setelah melakukan ope rasi jantung terbuka (Babae, 2012). Terapi pijat mampu menurunkan tingkat depresi pasien penderita HIV (Polland, 2013). Back massage dapat menurunkan ansietas, meningkatkan aliran darah pada pasien CHF (congestif heart failure) (Chen 2013). Penelitian yang dilakukan oleh (Kashaninia, et al, 2011) menunjukkan bahwa swedish massage dapat mengontrol kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus. Penelitian yang dilakukan oleh (Finch, et al, 2007) menunjukkan bahwa massage therapy berefek positif terhadap potensial pergerakan, menurunkan insiden ulcer neuropati pada diabetes melitus. Dengan banyaknya manfaat yang dilaporkan mengenai terapi pijat maka penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus. Tujuan Mengetahui pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus. Metoda Jenis design penelitian yang dimasukkan didalam literatur review adalah RCT dan quasi eksperiment. Jenis metode penelitian ini dirasa sudah dapat menjawab pertanyaan klinis yang sudah ditentukan sejak awal. Tipe study yang akan direview adalah semua jenis penelitian yang menggunakan terapi pijat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus. Partisipan yang ditentukan untuk di review tidak dibatasi secara umur maupun tipe diabetesnya. Semua jenis partisipan baik anak-anak, dewasa maupun lansia dimasukkan sebagai partisipan dalam literature review. Intervensi yang dimasukkan dalam kriteria inklusi adalah semua jenis intervensi terapi pijat yang dilakukan untuk menurunkan tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus. Tipe outcome yang diukur hanya berbatas pada pengaruh terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus. Literature review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel penelitian yang sudah terpublikasi dimana populasi pasiennya adalah penderita diabetes melitus yang mendapatkan perlakuan terapi pijat dimana hasilnya mampu menurunkan kadar glukosa darah. Penelusuran dilakukan menggunakan Science direct, Medline, Google Search dan Pro-quest dengan kata kuci tiap variabel yang telah di pilih. Artikel yang ditemukan dari masing-masing pencarian kemudian dilakukan pembacaan secara cermat untuk melihat artikel mana yang memenuhi kriteria inklusi penulis untuk dijadikan sebagai literatur dalam penulisan literature review. Pencaharian dibatasi dari tahun 2000-2015 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf dengan desain RCT dan quasy eksperiment. Setiap Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 305 artikel penelitian yang terpublikasi melakukan terapi pijat serta mampu menurunkan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus akan dimasukkan dalam literature review. Artikel yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan penulis dianalisis, ditentukan level dari evidancenya sampai melakukan ekstraksi data dan sintesis. harapannya dari banyak penelitian tersebut didapatkan sebuah kesimpulan yang nantinya menjadi dasar dalam melakukan praktek keperawatan di rumah sakit, masyarakat, maupun komunitas. Ekstraksi data penelitian dilakukan dengan membaca hasil dari penelitian kemudian mengambil intisari dari penelitian. Intisari dari penelitian yang diambil adalah judul penelitian, nama peneliti, metode penelitiannya, jumlah sampel dengan melihat karakteristik sampel dan berapa jumlah kelompok intervensi dan kontrol, alat yang digunakan dalam proses penelitian serta hasil akhir dari penelitian lengkap dengan nilai signifikansinya. Semua bagian-bagian tersebut dimasukkan dalam sebuah tabel agar mempermudah dalam membaca hasil ekstraksi. Hasil Untuk mendapatkan artikel penelitian yang dibutuhkan, penulis melakukan pencarian dengan menggunakan kata kunci. Jumlah artikel yang didapatkan serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi berjumlah 7 artikel, 7 artikel tersebut kemudian dianalisis. Berikut merupakan daftar artikel yang di ekstraksi dalam bentuk tabel: Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 306 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 307 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 308 Didapatkan 7 jenis artikel, artikel yang dianalisis menggunakan metode penelitian yang beragam seperti RCT, quasy eksperiment, Two occasions in a counter balance design dan Cross sectional. Tempat penelitian dari artikel yang dapatkan juga beragam, Artikel pertama pengambilan data dilakukan di Iran, artikel kedua pengambilan data di singapura, artikel ketiga pengambilan data dilakukan di Iran, artikel keempat pengambilan data dilakukan di Indonesia, artikel ke lima pengambilan data dilakukan di South Korea, artikel ke enam pengambilan data dilakukan di United Kingdom dan artikel ke tujuh pengambilan datanya dilakukan di Swedia. Artikel pertama menunjukkan bahwa Swedish massage secara signifikan mampu mengontrol kadar glukosa darah pada pasien anak-anak dengan diabetes melitus P value < 0,0001. Artikel kedua menunjukkan bahwa pengobatan komplementer yang umum digunakan oleh sampel saat melakukan rawat jalan adalah suplemen gizi, obat herbal cina dan pijat. Sumber informasi pasien mengenai CAM 44,2 % dari teman, dari pasangan dan keluarga 38%. Faktor yang mempengaruhi pasien menggunakan pengobatan komplementer adalah gender dengan P value = 0.049, pemasukan rumah tangga P= 0.048 dan frekuensi control gula darah P= 0.036, rekomendasi dari hasil penelitian adalah perlu dilakukan peningkatan profesionalitas tenaga kesehatan mengenai kemampuan memberikan edukasi dan pelayanan terapi komplementer pada pasien rawat jalan. Artikel ketiga dengan intervensi Swedish massage terbukti efektif memberikan efek penurunan kadar glukosa darah pada anak dengan diabetes melitus, nilai P =0.00. Artikel keempat dengan desain cross sectional menujukkan bahwa Favorit sampel menggunakan pengobatan herbal mencapai 100%. Intervensi mind body 94,2%. 100% Sampel mempercayai bahwa obat herbal dapat menurunkan kadar glukosa darah, menyehatkan tubuh 76,6% dan dapat mengatasi gejala DM 35,7%. Informasi mengenai pengobatan herbal 98,7% di dapatkan dari relasi dan teman, 89% mengetahui sendiri, semantara informasi dari market lokal 36,4%. Artikel kelima menunjukkan bahwa thermomechanical massage dapat menurunkan tekanan darah dengan P value = 0.00; glukosa darah pasien dengan diabetes mengalami penurunan setelah dilakukan perlakuan dengan P value = 0.00; kelompok dengan diabetes dan hipertensi signifikan mengalami penurunan tekanan darah dan penurunan kadar glukosa darah dengan P value < 0.05. Artikel ke enam menjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antar group setelah dilakukan intervensi, namun terdapat penurunan selisih antar group dengan nilai P <0.05; intervensi pijat dapat meningkatkan perbaikan persepsi pasien dengan nilai P <0.01; tidak ada perbedaan kandungan laktat dan glukosa darah dari intervensi dan pasiv rest intervensi. Namun terdapat signifikansi kadar glukosa darah dan laktat sebelum dan sesudah pijat dengan nilai P<0.05. Sedangkan artikel ketujuh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikansi level oksitosin pasien sebelum dan sesudah dilakukan intervensi tactile massage. Terdapat penurunan level ansietas dan glukosa darah sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dengan nilai P = 0.00. Pembahasan Hasil pencarian dengan menetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat mempengaruhi jumlah artikel yang didapatkan. Awalnya penentuan artikel yang diambil hanya berbatas pada artikel yang menggunakan metode penelitian RCT dan quasy eksperiment, namun karena jumlah dari artikel sangat terbatas maka kriteria diturunkan, Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 309 artikel dengan metode penelitian apapun akhirnya tetap dimasukkan selama tetap terkait dengan terapi pijat pada pasien diabetes melitus serta korelasi terhadap kadar glukosa darah. Setelah menurunkan kriteria berupa metode penelitian, akhirnya artikel yang didapatkan berjumlah 7 artikel. Hasil yang beragam ditunjukkan pada hasil penelitian di artikel, hasil penelitian secara umum menyebutkan bahwa terapi pijat memang terbukti signifikan mampu menurunkan kadar glukosa darah. Khasiat lain, terapi pijat mampu menurunkan tekanan darah dan menurunkan tingkat ansietas pasien dengan diabetes melitus. Peningkatan kadar glukosa darah, ansietas dan tingginya tekanan darah pada pasien diabetes melitus terkait dengan kerja hormon dan vaskularisasi. Pada pasien diabetes melitus, kekentalan darah meningkat karena tingginya kadar glukosa di dalam darah, akibatnya aliran darah menjadi tidak lancar sehingga memicu terjadinya hipertensi (Smeltzer & Bare, 2008). Pasien dengan diabetes melitus harus terus melakukan kontrol glukosa darah, kontrol diet, penyesuaian gaya hidup dikarenakan resiko komplikasi penyakit lain hingga luka yang sulit sembuh, kondisi ini akan menyebabkan terjadinya ansietas pada pasien. Ansietas akan memicu peningkatan hormon kortisol diikuti oleh peningkatan konversi asam amino, laktat dan piruvat di hati menjadi glukosa melalui proses glukogenesis, kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2008). Terapi pijat memiliki efek fisiologis melancarkan predaran darah. Bekuan dan kekentalan darah dapat dipecah karena manipulasi pijat pada otot sehingga darah akan menjadi lancar. Lancarnya predaran darah akan memicu keluarnya hormon endorphin sehingga pasien yang dilakukan terapi pijat mengalami relaksasi (Arovah, 2010). Dengan terjadinya peningkatan relaksasi diharapkan akan diikuti juga dengan penurunan kadar glukosa di dalam darah. Hasil penelitian pada artikel lainnya menunjukkan bahwa ternyata terapi pijat termasuk salah satu terapi komplementer alternative yang sangat diminati masyarakat di Singapura yang memiliki latar rumpun Asia sama dengan di Indonesia, itulah mengapa hasil dari penelitian yang dilakukan di Singapura dan di Indonesia cenderung memiliki kaitan yang erat yaitu minat masyarakat akan terapi komplementer seperti terapi pijat sangat digemari. Kelengkapan dan aplikasi evidence Artikel mengenai pelaksanaan terapi pijat terhadap kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes mellitus yang terpublikasi masih sedikit. Kekuatan dari evidence yang ditemukan setelah dilakukan literature review terletak pada artikel yang terpublikasi dari literature yang baik, resmi serta sudah dilakukan peer review. Kualitas evidence Kualitas dan bukti yang ditampilkan pada artikel sudah cukup kuat, hanya saja masih dibutuhkan penelitian lanjutan dengan desain RCT untuk membuktikan efektifitas pelaksanaan terapi pijat terhadap tingkat kadar glukosa darah pada pasien dengan diabetes melitus. Penelitian yang terbukti berkorelasi terhadap kadar glukosa darah Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 310 dengan menggunakan desain RCT hanya terbukti pada sampel anak-anak. Dibutuhkan penelitian lain dengan desain RCT yang dilakukan pada orang dewasa hingga lansia. Implikasi hasil penelitian pada praktik Meskipun jumlah artikel yang melihat pengaruh pelaksanaan terapi pijat masih sedikit, pelaksanaan program ini memiliki peluang yang besar untuk diterapkan di tatanan klinis dan komunitas khususnya di Indonesia. Kondisi ini di dukung oleh minat masyarakat Indonesia yang tinggi pada terapi komplementer seperti pijat. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk semakin menguatkan evidence. Implikasi pada penelitian lanjutan Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada orang dewasa. Pemilihan lokasi pijat serta jenis pijat memiliki peran penting. Terdapat banyak jenis terapi pijat yang sudah berkembang di dunia khususnya Indonesia. Pemilihan jenis pijat yang sudah terbukti secara akademis akan lebih baik karena sudah di dukung dengan teori-teori penguat untuk menjaga pasien tetap aman saat dilakukan pijat. Perlu juga dilakukan penentuan secara teori dari tekanan yang diberikan saat melakukan pijat, perbedaan tekanan dapat dilihat dari jumlah lemak pada tubuh pasien. Semakin bayak lemak semakin besar tekanan yang harus diberikan dan sebaliknya. Pengaplikasian terapi pijat tergolong mudah, low cost, serta sudah didukung oleh tempat pelatihan dan instruktur pelatih yang cukup memadai. Untuk mengukur pengaruh atau efektifitas terapi akan lebih baik menggunakan metode RCT. Kesimpulan Hasil literature review ini menunjukkan bahwa terapi pijat terbukti dapat menurunkan kadar glukosa darah. Khasiat lainnya adalah menurunkan ansietas dan menurunkan tekanan darah. Terapi pijat sangat digemari di Negara asia seperti Singapura dan Indonesia. Pengaplikasian terapi pijat tergolong mudah, low cost, serta sudah didukung oleh tempat pelatihan dan instruktur pelatih yang cukup memadai. Dengan sedikitnya hasil penelitian dengan menggunakan metode penelitian yang terbaik, penelitian selanjutnya dengan kualitas lebih baik akan memiliki efek serta dampak yang lebih besar terhadap perkembangan terapi komplementer khususnya terapi pijat dimasa depan. Jika sudah terdapat bukti baru dengan kualitas study yang lebih baik maka literature review ini dapat diperbaharui sebagai pedoman dalam pemberian pelayanan kompelementer terapi pijat untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pada pasien dengan diabetes mellitus. Daftar Pustaka Arovah, NI.,(2010). Dasar-Dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga. (hlm 63-74), Yogyakarta: UNY Babae, S. Safiei, Z. Sadeghi, M.M. Nik, A.Y. Valiani, M., (2012). Effectiveness of massage therapy on the mood of patients after open-heart surgery. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research | February 2012 | Vol.17 | Issue 2 (Special) Chen, W.L. Liu, G.J. Yeh, S.H. Chiang, M.C. Fu, M.Y. Hsieh, Y.K., (2013). Effect of Back Massage Intervention on Anxiety, Comfort, and Physiologic Responses in Patients with Congestive Heart Failure. The Journal Of Alternative And Complementary Medicine Volume 19, Number 5, 2013, pp. 464–470 Finch, P. Baskwill, A. Marincola, F and Becker, P., (2007). Changes in pedal plantar pressure variability and contact time following massage therapy. Acase study of Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 311 a client with diabetic neuropathy. Journal of Bodywork and Movement Therapies. 295-301 Hemming, B. Smith, M. Graydon, J. Dyson, R.,(2000). Effects of massage on physiological restoration, perceived recovery, and repeated sports performance. Br J Sports Med 2000;34:109–115 Henricson, M.,(2008). Tactile Touch In Intensive Care. Nurses’ preparation, patients’ experiences and the effect on stress parameters. Digital version: http://hdl.handle.net/2320/1814 IDF., (2014). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition.www.idf.org/diabetesatlas Kashaninia, Z. Abedinipoor, A. Hosainzadeh, S. Sajedi, F., (2011). The Effect of Swedish Massage on Glycohemoglobin in Children with Diabetes Mellitus. Iranian Rehabilitation Journal, Vol. 9 Niswah. Chinnawong, T. Manasurakarn.,(2014). Complementary Therapies Used Among Adult Patients with Type 2 Diabetes Mellitus in Aceh, Indonesia. Nurse Media Journal of Nursing, 4, 1, 2014, 671687 671 Polland, R.E. Gertsik, L. Vafreau, J.T. Smith. Mirocha. J. Rao, U. Dar, E. (2013). OpenLabel, Randomized, Parallel- Group Controlled Clinical Trial of Massage for Treatment of Depression in HIV-Infected Subjects. The Journal Of Alternative And Complementary Medicine Volume 19, Number 4, 2013, pp. 334–340 Sajedi, F. Khashaninia, Z. Hoseimsadeh, S & Abedinipoor, A.,(2011). How effect is Swedish Massage on Blood Glucose Level in Children with Diabetes Mellitus. Department of Nursing, School of Nursing and Midwifery Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. (2008). Brunner & suddarth Textbook of medicalsurgical nursing (11 th edition).Philadelphia : Lippincot William & Wilkins. So. C.S. Gioltli, R. Chang, T. Bae, H.J. Chang, Y. Boone, W.R. Blanks, R.H.I.,(2014). Psyological Changes Following Thermomechanical Massage in a Population of Hypertensive Patient and/or Type II Diabetis. J Vertebral Subluxation Res.JVSR, May 3, 2014 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 312