BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pada penelitian sebelumnya dengan judul “Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Dokter” yang diteliti oleh Yarza L.H et al, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter, tetapi tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan kepemilikan asuransi kesehatan dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter. Metode yang digunakan sama dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu dengan metode cross sectional study analytic. Namun untuk variabel penelitian berbeda pada penelitian tersebut. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yarza L.H et al variabel bebasnya yaitu tingkat pengetahuan, sikap dan kepemilikan asuransi. Untuk variabel terikatnya yaitu penggunaan antibiotik tanpa resep dokter. Pada penelitian yang akan saya lakukan untuk variabel bebasnya yaitu tingkat pengetahuan dan pendidikan sedangkan variabel terikatnya yaitu rasionalitas penggunaan antibiotik. Lokasi penelitian yang dilakukan oleh Yarza L.H et al di kampung Seberang Pebayan RW IV kelurahan Batang Arau Padang Selatan. Sedangkan penelitian yang akan saya lakukan yaitu di wilayah kabupaten Banyumas. B. Landasan Teori 1. Antibiotik a. Definisi Antibiotik Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Raharja, 2007). Obat antimikroba yang ideal memperlihatkan toksisitas selektif. Istilah ini berarti bahwa obat ini merugikan parasit tanpa merugikan inang. Dalam banyak hal, toksisitas selektif bersifat relatif daripada absolut, berarti bahwa 4 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 suatu obat dapat merusak parasit dalam konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh inang (Katzung, 1994). b. Penggolongan Antibiotik Berdasarkan spektrum atau kisaran terjadinya, antibiotik dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu (Pratiwi, 2008): 1) Antibiotik berspektrum sempit (narrow spektrum), yaitu antibiotik yang hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri gram negatif saja. Yang termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, streptomisin, neomisin, basitrasin. 2) Antibiotik berspektrum luas (broad spektrum), yaitu antibiotik yang dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan gram positif maupun negatif. Yang termasuk golongan ini yaitu tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lainlain. Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu: 1) Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti betalaktam (Penisilin, Sefalosporin, Monobaktam, Karbapenem, Inhibitor Beta-Laktamase), Basitrasin, dan Vankomisin. 2) Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya Aminoglikosida, Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida (Eritromisin, Azitromisin, Klaritromisin), Klindamisin, Mupirosin, dan Spektinomisin. 3) Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolism folat, misalnya Trimetoprim dan Sulfonamid. 4) Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya Kuinolon, Nitrofurantoin (Permenkes, 2011). Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerja (Permenkes, 2011): 1) Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri : a) Penicillin Penicillin merupakan anti bakterial pertama yang digunakan untuk terapi (sweetman, 2009) dan termasuk dalam kelas beta-laktam. Semua 5 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 obat golongan penicillin memiliki struktur cincin kimia yang sama dan asam mono-basic yang terbentuk dari garam dan ester. Contoh antibiotik penicillin adalah Mericillin, Ampicillin, Amoksilin, Carbenicillin, Tenocillin, dan Mecillinam (Sweetman, 2009). b) Sefalosporin Sefalosporin adalah antibakterial semi sintesis yang berasal dari antibakterial alami yaitu Cephalosporium acremonium. Golongan ini bersifat bakterisida dan menghambat sintesis dari dinding sel, sama seperti penicillin. Sefalosporin terbagi menjadi empat generasi. Generasi pertama adalah Cefalotin; generasi kedua adalah Cefamandole, Cefonicid, Ceforamide, dan Ceoftiam; generasi ketiga adalah Cefotaxime, Cefixime, Ceftazidime, Cefoperazone, dan Cefpiramide; dan generasi keempat adalah Cefepime, Cefpirome, Ceftobiprole. Selain itu juga terdapat golongan semi sintesis dari sefalosporin yaitu Cephamycin (Sweetman, 2009). c) Karbapenem Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai aktivitas antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta-laktam lainnya. Yang termasuk karbapenem adalah Imipenem, Meropenem dan Doripenem. Spektrum aktivitas: Menghambat sebagian besar Grampositif, Gram-negatif, dan anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap beta-laktamase. Efek samping: paling sering adalah mual dan muntah, dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP atau dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem mempunyai efikasi serupa imipenem, tetapi lebih jarang menyebabkan kejang. d) Basitrasin Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria, H.influenzae, dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Basitrasin tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering di kombinasi dengan neomisin dan atau 6 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik. e) Vankomisin Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif terhadap bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh S.aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin. Vankomisin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam. Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infuse cepat), serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi. 2) Obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein: a) Aminoglikosida Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut. Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blockade neuro muscular (lebih jarang). b) Tetrasiklin Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Tetrasiklin, Doksisiklin, Oksitetrasiklin, Minosiklin, dan Klortetrasiklin. Antibiotik golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat menghambat berbagai bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria. c) Kloramfenikol Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma. Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subu nitribosom 50S. Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritisoptik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam. 7 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 d) Makrolida (Eritromisin, Azitromisin, Klaritromisin, Roksitromisin) Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela. Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H.influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H.pylori. Makrolida mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peptida. (1) Eritromisin Eritromisin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam, sehingga pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut enterik. Eritromisin dalam bentuk estolat tidak boleh diberikan pada dewasa karena akan menimbulkan liver injury. (2) Azitromisin Azitromosin lebih stabil terhadap asam jika di banding eritromisin. Sekitar 37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan. Obat ini dapat meningkatkan kadar SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic ) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase pada hati. (3) Klaritromisin Absorpsi klaritromisin peroral 55% dan meningkat jika diberikan bersama makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosit dan jaringan lunak. Metabolit klaritromisin mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar daripada obat induk. Sekitar 30% obat diekskresi melalui urin, dan sisanya melalui feses. (4) Roksitromisin Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan aktivitas yang lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat ini diberikan dua kali sehari. Roksitromisin adalah antibiotik makrolida semi sintetik. Obat ini memiliki komposisi, struktur kimia dan mekanisme kerja yang sangat mirip dengan eritromisin, azitromisin 8 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 atau klaritromisin. Roksitromisin mempunyai spektrum antibiotik yang mirip eritromisin, namun lebih efektif melawan bakteri gram negatif tertentu seperti Legionella pneumophila. Antibiotik ini dapat digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas, saluran urin dan jaringan lunak. Roksitromisin hanya di metabolisme sebagian, lebih dari separuh senyawa induk diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit telah diidentifikasi di urin dan deskladinosaroksitromisin, feses, dengan metabolit N-mono dan utama adalah N-di-demetil roksitromisin sebagai metabolit minor. Roksitromisin dan ketiga metabolitnya terdapat di urin dan feses dalam persentase yang hampir sama. Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek pada saluran cerna: diare, mual, nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih jarang termasuk sakit kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dan gangguan pada indra penciuman dan pengecap. 3) Obat anti metabolit yang menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat: Sulfonamid dan Trimetoprim Sulfonamid bersifat bakteriostatik. Trimetropim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu menghambat sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali P.aeruginosa dan Neressia sp. Kombinasi ini menghambat S.aureus, Staphylococcus koagulase negatif, Streptococcus hemoliticus, H.influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram-negatif aerob (E.coli dan Klebsiella sp), Enterobacter, Salmonella Shigella, Yersinia, P.carinii. 4) Obat yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat : a) Kuinolon Kuinolon merupakan antibakteri sintesis yang digunakan untuk menyaingi penggunaan antibakteri golongan beta-laktam dan makrolida dalam terapi. Kuinolon memiliki sifat spektrum antibakteri untuk melawan bakteri gram positif, gram negatif, dan patogen mikrobakterial anaerob. 9 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 Kuinolon mengalami perkembangan dan perubahan sehingga saat ini sudah banyak agen kuinolon yang baru seperti asam nalidiksat (NA) dan nofloxacin (NLX) (Takashasi, 2003). Terdapat empat golongan obat didalam kelompok kuinolon. Kelompok I adalah Norloxacin, kelompok II adalah Enoxacin, Ofloxacin, dan Ciprofloxacin, kelompok III adalah Levofloxacin, dan kelompok IV adalah Moxifloxacin (Frank, 2012). b) Nitrofuran Nitrofuran meliputi nitro furantoin, furazolidin, dan nitrofurazon. Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya makanan. Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E.coli, Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp. Berdasarkan struktur kimianya antibiotika dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: 1) Antibiotika β-laktam dan penghambat sintesis dinding sel lainnya contohnya adalah (Monobaktam, Penicillin, Inhibitor Cephalosporin, Beta-laktamase dan obat-obat β-laktam Karbapenem) dan penghambat sintesis dinding sel yang lain (Vancomycin, Teicoplanin, Fosfomycin, Bacitracin, dan Cycloserine). 2) Chloramphenicol, Tetracycline, Macrolides, Clindamycin dan Streptogramin. Golongan antibiotik ini bekerja sebagai penghambat sintesis protein pada tingkat ribosom. Chloramphenicol, macrolides, clindamycin dan streptogramin mengikat diri pada situs-situs terdekat pada subunit 50S dari ribosom RNA 70S. 3) Aminoglycoside dan Spectinomycin Aminoglycoside adalah golongan antibiotik bakteriosida yang memiliki sifat-sifat kimiawi, karakteristik. antimikroba, Golongan ini farmaologis meliputi dan Streptomycin, toksik yang Neomycin, Kanamycin, Amikacin, Gentamicin, Tobramycin, Sisomicin, Netilmicin dan sebagainnya. 10 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 4) Sulfonamide, Trimethoprim, dan Quinolone Sulfonamide merupakan analog struktural PABA yang dapat menghambat dihydroperoate synthase secara kompetitif, dengan cara menyekat sintesis asam folat secara reversibel. Contohnya Sulfasitin, Sulfamethoksazole, Sulfisoksazole, Sulfadizine, Sulfapiridin, Sulfadoxine dan golongan Pirimidin. c. Resistensi antibiotik Manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi penggunaan antibiotik yang berlebihan akan segera diikuti dengan munculnya kuman kebal antibiotik, sehingga manfaatnya akan berkurang. Infeksi oleh kuman kebal terhadap berbagai antibiotik akan menyebabkan meningkatknya angka kesakitan dan angka kematian, sehingga diperlukan antibiotik pilihan ke dua atau bahkan pilihan ketiga, dimana efektifitasnya lebih kecil dan kemungkinan mempunyai efek samping lebih banyak serta biaya yang lebih mahal dibanding dengan pengobatan standar (Hadi, 2008). Bakteri dikatakan resisten bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat oleh antibiotika pada kadar maksimum yang dapat ditolerir oleh pejamu. Munculnya resistensi disebabkan karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan tidak hati-hati pada keadaan yang mungkin dapat sembuh tanpa pengobatan atau pada keadaan yang tidak membutuhkan antibiotik (Mycek, 2001). Resistensi antibiotik merupakan konsekuensi dari penggunaan antibiotik yang salah, dan perkembangan dari suatu mikroorganisme itu sendiri, bisa jadi karena adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat (WHO, 2012). 1) Penyebab Resistensi Antibiotik Menurut WHO (2012), ketidaktepatan serta ketidakrasionalan penggunaan antibiotik merupakan penyebab paling utama menyebarnya mikroorganisme resisten. Contohnya, pada pasien yang tidak mengkonsumsi antibiotik yang telah diresepkan oleh dokternya, atau ketika kualitas antibiotik yang diberikan buruk. Adapun faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan adanya resistensi antibiotik adalah: a) Kelemahan atau ketiadaan system monitoring dan surveilans 11 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 b) Ketidakmampuan sistem untuk mengontrol kualitas suplai obat c) Ketidaktepatan serta ketidakrasionalan penggunaan obat d) Buruknya pengontrolan pencegahan infeksi penyakti e) Kesalahan diagnosis dan pengobatan yang diberikan 2) Mekanisme Resistensi Antibiotik Agar efektif, antibiotik harus mencapai target dalam bentuk aktif, mengikat target, dan melakukan fungsinya sesuai dengan mekanisme kerja antibiotik tersebut. Resistensi bakteri terhadap agen antimikroba disebabkan oleh tiga mekanisme umum, yaitu: obat tidak mencapai target, obat tidak aktif, atau target tempat antibiotik bekerja diubah. a) Kegagalan obat untuk mencapai target. Membran luar bakteri gram negatif adalah penghalang yang dapat menghalangi molekul polar besar untuk masuk ke dalam sel bakteri. Molekul polar kecil, termasuk seperti kebanyakan antimikroba, masuk ke dalam sel melalui saluran protein yang disebut porin. Ketiadaan, mutasi, atau kehilangan Porin dapat memperlambat masuknya obat ke dalam sel atau sama sekali mencegah obat untuk masuk ke dalam sel, yang secara efektif mengurangi konsentrasi obat di situs aktif obat. Jika target kerja obat terletak di intraseluler dan obat memerlukan transpor aktif untuk melintasi membran sel, resistensi dapat terjadi dari mutasi yang menghambat mekanisme transportasi obat tersebut. Sebagai contoh, gentamisin, yang target kerjanya ribosom, secara aktif diangkut melintasi membran sel dengan menggunakan energi yang disediakan oleh gradien elektrokimia membran sel bakteri. Gradien ini dihasilkan oleh enzim–enzim pernapasan aerob bakteri. Sebuah mutasi dalam jalur ini atau kondisi anaerob dapat memperlambat masuknya gentamisin ke dalam sel, mengakibatkan resistensi. b) Inaktivasi obat. Resistensi bakteri terhadap aminoglikosida dan antibiotik beta laktam biasanya hasil dari produksi enzim yang memodifikasi atau merusak antibiotik. Variasi dari mekanisme ini adalah kegagalan bakteri untuk mengaktifkan prodrug yang secara 12 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 umum merupakan hal yang mendasari resistensi M.tuberculosis terhadap isoniazid. c) Perubahan target kerja antibiotik Hal ini mencakup mutasi dari target alami (misalnya, resistensi fluorokuinolon), modifikasi dari target kerja (misalnya, perlindungan ribosom dari makrolida dan tetrasiklin), atau akuisisi bentuk resisten dari target yang rentan (misalnya, resistensi stafilokokus terhadap metisilin yang disebabkan oleh produksi varian Peniccilin Binding Protein yang berafinitas lemah). 3) Konsekuensi Akibat Resistensi Antibiotik Konsekuensi yang ditimbulkan akibat adanya resistensi antibiotik yang paling utama adalah peningkatan jumlah bakteri yang mengalami resistensi terhadap pengobatan lini pertama. Konsekuensi ini akan semakin memberat. Dari konsekuensi tersebut, maka akibatnya adalah penyakit pasien akan lebih memanjang, sehingga risiko komplikasi dan kematian juga akan meningkat. Ketidakmampuan antibiotik dalam mengobati infeksi ini akan terjadi dalam periode waktu yang cukup panjang dimana, selama itu pula, orang yang sedang mengalami infeksi tersebut dapat menularkan infeksinya ke orang lain, dengan bagitu, bakteri akan semakin menyebar luas. Karena kegagalan pengobatan lini pertama ini, dokter akan terpaksa memberikan peresepan terhadap antibiotik yang lebih poten dengan harga yang lebih tinggi serta efek samping yang lebih banyak. Banyak factor yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan karena resistensi antimicrobial ini. Dapat disimpulkan, resistensi dapat mengakibatkan banyak hal, termasuk peningkatan biaya terkait dengan lamanya kesembuhan penyakit, biaya dan waktu yang terbuang untuk menunggu hasil uji laboratorium tambahan, serta masalah dalam pengobatan dan hospitalisasi (Beuke C.C., 2011). d. Hipersensitivitas antibiotik Hipersensitivitas antibiotik merupakan suatu keadaan yang mungkin dijumpai pada penggunaan antibiotik, antara lain berupa pruritus-urtikaria 13 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 hingga reaksi anafilaksis. Profesi medik wajib mewaspadai kemungkinan terjadi kerentanan terhadap antibiotik yang digunakan pada penderita. Anafilaksis jarang terjadi tetapi bila terjadi dapat berakibat fatal. Dua pertiga kematian akibat anafilaksis umumnya terjadi karena obstruksi saluran napas. Jenis hipersensitivitas akibat antibiotik: 1) Hipersensitivitas tipe cepat Keadaan ini juga dikenal sebagai immediate hypersensitivity. Gambaran klinik ditandai oleh sesak napas karena kejang di laring dan bronkus, urtikaria, angioedema, hipotensi dan kehilangan kesadaran. Reaksi ini dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan penisilin. 2) Hipersensitivitas perantara antibodi (antibody mediated type II hypersensitivity) Manifestasi klinis pada umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, granulositopenia. Tipe reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi sitotoksik. Sebagai contoh, kloramfenikol dapat menyebabkan granulositopeni, obat beta-laktam dapat menyebabkan anemia hemolitikautoimun, sedangkan penisilin anti pseudomonas dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan pada agregasi trombosit. 3) Immune hypersensivity - complex mediated (tipe III) Manifestasi klinis dari hipersensitivitas tipe III ini dapat berupa eritema, urtikaria dan angioedema. Dapat disertai demam, artralgia dan adenopati. Gejala dapat timbul 1-3 minggu setelah pemberian obat pertama kali, bila sudah pernah reaksi dapat timbul dalam 5 hari. Gangguan seperti SLE, neuritisoptik, glomerulonefritis, dan vaskulitis juga termasuk dalam kelompok ini. 4) Delayed Type Hypersensitivity Hipersensitivitas tipe ini terjadi pada pemakaian obat topikal jangka lama seperti sulfa atau penisilin dan dikenal sebagai kontak dermatitis. Reaksi paru seperti sesak, batuk dan efusi dapat disebabkan nitrofurantoin. Hepatitis (karena isoniazid), nefritis interstisial (karena antibiotik beta-laktam) dan ensefalopati (karena klaritromisin) yang reversibel pernah dilaporkan. 14 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 e. Interaksi Antibiotik Pada sebagian antibiotik, susu dapat menganggu penyerapannya. Susu dan sebagian antibiotik dapat mengakibatkan terbentuknya khelatasi sehingga dapat menurunkan kadar dan efektifitas antibiotik dalam tubuh. Jadi, antibiotik tidak perlu selalu digunakan dengan susu. Selain itu alkohol juga dapat berinteraksi dengan antibiotik dengan mengganggu absorbsi dan metabolisme di gastrointestinal. Seperti pada eritromycin, alkohol dapat menaikkan pengosongan lambung, dan pada isoniazid dapat mengakibatkan gangguan hepar (Weathermon, 1999). f. Prinsip penggunaan antibiotik yang bijak Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diperlambat melalui penggunaan antibiotik yang bijak sehingga dapat mencegah munculnya resistensi antimikroba dan menghemat penggunaan antibiotik yang pada akhirnya akan mengurangi beban biaya perawatan pasien, mempersingkat lama perawatan, penghematan bagi rumah sakit serta meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit (Permenkes, 2011). Prinsip dalam penggunaan antibiotik yang bijak antara lain sebagai berikut : 1) Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat. 2) Kebijakan penggunaan antibiotik ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama. 3) Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reverse antibiotic). 4) Indikasi ketat penggunaan dimulai dengan menegaskan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. 15 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 Antibiotik tidak diberikan pada penyakit yang dapat sembuh sendiri (selflimited). 5) Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada: a) Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik b) Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi c) Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik d) Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat e) Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman. Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan langkah sebagai berikut (Kemenkes, 2011): 1) Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara bijak. 2) Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi. 3) Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi. 4) Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team work). 5) Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak yang bersifat multi disiplin. 6) Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan. 7) Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat. 16 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 g. Faktor-faktor penyebab berkembangnya resistensi antibiotik Fenomena resistensi antibiotik yang terjadi secara alamiah dan berkembang dengan sendirinya. Perilaku manusia sedikit banyak membantu proses peningkatan dan penyebaran resistensi antibiotik. Tahun 2013 WHO (World Health Organization) mengeluarkan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan berkembangnya resistensi antibiotik. Faktor-faktornya adalah sebagai berikut : 1) Kurangnya respon yang komprehensif dan terkoordinasi. 2) Lemah atau tidak adanya sistem pengawasan akan resistensi antimikroba. 3) Sistem yang tidak memadai untuk memastikan kualitas dan gangguan pasokan obat-obatan 4) Penggunaan yang tidak tepat akan penggunaan antimikroba 5) Miskinnya praktik pencegahan dan pengendalian infeksi 6) Kurangnya peralatan untuk diagnosa, pencegahan, dan terapi. h. Perilaku penggunaan antibiotik Perilaku penggunaan antibiotik merupakan suatu tindakan dalam upaya mencari pengobatan dengan menggunakan antibiotik yang diperoleh dengan bermacam cara dengan orang yang berkompeten (Tahir dalam Rizal, 2011). Perilaku penggunaan antibiotik berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan tentang penyakit yang diderita dan antibiotik yang sesuai untuk penyakitnya tersebut. Acuan yang biasa digunakan untuk menilai perilaku penggunaan antibiotik adalah seperti (Sutama dalam Rizal, 2011): 1) Tempat mendapatkan antibiotik 2) Penggunaan terakhir antibiotik 3) Intensitas pemakaian antibiotik 4) Pengetahuan tentang aturan pakai 5) Tindakan mengganti antibiotik 6) Efek samping antibiotik 7) Pengetahuan tentang resistensi antibiotik 17 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 2. Rasionalitas penggunaan obat Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria (Kemenkes, 2011) : 1) Tepat diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. 2) Tepat indikasi penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri. 3) Tepat pemilihan obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. 4) Tepat dosis Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. 5) Tepat cara pemberian Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya. 6) Tepat interval waktu pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi 18 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. 7) Tepat lama pemberian Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan. 8) Waspada terhadap efek samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh. 9) Tepat penilaian kondisi pasien Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna. 10) Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan 19 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB. 11) Tepat informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. 12) Tepat tindak lanjut (follow-up) Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. 13) Tepat penyerahan obat (dispensing) Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker atau asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien. 14) Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut: a) Jenis dan jumlah obat yang diberikan terlalu banyak b) Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering c) Jenis sediaan obat terlalu beragam d) Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi e) Pasien tidak mendapatkan informasi atau penjelasan yang cukup mengenai cara minum atau menggunakan obat f) Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu. 20 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 3. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang (Pulungan, 2010). Terdapat enam tingkat pengetahuan yang dicakup dalam kognitif. Tingkatan tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahu (know) Tahu adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dan mampu mengingat kembali secara spesifik keseluruhan materi yang dipelajari atau diterima. b. Memahami (comprehension) Memahami adalah kemampuan yang menjelaskan secara benar suatu objek dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar pula. Seseorang yang sudah paham akan dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya apa yang ia ketahui. c. Menerapkan (application) Menerapkan adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang dipelajari di kondisi sebenarnya. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjadikan materi atau objek ke dalam komponen-komponen tapi masih dalam struktur organisasi dan masih saling berkaitan. e. Sintesa (synthesis) Sintesis adalah kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau menyusun suatu formula baru ataupun yang sudah ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan suatu penilaian terhadap suatu objek atau materi. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau dengan menggunakan yang telah ada. 21 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 4. Pendidikan a. Pengertian pendidikan Dari segi etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedagogike”. Ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata “Pais” yang berarti “Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku membimbing”. Jadi Paedagogike berarti aku membimbing anak. Orang yang pekerjaannya membimbing anak dengan maksud membawanya ke tempat belajar, dalam bahasa Yunani disebut “Paedagogos”. Jika kata ini diartikan secara simbolis, maka perbuatan membimbing seperti dikatakan di atas itu, merupakan inti perbuatan mendidik yang tugasnya hanya untuk membimbing saja, dan kemudian pada suatu saat ia harus melepaskan anak itu kembali (ke dalam masyarakat). Dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu adalah pengaruh, bantuan atau tuntutan yang diberikan oleh orang yang bertanggungjawab kepada anak didik (Hadi A.S, 2008). b. Pendidikan sebagai suatu sistem Sistem adalah kesatuan fungsional dari komponen-komponen yang terdapat di dalamnya, yang saling bergantung dan berguna untuk mencapai tujuan. Dengan demikian apabila salah satu komponen tidak berfungsi, maka yang lainnya tidak berfungsi. Pendidikan sebagai suatu sistem, juga memliki komponen-komponen yang saling berinteraksi, saling tergantung dalam kesatuan fungsional. Komponen-komponen itu antara lain: pendidik, anak didik, materi pendidikan, metode-metode pendidikan, lingkungan pendidikan, alat pendidikan, tujuan pendidikan dan sebagainya. 22 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 C. Kerangka Konsep Penelitian ini menganalisis pengaruh antara variabel bebas yang dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan dan pendidikan kader PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di wilayah kabupaten Banyumas khususnya pada tingkat kecamatan terhadap variabel terikat yaitu Rasionalitas penggunaan antibiotik. Tingkat Pengetahuan Tentang Antibiotik 1. 2. 3. 4. 5. Pengertian antibiotik Resistensi antibiotik Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik Interaksi dan efek samping antibiotik Prinsip penggunaan antibiotik yang bijak Rasionalitas penggunaan Antibiotik: 1. 2. 3. 4. Tingkat Pendidikan 1. 2. 3. 4. 5. Tidak tamat SD SD (Sekolah Dasar) SMP (Sekolah Menengah Pertama) SMA (Sekolah Menengah Atas) Perguruan Tinggi Ketepatan indikasi Ketepatan obat Ketepatan pasien Ketepatan dosis dan cara pemakaian 5. Kewaspadaan terhadap efek samping Gambar 2.1. Kerangka konsep D. Hipotesis Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yarza L.H et al, hasil uji statistik Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan kepemilikan asuransi kesehatan dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Toraya A.N et al hasil uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dan status ekonomi dengan tingkat pengetahuan mengenai penggunaan antibiotik di desa Sekarwangi kabupaten Bandung. Sehingga hipotesis operasionalnya: 23 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017 Ho : berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan pengetahuan terhadap rasionalitas penggunaan antibiotik. H1 : berarti terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dan pengetahuan terhadap rasionalitas penggunaan antibiotik. 24 Hubungan Antara Tingkat…, Nadia Wahyu Pangestika, Fakultas Farmasi UMP, 2017