IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pra Estimasi 4.1.1 Uji Kestasioneritasan Data Sebelum mengestimasi variabel dengan data time series dan menggunakan metode Vector Auto Regressive (VAR) perlu melakukan uji stasioneritas. Uji stasioneritas diperlukan untuk mengalisis ada atau tidaknya unit root yang terkandung dalam variabel yang akan diestimasi. Apabila variabel yang akan diestimasi memiliki unit root akan menghasilkan regresi palsu atau spurious regression. Spurious regression mengindikasikan persamaan seolah-olah variabel memiliki hubungan, tetapi sesungguhnya hubungan antar variabel bersifat tidak valid. Uji stasioneritas dilakukan kepada setiap variabel yang akan diestimasi hubungannya. Untuk melihat ada atau tidaknya unit root dapt menggunakan metode Augmented Dicky Fuller dan atau Philip Perron test. Ketasioneritasan suatu variabel dapat dilihat dengan membandingkan nilai stasistik Augmented Dicky Fuller dengan nilai kritis Mc Kinnon. Apabila nilai statistik Augmented Dicky Fuller lebih kecil daripada nilai kritis Mc Kinnon maka variabel tersebut dinyatakan stasioner. Dalam metode Augmented Dicky Fuller memiliki hipotesis: H0: µ=0 (data mengandung unit root sehingga tidak stasioner) H1: µ<0 (data tidak mengandung unit root sehingga stasioner) Hasil pengujian akar unit seperti terlihat dalam Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa seluruh variabel yang akan diestimasi pada tingkat level yakni : nilai tukar, tingkat pertumbuhan output nasional atau GDP, suku bunga, harga minyak, subsidi minyak dan inflasi tidak stasioner. Seluruh variabel dinyatakan tidak stasioner pada level karena memiliki nilai statistik Augmented Dicky-Fuller yang lebih besar daripada nilai kritis Mc Kinnon. Sedangkan pengujian akar unit dalam tingkat first difference semua variabel yang akan diestimasi tidak mengandung akar unit sehingga bersifat stasioner. Seluruh variabel dinyatakan karena memiliki nilai statistik Augmented Dicky-Fuller yang lebih kecil daripada nilai kritis Mc Kinnon. Variable ER GDP HARGAMINYAK INFLASI SB SUBSIDI Tabel 4.1 Hasil Uji Stasioneritas Level First Difference Nilai ADF Keterangan Nilai ADF Keterangan -1.355636 Tidak -8.639760 Stasioner stasioner (0.0000) (0.6018) 1.489785 Tidak -3.403850 Stasioner (0.9992) stasioner (0.0127) -1.853835 Tidak -11.60624 Stasioner (0.3531) stasioner (0.0000) 2.570940 Tidak -5.798585 Stasioner (1.0000) stasioner (0.0000) -1.646230 Tidak -7.713688 Stasioner ( 0.4559) stasioner ( 0.0000) -1.036190 Tidak -7.997249 Stasioner ( 0.7385) stasioner (0.0000) Sumber : Lampiran 1 Keterangan : Probabilitias : 5% 4.1.2 Uji Lag Optimal Setelah melakukan uji kestasioneritasan data tahapan selanjutnya adalah menentukkan lag optimal yang akan digunakan dalam variabel yang akan dianalisis. Penentuan lag optimal dapat menggunakan informasi yang di sediakan oleh Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaikke Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini didasarkan pada informasi dari Criterion (SC) dengan lag yang paling minimum sehingga lag optimal VAR untuk model dalam penelitian ini yaitu pada lag satu. Pemilihan lag satu sebagai lag optimum dalam penelitian ini bedasarkan perbandingan nilai adjusted R-square dari variabel-variabel yang diestimasi dalam persamaan yakni tingkat pertumbuhan output nasional, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar, harga minyak dunia, dan subsidi Bahan Bakar Minyak. Lag satu dipilih dari sistem VAR yang menghasilkan nilai adjusted R square terbesar pada variabel-variabel penting dalam persamaan yakni sebesar 99 persen. Artinya bahwa model mampu menjelaskan hubungan antar variabel dalam persamaan dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen, sementara sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Lag 0 1 2 3 4 5 6 Tabel 4.2 Hasil Uji Lag Optimal AIC SC 16.39984 0.856925 0.378093 0.379868 0.088145 0.177175 0.070226* 16.54226 1.853915* 2.229645 3.085982 3.648822 4.592415 5.340028 HQ 16.45766 1.261646 1.129718* 1.478395 1.533576 1.969510 2.209464 Sumber : Lampiran 2 4.1.3 Uji Stabilitas VAR Model VAR dinyatakan stabil apabalila dalam penentuan lag optimum seluruh variabel memiliki nilai Modulus Roots of Characteristic Polynominal yang lebih kecil dari satu. Setelah uji kestabilan VAR maka dapat dilakukan estimasi terhadap VECM. Dalam penelitian ini model VAR bersifat stabil seperti yang ditunjukan oleh Tabel 4.3 Tabel 4.3 Hasil Uji Stabilitas VAR Root Modulus 0.999788 - 0.020314i 0.999994 0.999788 + 0.020314i 0.999994 0.930858 0.930858 0.779640 - 0.054971i 0.781576 0.779640 + 0.054971i 0.781576 -0.368652 0.368652 Sumber : Lampiran 3 4.1.4 Uji Kointegrasi Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui hubungan jangka panjang antar variabel yang akan dianalisis. Syarat semua variabel agar diketahui hubungan jangka panjangnya adalah harus stasioner pada derajat yang sama. Dalam penelitian ini seluruh variabel sudah stasioner pada derajat first difference sehingga dapat diketahui hubungan jangka panjangnya. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan test Johansen’s Trace Statistic dengan panjang lag optimum satu. Hypothesized No. Of CE (s) Tabel 4.4 Hasil Uji Kointegrasi Johansen Eigenvalue Trace Statistic 0,05 Critical Value Probability None* 0,559827 200,2129 95,75366 0,0000 At most 1* 0,343122 100,1014 69,81889 0,0000 At most 2* 0,144932 48,82996 47,85613 0,0404 Sumber : Lampiran 4 Keterangan : Probabilitias : 5% Uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen Cointegration Test ini untuk mengetahui jumlah persamaan kointegrasi yang terdapat dalam sistem. Hipotesis dalam metode Johansen Cointegration Test adalah: H0 : sistem tidak memiliki persamaan kointegrasi H1: sistem memiliki persamaan kointegrasi Apabila Hasil Johansen Cointegration Test menunjukkan bahwa nilai Trace Statistic memiliki nilai yang lebih besar daripada Critical Valuenya maka H0 dapat ditolak yang berarti sistem memiliki persamaan kointegrasi. Menurut hasil estimasi pada Tabel 4.4 terdapat tiga persamaaan yang memiliki persamaan kointegrasi, sehingga terdapat tiga persamaan dalam sistem yang memiliki hubungan jangka panjang, dan berdasarkan ketiga persamaan inilah maka model Vector Error Cointegration Model (VECM) yang akan digunakan dalam penelitian ini. 4.1.5 Uji Kausalitas Granger Uji kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara variabel dalam model yang akan diestimasi. Uji kausalitas Granger memiliki hipotesis yakni : H0 adalah tidak adanya hubungan kausalitas H1 adalah adanya hubungan kausalitas. Apabila nilai probalitiasnya lebih kecil dari critical value maka H0 ditolak yang berarti terdapat hubungan kausalitas antar variabel. Tetapi apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari critical value berarti tidak terdapat hubungan kausalitas antara variabel tersebut. Variabel Subsidi GDP Harga Minyak Suku Bunga Inflasi Nilai Tukar Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger Harga Suku Subsidi GDP Inflasi Minyak Bunga 0.5877** 0.8538** 0.2707** 4.E-11* 1.E-11* 0.1265** 0.1234** 0.0004 * 0.3400* 0.1190** 0.2037** 0.7533** * Nilai Tukar 0.5060** 0.6020** 0.7233** 0.4159** 0.0337* 0.0348* - 5.E-05* 0.6292** 4.E-11 * 0.0006* 0.0667** 0.0352 * - 0,4898** 2.E-11* 0.0102 * 0.4016** 0.3288** 3.E-05* - Sumber : Lampiran 5 Keterangan : Probabilitias : 5% Catatan : * (memiliki hubungan kausalitas), **(tidak memiliki hubungan kausalitas) Pada Tabel 4.5 terlihat beberapa variabel yang menyebabkan variabel yang lain. Variabel tersebut memiliki nilai probabilitas yang lebih kecil dari Critical Value lima persen sehingga dinyatakan memiliki hubungan kausalitas. Dalam hasil pengujian diatas terdapat tujuh belas hubungan satu arah antara variabel dan juga terdapat tiga hubungan kausalitas dua arah antara variabel di dalam sistem yakin inflasi menyebabkan subsidi dan sebaliknya subsidi menyebabkan inflasi. Dilanjutkan dengan inflasi yang menyebabkan GDP dan begitu pula sebaliknya GDP menyebabkan inflasi. Kemudian inflasi yang menyebabkan suku bunga dan suku bunga juga menyebabkan inflasi. 4.2 Hasil Estimasi Vector Error Correction Setelah melakukan serangkaian uji terhadap variabel yang dimulai dengan uji kestasioneritasan data, uji penentuan lag optimal, uji kointegrasi Johansen, dan uji kausalitas Granger. Tahapan selanjutnya adalah melihat hasil estimasi Vector Error Correction pada model mengingat hasil dari uji kointegrasi Johansen menyatakan bahwa terdapat persamaan kointegrasi yang mengindikasikan adanya keseimbangan jangka panjang. VECM merupakan model yang mampu melihat keseimbangan jangka panjang dari sistem. Untuk model yang tidak terkointegrasi tidak dapat dilihat keseimbangan jangka panjang melainkan hanya mampu dilihat hubungan keseimbangan jangka pendek dengan menggunakan VAR pada tingkat first difference. 4.2.1 Estimasi Vector Error Correction untuk GDP Pada estimasi VECM yang pertama variabel GDP menjadi variabel yang diamati sedangkan variabel yang lain sebagai variabel penjelasnya. Pada jangka pendek variabel subsidi mempengaruhi GDP secara signifikan. Terdapat hubungan positif antara variabel subsidi dan GDP dalam jangka pendek. Dalam jangka pendek juga ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara GDP dengan inflasi dan subsidi secara signifikan. Variabel INFLASI(-1) ER(-1) SUBSIDI(-1) Tabel 4.6 Hasil Estimasi VECM 1 Koefisien T-statistik Jangka Panjang 0.005321 -1.36140 1.739774 -9.85368* -0.249067 12.3831* HARGAMINYAK(-1) SB(-1) C CointEq D(GDP(-1)) D(INFLASI(-1)) D(ER(-1)) D(SUBSIDI(-1)) D(HARGAMINYAK(-1)) D(SB(-1)) C 1.220010 0.047280 10.32502 Jangka Pendek -0.026956 - 0.207702 0.005028 0.060654 0.004472 0.013054 -0.003385 0.030130 -6.82549* 0.28647 -3.91915* -1.99766* 2.26409* 1.90128 4.50322* 0.65539 -0.13720 6.75876* Sumber : Lampiran 6 Keterangan : Probabilitias : 5% Hal ini terlihat dari koefisien subsidi dalam estimasi sebesar 0,00472 persen. Artinya, apabila terjadi peningkatan subsidi sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan GDP sebesar 0,00472 persen. Hal ini terjadi ketika pemerintah menaikan subsidi bagi BBM akan meningkatkan pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek yang merupakan salah satu komponen penyusun GDP. Dalam jangka pendek hubungan antara GDP dan inflasi bernilai positif secara signifikan sebesar nilai koefisien 0,005028. Artinya apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka akan mengakibatkan peningkatan GDP sebesar 0,005028 persen. Dalam jangka panjang terdapat hubungan jangka panjang antara GDP dan nilai tukar. GDP dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif secara signifikan dalam jangka panjang sebesar 1,739774. Artinya, ketika ada kenaikan nilai tukar sebesar satu persen akan meningkatkan GDP sebesar 1,739774 persen dalam jangka panjang. Sementara variabel harga minyak mempengaruhi GDP jangka panjang secara signifikan. Terdapat hubungan yang positif antara harga minyak dan GDP. Hal ini terlihat dari koefisien estimasi sebesar 1,220010 yangberarti bahwa setiap kenailan harga minyak sebesar satu persen akan direspon peningkatan GDP sebesar 1,220010 persen. Hasil temuan dalam penelitian ini berbeda dengan literatur yang menyebutkan bahwa dengan adanya fluktuasi atau guncangan harga minyak dunia justru berbanding terbalik dengan pertumbuhan output nasional. Secara teoritis dalam jangka pendek dimana harga bersifat kaku, maupun dalam jangka panjang ketika harga bersifat fleksibel, guncangan harga minyak dunia akan mempengaruhi fungsi produksi yang mengakibatkan berkurangnya supply. Ketika supply mengalami penurunan maka output nasional juga akan mengalami penurunan dan tidak berada posisi full-employment. Dalam penelitian ini terlihat bahwa fluktuasi harga minyak berbanding lurus dengan tingkat output nasional pada tahun 1980 hingga tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh variabel penyusun GDP yang lain seperti konsumsi masyarakat, investasi, pengeluaran pemerintah, dan surplus perdagangan internasional Indonesia yang mengalami peningkatan. Hasil temuan dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Jalil (2008) yang menyatakan bahwa fluktuasi harga minyak dunia memiliki hubungan yang positif dengan pertumbuhan output nasional di Malaysia. Peningkatan output nasional Malaysia ini juga didorong oleh adanya surplus perdagangan (net export) selama periode estimasi. 4.2.2 Estimasi Vector Error Correction untuk INFLASI Pada estimasi VECM yang kedua variabel inflasi menjadi variabel dependen sedangkan variabel yang lain sebagai variabel indipendennya. Pada jangka pendek variabel nilai tukar memengaruhi inflasi secara signifikan. Terdapat hubungan positif antara variabel inflasi dan nilai tukar dalam jangka pendek. Hal ini terlihat dari koefisien nilai tukar dalam estimasi sebesar 4,914319 persen. Artinya apabila terjadi peningkatan nilai tukar sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan inflasi sebesar 4,914319 persen. Pada jangka panjang variabel GDP merupakan variabel yang signifikan dalam mempengaruhi tingkat inflasi. GDP memiliki hubungan negatif terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang sebesar 187,9293. Artinya, apabila terjadi kenaikan GDP sebesar satu persen maka akan menurunkan tingkat inflasi sebesar 187,9293 persen pada jangka panjang. Sama seperti variabel GDP, variabel inflasi juga memiliki hubungan yang positif dengan variabel subsidi dan variabel harga minyak secara signifikan. Dari hasil estimasi ditemukan bahwa koefisien subsidi sebesar 46,80703. Hal ini menunjukkan apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka akan subsidi memeberi respon berupa peningkatan sebesar sebesar 46,80703 persen. Hal ini sesusai dengan Variabel harga minyak juga merespon positif sebesar 229,2756 persen ketika ada peningkatan inflasi sebesar satu persen. Dalam penelitian ini dihasilkan suatu penemuan bahwa dalam jangka panjang nilai tukar berpengaruh negatif terhadap tingkat inflasi secara signifikan. Hal ini berkebalikan dengan yang terjadi pada jangka pendek. Hal ini ditandai dengan koefisien variabel nilai tukar sebesar -326,9546. Artinya apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka akan menyebabkan penurunan nilai tukar sebesar 326,9546 persen dalam jangka panjang. Hubungan positif antara fluktuasi harga minyak dan inflasi dalam jangka panjang sesuai dengan literatur. Apabila terjadi peningkatan harga minyak dunia akan menurunkan fungsi produksi. Secara agregat penurunan produksi akan menurunkan penawaran dalam perekonomian sehingga pasar akan memberikan respon berupa peningkatan harga-harga barang (Mankiw, 2007). Hasil temuan dalam penelitian ini juga sesuai dengan penelitian dari Ito (2008) di Russia yang menyatakan bahwa apabila terjadi perubahan harga minyak dunia sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan GDP Russia sebesar 0,25 persen dan peningkatan tingkat inflasi sebesar 0,36 persen pada dua belas triwulan berikutnya. Variabel GDP(-1) ER(-1) SUBSIDI(-1) Tabel 4.7 Hasil Estimasi VECM 2 Koefisien T-statistik Jangka Panjang 187.9293 -4.98659* -326.9546 6.40123* 46.80703 -11.7046* HARGAMINYAK(-1) SB(-1) C CointEq D(INFLASI(-1)) D(GDP(-1)) D(ER(-1)) D(SUBSIDI(-1)) D(HARGAMINYAK(-1)) D(SB(-1)) C 229.2756 8.885362 -1940.375 Jangka Pendek 0.000176 0.533465 1.833357 4.914319 0.059243 0.596327 -0.018609 0.384372 5.96468* -0.29061 0.12647 6.32055* 0.46393 4.05292* 1.56962 0.78771 -0.01984 2.26850 Sumber : Lampiran 6 Keterangan : Probabilitias : 5% 4.2.3 Estimasi Vector Error Correction untuk SUBSIDI Variabel SUBSIDI adalah besaran subsidi yang dbayar oleh pemerintah. Pembayaran subsidi oleh pemerintah kepada PERTAMINA sebagai badan usaha yang ditujuk dalam penyediaan dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri sesuai dengan PP Nomor 71 Tahun 2005. Untuk estimasi VECM yang ketiga variabel subsidi menjadi variabel yang diamati sedangkan variabel yang lain sebagai variabel penjelasnya. Pada jangka pendek variabel GDP memengaruhi subsidi secara signifikan. Pada jangka pendek variabel GDP berbanding lurus dengan subsidi sebesar 31,44898. Artinya apabila terjadi peningkatan GDP sebesar satu persen akan meningkatkan subsidi sebesar 31,44898 persen dalam jangka pendek. Dalam jangka pendek juga ditemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara variabel subsidi dan variabel inflasi secara signifikan. Dari hasil estimasi hubungan yang berbanding terbalik ini ditandai dengan koefisien variabel inflasi sebesar -0,718957. Hal ini berarti apabila variabel inflasi mengalami peningkatan sebesar satu persen maka akan diikuti dengan penurunan subsidi sebesar 0,718957 persen. Variabel GDP(-1) INFLASI(-1) ER(-1) Tabel 4.8 Hasil Estimasi VECM 3 Koefisien T-statistik Jangka Panjang -4.014981 3.74614* 0.021364 -0.96671 6.985161 -7.59483* HARGAMINYAK(-1) SB(-1) C CointEq D(GDP(-1)) D(INFLASI(-1)) D(ER(-1)) D(SUBSIDI(-1)) D(HARGAMINYAK(-1)) D(SB(-1)) C 4.898316 -0.189830 41.45477 Jangka Pendek -1.243893 31.44898 -0.718957 -2.971579 -0.008756 -0.701262 2.128342 -0.000691 -6.95479* 0.28451 -7.72254* 3.21696* -3.44342* -0.99067 -0.09377 -0.37446 0.91750 -0.00165 Sumber : Lampiran 6 Keterangan : Probabilitias : 5% Pada jangka pendek juga ditemukan bahwa variabel subsidi berbanding lurus dengan variabel GDP secara signifikan. Apabila variabel GDP mengalami peningkatan sebesar satu persen dalam jangka pendek maka akan meningkatkan subsidi sebesar 31,44898 persen. Pada jangka panjang variabel nilai tukar, GDP, dan variabel harga minyak mempengaruhi besaran subsidi. Hubungan antara nilai tukar, GDP, dan harga minyak dan subsidi bersifat positif secara signifikan dalam jangka panjang. Jika ada peningkatan nilai tukar sebesar satu persen akan mengakikabatkan peningkatan subsidi sebesar 6,985161 persen. Peningkatan subsidi sebesar satu persen akan diikuti dengan peningkatan GDP sebesar 4,014981 persen. Dalam jangka panjang apabila harga minyak mengalami peningkatan sebesar satu persen maka akan meningkatkan subsidi sebesar 4,898316 persen. Fluktuasi harga minyak akan mempengaruhi kebijikan subsidi dalam jangka panjang. Kementerian Keuangan merupakan lembaga yang diberi wewenang dalam masalah penyaluran dana subsidi sedangkan Pertamina sebagai yang badan usaha yang ditujuk oleh pemerintah dalam penyediaan dan distribusi BBM bersubsidi. Kementerian keuangan akan membayarkan dana subsidi kepada Pertamina setelah konsumsi dilakukan. Artinya apabila BBM bersubsidi dikonsumsi saat ini, Kementerian Keuangan baru akan mengucurkan dana subsisi pada bulan berikutnya. Besarnya subsidi dipengaruhi oleh MPOS yang merupakan harga transaksi jual-beli pada bursa minyak di Singapura. Karena berpatokan dengan harga yang berlaku dari luar negeri sehingga besaran subsidi juga sangat dipengaruhi oleh nilai tukar pada jangka panjang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa nilai tukar memiliki hubungan positif dengan subsidi secara signifikan dalam jangka panjang. Hal ini berarti ketika nilai tukar meningkat menunjukkan melemahnya nilai mata uang domestik terhadap mata uang luar negeri. Semakin tinggi nilai tukar maka beban subsidi yang harus dibayarkan oleh pemerintah semakin besar. Subsidi = (π x Ω) – Pajak Sumber : Kementerian Keuangan RI dan PP No 71 Tahun 2005 Keterangan : *Jika ada **MPOS (Mid Oil Plant’s Singapore) Gambar 4.1 Skema Pemberian Subsidi BBM 4.3 Analisis Impulse Respon Function (IRF) Analisis Impulse Respon Function menjelaskan perbandingan respon pada variabel subsidi, Gross Domestic Product (GDP), suku bunga, inflasi, dan nilai tukar apabila terjadi guncangan dari variabel harga minyak. Pada penelitian ini guncangan dilakukan pada harga minyak dan akan dianalisis pengaruhnya terhadap variabel yang lain dalam enam puluh kuartal atau lima belas tahun yang akan datang. Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of GDP to HARGAMINYAK Response of INFLASI to HARGAMINYAK .008 .12 .08 .006 .04 .004 .00 .002 -.04 .000 -.08 10 20 30 40 50 60 10 Response of ER to HARGAMINYAK 20 30 40 50 60 Response of SUBSIDI to HARGAMINYAK .00 1.0 0.8 -.01 0.6 -.02 0.4 -.03 0.2 -.04 0.0 10 20 30 40 50 60 10 20 30 40 50 60 Response of SB to HARGAMINYAK -.010 -.015 -.020 -.025 -.030 -.035 10 20 30 40 50 60 Sumber : Lampiran 7 Gambar 4.2 Respon SUBSIDI, GDP, SB, INFLASI, ER Terhadap Guncangan dari HARGAMINYAK Pada Gambar 4.2 dapat dilihat pengaruh dari guncangan harga minyak terhadap GDP. Pada periode awal guncangan pada harga minyak akan mempengaruhi GDP. GDP akan stabil pada periode ke sembilan sebesar 0,0036. Artinya apa bila harga minyak berguncang sebesar satu standar deviasi maka akan menyebabkan GDP meningkat sebesar koefisien yang sama. Pada akhir periode guncangan harga minyak terhadap GDP tetap berpengaruh positif. Guncangan harga minyak dunia mempengaruhi variabel inflasi. Respon inflasi bersifat positif pada empat kuartal awal atau satu tahun pertama terjadinya guncangan harga minyak. Setelah periode tersebut guncangan harga minyak justru akan memberikan dampak yang negatif terhadap inflasi. Respon permanen inflasi terhadap guncangan harga minyak baru terjadi sejak periode ke sebelas yakni sebesar -0,057. Maksudnya adalah apabila harga minyak berubah sebesar satu standar deviasi maka inflasi akan berkurang sebesar 0,057 standar deviasi sebagai respon dari guncangan harga minyak hingga akhir periode. Guncangan harga minyak dunia mempengaruhi variabel nilai tukar. Respon yang dialami oleh nilai tukar adalah bersifat negatif terhadap guncangan harga minyak. Respon permanen nilai tukar terhadap guncangan dari harga minyak pada periode ke enam adalah sebesar -0,032. Artinya, apabila ada guncangan terhadap harga minyak sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan penurunan tingkat nilai tukar sebesar 0,032 standar deviasi sejak periode ke enam hingga akhir periode di tahun ke lima belas. Guncangan harga minyak dunia mempengaruhi variabel subsidi. Untuk setiap guncangan yang dialami oleh harga minyak akan direspon oleh subsidi berupa peningkatan secara stabil yang berada direspon yang bernilai permanen 0,508 pada periode ke dua belas atau tahun ke tiga. Artinya sejak tahun ketiga setiap guncangan harga minyak sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan harga minyak sebesar 0,508 standar deviasi hingga akhir periode di tahun ke lima belas. Guncangan harga minyak dunia mempengaruhi variabel subsidi. Nilai respon permanen dari suku bunga dalam meresponi guncangan harga minyak sebesar 0,028 pada periode ke sembilan. Hal ini menandakan apabila terjadi guncangan harga minyak sebesar satu standar deviasi maka suku bunga akan mengalami peningkatan sebesar 0,028 standar deviasi sejak periode ke sembilan hingga periode ke enam puluh. Dari hasil analisis impulse respon pada semua variabel terhadap guncangan yang diberikan dari volatilitas harga minyak, terlihat bahwa variabel subsidi paling cepat mencapai kestabilan saat terjadi guncangan pada variabel harga minyak berupa respon yang bernilai positif secara stabil di enam puluh periode yang akan datang. Hal ini menyimpulkan bahwa variabel inflasi terpengaruh paling stabil dibandingkan dengan variabel lainnya ketika mendapat guncangan harga minyak dunia. 4.4 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Analisis FEVD berguna untuk mengetahui gambaran kontribusi pengaruh variabel lain terhadap suatu variabel dalam sistem. a. Forecast Error Variance Decomposition dari GDP Pada periode pertama variabel GDP hanya dipengaruhi oleh variabel harga GDP itu sendiri sebesar 100 persen. Pada periode kedua paling dipengaruhi oleh GDP itu sendiri sebesar 92,90 persen. Pada periode akhir variabel GDP mempengaruhi variabel itu sendiri sebesar 79,98, persen. Variabel harga minyak hanya mempengaruhi GDP sebesar 2,06 persen pada periode ke dua, dan terus mengalami penurunan hingga periode ke lima puluh. Secara keseluruhan dalam jangka panjang yakni lima puluh periode yang akan datang variabel GDP dipengaruhi oleh variabel GDP, nilai tukar, subsidi, inflasi, suku bunga, dan harga minyak secara berurutan. Gambar 4.3 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) GDP b. Forecast Error Variance Decomposition dari INFLASI Pada keseluruhan enam puluh periode estimasi peramalan variabel inflasi dipengaruhi oleh variabel subsidi itu sendiri sebesar 76,70 persen. Seiring periode mengalami penurunan hal ini dibuktikan dengan pengaruh dari inflasi terhadap dirinya sendiri pada periode ke enam puluh hanya sebesar 44,29 persen. Gambar 4.4 terlihat jelas bawa inflasi dipengaruhi oleh variabel inflasi itu sendiri, GDP, nilai tukar mata uang, tingkat suku bunga, subsidi, dan harga minyak secara berurutan. Variabel harga minyak mempengaruhi variabel inflasi sebesar 0,16 persen pada awal periode. Pada variabel ke enam puluh pengaruh variabel harga minyak terhadap inflasi mengalami penurunan menjadi sebesar 0,03 persen. Gambar 4.4 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) INFLASI c. Forecast Error Variance Decomposition dari ER Pada periode pertama variabel nilai tukar paling dipengaruhi oleh variabel nilai tukar itu sendiri sebesar 92,80 persen. Terjadi penurunan pengaruh variabel inflasi terhadap dirinya sendiri di jangka panjang. Secara keseluruhan seperti Gambar 4.5 variabel nilai tukar paling dipengaruhi oleh variabel nilai tukar itu sendiri, inflasi, GDP, harga minyak, dan suku bunga secara berurutan. Tren pengaruh semua variabel terhadap variabel inflasi cenderung stabil kecuali inflasi yang memiliki tren peningkatan yang cukup signifikan hingga akhir periode. Harga minyak memiliki tren pengaruh yang meningkat, pada periode awal harga minyak mempengaruhi nilai tukar sebesar 3,64 persen. Pada periode ke enam puluh pengaruh harga minyak terhadap nilai tukar meningkat menjadi sebesar 5,92 persen. Gambar 4.5 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) ER d. Forecast Error Variance Decomposition dari SUBSIDI Seperti yang terlihat pada gambar 4.6 secara keseluruhan variabel subsidi paling dipengaruhi oleh variabel subsidi itu sendiri sebesar 81,41 persen. Sementara pada periode pertama variabel harga minyak tidak mempengaruhi variabel subsidi. Pada periode ke enam puluh variabel subsidi berkurang pengaruhnya hingga mencapai 19,52 persen terhadap variabel subsidi itu sendiri. Pada jangka panjang variabel nilai tukar lebih berpengaruh terhadap variabel subsidi itu sendiri yakni sebesar 34,17 persen. Pada Gambar 4.6 nampak bahwa harga minyak memiliki pengaruh yang meningkat terhadap variabel subsidi, yakni hanya sebesar 30,06 persen pada periode ke enam puluh. Secara umum variabel nilai tukar dalam jangka panjang dipengaruhi oleh variabel nilai tukar itu sendiri, harga minyak, subsidi, inflasi, GDP, dan suku bunga. Variabel nilai tukar sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai subsidi Bahan Bakar Minyak karena minyak merupakan komoditi dalam perdagangan internasional. Gambar 4.6 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) SUBSIDI e. Forecast Error Variance Decomposition dari HARGAMINYAK Dalam jangka pendek yakni dalam periode pertama variabel harga minyak paling dipengaruhi oleh variabel harga minyak itu sendiri sebesar 89,96 persen. Pada periode pertama bahkan variabel suku bunga tidak berpengaruh terhadap variabel harga minyak. Gambar 4.7 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) HARGAMINYAK Pada jangka panjang yakni pada periode ke enam puluh terjadi penurunan pengaruh dari variabel harga minyak terhadap dirinya sendiri yakni menjadi sebesar 86,71 persen. Dari Gambar 4.7 juga dapat kita ketahui bahwa variabel harga minyak dipengaruhi oleh variabel harga minyak itu sendiri, subsidi, nilai tukar, GDP, suku bunga, dan inflasi secara berurutan. f. Forecast Error Variance Decomposition dari SB Variabel yang paling memberi pengaruh pada variabel suku bunga adalah variabel nilai suku bunga sendiri sebesar 72, 95 persen. Pada akhir periode variabel suku bunga mengalami tren penurunan di level 45,39 persen, namun masih tetap dominan jika dibandingkan dengan variabel yang lainnya. Gambar 4.8 FEVD (Forecast Error Variance Decomposition ) SB Seperti yang nampak pada Gambar 4.8, variabel harga minyak mempengaruhi variabel suku bunga sebesar 0,67 persen pada awal periode. Dalam jangka panjang yakni pada periode ke enam puluh variabel harga minyak mengalami peningkatan pengaruh yakni menjadi sebesar 2,31 persen. Secara umum dalam jangka panjang variabel suku bunga dipengaruhi oleh variabel suku bunga itu sendiri, nilai tukar, GDP, harga minyak, inflasi, dan subsidi berurutan. 4.5 Respon Kebijakan Indonesia dan Beberapa Negara terhadap Fluktuasi Harga Minyak Dunia. Hingga saat ini kebijakan pemerintah Indonesia dalam meresponi volatilitas harga minyak adalah dengan memberikan subsidi agar BBM dapat terjangkau oleh masyarakat. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun ini adalah pengalihan dana subsidi ke program-program sosial seperi Bantuan Langsung Tunai (BLT), dana pendidikan yakni Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dana kesehatan yakni Asuransi Kesehatan (AsKes) untuk rumah tangga miskin. Hal- hal tersebut diatas merupakan kebijakan yang bersifat jangka pendek. Pitter (2007) menyebutkan bahwa dalam penyusunan kebijakan jangka panjang beberapa hal perlu diperhatikan yakni : a. Kebijakan harus berupa strategi yang komprehensif b. Kebijakan harus memperhatikan penggunaan teknologi yang ramah terhadap lingkungan untuk meningkatkan supply energi, dan membangun penggunaan energi yang lebih bersih dan lebih efisien c. Kebijakan harus meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Untuk itu kebijakan energi, kebijakan lingkungan, kebijakan ekonomi harus saling terintegrasi. Dalam jangka panjang pemerintah akan mengurangi tingkat ketergantungan perekonomian terhadapa penggunaan minyak dan beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Hal ini mendorong upaya pemerintah dalam mengurangi subsidi secara perlahan-lahan agar masyarakat mulai beralih kepada penggunaan sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Pemerintah sudah memformulasikan kebijakan dalam konservasi energi sejak tahun 1979. Sejumlah program implementasi sudah dirancang untuk mendukung kebijakan konservasi energi di Indonesia yang disebut sebagai National Energy Conservation Master Plan (NECMP) bahkan PP No 9 Tahun 1982 Tentang Tata Ruang dan Wilayah sudah menginstruksikan kepada agen pemerintah dalam hal ini kementerian terkait untuk upaya konservasi energi. Namun dalam kenyaataannya saat ini program tersebut tidak pernah direalisasikan sepenuhnya seperti yang diharapkan. Program yang dibuat oleh kementerian terkait selama ini seringkali tidak fokus sehingga efisiensi energi dan konservasi energi hanya baru sebatas norma dan wacana saja. Dalam merespon guncangan minyak yang mengakibatkan peningkatan inflasi dan penurunan GDP di negara-negara industri maju yang tergabung dalam G-7 menggunakan kebijakan moneternya dalam upaya mengurangi guncangan dalam perekonomian sebagai akibat dari guncangan harga minyak. Negara anggota G-7 memakai tidak menggunakan kebijakan fiskal dalam mengurangi dampak dari guncangan harga minyak. Sebab sistem perekonomiannya yang tidak dapat diintervensi oleh pemerintah. Negara anggota G-7 menganggap intervensi pemerintah dalam perekonomian melalui mekanisme kebijakan pasar justru akan mengganggu keseimbangan di pasar. Secara teoritis menurut Cologni dan Manera (2005) seharusnya diberlakukan kebijakan penurunan suku bunga dalam mengurangi dampak dari guncangan. Dalam kenyataannya negara-negara industri maju anggota G-7 justru meningkatkan tingkat suku bunga dalam kebijakan moneternya. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dalam meresponi guncangan harga minyak sekitar tahun 2004 hingga 2006, otoritas moneter pun melakukan peningkatan suku bunga dalam negeri. Ketika kuartal ketiga tahun 2004 suku bunga sebesar 7,39 persen dan mengalami peningkatan sebesar 5,36 persen pada lima kuartal berikutnya suku bunga naik menjadi 12,75 persen pada kuartal keempat di tahun 2005. Sumber : International Financial Statistic 2011 (diolah) Gambar 4.9 Tingkat Suku Bunga Indonesia Mankiw (2007) menyatakan bawa apabila terjadi guncangan dalam perkonomian yang membuat terjadinya penurunan penawaran harus dapat diatasi dengan suatu kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter yang menstabilisasi kembali perekonomian supaya kembali pada posisi full-empolyment. Sumber : Mankiw (2007) Gambar 4.10 Kebijakan Stabilisasi Ketika terjadi penurunan penawaran dari SRAS1 ke SRAS2, pemerintah harus melakukan kebijakan yang meningkatkan kembali Aggregate Demand agar perekonomian kembali ke posisi full-employment. Upaya peningkatan Aggregate Demand dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter. Dalam jangka pendek kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan subsidi BBM untuk meningkatkan kembali Aggregate Demand . Kebijakan moneter Indonesia tidak sesuai dengan teori yakni peningkatan suku bunga ketika terjadi fluktuasi harga minyak dunia. Seharusnya untuk meningkatkan menurunkan kembali tingkat Aggregate suku ketidakselarasan kebijakan. bunga. Demand Hal ini otoritas moneter sebaiknya mengakibatkan terjadinya Pada bulan Juni di tahun 2008, lima negara konsumen minyak terbesar dunia yakni Amerika Serikat, Jepang, Cina, India, dan Korea Selatan menyerukan agar bahan bakar minyak diakhiri secara bertahap untuk menurunkan harga minyak. Sebab menurut mereka meyakini bahwa pemberian subsidi kepada minyak sesungguhnya membuat masyarakat tidak mau beralih untuk menggunakan sumber energi lain yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Lebih lanjut mereka menambahkan bahwa dengan adanya subsidi terhadap minyak akan terus meningkatkan konsumsi minyak masyarakat dan melupakan efisiensi dalam penggunaan minyak. Padahal sesungguhnya minyak adalah sumber energi yang tidak terbarukan dan jumlahnya sangat terbatas. Sumber : Mourougane (2010) Gambar 4.11 Daftar Negara Pemberi Subsidi pada Sumber Energi (Miliar US Dollar) Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa negara yang masih tergolong negara sedang berkembanglah yang banyak memberi subsidi bagi sumber energinya seperti untuk minyak. Sementara negara maju tidak memberikan subsidi bagi minyak untuk mempertahankan perekonomiannya dengan mencapai keseimbangan melaui kekuatan pasar saja. Negara-negara yang memberikan subsidi bagi minyak seperti yang tertera pada gambar diatas didominasi oleh negara-negara eksportir minyak terbesar dunia yang tergabung dalam OPEC seperti : Arab Saudi, Rusia, Iran, Uni Emirat Arab, Venezuela, Iraq, Algeria, Mexico, dan Kuwait. Negara-negara ini memberikan subsidi kepada sumber energinya menggunakan dana yang berasal dari surplus pedagangan minyak ke pasar internasional. Sementara pada tahun 1980 hingga awal tahun 1990 Indonesia juga memiliki karakteristik yang sama dengan negara-negara tersebut namun setelah menjadi net importir tetap memberikan subsidi hal ini yang kemudian sangat memberatkan APBN Indonesia. Sementara penelitian UNEP (United Nations Environment Programme) pada tahun 2010 menyebutkan dampak yang akan dialami beberapa negara apabila mengurangi atau bahkan menghapus kebijakan subsidi bagi sumber energinya termasuk minyak seperti yang terangkum pada Tabel 4.9. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tabel 4.9 Tipe Subsidi yang Diberikan Negara/ Kawasan Tipe Subsidi OECD Semua Tipe Republik Ceko dan Slovakia Minyak Russia Pemanas Wilayah India Listrik Indonesia Premium, Solar, Kerosin Korea Batubara, Gas, Listrik Iran Minyak Senegal LPG Chili Minyak dan Batu Bara Sumber : UNEP (2010) Hasil penelitian UNEP terhadap negara-negara anggota OECD mengenai penghapusan subsidi minyak akan meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Kawasan OECD yang beranggotakan negara maju ini menganggap dengan adanya pemeberian subsidi justru akan merusak keseimbanagan pasar. Dampak lingkungan yang akan diterima oleh negara-negara maju ini adalah berupa pengurangan emisi CO2 dan gas beracun lainnya sebagai sisa pembakaran dari bahan bakar minyak dan sumber energi yang tidak ramah lingkungan. Secara sosial, pencabutan subsidi secara signifikan mempengaruhi kuantitas lapangan pekerjaan dan pengeluaran rumah tangga akan pembiayaan masyarakat dalam mengakses sumber energinya pada jangka pendek. Pencabutan subsidi penggunaan sumber energi termasuk minyak akan lebih efisien dan peningkatan masyarakat untuk beralih pada penggunaan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Pemberian subsidi minyak di Republik Ceko dan Slovakia akan meredam inovasi baru yang mendorong penciptaan sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan. Subsidi yang selama ini dinikmati oleh masyarakat Republik Ceko dan Slovakia membuat peningkatan intensitas yang tinggi dalam menggunakan minyak dan rendahnya tingkat efisiensi penggunaan minyak yang membahayakan lingkungan karena polusi udara melalui emisi CO2 di tingkat lokal maupun regional di negara tersebut. Russia terletak di sekitar Kutub Utara memiliki iklim yang dingin sepanjang tahun, untuk itu pemanas wilayah merupakan pelayanan yang vital di negara tersebut. Pemberian subsidi bagi pemanas wilayah sepanjang tahun bagi masyarakat Russia membuat penggunaannya menjadi inefisien. Selain itu gas buangan yang dihasilkan dari pemanas wilayah tersebut berkontribusi kepada polusi udara dan emisi efek rumah kaca. Menurut penelitian UNEP (2010) apabila subsidi ini dapat dikurangi atau apabila mungkin dihapuskan maka akan sangat menolong pemerintah untuk mengentaskan ketimpangan kesejahteraan di Russia. Russia dengan wilayah yang begitu luas juga mengalami ketimpangan kesejahteraan di masyarakatnya. Ketimpangan terjadi antara Russia bagian timur dengan Russia bagian timur dan selatan yang berbatasan dengan China. Hasil penelitian UNEP di Indonesia menunjukkan bahwa pemberian subsidi memberikan beban ekonomi yang sangat besar bagi pemerintah terutama pemberian subsidi bagi premium, kerosin, dan solar. Pengurangan atau penghapusan subsidi akan menghemat APBN, dan pengalihan realokasi dana pada proyek pemgembangan energi bersih yang ramah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat miskin serta peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Secara sosial penghapusan subsidi bagi sumber energi di Indonesia akan mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Temuan UNEP di Iran juga mendapati bahwa subsidi yang dinikmati di Iran juga menyebabkan inefisiensi penggunaan sumber energi yang menyebabkan polusi lokal dan regional. Hal ini merupakan isu kesehatan yang penting di negara tersebut. Sama hal nya yang terjadi di Indonesia walau yang paling banyak menikmati subsidi adalah rumah tangga kaya, tetapi penghapusan subsidi juga akan memberatkan rumah tangga miskin. Senegal sudah lebih maju dalam kesadarannya memakai sumber energi, yakni dengan memberikan subsidi pada LPG sehingga memberikan dampak positif yang signifikan dalam perekonomian walau memberatkan APBN yakni