Tafsir Saintifik Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur`a>n al

advertisement
Tafsir Saintifik Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m
Karya Syaikh T{ant}a>wi> Jauhari
Disusun oleh:
Hasan Ikhwani
Program Doktor Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Program Pascasarjana UINSA, Surabaya.
Pendahuluan
Dalam sejarah, umat Islam pernah memimpin peradaban dunia. Di Baghdad
pada abad ke 8 M, yaitu pada zaman Khalifah Abasiyah, Islam telah mewarnai dalam
aspek kehidupan sosial, politik, budaya, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Demikian pula di masa kedaulatan Bani Umayyah di Spanyol pada abad yang sama.
Bekas-bekas peninggalan kejayaan Islam dapat dilihat seperti misalnya bekas Istana
Al Hambra dan Gereja Cordoba. Gereja Cordoba dahulunya adalah sebuah masjid,
setelah pengusiran umat Islam oleh orang-orang Kristen Eropa, masjid tersebut
dirubah fungsinya menjadi gereja. Kedua bangunan tersebut adalah tinggalan umat
Islam di bumi Spanyol, yang dapat dilihat kemegahannya sebagai bukti otentik
peradaban Islam di dunia sampai hari ini.
Kemajuan pesat peradaban Islam ditandai dengan perkembangan sains yang
pesat pula. Penguasa negara waktu itu memberikan ruang yang cukup bagi kaum
muslimin untuk melakukan aktifitas keilmiahan. Di zaman khalifah Harun Al Rasyid
misalnya, di Baghdad dibangun Dar Al Hikmah, suatu tempat yang digunakan
1
sebagai pusat kegiatan ilmiah dan perpustakaan negara terbesar di dunia waktu itu.
Dari Dar Al Hikmah, kegiatan penelitian dan penerjemahan buku-buku dari Yunani
kuno, Persia, India, dan Romawi ke Bahasa Arab digalakkan. Sedangkan di Cordoba,
Spanyol, dilaporkan terdapat 70 perpustakaan yang berisi kurang lebih 400.000 jilid.1
Peradaban Islam telah mewarnai dunia pada zaman Dinasti Umayah dan
Dinasti Abasiyah yang berlangsung mulai abad 8 sampai dengan abad 15. Dalam
kurun waktu tersebut, tradisi ilmiah didukung sepenuhnya oleh negara sehingga
lahirlah para pemikir Islam dan ilmuwan besar. Dapat disebutkan antara lain Ibnu
Sina (ahli kedokteran), Al Khawarizmi (ahli matematika), Al Haitam (ahli optik), Al
Biruni (ahli fisika dan astronomi), Jabir Al Haiyan (ahli kimia), Ibnu Rusyd (ahli
filsafat), Al Kindi (ahli filsafat), Ibnu Khaldun (ahli sejarah dan sosiologi), dsb.
Karya-karya ilmuwan Islam tersebut sebagian masih dapat dijumpai di museum
dengan terjemahan ke berbagai bahasa. Seperti misalnya karya Ibnu Sina Al
Adawiyah Al Qalbi (Risalah Obat-Obatan untuk Penyakit Jantung), dapat dijumpai di
Perpustakaan Jamia Millia, New Delhi India. Karya Ibnu Sina yang lain, Al Qanun fii
At-Thib, telah diterjemahkan berkali-kali ke dalam Bahasa Yunani, Latin, Ibrani dan
Inggris. Buku tersebut di Eropa terkenal dengan nama “Canon”, dan sampai dengan
akhir abad 18 M buku tersebut masih dipakai sebagai buku standar kedokteran di
1
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), 3.
2
universitas-universitas terkemuka di Eropa seperti di Paris, Montpellier, dan Loavain
dengan penerbitan ulang lebih dari tiga puluh lima kali.2
Kalau ditilik peradaban Islam yang pernah berjaya di masa Bani Umayah dan
Bani Abasiyah abad 8-15 M tersebut, aktifitas ilmuwan muslim dalam pengkajian
ilmiah terhadap rahasia alam didasari oleh kebenaran wahyu yang terdapat dalam Al
Qur’an. Sementara itu Barat dalam pengkajian ilmiah berusaha meniadakan pengaruh
Tuhan sebagaimana yang diusulkan Francis Bacon pada abad 16 M. Materialisme
Ilmiah yang diusulkan Bacon tadi menjadi landasan suburnya faham sekularisme.
Dampak dari sekularisme tadi selanjutnya adalah, kemajuan teknologi yang dicapai di
satu sisi, namun kerusakan akhlak dan dekadensi moral di sisi lain. Sekularisme
Ilmiah Bacon ini pulalah yang saat ini dijadikan rujukan akademis di seluruh dunia,
termasuk umat Islam.
Adalah Syaikh T{ant}a>wi> Jauhari>, seorang ulama dan sekaligus ilmuwan
merasa terpanggil untuk membangunkan umat Islam atas kemunduran di segala
bidang. Berangkat dari keprihatinan atas keterpurukan umat Islam di berbagai bidang,
beliau berusaha mendobrak dan membangunkan umat Islam untuk bangkit kembali
sebagaimana kejayaan Islam yang pernah terukir dengan tinta emas (the golden age).
Melalui tafsirnya Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m beliau mengkritik dan
2
Muhammad Mojlum Khan, Muslim Paling Berpengaruh Sepnjang Sejarah, terj. Wiyanto Suud,
Khairul Iman (Jakarta: Mizan, 2012), 198
3
menggugat umat Islam yang energinya habis hanya berkutat pada pengkajian
masalah-masalah fiqh. Padahal menurutnya, ayat-ayat yang berkaitan dengan fiqh
tidak lebih dari 150 ayat, sedang ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan
berjumlah lebih dari 750 ayat.3 Menurutnya, seharusnya umat Islam memberikan
perhatian lebih terhadap ilmu pengetahuan. Saat ini umat Islam kurang, -bahkan
tidak- memperhatikan ayat-ayat kawniyah ini. Namun ironisnya, negara-negara Barat
justeru yang giat melakukan kajian dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Sehingga
peradaban dunia saat ini beralih ada di tangan mereka.
Tafsir Al Jawa>hir adalah karya besar Syaikh T{ant}a>wi> Jauhari>. Umat Islam
seharusnya menyambut tafsir tersebut sebagai momentum untuk bangkit dari
keterpurukan hegemoni Barat. Kajian di pesantren dan PT Islam, seharusnya sudah
mengarah pada sciences based the Holy Qur’an, bukan mengadopsi materialisme
ilmiah Francis Bacon. Demikian pula pengajaran-pengajaran sains di sekolah-sekolah
Islam mulai SD sampai dengan SMA, materi dan kurikulum pembelajaran harus
direkonstruksi lagi berdasarkan wahyu Al Qur’an.
Biografi
T{ant}a>wi> Jauhari> dilahirkan di suatu desa wilayah al-Ghar, Mesir pada tahun
1870 M. Beliau berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun demikian,
3
T{ant}a>wi> Jauhari>, Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz I, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 3.
4
ayahnya bersikeras agar T{ant}a>wi tidak menjadi petani seperti orangtuanya, dan
berharap kelak menjadi orang terpelajar yang berpengaruh di kemudian hari. Maka
setelah menamatkan sekolah menengah di desanya, dikirimlah dia ke ibu kota Kairo
untuk studi lanjut. Pendidikan tinggi dari T{ant}a>wi> Jauhari> dimulai dari studi di
Universitas Al Azhar, Kairo. Di Al Azhar inilah dia bertemu dengan sang tokoh
pembaharu Syaikh Muhammad Abduh yang sekaligus sebagai gurunya dalam Ilmu
Tafsir. Pemikiran-pemikiran pembaharuan dari dosennya inilah yang sangat
berpengaruh terhadap pemikiran T{ant}a>wi> di kemudian hari.4
Setelah itu dia melanjutkan belajarnya ke Universitas Darul Ulum dan mampu
menyelesaikan pendidikan di sana tahun 1893. Setelah selesai menamatkan
pendidikan di Darul Ulum, beliau melanjutkan karir dengan menjadi pengajar di
almamaternya tersebut. Selanjutnya tahun 1912 T{ant}a>wi> diangkat menjadi dosen di
Al-Jamiah Al-Misyriyah pada mata kuliah Falsafah Islam.5
Sebagai seorang cendikiawan, T{ant}a>wi> tidak terpaku hanya belajar masalah
tafsir. Namun dia juga memperkaya diri dengan pengetahuan umum melalui seminarseminar ilmiah, membaca buku, surat kabar dan majalah. Ilmu alam, khususnya fisika
dan biologi, adalah ilmu yang sangat dia senangi selain ilmu tafsir. Dengan
mempelajari ilmu alam, T{ant}a>wi> berusaha menepis paradigma bahwa Islam
4
Tantawy
Jauhari
:
Motivator
Umat
dalam
Penguasaan
Ilmu,
.
http://rezaervani.com/rezapedia/tampilkan.php?index =tantawyjauhari&huruf=t, di akses 14 Oktober
5
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), 307
5
menentang ilmu dan teknologi modern. Dia berusaha mengkompromikan pemikiran
Islam dengan perkembangan ilmu alam dan teknologi. Tiga hal yang menjadi citacita dan gagasan dari T{ant}a>wi>: pertama, obsesinya untuk memajukan daya pikir umat
Islam. Umat Islam harus meninggalkan bid’ah dan taklid, karena kedua hal tersebut
akan menyeret ke dalam keterbelakangan dan tidak bisa mengikuti perkembangan
zaman. Umat harus sadar pentingnya menguasai ilmu-ilmu modern. Kedua,
pentingnya penguasan ilmu bahasa -terutama Bahasa Inggris- dalam menguasai
idiom-idiom modern. Menurutnya, bahasa adalah kunci untuk menguasai dan
memahami berbagai ilmu pengetahuan. Ketiga, pentingnya pengkajian Al Qur’an
sebagai satu-satunya kitab suci yang mendorong pengembangan ilmu. Dia
berkeyakinan bahwa Al Qur’an menganjurkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu
dalam arti yang seluas-luasnya.6
Di tahun 1925, T{ant}a>wi> Jauhari> mengarang sebuah buku berjudul Al Qur’a>n
wa al-‘Ulumul al-‘As{riyyah. Di dalam buku tersebut, dia menyatakan bahwa umat
yang terbaik manakala mereka yang maju dan berilmu. Umat Islam tidak boleh
menjadikan Al Qur’an sebatas kitab suci yang diangkat di kepala dan dibaca semata-
6
Ibid, 307.
6
mata sebagai ibadah kepada Allah, tetapi harus berusaha memahami isi dan
mengamalkan segala isi dan tujuan yang ada di dalamnya.7
Buku-buku karangan T{ant}a>wi> Jauhari> selain Al Qur’a>n wa al-‘Ulum al-
‘As{riyyah sangatlah banyak, dimana karya-karyanya tidak kurang dari 30 judul.
Diantaranya adalah: Miza>n al-Jawa>hir fi ‘Aja>ibi al-Kawni al-Bah{iir, Jawa>hir al-
‘Ulu>m, Nizam al-‘Alam wa al-‘Ulu>m, Jama>l al-‘a>lam, dan sebagainya. Dari sekian
banyak karyanya, karya yang sangat monumental adalah kitab tafsir Al Jawa>hir fi>
Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m yang terdiri dari 26 juz. Kitab tafsir ini sangatlah unik dan
berbeda bila dibandingkan dengan kebiasaan kitab-kitab tafsir lainnya. Dia
melengkapi kitab tafsirnya dengan gambar tumbuh-tumbuhan, hewan, tabel-tabel
ilmiah dan sebagainya sebagai upaya untuk menjelaskan penafsirannya kepada
pembaca dengan fakta-fakta empiris.
Metode dan Contoh Penafsiran
Menurut al-Farma>wi metode penafsiran al-Qur’an dibagi menjadi empat,
yaitu metode tahli>li>, ijma>li>, muqa>ran, dan mawdhu>’i>. 8 Metode tahli>li>, adalah metode
tafsir analisa, dimana mufassir berusaha menafsirkan beberapa ayat Al Qur’an sesuai
susunan bacaannya, dan tertib susunan seperti di dalam mush}a>f, kemudian baru
7
T{ant}a>wi> Jauhari>, al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Moderen , terj. Muhammadiyah Ja’far, (Surabaya:
1984), 182-183.
8
‘Abd al-Hay al-Farma>wi>, Muqaddimah fi al-Tafsi>r al-Mawdhu>’i> (Kairo: Al-Hadha>rah al-‘Arabiyah,
1977), 23.
7
menafsirkan dan menganalisisnya secara terperinci. Metode ijma>li>, adalah metode
pemaknaan global, dimana mufassir berusaha manafsirkan Al Qur’an dengan cara
mengemukakan makna secara global, ringkas dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan
maupun
penetapan
judul.
Metode
muqa>ran, adalah metode
perbandingan, dimana mufassir berusaha menjelaskan dengan membandingkan ayat
Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an, ayat Al Qur’an dengan hadis, dan membandingkan
dengan mufassir lainnya. Metode mawdhu>’i>, adalah metode tafsir tematik, dimana
mufassir berusaha menghimpun semua ayat-ayat Al Qur’an dalam berbagai surah
yang mempunyai permasalahan tertentu yang dianggap sebagai suatu tema sentral.
Dari empat tersebut metode tersebut, metode tahli>li> adalah metode yang
paling tua dan banyak dipakai para mufasir. Metode tahli>li> ini, menurut al-Farma>wi
bila ditinjau dari coraknya dibedakan lagi menjadi: 9
9

Tafsir bi al-ma’tsur

Tafsir bi al-ra’yi

Tafsir al-shufi>.

Tafsir al-fiqhi

Tafsir al-falsafi

Tafsir al-‘ilmi

Tafsir al-adabi> al-ijtima>’i>
Ibid, 24
8
Para ulama sepakat bahwa Tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al Kari>m
termasuk kategori tafsir yang bercorak ilmiah (al-‘ilmi>). Tafsir al-‘ilmi>, adalah
penafsiran Al Qur’an yang menggunakan pendekatan istilah-istilah ilmiah dalam
rangka mengungkapkan isi kandungan Al Qur’an. Al Qur’an dimaknai tidak hanya
sebagai sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyyah
(perbuatan), tidak pula hanya disebut al-‘ulum al-diniyah wal i’tiqadiyah wal
amaliyyah, tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan yang beraneka macam dan
bilangannya.10
Disamping itu, tafsir ini termasuk pula dalam corak bi al-ra’yi. Tafsir corak bi
al-ra’yi adalah cara menafsirkan Al Qur’an dengan didasarkan ijtihad, pemikiran
mendalam dari mufassir, dengan bantuan kaidah-kaidah Bahasa Arab dan
kesusasteraannya (nahwu, sharaf, balaghah), dan teori ilmu pengetahuan yang
dikuasainya. Hal ini nampak ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan kejadian
manusia dari ‘alaq (‫ )علق‬dalam Al Qur’an Surat Al ‘Alaq ayat 2:
ِ‫َخلَ َق إ‬
‫اْلنإ َسا َن ِم إن َعلَق‬
Dalam penafsirannya, T{ant}a>wi> murni menggunakan kemampuannya sebagai ahli
biologi disamping ahli tafsir, tanpa menyebutkan satu riwayatpun yang berhubungan
dengan ‘alaq (‫)علق‬. Ini berbeda dengan bi al-ma’thur yang sangat bergantung dengan
10
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 201.
9
riwayat. Dalam artian manakala tidak ada riwayat yang mendukung, maka penafsiran
bi al-ma’thur akan mengalami persoalan tersendiri.
Dalam menafsirkan 'alaq (‫)علق‬, T{ant}a>wi memulai dengan perbandingan antara
telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada
manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang
terjadi pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang
dinamakan putih dan kuning telur. Sedang pada manusia, ada dinamakan jurtsumah
(‫)جرثومة‬, di mana jurtsumah inilah nantinya yang menjadi dasar pembentukan
manusia.
Demikian juga apa yang terjadi pada indung telur seorang wanita. Indung
telur pada wanita mempunyai ukuran minimal 1/120 qirath dan maksimal 1/20 qirath.
Sedangkan sel kuning telur ukurannya tidak lebih dari 1/700 qirath dan setetes
jurtsumah ukurannya kurang lebih 1/3000 qirath.
‫ واملح ال‬,‫ من القرياط‬۱۲ \۱ ‫ وأكربها‬,‫ من القرياط‬۱۲۱\ ۱‫ وأصغرها‬,‫)ولكن بيضة املرأة صغرية جدا‬
‫ كما يشاهد نظريها ىف‬,‫ واجلرثومة الىت أصل اْلنسان ذرة من ذلك املح‬,‫من القرياط‬۱۱٧ \۱ ‫يزيد عن‬
)‫ من القرياط‬۱۱۱۰\۱ ‫ قطرها‬,‫مح البيض‬
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika T{ant}a>wi> Jauhari>
menafsirkan kata 'alaq (‫ )علق‬tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh
10
dengan yang dipakai oleh penafsir lain yang hanya mengartikan 'alaq (‫ )علق‬dengan
segumpal darah atau darah yang membeku.
Dengan
demikian,
apabila
menggunakan
pembagian
metode
tafsir
sebagaimana yang diusulkan al-Farma>wi, tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-
Kari>m ini menggunakan metode tafsir tahli>li>. Hal itu tampak dari setiap
pembahasannya, mufassir berusaha menjelaskan secara gamblang, disertai dengan
kajian ilmiah dan tanpa mempertentangkan dengan ayat ataupun dengan pendapat
mufassirin lainnya. Kembali dalam menjelasakan kata 'alaq (‫ )علق‬tersebut, T{ant}a>wi>
memerlukan tiga halaman tersendiri. Berbeda dengan Tafsir Al Mara>ghi misalnya,
dalam menjelaskan kata 'alaq (‫ )علق‬tersebut hanya diberikan dalam beberapa baris
saja. Contoh lain adalah ketika menjelaskan penciptaan alam raya sebagaimana dalam
Qur’an Surat Al Anbiya’ ayat 30:
ِ َّ
ِ َّ ‫َن‬
َّ ‫ين َك َف ُروا أ‬
‫اُهَا ۖ َو َج َع إلنَا ِم َن الإ َم ِاء ُك َّل‬
ُ َ‫ض َكانَتَا َرتإ ًقا فَ َفتَ إقن‬
َ ‫الس َم َاوات َو إاْل إَر‬
َ ‫أ ََوََلإ يََر الذ‬
]٠٣:١٢[ ‫ن‬
َ ‫َش إيء َحي ۖ أَفَ ََل يُ إؤِمنُو‬
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan
bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan
antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?11
Menurut T{ant}a>wi>, asal mulanya tata surya ini sebagaimana teori yang telah
dikembangkan ilmuwan Eropa waktu itu, yaitu matahari berasal dari materi bola api
11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Tanjung Mas Inti, 1992), 499.
11
yang beredar berjuta-juta tahun. Kemudian bumi dan planet-planet lainnya
memisahkan diri dari matahari tersebut dan saling menjauh. Diketahui akhirnya
hanya bumi saja yang berpenghuni makhluk hidup, sedang planet-planet yang lain
hanya sebatas ditengarai saja12. Matahari, bintang, bumi dan planet-planet di jagad
raya seolah-olah diam tidak bergerak. Padahal sesungguhnya mereka itu berputar
pada porosnya (rotasi) dan beredar di dalam garis edar masing-masing. Karena
keterbatasan manusia, terlihat seolah-oleh semua benda-benda langit tadi diam.
Awal penciptaan langit dan bumi dalam ayat di atas dimulai dengan kata ‫أَ َولَ ْم‬
‫ يَ َر الَّ ِذينَ َكفَرُوا‬yang merupakan pertanyaan bagi orang-orang kafir. Hal itu dikarenakan
semasa Al Qur’an diturunkan keadaan ilmu pengetahuan pada waktu itu bagi
masyarakat kafir di Arab, bahkan Bangsa Persia dan Romawi yang sudah maju
peradabannya, semuanya belum ada yang menemukan teori tentang penciptaan alam
semesta.13
Sedangkan yang dimaksud kata ‫ َر ْتقًا‬dalam ayat tersebut diartikan sebagai yang
terkumpul bersama menjadi satu, terikat satu dengan yang lainnya sedemikian
kuatnya sehingga tidak ada rongga di antara komponen-komponennya. Bumi berasal
dari pecahan matahari, demikian pula matahari pecahan dari tatasurya yang lebih
besar di atasnya, yang mana kesemuanya itu dulu merupakan satu kesatuan yang
12
T{ant}a>wi> Jauhari>, Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz X, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 197.
13
Ibid, 198.
12
kemudian Allah pisahkan sebagaimana teori yang berkembang kemudian di Eropa.
Firman Allah tersebut merupakan mukjizat dan kebesaran Allah karena sewaktu
diturunkan ilmu tentang teori penciptaan alam raya belum diketahui Bangsa Arab
maupun umat-umat terdahulu.14
Contoh lain misalnya dalam menafsirkan ‫ ستة أيام‬pada QS Yunus ayat 3:
ِ َّ ‫إِ َّن ربَّ ُكم اللَّه الَّ ِذي خلَق‬
ِِ
‫استَ َو ٰى َعلَى الإ َع إر ِش ۖ يُ َدبِّ ُر‬
َ ‫الس َم َاوات َو إاْل إَر‬
‫ض ِِف ستَّة أَيَّام ُُثَّ إ‬
ُ ُ َ
َ َ
ِ
ِ
ِ
‫اعبُ ُدوهُ ۖ أَفَ ََل تَ َذ َّك ُرو َن‬
‫إاْل إَمَر ۖ َما ِم إن َشفيع إَِّال ِم إن بَ إعد إِ إذنِِه ۖ ٰذَل ُك ُم اللَّهُ َربُّ ُك إم فَ إ‬
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur
segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah
ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka
sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? 15
T{ant}a>wi> menjelaskan bahwa pengertian yaum (‫ )يوم‬bagi penghuni bumi adalah
perputaran matahari yang terbit dari timur sampai dengan tenggelamnya di barat
selama sehari semalam. Apabila melihat ilmu pengetahuan alam, terkuak bahwa
bumilah yang mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Dengan demikian, kata yaum
(‫ )يوم‬adalah waktu yang dibutuhkan oleh bintang untuk mengelilingi bintang lain.
Sedangkan waktu yang dibutuhkan bintang untuk mengelilingi bintang lain,
dibutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Pendapat para ahli falaq dapat
memperjelas pemahaman terhadap kata ‫ ستة أيام‬dalam ayat tersebut bukan sekedar
14
15
Ibid, 198.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 305.
13
enam hari dengan perhitungan sehari semalam, namun lebih mengarah kepada
masa/periode proses penciptaan langit dan bumi.16
Selanjutnya T{ant}a>wi> menjelaskan, selama ‫ ستة أيام‬tersebut Allah tidak hanya
menciptakan langit dan bumi saja, namun juga jagad raya beserta isinya baik bulan,
bintang, matahari, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, dan lain-lain serta mengatur
segala kehidupan di alam ini. Proses ini semuanya mencapai kesempurnaannya pada
hari keenam17.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode yang dipakai oleh
T{ant}a>wi dalam tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m adalah metode tahli>li>,
sedang corak penafsirannya adalah bercorak al-‘ilmi dan al-ra’yi.
Analisa Kritis
Telah disepakati oleh semua kalangan bahwa, penemuan-penemuan ilmiah
saat ini ada yang sudah mencapai kemapanan atas teori-teorinya, namun juga masih
ada yang belum mapan dan masih diperselisihkan akan kebenarannya. Atas dasar
belum kemapanan teori tersebut itulah maka sementara ulama tidak membenarkan
penafsiran ayat-ayatnya dengan berlandaskan teori yang masih diperdebatkan
kebenarannya tersebut. Pengalaman pahit gereja atas penafsiran Perjanjian Lama
16
T{ant}a>wi> Jauhari>, Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz VI, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 6.
17
Ibid, 6.
14
yang ternyata tidak sesuai dengan fakta ilmiah dijadikan alasan agar kejadian serupa
tidak terulangi di kalangan umat Islam.
Maka kehadiran tasfir ilmy secara umum dan Tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-
Qur’a>n al-Kari>m secara khusus, tidak semua umat Islam dapat menerima dengan
tangan terbuka. Beberapa ulama yang memberikan penolakan terhadap Tafsir Al
Jawa>hir didasari bahwa Al Qur’an diturunkan bukanlah berbicara kepada manusia
tentang problematika kosmopologis (alam raya), kebenaran empiris dan fakta ilmiah,
tetapi semata-mata Al Qur’an diturunkan ke dunia ini sebagai petunjuk dan penuntun
agar umat manusia bahagia hidupnya. Oleh karena itu, tidaklah perlu mengada-ada
pemikiran terhadap Al Qur’an dengan alasan ilmiah, dan juga tidak boleh
menundukkan dengan teori-teori ilmiah yang kemungkinan bisa berubah dengan
penemuan ataupun teori yang baru.18
Bentuk penolakan yang paling ekstrim dilakukan oleh Raja Arab Saudi Abdul
Aziz, yang waktu itu telah melarang tafsir Al Jawa>hir masuk ke wilayah Arab Saudi.
Pelarangan tersebut dibuat dengan alasan bahwa T{ant}awi telah mengkritik pedas
ulama-ulama fiqh yang telah melalaikan ayat-ayat kawniyah,19 sebagaimana yang
telah disinggung di muka. Menambahkan atas penolakan tersebut, ‘Abdul Majid
‘Abdussalam al-Muht}asib menyatakan tafsir Al Jawa>hir
18
melampaui batas dari
‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), 65
19
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Anda Utama, 1993),1189.
15
makna ayat-ayat Al Qur’an. Sementara itu secara halus Hanafi Ahmad mengkritik
bahwa T{ant}awi telah melakukan tindakan yang melampaui jauh dalam kitab
tafsirnya.20
Bersebarangan dengan penolakan di atas, sebagian ulama bersikap
kebalikannya yaitu justeru seharusnya menjadi kewajiban kita untuk menjelaskan Al
Qur’an secara ilmiah dan generasi sesudahnya yang akan membuka tabir kesalahan
kita serta merekalah nanti yang merevisinya. Sebagaimana Abbas Mahmud Al-Aqqad
dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur’aniyyah berpendapat bahwa setiap orang
diperkenankan memahami ayat-ayat kawniyah sesuai dengan kemampuan ilmu yang
dia miliki, selama dia tidak mengatasnamakan Al Qur’an bahwa pendapatnya itulah
yang paling sesuai. Menurut Al Aqqad lebih lanjut, dahulu ada ulama yang
memahami arti sab’a sama>wa>t dengan tujuh planet yang mengitari tata surya karena
kemampuan ilmu yang dimiliki waktu itu. Pemahaman yang demikian tentu
merupakan usaha ijtihad yang baik selama ia tidak mewajibkan atas dirinya bahwa
dialah yang paling benar penafsirannya, dan mewajibkan orang lain untuk
membenarkannya.21
Terlepas dari sebagian umat Islam yang pro maupun kontra terhadap tafsir Al
Jawa>hir, perlu digarisbawahi bahwa T{ant}a>wi> patut mendapat apresiasi setinggi20
J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsir Al Qur’an Moderen, terj. Hairusslaim, Syarif Hidayatullah
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), 71.
21
Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur’aniyyah, (Kairo: Dar Al-Hilal, t.t.)
16
tingginya atas usahanya untuk mendobrak kemunduran dan kejumudan umat Islam.
Dalam kata pengantar tasfir karya At-T}abari edisi Must}afa Al-Babi al-Halabi,
dikatakan “..di dalam tafsir Al Jawa>hi>r karya T{ant}a>wi> Jauhari>, kita dihimbau untuk
menentang imperialisme dan mempelajari instrumen-instrumen peradaban, budaya
dan ilmu pengetahuan, untuk memungkinkan umat Islam melawan musuh-musuh
mereka dengan persenjataan ilmiah modern mereka sendiri”.22
Komentar tersebut tidaklah berlebihan, karena motivasi dari T{ant}a>wi dalam
menulis tafsir Al Jawa>hir , dapat diambil beberapa poin penting sebagai berikut:
a. Agar umat Islam sadar untuk mengejar dan menuntut berbagai macam ilmu
dalam arti yang seluas-luasnya seperti ilmu fisika, pertanian, kedokteran,
pertambangan, matematika, ilmu ukur, ilmu falak dan ilmu modern lainnya.
b. Agar umat Islam senantiasa memikirkan keajaiban-keajaiban di alam,
mengagumi keindahan-keindahan alam semesta, rindu akan keindahan yang
ada di langit, kesempurnaan dan keindahan alam yang ada di muka bumi,
ayat-ayat penjelas dan keajaiban-keajaiban yang nyata dari ayat tadi.
c. Mendorong umat Islam untuk maju dan bangkit, lalu mengungguli bangsa
Eropa dalam bidang agraris, medis, pertambangan, matematika, asristektur,
astronomi, serta sains dan teknologi.
22
Jansen, Diskursus Tafsir Al Qur’an , 73.
17
d. Menurutnya, Al Qur’an banyak mengandung ayat-ayat yang menyuruh
umat
Islam
untuk
maju dalam bidang ilmu
pengetahuan. Dalam
perhitungannya, tidak kurang dari 750 ayat yang mendorong kepada kemajuan
ilmu pengetahuan, sedangkan ayat-ayat hukum hanya berkisar 150 ayat saja.
Penutup
Saat ini umat Islam di seluruh dunia mengalami titik nadir keterpurukan
dalam segala bidang. Peradaban dunia saat ini dipegang oleh bangsa Eropa dan
Amerika, yang dimulai sejak masa renaissance yang ditandai dengan materialisme
ilmiah Francis Bacon pada abad 16 M.
Sebelum masa kritis itu, Islam pernah mengalami the golden age selama tujuh
abad (8-15 M). Dalam masa itu, para ulama dan ilmuwan besar Islam telah lahir dan
mengantarkan peradaban dunia Islam yang memukau. Berbeda dengan konsep
materialisme ilmiah Bacon yang meniadakan pengaruh Tuhan, mereka bekerja
mengadakan eksperimen dengan sungguh-sungguh dilandasi iman kepada Allah dan
sebagai usaha untuk mendekatkan diri dengan-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam
QS Al An’am ayat 162:
ِ ِّ ‫َلِت ونُس ِكي وَإَمياي وَمََ ِاِت لِلَّ ِه ر‬
‫ي‬
َ ‫ب الإ َعالَم‬
َ ‫قُ إل إِ َّن‬
َ
ََ َ َ ُ َ ِ ‫ص‬
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.23
23
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 305.
18
Sedangkan rasa ingin tahu sebagai fitrah seorang ilmuwan, karena mereka diilhami
ayat-ayat Al Qur’an yaitu antara lain dalam QS Fushilat (41): 53, Luqman (33): 27
dan Al Haj (22): 54 sebagai berikut:
ِ ِ
ِ
ِ ‫ي ََلُم أَنَّهُ ا إْل ُّق أَوََل ي إك‬
ِِ
‫ك أَنَّهُ َعلَى ُك ِّل َش إيء‬
َ ِّ‫ف بَِرب‬
َ‫َ َإ‬
‫َسنُ ِريه إم آيَاتنَا ِِف اآلفَاق َوِِف أَنإ ُفسه إم َح َّىت يَتَبَ َّ َ إ‬
‫َش ِهيد‬
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?24
ِ ‫ض ِمن شجرة أَقإَلم والإبحر ََيدُّه ِمن ب ع ِدهِ سب عةُ أ إَْبر ما نَِف َد‬
ِ
‫إ‬
ُ ‫ت َكل َما‬
َ‫ت اللَّه إِ َّن اللَّه‬
َ ُ َ ‫َ َ إ ُ ُ ُ إ َ إ َإ‬
‫َولَ إو أَََّّنَا ِِف إ‬
َ َ َ ‫اْلر ِ إ‬
‫َع ِزيز َح ِكيم‬
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak
akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.25
ِ َّ ِ َّ ِ
ِ ِ َ ِّ‫ولِي علَم الَّ ِذين أُوتُوا الإعِإلم أَنَّه ا إْل ُّق ِمن رب‬
‫ين َآمنُوا‬
َ ِ‫ك فَيُ إؤمنُوا بِه فَتُ إخب‬
َ‫َ ُ َ إ‬
َ ‫ت لَهُ قُلُوبُ ُه إم َوإ َّن اللهَ ََلَاد الذ‬
َ َ ‫َ َإ‬
‫إِ ََل ِصَراط ُم إستَ ِقيم‬
Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran
itulah yang hak (benar) dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati
mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi
orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.26
24
Ibid.,781.
Ibid., 656.
26
Ibid., 520.
25
19
Ayat-ayat tersebut di ataslah yang mendorong aktifitas keilmiahan ilmuwanilmuwan Islam, sehingga terbentuklah peradaban dunia yang mengagumkan. Fakta
sejarah yang demikian itulah yang kemudian menggugah dan mengusik hati T{ant}a>wi>
Jauhari untuk berbuat sesuatu. Dia tidak rela umat Islam yang mempunyai Al Qur’an,
yang dahulu pernah memimpin dunia dengan peradaban Islam, kemudian berbalik
seratus delapan puluh derajad berada di lembah keterpurukan. Menurutnya ada yang
salah dari umat Islam dalam memperlakukan dan memahami kitab suci Al Qur’an.
Untuk itulah, usaha ijtihadnya menulis tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m
dalam rangka untuk meraih kembali the golden age tersebut.
20
Bibliografi
‘Aridl (al), ‘Ali Hasan., Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1994.
Aqqad (al), Abbas Mahmud., Al-Falsafah Al-Qur’aniyyah, Kairo: Dar Al-Hilal, t.t.
Aswadi, Menggugat Inkonsistensi antara Teori dan Aplikasi Metode Tafsir Tematik,
Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Tanjung Mas Inti,
1992.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Farma>wi> (al) ‘Abd al-Hay., Muqadimah fi> al-Tafsi>r al-Mawdhu>’i>, Kairo: AlHadha>rah al-‘Arabiyah, 1977.
Fuadi, Imam,. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Yogyakarta: Teras,
2012.
Izzan, Ahmad., Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009.
Jansen, J. J. G., Diskursus Tafsir Al Qur’an Moderen, terj. Hairusslaim, Syarif
Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Jauhari>, T{ant}a>wi., al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Moderen, terj. Muhammadiyah
Ja’far, Surabaya: 1984.
Jauhari>, T{ant}a>wi>., Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz I, Beirut: Da>r alFikr, 1991.
Khan, Muhammad Mojlum., Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, terj.
Wiyanto Suud, Khairul Iman, Jakarta: Mizan, 2012.
Nasution, Harun., Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid III, Jakarta: Anda Utama,
1993.
Ru>mi>y (al), Fahd., Buhuts fi> usu>l al-Tafsi>r wa mana>hijih, T.t: Maktabah al-Tawbah,
1419 H.
Shihab, M. Quraish., Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013.
21
Suma, Muhammad Amin., Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Tantawy Jauhari : Motivator Umat dalam Penguasaan
http://rezaervani.com/rezapedia/tampilkan.php?index
=tantawyjauhari&huruf=t, di akses 14 Oktober
22
Ilmu,
.
Download