Tafsir Saintifik Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Karya Syaikh T{ant}a>wi> Jauhari Disusun oleh: Hasan Ikhwani Program Doktor Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Program Pascasarjana UINSA, Surabaya. Pendahuluan Dalam sejarah, umat Islam pernah memimpin peradaban dunia. Di Baghdad pada abad ke 8 M, yaitu pada zaman Khalifah Abasiyah, Islam telah mewarnai dalam aspek kehidupan sosial, politik, budaya, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Demikian pula di masa kedaulatan Bani Umayyah di Spanyol pada abad yang sama. Bekas-bekas peninggalan kejayaan Islam dapat dilihat seperti misalnya bekas Istana Al Hambra dan Gereja Cordoba. Gereja Cordoba dahulunya adalah sebuah masjid, setelah pengusiran umat Islam oleh orang-orang Kristen Eropa, masjid tersebut dirubah fungsinya menjadi gereja. Kedua bangunan tersebut adalah tinggalan umat Islam di bumi Spanyol, yang dapat dilihat kemegahannya sebagai bukti otentik peradaban Islam di dunia sampai hari ini. Kemajuan pesat peradaban Islam ditandai dengan perkembangan sains yang pesat pula. Penguasa negara waktu itu memberikan ruang yang cukup bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keilmiahan. Di zaman khalifah Harun Al Rasyid misalnya, di Baghdad dibangun Dar Al Hikmah, suatu tempat yang digunakan 1 sebagai pusat kegiatan ilmiah dan perpustakaan negara terbesar di dunia waktu itu. Dari Dar Al Hikmah, kegiatan penelitian dan penerjemahan buku-buku dari Yunani kuno, Persia, India, dan Romawi ke Bahasa Arab digalakkan. Sedangkan di Cordoba, Spanyol, dilaporkan terdapat 70 perpustakaan yang berisi kurang lebih 400.000 jilid.1 Peradaban Islam telah mewarnai dunia pada zaman Dinasti Umayah dan Dinasti Abasiyah yang berlangsung mulai abad 8 sampai dengan abad 15. Dalam kurun waktu tersebut, tradisi ilmiah didukung sepenuhnya oleh negara sehingga lahirlah para pemikir Islam dan ilmuwan besar. Dapat disebutkan antara lain Ibnu Sina (ahli kedokteran), Al Khawarizmi (ahli matematika), Al Haitam (ahli optik), Al Biruni (ahli fisika dan astronomi), Jabir Al Haiyan (ahli kimia), Ibnu Rusyd (ahli filsafat), Al Kindi (ahli filsafat), Ibnu Khaldun (ahli sejarah dan sosiologi), dsb. Karya-karya ilmuwan Islam tersebut sebagian masih dapat dijumpai di museum dengan terjemahan ke berbagai bahasa. Seperti misalnya karya Ibnu Sina Al Adawiyah Al Qalbi (Risalah Obat-Obatan untuk Penyakit Jantung), dapat dijumpai di Perpustakaan Jamia Millia, New Delhi India. Karya Ibnu Sina yang lain, Al Qanun fii At-Thib, telah diterjemahkan berkali-kali ke dalam Bahasa Yunani, Latin, Ibrani dan Inggris. Buku tersebut di Eropa terkenal dengan nama “Canon”, dan sampai dengan akhir abad 18 M buku tersebut masih dipakai sebagai buku standar kedokteran di 1 Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), 3. 2 universitas-universitas terkemuka di Eropa seperti di Paris, Montpellier, dan Loavain dengan penerbitan ulang lebih dari tiga puluh lima kali.2 Kalau ditilik peradaban Islam yang pernah berjaya di masa Bani Umayah dan Bani Abasiyah abad 8-15 M tersebut, aktifitas ilmuwan muslim dalam pengkajian ilmiah terhadap rahasia alam didasari oleh kebenaran wahyu yang terdapat dalam Al Qur’an. Sementara itu Barat dalam pengkajian ilmiah berusaha meniadakan pengaruh Tuhan sebagaimana yang diusulkan Francis Bacon pada abad 16 M. Materialisme Ilmiah yang diusulkan Bacon tadi menjadi landasan suburnya faham sekularisme. Dampak dari sekularisme tadi selanjutnya adalah, kemajuan teknologi yang dicapai di satu sisi, namun kerusakan akhlak dan dekadensi moral di sisi lain. Sekularisme Ilmiah Bacon ini pulalah yang saat ini dijadikan rujukan akademis di seluruh dunia, termasuk umat Islam. Adalah Syaikh T{ant}a>wi> Jauhari>, seorang ulama dan sekaligus ilmuwan merasa terpanggil untuk membangunkan umat Islam atas kemunduran di segala bidang. Berangkat dari keprihatinan atas keterpurukan umat Islam di berbagai bidang, beliau berusaha mendobrak dan membangunkan umat Islam untuk bangkit kembali sebagaimana kejayaan Islam yang pernah terukir dengan tinta emas (the golden age). Melalui tafsirnya Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m beliau mengkritik dan 2 Muhammad Mojlum Khan, Muslim Paling Berpengaruh Sepnjang Sejarah, terj. Wiyanto Suud, Khairul Iman (Jakarta: Mizan, 2012), 198 3 menggugat umat Islam yang energinya habis hanya berkutat pada pengkajian masalah-masalah fiqh. Padahal menurutnya, ayat-ayat yang berkaitan dengan fiqh tidak lebih dari 150 ayat, sedang ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan berjumlah lebih dari 750 ayat.3 Menurutnya, seharusnya umat Islam memberikan perhatian lebih terhadap ilmu pengetahuan. Saat ini umat Islam kurang, -bahkan tidak- memperhatikan ayat-ayat kawniyah ini. Namun ironisnya, negara-negara Barat justeru yang giat melakukan kajian dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Sehingga peradaban dunia saat ini beralih ada di tangan mereka. Tafsir Al Jawa>hir adalah karya besar Syaikh T{ant}a>wi> Jauhari>. Umat Islam seharusnya menyambut tafsir tersebut sebagai momentum untuk bangkit dari keterpurukan hegemoni Barat. Kajian di pesantren dan PT Islam, seharusnya sudah mengarah pada sciences based the Holy Qur’an, bukan mengadopsi materialisme ilmiah Francis Bacon. Demikian pula pengajaran-pengajaran sains di sekolah-sekolah Islam mulai SD sampai dengan SMA, materi dan kurikulum pembelajaran harus direkonstruksi lagi berdasarkan wahyu Al Qur’an. Biografi T{ant}a>wi> Jauhari> dilahirkan di suatu desa wilayah al-Ghar, Mesir pada tahun 1870 M. Beliau berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun demikian, 3 T{ant}a>wi> Jauhari>, Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz I, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 3. 4 ayahnya bersikeras agar T{ant}a>wi tidak menjadi petani seperti orangtuanya, dan berharap kelak menjadi orang terpelajar yang berpengaruh di kemudian hari. Maka setelah menamatkan sekolah menengah di desanya, dikirimlah dia ke ibu kota Kairo untuk studi lanjut. Pendidikan tinggi dari T{ant}a>wi> Jauhari> dimulai dari studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Di Al Azhar inilah dia bertemu dengan sang tokoh pembaharu Syaikh Muhammad Abduh yang sekaligus sebagai gurunya dalam Ilmu Tafsir. Pemikiran-pemikiran pembaharuan dari dosennya inilah yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran T{ant}a>wi> di kemudian hari.4 Setelah itu dia melanjutkan belajarnya ke Universitas Darul Ulum dan mampu menyelesaikan pendidikan di sana tahun 1893. Setelah selesai menamatkan pendidikan di Darul Ulum, beliau melanjutkan karir dengan menjadi pengajar di almamaternya tersebut. Selanjutnya tahun 1912 T{ant}a>wi> diangkat menjadi dosen di Al-Jamiah Al-Misyriyah pada mata kuliah Falsafah Islam.5 Sebagai seorang cendikiawan, T{ant}a>wi> tidak terpaku hanya belajar masalah tafsir. Namun dia juga memperkaya diri dengan pengetahuan umum melalui seminarseminar ilmiah, membaca buku, surat kabar dan majalah. Ilmu alam, khususnya fisika dan biologi, adalah ilmu yang sangat dia senangi selain ilmu tafsir. Dengan mempelajari ilmu alam, T{ant}a>wi> berusaha menepis paradigma bahwa Islam 4 Tantawy Jauhari : Motivator Umat dalam Penguasaan Ilmu, . http://rezaervani.com/rezapedia/tampilkan.php?index =tantawyjauhari&huruf=t, di akses 14 Oktober 5 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), 307 5 menentang ilmu dan teknologi modern. Dia berusaha mengkompromikan pemikiran Islam dengan perkembangan ilmu alam dan teknologi. Tiga hal yang menjadi citacita dan gagasan dari T{ant}a>wi>: pertama, obsesinya untuk memajukan daya pikir umat Islam. Umat Islam harus meninggalkan bid’ah dan taklid, karena kedua hal tersebut akan menyeret ke dalam keterbelakangan dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Umat harus sadar pentingnya menguasai ilmu-ilmu modern. Kedua, pentingnya penguasan ilmu bahasa -terutama Bahasa Inggris- dalam menguasai idiom-idiom modern. Menurutnya, bahasa adalah kunci untuk menguasai dan memahami berbagai ilmu pengetahuan. Ketiga, pentingnya pengkajian Al Qur’an sebagai satu-satunya kitab suci yang mendorong pengembangan ilmu. Dia berkeyakinan bahwa Al Qur’an menganjurkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu dalam arti yang seluas-luasnya.6 Di tahun 1925, T{ant}a>wi> Jauhari> mengarang sebuah buku berjudul Al Qur’a>n wa al-‘Ulumul al-‘As{riyyah. Di dalam buku tersebut, dia menyatakan bahwa umat yang terbaik manakala mereka yang maju dan berilmu. Umat Islam tidak boleh menjadikan Al Qur’an sebatas kitab suci yang diangkat di kepala dan dibaca semata- 6 Ibid, 307. 6 mata sebagai ibadah kepada Allah, tetapi harus berusaha memahami isi dan mengamalkan segala isi dan tujuan yang ada di dalamnya.7 Buku-buku karangan T{ant}a>wi> Jauhari> selain Al Qur’a>n wa al-‘Ulum al- ‘As{riyyah sangatlah banyak, dimana karya-karyanya tidak kurang dari 30 judul. Diantaranya adalah: Miza>n al-Jawa>hir fi ‘Aja>ibi al-Kawni al-Bah{iir, Jawa>hir al- ‘Ulu>m, Nizam al-‘Alam wa al-‘Ulu>m, Jama>l al-‘a>lam, dan sebagainya. Dari sekian banyak karyanya, karya yang sangat monumental adalah kitab tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m yang terdiri dari 26 juz. Kitab tafsir ini sangatlah unik dan berbeda bila dibandingkan dengan kebiasaan kitab-kitab tafsir lainnya. Dia melengkapi kitab tafsirnya dengan gambar tumbuh-tumbuhan, hewan, tabel-tabel ilmiah dan sebagainya sebagai upaya untuk menjelaskan penafsirannya kepada pembaca dengan fakta-fakta empiris. Metode dan Contoh Penafsiran Menurut al-Farma>wi metode penafsiran al-Qur’an dibagi menjadi empat, yaitu metode tahli>li>, ijma>li>, muqa>ran, dan mawdhu>’i>. 8 Metode tahli>li>, adalah metode tafsir analisa, dimana mufassir berusaha menafsirkan beberapa ayat Al Qur’an sesuai susunan bacaannya, dan tertib susunan seperti di dalam mush}a>f, kemudian baru 7 T{ant}a>wi> Jauhari>, al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Moderen , terj. Muhammadiyah Ja’far, (Surabaya: 1984), 182-183. 8 ‘Abd al-Hay al-Farma>wi>, Muqaddimah fi al-Tafsi>r al-Mawdhu>’i> (Kairo: Al-Hadha>rah al-‘Arabiyah, 1977), 23. 7 menafsirkan dan menganalisisnya secara terperinci. Metode ijma>li>, adalah metode pemaknaan global, dimana mufassir berusaha manafsirkan Al Qur’an dengan cara mengemukakan makna secara global, ringkas dari awal sampai akhir tanpa perbandingan maupun penetapan judul. Metode muqa>ran, adalah metode perbandingan, dimana mufassir berusaha menjelaskan dengan membandingkan ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an, ayat Al Qur’an dengan hadis, dan membandingkan dengan mufassir lainnya. Metode mawdhu>’i>, adalah metode tafsir tematik, dimana mufassir berusaha menghimpun semua ayat-ayat Al Qur’an dalam berbagai surah yang mempunyai permasalahan tertentu yang dianggap sebagai suatu tema sentral. Dari empat tersebut metode tersebut, metode tahli>li> adalah metode yang paling tua dan banyak dipakai para mufasir. Metode tahli>li> ini, menurut al-Farma>wi bila ditinjau dari coraknya dibedakan lagi menjadi: 9 9 Tafsir bi al-ma’tsur Tafsir bi al-ra’yi Tafsir al-shufi>. Tafsir al-fiqhi Tafsir al-falsafi Tafsir al-‘ilmi Tafsir al-adabi> al-ijtima>’i> Ibid, 24 8 Para ulama sepakat bahwa Tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al Kari>m termasuk kategori tafsir yang bercorak ilmiah (al-‘ilmi>). Tafsir al-‘ilmi>, adalah penafsiran Al Qur’an yang menggunakan pendekatan istilah-istilah ilmiah dalam rangka mengungkapkan isi kandungan Al Qur’an. Al Qur’an dimaknai tidak hanya sebagai sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyyah (perbuatan), tidak pula hanya disebut al-‘ulum al-diniyah wal i’tiqadiyah wal amaliyyah, tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan yang beraneka macam dan bilangannya.10 Disamping itu, tafsir ini termasuk pula dalam corak bi al-ra’yi. Tafsir corak bi al-ra’yi adalah cara menafsirkan Al Qur’an dengan didasarkan ijtihad, pemikiran mendalam dari mufassir, dengan bantuan kaidah-kaidah Bahasa Arab dan kesusasteraannya (nahwu, sharaf, balaghah), dan teori ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Hal ini nampak ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan kejadian manusia dari ‘alaq ( )علقdalam Al Qur’an Surat Al ‘Alaq ayat 2: َِخلَ َق إ اْلنإ َسا َن ِم إن َعلَق Dalam penafsirannya, T{ant}a>wi> murni menggunakan kemampuannya sebagai ahli biologi disamping ahli tafsir, tanpa menyebutkan satu riwayatpun yang berhubungan dengan ‘alaq ()علق. Ini berbeda dengan bi al-ma’thur yang sangat bergantung dengan 10 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 201. 9 riwayat. Dalam artian manakala tidak ada riwayat yang mendukung, maka penafsiran bi al-ma’thur akan mengalami persoalan tersendiri. Dalam menafsirkan 'alaq ()علق, T{ant}a>wi memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang terjadi pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Sedang pada manusia, ada dinamakan jurtsumah ()جرثومة, di mana jurtsumah inilah nantinya yang menjadi dasar pembentukan manusia. Demikian juga apa yang terjadi pada indung telur seorang wanita. Indung telur pada wanita mempunyai ukuran minimal 1/120 qirath dan maksimal 1/20 qirath. Sedangkan sel kuning telur ukurannya tidak lebih dari 1/700 qirath dan setetes jurtsumah ukurannya kurang lebih 1/3000 qirath. واملح ال, من القرياط۱۲ \۱ وأكربها, من القرياط۱۲۱\ ۱ وأصغرها,)ولكن بيضة املرأة صغرية جدا كما يشاهد نظريها ىف, واجلرثومة الىت أصل اْلنسان ذرة من ذلك املح,من القرياط۱۱٧ \۱ يزيد عن ) من القرياط۱۱۱۰\۱ قطرها,مح البيض Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika T{ant}a>wi> Jauhari> menafsirkan kata 'alaq ( )علقtersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh 10 dengan yang dipakai oleh penafsir lain yang hanya mengartikan 'alaq ( )علقdengan segumpal darah atau darah yang membeku. Dengan demikian, apabila menggunakan pembagian metode tafsir sebagaimana yang diusulkan al-Farma>wi, tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al- Kari>m ini menggunakan metode tafsir tahli>li>. Hal itu tampak dari setiap pembahasannya, mufassir berusaha menjelaskan secara gamblang, disertai dengan kajian ilmiah dan tanpa mempertentangkan dengan ayat ataupun dengan pendapat mufassirin lainnya. Kembali dalam menjelasakan kata 'alaq ( )علقtersebut, T{ant}a>wi> memerlukan tiga halaman tersendiri. Berbeda dengan Tafsir Al Mara>ghi misalnya, dalam menjelaskan kata 'alaq ( )علقtersebut hanya diberikan dalam beberapa baris saja. Contoh lain adalah ketika menjelaskan penciptaan alam raya sebagaimana dalam Qur’an Surat Al Anbiya’ ayat 30: ِ َّ ِ َّ َن َّ ين َك َف ُروا أ اُهَا ۖ َو َج َع إلنَا ِم َن الإ َم ِاء ُك َّل ُ َض َكانَتَا َرتإ ًقا فَ َفتَ إقن َ الس َم َاوات َو إاْل إَر َ أ ََوََلإ يََر الذ ]٠٣:١٢[ ن َ َش إيء َحي ۖ أَفَ ََل يُ إؤِمنُو Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?11 Menurut T{ant}a>wi>, asal mulanya tata surya ini sebagaimana teori yang telah dikembangkan ilmuwan Eropa waktu itu, yaitu matahari berasal dari materi bola api 11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Tanjung Mas Inti, 1992), 499. 11 yang beredar berjuta-juta tahun. Kemudian bumi dan planet-planet lainnya memisahkan diri dari matahari tersebut dan saling menjauh. Diketahui akhirnya hanya bumi saja yang berpenghuni makhluk hidup, sedang planet-planet yang lain hanya sebatas ditengarai saja12. Matahari, bintang, bumi dan planet-planet di jagad raya seolah-olah diam tidak bergerak. Padahal sesungguhnya mereka itu berputar pada porosnya (rotasi) dan beredar di dalam garis edar masing-masing. Karena keterbatasan manusia, terlihat seolah-oleh semua benda-benda langit tadi diam. Awal penciptaan langit dan bumi dalam ayat di atas dimulai dengan kata أَ َولَ ْم يَ َر الَّ ِذينَ َكفَرُواyang merupakan pertanyaan bagi orang-orang kafir. Hal itu dikarenakan semasa Al Qur’an diturunkan keadaan ilmu pengetahuan pada waktu itu bagi masyarakat kafir di Arab, bahkan Bangsa Persia dan Romawi yang sudah maju peradabannya, semuanya belum ada yang menemukan teori tentang penciptaan alam semesta.13 Sedangkan yang dimaksud kata َر ْتقًاdalam ayat tersebut diartikan sebagai yang terkumpul bersama menjadi satu, terikat satu dengan yang lainnya sedemikian kuatnya sehingga tidak ada rongga di antara komponen-komponennya. Bumi berasal dari pecahan matahari, demikian pula matahari pecahan dari tatasurya yang lebih besar di atasnya, yang mana kesemuanya itu dulu merupakan satu kesatuan yang 12 T{ant}a>wi> Jauhari>, Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz X, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 197. 13 Ibid, 198. 12 kemudian Allah pisahkan sebagaimana teori yang berkembang kemudian di Eropa. Firman Allah tersebut merupakan mukjizat dan kebesaran Allah karena sewaktu diturunkan ilmu tentang teori penciptaan alam raya belum diketahui Bangsa Arab maupun umat-umat terdahulu.14 Contoh lain misalnya dalam menafsirkan ستة أيامpada QS Yunus ayat 3: ِ َّ إِ َّن ربَّ ُكم اللَّه الَّ ِذي خلَق ِِ استَ َو ٰى َعلَى الإ َع إر ِش ۖ يُ َدبِّ ُر َ الس َم َاوات َو إاْل إَر ض ِِف ستَّة أَيَّام ُُثَّ إ ُ ُ َ َ َ ِ ِ ِ اعبُ ُدوهُ ۖ أَفَ ََل تَ َذ َّك ُرو َن إاْل إَمَر ۖ َما ِم إن َشفيع إَِّال ِم إن بَ إعد إِ إذنِِه ۖ ٰذَل ُك ُم اللَّهُ َربُّ ُك إم فَ إ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? 15 T{ant}a>wi> menjelaskan bahwa pengertian yaum ( )يومbagi penghuni bumi adalah perputaran matahari yang terbit dari timur sampai dengan tenggelamnya di barat selama sehari semalam. Apabila melihat ilmu pengetahuan alam, terkuak bahwa bumilah yang mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Dengan demikian, kata yaum ( )يومadalah waktu yang dibutuhkan oleh bintang untuk mengelilingi bintang lain. Sedangkan waktu yang dibutuhkan bintang untuk mengelilingi bintang lain, dibutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Pendapat para ahli falaq dapat memperjelas pemahaman terhadap kata ستة أيامdalam ayat tersebut bukan sekedar 14 15 Ibid, 198. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 305. 13 enam hari dengan perhitungan sehari semalam, namun lebih mengarah kepada masa/periode proses penciptaan langit dan bumi.16 Selanjutnya T{ant}a>wi> menjelaskan, selama ستة أيامtersebut Allah tidak hanya menciptakan langit dan bumi saja, namun juga jagad raya beserta isinya baik bulan, bintang, matahari, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, dan lain-lain serta mengatur segala kehidupan di alam ini. Proses ini semuanya mencapai kesempurnaannya pada hari keenam17. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode yang dipakai oleh T{ant}a>wi dalam tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m adalah metode tahli>li>, sedang corak penafsirannya adalah bercorak al-‘ilmi dan al-ra’yi. Analisa Kritis Telah disepakati oleh semua kalangan bahwa, penemuan-penemuan ilmiah saat ini ada yang sudah mencapai kemapanan atas teori-teorinya, namun juga masih ada yang belum mapan dan masih diperselisihkan akan kebenarannya. Atas dasar belum kemapanan teori tersebut itulah maka sementara ulama tidak membenarkan penafsiran ayat-ayatnya dengan berlandaskan teori yang masih diperdebatkan kebenarannya tersebut. Pengalaman pahit gereja atas penafsiran Perjanjian Lama 16 T{ant}a>wi> Jauhari>, Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz VI, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), 6. 17 Ibid, 6. 14 yang ternyata tidak sesuai dengan fakta ilmiah dijadikan alasan agar kejadian serupa tidak terulangi di kalangan umat Islam. Maka kehadiran tasfir ilmy secara umum dan Tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al- Qur’a>n al-Kari>m secara khusus, tidak semua umat Islam dapat menerima dengan tangan terbuka. Beberapa ulama yang memberikan penolakan terhadap Tafsir Al Jawa>hir didasari bahwa Al Qur’an diturunkan bukanlah berbicara kepada manusia tentang problematika kosmopologis (alam raya), kebenaran empiris dan fakta ilmiah, tetapi semata-mata Al Qur’an diturunkan ke dunia ini sebagai petunjuk dan penuntun agar umat manusia bahagia hidupnya. Oleh karena itu, tidaklah perlu mengada-ada pemikiran terhadap Al Qur’an dengan alasan ilmiah, dan juga tidak boleh menundukkan dengan teori-teori ilmiah yang kemungkinan bisa berubah dengan penemuan ataupun teori yang baru.18 Bentuk penolakan yang paling ekstrim dilakukan oleh Raja Arab Saudi Abdul Aziz, yang waktu itu telah melarang tafsir Al Jawa>hir masuk ke wilayah Arab Saudi. Pelarangan tersebut dibuat dengan alasan bahwa T{ant}awi telah mengkritik pedas ulama-ulama fiqh yang telah melalaikan ayat-ayat kawniyah,19 sebagaimana yang telah disinggung di muka. Menambahkan atas penolakan tersebut, ‘Abdul Majid ‘Abdussalam al-Muht}asib menyatakan tafsir Al Jawa>hir 18 melampaui batas dari ‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 65 19 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Anda Utama, 1993),1189. 15 makna ayat-ayat Al Qur’an. Sementara itu secara halus Hanafi Ahmad mengkritik bahwa T{ant}awi telah melakukan tindakan yang melampaui jauh dalam kitab tafsirnya.20 Bersebarangan dengan penolakan di atas, sebagian ulama bersikap kebalikannya yaitu justeru seharusnya menjadi kewajiban kita untuk menjelaskan Al Qur’an secara ilmiah dan generasi sesudahnya yang akan membuka tabir kesalahan kita serta merekalah nanti yang merevisinya. Sebagaimana Abbas Mahmud Al-Aqqad dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur’aniyyah berpendapat bahwa setiap orang diperkenankan memahami ayat-ayat kawniyah sesuai dengan kemampuan ilmu yang dia miliki, selama dia tidak mengatasnamakan Al Qur’an bahwa pendapatnya itulah yang paling sesuai. Menurut Al Aqqad lebih lanjut, dahulu ada ulama yang memahami arti sab’a sama>wa>t dengan tujuh planet yang mengitari tata surya karena kemampuan ilmu yang dimiliki waktu itu. Pemahaman yang demikian tentu merupakan usaha ijtihad yang baik selama ia tidak mewajibkan atas dirinya bahwa dialah yang paling benar penafsirannya, dan mewajibkan orang lain untuk membenarkannya.21 Terlepas dari sebagian umat Islam yang pro maupun kontra terhadap tafsir Al Jawa>hir, perlu digarisbawahi bahwa T{ant}a>wi> patut mendapat apresiasi setinggi20 J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsir Al Qur’an Moderen, terj. Hairusslaim, Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), 71. 21 Abbas Mahmud Al-Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur’aniyyah, (Kairo: Dar Al-Hilal, t.t.) 16 tingginya atas usahanya untuk mendobrak kemunduran dan kejumudan umat Islam. Dalam kata pengantar tasfir karya At-T}abari edisi Must}afa Al-Babi al-Halabi, dikatakan “..di dalam tafsir Al Jawa>hi>r karya T{ant}a>wi> Jauhari>, kita dihimbau untuk menentang imperialisme dan mempelajari instrumen-instrumen peradaban, budaya dan ilmu pengetahuan, untuk memungkinkan umat Islam melawan musuh-musuh mereka dengan persenjataan ilmiah modern mereka sendiri”.22 Komentar tersebut tidaklah berlebihan, karena motivasi dari T{ant}a>wi dalam menulis tafsir Al Jawa>hir , dapat diambil beberapa poin penting sebagai berikut: a. Agar umat Islam sadar untuk mengejar dan menuntut berbagai macam ilmu dalam arti yang seluas-luasnya seperti ilmu fisika, pertanian, kedokteran, pertambangan, matematika, ilmu ukur, ilmu falak dan ilmu modern lainnya. b. Agar umat Islam senantiasa memikirkan keajaiban-keajaiban di alam, mengagumi keindahan-keindahan alam semesta, rindu akan keindahan yang ada di langit, kesempurnaan dan keindahan alam yang ada di muka bumi, ayat-ayat penjelas dan keajaiban-keajaiban yang nyata dari ayat tadi. c. Mendorong umat Islam untuk maju dan bangkit, lalu mengungguli bangsa Eropa dalam bidang agraris, medis, pertambangan, matematika, asristektur, astronomi, serta sains dan teknologi. 22 Jansen, Diskursus Tafsir Al Qur’an , 73. 17 d. Menurutnya, Al Qur’an banyak mengandung ayat-ayat yang menyuruh umat Islam untuk maju dalam bidang ilmu pengetahuan. Dalam perhitungannya, tidak kurang dari 750 ayat yang mendorong kepada kemajuan ilmu pengetahuan, sedangkan ayat-ayat hukum hanya berkisar 150 ayat saja. Penutup Saat ini umat Islam di seluruh dunia mengalami titik nadir keterpurukan dalam segala bidang. Peradaban dunia saat ini dipegang oleh bangsa Eropa dan Amerika, yang dimulai sejak masa renaissance yang ditandai dengan materialisme ilmiah Francis Bacon pada abad 16 M. Sebelum masa kritis itu, Islam pernah mengalami the golden age selama tujuh abad (8-15 M). Dalam masa itu, para ulama dan ilmuwan besar Islam telah lahir dan mengantarkan peradaban dunia Islam yang memukau. Berbeda dengan konsep materialisme ilmiah Bacon yang meniadakan pengaruh Tuhan, mereka bekerja mengadakan eksperimen dengan sungguh-sungguh dilandasi iman kepada Allah dan sebagai usaha untuk mendekatkan diri dengan-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al An’am ayat 162: ِ ِّ َلِت ونُس ِكي وَإَمياي وَمََ ِاِت لِلَّ ِه ر ي َ ب الإ َعالَم َ قُ إل إِ َّن َ ََ َ َ ُ َ ِ ص Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.23 23 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 305. 18 Sedangkan rasa ingin tahu sebagai fitrah seorang ilmuwan, karena mereka diilhami ayat-ayat Al Qur’an yaitu antara lain dalam QS Fushilat (41): 53, Luqman (33): 27 dan Al Haj (22): 54 sebagai berikut: ِ ِ ِ ِ ي ََلُم أَنَّهُ ا إْل ُّق أَوََل ي إك ِِ ك أَنَّهُ َعلَى ُك ِّل َش إيء َ ِّف بَِرب ََ َإ َسنُ ِريه إم آيَاتنَا ِِف اآلفَاق َوِِف أَنإ ُفسه إم َح َّىت يَتَبَ َّ َ إ َش ِهيد Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?24 ِ ض ِمن شجرة أَقإَلم والإبحر ََيدُّه ِمن ب ع ِدهِ سب عةُ أ إَْبر ما نَِف َد ِ إ ُ ت َكل َما َت اللَّه إِ َّن اللَّه َ ُ َ َ َ إ ُ ُ ُ إ َ إ َإ َولَ إو أَََّّنَا ِِف إ َ َ َ اْلر ِ إ َع ِزيز َح ِكيم Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.25 ِ َّ ِ َّ ِ ِ ِ َ ِّولِي علَم الَّ ِذين أُوتُوا الإعِإلم أَنَّه ا إْل ُّق ِمن رب ين َآمنُوا َ ِك فَيُ إؤمنُوا بِه فَتُ إخب ََ ُ َ إ َ ت لَهُ قُلُوبُ ُه إم َوإ َّن اللهَ ََلَاد الذ َ َ َ َإ إِ ََل ِصَراط ُم إستَ ِقيم Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran itulah yang hak (benar) dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.26 24 Ibid.,781. Ibid., 656. 26 Ibid., 520. 25 19 Ayat-ayat tersebut di ataslah yang mendorong aktifitas keilmiahan ilmuwanilmuwan Islam, sehingga terbentuklah peradaban dunia yang mengagumkan. Fakta sejarah yang demikian itulah yang kemudian menggugah dan mengusik hati T{ant}a>wi> Jauhari untuk berbuat sesuatu. Dia tidak rela umat Islam yang mempunyai Al Qur’an, yang dahulu pernah memimpin dunia dengan peradaban Islam, kemudian berbalik seratus delapan puluh derajad berada di lembah keterpurukan. Menurutnya ada yang salah dari umat Islam dalam memperlakukan dan memahami kitab suci Al Qur’an. Untuk itulah, usaha ijtihadnya menulis tafsir Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m dalam rangka untuk meraih kembali the golden age tersebut. 20 Bibliografi ‘Aridl (al), ‘Ali Hasan., Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Aqqad (al), Abbas Mahmud., Al-Falsafah Al-Qur’aniyyah, Kairo: Dar Al-Hilal, t.t. Aswadi, Menggugat Inkonsistensi antara Teori dan Aplikasi Metode Tafsir Tematik, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Tanjung Mas Inti, 1992. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Farma>wi> (al) ‘Abd al-Hay., Muqadimah fi> al-Tafsi>r al-Mawdhu>’i>, Kairo: AlHadha>rah al-‘Arabiyah, 1977. Fuadi, Imam,. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Yogyakarta: Teras, 2012. Izzan, Ahmad., Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009. Jansen, J. J. G., Diskursus Tafsir Al Qur’an Moderen, terj. Hairusslaim, Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997. Jauhari>, T{ant}a>wi., al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Moderen, terj. Muhammadiyah Ja’far, Surabaya: 1984. Jauhari>, T{ant}a>wi>., Al Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Juz I, Beirut: Da>r alFikr, 1991. Khan, Muhammad Mojlum., Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, terj. Wiyanto Suud, Khairul Iman, Jakarta: Mizan, 2012. Nasution, Harun., Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid III, Jakarta: Anda Utama, 1993. Ru>mi>y (al), Fahd., Buhuts fi> usu>l al-Tafsi>r wa mana>hijih, T.t: Maktabah al-Tawbah, 1419 H. Shihab, M. Quraish., Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013. 21 Suma, Muhammad Amin., Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Tantawy Jauhari : Motivator Umat dalam Penguasaan http://rezaervani.com/rezapedia/tampilkan.php?index =tantawyjauhari&huruf=t, di akses 14 Oktober 22 Ilmu, .