Protein Bioaktif Asal Kultur Akar Transgenik Blustru

advertisement
LI. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tanaman Blustru (Luffa qlindrice (L.) Roem)
1.1. Sejarah
Tanarnan blustru yang dikenal dengan nama ilmiah Luffa qiindrica (L.)
Roem, termasuk dalarn familia Cucurbitaceae. Genus tanaman blustru ini terdiri
dari tujuh species (Jansen et al., 1994). Blustru liar ditemukan di Burma, Filipina
dan selanjutnya ke arah timur laut seperti Australia dan Tahti. Tidak diketahui
dimana pertarna kali blustru di budidayakan, tetapi tanarnan ini tersebar luas di
daerah tropis.
Di Cina tanarnan ini sudah dikenal sejak 600 tahun sebelum masehi. Di
India dan Asia, buah yang masih muda dimakan sebagai sayuran.
Sebelum
perang dunia kedua, Amerika mengimport luffa yang dimanfaatkan sebagai filter
untuk mesin uap dan mesin diesel. Luffa juga dimanfaatkan sebagai spons untuk
menggosok badan waktu mandi dan sebagai alat pembersih perabot rumah tangga.
Selain itu luffa mempakan bahan untuk membuat kerajinan seperti: tatakan meja,
sandal, tas clan s a n g tangan. Di Jepang getah dan batang blustru digunakan
untuk membersihkan toilet.
Pusat utama tanarnan blustru adalah India, kemudan menyebar ke
berbagai negara beriklim tropis. Selain India blustru banyak di budidayakan di
kawasan Asia Tenggara seperti: Malaysia, Indonesia dan Filipina. Blustru juga
ditemukan di Jepang, Afrika, Karibia dan Brazil. Belurn diperoleh informasi
secara terinci tentang kepastian masuknya tanaman blustru ke wilayah Indonesia.
Menurut Heyne (1987) tanaman blustru berasal dari Cina dan Arnbon. Umurnnya
blustru ditanam di pekarangan rumah atau di pinggir kebun, di sawah sesudah
panen padi sebagai tanaman penyelang pada musim kernarau. Di Asia blustru
dimanfaatkan sebagai tanaman obat tradisional (Jansen et at., 1994).
Sisternabka tanaman blustru menurut Syamsuhidayat dan Hutapea ( 1991 ).
adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spetmatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Cucurbitales
Famili
: Cucurbitaceae
Genus
: Luffa
Species
: L@a cylzdrrca (L.) Roem
Sinonim
: Lufla aeayptiaca Mrll
Tanaman blustru dikenal dengan berbagai narna seperti:
1. Nama Asing
Schwammkurbis, Smooth loofah, Sponge gourd, Towel gourd, Dish-cloth
gourd (Inggris); Sponskornkommer, Zeefkomkornrner (Belanda), Eponge vegetal,
courgetochon (Perancis).
Ketola manis, Petula buntat (Malaysia); Patola
(Tagalog-Filipina); Kabatiti (Ilocano); Kabawang (Tagbonna); Ranoong muul
(Cambodia); Bwapkhom (Laos); Bump-kom, Bumpklom (Thailand); Pikku
(Srilanka); Shui hwa (Cina) (Heyne, 1987; Jansen et at., 1994).
2. Nama Daerah
Di Indonesia dikenal dengan nama Blustru, Emes, Lopang (Sunda). Petulo
panjang, Dodohala (Halmahera), Blustru (Melayu-Jakarta); Hurung jawa, Katelo
atau Timput (Palembang); Bludru (Madura). (Heyne, 1987; Jansen et a/., 1994).
1. 2. Morfologi
Tanaman blustru merupakan tanaman setahun, monoceous, herba dan
turnbuh menjalar.
Batang bertekstw keras, berbentuk segi lima, tumbuh
merambat dengan panjang m e n c a p 10 - 15 meter. Batang berwarna hijau, saat
masih muda batang relatif lemas. Pada awal pertumbuhan, pertambahan panjang
tampak larnbat. Setelah berurnur tiga minggu perturnbuhan relatif lebih cepat.
Batang yang sudah tua berwarna hijau gelap dan agak keras. Batang tidak selalu
tumbuh lurus memanjang tetapi agak melilit. Percabangan muncul tidak jauh dari
pangkal batang. Arah pertumbuhan batang dan cabang tidak beraturan tergantung
tempat perarnbatnya.
Tangkai daun panjangnya 5 - 10 cm. Daun berbentuk bulat lebar dengan
panjang 6 - 25 cm dan lebar 8
-
25 cm. Pangkal menyerupai bentuk jantung
(cordatus), berggi, ujung runcing warna hijau tua, berambut. Permukaan atas
daun berwarna hijau gelap dan permukaan bawah berwarna hijau muda.
Permukaan atas agak kasap (scaber).
Dari ketiak daun muncul sulur yang berfungsi sebagai alat untuk
memegang atau membelit. Dengan adanya sulur batang tanaman dapat merambat
ke atas. Sulur juga berfungsi untuk menopang beban berat dari buah blustru.
Sulur pembelit bercabang tiga atau empat. Sulur utarna lebih panjang daripada
cabangnya. Panjang sulur dapat mencapai 30 cm dan cabangnya berkisar 10 cm.
Warna sulur hijau muda. Bila diraba sulur terasa agak kasar dan diliputi oleh
rambut.
Bunga jantan dan bunga betina muncul dari ketiak dam. Bunga jantan
terletak pada satu tangkai karangan bunga. Setiap tangkai karangan bunga bisa
terdiri dm 4 - 20 kuntum bunga, panjang tangkai karangan bunga dapat mencapai
12-35 cm. Setiap kuntum mempunyai kelopak benvarna hijau yang membungkus
mahkota pada saat belurn mekar.
Bunga betina tunggal dan mulai tampak pada tanaman blustru berumur
tujuh minggu setelah tanarn. Tangkai bunga bervariasi antara 2
-
7 cm, tetapi
kadang-kadang ada yang lebih panjang. Tangkai bunga dan bakal buah benvarna
hijau muda, diliputi oleh rambut halus dan terasa agak kasar. Kelopak bunga
betina berwarna hijau dan berbentuk s e g lima. Kelopak bunga tersebut melekat
pada ujung bakal buah sampai buah menjad tua. Mahkota bunga terdiri dari 5
helai dan benvarna kuning. Ukuran mahkota bunga betina lebih besar daripada
bunga jantan. Diameter bunga bisa mencapai 10 cm. Bunga membuka sepanjang
hari tangkai putik dengan tiga bagian pada kepala putik, benang sari 3 atau 5
(Backer dan van den Brink, 1963).
Buah muncul pada ketiak daun dengan bentuk yang bervariasi ada yang
panjang, pendek, gemuk, kurus, lurus. Letak buah ada yang berurutan dan ada
pula yang berseling hingga 10 daun berikutnya. Buah blustru yang berasal dari
bunga tunggal mempunyai tangkai pendek.
Bagian ujung buah lebih besar
daripada pangkal buah. Panjang buah kadang-kadang bisa mencapai 90 cm.
Bentuk gada dengan berat bisa mencapai I kg bahkan lebih. Buah yang berasal
dari bunga dalam karangan bunga jantan memililu tangkai panjang. Panjang buah
kurang dari 30 cm, keliling 20 cm dan beratnya kurang dan 0,5 kg. Kulit buah
benvarna hijau muda, terdapat garis-garis hijau tua membujur dari pangkal ke
arah ujung terdapat noda keputih-putihan d~seluruh permukaan kulit buah. Pada
bagan ujung buah terdapat daun kelopak dan tangkai kepala puhk yang menebal,
keras dan berwarna hijau tua. Buah muda mengandung getah, benvarna kekuningkuningan. Getah ini cepat mengering dan seperti gel. Buah yang masih muda
mudah patah. Buah yang sudah tua berwarna kecoklatan, kulit buah kering
sehingga rapuh dan mudah mkupas. Bagian dalarn terdiri dari jaringan serat luffa
yang menyerupai anyaman kuat. Buah kering menjadi sangat ringan, kira-kira 118
berat segar. Rongga di &lam luffa berupa iorong-lorong yang berisi biji. Biji
berwarna hitam, berukuran 10 - 15 mm dengan berat sehtar 90 gi 1000 butir bij i.
1.3. Habitat
Tanaman biustru tumbuh baik di daerah tropis. Dapat beradaptasi secara
luas terhadap lingkungan.
Hidup pada ketinggian 500
-
1500 m di atas
permukaan laut. Memerlukan iklim kering, dengan persediaan air yang cukup
sepanjang musim. Tanaman cocok ditanam pada musim kering. Menanam pa&
musim hujan banyak mengalami kendala, sepem proses pembungaan dan
penyerbukan b a n g sempurna, sehingga banyak buah yang rusak. Suhu yang
diperlukan selutar 18 - 24 "C dengan keiembaban kira-kira 50% - 60%. Curah
hujan 50 - 100 mrnlbulan. Cukup tersedia air pengairan dan mendapat sinar
matahari yang memadai.
Blustru toleran terhadap sinar matahari (Rukrnana,
2000).
Blustru toleran terhadap berbagai jenis tanah terutama yang kaya akan
bahan o r g a ~ k . Selain itu untuk mendapatkan hasil yang optimal tanarnan
13
memerlukan tanah yang subur, gembur dan pH tanah 5,5 - 6,8 dengan drainase
dan aerasi yang baik. Tanah yang paling cocok b a g tanaman blustru yaitu jenis
tanah liat berpasir.
Pada awalnya tanaman ini hidup secara liar dan kemudan dibudidayakan
di kebun dan pekarangan. Tanaman blustni mempunyai daya adaptasi yang tingg
terhadap lingkungan. Oleh karena itu blustru dapat hidup di dataran rendah
maupun dataran tingg.
1.4. Kegunaan
Blustru dikenal sebagai tanaman sayuran. Daun dan buahnya yang masih
muda dapat diolah dengan berbagai resep masakan. Di samping sebagai tanaman
sayuran, blustru juga dikenal sebagai tanarnan berkhasiat obat. Sebagai obat
tradisional ternyata semua bagian organ tanaman dapat dimanfaatkan. Menurut
Wijayakusuma et al., ( 1997) blustru mempunyai berbagai kandungan kimia
seperti saponin, citdine, cucurbitacin dan beberapa kandungan lainnya. Buah
bermanfaat untuk mengobati penyakit demam, batuk serak, pendarahan dan bisul.
Biji juga dimanfaatkan untuk mengobati edema, batu saluran kemih dan wasir.
Daunnya untuk mengobati bisul, kurap serta luka bakar. Organ lain sepem bunga
juga dipakai untuk mengobati sakit tenggorokan, wasir dm sinusitis. Begitu pula
serat-serat spons dimanfaatkan untuk saht perut, sakit pinggang dan batuk
berdarah. Sedangkan akar untuk penderita migrain, sakit pinggang dan payudara
bengkak (mastitis).
2. Kuitur Jaringan Tanaman
Gautheret (1982) mengemukakan bahwa prinsip kultur jaringan telah
tercanturn dalam teori sel yang dikemukakan pada tahun 1838
-
1839 oleh
Schleiden dan Schwann yaitu bahwa sel mempunyai kemarnpuan autonom,
bahkan mempunyai totipotensi. Totipotensi secara teoritis adalah kemampuan
tiaptiap sel dari manapun saja diambilnya, kalau diletakkan dalarn lingkungan
yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Soeryowinoto,
1985).
Kultur jaringan sampai sekarang digunakan sebagai suatu istilah umum
yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalarn wadah yang umumnya
tembus cahaya Seringkali kultur aseptik dsebut juga kultur in vitro yang arti
sebenamya, kultur di dalam gelas.
Kultur jaringan yang semula ditujukan untuk mendapatkan tanaman dalam
jurnlah besar dengan cara vegetatif, sekarang sudah berkembang demhan
pesatnya. Selain untuk mendapatkan klon-klon, kultur jaringan saat ini juga
sudah dipergunakan untuk keperluan lain seperti: pengembangan metabolit
sekunder, penelitian penyakit tanaman, industri pertanian dalam bidang
pemuliaan, juga dalarn mendapatkan tanaman yang dapat beradaptasi terhadap
stres-stres kekeringan, kadar garam dan temperatur.
Kultur in vitro untuk tujuan mendapatkan metabolit sekunder ataupun
metabolit tanaman lainnya dapat melalui beberapa jenis kultur sepertx h l t u r
kalus, kultur suspensi dan kultur organ. Kultur kalus (callus culture), merupakan
kultur dari sekumpulan sel yang tidak terorganisasi. Kultur suspensi (suspension
culture), adalah kultur sel bebas atau agregat sel kecil, biasanya dihltur pada
media cair sambil dishaker. Kultur organ (organ culture), merupakan kultur yang
diinisiasi dari bagian-bagian tanaman seperti: ujung akar, pucuk aksilar, atau
organ lainnya.
15
Menurut di Toppi (1996) sebelurn tahun 1980-an, beberapa industri dan
berbagai laboratoriurn telah menemukan metabolit yang dihasilkan dari akar
melalui kultur kalus dan kultur sel. Namun demiluan ada beberapa permasalahan
yang ditemui. Permasalahan pertama, pada umumnya kultur sel tak terdiferensiasi
sehingga ditemui kesulitan yang lebih besar dalam mempertahankan produksi
dengan tingkat yang tingg dibandingkan dengan jaringan yang terjadi dari sel
yang mengalami diferensiasi. Permasalahan kedua, biasanya kultur sel diperlukan
pengulangan yang lebih banyak untuk seleksi klon sebelurn memperoleh galur
yang stabil dan sangat produktif. Sekaligus diharapkan dapat mempertahankan
kemampuan untuk menghasilkan metabolit yang dikehendaki dalam periode yang
panjangPermasalahan ketiga, dimana seringkali sulit untuk menentukan dan
menguji dengan tepat fitohormon mana yang ditambahkan ke medium kuitur
untuk menjamin pertumbuhan yang cukup dari material selular dan produksi
metabolit yang baik. Namun demiluan penambahan fitohormon mempunyai
konsekuensi yang belum diketahui secara pasti.
Menurut Gunawan (1995)
sebagai konsekuensi penggunaan fitohormon perlu dipertimbangkan pengaruhnya
terhadap kesehatan manusia.
Menurut Flores dan Bolivar (1995) sejak tahun 1980-an keinginan untuk
memproduksi fitolumia melalui kultur akar cukup beralasan. Terlebih lagi dengan
menggunakan Agrobacterium rhizogenes untuk menghasilkan akar transgenik.
Agrobacterium rhizogenes yang membawa plasmid Ri dapat menginduksi
perturnbuhan hairy root (akar seperti rambut halus) tepat di tempat yang terinfeksi
pada tanaman inang. Bahkan memaksa sel dari organ mana saja dari tanaman
yang terinfeksi untuk mendiferensiasi akar. Dalam kultur in vitro hairy root
tumbuh dengan cepat. Akar-akar ini adalah akar transgenik yang mengandung
gen-gen plasmid Ri (Lambert dan Tepfer, 1992).
Kultur akar transgenik menurut (Hamill et al., 1986; di Toppl, 1996),
memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1. Tingkat perturnbuhan in vitro dapat mencapai 10 sarnpai 100 kali
lebih besar dibandingkan dengan akar normal.
2. Produksi metabolit yang sangat stabil untuk beberapa tahun.
3. Resistensi yang lebih besar terhadap kontarninasi.
4. Lebih mudah untuk dimanipulasi.
5. Kemunglunan adanya aktivitas fotosintetik dengan implikasi positif
pada produksi metabolit.
6. Kemampuan memproduksi fitohormon sendu-i dengan demiban tidak
diperlukan zat pengatur tumbuh tanaman eksogen.
7. Kemunglunan direkayasa secara genetik.
3. Kultur Akar Transgenik
3.1. Biologi Agrobacterium rhizogenes
Agrobucterzum rhizogenes, merupakan bakteri yang bersifat gram negatif,
berbentuk basilus (collform) dan dapat bergerak di dalam tanah. Merupakan
bakteri patogen yang hidup di tanah.
Bakteri ini termasuk dalam familia
Rhizobiaceae. Genus Agrobacterium terdiri dari empat species, tetapi hanya tiga
species yang diketahui menyebabkan penyakit tanaman (Hooy kaas, 1988;
Firoozabady dan Kuehnle, 1995).
Agrobacterium rhizogenes dapat ditumbuhkan dengan mudah pada suhu
25 "C, pada me&a yang mengandung manitol, ekstrak yeast, sodium klorida,
potasium fosfat dan magnesium sulfat.
Agrobacterium rhizogenes sebagai patogen tanaman, merupakan agen
yang menyebabkan penyakit "haily root" (akar seperti rambut sangat halus).
Agrohacterium rhizogenes membanglutkan pertumbuhan akar seperti rambut tepat
pada tempat infeksi. Bahkan memaksa sel dari organ manapun dari tanaman yang
terinfeksi untuk mendferensiasi akar (Cardarelli et al., 1987).
Kemampuan Agrobacterium rhizogenes &lam "rekayasa genetik" secara
alami telah dimanfaatkan sebagai alat genetik yang penting. Kemampuan untuk
melakukan transformasi pada sel tanaman ini berhubungan dengan adanya
plasmid Ri yang menginduksi akar (root inducing Ri plasmid).
Plasrnid Ri
merupakan molekul DNA sirkuler dan double helix, ukurannya lebih dari 200 kb
(Hunter, 1990).
3.2. Genetik akar transgenik
Menurut The Encyclopela of Molecular Biology, 1995, transgene adalah
suatu gen yang ditransfer dari satu species ke yang lain dengan rekayasa genetik.
Sedangkan transgenik adalah penerapan (applied) transgene pada tanaman atau
pada hewan. Oleh karena itu akar yang diperoleh dari transformasi genetik dalam
sel tanaman oleh Agrobacterium rhizogenes dapat disebut sebagai akar transgenik
karena Agrobacterium rhizogenes mampu melakukan rekayasa genetik secara
alami. Selarna infeksi, dari T-DNA dan plasmid Ri terintegrasi dengan stabil
dalam genom tanaman. Kejadian ini dimediasi oleh gen virulence (vir) yang
berlokasi pada plasmid Ri.
Ekspresi gen vir adalah menginduksi senyawa
phenolik berupa hidroasetosiringon (HOAS) dan asetosiringon (Flores dan
Bolivar, 1995). Gen vir penting untuk meningkatkan efisiensi transformasi.
Plasmid h mempunyai satu atau dua T-DNA (transfered DNA) yaitu TLDNA dan TR-DNA, tergantung strain bakterinya. TR-DNA mempunyai dua gen,
Ri-auxl dan R i - a d . Gen-gen ini behngsi dalam biosintesis indole-3-Acetic
Acid (IAA). Ada gen lain pada TR-DNA yang spesifik untuk mensintesis opine
(mannopine, agropine, cucumopine) (Hoekstra, 1993). Sel-sel tanaman yang
merupakan hasil transformasi T-DNA menghasilkan opine. Opine i~ secara
spesifik juga dikatabolis oleh bakteri, sehingga dapat digunakan sebagai sumber
karbon dan nitrogen. Adanya opine pada jaringan tanaman merupakan knteria
yang digunakan untuk menyimpulkan bahwa akar transgenik yang terberrtuk
adalah alubat transformasi genetik T-DNA dan bukan hasil proliferasi sel tanaman
(Rhodes et al., 1990; Emawati, 1992).
TL-DNAmempunyai tiga gen, dengan nama rol A, rol B dan rol C. Gengen ini dalam formasi akar transgenik sebagai hasil transformasi genetik dari sel
tanaman inang.
TL-DNA lebih berperan dalam mendeterminasi fenotip akar
transgenik. Dalam kenyataannya gen-gen ini tidak menentu d m bervariasi pada
species tanaman.
Contohnya pada tanaman tembakau rol A merespon
perkembangan akar transgenik sedangkan rol B merupakan suatu faktor inisiasi
akar transgenik (Cardarelli et al., 1987). Tanaman transgenik mengekspresikan
gen rol B pada peningkatan aktivitas auxin. Ekspresi rol C pada tanaman
tembakau transgenik menghasilkan penurunan konsentrasi isopentenyladenosine
(PA) dan peningkatan GA 19. Tanaman kentang dan tembakau transgenik rol A
atau derivat rol A dan rol C mengekspresikan penurunan tingkat asam gberelin
(Flores dan Bolivar, 1995).
TL-DNA dan TR-DNA mempunyai fungsi rhizogenik (Hunter, 1990).
Kejasama antara TR-DNA dengan TL-DNA diperlukan untuk inisiasi akar yang
vigorous. Selain itu TL-DNAjuga memelihara perturnbuhan akar transgenik.
3.3. Kultur akar transgenik
Akar transgenik yang dihasilkan clan respon infeksi Agrobacterrurn
rhlzogenes dapat dlpotong dan dikultur pada media aseptik. Dalam kenyataannya
klon akar transgenik mempunyai kemampuan tumbuh tak terbatas dalam media
tanpa hormon. Akar transgenik merupakan fenotip yang stabil pada kultur. Ratarata turnbuh lebih cepat danpada akar normal (Flores dan Bolivar, 1995).
Akar transgenik mempunyai derajat percabangan lateral yang lebih tingg
dan tidak terpengaruh oleh geotropisme. Kurva pertumbuhannya serupa dengan
kultur suspensi sel (Ernawati, 1992).
4. Susunan Anatomi Akar Luffa cylindrica (L.) Roem
Akar merupakan salah satu organ tanaman. Akar biasanya berkembang
lbawah permukaan tanah. Fungsi akar diantaranya untuk melekatkan tanaman
pada substrat, menyerap air dan berbagai garam mineral. Disamping itu akar juga
berperan sebagai organ penyirnpan (Jain, 1999).
Ciri khas akar yaitu adanya rambut akar yang teradaptasi untuk menambah
luas permukaan penyerapan. Sedangkan yang dimaksud rarnbut akar adalah sel
epidermis yang memanjang ke arah luar, letaknya tegak lurus permukaan akar dan
berbentuk seperti tabung.
Ditinjau dm susunan anatomi akar itu, jaringan-jaringau akar dimulai dan
susunan sel yang paling luar yaitu epidermis. Epidermis ini terdlri dari satu lapis
sel. Pada sel-sel tertentu pada epidermis akan mengalami diferensiasi rnembentuk
rambut akar. Disebelah dalam epidermis terdapat jaringan korteks akar yang
terdiri dari sel-sel parenkim. Sel korteks biasanya besar dan bervakuola besar.
Lapisan paling dalam korteks akan berkembang menjadl endodermis dengan pita
caspary (Esay 1977).
Silinder vaskular (pembuluh) terdiri dm jaringan vaskular dengan satu
atau beberapa lapisan sel yang berada disebelah luarnya, yaitu perisikel. Apabila
bagian tengah dari silinder vaskular tidak ditempati jaringan vaskular maka bagian
itu akan dlisi oleh parenlum empulur. Perisikel dapat mempertahankan sifat
meristematiknya. Dari perisikel inilah akan muncul akar lateral. Baplan dalam
perisikel langsung berbatasan dengan protofloem dan protoxilem.
Xilem tersusun dalam sejumlah berkas yang terpisah dan letaknya
bergantian dengan floem. Berkas xilem dan floem tersusun dalam lingkaran.
Sesuai dengan susunan jumlah berkas xilem maka dikenal nama diark, bila
terdapat dua berkas xilem, mark bila jumlah berkas xilem tiga, tetrark bila
j umlahnya empat berkas dan seterusnya (Esau, 1977).
Akar lateral pada angiospermae dibentuk dalam perisikel. Lokasi akar
lateral terhadap berkas xilem dari akar induknya berbeda-beda menurut pola
jaringan vaskular induknya. Pada akar diark, akar lateral tumbuh ditempat di
antara xilem dan floem. Pada triark dan tetrark, akar lateral muncul hhadapan
berkas xilem. Pada poliark akar lateral berkembang dihadapan berkas floem.
5. Protein Bioaktif Pada Tanaman
Sejak zaman prasejarah manusia telah memanfaatkan ekstrak tanaman
sebagai penyembuh penyakit. Senyawa orgamk yang berasal dari surnber-sumber
alami ini dlkenal sebagai metabolit tanarnan (Harborne, 1996). Dari berbagai
macarn tanaman telah diketahui ada yang mengandung metabolit berupa protein.
Protein ini dikenal sebagai protein bioaktif.
Protein bioaktif diantaranya
mempunyai aktivitas sebagai protein enzim. Dari hasil penelitian dinyatakan
bahwa protein bioakhf merupakan protein penginaktrvasi ribosom (PPR) (Barbieri
et al., 1993). Protein bioaktif ini m e n m a a n ribosom pada sel eukariotik
sehingga beribbat rnenghambat proses sintesis protein (Watanabe, 1989; di
Toppi, 1993).
5.1. Penyebaran protein penginaktivasi ribosom (PPR)
Berbagai macam tanaman ditemukan mengandung protein bioaktif berupa
protein penginakhvasi ribosom (PPR). Menurut Barbieri et al., (1993) PPR
tersebar luas pa& dunia tumbuhan. Dari hasil identifikasi dan purifikasi PPR
ditemukan pada kelas Angiospennae, balk pada tanaman monokotil maupun
dikotil. Tetapi PPR tidak Qtemukan pada kelas Gymnospermae. Dari sejumlah
besar PPR yang dipurifikasi didapatkan tujuh farnilia yang mempunyai protein
rantai tunggal atau kelompok protein tipe 1.
Ketujuh familia ini adalah:
Asparagaceae, Caryophyllaceae, Cucurbitaceae, Euphorbiaceae, Nyctaginaceae,
Phytolaccaceae, dan Phoaceae.
Sedangkan yang termasuk dalam kelompok
protein tipe 2 ada lima familia yaitu: Euphorbiaceae, Fabaceae, Passifloraceae,
Sambucaceae, dan Viscaceae. Khusus pada farnilia Euphorbiaceae memiliki
kedua tipe tersebut.
Protein pengnaktivasi ribosom (PPR) dapat dijurnpai pa& berbagai organ
tanaman. Contohnya: Phytolacca americana, Bryonia dionica dan Saponaria
ovisinalis, PPR terdapat di daun, akar dan biji. Pada Dianthus caryophyllzcs PPR
terdapat di daun dan biji. Pada Adenia digitata PPR ditemukan di biji dan akar.
Sedangkan Ricinus commurzzs terdapat pa& biji. PLkfivitas PPR telah ditemukan
hanya pada organ atau jaringan tertentu dalam tanaman seperti yang terjadi pada
Hura crepitans bijinya tidak memperlihatkan aktivitas, sebaliknya PPR ditemukan
dalam jumlah yang sigmfikan pada latex (Stirpe et al., 1992 ).
5.2. Struktur protein penginaktivasi ribosom
Protein penginakhvasi ribosom (PPR) dapat dlbagi dalarn dua kategori
yang dikenal dengan PPR tipe 1 dan PPR tipe 2. Menurut Barbieri et al., (1993)
pembagian ini didasarkan ada atau tidaknya sedihtnya satu rantai polipeptida
dengan aktivitas l e h n .
PPR tipe 1 tersusun dari rantai polipeptida tunggal dimana polipeptida ini
merupakan polipeptida dengan aktivitas N-gllkosidase. Sedangkan PPR tipe 2
terdiri dari dua rantai polipeptida yaitu rantai A dan rantai B. Kedua rantai ini
terpaut dengan disulfida. Rantai B dengan aktivitas lektin (Q Toppi, 1996).
Menurut Robinson ( 1995) l e b n adalah protein yang berinteraksi secara
khas dengan karbohidrat. Dapat mengandung karbohldrat sampai 50%. Banyak
lektin mempunyai sifat mengaglutinasi sel darah merah dan mengandung ion
logam Mn (mangaan) dan Ca (calsium). Berat molekulnya (BM) 100.000.
Tipe 1
Tipe 2
Rantai A
Rantai B
Gambar 1 : Struktur Protein Penginaktivasi Ribosom Tipe 1 dan Tipe 2 (Stirpe,
1992)
Dari beberapa tanaman yang diisolasi menunjukkan adanya protein yang
sama berupa PPR tipe 1 dengan berat molekui (BM) lebih kurang 30 kDa
(Ramakrishnan et ul., 1992). Dan rantai A dari PPR tipe 2 (Barbieri et ul.. 1993).
PPR tipe 2 tersusun dari dua atau empat rantai polipeptida. Protein ini mempunyai
BM 60.000 atau 120.000. Satu rantai adalah rantai A (A, a b f ) dengan aktivitas
RNA N-glukosidase dan satu lagi rantai B (B, mengikat) mengikat l e h n spesifik
galaktosa. Kedua rantai terpaut dengan ikatan dsulfida dan yang lain dengan
ikatan non kovalen (Stirpe, 1992).
5.3. Aktivitas biologi protein penginaktivasi ribosom
Protein penginaktivasi ribosom tipe 1 dan rantai A dari tipe 2 mempunyai
aktivitas enzimatis yang sama. dimana RNA N-glikosidase secara spesifik
memotong ikatan N-glikosidik dari Adenin 4324 (A 4324) dari rRNA 28s pada hati
tikus (Barbieri et ul., 1993).
Efek langsung dari kedua protein penginaktivasi ribosom tipe 1 dan rantai
A tipe 2 tejadi pada struktur dan fungsi sel. Kerusakan ribosom tejadi secara
irreversible. Kemakan tingkat lebih lanjut akan berpengaruh terhadap faktor
pemanjangan ikatan dengan konsekuensi menghambat sintesis protein.
6. Ekstraksi dan Purifikasi Protein Bioaktif
Selama dasawarsa terakhir ini fitokimia atau kimia tumbuhan telah
berkembang menjadi satu disiplin pengetahuan tersendiri. Fitolumia berada di
antara kimia organik bahan alarn dan biokimia tumbuhan, dan keduanya berkaitan
erat (Harborne, 1996).
Fokus perhatiannya adalah berbagai macam senyawa organik yang
dibentuk dan dkandung oleh tumbuhan seperti: struktur kimia, biosintesis, fungsi
biologs dan yang lainnya. Untuk analisis fitokimia diperlukan metode ekstraksi,
pemisahan, pemurnian dan identifikasi kandungan yang terdapat dalarn tumbuhan.
6. 1. Ekstraksi dan purifikasi
Bahan yang akan diekstrak dapat dipakai d a . bahan dalam keadaan segar
atau kering. Bahan dalam keadaan segar seperti dam, bunga, akar dan organ
lainnya harus tetap cfipertahankan pada saat akan diekstraksi. Jaringan organ
hams tetap segar, oleh karena itu hperlukan penyimpanan yang khusus. Jika
jaringan hidup diproses terlalu lambat, dapat menimbulkan perubahan yang besar
terhadap kej a enzim pada kandungan lumia tertentu (Robinson, 1995).
Bahan kering yaitu bahan yang sudah dikeringkan sebelurn diekstraksi.
Namun dalam proses pengeringan hams dilakukan pengawasan untuk mencegah
tejadnya perubahan lumia yang terlalu besar. Hal lain yang hams diperhatikan
adalah faktor pencemaran, kontaminasi pada tumbuhan maupun penyakit, semua
faktor ini harus dihindari.
Ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air dalam
bahan tumbuhan yang diekstraksi, serta jenis senyawa yang diisolasi. Jaringan
tumbuhan biasanya dimatikan dulu agar tidak terjadi oksidasi enzim atau
hidrolisis. Jaringan yang akan diekstrak terlebih dahulu dipotong-potong sebelum
dimasukan ke dalam pelarut.
Pelarut yang digunakan antara lain ethanol.
Menurut Robinson (1995) metode yang paling aman untuk menghadapi segala
kemunglunan ialah mencelupkan bahan ke dalam nitrogen cair dan diikuti dengan
pengering bekuan, dan ekstraksi bahan yang sudah kering dengan pelamt biasanya
tidak memunglunkan terjadinya perubahan karena proses penguraian.
Untuk mengsolasi kandungan yang larut dalam air, contohnya pada daun,
sejak tahap awal lipid barus dihilangkan dulu. Tahap ini dilakukan sebelum
pemekatan, dengan cara mencuci ekstrak berulang-ulang dengan menggunakan
ether (Harborne, 1996). Ekstraksi protein dari jaringan berlemak seperti biji juga
hams dilakukan delipidasi dengan menggunakan ether dan aseton (Robinson,
1995).
Pemisahan protein dapat dilakukan antara lain dengan cara yang
dikemukakan Copeland, (1994); Robinson, (1995); dan Harborne, (1996).
1) Pemisahan protein dengan kromatografi gel. Kromatografi gel berperan untuk
pemisahan dan pemurnian protein, enzim, asam nukleat, dan biomolekul
lainnya. Kromatografi gel sering disebut juga dengan filtrasi gel. Proses yang
terjadi pada kromatografi gel ini adalah proses pemisahan makro molekul
berdasarkan ukuran atau berat molekulnya.
Pada umumnya filtrasi gel
menggunakan bahan yang dapat mengembang di &lam air dan membentuk
gel. Bahan yang dapat hpakai dantaranya selulose dan dextran.
2) Pemisahan protein dengan kromatografi penukar ion. Kromatografi penukar
ion pada dasarnya memi sahkan molekul-molekul solut berdasarkan perbedaan
muatan. Perbeciaan muatan tersebut menyebabkan komponen solut
mempunyai afinitas yang berbeda-beda terhadap penukar ion, sehingga
komponen-konrponen solut dapat Ipisahkan.
6. 2. Anaiisis fraksi
Ekstrak yang keluar dari kolom kromatografi ditampung dalam bentuk
fraksi-hksi dengan volume tertentu dengan menggunakan alat yang bekerja
secara otomatis @actron collector). Di dalam setiap fraksi, terutama protein dan
enzim dapat dianalisis atau diukur kandungan dan aktivitasnya.
Kandungan
protein dapat diukur langsung pada panjang gelombang 280 nanometer (nm)
dengan menggunakan alat spektrofotometer atau dengan memberi pewarnaan.
Menurut Harborne (1996) spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur
dalam larutan yang sangat encer dengan menggunakan pembanding blanko pelarut
serta menggunakan spektrofotometer yang merekam secara otomatis. Senyawa
tanpa warna diukur pada panjang gelombang 200 - 400 nrn, sedangkan senyawa
benvarna pada panjang gelombang 200 - 700 nrn.
6.3. Elektroforesis ekstrak protein
Elektroforesis adalah suatu cara untuk mernisahkan fraksi suatu campuran
senyawa berdasarkan pergerakan partikel yang bermuatan, di bawah pengaruh
medan listrik.
Untuk analisis dan pemisahan protein biasanya digunakan elektroforesis
gel. Beberapa jenis gel yang dapat dipakai antara lain gel agarosa dan gel
poliaknlamid. Elektroforesis gel poliaknlarnid yang dikombinasikan dengan
sodium dedosil sulfat (SDS) digunakan untuk memisahkan dan meneliti berat
molekul (BM) protein. Berat molekul protein dapat ditetapkan dengan
menggunakan protein standard atau marker (Copeland, 1994; Sudarrnadji. 1996).
7. Pengujian Protein Bioaktif Secara In Utro
7. 1. Kultur sel lestari (cell line)
Sel lestari bisa lperoleh clan primary culture yang sudah dipasage
berulang kali atau koleksi sel lestari menurut American Type Culture Collectron
(ATCC).
Primary culture adalah kultur awal dari biakan sel yang lambil dari
jaringan tubuh. Kultur sel llakukan secara aseptlk di dalam laminar air flow.
Jaringan yang dikultur mempunyai sifat-sifat sama dengan individunya. Jaringan
dikultur dengan menggunakan media yang spesifik. Setelah primary tumbuh lalu
dipasage (sub kultur). Pasage dilakukan berulang kali. Apabila mencapai 10 - 15
pasage disebut short term culture. Pasage mash dapat lteruskan sarnpai 15 - 30
pasage, disebut long term culture. Bila hasil pasage ini bertahan hidup terus akan
didapatkan sel lestari (cell line). Untuk mencapai sel lestari minimal hams
mencapai 50 pasage bahkan bisa lebih, tergantung jenis selnya.
Dalarn penelitian kultur sel lestari dirnaksudkan untuk memperoleh sel
dalam jurnlah besar. Dengan menggunakan media yang spesifik dan cocok sel
akan mengalami proliferasi clan tumbuh dengan cepat. Biasanya akan mengalami
confluence dalam waktu tiga han.
Pemeliharaan populasi sel lestari dapat
dilakukan melalui freezing. Keuntungan bekerja dengan sel lestari karena bebas
dari kontarninasi. (Wilson, 1992).
7.2. Macam sel lestari (cell line)
Identifikasi dan determinasi sel lestan ini berdasarkan American Type
Culture Collection Catalogue of Cell Lines and Hybridomas, 1992. Sebagai
berikut :
1) Sel HeLa
Sel HeLa disolasi dari epitheloid carcinoma pada cervix seorang wanita
negro berurnur 3 1 tahun. Diisolasi pada tahun 1951, sel HeLa merupakan sel
monolayer. HeLa pertama an-euploid, secara rutin sel epithel ini dikultur, dan
sudah dipasage lebih kurang 76-88 kali.
2) Sel Melanoma (A-375)
Sel Melanoma merupakan melanoma malignant manusia. Berasal dari
seorang wanita berumur 54 tahun. Melanoma adalah satu seri sel lestari yang
berasal dari tumor solid, sel lestari tumbuh dengan cepat, tumor subcutaneous
ini menyerupai melanoma amelanotic, pada antithymocyte dan sudah
dipasage 164 kali
3) Sel K-562
Sel K-562 merupakan leukemia myelogenous cronic manusia. Sel K-562
berasal dari seorang wanita berumur 53 tahun dengan leukemia myelogenous
cronic pada knsis blast terminal. Populasi sel mempunyai karakteristik tingg.
Tidak mengalami diferensiasi dan dan seri granulosit. Indikasi blast K-562
adalah multipotensial, sel malignant hematopoietic.
7.3. Uji aktivitas protein biaaktif
Uji in vitro untuk menentukan antiproliferasi yang disebabkan oleh
aktivitas protein bioabf dapat ddakukan dengan cara menghttung jumlah sel mati
dan sel hidup. Untuk menentukan sel hidup dan sel mati dapat digunakan metode
tryphan blue. Pewama tryphan blue lebih cocok untuk kultur monolayer daripada
kultur suspensi (Wilson, 1992). Sel yang mati akan menyerap warna dan
memberikan warm biru.
Sedangkan sel hdup kelihatan bening atau tidak
berwama. Metode tryphan blue merupakan metode yang cepat dapat
menginterpretasikan hasil uji. Oleh karena sel-sel yang mati menyerap warna
seketika itu juga (Wilson, 1992).
Download