Rasionalisasi Moral pada Perilaku Immoral

advertisement
Rasionalisasi Moral pada Perilaku Immoral
Wahyuni Kristinawati
Fakultas Psikologi - Universitas Kristen Satya Wacana
yuni.kristi@gmail. com
Abstrak
Di Indonesia, kebutuhan untuk memahami latar belakang tindakan criminal merupakan
hal yang penting. Penelitian ini bertujuan untuk memahami perilaku immoral pada
narapidana pria pelaku pembunuhan khususnnya terkait rasionalisasi moral yang
terjadi pada narapidana. Pendekatan kualitatif (studi kasus) dipilih sebagai
pendekatan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam
terhadap tiga narapidana pria berusia 16, 18, dan 25 tahun. Ketiganya adalah pelaku
pembunuhan berencana yang sedang menjalani pemenjaraan. Mekanisme rasionalisasi
moral yang terjadi adalah dehumanisasi dan menyalahkan korban. Mekanisme ini
memungkinkan hilangnya rasa bersalah pada pelaku, sehingga pengulangan perilaku
agresi potensi terjadi di masa mendatang.
Kata kunci: rasionalisasi moral, pembunuhan berencana, pelalu agresi pria
Mayoritas Lapas di Indonesia melebihi kapasitas karena peningkatan jumlah kasus pelanggaran
hukum,
termasuk
kasus
kriminal.
Data
dari
Departemen
Hukum
dan
HAM
(http://smslap.ditjenpas.go.id) melaporkan peningkatan jumlah narapidana di Indonesia, tidak
hanya orang dewasa tetapi juga remaja maupun usia anak. Pada tahun 2012 terdapat 151.393
narapidana, jumlah ini 150% di atas daya tampung lembaga pemasyarakatan. Bangsa Indonesia
yang berjuang sebagai ‘bangsa bermoral dan bermartabat’ menghadapi tantangan besar dengan
tingginya angka kejahatan di masyarakatnya. Menyikapi hal ini maka diperlukan pemahaman
latar belakang tindakan kriminal dari sudut pandang pelaku.
Rasionalisasi Moral
dan Moral Disengagement. Rasionalisasi moral adalah kemampuan
individu untuk menginterpretasi ulang perilaku immoral yang dilakukan sebagai tindakan yang
bermoral (Tsang, 2002).
Bandura, Caprara, Barbaranelli, Pastorelli, dan Regalia (2002)
menyatakan bahwa sebuah perilaku dilakukan seseorang berdasar standard moral yang ia bentuk
melalui sistem regulasi diri. Secara teoritis, pelanggaran standar personal ini dapat berdampak
pada ketidakanyamanan (diri sendiri merasa tertuduh) dan dengan demikian seseorang memiliki
sistem pencegahan untuk berperilaku buruk. Di sisi lain sistem regulasi diri juga rentan terhadap
1
disengagement sehingga seseorang dapat melakukan tindakan yang semula dianggapnya tidak
sesuai dengan standard moralnya. Disengaggement ini terjadi enam mekanisme (Bandura, 1991;
Bandura, Barbaranelli, Caprara, &
Pastorelli, 1996) yaitu: moral justification, euphemistic
labeling, advantageous comparison, distortion of consequences, dehumanization, dan blaming
the victim.
Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan
wawancara mendalam terhadap tiga (3) orang narapidana pria berusia 16, 18, dan 25 tahun.
Ketiganya adalah pelaku pembunuhan berencana yang sedang menjalani pemenjaraan. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu studi kasus. Pengumpulan data
menggunakan metode wawancara, masing-masing subjek diwawancara 3-4 kali masing-masing
1-2 jam. Seluruh wawancara direkam dan diketik verbatim, kemudian dianalisis dengan
menemukan tema utama. Dari tema-tema terebut, dilakukan analisis intra individu dan antar
individu.
Deskripsi Kasus
1. Kasus AD. Sejak kelas 2 SMP, setelah mengenal teman-teman dari anak jalanan, AD
sering membolos, merokok, berkelahi, dan konsumsi obat terlarang. Ketika kebutuhan
uang semakin tinggi, AD merasa terdesak untuk melakukan apapun yang dapat
menghasilkan uang. Seorang pria pemilik salon mulanya memberikan sejumlah uang
secara cuma-Cuma, hingga akhirnya ia meminta AD menjadi pasangan seksualnya.
Selama tiga tahun hubungan mereka tersimpan rapat, hingga korban kemudian mulai
menceritakan tentang kedekatannya itu dengan temannya. Berita inipun menyebar hingga
ke teman-teman AD dan keluarganya. Beberapa teman mengejek melalui media sosial,
dan orang tuanya sangat marah dan meminta AD memutuskan hubungan dengan korban.
Usaha AD untuk menjauhi korban tidak berhasil. Korban selalu mengejar, bahkan
mengancam bahwa AD tidak akan bisa pergi darinya sampai kapanpun. AD berpikir
bahwa membunuh korban adalah satu-satunya cara untuk bebas darinya.
2. Kasus EN. EN menceritakan bahwa ia telah mulai mencuri sejak kelas 2 SD. Ia mencuri
kalung ibunya , beberapa kali mencuri batik dan barang-barang di supermarket. Saat
kelas 6 SD ia mencuri motor dan menjual kepada penadah. EN pernah ditangkap polisi
karena kasus perkelahian. Ia dibebaskan setelah orang tuanya memberikan uang tebusan.
2
Kebiasaan EN untuk berjudi online semakin menjadi-jadi sejak ia tidak sekolah lagi.
Suatu saat motornya tergadai untuk berjudi dan ia memutuskan untuk merampas motor
pengunjung warnet lain. Korban yang hendak dirampas motornya adalah seorang lakilaki tak dikenal, usianya hampir sama dengan EN. EN meminta, bahkan memaksa korban
mengantarnya ke suatu tempat. EN mampir dan mengajak temannya dan meminjam
pisau dapur. Mereka berboncengan bertiga. Di tengah perjalanan di tengah persawahan,
EN menghentikan motor, meminta korban turun untuk merampas motornya dan meminta
temannya berjaga di jalan raya. Menolak motornya dirampas, korban melawan.
Perkelahian terjadi di area persawahan itu. Korban meninggal saat EN membenamkan
korban ke dalam lumpur sawah setelah memukulnya. EN meninggalkan korban begitu
saja dengan membawa serta motor dan telepon seluler korban.
3. Kasus BAY. Saat kelas 4 SD, Bay sudah mulai mencuri, mula-mula uang ibu kemudian
juga mencuri di pasar. Beberapa kali Bay dipukuli massa karena mencuri tetapi dia tidak
jera. Bay juga pernah merusak motor salah satu guru karena guru dianggapnya arogan.
Setelah menjadi mahasiswa ia merampok dan mengikuti taruhan balap liar dan menjadi
jokinya. Korban pembunuhannya adalah pria yang diakui mantan pacarnya sebagai pacar
barunya. Bay merasa marah karena selama 4 tahun telah memperjuangkan hubungan
supaya direstui kedua orang tua dari dua pihak. Selain itu, ia mengaku membiayai semua
pengeluaran mantan pacarnya. B memutuskan membunuh pria yang dekat dengan mantan
pacarnya untuk memberi pelajaran betapa sakitnya kehilangan. Rencana pembunuhan ia
pikirkan selama sekitar satu minggu dengan beberapa alat yang ia beli dari pasar. Ia
mengajak satu temannya dalam tindakannya ini.
Hasil Penelitian.
Dalam kasus AD, Solusi pro agresi adalah cara yang dipakai selama ini, nampaknya ia tidak
mengenal sanksi sosial dan cenderung tidak peduli dengan dampak yang ia terima. Moral
disengagement yang dilakukan AD adalah : 1) Blaming the victim. Mekanisme menyalahkan
korban merupakan mekanisme yang sangat kuat terjadi. Begitu marahnya subjek pada korban,
sehingga ia melakukan perencanaan untuk membunuh korban. Pembunuhan yang dilakukan AD
dianggapnya usaha terakhir karena upaya menghindar dari korban tidak berhasil. 2)
Dehumanization. Tanpa ia rencanakan sebelumnya, pada saat eksekusi, AD secara spontan
mengambil gunting dan merusak wajah korban. Bukan untuk meninggalkan jejak, akan tetapi hal
ini ia lakukan untuk menyalurkan kemarahannya.
3
Pada EN, moral disengagement yang terjadi adalah dehumanization . Meskipun bercakap-cakap
dan meminta korban mengantarnya ke suatu tempat, dalam diri subjek tidak terbangun relasi
selayaknya dengan manusia lain. Hal ini terjadi karena Subjek EN sangat terfokus pada motor
korban dan memikirkan cara untuk memilikinya. Subjek juga masih bisa tertawa saat
menceritakan peristiwa pembunuhan dan menganggap remeh peristiwa hilangnya nyawa
seseorang. Subjek menggambarkan suara korban seperti kambing : ”Ya suarane kayak nyembelih
wedus”, EN mengucapkannya sambil tertawa menahan geli.
Pada Bay, beberapa bentuk mechanism moral disengagement terjadi sekaligus. 1) Moral
justification adalah ketika Bay memberi rasionalisasi atas tindak agresif yang ia lakukan. Meski
sadar bahwa tindakannya keliru bagi norma msyarakat, Bay tidak peduli melanggarnya, bahkan
justru terkesan bangga bahwa ia memiliki pengalaman tersebut:
“Nyuri boleh, ngrampok boleh, mbunuh boleh, tapi kan niatnya buat apa. Boleh ya kalau
kita merasa benar. Kita mbunuh orang kalau dia ngelawan. Kita mbunuh orang kalau dia
itu punya salah sama kita dan menurut kita nggak bisa dimaafin. Kita ngrampok, kita
nyuri karna kita memang butuh uang. Kalau nggak butuh nggak usah.
Bay menyatakan bahwa tindakan agresif apapun diperbolehkan asalkan ia memiliki alasan untuk
melakukannya, tanpa perlu peduli dampaknya pada orang lain. 2) Blaming the Victim. Bay
menyalahkan korban karena dianggap ‘memilih’ untuk mengambil pacarnya sehingga ia merasa
berhak membalas. 3) Dehumanization. Sikapnya yang memanjakan pacar dianggap kebaikan
untuk memberi segalanya untuk si pacar, tetapi sebenarnya ia memasung diri dalam
kelekatannya itu dan menjadi rapuh untuk merasa kehilangan. Dalam kondisi kehilangan serta
pribadi yang berfokus pada diri (egoisme), mudah bagi Bay untuk menganggap orang lain adalah
objeknya. Saat pembunuhan terjadi, Bay menyatakan bahwa emosinya menjadi ‘dingin’ dan
tidak melibatkan emosi sehingga tidak muncul sama sekali rasa kasihan pada korban. Ia
menuturkan:
“Yang kemaren saya rasain tu betul-betul saya tu bukan manusia kelihatannya. Saya tu
orang yang nggak punya perasaan, saya nggak peduli, saya cuman yang saya lihat di
depan mata tu cuman sampah yang harus saya hancurkan, dibakar, dirusak, cuma
seonggok daging”.
Analisis Antar Individu
4
Secara umum semua pelaku cenderung menggunakan solusi pro agresi dalam menyelesaikan
masalah yang mereka hadapi di masa lalu. Dalam proses perencanaan pembunuhan, mereka tidak
memperhitungkan cenderung tidak peduli tentang dampak yang harus mereka tanggung,
mengindikasikan terjadinya permasalahan pada standard moral yang berkembang dalam diri
subjek. Mekanisme moral disengagement yang paling dominan mereka miliki adalah
dehumanization dan blaming the victim bahkan salah satu subjek masih merasa dendam pada
korban yang telah dibunuhnya. Dengan mekanisme tersebut, tidak muncul penyesalan dalam diri
pelaku dan masih terjadi potensi pengulangan pelanggaran hukum di masa mendatang.
Kesimpulan
Dehumanisasi disertai ‘blaming the victim’ merupakan mekanisme disengagement moral
yang memungkinkan hilangnya rasa bersalah pada pelaku. Proses perencanaan dalam sebuah
tindakan pembunuhan
memungkinkan proses rasionalisasi bisa jadi berbeda daripada pada
tindakan pembunuhan spontan. Pada pembunuhan terencana telah terjadi pemikiran dan
perhitungan konsekuensi meski pada level rendah. Pengulangan tindakan kekerasan
kemungkinan bisa terjadi pada pelaku dengan karakteristik: Mekanisme disengagement berat,
tidak ada pengakuan bersalah, dan tidak ada penyesalan. Ketiganya ciri dimiliki oleh ketiga
subjek, khususnya EN dan BE.
Daftar Pustaka
http://smslap.ditjenpas.go.id diunduh tanggal 2 November 2015.
Bandura, A. (1991). Self-regulation of motivation through anticipatory and self-regulatory
mechanisms. In R. A. Dienstbier (Ed.), Perspectives on motivation: Nebraska symposium on
motivation (Vol. 38, pp. 69-164). Lincoln: University of Nebraska Press
Bandura A1, Caprara GV, Barbaranelli C, Pastorelli C, Regalia C. (2001). Sociocognitive selfregulatory mechanisms governing transgressive behavior. Journal of Personality Social
Psychology, 80 (1), 125-35.
Bandura A1, , Barbaranelli C, Caprara,GV., Pastorelli C, (1996), Mechanisms of moral
disengagement in the exercise of moral agency. Journal of Personality and Social
Psychology, 71 (2), 364-374.
Tsang, J. (2000). Moral rationalization and the integration of situational factors and
psychological processes in immoral behavior . Review of General Psychology , 6, 1, 25–
50. doi: 10.1037//1089-2680.6.1.25
5
6
Download