PRAKTIK PERLAKUAN AKUNTANSI ASET BIOLOGIS PADA PERUSAHAAN PERKEBUNAN (PERSERO) DI INDONESIA Rani Dame Simanjorang Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana Supatmi Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] Abstract The accounting for biological assets in Indonesia is not yet standardized clearly. Although International Accounting Standards Committe (IASC) has published IAS 41 on agriculture that regulate biological assets, but until now Indonesia not yet adopted it. This study aims to describe the accounting for biological assets, ie plantations, in PT. PTPN / PTPN (Persero) Indonesia, and compared with IAS 41. The research data is the financial statements issued by PTPN through the company website related. The results found the accounting of plantations in PTPN are based on SFAS 14 and 16. If it is compared with IAS 41, the recognition is not different, but different in terms of measurement and the presentation and disclosure. About measurements, PTPN measure biological assets held at cost, whereas IAS 41 using the fair value method. PTPN present and reveal the biological assets of the nursery until the processing of agricultural products at the point of harvest into finished products below depreciation, while IAS 41 only organize and express biological assets up to the point of harvest only and do not reveal shrinkage. Keyword: Accounting, Biological asset, SFAS 14, SFAS 16, IAS 41, PTPN Abstrak Perlakuan akuntansi aset biologis di Indonesia belum terstandar dengan jelas. Meskipun IASC (International Accounting Standards Committee) telah menerbitkan IAS 41 tentang agrikultur yang mengatur aset biologis, tetapi sampai saat ini Indonesia belum mengadopsinya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perlakuan akuntansi aset biologis, yaitu perkebunan, di PT.Perkebunan Nusantara/PTPN (Persero) di Indonesia serta membandingkannya dengan IAS 41. Data penelitian berupa laporan keungan yang diterbitkan oleh 14 PTPN melalui website perusahaan terkait. Hasil penelitian menemukan perlakukan akuntansi untuk tanaman perkebunan di PTPN didasarkan pada PSAK 14 dan 16. Apabila dibandingkan dengan IAS 41, perlakuan akuntansi tersebut dalam hal pengakuan tidak berbeda, namun berbeda dalam hal pengukuran serta penyajian dan pengungkapan. Terkait pengukuran, PTPN mengukur aset biologis yang dimiliki berdasarkan biaya perolehan sedangkan IAS 41 menggunakan metode nilai wajar. PTPN menyajikan dan mengungkapkan aset biologis dari pembibitan hingga pengolahan produk agrikultur pada titik panen menjadi produk jadi berikut penyusutannya, sedangkan IAS 41 hanya mengatur dan mengungkapkan aset biologis sampai pada titik panen saja dan tidak mengungkapkan penyusutan. Kata Kunci: Perlakuan Akuntansi, Aset Biologis, PSAK 14, PSAK 16, IAS 41, PTPN 1 PENDAHULUAN Perusahaan agrikultur merupakan bagian penting dalam perekonomian Indonesia, hal tersebut terlihat dari data Departemen Pertanian yang menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan pertanian di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Selain itu sektor agrikultur juga telah mampu menyerap 38% tenaga kerja dan menyumbang 13% di dalam perekonomian Indonesia, bahkan sektor ini juga memiliki peranan dalam menjaga ketahanan pangan nasional (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2011). Perusahaan agrikultur khususnya perkebunan dalam aktivitasnya memiliki aset yang berbeda dengan aset yang dimiliki oleh perusahaan di bidang lain. Dalam artikel yang ditulis oleh Sari dan Martini (2011) mengenai Historical Cost vs Fair Value Accounting atas Pengakuan dan Penilaian Tanaman Perkebunan, disebutkan bahwa industri perkebunan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan sektor industri lain, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas pengelolaan dan transformasi biologis atas tanaman untuk menghasilkan produk yang akan dikonsumsi atau diproses lebih. Dengan adanya transformasi biologis itu maka diperlukan suatu pengukuran yang dapat menunjukan nilai aset pada perusahaan agrikultur secara wajar sesuai dengan kontribusinya dalam menghasilkan aliran keuntungan yang ekonomis bagi perusahaan. Pada tahun 2000 International Accounting Standar Committee (IASC) telah mempublikasikan International Accounting Standard 41 (IAS 41) tentang agrikultur yang mengatur tentang perlakuan akuntansi selama periode pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi, serta untuk pengukuran awal hasil pertanian pada titik panen. IAS 41 sangat mempengaruhi entitas penilaian aset biologis perkebunan karena berdasarkan IAS 41 dibedakan penilaian atas aset biologis yang mengalami transformasi biologis. Namun sampai dengan saat ini, Indonesia masih belum mengadopsinya. Setelah hampir 11 tahun IAS 41 dipublikasikan pada tahun 2003, Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan Akuntan 2 Indonesia (DSAK-IAI) belum menerbitkan PSAK yang mengacu pada IAS 41 karena IAS 41 masih direvisi beberapa kali dari tahun ke tahun karena terdapat kesalahan dalam konsepnya, kesalahan dalam konsep tersebut belum dikaji dampak untuk praktik akuntansinya bagaimana, revisi IAS 41 yang terakhir adalah revisi tahun 2009 (Handoko, 2011). Sementara itu, perlakuan akuntansi aset biologis di Indonesia selama ini lebih mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 14 tentang persediaan dan PSAK 16 tentang aset tetap, yang lebih menyinggung aset ‘sebagai benda mati’ dan bukan aset biologis ‘sebagai benda hidup’ yang mengalami transformasi biologis. Munculnya IAS 41 menimbulkan minat beberapa peneliti untuk melakukan penelitian terkait dengan perlakuan akuntansi aset biologis untuk industri agrikultur. Penelitian Ridwan (2011) dan Safitri (2012) menyebutkan bahwa pengukuran aset biologis berupa tanaman perkebunan yang berdasarkan harga perolehan sebagaimana PSAK 14 dan 16, dipandang belum mampu memberikan informasi yang relevan bagi pengguna laporan keuangan, karena nilai tersebut belum mampu menunjukkan informasi tentang nilai sebenarnya yang dimiliki oleh aset biologis, sebagaimana IAS 41. Sementara itu penelitian Widyastuti (2012) tentang perbandingan perlakuan akuntansi sebelum dan sesudah penerapan IAS 41 pada PT. Sampoerna Agro, Tbk. menemukan tidak ada perbedaan signifikan dalam pengakuan, pengukuran, dan penilaian aset biologis. Hasil penelitian yang telah disebutkan di atas belum menyimpulkan apakah IAS 41 penting diadopsi di Indonesia. Perbedaan hasil penelitian Ridwan (2011) dan Safitri (2012) dengan penelitian Widyastuti (2012) membuat topik penelitian tentang perlakuan akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia menarik untuk diteliti kembali. Penelitian ini dilakukan pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia yaitu PTPN I – PTPN XIV (Persero) yang bergerak dalam bidang perkebunan. Penelitian ini hanya berupa studi kasus dan membatasi penelitian 3 ini dengan mengambil objek penelitian hanya pada aset biologis berupa tanaman perkebunan yang dimiliki oleh PTPN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan akuntansi aset biologis perkebunan pada perusahaan agrikultur di Indonesia yaitu PTPN yang masih menggunakan PSAK 14 dan PSAK 16 sebagai standar pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapannya di dalam laporan keuangan, selanjutnya membandingkannya dengan perlakuan akuntansi aset biologis berdasarkan IAS 41. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi perusahaan dalam perlakuan akuntansi aset biologisnya agar lebih andal. Bagi dunia akademik penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan bagi peneliti-peneliti di masa datang mengenai aset biologis. Bagi DSAK-IAI, penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi dasar pertimbangan perlu atau tidaknya IAS 41 diadopsi di Indonesia. TELAAH LITERATUR International Accounting Standard 41 Tentang Agriculture (IAS 41) Pada tahun 2000, IASC menerbitkan IAS 41 pada bulan Desember 2000 dan menjadi efektif untuk laporan keuangan yang mencakup periode mulai atau setelah Januari 2003, dan revisi IAS 41 yang digunakan sekarang yaitu revisi 2009. IAS 41 mengatur perlakuan akuntansi untuk aktivitas agrikultural sebagaimana tercermin dalam kalimat pembukaan standar akuntansi tersebut: IAS 41 mengatur perlakuan akuntansi, penyajian laporan keuangan, dan pengungkapan yang berhubungan dengan kegiatan pertanian, suatu hal yang tidak tercakup dalam standar lainnya. Kegiatan pertanian adalah manajemen oleh entitas dari transformasi biologis dari hewan hidup atau tanaman (aset biologis) untuk penjualan, hasil pertanian, atau aset biologis tambahan (IAS 41 paragraf 1). IAS 41 berlaku untuk aset biologis dengan pengecualian tanah yang berkaitan dengan aset biologis, aset tidak berwujud 4 yang berkaitan dengan aktivitas agrikultur, dan hibah pemerintah yang berkaitan dengan aset biologis tersebut (IAS 41 paragraf 2). Aset biologis merupakan jenis aset berupa hewan dan tumbuhan hidup, seperti yang didefinisikan dalam IAS 41 paragraf 5:“Biological asset is a living animal or plant”. Jika dikaitkan dengan karakteristik yang dimiliki oleh aset, maka aset biologis merupakan jenis aset berupa tanaman pertanian maupun perkebunan dan hewan peternakan yang diolah dan dimiliki oleh perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (Ridwan 2011). Aset biologis merupakan aset yang sebagian besar digunakan dalam aktivitas agrikultur, karena aktivitas agrikultur adalah aktivitas usaha dalam rangka manajemen transformasi biologis dari aset biologis untuk menghasilkan produk yang siap dikonsumsikan atau yang masih membutuhkan proses lebih lanjut. Aset biologis memiliki karakteristik yang berbeda dengan aset lainnya karena aset biologis mengalami transformasi biologis. Tranformasi biologis merupakan proses pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi yang disebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada makhluk hidup dan menghasilkan aset baru dalam bentuk produk agrikultur atau aset biologis tambahan pada jenis yang sama (IAS 41 paragraf 5). Berikut ini dijabarkan perlakuan akuntansi aset biologis menurut IAS 41, mulai dari pengakuan awal, pengukuran, serta penyajian dan pengungkapannya: Pengakuan awal Entitas mengakui aset biologis menghasilkan hanya ketika aset merupakan akibat dari peristiwa masa lalu, besar kemungkinan manfaat ekonomi masa depan akan mengalir ke entitas, dan nilai wajar atau biaya aset dapat diukur secara andal (IAS 41 paragraf 10). Aset biologis menurut IAS 41 dibagi menjadi aset biologis belum dewasa dan aset biologis dewasa, serta persediaan berupa produk agrikultur pada titik panen. Suatu aset disebut sebagai aset biologis belum dewasa apabila umur atau manfaat aset biologisnya kurang dari 5 atau sama dengan satu tahun dan disebut sebagai aset biologis dewasa apabila umur aset biologisnya lebih dari satu tahun serta telah mencapai spesifikasi untuk di panen. Pengukuran Aset biologis dalam lingkup IAS 41 diukur pada pengakuan awal dan pada tanggal laporan keuangan pada nilai wajar berbasis harga pasar setelah dikurangi dengan taksiran biaya untuk menjual (IAS 41 paragraf 12). IAS 41 memperkenalkan pendekatan nilai wajar (fair value) berbasis harga pasar untuk mengukur aset biologis yaitu aset tanaman dan hewan ternak. Pendekatan ini mengasumsikan adanya harga pasar untuk tanaman dan hewan ternak yang sedang tumbuh. Walaupun demikian, IASB juga menyimpulkan bahwa, dalam kasus tertentu, nilai wajar tidak dapat diukur dengan andal (IAS 41 par.B19). Konsekuensinya diputuskan untuk memasukkan ‘pengecualian keandalan’ (reliability exception) untuk kasus dimana harga yang ditentukan pasar tidak tersedia, dan alternatif estimasi nilai wajar (alternative estimates of fair value) dinyatakan secara jelas tidak dapat diandalkan. Dalam kasus-kasus seperti ini, aset biologis seharusnya diukur dengan biaya perolehannya dikurangi dengan akumulasi depresiasi dan penurunan nilai aset (IAS 41 paragraf B20). IAS 41 menyatakan bahwa penentuan nilai wajar untuk aset biologis atau hasil yang dipanen dapat difasilitasi dengan mengelompokkan aset biologis atau hasil yang dipanennya berdasarkan atribut pentingnya, contohnya umur atau kualitas. Entitas memilih atribut ini sesuai dengan atribut yang digunakan di pasar untuk menentukan harga (IAS 41 paragraf 15). IAS 41 paragraf 17-24 memberikan aturan dalam menentukan nilai wajar aset biologis dan hasil yang akan dipanen. Aturan tersebut yaitu berdasarkan pasar aktif, jika terdapat pasar aktif untuk aset biologis atau hasil yang dipanennya, harga kuotasi di pasar merupakan dasar yang tepat untuk nilai wajar aset tersebut. Jika entitas memiliki akses terhadap berbagai pasar yang aktif, maka harus dipilih harga pasar yang paling relevan, dan jika tidak terdapat pasar yang aktif, maka entitas harus menggunakan salah satu atau lebih 6 antara harga pasar transaksi terakhir, harga pasar untuk aset yang sama dengan memperhitungkan penyesuaian untuk perbedaan, dan berdasarkan biaya historis dalam menentukan nilai wajarnya. Penyajian dan Pengungkapan Entitas mengungkapkan keuntungan agregat atau kerugian yang timbul selama periode berjalan, deskripsi dari setiap kelompok aset biologis, jika tidak diungkapkan sebagai informasi yang dipublikasikan dengan laporan keuangan maka entitas harus menjelaskan sifat kegiatan yang melibatkan setiap kelompok aset biologis, entitas harus mengungkapkan metode dan asumsi signifikan yang diterapkan dalam menentukan nilai wajar setiap kelompok hasil pertanian pada titik panen dan setiap kelompok aset biologis, entitas harus mengungkapkan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual dari produk agrikultural yang telah dipanen selama periode tertentu, entitas mengungkapkan keberadaan dan jumlah tercatat dari aset biologis, entitas harus menyajikan daftar rekonsiliasi perubahan dalam nilai tercatat pada aset biologis di antara awal dan akhir periode berjalan (IAS 41 Paragraf 40-50). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK ) 14 Tentang Persediaan dan PSAK 16 Tentang Aset Tetap Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 14 (2008) disebutkan bahwa persediaan adalah aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa, dalam proses produksi untuk penjualan tersebut atau dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa (PSAK 14 paragraf 5). Sementara itu definisi aset tetap dalam PSAK 16 paragraf 6 adalah aset berwujud yang (a) dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan (b) diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode (PSAK 16 paragraf 6). 7 Berikut ini dijabarkan perlakuan akuntansi persediaan menurut PSAK 14 dan aset tetap menurut PSAK 16, mulai dari pengakuan, pengukuran, serta penyajian dan pengungkapannya: Pengakuan Suatu aset dapat diklasifikasikan sebagai persediaan bila memenuhi salah satu kriteria berikut: barang yang dibeli untuk dijual kembali, barang jadi yang diproduksi atau barang dalam penyelesaian yang sedang diproduksi termasuk bahan serta perlengkapan yang akan digunakan dalam proses produksi (PSAK 14 paragraf 7). Sedangkan suatu aset tetap yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan (PSAK 16 paragraf 15). Biaya perolehan aset tetap secara ringkas meliputi harga perolehan, biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung, serta estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi aset. Pengukuran Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang lebih rendah (PSAK 14 paragraf 8). Biaya persediaan harus meliputi biaya pembelian, biaya konversi, biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini (PSAK 14 paragraf 9). Sedangkan nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan (PSAK paragraf 5). Biaya persediaan mungkin tidak akan diperoleh kembali jika persediaan rusak, seluruh atau sebagian persediaan telah usang, atau harga jualnya telah menurun. Biaya persediaan juga tidak akan diperoleh kembali jika estimasi biaya penyelesaian atau estimasi biaya untuk membuat penjualan telah meningkat. Praktek penurunan nilai persediaan di bawah biaya menjadikan nilai realisasi neto konsisten dengan pandangan bahwa aset seharusnya tidak dinyatakan melebihi perkiraan jumlah yang dapat direalisasi dari penjualan atau penggunaannya (PSAK 14 paragraf 26). 8 Untuk pengukuran aset tetap setelah pengakuan awal, dalam PSAK 16 menyatakan bahwa entitas dapat memilih model biaya (paragraf 30) atau model revaluasi (paragraf 31) sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama (PSAK 16 paragraf 29). Menurut Model Biaya (Cost Model), setelah diakui sebagai aset, aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 paragraf 30). Sedangkan menurut Model Revaluasi (Revaluation Model), setelah diakui sebagai aset, aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi (PSAK 16 paragraf 36). Setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset harus disusutkan secara terpisah (PSAK 16 paragraf 44). Pilihan yang disediakan untuk entitas memilih antara model biaya atau model revaluasi ini menjadi hal yang menarik dari PSAK 16. Penyajian dan Pengungkapan Dalam PSAK 14, laporan keuangan harus mengungkapkan kebijakan akuntansi yang digunakan dalam pengukuran persediaan termasuk rumus biaya yang digunakan, total jumlah tercatat persediaan dan jumlah nilai tercatat menurut klasifikasi yang sesuai bagi entitas, jumlah tercatat persediaan yang dicatat dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual, jumlah persediaan yang diakui sebagai beban selama periode berjalan, jumlah setiap penurunan nilai yang diakui sebagai pengurang, kondisi atau peristiwa penyebab terjadinya pemulihan nilai persediaan yang diturunkan dan nilai tercatat persediaan yang diperuntukkan sebagai jaminan kewajiban (PSAK 14 paragraf 34). 9 Sementara dalam PSAK 16, laporan keuangan harus mengungkapkan dasar pengukuran aset tetap yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat bruto, metode penyusutan yang digunakan, umur manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan, jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan (dijumlahkan dengan akumulasi rugi penurunan nilai) pada awal dan akhir periode, dan rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan penambahan (PSAK 16 paragraf 74). Laporan keuangan juga harus mengungkapkan keberadaan dan jumlah restriksi atas hak milik dan aset tetap yang dijaminkan untuk liabilitas, jumlah pengeluaran yang diakui dalam jumlah tercatat aset tetap yang sedang dalam pembangunan, jumlah komitmen kontraktual dalam perolehan aset tetap, dan jumlah kompensasi dari pihak ketiga untuk aset tetap (aset tetap yang mengalami penurunan nilai, hilang atau dihentikan yang dimasukkan dalam laba rugi) (PSAK 16 paragraf 75). METODA PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini yaitu semua perusahaan perkebunan milik pemerintah di Indonesia yakni PTPN I – PTPN XIV. Dari 14 PTPN, ada lima perusahaan yaitu PTPN VIII, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII dan PTPN XIV yang tidak mempublikasikan laporan keuangan tahun 2012, sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah sembilan perusahaan perkebunan milik pemerintah di Indonesia sebagaimana tabel 1 berikut: 10 Tabel 1. PTPN di Indonesia No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Nama PTPN I PTPN II PTPN III PTPN IV PTPN V PTPN VI PTPN VII PTPN IX PTPN XIII Lokasi Langsa, Provinsi Aceh Tanjung morawa, Sumut Medan, Sumatra Utara Medan, Sumatra Utara Pekanbaru, Riau Jambi Bandar Lampung Semarang, Jawa tengah Kalimantan Komoditas Tahun berdiri Kelapa sawit, Karet 1996 Kelapa sawit 1996 Kelapa sawit, Karet 1996 Kelapa sawit, Teh 1996 Kelapa sawit, Karet 1996 Kelapa Sawit, Teh 1996 Kelapa sawit, Karet, Teh 1996 Karet, Kopi, Teh 1996 Kelapa sawit, Karet 1996 Sumber: Data sekunder diolah, 2014. Data penelitian berupa laporan keuangan tersebut diperoleh dari website resmi semua perusahaan perkebunan yang akan diteliti. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk memberikan gambaran mengenai perlakuan akuntansi aset biologis meliputi pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan berdasarkan standar yang berlaku di PTPN (Persero). Dengan metode analisis deskriptif kualitatif, data yang diperoleh dari website resmi PTPN (Persero) dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menjelaskan datadata yang diperoleh untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh hingga tersaji ke dalam laporan keuangan. Hasil analisis tersebut menggunakan analisis isi (content analysis), yaitu metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah teks (Bell, 2001). Analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam komunikasi (Bungin, 2001; 220). Setelah mendapatkan gambaran penuh tentang proses pengakuan, pengukuran, serta penyajian dan pengungkapan aset biologis berupa tanaman perkebunan pada sembilan perusahaan yang diteliti, kemudian membandingkan perlakuan akuntansi aset biologis perkebunan yang diterapkan di Indonesia dengan perlakuan akuntansi aset biologis berdasarkan IAS 41. 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini akan dijabarkan perlakukan akuntansi aset biologis di PTPN beserta perbandingannya dengan IAS 41 yang meliputi pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapannya. Pengakuan aset biologis di PTPN Di dalam laporan keuangan PTPN, aset biologis dibagi atas aset tanaman semusim, tanaman belum menghasilkan, tanaman menghasilkan, dan persediaan, seperti dijelaskan singkat dalam tabel berikut: Bagan 1. Pengakuan Aset Biologis Secara Umum di PTPN Aset Tanaman Semusim (ATS) Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Tanaman Menghasilkan (TM) Aset diakui sebagai tanaman semusim adalah aset pembibitan berupa bibit untuk tanaman yang akan datang. Aset diakui sebagai TBM adalah selama masa awal penanaman sampai memenuhi syarat diakui sebagai TM Aset diakui sebagai TM apabila telah siap panen dan memenuhi syarat yang ditentukan oleh pertumbuhan vegetatif dan berdasarkan taksiran manajemen Persediaan Aset diakui persediaan yaitu berupa hasil panen dan produk olahan Sumber: Data sekunder diolah, 2014. Dari sembilan PTPN yang menjadi sampel penelitian ditemukan tidak semua PTPN mempunyai keempat kategori tersebut, dimana hanya PTPN II dan PTPN IX yang memiliki aset biologis berupa ATS sedangkan tujuh PTPN lainnya hanya membagi aset biologisnya ke dalam tiga kategori yaitu TBM, TM, dan persediaan. Ini menunjukkan bahwa PTPN II dan IX terdapat pembibitan, baik dipakai sendiri oleh PTPN terkait ataupun bibit ini dijual ke PTPN lain sehingga ada pengakuan sebagai persediaan bibit. Jika PTPN tersebut memiliki pembibitan yang selanjutnya ditanam ke areal perkebunannya sendiri maka bibit tersebut diakui sebagai ATS. PTPN yang tidak memiliki pembibitan sendiri dan membeli bibitnya 12 dari PTPN lain akan mengakui bibit tersebut sebagai input bibit yang biaya perolehannya termasuk ke dalam TBM. Di dalam laporan keuangan, ATS dikategorikan sebagai aset lancar karena ATS yang dapat ditanam sendiri sebagai tanaman perkebunan atau dijual ke PTPN lain digunakan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal awal pelaporan. TBM dan TM diklasifikasikan sebagai aset tidak lancar karena bersifat jangka panjang yaitu mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan. TBM direklasifikasi menjadi TM pada saat tanaman tersebut dianggap sudah mampu menghasilkan produk agrikultur. Jangka waktu tanaman dapat menghasilkan ditentukan oleh pertumbuhan vegetatif tanaman serta berdasarkan taksiran manajemen dengan ketentuan yang telah disepakati dan ditetapkan oleh manajemen perusahaan. Persediaan dikategorikan sebagai aset lancar. Persediaan yaitu produk agrikultur dari tanaman menghasilkan pada PTPN. Produk agrikultur tersebut setelah dipanen diakui sebagai persediaan untuk dijual atau dapat juga digunakan sebagai bahan baku dari proses produksi untuk menghasilkan produk baru berupa persediaan barang jadi. Kriteria pengakuan untuk semua komoditas aset biologis PTPN di Indonesia yang terdiri dari kelapa sawit, karet, teh, dan kopi, sama-sama diklasifikasikan ke dalamempat kategori. Untuk katerori ATS dan TBM, semua komoditas tersebut memiliki kriteria pengakuan yang sama, dimana ATS terdiri dari pembibitan dan input bibit, sedangkan TBM merupakan tanaman perkebunan sejak masa awal penanaman sampai memenuhi syarat diakui sebagai TM. Aset Tanaman Semusim (ATS) untuk PTPN yang memiliki pembibitan sendiri diakui sebagai pembibitan yang dapat dijual ke PTPN lain atau ditanam sendiri sebagai tanaman perkebunan. Untuk PTPN yang tidak memiliki pembibitan sendiri, maka PTPN tersebut membeli bibit dari perusahaan lain dan mengakui bibit tersebut sebagai input bibit yang biaya perolehannya dihitung termasuk ke dalam biaya perolehan Tanaman Belum 13 Menghasilkan (TBM). Sementara itu dalam kategori TM dan persediaan, semua komoditas tersebut memiliki kriteria yang berbeda seperti dijelaskan pada bagan berikut: Bagan 2. Kriteria Pengakuan TM dan Persediaan Per Komoditas Tanaman Menghasilkan (TM) Persediaan Kelapa Sawit Umur 3-3,5 tahun, produksi Tandan Buah Segar (TBS) 4-6 ton per hektar per tahun, atau antara 60-70% dari seluruh jumlah pohon per blok telah menghasilkan TBS dengan berat >= 3 kg. Hasil panen berupa TBS dan produk olahan seperti minyak sawit dan inti sawit Karet Umur 5-6 tahun, 60% dari seluruh pohon per blok sudah dapat dideres dan mempunyai ukuran lilit batang lebih besar dari 45 cm dari pertautan okulasi. Hasil panen berupa getah dan produk olahannya berupa karet kering Teh Umur 3-4 tahun, pertumbuhan darun yang telah saling bertemu antar saru pokok dengan pokok lainnya mencapai 70%, dan 60% daun dari seluruh jumlah pohon per blok telah dapat dipetik. Hasil panen berupa daun teh basah dan produk olahannya berupa teh jadi. Telah memasuki tahun ke empat. Hasil panen berupa buah kopi dan produk olahannya berupa kopi jadi Kopi Sumber: Data sekunder diolah, 2014. Pengakuan aset biologis PTPN di Indonesia menerapkan standar yang berbeda di setiap kriteria. Untuk TBM dan TM, PTPN menggunakan PSAK 16 tentang aset tetap sebagai standarnya yakni menggunakan biaya perolehan serta mengakui adanya penyusutan, dan untuk persediaan perusahaan menggunakan PSAK 14 atau IAS 2 sebagai standarnya yaitu dapat memilih mana yang paling rendah antara biaya perolehan dan nilai realisasi neto. Pengakuan TM di beberapa PTPN bervariasi, ada kemungkinan hal tersebut disebabkan lokasi, letak geografis, dan cuaca di setiap perusahaan perkebunan. 14 Karena TM dinilai mampu memberikan kontribusi manfaat ke dalam perusahaan yakni berupa kemampuan untuk menghasilkan produk agrikultur, maka perlu diadakan pengakuan terhadap pemakaian manfaat tersebut ke dalam setiap periode dimana manfaat tersebut dipakai. Cara untuk mengakui pemakaian manfaat dari tanaman telah menghasilkan adalah dengan menghitung penyusutan terhadap nilai tanaman perkebunan. Penyusutan tanaman perkebunan dimulai sejak TBM direklasifikasi ke TM. Dengan adanya penyusutan tanaman perkebunan berupa TM maka PTPN mengakui adanya pengurangan aset sebagai hasil dari penyusutan umur ekonomis aset tanaman perkebunan. Metode penyusutan tanaman perkebunan telah disesuaikan berdasarkan pedoman akuntansi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perkebunan yang penerapannya telah diberlakukan untuk BUMN perkebunan sejak tanggal 1 Januari 2009 berdasarkan surat dari Kementerian Negara BUMN Nomor :S206/D4.MBU/2008 tanggal 7 Oktober 2008. Penyusutan dihitung berdasarkan taksiran masa manfaat ekonomis aset tanaman dengan menggunakan metode garis lurus yang dapat diuraikan sebagai berikut: Tabel 2. Penyusutan Aset Biologis PTPN di Indonesia Komoditas Kelapa sawit Karet Teh Kopi Umur ekonomis 25 tahun 25 tahun 50 tahun 40 tahun Tarif penyusutan per tahun 4% 4% 2% 2,5% Sumber: Data sekunder diolah, 2014. Dari tabel diketahui bahwa tanaman teh memiliki umur ekonomis yang paling tinggi, kemudian diikuti kopi dengan umur ekonomis 40 tahun, dan yang memiliki umur ekonomis paling sedikit yaitu tanaman kelapa sawit dan karet yakni 25 tahun. Tarif penyusutan aset biologis telah sesuai dengan pedoman akuntansi BUMN perkebunan yang menggunakan metode garis lurus dalam menghitung penyusutannya. Dengan metode garis lurus PTPN membagi manfaat ekonomi dari tanaman telah menghasilkan sama besar setiap periodenya 15 sampai dengan masa manfaat dari tanaman telah menghasilkan dapat digunakan. Semakin tinggi umur ekonomis suatu tanaman perkebunan maka semakin kecil tarif penyusutannya. Jika pengakuan tanaman perkebunan PTPN di atas dibandingkan dengan ketentuan menurut IAS 41, maka dijabarkan dalam tabel berikut ini: Tabel 3. Perbandingan Pengakuan Aset Biologis Menurut IAS 41 dan PTPN IAS 41 Aset Biologis diakui sebagai Aset biologis belum dewasa, aset biologis dewasa, dan persediaan Aset biologis belum dewasa diklasifikasikan aset lancar, aset biologis dewasa diklasifikasikan aset tidak lancar, dan persediaan diklasifikasikan aset lancar. Penyusutan diakui ketika nilai wajar tidak dapat ditentukan sehingga perusahaan menilai aset biologis dengan biaya perolehan, dan metode serta tarif penyusutannya sesuai dengan kebijakan perusahaan. Sumber: Data sekunder diolah, 2014. PTPN Aset biologis terbagi atas Aset Tanaman Semusim (ATS), Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), Tanaman Menghasilkan (TM ), dan Persediaan hasil panen Aset Tanaman Semusim (ATS) diklasifikasikan aset lancar, Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM ) diklasifikasikan aset tiak lancar, dan Persediaan hasil panen sebagai aset lancar. Penyusutan dihitung berdasarkan taksiran masa manfaat ekonomis aset tanaman dengan menggunakan metode garis lurus. Berdasarkan tabel di atas, pengakuan atas tanaman perkebunan menurut PTPN dan IAS 41 secara umum sama, perbedaannya hanya terletak pada istilah aset biologis, namun keduanya sama-sama mengklasifikasikan aset tersebut mengikuti transformasi atau pertumbuhan aset. Aset biologis belum dewasa menurut IAS 41 sama halnya ATS dan TBM di PTPN, sementara aset biologis dewasa merupakan TM di PTPN, dimana aset biologis belum dewasa yang sudah memenuhi syarat diakui sebagai aset biologis dewasa direklasifikasi menjadi aset biologis dewasa. Selanjutnya produk agrikultur pada titik panen diakui sebagai persediaan, dimana PTPN mengakui persediaan dari titik panen sampai menjadi barang jadi, sedangkan IAS 41 hanya mengatur standar aset biologis sampai persediaan pada titik panen saja. IAS 41 diterapkan pada produk agrikultur berupa hasil 16 pertanian pada titik panen namun untuk pengolahan produk agrikultur menjadi persediaan barang jadi tidak diatur di dalam IAS 41 tetapi diatur sendiri di dalam IAS 2 tentang inventory (IAS 41 paragraf 3) atau jika di Indonesia menggunakan PSAK 14 tentang persediaan. Sementara itu terkait penyusutan, menurut IAS 41 bagi perusahaan yang melakukan penilaian terhadap aset biologis menggunakan nilai wajar, seharusnya tidak mengakui adanya akumulasi penyusutan, kecuali ketika nilai wajar tidak dapat ditentukan maka perusahaan menilai aset biologis dengan biaya perolehan sehingga penyusutan tetap diakui dan metode serta tarif penyusutannya sesuai dengan kebijakan perusahaan. Sedangkan PTPN mengakui adanya penyusutan secara berkala berdasarkan taksiran masa manfaat ekonomis aset tanaman dengan menggunakan metode garis lurus. Adanya pengakuan penyusutan aset biologis pada perusahaan tentu berdampak pada penurunan laba rugi pada tahun berjalan. Pengukuran Aset Biologis di PTPN Pengukuran aset biologis PTPN di Indonesia untuk semua komoditas sama sesuai dengan kriterianya yaitu sebagai berikut: a) Aset Tanaman Semusim (ATS) dinyatakan sebesar biaya yang berhubungan dengan input bibit, tenaga kerja langsung dan biaya yang dapat diatribusikan secara langsung dan tidak langsung. Biaya penyisipan suatu aset tanaman dalam areal pembibitan diakui sebagai penambah jumlah tercatat aset tanaman semusim. Penyusutan aset tanaman semusim dimulai ketika bibit ditanam menjadi tanaman siap panen. Jumlah penyusutan adalah sebesar jumlah yang dapat disusutkan dengan metode garis lurus tanpa dikurangi nilai residu. Entitas melakukan review atas umur manfaat dan metode penyusutan aset tanaman semusim secara periodik. 17 b) Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dinyatakan sebesar biaya perolehan, terdiri dari biaya langsung seperti biaya-biaya pembibitan, persiapan lahan, penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan atas TBM serta biaya tidak langsung seperti biaya kapitalisasi biaya bunga pinjaman dan kerugian selisih kurs pinjaman dalam mata uang asing selama masa TBM. c) Tanaman Menghasilkan (TM) Diukur berdasarkan nilai yang telah direklasifikasi dari TBM ke akun tanaman telah menghasilkan pada saat tanaman tersebut mulai menghasilkan. Jangka waktu suatu tanaman dinyatakan mulai menghasilkan ditentukan oleh pertumbuhan vegetatif dan berdasarkan taksiran manajemen. d) Persediaan dinyatakan sebesar nilai yang lebih rendah antara harga perolehan dan nilai realisasi bersih (the lower of cost or net realizable value). Biaya persediaan hasil jadi terdiri dari semua biaya yang dikeluarkan untuk TM seperti biaya pemupukan, biaya pemeliharaan dan biaya panen, serta biaya pengolahan termasuk biaya olah lanjut dan biaya umum (biaya tidak langsung) yang timbul di kebun dan pabrik. Keseluruhan biaya tersebut diperhitungkan dengan nilai persediaan pada awal periode dengan menggunakan metode rata-rata tertimbang untuk menentukan harga perolehan persediaan hasil jadi. Nilai realisasi bersih adalah estimasi harga penjualan dalam kegiatan usaha normal dikurangi taksiran biaya penyelesaian dan biaya penjualan. Jika pengukuran aset biologis menurut PTPN di atas dibandingkan dengan IAS 41, maka dapat dilihat dalam tabel berikut: 18 Tabel 4. Perbandingan Pengukuran Aset Biologis Menurut IAS 41 dan PTPN IAS 41 PTPN Aset biologis berupa aset biologis belum dewasa dan aset biologis dewasa diukur sebesar nilai wajar dikurangi taksiran biaya untuk menjual Aset Biologis berupa ATS, TBM, dan TM diukur sebesar harga perolehan dikurangi akumulasi penyusutan sedangkan aset biologis berupa persediaan diukur sebesar nilai yang lebih rendah antara harga perolehan dan nilai realisasi bersih Tidak mengukur atau menghitung Mengukur atau menghitung penyusutan penyusutan ketika aset biologis telah dikategorikan sebagai TM Sumber: Data sekunder diolah, 2014. Berbeda dengan pengukuran aset biologis menurut PTPN, aset biologis menurut lingkup IAS 41 harus diukur pada pengakuan awal dan pada tanggal pelaporan berikutnya pada nilai wajar berbasis harga pasar aktif setelah dikurangi dengan taksiran biaya untuk menjual, kecuali nilai wajar tidak dapat diukur secara andal. Harga pasar aktif menurut IAS 41 sulit diketahui. Misalnya untuk komoditas kelapa sawit harga pasar dapat diketahui bila manakala terdapat kebun kelapa sawit yang akan dijual. Menurut Riyadi (2010) disebutkan contoh pada tahun 2008 harga yang ditawarkan untuk kebun kelapa sawit di Sumatera Selatan seluas 2.000 hektar dengan tahun tanam 2004 dan 2005 ditawarkan dengan harga Rp42.000.000,- per hektar dan 5.000 hektar lahan kosong siap tanam ditawarkan dengan harga Rp12.000.000,- per hektar. Harga pasar kelapa sawit sulit ditentukan karena sangat bervariasinya kondisi satu kebun kelapa sawit dengan kebun kelapa sawit lainnya karena disebabkan perbedaan wilayah, kondisi tanah, letak kebun dan skala luasnya kebun. Akibatnya nilai wajar tidak dapat ditentukan dengan andal apabila menggunakan harga pasar paling kini. Ketika nilai wajar tidak dapat ditentukan maka perusahaan dianjurkan menggunakan biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi penurunan nilai, tetapi apabila di kemudian hari nilai wajar dapat ditentukan maka tanaman perkebunan yang telah dinilai menggunakan biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan 19 akumulasi penurunan nilai tersebut harus dinilai kembali menggunakan nilai wajar dikurangi taksiran biaya untuk menjual (IAS 41 paragraf 30). Begitu juga dengan pengukuran persediaan yang merupakan hasil pertanian menurut IAS 41 diukur pada nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual pada titik panen. Menurut PTPN pada saat TBM direklasifikasi ke TM yang diukur dengan akumulasi biaya perolehan sebelumnya PTPN tidak mengakui adanya keuntungan maupun kerugian. Namun menurut IAS 41 apabila pada saat dilakukan pengukuran pada suatu periode terdapat kenaikan atau penurunan pada nilai wajar maka harus diakui sebagai keuntungan atau kerugian dan dimasukkan kedalam laporan laba rugi (IAS 41 paragraf 28). Pada PTPN harga perolehan dari aset biologis diperoleh dari biaya-biaya yang dikapitalisasi ke dalam aset biologis, tetapi menurut IAS 41 semua biaya yang berkaitan dengan aset biologis yang diukur pada nilai wajar contohnya biaya pemupukan dan pemeliharaan diakui sebagai beban pada saat terjadinya, selain biaya untuk membeli aset biologis yaitu biaya pembibitan atau biaya untuk membeli bibit. Penyajian dan Pengungkapan Aset Biologis di PTPN Di dalam laporan posisi keuangan PTPN aset biologis berupa Aset Tanaman Semusim (ATS) dan persediaan disajikan sebagai komponen aset lancar sedangkan aset biologis berupa Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan Tanaman Menghasilkan (TM) disajikan sebagai aktiva tidak lancar. Menurut IAS 41, di dalam laporan keuangan, aset biologis belum dewasa disajikan sebagai aktiva lancar dan aset biologis dewasa disajikan sebagai aktiva tidak lancar, sedangkan persediaan pada titik panen disajikan pada aset lancar. Secara umum penyajian aset biologis pada aktivitas agrikultur menurut PTPN dan menurut IAS 41 adalah sama, perbedaannya terletak pada jenis aset biologis yang diungkapkan. Pada PTPN di Indonesia dan juga menurut IAS 41 suatu perusahaan yang bergerak di bidang agrikultur harus 20 menyajikan daftar rekonsiliasi perubahan dalam nilai tercatat pada aset biologis di antara awal dan akhir periode berjalan. Pada PTPN di Indonesia perusahaan tidak hanya mengungkapkan aset biologis pada aktivitas agrikultur sampai titik panen saja, tetapi juga menyajikan produk olahan dari hasil pada titik panen. Contohnya pada kelapa sawit yaitu berupa Tandan Buah Segar (TBS) yang kemudian diolah menjadi minyak sawit dan inti sawit, kemudian inti sawit diolah menjadi minyak inti sawit yang lebih jernih dan selanjutnya digunakan sebagai minyak goreng. Namun menurut IAS 41 perusahaan hanya mengatur perlakuan akuntansi dan pengungkapan yang berhubungan dengan kegiatan pertanian sampai pada titik panen saja, pengolahan persediaan pada titik panen menjadi barang jadi diatur sendiri dalam IAS 2 atau PSAK 14 mengenai pesediaan. Pengungkapan aset biologis menurut PTPN dengan IAS 41 memiliki persamaan serta perbedaan dalam beberapa hal. Perbandingan pengungkapan aset biologis menurut PTPN dengan IAS 41 ditampilkan pada tabel berikut: Tabel 5. Perbandingan Pengungkapan Aset Biologis Menurut IAS 41 dan PTPN IAS 41 PTPN Mengungkapkan jenis dan jumlah aset biologis. Hanya mengatur perlakuan akuntansi dan hanya mengungkapkan aset biologis yang berhubungan dengan kegiatan pertanian. Untuk pengolahan hasil panen menjadi produk jadi tidak diungkapkan Mengungkapkan kebijakan akuntansi yang digunakan dalam pengukuran aset biologis Mengungkapkan jenis dan jumlah aset biologis Tidak hanya mengungkapkan aset biologis pada aktivitas agrikultur saja tetapi juga mengungkapkan pengolahan produk agrikultur pada titik panen menjadi produk jadi Mengungkapkan dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat aset biologis Mengungkapkan adanya depresiasi yang berdampak pada penurunan laba – rugi pada tahun berjalan, serta mengungkapkan metode penyusutan yang digunakan, umur, manfaat ekonomi, dan tarif penyusutan yang digunakan. Tidak mengungkapkan adanya penyusutan aset biologis, maka pada laporan laba/rugi tidak ada beban depresiasi yang berakibat adanya kenaikan pada laporan laba/rugi. Sumber: Data sekunder diolah, 2014. 21 Penyajian dan pengungkapan aset biologis menurut IAS 41 dengan menurut PTPN di Indonesia mempunyai kesamaan dalam hal pengungkapan jumlah dan jenis aset serta samasam mengungkapkan dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat aset biologis. Sedangkan perbedaannya yaitu IAS 41 hanya mengatur dan mengungkapkan aset biologis sampai pada titik panen saja, sedangkan PTPN mengungkapkan aset biologis berupa pengolahan produk agrikultur pada titik panen menjadi produk jadi. Selain itu, IAS 41 tidak mengungkapkan adanya penyusutan aset biologis, maka pada laporan laba/rugi tidak ada beban depresiasi yang berakibat adanya kenaikan pada laporan laba/rugi sedangkan PTPN mengungkapkan adanya depresiasi yang berdampak pada penurunan laba – rugi pada tahun berjalan sehingga PTPN mengungkapkan metode penyusutan yang digunakan, umur, manfaat ekonomi, dan tarif penyusutan yang digunakan. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan pada PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV (Persero), diperoleh kesimpulan bahwa PTPN (Persero) di Indonesia dalam melakukan perlakuan akuntansi aset biologisnya telah menggunakan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia yaitu prinsip akuntansi yang didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang mencakup PSAK 14 tentang persediaan dan PSAK 16 tentang aset tetap serta peraturan pemerintah yang lain yang berlaku dalam penyajian laporan keuangan perusahaan. Perbedaan perlakukan akuntansi aset biologis antara PTPN dan IAS 41 lebih kepada aspek pengukurannya, dimana PTPN lebih didasarkan pada harga perolehan sehingga mengenal adanya penyusutan, sedangkan IAS 41 diukur sebesar nilai wajar dikurangi taksiran biaya untuk menjual. Hal ini jugalah yang membuat perbedaan dalam penyajian dan pengungkapan di dalam laporan keungan. Terkait pengakuan terdapat perbedaan dalam hal 22 istilah atau nama akun untuk aset biologis, namun secara konsep tidak berbeda karena samasama mengikuti transformasi aset biologis. Perlakuan akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia telah didasarkan pada PSAK 14 tentang persediaan dan PSAK 16 tentang aset tetap. Untuk itu, IAS 41 tidak perlu diadopsi karena di Indonesia nilai wajar masih sulit ditentukan. Ketika nilai wajar tidak bisa diukur maka IAS 41 memberi opsi menggunakan biaya perolehan sebagai dasar pengukurannya, hal tersebut sama saja kembali ke dasar pengukuran menurut PSAK 16. Selain itu apabila menggunakan nilai wajar menurut IAS 41, maka laporan keuangan akan mengakui keuntungan dan kerugian yang timbul dari perubahan nilai wajar selama satu periode tetapi keuntungan dan kerugian tersebut belu direalisasi karena tidak ada transaksi penjualan atau penyerahan barang sehingga tidak terdapat arus kas masuk. Dalam situasi seperti ini apabila otoritas pajak memiliki penafsiran yang berbeda, maka akan timbul pajak terhutang dari keuntungan perubahan nilai wajar yang sebenarnya belum terealisasi, hal tersebut tentu saja merugikan perusahaan. Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu data-data yang diolah dan dianalisis hanya dari laporan keuangan yang dipublikasikan oleh PTPN tidak diverifikasi ke PTPN secara langsung dengan wawancara maupun observasi. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan melakukan verifikasi data dengan cara wawancara maupun observasi untuk memperoleh informasi yang lebih relevan mengenai perlakuan akuntansi aset biologis PTPN di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Accounting Principles Board. 1970. APB Statement No.4 Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statement of Business Enterprises. AICPA. Available at www.aicpa.org. 23 BAPEPAM. 2002. Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perkebunan. Surat Edaran Bapepam. Available at www.bapepam.go.id Baridman, Zaki. 1986. Intermediate Accounting Theory. Edisi alih bahasa. Yogyakarta: AK Group. Bell, G.F. 2001. Minority Rights and Regionalism in Indonesia. Will Constitutional Recognition lead to Disintegration and Discrimination?, Singapore Journal of internasional and Comparative Law. Available at http://heinonline.org. Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta; Kharisma Putra Utama Offset. Dewan Pembuat Standar Akuntansi (DSAK) 2008. Pernyataan Standar Akuntansi No. 14 Tentang Persediaan. Dewan Pembuat Standar Akuntansi (DSAK) 2011. Pernyataan Standar Akuntansi No. 16 Tentang Aset Tetap. Handoko. 2011. Overview IAS 41: Agriculture. Surabaya. Available at https://rogonyowosukmo.wordpress.com/2011. International Accounting Standard Committee (IASC). 2009. International Accounting Standard No. 41, Agriculture. Available at www.iasplus.com Kieso, Donald E., Jerry J. Weygandt, and Terry D. Warfield. 2011. Intermediate Accounting. IFRS Ed. New York: John Willey & Sons, Inc. Raharjo, Eko. 2007. Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntansi. Skripsi. STIE Pelita Nusantara Semarang. Available at www.stiepena.ac.id/wp- content/upload. Reeve, James M. Warren, Carl S. 2008. Principles of Accounting. Indonesia Adaptation. Indonesia: Salemba Empat Ridwan, Achmad. 2011. Perlakuan Akuntansi Aset Biologis PT. Perkebunan Nusantara XIV 24 Persero). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar. Available at www.repository.unhas.ac.id. Riyadi, Deden. 2010. Analisis Nilai Wajar Kelapa Sawit Berdasarkan International Accounting Standard 41 Agriculture Dibandingkan dengan Berdasarkan Pernyataan Standard Akuntansi 16 Aset Tetap: Studi pada PT Agro Indonesia. Skripsi. Universitas Indonesia, Jakarta. Available at www.lib.ui.ac.id/file?file=digital. Sari, K Rachma, Rita M. 2011. Historical Cost vs Fair Value Accounting atas Pengakuan dan Penilaian Tanaman Perkebunan. Jurnal Eksistansi Politeknik Negeri Sriwijaya Jurusan Akuntansi Volume 3 Tahun 2011 (362-370). Safitri, Syamsi. 2012. Perlakuan Akuntansi Aset Biologis Hubungannya Dengan Kualitas Informasi Keuangan pada PT. Perkebunan Nusantara VI Jambi. Skripsi. UPI Padang. Widyastuti, Adita. 2012. Analisis Penerapan International Accounting Standard (IAS) 41 pada PT. Sampoerna Agro, TBK. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang. Available at www.core.ac.uk/download/pdf/11735571.pdf. 25