BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan-perusahaan yang ingin mengembangkan usahanya membutuhkan dana yang besar. Kebutuhan inilah yang mendasari suatu perusahaan untuk menarik investor dari luar dalam hal pendanaan tersebut. Perusahaan-perusahaan yang menawarkan sejumlah sahamnya ke masyarakat disebut dengan go public, sedangkan perusahaannya sendiri disebut dengan emiten. Penawaran saham perdana yang ingin dilepas ke masyarakat umum dapat dilakukan di pasar perdana (primary market) yang selanjutnya dapat diperjualbelikan di pasar sekunder (secondary market). Penawaran perdana inilah yang dikenal dengan IPO (Initial Public Offering). Perekonomian di Indonesia terus bertumbuh dan berkembang dari masa ke masa. Perusahaan-perusahaan berskala kecil, menengah, maupun besar terus berusaha untuk mempertahankan keberadaan serta kelangsungan hidup perusahaan. Setiap perusahaan memiliki cara masing-masing dan membutuhkan dana yang memadai untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu cara yang dianggap paling menguntungkan dan dapat membantu perusahaan dalam perolehan dana adalah dengan melakukan penawaran umum perdana atau Initial Public Offering. IPO merupakan alternatif sumber pendanaan melalui peningkatan ekuitas perusahaan dengan cara menawarkan saham untuk pertama kalinya kepada 1 masyarakat. Terdapat dua latar belakang umum dilakukannya IPO yaitu untuk memperoleh dana dalam membangun usaha baru atau mengembangkan usaha yang telah ada. Selain itu, perusahaan terkadang melakukan IPO dengan tujuan memberikan kesempatan kepada investor untuk turut serta menanamkan investasi dalam perusahaan dan meningkatkan transparansi proses kerja sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada seluruh pemangku kepentingan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan melalui IPO yaitu peluang untuk memperoleh tambahan modal, memungkinkan perusahaan untuk melakukan diversifikasi usaha, meningkatkan nilai maupun likuiditas perusahaan, dan sebagainya. Dalam merealisasikan IPO, diperlukan penetapan harga saham perdana. Hal ini menjadi sulit karena emiten sebagai pihak penawar tidak memiliki informasi yang cukup untuk menentukan harga karena keterbatasan pengalaman. Oleh karena itu, emiten pada umumnya menyerahkan proses ini kepada pihak ketiga dalam hal ini dikenal dengan sebutan underwriter atau pihak penjamin akan berperan sebagai perantara antara emiten dengan investor. Informasi yang dimiliki underwriter lebih baik dari emiten dikarenakan pengalaman dari underwriter itu sendiri yang lebih berkecimpung di pasar modal. Di Indonesia, perjanjian dengan underwriter terbagi dalam dua tipe. Pertama adalah firm commitment, dimana underwriter menjamin membeli seluruh saham yang ditawarkan dan menjualnya kembali ke publik. Kedua adalah best effort, dimana underwriter akan menggunakan usaha terbaik mereka untuk menjual saham kepada publik. Underwriter yang menggunakan firm commitment menimbulkan faktor risiko yang cukup besar bagi underwriter dalam 2 penjaminannya terhadap saham emiten yang akan ditawarkan. Terjadi perbedaan kepentingan antara emiten dengan underwriter dimana emiten menginginkan sahamnya ditawarkan dengan harga tertinggi sedangkan underwriter cenderung ingin mengurangi risiko apabila saham yang ditawarkan tidak terserap seluruhnya sehingga underwriter harus menyerap sisa saham yang tidak laku tersebut. Dalam memperkecil risiko saham yang tidak terjual ke publik, underwriter akan menetapkan harga saham yang lebih rendah dengan memanfaatkan informasi yang dimilikinya. Penetapan harga saham perdana di bawah harga saham di pasar sekunder disebut dengan underpricing. Underpricing merupakan hasil dari ketidakpastian harga saham pada pasar sekunder. Ukuran perusahaan dan kinerja perusahaan merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan harga saham perdana. Kedua informasi ini telah dimiliki baik oleh underwriter maupun oleh emiten. Perlu diketahui seberapa besar tingkat pengaruhnya terhadap harga saham yang akan ditawarkan. Oleh karena itu banyak dilakukan penelitian mengenai kedua faktor ini. Terdapat penelitian-penelitian sebelumnya (yang secara lebih detail akan dijelaskan kemudian) yang mencoba untuk menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda yang meskipun kecenderungannya sama namun terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Faktor-faktor yang sering menjadi obyek penelitian diantaranya reputasi undewriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ukuran perusahaan serta profitabilitas (kinerja perusahaan) (Rosyati dan Sabeni, 2002; Ghozali dan Al Mansur, 2002). 3 Perbedaan-perbedaan hasil penelitian, sangat menarik untuk ditinjau lebih lanjut. Misalkan pendapat mengenai faktor ukuran perusahaan, Daljono (2000) menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing, namun penelitian yang dilakukan Rosyati dan Sabeni (2002) menyimpulkan sebaliknya. Begitu pula dengan umur perusahaan dan reputasi auditor. Ada yang menyimpulkan bahwa kedua faktor tersebut berpengaruh signifikan, namun ada juga yang menyimpulkan sebaliknya. Dalam faktor reputasi underwriter, penelitian terdahulu menyatakan bahwa faktor ini berpengaruh besar terhadap tingkat underpricing (Razafindrambinina dan Kwan, 2013). Namun, fenomena yang terjadi pada saham Krakatau Steel yang menggunakan underwriter yang memiliki reputasi baik menghasilkan underpricing yang cukup tinggi pada saat IPO. Penelitian lainnya menyatakan bahwa kinerja perusahaan tidak berpengaruh signifikan pada tingkat underpricing sedangkan umur dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan. (Daljono, 2000). Kemampuan analisis yang tepat dalam penentuan dan penetapan harga penawaran saham yang akan diterbitkan sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan IPO. Perusahaan atau emiten dalam melaksanakan IPO tentu mengharapkan mampu memperoleh dana dalam jumlah maksimal melalui penerbitan saham yang dilakukan. Namun, terdapat suatu fenomena yang sering terjadi dalam transaksi IPO di pasar modal yaitu terjadinya suatu kondisi dimana harga penawaran IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga penutupan pada hari pertama perdagangan saham di pasar sekunder (underpricing). Terjadinya 4 underpricing menyebabkan ketidakmampuan emiten untuk memperoleh dana secara maksimal atas penerbitan sahamnya. Sebaliknya, hal tersebut menguntungkan investor karena dapat memperoleh tingkat pengembalian dari selisih harga investasi (initial return). Penutupan harga penawaran perdana saham di pasar modal ditentukan berdasarkan kesepakatan antara emiten dan underwriter sedangkan harga yang terjadi di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar yaitu permintaan dan penawaran. Harga jual yang tinggi diharapkan oleh pihak emiten untuk perolehan dana secara maksimal dan peningkatan kesejahteraan. Namun dari sisi investor, harga yang tinggi dapat mempengaruhi minat dan respon untuk membeli atau memesan saham yang ditawarkan. Bila harga terlalu tinggi dan minat investor rendah maka saham yang ditawarkan akan kurang menarik. Underwriter merupakan salah satu pihak kunci yang berperan penting dalam keberhasilan IPO dan bertugas untuk menjamin penawaran serta membantu perusahaan penerbit dalam pelaksanaan IPO. Salah satu fungsi underwriter yaitu membantu menentukan harga penawaran yang tepat. Underwriter memiliki saluran distribusi, kontak, dan keahlian untuk secara lebih luas menjangkau sejumlah kelompok investor dibandingkan yang dapat perusahaan peroleh dengan usahanya sendiri (Baker dan Martin, 2011). Hal tersebut menyebabkan underwriter sebagai pihak yang lebih sering berhubungan dengan pasar modal mempunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan calon emiten. 5 Underwriter dapat menggunakan asimetris informasi tersebut untuk mengurangi risiko yang harus ditanggungnya (terkait dengan kemungkinan tidak terjualnya saham) melalui penetapan harga penawaran saham di bawah nilai yang seharusnya agar dapat menarik minat investor. Hal ini seringkali menjadi penyebab terjadinya underpricing. Penetapan harga di bawah nilai yang sesungguhnya tentu memberikan kerugian bagi emiten karena hilangnya kesempatan untuk memperoleh dana secara maksimal. Selain underwriter, auditor independen juga berkaitan erat dengan proses IPO. Auditor independen bertugas untuk melakukan audit atas laporan keuangan perusahaan. Perusahaan yang melakukan IPO adalah perusahaan go public yang memiliki kewajiban menyajikan laporan keuangan secara transparan dan periodik untuk menjamin kebenaran atas informasi yang disajikannya. Laporan keuangan tersebut harus diaudit oleh akuntan yang terdaftar resmi di badan pengawas pasar modal (Sitompul, 1996). Penggunaan auditor yang profesional dapat menjadi salah satu indikator bagi investor mengenai kualitas perusahaan dan keandalan informasi keuangan. Semakin rendah ketidakpastian atas informasi yang diperoleh dapat mempengaruhi tingkat underpricing yang mungkin terjadi. Keterkaitan erat underwriter dan auditor dalam proses IPO menjadi salah satu penyebab banyaknya penelitian yang mencoba untuk menganalisis pengaruh dua hal tersebut terhadap keberhasilan IPO dan tingkat underpricing. Selain underwriter dan auditor, beberapa penelitian sebelumnya mencoba menganalisis faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi keberhasilan IPO dan tingkat underpricing, 6 diantaranya yaitu umur perusahaan, return on Asset (ROA), dan debt to equity ratio (DER). Terdapat hasil yang berbeda-beda atas penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Beberapa peneltian menghasilkan faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh baik positif dan negatif. Beberapa penelitian lainnya mengatakan faktor-faktor tersebut tidak berpengaruh. Misalnya, umur perusahaan terkadang digunakan untuk melihat seberapa mampu perusahaan dalam menjaga eksistensi dan pertumbuhannya. Investor dapat melihat data historis untuk menilai kinerja dan baik buruknya cara perusahaan dalam mengatasi setiap masalah serta melihat peluang-peluang pasar yang ada dengan menelusuri perjalanan perusahaan. Semakin banyak informasi atas perusahaan yang dapat diperoleh investor maka semakin rendah tingkat ketidakpastian dan keraguan atas saham yang ditawarkan yang akan berdampak pada besar dan kecilnya kemungkinan terjadi underpricing. Namun, semakin lama umur perusahaan tidak selalu menunjukkan suatu perusahaan adalah perusahaan yang berkualitas dan menguntungkan untuk menjadi bahan investasi. ROA seringkali menjadi ukuran bagi investor untuk menilai seberapa menguntungkan suatu perusahaan terkait dengan aset yang dimilikinya. ROA menjadi petunjuk tentang efisiensi manajemen dalam menggunakan aset untuk menghasilkan pendapatan. Profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat mengurangi 7 keraguan investor mengenai ketidakpastian akan keberhasilan IPO yang dapat mempengaruhi tingkat underpricing yang terjadi. Financial leverage menggambarkan sejauh mana perusahaan menggunakan uang pinjaman yang dimilikinya. Perusahaan dengan tingkat pinjaman yang tinggi dianggap memiliki risiko kebangkrutan atau risiko tidak sanggup membayar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat pinjaman lebih rendah. Rasio paling umum yang digunakan untuk mengukur financial leverage adalah debt to equity ratio (DER). Investor tentu akan menghindari investasi yang memiliki risiko tinggi sehingga terkadang investor akan mencari tahu terlebih dahulu mengenai risiko terkait perusahaan, salah satunya dengan melihat tingkat pinjaman perusahaan dan kemampuan untuk melunasinya. Semakin besar faktor ketidakpastian yang dihadapi maka dapat mempengaruhi tingkat underpricing yang dapat terjadi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Fact Book IDX (www.idx.co.id), terdapat 134 perusahaan di Indonesia yang melakukan IPO dalam periode 2008 2013. Sebanyak 88 perusahaan non-keuangan yang mengalami underpricing. Angka tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang IPO banyak mengalami underpricing. Hal ini mengindikasikan bahwa fenomena underpricing masih tetap terjadi. Dari uraian di atas mengenai IPO dan fenomena underpricing yang masih terus terjadi maka penulis memutuskan untuk menulis tesis dengan judul “Analisis 8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Underpricing pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia” 1.2 Rumusan Masalah Dimovski dan Brooks (2004) melakukan penelitian terhadap IPO yang dilakukan oleh 358 perusahaan industri Australia dan pertambangan. Dari tahun 1994-1999 dikatakan bahwa terjadi kelebihan uang (money left on the table) yang mengindikasikan terjadinya underpricing terhadap perusahaan yang menggunakan jasa underwriter dibandingkan yang tidak. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah adanya hubungan yang signifikan dan positif antara underwriter dengan tingkat underpricing yang terjadi. Hasil penelitian mengindikasikan adanya itikad dari underwriter yang menyebabkan terjadinya underpricing untuk memperoleh keuntungan bagi diri mereka sendiri. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya peneliti menggunakan sampel perusahaan-perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. Reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ROA, dan DER, diduga sebagai salah satu faktor terjadinya underpricing. Oleh sebab itu, perlu diuji faktor-faktor tersebut yang dapat mempengaruhi terjadinya underpricing dalam IPO di Indonesia. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan dan juga manfaat seperti dijelaskan berikut di bawah ini. Tujuan penelitian merupakan jawaban dari perumusan masalah yang telah disusun penulis, sebagai berikut : 9 1. Menguji pengaruh reputasi underwriter terhadap underpricing. 2. Menguji pengaruh reputasi auditor terhadap underpricing. 3. Menguji pengaruh umur perusahaan terhadap underpricing. 4. Menguji pengaruh ROA terhadap underpricing. 5. Menguji pengaruh DER terhadap underpricing. 1.4 Maanfaat Penelitian Berikut ini manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak antara lain: 1. Pembaca Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai underpricing dan faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO. 2. Akademisi Penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi perkembangan ilmu keuangan, melalui penjelasan mengenai underpricing dalam penawaran publik perdana (IPO). 3. Perusahaan Bagi Perusahaan dapat dijadikan referensi bagi perusahaan atau emiten lain untuk menentukan kebijakan dalam penentuan harga saham perdananya pada saat akan go public. 10 4. Investor Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi investor dalam pengambilan keputusan berinvestasi dengan melihat hubungan faktor-faktor yang bisa menyebabkan saham perusahaan dapat terjadi underpricing. 5. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian-penelitian berkaitan dengan underpricing, penawaran publik perdana, dan faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing saham. 1.5 Batasan Penelitian Dalam penelitian ini dibatasi oleh beberapa kriteria, yaitu: 1. Periode penelitian adalah selama tahun 2008 – 2013. 2. Data yang dijadikan penelitian adalah data perusahaan yang mengalami underpricing dalam melakukan IPO saham dan memiliki informasi lengkap mengenai reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ROA, dan DER. 3. Penelitian ini menggunakan perusahaan-perusahaan diluar institusi keuangan dan perbankan. Sampel perusahaan diperoleh melalui metode purposive sampling. Terdapat 88 perusahaan mengalami underpricing dalam IPO periode 2008-2013. 11