BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat, kebudayaan pada umumnya tumbuh dan berkembang sebagai suatu hal yang diterima oleh setiap anggota masyarakat bersangkutan, yang dipegang teguh dan dijadikan sebagai pegangan hidup anggota masyarakat itu sejak lama dan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang, hal ini menyebabkan banyak terjadi perubahan serta pergeseran-pergeseran dalam masyarakat, sehinggga secara perlahan-lahan terjadi perubahan-perubahan pada bagian lain dalam suatu kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan meliputis semua bagian yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, perubahan sikap, tingkah laku, perubahan pada pola-pola hidup masyarakat dan lain-lain. Kebudayaan juga menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat. Maka perubahan-perubahan yang terjadi pada kebudayaan adalah setiap perubahan dari unsur tersebut. Perubahan pada kebudayaan tidaklah sama, ada bagian tertentu yang berubah lebih cepat dari pada bagian lainnya. Untuk itu perlu adanya penyesuaian kembali pada unsur lainnya. Pada masyarakat tradisional sikap dan pola-pola perilaku yang terlihat adalah sebagai akibat atau pengaruh dari unsur-unsur tradisional dan terutama dibentuk dari faktor adat istiadat, sehingga kadang sukar menerima ide-ide baru yang lebih berguna sesuai dengan perkembangan zaman dan sangat sulit untuk mengalami perubahan. Di samping itu pada masyarakat tradisional juga pola pemikiran mereka masih bersifat statis irasional, sehingga sikap mentalnya tertutup untuk bergerak dan berkembang. Hal ini dikarenakan masyarakatnya masih tetap memegang “Culture Value System” nenek moyang. Gagasan, ide dan nilai-nilai masih mengakar kuat dan masih banyak terikat pada kebiasaan dan tradisi yang ada. Kaidah dan norma yang berlaku masih bersifat turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan yang berarti. Biasanya ukuran yang dipakai adalah ukuran-ukuran yang dianut oleh nenek moyang dahulu. Keterikatan pada adat dan tradisi yang sifatnya tradisional masih dapat ditemui dalam kehidupan suku-suku di NTT khususnya di Pulau Timor yang ada di daerah Timor Barat. Salah satu tradisi tradisional yang masih dijalani oleh sebagian orang di Pulau Timor terutama orang Timor (Atoni Meto) adalah tradisi sunatan yang dilanjutkan dengan ritual sifon. Sunat tradisional itu sendiri adalah pemotongan kulit penis laki-laki (yang menginjak usia remaja) dengan masih menggunakan ritual-ritual tradisional dan tidak bersentuhan dengan aspek medis modern. Sedangkan sifon adalah ritual yang dijalani setelah melakukan sunatan yang mana laki-laki tersebut diharuskan melakukan ”pendinginan” atau melakukan hubungan badan dengan beberapa perempuan. Sifon selain merupukan ritual sunat untuk remaja laki-laki yang telah berusia 15 tahun ke atas tradisi sifon juga di peruntukan untuk laki-laki dewasa ”sebagai suatu persiapan untuk nikah” dan biasanya juga ditemukan laki-laki yang sudah berkeluarga, tujuannya adalah untuk membersihkan diri dari berbagai macam penyakit, juga membersihkan diri dari noda dosa dan pengaruh bala setan dan secara biologis dimaksudkan untuk menambah kejantanan dan keperkasaan seorang pria dewasa, yang dalam proses penyembuhan setelah disunat harus melakukan hubungan badan dengan beberepa perempuan yang bukan istri atau anggota keluarga dekat. Kebanyakan laki-laki menolak proses penyunatan sejak masa kanak-kanak, karena diyakini tidak sehat dan bisa menyebabkan impoten bagi mereka. Ritual sifon ini biasanya dilakukan pada saat “jagung berbunga” atau “rambut jagung sudah berwarna merah”yaitu pada bulan Januari-Februari namun periode ini kurang popular. Paling populer sunatan secara tradisional adalah dilakukan pada bulan Maret, namun sering ditunda sampai bulan Mei atau Juni sesudah jagung dipanen dan kesibukan untuk berkebun sudah berkurang. Proses ritual ini berupa prosesi yang diawali dengan penyerahan mahar berupa ayam, pernak-pernik dan sejumlah uang kepada dukun sunat atau Ahelet. Selanjutnya pasien akan dihantar ke sungai untuk melakukan pengakuan dosa atau Naketi. Laki-laki yang layak disunat adalah mereka yang mengakui dengan jujur kepada Ahelet bahwa dalam kehidupan sehari-hari telah sering melakukan hubungan badan dengan beberapa wanita, dengan tujuan untuk mempermudah proses penyembuhan. Setelah pengakuan dosa Ahelet akan memulai proses penyunatan. Teknik sunatan pada tiap daerah berbeda-beda tergantung dari dukun sunat itu sendiri. Pada umumnya penis direndam dalam air dingin, kulup (kulit depan Penis) diangkat, dijepit, kemudian dipotong atau diikat dengan tali ekor kuda sampai mengeluarkan darah dan kulitnya lepas. Jika sudah disunat pasien akan dikembalikan ke sungai untuk seterusnya melakukan pembersihan dan proses penyembuhan. Dan ini dilakukan secara rutin dalam jangka waktu seminggu atau bahkan lebih. Tetapi proses penyembuhan yang sesungguhnya adalah Sifon itu sendiri. Yakni ketika dalam keadaan luka yang masih belum sembuh total setelah disunat, si pasien harus melakukan hubungan badan dengan perempuan tertentu, yang telah disediakan oleh Ahelet atau yang dipersiapkan sendiri oleh si pasien. Dengan persyaratan bahwa setelah melakukan hubungan badan dengan perempuan yang bersangkutan, si pasien tidak diperbolehkan untuk melakukan hubungan badan dengannya sampai akhir hayat. Sementara untuk pria lain diperbolehkan oleh Ahelet. Persepsi masyarakat Kabupaten TTS khususnya masyarakat adat di Desa Noenoni, mereka mempunyai pandangan tentang tradisi Sifon sesudah disunat secara tradisional, yang sudah melekat dalam ingatan sejak dari nenek moyang mereka. Menurut kerpercayaan, sesudah laki-laki di sunat secara tradisional oleh tukang sunat, ia harus mencari 2-4 perempuan (rata-rata 3) untuk “pendinginan” (Bahasa Daerah: Sifon) “pelicinan” (Ha’ekit), dan “penguatan” (Hau-Hena) terhadap penis laki-laki. Sifon ini dianggap paling penting. Sifon harus dilaksanakan dalam waktu paling lama 7-8 hari setelah disunat. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan pembengkakan pada penis lakilaki yang disunat. Sifon atau persetubuhan pertama dengan perempuan setelah disunat, memiliki persyaratan sendiri. Persyaratan tersebut antara lain, pertama, perempuan yang melayani sifon harus mempunyai anak yang berusia 50 tahun ke atas, yang sudah biasa melakukan hubungan badan. Kedua, perempuan yang bukan istri atau kerabat dekat (keluarga) atau bisa juga janda di desa yang memberikan pelayanan ini. Perempuan yang melayani Sifon kadang sudah disiapkan oleh tukang sunat. Selain itu, ia juga harus dicari sendiri oleh laki-laki yang disunat. Perempuan yang bersedia untuk melayani sifon berguna agar, sebelum luka setelah disunat kering dapat dihilangkan pada saat persetubuhan pertama, sehingga luka pada penis laki-laki yang disunat dapat hilang ketubuh perempuan yang melayani Sifon. Kalau terjadi luka sudah kering sebelum persetubuhan pertama, luka harus dibuka kembali sehingga ”panasnya” dapat dihilangkan. Dalam pelaksanaannya tradisi ini menimbulkan permasalahan lain dalam kehidupan masyarakat. Permasalahan yang kemudian muncul dari tradisi Sifon adalah bahwa adanya resiko terhadap kesehatan yang terkait dengan kebiasaan ini yaitu dengan melakukan hubungan badan berkali-kali dan berganti pasangan. Sedangkan bagi perempuan yang melayani Sifon pada umumnya tidak menyadari kalau mereka telah melayani pasien. Mereka seakan-akan dengan rela melayani pria tersebut. Masyarakat percaya bahwa kekuatan roh-roh dan kekuatan arwah para leluhur akan dicurahkan secara khusus kepada wanita yang melayani Sifon. Namun, tidak dapat disangkal bahwa perempuan yang melayani Sifon akan mengalami penderitaan fisik dan mental yang tidak akan pernah disembuhkan. Mereka akan diusir dari pergaulan, tidak bersuami dan mengalami tekanan psikologis yang berat seperti stres atau bahkan gila. Dari hasil penelitian Yayasan Haumeni tentang KAP (Knowledge, Atitude and Practice) Kab. TTS tahun 1994 perilaku ini bisa menimbulkan perilaku promisku (perilaku seks dengan lebih dari satu pasangan / berganti-ganti pasangan) dan (bisa) menjadi salah satu peluang untuk penularan penyakit seperti PMS/HIV-AIDS, karena perilaku promisku sebagai suatu aspek wajib dari pelaksanaan sunat secara tradisional tersebut. Di beberapa tempat di Kab. TTS tradisi ini masih dilaksanakan namun masih terselubung. Sampai saat ini sunatan secara tradisional dan Sifon masih sangat kuat karena berbagai alasan, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Motivasinya adalah untuk meningkatkan kejantanan, sehingga laki-laki tersebut menjadi “laki-laki betul”. Selain dari nilai budaya, tradisi ini juga merupakan sejenis pendidikan seks buat laki-laki yang “belum berpengalaman”. Karena salah satu motivasi untuk disunat secara tradisional adalah memperoleh pengalaman seks, yang mana untuk lakilaki yang belum pernah berhubungan kelamin, pada saat akan melakukan Sifon, nasehat mengenai seks kadang-kadang juga diberikan oleh dukun sunat. Dengan kata lain untuk laki-laki tanpa pengalaman awal, Sifon dan persetubuhan kemudian bisa merupakan pendidikan seks. Meskipun masyarakat desa sudah bersentuhan dengan teknologi komunikasi dan informasi yang memungkinkan masyarakat dapat mengetahui segala perilaku maupun kebiasaan, baik yang positif ataupun negatif, yang baik untuk dijalankan atau dihindari. Saat ini daerah-daerah pedesaan di TTS sudah mengalami perubahan besar dan cepat, di mana mobilitas masyarakat semakin tinggi dan hidup sehari-hari semakin dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar yang bisa merubah pandangan masyarakat. Meskipun sudah tersedia puskesmas dan rumah sakit, dan ada kesadaran bahwa pendinginan sesudah sunatan di puskesmas tidak dibutuhkan, adakala laki-laki yang sudah disunat di puskesmas tetap mencari beberapa perempuan untuk persetubuhan dengan tujuan untuk ”memantapkan” sunatan puskesmas. Dengan demikian tradisi ini sudah menjadi tradisi turun-temurun bagi masyarakat yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Hal tersebut di atas mendorong peneliti untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang persepsi masyarakat mengenai tradisi Sifon. 1.2. Perumusan Masalah Rumusan masalah merupakan suatu tahap dalam penelitian berupa memaparkan masalah yang dapat dicarikan jawabannya melalui penelitian. Perumusan masalah ini bertumpu pada masalah yang tercermin pada bagian latar belakang. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana Persepsi Masyarakat Desa Noenoni Kecamatan Oenino Kabupaten TTS Mengenai Tradisi Sifon ?” 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah agar mengetahui persepsi masyarakat mengenai tradisi sifon dan bagaimana mereka memaknainya dalam kehidupan masyarakat di Desa Noenoni, Kecamatan Oenino Kabupaten TTS. 1.3.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang persepsi masyarakat Desa Noenoni, Kecamatan Oenino Kabupaten TTS mengenai tradisi Sifon. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan antara lain: 1.4.1. Kegunaan Akademik Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi akademik bagi pengembangan ilmu sosial umumnya dan ilmu komunikasi khususnya dalam: 1) melakukan studi kasus tentang persepsi masyarakat mengenai tradisi Sifon, 2) menambah wawasan pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi berdasarkan studi kasus tentang persepsi masyarakat mengenai Tradisi Sifon. 1.4.2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Sebagai bahan informasi bagi yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai tradisi Sifon. 2. Bagi almamater, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam melengkapi kepustakaan ilmu sosial umumnya di Universitas dan kepustakaan Ilmu Komunikasi khususnya di lingkungan Fisip. 1.5. Kerangka Pemikiran, Asumsi dan Hipotesis 1.5.1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini adalah penalaran yang dikembangkan dalam memecahkan masalah penelitian ini. Kerangka pemikiran pada dasarnya menggambarkan jalan pikiran dan landasan rasional dari pelaksanaan penelitian tentang persepsi masyarakat mengenai Sifon. Persepsi masyrakat mengenai Sifon, yang sudah melekat dalam kehidupan mereka, sejak dari nenek moyangnya. Mereka lebih memilih mempertahankan tradisi Sifon, sehingga tidak memperhatikan resiko yang akan dialami nantinya. Sesuai dengan pemahaman konseptual yang telah diuraikan diatas, maka alur kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1 Kerangka Pemikiran Persepsi Masyarakat Mengenai Sifon - Adat yang menjadi kebiasaan secara turun temurun dari nenek moyang - Tradisi sakral yang apabila tidak dijalani bisa menimbulkan penyakit yang di yakini kutukan - Dapat meningkatkan kejantanan - Sebagai ajang pendidikan seks bagi yang belum berpengalaman - Adanya kepuasan dan kebanggaan pribadi. - Menunjukan perbuatan yang dilakukan secara sadar 1.5.2. Asumsi Ada beberapa asumsi dalam penelitian ini, pertama adalah tradisi Sifon bagi masyarakat TTS, khususnya masyarakat Desa Noenoni merupakan hal yang penting. Sedangkan kedua adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai resiko dari Sifon. 1.5.3. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian kualitatif, dengan varian studi kasus, bukanlah hipotesis yang akan diuji melalui analisis statistik inferensial, melainkan hanya merupakan rangkaian hipotesis kerja. Adapun hipotesis yang menjadi pagangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Masyarakat Desa Noenoni Kecamatan Oenino Kabupaten TTS masih menjalani tradisi Sifon, karena mereka mempersepsi sifon sebagai tradisi warisan dari leluhur yang tidak boleh diubah.