Status Rohani Seorang Anak PENDAHULUAN Kita yang melayani anak-anak di gereja atau di yayasan gerejawi perlu memiliki keyakinan tentang status rohani seorang anak di hadapan Tuhan, berdasarkan Firman Tuhan. Kita juga harus tahu perkembangan kerohaniannya. Kedua pokok ini berkaitan dengan masalah pertobatan dan kelahiran baru dalam hidup seorang anak. Mungkinkah seorang anak bertobat? Perlukah hal itu? Kalau mungkin dan perlu, kapankah hal itu bisa terjadi? Keyakinan tentang hal ini sangat mewarnai cara dan arah pelayanan kita. Tetapi keyakinan ini tidak mudah diperoleh, karena adanya perbedaan pandangan teologis, pandangan tentang penginjilan dan pola pendidikan yang berhubungan dengan anak. Ada suara dari abad yang lalu yang mengatakan: "Delapan belas abad di mana iman Kristen diajarkan, menghasilkan sangat sedikit keterangan mengenai pokok 'Anak di dalam Gereja'. Pokok ini sebagian besar masih perlu disoroti oleh teologia". Selama berabad-abad ditemukan gereja yang berpandangan bahwa anak- anak menikmati status "tidak dipengaruhi oleh dosa turunan" (sweet innocence) sebelum mereka tiba pada saat di mana mereka harus bertanggungjawab kepada Allah. Ada juga pandangan lainnya, seperti yang diyakini oleh George Whitefield, seorang penginjil di Amerika pada abad ke 18. Ia berpendapat bahwa anak-anak dapat dibandingkan dengan "ular berbisa" dan "buaya yang juga manis" selama kecil. Adanya anggapan yang berbeda-beda, antara lain seperti tersebut di atas, menantang kita yang terjun langsung dalam pelayanan rohani anak untuk secara serius menyelidiki dan memikirkan status dan kebutuhan rohani seorang anak. ANAK DALAM ALKITAB Perjanjian Lama: Aman dalam "Covenant Relationship" (Hubungan Berdasarkan Perjanjian) Kita tidak menemukan suatu keragu-raguan atau persoalan mengenai status anakanak dalam keluarga atau dalam persekutuan agama orang Israel. Kepada Abraham diberikan tanda perjanjian, yaitu sunat. Setiap anak laki-laki yang baru lahir menerima tanda itu pada umur delapan hari. Tanda ini membawa dia masuk ke dalam persekutuan orang-orang percaya dan ke dalam keluarga yang takut akan Allah. Status ini diperoleh asalkan anak itu lahir dari keturunan Yahudi. Dalam keluarga, anak itu dibesarkan, dididik dan diajar sampai ia berumur dua belas tahun. Pada umur itu seorang anak laki-laki disebut "anak Hukum Taurat" dan sesudah itu orangtuanya dilepaskan dari tanggung jawab rohani terhadap dirinya. Dengan demikian dapat dikatakan, jika dilihat dari segi kewajiban agama, dalam masa Perjanjian Lama setiap orangtua Yahudi tahu apa saja yang harus dilakukan terhadap anak-anaknya. Perjanjian Baru: Aman dalam Kasih dan Janji Tuhan Yesus Dalam menyelidiki empat kitab Injil, kita berfokus pada ucapan Tuhan Yesus mengenai anak-anak dan sikap-Nya terhadap mereka. 1. Markus 10:14 Tuhan Yesus menghendaki supaya anak-anak datang kepada-Nya. Ia berkata orang-orang seperti merekalah yang empunya Kerajaan Allah. 2. Markus 10:15 Tuhan Yesus berkata secara tidak langsung, bahwa merekalah penyambut Kerajaan Allah. "... Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya." 3. Matius 18:6 Tuhan Yesus mengatakan bahwa anak-anak kecil percaya pada-Nya. Tersedia hukuman yang setimpal bagi yang menyesatkan seorang anak. 4. Matius 18:14 Tuhan Yesus mengatakan, Bapa yang di sorga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang. Hal yang menarik perhatian ialah, bahwa Tuhan Yesus menunjuk anak- anak sebagai teladan bagi orang dewasa dalam hal menerima kerajaan Allah. Tuhan Yesus tidak menjadikan seorang anak menjadi matang terlebih dahulu dan menjadi dewasa secara umur sebelum ia dapat masuk kerajaan sorga. Sebaliknya Ia memperingatkan orang dewasa dalam Matius 18:1-7,10 supaya mereka: - bertobat dan menjadi seperti anak kecil - merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil - menerima kerajaan Allah seperti seorang anak - menyambut seorang anak dalam nama Yesus, dan melaluinya menyambut Tuhan Yesus sendiri - jangan menyesatkan seorang anak - jangan menganggap rendah anak-anak, karena malaikat mereka di sorga selalu memandang wajah Bapa di sorga. Perjanjian Baru: "Dahulu" dan "Sekarang" Serta Konsepsi Pertumbuhan Surat-surat dalam Perjanjian Baru ditulis kepada orang dewasa. Hampir semua dari mereka merupakan orang Kristen generasi pertama. Di dalam surat-surat itu kita dapat memperhatikan pembagian yang jelas dan tegas antara hidup lama -- yang sudah lenyap -- dengan pemyembahan-penyembahan berhala, kemerosotan moral dan lain-lainnya dan hidup baru -- yang mulai pada suatu saat tertentu, -- yang berkembang dalam persekutuan orang-orang percaya. Anak-anak hampir tidak disebut dalam surat-surat. Dalam Efesus 6 dan Kolose 3 anak-anak ditegur, supaya taat dan menghormati orangtua sesuai dengan sepuluh hukum. Paulus juga memperingatkan orangtua, dalam hal ini ayah, agar mereka jangan membangkitkan amarah dalam hati anak, melainkan mendidik mereka dalam ajaran dan nasehat Tuhan. Sebagai orang Kristen generasi pertama, tidak ada di antara mereka yang dibesarkan dalam suasana keluarga Kristen, karena itu nasehat Paulus ini penting sekali. Dalam gereja mula-mula orang dewasa bertobat, - mungkin juga anak- anak ada bersama mereka -- kemudian membesarkan anakanak mereka dalam konteks keluarga Kristen. Dalam 1Korintus 7:13-14 ditambah hal lainnya yang juga penting. Anak-anak dari pernikahan campuran (Kristen dan kafir), disebut "kudus", artiya milik Tuhan. Mereka dibesarkan dalam suasana yang dikuduskan oleh kehadiran Tuhan dalam hidup salah satu orangtuanya yang percaya. KONTROVERSI TENTANG PERTOBATAN ANAK DALAM 2000 TAHUN SEJARAH GEREJA Gereja Mula-mula Sudah jelas bahwa status rohani seorang anak harus dipikirkan oleh orang Kristen dalam generasi kedua dan ketiga. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga Kristen tidak lagi mengalami kekafiran, seperti yang dialami oleh orangtua mereka. Mereka dapat dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga orang Yahudi. Apabila anak laki-laki Yahudi ditandai dengan sunat pada hari ke delapan, apakah anak Kristen harus dibaptiskan sewaktu bayi sebagai tanda "covenant relationship" yang baru? Dalam abad kedua ada gereja yang mulai membaptiskan anak kecil. Kemudian, pada abad kelima rupanya baptisan ditetapkan secara umum. Mengapa terjadi demikian? Karena dalam abad-abad sesudah masehi lahir beberapa doktrin baru, misalnya doktrin tentang dosa keturunan yang membuat status rohani anak tidak aman. Agustinus (354M - 430M), seorang theolog terpandang pada abad pertengahan mengajarkan, bahwa anak kecil akan binasa jika ia mati sebelum dibaptis, walaupun hukuman bagi anak kecil di neraka paling ringan. Doktrin lain mengajarkan mengenai regenerasi atau kelahiran baru melalui baptisan. Tidak heran bahwa setiap orangtua rindu supaya anaknya selamat dan aman. Ini berarti mereka harus dibaptiskan sedini mungkin. Kemudian pada sakramen baptisan ditambah konfirmasi di mana seorang anak dapat mengaku imannya secara pribadi. Anak-anak dalam Gereja Abad Pertengahan Pada abad pertengahan, gereja menjadi gereja negara. Anak-anak sedini mungkin dilayani dengan sakramen baptisan, kemudian konfirmasi supaya selamat. Tetapi dalam pelaksanaannya gereja sudah kehilangan pengertian bahwa anak-anak harus percaya kepada Tuhan Yesus secara pribadi dan tidak lagi mengajarkan pentingnya respons terhadap Tuhan Yesus melalui menyerahkan hidup kepada-Nya. Sikap seperti itu masih kita dapatkan dalam gereja Katolik sampai saat ini. Isi agama dan konsepsi agama diteruskan kepada anak-anak melalui sakramen-sakramen. Anak-anak dalam Masa Reformasi Pada masa reformasi, status rohani anak-anak didiskusikan kembali. Apakah hanya orang yang sudah bertobat dan lahir baru dibaptiskan? Kebanyakan gereja dalam masa ini meneruskan tradisi pembaptisan bayi, tetapi memperbaharui arti konfirmasi. Anak-anak menerima pelajaran katekimus yang teliti, supaya mereka sungguh mengerti iman Kristen sebelum konfirmasi. Gereja Mennonite, Baptis, Plymouth Brethren kembali pada baptisan orang percaya. Tetapi kemudian timbul pertanyaan baru, pada umur berapa seorang anak dapat bertobat dan lahir kembali? Pada umur berapa ia layak dibaptis? Anak-anak dalam Masa Kebangunan Rohani di Amerika Pada abad ke 17, dalam kebangunan rohani besar-besaran yang terjadi di New England, Amerika, hal keselamatan anak digumuli secara serius. Anak dianggap hidup dalam status sangat berdosa dan binasa. Tetapi Gereja Puritan (Protestan dari Inggris) tidak percaya bahwa sakramen baptisan dapat menyelamatkan mereka. Sejak dari kecil anak- anak didesak untuk melarikan diri dari neraka. Anak-anak sangat menderita ketakutan karenanya. Pada tahun 1740 Jonathan Edwards menginjili anak-anak. Dia berkata: "Meskipun anak-anak nampak tak bersalah, tatapi kalau mereka hidup di luar Kristus mereka tidak 'tak bersalah' dalam pandangan Allah, melainkan seperti ular kecil dan masih jauh lebih jahat dari pada ular kecil. Mereka dalam keadaan yang sangat menyedihkan." Tetapi ada pandangan lain pada zaman yang sama. Misalnya, Horace W. Bushnel. Ia mengajarkan bahwa pada dasarnya anak-anak tak berdosa. Hanya kalau seorang anak dengan sadar menolak yang baik ia menjadi salah secara pribadi. Zaman kita: Persekutuan Penginjilan Anak-anak Sedunia Dalam abad ke 20 didirikan suatu gerakan yang bertujuan menginjili anak-anak sedunia. Gerakan antar gereja ini dimulai pada tahun 1935 oleh Irvin Overholtzer sesudah ia sungguh-sungguh mendoakan keberadaan rohani anak-anak sedunia. Keyakinan pendiri dan pelayan- pelayan dalam gerakan yang bernama "Child Evangelism Fellowship" ini ialah, bahwa setiap anak sudah hilang atau sebentar lagi akan hilang. Oleh karena itu harus diinjili sedini mungkin. Kelompok ini berpendapat, umur delapan tahun ke bawah adalah umur yang terbaik untuk bertobat. Seorang anak yang baru berumur tiga tahun pun dapat bertobat. Keyakinan lain yang dipegang oleh gerakan yang bekerja di banyak negara di dunia ini ialah, bahwa anak tak bisa mengerti sebelum bertobat. Alasannya, "manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya suatu kebodohan ...". (1Korintus 2:14) Keyakinan ini mendasari pandangan mereka mengenai pentingnya pengajaran tentang pertobatan pada setiap umur. Sumber: • Pedoman Pelayan Anak, Ruth Lautfer, , halaman 183 - 187, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, 1993.