Manajemen Masji Diperlul~an

advertisement
Pikiran Rakyat
17
OJan
•
Senin
2
18
3
19
OPeb
o Selasa o Rabu o Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu
(9
20
o Mar
5
6
21
OApr
7
22
OMei
8
9
23
OJun
24
10
11
12
13
14
15
25
26
27
28
29
30
OJul
OAgs
OSep
OOkt
ONov
Manajemen Masji
Diperlul~an
ISKUSI mengenai
fenomena munculnya
benih Islam radikal di
masjid mengarah pada wacana
tentang masjid takwa dan
masjid dhirar. Kedua kategori
masjid ini memang dimunculkan dalam Alquran yang dapat
dimaknai sebagai seruan bahwa semua pihak hendaklah
mengelola masjid dengan dasar takwa dan untuk tujuan
penyebaran spirit takwa bagi
seluruh umat manusia.
Apa kaitannya dengan masjid penyimpan benih Islam radikal? Tafsir atas masjid takwa
terdapat dalam Alquran Surat
At-Taubahnoz yang mengemukakan, "Sesungguhnya
masjid yang didirikan atas
dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu
salat di dalamnya. Di dalam
masjid itu terdapat orang yang
membersihkan diri. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bersih."
Para mufasir mengaitkan
ayat ini dengan pembangunan
Masjid Quba, sebuah tempat
beberapa kilometer (dua
farsakh) di selatan Madinah.
lnilah masjid pertama yang
dibangun (dalam konsep formalistik bangunan masjid)
dalam Islam. Nabi saw., Abu
Bakar r.a., dan para sahabat
lain transit di tempat ini selama empat hari, untuk kemudian melanjutkan hijrahnya
enuiu Madinah.
.
D
Ke alikan dari pernbangunan masjid takwa adalah
masjid tandingan yang diba- .
ngun musuh Nabi, yangjuga
diabadikan dalam Alquran
Surat At-Taubah: 106. Masjid
tandingan ini kemudian dinamai masjid dhirar ini.
Masjid dhirar ini dalam sejarah dikaitkan dengan tokoh
Abu Amir Ar-Rahib. la konon
pernah bertemu Nabi dan kecewa akan hasil pertemuannya
itu, kemudian pergi ke Syiria
(Suriah) untuk bergabung
dengan tentara Romawi dan
bermaksud memerangi Madinah. Kaum munafik, para
pembangun masjid dhirar ini
menunggu kedatangannya dan
berharap sang rahib ini menjadi imam masjid mereka. Namun, kenyataannya tidak
demikian. Abu Amir mati di
Syiria.
Ada perbedaan mendasar
dari kedua jenis masjid ini.
Masjid Quba dibangun atas
dasar takwa dan orang yang
tulus hati demi kebersihan
bersama, sementara masjid
dhirar bercirikan sebagai
penghadir kemudaratan di ruang publik, menolak (teladan)
Nabi, dan memecah belah
umat. Bila keduanya dijadikan
parameter, kita sudah rnenemukan kacamata bahwa masjid yang tertutup pada kelompok tertentu, membuat umat
terpecah 'belah, menghadirkan
ancaman kemudaratan.m ruang publik dapat dikategorikan dhirar. Namun sebaliknya, masjid yang tidak meng-
Kliping Humas Unpad 2010
ODes
31
IUE BAYU INDRAj"PW
SEJUMLAH umat Muslim bersalaman dan saling memaafkan, setelah melaksanakan Salat Idulfitri, di Jln. Terusan akarta, Kota Bandung, Jumat (10/9). Selain sebagai tempat ibadah, masjidjuga harus menjadi pusat distribusi kesejahteraan publik. *
hadirkan seluruh ciri dhirar
itu, tetapi tidak menghasilkan
masyarakat penuh ketulusan
tidak serta-merta dapat disebut masjid takwa.
Manajemen masjid
Semakin gamblang bahwa
asas pendirian dan pengelolaan masjid itu haruslah takwa. Pengelolaan masjid dengan demikian juga harus
berbasis takwa. Apakah takwa
itu? Alquran Surat Al-Baqarah
di beberapa ayat pertama
menyebutkan beberapa indikator takwa, yaitu beriman
kepada yang gaib, mendirikan
salat, berinfak, beriman kepada kitab suci termasuk kitab
suci sebehimnya, dan beriman
kepada hari akhir. Sejumlah
indikator ini dapat dijadikan
dasar bagi pengelolaan masjid
sebagai pusat ketulusan sosial.
Pertama, pengelolaan masjid harus didasari ketulusan
dan kerja kreatif. Indikator
beriman kepada yang gaib dapat dimaknai sebagai integritas untuk mengucapkan apa
yang dilakukan dan melakukan apa yang diucapkan.
Keimanan memang terusmenerus menuntut bukti,
bahkan Alquran menegaskan
tak dapat disebut beriman jika
belum melewati ujian "tetap
berada dalam kebaikan kerja
kreatif dalam keadaan senang
dansusah."
Kata gaib menurut Ibn Abbas adalah Allah, jadi beriman
kepada yang gaib berarti menjadikan kerja kreatif Allah sebagai rujukan pengelolaan
masjid. Maka, beriman kepada
yang gaib berarti kesanggupan
menghadirkan apa yang tak
kasat mata sebagai motif dan
tujuan dari tindakan, ketika
yang tak kasat mata itu adalah
Allah (Sang Kreator). Oleh
karena itu, keimanan kepada
yang gaib akan menghasilan
manusia profesional yang bekerja atas kesadaran terus berada di bawah pengawasan
dan bimbingan Tuhan.
Kedua, memiliki misi transformasi sosial. Perintah mendirikan salat di dalam Alquran
dikaitkan dengan kemampuan
beramar makruf nahi mungkar. Salat yang benar dengan
demikian dapat berarti sebagai
salat yang berhasil melindungi
pelakunya dari perbuatan fahsya dan mungkar (kejahatan
yang ada pada dirinya dan kejahatan yang ada pada orang
lain). Salat yang benar akan
berfungsi menjadi bentengholografis bagi dirinya dan
orang lain. Masjid, dalam konteks ini, di samping menjadi
ruang bersama bagi salat juga
menjadi pusat nahi mungkar
atau liberasi (terbebasnya ruang publik dari penyakit
sosial), amar makruf atau humanisasi (menciptakan kebaikan bersama dalam ketulusan), dan transendensi.
Ketiga, menjadi pusat distribusi kesejahteraan publik.
Al-Baqarah ayat 3 menegaskan, ketakwaan ditentukan
dari menginfakkan rezeki yang
didapatkannya, maka masjid
haruslah juga menjadi pusat
penyebaran kesejahteraan
ekonomi publik. Tak layak
rasanya jika ada masjid mewah yang menyimpan uang infak sementara masyarakat sekitar masjid tidak memiliki
rumah dan nelangsa.
Nabi Muhammad saw. memiliki istilah menarik mengenai orang atau pihak yang tidak mau membelanjakan hartanya untuk kesejahteraan
sosial, yaitu muhtakir. Dalam
syarh hadis dijelaskan bahwa
para muhtakir-lah yang telah
menyebabkan keseimbangan
supply-demand menjadi terganggu. Akibatnya, harga
menjadi melambung tinggi
dan barang menjadi langka.
Lebih lanjut, situasi ini menyebabkan kebutuhan orang
banyak pun menjadi terganggu. Sampai pada waktu tertentu, kemudaratan akan kembali
kepada dirinya sendiri (Kahlany: 2002). Masjid yang tidak
menjadi pusat kesejahteraan
publik akan menciptakan masyarakat miskin yahg semakin
menjauhi masjid atau bahkan
"meruntuhkan" masjid.
Keempat, memiliki kesadaran untuk menjadi pusat
teladan bagi perbaikan peradaban berbasis tradisi literasi.
Al-Baqarah ayat 4 menegaskan
tentang kategori takwa dengan
kemampuan mengimani sumber pengetahuan dari seluruh
tradisi kemanusiaan. Indikator
takwa inilah yang telah menginspirasi sahabat Nabi dan
tabi'in untuk terus belajar dan
memburu ilmu. Masjid pada
zaman Nabi dan para sahabat
adalah ruang berbagi pengetahuan, menguji dan membuktikan formula perbaikan sosial.
Khaled Abou El-Fadl (1999)
pada the Confrence of Book
memiliki istilah menarik bahwa Alquran adalah Kabah bagi
semua buku dan seluruh kajian keilmuan yang dilakukan
di masjid adalah buku yang
terus bertawaf mengelilingi
Kabah buku itu.
Kelima, memiliki pola pergerakan yang "memulai dari
yang akhir". Konsep beriman
pada hari akhir dapat diluaskan menjadi waktu setelah
"sekarang". Satu menit, satu
jam, satu hari ke depan adalah
"akhirat", jika kita menyadari
dan menghitungnya dari
"sekarang". Pengelolaan yang
baik harus memiliki mimpi
dan bayangan akhir yang baik,
Alquran menyebut hasil akhir
itu sebagaifalah (kebahagiaan
sejati dunia-akhir t). Oleh
karena itu, hasil akhir yang
harusdiupayakanlna~id
haruslah menghadirkan kebahagiaan bagi ruang publik.
Mengurangi"
hirar"
Masjid dhirar adalah masjid
yang dikelola tanpa mempertimbangkan situasi ruang publik dan mementingkan kuasa
diri. Abu Amir Ar-Rahib
adalah orang yang merasa
layak memimpin umat. Oleh
karena itu, ia mem rovokasi
pembuatan masjid tandingan.
Ar-Rahib menolak imam
Masjid Quba, yakni Muhammad saw., karena merasa
dirinya lebih berh k. Oleh
karena itu, kehadiran masjid
seperti ini akan t pak dari
kemampuannya m nghadirkan perpecahan di tengah masyarakat an kemudaratan yang bers maan dengan itu.
Masjid dhirar b an hanya
masjid yang dikelola dengan
niat tanpa ketulusan. Masjid
dhirar juga tampil dari masjid
yang tanpa pengel laan yang
jelas, asal dibangun dengan
mimpi mendapat r mah di
surga, atau dibangun untuk
kepentingan "asal berbeda".
Pembangunan masjid memang dijanjikan pahala
"dibangunkan rumah di surga
oleh Allah", tetapi dengan
syarat mutlakjika masjid itu
dapat menghadirkan "rumah
surga" di tengah ruang publik.
Wallahu a'lam. (D • H. M.
Anton Athoillah, peneliti
pada Institute for Study of Islam, Cultural, and Public Affairs Pascasarjana UIN Bandung dan tnahasis a S-3
Ekonomi Terapan Unpad
Bandung )***
Download