KETIKA KEKERASAN SEKSUAL DILAKUKAN OLEH PREDATOR ANAK DAN REMAJA Seks memiliki dimensi yang sangat luas. Ada banyak aspek dan kepentingan yang terkontaminasi di dalam pembicaraan seks itu sendiri. Ada yang memandangnya dari segi bisnis, ada yang melihatnya dari segi pemuasan kebutuhan, ada yang melihatnya dari segi etika dan moral. Seks adalah bahan bahasan yang paling menarik untuk diperbincangkan di antara para remaja ,mulai dari SD hingga tingkat SMA. Mungkin dari rating pembicaraan antar remaja, topik yang satu ini yang paling banyak dan menarik diperbincangkan. Revolusi seks dan segala dimensinya telah menyesatkan kaum remaja dan sekaligus menjerumuskan mereka kedalam lingkaran setan pemuasan nafsu belaka. Fenomena kekerasan seksual disertai perkosaan, penganiyaan bahkan pembunuhan oleh dan pada remaja, membuat khawatir kita semua , yang satu menjadi predator dan yang lain menjadi korban. Selain masalah seks , konflik dan kekerasan identik dengan kaum muda. Tentu bukan tanpa alasan kaum muda mendapat stigma ini. Kenyataan ini memberi kita satu indikasi, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan karakter remaja kita ini. Apa itu?, kalau boleh di sampaikan bahwa remaja Indonesia mempunyai risiko tinggi terpapar stress. Mengapa? Pertama pada masa remaja mereka mengalami fase krisis identitas, Yang mana orangtua berperan sangat penting disini, namun ada kemungkinan sebagian besar orangtua Indonesia kurang mengetahui tentang fase perkembangan remaja. Selain itu karena tekanan ekonomi dan tantangan hidup untuk orangtua yang begitu tinggi pada saat ini, hingga buah hati mereka kurang mendapat perhatian dan kurang mendapat perlindungan, disamping itu orangtua juga tidak membekali buah hatinya dengan nilai-nilai kehidupan bersama, yang patut diterima dan dihormati , sehingga menyebabkan remaja kurang mawasdiri, kehilangan pegangan, dan sulit mengendalikan diri. Selanjutnya secara geografis, Indonesia merupakan wilayah yang berpotensi mengalami berbagai macam bencana alam, ditambah lagi dengan meningkatnya berbagai faktor yang bisa sebagai predisposisi maupun presipitasi bagi permasalahan kesehatan jiwa anak dan remaja ,sebagai akibat dari kondisi negara yang sedang berkembeng . Kita bisa melihat dari beberapa kejadian di media masa , beberapa kasus yang ada melibatkan remaja dengan “pendidikan rendah dan taraf ekonomi yang kurang mampu”, meskipun belum ada data yang jelas untuk itu. Fenomena lain yang ada saat ini adalah bahwa masyarakat umum mengetahui masa perkembangan remaja merupakan fase proses tumbuh kembang yang rawan dan sangat penting . Kejadian pada fase ini sebenarnya sudah diketahui secara umum oleh masyarakat , tetapi kiat terbaik untuk menghadapinya sering kali dengan sengaja dilupakan atau tidak dihiraukan sama sekali. Bahkan remaja malah sering kali diperlakukan sebagai konsumen, dan mereka dianggap sebagai pangsa pasar yang sangat potensial ,untuk suatu produk dalam mendapatkan keuntungan finansial. Kita tahu berbagai kemudahan ditawarkan untuk mendapatkan produk yang kurang pantas untuk remaja. Dan anehnya lagi, aspek negatifnya justru mendapat perhatian yang berlebihan dari media massa, seperti fenomena seksualitas dengan kekerasan yang marak akhir-akhir ini. Inilah kemungkinan mengapa anak dan remaja di Indonesia mempunyai risiko tinggi untuk terpapar stress dan kejadian traumatik. Yang selanjutnya akan mengakibatkan perubahan dalam kehidupan seorang anak, serta berpengaruh terhadap kemampuan fungsi kognitif, perilaku dan juga emosi mereka. Kondisi ini tentunya mempengaruhi tumbuh kembang anak dan remaja Indonesia , hingga berdampak pada penurunan kualitas hidup mereka dikemudian hari. Anak adalah harapan di masa yang akan datang. Kalimat ini seringkali kita dengar dan sangat lekat di benak kita. Karena itu, sudah semestinya memberikan perhatian khusus dalam hal mendidiknya sehingga kelak mereka menjadi para pelopor masa depan. Dalam hal ini lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak adalah keluarga, dan yang paling utama adalah kedua orang tua. Karena keluarga merupakan lembaga pendidikan yang paling dominan secara mutlak, dan anak adalah “hadiah” Tuhan yang diberikan kepada para orang tua “bukan Amanah“. Dan ditangan orang tuanyalah masa depan anak-anak dipersiapkan. Orangtua sebaiknya berempati dan berusaha untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada remaja. Sikap curiga, menghakimi atau memaksakan kehendak kepada remaja hendaknya dihindari. Selalu harus diusahakan untuk melakukan Dialog Interaktif dengan remaja supaya mereka tetap dapat menganggap Rumah Dan Orangtua Sebagai Tempat Untuk Berlindung Dan Curhat Yang Paling Setia Dan Dapat Diandalkan. Pendidikan seks perlu dan penting diperhatikan di sekolah-sekolah. Di sini perlu sekali ada pendidikan seks secara hati-hati, supaya seks itu sendiri ditempatkan tepat pada tempatnya sebagai ciptaan Tuhan, dan dibahas sesuai dengan tujuan penciptaannya. Perlu diketahui bahwa remaja sebenarnya sudah mempunyai kemampuan atau pengetahuan tertentu terhadap seks , meskipun masih juga mempunyai keterbatasan, namun mereka tidak lagi bisa dianggap sebagai anak kecil. Bagaimana sikap orangtua dan guru untuk menghantarkan mereka melewati stressor dan fase-fase yang kritis tersebut? Orangtua dan guru perlu sekali mengerti proses tumbuh kembang anak dan remaja. Dari berbagai sumber dapat kita ketahui bahwa : Proses tumbuh kembang pada masa remaja dimulai dengan pubertas /maturitasi seksual, yaitu kejadian : menstruasi pertama pada wanita serta mimpi basah , testis dan penis membesar pada laki-laki . Onset pubertas pada wanita biasanya 1-1,5 tahun lebih awal dari laki-laki . Pada usia 11 tahun banyak anak perempuan sudah mengalami menarche, sudah tumbuh payudara dan bulu kelamin. Pada usia 11 – 12 tahun anak perempuan biasanya lebih tinggi dari teman laki-laki sebaya. Perubahan fisik remaja khususnya dalam bidang seksual , yang terjadi sering masih sulit untuk difahami dan diterima oleh remaja itu sendiri. Juga kejadian perubahan yang sangat cepat dalam tinggi dan berat badan, atau nafsu makan yang juga sangat meningkat. Selain itu perubahan yang terjadi tidak hanya aspek fisik tetapi juga dalam aspek lainnya yaitu emosional, psikoseksual, kognitif / intelektual dan moral. Perubahan yang terjadi sering kali sangat dramatis sehingga sulit membedakan yang normal dengan yang patologis. Menurut Erik Erikson masa ini merupakan masa mencari identitas : Identity vs. Role Confusion. Ada 3 pembagian fase masa remaja, yaitu : Fase remaja awal (10 – 13 tahun), Fase remaja pertengahan (13 – 16 tahun) dan Fase remaja akhir (17 -19 tahun). Pada Fase remaja awal yang pertama yang terjadi adalah maturasi seksual ,kesadaran seksual mulai berkembang ,dengan ditandai ketertarikan terhadap lawan jenis dan keingin tahuan mengenai seksualitas juga meningkat .Sehingga perlu pendidikan seksual yang benar, yang disertai dengan pendidikan mengenai norma sosial, hukum dan moral. Pada fase ini peran dan hubungan dengan teman sebaya (peer group) sangat penting, dan Identifikasi terjadi dengan tokoh diluar keluarga . Fase remaja awal yang kedua ,akan terjadi keinginan untuk mandiri dan membuktikan kemampuan dirinya sangat besar. Perilaku untuk “mencoba-coba” besar sekali, baik dalam bidang seksual, gaya hidup baru , begadang dan minum minuman keras, bahkan berperilaku agresivitas hanya untuk membuktikan kejantanan “macho”. Pada fase ini ketergantungan terhadap orangtua masih besar dan masih membutuhkan bimbingan . Namun kadang kala orangtua menganggap bahwa bimbingan sudah tidak diperlukan lagi dan membiarkan saja perilaku yang cenderung “bebas” itu terjadi. Pada Fase remaja pertengahan, remaja cenderung beridentifikasi dengan kelompoknya dalam hal pilihan aktivitas, gaya (style), musik dan “role models”. Timbul perasaan “omnipitensi”, beranggapan bahwa “maut masih jauh dari diriku”. Sering juga berperilaku yang mempunyai risiko tinggi, dan menimbulkan konflik dengan orangtua. Walaupun demikian dalam hati kecilnya mereka masih ingin tetap berafiliasi dengan anggota keluarganya. Pada Fase remaja akhir, akan terjadi penerusan eksplorasi dalam rangka pembinaan jati dirinya sebagai individu, atau sebagai anggota kelompok “gang” atau subgroup dalam masyarakat. Remaja yang mampu beradaptasi dengan baik akan merasa cukup nyaman dengan pilihan selera , aktivitas, hobi dan persahabatannya. Remaja cukup sadar bahwa pembinaan jati dirinya akan semakin baik bila memasuki usia dewasa nanti. Pada 1 – 4% remaja laki-laki dan 0.5 – 1% perempuan ,mulai disadari adanya orientasi homoseksual dalam dirinya. Selain melewati tiga fase tersebut , remaja juga mengalami perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif yang pertama pada remaja adalah kemampuan kognitif berubah dari berpikir secara konkret (concrete operational) menjadi berpikir secara abstrak (formal operational). Remaja juga mulai berorientasi ke masa depan antara lain : mencari karier yang cocok dengan dirinya . Perkembangan kognitif selanjutnya adalah ,remaja makin sadar akan bakat intelektual, artistik dan olahraga. Remaja mengerti bahwa ia menyukai hal-hal tertentu, punya bakat dalam bidang tertentu dan tidak dalam bidang lain. Remaja mulai mampu mengobservasi diri sendiri dan mengembangkan pelbagai strategi untuk memperkuat diri serta mengadakan kompensasi untuk mengimbangi kelemahannya. Perkembangan selanjutnya adalah Perkembangan psikososial .Pada umumnya bagi remaja “rumahnya adalah landasan” (base) dan merupakan tempat aman dan nyaman untuk “berlindung”. Sekolah adalah “dunianya” sehingga kadang timbul kesulitan bila remaja drop - out dari sekolah. Pada perkembangan psikososial ini Remaja juga berusaha membentuk identitas diri yang terpisah dari orangtua tetapi cukup dekat dengan mereka sehingga dukungan orangtua masih selalu dibutuhkanya. Dalam dirinya timbul pertanyaan : “Siapakah saya? Apa tujuan hidup saya, ke arah mana saya akan pergi? Perkembangan psikososial selanjutnya , remaja akan memanifestasikan diri untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah “mandiri” antara lain dengan berperilaku “nyentrik” dan kadang seolah-olah menantang orangtua ,mereka merasa puas karena makin nyentrik, orangtua makin marah dan melarang . Remaja dengan identitas diri yang sehat dapat bersikap fleksibel dan dapat menyesuaikan diri dengan pelbagai situasi baru dalam kehidupannya. Remaja juga mempunyai Harga diri (self esteem). Yang pertama mereka mempunyai ukuran, seberapa jauh menilai harga dirinya berdasarkan persepsi (tanggapan) diri tentang sukses dan keberhasilannya. Juga seberapa jauh harga dirinya dinilai oleh teman sebayanya, anggota keluarga, guru dan masyarakat pada umumnya. Hal yang penting bagi remaja adalah seberapa jauh ia menilai dirinya positif dalam penampilan fisik, baik di mata teman sebaya dan keluarganya. Hal lain yang lebih sekunder adalah kemampuan akademik, olah raga dan bakat khusus. Harga diri sangat dipengaruhi oleh umpan balik (feed-back) dari teman sebaya. Remaja sering kali bergabung dalam kelompok teman sebaya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dalam kelompok remaja harus mengikuti “norma kelompok” supaya dapat diterima oleh kelompok. Dalam kelompok remaja “berani” melakukan hal-hal yang tidak akan berani dilakukannya bila sendiri. Oleh karennya Kelompok remaja yang bersifat negatif sangat sulit “dibasmi” oleh yang berwenang . Untuk perkembangan moral ,remaja mengambil nilai etik dari orangtua, agama dan masyarakat yang kemudian diinternalisasi. Sesuai dengan pendapat Kohlberg, remaja sudah mampu untuk mengikuti peraturan berdasarkan yang dianggap baik bagi kemanusiaan dan masyarakat. Masalah yang dihadapi remaja adalah mereka sering kali berhadapan dengan keadaan masyarakat yang penuh ketidak-jujuran dan berlawanan dengan etika dan hukum. Selanjutnya remaja akan mengalami fase krisis identitas . Pada fase ini remaja harus mampu untuk mengintegrasikan pelbagai aspek perkembangannya, dorongan seksual dalam dirinya serta pelbagai kemampuan yang dimilikinya, juga peran sosial yang tersedia untuknya dalam lingkungan. Keadaan ini merupakan suatu kondisi yang normal karena semua remaja akan mengalaminya. Apabila gagal menyelesaikan “krisis” ini remaja akan mengalami ketidakjelasan identitas atau kebingungan peran , antara lain ketidakjelasan tentang apa perannya dalam masyarakat. Manifestasi kebingungan peran (role confusion) akan membuat remaja melarikan diri dari rumah, melanggar hukum / aturan, mengalami gangguan yang bersifat psikotik, masalah dalam identitas gender , atau orientasi seksual . Sebagai upaya untuk menutupi ketidakjelasan identitas pada mereka , maka akan timbul Identifikasi berlebihan terhadap suatu idola, serta Ketergantungan yang berkepanjangan terhadap orangtua, dan tidak toleran terhadap orang lain.