BAB II KONSEP DASAR

advertisement
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa ( Mansjoer, 2000).
Fraktur merupakan gangguan sistem muskuluskeletal, dimana terjadi
pemisahan atau patahnya tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. (Doenges E Marilyn, 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang,fraktur
patologis terjadi tanpa trauma pada tulang yang lemah karena dimineralisasi
yang berlebihan ( Linda Juall C, 2002 ).
Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga,keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut
lengkap atau tidak lengkap ( Silvia A. Prince, 2000 ).
Multiple fraktur adalah lebih dari satu garis fraktur ( Silvia A. Prince,
2000 ).
Multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas
jaringan tulang lebih dari satu garis ( Silvia A. Prince, 2000 ).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan
multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan
1
tulang lebih dari satu garis yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang di
tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas dan gangguan fungsi pada
area fraktur.
B. Anatomi dan Fisiologi
Gbr. Tulang normal
Gbr. Patah Tulang
(www. Infomedika. Htm, 2004)
2
1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang berasal
dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis”
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”.
Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang
dapat
diklasifikasikan
dalam enam kelompok berdasarkan bentuknya : (Arif Muttaqin, 2008)
a) Tulang panjang (long bone), misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan
humerus. Daerah batas disebut diafisi dan daerah yang berdekatan
dengan garis epifisis disebut metafasis. Di daerah ini sangat sering
ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena daerah ini
merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung
pembuluh darah. Kerusakan tau kelainan perkembangan pada daerah
lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang.
b) Tulang pendek (short bone) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat,
misalnya tulang-tulang karpal.
c) Tulang sutura (sutural bone) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan lapisan luar adalah tulang concellous, misalnya tulang
tengkorak.
d) Tulang tidak beraturan (irreguler bone) sama seperti dengan tulang
pendek
misalnya tulang vertebrata
3
e) Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar
tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon
dan jaringan fasial, misalnya patella.
f) Tulang pipih (flat bone), misalnya parietal, iga, skapula dan pelvis.
2. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut : (Arif Muttaqin, 2008)
a) Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b) Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan
jaringan lunak.
c) Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi
dan pergerakan).
d) Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang
(hema topoiesis).
e) Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.
Komponen utama jaringan tulang adalah mineral dan jaringan
organik (kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan fosfat membentuk suatu
kristal garam (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan
proteoglikan. Matriks organik disebut juga osteoid. Sekitar 70% dari
osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku dan memberi tinggi pada tulang.
Materi organ laen yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan (Arif
Muttaqin, 2008).
4
C. Etiologi dan predisposisi
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan,
terutama
tekanan
membengkok,
memutar,
dan
menarik.
Trauma
muskuloskeletal yang dapat mengakibatkan fraktur adalah :
1) Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Frakur yang terjadi biasanya bersifat
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena
trauma yang tiba tiba mengenaii tulang dengan kekuatan dengan kekuatan
yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga
terjadi patah
2) Trauma tidak langsung
Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan kedaerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi
dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan
lunak tetap utuh, tekanan membengok yang menyebabkan fraktur
transversal, tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral
atau oblik
3) Trauma patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena
proses patologis. Contonya
a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
5
keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang,
karena trauma minimal.
b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal
dari focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi
dan tulang rawan. (Arif Muttaqin, 2008)
D. Pathofisiologi
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidakseimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur tertutup atau terbuka.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak sedangkan fraktur
terbuka disertai dengan kerusakan jaringan lunak seperti otot, tendon, ligamen
dan pembuluh darah. ( Smeltzer, Suzanne C. 2001 )
Tekanan yang kuat dapat terjadi multiple fraktur terbuka karena
fragmen tulang keluar menembus kulit dan menjadi luka terbuka serta
peradangan yang dapat memungkinkan infeksi, keluarnya darah dapat
mempercepat perkembangan bakteri. Tertariknya segmen karena kejang otot
pada area fraktur sehingga disposisi tulang. Multiple fraktur terjadi jika
tulang dikarnakan oleh stres yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya.
Multiple fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun
tulang patah jaringan disekitarnya akan terpengaruh mengakibatkan edema
jaringan lunak, perdarahan keotot dan sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf
6
dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat
gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang. ( Smeltzer,
Suzanne C. 2001 )
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
multiple fraktur, pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya. (Chirudin Rasjad, 2000).
E. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala dari multiple fraktur antara lain sebagai berikut :
1. Nyeri terus menerus sampai tulang diimobilisasi
2. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian yang tidak dapat digunakan
dan cenderung bergerak secara tidak alamiah ( gerakan luar biasa )
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas ( terlihat maupun
teraba ) ekstermitas yang dapat diketahui dengan membandingkan
7
dengan ekstremitas yang normal, ekstermitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.
4. Saat ekstremitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antra fragmen
satu dengan yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal, pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera. ( Smeltzer,
Suzanne C. 2001 )
F. Penatalaksanaan
1.
Penatalaksanaan medis
a. Recognisi atau pengenalan
adalah riwayat kecelakaan derajat
keparahannya, prinsip pertama yaitu mengetahui dan menilai keadaan
fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan radiologis
b. Reduksi adalah usaha manipulasi fragmen tulang patah untuk kembali
seperti asalnya, reduksi ada dua macam yaitu reduksi tertutup ( tanpa
operasi), contohnya dengan traksi dan reduksi terbuka (dengan
operasi), contohnya dengan fiksasi internal dengan pemasangan pin,
kawat,sekrup atau batangan logam
8
c. Retensi adalah metode untuk mempertahankan fragmen selama
penyembuhan, dengan fiksasi internal maupun fiksasi eksternal,
contohnya GIPS yaitu alat immobilisasi eksternal yang kaku dan
dicetak sesuai bentuk tubuh yang dipasang.
d. Rehabilitasi dimulai segera dan sesudah dilakukan pengobatan untuk
menghindari kontraktur sendi dan atrofi otot. Tujuannya adalah
mengurangi oedema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan
kekuatan otot, dan memandu pasien kembali ke aktivitas normal
e. ORIF
yaitu
pembedahan
untuk
memperbaiki
fungsi
dengan
mengembalikan stabilitas dan mengurangi nyeri tulang yang patah
yang telah direduksi dengan skrap, paku, dan pin logam
f. Traksi yaitu pemasangan tarikan ke bagian tubuh, beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. ( Smeltzer, Suzanne C.
2001)
2.
Perawatan klien fraktur
a. Fraktur tertutup
Tirah baring diusahakan seminimal mungkin latihan segera
dimulai untuk mempertahankan kekuatan otot yang sehat, dan untuk
meningkatkan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan mengunakan
alat bantu ( tongkat ) klien diajari mengontrol nyeri sehubungan
fraktur dan trauma jaringan lunak
9
b. Fraktur terbuka
Pada fraktur terbuka terdapat risiko infeksi osteomielitis, gas
ganggren, dan tetanus, tujuan perawatan untuk meminimalkan infeksi
agar penyembuhan luka atau fraktur lebih cepat, luka dibersihkan,
didebridemen dan diirigasi ( Arif Muttaqin, 2008 ).
3.
Penatalaksanaan kedaruratan
Klien dengan fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh
yang terkena segera sebelum klien dipindahkan. Daerah yang patah harus
di sangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi.
Immobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan
dengan membebat kedua tungkai bersama. Pada cidera ekstremitas atas
lengan dapat dibebatkan ke dada. Peredaran di distal cidera harus dikaji
untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Luka ditutup
dengan kasa steril ( Arif Muttaqin, 2008 ).
G. Komplikasi
Komplikasi fraktur meliputi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan
posisi
pada
yang
sakit,
tindakan
reduksi,
dan
pembedahan.
10
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
11
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas
kapiler
yang
bisa
menyebabkan
menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. (Arif Muttaqin, 2008 )
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion
merupakan
kegagalan
fraktur
berkonsolidasi
dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion
merupakan penyembuhan tulang
ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik. ( Arif Muttaqin, 2008 ).
H. Pengkajian focus
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-
12
masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas: ( Arif Muttaqin, 2008)
a. Pengumpulan Data
1)
Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa
medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
13
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan
menerangkan
seberapa
jauh
rasa
skala nyeri atau klien
sakit
mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
14
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,
seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik
f)
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak
15
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,
vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan
penyebab
masalah
muskuloskeletal
dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang
kurang
merupakan
faktor
predisposisi
masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas
juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan
fraktur tibia tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,
warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
16
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari
hari menjadi berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan
sehingga kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain.
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap, klien
biasanya merasa rendah diri terhadap perubahan dalam
penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil.
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan gangguan citra diri.
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
17
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur.
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien.
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata)
untuk
mendapatkan
gambaran
umum
dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebih mendalam.
18
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita:
Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi
sempurna
Apatis
:
dibangunkan
terlihat
mengantuk
dan
pemeriksaan
tetapi
mudah
penglihatan
,
pendengaran dan perabaan normal
Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan
kasar dan terus menerus
Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan
Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat
disuruh dan menjawab pertanyaan, bila rangsangan
berhenti penderita tidur lagi.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut,
spasme otot, dan hilang rasa.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
(d) Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan
deformitas.
19
(e) Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai
respon nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap
kehilangan darah), penurunan nadi pada bagian distal
yang cidera, capilary refil melambat, pucat pada
bagian yang terkena, dan masa hematoma pada sisi
cedera.
b) Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai
berikut :
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai
berikut :
(a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
(b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan
hal-hal yang tidak biasa (abnormal)
(d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
20
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time Normal (3 –
5) detik
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal)
(d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat
pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan
perlu
dideskripsikan
permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi(1),
kontraksi sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2),
mampu menahan gravitasi tapi dengan sentuhan
jatuh(3), kekuatan otot kurang (4), kekuatan otot
utuh (5). ( Carpenito, 1999)
21
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat
apakah
terdapat
Pencatatan
keluhan
lingkup
mengevaluasi
gerak
keadaan
nyeri
ini
sebelum
pada
perlu,
dan
pergerakan.
agar
dapat
sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap
arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
( Arif Muttaqin, 2008 )
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen ( Sinar – X ). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau
PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi
kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
22
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada Sinar – X
mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal – hal
sebagai berikut.
( Arif Muttaqin, 2008 )
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur
lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
(4) Computed
potongan
Tomografi-Scanning:
secara
transversal
dari
menggambarkan
tulang
dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
23
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase
(AST),
Aldolase
yang
meningkat
pada
tahap
penyembuhan tulang
(3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat
( Arif Muttaqin, 2008 )
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini
sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan
bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan
adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
( Arif Muttaqin, 2008 )
24
I. Pathway Keperawatan
Trauma langsu ng,
trauma tidak langsung
,kecelak nbenturanytjatu h
Kondisi pa tologis
(osteoporosis,osteomeilitis,kank
er tulang)
Tekanan eksternal > tekanan
tulang
Keropos (ra puhnya tulang)
trauma
Tulang tidak mampu menahan
trauma
fraktur
tertutup
Tulang tembus kulit
terbuka
reduksi
deformitas
R. tertutup
traks
R.
ORI
GIPS
iiiii
Ganggua
n
mobilita
s fisik
Kelema han
otot
Defisit
perawatan
diri
anestesi
Trauma
peristaliti
jaringan
k
Mual/
munta
h
Nafsu
maka n
Resiko
nutrisi
<kebutuhan
tubuh
Gangguan
rasa
nyaman
nyeri
Jalan
masuk
organisme
Resiko
Diskontinuitas tulang
Perubahan
jaringan sekitar
Keterbatasan
gerak
Ganggu
an
mobilit
as fisik
Laserasi
immobilitas
bedrest
Putus vena arteri,
Tekanan
pada
kulit
Nekrosis
perdarahan
Kehilangan vol. cairan
Resiko
kerusakan
integritas
Disfungsi
Neurovaskul
er
Shock
hipovolemik
Alira n
balik
vena
O2.Vol.darah
Vol. sekuncu p
Resiko
kekurangan
vol. cairan
Curah
jantu ng
Gangguan
perfungsi
jaringan
( Smeltzer, Suzanne C.
2001 )
Sylva A.Price,2000 )
Linda
Juall
Carpenito,
25
J. Fokus intervensi dan rasional
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut:
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas
2. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskular, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
5. Defisit perawatan diri b/d kelemahan neuromuskular, penurunan kekuatan
dan kesadaran, serta kehilangan kontrol otot
6. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
7. Resiko kekurangan volume cairan b/d ketidakadekuatan intake dan output
cairan
8. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b/d asupan nutrisi tidak adekuat
(Carpenito, 2002)
26
Intervensi Keperawatan dan Rasional
1.
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas
1.1. Tujuan : Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
1.2. Kriteria Hasil : klien melaporkan nyeri berkurang, mengidentifikasi
aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri, tidak gelisah,
skala nyeri 0-1 atau teratasi
1.3. Intervensi dan rasional
a. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring,
gips, bebat dan atau traksi
Rasional: Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi
b. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena
Rasional: Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri
c. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif
Rasional: Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler.
d. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,
perubahan posisi)
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan
lokal dan kelelahan otot
e. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas
dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
27
Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan
kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama
f. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama)
sesuai keperluan
Rasional: Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri
g. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
Rasional: Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer
h. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
Rasional: Menilai perkembangan masalah klien
(Doenges, 2000)
1.4. Nyeri adalah : keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan
adanya ketidaknyamanan berat / sensasi tidak nyaman, berakhir dari 1 detik
sampai kurang dari 6 bulan. Dengan batasan karakteristik data subyektif
komunikasi verbal atau kode dari pemberi gambaran nyeri, data obyektif perilaku
melindungi, memfokuskan pada diri sendiri, perilaku distraksi (merintih,
menangis, mondar – mandir, gelisah, mencari orang lain), wajah nampak menahan
nyeri (Carpenito, 1999). Diagnose ini bisa di tegakkan bila ditemukan data klien
mengatakan nyeri, wajah mengkerut, otot tegang, perilaku distraksi (Doenges,
2000).
2.
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
28
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
2.1. Tujuan : infeksi tidak terjadi selama perawatan
2.2. Kriteria Hasil : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu,
bebas drainase purulen atau eritema dan demam
2.3. Intervensi dan rasional
a. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai
protocol
Rasional:
Mencegah
infeksi
sekunderdan
mempercepat
penyembuhan luka.
b. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.
Rasional: Meminimalkan kontaminasi.
c. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai
indikasi
Rasional: Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat
digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi.
Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus
d. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap,
LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
Rasional: Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi,
anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis.
Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi
(Carpenito, 2002)
29
2.4. Resiko tinggi terhadap infeksi adalah suatu kondisi dimana
individu beresiko karena agen patogenesis (virus, jamur, bakteri,
protozoa/ parasit lain) dari berbagai sumber dari dalam atau dari
luar tubuh. Untuk kriteria pengkajian fokus pada resti infeksi data
subyektif
klien
mengeluh
demam
terus
menerus,
infeksi
sebelumnya seperti saluran perkemihan, luka operasi, kulit dan
jaringan lunak, adanya nyeri umum dan terlokalisasi. Data obyektif
adanya luka (pembedahan, tindakan infasif, terluka sendiri)
(Carpenito, 1999). Diagnose ini bisa ditegakkan bila ditemukan
data inflamasi, eritema dan demam (Doenges, 2000). Data
pendukung lainnya adalah peningkatan suhu tubuh, frekuensi nadi,
adanya luka dan peningkatan jumlah leukosit (Smeltzer, 2002).
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
3.1. Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas fisik sesui dengan
kemampuannya
3.2. Kriteria Hasil : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan
mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat
mempertahankan
posisi
fungsional
meningkatkan
kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh
menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas
30
3.3. Intervensi dan rasional
a. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio,
koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien
Rasional: Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol
diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial
b. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang
sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien
Rasional:
Meningkatkan
sirkulasi
darah
muskuloskeletal,
mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi,
mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi
c. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan
sesuai indikasi
Rasional: Mempertahankan posis fungsional ekstremitas
d. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien
Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri
sesuai kondisi keterbatasan klien
e. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien
Rasional: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis, penumonia)
f. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari
31
Rasional:
Mempertahankan
hidrasi
adekuat,
men-cegah
komplikasi urinarius dan konstipasi
g. Berikan diet TKTP
Rasonal: Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh
h. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi
Rasional: Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun
program aktivitas fisik secara individual
i. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi
Rasional: Menilai perkembangan masalah klien
(Carpenito, 2002)
3.4. Kerusakan mobilitas fisik adalah: suatu keadaan dimana individu
mengalami / beresiko untuk mengalami keterbatasan pergerakan
fisik, tetapi tidak pada keadaan imobilisasi dengan batasan
karakteristik mayor mampu untuk bergerak dengan maksud
tertentu dalam lingkungannya seperti mobilisasi ditempat tidur,
keterbatasan menggerakkan sendi – sendi (rentang gerak). Dan
karakteristik minor adanya keterbatasan aktivitas, malas untuk
bergerak. Menurut teori gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan pembatasan gerak, nyeri, rasa tidak nyaman, kerusakan
musculoskeletal dan neuromuskuler dengan batasan karakteristik
keterbatasan ( Range Of Motion ) ROM, keterbatasan
kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar atau halus,
32
perubahan gaya berjalan, gerak lambat (NANDA, 2006).
Berdasarkan miller, mobilitas adalah : satu aspek terpenting pada
fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan
kemandirian. Terdapat 3 kategori rentang gerak : pasif, aktif, dan
fungsional. Rentang gerak pasif adalah menjaga kelenturan otot –
otot dan persendian seseorang menggerakkan otot – otot orang
lain secara pasif. Rentang gerak aktif melatih kelenturan dan
kekuatan otot serta sendi. Rentang gerak fungsional memperkuat
otot – otot dan sendi sambil melakukan aktifitas yang di perlukan.
Immobilisasi yang lama dan gangguan fungsi neurosensori dapat
menyebabkan kontraktur permanen (Carpenito, 1999)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
4.1. Tujuan :
Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang
4.2. Kriteria Hasil : menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah
kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan
sesuai
indikasi,
mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi
terjadi
4.3. Intervensi dan rasional
a.
Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering,
bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit)
Rasional: Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih
luas
33
b. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal
bebat/gips
Rasional: Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan
kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan
pada imobilisasi
c. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
Rasional: Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan
akibat kontaminasi fekal
d. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit,
insersi pen/traksi
Rasional: Menilai perkembangan masalah klien
(Doenges, 2000)
4.4. Derajat dekubitus ada 4 yaitu
Derajat I: eritema yang tidak dapat memucat pda kulit yang utuh,
kemerahan pada kulit
Derajat II: ulserasi epidermis dan dermis
Derajat III: ulserasi sampai pada lapisan lemak subkutan
Derajat IV: ulserasi yang luas menembus otot, tulang atau strukur
penunjang
(Carpenito, 2002)
Kerusakan integritas kulit adalah suatu kondisi dimana
seseorang mengalami atau berada pada resiko kerusakan jaringan
epidermis dan dermis dengan batasan karakteristik mayor
terputusnya
jaringan
epidermal
dan
dermal,
sedangkan
34
karakteristik minor yaitu kulit gundul, etitema, lesi ( primer,
sekunder).
(Carpenito,
1999).
Sedangkan
dari
teori
lain
menyebutkan resiko kerusakan integritas kulit dalah resiko kulit
berubah kearah yang lebih buruk dengan batasan karakteristik
invasi struktur tubuh, kerusakan lapisan kulit ( dermis ), disrupsi
permukaan kulit ( epidermis), dengan faktor resiko eksternal yaitu
radiasi, mobilisasi fisik, faktor mekanik ( alat yang dapat
menyebabkan
luka,
penekanan,
restrain),
hipotermi
atau
hipertermi, kelembapan udara, substansi kimia, eksresi atau
sekresi, kelembapan kulit. Sedangkan faktor resiko internalnya
yaitu medikasi, penonjolan tulang, faktor imunologis, faktor
perkembangan, perubahan sensasi, perubahan sirkulasi, perubahan
turgor kulit, perubahan status nutrisi, psikogenetik. ( NANDA,
2006).
5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan
nutrisi tidak adekuat
5.1. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 3x24 jam
kebutuhan nutrisi terpenuhi
5.2. Kriteria Hasil: klien mengatakan nafsu makan bertambah, makan
habis satu porsi, IMT normal
5.3. Intervensi dan rasional:
a. Kaji pola makan yang tidak disukai dan disukai
35
Rasional: sebagai tidakan awal untuk menntukan intervensi
selanjutnya
b. Motivasi klien untuk makan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: menghindari mual muntah
c. Motivasi klien untuk makan dalam keadaan hangat
Rasional: Keadaan hangat akan meningkatkan nafsu makan,
makanan akan terasa lebih hangat
d. Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional: sebagai tindakan kolaborasi dengan tim medis lain
(Carpenito, 2002)
5.4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhn tubuh adalah : kondisi
yang dialami individu yang tidak mengalami puasa atau beresiko
mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan tidak
cukupnya masukan atau metabolisme nutrisi untuk kebutuhan
metabolisme dengan batasan karakteristik mayor seseorang yang
mengalami puasa, puasa dilaporkan atau mempunyai ketidakcukupan
masukan makanan kurang dari yang dianjurkan sehari – hari dengan
atau tanpa terjadinya penurunan berat badan atau kebutuhan metabolic
actual atau potensial pada kelebihan masukan terhadap penurunan
berat badan. kriteria minor berat badan 10 – 20 % dibawah normal dan
tinggi serta kerangka tubuh dibawah ideal, lipatan kulit trisep, lingkar
lengan tengah, dan lingkar otot pertengahan lengan kurang 60 % dari
ukuran standar, kelemahan dan nyeri tekan otot, penurunan albumin
36
serum.(Carpenito, 1999). Sedangkan dari teori lain menyebutkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake nutrisi
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolic, dengan
batasan karakteristik berat badan dibawah ideal lebih dari 20 %,
melaporkan intake makanan yang kurang dari kebutuhan yang
dianjurkan, konjungtiva dan membrane mukusa pucat, kelemahan otot
untuk menelan dan mengunyah, melaporkan kurang makan, diare,
rambut rontok, suara usus hiperaktif.(NANDA, 2006)
6. Defisit
perawatan
diri
yang
berhubungan
dengan
kelemahan
neuromuskular dan penurunan kekuatan otot
6.1. Tujuan : Perawatan diri klien dapat terpenuhi
6.2. Kriteria Hasil : Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup
untuk kebutuhan merawat diri, mampu melakukan aktivitas
perwatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan
6.3. Intervensi dan rasional
a.
Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila
perlu
Rasional: Hal tersebut dilakukan untuk mencegah frustasi dan
menjag harga diri klien karena klien dalam keadaan cemas, dan
membutuhkan bantuan orng lain
b. Ajak klien
berfikir positif agar terhadap kelemahan yang
dimilikinya, dan berikan motivasi dan izinkan ia melakukan tugas,
37
kemudian berikan umpan balik positif atas usaha yang telah
dilakukan
Rasional: Klien memerlukan empati, perawat perlu mengetahui
perawatan yang konsisten dalam menangani klien intervensi
tersebut dapat meningkatkan harga diri dan kemandirian klien
c. Kaji kemampuan komunikasi untuk buang air kecil, kemampuan
menggunakan urinal, pispot, antarkan klien kekamar mandi jika
memungkinkan
Rasional: Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat
menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih karena
masalah neurogenik
d. Identifikasi kebiasaan buang air besar, anjurkan klien minumdan
meningkatkan latihan
Rasional: Meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi
e.
Beri supositoria dan pelunak feses / pencahar
Rasional: Pertolongan pertama terhadapfungsi usus atu BAB
(Doenges, 2000)
7. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
7.1.Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik .
7.2.Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan akral hangat, tidak pucat
dan syanosis, bisa bergerak secara aktif.
38
7.3.Intervensi dan rasional
a. Dorong
klien
untuk
secara
rutin
melakukan
latihan
menggerakkan jari/sendi distal cedera.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah
kekakuan sendi.
b. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang
terlalu ketat.
Rasional: Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya
penyesuaian keketatan bebat/spalk.
c. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.
Rasional: Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema
kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang
menyebabkan penurunan perfusi.
d. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan
Rasional: Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk
menurunkan trombus vena.
e. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan
kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang
normal.
Rasional: Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan
perlunya intervensi sesuai keadaan klien. (Carpenito, 2002)
39
7.4. Tanda tanda disfungsi perifer yaitu terjadi gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan memori, perdarahan, edema (
Muttaqin Arif,2008)
a. Resiko
kekurangan
volume
cairan
berhubungan
dengan
ketidakadekuatan intake dan output cairan
8.1. Tujuan : mempertahankan keseimbangan cairan elektrolit
8.2. Kriteria Hasil : tidak terdapat tandatanda dehidrasi, turgor
klien baik, bibir tidak kering.
8.3. Intervensi dan rasional:
a. Monitor tanda – tanda vital
Rasional : tanda yang membantu mengidentifikasi fluktasi
volume intra vaskuler
b. Kemonitor intake dan output dan konsentrasi urine
Rasional : menurunnya output dan konsentrasi urine akan
meningkatkan kepekaan sebagai salah satu kesan adanya
dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan
c. Anjurkan klien untuk membersihkan mulut secara teratur
Rasional : dehidrasi mengakibatkan mulut kering dan pecah
– pecah
d. Kolaborasi pemberian cairan secara adekuat
Rasional : memenuhi volume cairan yang hilang
(Carpenito, 2002)
40
Download