BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bentonit Bentonit adalah clay yang sebagian besar terdiri dari montmorillonit dengan mineral-mineral minor seperti kwarsa, kalsit, dolomit, feldspars, dan mineral minor lainnya. Montmorillonit merupakan bagian dari kelompok smectit dengan komposisi kimia secara umum (Mg,Ca)O.Al2O3.5SiO2.nH2O. Nama bentonit diambil dari nama formasi tempat lempung ini mula-mula ditemukan, yaitu formasi benton yang terdapat di daerah Ford Benton Wyoming, Amerika Serikat. Penamaan istilah bentonit diusulkan sebagai pengganti dari istilah nama lain sebelumnya yaitu “Soapy Clay” atau “Taylorit” yang dipopulerkan oleh Taylorite (1888). Sedangkan nama monmorilonit itu sendiri berasal dari Perancis pada tahun 1847 untuk penamaan sejenis lempung yang terdapat di Monmorilon Prancis yang dipublikasikan pada tahun 1853 – 1856 (www.dim.esdm.go.id). Jenis lempung ini menunjukkan sifat koloid yang kuat dan memiliki sifat mengembang ketika bersentuhan dengan air (Kirk Othmer, 1964). Istilah bentonit secara umum digunakan untuk sejenis lempung yang bersifat plastis, koloidal dan swelling. Bentonit berbeda dari clay lainnya karena hampir seluruhnya (75%) merupakan mineral monmorillonit. Mineral monmorillonit terdiri dari partikel yang sangat kecil sehingga hanya dapat diketahui melalui studi mengunakan XRD (X-Ray Difraction). Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri 4 5 dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida oktahedral. Pada tetrahedral, 4 atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Empat ikatan silikon terkadang disubtitusi oleh tiga ikatan alumunium. Pada oktahedral atom alumunium berkoordinasi dengan enam atom oksigen atau gugusgugus hidroksil yang berlokasi pada ujung oktahedron. Al 3+ dapat digantikan oleh Mg2+, Fe2+, Zn2+, Ni+, Li+ dan kation lainnya. Subtitusi isomorphous dari Al 3+ untuk Si4+ pada tetrahedral dan Mg2+ atau Zn2+ untuk Al3+ pada oktahedral menghasilkan muatan negatif pada permukaan clay, hal ini diimbangi dengan adsorpsi kation di lapisan interlayer (Alemdar, et. al., 2005). Gambar 2.1. Struktur Monmorillonit (Othmer, 1964) Adanya atom-atom yang terikat pada masing-masing lapisan struktur montmorillonit memungkinkan air atau molekul lain masuk di antara unit lapisan. Akibatnya kisi akan membesar pada arah vertikal. Selain itu karena adanya pergantian atom Si oleh Al menyebabkan terjadinya penyebaran muatan negatif pada permukaan bentonit. Bagian inilah yang disebut sisi aktif (active site) dari bentonit dimana bagian ini dapat menyerat kation dari senyawa-senyawa organik atau dari ion-ion senyawa logam. 6 2.1.1 Tipe Bentonit dan Pemanfaatannya Berdasarkan pada sifat penyerapan dan sifat katalis yang dimiliki oleh bentonit, bentonit banyak digunakan dalam berbagai aplikasi industri sebagai adsorben pestisida, adsorben kotoran binatang, katalis dan penunjang katalis, bahan pemucat (bleaching earth) dalam industri minyak sawit dan berbagai industri farmasi. Penggunaan ini didasarkan oleh ketersediaan bentonit yang ada di alam. Di alam, bentonit terdiri atas dua jenis, yaitu natrium bentonit dan kalsium bentonit yang keduanya dapat dibedakan dari sifat mengembang (swelling) bila dicelupkan ke dalam air. 1. Kalsium Bentonit Bentonit jenis ini disebut juga Mg,Ca-Bentonit. Jenis ini mengandung kalsium (Ca2O) dan magnesium (MgO) lebih banyak dibandingkan natriumnya, mempunyai sifat sedikit menyerap air sehingga apabila didispersikan dalam air akan cepat mengendap (tidak membentuk suspensi), pH nya berkisar 4, 0 – 7,0 (bersifat asam). Daya tukar ion cukup besar dan bersifat menyerap. Dalam keadaan kering bersifat cepat merekah (rapid slaking), berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan coklat. Bentonit jenis ini sangat baik digunakan sebagai lempung pemucat warna pada minyak kelapa. Pada keadaan awal lempung jenis ini memiliki daya serap warna yang rendah. Daya serap dapat ditingkatkan dengan diaktifasi menggunakan asam mineral. 7 2. Natrium Bentonit Bentonit jenis ini disebut juga bentonit tipe Wyoming, mengandung ion Na+ relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan ion Ca2+ dan Mg2+. Secara kasat mata mempunyai sifat mengembang apabila dicelupkan ke dalam air hingga 8 kali lipat dari volume semula, sehingga dalam suspensinya akan menambah kekentalan, pH suspensi berkisar 8,5 – 9,8 (bersifat basa). Tipe ini dalam keadaan kering berwarna putih sampai krem, dan mengkilap dalam keadaan basah dan terkena matahari. Kandungan Na2O dalam Natrium bentonit umumnya lebih besar dari 2%. Karena sifat-sifat tersebut maka mineral ini sering dipergunakan untuk lumpur pemboran, penyumbat kebocoran bendungan pada teknik sipil, bahan pencampur pembuatan cat, bahan baku farmasi, dan perekat pasir cetak pada industri pengecoran logam. 2.1.2 Sifat Fisik dan Kimia Bentonit Dalam keadaan kering bentonit mempunyai sifat fisik berupa partikel butiran yang halus berbentuk rekahan-rekahan atau serpihan yang khas seperti tekstur pecah kaca (concoidal fracture), kilap lilin, lunak, plastis, berwarna kuning muda hingga abu-abu, bila lapuk berwarna coklat kekuningan, kuning merah atau coklat, bila diraba terasa licin, dan bila dimasukan ke dalam air akan menghisap air. Bentuk fisik dari bentonit diperlihatkan pada Gambar 2.2. 8 Gambar 2.2 Bentuk Fisik Bentonit Sifat fisik lainnya berupa massa jenis 2,2-2,8 g/L; indeks bias 1,547-1,557; dan titik lebur 1330-1430oC. Bentonit termasuk mineral yang memiliki gugus aluminosilikat. Unsur-unsur kimia yang terkandung dalam bentonit diperlihatkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi Kimia Bentonit Na-Bentonit (%) Ca-Bentonit (%) SiO2 61,3-61,4 62,12 Al2O3 19,8 17,33 Fe2O3 3,9 5,30 CaO 0,6 3,68 MgO 1,3 3,30 Na2O 2,2 0,50 K2O 0,4 0,55 H2O 7,2 7,22 Senyawa (Puslitbang Tekmira, 2002) Partikel bentonit bermuatan negatif yang diimbangi dengan kation yang dapat dipertukarkan dan terikat lemah (Na, Ca, Mg, atau K). Adanya kation yang dapat 9 dipertukarkan ini memungkinkan bentonit memisahkan logam berat dari air, dan juga memisahkan senyawa organik kationik melalui mekanisme pertukaran ion. 2.1.3 Struktur Bentonit Penyusun utama bentonit adalah monmorilonit. Rumus utama monmorilonit sering dinyatakan sebagai Al 2O3.4SiO2xH2O. Monmorilonit merupakan mineral lempung berkonfigurasi 2:1 ditinjau dari jumlah lapisan tetrahedral dan oktahedral. Struktur monmorilonit tersusun dari dua lembar silika tetrahedral yang dipisahkan oleh lembar alumina oktahedral. Struktur kristal monmorilonit ditunjukkan pada gambar 2.3 Gambar 2.3 Sketsa Diagramatik Struktur Monmorilonit 2-D Gambar 2.4 Sketsa Diagramatik Struktur Monmorilonit 3-D 10 2.2 Cairan Ionik 2.2.1 Pengertian Umum dan Kecenderungan Riset Cairan ionik (ionic liquids) adalah suatu senyawa yang hanya memiliki spesies ionik tanpa adanya molekul netral yaitu hanya terdiri atas kation-anion (Hermanutz, et al., 2006). Pengertian ini dapat mencakup semua lelehan garam (molten salts) termasuk lelehan garam natrium klorida pada suhu sekitar 806 oC. Berbeda dengan garam cair (molten salt) yang biasanya mempunyai titik leleh dan viskositas tinggi, juga sangat korosif, cairan ionik umumnya berwujud cair pada suhu kamar, mempunyai viskositas relatif lebih rendah dan relatif tidak mempunyai sifat korosif (Toma, et al., 2000). Dengan demikian, cairan ionik (ILs) hanya digunakan untuk garam dengan titik leleh yang relatif rendah, yaitu terletak pada suhu < 100 - 150 oC (Hagiwara dan Ito, 2000; Hermanutz, et al., 2006), terutama garam yang berbentuk cairan pada suhu kamar lebih dikenal dengan room-temperature ionic liquids (RTILs). Keuntungan dari sifat yang dimiliki cairan ionik adalah memiliki rentang cair besar, sekitar 300oC (-96 sampai lebih dari 200 oC); memiliki kestabilan termal dan elektrokimia yang tinggi; merupakan pelarut yang baik bagi material organik, anorganik maupun polimer; tidak mudah menguap; tidak mudah terbakar; tidak beraroma (bau yang ditimbulkan berasal dari pengotor); menunjukkan keasaman Bronsted, Lewis, Franklin dan keasaman yang tinggi (Superacidity); dapat menjadi katalis sekaligus sebagai pelarut; memiliki sifat selektif yang tinggi terhadap suatu reaksi dan sebagainya (Fitzwater, et al., 2005; Lajunen, 2006; Pitner, 2004). 11 Sifat dari cairan ionik dapat disesuaikan dengan mengubah struktur kation dan anionnya (Murugesan dan Linhardt, 2005). Sifat-sifat cairan ionik seperti kepolaran atau hidrofilisitas/ lipofilisitas yang bisa diatur tergantung dari kation maupun anion yang menyusunnya. Jenis-jenis kation yang sering digunakan sebagai kation cairan ionik diantaranya adalah sebagai berikut (Murugesan dan Linhardt, 2005): [NRXH(4-X)]+ [SRXH(3-X)]+ [PRXH(4-X)]+ Amonium Sulfonium Posfonium R2 R3 R N R2 + N+ + R2 N R2 N + R5 R2 N R1 R4 N + N R3 R3 R3 R4 Tiazolium Pikolinium Piridinium O N Oksazolium R2 + R4 N R5 R1 R1 Triazolium R4 S R1 R1 Imidazolium N + R1 N Pirazolium Gambar 2.5 Beberapa Jenis Kation Cairan Ionik Sedangkan anion yang paling utama digunakan berupa spesi poliatomik anorganik, biasanya anion hexafluorophospate PF6-, sebuah anion yang dipasangkan pada cairan ionik yang stabil dalam air (hidrofobik). Anion lain yang sering digunakan dapat dilihat dalam tabel 2.2 12 Tabel 2.2 Beberapa Jenis Anion Cairan Ionik Halida: bromide, chloride Br-, Cl- Nitrate [NO3]- Chloroaluminates: tetrachloroaluminates [AlCl4]- Alkyl sulfates: ethyl sulfate [C2H5SO4]- Tetrafluoroborate [BF4]- Alkylcarboxylates: Acetate [CH3CO2]- Tosylate [OTs]- Triflate [OTf]- Bistriflimide [NTf2]- Dicyanamide [N(CN)2]- Jenis kation yang menjadi pusat dalam riset pengembangan cairan ionik dalam lima tahun terakhir terpusat pada garam 1-alkil-3-metilimidazolium (Forsyth dan Macfarlane, 2003; Swatloski, 2002). Pada tahun 2002, 74 dari 83 publikasi RSC semuanya terfokus pada cairan ionik berbasis imidazolium ini (Davis dan Fox, 2003). Beberapa garam organik berbasis kation imidazolium ini mempunyai titik leleh yang relatif rendah dan mempunyai sifat fisika dan kimia yang dapat beragam tergantung pada simetri kation dan struktur anion (Forsyth, et al., 2003). R2 N3 + 4 5 CH X2 N1 R1 Gambar 2.6 Struktur N,N-Dialkil Imidazolium 13 Garam 1,3-Alkilmetil-1,2,3-benzotriazolium mempunyai struktur dan fungsi yang sangat mirip dengan golongan imidazolium. Sifat fisikokimia garam imidazolium banyak dipengaruhi oleh terbentuknya ikatan hidrogen tipe C(2)H X. Pada garam imidazolium adanya substitusi metil pada posisi C 2 ternyata dapat meningkatkan stabilitas termal garam. Hal ini berkaitan dengan sifat keasaman yang tinggi pada proton C2 dan terbentuknya ikatan hidrogen tipe C(2)H X. Tidak terdapatnya proton pada pada posisi N2 pada benzotriazolium diduga akan memberikan stabilitas termal yang relatif lebih tinggi dibandingkan garam imidazolium (Mudzakir, 2006). Perbedaan lainnya adalah terdapatnya gugus benzena pada struktur benzotriazolium. Hal ini akan memperluas delokalisasi muatan positif kation sehingga akan menyebabkan melemahnya interaksi Coulomb kation-anion, yang akhirnya menurunkan harga titik leleh garam (Anthony, et al., 2003). R2 + N3 N X2 N1 R1 Gambar 2.7 Struktur N,N-Dialkil Benzotriazolium 2.2.2 Sifat – Sifat Cairan Ionik Cairan ionik bersifat konduktif dan memiliki tekanan uap yang sangat rendah dibandingkan dengan garam ionik biasa. Sifat-sifat ini sangat berbeda dengan material lainnya dan sangat unik. Sebagian besar cairan ionik memiliki kestabilan termal yang tinggi, tidak mudah terbakar, rentang cair yang lebar, dan yang paling diharapkan adalah kemampuannya sebagai pelarut untuk berbagai 14 senyawa. Banyak reaksi kimia seperti reaksi Diels-Alder dan reaksi Friedel-Crafts dapat menggunakan cairan ionik sebagai pelarutnya. Belakangan ini, cairan ionik dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses biokatalisis. Kemampuannya bercampur dengan air ataupun pelarut organik bergantung pada variasi panjangnya rantai alkil pada kation ataupun mengganti berbagai jenis anionnya, oleh karena itu cairan ionik sering disebut sebagai tailor made solvents. Cairan ionik dapat pula difungsikan sebagai asam, basa atau ligan, dan sebagai garam prekursor dalam preparasi senyawa karben (Jelli-jello, 2003). Sifat kestabilan termal dan titik leleh dari cairan ionik bergantung pada komponen penyusunnya (kation dan anion). Sebagai contoh, kestabilan termal untuk betaine bis(trifluoromethanesulfonyl)imida terprotonasi sekitar 534 K sedangkan N-butil-N-metil pitolidinium bis(trifluorometahnesulfonyl)imida berkisar diatas 640 K. 2.2.3 Toksisitas Cairan Ionik Berhubung sifatnya yang non-volatil (tidak mudah menguap), sehingga penggunaan cairan ionik sangat efektif dalam mereduksi komponen atau kontaminan yang lepas ke lingkungan. Cairan ionik memiliki dampak yang kecil terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, sehingga cairan ionik dinobatkan sebagai green chemistry. Adapun untuk menentukan sifat toksisitas ini digunakan nematoda yaitu Caenorhabditis elegans. C. Berbagai macam cairan ionik diamati. [C4mim]Cl tidak memberikan efek merugikan pada C. Elegans dengan konsentrasi 1-5 mg/mL. Selain itu juga didapatkan bahwa [C 4mim]Cl tidak bersifat racun akut. 15 2.2.4 Aplikasi Cairan Ionik Sifat-sifat unik yang dimiliki cairan ionik membuatnya banyak diminati oleh beberapa industri karena kemampuannya sebagai pelarut untuk berbagai senyawa. Aplikasi cairan ionik sangat banyak dan beragam. Beberapa contoh aplikasi cairan ionik dapat dilihat dalam tabel 2.3 Tabel 2.3 Contoh Aplikasi Cairan Ionik No Jenis Aplikasi Contoh 1 Reaksi organik 2 Pemisahan cairan dan gas 3 5 Pelarut dalam proses pembersihan Elektrolit pada sel bahan bakar Minyak pelumas 6 Fluida transfer panas Reaksi Diels-Alder, reaksi alkilasi FiredelCrafts, reaksi coupling Heck-Suzuki, dan lain lain Pemisahan uap air dalam campuran gas, pemisahan gas CO2 dalam campuran gas, dan lain lain Pelarut pengotor yang bersifat polar ataupun non polar Elektrolit pada baterei dan sel surya tersensitisasi zat warna (DSSC) Pelumas pada logam cair, permukaan polimer dan anorganik Lumpur bor 4 2.2.5 Metode Sintesis Cairan Ionik Secara umum, sintesis cairan ionik dilakukan melalui dua tahap, yaitu: pembentukan kation yang diinginkan (reaksi kuartenerisasi) dan pergantian anion untuk membentuk produk yang diinginkan. Namun kedua tahap ini tidak harus selalu dilakukan. Contohnya adalah etilamonium nitrat yang dihasilkan tanpa melalui tahap pergantian anion. Dan senyawa tertraalkilamonium dan 16 trialkilsulfonium iodida yang hanya melalui tahap yang kedua karena kation ini tersedia secara komersil. (Gordon, 2003). Reaksi Kuartenerisasi. Pembentukan kation dapat dihasilkan melalui protonasi dengan adanya asam bebas atau kuartenerisasi biasanya dengan menggunakan senyawa haloalkana. Garam etilamonium nitrat misalnya, secara sederhana haloalkana dicampurkan dengan amin kemudian diaduk dan dipanaskan. Setelah itu dilakukan penambahan asam nitrat 3 M yang kemudian didinginkan ke dalam larutan etilamin. Garam halida yang dihasilkan pun dapat dengan mudah dirubah menjadi garam-garam lain dengan anion yang berbeda (Gordon, 2003). Temperatur dan waktu reaksi kuartenerisasi sangat bergantung pada kereaktifan haloalkana yang digunakan, dimana kloroalkana mempunyai kereaktifan terkecil dan iodoalkana merupakan yang paling reaktif. Dalam proses pembentukan garam imidazolium, senyawa 1-metilimidazol yang bereaksi dengan kloroalkana berlangsung pada 80°C dengan waktu reaksi sekitar 2 sampai 3 hari agar reaksi diperkirakan telah berlangsung sempurna, sedangkan apabila menggunakan bromoalkana, reaksi dapat berlangsung sekitar 24 jam pada suhu 50 - 60°C. Untuk bromoalkana, karena sangat eksoterm, maka reaksi harus berjalan dengan sangat hati-hati. Selain dari masalah keselamatan, kenaikan rata-rata temperatur reaksi dari bromoalkana yang sangat eksoterm juga dapat menyebabkan produk yang dihasilkan memiliki warna yang tidak diharapkan. Berbeda dengan bromoalkana dan kloroalkana, reaksi kuarternerisasi dengan menggunakan iodoalkana dapat dilakukan pada temperatur ruangan. Tetapi garam 17 iodida yang dihasilkan sangat sensitif terhadap cahaya sehingga harus dilindungi dari cahaya matahari (Gordon, 2003), sedangkan garam florida dalam hal ini tidak dapat terbentuk. Kereaktifan dari haloalkana juga dapat berkurang seiring dengan semakin panjangnya gugus alkil yang digunakan. Walaupun banyak metode dari reaksi kuartenerisasi yang berbeda telah dilaporkan, tetapi kebanyakan peneliti menggunakan set alat refluks yang sederhana. Jika memungkinkan, reaksi dapat dilakukan pada kondisi dibawah gas nitrogen atau beberapa gas inert lainnya untuk menghilangkan air dan oksigen selama reaksi berlangsung. Reaksi dengan rantai haloalkana yang pendek seperti sintesis [EMIM]Cl lebih kompleks karena etilklorida mempunyai titik didih yang sangat rendah (12 oC). Etilklorida harus di jaga dibawah titik didihnya sebelum ditambahkan, sedangkan hasilnya diambil pada suhu tinggi, karena garam halida ini berupa padatan pada suhu kamar. Reaksi dapat dilakukan tanpa adanya pelarut, dimana material yang direaksikan biasanya berwujud cair dan mudah larut. Sementara itu produk garam halida biasanya tidak mudah larut dalam material awal. Tetapi, ada pula beberapa literatur yang menggunakan pelarut dalam proses reaksinya. Pelarut tersebut bisa alkil halida itu sendiri, atau dengan menggunakan 1,1,1-trikoroetana, etil etanoat, asetonitril, toluen, metanol, dan sebagainya. Faktor yang paling penting yaitu bahwa semua pelarut bersifat tidak mudah larut dengan garam halida yang dihasilkan, sehingga akan terbentuk fasa yang terpisah. Bagaimanapun juga, setelah reaksi berjalan sempurna dan pelarut telah didekantasi, sebaiknya produk tetap diuapkan dibawah kondisi vakum. Pada tahap ini, proses penghilangan 18 pelarut (evaporasi) harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena pemanasan berlebih dapat menyebabkan reaksi kuartenerisasi balik sehingga material awal dapat dihasilkan kembali. Reaksi kuartenerisasi dengan garam halida sebaiknya dilakukan pada temperatur kurang dari 80°C (Gordon, 2003). Reaksi Pergantian Anion. Reaksi pergantian anion dapat dilakukan dengan dua cara (Gordon, 2003), yaitu perlakuan langsung dari garam halida dengan asam lewis, dan pembentukan cairan ionik melalui reaksi metatesis anion. Pembentukan cairan ionik dengan proses asam-basa Lewis dilakukan dengan perlakuan dari garam halida dengan asam Lewis (biasanya AlCl3). Proses yang umum dilakukan yaitu perlakuan dari kuartener garam halida Q +X- dengan asam Lewis MXn menghasilkan pembentukan lebih dari satu spesi anion yang bergantung dari perbandingan relatif dari Q+X- dan MXn. Pembentukan dari proses ini dapat dicontohkan dengan etilmetilimdazolium (EMIM) klorida dan AlCl 3 seperti reaksi dibawah ini: [EMIM]+Cl- + AlCl3 [EMIM]+ [AlCl4] [EMIM]+ [AlCl4]- + AlCl3 [EMIM]+ [Al2Cl7] [EMIM]+ [Al2Cl7] -- + AlCl3 [EMIM]+ [Al3Cl10] – Metode yang sering digunakan untuk pembentukan cairan ionik dilakukan dengan pencampuran sederhana dari asam Lewis dengan garam halida. Reaksi umumnya eksoterm, sehingga perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Walaupun garam relatif stabil akan suhu, panas yang terbentuk dari lingkungan dapat menyebabkan dekomposisi cairan ionik yang disintesis. Hal ini dapat dicegah 19 dengan pendinginan selama proses pencampuran, atau dengan melakukan pencampuran dengan jumlah yang sedikit-sedikit (Gordon, 2003). Reaksi metatesis anion terjadi pada garam-garam dengan melakukan penambahan garam perak (seperti AgNO3, AgNO2, AgBF4, Ag[CO2CH3] dan Ag2SO4) dalam metanol atau larutan metanol. Perak halida yang dihasilkan dalam proses metatesis ini memiliki kelarutan sangat kecil sehingga dapat dipisahkan secara mudah dengan proses filtrasi, untuk mendapatkan cairan ionik yang memiliki kemurnian tinggi. Reaksi metatesis dalam garam benzotriazolium ditunjukkan pada Gambar 2.8 berikut ini. R2 R2 N N X'- + AgX'' + + N N X''- - AgX' N N R1 R1 Gambar 2.8 Reaksi Metatesis Anion 2.3 Organobentonit (Organoclay) Bentonit yang dimodifikasi (bentonit termodifikasi) oleh senyawa organik disebut sebagai organobentonit. Organobentonit adalah bentonit yang menyerap molekul kation dari senyawa-senyawa organik. Ada banyak pemanfaatan yang diperoleh dengan disintesisnya organobentonit. Pestisida dan makanan hewan merupakan sebagian kecil dari pemanfaatan organobentonit (Othmer, 1964). Penambahan kation organik yang berasal dari garam organik dapat pula menghasilkan organobentonit yang memiliki sifat tertentu (Walid, et al., 2003). 20 Salah satu sifat yang merupakan suatu hal yang penting dalam pembentukan organobentonit adalah kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik. Dengan kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik yang selanjutnya digunakan untuk memodifikasi sifat bentonit, diharapkan akan terbentuk bentonit termodifikasi atau organobentonit yang memiliki kestabilan termal yang tinggi. Salah satu sifat yang menarik dari bentonit adalah memiliki kemampuan menyerap kation tertentu yang selanjutnya diubah menjadi kation lain dengan menggunakan suatu pereaksi ion tertentu. Reaksi pertukaran kation ini terjadi pada bagian sisi dari unit struktur silika aluminat sehingga tidak merubah struktur mineral dari bentonit. Pertukaran kation adalah reaksi reversibel dengan tranfer energi rendah dari ion antara fasa padat dan fasa cair. Metode pertukaran kation banyak digunakan pada proses-proses yang berkaitan dengan tanah, seperti pada pemisahan mineral tanah, adsorpsi nutrisi tanah, pemisahan senyawa elektrolit, dan untuk mempertahankan pH tanah. Proses pertukaran kation menyebabkan terjadinya netralisasi dari muatan negatif koloid tanah melawan muatan kation. Kation berikatan dengan permukaan koloid melalui ikatan Van-der-Waals. Gerakan kation pada permukaan koloid tidak terlalu kaku, tetapi karena ada energi panas yang mempengaruhi gerakan dan menyebabkan lebih mudah bergerak dari permukaannya, seperti gerakan belahan yang memberikan kombinasi khusus dari ion dan permukaan koloid. Ada dua tipe permukaan, pertama yang sukar terikat sehingga sulit terjadi pertukaran atau fixed cation dan yang kedua adalah tidak terlalu sukar untuk berikatan sehingga terjadi pertukaran kation. 21 Gambar 2.9 Kation Yang Mengalami Pertukaran dan Tidak Mengalami Pertukaran Pertukaran kation terjadi ketika ion ( ) berada dalam suatu larutan, kemudian bergerak ke daerah belahan kation pada permukaan ( ), sehingga terjadi proses pertukaran kation (Gambar 2.9). Namun apabila ion yang ada pada permukaan terlalu sulit untuk mengalami pertukaran kation, maka pertukaran kation tidak akan terjadi (Gambar 2.10). Gambar 2.10 Mekanisme Pertukaran Kation Harga kapasitas pertukaran kation dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis mineral, pH larutan, janis kation, dan konsentrasi mineral. Ada beberapa penyebab yang mengakibatkan bentonit memiliki kapasitas pertukaran kation yaitu: 22 1. Karena adanya ikatan yang terputus disekeliling sisi silika-alumina sehingga menimbulkan muatan yang tidak seimbang, dan untuk menyeimbangkannya kembali diperlukan penyerapan kation. 2. Terjadinya substitusi alumina bervalensi tiga didalam kristal bentonit. Proses pertukaran kation terjadi bersamaan dengan proses swelling dari bentonit. Pada saat bentonit berada pada lingkungan air, maka ion-ion positif akan meninggalkan matrik bentonit. Karena molekul air bermuatan polar maka molekul air akan tertarik pada matrik bentonit dan kation akan terlepas dari bentonit. Apabila terjadi proses balik yaitu penarikan kation oleh bentonit, molekul air yang bermuatan positif akan tertarik menuju bentonit. Sehingga terjadi proses mengembang dari bentonit yang lebih dikenal dengan sebutan swelling.