4 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bentonit Bentonit adalah clay yang

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Bentonit
Bentonit adalah clay yang sebagian besar terdiri dari montmorillonit
dengan mineral-mineral minor seperti kwarsa, kalsit, dolomit, feldspars, dan
mineral minor lainnya. Montmorillonit merupakan bagian dari kelompok smectit
dengan komposisi kimia secara umum (Mg,Ca)O.Al2O3.5SiO2.nH2O. Nama
bentonit diambil dari nama formasi tempat lempung ini mula-mula ditemukan,
yaitu formasi benton yang terdapat di daerah Ford Benton Wyoming, Amerika
Serikat. Penamaan istilah bentonit diusulkan sebagai pengganti dari istilah nama
lain sebelumnya yaitu “Soapy Clay” atau “Taylorit” yang dipopulerkan oleh
Taylorite (1888). Sedangkan nama monmorilonit itu sendiri berasal dari Perancis
pada tahun 1847 untuk penamaan sejenis lempung yang terdapat di Monmorilon
Prancis yang dipublikasikan pada tahun 1853 – 1856 (www.dim.esdm.go.id).
Jenis lempung ini menunjukkan sifat koloid yang kuat dan memiliki sifat
mengembang ketika bersentuhan dengan air (Kirk Othmer, 1964). Istilah bentonit
secara umum digunakan untuk sejenis lempung yang bersifat plastis, koloidal dan
swelling.
Bentonit berbeda dari clay lainnya karena hampir seluruhnya (75%)
merupakan mineral monmorillonit. Mineral monmorillonit terdiri dari partikel
yang sangat kecil sehingga hanya dapat diketahui melalui studi mengunakan XRD
(X-Ray Difraction). Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri
4
5
dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida oktahedral. Pada
tetrahedral, 4 atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur.
Empat ikatan silikon terkadang disubtitusi oleh tiga ikatan alumunium. Pada
oktahedral atom alumunium berkoordinasi dengan enam atom oksigen atau gugusgugus hidroksil yang berlokasi pada ujung oktahedron. Al 3+ dapat digantikan oleh
Mg2+, Fe2+, Zn2+, Ni+, Li+ dan kation lainnya. Subtitusi isomorphous dari Al 3+
untuk Si4+ pada tetrahedral dan Mg2+ atau Zn2+ untuk Al3+ pada oktahedral
menghasilkan muatan negatif pada permukaan clay, hal ini diimbangi dengan
adsorpsi kation di lapisan interlayer (Alemdar, et. al., 2005).
Gambar 2.1. Struktur Monmorillonit (Othmer, 1964)
Adanya
atom-atom
yang
terikat
pada
masing-masing
lapisan
struktur
montmorillonit memungkinkan air atau molekul lain masuk di antara unit lapisan.
Akibatnya kisi akan membesar pada arah vertikal. Selain itu karena adanya
pergantian atom Si oleh Al menyebabkan terjadinya penyebaran muatan negatif
pada permukaan bentonit. Bagian inilah yang disebut sisi aktif (active site) dari
bentonit dimana bagian ini dapat menyerat kation dari senyawa-senyawa organik
atau dari ion-ion senyawa logam.
6
2.1.1
Tipe Bentonit dan Pemanfaatannya
Berdasarkan pada sifat penyerapan dan sifat katalis yang dimiliki oleh
bentonit, bentonit banyak digunakan dalam berbagai aplikasi industri sebagai
adsorben pestisida, adsorben kotoran binatang, katalis dan penunjang katalis,
bahan pemucat (bleaching earth) dalam industri minyak sawit dan berbagai
industri farmasi. Penggunaan ini didasarkan oleh ketersediaan bentonit yang ada
di alam.
Di alam, bentonit terdiri atas dua jenis, yaitu natrium bentonit dan kalsium
bentonit yang keduanya dapat dibedakan dari sifat mengembang (swelling) bila
dicelupkan ke dalam air.
1. Kalsium Bentonit
Bentonit jenis ini disebut juga Mg,Ca-Bentonit. Jenis ini mengandung
kalsium (Ca2O) dan magnesium (MgO) lebih banyak dibandingkan natriumnya,
mempunyai sifat sedikit menyerap air sehingga apabila didispersikan dalam air
akan cepat mengendap (tidak membentuk suspensi), pH nya berkisar 4, 0 – 7,0
(bersifat asam).
Daya tukar ion cukup besar dan bersifat menyerap. Dalam
keadaan kering bersifat cepat merekah (rapid slaking), berwarna abu-abu, biru,
kuning, merah dan coklat.
Bentonit jenis ini sangat baik digunakan sebagai lempung pemucat warna
pada minyak kelapa. Pada keadaan awal lempung jenis ini memiliki daya serap
warna yang rendah.
Daya serap dapat ditingkatkan dengan diaktifasi
menggunakan asam mineral.
7
2. Natrium Bentonit
Bentonit jenis ini disebut juga bentonit tipe Wyoming, mengandung ion
Na+ relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan ion Ca2+ dan Mg2+. Secara
kasat mata mempunyai sifat mengembang apabila dicelupkan ke dalam air hingga
8 kali lipat dari volume semula, sehingga dalam suspensinya akan menambah
kekentalan, pH suspensi berkisar 8,5 – 9,8 (bersifat basa). Tipe ini dalam keadaan
kering berwarna putih sampai krem, dan mengkilap dalam keadaan basah dan
terkena matahari.
Kandungan Na2O dalam Natrium bentonit umumnya lebih besar dari 2%.
Karena sifat-sifat tersebut maka mineral ini sering dipergunakan untuk lumpur
pemboran, penyumbat kebocoran bendungan pada teknik sipil, bahan pencampur
pembuatan cat, bahan baku farmasi, dan perekat pasir cetak pada industri
pengecoran logam.
2.1.2
Sifat Fisik dan Kimia Bentonit
Dalam keadaan kering bentonit mempunyai sifat fisik berupa partikel
butiran yang halus berbentuk rekahan-rekahan atau serpihan yang khas seperti
tekstur pecah kaca (concoidal fracture), kilap lilin, lunak, plastis, berwarna
kuning muda hingga abu-abu, bila lapuk berwarna coklat kekuningan, kuning
merah atau coklat, bila diraba terasa licin, dan bila dimasukan ke dalam air akan
menghisap air. Bentuk fisik dari bentonit diperlihatkan pada Gambar 2.2.
8
Gambar 2.2 Bentuk Fisik Bentonit
Sifat fisik lainnya berupa massa jenis 2,2-2,8 g/L; indeks bias 1,547-1,557; dan
titik lebur 1330-1430oC. Bentonit termasuk mineral yang memiliki gugus
aluminosilikat. Unsur-unsur kimia yang terkandung dalam bentonit diperlihatkan
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Bentonit
Na-Bentonit (%)
Ca-Bentonit (%)
SiO2
61,3-61,4
62,12
Al2O3
19,8
17,33
Fe2O3
3,9
5,30
CaO
0,6
3,68
MgO
1,3
3,30
Na2O
2,2
0,50
K2O
0,4
0,55
H2O
7,2
7,22
Senyawa
(Puslitbang Tekmira, 2002)
Partikel bentonit bermuatan negatif yang diimbangi dengan kation yang dapat
dipertukarkan dan terikat lemah (Na, Ca, Mg, atau K). Adanya kation yang dapat
9
dipertukarkan ini memungkinkan bentonit memisahkan logam berat dari air, dan
juga memisahkan senyawa organik kationik melalui mekanisme pertukaran ion.
2.1.3
Struktur Bentonit
Penyusun
utama
bentonit
adalah
monmorilonit.
Rumus
utama
monmorilonit sering dinyatakan sebagai Al 2O3.4SiO2xH2O. Monmorilonit
merupakan mineral lempung berkonfigurasi 2:1 ditinjau dari jumlah lapisan
tetrahedral dan oktahedral. Struktur monmorilonit tersusun dari dua lembar silika
tetrahedral yang dipisahkan oleh lembar alumina oktahedral. Struktur kristal
monmorilonit ditunjukkan pada gambar 2.3
Gambar 2.3 Sketsa Diagramatik Struktur Monmorilonit 2-D
Gambar 2.4 Sketsa Diagramatik Struktur Monmorilonit 3-D
10
2.2
Cairan Ionik
2.2.1
Pengertian Umum dan Kecenderungan Riset
Cairan ionik (ionic liquids) adalah suatu senyawa yang hanya memiliki
spesies ionik tanpa adanya molekul netral yaitu hanya terdiri atas kation-anion
(Hermanutz, et al., 2006). Pengertian ini dapat mencakup semua lelehan garam
(molten salts) termasuk lelehan garam natrium klorida pada suhu sekitar 806 oC.
Berbeda dengan garam cair (molten salt) yang biasanya mempunyai titik leleh dan
viskositas tinggi, juga sangat korosif, cairan ionik umumnya berwujud cair pada
suhu kamar, mempunyai viskositas relatif lebih rendah dan relatif tidak
mempunyai sifat korosif (Toma, et al., 2000). Dengan demikian, cairan ionik
(ILs) hanya digunakan untuk garam dengan titik leleh yang relatif rendah, yaitu
terletak pada suhu < 100 - 150 oC (Hagiwara dan Ito, 2000; Hermanutz, et al.,
2006), terutama garam yang berbentuk cairan pada suhu kamar lebih dikenal
dengan room-temperature ionic liquids (RTILs).
Keuntungan dari sifat yang dimiliki cairan ionik adalah memiliki rentang
cair besar, sekitar 300oC (-96 sampai lebih dari 200 oC); memiliki kestabilan
termal dan elektrokimia yang tinggi; merupakan pelarut yang baik bagi material
organik, anorganik maupun polimer; tidak mudah menguap; tidak mudah
terbakar; tidak beraroma (bau yang ditimbulkan berasal dari pengotor);
menunjukkan keasaman Bronsted, Lewis, Franklin dan keasaman yang tinggi
(Superacidity); dapat menjadi katalis sekaligus sebagai pelarut; memiliki sifat
selektif yang tinggi terhadap suatu reaksi dan sebagainya (Fitzwater, et al., 2005;
Lajunen, 2006; Pitner, 2004).
11
Sifat dari cairan ionik dapat disesuaikan dengan mengubah struktur kation
dan anionnya (Murugesan dan Linhardt, 2005). Sifat-sifat cairan ionik seperti
kepolaran atau hidrofilisitas/ lipofilisitas yang bisa diatur tergantung dari kation
maupun anion yang menyusunnya. Jenis-jenis kation yang sering digunakan
sebagai kation cairan ionik diantaranya adalah sebagai berikut (Murugesan dan
Linhardt, 2005):
[NRXH(4-X)]+
[SRXH(3-X)]+
[PRXH(4-X)]+
Amonium
Sulfonium
Posfonium
R2
R3
R
N
R2
+
N+
+
R2
N
R2
N
+
R5
R2
N
R1
R4
N
+
N
R3
R3
R3
R4
Tiazolium
Pikolinium
Piridinium
O
N
Oksazolium
R2
+
R4
N
R5
R1
R1
Triazolium
R4
S
R1
R1
Imidazolium
N
+
R1
N
Pirazolium
Gambar 2.5 Beberapa Jenis Kation Cairan Ionik
Sedangkan anion yang paling utama digunakan berupa spesi poliatomik
anorganik, biasanya anion hexafluorophospate PF6-, sebuah anion yang
dipasangkan pada cairan ionik yang stabil dalam air (hidrofobik). Anion lain yang
sering digunakan dapat dilihat dalam tabel 2.2
12
Tabel 2.2 Beberapa Jenis Anion Cairan Ionik
Halida: bromide, chloride
Br-, Cl-
Nitrate
[NO3]-
Chloroaluminates: tetrachloroaluminates
[AlCl4]-
Alkyl sulfates: ethyl sulfate
[C2H5SO4]-
Tetrafluoroborate
[BF4]-
Alkylcarboxylates: Acetate
[CH3CO2]-
Tosylate
[OTs]-
Triflate
[OTf]-
Bistriflimide
[NTf2]-
Dicyanamide
[N(CN)2]-
Jenis kation yang menjadi pusat dalam riset pengembangan cairan ionik
dalam lima tahun terakhir terpusat pada garam 1-alkil-3-metilimidazolium
(Forsyth dan Macfarlane, 2003; Swatloski, 2002). Pada tahun 2002, 74 dari 83
publikasi RSC semuanya terfokus pada cairan ionik berbasis imidazolium ini
(Davis dan Fox, 2003). Beberapa garam organik berbasis kation imidazolium ini
mempunyai titik leleh yang relatif rendah dan mempunyai sifat fisika dan kimia
yang dapat beragam tergantung pada simetri kation dan struktur anion (Forsyth, et
al., 2003).
R2
N3
+
4
5
CH X2
N1
R1
Gambar 2.6 Struktur N,N-Dialkil Imidazolium
13
Garam 1,3-Alkilmetil-1,2,3-benzotriazolium mempunyai struktur dan
fungsi yang sangat mirip dengan golongan imidazolium. Sifat fisikokimia garam
imidazolium banyak dipengaruhi oleh terbentuknya ikatan hidrogen tipe
C(2)H X. Pada garam imidazolium adanya substitusi metil pada posisi C 2
ternyata dapat meningkatkan stabilitas termal garam. Hal ini berkaitan dengan
sifat keasaman yang tinggi pada proton C2 dan terbentuknya ikatan hidrogen tipe
C(2)H X. Tidak terdapatnya proton pada pada posisi N2 pada benzotriazolium
diduga akan memberikan stabilitas termal yang relatif lebih tinggi dibandingkan
garam imidazolium (Mudzakir, 2006). Perbedaan lainnya adalah terdapatnya
gugus benzena pada struktur benzotriazolium. Hal ini akan memperluas
delokalisasi muatan positif kation sehingga akan menyebabkan melemahnya
interaksi Coulomb kation-anion, yang akhirnya menurunkan harga titik leleh
garam (Anthony, et al., 2003).
R2
+
N3
N X2
N1
R1
Gambar 2.7 Struktur N,N-Dialkil Benzotriazolium
2.2.2 Sifat – Sifat Cairan Ionik
Cairan ionik bersifat konduktif dan memiliki tekanan uap yang sangat
rendah dibandingkan dengan garam ionik biasa. Sifat-sifat ini sangat berbeda
dengan material lainnya dan sangat unik. Sebagian besar cairan ionik memiliki
kestabilan termal yang tinggi, tidak mudah terbakar, rentang cair yang lebar, dan
yang paling diharapkan adalah kemampuannya sebagai pelarut untuk berbagai
14
senyawa. Banyak reaksi kimia seperti reaksi Diels-Alder dan reaksi Friedel-Crafts
dapat menggunakan cairan ionik sebagai pelarutnya. Belakangan ini, cairan ionik
dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses biokatalisis. Kemampuannya
bercampur dengan air ataupun pelarut organik bergantung pada variasi
panjangnya rantai alkil pada kation ataupun mengganti berbagai jenis anionnya,
oleh karena itu cairan ionik sering disebut sebagai tailor made solvents. Cairan
ionik dapat pula difungsikan sebagai asam, basa atau ligan, dan sebagai garam
prekursor dalam preparasi senyawa karben (Jelli-jello, 2003).
Sifat kestabilan termal dan titik leleh dari cairan ionik bergantung pada
komponen penyusunnya (kation dan anion). Sebagai contoh, kestabilan termal
untuk betaine bis(trifluoromethanesulfonyl)imida terprotonasi sekitar 534 K
sedangkan
N-butil-N-metil
pitolidinium
bis(trifluorometahnesulfonyl)imida
berkisar diatas 640 K.
2.2.3 Toksisitas Cairan Ionik
Berhubung sifatnya yang non-volatil (tidak mudah menguap), sehingga
penggunaan cairan ionik sangat efektif dalam mereduksi komponen atau
kontaminan yang lepas ke lingkungan. Cairan ionik memiliki dampak yang kecil
terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, sehingga cairan ionik dinobatkan
sebagai green chemistry. Adapun untuk menentukan sifat toksisitas ini digunakan
nematoda yaitu Caenorhabditis elegans. C. Berbagai macam cairan ionik diamati.
[C4mim]Cl tidak memberikan efek merugikan pada C. Elegans dengan
konsentrasi 1-5 mg/mL. Selain itu juga didapatkan bahwa [C 4mim]Cl tidak
bersifat racun akut.
15
2.2.4 Aplikasi Cairan Ionik
Sifat-sifat unik yang dimiliki cairan ionik membuatnya banyak diminati
oleh beberapa industri karena kemampuannya sebagai pelarut untuk berbagai
senyawa. Aplikasi cairan ionik sangat banyak dan beragam. Beberapa contoh
aplikasi cairan ionik dapat dilihat dalam tabel 2.3
Tabel 2.3 Contoh Aplikasi Cairan Ionik
No
Jenis Aplikasi
Contoh
1
Reaksi organik
2
Pemisahan cairan dan gas
3
5
Pelarut dalam proses
pembersihan
Elektrolit pada sel bahan
bakar
Minyak pelumas
6
Fluida transfer panas
Reaksi Diels-Alder, reaksi alkilasi FiredelCrafts, reaksi coupling Heck-Suzuki, dan lain
lain
Pemisahan uap air dalam campuran gas,
pemisahan gas CO2 dalam campuran gas, dan
lain lain
Pelarut pengotor yang bersifat polar ataupun
non polar
Elektrolit pada baterei dan sel surya
tersensitisasi zat warna (DSSC)
Pelumas pada logam cair, permukaan polimer
dan anorganik
Lumpur bor
4
2.2.5
Metode Sintesis Cairan Ionik
Secara umum, sintesis cairan ionik dilakukan melalui dua tahap, yaitu:
pembentukan kation yang diinginkan (reaksi kuartenerisasi) dan pergantian anion
untuk membentuk produk yang diinginkan. Namun kedua tahap ini tidak harus
selalu dilakukan. Contohnya adalah etilamonium nitrat yang dihasilkan tanpa
melalui
tahap pergantian anion. Dan senyawa
tertraalkilamonium
dan
16
trialkilsulfonium iodida yang hanya melalui tahap yang kedua karena kation ini
tersedia secara komersil. (Gordon, 2003).
Reaksi Kuartenerisasi. Pembentukan kation dapat dihasilkan melalui
protonasi dengan adanya asam bebas atau kuartenerisasi biasanya dengan
menggunakan senyawa haloalkana. Garam etilamonium nitrat misalnya, secara
sederhana haloalkana dicampurkan dengan amin kemudian diaduk dan
dipanaskan. Setelah itu dilakukan penambahan asam nitrat 3 M yang kemudian
didinginkan ke dalam larutan etilamin. Garam halida yang dihasilkan pun dapat
dengan mudah dirubah menjadi garam-garam lain dengan anion yang berbeda
(Gordon, 2003).
Temperatur dan waktu reaksi kuartenerisasi sangat bergantung pada
kereaktifan haloalkana yang digunakan, dimana kloroalkana mempunyai
kereaktifan terkecil dan iodoalkana merupakan yang paling reaktif. Dalam proses
pembentukan garam imidazolium, senyawa 1-metilimidazol yang bereaksi dengan
kloroalkana berlangsung pada 80°C dengan waktu reaksi sekitar 2 sampai 3 hari
agar reaksi diperkirakan telah berlangsung sempurna, sedangkan apabila
menggunakan bromoalkana, reaksi dapat berlangsung sekitar 24 jam pada suhu 50
- 60°C. Untuk bromoalkana, karena sangat eksoterm, maka reaksi harus berjalan
dengan sangat hati-hati. Selain dari masalah keselamatan, kenaikan rata-rata
temperatur reaksi dari bromoalkana yang sangat eksoterm juga dapat
menyebabkan produk yang dihasilkan memiliki warna yang tidak diharapkan.
Berbeda dengan bromoalkana dan kloroalkana, reaksi kuarternerisasi dengan
menggunakan iodoalkana dapat dilakukan pada temperatur ruangan. Tetapi garam
17
iodida yang dihasilkan sangat sensitif terhadap cahaya sehingga harus dilindungi
dari cahaya matahari (Gordon, 2003), sedangkan garam florida dalam hal ini tidak
dapat terbentuk. Kereaktifan dari haloalkana juga dapat berkurang seiring dengan
semakin panjangnya gugus alkil yang digunakan.
Walaupun banyak metode dari reaksi kuartenerisasi yang berbeda telah
dilaporkan, tetapi kebanyakan peneliti menggunakan set alat refluks yang
sederhana. Jika memungkinkan, reaksi dapat dilakukan pada kondisi dibawah gas
nitrogen atau beberapa gas inert lainnya untuk menghilangkan air dan oksigen
selama reaksi berlangsung. Reaksi dengan rantai haloalkana yang pendek seperti
sintesis [EMIM]Cl lebih kompleks karena etilklorida mempunyai titik didih yang
sangat rendah (12 oC). Etilklorida harus di jaga dibawah titik didihnya sebelum
ditambahkan, sedangkan hasilnya diambil pada suhu tinggi, karena garam halida
ini berupa padatan pada suhu kamar.
Reaksi dapat dilakukan tanpa adanya pelarut, dimana material yang
direaksikan biasanya berwujud cair dan mudah larut. Sementara itu produk garam
halida biasanya tidak mudah larut dalam material awal. Tetapi, ada pula beberapa
literatur yang menggunakan pelarut dalam proses reaksinya. Pelarut tersebut bisa
alkil halida itu sendiri, atau dengan menggunakan 1,1,1-trikoroetana, etil etanoat,
asetonitril, toluen, metanol, dan sebagainya. Faktor yang paling penting yaitu
bahwa semua pelarut bersifat tidak mudah larut dengan garam halida yang
dihasilkan, sehingga akan terbentuk fasa yang terpisah. Bagaimanapun juga,
setelah reaksi berjalan sempurna dan pelarut telah didekantasi, sebaiknya produk
tetap diuapkan dibawah kondisi vakum. Pada tahap ini, proses penghilangan
18
pelarut (evaporasi) harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena pemanasan
berlebih dapat menyebabkan reaksi kuartenerisasi balik sehingga material awal
dapat dihasilkan kembali. Reaksi kuartenerisasi dengan garam halida sebaiknya
dilakukan pada temperatur kurang dari 80°C (Gordon, 2003).
Reaksi Pergantian Anion. Reaksi pergantian anion dapat dilakukan dengan dua
cara (Gordon, 2003), yaitu perlakuan langsung dari garam halida dengan asam
lewis, dan pembentukan cairan ionik melalui reaksi metatesis anion.
Pembentukan cairan ionik dengan proses asam-basa Lewis dilakukan
dengan perlakuan dari garam halida dengan asam Lewis (biasanya AlCl3). Proses
yang umum dilakukan yaitu perlakuan dari kuartener garam halida Q +X- dengan
asam Lewis MXn menghasilkan pembentukan lebih dari satu spesi anion yang
bergantung dari perbandingan relatif dari Q+X- dan MXn. Pembentukan dari proses
ini dapat dicontohkan dengan etilmetilimdazolium (EMIM) klorida dan AlCl 3
seperti reaksi dibawah ini:
[EMIM]+Cl- + AlCl3  [EMIM]+ [AlCl4] [EMIM]+ [AlCl4]- + AlCl3  [EMIM]+ [Al2Cl7] [EMIM]+ [Al2Cl7] -- + AlCl3  [EMIM]+ [Al3Cl10] –
Metode yang sering digunakan untuk pembentukan cairan ionik dilakukan
dengan pencampuran sederhana dari asam Lewis dengan garam halida. Reaksi
umumnya eksoterm, sehingga perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Walaupun
garam relatif stabil akan suhu, panas yang terbentuk dari lingkungan dapat
menyebabkan dekomposisi cairan ionik yang disintesis. Hal ini dapat dicegah
19
dengan pendinginan selama proses pencampuran, atau dengan melakukan
pencampuran dengan jumlah yang sedikit-sedikit (Gordon, 2003). Reaksi
metatesis anion terjadi pada garam-garam dengan melakukan penambahan garam
perak (seperti AgNO3, AgNO2, AgBF4, Ag[CO2CH3] dan Ag2SO4) dalam metanol
atau larutan metanol. Perak halida yang dihasilkan dalam proses metatesis ini
memiliki kelarutan sangat kecil sehingga dapat dipisahkan secara mudah dengan
proses filtrasi, untuk mendapatkan cairan ionik yang memiliki kemurnian tinggi.
Reaksi metatesis dalam garam benzotriazolium ditunjukkan pada Gambar 2.8
berikut ini.
R2
R2
N
N X'- + AgX''
+
+
N
N X''-
- AgX'
N
N
R1
R1
Gambar 2.8 Reaksi Metatesis Anion
2.3
Organobentonit (Organoclay)
Bentonit yang dimodifikasi (bentonit termodifikasi) oleh senyawa organik
disebut sebagai organobentonit. Organobentonit adalah bentonit yang menyerap
molekul kation dari senyawa-senyawa organik. Ada banyak pemanfaatan yang
diperoleh dengan disintesisnya organobentonit. Pestisida dan makanan hewan
merupakan sebagian kecil dari pemanfaatan organobentonit (Othmer, 1964).
Penambahan
kation organik yang berasal dari garam organik dapat pula
menghasilkan organobentonit yang memiliki sifat tertentu (Walid, et al., 2003).
20
Salah satu sifat yang merupakan suatu hal yang penting dalam pembentukan
organobentonit adalah kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik.
Dengan kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik yang selanjutnya
digunakan untuk memodifikasi sifat bentonit, diharapkan akan terbentuk bentonit
termodifikasi atau organobentonit yang memiliki kestabilan termal yang tinggi.
Salah satu sifat yang menarik dari bentonit adalah memiliki kemampuan
menyerap kation tertentu yang selanjutnya diubah menjadi kation lain dengan
menggunakan suatu pereaksi ion tertentu. Reaksi pertukaran kation ini terjadi
pada bagian sisi dari unit struktur silika aluminat sehingga tidak merubah struktur
mineral dari bentonit.
Pertukaran kation adalah reaksi reversibel dengan tranfer energi rendah
dari ion antara fasa padat dan fasa cair. Metode pertukaran kation banyak
digunakan pada proses-proses yang berkaitan dengan tanah, seperti pada
pemisahan mineral tanah, adsorpsi nutrisi tanah, pemisahan senyawa elektrolit,
dan untuk mempertahankan pH tanah. Proses pertukaran kation menyebabkan
terjadinya netralisasi dari muatan negatif koloid tanah melawan muatan kation.
Kation berikatan dengan permukaan koloid melalui ikatan Van-der-Waals.
Gerakan kation pada permukaan koloid tidak terlalu kaku, tetapi karena ada energi
panas yang mempengaruhi gerakan dan menyebabkan lebih mudah bergerak dari
permukaannya, seperti gerakan belahan yang memberikan kombinasi khusus dari
ion dan permukaan koloid. Ada dua tipe permukaan, pertama yang sukar terikat
sehingga sulit terjadi pertukaran atau fixed cation dan yang kedua adalah tidak
terlalu sukar untuk berikatan sehingga terjadi pertukaran kation.
21
Gambar 2.9 Kation Yang Mengalami Pertukaran dan Tidak Mengalami
Pertukaran
Pertukaran kation terjadi ketika ion ( ) berada dalam suatu larutan, kemudian
bergerak ke daerah belahan kation pada permukaan ( ), sehingga terjadi proses
pertukaran kation (Gambar 2.9). Namun apabila ion yang ada pada permukaan
terlalu sulit untuk mengalami pertukaran kation, maka pertukaran kation tidak
akan terjadi (Gambar 2.10).
Gambar 2.10 Mekanisme Pertukaran Kation
Harga kapasitas pertukaran kation dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
jenis mineral, pH larutan, janis kation, dan konsentrasi mineral. Ada beberapa
penyebab yang mengakibatkan bentonit memiliki kapasitas pertukaran kation
yaitu:
22
1.
Karena adanya ikatan yang terputus disekeliling sisi silika-alumina
sehingga menimbulkan muatan yang tidak seimbang, dan untuk
menyeimbangkannya kembali diperlukan penyerapan kation.
2.
Terjadinya substitusi alumina bervalensi tiga didalam kristal bentonit.
Proses pertukaran kation terjadi bersamaan dengan proses swelling dari
bentonit. Pada saat bentonit berada pada lingkungan air, maka ion-ion positif akan
meninggalkan matrik bentonit. Karena molekul air bermuatan polar maka molekul
air akan tertarik pada matrik bentonit dan kation akan terlepas dari bentonit.
Apabila terjadi proses balik yaitu penarikan kation oleh bentonit, molekul air yang
bermuatan positif akan tertarik menuju bentonit. Sehingga terjadi proses
mengembang dari bentonit yang lebih dikenal dengan sebutan swelling.
Download